Upload
pertiwi-rahayu
View
251
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan pendahuluan sirosis hepatis
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SIROSIS HEPATIS
A. KAJIAN TEORI
1. DEFINISI
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium
terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya
proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro
dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut
(Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001). Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah
penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan adanya pembentukan jaringan
disertai nodul. Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2004).
2. ETIOLOGI
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada dua
penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:
a. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab chirrosis
hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965
dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai
peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi chirrosisi.
Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai
kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan
perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
b. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis
atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat
hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol. Sirosis hepatis oleh karena
alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat
mengarah pada kerusakan parenkim hati.
c. Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu:
1) Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
2) Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.
3. PATOFISIOLOGI
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini
menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus
hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus
dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama
atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan
berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta dengan
sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai macam
ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan
aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi
pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi peradangan
pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrinogenesis dan
septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi ireversibel bila telah
terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan parenkim hati.
Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi
hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik
timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan
monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak
memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari daerah porta
menyebar ke parenkim hati.
Pembentukan Jaringan Ikat
Hepatitis virus
Kegagalan Parenkim Hati
Hipertensi portal Asites Ensepalopati
Mual mual
Nafsu makan menurun
Kelemahan otot
Cepat lelah
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Intoleransi Aktivitas
Defisit Perawatan Diri
Varises esophagus
Tekanan Meningkat
Pembuluh Darah Pecah
Hematemisis Melena
Risiko ketidakseimbangan volume cairan
Cemas
Penekanan Diafragma
alkoholisme
Nekrosis Parenkim Hati
Ruang paru menyempit
Sesak Nafas
Pola Nafas Tidak Efektif
Kesadaran Menurun
Risiko Cidera
4. KLASIFIKASI
a. Secara klinis chirrosis hati dibagi menjadi:
1) Chirrosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata
2) Chirrosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang
jelas. Chirrosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis
kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya
dapat dibedakan melalui biopsi hati.
b. Secara morfologi Sherrlock membagi Chirrosis hati bedasarkan besar kecilnya
nodul, yaitu:
1) Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
2) Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3) Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.
c. Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit chirrosis hati atas:
1) Chirrosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau
sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy chirrosis yang terbentuk karena
banyak terjadi jaringan nekrose.
2) Nutrisional chirrosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, chirrosis
alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Chirrosis terjadi sebagai
akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
3) Chirrosis Post hepatic, chirrosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis.
5. TANDA GEJALAN KLINIS
Gejala chirrosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di liver yang
mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan, mual-mual, badan lemah,
kehilangan berat badan, nyeri lambung dan munculnya jaringan darah mirip laba-laba
di kulit (spider angiomas). Pada chirrosis terjadi kerusakan hati yang terus menerus dan
terjadi regenerasi noduler serta ploriferasi jaringan ikat yang difus. Tanda-tanda klinik
yang dapat terjadi yaitu:
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia
sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika
liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk
beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama
perjalanan penyakit
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk
pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan
tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya
asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
c. Hati yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati
membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa
nyeri bila ditekan.
d. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di
atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi
terhadap aliran darah melalui hati.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada
ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang
( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome
hepatorenal.
2) Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi
pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam
usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja
berwarna cokelat atau kehitaman.
3) Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang –kadang
dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin
B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan
gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
4) Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita
yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik,
sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16
gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per
hari.9 Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah albumin dan
globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis
protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. 39
Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka
untuk mendeteksi kelainan hati secara dini.
b. Sarana Penunjang Diagnostik
1) Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan fototoraks,
splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP)
2) Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati,
termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya
penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati membesar, permulaan
irregular, tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG,
yaitu tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak
membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
3) Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan jelas
kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil
dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali
didapatkan pembesaran limpa.
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
b. Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000 kalori).
Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2000
mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3000 kalori) dan
tinggi protein (80-125 gr/hari). Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma
hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati II) untuk
kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan
tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan pasien atau meningginya
hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya
koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
c. Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang jelas
tidak hepatotoksik.
d. Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial
berantai cabang dengan glukosa.
e. Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan yang
mengandung alkohol.
Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :
a. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-500
mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya
harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam, hanya
sampai 1 liter atau kurang.
b. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik
berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300
mg/hari bila setelah 3 – 4 hari tidak terdapat perubahan.
c. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walupun merupakan
cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat ditinggalkan karena
berbagai komplikasinya, parasentesis banyak kembali dicoba untuk digunakan.
Pada umunya parasentesis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6
– 8 gr untuk setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan
dekstran 70 % Walaupun demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah
parasentesis, pengaturan diet rendah garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.
d. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1 kg/hari.
Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat, dapat
mencetuskan ensefalopati hepatik
8. KOMPLIKASI
Komplikasi chirrosis hati yang dapat terjadi antara lain:
a. Perdarahan
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya pada
chirrosis hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus. Sifat
perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau hematemesis, biasanya
mendadak tanpa didahului rasa nyeri. Darah yang keluar berwarna kehitam-
hitaman dan tidak akan membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung.
Penyebab lain adalah tukak lambung dan tukak duodeni.
b. Koma hepatikum
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak,
sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma hepatikum
mempunyai gejala karakteristik yaitu hilangnya kesadaran penderita. Koma
hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma hepatikum primer, yaitu
disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya,
maka metabolism tidak dapat berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum
sekunder, yaitu koma hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara
langsung, tetapi oleh sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi
terhadap asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
c. Ulkus Peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila
dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan
diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum,
resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya
defisiensi makanan
d. Karsinoma Hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk
postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi
adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple
e. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga
penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Infeksi yang sering timbul pada
penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia,
tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis,
endokarditis, erysipelas maupun septikemi.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian pada pasien sirosis hepatis
a. Demografi
1) Usia : diatas 30 tahun
2) Laki-laki beresiko lebih besar daripada perempuan
3) Pekerjaan : riwayat terpapar toksin
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat hepatitis kronis
2) Penyakit gangguan metabolisme : DM
3) Obstruksi kronis ductus coleducus
4) Gagal jantung kongestif berat dan kronis
5) Penyakit autoimun
6) Riwayat malnutrisi kronis terutama KEP
c. Pola Fungsional
1) Aktivitas/ istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan.
Tanda : Letargi, penurunan massa otot/ tonus.
2) Sirkulasi
Gejala : Riwayat Gagal Jantung Kongestif (GJK) kronis, perikarditis,
penyakit jantung rematik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati),
disritmia, bunyi jantung ekstra, DVJ; vena abdomen distensi.
3) Eliminasi
Gejala : Flatus.
Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan/
tak adanya bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap, pekat.
4) Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tak dapat mencerna,
mual/ muntah.
Tanda : Penurunan berat badan/ peningkatan (cairan), kulit kering, turgor
buruk, ikterik : angioma spider, napas berbau/ fetor hepatikus, perdarahan
gusi.
5) Neurosensori
Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian, penurunan
mental.
Tanda : Perubahan mental, bingung halusinasi, koma, bicara lambat/ tak
jelas.
6) Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas.
Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi, fokus pada diri sendiri.
7) Pernapasan
Gejala : Dispnea.
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru
terbatas (asites), hipoksia.
8) Keamanan
Gejala : Pruritus.
Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkohlik), ikterik, ekimosis,
petekie.
9) Seksualitas
Gejala : Gangguan menstruasi, impoten.
Tanda : Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan,
pubis).
d. Pemeriksaan Fisik
1) Tampak lemah
2) Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan cairan)
3) Sclera ikterik, konjungtiva anemis
4) Distensi vena jugularis dileher
5) Dada :
a) Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki)
b) Penurunan ekspansi paru
c) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan
d) Disritmia, gallop
e) Suara abnormal paru (rales)
6) Abdomen :
a) Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen
b) Penurunan bunyi usus
c) Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba keras
d) Nyeri tekan ulu hati
7) Urogenital :
a) Atropi testis
b) Hemoroid (pelebaran vena sekitar rektum)
8) Integumen :
a) Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis
9) Ekstremitas :
a) Edema, penurunan kekuatan otot
e. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu:
a) Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM
dan anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi.
Leukopenia mungkin ada sebagai akibat hiperplenisme.
b) Kenaikan kadar SGOT, SGPT
c) Albumin serum menurun
d) Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia
e) Pemanjangan masa protombin
f) Glukosa serum : hipoglikemi
g) Fibrinogen menurun
h) BUN meningkat
2) Pemeriksaan diagnostik
Menurut smeltzer & Bare (2001) yaitu:
a) Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
b) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
c) USG
d) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta.
e) Skan/ biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
f) Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anorexia
b. Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan asites
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
d. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan.
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
f. Ansietas berhubungan dengan penularan penyakit interpersonal
g. Risiko cidera berhubungan dengan gangguan moblitas.
3. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa/Masalah
Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
anorexia
NOC:
Nutritional status:
Adequacy of nutrient
Nutritional Status :
food and Fluid
Intake
Weight Control
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan
selama….nutrisi kurang
teratasi dengan indikator:
1. Albumin serum
2. Pre albumin serum
3. Hematokrit
4. Hemoglobin
5. Total iron binding
capacity
6. Jumlah limfosit
1. Kaji adanya alergi
makanan
2. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan
jumlah kalori dan
nutrisi yang
dibutuhkan pasien.
3. Yakinkan diet yang
dimakan
mengandung tinggi
serat untuk
mencegah
konstipasi.
4. Ajarkan pasien
bagaimana
membuat catatan
makanan harian.
5. Monitor adanya
penurunan BB dan
gula darah.
6. Monitor
lingkungan selama
makan.
7. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak
selama jam makan.
8. Monitor turgor
kulit.
9. Monitor
kekeringan, rambut
kusam, total
protein, Hb dan
kadar Ht.
10. Monitor mual dan
muntah.
11. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan
jaringan
konjungtiva.
12. Monitor intake
nuntrisi.
13. Informasikan pada
klien dan keluarga
tentang manfaat
nutrisi.
14. Kolaborasi dengan
dokter tentang
kebutuhan
suplemen makanan
seperti NGT/ TPN
sehingga intake
cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan.
15. Atur posisi semi
fowler atau fowler
tinggi selama
makan.
16. Kelola pemberan
anti emetik:.....
17. Catat adanya
edema, hiperemik,
hipertonik papila
lidah dan cavitas
oval
Risiko
ketidakseimbangan
volume cairan
berhubungan dengan
asites
NOC:
Fluid balance
Hydration
Nutritional Status :
Food and Fluid
Intake
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama…..
defisit volume cairan teratasi
dengan kriteria hasil:
1. Mempertahankan
urine output sesuai
dengan usia dan BB,
BJ urine normal, .
NIC :
1. Pertahankan
catatan intake dan
output yang akurat.
2. Monitor status
hidrasi
( kelembaban
membran mukosa,
nadi adekuat,
tekanan darah
ortostatik ), jika
diperlukan.
3. Monitor hasil lab
yang sesuai dengan
retensi cairan
2. Tekanan darah, nadi,
suhu tubuh dalam
batas normal.
3. Tidak ada tanda
tanda dehidrasi,
Elastisitas turgor
kulit baik, membran
mukosa lembab,
tidak ada rasa haus
yang berlebihan
4. Orientasi terhadap
waktu dan tempat
baik.
5. Jumlah dan irama
pernapasan dalam
batas normal.
6. Elektrolit, Hb, Hmt
dalam batas normal.
7. pH urin dalam batas
normal.
8. Intake oral dan
intravena adekuat
(BUN , Hmt ,
osmolalitas urin,
albumin, total
protein ).
4. Monitor vital sign
setiap 15menit – 1
jam.
5. Kolaborasi
pemberian cairan
IV.
6. Monitor status
nutrisi.
7. Kolaborasi dokter
jika tanda cairan
berlebih muncul
meburuk.
8. Pasang kateter jika
perlu.
9. Monitor intake dan
urin output setiap 8
jam
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan
kelemahan umum
NOC :
Self Care : ADLs
Toleransi aktivitas
NIC :
1. Observasi adanya
pembatasan klien
dalam melakukan
Konservasi eneergi
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ….
Pasien bertoleransi terhadap
aktivitas dengan Kriteria
Hasil :
1. Berpartisipasi dalam
aktivitas fisik tanpa
disertai peningkatan
tekanan darah, nadi
dan RR.
2. Mampu melakukan
aktivitas sehari hari
(ADLs) secara
mandiri.
3. Keseimbangan
aktivitas dan istirahat
aktivitas
2. Kaji adanya faktor
yang menyebabkan
kelelahan
3. Monitor nutrisi
dan sumber energi
yang adekuat
4. Monitor pasien
akan adanya
kelelahan fisik dan
emosi secara
berlebihan
5. Monitor respon
kardivaskuler
terhadap aktivitas
(takikardi,
disritmia, sesak
nafas, diaporesis,
pucat, perubahan
hemodinamik)
6. Monitor pola tidur
dan lamanya
tidur/istirahat
pasien
7. Kolaborasikan
dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik
dalam
merencanakan
progran terapi yang
tepat.
8. Bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
mampu dilakukan
9. Monitor respon
fisik, emosi, sosial
dan spiritual
Ketidakefektifan pola
nafas berhubungan
dengan keletihan otot
pernapasan.
NOC:
Respiratory status :
Ventilation
Respiratory status :
Airway patency
Vital sign Status
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama
………..pasien
menunjukkan keefektifan
pola nafas, dibuktikan
dengan kriteria hasil:
1. Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara
nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan
dyspneu (mampu
mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dg
NIC:
1. Posisikan pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi
2. Pasang mayo bila
perlu
3. Lakukan fisioterapi
dada jika perlu
4. Keluarkan sekret
dengan batuk atau
suction
5. Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara tambahan
6. Berikan
bronkodilator....
7. Berikan pelembab
mudah, tidakada pursed
lips)
2. Menunjukkan jalan
nafas yang paten (klien
tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam
rentang normal, tidak
ada suara nafas
abnormal)
3. Tanda Tanda vital
dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi,
pernafasan)
udara Kassa basah
NaCl Lembab
8. Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
9. Monitor respirasi
dan status O2.
10. Bersihkan mulut,
hidung dan secret
trakea.
11. Pertahankan jalan
nafas yang paten.
12. Observasi adanya
tanda tanda
hipoventilasi.
13. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap
oksigenasi.
14. Monitor vital sign.
15. Informasikan pada
pasien dan
keluarga tentang
tehnik relaksasi
untuk memperbaiki
pola nafas.
16. Ajarkan bagaimana
batuk efektif.
17. Monitor pola nafas
Defisit perawatan diri
berhubungan dengan
kelemahan
NOC :
Self care : Activity
of Daily Living
(ADLs)
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ….
Defisit perawatan diri teratas
dengan kriteria hasil:
1. Klien terbebas dari
bau badan
2. Menyatakan
kenyamanan
terhadap kemampuan
untuk melakukan
ADLs
3. Dapat melakukan
ADLS dengan
bantuan
NIC :
Self Care
assistane : ADLs
1. Monitor
kemempuan klien
untuk perawatan
diri yang mandiri.
2. Monitor kebutuhan
klien untuk alat-
alat bantu untuk
kebersihan diri,
berpakaian,
berhias, toileting
dan makan.
3. Sediakan bantuan
sampai klien
mampu secara utuh
untuk melakukan
self-care.
4. Dorong klien untuk
melakukan
aktivitas sehari-
hari yang normal
sesuai kemampuan
yang dimiliki.
5. Dorong untuk
melakukan secara
mandiri, tapi beri
bantuan ketika
klien tidak mampu
melakukannya.
6. Ajarkan klien/
keluarga untuk
mendorong
kemandirian, untuk
memberikan
bantuan hanya jika
pasien tidak
mampu untuk
melakukannya.
7. Berikan aktivitas
rutin sehari- hari
sesuai kemampuan.
8. Pertimbangkan
usia klien jika
mendorong
pelaksanaan
aktivitas sehari-
hari.
Ansietas berhubungan
dengan penularan
penyakit interpersonal
NOC :
Anxiety Control
Setelah dilakukan asuhan
selama ……………klien
kecemasan teratasi dgn
kriteria hasil:
NIC :
Anxiety Reduction
(penurunan
kecemasan)
1. Gunakan
pendekatan yang
1. Klien mampu
mengidentifikasi dan
mengungkapkan
gejala cemas.
2. Mengidentifikasi,
mengungkapkan dan
menunjukkan tehnik
untuk mengontol
cemas.
3. Vital sign dalam
batas normal.
4. Postur tubuh,
ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan
tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
menenangkan.
2. Jelaskan semua
prosedur dan apa
yang dirasakan
selama prosedur.
3. Temani pasien
untuk memberikan
keamanan dan
mengurangi takut.
4. Berikan informasi
faktual mengenai
diagnosis, tindakan
prognosis.
5. Libatkan keluarga
untuk
mendampingi
klien.
6. Instruksikan pada
pasien untuk
menggunakan
tehnik relaksasi.
7. Dengarkan dengan
penuh perhatian.
8. Identifikasi tingkat
kecemasan.
9. Bantu pasien
mengenal situasi
yang menimbulkan
kecemasan.
10. Dorong pasien
untuk
mengungkapkan
perasaan,
ketakutan,
persepsi.
11. Kelola pemberian
obat anti
cemas:........
Risiko cidera
berhubungan dengan
gangguan moblitas.
NOC :
Risk Kontrol
Immune status
Safety Behavior
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama….
Klien tidak mengalami
injury dengan kriterian hasil:
1. Klien terbebas dari
cedera.
2. Mampu
memodifikasi gaya
hidup untuk
mencegah injury.
3. Menggunakan
fasilitas kesehatan
yang ada.
NIC :
Environment
Management
(Manajemen
lingkungan)
1. Sediakan
lingkungan yang
aman untuk pasien.
2. Identifikasi
kebutuhan
keamanan pasien,
sesuai dengan
kondisi fisik dan
fungsi kognitif
pasien dan riwayat
penyakit terdahulu
pasien.
3. Menghindarkan
lingkungan yang
4. Mampu mengenali
perubahan status
kesehatan
berbahaya
(misalnya
memindahkan
perabotan).
4. Memasang side rail
tempat tidur.
5. Menyediakan
tempat tidur yang
nyaman dan bersih.
6. Menempatkan
saklar lampu
ditempat yang
mudah dijangkau
pasien.
7. Membatasi
pengunjung
8. Memberikan
penerangan yang
cukup.
9. Menganjurkan
keluarga untuk
menemani pasien.
10. Mengontrol
lingkungan dari
kebisingan.
11. Memindahkan
barang-barang
yang dapat
membahayakan.
12. Berikan penjelasan
pada pasien dan
keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan
penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 2006, Nursing Interventions Classification
(NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta
Marion Johnson, dkk, 2006, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-
Book, St. Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-
2002, NANDA
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed
8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Soeparman. (2004). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.