26
BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR MEDIS 1. Pengertian Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/ subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas (IDAI, 2008). Sindrom croup adalah berbagai penyakit respiratorik yang ditandai dengan gejala akibat obstruksi laring yang bervariasi dari ringan sampai berat berupa stridor inspirasi, batuk menggonggong, suara parau, sampai gejala distres pernapasan (Oma dkk, 2005). Croup (laringotrakeitis) adalah suatu kondisi yang menyebabkan peradangan pada saluran napas atas yaitu laring, trakea. Hal ini sering menyebabkan batuk menggonggong atau suara serak, terutama ketika anak menangis (Roosevelt, 2007). Jadi, dapat disimpulkan bahwa sindrom croup adalah suatu kondisi di mana terdapat berbagai macam penyakit respiratorik yang mengenai laring hingga bronkus, dengan

LP CROUP

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Pendahuluan Sindrom Croup

Citation preview

Page 1: LP CROUP

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR MEDIS

1. Pengertian

Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit

heterogen yang mengenai laring, infra/ subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik

sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi,

dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas (IDAI, 2008).

Sindrom croup adalah berbagai penyakit respiratorik yang ditandai dengan

gejala akibat obstruksi laring yang bervariasi dari ringan sampai berat berupa stridor

inspirasi, batuk menggonggong, suara parau, sampai gejala distres pernapasan (Oma

dkk, 2005).

Croup (laringotrakeitis) adalah suatu kondisi yang menyebabkan peradangan

pada saluran napas atas yaitu laring, trakea. Hal ini sering menyebabkan batuk

menggonggong atau suara serak, terutama ketika anak menangis (Roosevelt, 2007).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sindrom croup adalah suatu kondisi di mana

terdapat berbagai macam penyakit respiratorik yang mengenai laring hingga bronkus,

dengan karakteristik batuk menggonggong, suara serak, dan stridor inspirasi.

2. Anatomi dan Fisiologi

Page 2: LP CROUP

a. Rongga hidung

Rongga hidung terdiri atas 2 bagian yaitu sebelah luar disebut vestibulum dan di

dalam disebut fossa nasalis. Pada vestibulum terdapat nares, dan vibrissae. Fossa

nasalis, terdapat penonjolan tulang yang disebut concha. Concha dapat dibedakan

menjadi concha superior, medial, dan inferior. Concha superior terdapat reseptor

pembau (olfaktorius). Hidung merupakan tempat masuknya udara atmosfer dari luar

ke saluran pernafasan. Di dalam rongga hidung terdapat rambut dan selaput lendir.

Rongga hidung berfungsi sebagai:

1) Penghantar udara pernafasan (respirasi) dan seklaigus sebagai penyaring kotoran

yang terikut dalam udara pernafasan.

2) Menyesuaikan udara atmosfir agar temperatur dan kelembabannya sesuai bagi

tubuh hewan.

3) Menjaga kebersihan dan kelancaran udara yang masuk karena lapisan mukosa

saluran respirasi selalu basah dan bersilia yang berguna untuk menangkap

(menjerat) dan mengeluarkan partikel kotoran yang masuk bersama udara

pernafasan.

Setelah melewati hidung selanjutnya udara masuk ke pharynx.

b. Nasopharynx

Nasopharynx merupakan bagian yang menghubungkan antara rongga hidung dengan

bagian pertama pharynx, ke bawah berlanjut ke bawah bagian oropharynx yaitu

persimpangan antara rongga mulut ke kerongkongan dengan rongga hidung. Pharynx

merupakan sekumpulan tulang rawan. Tulang rawan (cartilago) pada pharynx antara

lain: larynx yang padanya terdapat pita suara yang akan bergetar bila ada udara yang

melaluinya, misalnya pada waktu kita bicara. Pharynx memiliki lubang yang disebut

glotis sedangkan penutupnya disebut epiglottis (anak tekak) yang berfungsi menutup

apabila sedang menelan makanan. Udara setelah melewati pharynx selanjutnya

menuju ke trakhea.

c. Larynx

Larynx merupakan tabung ireguler, yang menghubungkan pahrynx dengan trakhea.

Tedapat pita suara.

Page 3: LP CROUP

d. Trachea

Trachea (batang tenggorok) merupakan tabung dari cincin tulang rawan, terletak di

daerah leher, yang menghubungkan phaynx dengan bronkus. Posisinya bersebelahan

dengan kerongkongan, tepatnya di depan kerongkongan. Dinding dalamnya (mukosa)

dilapisi lendir yang sel-selnya berambut getar.

1) Tunica mucosa tersusun atas sel thoraks (epithelium pseudocomplex columnair)

bersilia dengan sel piala (sel goblet). Lamina propria tersusun atas jaringan ikat

longgar dengan serabut elastis.

2) Tunica sub-mucosa tersusun atas jaringan ikat longgar dengan membrana elastica

sebagai batas dengan lamina propria glandula sero-mucosa.

3) Tunica cartilaginea tersusun atas kartilago hyalin berbetuk seperti tapal kuda

(huruf C), jaringan ikat antara kedua ujung kartilago mengandung sel-sel otot

polos juga glandula sero-mucosa.

4) Tunica adventitia tersusun atas jaringan pengikat longgar dengan pembuluh darah

lymfe dan saraf.

e. Bronkus

Trakea bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dan kanan yang

keduanya masuk ke dalam paru-paru. Bronkus bercabang-cabang lagi menjadi

bronkeolus.

f. Bronkeolus

Bronkeolus di dalam paru-paru membentuk cabang-cabang lebih kecil yang

bronkeolus terminalis, kemudian bronkeolus respiratorius, dan selanjutnya berujung

pada kantung alveoli. Pada lamina propria terdapat otot polos yang diatur oleh nervus

vagus yang bekerja sebagai saraf parasimpatis artinya menyebabkan konstriksi

(penyempitan lumen bronkeolus). Gangguan yang ditimbulkan disebut asma

bronkeale.

g. Kantung Alveoli (saccus alveolus)

Alveolus merupakan evaginasi (perluasan ke luar) yang membentuk kantung dari

bronkeolus respiratorius, duktus alveoli dan saluran alveolaris. Sel alveoli paru-paru

sangat tipis tebalnya (0,2-0,5µm) dan tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk

kantung-kantung alveoli. Seluruh sel alveoli paru-paru jika direntang lebarnya

Page 4: LP CROUP

mencapai 70-80m2. Peran penting alveoli adalah untuk pertukaran gas O2 dari

atmosfer ke kapiler alveoli atau sebaliknya gas CO2 dari kapiler ke ruang alveoli.

Antara kantung alveoli satu dengan lainnya membentuk dinding (sekat) interalveoler

yang tersusun atas 2 lapisan yaitu: epitel gepeng selapis dan jaringan pengikat.

Interalveoler tersusun atas: 3 jenis sel yaitu: sel endotel kapiler, sel epitel gepeng

alveoli, dan membrana basalis. sel alveolus besar. Sel septal (sel alveoler tipe II)

merupakan sel penghasil cairan yang disebut surfaktan. Surfaktan tersusun atas

dipalmitoil lecithin (phospolipoprotein). Surfaktan berfungsi untuk menjaga tegangan

permukaan alveoli sehingga dinding alveoli tetap tipis. Dengan demikian, fungsi

utama surfaktan adalah mempertipis membran respirasi sehingga difusi gas

pernafasan dapat menjadi lebih efisien.

h. Membran respirasi

Pertukaran gas dari kantung alveoli ke dalam kapiler darah melalui membran respirasi

yang tersusun atas:

1) Sel epitel alveoli

2) Membrana basalis

3) Sel endothel kapiler alveoli.

i. Pembuluh darah paru

Pembuluh darah paru dapat dibedakan menjadi pembuluh darah pemberi nutrisi dan

fungsional. Sirkulasi fungsional terdiri dari: a. pulmonalis, dan v. pulmonalis yang

bercabang menjadi kapiler mengitari kantung alveoli. Pembuluh darah pemberi nutrisi

arteri dan vena bronkealis. Pembuluh limfe mengikuti arteri dan vena bronkealis dan

pulmonalis. Fungsi mengalirkan cairan limfe ke nodus limfatikus.

3. Etiologi

Virus penyebab infeksi akut sindrom croup menyebar melalui inhalasi langsung

dari batuk atau bersin, kontaminasi tangan yang menyentuh muntah, mukosa hidung

ataupun mulut penderita. Virus penyebab paling umum adalah virus parainfluenza.

Tempat masuk utama virus ini adalah hidung dan nasofaring. Infeksi menyebar dan

melibatkan laring dan trakea.

Penyebab infeksi croup lainnya adalah sebagai berikut:

a. Adenovirus

Page 5: LP CROUP

b. Respiratory syncytial virus

c. Enterrovirus

d. Coronavirus

e. Rhinovirus

f. Influenza A dan B

4. Klasifikasi

a. Klasifikasi secara Umum

Secara umum Croup Sindrom diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu:

1) Viral Croup (laringotrakeobronhotis)

Ditandai dengan gejala-gejala prodromal infeksi pernafasan: gejala obstruksi

saluran pernafasan berlangsung selama 3-5 hari. Usia ± 6 tahun. Stridor (+),

Batuk (sepanjang waktu), Demam (+) yang tinggi, durasi 2-7 hari, Keluarga

sejarah (+), kecenderungan oleh asma (-).

2) Spasmodic Croup

Spasmodic croup, batuk hebat, terdapat faktor atopik, tanpa gejala prodromal,

anak tiba-tiba bisa mendapatkan obstruksi saluran pernapasan, biasanya pada

malam hari sebelum menjelang tidur, serangan terjadi sebentar kemudian kembali

normal.

b. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Kegawatan

Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat

keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori:

1) Ringan

Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-kadang muncul, Stridor

yang tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak beraktivitas atau tidak ada

kegiatan dan teradapat retraksi dada ringan.

2) Moderat/Sedang

Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, Stridor lebih bisa

mendengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas, retraksi dinding dada

yang sedikit terlihat, tetapi tanpa gangguan pernapasan yaitu gawat napas

(repiratory distress).

Page 6: LP CROUP

3) Berat

Ditandai dengan sering batuk menggonggong yang sering timbul, Inspirasi stridor

lebih bisa mendengar saat aktivitas pasien atau kurang istirahat, akan tetapi, lebih

terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang disertai dengan

stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, juga terdapat gangguan pernapasan.

4) Gagal napas mengancam

Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor positif (kadang sangat jelas ketika pasien

beristirahat), terdapat sedikit gangguan kesadaran (letargi), dan kelesuan.

5. Patofisiologi

Infeksi virus menyebabkan radang dan edema laring serta trakea subglotis,

terutama daerah didekat kartilago krikoid. Secara histologi lokasi yang terinfeksi

menampilkan gambaran bengkak dengan infiltrasi sel yang terletak di lamina propria,

submukosa, dan adventisia. Infiltrasi tersebut mengandung limfosit, histiosit, sel plasma,

dan neutrofil. Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi

langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar terjadi

partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di laryngotrakeitis,

laryngotrakeobronkitis dan laryngotrakeobronkopneumonia biasanya dimulai dari

nasofaring atau oropharynx yang turun ke laring dan trakea setelah masa inkubasi 2-8

hari.

Virus tersebut akan mengaktifkan sekresi klorida dan menghambat penyerapan

natrium di epitel trakea sehingga akan terjadi edema saluran nafas. Pembengkakan yang

terjadi secara signifikan akan mengurangi diameter saluran nafas, sehingga membatasi

aliran udara. Hasil penyempitan inilah yang akan bermanifestasi sebagai batuk

mengonggong, stridor, dan retraksi dinding dada. Selain itu akan teradi kerusakan endotel

dan hilang fungsi silia sehingga terkumpul eksudat yang akan menyumbat trakea.

Timbulnya suara serak karena adanya edema pita suara. Difusi peradangan yang

menyebabkan eritema dan edema dinding mukosa dari saluran pernapasan. Laring adalah

bagian tersempit saluran pernafasan atas, yang membuatnya sangat suspectible untuk

terjadinya obstruksi.

Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan

mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm akan

Page 7: LP CROUP

menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan 75% pada

bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan mobilitas pita suara.

Edema pada daerah subglottis juga dapat menyebabkan gejala sesak napas.

Jalan napas karena turbulensi udara menyebabkan peradangan yang menyebabkan

penyempitan, stridor diikuti retraksi dinding dada dapat terjadi (selama inspirasi). Di

daerah Laryngotrakeitis edematous akut, ada histologis mengandung infiltrat selular di

lamina propria, submukosa dan adventisia. Infiltrat ini berisi histiosit, limfosit, sel

plasma, dan neutrofil. Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak

teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada

keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas.

6. Tanda dan Gejala

Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor

inspiratoir. Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam kondisi yang

sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala obstruksi

saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan batuk

menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai

7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan

takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks

dapat ditemukan retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrial.

Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia

bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang berat

dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi setelah 7-

14 hari. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di

tempat tidur atau digendong.

Sistem Skoring Croup telah dikembangkan untuk membantu dokter dalam menilai

tingkat gangguan pernapasan. Salah satu croup keparahan skor penilaian yang paling

sering dikutip adalah skor Westley. Meskipun banyak digunakan untuk tujuan penelitian

dan evaluasi protokol pengobatan, keuntungan klinisnya belum diteliti secara luas. Skor

Westley mengevaluasi keparahan croup dengan menilai 5 faktor berikut, dengan rentang

skor 0 sampai 17:

Page 8: LP CROUP

a. Stridor inspirasi :

Tidak ada 0 poin

Setelah agitasi 1 poin

Pada saat istirahat 2 poin

b. Retraksi :

Tidak ada 0 poin

Ringan 1 poin

Sedang 2 poin

Berat 3 poin

c. Masuknya udara

Normal 0 poin

Penurunan ringan 1 poin

Penurunan dengan gejala 2 poin

d. Sianosis

Tidak ada 0 poin

Setelah agitasi 4 poin

Pada saat istirahat 5 poin

e. Tingkat kesadaran

Normal, termasuk tidur 0 poin

Menurun 5 poin

Menurut skor Westley, skor kurang dari 3 merupakan penyakit croup ringan; skor

3-6 merupakan penyakit croup sedang; dan skor lebih besar dari 6 merupakan penyakit

croup berat. Penyakit croup ringan terdiri dari sesekali batuk menggonggong, tidak ada

stridor saat istirahat, retraksi suprasternal dan atau subkostal ringan atau tidak ada sama

sekali. Penyakit croup ringan termasuk sering batuk, stridor terdengar saat istirahat, dan

retraksi terlihat, tetapi sedikit kesusahan atau agitasi. Penyakit croup berat terdiri dari

sering batuk, stridor menonjol saat inspirasi dan kadang-kadang ekspirasi, retraksi

mencolok, penurunan masuknya udara pada saat auskultasi, dan kesusahan yang tampak

sekali disertai agitasi. Adanya kelesuan, sianosis, menurunnya frekuensi nafas merupakan

tanda akan terjadinya gagal nafas.

Page 9: LP CROUP

Perbandingan antara viral croup (laringotrakeobronkitis) dan spasmodic croup

(spasmodic cough) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel perbandingan antara Viral croup dan Spasmodic croup

Karakteristik Viral Croup Spasmodic Croup

Usia 6 bulan – 6 tahun 6 bulan – 6 tahun

Gejala prodromal Ada Tidak jelas

Stridor Ada Ada

Batuk Sepanjang waktu Terutama malam hari

Demam Ada (tinggi) Bisa ada, tidak tinggi

Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam

Riwayat keluarga Tidak ada Ada

Predisposisi asma Tidak ada Ada

7. Komplikasi

Sebagian besar anak-anak sembuh dari croup tanpa komplikasi. Jarang penyakit

croup memancing infeksi sekunder (infeksi bakteri) pada saluran nafas atas atau

pneumonia. Munculnya dehidrasi lebih disebabkan oleh asupan cairan yang tidak

memadai saat anak sakit. Anak-anak yang lahir prematur atau yang memiliki riwayat

penyakit paru-paru (seperti asma) atau penyakit neuromuskuler (seperti cerebral palsy)

lebih mungkin untuk berkembang menjadi gejala croup yang lebih berat dan sering

memerlukan rawat inap. Namun, croup disease jarang menyebabkan komplikasi jangka

panjang.

Komplikasi yang dapat timbul adalah perlunya pemasangan intubasi pada

sejumlah kecil pasien (<1%). Bacterial tracheitis dapat memperburuk keadaan pasien

croup. Henti kardiopulmoner dapat timbul pada pasien yang tidak dimonitor dan tidak

diterapi secara adekuat. Pada keadaan hipoksia dan hiperkapnea dapat terjadi gagal napas

atau bahkan juga terjadi henti napas. Timbulnya pneumonia yang merupakan komplikasi

dari croup yang jarang terjadi (Alberta Medical Association, 2008).

8. Tes Diagnostik

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak

perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis,

gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3

Page 10: LP CROUP

yang didominasi PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan diagnosis croup

sindrom ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis dan CT-Scan.

Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis (seperti menara / steeple

sign) pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak yang ireguler pada trakea

foto lateral, serta peumonia bilateral. Tanda menara terlihat pada radiografi

anteroposterior jaringan lunak leher. Konvektivitas lateral normal trakea subglottic

hilang, dan penyempitan lumen subglottic menghasilkan konfigurasi V terbalik di daerah

ini. Titik dari V terbalik pada tingkat margin inferior pita suara yang benar. Penyempitan

dari lumen subglottic mengubah tampilan radiografi dari kolom udara trakea, yang

menyerupai atap bernada tajam atau menara gereja. Mukosa pada tingkat ini memiliki

lampiran longgar. Tanda menara dihasilkan oleh adanya edema pada trakea, yang

menghasilkan elevasi mukosa trakea dan hilangnya memikul normal (Convexities lateral)

dari kolom udara.

Pada pemeriksaan radiologis leher posisi posterior-anterior ditemukan gambaran

udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan kolumna

subglotis. Akan tetapi, gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai pada 50% kasus

saja. Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai diagnosis

bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran napas atas dapat

dijumpai sebagai berikut:

a. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-camping.

b. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.

c. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol.

Pada pemeriksaan CT scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi

pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia di

bawah 6 bulan atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan

bila pada gambaran radiologis dicurigai adanya massa2.

9. Penatalaksanaan Medis

a. Terapi Suportif

Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang tua yang

merasa khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit

Page 11: LP CROUP

gawat darurat. Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang

penyakit yang secara alami dapat sembuh sendiri ini.

1) Melembabkan Udara (Penguapan)

Pada abad ke-20 terapi dengan melembabkan udara (terapi uap) merupakan dasar

dari manajemen croup, tetapi sekarang ini efektivitasnya masih dipertanyakan.

Rumah sakit saat ini menggunakan peralatan penguapan untuk tujuan ini. Cara

yang sederhana termasuk memaparkan anak pada udara malam yang basah, atau

memaparkan anak pada uap air yang panas.

2) Oksigen

Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia.

3) Gabungan Oksigen-Helium

Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya

sebagai gas dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan

turbulensi udara pada penyempitan saluran pernapasan (Alberta Medical

Association, 2008).

b. Farmakoterapi

1) Analgesik/Antipiretik

Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau antipiretik

pada anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini karena membuat

anak lebih nyaman dengan menurunkan demam dan nyeri.

2) Antitusif dan Dekongestan

Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam

menunjukkan keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak dengan

croup. Lagipula, tidak ada dasar yang rasional dalam penggunaannya, dan karena

itu tidak diberikan pada anak yang menderita croup.

3) Antibiotik

Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak dengan

croup. Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus, sehingga

secara empiris terapi antibiotik tidak rasional. Lagipula, jika terjadi super infeksi

–paling sering bacterial tracheitis dan pneumonia- merupakan kejadian yang

Page 12: LP CROUP

jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga pemakaian antibiotik untuk profilaksis juga

tidak rasional.

4) Epinephrine

Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup

berat, dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat

mengurangi distres pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam waktu

2 jam setelah penggunaan. Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif

menyarankan pasien yang mendapat terapi epinephrine dapat dipulangkan selama

gejalanya tidak timbul kembali setidaknya dalam 2-3 jam setelah terapi.

Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara

berulang. Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan

dibeberapa unit perawatan intensif anak.

5) Glucocorticoids

Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan

penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian

intubasi, reintubasi, angka dan durasi dirawat di rumah sakit, dan angka

kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan, serta menurunkan durasi gejala pada

anak yang menderita gejala derajat ringan, sedang dan berat (Alberta Medical

Association, 2008). Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau

parenteral. Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya

digunakan. Pemberiannya dapat diulang dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat

beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis rendah 0,15 mg/kg

BB juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis dengan kontrol,

yang memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi, memberikan respon klinis

yang baik pada sebagian besar pasien

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Keluhan Utama

Alloanamnesis dari orang tua/ pengasuh anak, biasanya mengeluhkan gangguan

pernapasan seperti sesak napas.

Page 13: LP CROUP

b. Pemeriksaan Fisik

Kunci utama fokus pemeriksaan yaitu:

1) Terdengarnya suara batuk seperti anjing laut

2) Suara sering kali parau

3) Variasi derajat dari stridor, terutama saat inspirasi

4) Variasi derajat retraksi dinding dada

5) Anak sering menjadi gelisah (agitasi)

6) Tidak adanya air liur

7) Gambaran non-toksik

Temuan lain yang diperoleh dari pemeriksaan fisik berupa:

1) Demam (sampai 400C)

2) Takikardia (dengan gejala obstruksi yang lebih berat)

3) Takipnea yang sedang (biasanya <>

4) Jika daerah supraglotis dapat dilihat, tampak gambaran yang normal

c. Riwayat Kesehatan

1) Riwayat penyakit sekarang

2) Riwayat penyakit dahulu

3) Riwayat penyakit keluarga

4) Riwayat kehamilan ibu

5) Riwayat persalinan

6) Riwayat imunisasi

7) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

8) Riwayat lingkungan dan perumahan

2. Diagnosa Keperawatan

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi bronchial, saluran

pernapasan

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi oksigen.

c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan sesak napas, penurunan inspirasi.

d. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi-inflamasi.

e. Kecemasan berhubungan dengan proses penyakit.

f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi.

Page 14: LP CROUP

3. Intervensi

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi bronchial, saluran

pernapasan.

Tujuan: Dalam perawatan 3 x 24 jam jalan napas bersih dan efektif.

Kriteria evaluasi:

1) Bunyi napas bersih, tidak ada bunyi napas tambahan.

2) Tanda vital dalam batas normal terutama frekuensi napas < 60x/menit.

3) Batuk efektif.

4) Sianosis tidak ada.

5) Tidak ada retraksi sternum dan intercostal space.

6) Nafas cuping hidung tidak ada.

Intervensi Rasional

1) Kaji frekuensi, kedalaman

pernapasan dan pergerakan

dada.

2) Auskultasi area paru, catat

penurunan atau tak ada aliran

udara dan bunyi napas.

3) Penghisapan sesuai indikasi.

4) Evaluasi status mental, catat

adanya kebingungan,

disorientasi.

5) Kolaborasi dalam pemberian

obat mukolitik, bronkodilator

1) Takipnea, pernafasan dangkal sering

terjadi karena ketidaknyamanan.

2) Penurunan aliran darah terjadi pada area

konsolidasi dengan cairan, krakels

terdengar sebagai respon terhadap

pengumpulan cairan/secret.

3) Merangsang batuk atau pembersihan

jalan nafas secara mekanik pada pasien

yang tidak mampu melakukan batuk

efektif karena adanya penurunan tingkat

kesadaran.

4) Menurunnya perfusi otak dapat

menyebabkan perubahan sensorium

5) Obat mukolitik membantu untuk

mengencerkan sekret, bronkodilator

mengurangi edema dan sebagai vaso

dilatasi bronkus

Page 15: LP CROUP

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi O2.

Tujuan: Dalam perawatan 3 x 24 jam pertukaran gas efektif.

Kriteria evaluasi:

1) Hasil AGD dalam batas normal. .

2) Sianosis tidak ada.

3) Pasien tidak pucat.

Rasional Intervensi

1) Kaji frekuensi dan kedalaman

pernapasan. Catat adanya

upaya pernapasan seperti

dispnea, penggunaan otot

bantu pernapasan

2) Pertahankan pemberian

oksigen Head box sesuai

indikasi.

3) Kolaborasi dalam

pemeriksaan laboratorium

(AGD ).

1) Kecepatan dan upaya mungkin meningkat

karena nyeri, penurunan volume sirkulasi.

Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi

abnormal dapat mencegah komplikasi.

2) Meningkatkan pengiriman oksigen ke otak

untuk kebutuhan sirkulasi.

3) Untuk memantau kefektifan terapi

pernapasan dan mencatat terjadinya

komplikasi.

d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan sesak napas, penurunan inspirasi..

Tujuan : Dalam perawatan 3 x 24 jam, perfusi jaringan tidak terganggu.

Kriteria hasil:

1) Suara nafas bersih, wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada.

2) Tanda vital dalam batas normal, denyut nadi teraba jelas.

3) Tidak sianosis, kulit tidak pucat, CRT<3 detik.

4) Akral hangat.

5) Tidak terjadi penurunan kesadaran.

Intervensi Rasional

1) Kaji frekuensi, kedalaman

bernapas dan suara nafas.

1) Takipnea, pernapasan yang dangkal sering

terjadi karena ketidaknyamanan gerakan

dinding dada dan atau cairan paru.

Page 16: LP CROUP

2) Tempatkan pasien dalam

incubator.

3) Pantau tanda vital

.

4) Pantau tingkat kesadaran .

5) Pantau tanda-tanda sianosis,

warna kulit, akral perifer.

6) Kolaborasi: pertahankan

pemberian O2 sesuai indikasi

(Head box 5-10 lt/mnt).

7) Kolaborasi pemeriksaan darah

lengkap.

2) Mempertahankan suhu tubuh pasien,

mencegah hipotermia, memperbaiki

metabolisme jaringan.

3) Abnormalitas tanda vital terus menerus

memerlukan evaluasi lebih lanjut dan

mengetahuai perubahan sesegera mungkin.

4) Kekurangan aliran oksigen ke otak dapat

menyebabkan hipoksia sel-sel otak,

kematian jaringan otak dan terjadinya

penurunan tingkat kesadaran

5) Sianosis, kulit pucat, akral dingin adalah

salah satu tanda hipoksia jaringan yang

berat akibat perfusi yang tidak adekuat.

6) PaO2 di atas 90 mmHg.

7) Hb yang rendah (<10 gr/dl)

mempengaruhi suplay oksigen ke jaringan.

4. Evaluasi

Sesuai dengan kriteria hasil yaitu bersihan jalan nafas efektif, tidak terjadi

kerusakan pertukaran gas, perfusi jaringan adekuat, tidak terjadi hipertermi, kecemasan

teratasi, dan pengetahuan bertambah.

Page 17: LP CROUP

DAFTAR PUSTAKA

Dominic, A. dan Fitzgerald, Henry A.. (2003). Croup: Assesment and Evidence-Based

Management. Medical, Journal The Australia. MJA 2003; 179 (7) : 372-377

IDAI. (2008). Croup (Laringotrakeobronkitis akut), Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama.

Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Junqeira, L.C. & Jose, Carneiro. (2008). Basic Histology. California: Lange Medical

Publications.

Roosevelt, G. E. (2007). Inflamasi akut obstruksi jalan napas atas (batuk, epiglottitis, laringitis,

dan trakeitis bakteri). dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, BF Stanton. Nelson

Textbook of Pediatrics.18 ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.

Sindroma Croup, Penyakit Respirologi, Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi III, Buku satu,

RSUD dr. Soetomo Surabaya: 2008. p 57-61

Van De Graaff, K.M. (2006). Concepts of Human Anatomy and Physiology. 5th-ed. USA: MC

Graw Hill Companies, Inc.