Upload
endik-deni-nugroho
View
341
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah beridi tengtang perubahan laju susunan Basa Nukleotida dan pola susunan Basa Nukleotida akan mempengaruhi laju evolusi
Citation preview
BAB II
PEMBAHASAN
A. Laju Subsitusi Nukleotida
Daerah Pengkodean
Daerah Pengkode memiliki rata-rata subsitusi nonsinonim yang bervariasi diantara
gen-gennya, merefleksikan rata-rata protein evolusi. Insulin pada C peptida digunakan
sebagai contoh dari kecepatan evolusi walau sangat lambat. Apolipoprotein, immunoglobin,
interferon sangat ceoat. Apolioprotein merupakan protein yang besar (4536 asam amino)
memiliki rata-rata nonsinonim yang tinggi. Sebaliknya rantai miosin beta memiliki laju
yang rendah. Rata-rata sinonim subsitustusi juga bervariasi dari gen satu ke gen yang lain
(koefisisen dari variasi nonsynonim 91%, rata-rata synonim hanya 29%). Pada
kecepatannya dari gen-gen tersebut, subsitusi sinonim melebihi yang nonsinonim.
Perbandingannya subsitusi sinonim 25 kali lebih tinggi daripada subsitusi nonsinonim.
Liahtlah tabel berikut.
Adapun pada tahap degenerasi dua kali lipat, terdapat perbandingan subsitusi
transisional dengan tranversional dari tipe subsitusi sinonim. Rata-rata transisi (2.24 x10-9)
lebih tinggi daripada tranversi (1.47x10-9). Terdapat suatu observasi bahwa mutasi secara
transisi lebih lebih besar peluangnya daripada tranversional. Pada tahap dua kali lipat tahap
degenarasi, rata-rata subsitusi transisi sama dengan tahap degenarasi empat kali lipatnya,
tetapi rata-rata subsitusi transversional lebih rendah daripada tahap degenarasi empat kali
lipatnya, perbandingan dari kedua tipe subsitusi adalah 1.86 x10-9dan 0,38 10-9. Perubahan
Subsitusi rendah karena bersifat nonsinonim. Pada tahap nondegenarsi, semuaperubahan
bersifat nonsinonim, rata-rata dari subsitusi nonsinonim dan sinonim hampir sama (0.4x10 -9
dan 0,38 x10-9). Sehingga rata-rata subsitusi nukleotida lebih rendah pada tahap
nondegenerasi, sedang-sedang pada tahap degenrasi duakali lipat, lebih tinggi pada tahap
denerasi 4 kalil lipat.
Daerah non penkodean
Data dari daerah noncoding jauh lebih banyak daripada data dari coding daerah, sehingga
hanya analisis komparatif yang terbatas dapat dilakukan. (Perhatikan bahwa dalam rangka
untuk memperkirakan tingkat substitusi secara berurutan kita harus memiliki data dari
setidaknya dua spesies.). Kasus yang luar biasa adalah Na , K-ATPase , di mana tingkat di
daerahtersebut belum diterjemahkan dalam 3 'dan bersifat lambat, meskipun wilayah ini
sudah lama ada. Alasannya adalah bahwa Na, K-ATPase. gen mengkodekan berbagai bentuk
protein dengan menggunakan situs polyadenylation alternatif, belum diterjemahkan. Di
hampir semua gen, tingkat substitusi dalam 5 'dan 3' regionsare diterjemahkan lebih rendah
daripada di empat kali lipat tahap degenarsi (yaitu, situs di mana semua substitusi nukleotida
mungkin adalah sinonim). daerah 5 'dan 3' belum diterjemahkan adalah 1,96 x 10-9 dan 2,10
x 10-9 substitusi persite per tahun, masing-masing, yang keduanya sekitar 55% dari rata-rata
empat kali lipat tahap degenarsi (3.71 x 10-9 substitusi per situs per tahun).
Tabel 4.4 menunjukkan perbandingan antara tingkat substitusi globin pseudogen
pada Wvx sapi dan kambing dan rata-rata di daerah noncoding dan daerah empat kali lipat
tahap degenarsi suatu gen globin
. Hasilnya, tingkat ingkat dalam pseudogen sedikit lebih tinggi daripada di daerah lain. Hal
ini tampaknya menjadi umum berlaku untuk pseudogen.
Profil-Profil Yang Sama
Metode yang cepat dan kuat untuk mendeteksi tingkat variasi dari subsitusi
disebut Kesamaan profil, metode ini dapat memberikan wawasan tentang sejarah evolusi,
seperti tabel dibawah ini.
B. Penyebab Variasi Dalam Subsitusi
Laju subsitusi ditentukan oleh dua faktor yaitu 1)laju mutasi, 2) probabilitas mutasi.
a. Kendala Fungsional
Kendala fungsional ditentukan oleh tingkat karakteristik intoleransi dari genom
menuju kerarah mutasi. Hal ini mendefinisikan berbagai nukleotida alternatif yang dapat
diterima tanpa mempengaruhi fungsi dan struktur dari gen yang dihasilkan. Mutasi akan
mempengaruhi fungsi. Semakin kuat kendala fungsional maka semakin lambat laju
subsitusi yang akan terjadi. Sejauh protein-coding gen yang bersangkutan, telah ada
beberapa upaya
untuk mengukur kendala fungsional yang bergantung dari tingkat substitusi mereka.
Salah satu ukuran tersebut adalah kerapatan fungsional. Proporsi asam amino yang
memiliki kendala fungsional dan kepadatan fungsional tinggi maka semakin rendah tingkat
substitusi diharapkan.
b. Laju Sinonim dan Non sinonim
Karena tingkat mutasi pada sinonim dan nonsynonymous
dalam gen sama, atau setidaknya sangat mirip, perbedaan subsitusi disebabkan oleh
intensitas kemurnian seleksi antara kedua tipe tersebut. Mutasi yang menghasilkan
penggantian asam amino yang memiliki kesempatan lebih besar untuk menimbulkan efek
merusak fungsi suati protein daripada perubahan sinonim (identik). Akibatnya, mayoritas
nonsynonymous mutasi akan dihilangkan dari populasi dengan memurnikan seleksi.
perubahan identik (sinonim) memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menjadi
netral, dan sebagian besar dari mereka akan tetap dalam suatu populasi
c. Adanya variasi Diantara Daerah gen yang Berbeda-beda
Sebuah contoh adanya insulin , suatu hor. The prekursor insulin, preproinsulin,
adalah rantai dari 86 asam amino yangon dimer yang disekresikaan oleh sel beta pada pulau
langerhans terdiri dari empat segmen: A, B, C, dan
sebuah sinyal peptida (Gambar 4.5). Setelah peptida sinyal dihapus, menjadi proinsulin
yang panjang sebanyak 62-asam amino, suatu struktur tiga dimensi yang distabilkan oleh
dua ikatan disulfida. Pmotongan internal pada asam amino peptida C yang berada di
tengah-tengah rantai proinsulin bertujuan agar hormon insulin aktif pada dua segmen yang
tersisa yang terdiri dari rantai A dan B. Tingkat subsitusi nonsinonim (tidak identik) untuk
daerah kode peptida C 5 kali libeh tinggi daripada A dan B. Tingakt subsitusi daerah non
identik pada sinyal peptida 6 kali lebih tinggi dariapasa pengkodean wilayah A dan B,
seperti pada gambar dibawah ini
c. Variasi Diantara Gen
Variasi besar dalam tingkat substitusi nonsynonymous
antara gen, disebabkan oleh: (1) tingkat mutasi,
dan (2) intensitas seleksi. Variasi Laju sinonim subsitusi dari gen satu ke gen yang alain
kurang jelas. Terdapat dua alasan pada variasi ini, pertama laju mutasi yang berbeda
diantara genome yang berbeda dan laju variasi pada kromosom dalam gen, kedua tidak
semua kode yang sinonim memiliki efek yang sama. Jadi perlu adanya seleksi seperti
seleksi murni yang dapat menciptakan laju subsitusi sinonim diantara gen.
Subsitusi dapat menghambat fungsi protein, contoh histon ynag berinteraksi
dengan DNA untuk membentuk nukleosom. H3 harus mempertahankan kekompakan
strukturnya agar dapet berinteraksi dengan asam molekul DNA. Kosekwensinya H3 toleran
dengan perubahan asam amino. Perkembangan protein ini memmang paling lambat yaitu
dari 1.000 kali lebih lambat daripada apolipoproteins. Seperti gambar dibawah ini
Contoh lainnya adalah hemoglobin memerlukan lampiran heme prostetik
, dan memiliki kemampuan untuk merespon secara struktural terhadap perubahan pH dan
CO2 konsentrasi. Namun, sebagian besar dari persyaratan fungsional dibatasi
ke bagian molekul. Banyak asam amino-mengubah mutasi, terutama pada permukaan ini
protein globular,. Sitokrom c juga membawa oksigen, mengikat heme, dan merespon
terhadap perubahan struktural dalam kondisi fisiologis, Dengan demikian, proporsi yang
mengambil bagian dalam fungsi lebih tinggi ada pada pada sitokrom c tertentu, dan laju
substitusi asam aminonya lebih tinggi daripada hemoglobin.
C. Seleksi Positif
Tingkat substitusi nukleotida dalam sebagian besar
daerah genom dapat dijelaskan oleh kombinasi dari (1)input mutasi,(2) seleksi murni
terhadap alel yang merugikan. Seleksi positif bertujuan untuk memainkan peran penting
dalam evolusi molekuler gen
a) Pendeteksian Seleksi Positif
Perubahan Nonsynonymous jauh lebih mungkin meningkatkan fungsi protein
dibandingkan perubahan sinonim. Laju substitusi nonsynonymous harus melebihi dari
sinonim substitusi sehingga dapat menguntungkan memainkan peran utama dalam evolusi
dari protein. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mendeteksi seleksi Darwin positif adalah
untuk menunjukkan bahwa jumlah substitusi per situs nonsynonymous secara signifikan lebih
besar dari jumlah substitusi per situs sinonim
b)Paralelisme dan konvergensi: Evolusi Lisosimdi ruminansia, lutung, dan hoatzins
Paralelisme pada tingkat molekul didefinisikan sebagai terjadinya dua atau lebih
substitusi nukleotida (atau penggantian asam amino) yang homolog dan dari garis
keturunan evolusi yang berbeda. Molekuler konvergensi adalah terjadinya dua atau lebih
substitusi nukleotida (atau amino acid pengganti) yang homolog dalam garis keturunan
evolusi yang berbeda mengakibatkan hasil yang sama.
Lisozim merupakan enzim asam amino panjang 130 yang katalitik berfungsi untuk
memotong ikatan P (1-4) glikosidik iantara N-asetil glucoseamine dan Nacetyl Asam
muramic dalam dinding sel Eubacteria, sehingga bamteri kurang memiliki perlindungan
terhadap tekanan osmosis dan bisa lisis. Lizosim terdapat di air liur, air mata, putih telur
burung sebagai pertahanan terhadap bakteri. The lysozyme hoatzin adalah lisozim yang
mengikat kalsium , sedangkan ruminansia dan lisosim lutung berasal dari cabang keluarga
gen lisozim konvensional. Konvergensi fungsional dari lisozim dalam tiga garis keturunan
adalah hasil dari paralel i sebagai pengganti asam amino yang terjadidalam garis keturunan
masing-masing. Misalnya, posisi 75 berubah menjadi asam aspartat asam dalam tiga garis
keturunan. kita harus berasumsi bahwa seleksi adaptif memainkan utamaperan dalam
evolusi lisozim. Seprti pada gambar dibawah ini
D. Pola Subtitusi
Ada 12 tipe subtitusi nukleotida yang mungkin (misal, dari A menjadi G, dari A
menjadi C, dari T menjadi A). Untuk menghitung jumlah subtitusi nukleotida antara dua
rangkaian DNA, kami menggelompokkan ke 12 tipe menjadi satu. Namun, kadang menarik
untuk menentukan secara terpisah frekuensi yang dengannya masing-masing tipe subtitusi
nukleotida terjadi. Pola subtitusi nukleotida didefinisikan sebagai frekuensi relatif yang
dengannya nukleotida tertentu berubah menjadi yang lain selama evolusi. Pola biasanya
ditunjukkan dalam bentuk matriks 4 x 4, dimana masing-masing dari 12 elemen matriks
(tidak termasuk empat elemen diagonal yang menunjukkan kasus tidak ada subtitusi)
menunjukkan jumlah perubahan dari nukleotida tertentu menjadi lainnya.
Biarkan Pij menjadi bagian perubahan dasar dari tipe ke-i menjadi tipe ke-j
nukleotida (i, j = A, T, C atau G dan i j). Bagian ini dihitung sebagai
(15)
Dimana nij adalah jumlah subtitusi dari i menjadi j, dan ni adalah jumlah nukleotida
i pada rangkaian pendahulunya. Agar mampu untuk membandingkan pola subtitusi
nukleotida antara rangkaian, kami mendefinisikan fij, frekuensi subtitusi relatif dari
nukleotida i menjadi nukleotida j, sebagai
(16)
Jadi, fij menunjukkan jumlah yang diharapkan dari perubahan dasar dari nukleotida
tipe i menjadi tipe j di antara setiap 100 subtitusi pada rangkaian acak (yaitu, pada sebuah
rangkaian dimana empat dasar sama-sama sering).
Pola Mutasi Spontan
Karena mutasi poin merupakan salah satu faktor paling penting pada evolusi
rangkaian DNA, ahli evolusi molekuler lama tertarik dalam mengetahui pola mutasi
spontan (Beale dan Lehmann 1965; Fitch 1967; Zuckerkandl dkk 1971; Vogel dan Kopun
1977; Sinha dan Haimes 1980). Pola ini dapat bertindak sebagai standar untuk
menyimpulkan seberapa jauh frekuensi pertukaran yang diamati antara nukleotida pada
rangkaian DNA tertentu menyimpang dari nilai-nilai yang diharapkan di bawah asumsi
tidak ada seleksi, atau netralitas selektif.
Satu cara untuk mempelajari pola mutasi poin adalah mempelajari pola
subtitusi di wilayah DNA yang terbuka bagi tidak adanya batasan selektif. Pseudogen
berguna dalam hal ini. Karena mereka tidak memiliki fungsi, semua mutasi yang muncul
pada pseudogen netral dan menjadi tetap pada populasi dengan kemungkinan yang sama.
Jadi, rata-rata subtitusi nukleotida pada pseudogen diharapkan untuk menyamakan rata-rata
mutasi. Dengan cara yang sama, pola subtitusi nukleotida pada pseudogen diharapkan
menunjukkan pola mutasipoin spontan.
Gambar 8 menunjukkan metode sederhana untuk meringkas subtitusi
nukleotida pada rangkaian pseudogen (Gojobori dkk, 1982). Rangkaian 1 adalah
pseudogen, rangkaian 2 adalah pasangan fungsional dari spesies yang sama dan rangkaian 3
adalah rangkaian fungsional yang menyebar sebelum kemunculan pseudogen. Andaikan
bahwa di tempat nukleotida tertentu, rangkaian 1 dan 2 memiliki A dan G. maka kita dapat
mengasumsikan bahwa nukleotida pada rangkaian pseudogen berubah dari G menjadi A
jika rangkaian 3 memiliki G, tapi bahwa nukleotida pada rangkaian 2 berubah dari A
menjadi G jika rangkaian 3 memiliki A. Namun, jika rangkaian 3 memiliki T atau C, maka
kita tidak dapat memutuskan arah perubahan dan pada kasus ini tempat dikeluarkan dari
perbandingan. Secara umum, ketika nukleotida pendahulu di sebuah tempat tidak dapat
ditentukan, tempat itu harusnya dikeluarkan dari analisa. Dengan cara yang sama,
penghapusan dan penambahan harus juga dikeluarkan. Karena rata-rata subtitusi biasanya
jauh lebih tinggi pada pseudogen dibandingkan yang ada pada gen fungsional homolog,
perbedaan pada rangkaian nukleotida antara sebuah gen dan pseudogen dijelaskan pada
mayoritas kasus oleh subtitusi yang muncul pada pseudogen daripada dengan subtitusi pada
gen fungsional.
Gambar 8. Pohon filogenetik pola subtitusi nukleotida pada sekuens pseudogen
Pada sebuah studi atas 105 mamalia memiliki pseudogen, Ophir dan Graur
menemukan bahwa nilai fij sangat berbeda dari satu pseudogen dengan yang lain. Matriks
menunjukkan pola gabungan subtitusi yang diperoleh dari 55 rangkaian pseudogen yang
diproses dari manusia. Arah mutasi tidak acak. Sebagai contoh, A berubah lebih sering
menjadi G dibandingkan T atau C. Empat elemen dari sudut kanan atas ke sudut kiri bawah
adalah nilai fij untuk transisi, sementara delapan elemen lainnya menunjukkan transverse.
Jumlah frekuensi relatif transisi adalah 67,5% (66,2% jika dinukleotida CG dikeluarkan).
Karena ada empat tipe transisi dan delapan tipe transverse, bagian yang diharapkan dari
transisi di bawah asumsi bahwa semua mutasi yang mungkin terjadi dengan frekuensi yang
sama adalah 33,3%. Bagian yang diamati (67,4%) sekitar dua kali nilai yang diharapkan.
Beberapa nukleotida lebih dapat bermutasi dibanding yang lain. Jika keempat
nukleotida sama-sama dapat bermutasi, kita akan mengharapkan nilai 25% pada setiap
elemen kolom. Dalam praktiknya, kita melihat bahwa G bermutasi dengan frekuensi relatif
29,7% (31,6% jika dinukleotida CG dikeluarkan) yaitu G adalah nukleotida yang dapat
bermutasi, sementara A bermutasi dengan frekuensi relatif 20,3% (yaitu, tidak dapat
bermutasi). Di bagian bawah baris, kami mendata frekuensi relatif semua mutasi yang
menghasilkan A, T, C atau G. Kami mencatat bahwa 56,4% semua mutasi menghasilkan A,
atau T, sementara pengharapan untuk kasus kemungkinan mutasi yang sama di semua arah
adalah 50%. Karena ada kecenderungan bagi C dan G untuk berubah menjadi A atau T, dan
karena A dan T tidak dapat berubah seperti C dan G untuk berubah menjadi A atau T, dank
arena A dan T tidak dapat berubah seperti C dan G, pseudogen diharapkan menjadi kaya
pada A dan T. Hal ini harusnya benar untuk wilayah bukan pembuatan kode lain yang
terbuka bagi tidak adanya batasan fungsional. Tentu saja, wilayah bukan pembuatan kode
secara umum kaya AT.
Diketahui bahwa, selain kesalahan pemasangan dasar, transisi dari C ke T
dapat juga muncul dari konversi residu C methylate atas deaminasi (Coulondre dkk 1978;
Razin dan Riggs 1980). Efek akan meningkatkan frekuensi C:G T:A dan G:C A:T;
yaitu, fCT dan fGA. Karena sekitar 90% residu C metilat pada DNA vertebrata muncul pada
dinukleotida 5`-CG-3` (Razin dan Riggs, 1980), efek ini harusnya diekspresikan sebagai
perubahan dinukleotida CG menjadi TG atau CA. Setelah sebuah gen menjadi pseudogen,
perubahan tersebut tidak akan lagi terbuka bagi batasan fungsional dan dapat memberikan
kontribusi bagi transisi C T dan G A, jika frekuensi CG relatif tinggi sebelum
penghentian gen (yaitu, kehilangan fungsinya). Pola subtitusi yang diperoleh dengan
mengeluarkan semua tempat nukleotida mungkin lebih sesuai untuk memprediksikan pola
mutasi dalam sebuah rangkaian yang tidak terbuka bagi batasan fungsional untuk waktu
yang lama (misal, beberapa bagian intron), karena pada rangkaian tersebut sedikit CG
dinukleotida akan ada untuk mulai. Pola yang diperoleh setelah mengeluarkan CG
dinukleotida agak berbeda dari yang diperoleh sebaliknya. Secara khusus, frekuensi relatif
transisi C T lebih rendah sekitar 20%.
Ketidaksamaan jenis: Pola subtitusi pada DNA mitokondria manusia
Studi awal tentang DNA mitokondia primate (mtDNA) mengungkapkan bias
transisi ekstrim pada pola subtitusi nukleotida (Brown dkk, 1982). Tamura dan Nei (1993)
mempelajari pola subtitusi di wilayah kontrol dianggap tidak memiliki batasan fungsional,
dan pola subtitusinya menunjukkan pola mutasi spontan pada mtDNA. Transversi
ditemukan terjadi dengan frekuensi sangat rendah dan rata-rata rasio transisi/transversi
adalah 15,7 jauh lebih besar dibandingkan rasio 2 pada DNA inti. Lebih lanjut frekuensi
relatif transisi antara pirimidin (C T) hampir dua kali besar antara purine (G A), yang
melanggar dua persamaan, fCT = fGA dan fTC = fAG, dan yang menyarankan bahwa pola dan
rata-rata mutasi mungkin berbeda antara dua jenis. Dalam perbandingan, tidak ada bukti
untuk ketidaksamaan jenis diperoleh dari pola inti dimana frekuensi relatif transisi antara
pirimidin (34,5%) hampir sama seperti antara purin (32,9%).
Pola subtitusi asam amino
Ada banyak ukuran pada literatur yang ditujukan dalam menghitung kesamaan
atau ketidak-samaan antara dua asam amino (Sneath 1966; Grantham 1974; Miyata dkk,
1979). Jarak fisikokimia berdasarkan pada sifat asam amino seperti polaritas, volume
molekuler dan komposisi kimia. Subtitusi asam amino dengan yang sama (misal, leusin
menjadi isoleusin atau leusin menjadi metionin disebut subtitusi konsevatif dan subtitusi
asam amino yang tidak sama (misal, glisin menjadi triptofan atau sistein menjadi triptofan)
disebut subtitusi radikal. Beberapa asam amino, seperti leusin, isoleusin, glutamin, dan
metionin adalah asam amino tipikal, karena mereka memiliki sejumlah asam amino
alternatif yang sama yang dengannya mereka dapat diganti melalui subtitusi non sinonim
tunggal. Asam amino lain, seperti sistein, triptofan, tirosin dan glisin, adalah asam amino
khusus; mereka memiliki sedikit asam amino alternatif sama yang dengannya mereka dapat
digantikan. Graur (1985) merancang sebuah indeks stabilitas, yang merupakan mean jarak
fisikokimia antara asam amino dan turunan mutasinya yang dapat diproduksi melalui
subtitusi nukleotida tunggal. Indeks stabilitas dapat digunakan untuk memprediksikan
kecenderungan evolusioner asam amino untuk menjalani subtitusi.
Dikenal sejak karya awal Zuckerkandl dan Pauling (1965) bahwa subtitusi
konservatif sering muncul dibandingkan subtitusi radikal pada evolusi protein. Sifat
konservatif subtitusi asam amino terbukti ketika menempatkan frekuensi relatif subtitusi
asam amino terhadap jarak fisikokimia. Dari sudut pandang teori netral, fenomena ini dapat
dengan mudah dijelaskan dengan menggunakan Persamaan 2. Subtitusi konservatif
mungkin kurang mengganggu dibandingkan yang radikal; karena itu, kemungkinan
perubahan mutasi yang netral (sebagai kebalikan dari yang membahayakan) lebih besar jika
subtitusi asam amino terjadi antara dua asam amino yang sama dibandingkan jika terjadi
antara dua yang tidak sama. Namun, pada beberapa kasus kodon asam amino yang sama
berbeda lebih banyak dibandingkan satu nukleotida dan jadi subtitusi asam amino
konservatif kurang mungkin dibandingkan subtitusi yang lebih radikal.
Gambar 9. Hubungan antara jarak fisikokimia dan frekuensi penggantian asam amino pada 20 protein mamalia (reseptor ryanodin, distrofin, protein lokus ataxia, faktor koagulasi 8 dan 9, regulator konduktan transmembran cystic
fibrosis, α glukosidase, reseptor low density protein, piruvat kinase, hexosaminidase A dan B, glucocerebrosidase, fenilalanin hidroksilase, asam
fumarat hidroksilasi, galactosa 1 uridiltransferase, periferin, uroporphrynogen III sintase CD 40 ligand dan faktor Hippel lindau.
Argyle (1980) merancang sebuah perwakilan grafik lingkaran pertukaran asam
amino. Sebuah versi yang telah diubah oleh Pieber dan Toha (1983) ditunjukkan pada
Gambar 9. Dengan tergantung pada protein, 60 – 90% subtitusi asam amino yang diamati
melibatkan tetangga terdekat atau terdekat kedua di cincin itu.
Properti protein apa yang disimpan dalam evolusi?
Evolusi setiap gen pembuat kode protein dibatasi oleh persyaratan fungsional
protein khusus yang dihasilkan. Namun, menarik untuk mencari tahu apakah ada atau tidak
properti umum yang dibatasi selama evolusi pada semua protein. Jawabannya sepertinya
adalah bahwa beberapa properti tentu saja disimpan selama evolusi protein (Soto dan Toha
1983). Dua properti yang paling banyak disimpan adalah volume dan indeks refraktif
(ukuran kepadatan protein). Hydrophobisitas dan polaritas sepertinya juga disimpan,
sementara rotasi optic sepertinya merupakan properti yang tidak relevan pada evolusi
protein. Mengejutkan, distribusi asam amino, yang mungkin diharapkan menjadi faktor
penting dalam menentukan evolusi, merupakan salah satu properti yang paling sedikit
disimpan selama evolusi protein (Leunissen dkk 1990).
Gambar 10. Lingkaran yang menunjukkan kemampuan berubah dari asam amino menurut metode Argyl (1980). jumlah yang ditulis adalah jumlah kodon pada famili dimana asam amino tidak dikode oleh 2 kodon sefamili. Sekitar 60%-90% observasi pergantian asam amino tergantung asam amino di dekatnya
Sebagai konsekuensi dari penyimpanan kumpulan dan hidrofobisitas, beberapa
asam amino cenderung menjadi kaku untuk subtitusi selama evolusi. Tentu saja, glisin,
asam amino paling kecil, cenderung disimpan selama evolusi dengan mengabaikan
kedekatannya dengan tempat yang aktif secara fungsional. Subtitusi di tempat-tempat yang
didiami oleh glisin akan memperkenalkan ke dalam rantai polipeptida sebuah asam amino
yang jauh lebih banyak. Karena gangguan struktural tersebut memiliki kemungkinan tinggi
untuk memiliki efek yang membahayakan terhadap fungsi protein dengan mengabaikan
lokasi glisin relatif dengan tempat aktif, mutasi tersebut sering dipilih. Akibatnya, gen yang
memberi kode protein yang mengandung bagian besar residu glisin akan cenderung untuk
berkembang secara lebih lambat dibandingkan yang miskin glisin (Graur, 1985). Selain
glisin, asam amino lain (misal, lisin, sistein dan prolin) juga disimpan secara konsisten
(Naor dkk, 1996). Lisin dan sistein paling mungkin disimpan karena keterlibatan mereka
dalam hubungan silang antara rantai polipeptida, sementara prolin disimpan karena
kontribusi uniknya terhadap ikatan protein yang ditekuk.
Jumlah Substitusi Nukleotida Antara Dua Urutan Dna
Substitusi alel dalam suatu populasi biasanya memerlukan waktu ribuan atau
bahkan jutaan tahun untuk menyelesaikannya (Bab 2). Untuk alasan ini, kita tidak bisa
berurusan dengan proses substitusi nukleotida melalui observasi langsung, dan substitusi
nukleotida selalu disimpulkan dari perbandingan berpasangan dari molekul DNA yang
terbagi atas sebuah asal evolusi yang sama. Setelah dua sequence nukleotida menyimpang
satu sama lain, masing-masing dari mereka akan mulai menggabungkan substitusi
nukleotida . Dengan demikian, jumlah substitusi nukleotida yang terjadi sejak dua urutan
menyimpang adalah yang paling dasar dan umum digunakan variabel dalam evolusi
molekuler.
Jika dua urutan panjang N berbeda satu sama lain di n lokasi, maka proporsi dari
perbedaan, n / N, disebut sebagai tingkatan divergensi atau jarak Hamming. Derajat
perbedaan biasanya dinyatakan sebagai persentase (n / N x 100%). Ketika tingkat
perbedaan antara kedua perbandingan sequences kecil, kesempatan untuk lebih dari satu
substitusi telah terjadi di site manapun diabaikan, dan jumlah perbedaan antara dua
sequence yang diamati harus dekat dengan jumlah yang sebenarnya dari Substitution .
Namun, jika tingkat perbedaan substansial, maka jumlah yang teramati dari perbedaan
kemungkinan lebih kecil dari jumlah sebenarnya dari substitutions karena substitusi ganda
atau beberapa hits di site yang sama. Misalnya, jika nukleotida pada sebuah site tertentu
berubah dari A ke C dan kemudian ke T dalam satu urutan, dan dari A T dalam urutan
lainnya, maka dua sequence di bawah perbandingan adalah identik pada site ini, meskipun
fakta bahwa ketiga terjadi dalam sejarah evolusionernya (Gambar 3.6). Banyak metode
telah diusulkan dalam literatur untuk mengoreksi beberapa substitusi (e.g., Jukes dan
Cantor 1969; Holmquist 1972, Kimura 1980,1981, Holmquist dan Pearl 1980; Kaplan dan
Risko 1982;. Lanave et al 1984). Pada bagian berikutnya kita akan meninjau beberapa
metode yang paling sering digunakan.
Jumlah substitusi nukleotida antara dua sequence biasanya dinyatakan dalam
jumlah nomor tempat substitusi per nukleotida daripada jumlah antara dua sekuens.
fasilitasi ini membandingkan antara pasangan urutan yang berbeda panjangnya.
Sequence Protein-coding dan noncoding harus diperlakukan secara terpisah karena
mereka biasanya berkembang pada tingkat yang berbeda. Dalam kasus yang pertama,
disarankan untuk membedakan antara substitusi identik dan tidak identik, karena mereka
dikenal berkembang pada tingkat yang sangat berbeda dan karena perbedaan antara dua
jenis substitusi dapat memberikan kita wawasan tambahan ke dalam mekanisme evolusi
molekuler (Bab 4 ).
Hasil yang telah kami peroleh sebelumnya dalam bab ini untuk urutan DNA
tunggal dapat diterapkan untuk mempelajari perbedaan nukleotida antara dua urutan yang
berbagi asal mula yang sama. Kami berasumsi bahwa semua situs secara berurutan
berkembang pada tingkat yang sama dan mengikuti pola pengganti yang sama. Jumlah situs
dibandingkan antara dua sekuens dilambangkan oleh L. Delesi dan insertions yang
termasuk dalam analisis.
FIGURE 3.6 Two homologous DNA sequences that descended from an ancestral sequence have accumulated mutations since their divergence from each other. Note that
although 13 mutations have occurred, differences can be detected at only three nucleotide sites (-). Note further that "sequential substitutions," "coincidental substitutions," "parallel
substitutions," "convergent substitutions," and "back substitutions" all involve multiple substitutions at the aame site, though perhaps in different lineages.
Single substitution
Sequential substitutions
Coincidental substitutions
Parallel substitutions
Mari kita mulai dengan model satu-parameter. Dalam model ini, ini cukup untuk
mempertimbangkan hanya I (i}, yang merupakan probabilitas bahwa nukleotida pada site
tertentu pada waktu t adalah sama di kedua sekuens. Misalkan bahwa nukleotida pada site
tertentu adalah A pada waktu 0. pada waktu t, probabilitas bahwa urutan keturunan akan
memiliki A pada site ini adalah PAAW anc * akibatnya kemungkinan bahwa dua sekuens
keturunan memiliki A pada site ini adalah PAA «- Demikian pula, kemungkinan bahwa
kedua sekuens memiliki T, C, atau G di situs ini adalah PAT «, PACW dan PAG«) 'masing-
masing. Oleh karena itu,
Persamaan 3.22 juga berlaku untuk T, C, atau G. Oleh karena itu, terlepas dari
initial nucleotida pada sebuah site , / (,) merupakan proporsi nukleotida identik antara dua
urutan yang menyimpang t unit waktu yang lalu. Perhatikan bahwa kemungkinan bahwa
dua sekuens berbeda di sebuah lokasi pada waktu tis p = 1 - l ^ y demikian,
perbedaan waktu antara dua sekuens biasanya tidak diketahui, dan dengan
demikian kita tidak bisa memperkirakan. Sebaliknya, kita menghitung K, yang merupakan
jumlah substitusi per situs sejak zaman perbedaan antara dua sekuens. Dalam kasus model
satu parameter, K = 2 (3AT), di mana Sortir adalah jumlah substitusi per situs dalam garis
keturunan tunggal. Dengan menggunakan Persamaan 3.24 kita dapat menghitung K sebagai
di mana p adalah proporsi yang teramati dari nukleotida yang berbeda antara dua
sekuens (Jukes dan Cantor 1969). Untuk sekuens L panjang, varians sampling K, V (K),
yang mendekati diberikan oleh
(Kimura dan Ohta 1972). Persamaan 3.26 hanya berlaku untuk nilai besar L.
Dalam kasus pada model dua parameter (Kimura 1980), perbedaan antara dua
sekuens diklasifikasikan ke dalam transisi dan transversi. Misalkan P
Catatan bahwa jika kita tidak membedakan antara perbedaan transisi dan
transversional, yaitu, p = P + Q, maka Persamaan 3.27 untuk mengurangi Persamaan 3.25,
sebagaimana dalam model Jukes dan Cantor. Variansi sampling kurang diberikan oleh
Mari kita mempertimbangkan sebuah hipotesis contoh numerik atau
dua urutan panjang 200 nukleotida yang berbeda satu sama lain dengan 20
transisi dan transversi 4. Dengan demikian, L = 200, P = 20/200 = 0,10, dan Q
= 4/200 = 0,02. Menurut model dua parameter, kita memperoleh K = 0,13.
Jumlah substitusi dapat diperoleh dengan mengalikan jumlah substitusi per
situs, K, dengan jumlah situs, L. Dalam hal ini kita memperoleh perkiraan
sekitar 26 substitusi, sehingga 24 perbedaan yang diamati antara dua sekuens.
Berdasarkan pada model satu-parameter, p = 24/200 = 0,12, dan 1C-0,13.
E. Local Clock
Jam molekuler dapat berbeda antara suatu kelompok organisme dengan organisme
lainnya. Jam molekuler yang khusus untuk suatu kelompok organisme itulah yang disebut
sebagai local clock. Berikut ini merupakan contoh metode untuk mengetahui local clock
pada mencit, tikus dan hamster menggunakan perbandingan rata-rata subtitusi sinonim dan
nonsinonim dengan tes rata-rata relatif.
Jika spesies 1 adalah mencit, spesies 2 adalah tikus dan spesies 3 adalah hamster,
maka tanda positif untuk nilai K13-K23 artinya bahwa laju pada mencit lebih tinggi daripada
pada tikus, sedangkan tanda negatif menunjukkan sebaliknya. Data sekuen yang digunakan
terdiri dari 28 gen dengan panjang total 11.295 nukleotida. Baik nilai K13-K23 bukan 0
sehingga hipotesis nol tingkat substitusi yang sama pada mencit dan tikus diterima.
Hasil dari perbandingan tersebut menunjukkan bahwa rata-rata subtitusi cenderung
konstan tidak hanya untuk subtitusi yang sinonim namun juga subtitusi nonsinonim. Hasil
ini konsisten dengan hipotesis mutasi netral yang merumuskan bahwa kebanyakan
perubahan molekular pada evolusi merupakan mutasi netral.
Berdasarkan jarak imunologi dan data sekuen protein, diperkirakan terjadi
penurunan laju subtitusi pada hominoid (manusia dan kera) setelah perpisahan mereka saat
masa lampau. Perlambatan tersebut adalah karena perkiraan yang salah tentang waktu
divergensi antara kera dan manusia. Dengan uji ID Tajima pada urutan pseudogene ŋ-
globin dari manusia, simpanse (Pan troglodytes), simpanse kerdil (P. paniscus), gorila
(Gorilla gorilla), orangutan (Pongo pygmaeus) dan Gibbon (Hylobates lar). Dalam setiap
perbandingan berpasangan, digunakan referensi berupa spesies outgroup terdekat. Misalnya
untuk membandingkan Pan troglodytes dengan Pan paniscus, digunakan manusia sebagai
outgroup. Demikian pula, dalam perbandingan Pan dengan Homo digunakan Gorilla
sebagai outgroup.
Dalam perbandingan antara Homo (spesies 1) dengan P. paniscus, P. troglodytes
atau Gorilla gorilla (spesies 2) terlihat bahwa nilai-nilai m1, secara signifikan lebih kecil
dari nilai m2. Oleh karena itu, tingkat substitusi pada manusia lebih kecil dibandingkan di
kera Afrika. Pada perbandingan antara manusia dan orangutan dengan Gibbon sebagai
outgroup, m1<m2 tetapi perbedaannya tidak signifikan secara statistik.
Sebuah studi menunjukkan bahwa perlambatan dalam keturunan manusia tidak
terbatas pada pseudogene ŋ-globin, tetapi merupakan fenomena yang umum dan mungkin
juga mempengaruhi seluruh genom. Diperkirakan bahwa garis keturunan simpanse dan
gorila berevolusi sekitar 1,5 kali lebih cepat dari garis keturunan manusia. Percobaan
hibridisasi DNA-DNA juga telah memberikan bukti kuat untuk hipotesis perlambatan ini.
Perbedaan antara hominoid dan monyet Afrika (Cercopithecidae) diperkirakan
telah terjadi pada Oligosen (sekitar 20-30 juta tahun yang lalu). Perbedaan antara monyet
Dunia Lama (Catarrhini) yang meliputi Hominoidea dan Cercopithecidae dan monyet
Dunia Baru (Platyrrhini) diperkirakan telah terjadi setidaknya 10 juta tahun lalu. Oleh
karena itu mungkin untuk menguji ketidaksetaraan dalam tingkat substitusi antara manusia
dan monyet Afrika dengan menggunakan monyet Dunia Baru sebagai outgroup.
Pada tabel di atas, K13 dan K23 adalah jarak antara monyet Afrika dan monyet
Dunia Baru dan antara manusia dan monyet Dunia Baru. Pada semua kasus, K13-K12 secara
signifikan lebih besar dari 0 sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat substitusi di daerah
noncoding, yang mungkin mencerminkan tingkat mutasi, lebih tinggi pada monyet Afrika
daripada manusia.
Berdasarkan data hibridisasi DNA-DNA, laju substitusi nukleotida pada tikus dan
mencit ternyata jauh lebih tinggi dibanding manusia dan simpanse. Diperkirakan tingkat
evolusi mencit dan tikus 16 kali lebih tinggi dibandingkan dengan manusia dan simpanse.
Evaluasi Hipotesis Jam Molekuler
Jika ditelaah secara ekstrim, hipotesis jam molekuler menyatakan bahwa DNA
homolog berevolusi pada =tingkat yang sama sepanjang garis keturunan evolusi selama
mereka mempertahankan fungsi asli mereka. Analisis urutan DNA dari beberapa ordo
mamalia menunjukkan bahwa tidak ada jam molekuler global yang ada dalam kelas
Mamalia. Bahkan variasi yang signifikan dalam tingkat substitusi nukleotida telah
ditemukan baik di dalam dan di antara perintah yang berbeda dari mamalia.
Tikus tampaknya berkembang jauh lebih cepat daripada artiodactyls, yang pada
gilirannya berkembang lebih cepat dari primata. Dalam ordo mamalia, variasi dalam tingkat
substitusi antara spesies agak kecil. Namun, ada kasus-kasus di mana perbedaan
intraordinal substansial telah terbukti ada. Contohnya, dalam primata, tingkat substitusi
sinonim dalam monyet Dunia Lama hampir dua kali lipat daripada kera masa kini.
Karena asumsi laju kekonstanan dilanggar bahkan pada Mammalia, sebuah jam
molekuler yang benar-benar universal yang berlaku untuk semua organisme tidak dapat
diasumsikan ada. Memang, tingkat substitusi antara organisme yang berkerabat jauh telah
selalu terbukti bervariasi. Sebagai contoh, telah diperkirakan bahwa tingkat substitusi di
Drosophila 5-10 kali lebih cepat daripada sebagian besar vertebrata dan perbedaan ini
berlaku untuk bagian-bagian yang paling konservatif dari genom. Oleh karena itu, ketika
menggunakan asumsi jam molekuler untuk menyimpulkan waktu divergensi harus
dilakuakan dengan sangat hati-hati, terlebih ketika menyangkut spesies yang berkerabat
jauh.
Penjelasan tersebut bukan berarti bahwa jam molekuler tidak ada. Sebaliknya, ada
banyak jam lokal yang cukup teratur bagi banyak kelompok spesies yang berhubungan
dekat. Selain itu, ketika parameter yang berkaitan dengan sejarah kehidupan tanaman,
bakteri, serangga, dan mamalia yang berbeda satu sama lain, memiliki tingkat substitusi
berarti yang identik dalam genom inti sel organisme tersebut. Oleh karena itu, jam
molekuler masih dapat digunakan untuk memperkirakan divergensi spesies dengan tingkat
kepercayaan yang wajar dan dikoreksi sesuai tingkat evolusi molekuler antara garis
keturunan.
Laju Subtitusi pada DNA Organel
Sebagian besar eukariota memiliki setidaknya satu genom ekstranuklear yang
direplikasi secara independen dari genom inti. Genom organel, seperti mitokondria dan
kloroplas yang jauh lebih kecil akan lebih mudah untuk diteliti daripada genom inti.
Organel hampir selalu diwariskan secara uniparental. Mitokondria hewan diwariskan dari
garis ibu meskipun pada beberapa kasus terjadi kebocoran mitokondria dari ayah. Kloroplas
dan mitokondria tumbuhan sebagian besar diwariskan secara maternal juga. Ada
pengecualian yaitu pada konifer, kloroplas diwariskan dari ayah dan pada Chlamydomonas
reinhartii, mitokondria yang diwariskan dari ayah.
Genom mitokondria hewan terdiri dari DNA untai ganda melingkar sekitar 15.000-
17.000 pasangan basa yang panjangnya kira-kira 1/10.000 dari genom inti terkecil. Genom
mitokondria ini unik karena berisi sekuen yang nonrepetitif yaitu 13 gen penyandi protein
(7 subunit NADH-ubiquinone oxireductase, 3 subunit oksidase sitokrom c dan 2 subunit
dari sintase ATP +H dan sitokrom b) serta 22 tRNA gen, daerah kontrol yang berisi situs
untuk replikasi dan inisiasi transkripsi dan beberapa spacer intergenik. Semua gen tidak
memiliki intron dan genom tersebut sangat stabil dalam hal struktural dan evolusi.
Laju substitusi nonsinonim bervariasi antara 13 gen pengkode protein dan
umumnya jauh lebih tinggi dari rata-rata laju untuk substitusi nonsinonim gen inti. Alasan
utama untuk tingginya tingkat substitusi ini mungkin karena DNA mitokondria memiliki
ketahanan yang rendah dari proses replikasi DNA dalam mitokondria, terjadi perbaikan
efisien mekanisme dan adanya konsentrasi tinggi mutagen misalnya radikal superoksida
yang dihasilkan dari fungsi metabolisme yang dilakukan oleh mitokondria.
Baru-baru ini dilakukan penelitian tentang biologi molekuler tanaman sehingga
memungkinkan penyelidikan pada evolusi gen tanaman. Karena kingdom tumbuhan dan
hewan berpisah sekitar 1 miliar tahun yang lalu, pola evolusi pada tanaman mungkin
menjadi sangat berbeda dengan hewan. Tanaman memiliki perberbedaan dengan hewan
dalam organisasi DNA organel karena tumbuhan memiliki genom mitokondria yang jauh
lebih besar dan secara struktural lebih bervariasi dan dengan memiliki genom ketiga yang
independen yaitu kloroplas.
Genom mitokondria tanaman menunjukkan variabilitas struktur lebih banyak
daripada hewan. Genome mitokondria pada tanaman sering mengalami penyusunan ulang,
duplikasi dan delesi. Meskipun variasi ukuran genom kloroplas lebih kecil dibandingkan
dengan mitokondria, genom kloroplas bervariasi antar tumbuhan terutama dalam jumlah
gen penyandi protein, gen untuk tRNA, pseudogen dan berbagai jenis intron. Berdasarkan
urutan gen pada beberapa enzim restriksi, menunjukkan bahwa gen kloroplas memiliki laju
yang lebih rendah daripada substitusi nukleotida gen inti mamalia dan DNA mitokondria
tumbuhan berkembang perlahan pada urutan nukleotida meskipun sering mengalami
penyusunan ulang.
Tingkat substitusi nukleotida tidak berkorelasi baik dengan tingkat perubahan
struktural dalam genom organel. Pada mamalia, DNA mitokondria berkembang sangat
pesat dalam hal substitusi nukleotida tetapi penataan ruang gen dan ukuran genom relatif
konstan. Sebaliknya genom mitokondria tumbuhan sering mengalami perubahan struktural
dalam hal ukuran dan urutan gen tetapi tingkat substitusi nukleotida sangat rendah. Pada
DNA kloroplas baik tingkat substitusi nukleotida dan evolusi struktural sangat rendah.
Kurangnya korelasi antara tingkat substitusi dan tingkat evolusi struktural menunjukkan
bahwa dua proses tersebut terjadi secara independen.
Laju Subtitusi pada Virus RNA
Virus RNA diketahui berevolusi pada tingkat yang sangat tinggi, mungkin 1 juta
kali lebih cepat dari organisme dengan genom DNA. Oleh karena itu sejumlah besar
substitusi nukleotida terakumulasi selama periode waktu yang singkat dan perbedaan dalam
urutan nukleotida antara strain virus yang diisolasi pada interval waktu yang relatif singkat.
Hal ini memungkinkan untuk pendekatan yang berbeda untuk memperkirakan tingkat
evolusioner daripada yang digunakan sebelumnya. Tingkat substitusi yang tinggi dari HIV
terutama disebabkan oleh kesalahan dalam transkripsi balik dari RNA ke DNA. Tingkat
substitusi yang tinggi tersebut mengakibatkan perubahan cepat dari sifat virus seperti
tropisme jaringan dan kepekaan terhadap terapi obat antiviral.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan dalam suatu urutan nucleoticks: digunakan dalam studi evolusi
molekuler baik untuk memperkirakan laju evolusi dan untuk merekonstruksi evolusi nya ¬
tory organisme.Namun, karena proses substitusi nukleotida biasanya sangat lambat, tidak
dapat diamati dalam kehidupan secara mata telanjang. Oleh karena itu, untuk mendeteksi
perubahan evolusioner dalam urutan DNA, kita menggunakan metode-metode komparatif
dimana urutan tertentu dibandingkan dengan yang lain dengan urutan yang berbagi nenek
moyang yang sama di masa lalu evolusi. Daerah Pengkode memiliki rata-rata subsitusi
nonsinonim yang bervariasi diantara gen-gennya, merefleksikan rata-rata protein evolusi.
Laju subsitusi nukleotida merupakan basic dari evolusi molekuler,yang memiliki
karakateristik pada urutan DNA. Dengan mengetahui subsitusi nukleotida maka akan
mengetahui perbedaan secara divergensi dari spesies sampai ke takson yang tinggi dengan
mempelajari garis evolusi yang terjadi. Kita menginvestigasi berbagai macam faktor yang
mempengaruhi adanya variasi. Laju evolusi dari nukleus, organel, genom RNA yang
diamati. Oleh karena itu makalah ini akan dibahas berhubungan dengan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah laju subsitusi nukleotida beserta faktor yang mempengaruhinya?
2. Bagaimana Pola subsitusi dan jam molekular yang terjadi?
3. Bagaimana Lokal jam yang terjadi berhubungan dengan laju dan pola subsitusi
nukleotida pada evolusi molekular?
B. Tujuan
1. Mengetahui laju subsitusi nukleotida beserta faktor yang mempengaruhinya
2. Mengetahui Pola subsitusi dan jam molekular yang terjadi
3. Mengaetahui Lokal jam yang terjadi berhubungan dengan laju dan pola subsitusi
nukleotida pada evolusi molekular
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Laju subsitusi nukleotida terdapat pada daerah pengkodean, nonpengkodean
Terdapat berbagai macm faktor penyebab adanya variaso pada laju subsitusi
nukleotida yaitu adanya laju nukleotida identik dan nonidentik, adanya variasi antar
gen yang berbeda, adanya kendala fungsional, adanya variasi dalam gen tersebut
Jam molekuler dapat berbeda antara suatu kelompok organisme dengan organisme
lainnya. Jam molekuler yang khusus untuk suatu kelompok organisme itulah yang
disebut sebagai local clock
hipotesis jam molekuler menyatakan bahwa DNA homolog berevolusi pada
=tingkat yang sama sepanjang garis keturunan evolusi selama mereka
mempertahankan fungsi asli mereka
Contoh dari laju subsitusi organel adanya Genom mitokondria tanaman
menunjukkan variabilitas struktur lebih banyak daripada hewan. Genome
mitokondria pada tanaman sering mengalami penyusunan ulang, duplikasi dan
delesi
Laju subsitusi pada virus RNAA, diketahui berevolusi pada tingkat yang sangat
tinggi, mungkin 1 juta kali lebih cepat dari organisme dengan genom DNA
DAFTAR PUSTAKA
Gaur, Dan. 1999. Fundamentals Of Molecular Evolution. Universitas Of Chicago: wen-H-
siung Li
LAJU DAN POLA SUBSITUSI NUKLEOTIDA
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Biokimiayang Dibina Oleh Prof. Dr. agr. Mohamad Amin, S.Pd., M.Si
OlehEka Vasia Anggis
Ema AprilissaSefi Andi Alinuha
UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGIMaret 2013