Upload
abu-abdillah-dzulkarnaen
View
4
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makahal ini adalah dibut untuk memudahkan orang dalam mencari ilmu dan materi tentang ikhlas dan riya. jddjahsdajbdahjsbdsadhakdsadbasdbabdsajbdasbdasbdajbdakjdbakjbasjkbdadbakjda
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah menjadi kewajiban bagi setiap manusia untuk selalu beribadah kepada Allah
swt. semua itu dilakukan semata-mata untuk meraih kebaikan baik di dunia maupun di
akhirat. Karena itu, manusia perlu berusaha untuk selalu melakukan amal ibadah atau
perbuatan secara baik selama di dunia agar amal tersebut dapat menjadi bekal di akhirat
kelak.
Namun, apakah semua perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia selama di dunia
akan diterima oleh Allah swt? inilah hal yang perlu diketahui oleh setiap muslim. amalan
kebaikan hanya akan diterima oleh Allah swt bila memenuhi dua peryaratan, yaitu ikhlas
dan benar sesuai dengan syari’at. Melakukan amal kebaikan secara benar sesuai dengan
syari’at bukanlah hal yang sangat sulit karena umat islam telah memiliki cukup pedoman
(Al-Quran dan hadist) untuk melaksanakannya.
Akan tetapi, melakukan amalan tersebut dengan ikhlas bukanlah perkara mudah.
Sebagian besar muslim mengetahui bahwa amalan kebajikan apapun harus dilakukan
dengan ikhlas namun tidak semua muslim benar-benar memahami makna keikhlasan,
batasan suatu perbuatan dikatakan ikhlas, dan manfaat ikhlas itu sendiri sehingga mereka
sering terjebak pada perbuatan yang dianggap telah dilakukan dengan ikhlas padahal
mungkin ada motivasi lain yang mendasari perbuatan tersebut yang tidak disadarinya.
Ada seorang salaf di zaman dahulu yang selalu pergi menunaikan ibadah haji setiap
tahun dengan cara berjalan kaki. Ini merupakan kebiasaannya. Pada suatu malam ketika ia
tidur, ibunya meminta tolong agar ia mengambilkan segelas air, namun ia merasa agak
berat untuk bangun mengambilkan air. Kemudian ia kembali, ia teringat pada ibadah haji
yang dilakukannya setiap bulan dengan berjalan kaki. Timbul pertanyaan di dalam
hatinya, mengapa selama ini ia mengamalkan ajaran berat itu dengan mudah. Sementara
hanya untuk mengambilkan air untuk ibunya ia merasa berat.
Ia bermuhasabah dan kemudian menemukan bahwa yang mmebuat ia selalu bersemangat
adalah pandangan dan pujan manusia. Sadarlah ia bahwa selama ini amalan kebaikannnya
tersuapi oleh syirik yang lembut. Belum sepenuhnya ikhlas karena Allah. Demikian
sebuah riwayat yang disebutkan dalam kitab lathaiful ma’arif. Ini menjadi gambaran
bahwa keikhlasan begitu berat diraih. Karena itu, makalah ini akan memaparkan secara
1
lebih detail mengenai keikhlasan sehingga setiap muslim akan berusaha meluruskan
niatnya dan kembali pada keikhlasan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Psikologi memandang mengenai Riya’ !
2. Bagaimana Psikologi memandang mengenai Ikhlas !
C. Maksud dan Tujuan
1. Untuk mendalami psikologi dalam perspektif islam di bidang Riya’
2. Untuk mendalami psikologi dalam perspektif islam di bidang Ikhlas
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riya’
Secara bahasa, Riya’ adalah memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama
manusia, adapun secara istilah yaitu: melakukan ibadah dengan niat dalam hati karena
demi manusia, dunia yang dikehendaki dan tidak berniat beribadah kepada Allah SWT.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari berkata: “Riya’
ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku
amalan itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia
dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib
Abdullah Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau
meminta dihormati daripada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat.
Yazid ibn khalifah meriwayatkan dari imam al- Shadiq bahwa imam berkata : “riya
dalam segala bentuknya adalah syirik. Sesungguhnya orang yang berbuat sesuatu demi
manusia, balasannya ada pada manusia, dan orang yang berbuat demi Allah , balasannya
ada pada Allah”.
Riya adalah menampakkan atau menonjolkan amal-amal saleh, sifat-sifat terpuji, atau
akidah yang kuat demi memperoleh kekaguman dalam hati orang banyak dan
dikenaldiantara mereka sebagai orang baik, mustaqim (orang yang lurus), jujur,dan
alim,bukannya demi niat yang tulus dan benar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan
bukan karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara
memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau
penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan padanya.
Sebagaimana ulama mengatakan.
الَّن�اِس� ِد� ْص ل�َق� َب�ِة� ْر الَق� اُع� �ْيَق� ِإ ْي�اُء� الْر� َو�“Riya’ adalah melakukan ibadah karena mengharap arah kepada manusia
supaya mendapat keuntungan darinya (pujian dan penghormatan)”
Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa’i berpesan bahwa riya’ merupakan perbuatan
haram dan satu diantara dosa besar yang harus dijauhi serta di tinggalkan supaya
3
1. Ciri-ciri riya’ dan dampaknya
selamat dan amalnya manfaat sampai di negeri akhirat.
“Orang yang riya’ dalam beramal memiliki tiga tanda:
a) Malas beramal jika berada seorang diri.
b) Giat beramal jika berada dalam keramaian manusia.
c) Bertambah amalnya jika dipuji orang dan berkurang amalnya jika dicela orang
lain.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
2. Dinamika psikologi riya
a) Tanda pertama adalah malas beramal ketika sendirian jauh dari pandangan
manusia.
Kewajiban agama tak tertunaikan dengan baik, apatah lagi perkara-perkara
yang sunnah. Malas bangun malam untuk shalat tahajjud. Padahal di sepertiga
malam terakhir, Allah swt turun ke langit dunia untuk mengabulkan permohonan
hamba-Nya dan memberi ampunan bagi yang meminta kepada-Nya.
Hari-hari teramat sepi dari tilawah al Qur’an. Shalat Dhuha sering
terlewatkan. Lidah pun kering dari do’a dan zikir. Enggan berinfaq jika tidak
diumumkan kepada khalayak ramai. Puasa sunnah dilakukan, jika ada buka puasa
bersama dan seterusnya.
b) Tanda kedua dari riya’ adalah semangat beramal dan beribadah jika
berada dalam keramaian manusia.
Jika kita mengimami shalat bagi masyarakat, kita membaca surat-surat yang
panjang, ruku dan sujudnya pun dibuat sedemikian khusyu’. Tapi jika shalat di
rumah, hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Tiada khusyu’ dan tuma’ninah
di sana.Kita terdepan dalam berinfaq untuk kepentingan masjid, jika daftar para
donator diumumkan kepada jama’ah.
Tapi infaq secara rahasia, sangat berat untuk kita lakukan. Ketika berada di
masjid dan dilihat banyak orang, kita sering tilawah al Qur’an dan membaca kitab
hadits dan yang lainnya.Padahal ketika berada di rumah, kita sibuk menyaksikan
4
acara sinetron, grand final Indonesian Idol, Silet, seputar Seleb, dan acara-acara
yang mengumbar aurat.
Ketika berada di kerumunan manusia, kita dikenal santun, menjaga
pandangan, berakhlak terpuji dan yang senada dengan itu. Tapi ketika berada di
depan layar internet, mata tak berkedip melihat foto dan video serta cerita-cerita
yang tidak senonoh dan seterusnya. Wal ‘iyadzu billah.
c) Tanda ketiga dari riya’ adalah bertambah amalnya jika dipuji orang dan
berkurang jika dicela orang lain.
Artinya amalan yang kita ukir, orientasinya adalah meraih pujian,
sanjungan dan iming-iming duniawi. Kita mengharap wajah lain selain wajah-
Nya. Mendamba pujian lain selain pujian-Nya. Mengharap balasan lain selain
balasan-Nya. Ketika harapan kita terwujud, banyak yang membicarakan kebaikan
kita.
Tidak sedikit yang memuji keshalihan pribadi kita. Maka pada saat itu
semangat kita beramal dan beribadah memuncak. Namun ketika tiada orang yang
memuji kita. Tidak ada respek dengan amal shalih kita. Yang kita dapatkan justru
celaan, pandangan sinis dan yang senada dengan itu.Maka pada saat itu, kita
lemas dan lunglai. Semangat beramal dan beribadah melemah dan bahkan mati
sama sekali.Itulah tiga tanda amalan yang terwarnai riya’.
Mudah-mudahan kita bisa berbenah dan menghindarkan diri kita secara
optimal dari ketiga-tiganya. Dan sudah saatnya kita tujukan semua amal baik,
ketaatan dan pendakian puncak ubudiyah kita hanya mengharap pahala dan
keridhaan-Nya semata.Walaupun bisa jadi ada yang tidak senang dengan kita.
Walaupun ada yang membenci kita. Walaupun ada yang mencela dan bahkan
memfitnah kita. Karena itu merupakan sunnah kehidupan dan menjadi asam
garam dalam perjalanan menuju Allah swt
B. Pengertian Ikhlas
Ikhlas secara bahasa bermakna bersih, suci. Secara istilah, ikhlas diartikan
sebagai niat yang murni semata-mata mengharap penerimaan dari Tuhan dalam
melakukan suatu perbuatan, tanpa menyekutukan Tuhan dengan yang lain (Qalami,
2003). Makki (2008) menyebutkan lima aspek penting dalam ikhlas, yaitu (1) ikhlas
dalam arti pemurnian agama; (2) ikhlas dalam arti pemurnian agama dari hawa nafsu dan
5
perilaku menyimpang; (3) ikhlas dalam arti pemurnian amal dari bermacam-macam
penyakit dan noda yang tersembunyi; (4) ikhlas dalam arti pemurnian ucapan dari kata-
kata yang tidak berguna, kata-kata buruk, dan kata-kata bualan, serta (5) ikhlas dalam arti
pemurnian budi pekerti dengan mengikuti apa yang dikehendaki oleh Tuhan.
Adapun ikhlas menurut istilah: ada beberapa macam pengertian ikhlas menurut
para tokoh Islam yaitu antara lain:
a) Menurut Harun Yahya “Memurnikan perintah Allah tanpa mempertimbangkan
balasan apapun“
b) Menurut Seikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin “Seseorang bermaksud melalui
ibadahnya tersebut untuk mendekatkan diri (Taqorub) kepada Allah dan mendapatkan
keridhoanya”.
c) Ikhlas adalah “Melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada
Allah”, Sebagaimana sabda nabi Muhammad Saw “Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatnya dan jika engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya
Ia melihatmu“.
1. Ciri-ciri Ikhlas dan dampaknya fungsi psikologi ikhlas
Ada beberapa ciri – ciri ikhlas (Faried, 1993), yaitu :
a) Seseorang yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan
saudaranya, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Orang yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Karena itu,
mereka senantiasa membangun amal jama’i. Mereka dalam setiap apa yang
dilakukannya adalah untuk meraih ridha Allah swt.
b) Terjaga dari segala yang diharamkan oleh Allah, baik dalam keadaan bersama
manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa
ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti gunung
tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang
beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan
kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tujuan yang hendah dicapai orang
yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga mereka senantiasa
memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat
orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah dapat
melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
6
c) Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan
sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi
Thalib r.a. berkata, “orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian
dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika
dipuji dan semakin brkurang jika dicela.”
Dampak dari ikhlas sendiri adalah di saat ikhlas telah tertanam dalam jiwa ketika
mengamalkan suatu kebajikan, dan ketaatan ini murni hanya dalam rangka mencari
wajah Allah maka akan diperoleh manfaat yang besar. Allah akan memberi ganjaran
yang ekstra besar kepada orang-orang yang ikhlas meskipun bilangannya sedikit.
Ibnul Mubarak, seorang ulama salaf, memberikan petuah tentang hal ini. Beliau
mengatakan, “Betapa banyak amal kecil (sedikit, sederhana) menjadi besar dengan
sebab niatnya (keikhlasannya). Dan betapa banyak amal yang besar (banyak) menjadi
kecil nilainya dengan sebab niat (karena tidak ikhlas).” Manfaat lainnya, seseorang
tidak akan terlepas dan selamat dari setan, kecuali dengan berlaku ikhlas dalam segala
hal. Iblis sendiri telah mengatakan sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran surat
As-Shaad:82-83 Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan
mereka semuanya, (82) kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis [1] di antara
mereka. (83) dan surat Al-Hijr:39-40 Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau
telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang
baik [perbuatan ma’siat] di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, (39) kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis [3] di antara mereka”.
(40)
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Riya’ menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka
memuji pelaku amalan itu. Riya juga menampakkan atau menonjolkan amal-amal
saleh, sifat-sifat terpuji, atau akidah yang kuat demi memperoleh kekaguman dalam
hati orang banyak dan dikenaldiantara mereka sebagai orang baik, mustaqim (orang
yang lurus), jujur,dan alim,bukannya demi niat yang tulus dan benar.
Sedangkan ikhlas dalam arti pemurnian budi pekerti dengan mengikuti apa
yang dikehendaki oleh Tuhan
B. Saran
Belajarlah untuk dunia dan akhirat
8
DAFTAR PUSTAKA
Faried, Ahmad. 1993. Menyucikan Jiwa Konsep Ulama Salaf. Surabaya: Risalah Gusti
Hasyim, Husaini A. Majid. 1993. Syarah: Riyadhus Shalihin. Surabaya: PT Bina Ilmu
http://yunadha1881.wordpress.com/2012/07/26/ciri-ciri-riya-2/
http://tanbihun.com/tasawwuf/definisi-riya-dan-penjelasannya/#.UxgO24XQP5k
9