52
Edisi Juli-Oktober 2013 Keanekaan paduan war- na, ragam konsep desain dan motif-motifnya yang bermakna sejatinya me- negaskan satu pesan uta- ma yakni tentang relasi perjumpaan dan kedeka- tan antara manusia den- gan dirinya sendiri, sesa- ma, alam-lingkungan, para leluhur dan juga dengan Sesuatu Yang Tertinggi (Tuhan)

Majalah Lintas Timur (edisi 2)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tenun Nusa Tenggara Timur (NTT) itu khas dan unik. Kekhasan dan keunikannya tidak hanya tampak pada tampilannya yang cantik, atau keanekaragaman konsep desain dan coraknya yang memesona. Tetapi juga pada filosophi dan nilainya yang menyata pada motif-motinya yang bercorak tribal. Keanekaan paduan warna, ragam konsep desain dan motif-motifnya yang bermakna sejatinya menegaskan satu pesan utama yakni tentang relasi perjumpaan dan kedetakan antara manusia dengan dirinya sendiri, sesama, alam-lingkungan, para leluhur dan juga dengan Sesuatu Yang Tertinggi (Tuhan). Lantaran itu tenun NTT tidak hanya banyak diapresiasi sebagai warisan tradisi. Identitas budaya yang pantas untuk dilindungi, tetapi juga diburu pasar karena keunikannya berharga. Dan, proses verifikasi UNESCO atas tenun ikat Sumba untuk mendapat pengakuan sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) dari Indonesia merupakan salah satu contoh nyata bahwa tenun NTT memiliki nilai lebih dan layak untuk diapresiasi dunia internasional.Namun kian melambungnya posisi tenun NTT di pentas nasional dan bahkan internasional, keseimbangan antara idealisme tradisi dan tawaran bisnis (pasar) menjadi timpang. Ada kecenderungan umum bahwa tenun NTT sudah secara perlahan kehilangan aura tribalnya. Tenun ikat sebagai proses kultural mulai ditinggalkan lantaran permintaan pasar yang kian menguat. Gejala semisal duplikasi motif dengan teknik digital print, pembantikan motif tenun dan sablonisasi secara perlahan telah mengambil alih peran dan fungsi penenun tradisional. Dari sisi ekonomi pasar dan efisiensi kerja di satu sisi dipandang baik, tetapi di sisi lain secara kultural dan sosial sejatinya mencederai identitas dan jati diri budaya dan tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun. Lantaran itu redaksi lintas timur mencoba mengangkat dua narasi itu dari berbagai referensi. Menyoal tenun NTT di antara dua pesona, idealisme dan pasar, sekaligus memberi catatan-catatan kritis sebagai alternatifnya. Tentu saja bukan solusi, tetapi lebih sebagai refleksi atas pengakuan ke-ada-an kita yang khas dan unik sebagai provinsi Nusa Tenun Tangan ***

Citation preview

Edisi Juli-Oktober 2013

Keanekaan paduan war-na, ragam konsep desain dan motif-motifnya yang bermakna sejatinya me-

negaskan satu pesan uta-ma yakni tentang relasi

perjumpaan dan kedeka-tan antara manusia den-gan dirinya sendiri, sesa-

ma, alam-lingkungan, para leluhur dan juga dengan Sesuatu Yang Tertinggi (Tuhan)

PENGAWAS UMUM: Saver Adir | PENANGGUNG JAWAB/KETUA PENGARAH: Cypri Jehan Paju Dale | PIMPINAN PELAKSANA: Ryan Nuhan | MANAGER PRODUKSI: John Pluto Sinulingga. | KEPALA SEKRE-TARIAT: Veronika Jemi. PIMPINAN REDAKSI: Kris Bheda Somerpes | REDAKTUR: Ryan Nuhan, Cypri Jehan Paju Dale, John Pluto Sinulingga, Ney Dinan, Sonia dos Santos, Asrida Elisabet, Andy Jemalur | DESAIN/LAYOUTER: Putra Buana | IKLAN/PEMASARAN: Yanti Lawa | SEKRETARIAT REDAKSI: Veronika Jemi | PENCETAK: Pascal Bataona. ALAMAT REDAKSI: Baku Peduli Centre, Jl. Trans Flores km.,10 Watu Langkas, Desa Nggorang, Kec. Ko-modo, Kab. Manggarai Barat, Labuan Bangsa-Bangsa, Nusa Tenggara Timur. Email: [email protected]. Web: www.sunspiritforjusticeandpeace.org. DITERBITKAN OLEH: Divisi Riset dan Publikasi SUNSPIRIT For Justice and Peace. | DIDUKUNG OLEH: SUNSPIRIT, CCFD, BAKU PEDULI centre.

2 Edisi Juli-Oktober 2013

T enun Nusa Tenggara Timur (NTT) itu khas dan unik. Kek-

hasan dan keunikannya tidak

hanya tampak pada tampilannya yang cantik, atau keanekaragaman konsep

desain dan coraknya yang memesona. Tetapi juga pada filosophi dan nilainya

yang menyata pada motif-motinya yang bercorak tribal.

Keanekaan paduan warna, ragam kon-sep desain dan motif-motifnya yang

bermakna sejatinya menegaskan satu

pesan utama yakni tentang relasi per-jumpaan dan kedetakan antara manu-

sia dengan dirinya sendiri, sesama, alam-lingkungan, para leluhur dan

juga dengan Sesuatu Yang Tertinggi

(Tuhan).

Lantaran itu tenun NTT tidak hanya banyak diapresiasi sebagai warisan

tradisi. Identitas budaya yang pantas

untuk dilindungi, tetapi juga diburu

pasar karena keunikannya berharga. Dan, proses verifikasi UNESCO atas

tenun ikat Sumba untuk mendapat

pengakuan sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heri-tage) dari Indonesia merupakan salah satu contoh nyata bahwa

tenun NTT memiliki nilai lebih dan layak untuk diapresiasi dunia inter-

nasional.

Namun kian melambungnya posisi

tenun NTT di pentas nasional dan

bahkan internasional, keseimbangan antara idealisme tradisi dan tawaran

bisnis (pasar) menjadi timpang. Ada kecenderungan umum bahwa tenun

NTT sudah secara perlahan kehilan-

gan aura tribalnya. Tenun ikat seba-gai proses kultural mulai ditinggal-

kan lantaran permintaan pasar yang kian menguat.

Gejala semisal duplikasi motif den-

gan teknik digital print, pembantikan motif tenun dan sablonisasi secara

perlahan telah mengambil alih peran

dan fungsi penenun tradisional. Dari sisi ekonomi pasar dan efisiensi ker-

ja di satu sisi dipandang baik, tetapi di sisi lain secara kultural dan sosial

sejatinya mencederai identitas dan jati diri budaya dan tradisi yang su-

dah diwariskan secara turun temu-

run.

Lantaran itu redaksi lintas timur mencoba mengangkat dua narasi itu dari berbagai referensi. Menyoal

tenun NTT di antara dua pesona, idealisme dan pasar, sekaligus

memberi catatan-catatan kritis seba-

gai alternatifnya. Tentu saja bukan solusi, tetapi lebih sebagai refleksi

atas pengakuan ke-ada-an kita yang khas dan unik sebagai provinsi Nusa

Tenun Tangan ***

Ragam Tenun Belu Ragam Tenun Nagekeo Ragam Tenun Sikka

Ragam Tenun Kupang Ragam Tenun Lembata Ragam Tenun Flores Timur

Ragam Tenun TTS Ragam Tenun Sumba Barat Ragam Tenun Sumba Timur

Ragam Tenun Ende Lio Ragam Tenun Manggarai Ragam Tenun TTU

Galeri Tenun ini menampilkan koleksi tenun

dari berbagai wilayah adat di Nusa Tenggara

Timur dengan keragaman corak warna dan

teknik pembuatannya. Di sini Anda juga

dapat menemukan beragam informasi

tentang proses pembuatan dan peran tenun

dalam penghidupan manusia NTT. Galeri ini

dibuka untuk umum setiap hari kerja, mulai

pukul 09.00-18.00.

Alamat:

Baku Peduli Centre, Jl. Trans-Flores, KM

7, Watu Langkas, Nggorang, Komodo,

Manggarai Barat, Ph: 082144296566.

3 Edisi Juli-Oktober 2013

SEJARAH TENUN NTT

Dari marga Salvi sebuah suku di India tenun ikat ini berawal, melalui jalur perdagangan sutera, tradisi tenun ikat terus menelusuri Asia Tenggara, hingga Indonesia, termasuk wilayah sunda kecil (wilayah NTT sekarang ini). Dan itu dimu-lai sudah sejak ratusan tahun yang lalu. Ada catatan sejarah yang lain bahwa masyarakat NTT diperkirakan telah ada sejak 3500 tahun yang lalu. Banyak ahli

memperkirakan bahwa nenek moyang masyarakat NTT berasal dari ras yang beragam antara lain Astromelanesoid dan Mongoloid. Terdapat juga beberapa penemuan fossil yang menunjukan bahwa masyarakat NTT ada juga yang berasal dari ras Negroid dan Eropoid. Kerajaan pertama yang berkembang diperkirakan berkembang pada abad 3 M. Sejak lahirnya kerajaan tersebut diperkirakan masyarakat telah mengenal

adanya seni budaya yang tinggi dan diapresiasi dan menjadi bagian dari ke-hidupan sehari-hari. Salah satu nya ialah kemampuan menenun. Menenun merupakan kemampuan yang diajarkan secara turun menurun demi menjaga agar tetap dilestarikan. Tiap suku mempunyai keunikan masing-masing dalam hal corak dan motif. Tiap inidividu diharapkan bangga mengenakan kain dari sukunya masing-masing sebab tiap kain yang ditenun itu unik dan tidak ada satu pun identik sama. Motif atau pola yang ada merupakan manifestasi dari kehidupan sehari-hari masyarakat dan memiliki ikatan emosional yang cukup erat dengan masyarakat di tiap suku. Selain itu den-gan bisa menenun menjadi indicator bagi seorang wanita untuk siap dan pantas dinikahi, untuk pria yang menjadi indica-tor ialah mempunyai ladang dan bisa

bercocok tanam. Di NTT penyebaran tenun ikat hampir merata. Sehingga NTT bisa disebut seba-gai ‗Nusa Tenun Tangan‘. Walau setiap suku/etnis memiliki bahasa sendiri den-

gan lebih dari 100 dialek, memiliki adat, budaya dan kesenian sendiri-sendiri. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus meng-gambarkan mengapa ada begitu banyak corak hias/motif tenunan pada kain tra-disional di Nusa Tenggara Timur. Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga pengungkapan ab-straknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Fungsi Tenun Ikat NTT

Pada mulanya tenunan dibuat untuk me-menuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan,

kematian dll), hingga sekarang meru-pakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen. Namun demikian bagi masyarakat tra-disional NTT tenunan tetap sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi. Hal ini disebabkan selain karena keraji-nan tangan ini diproses dalam waktu lama, tetapi juga butuh keahlian dan imajinasi yang menyertakan rasa dan identitas. Sebab dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat, budaya dan tradisi yang sudah di-wariskan secara turun menurun.

Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.

Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.

Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin)

Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.

Fungsi hukum adat sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan

sosial yang terganggu.

Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.

Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.

Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/ desain

tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain.

Dok

. K

ris

Bh

eda

Som

erp

es

4 Edisi Juli-Oktober 2013

*) Kris Bheda Somerpes

JENIS-JENIS TENUN NTT

Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan

yang ada di Nusa Tenggara Timur

dapat dibagi menjadi menjadi empat jenis yakni:

Tenun sederhana. Dihasilkan dari

benang pakan masuk keluar ke

dalam benang lungsin dengan ritme yang sama, sehingga menghasilkan

tenun polos tanpa corak atau dengan corak garis-garis berbentuk horizon-

tal atau vertikal, kotak-kotak ber-corak kecil sesuai dengan warna dan

jenis benang yang dipakai, sehingga

menghasilkan tenunan yang disebut tenun lurik (garis-garis) atau tenun

poleng (kotak-kotak). Di NTT tenun sederhana hanya dijumpai di wilayah

Todo Manggarai.

Tenun Songket/Timbul. Teknik

pembuatannya dengan cara menam-bah benang pakan sebagai hiasan,

atau motif yaitu dengan menyisipkan benang perak, emas, tembaga atau

benang warna di atas benang lungsi.

Penempatannya tergantung dari corak yang diinginkan, ada kalanya

penuh dengan berbagai ragam hias. Motif yang tampak biasanya satu

sisi/arah. Penyeberannya terdapat di

wilayah Manggarai dan sebagian wilayah Nagekeo.

Tenun foit/Lotis/Sotis. Tenun

jenis ini dalam proses pembuatannya

mirip dengan pembuatan tenun Talik/Buna yaitu mempergunakan

benang-benang yang telah diwarnai.

Namun kadangkala untuk menam-bah variasi dapat ditenun pada

tenun jenis futus. Motif yang tampak

adalah dua sisi sebelah menyebelah. Penyebarannya terdapat di Kabu-

paten/Kota Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka,

Sumba Timur dan Sumba Barat.

Tenun futus/ikat. Disebut tenun

ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang.

Berbeda dengan daerah lain di Indo-nesia, untuk menghasilkan motif

pada kain maka benang pakannya

yang diikat, sedangkan tenun ikat di NTT, untuk menghasilkan motif

maka benang yang diikat adalah benang Lungsi. Penyebarannya

hampir merata di semua Kabupaten di Nusa Tenggara Timur kecuali Ka-

bupaten Manggarai dan sebagian

Kabupaten Nagekeo

Tenun Buna. Masyarakat Timor Tengah Utara menyebutnya tenun

Buna dan masyarakat Belu menye-

butnya Talik. Tenunan Buna/Talik maksudnya adalah menenun untuk

membuat corak atau ragam hias/motif pada kain mempergunakan

benang yang terlebih dahulu telah

diwarnai. Proses pembuatan tenun buna termasuk sangat rumit dan

membutuhkan waktu yang panjan karena motif-mitifnya dilakukan den-

gan system anyaman tangan se-hingga sebelah menyebelah tampak

sepadan. Penyebarannya di Kabu-

paten Kupang, TTS, Belu dan yang paling banyak adalah di kabupaten

TTU.

Tenun songket/timbul

Tenun foit/lotis/sotis

Tenun futus/Ikat

Tenun Buna/Talik

Tenun sederhana

PROSEs PEMBUATAN

Secara umum dan sederhana menenun adalah proses memasukan benang pakan (melintang horizontal/warna biru) ke sela-sela benang lungsin (membujur vertikal, warna merah) dengan menggunakan peralatan-peralatan tradisional yang bi-

asanya dilakukan oleh perempuan. Munculnya beragam jenis tenun, terma-suk jenis tenun ikat dengan beragam warna dan motif yang menyebar ke selu-ruh pelosok suku termasuk ke belahan

wilayah NTT merupakan proses adaptatif yang panjang. Tuntutan kebutuhan, termasuk ekonomi membuat tahapan dan proses pembuatan tenun pun kian majemuk. Di NTT, proses pembuatan tenun ikat misalnya dilakukan hampir mirip di se-

mua sebaran wilayah tenun. Dan seke-dar sebagai misal, di edisi kali ini redaksi lintas timur akan menghadirkan proses pem-

buatan tenun jenis futus.

Selengkapnya : Hal. 6-7

5 Edisi Juli-Oktober 2013

Pasang ke Pemidang Besar

Setelah proses nisu abas benang kemudian dimasukkan ke pemidang besar. Proses pemindahan ke pemidang besar ini dinamakan none abas. Pada pemidang besar ini benang diikat sesuai jumlah motif yang akan dibuat, misalnya jika ingin membuat motif fua mese maka 20 urat benang diikat menjadi 1 ikatan, kemudian jika motif pua kebi maka 6 urat benang diikat menjadi 1 ikatan, dan ain aof 3 urat benang diikat menjadi 1 ikatan. Ikatan-ikatan yang berjumlah sama tersebut kemudian disusun menjadi 3 lapsan kemudian bagian kiri serta kanan ikatan saling diketemukan untuk kemudian diikat lagi menjadi 1 ikatan sampai menyisakan 1 urat benanng saja. Proses ini dinamakan ta‘peni. Setelah proses ta‘peni benang kemudian dilipat lagi menjadi 3 bagian, untuk

selanjutya dipindahkan ke pemidang kecil. Proses ini dinamakan tliae. Keseluruhan proses ini berlangsung selama ± 2 hari.

Pewarnaan Dasar

Tahapan pertama ini dimulai dengan mencuci benang. Umumnya digunakan benang yang berwarna putih polos. Benang dicuci dengan sabun wings dan shampo berwarna hitam, kemudian dijemur dan dikeringkan. Proses pengeringan dilakukan secara alamiah dengan menggunakan bantuan sinar matahari. Benang yang telah kering itu kemudian dimasak dengan campuran daun pepaya dan kemiri yang telah ditumbuk. Proses pemasakan benang ini berlangsung selama ± 2 jam. Setelah itu benang dikeluarkan, dijemur, dan dikeringkan. Tujuan pewarnaan dasar ini yaitu: untuk memperoleh kualitas benang yang lebih kuat dan pada saat pewarnaan motif warna dapat tercampur secara merata. Proses pewarnaan dasar ini dinamakan ta‘feun abas dan berlangsung ± 1 hari.

Gulung Benang

Selanjutnya benang digulung pada sebuah

batu kecil, dengan tujuan untuk merapikan urat benang sehingga lebih mudah pada saat di-terap di pemidang besar (sebuah alat tenun). Proses ini dinamakan nisu abas dan berlangsung selama ± 1 hari.

Pasang ke Pemidang Kecil

Setelah proses tliae, benang kemudian dipindahkan ke pemidang kecil untuk selanjutnya diikat berdasarkan motif yang diingikan. Proses pengikatan motif ini dinamakan fut abas dan berlangsung selama ± 2 hari.

Pewarnaan

Setelah proses fut abas atau ikat motif, selanjutnya masuk pada tahap pewarnaan motif. Tahap pewarnaan motif ini dibagi menjadi 2 (dua), yakni: Pewarnaan hitam (pus abas). Untuk mendapatkan warna hitam digunakan tarum (sejenis tumbuhan). Tarum direndam dalam air selama 1 hari 1 malam, kemudian air rendaman tarum dicampur dengan kapur sirih dan dioleskan pada motif yang akan diwarnai hitam, diamkan hingga mengering, kemudian ikat kembali bagian benang yang sudah diberi warna

hitam tersebut, tujuannya ialah untuk melindungi benang yang telah diberi warna hitam agar tidak tercampur dengan warna lain pada saat pewarnaan berikutnya. Proses ini berlangsung ± 2 hari.

6 Edisi Juli-Oktober 2013

Pewarnaan merah maron (tahan futus). Untuk mendapatkan warna merah maron digunakan akar mengkudu dan noba. Akar mengkudu dicuci bersih,

ambil kulit luarnya, tumbuk kemudian campur dengan air dan disaring, pencampuran akar mengkudu yang telah ditumbuk dengan air dapat dilakukan beberapa kali hingga warna campurannya memucat.

Noba ditumbuk hingga halus kemudian diayak/disaring untuk mendapatkan bubuk yang lebih halus.

Cairan mengkudu dan bubuk noba kemudian dicampur, setelah itu benang yang sudah dibentuk motif dan diberi warna hitam itu direndam dalam campuran ini selama ± 3 hari 3 malam, kemudian dijemur dan dikeringkan. Setelah itu direndam sekali lagi selama 3 hari 3 malam, dikeluarkan, diamkan selama ± 15-20 menit, lalu bilas dengan air bersih, jemur dan keringkan. Benang yang telah jadi inilah dinamakan futus. Proses ini berlangsung ± 7 hari (1 minggu).

Pindah ke Pemidang Besar

Futus kemudian dipindahkan ke pemidang besar. Proses ini dinamakan none futus dan berlangsung ± ½ hari.

Terap

Setelah proses none futus kemudian dipasang 3 buah lidi sebagai pembatas yang bertujuan untuk meluruskan dan

mengencangkan motif kemudian ditambahkan lagi benang yang berwarna senada dengan motif pada batasan setiap motif. Proses ini dinamakan na‘ek futus dan berlangsung ± ½ hari.

Pasang Lidi

Setelah na‘ek futus dilanjutkan dengan

memasang lidi besar pada batasan atas dan bawah motif. Tujuannya ialah sebagai pembatas untuk menjaga kerapian dan kelurusan motif. Proses ini dinamakan sia futus dan berlangsung selama ± ½ hari.

None abas

Setelah lidi besar terpasang, kemudian ditambahkan lagi benang warna-warni sesuai keinginan dan siap untuk ditenun. Proses ini dinmakan none abas dan berlangsung selama ± 1 hari.

Tenun

Futus dan benang yang telah terpasang itu kemudian ditenun, dan pada saat tenun setiap 10-15 cm kain tenun akan dirapikan lagi menggunakan sifi (sebuah alat tenun). Tujuannya ialah agar bentuk dan warna motif muncul jelas ke

permukaan serta tetap rapi. Proses tenun ini berlangsung ± 4 hari.

Cuci

Selanjutnya kain tenun dicuci, dijemur, dan dikeringkan. Semua proses pengeringan mulai dari benang sampai kain tenun berlangsung secara alami, yakni menggunakan sinar matahari. Catatan:

Untuk bisa menghasilkan 1 ember cairan mengkudu diperlukan ± 3-4 kg akar mengkudu dan ± 12 ruas noba.

1 ember cairan mengkudu, bisa untuk merendam ± 20 futus.

*) Sonia dos Santos

Warna Biru atau Hitam. Untuk memperoleh warna biru atau hitam, biasanya digunakan daun nila (Indigo sp) yang masih banyak tum-buh liar di penjuru Flores. Daun-daun nila yang telah dipanen ini (reit tarun) lalu direndam (long kapa) dan difermentasikan untuk mem-peroleh pasta nila (buka tarun). Pasta inilah yang digunakan dalam proses pewarnaan se-lanjutnya. Jumlah pencelupan (long tarun) memainkan peranan untuk memperoleh warna biru terang hingga pekat atau hitam. Warna Kuning. Warna kuning biasanya diperoleh dari pengolahan kunyit dan kulit po-hon nangka. Prosesnya dimulai sejak pemane-nan bahan yang dalam bahasa lokal disebut „ali nguni-taper nakat olan‖. Kemudian penghalu-san/penumbukan (wai guni nakat olan), pence-lupan (gebor guni nakat olan), lalu penjemuran (woi kapa perun). Warna Merah. Warna merah diperoleh den-gan menggunakan kemiri, daun pohon dadap, daun pohon loba, akar pohon mengkudu, dan daun talinbao. Pemanenan bahan-bahan dalam bahasa lokal disebut ‖ali buke bur‖, ‖ou padu roun‖, ‖talinbao roun‖, ‖blata roun‖. Setelah diperoleh bahan-bahannya, dimulailah proses pembuatan warna dasar/peminyakan yang disebut ‖koja gelo‖ dengan menggunakan ke-miri, daun pepaya, dan daun dadap. Akhir proses tersebut, benang-benang dijemur (wori kapa) untuk kemudian masuk proses pewar-naan tahap kedua. Proses ini mencampurkan akar mengkudu dengan daun loba. Benang-benang tersebut dijemur kembali setelah proses pencelupan. Warna Hijau. Untuk warna hijau diperoleh dengan menggunakan daun kacang dan daun nila. Proses yang dilalui kurang lebih sama dengan warna-warna lain. Termasuk dengan warna coklat yang menggunakan akar meng-kudu dan pohon bakau.

7 Edisi Juli-Oktober 2013

Tenun Nusa Tenggara Timur (NTT) itu

khas dan unik. Kekhasan dan keuni-kannya tidak hanya tampak pada tam-

pilannya yang cantik, atau keanekara-gaman konsep desain dan coraknya

yang memesona. Tetapi juga pada filo-

sophi dan nilainya yang menyata pada motif-motinya yang bercorak tribal.

T enun atau menenun tidak sekedar proses untuk menghasilkan lem-baran kain yang difungsikan un-

tuk menutup tubuh dan atau alat tukar. Tetapi jauh melampaui itu merupakan simbol perjuangan dan perlawanan un-tuk mempertahankan identitas.

Identitas Perempuan

M enenun selalu identik dengan pe-rempuan. Konon, seorang perem-

puan yang tidak bisa menenun dipan-dang ‗bukan perempuan‘ bahkan bisa kehilangan pesona di hadapan kaum pria.

Elisabet Abu, ketua kelompok tenun Nekmes Baboi Insaka kampung Ekafalo, Insana TTU mengisahkan pengalaman masa mudanya. Bahwa menenun meru-pakan pekerjaan wajib kaum perem-puan. Lantaran itu walaupun masih ka-nak-kanak, mereka sudah diajarkan un-tuk menenun semua jenis tenunan.

Selain sebagai pekerjaan wajib kaum perempuan dan selanjutnya menjadi salah satu ciri perempuan NTT, kegiatan menenun juga merupakan bentuk perla-wanan kaum perempuan terhadap domi-nasi partriakhi. Dimana perempuan se-nantiasa dipojokkan, dianaktirikan bah-kan diinjak-injak harkat dan martabatnya hanya karena imagologi konyol yang menegaskan bahwa perempuan itu le-mah.

Perihal perjuangan kaum perempuan untuk mempertahankan identitas, harkat dan martabatnya dalam dan melalui tenun, sejarah NTT pantas mencatat nama besar Ratu Dona Maria Du'a Lise Ximenes da Silva, permaisuri raja Sikka Ximenes da Silva.

Ratu Dona Maria tidak hanya membang-kitkan semangat kaum perempuan untuk menenun dengan mengajak menenun, tetapi juga mengirim perempuan-

perempuan Sikka untuk secara khusus belajar tenun di pulau Jawa. Ada idealis-me tentang kesetaraan harkat dan mar-tabat manusia yang diperjuangkan Ratu Dona. Bahwa dalam dan melalui tenun dan menenun, perempuan dapat terlibat

dan melibatkan dirinya di tengah realitas sosial sebagai aktor perubahan, agen pembangunan.

Identitas Komunitas

S ejarah kehidupan komunitas-komunitas lokal atau suku-suku di

NTT pantas pula megapresiasi kaum perempuan. Lantaran dalam dan melalui menenun, kaum perempuan NTT menu-lis tradisi pun menerajut jatidiri komuni-

tas.

Mereka merekam peristiwa-peristiwa keseharian, mencatat kesan-kesan yang direfleksikan alam dan sekitarnya, me-maknai setiap perjumpaan yang diupa-carakan dan diritualkan, baik mitos, le-genda maupun keyakinan kepada Yang Tertinggi. Dengan keahlian dan imajina-sinya, mereka bekukan pemaknaan atas semuanya itu dalam ikatan benang-benang menjadi motif dan corak.

Komunitas masyarakat Sikka pasti tahu bahwa tenun ikat motif Naga Lalang yang melukiskan ular naga sebagai simbol kekuatan dan harapan. Atau jika Tenun ikat dari Sumba Timur dengan motif pohon dianggap lambang interaksi antara Tuhan menjenguk manusia dan manusia ditarik ke arah Tuhan. Dan masih banyak lagi simbol-simbol yang diungkapkan dalam motif-motif tenun yang dengan ciri dan kek-

hasannya masing-masing menegaskan tentang ke-ada-an suku dan komunitas bersangkutan. Dan perihal itu, di NTT tak terbilang banyaknya, menyebar di ratusan pulau dan tumbuh di puluhan suku. Namun menariknya bahwa dari semua itu dapat kita temukan dalam dan mela-lui lembaran-lembaran tenun yang diker-jakan oleh kaum perempuan. Dengan imajinasi dan keahlian masing-masing,

mereka wariskan identitas suku secara turun temurun. Tujuannya bukan hanya agar dapat dikenang semata, tetapi juga sekaligus menjaga agar identitas komu-nitas tetap terjaga hingga entah.

M otif kain untuk orang Sumba bermacam-macam. Mot i f manusia dianggap lambang

panjang umur karena manusia mempun-yai kelangsungan hidup dari keturunan kepada keturunan. Motif binatangseperti kerbau dianggap sebagai lambang kesub-uran tanah. Motif ular melambangkan

dunia bawah atau lambang air. Motif ka-dal melambangkan dewa langit malam. Motif binatang rayap udang melambang-kan kematian dan hidup, yang tersimpul dari udang yang bertukar kulit baru. Motif kodok melambangkan curah hujan oleh kekuatan angker kodok. Motif eng-gang melambangkan kematian dan hidup. Motif ayam jantan melambangkan matahari. Motif-motif binatang pengaruh Hindu adalah gajah yang merupakan lam-bang kendaraan dewa. Motif kuda lam-bang kendaraan arwah menuju alam baka. Motif burung garuda lambang ken-daraan Dewa Wisnu atau lambang matahari. Motif burung nuri melambang-kan cinta karena burung itu dianggap membawa berita asmara.

*) http://koekoeh.wordpress.com

M otif Lolocumbi berbentuk segi-tiga melukiskan segi-segi ke-hidupan. Manusia hidup dalam

komunitas kampung (beo bate elor), rumah tinggal (mbaru gendang-mbaru bate kaeng) dan tanah-ladang (lingko randang-uma bate duat). Motif Matang puni/luni matang puni men-yerupai ketupat menggambarkan hidup berjalan terus bak pohon pakis yang tetap hidup sepanjang musim. Motif Matang ntewer bersegi empat men-gandung sanjungan bagi wanita yang rajin berkarya dan mempunyai keterampi-lan menenun. Motif ini juga melukiskan para perantau agar tidak lupa akan tem-pat kelahiran/kampung halaman.

*) http://www.floresbangkit.com/

8 Edisi Juli-Oktober 2013

*) Kris Bheda Somerpes

Identitas Harus Dihargai

S ebagai simbol dan ungkapan identitas diri, kain tenun pada mulanya tidak

untuk digadai apalagi dijual. Tenun di-buat untuk dijadikan harta pribadi atau keluarga dan menjadi medium perjum-paan dengan Yang Tertinggi.

Tenun dan atau menenun juga merupa-kan idealisme untuk mendorong terwu-judnya perubahan sosial yang dimulai

dari diri sendiri (penenun) juga komunitas sosial (suku).

Lantaran itu proses pembuatan selembar tenun adalah sesuatu yang istimewa dan bahkan bermartabat bagi seorang perem-puan. Amat beralasan mengapa proses pembuatan kain tenun disebut bermarta-bat.

Pertama, perempuan penenun akan melakukannya secara manual dengan bantuan peralatan-peralatan tenun tradi-sional. Mereka memintal benang dari kapas, selanjutnya memberi warna den-gan bahan-bahan pewarna alami. Hal ini selain menunjukkan peran keterlibatan perempuan dalam proses penciptaan. Pada saat yang sama menegaskan pen-gakuan bahwa alam sekitar memiliki ke-kuatan yang perlu dibagikan.

Kedua, dan perihal itu dibutuhkan wak-tu, kesabaran dan ketekunan. Lantaran menenun membutuhkan kecermatan dan

ketelitian. Setiap jenis tenun memiliki waktu proses yang berbeda-beda. Untuk menenun jenis songket, bisa dibutuhkan waktu dua sampai tiga minggu. Untuk tenunan jenis futus/ikat dibutuhkan wak-tu satu bulan. Sedangkan untuk tenunan jenis buna/talik dibutuhkan waktu sampai setahun. Masing-masing jenis tenunan memiliki tingkat ketelitian dan kecerma-tannya sendiri. Inilah salah satu faktor yang membuat harga tenun NTT begitu mahal.

Ketiga, menenun juga merupakan aktivi-tas olah imajinasi. Lantaran proses mene-nun melibatkan emosi/perasaan dan maksimalisasi peran imajinasi menjadi faktor penting dan utama dalam mene-

nun. Apalagi ketika penenun harus me-nenun berdasarkan motif-motif purba. Seperti di kabupaten Sikka, untuk motif korsang manowalu (burung dalam mi-tologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan sesaweor (ekor ikan sesa), atau lawa jara (motif kuda dan penunggangnya). Atau di kabupaten Ende untuk motif klasik seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan seba-gai kendaraan para dewa), lawo jara

(motif kuda), lawo zombo/ rombo (motif pepohonan lambang kehidupan), dan lawo nepa mite di Nggela yang bermo-tifkan ular. Untuk menenun motif-motif in, butuh imajinasi yang lebih lantaran selain melawan lupa juga menjumpa identitas diri.

Keempat, sebagai bagian dari aktivitas merajut kehidupan, proses menenun adalah proses yang sakral, lantaran da-lam prosesnya terjadi perjumpaan dan relasi kedekatan antara manusia dengan Yang Tertinggi, pun bermartabat lanta-ran memperjumpakan manusia dengan dirinya sendiri dan sesama, pun dengan lingkungan alam sekitarnya.

Di sumba Timur misalnya, para penenun menenun motif yang menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dari kela-hiran sampai pada kematian. Motif tenun klasik yang berharga sampai ratusan juta ini dalam proses pembuatannya tidak hanya melibatkan pengetahuan dan pe-mahaman tentang kehidupan, atau ha-nya dibutuhkan imajinasi dan keahlian tetapi juga totalitas dan ketulusan. Kare-na bagi mereka menenun motif perjala-nan kehidupan manusia sama seperti merawat kehidupan, membimbing ziarah hidup manusia dalam perjalanan menuju keabadian.

Empat faktor di ataslah yang membuat tenun ikat NTT menjadi begitu istimewa. Keistimewaannya terletak pada posisinya yang bermartabat dalam ruang sosial, berkarakter dalam ruang imajinasi, ber-makna dalam motif dan corak, berharga dalam pusaran pasar, pun memesona dalam penampilannya. ***

M otif dan ragam hiasan tenun Sikka penuh dengan artian nilai/simbol pada setiap sarung

adat: Utang Moko, dipakai dikala

upacara perladangan dengan ujud memohonkan kesuburan. Utang Breke, dipakai pada waktu upacara menolak bala dalam perlambang destruktif pe-musnahan. Utang Jarang Atabi'ang, dipakai sewaktu ada kematian dalam perlambang manusia menaiki kuda menuju alam baka.

Utang Merak, sangat layak dipakai sang pengantin wanita, karena corak dan warna menarik, indah. Utang Mitang, sangat cocok buat orang tua, karena

warna gelap yang tenang. Utang Wenda, bagi pasangan yang ingin hidup bahagia,sangat bertepatan untuk dipakai. Utang Rempe Sikka, buat pasangan yang ingin kerukunan hidup.

Utang Mawarani, dengan perlambang Bintang Kejora, diharapkan dapat mem-berikan penerangan, petunjuk juga seba-gai media penolak bala. Utang Oi Rempe-Sikka, sangat layak dipakai oleh pengantin wanita, karena berlam-

bang tiga bintang seandai suami, isteri dan anak. Utang Sesa We'or, sangat laik buat pengantin yang sedang beradu kasih, dalam perlambang burung murai berpasangan.

*) www.alfonsadeflores.blogspot.com

Dok

. K

ris

Bh

eda

Som

erp

es

Utang Rempe Sikka

9 Edisi Juli-Oktober 2013

K ini, proses pewari-san identitas nya-ris sampai di titik

akhir, walau sejatinya tra-disi tidak berusia. Proses pewarisan dihadapkan pa-da beragam fakta yang dengan caranya masing-masing mencederai jalan-nya tradisi tenun NTT.

Pertama, para penenun NTT sementara ini mayoritas adalah generasi tua. Di be-berapa tempat yang menjadi kantong-kantong tenun NTT seperti di wilayah kekaisaran Biboki TTU, Sumba Timur dan bahkan di Sikka Flores, para penenunnya adalah perempuan-perempuan tua den-gan kisaran usia antara 40-60 tahun. Dan kalaupun ada golongan muda, maka menenun bukan menjadi pekerjaan uta-ma, tetapi sebagai aktivitas pengisi waktu luang atau selingan.

Lantaran, menenun bagi generasi kini

dipandang sebagai pekerjaan yang mem-bosankan dan menyita banyak waktu. Tahapan proses pembuatannya yang sampai berminggu, secara ekonomis ti-dak efisien dan menguntungkan. Akibat-nya tenun tinggal bergantung di ujung jari-jari uzur, generasi tua.

Kedua, Pada saat yang sama, waktu bergerak seperti berlari. Segala hal yang berkaitan dengan proses diminimalisir, demi tujuan mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam posisi ini tenun menjadi korban paling empuk. Pesona instantis-

Batik yang dikenakan Presiden AS Barack Obama dan SBY serta para pemimpin Asean di KTT Asean Bali pada 17-19 November 2011 oleh banyak kalangan termasuk media massa meyakini bermotif tenun ikat NTT. Namun menurut Alleira Batik, pen-yedia busana kenegaraan yang diminta istana untuk event tersebut mengaku bahwa 36 pasang busana yang disediakan adalah kreasi batik bermotif tenun Bali dan NTB di antaranya tenun bermotif gringsing, parang, paisley, dan patchwork. Pertan-yaannya adalah mengapa tenun NTT kalah bersaing dengan tenun NTB dan Bali?

10 Edisi Juli-Oktober 2013

*) Kris Bheda Somerpes

me (bahkan pengabaikan akan proses) yang menonjolkan sisi sederhana, cepat, mudah dan ringan justru digandrungi, sementara yang lama, rumit, berat dan kaku dipandang purba dan kuno.

Perihal ini tampak mencolok pada keter-tarikan massa pada kain-kiain batis, lan-taran lebih ringan dan nyaman dikena-kan. Bahkan di zaman instantisme, tenun ikat justru tenggelam di balik pesona ‗celana umpan‘.

Ketiga, pengaruh lain dari problem ins-tantisme adalah tawaran siap saji berba-gai kebutuhan manusia, termasuk kebu-tuhan untuk memproduksi tenun yang ditawarkan pasar. Berbagai bahan pewar-na alami yang ada disekitar lingkungan dan diproses secara alamiah secara perla-han ditinggalkan, lantaran munculnya pewarna-pewarna sintetis produksi pa-brik. Tidak hanya itu bahan dasar tenun berupa kapas nyaris punah setelah be-nang-benang toko jauh lebih mudah di-peroleh dan pupoler digunakan.

Keempat ketertarikan yang tak terkon-trol seperti di atas membawa dampak yang justru jauh lebih serius, yakni ber-kencambahnya duplikasi motif tenun me-

lalui pembatikan, sablon dan digital print. Demi mengejar permintaan pasar, kaum berduit bisa dengan mudah mengganda-kan motif-motif tribal NTT. Ditambah harga beli yang jauh lebih murah sudah barang tentu banyak orang yang akan melirik motif-motif daerah yang diproduk-si pabrik.

Kelima, selain karena pesona pasar, kebijakan ‘setengah hati‘ pemerintah untuk memproteksi pengaruh-pengaruh buruk atas keberadaan tenun NTT juga turut berpengaruh. Di satu sisi pemerin-tah mengumandangkan dalam dan mela-lui peraturan daerah dan atauran hukum lainnya untuk mewajibkan para pegawai negeri mengenakan pakaian motif dae-rah, namun di sisi yang lain justru begitu banyak pegawai negeri sipil yang justru mengenakan pakaian motif daerah hasil sablon, pembantikan dan dicetak dgital.

Keenam, ada disparitas harga atas te-nun NTT. Bagi warga NTT harga tenun dijual murah, sementara bagi warga asing (lebih-lebih turis asing) dijual den-gan harga mahal. Anggapan bahwa wisa-tawan asing banyak uang, sebenarnya adalah anggapan yang konyol jika berha-dapan dengan bagaimana menghargai

pewarisan identitas.

Justru sebaliknya, warga lokal harus mau membeli dengan harga yang jauh lebih tinggi, ketimbang warga asing. Sebagai warga lokal sesungguhnya masyarakat NTT menyadari bahwa tenun adalah identitas diri, identitas kultural, menjual dan membelinya adalah sebuah transaksi yang bermartabat, dan untuk itu perlu diganjar dengan harga yang mahal bah-kan jika mau jujur tidak ada harga yang pantas untuk idealisme di balik itu.

Ada dampak ganda dari disparitas harga seperti ini, yakni pertama bisa membuat warga asing tidak berminat untuk memili-ki (membeli) produk tenun NTT, dan ke-dua, warga lokal akan tidak menghargai tenun sebagai produk yang pantas untuk dihargai.

Inilah enam problem paling menonjol yang dialami mayoritas masyarakat NTT dalam upaya mewarisi dan memperta-

hankan identitas diri, komunitas dan tra-disi. Di hadapan problem-problem terse-but dibutuhkan alternatif pelestarian yang digalang secara bersama, baik penenun itu sendiri maupun masyarakat umum, pemerintah dan juga pasar.

S eca r a umum d i l i h a t da r i kegunaannya, produk tenun NTT hanya diproduksi untuk tiga hal

yakni sebagai sarung, selimut dan juga selendang. Selanjutnya di tangan desainer lembaran-lembaran tenun terse-but diolah lebih lanjut.

Sarung dapat diolah menjadi kain baju atau rok dalam beragam jenis. Lembaran selendang bisa diolah menjadi tas dan obi (ikat pinggang) serta hiasan dinding. Se-mentara itu lembaran selimut bisa diolah menjadi penutup meja, sofa dan kasur. Beberapa desainer bahkan berani mengo-

lah jenis selimut menjadi baju bergaya draperi.

Jika melihat kreasi para desainer apalagi permintaan pasar, sebenarnya produk tenun NTT masih nyaris tidak berkem-bang dan hanya terpaku dengan produk berjenis ‗itu-itu saja‘. Apalagi berani me-mulai terobosan inovatif seperti yang diproduksi para penenun Desa Troso Ke-

camatan Pecangaan Kabupaten Jepara, rupanya masih butuh waktu. Seperti di-lansir dari www.tenuntrosojepara.com, tenun ikat Troso termasuk yang paling peka terhadap perkembangan pasar se-cara khusus permintaan konsumen. Motif khas yang bernuansa etnis, tradisional, klasik, dan unik pun masih dipertahankan kendatipun disentuh motif-motif kontem-porer dan modern.

Produk yang dihasilkan antara lain Kain Sutra, Sajadah, Bed Cover, Blangket, Sarung, Kain, Mersis (bahan Baju dan Rok), Place met, Taplak Meja dan produk

-produk menarik lainnya. Tercatat perkembangan industri tenun Troso telah mencapai 238 unit usaha dan meyerap tenaga keja sebanyak 4.210 orang pada tahun 2005 dengan nilai investasi lebih dari Rp. 1 Milyar.

Produksi hingga saat ini telah mencapai sekitar Rp. 54,5 Milyar Sesuai dengan perkembangan pasar, permintaan terha-

dap produk tenun ikat Troso pun semakin berkembang mengikuti permintaan kon-sumen.

Memang, penenun NTT tidak harus meniru para penenun desa Troso, tetapi para penenun kita rupa-rupanya perlu dibimbing dan didampingi untuk memper-kaya imajinasi dan mau berani mengek-splorasi bentuk, jenis dan gaya. Para penenun kita pun perlu dibimbing untuk bekerja bersama dalam kelompok dengan system pengelolaan dan manajemen pe-masaran yang baik.

Tujuannya bukan hanya untuk memper-

banyak jenis tenun tetapi juga agar tidak kalah saing dengan tenun ikat dari daerah lain, semisal dari tenun ikat torso. Jika tidak, perihal ini bisa menjadi salah satu problem yang bakal kita hadapi dalam upaya mewariskan tradisi tenun kita.

(KBS)

11 Edisi Juli-Oktober2013

M otif tenun Mata Manuk (mata ayam) adalah salah satu motif tenun khas Manggarai Barat

yang digali dari budaya, adat istiadat,

kehidupan sosial dan religius masyarakat Manggarai Barat.

Latar Belakang Terdapat beberapa alasan mengapa mo-tif ‗Mata Manuk‘ ini diangkat pemerintah Manggarai Barat untuk dijadikan motif khas daerahnya. 1. Masyarakat Manggarai Barat meng-

gunakan Manuk (ayam) sebagai sarana penyembahan kepada sang pencipta dan leluhur.

2. Masyarakat Manggarai Barat meng-gunakan Manuk (ayam) dalam ritus-ritus adat.

3. Manuk (ayam) digunakan sebagai

sarana perdamaian dan simbol per-saudaraan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

4. Manuk (ayam) digunakan sebagai

simbol kejantanan dan keberanian. 5. Manuk juga (ayam) digunakan seba-

gai penolak bala.

Unsur-Unsur Motif

Unsur-unsur yang terdapat dalam motif Mata Manuk adalah sebagai berikut: 1. Mata Manuk. Mata Manuk sendiri

terdiri atas bibel dan Mata Manuk. Bibel berbentuk trapezium yang terle-tak di luar Mata Manuk. Sedangkan

Mata Manuk berbentuk bundar telur dan terdiri dari empat titik yang menggambarkan ayam yang mampu melihat ke empat penjuru mata an-

gin. Warna motif Mata Manuk dapat dikombinasikan dengan warna putih, hitam dan merah.

2. Lobak. Lobak adalah sebuah garis

yang tidak terputus yang menanda-kan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Misalnya kalau ayam berkokok, yang lainnya akan turut menyahut. Warna Lobak dikombinasi-kan antara warna merah, putih dan hitam. Memberi warna pada Lobak sangat tergantung dari warna dasar kain lipa.

3. Jok. Jok adalah garis melingkar yang terdapat pada ujung atas dan bawah kain songke yang bentuknya ber-gelombang seperti gelombang laut. Gelombang laut menunjuk pada wilayah kabupaten Manggarai Barat yang memiliki potensi laut yang cu-kup luas.

Mata Manuk (Mata Ayam) berbentuk bundar telur mempunyai ketajaman

penglihatan dan melihat sesuatu dengan yakin dan

menarik perhatian sesamanya. Mata ayam lebih

tajam dan peka untuk melihat musuh yang jauh,

mata ayam lebih tajam dan peka untuk melihat makanan

yang oleh mata manusia tidak dapat melihatnya.

*) Diadaptasi dari ‗Deskripsi Motif Mata Manuk‘ yang dikeluarkan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (DEKRANASDA) Kabupaten Manggarai Barat

12 Edisi Juli-Oktober 2013

Lobak: sebuah garis yang tidak terputus yang menandakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Mata Manuk berbentuk bundar telur dan terdiri dari empat titik yang meng-gambarkan ayam yang mampu melihat ke empat penjuru mata angin.

Bibel: berbentuk trape-zium yang terletak di luar Mata Manuk

Mata Manuk berbentuk bundar telur dan terdiri dari empat titik yang menggambarkan ayam yang mampu melihat ke empat penjuru mata angin.

S ebagai buah dari adaptasi tradisi dan budaya, motif songke Mata Manuk merupakan percikan re-

fleksi spektakuler masyarakat Mangga-rai Barat (dalam hal ini pemerintahnya) atas identitasnya. Namun, sayangnya proses pembudayaan atas adaptasi hebat itu masih jauh dari maksimal.

***

Jika hendak ditelisik lebih jauh dalam sejarah tenun tradisional Manggarai,

motif songke Mata Manuk merupakan turunan motif-motif songke Manggarai jenis Libo. Di Manggarai Raya (minus Todo) motif-motif jenis ini menyebar rata di kantong-kantong produksi tenun seperti Cibal dan Lambaleda. Dan buah imajinasi budaya itu diwariskan secara turun temurun dari generasi ke gen-erasi penenun tradisional.

Landasan filosophis yang mendasarinya yakni tentang ‗Manuk‘ (ayam) pun bu-kan sesuatu yang baru dalam budaya

Manggarai. Manuk (Ayam) sama halnya dengan Kambing dan Kerbau adalah ‗atribut‘ kultural yang bagi orang Mang-garai adalah bernilai secara kulturan dan bermartabat secara sosial.

Dan Mata Manuk itu sendiri kemudian menjadi khas dan unik, lantaran dia lahir bukan hanya karena mampu membaca ‗teks‘ sejarah di atas (tentang nilai-nilai) dengan cermat, tetapi juga jitu menjawab ‗konteks‘ ke-

Manggarai-Barat-an. Perihal itu dapat dijumpai melalui Jok, ujung atas dan bawah kain songke yang bentuknya bergelombang seperti gelombang laut yang menjadi ciri ke-ada-an wilayah di tepi barat Flores ini.

Buah imajinasi dan refleksi budaya ini tampaknya memang sederhana dan bahkan tidak jarang dicibir sebagai sekedar ‗mengada-ada‘, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang ibu di Nggorang ―Yang kami tahu, motif

songke Manggarai itu sama, tidak ada yang khas apakah motif jenis seperti ini atau itu dari daerah kabupaten Mang-garai Barat, Tengah atau Timur‖

***

Memang, membudayakan buah budi, butuh daya jangka panjang. Apalagi proses pembudayaan itu perihal identi-tas diri komunal. Motif songke Mata Manuk, sebagai misal, tidak hanya harus dijumpakan secara berulang dalam ker-tas dan ruang seminar/pertemuan. Tetapi harus ada dan berperistiwa dalam kesaksian. Menyata dalam penampilan.

Selain agar identitas itu diterima-paham oleh semua kalangan, juga pada saat yang sama nilai-nilai, keyakinan akan identitas (prokemnya disebut percaya diri), dapat sampai kepada semua masyarakat warga.

Beberapa tawaran alternatif dapat dis-erta-catatkan di sini, yakni antara lain: Pertama, para pejabat publik haruslah orang pertama yang memberi contoh perihal itu. Sebagai misal, para pegawai negeri sipil harus wajib mengenakan baju dan atau rok songke bermotif Mata

Manuk pada hari-hari tertentu. Kedua, perkuat kantong-kantong produksi tenun tradisional yang menyebar di ka-wasan Manggarai Barat dengan cara memberi penguatan kapasitas financial dan sumber daya manusia kepada mereka sekaligus membuka akses pasar untuk usaha produksinya. Ketiga, perlu pula patenisasi untuk motif songke Mata Manuk, sambil pada saat yang sama tolak motif songke Mata Manuk jiplakan hasil sablon dan digital print.

***

Tiga tawaran alternatif solusi ini saya pikir cukup. Lantaran kita semua tahu bagiamana seharusnya menjaga ‗adab‘ dan mewariskan budaya. Kita semua tahu bagaimana mengemukakan identi-tas diri kita di tengah puasaran tawaran modernitas yang kian menggiur-gemaskan. Namun jika sampai tidak, betapa berbahayanya ke-ada-an kita di tengah kepungan modernitas. Kita su-

dah dimakan bulat-bulat oleh aneka produk luar, sampai-sampai Mata Manuk pun bagai tak bertaji di gelanggang Sail Komodo. Mata Manuk ambruk di bawah sepotong kain batis yang bernama Ba-tik.

13 Edisi Juli-Oktober 2013

*) Kris Bheda Somerpes

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

PENGAKUAN UNESCO

S emantara ini upaya Cita Tenun Indo-nesia untuk mematenkan tenun ikat

Sumba sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) dari Indonesia sedang menunggu hasil yang

sedianya akan diumumkan UNESCO pada desember 2013 nanti. Menurut Okke Hatta Rajasa tenun Sumba dapat dibuat dengan tiga teknik tenun datar yang hampir dapat ditemui di se-jumlah daerah dikombinasikan dengan

songket, ikat dan teknik lainnya seperti batik. Tenun Sumba juga dapat dibuat seperti songket dan ikat. "Karenanya tenun Sumba dapat mewakili seluruh tenun yang ada di sejumlah daerah di Indonesia, dan karena itu kita daftarkan ke UNESCO" jelas Okke.***

http://www.kemdiknas.go.id

PENDIDIKAN Dalam Dysfashional 6 pada 2011 yang melibatkan desainer mancanegara, bertempat di Galeri Nasional Jakarta, Oscar Lawalata salah satu desainer tanah air yang peduli pada tenun NTT menam-pilkan Sembilan kursi kayu yang se-muanya di-desain dengan motif tenun ikat NTT seperti Timor, Sumba, Sabu dan Alor.

―Pesannya adalah edukasi. Pendidikan mengenai budaya tidak didapatkan anak sejak kecil. Kursi sekolah melambangkan suasana kelas. Sementara motif tenun ikat pada kursi sekolah ini bermakna pen-didikan budaya harus diajarkan sejak dini. Budaya, tradisi dan tarian harus

diajarkan ke generasi muda. Makna lain-nya adalah profesi kreatif juga perlu dike-nalkan agar tidak punah, termasuk penenun kain ikat NTT ini. Anak perlu diajarkan untuk bekerja, dalam bidang apa pun, dengan mengangkat budaya Indonesia‖ Jelas Oscar memberi alasan.

MUSEUM TENUN IKAT

ENDE

Museun Tenun Ikat Kabupaten Ende Ter-letak di jalan Mohamad Hatta, kira-kira 100 meter dari taman kota dan bersebe-lahan dengan museum bahari dan ber-bentuk rumah adat , di sini dapat dilihat

Peralatan tenun ,proses pembuatan sam-pai selesai mulai dari memintal kapas menjadi benang , alat-alat yang diguna-kan untuk membuatan motif ( tege) , alat - alat yang digunakan untuk tenun dan masih bersifat tradisional seperti Woe, Ogo,Ngewi,kaka, Sisir,Kabhe,Keke, Ngewi dan juga dipajang beberapa jenis sarung yang sudah tua usianya yang proses pembuatannya masih bersifat tradisional baik obat pewarnaan seperti menngguna-kan akar/batang mengkudu dan daun tarum.

www. Sailkomodo2013..nttprov.go.id/

K ini, terdapat begitu banyak cara untuk

mewariskan tradisi tenun ikat, mempertahankan identitas. Pun pula sudah banyak actor yang terlibat. Tidak hanya para penenun itu sendiri yang terus me-nenun, tetapi juga para desainer kondang tanah air, kolektor dan pemerintah telah turut serta di dalam-nya, membangun kekuatan bersama. Di bawah ini be-berapa misal yang bisa diangkat.

14 Edisi Juli-Oktober2013

“PEDULI PRODUK SENDIRI”

G ubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya telah mengeluarkan in-

struksi kepada seluruh pegawai negeri sipil (PNS) untuk wajib mengenakan motif daerah berupa tenun ikat dua kali dalam seminggu. "Sebelumnya hanya satu kali

dalam seminggu, sekarang dua kali. Hari Rabu dan Kamis, semua PNS wajib men-genakan motif daerah," kata Asisten Ad-ministrasi dan Pembangunan Setda Provinsi Nusa Tenggara Timur, Andreas Jehalu, mewakili Gubernur. Selain itu, Gubernur NTT sudah menge-luarkan imbauan kepada semua SKPD untuk memberikan hadiah berupa tenun ikat kepada setiap tamu yang berkunjung ke NTT. Hal itu terkait dengan upaya

gerakan nasional penggunaan produksi dalam negeri, khususnya produk NTT. Himbauan yang saya diteruskan oleh ka-bupaten kota, salah satunya adalah kabu-paten Manggarai Barat yang mewajibkan PNS untuk mengenakan motif daerah.

SANGGAR WATUBLAPI

S anggar merupakan alternative pe-warisan tenun yang kreatif. Lantaran

selain mengikutsertakan tenun sebagai atribut, juga pada saat yang sama kebu-dayaan komunitas secara umum ditam-

pilkan. Model pewarisan serupa itu, seba-gai misal tampak dalam berbagai aktivi-tas yang dilakukan sanggar masyarakat adat Watublapi, desa Kajowair, kecama-tan Hewokloang, Kabupaten Sikka-Flores.

Sanggar yang bernama Blirian Sina Watublapin yang mula-mula digagas-bentuk Romanus Rewo (almarhum), pada tahun 1980 ini tidak hanya menyaji-kan tarian-tarian rakyat, tetapi juga me-warisi proses pengolahan tenun ikat tra-disional khas Sikka. Kekuatan atribut dan motif tribalnya begitu tampak dalam dan melalui tahap proses pembuatannya. Lantaran mereka tidak hanya mengguna-kan benang-benang dari kapas, tetapi juga memberi warna dengan bahan-bahan alami dari dedaunan dan akar pepohonan hutan.

http://baltyra.com/

CENTRA TENUN IKAT ROTE NDAO

Industry tenun ikat sangat berkem-

bang di Kabupaten Rote Ndao teru-tama di Desa Ndao Kecamatan Rote

Barat terdapat 197 unit usaha dari

215 unit usaha di seluruh Kabupaten Rote Ndao.

Beberapa sentra industry Tenun Ikat

antara lain yaitu Sentra Tenun Ikat Ndao di desa Ndao, Sentra Tenun

Ikat Janur Kuning di Kelurahan

Namodale, Sentra Tenun Ikat Della di desa Nemberala, Sentra Tenun Ikat

Faifua di desa Faifua, Sentra Tenun Ikat Onatali di Desa Onatali, Sentra

Tenun Ikat Edalode di desa Edalode,

Sentra Tenun Ikat Serubeba di desa Serubeba.

Dari keseluruhan unit usaha yang ada

dapat menghasilkan 24.030 lembar tenun pertahun dengan capaian pen-

dapatan senilai Rp. 978.000.000. Dan sektor industry ini selain men-

yerap tenaga kerja sebanyak 252

orang, juga pada saat yang mewaris-kan pengetahuan dan tradisi

*)

htt

p:/

/ww

w.k

likh

ead

lin

e.co

m

15 Edisi Juli-Oktober2013

*) Disarikan dari berbagai sumber oleh Kris Bheda Somerpes

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

S ore hari itu, di ujung bulan Juli. Angin jatuh yang meniup sepan-

jang lereng Laktutus sesekali singgah

di Tubaki, lepaskan hawa kering yang dingin. Siapa pun pendatang baru ha-

rus merapatkan dua bilah tangannya, menggosokkan dengan cepat untuk

hadirkan hangat.

Namun tidak buat Mama Kristina Rahu.

Dua tangannya lincah menari di atas rentangan benang. Sesekali melurus-

kan benang lungsin yang tampak men-

gendur, sesekali pula melesakkan be-nang pakan. Lalu dengan dua tangan-

nya, ibu beranak empat ini melanjut-kan tenun.

Angin dingin pun berlari lalu, sebelum membentur benang sisah yang meng-

gelantung di kepala pemidang. ―Kami di sini sudah biasa, apalagi kalau su-

dah naik tenun, kami sudah tidak rasa

dingin lagi‘‘ kisahnya sambil terus mengayun bilah perapat. Tampak se-

jengkal yang mulai jadi menampilkan motif ikan bercorak kecil dengan pa-

duan warna kuning dan hitam. Di atas

rentang benang yang masih panjang terurai itu tampaknya akan terpola

motif ikan baris berbaris berenang en-tah sampai nanti.

Kampung Tenun Tubaki

Tubaki adalah salah satu kampung dari sekian kampung yang menyebar di em-pat desa sekecamatan Nanaet Dua Besi, Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampung yang dibagi menjadi dua dusun ini masuk dalam wilayah de-sa Dubesi.

Lantaran terletak di lereng gunung Lak-tutus. Kampung yang berjarak tiga pu-luh lima kilometer dari kota Kabupaten (Atambua) ini selalu disapu angin jatuh yang dingin dan kering. Rumah-rumah penduduknya terbentang sepanjang

jalan desa. Dan sebagaimana halnya kampung pada umumnya, Tubaki tam-pak sepi.

Namun demikian, kampung yang ber-penghuni seratus tiga puluh enam kepa-la keluarga ini memiliki Keistimewaan tersendiri. Keistimewaannya adalah lantaran pekerjaan utama kaum perem-puan sebagai penenun. ‗‘pekerjaan uta-ma perempuan di sini adalah menenun, tidak ada yang lain‘‘ jelas Mama Kristin. ‗‘anak-anak perempuan yang masih se-

kolah dasar pun kami sudah ajar untuk menenun‘‘.

Martabat Perempuan

Ada banyak alasan yang melatari men-gapa kaum perempuan Tubaki memilih menenun sebagai pekerjaan utama dan

bukan pekerjaan sampingan atau pengisi waktu luang di tengah kesibukan seba-gai peladang atau petani.

Dua alasan yang paling menguat adalah faktor geografis dan tradisi. Secara geo-grafis, kampung-kampung di lereng Lak-tutus, termasuk Tubaki tidak memung-kinkan untuk mengembangkan sektor pertanian. Padang rumput yang luas dengan curah hujan yang rendah lebih memungkinkan mereka untuk memilih menjadi peternak.

Menenun juga merupakan tradisi kaum perempuan Tubaki. ‗‘Di sini, perempuan harus tahu menenun. Kalau tidak tahu menenun, itu bukan namanya perem-puan‘‘ aku mama Kristin lebih lanjut.

Bahwa menenun selain sebagai peker-jaan juga merupakan identitas diri seka-ligus penegasan akan martabat kaum perempuan. ‗‘para pemuda yang ada di kampung akan sulit meminang kaum perempuan yang tidak tahu menenun‘‘ kata mama Kristin lebih lanjut.

Sehingga ada timbul rasa malu dan risih jika sampai tidak bisa menenun. Bukan

hanya malu di hadapan kaum lelaki, dan atau risih di tengah relasi dan pergaulan. Tetapi juga malu dan risih pada tradisi dan pewarisan. Kaum perempuan Tubaki merasa berkewajiban dan bertanggung-jawab untuk meneruskan tradisi mene-nun.

Dok

. K

ris

Bh

eda

Som

erp

es

16 Edisi Juli-Oktober 2013

‗‘Kepada anak cucu kita, kita mau beri apa yang paling baik di sini kalau kita tidak mengajar mereka dengan mene-nun?‘‘ tegas mama Kristin dengan tanya.

Berliku Nuk

Namun demikian tidak semua motif te-nun diajarkan dengan cara menunjuk secara bertahap. Kebanyakan tenun jenis foit atau sotis/songket di ajarkan oleh kaum perempuan Tubaki kepada anak-anak mereka dengan cara menunjuk bertahap. Demikian juga dengan cara pengikatan benang untuk membentuk pola-pola motif tertentu seperti motif

ikan, ai funan (bunga), rawa nanatak (kuku kera) untuk tenunan jenis futus. ‗‘Tapi untuk motif Barliku Nuk itu pemali‘‘ jelas mama Kristin.

Barliku Nuk (sarang burung) adalah sa-lah satu corak motif yang khas pada tenunan jenis Talik. Bagi kaum perem-puan Tubaki, cara memahami dan men-getahui bagaimana membangun motif Barliku Nuk pada tenunan jenis Talik dilakukan hanya dengan mengamati tanpa menunjuk dengan jari apalagi

mengeluarkan dengan kata-kata.

Sudah sejak kecil, anak-anak diajarkan untuk mengamati ibu atau kakak perem-puan mereka menenun. Selanjutnya mencerna sendiri dan mempraktikkan-nya. Jika dalam praktiknya menemukan

jalan buntu, anak-anak kembali menga-mati. ‗‘memang ini pemali, tetapi anak-anak dibantu juga untuk berpikir sendiri, terus belajar sendiri‘‘

Melampaui dari sekedar mengamati dan berlatih membangun imaji, belajar men-getahui merangkai benang bermotif Barli-ku Nuk juga adalah belajar mandiri, pun menjadi diri sendiri dan menjadi perem-puan yang sesungguhnya. Inilah salah satu faktor yang mendorong kaum pe-rempuan Tubaki tidak kehilangan pene-rus. Lantaran setiap dari mereka, sudah sejak kecil dididik untuk membangun sikap tanggung jawab menjaga tradisi dan identitas keber-ada-an mereka.

Terus Berenang

Seperti ikan yang terus berenang bermain tanpa henti, cita-cita kaum perempuan Tubaki pun demikian dengan pekerjaan dan tradisi mereka. ―Jika tenun hilang bagaimana kami mau tetap hidup dan ongkos anak-anak kami sekolah‖ tegas mama Kristin.

Kisah mama Kristin lebih lanjut, bahwa mereka dapat menyelesaikan lembaran sarung tenun ikat jenis futus sebanyak empat lembar dalam sebulan. Dengan rata-rata nilai jual berkisar antara dua ratus ribu sampai dengan dua ratus lima

17 Edisi Juli-Oktober2013

puluh ribu rupiah, maka penghasilan rata-rata kaum perempuan Tubaki men-capai satu juta rupiah perbulan.

―Dan kami pun beruntung bahwa kami tidak kehilangan pembeli. Sudah banyak orang yang tau tentang tenun Tubaki. Jadi kami sudah punya banyak pelang-gan. Kalau pun pelanggannya tidak datang ke sini karena terlalu jau dan jalan jelek, maka kami sendiri yang pergi menjualnya sampai ke Alas di perbatasan timor leste, dan itu bapa-bapa punya urusan‖. Jelas mama Kristin menutup cerita. (KBS)

Bahwa menenun selain sebagai pe-kerjaan juga meru-pakan identitas diri sekaligus penega-san akan martabat kaum perempuan

U sianya sudah uzur, hampir menginjak kepala delapan. Tapi sepuluh jari ren-

tanya masih lincah menggulung benang. Dia adalah Maria Abuk, keturunan suku Marae yang menginjakkan kakinya di Tubaki Laktu-tus pada tahun tiga puluhan.

Di kampung Tubaki, Mama Maria, demikian ia biasa disapa dikenal sebagai maestro tenun ikat. Namun, mama Maria tidak sendi-rian, bersama rekannya Mama Rosalina Bet (alm) yang mula-mula memperkenalkan tenun ikat di kampung Tubaki.

Hingga kini tak terbilang berapa muridnya. Dari imaji keduanya lahir beragam motif dan corak, tidak hanya untuk motif-motif tenun berjenis foit/sotis, tetapi juga untuk tenunan jenis futus dan Talik (suku dawan menye-

butnya Buna).

Namun satu yang tetap menjadi pemali, bahwa motif Barliku Nuk untuk tenunan jelis Talik tidak dapat diajarkan. Anak-anak harus melihat dan belajar sendiri, agar mereka sungguh menjadi perempuan Tubaki yang mandiri.

Mama Maria merasa bangga dengan kebia-saan kaum perempuan di kampungnya. ‗‘Sekarang generasi mereka‘‘ katanya terbata-bata. Sambil lanjut menggulung benang.

Walau kini, mama Maria tidak dapat lagi naik ke pemidang, tetapi jari-jari dan mata-nya tetap awas jika bersentuhan dengan benang. Sesekali menggulung benang, sese-kali mengikat motif, sebagian besarnya men-gamati dengan senyum. (KBS)

*) Kris Bheda Somerpes

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

*)

John P

luto

Sin

ulin

gga/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

P ara petani sawah Lembor, Ke-camatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara

Timur sudah sedang dikepung ragam soal.

Lineamenta soal dapat disebutkan dis-ini: Mereka dihadapkan pada modal produksi yang terbatas, bunga pinja-man kepada rentenir yang tinggi, kondisi tanah yang kian jenuh lantaran disuntik berulang imput kimiawi, seran-gan ragam hama, hasil panen yang ti-dak memadai, hilangnya benih lokal, pendampingan lembaga pendamping yang tidak maksimal (pemerintah dan LSM), dan masih banyak lagi. Itu pun belum dibilang kondisi musim yang ti-dak stabil.

Ragam soal di atas bagai ngengat di inti kayu, yang secara perlahan me-lapuk-remukkan kekuatan bangunan ‗lumbung‘ padi yang pada era 80-an jadi primadona pangan Nusa Tenggara

Timur (NTT).

Namun kini tak hanya tentang ‗lumbung padi‘-nya yang menjadi ironi, dengung kemandirian dan kedaulatan pangan pun nyaris menjadi tidak ber-arti.

Mendedah sengkarut soal yang bagai tak berujung, redaksi Lintas Timur: John Pluto Sinulingga, Kris Bheda Somerpes, dan kontributor Adrianus Harsi mencoba membentangkan kepada pembaca perihal realitas ke-hidupan petani sawah Lembor dalam pergulatan mereka menghadapi kepungan soal.

Mengapa semuanya bisa terjadi, seperti apa faktanya, bagaimana mereka melaluinya dan selanjutnya apa solusi alternatif yang dapat diga-gas-berikan adalah sederetan pertan-yaan kunci yang jawabannya dapat ditemukan dalam narasi-narasi dalam fokus kali ini.

gotong royong warga membangun irigasi dan selokan. Namun demikian, dalam catatan sejarah pertanian Manggarai Raya, bukan Dulla Burhan yang menjadi peletak dasar per-

tanian modern, tetapi bupati sebelumnya yakni Frans Sales Lega (1968-1978). Dalam upaya untuk melawan kemiskinan Sales Lega tidak hanya menginvestasikan pembangunan jangka panjang melalui jalur pendidikan dengan membuka seko-lah dalam kerjasama dengan pihak gereja. Tetapi juga merealisasikan agenda prestisius seperti pembuatan turbin listrik Wae Garit dan pemban-gunan bandara Satar Tacik.

Setelah berhasil membangun bandara fokus perhatian berikutnya adalah per-luasan daerah persawahan. Sebelumnya, para petani Manggarai sudah merasakan jasa baik para pemimpin sebelumnya seperti Raja Tamoer, Raja Bagoeng (1924-1930), Raja Baroek 1931-1949), Raja Ngambut (1949-1960), Kraeng Charolus Hamboer (1960-1967) yang

telah merintis pembukaan sawah irigasi bronjong. Para pendahulunya sudah membangun irigasi darurat di Cancar, Dampek dan Wae Reca. Oleh Sales Lega selanjutnya irigasi-irigasi tersebut men-jadi permanen sehingga sirkulasi air per-

sawahan berjalan lancar. Persawahan di Cancar, Satar Mese dan Lembor mulai beroperasi baik. Manggarai pun mulai popular sebagai lumbung beras.

Sudah sejak itu kantong-kantong pro-duksi padi, secara khusus Lembor dikem-bangkan dan diawasi secara serius. Walau pun kemiskinan terus mengger-ogoti perut rakyat, keberpihakan dan kepedulian para pemimpinnya tidak lelah untuk terus hadir dan berada bersama

rakyatnya.

Puncaknya pada era 80-an, pada ketika Manggarai dipimpin Frans Dulla Burhan, nama Lembor menjadi terkenal seantero Nusa Tenggara Timur antaran disemat-kan sebagai Lumbung Padi.

*) Disarikan oleh Kris Bheda Somerpes dari Kanis Lina Bana (ed) ‗Makna Bertapak, Jejak Langkah Membangun Manggarai‘

Lamalera: 2009)

D emikian kata Frans Dulla Burhan, Bupati Manggarai periode 1978-1989. Namun demikian kesuk-

sesannya bukan tanpa problem. Be-

berapa saat setelah pelantikannya seba-gai bupati pada 1 November 1978, Mang-garai Raya dihantam kelaparan hebat. Tanggap akan situasi itu, Dulla Burhan tidak hanya memberi bantuan darurat berupa 250 ton beras kepada rakyat, tetapi juga semua lokasi yang berpotensi untuk areal persawahan dibuka. Secara

“Lembor dikenal sebagai lum-

bung pangan serta panen raya

padi di Borong oleh Presiden

Soeharto itu masa saya. Saya

tidak bangga, tetapi pada masa

kepemimpinan saya rakyat tidak

lapar. Bahkan beras mulai su-

plai keluar daerah”

20 Edisi Juli-Oktober 2013

Raja Bagoeng (1924-1930) membuka lahan persawahan denga n i r i g a s i d a ru r a t (bronjong)

Raja Baroek (1931-1949) m e n c o b a m e l a k u k a n terobosan dengan membuka sawah-sawah percontohan

Constantinus Ngambut (1949-1960). Dalam system pertanian, Ngambut masih melanjutkan pendahulunya.

Charolus Hamboer (1960-1967). Beliau berada pada masa sulit selain karena politik (PKI) juga lantaran kemiski-nan-kelaparan merebak.

Frans Sales Lega (1968-1978) dikenal sebagai ‗perancang-bangun‘ system pertanian modern di Manggarai Raya.

Frans Dulla Burhan (1978-1989) di masanya nama Mang-garai, khususnya Lembor men-jadi terkenal karena swasem-bada beras.

Tugas saya dibantu para penggerak usaha tani. Saya tidak katakan berhasil atau gagal tapi setidaknya ada peruba-han di tengah masyarakat yang dirasa-kan sampai saat ini.

Frans Dulla Burhan (1978-1989) :

SATU PERNYATAAN

Suatu ketika Frans Dulla Burhan (1978-1989) pernah berkata ―Tugas saya di-bantu para penggerak usaha tani. Saya tidak katakan berhasil atau gagal tapi setidaknya ada perubahan di tengah masyarakat yang dirasakan sampai saat ini (yang dulu)‖.

Seperti apa perubahannya di tengah masyarakat saat ini (yang sekarang) tentang dunia usaha tani dapat kita tem-patkan persawahan Lembor sebagai titik tilik. Bahwa persawahan Lembor pernah menjadi salah satu ‗Lumbung Padi‘ NTT sudah layak untuk dikotak-sejarahkan. Lantaran cepat atau lambat, jika tidak dipikir-kerjakan serius, persa-wahan Lembor akan menjadi padang

gersang, dan selanjutnya tentang ‗lumbung padi‘ akan jatuh runtuh jadi ironi. Jika kecemasan ini benar, ‗Robohnya Lumbung Padi Kami‘ dengan demikian bukan merupakan kepala cata-tan yang hiperbolik.

DUA PERTANYAAN

Mengapa optimisme tentang ‗Lumbung Padi‘ itu runtuh, lantas berubah jadi ironi? Selanjutnya bagaimana memban-gun kembali ‗lumbung padi‘ itu agar tidak

hanya kembali berkibar tinggi, tetapi juga menjawab inti perihal hakikat ne-gara agraris yakni ‗kedaulatan petani‘? Dua pertanyaan ini, jika mau dijawab-dedah dengan sungguh, sepotong cata-tan ini tak cukup untuk memberi ruang kaji. Namun, sekedar sebagai alternative solusi, saya berpikir pantas untuk berbagi energy.

TIGA JAWABAN

Saya memulai catatan pendek ini dengan tiga komentar, lebih tepat disebut jawa-ban hasil pembacaan yang tepat atas fakta perihal persawahan Lembor.

Pertama, Pada Oktober 2012, Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Presiden Re-

publik Indonesia, pernah mengatakan dengan tanya ―"Ini (sawah dan irigasi) Lembor bagus sekali. Kenapa tidak diper-baiki," selanjutnya dengan diawali kata penghubung yang menandai syarat (janji) "Jika Irigasi di Lembor ini jalan, bisa mengairi 5000 hektar sawah". Di depan matanya, sang presiden melihat

keyataan tidak maksimalnya irigasi dan musing kering yang panjang. Lantaran itu presiden terus mendorong pemban-gunan dan revitalisasi irigasi di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Lembor. (www.jurnas.com, 18 Oktober 2012).

Kedua, Pada Februari 2013, Agustinus Ch. Dulla, Bupati Manggarai Barat dibuat pusing tujuh keliling lantaran hama bela-lang yang terus menggerus bulir-bulir

padi. ―Kita mesti datangkan ahli khusus pertanian untuk meneliti persawahan Lembor, karena kondosinya sudah san-gat memprihatinkan, tidak seperti dulu lagi‖ katanya dalam rapat konsultasi per-siapan Seminar Nasional ‗Pengembangan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif‘ yang (kebetulan) saya turut nimbrung.

Ketiga, Pada Oktober 2013, Antonius Adol, salah seorang petani sawah di Lembor dengan nada kecewa menutur-kan ―kami bukan beli pupuk, tapi kami

beli kertasnya saja (label). Karena pupuk yang kami gunakan selama ini tidak memberi perubahan apa-apa‖ akunya. Itu perihal pupuk, soal pendampingan dan modal produksi pun sama pedihnya ―Sekarang jika kami pinjam modal ke rentenir, bunganya besar, 20%‖ selanjut-nya ―Pendampingan dan pengawasan PPL tidak maksimal. Main biliar rajin, mendampingi kami malas, kenapa be-gitu?‖.

EMPAT TILIKKAN

Dengan tiga komentar di atas, (walau saya tidak sedang bermaksud menggen-eralisir kesimpulan) sebenarnya sudah cukup untuk melihat Lembor sejauh ini. Bahwa sebagai ‗Lumbung Padi‘ hamparan

persawahan Lembor sudah menjadi ironi dan bahkan berubah menjadi sangat sarkastik. Mengapa?

Pertama, tentang irigasi. Revitalisasi irigasi Lembor sebagaimana diisyaratkan SBY pada Oktober 2012 rupa-rupanya tidak berdampak signifikan. Faktanya, di beberapa titik, selokannya ambruk karena dikikis air lantaran dibangun ‗asal jadi‘. Lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan buruknya kerja kontraktor membuat saluran irigasi Lembor tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Upaya untuk merevitalisasi saluran irigasi dilaksanakan setiap tahun, tetapi hasil-nya tetap tidak kunjung memuaskan. Fransiskus Bens, salah seorang petani sawah Lembor misalnya, mengeluhkan perihal itu ―Pemerintah mestinya menga-wasi pengerjaan irigasi, perbaikan yang terus menerus karena kerusakan yang juga terus menerus membuat kami ka-dang kesulitan dalam mengelola sawah‖.

Padahal pada tahun 2009 misalnya pe-merintah pusat melalui APBN sudah menggelontorkan milyaran rupiah untuk perbaikan irigasi di wilayah lembor. Di-rektorat Jenderal Sumber Daya Air, seperti dikutip dari http://www.pu.go.id pernah menjawab surat terbuka salah

seorang penanya yang meminta tangga-pan perihal persoalan irigasi Lembor.

Disana disebutkan ―Daerah Irigasi Lem-bor C.s dengan luas potensial 4.424 Ha yang terdiri dari Sub sistim derah irigasi: Wae Kanta=1.434 Ha, Wae Sesap= 1.178 Ha, Wae Lombur= 545 Ha, Wae Cewo= 694 Ha. Wae Sele= 573 Ha. Ta-hun Anggaran 2009 kegiatan pada kawa-san Daerah irigasi oleh Departemen Pekerjaan Umum dilaksanakan oleh Pe-merintah Daerah melalui Tugas Pemban-tuan Operasi dan Pemeliharaan dari De-partemen Pekerjaan Umum kepada Pe-merintah Daerah Provinsi NTT (Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT) dengan kegiatan pada Kawasan Daerah Irigasi Lembor adalah:

21 Edisi Juli-Oktober 2013

Tigah puluhan tahun sudah, sejak era 80-an, sebuah per-

tanyaan retoris yang tak bersa-sar pun cungul: masihkah

Lembor melambung namanya karena produktifitas padinya?

Serupa apa faktanya sekarang?

*) Kris Bheda Somerpes

22 Edisi Juli-Oktober 2013

Kedua, tentang hama belalang yang dipusingkan bupati dan ‗label pupuk‘ yang membuat kecewa petani sawah Lembor. Dua hal itu saling terkait erat. Pupuk (kimia) dan pestisida (kimia) di satu sisi merusak ekosistem mikroorgan-isme tanah secara khusus dan ekosistem alam sawah secara umum. Di sisi lain,

matinya ekosistem sudah barang tentu memutuskan rantai makanan. Hama wer-eng dan belalang lantas keluar sebagai ‗raja sawah‘ baru lantaran tidak ada per-saingan di sana. Hama kemudian dengan tanpa gangguan mengemut-hisap manis akar, batang dan bulir padi yang secara berulang makan makanan ‗siap saji‘ seperti Urea, SP dan KSL.

Akibatnya semakin banyak dipupuk den-gan menggunakan pupuk kimiawi se-

makin rusaklah ekosistem tanah, dan semakin banyak penggunaan pestisida semakin beranak-pinaklah segala jenis wereng.

Maka benarlah Fransiskus Bos. Dengan nada lirih petani sawah ini bertutur ―Tanah sawah kami sudah semakin kurus dan krisis gizi‖. Dan proses untuk mem-buat tanah menjadi demikian sebenarnya sudah dimulai sudah sejak dulu, pada ketika Lembor dilambung tinggi jadi ‗lumbung padi‘.

Anehnya, upaya untuk menanggulangi hama, pemerintah hanya memenggal gunung es dengan cara pergiliran varie-tas benih padi. Padahal soalnya bukan hanya pada rotasi benih tetapi juga meli-hat kelumpuhan ekosistem secara kom-

prehensif.

Sekedar sebagai misal, saya mengutip

penelitian Baehaki S.E. dari Balai Be-

sar Penelitian Tanaman Padi (http://

pangan.litbang.deptan.go.id) yang

menunjukkan perihal serangan hama

wereng cokelat yang proses penang-

kalannya dengan cara rotasi varietas

benih. Hasilnya bukan sebaliknya potensi

hama menurun, justru hama kian bermu-

tasi dan beranak-pinak.

Di sana Baehaki mencatat: ―Wereng cok-

lat sudah menyerang tanaman padi di

Darmaga, Bogor, pada tahun 1939, ke-

mudian di Yogyakarta dan Mojokerto

tahun 1940. Dalam upaya peningkatan

produksi padi nasional, pemerintah pada

tahun 1967 mengintroduksi varietas ung-

gul IR5 dan IR8 yang tidak mempunyai

gen ketahanan terhadap wereng coklat.

Pada tahun 1971, timbul ledakan wereng

coklat biotipe 1. Pada tahun 1975 diintro-

duksi varietas IR26 (gen tahan Bph1)

dari IRRI, namun pada tahun 1976 ter-

jadi ledakan yang hebat di beberapa

sentra produksi padi karena terjadi pe-

rubahan populasi wereng coklat dari

biotipe 1 ke biotipe 2.

Pada tahun 1980, untuk menghadapi

wereng biotipe 2 diintroduksi varietas

IR42 (gen tahan bph2) dari IRRI, namun

pada tahun 1981 terjadi ledakan yang

hebat di Simalungun, Sumatera Utara,

dan beberapa daerah lainnya karena

adanya perubahan populasi wereng cok-

lat dari biotipe 2 ke biotipe 3. Untuk

menghadapi wereng coklat biotipe 3 te-

lah diintroduksikan varietas padi IR56

(gen tahan Bph3) pada 1983 dan IR64

(gen tahan Bph1+) pada tahun 1986,

dan pada tahun 1991 diintroduksi varie-

tas IR74 (gen tahan Bph3). Pada tahun

2006, gen ketahanan IR64 patah karena

populasi wereng coklat berubah ke

biotipe 4. Kestabilan wereng coklat

biotipe nol bertahan selama 41 tahun

sebelum menjadi wereng coklat biotipe

1. Perubahan wereng coklat biotipe 1 ke

biotipe 2 hanya dalam waktu 4 tahun,

dan perubahan wereng coklat biotipe 2

ke biotipe 3 dalam kurun waktu 5 tahun.

Sampai tahun 2005 (24 tahun) wereng

coklat masih didominasi oleh biotipe 3,

dan pada tahun 2006 mulai berkembang

wereng coklat biotipe 4. Keberadaan

wereng coklat biotipe 3 yang cukup lama

disebabkan oleh berkembangnya varietas

IR64 (Bph1+) dalam kurun waktu yang

lama. IR64 merupakan varietas tahan

lestari (durable resistance) yang mampu

menahan perubahan wereng coklat ke

biotipe yang lebih tinggi, selain tidak

berkembangnya vartietas IR74 (Bph3)

yang akan menyulut terbentuknya biotipe

baru.

Ketiga, tentang modal produksi berbiaya tinggi. Rata-rata modal yang dihabiskan oleh seorang petani sawah untuk mengo-lah sawah seluas 1 ha bisa menghabis-kan dana kurang lebih Rp. 7.560.000—Rp 10.000.000. Ongkos produksi mem-

bengkak tidak hanya lantaran bunga kepada rentenir yang mencapai 20%, ongkos lain-lain seperti transportasi un-tuk pekerja, biaya makan minum pekerja, rokok pekerja (laki-laki) tetapi juga mahalnya harga pupuk dan pes-tisida.

Perihal pupuk dan pestisida kimia, selain setiap tahun berganti, lantaran ban-yaknya perusahan yang menawarkan produknya, juga selalu harus bertambah jika digunakan. Penambahan pupuk dan

pestisida yang dialami para petani tidak hanya mengakibatkan kerusakan pada tanah dan kondisi kesehatan petani, tetapi juga bersamaan dengan ini makin membengkaknya ongkos pengadaan pupuk dan pestisida yang dimaksud.

23 Edisi Juli-Oktober2013

Keempat, lemahnya pengawasan pe-merintah, secara khusus ujung tombak lapangannya: PPL pertanian. Pun tidak konsistennya pendampingan lembaga pemberdayaan masyarakat sipil yang bergerak di sector pertanian di Lembor. Antonius Adol, salah seorang petani sa-wah di Lembor mengatakan bahwa pega-

wai PPL lebih suka main biliar ketimbang membantu memecahkan problematika para petani. Sementara itu perihal peran keterlibatan LSM, menurut Adrianus Asri salah seorang aktivis masyarakat sipil Lembor mengatakan ―Antara apa yang dikatakan dan yang diperbuat tidak se-suai dengan kenyataan‖.

Apa yang dikeluhkan dengan tanya oleh Antonius Adol dan Adrianus Asri sejatinya menjadi gambaran perihal ‗kesendirian‘ para petani dalam memecahkan sengka-rut soal perswahan Lembor yang bagai tak berujung. Padahal seharusnya, seba-gai ujung tombak perubahan, PPL dan LSM punya posisi penting dalam mem-berikan solusi-olusi alternatif di lapangan.

Seperti apa seharusnya peran pegawai PPL dan lembaga pengawasan non pe-merintah (LSM) untuk turut hadir dan berada di tengah masyarakat petani da-pat saya sodorkan tujuh rekomendasi yang ditawarkan Van Den Ban berikut ini. Menurut Van Den Ban, et.al (dalam Agri-cultural Extension:2003) Penyuluhan secara sistematis adalah suatu proses yang meliputi tujuh poin ini: 1). Mem-bantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan

perkiraan ke depan; 2). Membantu pet-ani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut; 3). Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyu-sun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani; 4). Membantu pet-

ani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemeca-han masalah yang dihadapi serta akibat

yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan; 5). Membantu petani memutuskan pili-han tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal; 6). Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya;dan 7). Membantu petani un-tuk mengevaluasi dan meningkatkan

keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.

Wereng coklat sudah menyerang tanaman padi di Darmaga, Bogor, pada tahun 1939, kemudian di Yogyakarta dan Mojokerto tahun 1940. Dalam upaya peningkatan produksi padi nasional, pemerintah pada tahun 1967 mengintroduksi varietas unggul IR5 dan IR8 yang tidak mempunyai gen ketahanan terhadap wereng coklat. (Baehaki SE)

SATU SOLUSI

Saya kembali ke pernyataan Frans Dulla Burhan (1978-1989) ―Tugas saya dibantu para penggerak usaha tani. Saya tidak katakan berhasil atau gagal tapi seti-daknya ada perubahan di tengah

masyarakat yang dirasakan sampai saat ini (yang dulu)‖.

Empat tilikan singkat-ringkas di atas su-dah cukup menjelaskan betapa peliknya persoalan pengelolahan persawahan Lembor. Mengembalikannya sebagai ‗Lumbung Padi‘ Nusa Tenggara Timur (NTT) tampak masih jauh panggang dari api.

Dan jika hendak ditilik lebih jauh lagi, problem lain yang juga jauh lebih rumit untuk diurai adalah perihal sumber daya manusia para petani itu sendiri. Tidak semua petani sawah Lembor paham ten-tang apa yang mereka kerjakan dan ba-gaimana mereka melakukannya. Seba-gaimana dikisahkan oleh Fransiskus Bos, salah seorang petani sawah di Lembor bahwa banyak petani yang tanam secara tidak beraturan.

Perihal ini menjadi indikasi bahwa secara skill dan ilmu petani masih butuh didampingi secara intensif. Belum lagi jika menyoal bagaimana seharusnya menanam berdasarkan pola tanam yang baik, penggunaan pupuk dan pestisida yang bijak-alami serta mengelola dan merawat tanaman padi yang sistematis. Rupa-rupanya, lagi-lagi masih jauh dari maksimal. Belum memadai dan bahkan tampak sangat sulit. Lantaran selain, butuhkan kemauan dari petani sendiri untuk belajar dan menimba pengeta-huan, juga di sisi lain butuh sinergisitas semua elemen masyarakat untuk men-

dampingi dan mengadvokasinya secara bijak.

Satu tawaran yang mungkin bisa dijadi-kan sebagai alternatif solusi dari semua problematika di atas, menjawab kecema-san perihal ‗Lumbung Padi‘ kita tidak benar-benar roboh adalah melihat Lem-bor dengan hati nurani, selanjutnya membangunnya kembali dengan budi pekerti.

Selanjutnya, sinergisitas semua elemen masyarakat dalam mewujudkan ke-daualatan pangan dengan pertama-tama memberikan pendidikan dan mentrasfor-masi pengetahuan kepada para petani yang dilakukan secara konsisten adalah prioritas pertama dan utama. ***

24 Edisi Juli-Oktober2013

S elanjutnya mempertimbangkan kehadiran penyerobot di atas tanah irigasi Lembor agar dikeluarkan

surat pencabutan hak kepemilikannya karena bertentangan dengan surat pern-yataan tanggal 17 Juni 1962.

Demikian dua usulan masyarakat Lembor atas kasus tanah irigasi yang hingga kini belum tuntas dibagi oleh PEMDA. Pada-hal amat untuk itu sudah diserahkan kepada PEMDA sudah sejak 1971.

***

Sebelum tahun 1962 sudah terdapat kelompok masyarakat yang beranggota-kan 37 orang yang diketuai T.H. Nanur, Frans Hambur, D. Jegaut (semuanya dari Daleng) yang berusaha untuk menggali Wae Sele untuk areal sawah tadah hujan di Lingko Leba dan Lus. Berhubung T.H. Nanur, pegawai tenaga harian tetap di Dinas PU Kabupaten Manggarai mela-porkan rencana tersebut ke kepala PU Rokus Rewos. Kepala PU Rokus Rewos selanjutnya melaporkan kepada Bupati

Manggarai.

Hasil dari itu, tepatnya pada 16 Juni 1962 rombongan Pemda yang diketuai A. Geong datang mengunjungi Daleng. Pada kesempatan tersebut disepakati untuk menghadirkan Dalu Wantong dan Dalu Bajo. Sehari sesudahnya, 17 Juni 1962 terjadi pertemuan antara Pemda Manggarai dengan kedua Dalu bertempat di Daleng yang menghasilkan keputusan/pernyataan bersama yang isinya antara lain penggalian saluran, pembuatan

bendungan bronjong sekaligus pem-bagian jatah tanah (sawah) kepada ang-gota masyarakat yang terdiri atas 1.484 orang anggota proyek yang semua ang-gotanya menyebar di 9 desa sedaratan Lembor.

Keputusan tersebut di atas selanjutnya diimplementasikan. Pembuatan bendun-gan, penggalian parit saluran sampai ke daerah Daleng selesai pada tahun 1975, dengan tahap awal pengerjaan dimulai sejak tahun 1969 sampai akhir tahun 1970.

Namun demikian, proses pembagian jatah tanah yang diserahkan kepada Pemda sebagai penanggung jawab men-galami masalah. Dua masalah yang mun-cul pada ketika itu adalah belum adanya pemetaan tanah secara jelas dan selan-jutnya belum tuntasnya pembagian tanah kepada anggota.

Problem pemetaan tanah dapat teratasi setelah PEMDA menghadirkan Ir. Morel dari Jerman pada 1971. Dengan bantuan warga Ir. Morel melakukan pemetan un-tuk lahan Lembor seluas 1.553 hektar. Di atas lahan tersbut 1.484 anggota tani mendapat jatah tanah setiap orang per hektar. Dan 69 hektar lahan sisa lainnya disimpan. Pada Desember 1971, dalam tempo dua minggu pembagian tanah

kepada seribu lebih anggota tani selesai. Sisanya direncanakan akan dilanjutkan pada tahun 1972.

Namun problemnya muncul lantaran PEMDA tidak muncul lagi hingga hari ini. Beberapa upaya pendekatan dilakukan oleh pihak masyarakat. Pada 10 Mei 1981, atas nama masyarakat Bapak Kletus Narut menjumpai bupati menyam-paikan aspirasi. Pada 9 Mei 1983 dilan-jutkan dengan surat lampiran yang peri-hal 200 anggota yang belum mendapat jatah tanah.

Hasil dari dua kali pertemuan di atas menghasilkan keputusan antara lain. 1) pembentukan panitia penanganan ma-salah pada 13 Juni 1983. Namun tidak

D engan penuh harap, rakyat ang-gota mengusulkan kepada PEMDA Manggarai Barat untuk

segera meneruskan penunjukkan jatah tanah 1 ha bagi anggota yang belum mendapat jatah tanah sebagaimana yang pernah diatur pembagiannya pada anggota pada tahun 1971, sesuai surat pernyataan 17 Juni 1962 (point 2) sama dengan anggota lainnya.

25 Edisi Juli-Oktober 2013

berjalan. 2) Pada tahun 1986, Bupati melalui camat Lembor merekomendasi-kan Don Endo (petugas agrarian) untuk menata lokasi Raminara agar digarap menjadi sawah, namun tanpa survey awal. Hasilnya masih tetap nihil, padahal direncanakan di tempat tersebut akan diamanatkan kepada 50 orang anggota tani yang belum mendapat jatah tanah. 3) Tahun 1999 muncul masalah rawan pangan di dataran Lembor, pada saat yang sama terjadi perang tanding antara anggota yang ikut panggilan Wae Sale yang belum mendapat jatah tanah den-gan anggota penyerobot (dan bukan anggota). Perang berlangsung selama dua bulan. Pada 13 Mei 2000 Bupati tu-run tangan menengahi masalah. Kepu-tusan lanjutannya adalah penataan ulang irigasi Lembor melalui pembentukan panitia dengan Surat Keputusan Bupati pada 19 Agustus 2000.

Proses penataan ulang berjalan lancar. Tanggal 21 Januari 2003 dilaksanakan pengukuran tanah sisa mulai dari Ngalor

Kalo dan seterusnya sampai tanggal 15 Pebruari 2003. Hasilnya 100 hektar ter-bagi kepada anggota. Tahap selanjutnya tanggal 26 Januari 2003 giliran lokasi Tado Bara yang dibereskan. Hasilnya, terdapat sisa tanah seluas kurang lebih 30 hektar.

***

Namun demikian, sebagaimana dike-luhkan Bapak Kletus Narut, dalam materi yang disampaikannya pada 2007 kepada Bupati Manggarai Barat, DPRD dan ja-jaran Muspida, hingga kini persoalan tanah irigasi Lembor masih belum tuntas penyelesaiannya.

Hingga kini terdapat tiga problem yang belum menemui titik akhir, yakni:

*) Disarikan oleh Adrianus Hasri dari Materi

Tatap Muka Bapak Kletus Narut dengan Bapak Bupati Manggarai Barat, DPRD II,

MUSPIDA Kab. Manggarai Barat menyangkut Masalah Tanah Irigasi Lembor di Kantor Bu-

pati Manggarai Barat tahun 2007

PEMDA Manggarai, secara khusus Mang-ga ra i ba r a t t i dak me l an ju t -kan/meneruskan pembagian jatah tanah bagi anggota proyek Irigasi Lembor se-bagaimana ditetapkan pada 17 Juni 1962. 2) Kejadian ratusan penyerobot di atas tanah irigasi yang diperuntukan bagi warga sangat bertentangan dengan pernyataan pada 17 Juni 1962.

3) Kebijakan PEMDA selama ini tidak melibatkan dua kepala Hamente: Bajo dan Wontong dalam pengaturan pem-bagian tanah. Hal ini sangat bertentan-gan dengan isi pernyataan tanggal 17 Juni 1962.

Atas tiga persoalan di atas pihak masyarakat Lembor mengajukan dua usulan: 1) Dengan penuh harap, rakyat anggota mengusulkan kepada PEMDA Manggarai Barat untuk segera meneruskan penunjukkan jatah tanah 1

ha bagi anggota yang belum mendapat jatah tanah sebagaimana yang pernah diatur pembagiannya pada anggota pada tahun 1971, sesuai surat pernyataan 17 Juni 1962 (point 2) sama dengan ang-gota lainnya.

2) Mempertimbangkan kehadiran pen-yerobot di atas tanah irigasi Lembor agar dikeluarkan surat pencabutan hak ke-pemilikannya karena bertentangan den-gan surat pernyataan tanggal 17 Juni 1962. ***

*) Kletus Narut

A ndreas Dandur petani sawah dusun Tando, Desa Liang Sola Kecamatan Lembor Kabupaten

Manggarai Barat menarik kedua ker-baunya ke tengah petakan sawah. Di tengah bisingan deru hand-tractor An-dreas masih memilih kerbau untuk mem-bajak sawahnya. ―Selain karena kerbau sendiri, juga kalau pake kerbau ongkos kerjanya bisa dipangkas‖ jelasnya. Andreas memilih Kerbau ketimbang hand-tractor sebagai salah satu upaya alter-natif agar dapat luput dari kepungan beban kerja berbiaya tinggi, lebih jauh dari itu adalah buntu. Tidak ada alter-natif lain selain harus bertekuk lutut di bawah kaki rentenir. Meminjam dengan beban bunga bervariasi berkisar antara 5

-20 %. Jika tidak, maka sawah akan kembali menjadi padang tandus, dan segala hal yang berkaitan dengan hidup tampaknya menjadi buram.

Andreas tidak sendiri. Seperti halnya petani sawah lainnya di Liang Sola, mereka berhadapan dengan berbagai tantangan akut yang melanda kehidupan para petani kecil yang menyebar di tanah air ini. Mulai dari beban produksi berbiaya tinggi, tidak memadainya hasil usaha, rendahnya harga jual, sampai pada kebijakan negara yang bagai tidak memihak. Soal di atas jika dipilah-urai sebenarnya sangat kompleks. Namun sekedar seba-gai kisah, kami akan mengangkat be-

berapa fakta yang dirangkum dari pene-lusuran kami selama tiga hari perjum-paan intensif dengan para petani sawah Lembor. Di bawah judul ‗Dari Tando, Tentang Lembor‘ kami paparkan poin-poin berikut:

Mula-Mula Adalah Agricultural

Sebelum tahun 1982 para petani sawah yang menyebar di Dusun Tando secara khusus, dan Desa Liang Sola pada umumnya, mengelolah padi tadah hujan dengan benih padi unggul lokal yang bernama Woja Longko (benih beras merah). Proses produksi untuk mengha-silkan Woja Longko tidak memamakan

26 Edisi Juli-Oktober 2013

*) John Pluto Sinulingga dan Kris Bheda Somerpes *)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

biaya tinggi. Sistem gotong royong yang bernuansa kekeluargaan yang biasa disebut dodo dapat menjadi pengikat dan kekuatan bersama untuk mengel-olahnya. Tanahnya pun subur lantaran selain hanya ditanam sekali setahun, juga pu-puk yang digunakan adalah hasil dari pelapukan tumbuh-tumbuhan dan sisa

pembakaran dedaunan. Obat-obatan (pestisida alami) pengusir hama pun tidak didapat dari toko, lantaran diguna-kan dari ramuan alami yang diracik sendiri dari dedaunan yang baunya men-yengat. Makna dasariah tentang petani dan per-tanian (agricultural) menjadi hakikat kerja mereka. Perihal itu, bukan berarti menjadi petani tanpa memiliki system pertanian. Mereka bertani berdasarkan kalender musim yang mereka baca dari gerak alam. Mereka melakukan semua aktivitas pertanian sebagai bagian dari upacara luhur, diawali dengan kurban dan diakhiri dengan perayaan syukur. Mereka menanam benih-benih unggul. Merawatnya dalam proses dan dilalui dengan kerja keras. Selanjutnya mema-nennya dengan gembira dan mensyu-kurinya sebagai anugerah Tuhan dalam dan melalui alam.

Bergerak Menuju Agroindustri

N amun, rentang waktu antara 1982 sampai 1984 sistem pertanian alami ini secara perlahan-lahan

berubah. Di awali dengan pencetakan sawah secara massif di dataran Lembor dengan didukung peningkatan kualitas irigasi oleh pemerintah Orde Baru. Para petani sawah tadah hujan pun beralih ke sawah irigasi. Tidak hanya itu, Seluruh basis pertanian di pedesaan dikonsentrasikan untuk menanam padi. Petani dimobilisir untuk hanya menanam padi demi keamanan pangan. Tidak ada kebebasan bagi petani untuk menanam tanaman pangan non beras atau tanaman ekonomis lain. Benih-benih lokal semisal woja longko pun perla-han ditinggalkan.

Strategi ini didukung dengan subsidi per-tanian secara besar-besaran dalam bentuk subsidi pupuk (kimia), benih (hibrida), obat-obatan (kimia), kredit murah, kebija-kan harga dasar dan pembangunan irigasi. Sebagai pendukung suksesnya ket-ersediaan pangan, rezim Orde Baru mem-bentuk lembaga penyalur saprodi di ting-kat desa, yaitu Koperasi Unit Desa (KUD).

KUD juga berfungsi sebagai penampung hasil produksi petani. Pemerintah –melalui Departemen Pertanian- mem-bentuk Satgas Bimas padi dan mener-junkan penyuluh pertanian (sekarang PPL) ke desa-desa dalam rangka sosialisasi dan aplikasi program perta-nian revolusi hijau. Petani sawah Tando, seperti halnya pet-

ani sawah lain di seluruh pelosok tanah air tidak lagi punya kebebasan untuk menanami tanahnya dengan tanaman budidaya yang sesuai dengan keingi-nannya. Mereka tidak lagi menggunakan pupuk alami, tidak lagi menggunakan obat-obatan almai, tidak lagi menyimpan hasil produksi dan menjualnya sendiri. Singkatnya petani seakan-akan dipak-sanakan untuk mengejar hasil sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat, sampai-sampai kebiasaan kerja sama dan go-tong ronyong (dodo) menjadi tidak ber-makna lagi. Inilah agroindustri. Pertanian menjadi sebuah industri raksasa, dengan para petani menjadi pekerjanya dan sawah-nya menjadi mesin produksi. PPL men-jadi mandor, KUD menjadi penadah sekaligus rentenir dan pemerintah men-jadi owner-nya (bos).

K onon, di Tado Wae Wetok hanya terdapat tiga kepala keluarga. Ketiga Kepala Keluarga ini turun

dari kampung induk Ledang menuju Tado

Wae Wetok untuk berkebun.

―Tado Wae Wetok memiliki lahan yang subur karena sumber mata airnya tidak pernah mati‖ kisah Antonius Selamun, sesepuh adat Tando yang juga merupakan keturunan langsung salah satu penghuni pertama kampung Tado Wae Wetok. ―Karena tanahnya yang subur dan war-ganya hidup sejahtera, maka banyak ke-lurga dari Ledang mulai perlahan-lahan bergabung‖. Lanjutnya.

Lantaran jumlah penduduknya kian ban-yak, dari Tado Wae Wetok warga berpin-dah menuju ke tempat yang baru. Di tem-pat, yang baru tidak jauh dari Tado Wae Wetok, mereka membuka lahan dan rumah. Perlahan-lahan nama Tado

berubah menjadi Tando. Dari Tando warga kemudian berpindah lagi menuju Tando baru. Alasan kepindahan ini adalah untuk menjaga tanah leluhur

―Walaupun penduduknya semakin ban-yak dan warga berpindah, kami tetap tidak merasa kekurangan, alam mem-berikan kami kesejahteraan‖ aku Anto-nius.

―Namun sekarang, kami benar-benar dalam kesulitan. Sawah sebagai sumber utama kehidupan kami tidak memberikan hasil apa-apa. Banyak sekali masalah-nya‖ jelasnya sambil menguraikan satu persatu mulai dari modal tinggi sampai tanah yang sudah tidak subur.

―Tapi kami juga tidak bisa lari dari semua persoalan itu. Sebagai petani kami akan tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, kalau tidak?‖ tutupnya dengan tanya.*

―Namun sekarang, kami benar-

benar dalam kesulitan. Sawah seba-gai sumber utama kehidupan kami

tidak memberikan hasil apa-apa‖

27 Edisi Juli-Oktober 2013

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

Menjadi Pilar Lumbung Padi

Agroindustri, sebagai sebuah strategi sekaligus solusi atas menurunnya penda-patan negara dari minyak dan gas bumi, dengan memacu ekspor nasional dalam bidang pertanian (sawah) ternyata mem-buahkan hasil.

Ketika itu di era 80-an Indonesia menca-pai puncaknya sebagai negara agraris berswasembada pangan. Lantaran itu, atas nama Indonesia Soeharto diganjar dengan penghargaan prestisius dari FAO. Tidak hanya itu, para petani pun mendapat tempat yang ‗bermartabat‘ dalam kehidupan ekonomi desa.

Seperti diakui para petani sawah Tando, pada ketika itu mereka benar-benar merasakan keberhasilan program pemer-intah. Produksi padi melimpah ruah.

Pasar hasil produksi terbuka lebar, sete-lah pemerintah membuka KUD. Demikian juga dengan modal usaha, KUD bersedia memberikan pinjaman dengan kredit murah.

Sebagai salah satu pilar ‗Lumbung Padi‘ Nusa Tenggara Timur, petani sawah Lembor mendapatkan kemudahan dalam

banyak hal. PPL memberikan penyuluhan secara intensif dengan menyentuh sisi terdalam kebutuhan petani agar berdau-lat. Dengan didukung berbagai lembaga bentukan pemerintah lainnya seperti HKTI Satgas Bimas Padi dan KUD, petani sawah menjadi begitu kuat dan produktif.

Belum lagi dibilang peran sentral Interna-tional Rice Research Institute (IRRI) di Filipina yang digandeng pemerintah Orde

Baru untuk menyediakan sekaligus men-yebarkan benih-benih unggul jenis IR, pupuk dan pestisida. Dalam pada itu, Pet-ani sawah benar-benar dibuai hasil yang menjanjikan, sampai-sampai petani itu sendiri lupa bahwa mereka sudah sedang dikepung system yang secara perlahan tidak hanya mengalahkan mereka tetapi menjadikan mereka hanya sekedar seba-gai ‗buruh‘ di atas tanah sawah mereka sendiri.

Menjadi Buruh Tani di Atas Lahan Sawah Sendiri

Dampak paling buruk dari Revolusi Hijau yang dipraktikkan kepada seluruh petani sawah di seluruh pelosok tanah air, terma-suk para petani sawah desa Tando adalah adalah petani sawah menjadi bu-

ruh/pekerja tani di atas lahan sawah sendiri. Ada beberapa fakta yang dapat diangkat sebagai contoh:

1. Hilangnya kebiasaan bertani secara alami

Petani sawah dusun Tando dan Nangka desa Liang Sola mengakui bahwa mereka sudah terbiasa dengan kebi-asaan bertani secara konvensional yakni ‗Wajib menggunakan benih hibrida (produk perusahaan), obat-obatan kimia, dan pupuk-pupuk kimia‘. Kebiasaan lama dengan system pertanian alami, meng-gunakan benih, pupuk dan obat-obatan alami sudah hilang.

Tidak hanya itu, system bertani dengan menggunakan kalander musim yang secara alami dibaca berdasarkan gerak kosmos/alam nyaris tidak terdengar lagi. ―Sekarang, kalau petani sawah rata-rata menanam padi itu dua kali setahun. Itu saja. Tanaman pangan jenis lain seperti singkong, umbi-umbian dan jagung bu-kan menjadi pilihan pertama‖ aku Alex-ander Wandi, salah seorang petani sa-wah dusun Nangka desa Liang Sola.

Sistem pertanian yang dibangun secara konvensional secara tidak sistematis telah mempengaruhi para petani sawah.

28 Edisi Juli-Oktober 2013

T rauma pergolakan agraria di ja-man orde lama dan kelaparan yang dirasakan ketika itu menye-

babkan pemerintah Orde Baru mengam-bil langkah-langkah antisipatif dalam rangka menangani masyarakat petani di pedesaan. Frans Husken (1989) di dalam Noer Fauzie (1995) menyebutkan dua langkah antisipatif rejim Orba menangani masyarakat tani.

Pertama, kontrol politik atas daerah pedesaan. Desa harus dikontrol supaya tidak memunculkan adanya basis oposisi di desa. Kontrol politik atas masyarakat desa nampak dalam politik massa men-gambang (floating mass) yang melarang partai politik bergerak di pedesaan.

Langkah ini terbukti mampu memutus saluran politik antara massa dengan partai politik yang akan memperjuangkan aspi-rasi politik kaum tani. Kedua, penyediaan bahan pangan beras

dengan harga yang memadai. Harga beras harus terjangkau oleh masyarakat kota agar tidak terjadi keresahan politik, mengingat masyarakat kota (terutama buruh) sangat reaktif terhadap gejolak ekonomi. Berbagai macam lembaga diben-

tuk secara top down untuk menjinakkan massa petani. Fungsi parpol dan or-ganisasi petani digantikan dengan HKTI. Lembaga ekonomi masyarakat desa di-wadahtunggali melalui KUD. Struktur pemerintahan desa lama dirombak dan

diganti dengan birokrasi baru yang sen-tralistik. Penetrasi kelambagaan ini mampu meredam gejolak politik di pede-saan.*)

WACANA No. 10/ September - Oktober 1997

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

Pun kegiatan konsolidasi pertanian di tingkat desa pada masa orde baru dianggap sebagai ancaman. Ilustrasi: kelompok Petani Dusun Nangka Desa Liang Sola

TPengaruhnya tidak hanya dalam praktik mengolah sawah, tetapi juga dalam cara berpikir para petani. ―Jadi kami itu, me-mang benar-benar bekerja seperti itu, macam sudah ditentukan, entah musim panas atau hujan‖. Lanjut Alexander.

Selanjutnya sementara ini, proses usaha tani berorientasi pada uang. Kebiasaan-kebiasaan lama yang dalam arti tertentu hemat biaya sekaligus mengikat tali per-saudaraan nyaris hilang. System gotong royong (dodo) dan membacak sawah menggunakan kerbau sudah amat jarang.

System dodo misalnya sudah benar-benar hilang. Semua petani sawah Lem-

bor sementara ini harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk proses produksi/usaha tani. Tenaga buruh un-tuk tanam, bersih pematang, penyiangan dan pemanenan semuanya dihargai dalam bentuk uang yang tidak sedikit jumlahnya. ―kalau tidak ada uang, petani sawah Lembor tidak bisa kerja sawah. Semuanya sudah pake uang, pupuk dan obat pake uang, benih pake uang, pokoknya semua‖ aku Andreas Dandur, petani sawah dusun Tando desa Liang Sola.

Lantaran itu salah satu alternatif yang dipilihnya adalah membajak sawah den-gan menggunakan kerbau ―Sebenarnya bajak sawah sekarang harus pake hand-tractor karena tanahnya sudah keras, tetapi untuk memotong biaya terpaksa saya gunakan kerbau walau pun agak lama‖ lanjutnya.

Namun demikian, tidak semua petani sawah Lembor memiliki kerbau. Pun

pada saat yang sama, para petani sawah Lembor membutuhkan hasil yang segera supaya dapat dengan segera pula menghasilkan uang untuk kebutuhan ekonomi keluarga.

System inilah yang sudah sedang diban-

gun dalam kehidupan para petani sawah Lembor. System yang tidak membuat para petani sawah tidak bergerak bebas dalam menentukan pilihan-pilihan alternatif. Sys-tem yang membuat para petani sawah menjadi tidak dapat berkembang menjadi petani modern. Lantaran dikukung-kekang oleh berbagai persoalan yang mendera mereka.

2. Kerjasama ‘diam-diam’ antara Pemerintah dan Perusahaan

Sadar atau tidak, pemerintah dan perusa-haan penyedia benih, pupuk dan pestisida punya andil besar dalam proses pemiski-nan para petani Lembor. Kasat mata, ber-

bagai kelompok tani yang dibentuk pe-merintah, benar-benar mendidik petani untuk bermental proyek. Itu pun jika pet-ani mendapat cipratan subsidi, jika tidak maka di tingkat segala bentuk subsidi seperti pupuk, benih dan pestisida habis digunakan oleh ketua-ketua kelompok dalam kerjasama dengan PPL.

―Saya heran, kenapa nama saya ada dalam kelompok padahal saya tidak per-nah didatangi untuk menjadi anggota kelompok‖. Keluh Alexander Wandi yang mengolah sawah di Pong Nombong. ―Saya heran apakah pemerintah tidak menga-wasi pembagian benih padi apakah sam-pai ke petani atau tidak. Atau apakah pe-merintah tidak teliti benar-benar dengan kelompok-kelompok yang hanya mencari untung dengan mengajukan proposal palsu?‖ lanjut Alexander dengan tanya.

Kerjasama paling nyata antara pemerintah dan perusahan yang secara sistematis membelenggu petani Lembor adalah berkeliarannya perusahaan penyedia pu-puk dan pestisida kimiawi di dataran Lem-bor. ―Makin kami beri pupuk dan obat-obatan makin banyak hasil yang kami dapat, tetapi kalau kami tidak beri pupuk dan pestisida lagi maka sudah pasti tidak

akan ada hasil lagi‖ jelas Antonius Adol, petani sawah dusun Wae Mata desa Liang Sola.

Kebiasaan menggunakan pupuk kimia, pestisida dan benih yang setiap musim tanam terus bertambah, membuat para petani sawah Lembor kian tidak berdaya. ―Yang anehnya, PPL jarang datang memberikan solusi. Kami tidak tahu apakah ada PPL atau tidak. Kalau ada

pasti mereka datang lalu menawarkan penggunaan pupuk dan pestisida kimia‖ lanjut Antonius.

Orientasi pemerintah, pun perusahaan adalah pada hasil. Tampaknya keduanya tidak melihat secara cerdas bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal perlu didukung dengan kekuatan proses pro-duksi yang mensejahterakan petani. Yakni antara lain yang membuat petani menjadi tuan atas tanahnya sendiri se-lanjutnya menentukan harga atas proses produksi tersebut.

Fakta menunjukan. Pada tahun angga-ran 2012, pemerintah Manggarai Barat melalui Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) menga-lokasikan dana untuk Penerapan Teknologi Pertanian/Perkebunan sebesar Rp. 150.000.000. Dua poin belanja yang tercantum di dalamnya adalah belanja bibit tanaman sejumlah Rp. 13.400.000 dan obat-obatan (pestisida kimia) sejum-

lah Rp. 23.950.000. Dua poin ini me-mang berangka kecil, tetapi dampaknya sangat besar. Lantaran modal belanja harus lari ke perusahaan penyedia benih dan obat-obatan sementara 1) petani menjadi amat tergantung pada benih hibrida dan obat-obatan kimia serta 2) petani dan tanah garapannya diberi racun kimia.

29 Edisi Juli-Oktober 2013

Jenis-jenis racun yang digunakan petani sawah Lembor. Jika hal ini terus berlanjut, maka para petani Lembor tidak akan berusia panjang dan tanah garapan mereka akan menjadi padang ger-sang/tandus/kering dan selanjutnya juga mati.

30 Edisi Juli-Oktober 2013

3. Harga ditentukan Tengkulak

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa petani sawah Lembor pada umumnya, dan Tando, Nangka dan Wae Mata desa Li-ang Sola secara khusus sudah sedang berputar dalam permainan system yang secara siistematis digagas para pemodal.

Jika pada masa Orde Baru, Soeharto yang menentukan system pertanian den-gan amat sistematis di mana KUD men-jadi ujung tombaknya, dan PPL menjadi mandornya, sekarang ini, system yang nyaris sama diteruskan.

Apa yang sudah sedang diteruskan itu, sementara ini menjadi problem utama dan pertama para petani sawah Lembor, yakni pertama, bahwa mereka tidak da-pat keluar dari genggaman perusahaan

penyedia benih, pupuk dan pestisida lantaran ketargantungan pada hasil yang begitu tinggi dan kedua adalah juga tidak dapat keluar dari cengkraman para tengkulak yang tidak hanya bersedia meminjamkan modal tanpa agunan tapi dengan bunga tinggi (berkisar antara 5-20 %) tetapi juga di tangan mereka harga beras ditentukan secara sepihak (rata-rata Rp. 6.000—6.300 per kg).

Modus yang dipraktikan oleh para teng-kulak adalah melalui penggilingan padi.

Melalui penggilingan, para pemodal meminjamkan uang kepada petani den-g a n b u n g a b e r v a r i a s i t a n p a agunan/jaminan. Setelah panen, para petani dengan sendirinya akan menggil-ing padi-padi mereka ke tempat penggil-

ingan yang meminjamkan modal. Hal ini dimaksudkan selain agar beban pinjaman langsung dipotong, juga sekaligus sebagai pasar. Sekalipun dengan harga yang ditentukan pihak penggilingan/tengkulak dengan murah yakni berkisar antara Rp. 6.000—6.300 per kg, petani sudah dengan sendiri pasrah. Lantaran hasilnya jelas

laku di pasaran pun pada saat yang sama beban utang berkurang bahkan lunas.

―Kami bahkan tidak mendapat keuntungan apa-apa, istilahnya gali lubang tutup lubang‖ aku Andreas Dandur. Padahal padi adalah tumpuan harapan para petani sawah Lembor untuk memenuhi kebutu-han hidup mereka. Mulai dari pemenuhan kebutuan konsumsi sendiri, biaya anak sekolah sampai menabung. ―Bagaimana mau menabung, untuk musim tanam beri-kutnya saja kami harus pinjam lagi ke pemilik uang‖ lanjutnya.

4. Kelompok Tani tadah uang/benih/pupuk dan tumpulknya kerja PPL

Dalam kepungan aneka soal yang di ha-dapi para petani sawah Lembor, seharus-nya peran PPL lebih dan intensifkan, pun kelompok-kelompok tani lebih solid dan kuat. Tujuannya selain dapat secara ber-sama-sama para petani mengurai soal secara jelas dan cermat, juga secara ber-

sama-sama membangun kesadaran ber-sama untuk memulai system dan mekan-isme pertanian yang memihak para petani kecil.

Namun faktanya, seperti yang sudah dis-

inggung di depan (poin 2) banyak kelompok yang dibentuk hanya lantaran proyek benih, pupuk dan permodalan yang disubsidi pemerintah. Bahkan tidak jarang muncul kelompok-kelompok gadungan yang dimanipulasi oleh para ketua kelompok hanya supaya menda-patkan bantuan pemerintah dan lem-

baga bantuan lain. Nama-nama para petani dicatut ke dalam lembaran pro-posal dengan tanda tangan foto kopi atau palsu, menunjukkan keterangan lahan dan hasil usaha yang tidak sesuai dengan kenyataan agar subdisi pemerin-tah tersalurkan.

Tidak hanya itu, peran PPL pun tumpul. Sebagaimana sudah disinggung di depan perihal peran/fungsi PPL sebagaimana yang kami kutip dari Van Den Ban, et.al (dalam Agricultural Extension:2003) jus-tru jauh panggang dari api. ―PPL datang kalau ada maunya, dan kalau datang ya hanya untuk urus yang mereka kenal atau keluarga mereka‖ keluh salah seo-rang petani desa Nangka yang tidak hendak menyebutkan namanya.

Berhadapan dengan kenyataan itu, fungsi pertama dan utama PPL yakni membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan, serta membantu

petani menyadarkan terhadap kemungki-nan timbulnya masalah dari analisis tersebut justru tidak terlaksana. Sebali-knya PPL justru menjadi salah satu ma-salah tersendiri (dan serius) bagi para petani sawah Lembor.

31 Edisi Juli-Oktober 2013

Pesan-Pesan Di Akhir Catatan

Menyelam lebih dalam catatan-catatan narasi para petani sawah Lembor, seperti yang dituturkan para petani sa-wah dusun Nangka, Wae Mata dan Tando desa Liang Sola, baik yang ter-

catat dalam halaman-halaman ini mau-pun yang tersajikan dalam keseharian mereka, kita hanya hanya dapat meny-impulkan dalam satu pepatah ―Seperti Tikus Mati di Lumbung Padi‖. Itu saja.

Mengurai pepatah di atas dengan ber-kaca pada petani sawah dan persawa-han Lembor tidak hanya mengurai prob-lem yang kini tampak, tetapi juga me-runut kembali ke sejarah mula-mula tentang Lembor. Singkatnya kita diha-dapkan dengan kompleksitas soal yang jika diurai membutuhkan waktu panjang.

Namun, beberapa solusi sementara beri-kut dapat kami tawarkan:

1. Memotong mata rantai rentenir dan tengkulak. Butuh kerja sama semua pihak: petani itu sendiri, pemerintah, koperasi kredit dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pertama, Pemer-intah berusaha untuk mengembang-kan dan meningkatkan akses pema-

saran hasil produksi pertanian. Ujung tombak pemerintah di lapangan, yakni PPL agar dimaksimalkan dan diharapkan bekerja jujur dan serius. Perlu pula pemerintah membuat ke-bijakan yang pro petani, mengu-tamakan kemerdekaan para petani

ketimbang koorporasi perusahaan. Sekaligus memikirkan secara serius alternatif pangan non beras. Kedua, koperasi Kredit (yang punya mana-jemen sehat) dimintai untuk melayani permodalan dengan bunga kecil untuk para petani pada saat yang sama memberikan pelatihan analisis usaha

bagi para petani. Ketiga, sementara itu pihak lembaga swadaya masyara-kat yang concern dalam bidang perta-nian diamanatkan untuk mendampingi proses produksi para para petani. Memfasilitasi pelatihan-pelatihan ten-tang pertanian sekaligus memberi mo-tivasi dan pendampingan.

2. Revitalisasi system pertanian, dari sys-tem pertanian berorientasi hasil men-jadi system pertanian berorientasi proses. 1) menghidupkan kembali proses pertanian alamiah. Tidak hanya system pengelolaan yang dilakukan secara alamiah tetapi juga benih-benih lokal mesti harus dihidupkan kembali. Keuntungannya berstandar ganda, di satu sisi ramah lingkungan di sini lain tidak berbiaya tinggi. 2) maksimalisasi pemaknaan atas agricultural dimana system pertanian harus bertalian dan dalam kesatuan dengan system bu-daya dan kosmologi setempat. Petani dengan demikian akan mendapat tem-pat yang bermartabat dalam perannya, tidak hanya sebagai tuan atas lahan sawahnya, tetapi juga sebagai penentu atas hasilnya.

3. Petani sendiri harus sadar dalam ka-

pasitasnya sebagai petani. Untuk itu penguatan kapasitas sumber daya manusia para petani mesti diseriusi. Pa r a pe t an i h a ru s b e r sa t u memikirkan nasib dan diri mereka sendiri. Berani keluar dari kungkun-gan system timpang. Berani melawan kebijakan yang tidak memihak. Pun

berani menolak setiap elemen LSM yang hanya datang separuh musim.

4. Lantaran itu, soliditas dan sinergisitas petani untuk menyadari ke-petani-annya harus pula tumbuh dari petani itu sendiri. Kelompok-kelompok ben-tukan petani: dari petani itu sendiri harus direvisi bukan hanya untuk ‗tadah proyek‘ tetapi lebih sebagai sarana pembelajaran dan kemandir-ian.

5. Untuk semua hal di atas lagi-lagi, dibutuhkan banyak elemen yang terlibat dan mau melibatkan diri. Tidak hanya petani itu sendiri yang dituntut berdaya-energi, tetapi juga harus didukung oleh kebijakan yang berpihak, pendampingan yang intesif dan modal yang memadai. Pemerin-tah, LSM, Koperasi, Gereja/Lembaga agama, mesti tidak hanya ‗duduk satu meja‘ untuk membahasnya, tetapi juga bergerak berasama den-

gan visi yang sama mendorong kese-jahteraan petani. Agar petani sung-guh berdaulat, atau dengan lain kata agar mereka tidak menjadi seperti ‗Tikus yang mati di lumbung padi‘. *

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

K eberadaan kampung Tando tidak akan pernah luput dari sejarah yang

pernah dialami warganya. Berbagai macam peristiwa alami baik social, eko-nomi, politik dan budaya akan selalu me-warnai perjalanan sejarahnya. Menelusuri sebuah sejarah bukan merupakan peker-jaan yang mudah. Merekonstruksikan sejarah dengan dinamika yang terjadi di dalamnya merupakan refleksi yang terus-menerus. Dan perihal itu ruang selalu terbuka dan waktu selalu mengiz-inkannya. Keberadaan kampung Tando sendiri me-

lewati tiga fase perjalanan penting dalam sejarah komunitas warganya. Diawali dengan hijrahnya 3 keluarga dari kam-pung induk Ledang lantaran adanya ke-butuhan untuk mencari sumber pen-ghidupan yang baru berupa tanah dan sumber air. Ketika keluarga ini sampai pada suatu tempat yang disebut Tado Wae Wetok. Tado Wae Wetok berada di lembah yang terdapat sumber air yang keluar sepanjang tahun. Di sana mereka mulai berkebun dan ber-

cocok tanam di atas lahan yang subur dan berkelimpahan air. Mereka tak berke-kurangan pasokan pangan bahkan men-jadi warga sejahtera. Keberhasilan dan kebahagian mereka menarik minat warga lain untuk bergabung. Lantaran itu secara

berturut-turut warga Ledang yang lain mengikuti jejak mereka. Populasi pun meningkat dan lahan gara-pan pun kian luas. Mereka kemudian berinisiatif untuk mencari dan memban-gun pemukiman baru yang tidak jauh dari sumber mata air. Selanjutnya mereka mulai berpindah ke tempat yang ke-mudian mereka sebut sebagai Tando (kampung dengan nama Tando yang pertama kali). Dari Tando mereka men-guasai tanah sampai ke tepi sungai Wae Ngorok dan Wae Uhu yang bersebelahan dengan kampung Waemata yang kebetu-

lan masih hubungan keluarga karena ikatan perkawinan. Ikatan persaudaraan antara kedua kam-pung membuat keduanya bisa bercocok tanam sampai menyeberangi batas wilayah. Warga kampung Waemata dapat menyeberang ke Tando dan bercocok tanam di wilayah Tando. Karena masih banyak tanah di wilayah Tando yang be-lum tergarap. Namun kecenderungan itu membuat cemas warga Tando. Lantaran warga kampung Waemata sudah memu-

lai bercocok tanam dengan tanaman jangka panjang seperti kelapa dan bambu. Warga Tando berkeyakinan jika, hal itu dibiarkan maka akan terjadi konflik di kemudian hari. Jawaban atas kecema-san itu, warga Tando pun mulai memberi

tanda dengan membangun rumah di per-batasan. Sesepuh adat kampung Tando, Antonius Selamun mengisahkan bahwa awalnya dibangun dua buah rumah, namun dalam perjalanan waktu, memasuki awal tahun 70-an banyak warga Tando yang mulai pindah kemudian mendirikan rumah. Su-dah sejak itulah kampung Tando baru, yang seperti sekarang ini terbentuk. Satu pelajaran menarik dari cerita sejarah Kampung Tando ini adalah ikatan adat persaudaraan yang kuat yang membuat

kecemasan dan konflik dapat teratasi dengan bijak. Dengan duduk bersama dan kepala dingin dalam memecahkan soal, apa pun solusi dapat ditemui secara bijak. Win-win solution adalah jawabannya, dimana tidak ada yang dirugikan dari setiap keputusan yang diambil. Inilah sebenarnya wajah demokrasi masyarakat kita. Namun semakin lama wajah de-mokrasi tersebut semakin hilang dari tengah-tengah masyarakat kita lantaran

untuk mencapai hasil segala proses dia-baikan. Sejarah dengan demikian tidak punya ruang untuk direfleksikan. Waktu seperti berlari dan kita terengah-engah mengejarnya.*)

*) John Pluto Sinulingga

Di sana mereka mulai berkebun dan bercocok tanam di atas lahan

yang subur dan berkelimpahan air. Mereka tak berkekurangan

pasokan pangan bahkan menjadi warga sejahtera.

32 Edisi Juli-Oktober 2013

Sumber Mata Air Wae Uwu, dusun Tando desa Liang Sola. Dulu mata air ini merupakan sumber mata air utama bagi warga Tando dan Wae Mata.

33 Edisi Juli-Oktober 2013

H ubertus Gas mengubah lahan sawahnya men-

jadi lahan sayur. Ketika itu tahun 1989. Lelaki paruh baya kelahiran Ledang desa Pong Majok ini den-gan berani memilih jalan lain di tengah hasil padi yang menjanjikan ketika

itu, lantaran menurutnya budidaya sayur-sayuran biayanya kecil, tidak bu-tuh banyak tenaga yang dikerahkan, tetapi jauh lebih menguntungkan. Hasilnya kini, ketika para petani sawah jatuh dalam kepungan ragam soal, seperti berlari sendiri, Hu-

bertus Gas (dan para pet-ani sayur yang lainnya) sudah sedang berada di masa emasnya. ―Dengan sayur-sayuran saja saya bisa bangun rumah, biaya anak sekolah dan me-nabung‖ kisahnya dengan penuh bangga. *)

L edang, Rangga dan Dempol adalah tiga anak kampung di desa Pong Majok yang kini menjadi

kantong produksi segala jenis sayur di

dataran Lembor.

Jenis-jenis sayur tersebut antara lain: sawi, picai, kol, bayam, tomat, kacang panjang, labu, cabe, sere, terong, dll. Di Ledang misalnya, dengan memanfaatkan saluran air leding beragam jenis sayur ini dikembangkan di atas bekas lahan-lahan sawah. Berbeda dengan di Ledang, di Puring Rangga, kelompok petani sayur yang berjumlah kurang lebih 12 kk men-gubah ladang jadi kebun sayur dengan

memanfaatkan air tumpahan irigasi. Hal yang sama dilakukan di Dempol.

Selain bertani sayur. Petani-petani di tiga anak kampung ini memanfaatkan lahan kosong di sekitarnya untuk menanam jenis tanaman umur panjang seperti kopi dan cokelat. Sebagian lahan yang lain ditanami jenis tanaman pangan lain seperti pisang dan jagung. Sistem tanam beragam jenis tanaman seperti ini menarik untuk dicoba-tiru. Lantaran se-lain tetap mendatangkan hasil, juga se-

bagai media pembelajaran perihal mana-jemun kebun yang baik.

―Selain untuk mengisi lahan kosong, hal itu juga dimaksudkan supaya lahan tam-pak lebih hijau‖ jelas Hubertus Gas.

Beralih Dari Sawah Menuju Sayur

W arga ketiga kampung ini lebih memilih menjadi petani sayur

ketimbang harus ber-sawah lantaran dua hal: Pertama, bertani sawah tidak memberikan keuntungan maksimal bagi mereka. Dengan system petakan sawah yang beundak-undak ditambah system irigasi yang tidak makmasimal membuat lahan sawah mereka cepat kering. Belum lagi dibilang benih, pupuk dan pestisida yang semuanya serba beli ditambah ongkos kerja berbiaya tinggi, maka men-

gubah lahan sawah menjadi kebun sayur menjadi pilihan yang tepat.

Perihal itu seperti dikemukakan Hubertus Gas ―Waktu itu lahan sawah saya tidak memberikan hasil yang maksimal. Di-tambah irigasi yang belum maksimal dan beban biaya tinggi, maka saya memilih beralih untuk mencoba budidaya sayur mayur‖ kisahnya.

―kami yang perempuan juga begitu, se-belumnya kami biasa menenun, tapi

karena hasil tenunan dibeli dengan harga murah padahal prosesnya rumit dan panjang, maka banyak yang beralih menjadi petani sayur‖ tambah istri Hu-bertus, Maria Theresia Jelit.

Kedua, pasar untuk sayur cukup jelas. Walaupun pasokan sayur untuk dataran Lembor di datangkan dari segala arah (Bajawa, Ruteng dan Bima). Menurut

para petani sayur, kebutuhan untuk kon-sumsi sayur untuk warga Lembor cukup besar, sehingga harga jualnya tetap sta-bil.

―Kadang ada yang datang beli dan petik sendiri. Kadang ada juga yang ambil di sini pake oto‖ jelas Stefanus Deos, petani sayur di wilayah Puring kampung Rangga.

―Karena itu saya merasa senang jadi petani sayur walau sebenarnya hanya

selingan, karena pekerjaan lain saya adalah sebagai tukang. Tetapi kalau mau jujur, hasil dari sayur-sayuran ini sangat menguntungkan‖. Katanya lebih lanjut.

Biaya Produksi Kecil, Keuntungan Maksimal

Dengan modal kerja berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 1.000.000

per tahun para petani sayur dapat meraih hasil rata-rata Rp. 10.000.000 sampai dengan Rp. 11.000.000 pertahun. ―Ini adalah perhitungan kasar, kami be-lum hitung bersih setelah dipotong ong-kos kerja dll‖ jelas Stefanus Deos

*) Kris Bheda Somerpes

32 Edisi Juli-Oktober 2013

Stefanus Deos, Petani Sayur kampung Puring Rangga Desa Pong Majok Lembor

―Kalau lagi banyak sayur dan banyak pembeli, rata-rata pemasukan per hari bisa mencapai Rp. 400.000‖ tambah Paulina Limbung, istri Stefanus Deos.

Hal yang sama dikisahkah Hubertus Gas ―Biaya produksi rata-rata pertahun di bawah dua juta, tetapi hasilnya bisa mencapai 10 juta pertahun‖. Katanya.

―Dengan sayur-sayuran saja saya bisa bangun rumah, biaya anak sekolah dan menabung, itu belum terhitung dengan tanaman jangka panjang seperti kayu‖

Di Ledang Ada Brantas, Di Puring Hanya Kompos

Dua hal di atas menjadi pembeda antara petani sayur Ledang dan petani sayur Puring-Rangga dalam pengelolaan kebun sayur mereka. Mayoritas petani sayur Ledang menggunakan pupuk dan pes-tisida kimia seperti pestisida jenis Bran-tas. Sementara petani sayur Puring-Rangga menggunakan pupuk berbahan dasar kompos.

―Semua kami di sini menggunakan pu-puk kompos, dari sisa-sisa pembakaran dedaunan dan kayu yang dicampur den-gan kotoran ternak‖ jelas Paulina Lim-bung.

―Romo pastor paroki mengajarkan kami

membuatnya, maka kami semua yang ada di Puring ini memakai pupuk kom-pos‖ tambah Stefanus Deos.

Menuju System Pertanian Alamiah Butuh Proses, Ko-

mitmen dan Ketekunan

Mendorong pembiasaan para petani, termasuk petani sayur untuk memulai dan selanjutnya membiasakan peng-gunaan pupuk dan pestisida alami dalam mengelolah kebun dan ladang mereka memang butuh waktu.

Selain dibutuhkan komitmen dan kete-kunan bagi setiap petani, juga perlu keahlian (sumber daya) dan

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

―Kalau lagi banyak sayur dan banyak pembeli, rata-rata pemasukan per hari bisa mencapai Rp. 400.000‖ tambah Paulina Limbung, istri Stefanus Deos.

Hal yang sama dikisahkah Hubertus Gas ―Biaya produksi rata-rata pertahun di bawah dua juta, tetapi hasilnya bisa mencapai 10 juta pertahun‖. Katanya.

―Dengan sayur-sayuran saja saya bisa bangun rumah, biaya anak sekolah dan menabung, itu belum terhitung dengan tanaman jangka panjang seperti kayu‖

Di Ledang Ada Brantas, Di Puring Hanya Kompos

Dua hal di atas menjadi pembeda antara petani sayur Ledang dan petani sayur Puring-Rangga dalam pengelolaan kebun sayur mereka. Mayoritas petani sayur Ledang menggunakan pupuk dan pes-tisida kimia seperti pestisida jenis Bran-tas. Sementara petani sayur Puring-Rangga menggunakan pupuk berbahan dasar kompos.

―Semua kami di sini menggunakan pu-puk kompos, dari sisa-sisa pembakaran dedaunan dan kayu yang dicampur den-gan kotoran ternak‖ jelas Paulina Lim-bung.

―Romo pastor paroki mengajarkan kami

membuatnya, maka kami semua yang ada di Puring ini memakai pupuk kom-pos‖ tambah Stefanus Deos.

Menuju System Pertanian Alamiah Butuh Proses, Ko-

mitmen dan Ketekunan

Mendorong pembiasaan para petani, termasuk petani sayur untuk memulai dan selanjutnya membiasakan peng-gunaan pupuk dan pestisida alami dalam mengelolah kebun dan ladang mereka memang butuh waktu.

Selain dibutuhkan komitmen dan kete-kunan bagi setiap petani, juga perlu keahlian (sumber daya) dan kesabaran dalam berproses. Di tengah kepungan pasar yang menuntut produksi segera, para petani kadang mengabaikan higienitas hasil produksi, kesehatan diri sendiri dan bahkan keselamatan tanah tempat tumbuhnya kehidupan.

Pengabaian atas itu bukan tanpa solusi. Solusi paling tepat untuk itu adalah

membiasakan penggunaan pupuk dan obat-obatan alami secara terus menerus dengan diawali secara perlahan. Pertama-tama dimuali dari satu petak lahan sa-yur, lebih tepatnya satu bedeng. Musim tanam berikutnya meluas menjadi dua

petak/bedeng sambil mengevaluasi proses kerja musim tanam sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai semua lahan benar-benar murni menggunakan

pupuk dan obat-obatan alami.

Rencana Jangka Panjang

Bukan tidak mungkin banyak petani sa-wah Lembor akan beralih pandang menuju bedengan sayur. Siapa pun ter-masuk pemerintah tidak mesti awas un-tuk itu, lantaran petani sawah Lembor sudah sedang beranjak menuju titik jenuh.

Hasil yang tidak maksimal, sementara prioritas utama yang menopang ke-hidupan mereka adalah padi. Di sisi lain beban ekonomi keluarga kian tinggi se-mentara harga beras ditekan amat mu-rah oleh para rentenir. Lantaran itu, memilih menjadi petani sayur dan atau buah, walau belum menggurita di semua dataran Lembor memang sungguh men-janjikan.

Namun, jalan untuk itu bukan solusi. Solusi paling mendesak adalah membuka akses modal dan pemasaran bagi para-petani Lembor. Dan untuk itu semua elemen (petani, pemerintah, gereja dan swasta) perlu lonto leok dan selanjutnya bekerja bersama.*)

33 Edisi Juli-Oktober 2013

Stefanus Deos, Petani Sayur kampung Puring Rangga Desa Pong Majok Lembor

Manggarai Barat menganut system pertanian

(perkebunan) yang berorien-tasi pada 5W+1P: wanjing

(buka lahan), weri (tanam), we‘ang (bersih rumput), wela

(berbunga), wua (berbuah) dan pika (jual). *) Kris Bheda Somerpes

supaya terkesan Manggarai, tetapi me-nunjukkan perihal identitas yang se-sungguhnya berlandaskan pada keyaki-nan kultural akan proses kehidupan itu sendiri.

Pertanyaannya adalah apakah sistem

pertanian yang sudah sedang dilakukan

mayoritas penduduk Manggarai Barat

yang adalah petani sungguh memegang

teguh pada prinsip 5W+1P? Atau jan-

gan-jangan prinsip 5W+1P hanya seba-

tas kata?

Catatan pendek ini tidak memberi jawa-

ban. Lantaran jawabannya ada di hada-

pan kita, dalam keseharian hidup para

petani kita di Manggarai Barat. Jika ja-

waban yang ditemukan adalah bahwa

mayoritas petani menggunakan benih-

benih hibrida, pupuk kimia, pestisida

P emerintah Manggarai Barat dalam Rencana Pembangunan Jangka Me-nengahnya (2011-2015) menyebut-

kan salah satu poin yang menjadi prioritas pembangunan ekonomi adalah memban-gun sistem perkebunan yang berorientasi pada 5W+1P: wanjing (buka lahan), weri (tanam), we’ang (bersih rumput), wela (berbunga), wua (berbuah) dan pika (jual).

Orientasi pengelolaan pertanian di atas jika mau ditelisik sungguh sejatinya mengacu pada dua hal, yakni pertama, pengelolaan sistem pertanian dilakukan secara berta-hap. Artinya selain berproses secara ala-miah pada saat yang sama mengikuti sis-tem tanam berdasarkan kalender musim yang ada. Dan kedua, yang lebih penting dari itu bahwa orientasi dasar di atas tidak sekedar kata bahasa lokal (daerah) Mang-garai yang sengaja ditempel-pasangkan

dan insktisida kimia maka bukan tidak

mungkin bahwa sistem perkebunan/

pertanian yang berorientasi pada

5W+1P hanya sekedar sebagai kata.

Namun sekedar sebagai ilustrasi saya

tunjukkan foto-foto di bawah ini yang

dirangkum-rekam dari berbagai lahan di

dataran Lembor. Foto-foto di bawah ini

bercerita tentang banyak hal.

Tidak hanya tentang bagaimana kondisi

lahan persawahan Lembor telah menjadi

sangat bergantung pada bahan-bahan

kimiawi dalam proses pengelolaannya,

tetapi juga tentang miskinisasi petani

yang dirancang-gagas para pemodal-

perusahaan dalam bentuk produk-

produknya.*)

―kami bukan beli pupuk, tapi kami beli kertasnya saja (label). Karena pupuk yang kami guna-kan selama ini tidak memberi perubahan apa-apa‖ aku Antonius Adol, warga Wae Mata Desa Liang Sola yang juga merupakan salah seorang petani sawah di Lembor.

36 Edisi Juli-Oktober 2013

Y akni tentang orang paling penting dan terkenal di negara agraris ini (petani) perihal

pengalaman keseharian mereka (kejadian yang sebenarnya).

Namun, jauh dari sekedar lucu bin ban-yol, sebenarnya kisah sepasang ke-Kasih ini, lebih top markotop disebut sebagai komedi satir. Sebuah komedi yg berisi pernyataan sindiran (kepedihan, ke-getiran, kengerian dan kemirisan) ter-hadaap suatu keadaan atau seseo-rang.

***

Sampai cerita komedi satir ini dibuat, saya tidak tahu persis jenis kelamin di antara keduanya siapa yang pria dan siapa yang wanita, lantaran keduanya tidak tegas dalam berdandan. Namun yang pasti nama keduanya cukup di-rekam-kenal dengan baik, seorang bernama Untung, seorang yang lain bernama Utang.

Awal perjumpaan keduanya se-benarnya sudah lama, sudah terjadi pada zaman Orde Baru, pada ketika Soeharto membentuk KUD dengan segala atribut top down-nya. Pada ketika itu keduanya masih malu-malu kucing. Keduanya sudah saling suka, tapi kandas diungkap.

Tapi, satu dasawarsa terakhir, keduanya sudah saling mengakrabi satu dengan yang lain. Tidak jarang di persawahan Lembor keduanya berke-jar-kejaran. Seorang berusaha untuk mengalahkan yang lain. Kemudian kadang jatuh ke pematang dan bergul-ingan, selanjutnya berdiri dan berpelu-kan seperti Tingki dan Wingki dalam film boneka anak-anak Teletubbies.

***

Sepasang ke-Kasih ini menjadi demikian berbeda ketika musim panen tiba. Biasanya bulan April dan Desem-ber. Dalam bulan-bulan tersebut keduanya tampak sangat cemas. Keduanya tidak saling bertegur sapa. Diam tanpa kata.

Jawaban atas kecemasan mereka bi-asanya baru akan terjawab di penggil-ingan. Ketika bunyi mesin giling ber-henti dan beras naik ke dacing timban-gan lalu jatuh ke lantai dengan harga Rp. 6.000 per kg.

Pada ketika itu, seperti di hadapan Tuhan, keduanya tiba-tiba buka suara panjatkan doa. Kata si Utang “tolong Kasih Saya Utang” dan kata si Untung “tolong Kasih Saya Untung”.

Di hadapan keduanya, si tuan giling, sang Rentenir bin Tengkuak binti Ijon dengan kepala giling kiri-giling kanan akan membuka suara “Untung” dan atau “Utang”. Tapi biasanya, yang me-luncur dari mulut tuan Rentenir adalah “Saya akan beri kamu dua sebuah kado bunga yang banyaknya antara 5-20% tergantung seberapa cinta kalian berdua, itu maksudnya supaya kamu dua tetap bersatu”.

Dengan kepala guling kanan-guling kiri, si Untung dan si Utang akan kem-bali ke rumah. Sambil sebelah menye-belah memegang karung kosong, keduanya dipaksa memikir untuk men-jatuhkan pilihan. Pilihannya bukan ti-dak memilih, tetapi memilih di antara empat pilihan yakni mau jumlah bunga yang 5% atau 10% atau 15% atau 20%.

Pilihan akan dijatuhkan pada ketika

musim tanam tiba. Tergantung kekua-tan dan kebutuhan cinta keduanya. Semakin kuat cintanya semakin ban-yak bunganya, namun semakin reng-gang cinta akan semakin kecil bun-ganya.

Tuan Rentenir pasti akan selalu ada di pintu penggilingan menunggu jawaban. Di tangannya sudah ada seikat bunga yang akan diberikan, dimulutnya sudah ada undang-undang untuk menentu-kan jalannya, dan di anak dacingnya semua harga atas jerih payah Utang dan Untung diberi harga.

Pada ketika itu biasanya si Utang senyum-senyum. Pada saat yang sama si Untung monyong-monyong. “Kenapa kau senyam-senyum. Kau tidak tau kalau kita sengsara terus?” tanya si Untung.

Sambil nyengir, si Utang menjawab “sengsara bagaiamana? Kau tidak sa-dar kalau kita dikasih kado bunga yang banyak. Kan bunga-bunga itu bisa di tanam di rumah, siapa tahu tumbuh?

“Ya e...saya lupa. Kalau bunga itu tum-buh kan kita bisa jual, lalu kita dapat untung toh? Jelas Untung. “ya dong” balas Utang.

***

Macamnya, akan selalu seperti itu. Macam tidak ada alternatif lain selain harus ke penggilingan meminta restu tuan Rentenir. Macamnya juga, tuan Rentenir tidak mau tau dengan kondisi sepasang ke-Kasih, Untung dan Utang. Macamnya si tuan tidak pernah lelah mendengar keluh yang bersahut-sahutan antara “Kasih Saya Untung” dan atau “Kasih Saya Utang” pada setiap awal dan akhir musim panen.*)

*) Kris Bheda Somerpes

Para petani sawah Lembor macamnya punya anekdot.

Macam sebuah cerita singkat yang menarik karena lucu dan

mengesankan, biasanya anekdot bercerita mengenai orang

penting atau terkenal dan ber-dasarkan kejadian yang se-benarnya. Tentang kejadian

yang sebenarnya macamnya benar. Dan tentang orang terke-nal atau penting itu juga macam-

nya benar.

37 Edisi Juli-Oktober 2013

liar. Awet pada lingkungan, DDT ditemukan dan semua bahan makanan dan mahluk hidup. Toksisitas kronisnya akan meningkat karena akumulasi lemak tubuh pada setiap aras rantai makanan. Pemakaian DDT yang tidak terkendali akan menyebabkan nyamuk yang kebal pestisida dan menyebabkan ledakan penyakit malaria.

DRINS: ALDRIN/DIELDRIN/ENDRIN (KELOMPOK DRIN). Racun DRIN bersifat akut dan tak pandang bulu. Membunuh serangga yang bermanfaat bersama dengan hama sasaran. Dapat menyebabkan kanker kronis pada hewan. Drin awet pada lingkungan, ditemukan pada air hujan, air tanah dan air permukaan, tanah dan tanaman pangan. ETHYLENE DIBROMIDE (EDB). Merupakan pestisida yang bersifat karsinogen, merusakan kesuburan perempuan dan laki-laki. Dapat meresap pada kulit manusia, karet dan plastik serta kulit dari beberapa tanaman pangan dan mencemari air. HCH/LINDANE. Bersifat karsinogen. Paling beracun, menjadi bahan aktif dalam kebanyakan produk pengendali kutu kepala. Dapat menyebabkan

ALDICARB (TEMIK). Racun ini memakai methyl isocynate – kimia yang membunuh 10 per 1000 orang dalam bencana Bhopal di India 1984. CAMPHECLOR (TOXAPHENE). Satu dari pestisida yang paling banyak digunakan di dunia sejak tahun 1970-an. Campheclor dapat menyerap melalui kulit dan sering bersifat fatal bila dihirup. Sangat beracun

pada ikan, dapat menybar ke daerah yang sangat luas begitu lepas ke dalam lingkungan dan berakumulasi dalam sel-sel lemak hewan. CHLORDIMEFORM (GALECRON. Diproduksi terutama untuk digunakan pada kapas di dunia 3. Chlordimeform merupakan citra buruk bagi ―percobaan lapangan‖ pabrik. Beracun bila terhirup atau terserap melalui kulit, organoklorin ini juga menyebabkan iritasi pada kandungan kemih yang parah. DIBROMOCHLOROPROPANE (DBCP. DBCP bersifat karsinogen, secara langsung berkaitan dengan kemandulan pada pekerja laki-laki atau pemakai pestisida. Pestisida ini dengan cepat mengalir ke air tanah dan dapat ditemui pada dasar sumur. DDT. Pengaruh DDT yang merusak satwa

kerusakan syaraf pada manusia dan hewan, dan banyak sekali digunakan di proses pertanian. PARAQUAT. Keracunan terparah jika terminum, terhirup, terserap melalui kulit. Pembunuh gulma ini membunuh dengan cara ―mati lemas‖. Korban dari keracunan ini menunjukkan paru-paru yang tidak berfungsi dan jaringan yang

luka. PARATHION dan METHYL PARATHION. Parathion bertanggung jawab atas separuh keracunan pestisida seluruh dunia. Terjatuhnya satu sendok teh ke kulit akan berkibat fatal PENTACHLOROPHENYL (PCP). PCP merupakan senyawa yang sangat berbahaya bagi hati, ginjal, dan sistem syaraf pusat. PCP banyak digunakan sebagai pengawet kayu, mengendalikan rayap dan sebagai herbisida. Racun dapat terserap melalui kulit, paru-paru dan usus halus 2,4,5-T (HERBISIDA). Digunakan sebagai racun rumput. Racun ini berkontaminasi dengan dioksin, kimia yang sangat beracun per berat dasar dan diduga menyebabkan cacat lahir dan keguguran spontan. ***

* ) Disarikan oleh John Pluto Sinulingga

HINDARI PEMAKAIAN PESTISIDA, BERBAHAYA UNTUK KEBUN, RUMAH TANGGA, DAN

KEPERLUAN LAINNYA, GUNAKANLAH PESTISIDA ALAMI YANG SEBENARNYA TELAH DISEDIAKAN OLEH ALAM.

38 Edisi Juli-Oktober 2013

PINJAMAN ADALAH WATAK SI PEMINJAM‖

Untuk mewujudkan impian tersebut, Raiffeisen bersama kaum buruh dan petani miskin membangun Koperasi, yang berhasil mencetuskan 3 (tiga) Prinsip utama yaitu :

1) Azas swadayaTabungan hanya

diperoleh dari anggotanya.

2) Azas Setia kawanPinjaman hanya

diberikan kepada para anggota.

3) Azas Pendidikan dan Penyadaran

Membangun WATAK adalah yang utama. Hanya yang berWATAK baik yang dapat diberikan pinjaman. Jadi, jaminan pinjaman adalah WATAK peminjam atau berdasarkan saling percaya (credere) sehingga lembaga ini bernama credit union atau koperasi kredit.

Tolong-menolong melalui kerjasama itulah dianggap satu – satunya pemecahan yang permanen terhadap masalah kemiskinan. Bapak Raiffeisen, pun berkesimpulan bahwa DERMA TIDAK AKAN MENOLONG MANUSIA UNTUK MULAI BANTU DIRI, tetapi sebaliknya malah MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA YANG MENERIMANYA.

K operasi Kredit (KopDit) lahir di Jerman pada tahun 1849 di tengah situasi sosial ekonomi yang suram: penganguran,

musim dingin, paceklik, penyaklit menular mewabah dan juga lintah darat merajalela. Masyarakat khususnya petani dan pekerja (buruh) menjadi tak berdaya.

Melihat kenyataan di atas Walikota Flamersfield F.R.Raiffeisen menolong dengan dua strategi yaitu: membagi makanan (roti) dan uang. Tern-yata dua strategi ini gagal karena memanjakan orang miskin. Mereka tetap miskin, bahkan menjadi tergantung, meminta dan mengeluh.

Berdasarkan pengalaman di atas, Sang Walikota berkesimpulan:

―KESULITAN SI MISKIN HANYA DAPAT DI ATASI OLEH SI MISKIN ITU SENDIRI. SI MISKIN HARUS MENGUMPULKAN UANG SECARA B E R S A M A - S A M A D A N K E M U D I A N MEMINJAMKAN KEPADA SESAMA MEREKA JUGA. PINJAMAN HARUS DIGUNAKAN UNTUK TUJUAN YANG PRODUKTIF , YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN. JAMINAN

Ketiga prinsip di atas dianut oleh semua Koperasi Kredit di seluruh Dunia karena prinsip tersebut mencerminkan adanya usaha SWADAYA dari kelompok.

PRINSIP KOPERASI KREDIT Koperasi Kredit adalah badan usaha yang dimiliki oleh sekumpulan orang dalam suatu ikatan pemersatu, yang bersepakat untuk menabungkan uang mereka sehingga men-ciptakan modal bersama guna dipinjamkan di antara sesame mereka dengan bunga yang layak untuk tujuan produktif dan kese-jahteraan. Kopdit sebagai badan usaha dalam melak-sanakan kegiatannya mengorganisir peman-faatan dan pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip-prinsip koperasi antara lain : Prinsip (AD Bab I, pasal 4, ayat 1 dan 2). 1) Keanggo-taan bersifat sukarela dan terbuka. 2) Pengelolaan dilakukan secara demokratis. 3) Otonomi dan kemandirian. 4) Melaksanana-kan pendidikaN bagi anggota.

SEJARAH KOPERASI KREDIT

*) Yosep Min Palem, Pengurus KopDit Suka Damai Manggarai Barat

―Kopdit mendorong anggota untuk mem-biayai diri sendiri, menolong diri sendiri‖

―Koperasi Kredit pertama-tama bukan mengurus uang tetapi mengurus orang‖

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

39 Edisi Juli-Oktober 2013

gota, 6) Mengembangkan jaringan kerja sama usaha antar anggota dan antara ang-gota dengan lembaga lainnya yang relevan. 7) Memberikan pelayananjasa perlindungan kepada anggota. 8) Mengadakan upaya-upaya lain di bidang ekonomi dan keuangan yang dapat menunjang dan mengembangkan usaha anggota.

TUJUAN KOPERASI KREDIT

Tujuan : (AD Kopdit bab III, pasal 5). Tujuan didirikan kopdit adalah untuk : 1) Meningkat-kan kesejahteraan dan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya dalam rangka mewujudkan terlaksananya masyarakat yang maju, adil dan makmur. 2) Menjadi gerakan ekonomi rakyat serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional.

USAHA KOPERASI KREDIT Usaha KopDit : (AD Kopdit bab IV Pasal 7 ) Untuk mencapai tujuan tersebut maka Kopdit menyelenggarakan usaha antara lain: 1) Mewa-jibkan dan mengghiaatkan anggota untuk meny-impan secara teratur dalam rangka membangun permodalam yang kuat dan seha. 2) Memberio-kan pelayanan pinjaman dan pelayanan keuan-gan lainnya. 3) Membina dan mengembangkan potensi dan usaha perekonomian anggota agar menjadi kuat, mandiri dan professional. 4) Men-yelenggarakan pendidikan dan pelatihan ten-tang kopdit. 5) Memberikan bimbingan mana-jemen kopdit dan kewirausahaan kepada ang- Walikota Flamersfield F.R.Raiffeisen

―KESULITAN SI MISKIN HANYA DAPAT DI ATASI OLEH SI

MISKIN ITU SENDIRI. SI MISKIN HARUS MENGUMPULKAN UANG

SECARA BERSAMA-SAMA DAN KEMUDIAN MEMINJAMKAN

KEPADA SESAMA MEREKA JUGA. PINJAMAN HARUS DIGUNAKAN

UNTUK TUJUAN YANG PRODUKTIF, YANG

MEMBERIKAN PENGHASILAN. JAMINAN PINJAMAN ADALAH

WATAK SI PEMINJAM‖

pilar yaitu : Pendidikan, solidaritas/setia kawan, swadaya dan inovasi.

Pendidikan: untuk paham akan pentingnya koperasi; perlunya ber-peran serta; tahu hak dan kewajiban dan perlunya mengatur segala aspek kehidupan.

Solidaritas: kemauan dan upaya mem-perhatikan sesama anggota. Tidak mengejar keuntungan sendiri semata tapi kesediaan memberi dan berbagi. Hal ini dapat diwujudkan melalui simpan teratur, pinjam yang bijaksana, cicil tepat waktu.

Swadaya: Kopdit mendorong anggota untuk membiayai diri sendiri, menolong diri sendiri.

Inovasi: Menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan bukan hanya ber-kaitan dengan teknologi informatika tetapi juga medan perjuangan kopdit. Kopdit tidak hanya berkecimpung dalam simpan pinjam tetapi juga dengan ber-bagai cara mengupayakan agar anggo-tanya semakin sejahtera. Hal ini juga termasuk bagaimana supaya para pet-ani yang merupakan mayoritas anggota Kopdit dapat berdaulat.

B egitu banyak organisasi hadir di tengah masyarakat kita. Namun manakah yang sungguh member-

dayakan baik secara sosial maupun eko-

nomi. Apalagi bila dikaitkan dengan orang-orang miskin. Kelompok marginal ini malah paling banyak diperdaya, bukannya diberdayakan. Kopdit merupakan lembaga keuangan.

Namun sesungguhnya kopdit pertama-tama bukan mengurus uang tetapi mengu-rus orang. Anggota yang mau diurus baru-lah diurus juga uangnya. Asset kopdit adalah anggota yang bisa dipercaya bu-kanlah uang. Kopdit berusaha mense-jahterakan anggota. Maka pendidikan kepada anggota mutlak perlu dan meru-pakan jantung kopdit.

Kopdit berprinsip : berdayakan orangnya, hal lain akan ikut. Termasuk dengan nilai kejujuran dan disiplin yang menjadi jami-nan dalam berkopdit. Kopdit berdayakan anggota dalam kebersamaan termasuk dalam jaringan kerja sama (networking) Apa yang dilakukan kopdit dalam pember-dayaan dengan tegas dirumuskan dalam 4

KOPDIT SEBAGAI ORGANISASI PEM-BERDAYAAN

Kedaulatan tani merupakan pra-syarat sekaligus tujuan pembangunan perta-nian. Kedaulatan petani dan pemban-gunan pertanian merupakan konsep dan praktek yang saling mengisi dan mengi-kat satu sama lain. keduanya penting untuk kesejahteraan umum dan ketahanan bangsa. Petani yang berdaulat memungkinkan sebuah pembangunan pertanian yang menjamin tidak saja kecukupan dan ketahanan pangan tetapi juga kedaulatan pangan yang memung-kinkan mereka tidak saja menjadi se-jahtera tetapi juga memainkan peran dan tanggungjawab yang maksimal untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi seluruh bangsa.

Perwujudan kedaulatan tani tersebut

juga membutuhkan berbagai macam

syarat yang terkait dengan ekonomi

politik pertanian yang bermuara pada

keadilan dan kemakmuran manusia tani.

Syarat-syarat itu meliputi: 1) Akses

penguasaan air. 2) Akses penguasaan

KOPDIT DAN KEDAULATAN TANI

―Koperasi Kredit pertama-tama bukan mengurus uang tetapi mengurus orang‖

40 Edisi Juli-Oktober 2013

RENCANA TINDAK LANJUT

Bersama Yayasan Sunspirit dan Pemerintah mengupayakan menyiapkan satu kawasan pertanian un-

tuk dijadikan sentra pertanian organic dengan budidaya sayur-mayur, buah-buahan dan Woja Laka serta benih local lainnya.

tanah untuk para petani. 3) Kebebasan untuk menanam beraneka ragam tana-man dan berorganisasi. 4) Dukungan ilmu pengetahuan, teknologi tepat guna dan penelitian serta penyuluhan oleh Negara (ini hak petani yang harus diberi-kan Negara karena petani telah mem-bayar PBB). 5) Akses modal uang lewat pinjaman lunak yang bottom up dari pet-ani gurem sekalipun.

6) Akses lumbung paceklik yang didu-kung pemerintah. Lumbung-lumbung itu ada di setiap desa di seluruh Indonesia dan diisi dengan pangan-pangan local yang tidak hanya beras. 7) Akses pasar untuk surplus pangan (harga layak yang ditopang oleh subsidi pemerintah), con-trol petani atas plasma nutfah endemic dan kearifan local yang didukung oleh pemerintah lewat bank benih, pendo-kumentasian budaya local pertanian yang didukung universitas, lembaga penelitian, lembaga yang focus kepada petani dan pendataan lainnya.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah 8) Budaya bertani yang sarat dengan

kearifan local dan ramah lingkungan (bdk. Francis Wahono, 2008).

Tampak jelas bahwa kedaulatan tani dan pembangunan pertanian tidak dapat ter-wujud tanpa kerjasama antara berbagai pihak: manusia tani itu sendiri, pemerin-

tah, lembaga keuangan rakyat, or-ganisasi rakyat, universitas, lembaga penelitian, lembaga advokasi, masyarakat adat serta masyarakat umum. Perwuju-dannya juga membutuhkan berbagai aksi dan strategi.

Berkaitan dengan 8 prasyarat di atas maka Kopdit Suka damai menambil peran dalam akses modal uang lewat pinjaman lunak kepada para petani, diwujudkan dengan menyediakan pinjaman khusus untuk para petani guna mengolah lahan

sampai pada panen. Jangka waktu pinja-man ini 4 – 5 bulan. Saat pencairan pin-jaman langsung dipotong memang bunga pinjaman sedangkan pengembalian pinja-man dilakukan setelah musim panen.

Selain itu dalam konteks Manggarai

barat, Kopdit Suka damai dan Sunspirit

for Justice and Peace telah merintis kerja

sama dalam aksi konkret dengan memu-

lai pusat pengembangan dan kebun con-

toh Mawo Laka sebagai salah satu varitas

lokal unggulan yang ada di Manggarai

raya. Tindakan kecil seperti ini tentu saja

tidak cukup. Karena itu kami merasakan

pentingnya membangun kerjasama lebih

besar dengan melibatkan lebih banyak

pihak.

Kopdit Suka Damai dalam jaringan kerja sama dengan Yayasan Sunsprit dan Pe-merintah telah dan akan melaksanakan beberapa hal yakni :

Membuat kebun contoh di atas lahan

milik kopdit di Watu Langkas untuk pengembangan varietas padi jenis local (Woja/Mawo Laka). Di kebun contoh ini juga menjadi tempat lati-han bagi para petani anggota kopdit

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

41 Edisi Juli-Oktober 2013

dalam hal pengembangan pertanian organic yang mau dan terlibat (berminat)

Membina kelompok tani anggota kop-

dit dengan metode pertanian alamiah atau organik untuk bercocok tanam sayur-sayuran dan buah-buahan den-gan prioritas pemasaran berjejaring dengan hotel dan restoran.

Membuka bank benih varietas local

seperti Woja/ Mawo Laka yang dipin-jamkan ke kelompok tani binaan di atas dan setelah panen, pinjaman benih tersebut dikembalikan dengan sedikit laba.

Benih tersebut akan digulirkan

kepada petani lain dengan sistem yang sama.

Kalau ada surplus hasil maka akan

dijual kepada umum dan Kopdit den-gan yayasan Sunspirit membantu memasarkannya.

Modal keuntungan hasil penjualan

digunakan untuk proses produksi selanjutnya.

Kopdit membantu meminjamkan per-

modalan kepada kelompok binaan Yayasan Sunspirit dan anggota kelompok binaan tersebut diarahkan menjadi anggota kopdit

Bersama Yayasan Sunspirit dan Pe-

merintah mengupayakan menyiapkan satu kawasan pertanian untuk dijadi-kan sentra pertanian organic dengan budidaya sayur-mayur, buah-buahan dan Woja Laka serta benih local lain-nya.

SASARAN AKHIR

Dengan pemberdayaan terhadap ang-

gota kelompok tani dengan strategi seperti di atas maka sasaran akhir yang diharapkan bahwa petani baik anggota kopdit maupun petani di Manggarai Barat umumnya akan berdaulat. Petani akan mandiri, sejatera dan bermartabat. *)

Kedaulatan petani dan pembangunan perta-nian merupakan konsep dan praktek yang saling mengisi dan mengikat satu sama lain. keduanya penting untuk kesejahteraan umum dan ketahanan bangsa.

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

D i Indonesia, warga masyarakat memiliki budaya lisan yang sangat kental dalam hidup

bermasyarakat. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bahkan di lingkungan sekolah, budaya lisan sudah menjadi kebiasaan yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan seseorang. Budaya lisan sangat kuat dalam diri seseorang, entah itu sebagai warga negara, sebagai pendidik maupun sebagai pejabat dalam sebuah instansi. Budaya lisan itu tak dapat diubah dalam kehidupan seseorang karena sudah menjadi sebuah kebiasaan. Pola kehidupan bermasyarakat juga dilandasi budaya lisan dalam memberikan bimbingan dan arahan bagi seseorang, entah untuk anak yang akan memulai sekolah. Membuminya budaya lisan ini membuat perkembangan pola pikir masyarakat hanya sebatas apa yang dipikirkan.

Untuk mengubah budaya lisan menuju budaya membaca dan menulis di Indonesia pada umumnya, dan di NTT

khususnya, membutuhkan proses yang panjang dan kerja keras berbagai lapisan masyarakat. Benturan antara budaya lisan dengan budaya membaca dan menulis dalam kehidupan bermasyarakat akan semakin kuat. Tugas kita bersama, baik sebagai pendidik dan orangtua maupun masyarakat untuk sama-sama memberikan dorongan agar budaya membaca dan menulis menjadi sebuah kebiasaan seperti budaya lisan demi kemajuan manusia itu sendiri. Memang dalam interaksi sosial kemasyarakatan, kita membutuhkan komunikasi lisan. Tetapi, dalam kehidupan masyarakat luas, dibutuhkan kemampuan membaca perkembangan zaman yang dituangkan dalam sebuah dokumen dalam bentuk tulisan.

Di sini peran yang sangat penting yakni mengajak masyarakat, anak sekolah untuk memulai membiasakan hidup membaca dan menulis untuk perkembangan kepribadian seseorang. Pertanyaan yang penulis sampaikan,

siapakah yang memiliki waktu untuk mengubah kebiasaan lisan di tengah masyarakat dan sekolah-sekolah di seluruh Nusa Tenggara Timur. Untuk mengubah kebiasaan lisan menuju ke kebiasaan membaca dan menulis, dibutuhkan dorongan yang secara terus-menerus dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Semua pengambil kebijakan di seluruh NTT harus memiliki kesamaan pemahaman dalam mengembangkan budaya membaca dan menulis yang dimulai dari lingkungan keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan masyarakat demi sebuah perubahan dan kemajuan masyarakat Nusa Tenggara Timur.

Di zaman yang serba teknologi dan media internet yang semakin hari semakin maju sampai di lingkungan keluarga dan masyarakat, dibutuhkan kematangan bagi setiap generasi di NTT untuk memanfaatkan perkembangan itu dengan baik.

*) Markus Makur

Wartawan The Jakarta Post,

Tinggal di Manggarai Timur

Untuk mengubah budaya lisan menuju budaya membaca dan menulis bagi masyarakat NTT sangat dibutuhkan ketekunan

dari lingkungan keluarga hingga lingkungan pemerintah.

Peranan orangtua di lingkungan rumah tangga

dibangun kesadaran hidup membaca dan menulis agar

anak-anak memiliki minat dalam dunia membaca dan

menulis. Semua orang bersama-sama memberikan

dorongan agar anak-anak NTT memiliki kebiasaan membaca dan menulis demi kemajuan

sumber daya manusia itu sendiri.

42 Edisi Juli-Oktober 2013

Butuh Ketekunan

Untuk mengubah budaya lisan menuju budaya membaca dan menulis bagi masyarakat NTT sangat dibutuhkan ketekunan dari lingkungan keluarga hingga lingkungan pemerintah. Peranan orangtua di lingkungan rumah tangga dibangun kesadaran hidup membaca dan menulis agar anak-anak memiliki minat dalam dunia membaca dan menulis. Semua orang bersama-sama memberikan dorongan agar anak-anak NTT memiliki kebiasaan membaca dan menulis demi kemajuan sumber daya manusia itu sendiri.

Ketekunan dari orangtua dan difasilitasi oleh pemerintah untuk menyediakan bahan bacaan di sekolah-sekolah sangatlah penting untuk membiasakan seorang anak sekolah gemar membaca

dan rajin menulis. Demikian juga, para pendidik di sekolah dengan orangtua di rumah mesti bekerja sama untuk sama-sama mendorong anak-anak didik dalam mengubah kebiasaan lisan menuju ke kebiasaan membaca dan menulis.

Ketekunan dalam mengajak warga masyarakat dari kebiasaan lisan menuju ke kebiasaan menulis yang secara terus-menerus dilakukan dari kampung ke kampung. Seseorang dapat menulis dengan baik apabila di dalam diri seseorang itu tertanam kebiasaan membaca. Membaca alam yang ada di sekitar kita dapat dituangkan dalam sebuah tulisan yang menghasilkan sebuah karya asli yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri.

Menurut Sirilus Belen dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang diwawancarai Pos Kupang, Senin (24/5)

dengan judul ―Tas Anak Sekolah NTT Kempes‖ mengungkapkan indikator mutu pendidikan kita. Beliau menegaskan, ―Belum pernah saya lihat tulisan anak SD kelas 3 di provinsi-provinsi yang amat tertinggal di bidang pendidikan, seperti Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua, yang seburuk tulisan anak-anak kelas 3 SD di NTT. Terbanyak, masih menggambar huruf dan angka. Jelas anak-anak ini tidak bisa membaca dan memahami soal atau tugas kalau menulis saja masih pontang panting. Kemampuan membaca anak-anak kelas 3 dan kelas 5 SD juga parah di daerah-daerah tertentu di NTT.‖ Di sini Sirilus Belen menegaskan, kemampuan anak-anak NTT dalam menulis masih sangat bagus dibanding dengan provinsi lain di Indonesia.

Penulis mengarisbawahi bahwa

mengembangkan budaya membaca dan menulis dari budaya lisan menjadi prioritas yang seharusnya dikembangkan di sekolah-sekolah di NTT, baik sekolah di pelosok-pelosok maupun sekolah yanag tersebar di kota-kota baik dari tingkat dasar maupun sampai perguruan tinggi.

Memang mengubah kebiasaan lisan yang sudah secara turun-temurun pasti mendapat pertentangan dan hambatan yang sangat berat dalam mengimplementasikan di lembaga pendidikan, dan apalagi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Konsep dan pemikiran baru yang memajukan anak didik di seluruh sekolah harus dimulai sekarang. Generasi NTT adalah generasi membaca dan menulis untuk kemajuan NTT ke depan. Generasi NTT adalah generasi yang cerdas dengan

mendokumentasikan segala kehidupan sosial kemasyarakatan NTT dalam bentuk sebuah karya tulis yang menjadi aset generasi penerus NTT ke depan.

Menurut Robert Bala, dalam Kompas (17 April 2007) lalu mengatakan, selama ini kita memahami secara keliru tentang belajar. Belajar lebih terarah kepada penghafalan sejumlah teori untuk kemu-dian dijawab dalam pilihan ganda, seakan hidup begitu mudah. Belajar, seharusnya dipahami sebagai pemberdayaan daya eksplorasi agar menjadi lebih kreatif da-lam karya.

Pada hemat saya, kebiasaan membaca dan menulis harus mulai ditanam, dilatih di seluruh lembaga pendidikan di NTT, baik di pelosok-pelosok maupun di kota demi perubahan NTT ke depan.

Solusi yang ditawarkan adalah pertama, pemerintah seharusnya memiliki program pengembangan gemar membaca dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang me-madai di seluruh sekolah. Di sekolah-sekolah memiliki perpustakaan yang di-lengkapi buku-buku yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Kedua, orangtua dan tenaga pendidik di sekolah-sekolah mesti bekerja sama da-lam memberikan perhatian serius demi pengembangan pendidikan anak, baik di rumah maupun di sekolah.

Ketiga, guru-guru harus memiliki minat

dalam bidang membaca dan menulis

sehingga anak-anak dapat meniru apa

yang dilakukan oleh gurunya. Guru-guru

memberikan dorongan kepada anak didik

dengan perbuatan nyata agar anak-anak

didik memiliki minat dalam membaca dan

menulis.***

Tugas kita bersama, baik sebagai pendidik dan orangtua maupun masyarakat untuk sama-sama memberikan dorongan agar budaya

membaca dan menulis menjadi sebuah kebiasaan seperti budaya lisan demi kemajuan manusia itu sendiri.

43 Edisi Juli-Oktober 2013

Kedua soal upah para buruh (perempuan). Upah para buruh di la-

buan Bajo secara umum dapat dikelom-pokkan berdasarkan pada tempat dan posisi mereka di tempat kerja. Sebagai contoh upah para buruh di hotel berbin-tang kurang lebih Rp-700-800/ bulan. Dan sebagian besar para buruh perem-puan kita berada pada posisi seperti itu bukan pada posisi managerial. Sedangkan pada hotel atau tempat pen-ginapan melati kurang lebih 500-600/per bulan. Sedangkan para buruh per-empuan yang bekerja di toko-toko/grosir kurang lebih 300-4000/bulan. Merujuk pada data di atas, maka sangat jelas bahwa dari segi upah/pendapatan, para pekerja/ buruh khususnya perem-pauan di Labuan Bajo masih sangat

P asca ditetapkannya komodo sebagai salah satu keajaban dunia pada november 2011, Labuan Bajo,

Manggarai Barat menjadi salah satu desti-nasi dan sentra bisnis pariwisata di Flores dan NTT. Bahkan, jauh sebelum itu, po-tensi bisnis pariwisata di Labuan Bajo su-dah dilirik oleh para pengusaha dan inves-tor baik dari Indonesia maupun dari pihak asing. Hal ini tampak dengan munculnya sektor bisnis seperti hotel, restoran, tour and travel, diving sampai dengan tempat hiburan malam. Bisnis skala kecil di luar pariwisata pun seperti toko-toko, warung-warung sedrhana pun berkembang pesat. Menggeliatnya bisnis di sektor pariwisata di Labuan Bajo tentu memberikan manfaat bagi masyarakat labuan Bajo dan juga pemda Manggarai Barat secara tidak lang-sung setidaknya dalam dua hal. Pertama, berkembangnya bisnis dan in-

vestasi memberikan kontribusi terhadap pendapatan Asli Daerah (PAD) terutama melalui pajak dan retribusi dari berbagai sumber seperti hotel, restoran dan seba-gainya. Kedua, bisnis dan investasi yang berkem-bang memberikan lapangan pekerjaan baru bagi warga masyarakat Labuan Bajo secara khusus. Hal ini secara konkrit dapat dilihat dengan banyaknya para staf dan buruh yang bekerja di berbagai tempat wisata di Labuan Bajo baik dimiliki oleh para pebisnis lokal maupun pebisnis manca negara. Pertanyaan kita adalah apakah para staf dan buruh khususnya perempuan mem-peroleh pendapatan yang layak dari tenaga dan waktu yang mereka berikan? Untuk menjawab pertanyaan ini dua hal penting perlu diperhatikan. Pertama, biaya hidup di labuan bajo relatif sangat tinggi bahkan mungkin menempati posisi

teratas di NTT. Barang-barang kebutuhan pokok sangat tinggi, biaya tempat tinggal/ kos pun sangat tinggi. Secara kasar, esti-masi biaya hidup standar bagi seseorang (bujang) di Labuan Bajo sekitar Rp. 1. 200.000.

jauh dari kelayakan.Bahwa investasi pariwisata membuka lapangan peker-

jaan tentu tidak diragukan, tetapi soal upah dan kesejahteraan para buruh di sektor pariwisata terutama perempuan belum maksimal. Sektor lain yang patut diperhatikan adalah eksploitasi tenaga buruh atau staf. Dengan gaji yang dibayar begitu rendah kemudian waktu kerja yang re-latif panjang adalah salah satu bentuk eksploitasi tenaga buruh di Labuan Bajo. Buruh di Labuan Bajo juga sebagian besar masih bersifat kontrak dan karena itu sangat rentan untuk dipecat dengan berbagai alasan oleh para pengusaha.*)

* ) Andy Jemalur

Problem ketenagakerjaan tidak hanya dialami para buruh toko, pekerja restaurant dan hotel, tetapi juga dialami para tenaga kontrak yang bekerja pada kantor bi-

rokrasi. Tidak jarang mereka melakukan aksi protes lantaran kebijakan yang tidak memihak kepada mereka.

44 Edisi Juli-Oktober 2013

proses bersama komunitas atau masyarakat.

Pengandaian ketiga adalah kita, sebagai lembaga atau orang pribadi yang con-cern, harus turut ambil bagian dan ber-peran serta dalam proses tersebut. Ter-libat dan melibatkan diri dalam dan di tengah komunitas atau masyarakat me-rupakan gagasan kunci bagi setiap lem-baga atau orang pribadi yang concern berperan membangun komunitas atau masyarakat.

Kita tidak hanya hadir, tetapi juga ada

bersama. Dalam ‗ada bersama‘ tersebut kita harus mengambil peran ganda. Selain menjadi bagian dari komunitas karena keterlibatan kita. Juga, dalam keterlibatan kita harus bisa hadir men-jadi ‗vitamin‘ yang memampukan oragnisme sel-sel hidup dalam tubuh social masyarakat atau komunitas tetap hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa merusak jaringan system yang ada.

Dalam kerangka berpikir di atas arah program pembangunan digariskan. Dan hal tersebut harus menjadi perhatian serius bagi setiap lembaga, baik lem-baga swadaya masyarakat maupun Ne-gara jika hendak berproses bersama

B erproses bersama komunitas atau masyarakat menuju kemandirian dan kedaulatan – dimana komuni-

tas menentukan nasibnya sendiri dari mana dan ke mana pembangunan itu diarahkan setelah menimbang dan melihat potensi, kekuatan, kemampuan dan ke-sanggupan, resiko atau tantangan juga peluang mereka – merupakan tujuan men-dasar dan utama bagi lembaga atau orang pribadi mana pun yang concern dalam

membangun komunitas atau masyarakat.

Ada tiga pengandaian dasar yang me-mungkinkan proses pembangunan berciri di atas dapat berhasil. Pertama-tama tu-juan harus benar-benar menjawab kebutu-han dasariah komunitas atau masyarakat. Dan kebutuhan akan perubahan ke arah yang lebih baik itu tidak hanya menyoal satu hal tetapi mencakup semua hal: eko-nomi, social, politik, budaya, pendidikan dan agama.

Sebagai suatu sistem, suatu komunitas atau masyarakat adalah ‗suatu tubuh‘. Lantaran merupakan ‗tubuh‘ berbagai aspek pembangunan dalam masyarakat memiliki jejaring dan mata rantai yang antara satu dan lainnya saling menguat-kan. Tujuan pembangunan yang dilihat secara komprehensif berdasarkan kebutu-han komunitas itu sendiri merupakan hal yang pertama dan utama jika kita hendak berproses bersama komunitas atau masyarakat menuju kemandirian dan ke-daulatan.

Berangkat dari tujuan di atas komunitas atau masyarakat sesungguhnya meru-pakan pelaku pembangunan itu sendiri. Komunitas secara bersama-sama tidak hanya berjalan bersama mewujudkan tu-juan, tetapi juga menemukan dan meran-cang program pembangunan tersebut. Inilah hakikat pemberdayaan masyarakat, dimana komunitas atau masyarakat

mengembangkan kemampuan mereka sendiri agar berdaya dan dapat berdiri sendiri untuk mengatasi masalah mereka sendiri. Meletakkan komunitas sebagai pelaku aktif pembangunan merupakan pengandaian yang kedua jika hendak ber-

komunitas atau masyarakat mewujud-kan kedaulatan dan kemandirian dalam berbagai sektor kehidupan. Kecenderun-gan untuk menjadikan komunitas atau

masyarakat sebagai objek pemban-gunan harus diganti.

Kebiasaan dan pembiasaan menjadikan komunitas sebagai sasaran ‗hibah‘ mo-dal-material, kerangka dan gagasan untuk dan atas nama pembangunan harus direvisi. Bahkan pola intervensi pembangunan yang melulu menggener-alisir tujuan, kerangka dan strategi un-tuk semua tempat, masyarakat atau

komunitas atas nama kesejahteraan, pengentasan kemiskinan harus ditinjau kembali secara cermat dan bijak.

Arah pembangunan harus bergerak dari bawah, dari komunitas itu sendiri, untuk semua dan dalam segala aspek ke-hidupan. Lembaga, baik pemerintah (Negara) maupun kembaga swadaya masyarakat fungsinya adalah pelengkap dan penyerta yang turut ambil bagian dalam kebutuhan-kebutuhan dan hara-pan-harapan komunitas, bukan sebali-knya sebagai ‗pemaksa‘ yang dengan semena-mena menentukan proyek dan anggaran sehingga akhirnya terbukti tidak tepat sasaran.*)

* ) Kris Bheda Somerpes

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur

45 Edisi Juli-Oktober 2013

K esehatan Ibu dan Anak, khususnya kesehatan bayi balita saat ini merupakan masalah yang

serius untuk diperhatikan. Mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang terjadi akhir-akhir ini, terlebih lagi pada bayi (usia 0-11 bulan) dan anak (usia 11-24 bulan).

Berdasarkan survey tahun 1997 diketahui di negara kita setiap 1 jam ada ± 12 anak meninggal dan setiap 6 menitnya ada sekitar 1 bayi meninggal.

Diibiratkan kalau setiap hari ada pesawat jet yang membawa bayi-bayi Indonesia setiap 1 jamnya ada pesawat yang jatuh dan menewaskan 12 bayi. Cukup memprihatinkan tentunya. Tingginya morbiditas dan mortalitas bayi ini, dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya; rendahnya cakupan IMD (Inisiasi

Menyusui Dini) dan ASI Ekslusif (ASI saja dari usia 0-6 bulan)

Rendahnya cakupan IMD dan ASI Ekslusif ini dapat berdampak pada tingginya kasus gizi buruk, stunting, bahkan sampai pada kemtiaan bayi dan anak. Untuk Kabupaten Belu sendiri kasus gizi buruk yang terdata di salah satu desa yang ada di wilayah Kecamatan Nanaet Duabesi, yakni; Desa Fohoeka diawal tahun 2012 sendiri diketahui dari 96 balita 15 balita diantaranya mengalami gizi buruk, selain itu data dari Desa Haekesak sendiri menunjukkan dari 486 balita yang terdata 92 diantaranya mengalami gizi kurang dan gizi buruk sedangkan untuk desa dari Tubaki 48 balita 9 diantaranya gizi buruk. Melihat data ini tentu saja dirasa perlu untuk segera menangani kasus ini.

Adapun langkah awal yang saat ini coba ditempuh pemerintah untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas ini ialah dengan mencanangkan Program IMD

dan ASI Ekslusif sampai 6 bulan. Dimana semua ibu hamil dan ibu menyusui diberikan informasi mengenai pentingnya IMD dan ASI Ekslusif bagi ibu dan anak.

Dalam mengatasi tingginya kasus

morbiditas dan mortalitas diperlukan peran serta semua pihak, tidak hanya pihak kesehatan. Adapun beberapa hal yang secara sederhana mungkin dapat kita lakukan terlepas posisi kita sebagai tenaga kesehatan ataupun bukan ialah

dengan mendukung program ASI Ekslusif dengan ikut serta mengambil bagian dalam pemberian informasi mengenai pesan-pesan tersebut serta ikut menjadi pelaku dalam melakukan kegiatan IMD dan ASI Ekslusif sampai 6 bulan. Dengan ikut mempromosikan IMD dan ASI Ekslusif kita telah ikut membantu menyelamatkan bayi-bayi penerus bangsa. Ada beberapa cara sederhana yang secara teknis dapat kita lakukan untuk membantu menyebarluaskan informasi/pesan guna menekan tingginya angka morbiditas dan mortalitas, yakni:

1. Melakukan Kunjungan Rumah Kepada ibu-ibu hamil dan menyusui.

2. Tujuan kunjungan rumah ini ialah melakukan pendekatan personal kepada ibu-ibu hamil dan menyusui untuk mengetahui program persalinan dan pemberian makan pada anak ke depannya. Dengan mengetahui program kedepannya kita bisa

memberikan saran/informasi yang sesuai dan diperlukan ibu

3. Bersama para kader posyandu berupaya mengaktifkan 5 meja posyandu

4. Berupaya bersama para kader mengaktifkan 5 meja di posyandu, terutama meja ke-4, yakni meja konseling. Dengan aktifnya meja konseling ini, diharapkan banyak ibu yang bisa melahirkan di tenaga

kesehatan untuk dapat melakukan IMD dan mampu memberikan ASI Ekslusif sampai 6 bulan.

5. Rutin membawa bayi balita ke posyandu setiap bulannya untuk mengetahui perkembangan gizinya.

6. Dengan rutin membawa bayi balita ke posyandu maka dapat diketahui perkembangan BB bayi balita setiap bulannya. Dengan mengetahui BB setiap bulannya, dapat diantisipasi kasus gizi kurang dan gizi gizi buruk karena bisa ditangani lebih awal.

Pemeriksaan rutin sepanjang kehamilan. Dengan melakukan pemeriksaan rutin

sepanjang kehamilan ibu dapat memperoleh banyak informasi seputar kehamilan dan persalinan nantinya. Dengan pemberian informasi di masa kehamilan ini diharapkan ibu dapat melakukan persalinan di fasilitas kesehatan mendaptkan IMD, serta dapat berhasil ASI Ekslusif 6 bulan.

Diharapkan dengan ikut sertanya semua

pihak dalam penyampaian informasi ini,

angka morbiditas dan mortalitas bayi dan

anak dapat ditekan serendah mungkin *)

*) Sonia dos Santos

Foto: Kris Bheda Somerpes/Dok. Pribadi

Dengan rutin membawa bayi balita

ke posyandu maka dapat diketahui perkembangan BB bayi balita setiap

bulannya. Dengan mengetahui BB setiap bulannya, dapat diantisipasi

kasus gizi kurang dan gizi gizi buruk

karena bisa ditangani lebih awal.

46 Edisi Juli-Oktober 2013

K orupsi merupakan salah satu alasan lain dari tersendatnya pembangunan Rumah Sakit dan

pelayanan kesehatan di Manggarai Raya. Pembangunan Rumah Sakit Umum Labuan Bangsa-bangsa (Labuan Bajo) sebenarnya dimulai tahun 2007. Rumah Sakit ini semula disebut-sebut sebagai Rumah Sakit Internasional, menyeimbangi Flores sebagai destinasi pariwisata kelas dunia berkat komodo.

Namun pembangunannya berhenti di

tengah jalan, menyisakan seongok bangunan yang belum rampung, karena tersendatnya pengelolaan APBD dan karena korupsi. Saat buku ini dalam proses penerbitan pada kuarter kedua tahun 2013, Kepala Dinas Kesehatan Manggarai Barat sedang dalam proses hukum atas kasus korupsi proyek ini.

Dari tahun anggaran 2007/2008, anggaran untuk pembangunan Rumah Sakit ini adalah 5,7 Milyar. Belum terungkap, apakah Kepala Dinas ini merupakan pelaku tunggal, atau ada juga pejabat daerah lainnya yang terlibat namun belum terungkap.

Bupati Manggarai Barat mengaku telah berusaha pada tahun 2010 melobi

pinjaman Pemerintah Pusat sebanyak 104 milyar untuk membangun Rumah Sakit. Namun, seperti yang dicatat Kompas, ―... pinjaman dana dari pusat belum bisa diberikan saat itu karena terganjal masalah dalam laporan pertanggungjawaban pemkab. Penilaian dari BPK saat itu disclaimer.‖(Bandingkan Laporan Kompas, 17 November 2012, Labuan Bangsa-bangsa (Labuan Bajo), Kota Pariwisata Tanpa Rumah Sakit) Tentu saja sulit mendapat pinjaman ekstra dari Pemerintah Pusat untuk sebuah proyek yang terindikasi korupsi; sementara pada saat yang sama pengelolaan APBD dinyatakan diclaimer.

Di arus lokal, tak tersendatnya pembangunan RSUD ini juga terkait dengan buruknya kinerja Pemerintah Daerah dan DPRD dalam mengelola APBD. Berikut ini catatan Flores Bangkit (2012/08/), mengutip pengakuan salah seorang anggota DPRD. ―Kita butuh Rumah Sakit tetapi bukan dengan cara meminjam uang dari pusat yang hanya akan membebani rakyat dikemudian hari. Untuk membangun Rumah Sakit bisa alokasikan dana dari APBD kita. Banyak anggaran yang hanya dihambur-hamburkan oleh SKPD untuk perjalanan

dinas dan kegiatan yang tidak jelas peruntukannya,‖

Sumber yang sama ―mensiyalir ada indikasi kongkalikong antara pemerintah dan sejumlah oknum anggota dewan untuk mengolkan proposal tersebut karena setiap anggota dewan akan mendapatkan fee sebesar 1,5% dari Rp. 1 milyar”.

Seakan mengulangi kegagalan Pemda,

proyek pembangunan Rumah Sakit oleh

Departemen Kesehatan dari anggarai Sail

Komodo juga terhenti. Menurut penga-

kuan Menko Kesra, ‗pemborongnya me-

larikan diri‘ dan ‗pemerintah sudah

menunjuk pemborong baru‘. (Pengakuan

Menko Kesra di Labuan Bajo pada 12

September 2013) Belum jelas hingga

catatan ini dipublikasikan apakah ini

korupsi tunggal oleh kontraktor atau juga

melibatkan pejabat pemerintah seperti

dalam korupsi pembangunan rumah sakit

yang sama oleh Pemda. Yang jelas

bahwa korupsi menghentikan pemban-

gunan rumah sakit ini.

*) Cypri Jehan Paju Dale

47 Edisi Juli-Oktober 2013

J ayakarta, salah satu Hotel Bintang Lima di Labuan Bajo, setiap harinya membutuhkan 12 tangki air bersih

untuk semua kebutuhannya. Jika harga rata-rata per-tangki adalah Rp. 150.000 maka untuk satu hari pihak hotel harus mengeluarkan dana sejumlah Rp. 1.800.000. Kalikan jumlah uang tersebut dengan 136 hari (setahun). Saya tidak sedang meminta untuk menjawab. Jika pun ada yang menjawab mungkin ada yang berujar ―Hotel kan pasti banyak duit‖.

Saya pun tidak sedang meminta untuk menjawab persoalan yang sama berikut ini. Setiap tiga hari sekali, warga sekitar bandara Komodo harus mengantri me-

nadah air minum di ujung pipa. Rata-rata per-rumah terdapat 30 jerigen besar dan kecil. Jika jumlah jerigen yang sama kita kalikan dengan warga Labuan Bajo yang belum ter-alir air leding maka bukankah kita dapat menyebut Labuan Bajo seba-gai kota ‗1000 Jerigen‘? Jika pun ada yang membantah mungkin akan berujar ―Jangan menggeneralisir‖.

Well...Seperti halnya kebutuhan akan Rumah Sakit dan jalur transportasi ke

kantong-kantong produksi pangan di Manggarai Barat, Air Leding (air bersih) menjadi kebutuhan primer masyarakat Labuan Bajo dan sekitarnya. Terlepas apakah yang membutuhkannya adalah hotel berbintang atau rakyat gurem yang tinggal di gubuk reyot. Dua paragraph pengantar di atas sengaja saya kontras-kan untuk menunjukkan perihal itu. Peri-hal kebutuhan akan air, air dan air. Titik.

***

Pertanyaan saya dan anda, di mana letak keterbatasan dan atau kekurangannya. Padahal air adalah salah satu kebutuhan utama warga. Padahal ini adalah daerah pariwisata. Padahal sudah banyak pipa menghalang-lintang di bawah perut

bumi. Padahal ada banyak titik mata air di Labuan Bajo dan sekitarnya. Padahal sudah terdapat beberapa bak penam-pung yang ukurannya sebesar rumah. Dan masih banyak padahal-padahal lain-nya. Jika mau diurai-rentang akan men-jadi sepanjang pipa yang terentang dari Wae Mese sampai bak penampung Kaper.

***

Cukup sudah tentang padahal, karena hal-nya ada pada hal-hal. Banyak. Kom-pleks. Dua hal penting dari banyak hal itu, coba saya angkat-saji di sini:

Hal pertama, manajemen pengelolaan yang kurang maksimal. Terlalu banyak kepentingan yang bermain, sampai lupa hal yang seharusnya menjadi prioritas. Seperti diakui sumber Lintas Timur di lingkaran PAM bahwa sebagai lembaga teknis PAM tidak bersentuhan langsung

dengan berbagai proyek air minum. PAM berfungsi ketika melakukan pendistri-busian dan pelayanan, sementara pem-bangunan fisik dalam kewenangan lem-baga lain ―Persoalannya adalah semua pembangunan fisik berupa pipanisasi dan

lain-lain tidak melihat pasokan (debit) air dan kontur tanah Labuan Bajo. Ini kan proyek, jadi dibuat supaya secara fisik kelihatan‖ jelasnya. Pesan dari hal per-tama ini adalah bahwa tiadanya sink-ronisasi antar lembaga terkait membuat pengelolaan air minum untuk warga La-buan Bajo dan sekitar menjadi ambu-radul.

Hal kedua, pengguna air minum yang

dilayani pihak PAM baru 14 % dari total keseluruhan warga Labuan Bajo dan se-kitarnya. Dengan kondisi debit air yang ada hanya kurang lebih 23 liter per detik pun belum cukup untuk mengakomodir semuanya. ―Labuan Bajo dan sekitarnya untuk sementara ini seharusnya butuh pasokan air kurang lebih 80 liter per detik, jika tidak maka kondisi air akan selalu seperti ini‖

Proyek pipanisasi yang dipasang menje-lang Sail Komodo rencananya akan me-masok air kurang lebih 40 liter per detik ―Jika itu berhasil maka jumlah pasokan air baru mencapai 63 liter per detik. Itu masih di bawah rata-rata‖. Lanjutnya. Namun hingga kini, proyek pipanisasi itu pun masih dalam tahap uji coba. Di bebe

*) Kris Bheda Somerpes

48 Edisi Juli-Oktober 2013

rapa titik terjadi kebocoran karena te-kanan air tidak maksimal ―Pipa-pipa seperti itu tidak cocok untuk medan seperti di Labuan Bajo. Dibutuhkan tenanan air yang besar untuk bisa sam-pai ke Labuan, jika tidak maka akan ter-genang di sekitar Merombok dan Kaper‖ katanya.

Belum lagi, dengan debit air yang hanya 63 liter per detik jalur pipa yang sama di bagi ke arah Translok-Nanganae ―Bukan berarti di Nanganae tidak butuh air, tetapi kita harus memperhitungkan debit air yang ada. Di Labuan Bajo saja butuh 80 liter per detik, lalu dengan hanya 63 liter per detik kenapa mesti di bagi lagi?‖ lanjutnya dengan tanya.

***

Dua hal di atas saya pikir merupakan hal

yang paling penting dari sekian banyak hal yang lain jika hendak mengurai seng-karut air di kota ber-leading sector pari-wisata ini. Penguatan manajemen pengelolaan dengan harus pertama-tama menyamakan visi pembangunan tentang pengadaan air untuk warga, selanjutnya mempertimbangkan pula kekuatan paso-kan air yang ada merupakan dua hal yang perlu dan mendesak untuk die-valuasi.

Jika tidak, bukan tidak mungkin kendala yang sama perihal air minum akan selalu kita hadapi. Hotel berbintang yang hingga sekarang belum satu pun yang dilayani pihak PAM karena keterbatasan pasokan air, pun kebiasaan antre para warga di ujung-ujung pipa dengan jeri-gen besar kecil mengekor di belakangnya akan selalu kita alami dan temukan. Ba-yangkan, mau apa dikata lagi tentang ini. Air masih jauh……

45

Labuan Bajo dan seki-tarnya untuk sementara ini seharusnya butuh pa-sokan air kurang lebih 80 liter per detik, jika tidak maka kondisi air akan se-lalu seperti ini

Baku Peduli Centre, Jl. Trans Flores km.,10 Watu Langkas, Desa Nggo-rang, Kec. Komodo, Kab. Manggarai Barat, Labuan Bangsa-Bangsa,

Nusa Tenggara Timur.

Edisi Juli-Oktober 2013

empo-nya. Tetapi Ney menggelengkan kepala. ‖Ney, mari. Ende lopo tidak marah‖ Selangkah Ney mendekat ke-mudian berhenti. Kerutan dahinya masih tampak cemas. ―O…empo daku, molas tu‘ung‖ Lopo Ana mendekat dan meng-

gendong empo-nya. ―Ende lopo tidak marah. Ende lopo sayang Ney‖ Air mata Ney pun jatuh. ―Mau dengar Ende Lopo cerita?‖ Pinta Ende Lopo berharap jawaban. Ney men-gangguk sambil menghapus air ma-tanya. Lopo Ana pun turut menyisihkan ujung songke usangnya sambil perlahan mengusap pipi bening Ney. ‖Jangan menangis lagi o…‖ sambil beranjak menghadap ke sudut kiri ruangan empat kali empat berdinding papan itu. Di sana menumpuk tak tertata ewang dedang yang tidak pernah terpakai lagi. Nyaris dua puluh tahun lebih perlengka-pan tenun songke tradisional Cibal Manggarai itu tidak tersentuh lagi. Lopo Ana sudah terlalu tua, dan Ney pun ma-sih terlalu kecil untuk belajar menenun. Tampak di sudut ruangan itu, sebuah janta tua patah terkulai dihimpit tiga

batang pesa tanga. Seikat keliri tergele-tak di kanannya, tindis menindis dengan beberapa bilah helung dan perempak. ―Ende Lopo mau cerita tentang ini se-mua supaya Ney tau‖ ia menunduk sam-bil menunjukkan ewang dedang satu-satu. Namun, belum juga ia memulai ber-cerita, air matanya tiba-tiba saja jatuh. Ujung songkenya merapat ke pipi. Ney

P urung yang berputar perlahan searah jarum jam tiba-tiba saja berhenti. Gadis kecil, Ney, tanpa

sengaja menyenggol salah satu sisinya sehingga membuat alat penggulung benang itu terjungkal. Benang-benangnya

terburai. Lawe kongko pun terpental dari genggaman tangan Lopo Ana. Benang yang sudah digulung sebesar kepalan itu kemudian menggelinding menjauh ke bawah kolong tempat tidur bambu. ‗Mori somba‘ hanya sepatah kata itu yang melesat keluar dari mulut Lopo Ana sam-bil menepuk kedua belah tangannya. Hendak perempuan usia enam puluhan tahun itu tumpahkan marah, tetapi ia tak kuasa melihat cucunya menampakkan wajah setengah terperanjat dan bersalah. Mata Ney berkaca-kaca. Beberapa saat keduanya terdiam. Keduanya saling pandang, seperti sedang menanti siapa yang akan segera memulai tumpahkan rasa. Maaf dan atau marah. Namun itu hanya sebentar. Kemudian, Lopo Ana merapikan purung sebelum menarik lawe kongko di bawah kolong dengan sebilah hum.

Di depannya, Ney masih berdiri me-matung. Mata beningnya menyapu pu-rung yang kembali dirakit ende lopo-nya. Sesekali melihat wajah caung yang ada di hadapannya itu, seperti berharap pada maaf dan kasih sayang. Purung kembali berputar, sesekali mengeluarkan suara berderak. ―Ney, mari duduk dekat ende lopo‖. Akhirnya Lopo Ana memulai. Penuh harap ia memanggil

yang membisu dalam dekapannya hanya menunggu, dengan kerutan dahinya men-yembul bingung. ―Ney‖ hanya sepatah kata itu yang sempat terucap dari mulut Lopo Ana, selebihnya

air mata berderai. Ney akhirnya turut tum-pahkan rasa. Ney pun menangis. Keduanya menangis. Lopo Ana tidak kuasa lanjutkan kisah. Ter-lalu sulit untuk diutarakan. Rupa-rupanya, belum saatnya untuk menghadirkan kisah yang terpendam lama ke hadapan Ney. Ney masih terlalu kecil, masih terlalu dini untuk mengerti dan memahami hal-hal besar. Jika Ney mau mendengar, sudah barang tentu tidak ada rasa yang tersim-pan, tidak ada kisah yang terekam. ―Nanti saja Ney, suatu saat nanti akan lopo Ana cerita‖. Sambil beranjak dari se-tumpukan ewang dedang yang tidak ter-tata. ―sekarang Ney pergi main dulu‖. Ney pun pergi, akhirnya menghilang dari balik pintu bambu. Lopo Ana terdiam beberapa saat. Ia merapatkan ikatan songkenya. Kembali duduk dan melanjutkan meng-gulung benang.

Purung berputar lagi. Perlahan namun pasti. Sesekali berhenti, ketika tangan tua itu mengurai benang yang hilang ujung. Namun sesungguhnya bayangnya tidak tertuju pada segenggam benang itu. Ba-yangnya kembali jauh menyapa waktu, ketika ia masih menjadi gadis dua puluhan tahun. Pada ketika ia dipuja karena kecan-tikan, tetapi senyum dan gembiranya dipenggal oleh cibiran.

Daftar Istilah Ewang dedang adalah Peralatan tenun

Purung Lawe adalah Alat penggulung benang yang terbuat dari kayu dan bambu.

Lawe kongko adalah Benang yang sudah digulung dan berbentuk bulatan (bola)

Hum adalah sebuah batangan kayu yang biasanya dari bulu. Dalam perlengkatan tenun Manggarai tedapat dua buah Hum yakni Hum Songke dan Hum Ine,

Hum Songke digunakan untuk membentuk motif atau warna pada tenun, sedang Hum Ine untuk merajut benang-benang hitam.

Helung memiliki arti dan fungsi yang sama seperti Hum. Tetapi Helung adalah sebilah kayu sebesar pensil yang panjangnya bisa satu meter (sepanjang Hum)

Songke. Arti asali adalah motif-motif tenun, namun dalam keseharian orang-orang Manggarai lebih sering untuk menyebut sarung tenun yang sudah jadi.

Janta adalah Alat pemintal kapas yang terbuat dari kayu.

Perempak adalah Sebilah kayu berbentuk datar yang digunakan untuk mengencangkan benang pada saat menenun.

Pesa tanga adalah Salah satu alat tenun yang digunakan untuk menggulung tenunan yang sudah jadi, fungsi lainnya adalah sebagai pengencang dan penyeim-

bang pada saat menenun.

Keliri adalah Potongan-potongan bambu sebesar pensil yang digunakan untuk menggulung benang.

Kropong adalah Tabung kecil dari bulu atau bambu yang digunakan untuk mengisi benang yang sudah digulung pada keliri.

Ende Lopo adalah Nenek

Empo adalah Cucu

Molas adalah Anak gadis, cantik

50 Edisi Juli-Oktober 2013

*) Kris Bheda Somerpes

23 Edisi Juli-Agustus 2013

L embaran Undangan resmi event akbar SAIL KOMODO medio September 2013 titipkan cata-tan agar setiap tamu undangan wajib men-

genakan batik lengan panjang. Catatan itu adalah ‗perintah‘ agar tidak hanya tampak seragam, tetapi juga elegan. Lantaran tamu undan-gan yang datang tidak hanya kita yang ecek-ecek, tetapi turut hadir bapa negara, ibu negara, bapak provinsi, ibu provinsi, bapak kabupaten, ibu kabu-paten, serta bapak-ibu negara sahabat. Ini gawean nasional, bukan gawean orang udik. Namun tidak semua patuh tunduk, beberapa di antara tamu undangan ada yang mengenakan ke-meja lengan panjang motif tribal khas NTT (Walau imitasi, hasil digital print). Jadinya tidak seragam, tetapi tetap tampil elegan.

***

Berbeda dengan semua undangan lain, Nestorman

Ivan, musisi dan seniman kelahiran Manggarai, justru tampil dengan opsi sendiri. Kaus oblong hitam den-gan selendang songke melingkar di leher. Menari-knya, pencipta dan pelantun lagu ber-gendre etinik Manggarai dan NTT modern ini mengenakan bawa-han celana panjang motif songke. Terlepas dari seo-rang Nestorman adalah seniman yang ‗biasanya tam-pil nyentrik‘, hemat saya, di tengah event akbar itu, kaki Nestorman adalah sebuah pengecualian yang hadir secara sarkastis sebagai pembela. Mengapa tidak. Dalam dan melalui celana panjang itu, Nestorman tidak hanya menegaskan tentang identitas titirasanya, tetapi juga sekaligus menyam-paikan bahwa identitas harus berjejak, ada dan ber-

peristiwa. Identitas ke-ada-an sebagai orang Manggarai tidak hanya menjadi roh sejarah

yang tak bisa diindera. Tetapi harus bersaksi secara nyata dalam realitas. Singkatnya, ada ‗kebenaran‘ yang mau disampaikan Nestor-

man bahwa apa yang digema-gaungkan harus berdampak nyata dalam kesaksian.

***

Akhirulkata, mengenakan songke tidak hanya ada dalam aturan gubernur atau bupati, yang di pake secara ‗senin kamis‘. Tetapi juga dalam aksi, apalagi sebagai pejabat publik. Namun tetap dengan catatan, bahwa harus mengenakan songke asli bukan imitasi, semisal produk sablonisasi apalagi digital print. (KBS)

Seniman, penyair dan sastrawan bangun pada ketika semua sedang tidur, dan akan tetap terjaga pada ketika semua bangun. Selalu seperti itu sampai ketiganya menjadi bermakna dalam banyak hal dan kadang dalam beberapa hal mereka menjadi tidak bermakna apa-apa.

*)

Kris

Bheda S

om

erp

es/

Dok. Lin

tas

Tim

ur