20

Click here to load reader

Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

diajukan untuk melengkapi tugas UAS MIH UNDIP 2015

Citation preview

Page 1: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

MAKALAH HUKUM DAN SISTEM

POLITIK

“Legalisasi Politik Dinasti Petahana implikasi dari Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015”

Di susun oleh :

ANANG PURWONO, SH

11010114410023

Magister Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro

2015

Page 2: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

NAMA : ________________________________

NIM : ________________________________

TANDA TANGAN :

________________________________

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Hidayah dan InayahNya, maka makalah telah dapat diselesaikan dengan kapasitas yang penulis miliki. Tanapa pertolonganNya mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun untuk mengetahui seberapa besar landasan aspek nilai yang terkandung di dalam hukum dalam menambah pengetahuan atau berperan di dalam terwujudnya Politik Hukum yang Humanis dari aspek-aspek tertentu, baik dari segi manusianya, Hukum, Politik dll. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini mencoba mengangkat judul mengenai ”Legalisasi Politik Dinasti Petahana implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015”. Orientasi penerbitan makalah ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah Hukum dan Sistem Politik sebagai aspek penilaian Ujian Akhri Semester yang diampu Bapak Hasyim Asy’ari, SH.,Msi.,Ph.D. Makalah ini disusun dengan mematuhi metodologi yang berlaku.

Semarang, 15 Agustus 2015

Penulis

Page | 2

Page 3: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................2

DAFTAR ISI .......................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUANA. Latar Belakang........................................................................................4B. Rumusan Masalah...................................................................................6

BAB III PEMBAHASANA. Implikasi Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015...................................7B. Fenomena Politik Dinasti di Indonesia................................................9

BAB IV PENUTUPKesimpulan........................................................................................................14Saran..................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

Page | 3

Page 4: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangDemokrasi sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dan hierarki

kekuasaan yang terdapat dalam suatu sistem politik negara. Artinya akan terdapat sistem politik nasional yang didalamnya terdapat sistem politik. Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada)1, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 merupakan salah satu sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan daerah yang demokratis. Mengenai akan demokratis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang akhirnya disahkan dan diundangkan tanggal 18 Maret 2015 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57. Dijelaskan dalam undang-undang ini bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Wujud dari Demokratis tersebut mencoba diwujudkan melalui Pemilihan Kepala Daerah serentak yang akan diselenggarakan pada Desember mendatang. Masih menyisakan permasalahan akan wujud demokratis tersebut, dimana KPU mengeluarkan Surat Edaran Nomor 302/VI/KPU/2015 yang berisi penjabaran Peraturan PKPU Nomor 9 Tahun 2015, disebutkan bahwa seorang kepala daerah yang mundur dari jabatannya tak lagi disebut petahana. Tentunya ini menjadi polemik karena dapat membuka ruang politik dinasti di beberapa daerah.

Menyoal Petahana terkait syarat pencalonan pemilihan kepala daerah, yang mengatur secara ketat bahwa keluarga kepala daerah petahana (incumbent), dilarang untuk ikut mencalonkan diri di provinsi yang sama. Hal tersebut diatur pada Pasal 4 (1) huruf q yang bunyinya : tidak memiliki konflik kepentingan dengan Petahana. Aturan tersebut akan diberlakukan untuk pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Petahan disini seperti yang termaktubkan di dalam Undang-undang nomor 8 tahun 2015 yang kemudia disebut UU Pilkada adalah orang yang sedang duduk di jabatan/incumben, sedangakan menurut Rancangan PKPU, petahana diartikan pejabat yang sedang duduk di jabatan dan atau yang sudah selesai. Dikatitakn dengan hal tersebut setidaknya sudah ada empat kepala daerah yang mengundurkan diri. Mereka adalah Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya, Bupati Kutai Timur Isran Noor, dan Wakil Wali Kota Sibolga Marudut Situmorang. Indikasi pengunduran diri tersebut ditenggarai alasan melapangkan jalan keluarga untuk maju dalam pilkada mendatang. Sebab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menyebutkan bahwa calon kepala/wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Kritik dari Wapres Jusuf Kalla (JK) menanggapi hal tersebut, tindakan lari dari bertanggung jawab dalam hal ini maksudnya mengundurkan diri dari posisi jabatannya sebagai kepala daerah itu harus dicegah oleh pemerintah dengan tidak asal mengabulkan permohonan mundur. JK menyayangkan aksi beberapa kepala daerah yang mengundurkan

1 Istilah Pemilukada mulai digunakan sejak kewenangan memutus sengketa perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah dialihkan dari Mahkamah Agung menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan istilah yang digunakan sebelum ada peralihan tersebut adalah Pemilukada

Page | 4

Page 5: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

diri sebelum masa jabatannya selesai. Mantan ketua umum Partai Golkar itu mengendus motif tersembunyi di balik keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa alasan para kepala daerah itu bisa juga menyiasati aturan dua kali masa jabatan. Menurut beliau, masih ada yang berpikir bahwa kepala daerah yang mengundurkan diri dua bulan sebelum masa jabatannya berakhir tidak dianggap menjalani dua kali masa jabatan. Dengan begitu, mereka bisa mencalonkan lagi pada pilkada berikutnya. ’’Padahal, kalau sudah menjabat lebih dari setengah masa jabatan (2,5 tahun) itu sudah dihitung satu kali masa jabatan.2

Mengenai terbitnya Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum Nomor 302/KPU/VI/2015 yang berisi penjelasan beberapa aturan di dalam Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan kian menjadi polemik. Surat edaran yang menjabarkan definisi "petahana" menurut KPU tersebut justru menimbulkan perdebatan mengenai definisi petahana itu sendiri. Menurut KPU, tidak ada makna petahana yang dijabarkan secara kaku untuk mendefinisikan maknanya. Kata "petahana" memang belum terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebab kata ini memang berasal dari "tahana" yang bermakna "kedudukan, martabat (kebesaran, kemuliaan, dan sebagainya)". Dalam kata kerja, maka muncul kata "bertahana" yang memiliki arti "bersemayam; duduk". Di dalam Pasal 7 huruf r UU Pilkada disebutkan bahwa setiap pasangan calon kepala daerah yang ingin maju saat pilkada tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Adapun Pasal 7 huruf r UU Pilkada berbunyi: "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana." Maksud ketentuan pasal tersebut, tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan. Surat edaran yang diterbitkan KPU tersebut hanya menjabarkan apa yang terdapat di dalam Peraturan KPU tentang Pencalonan. Sebab, di dalam Peraturan KPU yang sebelumnya telah disepakati antara pemerintah dan DPR itu tidak dijabarkan secara rinci arti petahana. Pasal 1 ayat 19 PKPU itu menyatakan, petahana adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota yang sedang menjabat.3 Mengenai konflik kepentingan keluarga petahana dalam UU Pilkada dipermsalahkan karena dikhawatirkan dapat membentuk dinasti politik

Lantas muncul pertanyaan, berkaitan dengan Hak Inkonstitusional sebagai wujud Demokrasikah hal tersebut ? MK dalam hal ini berusaha menjawab persoalan tersebut melalui putusannya, yaitu Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 dengan menyatakan Pasal 7 huruf r UU Pilkada beserta penjelasannya inkonstitusional. Putusan tersebut bermula dari permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan oleh seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan. Mahkamah Konstitusi menilai aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi. Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara. Hakim menilai, Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang, di mana pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana. Dengan demikian, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 j ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. 4

2 “Wapres kritik modus petahana lepas jabatan”, Jawa Pos 26 Juni 201, diakses pada 19 Juli 2015 3 “Rumitnya Mendefinisikan Arti Petahana, Mahkamah Konstitusi 29 Juni 2015, diakses pada 19 Juli 2015

Page | 5

Page 6: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang ada dan untuk mengetahui gambaran yang lebih

jelas, maka penulis mencoba mengidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Implikasi Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 sehingga bisa dikatakan membuka peluang politik dinasti ?

2. Bagaimana fenomena politik dinasti di indonesia kaitannya dengan Hukum dan Sistem Politik ?

BAB IIIPEMBAHASAN

4“MK.Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Melanggar Konstitusi”, Kompas 8 Juli 2015 diakse pada 19 Juli 2015

Page | 6

Page 7: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

1. Implikasi Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf r UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945 karena melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta kebebasan setiap orang dari tindakan diskiminatif. Ini didasarkan pada UUD NRI 1945 yang menjamin hak konstitusional bagi seluruh warga negara atas hak untuk dipilih. Atas dasar pertimbangan itu, maka materi muatan dalam Pasal 7 huruf r UU Pilkada jelas bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karena itu batal demi hukum.5

Putusan MK berdampak pada UU Pilkada dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/ atau Walikota dan Wakil Walikota (PKPU No. 9 Tahun 2015) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2015 (PKPU No. 12 Tahun 2015). PKPU No. 12 Tahun 2015 mengubah beberapa norma dalam PKPU No. 9 Tahun 2015, antara lain menghapus ketentuan mengenai persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana untuk calon kepala daerah, yang tidak berlaku apabila telah melewati jeda satu kali masa jabatan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf q, Pasal 4 ayat (11), Pasal 4 ayat (12), dan Pasal 4 ayat (13) PKPU No. 9 Tahun 2015.

Putusan MK juga menjadi salah satu fundamen untuk mengukuhkan demokrasi dan politik hukum di negara ini. Namun, putusan MK ini dapat menghambat upaya memajukan demokrasi dan pembangunan budaya antikorupsi.6 Oleh karena itu, menurut J. Kristiadi, program legislasi nasional (Prolegnas) harus mempunyai kebijakan hukum perundang-undangan untuk mewujudkan tujuan tertentu dengan hubungan saling terintegrasi antar undang- undang dalam suatu sistem yang komprehensif. Pendapat ini berhubungan dengan DPR selaku lembaga pemegang kekuasaan legislatif. Dalam kaitan ini, perangkat peraturan perundang-undangan terkait dengan Pemerintah Daerah, Pilkada, dan Penyelenggara Negara harus secara komprehensif mengatur dan menjamin, serta diimplementasikan dengan baik agar politik dinasti tidak berdampak negatif bagi rakyat dan bangsa Indonesia.7

Terkait dengan legalisasi politik dinasti oleh MK, DPR mempunyai politik hukum untuk memperbaiki sistem pemilihan umum bagi pemegang kekuasaan di daerah, berupa UU Pilkada sebagai political will untuk penyelenggaraan pilkada. UU Pilkada merupakan produk legislasi yang responsif dan progresif, dengan didasarkan pada UUD NRI 1945 selaku groundnorm. Oleh karena itu DPR perlu menyempurnakan UU Pilkada secara komprehensif, bersinergi, terintegrasi, dan harmonis dengan undang-undang lain. Dengan politik hukum tersebut, pembuat undang-undang dapat membuat ketentuan yang mengatur jaminan pelaksanaan pilkada secara transparan dan akuntabel sehingga pelaksanaan pilkada di Indonesia terhindar dari praktik politik dinasti dalam rangka penyelenggaraan negara untuk mewujudkan good governance.8

Dinasti Politik bukan istilah hukum, tetapi dalam ilmu politik sangat lasim disebut demikian, terutama ketika berbicara epistemology yang mengantar kajian kesejarahan yang luas dan dalam, menelusuri jejak-jejak dimana suatu kekuasaan berasal, dan melihat sejauhmana kekuasaan itu berlangsung dan apa prestasi yang telah dicapai. Politik dinasti yang sedang di bahas saat ini sekurang-kurangnya sudah berlangsung sejak 2013, ketika

5 Shantika Dewi Kartika, “Putusan MK melegalkan Politik Dinasti dalam UU Pilkada”, Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis Vol. VII, No. 14/II/P3DI/Juli/20156“Putusan MK Terkait Petahana Jadi Koreksi UU Pilkada, Republika 8 Juli 2015, diakses pada 20 Juli 2015. 7 J. Kristiadi, “Dinasti Politik, Sebab atau Akibat?,” Kompas, 21 Juli 2015, diakses tanggal 20 Juli 2015.8 Op. Cit, Putusan MK Terkait Petahana Jadi Koreksi UU Pilkada

Page | 7

Page 8: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

banyak diantara gubernur dan bupati melakukan penyalahgunaan kewenangan misalnya mantan gubernur Banten yang saat ini sudah menjalani hukuman.9 Apa yang dilakukan oleh keluarga Atut di Banten kemudian memunculkan gagasan lahirnya politik pembendungan dinasti. Itu sebabnya sejak 2013 pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membuat Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang membatasi politik dinasti bagi keluarga kepala daerah incumbent, RUU itu kemudian menjadi UU nomor 1 /2015 yang diubah dengan UU nomor 8/2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota (UU Pilkada).

Ketentuan Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tidak mendiskriminasikan hak politik tiap orang dalam pilkada, termasuk kerabat dekat petahana. Pada penjelasannya, pasal itu masih memberi ruang bagi kerabat petahana untuk mencalonkan diri dalam pilkada. Hanya diatur waktunya, yakni periode setelah jabatan petahana berakhir. Secara filosofis dan sosilologis pasal itu pun tidak bertentangan dengan semangat Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945. Pasal 28 menyatakan, ’’Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, tiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan UU dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 sesungguhnya mengandung makna pilihan kebijakan hukum terbuka yang menjadi ranah pembuat UU (pemerintah dan DPR) untuk memilih: membatasi atau tidak berkait pengaturan suatu kebijakan hukum publik. Dalam konteks ini, pembuat UU memilih mengatur pembatasan hak politik kerabat petahana dalam pilkada, yakni setelah jeda satu periode. Artinya secara filosofis pembuat UU tidak melakukan kesalahan. Hal itu sepanjang pengaturan pembatasan pencalonan petahana dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan yang adil. Sejauh ini secara sosiologis aspirasi publik menghendaki pencegahan politik dinasti dengan cara pengaturan periode pencalonannya lewat revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otda jo UU Nomor 12 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yaitu melalui Pasal 7 Ayat (1) huruf r. Aspirasi publik yang menghendaki larangan politik dinasti dalam pilkada juga tidak bersifat politis yang mendiskriminisasikan hak politik kerabat petahana. Hal itu berangkat dari realitas empiris bahwa politik dinasti melahirkan budaya KKN. Ada kecenderungan petahana menyalahgunakan kekuasaan politiknya, berupa penggunaan fasilitas negara, dana APBD, dan aparatus birokrasi untuk menyokong kerabatnya dalam pilkada.

Kerabat yang mencalonkan diri berisiko memanfaatkan jejaring sosial politik petahana guna meraup suara dalam pilkada, dengan menumpang popularitas dan modal sosial petahana. Jelaslah politik dinasti membuat kompetisi pilkada tak adil dan diskriminatif karena mengistimewakan kerabat petahana. Lebih dari itu, politik dinasti telah membunuh demokrasi. Sesungguhnya politik dinasti sejak lama menjadi sumber kerisauan dan gunjingan karena merupakan parasit demokrasi.10 Melalui politik, dinasti petahana yang rakus kekuasaan akan berjuang mempertahankan kekuasannya dengan memutar di lingkaran keluarganya. Ini cara sangat primitif mempertahankan kekuasan di era demokrasi. Akibat putusan MK, politik dinasti makin langgeng dan meniadakan kehadiran tokoh politik alternatif dalam pilkada mendatang. Sebaliknya bakal lahir raja-raja kecil di daerah yang terpilih dalam pilkada bukan atas dasar kompetensi dan integritas moral, melainkan atas dasar utang budi dengan petahana. Politik dinasti akan menyumbat regenerasi kepemimpinan politik lokal dan nasional, sekaligus lonceng kematian bagi politik yang beradab dan beretika. Apapun yang terjadi, putusan MK telah ditorehkan. Menjadi tak elok bila kita tidak menjalankan putusan itu mengingat ini negara hukum. Rasanya politik dinasti mustahil bisa dibatasi dengan cara apa pun kecuali mengembalikan

9 10 Agus Riewanto, “Pelanggengan Politik Dinasti”, Suara Merdeka 14 Juli 2015, diakes pada 21 Juli 2015

Page | 8

Page 9: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

kepada rakyat supaya jadi pemilih cerdas dan tak mudah silau oleh cara-cara demokrasi primitif. Karena itu, jangan memilih kerabat petahana dalam pilkada serentak pada 9 Desember 2015.

2. Fenomena Politik Dinasti di Indonesia

Dalam rangka penyelenggaraan negara untuk mewujudkan good governance, gerakan sosial baru telah banyak terbentuk untuk menentang upaya-upaya petahana yang dituduh korup untuk bisa terpilih kembali, atau berusaha untuk ‘mewariskan’ jabatannya ke salah satu anggota keluarga apabila terbentur oleh batasan masa jabatan. Salah satu contohnya bisa dilihat pada mereka gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, Bupati Rembang Mochammad Salim, Bupati Lampung Timur Satono, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, dan Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwom yang tercatat sebagai tersangka korupsi, tapi terpilih kembali sebagai kepala daerah. Sayangnya, tidak ada batasan terhadap tersangka kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebelum pengadilan mencapai putusan. Pilihan hukum yang terbatas untuk mendongkel politisi yang diduga menyalahgunakan jabatannya ini ditambah dengan penegakan hukum anti korupsi yang buruk membuat usaha menurunkan seorang petahana yang korup melalui pemilu seringkali dilihat sebagai cara yang sama, atau lebih efektif, daripada membawa mereka ke pengadilan.11

Selain itu, pendanaan penyelenggaran pemilu yang berasal dari anggaran pemerintah daerah melemahkan independensi mereka. Sebaiknya dipertimbangkan untuk menggunakan pendanaan pusat untuk membiayai pemilukada. Sementara itu tidak banyak batasan-batasan hukum terhadap petahana yang bisa mengeksploitasi fasilitas negara dan kelembagaan untuk membantu mereka terpilih kembali. Tingkat kepercayaan dalam proses pemilu daerah yang rendah ini diperburuk dengan maraknya pembelian suara, intimidasi dan mobilisasi kelompok-kelompok suku untuk mendukung kandidat tertentu. Aparat keamanan setiap saat harus menjaga kenetralannya dalam setiap tahapan pemilu.12

Ini tidak terlepas dari buruknya proses rekrutmen politik yang dilakukan parpol dalam pemilu dan khususnya pada pemilukada. Untuk memenangi political offices, selain menyandarkan pada tokoh-tokoh pesohor atau yang memiliki uang besar untuk -poUtik pencitraannya, parpol juga semakin tergiring untuk mendukung kandidat-kandidat. yang diajukan oleh para petahana (incumbent) yang masih memiliki banyak political resources dan otoritas formal atau yang sudah tidak mungkin Iagi maju berkompetisi karena aturan pembatasan masa jabatan. Ikatan kekerabatan dengan para incumbent atau tokoh sentral parpol jelas saja membuat nepotisme dan favoritisme menjadi menonjol. Bahkan ada lagi yang tidak malu-malu untuk mendorong isteri pertama dan isteri muda bertarung dalam pemilukada, seperti yang terjadi di Kabupaten Kediri. Sementara itu, di Kabupaten Pasuruan, Ketua DPRD Pasuruan saat ini adalah anak dad Bupati Pasuruan Hasani. Ini tentu saja akan menyulitkan proses checks and balances yang efektif karena jatuhnya pucuk kekuasaan eksekutif dan legislatif di satu keluarga.

Politik dinasti berada di ranah fungsi parpol dalam kaderisasi dan perekrutan politik. Karena fungsi itu macet, parpol mengambil jalur cepat. Pemegang jabatan politik yang masih kuat pengaruhnya dimanfaatkan dengan perekrutan ulang lewat pencalonan kerabatnya. Dalam hal ini Intinya bukan soal dinasti atau bukan, yang perlu diatur lebih jelas adalah mekanisme perekrutan calon oleh parpol sehingga parpol tidak mengatur sendiri sesuai selera parpol. Menurut Hasyim, undang-undang luput memperjelas ketentuan bahwa perekrutan calon dilakukan secara demokratis dan terbuka. Selama ini,

11 Josie Susilo Hardanto, “Sikap Pragmatis Suburkan Korupsi”, Kompas 8 Oktober 2010, diakses pada 21 Agustus 201512 Indonesia: Mencegah Kekerasan Dalam Pemilu Kepala Daerah Crisis Group Asia Report N°197, 8 Desember 2010, hlm 1

Page | 9

Page 10: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

implementasi klausul itu diserahkan sepenuhnya kepada parpol. Alhasil, ukuran dan mekanisme perekrutan tidak jelas.13 Petahana kepala daerah memiliki peluang yang lebih besar dalam melakukan pelanggaran pemilihan kepala daerah pada bulan Desember tahun ini. Petahana yang mau nyalon lagi, karena masih punya akses pada anggaran, kebijakan, aparat, dan masyarakat yang lebih banyak.14

Politik kekerabatan atau keluarga poIitik memang lazim untuk dijumpai di hampir semua negara. Di Amerika Serikat misalnya, keluarga Kennedy masih dianggap sebagai kekuatan politik berpengaruh atau dihormati, baik di Massachussets maupun di tingkat negara federal. Demikian pula dengan keluarga Tafts dan Daley di Ohio dan Chicago. Saat ini Menlu Amerika, Hillary Clinton adalah istri dad mantan Presiden Bill Clinton. Meski keluarga-keluarga ini masih memiliki pengaruh, prestise, atau kekuatan finansial, prinsip equality of opportunity benar-benar dihormati dan dijalankan sehingga kemunculan tokoh-tokoh dari keluarga politik ini tidak menimbulkan resistensi yang luas di kalangan pemilih yang rasional di Amerika. Selain itu, dengan free and fair competition, kompetisi jabatan publik sulit untuk dimanipulasi dengan politik pencitraan atau mobilisasi pemilih melalui aparatur pemerintahan.15

Di Indonesia ara petahana memang memiliki banyak keunggulan elektoral untuk memenangkan kompetisi poIitik lokal. Selain tentunya sudah dikenal luas, rnereka ini bisa mernpolitisasi birokrasi dengan iming-iming mutasi maupun promosi untuk mendukung kemenangan calon yang dinominasikannya. Mereka dapat juga menggunakan anggaran daerah untuk rnenyukseskan kampanye kandidat yang didukungnya, biasanya dengan memanipulasi penggunaan anggaran sosialisasi komunikasi yang jumlahnya selalu meningkat fantaslis mendekati masa pemilukada. Mereka juga selalu bisa memainkan proyek-proyek pernerintah daerah dan karenanya lebih mudah memobilisasi dukungan finansial dari pengusaha daerah untuk memenangkan calon rnereka. Berikut ini contoh bebarapa poltik dinasti yang pernah di bangun di Indonesia : 16

Presiden Suailo Bambang Yudhoyono- Edie Baskoro Yudhoyono (anak) : Sekretaris

Jenderal PD (2010-2015), anggota DPR (2009-2014), Wakil Ketua Umum KADIN.

- Hartanlo Edhie Wibowo (adik Ani Yudhoyono) : anggota DPR (2009-2014), Ketua Departemen BUMN PD (2010-2015).

- Hadi Utomo (adik ipar): Ketua Umum PD (2005-2010), Anggota Dewan Pembina PD (2010-2015),

- Nurcahyo Anggoro Jati (anak Hadi Utomo): anggota DPR (2009-2014)

- Agus Hermanto (adik Hadi Utomo): anggota DPR (2009-2014).

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri

- Taufiek Kiemas (suami): Ketua MPR (2009-2014), Ketua Majelis Pertimbangan Partai PDlP.

Gubernur Sulawesi Selalan Syahrul Yasin Limpo- Indira Tuta Chunda (anak): anggota DPR

(2009-2014).- Ichsan Yasin Limpo (adik): Bupati Gowa

(2010-2015).- Haris Yasin Limpo (adik): anggola DPRD Kota

Makassar (2004-2009).- Tenri olle (adik): anggota DPRD Sulsel (2009-

2014).- Adnan Purchita (keponakan): anggota DPRD

Sulsel (2009-2014).

Gubemur Kalimantan Tengah Teras Narang

- Atu Narang (kakak): Ketua DPRD Kalteng (2009-2014).

- Aries Narang (keponakan): anggota DPRD Kalteng (2009-2014).

- Asdy Nareng (keponaan): Anggota DPR (2009-2014)

13 Hasyim Asy’ari, “Atur.Mekanisme Perekrutan Calon, Kompas 7 Maret 2013 diakses pada 25 Juli 201514 Hasyim Asy’ari, “Petahana Kepala Daerah berpotensi curang pada pilkada 2015”, sindotrijaya.com 15 Januari 2015, diakses pada 25 Juli 201515Nico Harjanto, Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia16 Sumber : “Dinasti Politik Kian Menguat, “Kompas 12 Januari 2011; Perbaiki Rekrutmen Politik, Republika 7 Februari 2011, “Political Dynasties Must be Neutralized :” KPU, The Jakarta Post, 8 Februari 2011, diakses pada 27 Juli 2015

Page | 10

Page 11: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

- Puan Maharani (anak): anggota DPR (2009-2014), Ketua DPP PDIP.

- Guruh Soekamopulra (adik): anggota DPR (2009-2014).

- Puti Guntur Soekarnoputri (keponakan): anggota DPR (2009-2014).

- Nazarudin Kiemas (adik Taufiek Klemas): anggola DPR (2009-2014).

Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah

- Hikmat Tomet (suami): anggota DPR (2009-2014).

- Andika Hazrumy (anak): anggota DPD (2009-2014),

- Ade Rossi Khaerunisa (menantu): anggota DPRD Kota Serang (2009-2014).

- Ratu Atut Chasanah (adik): anggota DPRD Banten (2010-2015).

- Tb. Khaerul Jaman (adik tiri): Wakil Wall Kola Serang (2008-2013).

- Ratna Komalasari (ibu tin): anggota DPRD Kola Serang (2009-2014).

- Heryani (ibu tiri): Wakil Bupati Pandeglaog (2010-2015) .

- Airin Racluni Diany (adik ipar): Walikota Tangerang Selatan (2011-2016).

M. Amien Rais.

- Mumtaz Rais (anak): anggota DPR (2009-2014).

- Abdul Rozaq Rais (adik): anggota DPR (2009-2014).

Manta Menko Perekonomian Hatta Rajasa

- Hanna Gayatri (kakak): anggota DPR (2009-2014).

- Iskandar (adik): Wakil Bupati Ogan I1ir (2005-2010).

Mantan Ketua Ketua DPR Marzuki Alie

- Asmawali (istri): anggota DPD dari Sumsel (2009-2014).

Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali

- Wardatul Asriah (istri); angggota DPR (2009-2014).

- Menteri Koperasi dan UKM Sjarif Hassan -Ingrid Kansil (istri): aoggota DPR (2009-2014).

Anggota DPR Pupung Suharis (2009-2014)

- Hendy Boedoro (adik): Bupati Kendal (2000-2005,2005-2007)

- Don Murdono (adik): Bupaii Sumedang (2003-2008,2008-2013).

- R Yuwanto (adik): anggota DPRD Kota Semarang (2004-2009).

- Murdoko (adik): anggota DPRD Jateng (2004-2009, 2009-2014).

- Asep Diamonde (keponakan): anggota DPRD Kendal (2004-2009, 2009-2014).

- Widya Kandi Susanti (isteri Hendy Boedoro); Bupati Kendal (2010-2015).

Gubemur Lampung Syachroedin ZP

- Rycko Mendoza (anak): Bupati Lampung Selatan (2010-2015):

Bupati Bantul Sri Suryawidati

- ldham Samawi (suami): Bupati Bantul (2000-2005, 2005-2010)

Bupati Tuban Eka Wiryastuti

- Adhi Wirayatma (bapak): Bupati Tuban (2005-2010).

Bupati Pasuruan Hasani

- Ismail Marzuki (anak): Ketua DPRD Kab. Pasuruan (2010-2014).

Bupati Kediri Hariyanti

- Sutrisno (suami): Bupati Kediri (2000-2005, 2005-2010).

Ketua DPRD Kab. Bengkayang Sebastianus Darwis

- Jacobus Luna (bapak): Bupati Bengkayang (2005-2010).

Bupan Kutai Kertanegara Rita Widyasari Syaukani

- Syukan Hasan Rais (bapak): Bupati Kutai Kertanegara (2005-2009).

Putusan Mahkamah Konstitusi itu berada di ranah hukum, putusan tersebut berimplikasi pada produk politik. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum tunduk dan patuh pada penguasa. Hukum tak lebih dari suatu aturan yang positif dan diberlakukan sesuai kehendak yang dimiliki oleh penguasa tertinggi. Namun di lain sisi hukum dan politik juga

Page | 11

Page 12: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

bisa saling sejalan dan beriringan. Sebuah adagium dari Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan bahwa “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Adagium seperti itu merupakan cara sederhana namun tepat dalam menggambarkan betapa erat kaitannya antara kekuasaan dan hukum.

Maka dari itu, tepatlah jika Bintan Regen Saragih mengibaratkan hukum dan politik sebagai dua sisi dari satu mata uang, dimana sisi yang satu tidak akan lepas dari (pengaruh) sisi yang lainnya. Sedangkan menurut Arbi Sanit, hubungan antara hukum dengan politik memang berjalan dalam dua arah sehingga kedua aspek kehidupan ini saling mempengaruhi (hukum indeterminant politik). Lalu ditambahkan oleh Soeharjo SS bahwa politik dan hukum merupakan pasangan, politik membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan wujud pada politik (hukum determinant politik).17

Hukum sebagai produk politik18, sehingga keadaan politik tetentu akan melahirakan hukum dengan karakter tertentu pula, contoh misalnya keadaan politik yang serba represif maka akan cenderung menindak. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai upaya kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Hukum tidak bisa lepas dari pengaruh politik. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Artinya banyak sekali praktik politik yang secara substansif hal-hal diatas dimaksudkan untuk menegaskan bahwa di dalam kenyataan empiric politik sanagat menentukan bekerjanya hukum. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengakuan hukum disini sangat tergantung pada keadaan politiknya.19

Kalau memandang hukum dari segi das sein (kenyataan) atau para penganut paham empiris melihat secara realistis bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya.20

Dalam teori Talcott Parson, disebutkan bahwa subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah. Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik yang dominan. Semua itu tidak terlepas dari pengarus asumsi politik makin mampu penguasa meyakinkan masyarakat umum bahwa sistem politik yang ada memiliki keabsahan (legitimasi), maka makin mantap kedudukan penguasa dan kelompok yang diuntungkan dalam perjuangan mereka menghadapi golongan yang menghendaki perubahan. Dalam politik tidak ada yang serba gratis, artinya setiap tindakan yang dilakukan selalu ada biaya politik yang harus dibayar, atau selalu mengandung resiko yang mesti ditanggung. Manusia adalah pemegang peran penting dalam proses politik, karena manusia di satu sisi menjadi subyek politik yaitu pihak yang menggunakan lembaga-lembaga politik formal untuk memanipulasi dan mengendalikan masyarakat, sementara di sisi lain manusia juga menjadi obyek politik karena manusialah yang dikendalikan oleh penguasa dan menjadi ancaman atas kekuasaan penguasa.21

17 Lihat http://zakaaditya.blogspot.com/2013/03/hubungan-hukum-dan-politik.html diakses pada 27 Juli 2015.18 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) hlm 419 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Sinar Baru, 1985), hlm 71.20 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998), hlm 8.21 Hasyim Asy’ari, Asumsi Politik.. disampaikan pada perkuliahan Hukum dan Sistem Politik Magister Ilmu Hukum Undip pada 26 Juni 2015

Page | 12

Page 13: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

BAB IVPENUTUP

KesimpulanPutusan MK No. 33/PUUXIII/ 2015 seharusnya bersifat progresif dengan memihak

kepada kepentingan publik, pembangunan hukum, dan masa depan demokratisasi Indonesia. Meskipun Putusan MK ini tidak bersifat progresif dan menyebabkan batal demi hukum atas ketentuan untuk membatasi terbentuknya dinasti politik dari keluarga petahana. Nampaknya perlu dimunculkan kelas menengah yang independen adalah tugas yang segera dituntaskan oleh sistem politik Indonesia. Baik, itu dari segi rekrutmen partai politik, pendidikan politik masyarakat, dan perundang-undangan. Agar dimasa datang, keberadaan dinasti politik dapat dikritisi oleh kelompok yang secara politik memiliki kesadaran yang tinggi, sekaligus dari segi ekonomi mereka tidak mudah dipengaruhi

Hubungan antara politik dan hukum dapat dilihat, baik dari segi das sollen maupun das sein. Politik mempengaruhi hukum melalui konfigurasinya, yaitu di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif atau populistis. Hukum sebagai produk politik , sehingga keadaan politik tetentu akan melahirakan hukum dengan karakter tertentu. Hal tersebut berakibat dominasi politik terhadap hukum semakin menguat. Partai politik yang seharusnya menjadi penjelmaan kehendak rakyat, sekarang

Page | 13

Page 14: Makalah Hukum Dan Sistem Politik Politik (Autosaved)

hanya terkesan menjadi kendaraan untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan. Hal ini akan berakibat serius dan akan menghasilkan hukum yang hanya sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu tanpa memperhatikan kesesuaiannya dengan tujuan negara yang berkeadilan, kepastian dan berdayaguna.

Saran

Politik Dinasti dapat dicegah pengembang biakannya, di mana pencegahan itu dimulai dari kita sebagai masayarakat pemilih untuk menjadi pemilih yang cerdas dan tak mudah silau oleh cara-cara demokrasi primitif.

Page | 14