Upload
dei-gratia
View
932
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS MATA KULIAH FIQIH
MAKALAH dan PRESENTASI
“ NIKAH SIRI ”
Disusun Oleh : Kelompok V
Marsudi
Wahyudi
Wahdaniya
Lailatul Masna
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL IBROHIMY
( STITAL TANJUNGBUMI )
2012
i
DAFTAR ISI
Halaman sampul.................................................................................................................. i
Daftar isi.............................................................................................................................. ii
Kata pengantar.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang....................................................................................................... 1
1.2. Tujuan.................................................................................................................... 1
1.3. Manfaat.................................................................................................................. 2
BAB II LANDASAN TEORI............................................................................................ 3
2.1. Definisi Nikah Siri................................................................................................. 3
2.2. Landasan Hukum Terkait Catatan Pernikahan...................................................... 3
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................................. 5
3.1. Nikah Siri Menurut Hukum Negara...................................................................... 5
3.2. Nikah Siri Menurut Islam...................................................................................... 5
3.3. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil....................................11
3.4. Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan.....................................12
3.5. Bahaya Terselubung Surat Nikah..........................................................................13
BAB IV PENUTUP............................................................................................................14
4.1. Kesimpulan............................................................................................................14
4.2. Saran......................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................15
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya panulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Nikah Siri”. Penulisan makalah ini adalah
merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah “Fiqih” di
STITAL Tanjungbumi.
Dalam makalah ini kami membahas tentang Masalah dalam pernikahan yang berkaitan
dengan Terjadinya pernikahan Siri dan nikah tanpa wali atau saksi, dengan adanya makalah ini
pula diharapkan para mahasiswa dapat mengetahui Terjadinya Permasalahan yang timbul dalam
masalah pernikahan. Dan dalam penulisan makalah ini tim penulis merasa masih banyak
kekurangan – kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki tim penulis, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca, terutama dari Desen Pengampu, sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung
dalam penyusunan makalah ini dan penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang
setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini
bernilai ibadah. Amin Yaa Rabbal Alamin.
Tanjungbumi, 12 October 2012
Tim Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri meningkat seiring berlalunya waktu.
Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan
audio visual) akan nikah siri yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir
orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning /
kondisi terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses
adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun
akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh
masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.
Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi : pemberitaan pernikahan siri yang
dilakukan oleh selebritis) yang melatar belakangi Tim penulis dan tim Pemakalah untuk
memilih topik “Nikah Siri“ dalam permasalahan pernikahan sebagai topik yang diangkat
dalam pembuatan makalah dan presentasi mata kuliah Fiqih. Terlepas dari berbagai
pemberitaan akan “Pernikahan Siri” yang terjadi, masih banyak mahasiswa yang salah
mengartikan nikah siri dan tidak mengerti baik-buruknya jenis pernikahan ini. Hal itu juga
termasuk salah satu faktor yang melatar belakangi diangkatnya topik “Pernikahan Siri yang
dilatar belakangi dengan status kehadiran wali dan kedua saksi” ini kami angkat.
Besar harapan penulis dan tim penyusun agar makalah ini dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya sebagai literatur atau sumber pencarian informasi terkait topik pernikahan
Siri. Maka dari itu, kami tim penyusun berusaha sebaik-baiknya untuk mengumpulkan
berbagai informasi dari berbagai sumber dan narasumber untuk dimasukkan ke dalam
makalah ini agar kelak dapat dijadikan sebagai referensi oleh pihak - pihak yang
membutuhkan.
1.2. Tujuan
Tujuan tim penyusun menulis dan menyusun makalah ini antara lain :
a. Mahasiswa dan masyarakat lainnya (pembaca makalah dan audiens presentasi)
memahami berbagai definisi akan nikah siri baik yang berhubungan dengan wali / saksi
1
b. Mahasiswa dan audiens lain mengerti dan mengetahui landasan hukum terkait nikah siri
baik ditinjau dari sudut pandang Islam dan pembahasan berbagai rancangan undang-
undang
c. Mahasiswa dan audiens lain mengetahui dampak positif dan dampak negatif dari nikah
siri
d. Mahasiswa dan audiens lain dapat mengeluarkan berbagai pendapatnya terkait nikah
siri dan berdiskusi satu sama lain
e. Memenuhi salah satu syarat atau tugas Kuliah Fiqih
1.3. Manfaat
a. Dengan penjelasan yang detail dan berbagai kajian akan negatif - positifnya nikah siri
atau yang identik dengan nikah tanpa wali atau saksi audiens akan dapat mengerti
bahwa nikah siri lebih banyak menimbulkan hal negatif dan pada akhirnya dapat
dijadikan pencegahan akan terjadinya nikah siri
b. Membantu berbagai kalangan untuk menyamakan pikiran akan tidak baiknya
pernikahan siri terutama untuk latar belakang non - kekurangan biaya
c. Membantu mensosialisasikan apa sebenarnya nikah siri itu dan tindakan apa yang dapat
kita lakukan untuk mengurangi angka terjadinya nikah siri
d. Menambah angka audiens atau masyarakat yang memahami berbagai fakta, pro dan
kontra terkait pernikahan siri dan hukum-hukum yang terkait nikah siri
2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan :
Pertama: Pernikahan tanpa wali, atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali
sebenarnya lalu menikah dengan wali yang tidak jelas (asal copot), jadi sama saja tidak
memakai wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri), penyebab umum
yang terjadi dikalangan masyarakat dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau
karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan
nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat
Kedua: Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias
tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain
sebagainya.
Ketiga: pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu;
misalnya karena takut mendapatkan stigma / noda negatif dari masyarakat yang terlanjur
menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang
memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
2.2. Landasan Terkait Catatan Pernikahan
Pertama: pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil
adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang
dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil,
tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai
alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan
3
dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh
anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Kedua : pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan
pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan
orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan
resmi negara.
Ketiga : dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan
sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara
(dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk
menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum
ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas,
pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya.
Keempat : jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam
ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada
pelakunya.
Kelima : pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan
pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah,
walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah
muakkadah).
4
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Nikah Siri Menurut Hukum Negara
RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama
Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang
biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah
masyarakat.
Pasal 143 Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap
orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat
nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga
tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga
menyinggung kawin mut’ah atau kawin kontrak.
Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mut’ah dihukum penjara
selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur
soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3
menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan
kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
3.2. Nikah Siri Menurut Islam
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah
melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada
sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
5
�ى� ائ �س� الن �اد� ع�ب �ن� ب �ن� ي �ح�س� ال �ن� ب ح�م�د�� أ �ا �ن ح�د�ث �ر� �ك ب �ى ب
� أ �ن� ب م�ح�م�د� �ن� ب ح�م�د�� أ �ذ�ر �و �ب أ �ا �ن ح�د�ث
ة� �ش� ع�ائ ع�ن� �يه� ب� أ ع�ن� و�ة� ع�ر� �ن� ب � ام ه�ش� ع�ن� �ى ب
� أ �ا �ن ح�د�ث �ان� ن س� �ن� ب �ز�يد� ي �ن� ب م�ح�م�د� �ا �ن ح�د�ث
» ع�د�ل� » اه�د�ى� و�ش� ��ى �و�ل ب � �ال إ �اح� �ك ن � ال �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� ق�ال� ق�ال�ت�
“Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin
Husain bin ’Abbad al-Naaiy dari Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari
Hisham bin ’Urwah dari ayahnya dari ’Aishah : ’Aishah berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda “ Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil”.
Berdasarkan Dalalah al-iqtidla’, kata ”Laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak
sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna
semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra,
bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
: : ه�ا �اح� �ك ف�ن ;ه�ا �ي و�ل �ذ�ن� إ �ر� �غ�ي ب �ح�ت� �ك ن �ة� أ ام�ر� �م�ا ي� أ الله� و�ل� س� ر� ق�ال� ق�ال�ت� ة� �ش� ع�ائ ع�ن�
�ه� ل �ي� و�ل � ال م�ن� �ي� و�ل ل�ط�ان� ف�الس� و�ا �ج�ر� ت اش� �ن� ف�إ Bاط�ل� ب Bاط�ل� ب Bاط�ل� ب
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda, “Seorang
wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil.
Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak
memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan
Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
�ت�ى ال �ة� �ي ان و�الز� ه�ا �ف�س� ن �ة� أ �م�ر� ال و;ج� �ز� ت � و�ال �ة� أ �م�ر� ال ة�� أ �م�ر� ال و;ج� �ز� ت � ال ق�ال� ة� �ر� ي ه�ر� �ى ب
� أ ع�ن�
;ه�ا �ي و�ل �ذ�ن� إ �ر� �غ�ي ب ه�ا �ف�س� ن �ك�ح� �ن ت
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa
pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya
sendiri.” (HR Ibn Majah dan HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir)
6
Imam Al Baghawi berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah
mereka mengamalkan kandungan hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal
ini merupakan pendapat Umar, ‘Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu
Hurairah, ‘Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri,
Syuraih, Ibrahim An Nakha’I, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula
pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, SufyanAtsTsauri, Al Auza’i, Abdullah bin
Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq” (SyarhSunnah, 9: 40-41).
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak
mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar
sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus
pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk
dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim
boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku
pernikahan tanpa wali.
1. Makna hadits
Secara literal, redaksi hadits yang berbunyi ع�د�ل� د�ى� اه� و�ش� ل�ى ب�و� إ�ال� ن�ك�اح� ال�
menunjukkan arti bahwa tidak ada pernikahan tanpa adanya wali dan dua saksi yang
adil. Namun terkait dengan susunan lafadh yang nantinya berimplikasi pada konteks
hukum, terdapat perbedaan di antara ulama.
Bentuk kata ن�ك�اح� mendapat interpretasi beragam dari ulama. Ada yang menyebut ال�
bahwa nafy tersebut hanya menunjukkan arti ketidak sempurnaan. Dengan demikian,
hadits di atas dapat diartikan ” Tidak sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi
yang adil”. Dalam konteks hukum, tidak sempurna berarti wali dan atau aksi bukan
merupakan syarat sah, sehingga pernikahan yang tidak dihadiri wali dan atau saksi
dihukumi sah. Dengan kata lain, wali dan atau saksi hanya sebatas disunnahkan.
Ada juga ulama yang menginterpretasikan nafy pada sah dan tidaknya perbuatan.
Dengan demikian, ن�ك�اح� berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila ال�
nafy diinterpretasikan sebagai hakikat syari’at, maka pernikahan yang dilaksanakan
tanpa wali dan ataupun saksi adalah tidak sah.
7
2. Pendapat Ulama Tentang Wali dan Saksi Nikah
Sehubungan dengan masih beragamnya interpretasi tentang hadits diatas, ulama juga
masih berbeda pendapat terkait hukum pernikahan tanpa adanya wali dan ataupun saksi.
Mengingat bahwa keterangan wali dan saksi serta hukum keberadaan wali dan saksi
dalam pernikahan dalam beberapa kitab dipisahkan, maka demi menghindari kerancuan
pembahasan hukum keberadaan wali dan saksi dalam makalah ini juga akan dipisahkan.
1) Wali Nikah
Berdasarkan hadits utama di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa wali
merupakan syarat sah dalam suatu pernikahan. Pendapat ini berdasarkan firman
Allah :
و�اج�ه�ن� ز�� أ �ك�ح�ن� �ن ي �ن� أ �وه�ن� �ع�ض�ل ت . ف�ال
(janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya)
Imam al-Shafi’i menyatakan bahwa ayat di atas merupakan petunjuk yang sangat
jelas terkait wali dalam pernikahan. Selain itu, keberadaan wali sebagai syarat sah
pernikahan juga telah dijelaskan dalam beberapa hadits, misalnya hadits yang
ditakhrij Abu Daud yang berbunyi ل�ي ب�و� إ�ال� ن�ك�اح� ,ال� al-Tirmidzi: �ة� أ ر� ام� ا �ي�م� أ
ب�اط�ل! ا ه� ن�ك�اح% ف� ا ل�ي(ه� و� إ�ذ�ن� ب�غ�ي�ر� ت� :al-Daruqutni ,ن�ك�ح� ب�ع�ة� ر�أ� م�ن� الن(ك�اح� ف�ى ب%د� ال�
ل�ى( ا dan juga Ibnu Majah ال�و� ه� س� ن�ف� أ�ة% ر� ال�م� و(ج% ت%ز� Dengan berdasar dalil-dalil .و�ال�
tersebut, maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya wali diangap tidak sah.
Lebih jauh lagi, hubungan badan yang dilakukan oleh wanita yang menikah tanpa
wali dianggap merupakan perbuatan zina.
Adapun esensi wali menurut ulama yang berpendapat wali sebagai syarat sah adalah
kehadirannya dalam prosesi akad nikah. Hal ini berarti apabila ada seorang wanita
menikahkan dirinya sendiri dan wali sudah memberi izin, namun ia tidak ada dan
tidak mewakilkannya, maka pernikahan tetap diangap tidak sah. Tidak sahnya
8
pernikahan tersebut tak lain adalah tidak terpenuhinya salah satu syarat sah nikah,
yakni wali.
Kemudian apabila ada seorang wanita yang hendak menikah namun tidak ada wali,
maka yang berhak menjadi wali adalah Sultan (pihak yang berwenang). Dalam
konteks pernikahan di indonesia, wewenang menikahkan wanita yang tidak ada
walinya ialah hakim atau petugas KUA.
Pendapat berbeda disampaikan oleh imam Abu Hanifah dan Abu yusuf yang
menyatakan bahwa wali bukan merupakan syarat sah pernikahan.Wali menurut
pendapat kedua ini hanya merupakan sesuatu yang disunahkan. Dengan demikian,
wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri ataupun anak perempuannya.
Pendapat ini berpegangan pada dalil yang sama namun dengan interpretasi berbeda,
yakni bahwa bentuk pada ن�ك�اح� ,adalah ketiadaan dari kesempurnaan. Selain itu ال�
kewenangan wanita untuk menikahkan dirinya tanpa wali juga dapat dipahami dari
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn ’Abbas berikut:
�ه�ا �وت ك س� �ه�ا �ذ�ن و�إ م�ر�� �أ ت �س� ت �ر� �ك �ب و�ال ;ه�ا �ي و�ل م�ن� ه�ا �ف�س� �ن ب �ح�ق� أ ;ب� �ي الث
Dalam hadits lain di sebutkan :
: " , س�ول� ر� �ا ي �وا ق�ال �ذ�ن� �أ ت �س� ت �ى ح�ت �ر� �ك �ب �ل ا �ح� �ك �ن ت و�ال� م�ر�� �أ ت �س� ت �ى ح�ت ;م� �ي �أل� ا �ح� �ك �ن ت ال�
�لل�ه� �ت� , ? : " ا ك �س� ت �ن� أ ق�ال� �ه�ا �ذ�ن إ �ف� �ي و�ك
Artinya : "Tidaklah janda dinikahkan kecuali perintah darinya, dan tidaklah
perawan dinikahkan kecuali mendapat ijin darinya. Mereka berkata : wahai
Rosulullah, bagaimana ijinnya (perawan) ? beliau menjawab : "(ijinnya) ketika
diam." (HR Bukhoridan Muslim)
Adapun dari al-Quran, ayat yang dipergunakan sebagai dasar istimbath hukum
kelompok kedua juga sama dengan kelompok pertama, namun beda dalam
menafsirinya. Abu Hanifah dan Abu yusuf menyandarkan pendapatnya pada ayat-
ayat berikut:
9
ه� �ر� غ�ي و�جWا ز� �ك�ح� �ن ت حتى �ع�د� ب م�ن �ه� ل �ح�ل� ت � ف�ال �ق�ه�ا ط�ل �ن ف�إ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain
و�اج�ه�ن� ز�� أ �ك�ح�ن� �ن ي �ن� أ �وه�ن� �ع�ض�ل ت ف�ال� �ه�ن� ج�ل
� أ �غ�ن� �ل ف�ب اء� ;س� الن �م� �ق�ت ط�ل �ذ�ا و�إ
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka (janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya)
بالمعروف ه�ن� �نف�س� أ ف�ى �ن� ف�ع�ل ف�يم�ا �م� �ك �ي ع�ل �اح� ج�ن � ف�ال �ه�ن� ل ج�� أ �غ�ن� �ل ب �ذ�ا ف�إ
Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut
Lafadh nikah pada dua ayat pertama menurut Abu Hanifah disandarkan pada wanita
dan khitabnya menunjuk pada azwaj, bukan wali. Sedangkan berdasarkan ayat
ketiga, dapat dipahami dengan jelas bahwa suami bagi wanita adalah kewenangan
mutlak mereka.
2) Saksi Nikah
Pada masalah saksi pernikahan, Imam Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi
bukan merupakan keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau asal
pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak. Senada dengan imam Malik,
Abu Thaur dan madzhab Syiah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan
tanpa saksi, sebab pada hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak
memerlukan saksi, kehadiran saksi menjurut pendapat ini hanya sebatas sunnah saja
Pendapat tersebut diambil setidaknya berdasarkan dua hal.
Pertama : analogi terhadap jual beli. Allah dalam al-Qur’an memerintahkan adanya
saksi dalam jual beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan. Oleh
karena itu, apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi
lebih tidak disyaratkan dalam pernikahan.
10
Kedua : adanya hadits yang memerintahkan untuk memberitakan pernikahan.
Hadits tersebut adalah:
�ا �ن ح�د�ث ق�ال� ون� ه�ار� م�ن� �ا �ن أ �ه� م�ع�ت و�س� �ه� الل �د ع�ب ق�ال� وف� م�ع�ر� �ن� ب ون� ه�ار� �ا �ن ح�د�ث
�ن� ب �ه� الل �د� ع�ب �ن� ب ع�ام�ر� ع�ن� و�د� س�� األ� �ن� ب �ه� الل �د� ع�ب �ي �ن ح�د�ث ق�ال� و�ه�ب� �ن� ب �ه� الل �د� ع�ب
�اح� ;ك الن �وا �ن �ع�ل أ ق�ال� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي� �ب الن ن�� أ �يه� ب
� أ ع�ن� �ر� �ي ب الز�
Adanya perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan
esensi dari perintah adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan merupakan
syarat sah nikah, melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui oleh
masyarakat. Apabila tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah terpenuhi, maka
saksi tidak lagi diperlukan.
Berlawanan dengan imam Malik, mayoritas ulama menyatakan bahwa saksi
merupakan syarat sah dalam pernikahan. Dengan demikian, akad pernikahan yang
dilaksanakan tanpa saksi hukumnya adalah tidak sah. Pendapat ini berdasarkan pada
beberapa hadits yang telah secara jelas menyebutkan disyaratkannya saksi dalam
nikah. Di antara hadits-hadits tersebut ialah:
, �ة� ;ن �ي ب �ر� �غ�ي ب ه�ن� �ف�س� �ن أ �ك�ح�ن� �ن ي �ي ت الال� �ا �غ�اي �ب ال ع�د�ل� اه�د�ى� و�ش� ��ى �و�ل ب � �ال إ �اح� �ك ن � � danال ال
�ن� اه�د�ي و�الش� و�ج� و�الز� �ى; �و�ل ال �ع�ة� ب ر�� أ م�ن� �اح� ;ك الن ف�ى �د� . ب
Selain itu, saksi harus hadir ketika akad nikah, dan tidak cukup hanya dengan
diberitakan saja. Menurut mereka, pernikahan merupakan hal yang berbeda dengan
jual beli. Tujuan dari jual beli adalah harta benda, sedangkan tujuan pernikahan
adalah memperoleh kenikmatan dan keturunan. Oleh karena itu, harus dilakukan
dengan hati-hati dengan cara menghadirkan dua saksi.
Adapun terkait dengan persyaratan adanya saksi dalam pernikahan, ulama sepakat
memberikan kriteria bagi orang-orang yang dijadikan saksi sebagai berikut:
(1). Islam, (2). Akil balig, (3). Berakal, (4). Mendengar rangkaian kalimat akad dan
memahaminya. Dengan demikian, anak kecil, orang gila atau mabuk dan non
Muslim tidak dapat diterima persaksiannya.
11
Sehubungan dengan kriteria bagi saksi nikah, status saksi sebagai seorang yang adil
masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa saksi tidak harus orang yang adil. Siapapun
yang berhak menjadi wali nikah, maka ia juga berhak menjadi saksi. Menurut
kriteria ini, pernikahan dengan dua saksi yang fasiq dihukumi sah.
Ulama Shafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa saksi haruslah
orang yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadits د�ي� اه� و�ش� ل�ي ب�و� إ�ال� ن�كا�ح� ال�
.ع�د�ل�
Terlepas dari status adil maupun tidak, madhhab Shafi’i dan Hambali menyatakan
bahwa dua orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian
seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan.
Pendapat ini berdasarkan pada hadits nabi :
” . , , الطالق في وال النكاح في وال الحدود في النساء شهادة يجوز ال أن
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian satu orang laki-laki dan
dua orang perempuan dalam pernikahan diperbolehkan. Pendapat ini berangkat dari
persepsi bahwa saksi pernikahan sama dengan saksi dalam jual beli (harta benda).
Oleh karena perempuan dapat dijadikan saksi dalam masalah harta benda, maka ia
juga dapat menjadi saksi pernikahan1
3.3. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat
namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang
harus dikaji secara berbeda; yakni
1. Hukum pernikahannya
2. Hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya
tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi
hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi
1 Kitabul Fiqh ‘Alaa Madzahibul Arba’ah Ta’lif Abdurrohman bin Muhammad ‘uwadl Al jazary, Bab. Saksi Hal. 29
12
di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram”
dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan
kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan
kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah
melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di
akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang
yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau
makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;
1) Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya;
2) Mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain
sebagainya;
3) Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas,
perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh
negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga
pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya
berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah
memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt.
3.4. Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan
1. Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat;
2. Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-
persoalan yang menyangkut kedua mempelai;
3. Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan
yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat
13
terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika
dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka
dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi
pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu,
anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi
mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk
mencegah adanya fitnah.
3.5. Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi
masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi
munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi,
pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan
hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama
sekali.Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak
melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih
memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa
lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan
menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak
lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau
hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika
suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan
agama, sehingga masih memegang surat nikah.
Ketika suami isteri itu merujuk kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah
bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan
berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan
14
perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami
isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan
pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban
mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum
syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-
tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
15
BAB IV
PENUTUP
2.1. Kesimpulan
1. Bahwa penyiaran pernikahan dan adanya surat nikah lebih banyak menimbulkan hal
positif daripada hal negatif
2. Penguasa (dalam hal ini pemerintah) harus mengawasi dengan ketat penggunaan dan
peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru
disalahgunakan
3. Hadith yang ditakhrij oleh al-Daruqutni dari ’Aishah tentang pernikahan tanpa wali dan
saksi adalah hadith dhaif.
4. Selain ulama Hanafiyah, ulama sepakat bahwa wali merupakan syarat sah nikah.
Dengan kata lain, pernikahan tanpa adanya saksi adalah tidak sah. Bagi wanita yang
tidak memiliki wali, maka yang menjadi walinya adalah hakim.
5. Selain imam Malik dan madhhab Shi’ah, mayoritas ulama menyepakati bahwa saksi
juga merupakan syarat yang menentukan dalam sah atau tidaknya pernikahan. Dengan
demikian, tidak sah hukumnya pernikahan tanpa adanya dua orang saksi.
6. Pelaku nikah siri hendaknya tidak dipidanakan karena nikah siri dapat terjadi oleh
berbagai faktor dan secara syariat pernikahan tersebut sah apabila terdapat
a) Wali
b) Dua orang saksi, dan
c) Ijab qabul.
2.2. Saran
Sebaiknya pembahasan mengenai nikah siri tidak hanya dilakukan oleh kalangan tertentu
saja namun akan lebih baik apabila disosialisasikan pada masyarakat baik-buruknya dan
berbagai pro-kontra yang terjadi agar masyarakat dapat terbantu dalam mengambil
keputusan dan mengurangi terjadinya pernikahan siri. Apabila sosialisasi agak sulit dapat
dilakukan dengan terjunnya berbagai pakar yang memahami detail hukum dan seluk-beluk
nikah siri ini untuk berdiskusi langsung dengan masyarakat.
16
DAFTAR PUSTAKA
Artikel “Rancangan Undang-Undang Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan”
Abdurrohman bin Muhammad ‘uwadl Al jazary, Kitabul Fiqh ‘Alaa Madzahibul Arba’ah
Maktabah al-Shamilah, Sunan al-Daruqutni no 3580
Ali, Ibn Umar al-Daruqutni.Sunan al-Daruqutni.Beirut: Dar al-Kitab al-’Alamiyah. 1985
Ali, Muhammad al-Shabuni.Tafsir ayat al-Ahkam. Syiria: Maktabah al-Ghazali, Juz II. 1988
17