24

Click here to load reader

Makalah Filsafat Hari

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Filsafat Hari

FILSAFAT UMUM

PENGANTAR KAJIAN LOGIKA MATERIAL

DISUSUN OLEH:

(4611331038) HARIYANTO

BEKASI, 15 DESEMBER 2013

Page 2: Makalah Filsafat Hari

BAB IPENDAHULUAN

Pengertian Logika Material atau Induktif

Logika material sering disebut epistemologi, yaitu suatu cabang filsafat yang

memandang isi atau materi pengetahuan dan bagaimana isi atau materi pengetahuan

tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, secara umum logika material mempelajari

tentang: (a) sumber dan asal usul pengetahuan; (b) alat-alat pengetahuan; (c) proses

terjadinya pengetahuan; (d) kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas (relativitas)

pengetahuan; (e) kebenaran dan kesalahan; (f) makna kriteria; dan (g) teori dan metode

ilmu pengetahuan (Salam, B., 1996; Surajiyo, dkk., 2006; Hadi, S., 2008). Pembahasan

secara khusus tentang hakikat epistemologi ilmu akan diuraikan pada bab berikutnya.

Berbeda dengan logika formal (seperti yang telah di bahas pada bab sebelumnya),

yaitu logika formal hanya mengkaji tentang bentuk ilmu (form-nya). Bentuk (form) atau logika

formal itu adalah mengkaji antara lain tentang (a) definisi atau pengertian atau konsep; (b)

makna keputusan; (c) beragam proposisi; (d) penyimpulan (inference); dan (e) silogisme

(Bakry, N., 1995). Sedangkan dalam logika material mengkaji tentang: (a) sumber

pengetahuan; (b) alat dan proses terjadinya pengetahuan; (c) kebenaran dan kesalahan; (d)

kriterium; (e) kritika; (f) batas-batas pengetahuan; (g) metode dalam memperoleh ilmu

pengetahuan; dan (h) teori-teori pengetahuan (Maram. R.R., 2007)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa logika material adalah ‘ilmu

yang mempelajari proses aktifitas pikir yang memungkinkan lahirnya pengetahuan yang

benar, dan metode-metode yang dapat membantu untuk memperoleh pengetahuan baru

tersebut’. Atau ‘ilmu yang mempelajari tentang sumber-sumber dan asalnya pengetahuan,

alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, kemungkinan-kemungkinan dan

batas-batas pengetahuan, kebenaran dan kekeliruan, metode ilmu pengetahaun’ (Sudiarja,

dkk., 2006).Menurut para ahli, terdapat beragam logika, yaitu: (a) logika sebagai ajaran

berpikir atau logika teknik berpikir lurus dan benar; (b) logika sebagai ajaran pernyataan

yang tertib dan jelas; (c) logika sebagai ajaran ilmu pengetahuan; (d) logika sebagai teknik

atau metode penemuan ilmu pengetahuan; (e) logika sebagai teori-teori ilmu pengetahuan;

dan (f) logika sebagai metafisika akal manusia (Oesman, 1978; Beerling, dkk., 2003). Logika

sebagai ajaran berpikir atau logika teknik berpikir tertib, lurus, jelas dan benar sering disebut

sebagai logika formal atau logika deduktif, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya. Sedangkan logika ajaran ilmu pengetahuan, logika teknik dan metode

memperoleh ilmu pengetahuan dan logika teori ilmu pengetahuan adalah sering disebut

Page 3: Makalah Filsafat Hari

sebagai logika material atau logika induktif. Jadi, logika material atau logika induktif sering

disebut atau disamakan dengan ‘metode-metode ilmu pengetahuan’.

Berdasarkan uraian singkat tentang pengertian logika material tersebut, dapat

diperoleh pemahaman bahwa mempelajari logika material sangat berguna dalam

menemukan ilmu pengetahuan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Diantara kegunaan

atau fungsi mempelajari logika material antara lain:

1. Dapat mengetahui atau memahami bagaimana prosedur dan teknik atau metode

penemuan ilmu pengetahuan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah.

2. Dapat mengetahui atau memahami bagaimana hubungan antara filsafat-teori-

pendekatan-metode dalam proses penemuan dan pengembangan ilmu

pengetahuan.

3. Dapat menjadi evaluasi dan penyempurna dari proses kerja logika formal (deduktif)

dalam mengungkapkan hakikat kebenaran terhadap fenomena kehidupan; dan

4. Dapat mengetahui atau memahami hakikat ilmu pengetahuan ditinjau dari tiga

landasan kefilsafatan, yaitu: (a) landasan ontologi; (b) landasan epistemologi; dan (c)

landasan aksiologi (Copi, I.M. 1978; Oesman, A., 1978; Salam, B. 1997). Secara

khusus hakikat ontologi ilmu, hakikat epistemologi ilmu, dan hakikat aksiologi ilmu

akan dijelaskan pada bab ke lima dalam kajian buku ini.

Page 4: Makalah Filsafat Hari

BAB IIPEMBAHASAN

Asal Usul Ilmu Pengetahuan

Menurut Aristoteles, pada diri manusia ada potensi untuk ‘ingin mengetahui’ sesuatu.

Dan dari potensi untuk ‘ingin mengetahui’ tentang segala sesuatu dalam hidup inilah lahir

(asal usul) suatu pengetahuan. Jadi, pengetahuan itu diperoleh (muncul) melalui media pikir

manusia atau akal pikiran manusia yang jernih tentang sesuatu hal (fenomena hidup)

(Isma’il F.F. dan Mutawalli A.H. 1978). Akal pikiran manusia dalam mencermati beragam

fenomena hidup terus berkembang. Jadi, sifat dasar ilmu pengetahuan adalah ‘rasional’ dan

‘akumulatif’. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia selalu ingin mencari

kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan perubahan dalam berbagai aspek

kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan manusia merasa tidak puas terhadap karya

budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau pembaharuan kehidupan

(Sztompka, P., 1993). Keberadaan manusia dalam hidupnya sangat ditentukan oleh kualitas

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian upaya-upayanya untuk selalu

berubah, ‘hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini’.

Memang salah satu predikat penting yang melekat pada diri manusia adalah

‘manusia sebagai mahluk berpikir’ (homo thinking). Sebagai mahluk berpikir maka dalam

hati dan pikiran manusia selalu ada keinginan untuk mengetahui sesuatu. Apabila ingin

mengetahui tentang sesuatu tersebut dikumpulkan dan diolah secara teratur atau secara

sistematis, kemudian diikuti dengan kesadaran dan perencanaan yang baik tentang

keinginan untuk mengetahui sesuatu tersebut, maka apa yang semula hanya berupa

bayangan dalam pikiran kemudian berubah menjadi pernyataan yang tertulis secara

sistematis, kondisi mental dan sikap seperti itu disebut ‘refleksi’, dan salah satu ciri ilmu

pengetahuan adalah bersifat reflektif (Semiawan, C., dkk.,2005). Sebagai makhluk berpikir

(homo thinking).manusia terus menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan baru

melalui penelitian ilmiah. Jadi, asal usul pengetahuan adalah dari: (a) potensi diri manusia

sebagai makhluk berpikir; (b) potensi berpikir tersebut terus dibangun, diolah, dikembangkan

secara sistematik, logik dan objektif; dan (c) adanya dorongan internal pada diri setiap

manusia untuk selalu tidak puas terhadap karya yang ada (setiap hasil research satu

menuntut adanya research berikutnya), dan berjiwa inovator (ingin membaharui segala

aspek kehidupannya).

Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari

kebenaran, sebenarnya sumber pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1)

pengetahuan yang didapat atau bersumber dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui

Page 5: Makalah Filsafat Hari

penalaran ilmiah atau melalui proses scientific research (penelitian ilmiah) maupun melalui

perasaan intuisi; dan (2) pengetahuan yang didapat atau bersumber bukan dari usaha

manusia (prosedur ilmiah), yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan para Nabi atau

Rasul. Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif

(formal) dan penalaran induktif (material). Penalaran deduktif berorientasi pada pandangan

positivisme atau rasionalisme, sedangkan penalaran induktif berorientasi pada pandangan

konstruktivisme atau empirisme (Kattsoff, L.O., 1996). Penalaran deduktif adalah berpijak

dari teori atau dalil ke contoh-contoh, atau dari prinsip umum ke khusus, sedangkan

penalaran induktif adalah berpijak dari contoh-contoh ke teori atau dalil, atau dari khusus ke

umum.

Menurut para ahli ada beberapa cara yang dapat ditempuh manusia dalam

memperoleh sumber pengetahuan, yaitu: (1) cara tradisi (tenacity), yaitu gigih dalam

memegang sesuatu yang dianggap benar oleh tradisi atau yang telah diwariskan oleh

leluhur bahwa sesuatu itu benar; (2) cara otoritas atau kewenangan, artinya seseorang bisa

memperoleh pengetahuan baru dengan bertanya kepada individu-individu yang memiliki

otoritas atau kekuasaan di masyarakat, misalnya, tokoh agama, ilmuwan, tokoh budaya,

guru, dosen, dan sebagainya; (3) cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau

kelompok. Cara seperti ini biasanya tanpa bimbingan, oleh karena itu cara seperti ini sering

disebut trial and error (coba dan salah dan mencoba lagi); (4) cara logika deduktif dan

induktif. Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu dari prinsip, teori ke

contoh atau dari dalil ke contoh. Sedangkan logika induktif adalah pola berpikir untuk

mencari ilmu dari contoh ke dalil atau dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum; dan (5) cara

atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah atau melalui proses

penelitian ilmiah. (Kerlinger, 2002; Sukardi, 2004). Diantara kelima cara dalam memperoleh

ilmu pengetahuan tersebut di atas, cara keempat (logika deduktif-induktif) dan kelima

(metode ilmiah) dianggap sebagai sumber atau cara memperoleh ilmu pengetahuan yang

bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Makna Batasan Benar dan Batasan Salah

Batasan tentang ‘sesuatu benar’ dan ‘sesuatu salah’ sejatinya dapat dilihat dari dua

sudut pandang, yaitu: (a) ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut sudut pandang dasar-

dasar logika (kebenaran logis); dan (b) ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut sudut

pandang teori-teori kebenaran dalam fllsafat ilmu (kebenaran dalam perspektif filsafat akan

dibahas pada bab V).

Page 6: Makalah Filsafat Hari

1. Batasan ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut logika

Kebenaran logis, adalah suatu kebenaran yang menunjukkan kesesuaian dari akal

atau budi dengan barang-barang, artinya sesuai dengan kebenaran ontologis dari barang-

barang itu. Atau dengan kata lain cocoknya pengertian dengan barang-barang yang

dimengerti, artinya apabila penilaian kita sesuai dengan keadaan yang nyata ada (Mundiri,

1994; Hadi, S. 2008). Jadi, menurut logika sesuatu itu ‘benar’ jika sesuatu yang dikatakan itu

sesuai dengan akal pikiran sehat dan betul-betul nyata adanya (data empirik) dalam

kehidupan sehari-hari. Demikian juga sebaliknya sesuatu itu ‘salah’, jika sesuatu itu tidak

sahih atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika dan tidak nyata ada dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam studi logika sesuatu yang ‘salah’ bisa dikatakan sebagai ‘sesat

pikir’ atau sesat. Sesat pikir (fallacy), adalah ‘kekeliruan penalaran yang disebabkan oleh

pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan berpikir

logis, objektif dan rasional’ (Hutabarat, A.B., 1967).

Menurut Papar J.H. (1996), bahwa pada umumnya ‘sesat pikir’ dapat dibagi ke

dalam tiga jenis, antara lain:

1. Sesat pikir karena bahasa. Sesat pikir karena bahasa bisa disebabkan karena: (1)

menggunakan term ekuivokal, yaitu term yang memiliki makna ganda, misalnya kata

‘jarak’ bisa bermakna ‘ukuran jauh dekat’, bisa juga bermakna nama sebuah ‘pohon

atau tanaman’ yang buah bijinya bisa dipakai bahan minyak; (2) menggunakan term

metaforis, yaitu kata yang digunakan bukan dalam arti yang sebenarnya, misalnya

‘guru pahlawan tanpa jasa’; (3) menggunakan aksen yang membedakan arti suatu

kata, artinya penggunaan kata yang sama tetapi aksennya (penekanan dalam

ucapan) dirubah, misalnya kata ‘apel’, bisa bermakna ‘buah apel’ bisa juga bermakna

‘apel upacara’; (4) menggunakan konstruksi kalimat bermakna ganda (amphiboly),

hal ini terjadi apabila suatu kalimat disusun itu bisa menghasilkan penafsiran ganda,

misalnya, ‘direktur perusahan ‘X’ korupsi, demikian juga bawahannya’ (kata

‘bawahannya’ bisa tidak jelas, karena bawahannya jamak).

2. Sesat pikir formal. Sesat pikir formal terjadi karena melanggar kaidah-kaidah

penalaran (berlogika) secara sahih. Ada empat jenis sesat pikir formal, antara lain:

(1) sesat pikir empat term (fallacy of four terms), yaitu apabila suatu bentuk silogisme

itu terdapat empat term, padahal semestinya silogisme itu terdiri dari tiga term; (2)

sesat pikir proses tidak sah (fallacy of illicit prosess), yaitu sesat pikir yang terjadi

karena term premis tidak berdistribusi tetapi term koalisi berdistribusi. Hal ini

bertentangan ketentuan keempat mengenai term-term silogisme; (3) sesat pikir term

tengah tak berdistribusi (fallacy of undistributed middle), yaitu sesat pikir terjadi

Page 7: Makalah Filsafat Hari

karena term tengah tidak berdistribusi, padahal untuk memperoleh kongklusi yang

benar term tengah sekurang-kurangnya satu kali berdistribusi; dan (4) sesat pikir dua

premis negatif (fallacy of two negative premises), artinya sesat pikir yang terjadi

karena menarik dari dua kesimpulan negatif, padahal dari dua premis negatif itu tidak

dapat ditarik.

3. Sesat pikir material. Sesat pikir material adalah sesat pikir yang terjadi bukan karena

bahasa penalarannya yang salah, melainkan isi (materi) penalarannya yang salah.

Ada tujuh macam sesat pikir material, antara lain: (1) argumen terhadap orangnya,

artinya sesat pikir karena argumentasi yang diberikan tidak fokus ke persoalan yang

dibahas, melainkan fokus atau menyerang pada pribadi orang menjadi lawan bicara;

(2) argumentasi untuk mempermalukan, artinya sesat pikir karena argumentasi yang

diberikan tidak fokus ke persoalan yang dibahas, melainkan ditujukan untuk

mempermalukan orang yang menjadi lawan bicara; (3) argumentasi berdasarkan

kewibaaan, artinya argumentasi tentang sesuatu yang disampaikan orang lain

dikaitkan dengan status orang yang bicara, misalnya ‘ide itu bagus karena

disampaikan oleh seorang pemimpn terkenal dan kharismatik’; (4) argumentasi

ancaman, artinya argumentasi ancaman untuk mendesak orang lain menerima

pandangan tertentu, bila tidak menerima akan membahayakan dirinya; (5)

argumentasi belas kasihan, artinya argumentasi itu untuk membangkitkan rasa belas

kasihan pada lawan bicara untuk tujuan tertentu; (6) argumnetasi demi rakyat,

artinya argumentasi yang bertujuan untuk menghasut rakyat, atau berlindung di balik

kepentingan rakyat, padahal sejatinya untuk ambisi pribadi; (7) argumentasi

ketidaktahuan, artinya argumentasi yang mengatakan ‘bahwa sesuatu itu tidak

pernah ada karena saya atau kita tidak mengetahuinya’.

2. Dapatkah hasil pemikiran manusia mencapai kebenaran?

Uraian di atas telah menjelaskan tentang asal usul ilmu pengetahuan atau sumber

pengetahuan dan makna kebenaran atau kesalahan dalam pandangan logika, sedangkan

makna kebenaran (sesuatu dikatakan benar) dalam pandangan filsafat ilmu akan dijelaskan

pada bab berikutnya. Dari uraian di atas tersebut muncul pertanyaan klasik, yaitu, ‘melalui

proses kerja pemikiran, bisakah manusia mencapai hakikat kebenaran dalam hidup ini?.

Berikut ini beberapa konsep penting yang dapat dijadikan sebagai alternatif pemikiran dalam

mencermati atau menjawab tentang pertanyaan tersebut, antara lain:

Pertama, aliran Agnotisisme, yaitu aliran yang memandang bahwa manusia dengan

segala kemampuan nalar atau kemampuan cipta (kualitas intelektual), rasa dan karsanya

(kualitas emosional atau rasa-karsa) tidak mungkin dapat mencapai kebenaran absolut atau

Page 8: Makalah Filsafat Hari

meraih hakikat kebenaran. Ada beberapa alasan pemikiran kelompok atau aliran

agnotisisme antara lain:

1. Manusia dicipta dalam desain atau rancangan penuh keterbatasan diri (keterbatasan

usia, keterbatasan daya ingat, keterbatasan jangkaun penglihatan, keterbatasan

fisik, jiwa atau pikiran, pengalaman, pengetahuan tentang fenomena, dan

sebagainya). Hakikat makna dibalik keterbataan diri itu adalah ‘ketidakmampuan diri’,

dalam mengakses segala fenomena kehidupan yang sangat kompleks atau

ketidakmampuan manusia dalam memahami segala sesuatu dalam hidup ini secara

integral.

2. Kebenaran absolut atau hakikat kebenaran hanya dimiliki atau melekat pada Tuhan,

karena dia adalah ‘Maha Benar’. Dia (Tuhan) Sang Pencipta manusia dan segala

apa yang ada di jagat raya ini. Jadi, apa yang dipikirkan, diperbincangkan, dikaji,

diteliti, dan dilakukan manusia sepanjang hidupnya, semuanya ada pada kekuasan

Tuhan (directionary of God), atau karunia Tuhan. Sumber kebajikan, sumber

kebenaran ada pada Tuhan melalui prinsip-prinsip ajaran agama. Oleh karena itu

ketika manusia ingin memperoleh jalan pikiran yang benar dan langkah tindakan

yang benar, dia harus memahami dan mengikuti rambu-rambu ajaran agama secara

integral.

3. Dalam perspektif ajaran agama-agama samawi (agama langit atau agama yang

mempunyai kitab suci dari Tuhan melalui para Malaikat dan Nabi atau Rasul), ada

hal-hal dalam kehidupan manusia di alam ini yang harus dikaji, dikembangkan

secara maksimal dengan menggunakan instrumen logika dan sciences, yang

meletakkan prinsip-prinsip logika rasional, empirik, ilmiah dan objektif, tetapi ada hal-

hal lain yang tidak bisa dikaji dengan instrumen sciences secara rasional dan

empirik, misalnya: roh manusia, inti jiwa manusia, hidup sesudah mati dan

sejenisnya.

Kedua, aliran Notisisme, yaitu aliran yang memandang bahwa manusia dengan

segala kemampuan menalar atau kemampuan cipta (kualitas intelektual), rasa dan karsanya

(kualitas emosional atau rasa-karsa) dapat mencapai kebenaran. Sedangkan beberapa

alasan pemikiran kelompok atau aliran notisisme antara lain:

1. Meskipun manusia memiliki keterbatasan kemampuan berpikir, keterbatasan

perasaan atau keterbatasan dalam banyak hal, namun manusia dengan segala

kemampuan untuk merancang dengan baik, kemampuan untuk menyimpan dan

mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu, serta kemampuan untuk

memprediksi fenomena yang akan terjadi berdasarkan data-data research ilmiah,

Page 9: Makalah Filsafat Hari

manusia dapat mencapai kebenaran sampai taraf 99 %. Aliran Notisisme mengakui

bahwa kebenaran hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia memang tidak bisa

mencapai 100 %, tetapi dengan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

dicapai manusia atau kecanggihan metode research, akurasi kebenaran bisa

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

2. Aliran Notisisme mengakui kebenaran manusia yang diperoleh melalui penelitian

ilmiah (scientific research) mengandung dua sisi, yatu: (1) dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, sejauh proses analisis datanya

dilakukan secara benar dan sahih (valid) atau sesuai dengan prosedur penelitian

ilmiah; dan (2) nilai kebenarannya berlaku sepanjang belum ada hasil penelitian

berikutnya yang merevisi atau menyempurnakan hasil penelitian terdahulu. Jadi, sifat

kebenarannya adalah bersifat ‘akumulatif’ dan ‘relatif’. Meskipun kebenaran yang

diraih manusia itu bersifat akumulatif dan relatif, bukan berarti dapat dikatakan

bahwa manusia tidak bisa mencapai kebenaran. Jadi, kebenaran tetap bisa diraih

manusia dalam hidup sepanjang belum ada penelitian atau penemuan baru yang

merevisinya.

3. Menurut aliran Notisisme, bahwa dalam memahami, memaknai dan memilih dua

fenomena hidup, tidak mungkin ada dua fenomena (gejala) yang berada dalam

posisi yang ‘sama-sama benar persis’ atau ‘sama-sama salah persis’, pasti ada

salah satu dari dua fenomena tersebut mempunyai kadar tingkat kebenaran atau

tingkat kesalahan yang berbeda, artinya ada yang ‘paling benar diantara yang

benar’, atau ada yang ‘paling salah diantara yang salah’ (Idrus, M., 2007).

Ketiga, paham integratif, yaitu pandangan yang menilai bahwa pada hakikatnya

manusia mempunyai dua unsur pemikiran dan tindakan, yaitu unsur rasional dan irasional.

Aspek rasional mempunyai wilayah untuk memahami hal-hal tertentu yang berkaitan dengan

fenomena kehidupan alam dan kehidupan sosial sehari-hari (realitas empirik), sedangkan

unsur irasional mempunyai wilayah untuk memahami, meyakini sesuatu dibalik realitas

alami dan realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah terdapat kebenaran absolut

(kebenaran Tuhan). Tubuh manusia memang satu, tetapi pada diri manusia ada dua aspek

yaitu material (raga) dan imaterial (jiwa), demikian juga dalam kehidupan dunia ini

mengandung unsur makro dan mikro. Realitas tersebut membuktikan bahwa dalam

memandang hakikat kebenaran seyogyanya manusia berusaha untuk menyatukan antara

kebenaran filsafat dan ilmu (berifat relatif) dan kebenaran spiritual atau agama (bersifat

absolut). Jadi, dalam memahami hakikat kebenaran dalam hidup ini harus mengintegrasikan

kebenaran menurut paham agnotisisme dan notisisme.

Page 10: Makalah Filsafat Hari

Keempat, menurut para ahli, ada dua cara manusia dalam mencari kebenaran, yaitu:

(1) cara atau pendekatan unscientific research (tidak menggunakan pendekatan penelitian

ilmiah), pada umumnya cara atau metode ini meliputi tiga hal, yaitu: (a) secara kebetulan

(pengalaman yang tidak disengaja); (b) secara trial and error (coba dan coba terus tanpa

kepastian untuk mengubah suatu kondisi atau masalah); dan (c) melalui otoritas atau

kewibawaan tokoh; dan (2) cara atau pendekatan scientific research (penelitian ilmiah),

pada umumnya cara atau metode ini meliputi dua hal yaitu: (a) menggunakan cara berpikir

kritis, rasional dan logis. Cara berpikir kritis, rasional dan logis, umunya meliputi dua hal

yaitu: cara berpikir analitis (disebut juga pola berpikir secara deduktif atau logika formal);

dan cara berpikir sintesis (disebut juga pola berpikir secara induktif atau logika material); dan

(b) menggunakan cara penelitian ilmiah (lihat uraian pada bab berikutnya tentang tahap-

tahap penelitian ilmiah) (Soekadijo, R.G. 1983; Giddens, A. 1995; Brannen, J. 2003).

Makna Kriterium

Menurut Hadi, S. (2008), kriterium adalah ‘tanda yang dapat membedakan antara

barang satu dengan barang yang lain’, atau ‘tanda yang dapat membedakan ketentuan yang

sejati dari kepalsuan’. Dalam proses-proses sosial manusia harus mampu membedakan

antara satu barang dengan barang yang lain, karena dengan mampu membedakan antar

sesuatu manusia akan bisa mengklasifikasi sesuatu itu benar atau salah, sesuatu itu

semestinya atau tidak semestinya, sesuatu itu asli atau palsu dan sejenisnya.

Demikian juga dalam persoalan studi ilmu pengetahuan, setiap individu yang tertarik

dalam kajian-kajian science, harus bisa membedakan antara pengetahuan ilmiah dan

pengetahuan tidak ilmiah, antara pengetahuan yang benar dan yang tidak benar, antara

data yang valid (sahih) dan data yang tidak vaid (palsu) dan sejenisnya. Perlu dipahami

bahwa setiap disiplin ilmu pengetahuan mempunyai karakteristik atau ciri khusus dalam

memaknai kriterium (tanda) suatu fenomena kehidupan. Misalnya, kritrium dalam studi

antropologi budaya tentu akan berbeda dengan kriterium dalam studi matematika; kriterium

dalam studi psikhologi tentu tidak sama dengan kriterium dalam studi biologi; kriterium

dalam studi penulisan sejarah (historiografi) tentu berbeda dengan kriterium dalam studi ilmu

kimia; kriterium dalam studi politik akan berbeda dengan kriterium dalam studi kedokteran,

dan sebagainya.

Page 11: Makalah Filsafat Hari

Makna Metode

1. Makna Metode

Metode bagaikan logika. Metode merupakan fundamen atau dasar penalaran

manusia. Akan tetapi metode atau logika saja belum cukup bagi manusia dalam

mengembangkan ilmu, dibutuhkan sarana lainnya, misalnya: bahasa, matematika, statistik.

Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan terdahulu, bahwa dalam studi

filsafat dijumpai beragam metode filsafat. Setiap generasi filosof bercita-cita untuk

merumuskan sebuah metode yang ideal, namun sampai detik ini belum dijumpai suatu

bentuk metode yang paling ideal dalam studi filsafat. Suatu metode dikatakan ideal apabila

memenuhi beberapa syarat, antara lain: (a) mempunyai struktur yang fleksibel dan

memungkinkan untuk pengembangan lebih lanjut; (b) sesuai dengan realitas empirik dan

tidak bertentangan dengan sesuatu yang bersifat abstrak (teoritik); (c) bersifat objektif

namun juga mengandung aspek subjektif; dan (d) bisa diterapkan secara universal

(Poedjawiyatna, 1994; Sumaryono, 1999).

Berdasarkan beragam pengertian tentang metode, berikut penulis dapat

mengemukakan pengertian metode secara sederhana, bahwa metode adalah ‘cara kerja

atau jalan yang harus dilakukan seseorang, melalui langkah-langkah tertentu untuk

mencapai suatu tujuan’. Dengan demikian setiap upaya yang dilakukan oleh seseorang

untuk mencapai suatu tujuan tertentu, melalui tahap-tahap tertentu seharusnya

menggunakan suatu metode tertentu. Setiap ‘metode’ selalu memuat seperangkat aturan

atau tatacara atau prinsip-prinsip atau tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam

kegiatan tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Berikut ini beberapa konsep penting

yang dapat dipahami tentang metode, antara lain:

Pertama, dalam kegiatan penelitian ilmiah. Dalam proses penelitian ilmiah seorang

peneliti wajib menetapkan atau merumuskan metode penelitian. Metode tersebut harus

dipatuhi dengan baik. Rumusan metode penelitian tersebut dijabarkan secara rinci dalam

proposal penelitian. Letak rumusan metode penelitian dalam laporan penelitian adalah ada

pada bagian ketiga atau bab III (Metode Penelitian). Bagian yang harus ada dalam rumusan

metode penelitian minimal memuat tentang: (a) pendekatan atau strategi penelitian; (b) situs

atau lokasi penelitian; (c) populasi dan sampel penelitian atau instrumen penelitian; (d)

penjabaran variabel penelitian; (e) metode pengumpulan data; (e) analisis data penelitian;

dan (f) validitas dan reliabilitas data atau keabsahan data (Sukardi. 2004).

Kedua, dalam kaitannya dengan studi logika material (induktif), metode merupakan

cara kerja menurut prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang berdasarkan objeknya untuk

Page 12: Makalah Filsafat Hari

mencapai kebenaran ilmiah. Jadi, cara (metode) mencari kebenaran terhadap suatu objek,

harus melalui prosedur atau aturan-aturan yang berlaku dalam kajian ilmiah, manusia tidak

bisa bertindak semena-mena dalam menentukan kebenaran tanpa memperhatikan prinsip-

prinsip ilmiah (The Liang Gie, dkk. 1979).

1. Metode Ilmu Pengetahuan

Menurut Soedomo Hadi (2007), ada beragam metode dalam kaitannya dengan

kajian untuk meraih kebenaran, yaitu: Pertama, metode induksi dan deduksi. Metode induksi

adalah suatu cara dalam melakukan kajian untuk meraih kebenaran dari tahap

memperhatikan fakta-fakta (bersifat khusus), contoh-contoh menuju kesimpulan-kesimpulan

yang bersifat umum. Sedangkan metode deduksi adalah cara dalam melakukan kajian untuk

meraih kebenaran yang dimulai dari mengemukakan aksioma atau dalil (bersifat umum)

kemudian mengurai sampai ke hal-hal yang bersifat khusus) atau contoh.

Kedua, metode otoritas dan science. Metode otoritas (kepercayaan) adalah cara

(metode) dalam memperoleh kebenaran tentang sesuatu dengan meyakini apa yang telah

disampaikan, diucapkan oleh seseorang yang dianggap ahli (expert atau specialist) di

bidangnya. Sedangkan metode science (ilmu pengetahuan) dalam memperoleh kebenaran

tentang sesuatu berdasarkan pembuktian secara ilmiah atau melalui proses penelitian

ilmiah.

Ketiga, metode empiris dan rasional. Metode empiris (pengalaman nyata) adalah

cara (metode) dalam memperoleh kebenaran tentang sesuatu melalui proses penyelidikan

terhadap beberapa kejadian alam (pengalaman pasti yang bersifat gelaja alam). Metode ini

umumnya dilakukan dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences). Sedangkan

metode rasional adalah berpangkal pada faktum-faktum dan berjalan dengan logika deduktif

(formal) dan induktif (material) menurut kaidah-kaidah logis-rasional.

Keempat, metode konstruksi dan sistematisasi. Metode konstruksi dan sistematisasi

adalah suatu usaha untuk memudahkan penyusunan sesuatu menjadi sistem-sistem dan

teori-teori.

Berkaitan dengan proses mencari kebenaran ilmu pengetahuan (science), maka

berikut ini ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami tentang objektivitas science

(ilmu pengetahuan) antar lain: (1) kode etik pengetahuan ilmiah, baik dalam studi ilmu-ilmu

pengetahuan alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social

sciences) adalah mencari kebenaran seobjektif mungkin (Myrdal, 1982); dan (2) ciri atau

sifat dari kebenaran objektif adalah: (a) most carefully verified (yang paling dapat dibuktikan

Page 13: Makalah Filsafat Hari

kebenarannya); (b) disinterestedness (tidak memihak) dan unbiased by personal feeling

(bebas dari prasangka dan kecenderungan berat sebelah pribadi); dan (c) value free (bebas

nilai).

Khusus berkaitan dengan prinsip value free dalam proses penelitian ilmiah, menurut

para ahli nampaknya sulit diberlakukan dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social

sciences), hal ini disebabkan: (a) sulit sekali seorang peneliti terbebas dari pandangan-

pandangan para ilmuwan sebelumnya, terutama teori-teori dari para ilmuwan yang dijadikan

sebagai orientasi research-nya; (b) dalam memilih masalah penelitian, merumuskan desain

penelitan, menyusun asumsi penelitian, memilih metode penelitian dan analisis data,

semuanya tidak bisa lepas sama sekali dari unsur motivasi dan minat pribadi peneliti

(sumbektiv); dan (c) seorang peneliti ilmu sosial tidak bisa lepas sama sekali dengan kondisi

pola budaya, sosial dan lingkungan serta politik masyarakat yang dinilai, dan setiap peneliti

cenderung akan sedikit banyak melibatkan subjektivitas dirinya dalam proses penggalian

data di lapangan sekaligus proses analisisnya. Oleh karena itu setiap peneliti sosial harus

secara jujur menjelaskan dalam proses penelitiannya tentang: (a) orientasi filosofis dan

teoritik apa yang dipakai sebagai landasan penelitiannya, disertai dengan argumentasi

secara logis; dan (b) pendekatan, metode dan strategi analisis apa yang dipakai, disertai

dengan argumentasi yang logis (Myrdal, 1982).

Page 14: Makalah Filsafat Hari

BAB IIIKESIMPULAN

Beberapa uraian singkat tersebut di atas, tentang logika material (induktif) penulis

dapat menyimpulkan sebagai berikut: Pertama, bahwa logika material sering disebut

epistemologi, yaitu suatu cabang filsafat yang memandang isi atau materi pengetahuan dan

bagaimana isi atau materi pengetahuan tersebut diperoleh dan bisa

dipertanggungjawabkan. Jadi, secara umum logika material mempelajari tentang: (a)

sumber dan asal usul pengetahuan; (b) alat-alat pengetahuan; (c) proses terjadinya

pengetahuan; (d) kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas (relativitas) pengetahuan; (e)

kebenaran dan kesalahan; (f) makna kriteria; dan (g) teori dan metode mencari ilmu

pengetahuan.

Kedua, manfaat mempelajari logika material antara lain: (a) dapat mengetahui atau

memahami bagaimana prosedur dan teknik atau metode penemuan ilmu pengetahuan

secara benar; (b) dapat mengetahui atau memahami bagaimana hubungan antara filsafat-

teori-pendekatan-metode dalam proses penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan;

dan (c) dapat menjadi evaluasi dan penyempurna dari proses kerja logika formal (deduktif)

dalam mengungkapkan hakikat kebenaran terhadap fenomena kehidupan. Jadi, logika

deduktif dan logika induktif mempunyai hubungan yang sangat erat dalam proses

pengembangan ilmu pengetahuan.

Ketiga, ada beberapa cara yang dapat ditempuh manusia dalam memperoleh

sumber pengetahuan, yaitu: cara tradisi (tenacity); cara otoritas atau kewenangan, cara

pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau kelompok; cara logika deduktif dan

induktif; dan cara cara atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah

atau melalui proses penelitian ilmiah.

Keempat, batasan tentang ‘sesuatu benar’ dan ‘sesuatu salah’ sejatinya dapat dilihat

dari dua sudut pandang, yaitu: (a) ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut sudut pandang

dasar-dasar logika (kebenaran logis); dan (b) ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut sudut

pandang teori-teori kebenaran dalam fllsafat ilmu.

Kelima, makna kriterium adalah ‘tanda yang dapat membedakan antara barang satu

dengan barang yang lain’, atau ‘tanda yang dapat membedakan ketentuan yang sejati dari

kepalsuan’. Perlu dipahami bahwa setiap disiplin ilmu pengetahuan mempunyai karakteristik

atau ciri khusus dalam memaknai kriterium (tanda) suatu fenomena kehidupan.

Keenam, makna metode adalah cara kerja atau jalan yang harus dilakukan

seseorang, melalui langkah-langkah tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Dengan

Page 15: Makalah Filsafat Hari

demikian setiap upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai suatu tujuan tertentu,

melalui tahap-tahap tertentu seharusnya menggunakan suatu metode tertentu. Setiap

‘metode’ selalu memuat seperangkat aturan atau tata cara atau prinsip-prinsip atau tahap-

tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam kegiatan tertentu untuk mencapai suatu

tujuan tertentu.

.

DAFTAR PUSTAKA

Page 16: Makalah Filsafat Hari

Bakri, N., 1995. Logika Praktis. Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu. Liberty. Yogyakarta.

Beerling. 1966. Filsafat Dewasa ini. Penterjemah Hasan Amin. PT. Balai Pustaka. Djakarta.

Beerling, dkk., 2003. Inleiding tot de Weteinschapsleer. Penerjemah, Soemargono.

Pengantar Filsafat Ilmu. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Brannen, J. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam

Varian Kontemporer), PT. Raja Grafindo Persada. Yogyakarta

Copi, I.M. 1978. Introduction to Logic. Th ed. Macmillan. New York.

Giddens, A. 1995. The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration,

Adi Loka (penerjemah). Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial .2003. Pedati. Pasuruan.

Hadi, A. S. 2008. Logika Filsafat Berpikir. LPP dan UPT. Universitas Sebelas Maret.

Surakarta.

Hutabarat, A.B., 1967. Logika. Penerbit. Erlangga. Jakarta.

Idrus, M., 2007. Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif).

UII Press. Yogyakarta.

Isma’il F.F. dan Mutawalli A.H. 1978. Mahadi al Falsafah wa al-Akhlaq. Diterjemahkan

Faqihudin. Cepat Menguasai Ilmu Filsafat. 2005. IRCiSod. Yogyakarta.

Kattsoff, L.O., 1996. Elements of Philosophy. Soemargono, Penerjemah. Pengantar Filsafat.

Tiara Wacana Yogyakarta.

Kerlinger, F.N. 1980. Foundation of Behavioral Research, (third edition) Simatupang LR

(penerjemah), Asas-asas Penelitian Behavioral. 2002. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Maram. R.R., 2007. Pengantar Logika. PT. Grasindo. Jakarta.

Mundiri. 1994. Logika. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Myrdal, G. 1982. Objektivitas Penelitian Sosial. LP3ES. Jakarta.

Oesman, A., 1978. Ilmu Logika. PT. Bina Ilmu. Surabaya.

Page 17: Makalah Filsafat Hari

Poedjawijatna. 1994. Logika (Filsafat Berpikir). Penerbit. Rineka Cipta. Jakarta.

Poespoprodjo, W., 1985. Logika Sientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu. Penerbit CV.

Remadja Karya. Bandung.

Rapar, H.J. 1996. Pengantar Logika. Asas-asas Penalaran Sistematis. Kanisius.

Yogyakarta.

Salam, B., 1997. Logika Material. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Rineka Cipta. Jakarta.

Semiawan, Conny, dkk.,2005. Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu

Sepanjang Zaman. Mizam Publika. Jakarta Selatan.

Soekadijo, R.G. 1983. Logika dasar. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Sudiarja, dkk. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat

Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. PT. Gramedia. Jakarta

Sumarna, C., 2006. Filsafat Ilmu, Dari Hakikat menuju Nilai. Pustaka Bani Quraisy.

Bandung.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Kanisius. Yogyakarta.

Surajiyo, dkk. 2006. Dasar-Dasar Logika. Bumi Aksara. Jakarta

Suriasumantri J. 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan.

Jakarta.

Sztompka, P. 1993. The Sociology of Social Change, Alimandan (penerjemah). Sosiologi

Perubahan Sosial. 2004. Prenada Media. Jakarta.

The Liang Gie, dkk. 1979. Pengantar Logika Modern. Karya Kencana. Yogyakarta.