Upload
ayu-ristanti
View
238
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
askewp
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
Oleh Kelompok :
Dewa Ayu Agung Getsusita (13C10966)
Ni Luh Putu Novi Sri Dewi (13C10980)
Ni Made Pina Sakawati (13C10983)
Simon Diandari (13C10990)
Ni Kadek Suari Paramita (13C10993)
Dewa Ayu Surya Damayanti (13C10996)
Kelas /Semester : IIA / IV
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan BALI
Ajaran 2014/20151
LAPORAN PENDAHULUAN
PRILAKU KEKERASAN
A. Tinjauan Teori
1. Konsep Dasar Skizofrenia
a. Pengertian
Seorang psikiater Swiss, Eugen Bleuler, memperkenalkan istilah
Skizofrenia yang berasal dari bahasa Yunani schizos artinya terbelah,
terpecah, dan phren artinya pikiran. Secara harfiah, skizofrenia berarti
pikiran/jiwa yang terbelah/terpecah. Bleuler lebih menekankan pola
perilaku, yaitu tidak adanya integrasi otak yang mempengaruhi pikiran,
perasa, dan afeksi. Dengan demikian tidak ada kesesuaian antara pikiran
dan emosi, antara persepsi terhadap kenyataan yang sebenarnya.
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau
kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran,
emosi, dan perilaku pasien yang terkena. Perpecahan pada pasien
digambarkan dengan adanya gejala fundamental (primer) spesifik, yaitu
gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya
kelonggaran asosiasi. Gejala fundamental lainnnya adalah gangguan
afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah
waham dan halusinasi (Kaplan, 2004).
Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikologi dengan gangguan
dasar pada kepribadian dan distorsi khas proses pikir yang ditandai dengan
proses pikir penderita yang lepas dari realita sehingga terjadi perubahan
kepribadian seseorang yang reversible dan menuju kehancuran serta tidak
berguna sama sekali ( Dep. Kes. , 1995 ). Terjadinya serangan skizofrenia
pada umumnya sebelum usia 45 tahun dan berlangsung paling sedikit 1
bulan. Penderita skizofrenia banyak ditemukan dikalangan golongan
ekonomi rendah , sehingga hal ini diperkirakan merupakan factor
predisposisi penyebab timbulnya skizofrenia (Dep. Kes., 1995 ).
b. Etiologi
2
Teori tentang penyebab skizofrenia, yaitu:
1) Diathesis-stres model
Teori ini menggabungkan antara faktor biologis, psikososial, dan
lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang
sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia.
Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh secara dinamis
(Kaplan, 2004).
2) Faktor biologis
Dari faktor biologis dikenal suatu hipotesis dopamin yang
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh aktivitas
dopaminergik yang berlebihan di bagian kortikal otak dan berkaitan
dengan gejala positif dari skizofrenia. Penelitian terbaru juga
menunjukkan pentingnya neurotransmitter lain termasuk serotonin,
norepinefrin, glutamate, dan GABA. Selain perubahan yang sifatnya
neurokimiawi, penelitian menggunakan CT scan ternyata ditemukan
perubahan anatomi otak seperti pelebaran lateral ventrikel, atrofi
korteks atau atrofi otak kecil (cerebellum) terutama pada penderita
skizofrenia kronis (Kaplan, 2004)
3) Genetika
Faktor genetika telah dibuktikan secara meyakinkan. Resiko
masyarakat umum 1%, pada orang tua resiko 5%, pada saudara
kandung 8%, dan pada anak 12% apabila salah satu orang tua
menderita skizofrenia, walaupun anak telah dipisahkan dari orang
tua sejak lahir, anak dari kedua orang tua skizofrenia 40%. Pada
kembar monozigot 47%, sedangkan untuk kembar dizigot sebesar
12% (Kaplan, 2004)
4) Faktor psikososial
3
a) Teori perkembangan
Ahli teori Sullivan dan Erikson mengemukakan bahwa
kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih saying di
tahun-tahun awal kehidupan berperan dalam menyebabkan
kurangnya identitas diri, salah interpretasi terhadap realitas dan
menarik diri dari hubungan social pada penderita skizofrenia
(Sirait, 2008)
b) Teori belajar
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang
menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir
irasional orang tua yang mungkin memiliki masalah emosional
yang bermakna. Hubungan interpersonal yang buruk dari
penderita skizofrenia akan berkembang karena mempelajari
model yang buruk selama anak-anak (Sirait, 2008).
c) Teori keluarga
Tidak ada teori yang terkait dengan peran keluarga dalam
menimbulkan skizofrenia. Namun beberapa penderita
skizofrenia berasal dari keluarga yang disfungsional (Sirait,
2008).
c. Tanda dan Gejala
1) Gejala-gejala skizofrenia
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:
a) Gejala positif
(1)Delusi atau waham
Suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal).
Meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa keyakinannya
itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.
(2) Halusinasi
4
Pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus).
Misalnya penderita mendengar suara-suara/ bisikan-bisikan di
telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/ bisikan itu.
(3) Kekacauan alam pikiran
Dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya
kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
(a) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif,
bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.
(b) Merasa dirinya ”Orang Besar”, merasa serba mampu dan
sejenisnya.
(c) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada
ancaman terhadap dirinya.
(d) Menyimpan rasa permusuhan.
b) Gejala negatif
(1) Alam perasaan (affect) ”tumpul” dan ”mendatar”
Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang
tidak menunjukkan ekspresi.
(2) Menarik diri atau mengasingkan diri, tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain dan suka melamun.
(3) Kontak emosional amat sedikit, sukar diajak bicara dan
pendiam.
(4) Pasif dan apatis serta menarik diri dari pergaulan sosial.
(5) Sulit dalam berpikir nyata.
(6) Pola pikir steorotip.
(7) Tidak ada/ kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada
inisiatif.
d. Klasifikasi
5
Dari uraian diatas secara umum skizofrenia dibagi dalam 5 tipe atau
kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing, kriteria
pengelompokannya sebagai berikut :
1) Tipe Hebefrenik
Tipe ini disebut juga disorganized type atau kacau balau yang dimulai
dengan gejala-gejala antara lain :
a) Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti
apa maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan
tidak ada hubungannya satu dengan yang lain.
b) Alam perasaan (mood, effect) yang datar tanpa ekspresi serta tidak
serasi (incongrose) atau ketolol-tololan (silly).
c) Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan (giggling), senyum yang
menunjukan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
d) Waham ( delusion ) tidak jelas dan tidak sistimatik (terpecah) tidak
terorganisir suatu satu kesatuan.
e) Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisir
sebagai satu kesatuan.
f) Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan
gerakan-gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang
diulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik diri secara
ekstrim dari hubungan sosial .
2) Tipe Katatonik
a) Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas
terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakkan atau
aktivitas spontan sehingga nampak seperti patung, atau diam
membisu (mute).
b) Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna).
c) Negativisme katatonik yaitu suatu penolakkan yang nampaknya
tanpa motif terhadap semua perintah atau upaya untuk
menggerakkan bagian tubuh dirinya.
6
d) Kekakuan (rigidity) katatonik yaitu mempertahankan suatu sikap
kaku terhadap semua upaya untuk menggerakkan bagian tubuh
dirinya.
e) Kegaduhan katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik (otot alat
gerak) yang nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh
rangsang luar.
f) Sikap tubuh katatonik yaitu sikap ( posisi tubuh ) yang tidak wajar
atau aneh.
3) Tipe paranoid
a) Waham (delucion) kejar atau waham kebesaran, misi atau utusan
sebagai penyelamat bangsa dunia atau agama, misi kenabian atau
mesias, atau perubahan tubuh. Waham cemburu seringkali juga
ditemukan.
b) Halusinasi yang berisi kejaran atau kebeseran.
c) Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan yang
tidak menentu, kemarahan, suka bertengkar dan berdebat
kekerasan. Seringkali ditemukan kebingungan tentang identitas
jenis kelamin dirinya (gender identity) atau ketakutan bahwa
dirinya diduga sebagai seorang homoseksual atau merasa dirinya
didekati oleh orang-orang homoseksual.
4) Tipe Residual
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang
tidak begitu menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan
mendatar serta tidak serasi (innappropriate), penarikan diri dari
pergaulan sosial, tingkah laku eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak
rasional atau pelonggaran asosiasi pikiran.
5) Tipe tak tergolongkan
7
Tipe ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe-tipe yang telah
diuraikan hanya ganbaran klinisnya terdapat waham, halusinasi,
inkoherensi atau tingkah laku kacau.
2. Konsep dasar Prilaku Kekerasan
a. Pengertian
Prilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak
terkontrol (kusumawati dan hartono, Ade Herman Surya Direja, 2011)
Prilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, dalam
Ade Herman Surya Direja, 2011 )
Prilakuk kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk prilaku yang
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis
(Berkowitz, dalam Ade Herman Surya Direja, 2011)
Setiap aktivitas bila tidak dicegah dapat mengarah pada kematian
(Stuart dan Sundeen, dalam Ade Herman Surya Direja, 2011)
Suatu keadaan dimana individu mengalami prilaku yang dapat melukai
secara fisik baik terhadap diri sendiri orang lain (Towsend, dalam Ade
Herman Surya Direja, 2011).
Suatu keadaan diman klien mengalami prilaku yang dapat
membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain, dan barang-
barang (Maramis, dalam Ade Herman Surya Direja, 2011)
Prilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi prilaku kekerasan secara
verbal dan fisik (ketner et al., dalam Ade Herman Surya Direja, 2011)
Prilaku kekerasanadalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
8
maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah dan terkontrol.
(Farida Kusumawati dan Yudi Hartono, 2010: 78)
Perilaku Kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007 : 146)
Perilaku Kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Keliat, 2006 : 29)
b. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan
Gambar: Rentang respons Perilaku Kekerasan
Sumber: Keliat, Dalam Ade Herman Surya Direja (2011)
Keterangan:
1. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan keterangan.
2. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternative.
3. Pasif
Individu tidak dapat mengngkapkan perasaannya.
4. Agresif
Perilakuk yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol.
9
Ade Herman Surya Direja, 2011)Ade Herman Surya Direja, 2011)
5. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontol.
(Ade Herman Surya Direja, 2011 : 132)
PASIF ASERTIF AGRESIF
ISI
PEMBICARAAN
Negative dan
merendahkan
diri contohnya
perkataan:
“Dapatkah
saya?”
“Dapatkah
kamu?”
Positif dan
menawarkan
diri, contohnya
perkataan:
“saya dapat…”
“Saya akan…”
Menyombongkan
diri, merendahkan
orang lain
contohnya:
“kamu selalu…”
“kamu tidak
pernah…”
TEKANAN
SUARA
Cepat lambat,
mengeluh.
Sedang. Keras dan ngotot.
POSISI BADAN Menundukkan
kepala
Posisi badan
tegap dan
santai.
Kaku, condong
kedepan.
JARAK Menjaga jarak
dengan sikap
acuh/mengabaik
an.
Mempertahank
an jarak yang
nyaman.
Siap dengan jarak
menyerang orang
lain.
PENAMPILAN Loyo, tidak
dapat tenang
Sikap tenang. Mengancam,
posisi menyerang.
KONTAK
MATA
Sedikit/sama
sekali tidak
Mempertahank
an kontak mata
sesuai dengan
hubungan.
Mata melotot dan
dipertahankan.
Sumber: Keliat, dalam Ade Herman Surya Direja, (2011)
10
c. Psikopatologi
1) Etiologi
a) Faktor Predisposisi
(1) Faktor Psikologis
(a) Terdapat asumsi bahwa seseorang dalam mencapai
suatu tujuan mengalami hambatan akan timbul
dorongan agrasif yang memotivasi perilaku kekerasan.
(b) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu
dan masa kecil yang tidak menyenangkan.
(c) Rasa frustasi. Rasa frustasi akan terjadi apabila
keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau
terhambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu
berprilaku agresif karena perasaan frustasi akan
berkurang melalui prilaku kekerasan.
(d) Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, atau
lingkungan.
(e) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memebrikan kekuatan dan restise yang dapat
meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku
agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan
rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.
(f) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan
perilaku yang dipelajari, individu yang memeiliki
pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran
11
eksternal dibandingkan anak – anak tanpa faktor
predisposisi biologik.
(2) Faktor Sosial Budaya
Sesorang akan berespon terhadap peningkatan
emosionalnya secara agresif sesuai dengan respons yang
dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut Bandura bahwa
agresif tidak berbeda dengan respons – respons yang lain.
Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi dan
semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi
perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan
yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan
menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian
masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi
perilaku kekerasan.
(3) Faktor Biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus
(system limbic) ternyata menimbulkan perilaku agresif,
dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbic (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan
lobus temporal (untuk interpretasi indra penciuman dan
memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil
berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada
disekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologik ada beberapa hal
yang dapat mempengaruhi seseorang mempengaruhi
seseorang melakuakan kekerasan, yaitu sebagai berikut:
12
(a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system
neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi
dan menghambat inpuls agresif. System limbic sanagat
terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
bermusuhan dan respons agresif.
(b) Pengaruh biokimia menurut Goldstein dalam Townsend
(1996) menyatakan bahwa berbagai neurotrasmiter
(epineprin, norepineprin, dopamine, asetilkolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Peningkatan androgen dan
norepineprin serta penurunan serotonin GABA (6 dan 7)
pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi
penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif
pada seseorang
(c) Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif
sangat erat kaitannya dengan genetic termasuk genetic
tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh
penghuni penjara tindak criminal (narapidana).
(d) Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan
dengan berbagai gangguan selebral, tumor otak
(khususnya pada limbic dan lobus temporal), trauma
otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsy lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tindak kekerasan.
(Ade Herman Surya Direja, 2011 : 134)
b) Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa
terancam, baik berupa injuri fisik, psikis, atau ancaman konsep
13
diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut:
1) Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan,
kehidupan yang penuh dengan agresif, dan masa lalu
yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang
berarti, konflik, merasa terancam baik internal dari
permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari
lingkungan.
3) Lingkungan: panas, padat, dan bising.
Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal – hal yang
dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara
lain sebagai berikut:
1) Kesulitan kondisi sosial ekonomi
2) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3) Ketidak siapan seorang ibu dalam merawat ananknya dan
ketidak mampuan dalam menempatkan diri sebagai orang
yang dewasa.
4) Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alcohol serta tidak mampu
mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.
5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.
(Ade Herman Surya Direja, 2011 : 136)
14
4) Tanda dan gejala
a) Fisik
Mata melotot / pandangan tajam, tangan mengepal, rahang
mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh
kaku.
b) Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara
dengan nada keras, kasar, ketus.
c) Prilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri / orang lain,
merusak lingkungan, amuk/agresif.
d) Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusushan, mengamuk,
ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
e) Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak
jarang mengeluarkan kata – kata bernada sarkasme.
f) Spiritual
Menrasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragua – raguan,
tidak bermoral, dan kreativitas terhambat.
g) Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindiran.
h) Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan sosial.
(Ade Herman Surya Direja, 2011 : 132)
15
d. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga
dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
konstuktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping
yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Prilaku yang berkaitan dengan prilaku kekerasan antara lain :
1) Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respon fisiologi timbul karena kegiatan system saraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin yang menyebabkan
tekanan darah meningkat, takikardi, wajah memerah, pupil melebar,
mual, sekresi HCL meningkat, peristaltic gaster menurun, pengeluaran
urin dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat,
tangan mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
2) Menyatakan secara asertif
Prilaku yang ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan prilaku pasif, agresif dan asertif. Prilku
asertif adalah cara yang terbaik, individu dapat mengespresikan rasa
marahnya tanpa menyakiti orang lain. Secara fisik maupun psikologis
dan denga prilaku tersebut individu juga dapat mengembangkan diri.
3) Membrontak
Prilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik prilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
4) Prilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan.
(Ade Herman Surya Direja, 2011 : 137)
16
e. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi somatik
Menurut lain (Yosep, 2007 : 152) menerangkan bahwa terapi somatik
adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan merubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku
adaptif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik
klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien. Jenis terapi somatik pada
klien gangguan jiwa antara lain :
a) Pengikatan
Pengikatan adalah terapi dengan menggunakan alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik klien. Terapi ini bertujuan
untuk melindungi klien dan orang lain dari cedera fisik. Walaupun
pengikatan merupakan terapi yang membatai mobilitas fisik klien
tetapi hal yang paling perlu selalu diingat bahwa pengikatan
bukanlah untuk menghukum klien, pengikatan harus disadari benar
sebagai upaya untuk membantu klien mengendalikan perilaku yang
tidak dapat dikendalikan sendiri oleh klien.
b) Isolasi
Isolasi adalah bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri di
ruangan tersendiri. Terapi ini diidentifikasikan untuk klien yang
tidak mampu mengendalikan perilakunya yang tidak bisa
dikendalikan dengan cara yang lain. Tujuannya adalah melindungi
klien, orang lain dan lingkungan dari bahaya potensial yang
mungkin terjadi. Walaupun isolasi merupakan tindakan yang sangat
afektif untuk mengendalikan perilaku klien yang tidak terkendali
akan tetapi tidak dianjurkan pada klien yang beresiko bunuh diri,
klien yang mengalami agitasi yang disertai dengan gangguan
pengaturan suhu tubuh akibat obat, serta klien dengan perilaku
sosial yang menyimpang
Prosedur isolasi sebagai berikut :
17
1) Tunjuk seorang pimpinan
2) Perlihatkan kepada klien kekuatan yang ada (jumlah perawat
yang ada)
3) Buat rancangan yang tepat, siapkan lingkungan, ruangan yang
digunakan untuk mengisolasi klien.
4) Komunikasi antara perawat jelas, sehingga instruksi juga jelas
5) Tangkap klien tanpa menyakiti
6) Kendalikan perilaku agresif klien
7) Pindahkan klien ke ruang isolasi
8) Ganti pakaian klien dengan pakaian yang nyaman, pindahkan
benda-benda yang membahayakan dari ruang klien
9) Buat rencana asuhan keperawatan lanjutan.
Setelah klien berada pada ruangan isolasi maka tindakan
keperawatan dilakukan sebagai berikut :
1) Bantu klien memenuhi kebutuhan dasarya (makan, minum,
BAB, BAK, lingkungan yang nyaman)
2) Observasi sesering mungkin
3) Pertahankan komunikasi verbal
4) Catat dan dokumentasikan hasil observasi
5) Beri umpan balik kepada klien tentang perilakunya sehingga
klien menyadari alas an dan tujuan adanya isolasi
6) Tetap berikan terapi yang lain untuk menenangkan klien
7) Segera melepas klien dari ruangan isolasi jika perilakunya
mulai terkendali
8) Tetap pertahankan kontak dengan klien
c) Terapi kejang listrik (ECT)
Terapi kejang listrik atau elektronik colvusive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui ektroda yang ditempatkan
pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya untuk menangani
18
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali tetapi biasanya dilaksanakan
adalah tiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali). Walaupun sebagai
ECT cukup aman. Akan tetapi ada beerapa kondisi merupakan
kontra indikasi diberikan terapi ECT.
Kondisi – kondisi klien yang kontra indikasi terebut adalah:
1) Tumor intra kranial, karena ECT dapat meningkatkan
tekanan intra kranial.
2) Akan mengakibatkan keguguran pada kehamilan
3) Osteoporosis, karena timbulnya grand mall dapat berakibat
terjadinya praktur tulang.
4) Infark miokardium, dapat terjadi henti jantung
5) Asma broncial, karena ECT dapat memperberat peyakit
d) Foto terapi
Foto terapi atau terapi sinar adalah terapi somatic pilihan. Terapi ini
diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang 5-20 kali
lebih terang dari pada sinar ruangan. Klien biasanya duduk, mata
terbuka, 1,5 meter di depan klien di letakkan lampu setinggi mata.
Terapi sinar sangat bermanfaat dan menimbulkan efek yang positif.
Kebanyakan klien membaik setelah 3-5 hari tetapi bisa kambuh lagi
segera setelah terapi dihentikan. Keuntungan yang lain klien tidak
akan mengalami toleransi terhadap terapi ini. Bahkan bisa tersedia
peralatan ini bisa diberikan di rumah.
e) Terapi deprivasi tidur
Terapi deprivasi tidur adalah terapi yang diberikan kepada klien
dengan cara mengurangi jumlah jam tidur klien. Terapi ini cocok
diberikan pada klien depresi.
19
B. Asuhan Keperawatan Teoritis Prilaku Kekerasan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan
atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis,
sosial, dan spiritual
(Direja, 2011, hal. 36)
a. Pengumpulan data
1) Identitas Klien dan penanggung Jawab
Pada identitas mencakup Initial, Umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, suku bangsa, agama, alamat dan hubungan dengan
penanggung.
2) Alasan dirawat
Alasan dirawat meliputi: keluhan utama dan riwayat penyakit, keluhan
utama berisi tentang sebab klien atau keluarga datang kerumah sakit
dan keluhan klien saat pengkajian. Pada riwayat penyakit terdapat
faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Pada faktor predisposisi
dikaji tentang faktor-faktor pendukung klien untuk melalukan prilaku
kekerasan. Faktor presipitasi dikaji tentang faktor pencetus yang
membuat klien melakukan prilaku kekerasan
3) Pemeriksaan Fisik
Pengkajian/pemeriksaan fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ
tubuh dan kondisi fisik (dengan cara observasi, auskultasi, palpasi,
perkusi dan hasil pengukuran) dalam pengukuran dilakukan
pengukuran tanda-tanda vital
4) Pengkajian Psikososial
Pengkajian pada aspek psikososial dapat dilakukan pada genogram,
konsep diri, hubungan sosial dan aspek spiritual
a) Genogram
Genogram dapat dikaji melalui 3 jenis kajian yaitu :
20
(1) Kajian adopsi : yang membandingkan sifat antara anggota
keluarga biologis/satu keturunan dengan keluarga adopsi
(2) Kajian kembar : yang membandingkan sifat antara anggota
keluarga yang kembar identik secara genetik dengan
saudara yang tidak kembar.
(3) Kajian keluarga : yang membandingkan apakah suatu sifat
banyak kesamaan antara keluarga tinggkat pertama(seperti
orang tua, saudara kandung) dengan keluarga yang lain.
b) Konsep Diri
(1) Citra Tubuh
Yaitu sikap, persepsi masa lalu atau saat ini tentang
ukuran, penampilan, fungsi dan potensi tubuh, serta
pengetahuan individu secara sadar atau tidak sadar
terhadap tubuhnya. Ini merupakan persepsi klien
terhadap tubuhnya, bagian tubuhnya yang paling
disukai dan tidak disukai
(2) Identitas Diri
Merupakan kesadaran klien untuk menjadi diri sendiri
yang tidak ada duanya dengan mensintesa semua
gambaran diri sebagai satu kesatuan utuh dan perasaan
berbeda dengan orang lain. Ini merupakan bagaimana
persepsi tentang status dan posisi klien sebelum
dirawat, kepuasan klien terhadap status/posisi tersebut
(sekolah, pekerjaan, kelompok, keluarga, lingkungan
masyarakat sekitarnya) kepuasan klien sebagai laki-laki
atau perempuan (gender)
(3) Peran
Yaitu pola sikap, prilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan dari seseorang berdasarkan posisisnya
dalam keluarga, kelompok, dimasyarakat dan
21
bagaimana kemampuan klien dalam melaksnakan
tugas/perannya tersebut.
(4) Ideal Diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia harus berprilaku
sesuai dengan standar personal. Ideal diri dapat berupa
gambaran individu yang disukai, tujuan atau nilai yang
diinginkan. Ini merupakan bagaimana harapan klien
terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas atau peran dan
harapan klien terhadap lingkungan.
(5) Harga Diri
Penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa sejauh mana perilaku mencapai ideal diri.
Pencapain cita-cita yang gagal akan menimbulkan HDR
(harga diri rendah) yaitu perasaan negative terhadap diri
sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga
diri.Sebaliknya pencapaian cita-cita yang sukses akan
menimbulkan HDT (harga diri tinggi). Harga diri tinggi
merupakan perasaan yang berakar dalam menerima
dirinya tanpa syarat, meskipun telah melakukan
kesalahan, kekalahan dan kegagalan, ia tetap merasa
sebagai orang penting dan berharga.
c) Hubungan Sosial
(1) Orang yang Terdekat
Siapa orang yang berarti dalam kehidupan klien, tempat
mengadu, bicara, minta bantuan baik secara material
maupun secara non-material.
(2) Peran Serta Dalam kegiatan Kelompok atau Masyarakat
klompok apa saja yang diikuti klien dilingkungannya
dan sejauh mana klien terlibat.
22
(3) Hambatan dalam hubungan dengan orang lain
Hambatan apa saja yang dialami klien dalam
berhubungan dengan orang lain/kelompok tersebut.
d) Spiritual
Mengkaji aspek spiritual klien yang meliputi:
(a) Agama serta keyakinan yang dianut klien/keluarganya.
Bagaimana nilai, norma, pandangan dan keyakinan diri
klien, keluarga dan masyarakat setempat tentang gangguan
jiwa sesuai dengan norma budaya dan agama yang dianut.
(b) Kegiatan keagamaan, ibadah dan kegiatan keagamaan apa
saja yang dilakukan klien dirumah/ dilingkungan
sekitarnya baik secara individu maupun kelppmpok serta
pendapat klien/keluarga tentang ibadah tersebut.
5) Pengkajian status mental
Pengkajian pada status mental dapat dilakukan pada penampilan,
pembicaraan, aktivitas motorik, afek emosi.
a) Penampilan
Observasi pada penampilan umum klien yang merupakan
karakteristik klien yaitu penampilan usia, cara berpakaian,
kebersihan, sikap tubuh, cara berjalan, ekskresi wajah, kontak
mata, dilatasi/konstruksi pupil, status gizi/kesehatan umum.
Pada klien dengan prilaku kemungkinan penampilan yang
ditunjukkan adalah mata melotot / pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta
postur tubuh kaku.
b) Pembicaraan
Pada pembicaraan perhatikan bagaimana pembicaraan yang
didapat pada klien, apakah cepat, keras, gagap, inkoherensi,
apatis, lambat, membisu, tidak mampu memulai pembicaraan,
23
pembicaraan berpindah-pindah dari satu kalimat kekalimat
lainnya yang tidak berkaitan,
Pada klien dengan prilaku kekerasan kemungkinan akan
berbicara dengan mengancam, mengumpat dengan kata-kata
kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, ketus.
c) Aktivitas Motorik
Aktivitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik perlu dicatat
dalam hal tingkat aktivitas (letargi, tegang, gelisah, agitasi)
jenis (tik, seringai, tremor) dan isyarat tubuh/mannerisme yang
tidak wajar
Aktivitas motorik yang mungkin dilakuakan adalah menyerang
orang lain, melukai diri sendiri / orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
d) Alam Perasaan
Yang perlu diobservasi antara lain : sedih, putus asa atau
perasaan gembira yang berlebih, ketakukan dan khawatir
e) Afek
Adapun beberapa gangguan afek dan emosi adalah sebagai
berikut :
(1) Depresi yaitu keadaan psikologis (dengan manifestasi rasa
sedih, susah, rasa tak berguna, gagal, kehilangan, rasa
berdosa, putus asa, penyesalan tak ada harapan)
(2) Ketakutan/takut yaitu afek emosi terhadap objek yang
ditakuti sudah jelas.
(3) Khawatir, cemas, ansietas yaitu ketakutan pada sesuatu
objek yang belum jelas atau keadaan tidak enak/tidak
nyaman yang tidak jelas penyebabnya. Jenis cemas antara
lain : kecemasan mengambang/free floating anxietas,
agitasi, panik atau kecemasan hebat dengan kegelisahan.
24
(4) Anhedoneia yaitu tidak timbul perasaan senang dengan
aktivitas yang biasanya menyenangkan bagi dirinya.
(5) Euforia yaitu rasa senang, riang, gembira, bahagia, yang
berlebihan yang tidak sesuai dengan keadaan. Elasa adalah
bentuk euforia yang lebih hebat dan Exaltasi atau extaci
adalah suatu bentuk euforia yang sangat hebat.
(6) Kesepian adalah merasa dirinya ditinggalkan/dipisah-kan
dari atau oleh yang lainnya.
(7) Kedangkalan/tumpul/datar adalah kemiskinan afek/ emosi
secara umum atau kuantitas, tidak ada perubah-an dalam
roman muka pada saat ada stimulus yang menyenangkan
atau menyedihkan, bereaksi bila ada stimulus yang lebih
kuat.
(8) Labil adalah emosi yang secara cepat berubah-rubah,
tanpa suatu pengendalian yang baik.
(9) Tak wajar/tidak sesuai adalah emosi yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan stimulus yang ada, keadaan tertentu
secara kuantitatif atau dengan isi pembicaraan/ pikirannya.
(10) Ambivalensi adalah afek/emosi yang berlawanan dan
timbul secara bersama-sama terhadap seseorang, objek
atau kondisi tertentu.
(11) Apatis adalah berkurangnya afek/emosi terhadap sesuatu
semua hal yang disertai rasa terpencil dan tidak peduli
dengan lingkungan sekitarnya.
(12) Amarah atau kemurkaan adalah permusuhan yang bersifat
agresif, tidak realistik, menghancurkan dirinya, orang lain,
lingkungan yang sifatnya bukan untuk memecahkan suatu
masalah yang dihadapinya.
25
f) Interaksi selama wawancara
Keadaan yang ditampilkan klien saat wawancara seperti
bermusuhan, tidak kooperatif, mudah tersinggung, kontak mata
kurang (tidak mau menatap lawan bicara), defensif (selalu
berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya)
atau curiga (menunjukan sikap/perasaan tidak percaya pada
orang lain).
g) Persepsi
Gangguan pada persepsi sensorik diantaranya halusinasi, ilusi,
derealisasi, depersonalisasi, agnosia, gangguan somatosensorik.
Gangguan persepsi juga dapat memicu klien untuk melakuakan
prilaku kekerasan.
h) Proses Pikir
Gangguan pada arus dan bentuk pikir dapat dijelaskan dan
dibedakan yaitu Sirkumtansila (pikiran berputar-putar),
Tangensial yaitu pembicaraan yang berbelit-belit dan tidak
sampai pada tujuan/maksud yang dibeikan, Asosiasi longgar
(asosiasi bebas/kehilangan asosiasi) yaitu tidak ada hubungan
yang dikatakan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain.
Flight of idea (pikiran melayang) yaitu pembicaraan pada
beberapa ide-ide yang melompat-lompat. Blocking (benturan)
yaitu pembicaraan yang berhenti secara tiba-tiba tanpa adanya
gangguan secara eksternal. Perseverasi yaitu pembicaraan yang
berulang-ulang pada suatu ide, pikiran dan tema secara
berlebihan. Inkoheren (irrelevansi) yaitu pembicaraan dimana
satu kalimatpun sulit dipahami maksudnya, pembicaraan tidak
ada hubungannya dengan stimulus/pertanyaan atau hal-hal
yang sedang dibicarakan, Logorhoe yaitu banyak bicara yang
bertubi-tubi tanpa adnya kontrol yang jelas bisa koheren atau
inkoheren.
26
i) Isi Pikir
Gangguan pada isi pikir yaitu Ekstasi/extacy : isi pikiran yang
tidak dapat diceritakan yang dimanifestasikan dengan
kegembiraan, fantasi: yaitu isi pikiran tentang keadaan/kejadian
yang diharapkan/diinginkan sebagai hal-hal yang tidak nyata
sebagai pelarian terhadap keinginan yang tiddak dapat
dipenuhinya. Obsesi : isi pikiran yang telah muncul/kokoh
walaupun pasien berusaha menghilangkannya, Hipokondria :
isi pikiran yang meyakinkan adanya suatu gangguan organ
didalam tubuh yang dimanifestasikan sebagai keluhan atau
sakit secara fisik, depersonalisasi : yaitu isi pikiran yang berupa
perasaan yang aneh/asing/terhadap dirinya sendiri, orang lain
atau lingkungan sekitarnya. Mengobservasi tingkat kesadaran
klien, kesadaran dapat digambarkan sebagai berikut : Apatis
( tidak mengacuhkan terhadap rangsangan/lingkungan
sekitarnya, mulai mengantuk, Somnolensia (menganatuk dan
tidak ada perhatian sama sekali), Bingung delirium, sedasi :
(kacau, merasa melayang antara sadar dan tidak sadar), sopor
(ingatan, orientasi, pertimbangan hilang, hanya berespon
terhadap rangsangan yang keras dan kuat), stupor, subkoma,
soporoskomatus tidak ada terhadap rangsngan yang keras dan
tidak mengerti semua yang terjadi di lingkungan), koma (tidur
yang sangat dalam, beberapa reflek hilang seperti pupil,
cahaya, muntah dan dapat timbul reflek yang patologis)
j) Tingkat Kesadaran
Mengobservasi tingkat kesadaran klien, kesadaran dapat
digambarkan sebagai berikut : Apatis ( tidak mengacuhkan
terhadap rangsangan/lingkungan sekitarnya, mulai mengantuk,
Somnolensia (menganatuk dan tidak ada perhatian sama
sekali), Bingung delirium, sedasi : (kacau, merasa melayang
27
antara sadar dan tidak sadar), sopor (ingatan, orientasi,
pertimbangan hilang, hanya berespon terhadap rangsangan
yang keras dan kuat), stupor, subkoma, soporoskomatus tidak
ada terhadap rangsngan yang keras dan tidak mengerti semua
yang terjadi di lingkungan), koma (tidur yang sangat dalam,
beberapa reflek hilang seperti pupil, cahaya, muntah dan dapat
timbul reflek yang patologis)
k) Memori
Daya ingat klien atau kemampuan mengingat hal-hal yang telah
terjadi, daya ingat jangka panjang (memori masa lalu,
lama/lebih dari 1 tahun), daya ingat jangka menengah memori
yang diingat dalam 1 minggu terahir sampai 24 jam terahir,
Daya ingat jangka pendek memori yang sangat baru, tidak
dapat mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
l) Tingkat konsentrasi berhitung
Gangguan konsentrasi dan berhitung antara lain : Mudah
beralih/mudah dialihkan, mudah berganti
perhatiannya/konsentrasi dari suatu objek ke objek lainnya.
Tidak mampu berkonsentrasi, klien selalu meminta agar
pertanyaan sebelumnya diulang. Tidak mampu berhitung yaitu
tidak dapat melakukan penambahan/pengurangan angka-angka
atau benda-benda yang nyata, sederhana, banyak, rumit atau
kompleks.
m) Kemampuan Penilaian
Data yang perlu dikaji melalui wawancara antara lain:
Gangguan ringan yaitu bilamana gangguan ini terjadi ia tetap
dapat mengambil keputusan secara sederhana dengan bantuan
orang lain, seperti ia dapat memilih akan mandi sebelum makan
atau sebaliknya. Gangguan bermakna bilamana gangguan ini
terjadi ia tetap tidak dapat/tidak mampu mengambil suatu
28
keputusan meskipun secara sederhana dan mendapatkan
bantuan orang lain.
n) Daya Tilik Diri
Gangguan pada daya tilik diri adalah :
(1) Mengingkari penyakit yang diderita, dimana ia tidak
menyadari gejala gangguan jiwa/penyakitnya, perubahan
fisik, dan emosi dirinya.
(2) Menyalahkan hal-hal yang diluar dirinya, bilamana ia
cenderung menyalahkan orang lain/lingkungan dan ia
merasa orang lain/lingkungan diluar dirinya yang
menyebabkan ia seperti ini/kondisi saat ini.
6) Kebutuhan persiapan pulang
Data ini harus dikaji untuk mengetahui masalah yang mungkin akan
terjadi atau akan dihadapi klien, kluarga atau masyarakat sekitarnya
pada saat klien pulang atau setelah klien pulang dari rumah sakit,
data yang harus dikaji adalah : Perawatan diri (Mandi, kebersihan,
makan, buang air kecil, buang air besar, dan ganti pakaian) secara
mandiri, perlu bantuan minimal atau bantuan total
b. Analisa data
Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data
untuk merumuskan masalah-masalah yang dihadapi klien. Data tersebut
diklasifikasikan menjadi data subyektif dan obyektif:
1) Data Subyektif (Farida, 2010, hal. 50)
Data subyektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh pasien
dan keluarga. Data ini diperoleh melalui wawancara perawat kepada
klien dan keluarga
Data subyektif yang mungkin didapat yaitu, klien mengeluh perasaan
terancam, marah dan dendam. Perasaan tak berguna, jengkel atau
mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar, dada
sesak dan bingung.
29
2) Data Obyektif
Data obyektif yaitu data yang ditemukan secara nyata. Data ini
didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat
seperti, wajah tegang, mudah tersinggung saat diajak berbicara, tatapan
mata tajam, muka tampak merah, posisi tubuh condong kedepan
dengan tangan mengepal.
c. Pohon Masalah
Effect ...... Resiko Mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Core Problem .................
Etiologi .............................. Harga Diri Rendah
Diagnosa Keperawatan: Perilaku kekerasan
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan ditetapkan sesuai dengan data yang didapat, walaupun
saat ini tidak melakukan prilaku kekerasan tetapi pernah melakukan
ataumempunyai riwayat perilaku kekerasan dan belummempunyai
kemampuan mencegah / mengontrol perilaku kekerasan tersebut.
Masalah keperawatan yang mungkin muncul untuk maslah prilaku kekerasan
adalah:
a. Perilaku Kekerasan
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
c. Harga diri rendah.
30
Perilaku Kekerasan
3. Rencana Keperawatan Perilaku Kekerasan
Nama Klien :________________ Diagnosa Medis :______________
Ruangan :________________ No. CM :______________
TglNo.
Dx
Diagnosa
Keperawatan
PerencanaanIntervensi Rasional
Tujuan Kriteria Evaluasi
1 2 3 4 5 6 7
Perilaku
kekerasan
1. Klien dapat
membina
hubungan
saling percaya
1.1 Klien mau membalas
salam
1.2 Klien mau menjabat
tangan
1.3 Klien mau
menyebutkan nama
1.4 Klien mau tersenyum
1.5 Klien mau kontak
mata
1.6 Klien mengetahui
nama perawat
1. beri salam /panggil nama klien
2. sebutkan nama perawat sambil
jabat tangan
3. jelaskan maksud hubungan
interaksi
4. jelaskan tentang kontrak yang
akan dibuat
5. beri rasa aman dan sikap
empati
6. lakukan kontak singkat tapi
sering
Hubungan saling
percaya merupakan
landasan utama untuk
hubungan selanjutnya
31
1.7 Menyediakan waktu
untuk kontrak
2. Klien dapat
mengidentifik
asikan
penyebab
perilaku
kekerasan
2.1 Klien dapat
mengungkapkan
perasaanya
2.2 Klien dapat
mengungkapkan
penyebab perasaan
jengkel/kesal (dari diri
sendiri, dari
lingkungan/orang lain)
1. Beri kesempatan untuk
mengungkapkan perasaannya
2. Bantu klien untuk
mengungkapkan jengkel/kesal
Beri kesempatan untuk
mengungkapkan
perasaannya dapat
membantu mengurangi
stress dan penyebab
perasaan jengkel/kesal
dapat diketahui
3. Klien dapat
mengidentifik
asikan tanda-
tanda perilaku
kekerasan
3.1 Klien dapat
mengungkapkan
perasaan saat
marah/jengkel
3.2 Klien dapat
menyimpulkan tanda-
tanda jengkel/kesal
yang dialami
1. Anjurkan klien
mengungkapkan apa yang
dialami saat marah/jengkel
2. Observasi tanda perilaku
kekerasan pada klien
3. Simpulkan bersama klien
tanda-tanda jengkel/kesal yang
dialami klien
Untuk mengetahui hal
yang dialami dan dirasa
saat jengkel
Untuk mengetahui
tanda-tanda klien
jengkel/ kesal
Menarik kesimpulan
bersama klien supaya
klien mengetahui secara
32
garis besar tanda-tanda
marah/kesal
4. Klien dapat
mengidentifik
asi perilaku
kekerasan
yang biasa
dilakukan
4.1 Klien dapat
mengungkapkan
perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan
4.2 Klien dapat bermain
peran dengan perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan
4.3 Klien dapat
mengetahui cara yang
biasa dapat
menyesuaikan masalah
atau tidak
1. Anjurkan klien untuk
mengungkapkan perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan klien
2. Bantu klien bermain peran
sesuai dengan perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan
3. Bicarakan dengan klien apakah
cara yang klien lakukan
masalahnya selesai?
Mengeksplorasi
perasaan klien terhadap
perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan
Untuk mengetahui
perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan dan
dengan bantuan perawat
bisa membedakan
perilaku kontrustif dan
destruktif
Dapat membantu klien
dapat menemukan cara
yang dapat
menyelesaikan masalah
5. Klien dapat
mengidentifik
asi akibat
Klien dapat menjelaskan
akibat dari cara yang
1. Bicarakan akibat / kerugian
dari cara yang dilakukan
Membantu klien untuk
menilai perilaku
kekerasan yang
33
perilaku
kekerasan
digunakan klien klien
2. Bersama klien
menyimpulkan cara yang
digunakan oleh klien
dilakunnya
Dengan mengetahui
akibat perilaku
kekerasan diharapkan
klien dapat merubah
perilaku destruktif yang
dilakukannya menjadi
perilaku yang
konstruktif
6. Klien dapat
mengindentifi
kasi cara
kontruktif
dalam
merespon
terhadap
kemarahan
6.1 Klien dapat melakukan
cara berespon terhadap
kemarahan secara
kontrustif
1. Tanyakan pada klien “apakah
ia ingin mempelajari cara
baru yang sehat ?”
2. Berikan pujian jika klien
mengetahui cara lain yang
sehat
3. Diskusikan dengan klien cara
lain yang sehat
a. Secara fisik : tarik nafas
dalam jika sedang
kesal/memukul bantal/kasur
Agar klien dapat
mempelajari cara yang
lain yang konstruktif
Dengan
mengidentifikasi cara
yang konstruktif dalam
merespon terhadap
kemarahan dapat
membantu klien
menemukan cara yang
baik untuk mengurangi
34
atau olah raga/ pekerjaan
yang memerlukan tenaga.
b. Secara verbal : katakana
bahwa anda sedang
kesal/tersinggung/jengkel
(saya kesal anda berkata
seperti itu ; saya marah
karena anda tidak memenuhi
keinginan saya)
c. Secara sosial : lakukan dalam
kelompok cara-cara marah
yang sehat ; latihan asentif.
Latihan manajemen perilaku
kekerasan
d. Secara spiritual : anjurkan
klien sembahyang, berdoa/
ibadah lain; meminta pada
Tuhan untuk diberi
kesabaran, mengadu pada
Tuhan kekerasan
kejengkelan sehingga
klien tidak stress lagi.
Reinforcement positif
dapat memotivasi klien
dalam meningkatkan
harga dirinya
Berdiskusi dengan klien
untuk memilih cara yang
lain sesuai dengan
kemampuan klien
35
/kejengkelan
7. Klien dapat
mendemonstra
sikan cara
mengontrol
perilaku
kekerasan
7.1 Klien dapat
mendemonstrasikan
cara mengontrol
perilaku kekerasan
- Fisik : tarik napas
dalam, olah raga,
menyiram tanaman
- Verbal :
mengatakan secara
langsung dengan
tidak menyakiti
- Spiritual :
sembahyang,
berdoa atau ibadah
lainnya
1. Bantu klien memilih cara
yang paling tepat untuk klien
2. Bantu klien mengidentifikasi
manfaat cara dipilih
3. Bantu keluarga klien untuk
menstimulasi cara tersebut
( roll play)
4. Berreinforcement positif atau
keberhasilan klien
menstimulasi cara tersebut
5. Anjurkan klien untuk
menggunakan cara yang telah
dipelajari saat jengkel/marah
Memberi simulasi
kepada klien untuk
menilai respon petrilaku
kekerasan secara tepat.
Membantu klien dalam
membuat keputusan
terhadap cara yang telah
dipilihnya dengan
melihat manfaatnya.
Agar klien mengetahui
cara marah yang
kontrustif
Pujian dapat
meningkatkan motifasi
harga diri klien
Agar klien dapat
melaksanakan cara yang
telah dipilihnya jika ia
sedang kesal
36
8. Klien
mendapat
dukungan
keluarga
dalam
mengontrol
perilaku
kekerasan
8.1 Keluarga klien dapat :
- menyebutkan cara
merawat klien
yang berperilaku
kekerasan
- mengungkapkan
rasa puas dalam
merawat klien
1. identifikasi kemampuan
keluarga merawat klien dari
sika apa yang telah dilakukan
keluarga terhadap klien
selama ini
2. jelaskan peran serta keluarga
dalam merawat klien
3. jelaskan cara-cara merawat
klien
- terkai dengan cara
mengontrol perilaku
marah secara kontruktif
- sikap tenang, bicara
tenang dan jelas
- membantu klien mengenal
penyebab ia marah
4. bantu keluarga
mendemontrasikan cara
merawat klien
5. bantu keluarga
mengungkapkan perasaannya
kemampuan keluarga
dalam mengidentifikasi
akan memungkinkan
keluarga untuk
melakukan penilaian
terhadap perilaku
kekerasan
meningkatkan
pengetahuan keluarga
tentang cara merawat
klien sehingga keluarga
terlibat dalam perawatan
klien
agar klien dapat
merawat klien dengan
perilaku kekerasan
agar keluarga
mengetahui cara
merawat klien melalui
demonstrasi yang dilihat
37
setelah melakukan
demontrasi
mengeksplorasi perasaan
keluarga setelah
melakukan demonstrasi
9. klien dapat
menggunakan
obat-obatan
yang diminum
dan
kegunaannya
(jenis, waktu,
dosis dan
efek)
9.1 klien dapat
menyebutkan obat-
obatan yang diminum
serta kegunaannya
(jenis, waktu dan efek)
9.2 klien dapat meminum
obat sesuai program
pengobatan
1. jelaskan jenis-jenis obat yang
diminum klien pada keluarga
2. diskusikan manfaat minum
obat dan kerugian berhenti
minum obat tanpa seizing
dikter
3. jelaskan prisip benar minum
obat (baca nama yang tertera,
pada botol obat, dosis obat,
waktu dan cra minum)
4. ajarkan klien minta obat dan
minum tepat waktu
5. anjurkan klien melaporkan
pada perawat atau dokter jika
merasakan efek yang tidak
menyenangkan
6. beri pujian, jika klien minum
Klien dan keluarga dapat
mengetahui nama-nama
obat yang diminum oleh
klien
Klien dan keluarga dapat
mengetahui kegunaan
obat yang dikonsumsi
klien
Klien dan keluarga
mengetahui prinsip
benar agartidak terjadi
kesalahan dalam
mengonsumsi obat
Klien dapat memiliki
kesadaran pentingnya
minum obat dan
bersedia minum obat
38
obat dengan benar. dengan kesadaran
sendiri
Mengetahui efek
samping sedini mungkin
sehingga tindakan dapat
dilakukan sesegera
mungkin untuk
menghindari komplikasi
Reinforcement positif
dapat memotifasi
keluarga dan lien serta
dapat meningkatkan
harga diri.
39
Contoh Rencana Keperawatan Prilaku Kekerasan
Dalam bentuk Strategi Pelaksanaan
No. Klien Keluarga
SP1P SP1K
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Mengidentifikasi penyebab prilaku
kekerasan.
Mengidentifikasi tanda dan gejala prilaku
kekerasan.
Mengidentifikasi prilaku kekerasan yang
di lakukan.
Mengidentifikasi akibat perilaku
kekrasan.
Menyebutkan cara mengontrol prilaku
kekerasan.
Membantu klien mempraktekan latihan
cara mengontrol prilaku kekerasan secara
fisik 1 : latihan nafas dalam.
Menganjurkan klien memasukkan ke
dalam kegiatan harian.
Mendiskusikan masalah yang
diharapkan keluarga dalam
merawat klien .
Menjelaskan pengertian prilaku
kekerasan, tanda dan gejala prilaku
kekerasan, serta proses terjadinya
prilaku kekerasan.
SP2P SP2K
1.
2.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien.
Melatih klien mengontrol prilaku
kekerasan dengan cara fisik 2: pukul
Melatih keluarga mempraktikan
cara merawat klien dengan prilaku
kekerasan.
Melatih keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada klien
41
3.
kasur dan bantal .
Menganjurkan klien memasukan ke
dalam kegiatan harian
prilaku kekerasan.
SP3P SP3K
1.
2.
3.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
Melatih klien mengontrol prilaku
kekerasan dengan cara sosial/ verbal
Menganjurkan klien memasukan ke
dalam kegiatan harian.
Membantu keluarga membuat
jadwal aktifitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning).
Menjelasakan follow up klien
setelak pulang.
SP4P SP4K
1.
2.
3.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien.
Melatih klien mengontrol prilaku
kekerasan dengan cara spiritual.
Menganjurkan klien memasukan ke
dalam kegiatan harian.
SP5P SP5K
1.
2.
3.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien.
Melatih klien mengontrol prilaku
kekerasan dengan minum obat.
Menganjurkan klien memasukan
42
kedalam kegiatan harian.
(Mukhripah dan Iskandar, 2012)
43
4. Implementasi Keperawatan
Menurut Keliat (2005), Implementasi keperawatan disesuaikan dengan
rencana tindakan keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan
masalah utama yang aktual adan mengancam integritas klien beserta
lingkungannya. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah
direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini
(here and now). Hubungan saling percaya antara perawat dengan klien
merupakan dasar utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi menurut Keliat (2005) adalah proses yang berkelanjutan untuk
menilai efek dari tindakan keperawatan yang dilaksanakan. Evaluasi dapat
dibagi menjadi 2 jenis yaitu : evaluasi proses atau formatif) dan evaluasi hasil
atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien dengan
tujuan yang telah ditentukan. Hasil yang diharapkan pada asuhan
keperawatan klien dengan perilaku kekerasan adalah :
1. Klien membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengidentifikasikan penyebab perilaku kekerasan.
3. Klien dapat mengidentifikasikan tanda dan gejala perilaku kekerasan.
4. Klien dapat mengidentifikasikan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
5. Klien dapat mengidentifikasikan akibat perilaku kekerasan.
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku
kekerasan.
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku
kekerasan.
8. Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah perilaku
kekerasan.
9. Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk untuk
mencegah perilaku kekerasan.
44
10. Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan perilaku
kekerasan.
11. Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan
perilaku kekerasan
45
DAFTAR PUSTAKA
Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar.2012.Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung: PT
Refika Aditama.
Direja, Ade Herman Surya.2011.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta:
Nuha Medika
Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono.2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta:
Salemba Medika)
46