Upload
gembelboy
View
561
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS KEMAHIRAN BANTUAN
HUKUM (KBH)
TENTANG BANTUAN HUKUM TERHADAP PERS
Disusun oleh:
NAMA : IVO SANTRI LUBIS
NIM : B2A 007 172
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit dari
keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU
No.40 Tahun 1999. berbagai kendala yang membuat pers nasional "terpasung", dilepaskan.
SIUUP (surat izin usaha penerbitan pers) yang berlaku di era Orde baru tidak diperlukan lagi,
siapa pun dan kapan pun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit.
Dan euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun masyarakat
mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud menjungjung asa demokrasi,
sering terjadi "ide-ide" yang permunculannya acap kali melahirkan dampak yang merusak
norma-norma dan etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk
bidang profesi kewartawanan dan pers pada umumnya.
Malah kalangan instansi pemerintahan swasta dan masyarakat ada yang berpandangan sinis
terhadap aktivitas jurnalistik yang dicap tidak lagi menghormati hak-hak narasumber.
Penampilan pers nasional/daerah pun banyak menuai kritik dan dituding oleh masyarakat.
Sementara disisi alin banyak contoh kasus dan kejadian yang menimpa media massa, dan
maraknya initmidasi seta kekerasan terhadap wartawan
Pada tahun 2003-2004, perkara yang menarik perhatian public yaitu menimpa dua mass
media nasional Harian "Kompas" dan grup MBM "Tempo" digugat grup PT Texmaco ke PN
Jakarta Selatan. Kedua perkara tersebut kemudian dicabut ketika proses perkaranya sedang
berjalan dipersidangan. Dalam kasus "Rakyat Merdeka", majelis hakim memutuskan bahwa
pemred Rakyat merdeka dihukum karena terbukti turut membantu penyebaran.
.Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan
kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada pers
nasional. Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui
pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi
seks. Tetapi tentu saja kita tidak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih
banyak media massa yang mencoba tampil dengan elegan dan beretika, daripada yang
menyajikan informasi sampah dan berselera rendah (bad taste). Apakah benar pers nasional saat
ini telah kebablasan? Tinjauan teori.
A.Pengertian Pers
Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers
seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain. Sesungguhnya tidak, jurnalistik menujuk
pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian jurnalistik
pers berarti proses kegaitan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat dan
menyebarkan berita melalui media berkala pers yakni sura kabar, tabloid atau majalah kepada
khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.
B. Sejarah perkembangan pers.
Pada zaman pemerintahan Cayus Julius (100-44 SM) di negara Romawi, dipancangkan
beberapa papan tulis putih di lapangan terbuka di tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang
disebut Forum Romanum itu berisi pengumuman- pengumuman resmi. Menurut isinya, papan
pengumuman ini dapat dibedakan atas dua macam. Pertama Acta Senatus yang memuat laporan-
laporan singkat tentang sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua, Acta Diurna
Populi Romawi yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita- berita
lainnya. Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintah Romawi yang memuat berita-
berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui oleh rakyat.1
C. Sejarah perkembangan pers dunia (Eropa)
Sejarah perkembangan pers di dunia khusunya di eropa tak pernah jauh merupakan
cerminan dari pada zaman Romawi dan ditandai dengan lahir wartawan-wartawan pertama.
Wartawan-wartwan ini terdri atas budaj-budak belian yang leh pemiliknya diberi tugas
mengumpulkan informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan
melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun tulisan.
Surat kabar cetakan pertama baru terbit pada tahun 911 di Cina. Namanya King Pau, Surat
kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan suatu peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo
ini, isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana.
Permasalahan
1.Bagaimana proses pelaksanaan tugas jurnalis di lapangan ?
2.Bagaimana proses penyelesaian perkara dalam Pers ?
BAB II
PEMBAHASAN
BANTUAN HUKUM : ARTI DAN PERANANNYA
Buat negara berkembang, konsepsi dan peranan dari suatu lembaga bantuan hukum pasti
tidak sama dengan konsepsi dan peranan lembaga bantuan hukum di negara maju, tempat
lembaga ini lahir dan dibesarkan. Juga kadar campur tangan dari pemerintah terhadap eksistensi
lembaga ini akan jelas sekali perbedaannya, suatu hal yang erat hubungannya dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat setempat. Kalau ini benar, maka
timbul pertanyaan: sampai sejauh mana sistem kekuasaan di negara berkembang memungkinkan
berkembangnya idea bantuan hukum? Sampai di mana masyarakat setempat membutuhkan
bantuan hukum yang berlaku? Dalam tulisan ini, penulis akan memulai pembahasan dari
pertanyaan yang terakhir sepanjang menyangkut peranan bantuan hukum dan seberapa dapat,
mencoba menyinggung pertanyaan pertama.
Persoalannya memang begitu gawat, menyangkut banyak aspek. Tidak saja dalam proses
peradilan, tetapi justru suatu proses pendidikan hukum (legal education): bagaimana
menumbuhkan suatu kesadaran hukum (legal conciousness) agar masyarakat mengerti akan
hakhak dan kewajibannya dalam pergaulan hukum di masyarakat. Proses pendidikan hukum ini
bisa diartikan sebagai usaha untuk mengintrodusir nilai-nilai baru yang berguna tidak saja secara
hukum, tetapi menyangkut banyak segi lain, lebih-lebih aspek ekonomis, terutama kalau kita
hubungkan dengan kenyataan-kenyataan sosial, bahwa kita memang sedang menuju ke arah
pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan pembagian pendapatan yang merata sesuai dengan
sila keadilan sosial.
Kalau dikatakan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk mencapai kenaikan
Produk Nasional Bruto (GNP) dalam jangka pendek dan seterusnya menuju tercapainya keadilan
sosial sebagai tujuan akhir, maka selama proses pembangunan tersebut berlangsung akan selalu
terjadi akibat-akibat sampingan. Perencanaan kota misalnya, akan menimbulkan
pergeseranpergeseran hak milik atas tanah, yang tidak selalu dapat dihayati ditinjau dari segi
keadilan
maupun menurut pengertian “pembangunan” dalam arti yang luas. Efisiensi, efektivitas dan
penghematan yang dilakukan sebagai usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, akan
selalu dibarengi konflik-konflik, misalnya persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh
“rasionalisasi” perusahaan, “perumahan” para karyawan dan lain sebagainya. Tujuan mengejar
hasil pendapatan yang setinggi-tingginya dengan pengeluaran yang serendah-rendahnya dari
pihak perusahaan tertentu, dapat menimbulkan soal-soal lain dalam kaitannya dengan masalah
masalah hubungan kerja, upah buruh dan jaminan sosial, atas kerugian dipihak mereka yang
terkena tindakan-tindakan tersebut. Paling tidak, kasus-kasus di atas menimbulkan pertanyaan
lain: apakah sebenarnya tujuan pembangunan? Jika akibat-akibat sampingan dari pembangunan
yang menimbulkan konflik dari ketegangan tersebut tidak mendapat saluran pemecahannya,
maka cepat atau lambat akan timbul frustrasi, yang bila memuncak bisa menghancurkan hasil
hasil pembangunan yang telah dicapai.
Dalam hal ini paling tidak untuk sementara tampaknya peranan lembaga bantuan hukum
telah menampung salah satu usaha untuk menekan seminimal mungkin akibat-akibat sampingan
dari usaha yang deras untuk menaikkan pendapatan nasional tadi. Dengan demikian maka
“keadilan” tidak hanya dapat dikecap oleh mereka yang kebetulan mempunyai uang dan
kekuasaan — seperti yang selama ini dikesankan — tetapi juga mereka yang tidak mampu atau
kebetulan tidak punya apa-apa selain sekelumit hak-hak yang adanya justru sering tidak pula
disadari. Bukankah semua orang sama di hadapan hukum dan kekuasaan? Kriteria utama bahwa
hanya orang yang tidak mampu dalam arti materiil saja yang dapat memperoleh “bantuan
hukum” dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sedikit banyak telah membantu, bahkan
mendorong tegaknya prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) tersebut.
Dengan demikian maka dalam usaha yang dilancarkan dewasa ini untuk mencapai
kemakmuran, diharapkan agar segi keadilan juga mendapatkan tempatnya yang terhormat. Usaha
mengejar kemakmuran sambil membelakangi keadilan, pasti akan makin memperlebar jurang
antara si kaya dan si miskin. Usaha lembaga bantuan hukum bisa dilihat sebagai usaha untuk
mensejajarkan keadilan dan kemakmuran dan bergerak maju, berjalan bersama-sama menuju
masyarakat adil dan makmur.Walaupun tampaknya sukar untuk menarik kesimpulan usaha
lembaga bantuan hukum telah berhasil menetralisir akibat-akibat lain dari pembangunan itu,
namun kasus-kasus yang ditangani LBH yang menyangkut perkara-perkara penggusuran di
Jakarta dalam rangka perencanaan kota, rasionalisasi perusahaan atau “pengrumahan” terhadap
sejumlah karyawan oleh perusahaan atau departemen tertentu sedikit-nya bisa disebut sebagai
contoh bantuan hukum dari segi lain itu.
Sejumlah angka dari LBH di Jakarta menunjukkan, bahwa pencari keadilan yang datang ke
lembaga tersebut meningkat, sejak berdirinya lembaga itu pada April 1971.*) Perkembangan
mengenai meningkatnya jumlah pencari keadilan yang datang mengadu selama tahun-tahun
pertama mulai bulan April 1971 sampai dengan Maret 1973 dibandingkan dengan jumlah pencari
keadilan yang diterima pengaduannya.Tidak semua pencari keadilan yang datang ke LBH
Jakarta dapat diterima perkaranya. Hal ini disebabkan kriteria “tidak mampu” dalam arti tidak
mampu membayar biaya advokat, menjadi syarat utama. Keterangan bahwa seseorang tidak
mampu biasanya diperoleh Lurah setempat. Apabila jumlah pencari keadilan tersebut diuraikan
perbulannya.
Sebagai catatan perlu dijelaskan, bahwa pengertian diselesaikan tidaklah selalu berarti
melalui proses perkara di pengadilan, tetapi juga termasuk di dalamnya perkara-perkara yang
dapat diselesaikan melalui pemberian advis atau nasihat dan perdamaian. Hal ini disebabkan
karena masalah, pengaduan ataupun keluhan yang dimintakan bantuannya kepada LBH ternyata
tidak semuanya perlu dan dapat dijadikan perkara, sebab berikut ini:
1. tidaksemua masalah, pengaduan ataupun keluhan yang diajukan merupakan masalah hukum,
2.sekalipun merupakan masalah hukum dan ada dasar hukumnya namun ternyata dapat
diselesaikan melalui advis, perdamaian, ataupun teguran-teguran kepada pihak yang
bersangkutan, baik dengan surat menyurat maupun dengan hubungan langsung.
Adakalanya peranan lembaga bantuan hukum merupakan nama lain dari suatu
Ombudsman. Dewasa ini Ombudsman berarti semacam lembaga resmi dalam pemerintahan yang
merupakan “tangan” dari badan-badan legislatif yang menerima pengaduan-pengaduan mengenai
penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh badan atau pejabat-pejabat eksekutif
pemerintahan. Jika pengaduan yang dimaksud benar, maka Ombudsman membuat rekomendasi
untuk menyelesai-kan pengaduan tersebut. Lembaga ini berasal dari Swedia, tercipta pada tahun
1809, kemudian berkembang di berbagai negeri dalam berbagai bentuk dan variasi, di bawah
sistem hukum yang berbeda-beda.Di negara baru, keterlibatan pemerintah yang terlalu jauh ke
dalam segala sector kehidupan, acapkali menimbulkan ekses-ekses yang membawa kecemasan-
kecemasan baru, sehingga apabila dihubungkan dengan struktur kekuasaan yang ada, maka
pertanyaan “siapa yang memerintah siapa” atau “siapa yang mengontrol siapa” menjadi amat
relevan. Dalam prakteknya, lembaga bantuan hukum tidak saja berurusan dengan soal-soal di
meja hijau pengadilan, tetapi juga tak dapat mengelakkan diri untuk menangani pula masalah
masalah penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang dari badan atau pejabat-pejabat pemerintah
sendiri, bahkan juga oleh yang lazim disebut sebagai “oknum” alat negara. Sebagai contoh,
sering terjadi pejabat menggunakan jabatan resmi dari lembaganya, hanya untuk menyelesaikan
soal-soal pribadi. Sebagian besar anggota masyarakat merasa takut kalau ia diharuskan datang ke
sebuah kantor alat negara polisi atau militer dengan surat panggilan resmi, apalagi tanpa
menyebut dalam perkara apa dan untuk apa ia dipanggil. Pernah terjadi panggilan semacam itu
hanya untuk memaksakan suatu penyelesaian hutang piutang pribadi, yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan badan resmi tersebut. Tidak jarang pula pejabat-pejabat melampaui
wewenangnya dalam menjalankan tindakan-tindakan administratif.
Contoh lain adalah pemecatan-pemecatan yang dilakukan sementara pejabat tanpa
melalui prosedur yang telah ditentukan. Ombudsman, jika ia ada, biasanya bertugas menerima
pengaduan dan membuat rekomendasi untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas. Hal lain
yang menyebabkan berperannya lembaga bantuan hukum sebagai semacam Ombudsman, adalah
karena belum berperannya Hukum Administrasi. Bilamana Hukum Administrasi sudah efektif
dan pengadilan administrasi juga memainkan peranannya, maka kasus-kasus yang menyangkut
salah tindak administrasi yang terkadang amat besar pengaruhnya akan bisa diselesaikan. Untuk
sementara lembaga bantuan hukum menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan
memberikan advis dan nasihat, melakukan teguran kepada yang bersangkutan, mengajukan
“appeal” kepada atasannya, atau membuka masalahnya kepada umum melalui bantuan media
pers, dan jika keempat jalan terdahulu tidak berhasil, LBH mengajukan masalahnya ke depan
pengadilan negeri sebagaimana perkara-perkara lainnya. Meskipun Ketetapan MPR 1973
mencantumkan haluan negara antara lain: “Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan
membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah ke arah Penegakan Hukum, Keadilan
serta Perlindungan terhadap Harkat dan Martabat Manusia, dan Ketertiban serta Kepastian
Hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar ’45" namun faktor-faktor tradisi, sosial ekonomi,
sosial politik, bahkan perundang-undangan yang belum diperinci dapat menghambat
berkembangnya bantuan hukum tersebut.
Adanya hak bantuan hukum seperti yang tercantum dalam pasal 35, 36 dan 37
Undangundang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970, merupakan hal yang
menggembirakan untuk berkembangnya lembaga bantuan hukum. Namun be-lum adanya
peraturan pelaksanaan dari pasal-pasal tersebut menyebabkan berbagai perbedaan mengenai
pertanyaan: sampai sejauh mana bantuan hukum dapat diberikan, terutama sejak pemeriksaan
pendahuluan. Di satu pihak, pihak pemerintah cenderung berpendapat bahwa selama belum
diatur dalam suatu undang-undang tertentu secara terperinci, hak bantuan hukum itu belum dapat
diberikan, kecuali di depan pengadilan. Tetapi pernah ada suatu kebijaksanaan yang diberikan
oleh pejabat pemeriksa tertentu kepada tersangka untuk didampingi oleh penasihat hukumnya
sejak pemeriksaan pendahuluan dilakukan asal saja kehadiran ini tidak mengganggu jalannya
pemeriksaan. Tegasnya, penasihat hukum tidak boleh memberi komentar yang dapat
menyulitkan proses pemeriksaan. Suatu contoh yang tegas mengenai hal ini adalah instruksi
Kepala Polisi RI, Jenderal Polisi Hugeng Imam Santoso, pada tahun 1971.
Sebaliknya, para pengacara menghendaki agar bantuan hukum tersebut dilaksanakan
sekarang juga, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, walaupun undang-undang pelaksanaannya
belum ada. Ekses-ekses yang terjadi selama proses pemeriksaan pendahuluan, memperkuat
tuntutan ini. Hingga dewasa ini, belum adanya undang-undang pelaksanaan dari hak bantuan
hukum tersebut menyebabkan sebagian besar pejabat pemeriksa - polisi atau jaksa – menolak
penasihat hukum untuk mendampingi tersangka selama pemeriksaan pendahuluan.
Pejabatpejabat memang tunduk pada hirarki dan perintah atasan sehingga tidak berani
mengambil kebijaksanaan untuk memberikan hak bantuan hukum tersebut sekalipun belakangan
ini sebagai hasil pertemuan para aparat penegak hukum di Cibogo — telah ada konsensus bahwa
bantuan hukum selama proses pemeriksaan pendahuluan juga dapat diberikan kepada tersangka,
dengan syarat-syarat tertentu. Sementara itu, di pihak lain sementara anggota masyarakat pada
umumnya menerima hal itu sebagai suatu kenyataan dan hanya pasrah kepada keadaan. Pada lain
pihak ternyata bahwa tidak semua orang memanfaatkan bantuan hukum di luar badan-badan
peradilan. Ini banyak terjadi dalam kasus pembelian tanah, terutama di desa-desa, dengan dalih
untuk proyek-proyek pembangunan atau mengatasnamakan pembangunan. Di samping tidak
semua orang tahu bahwa bantuan hukum dapat diperoleh, adakalanya ia memang sadar tetapi
tidak punya cukup keberanian untuk mempergunakan haknya itu, antara lain karena tekanan-
tekanan dari para pejabat-pejabat setempat. Pejabat-pejabat tertentu seringkali pula tidak tahu
atau pura-pura tidak tahu bahwa setiap orang boleh dan berhak mendapatkan bantuan dari
penasihat-penasihat hukumnya.
Ambillah contoh bagaimana mahasiswa-mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada Yogyakarta disambut sinis oleh para pejabat di sebuah pedesaan di daerah Klaten
beberapa waktu yang lalu, hanya karena para mahasiswa tersebut mendampingi beberapa
penduduk desa tersebut yang menuntut ganti rugi yang sepadan dari tanahnya, di mana akan
dibangun sebuah monumen. Dalam keadaan ini lembaga bantuan hukum sukar untuk
mengembangkan kesadaran masyarakat mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai anggota
masya-rakat dalam pergaulan hukum, suatu hal yang menjurus pada masalah pendidikan hukum
dalam arti luas.
Di sinilah pentingnya lembaga bantuan hukum perlu untuk selalu bekerja sama secara
erat dengan pers, mass media. Tidak saja untuk menanamkan dan menyebarluaskan kesadaran
hukum dalam masyarakat, tetapi juga untuk menggugah, mengoreksi dan mengontrol
praktekpraktek perbuatan para pejabat pemerjntah dan aparat penegak hukum secara terbuka.
Sebab bukanlah suatu hal yang kebetulan bahwa dewasa ini posisi pers — sedikitnya di ibu kota
Jakarta secara politis cukup berpengaruh. Sebaliknya di daerah-daerah, selain sikap dari
penguasanya relatif lebih otoriter sementara pers daerah justru lebih lemah posisinya, maka
lembaga bantuan, hukum bukan saja tidak dapat berkembang bahkan tidak bisa didirikan. Faktor
sosial ekonomi dapat pula dikatakan sebagai hambatan berkembangnya idea ini. Pendapatan
yang kecil dari orang-orang yang seharusnya menegakkan hukum hakim, jaksa atau para
pembela bisa menyebabkan peradilan berlangsung hanya sekedar formalitas belaka. Sinisme
terhadap KUHP, (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), dimanifetasikan dalam versi
kepanjangan lain berupa “Kasih Uang Habis Perkara”. Ini masih melekat pada sebagian anggota
masyarakat, di samping rahasia umum mengenai adanya “perkara-perkara kering” dan
“perkaraperkara basah”. Keadaan sosial politik pada waktu dan tempat tertentu, dapat pula
dikatakan menjadi penghambat utama. Dalam praktek, acapkali idea bantuan hukum
dikorbankan demi “ketertiban”, “keamanan” dan “pembangunan”. Banyak orang takut untuk
meminta bantuan hukum, ia akan mendapat cap maut “anti pembangunan”, apalagi kalau cap itu
berupa “sisa-sisa G-30-S atau Gestapu/PKI”.
Selain faktor-faktor tersebut, di lain pihak terasa kekurangan tenaga-tenaga sarjana yang
bergerak di bidang ini, terutama kalau kita membandingkannya dengan luas dan jumlah
penduduk Indonesia. Dengan ibarat lain, distribusi pendapatan per kapita di bidang ekonom
iyang menyolok dewasa ini, turut pula tercermin dalam distribusi keadilan per kapita rakyat
Indonesia yang juga tetap memburuk. Kalau kita boleh mengatakan bahwa ketetapan MPR di
bidang hukum merupakan politik hukum negara kita, maka sebenarnya kita hanya tinggal
menterjemahkan dan menerapkan saja ke dalam kenyataan sehari-hari. Dengan demikian tugas
penguasa dan masyarakat tidak hanya sekedar penerapan undang-undang atau pasal-pasal
hukum, tetapi lebih dari itu, mencakup masalah hukum dalam hubungannya dengan kehidupan
masyarakat luas. Dengan perkataan lain:
suatu pendekatan kepada asas hukum dan pembinaan negara hukum yang demokratis. Dalam
proses pembangunan sekarang ini, setidak-tidaknya “He who has less in riches, should have
more in law”.
BANTUAN HUKUM BAGI JURNALIS
Indonesia menjamin setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum
(equality before the law). Tidak ada perbedaan perlakuan antara si kaya dengan si miskin di
depan hukum. Hal ini ditegaskan dalam konstitusi Negara yang menyebutkan bahwa Indonesia
adalah negara hukum (rechtstaat) dan dijalankan sepenuhnya berdasarkan Undang-Undang.
Pengakuan dan jaminan terhadap asas equality before the law ini tidak saja sebatas pengakuan
politik negara. Akan tetapi lebih mengedepankan tindakan konkrit negara dalam memberikan
jaminan kepada masyarakat dalam mendapatkan akses terhadap keadilan guna terpenuhinya hak-
hak dasar manusia (HAM), bahkan tindakan afirmatif juga harus dilakukan untuk menjamin
terselenggaranya kewajiban negara ini.
Derasnya laju pertumbuhan pembangunan dan politik di Indonesia memunculkan
permasalahan-permasalahan mendasar yang meminggirkan bahkan mengabaikan hak-hak dasar
manusia yang berujung kepada kriminalisasi dan memposisikan rakyat untuk meminta hak atas
keadilan di pengadilan maupun di luar pengadilan.Sebagaimana yang kita ketahui bersama,
pengadilan sebagai benteng terakhir (the last fortless) untuk mendapatkan keadilan tidaklah
berfungsi secara maksimal dan cenderung diskriminatif. Letupan keadilan di pengadilan lebih
memihak kepada si kaya dibandingkan bagi si miskin. Pengadilan yang selayaknya mengayomi
dan memberikan kepastian terciptanya keadilan bagi si miskin, seolah-olah sudah berubah wujud
menjadi wajah yang menakutkan dan tanpa harapan. Hakekatnya, kedudukan yang lemah dan
ketidakmampuan seseorang akan dana tidak boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan
keadilan.
Jurnalis sebagai salah satu korban peminggiran terhadap pemenuhan hak-hak dasarnya
sebagai seorang manusia harus juga diperhatikan bahkan juga harus didahulukan sebagai suatu
hak yang afirmatif.
Rintangan Jurnalis
Jurnalis (elektronik, radio, televisi, cetak, dan online) merupakan salah satu aktor
perubahan dari masa ke masa. Sejarah Indonesia membuktikan bahwa dari zaman perjuangan
kemerdekaan hingga saat ini, pers memainkan peranan penting dalam mengagitasi dan
mempropagandakan eksistensi Negara yang bernama Republik Indonesia. Oleh karena itu,
baginya ditempelkan stempel pahlawan pilar ke-4 demokrasi karena fungsinya yang mengontrol
dan memantau proses konsolidasi demokratisasi yang masih belajar merangkak di Indonesia.
Meskipun sebagai pahlawan pilar ke-4 demokrasi, pers kerap mengalami permasalahan
hukum seperti kekerasan dari narasumber yang tidak ingin dirinya diliput aktivitasnya,
kriminalisasi dari narasumber yang merasa tidak senang dengan pemberitaan yang telah dibuat
oleh media atau jurnalistik dan pengabaian terhadap hak-hak dasar jurnalistik sebagai pekerja
atau sebagai pemilik perusahaan media (pasal 10 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers) ketika
mereka menjalankan fungsi ke kulitintaannya.
Banyak bentuk rintangan bagi jurnalistik, bahkan jumlahnya pun dari tahun ke tahun
semakin bertambah dan kompleks. Berdasarkan data AJI yang disampaikan oleh Ketuanya Nezar
Patria, pada tahun 2009 kekerasan terhadap jurnalis mencapai 40 kasus. Bentuk kekerasan
terhadap jurnalis terdiri dari 21 kasus pemukulan, 19 kasus intimidasi, 9 kasus pelarangan
meliput, 6 kasus tuntutan hukum, 4 kasus penyensoran dan 1 kasus demonstrasi. Sedangkan
untuk tahun 2009, kekerasan terhadap jurnalis terdiri dari 1 kasus pembunuhan, 20 kasus
pemukulan, 4 kasus larangan meliput, 7 kasus tuntutan hukum, 2 kasus penyanderaan, 1 kasus
intimidasi, 2 kasus demonstrasi dan 2 kasus penyensoran.
Jurnalis Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Pada hakikatnya ketika para jurnalis menjalankan fungsinya sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial (pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers)
menghadapi masalah hukum, dirinya berhak mendapat bantuan hukum dari seorang penasehat
hukum yang keseluruhan biayanya harus ditanggung oleh perusahaan pers. Hal ini karena hak
jurnalis sebagai bagian perusahaan pers yang memiliki saham di perusahaan pers tersebut (pasal
10 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers) dan jaminan dalam pasal 8 UU Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers yang mengatur bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat
perlindungan hukum.
Faktanya, saat ini, perusahaan pers masih sangat minim memberikan perhatian kepada
jurnalis yang menghadapi masalah hukum. Sementara, si jurnalis berhadapan dengan masalah
hukum ketika dirinya menjalankan mandat perusahaan pers untuk mendapatkan informasi guna
diberitakan. Seakan, perusahaan mengabaikan kewajibanya dalam memberikan jaminan hukum
bagi seorang jurnalis yang secara mutadis mutandis merupakan pemilik perusahaan pers tersebut
juga sebagaimana yang diatur dalam pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 yang berbunyi, “Dalam
melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum” dan pasal 10 UU Nomor 40
Tahun 1999 yang menyatakan “Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan
dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta
bentuk kesejahteraan lainnya”.
Pengabaian terhadap suatu norma hukum yang bersifat mengatur maka dapat
dikategorikan seseorang atau badan hukum (PT, CV, dan Bentuk Keperdataan lainnya) telah
melakukan perbuatan melawan hukum baik secara pidana maupun secara keperdataan. Untuk hal
ini, seorang jurnalis, baik posisinya sebagai pekerja maupun sebagai pemilik saham, dapat
mengajukan pelaporan terhadap pengurus perusahaan pers yang mengabaikan hak para pemilik
perusahaan. Secara keperdataan, jurnalis juga dapat meminta kepada pemilik saham lainnya
untuk mengadakan rapat umum pemegang saham agar mengevaluasi kinerja Direksi sebagai
pelaksana roda perusahaan.
Bantuan Hukum Bagi Jurnalis Sebagai Suatu Kewajiban
Meskipun telah ada suatu produk hukum setingkat Peraturan Pemerintah nomor 83
Tahun 2008 yang me ngatur tentang tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma
yang mewajibkan kepada Advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, akan
tetapi produk hukum itu tidak dapat berjalan secara maksimal, atau bahkan tidak bertaji untuk
dijalankan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya suatu dampak positif bagi seorang Advokat
untuk menjalankan kewajiban dalam peraturan ini. Bahkan, Peraturan pemerintah ini mendapat
perlawanan dari sejumlah advokat. Para advokat menganggap bahwa Peraturan Pemerintah ini
melempar tanggung jawab negara dalam kewajiban pemberian bantuan hukum kepada para
Advokat. Sementara, penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga Negara
merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi pengakuan atas jaminan
hak asasi warga Negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan dan kesamaan di depan hukum,
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Jaminan pemberian bantuan hukum merupakan salah satu pemenuhan akses keadilan
kepada setiap orang tanpa pengecualian, termasuk terhadap para jurnalis dalam menjalankan
tugas, fungsi dan peranannya sebagaimana diatur dalam UU Pers. Jaminan pemberian bantuan
hukum kepada para jurnalis merupakan salah satu cara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan sekaligus pelaksanaan kewajiban negara dalam pemberian bantuan
hukum kepada semua (justice for all and accessible to all), sehingga jurnalis dalam menjalankan
tugas, fungsi dan peranannya tidak merasa takut dan terancam akan adanya suatu kriminalisasi
terhadap dirinya.
Kebebasan Pers & Pencemaran Nama Baik : Dalam Perspektif Hukum Positif
Pada konteks Timor Leste (TL) saat ini, kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial
tentang sejauhmana dapat diterimanya pembatasan terhadap kebebasan pers (restriksi) menjadi
suatu pemikiran paradoksal (artinya terjadinya pertentangan antara prinsip kebebasan pers
dengan prinsip persaman didepan hukum serta prinsip negara demokrasi yang berdasarkan
hukum), apakah akan dianut kebebasan pers secara murni/mutlak ataukah pers yang akan tetap
berada dalam batasan hukum positif (hukum yang saat ini sedang berlaku). Indikasinya banyak
kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan
dengan insan pers terkait dengan kasus pencemaran nama baik/penghinaan.
Berdasarkan catatan yang dimiliki JSMP, ada beberapa individu yang pernah menggugat
pers sebagai institusi (perusahaan pers) dan menuntut beberapa wartawan sebagai individu
berkaitan dengan pemberitaan yang bernuansa pencemaran nama baik. Kenyataan ini setidak-
tidaknya dapat mengguncang pers TL, dimana pers sebagai institusi diputus bersalah oleh
Pengadilan dan berkewajiban memberikan pemulihan nama baik berupa ganti rugi karena
pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang (kasus Bambang vs STL) dan
beberapa kasus masih dalam proses persidangan dan investigasi (gugatan terhadap Timor Post
dan Menteri Kehakiman vs tempo semanalwartawannya)..
Fakta-fakta tersebut memunculkan pertanyaan, apakah pers dalam hal ini wartawan dapat
dipidana ketika ia menjalankan profesinya?
Ataukah seharusnya pers diberikan jaminan akan kebebasan secara utuh bebas dari
pertanggungjawabab hukum (baik pidana maupun perdata) ketika ia sedang menjalankan
profesinya? Ataukah jika melakukan proses hukum (pidana & perdata) terhadap wartawan
dipandang sebagai sebuah upaya dalam membatasi kebebasan pers? Ataukah pers di TL belum
memenuhi standar pemberitaan secara professional dan kurang bertanggungjawab serta kurang
memiliki nilai berita dalam hal pemberitaan? Beberapa pertanyaan di atas merupakan bahan
kajian yang menarik untuk ditelaah karena merupakan bagian dari masalah dalam konteks
kebebasan pers di satu sisi dan pencemaran nama baik di sisi lain.
Pemberitaan melalui media telah dijamin secara tegas kebebasannya sebagaimana dituangkan
dalam Konstitusi RDTL pasal 40 dan 41 serta pasal 19 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik dan pasal 19 DUHAM yang mengatur tentang kebebasan mengeluarkan
pendapat dan kebebasan informasi serta kebebasan pers dan media massa .
Namun perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang mana
juga harus tunduk terhadap hukum yang berlaku. Dalam hal ini, bagaimanapun juga asas
persamaan di hadapan hukum serta semua warga Negara memiliki hak yang sama dan tunduk
pada kewajiban yang sama pula termasuk para wartawan yang merupakan insan pers tetap
dijunjung tinggi sesuai dengan pasal 16 Konstitusi RDTL. Oleh karenanya para insan pers tidak
dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan sebagai subyek hukum dan harus tetap tunduk
terhadap hukum positif di TL. Kendati demikian, bukan berarti kebebasan pers telah dikekang
oleh hukum.
Yang menjadi masalah dalam pemberitaan pers adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai
alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita,
dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan dan unsur kesalahan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi, yang perlu ditekankan disini adalah hukum tetap
harus diberlakukan terhadap pihak manapun yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau
fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai sarana. Kecenderungan di TL banyak
pihak memperjuangkan agar proses pertanggungjawaban hukum oleh insan pers kiranya melalui
proses peradilan perdata dan bukan pidana.
Konsep kebebasan pers dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran merupakan hal yang mutlak
sesuai amanat konstitusi dan konvensi internasional relevan yang telah diratifikasi TL. Hanya
saja, kebebasan tersebut patut dipahami bahwa bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas.
Untuk mencegah disalahgunakannya pers sebagai sarana penghinaan, hujat-menghujat, fitnah,
ataupun nista diperlukan perangkat hukum lain, yang sebenarnya bertujuan bukan untuk
mengekang kebebasan pers namun membuat pers menjadi lebih profesional dan bertanggung
jawab serta menghormati hukum (hukum positif) dan hak asasi manusia (setiap individu)
sebagaimana juga di atur dalam konstituisi dan konvensi internasional yang telah diratifikasi.
Pada tahun 2000 berdasarkan kewenangan eksekutifnya, perwakilan UNTAET
mengeluarkan executive order no. 2/2000 yang pada intinya menghapuskan pasal 310-321
KUHP mengenai penghinaan, dalam arti bahwa penghinaan tidak dianggap merupakan suatu
tindak pidana. Artinya kasus penghinaan atau pencemaran nama baik hanya dapat diproses
melalui proses perdata. Setelah berlakunya executive order tersebut, dalam sebuah kasus
pencemaran nama baik kejaksaan TL mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan atas
permohonan banding tersebut Pengadilan Tinggi menurunkan putusan dengan nomor
46/04tertanggal 15 September 2004 (Ivo Valente, STL, Januari 2009) bahwa executive order
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum untuk menghapuskan atau menggantikan pasal-pasal
penghinaan dalam KUHP berdasarkan prinsip hirarki tata urutan peraturan perundang-undangan
(hukum) dan asas Lex Superior derogate Lex Inferior). Atas dasar putusan Pengadilan Tinggi
tersebut maka penghinaan/pencemaran nama baik tetap merupakan tindak pidana dalam kontes
system hukum Timor Leste saat ini. Namun di lain pihak dimungkinkan untuk dapat diproses
melalui jalur perdata apabila korban menghendakinya (karena penghinaan merupakan delik
aduan kecuali korban merupakan pegawai negeri). Dalam konteks perspektif inilah dengan
mengacu kepada analisa hirarki peraturan perundangan dan prinsip Lex Superior derogate Lex
Inferior, maka penghinaan tetap dianggap sebagai kejahatan yang dapat dipidana hingga ada
produk hukum lain setingkat undang-undang menggantikannya.
Jika melihat dari sudut pandang KUHP, maka Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 KUHP telah
mengatur permasalahan penghinaan maupun fitnah/nista yang dapat terjadi dalam pemberitaan
Pers. Untuk masalah penghinaan Pasal 310-321 KUHP telah mengatur secara jelas mengenai
kriteria tindak pidana penghinaan. Dari beberapa pasal tersebut di atas mengatur ancaman
hukuman pidana penjara paling lama 4 bulan sampai dengan 4 tahun. Pemberatan tersebut akan
dikenakan apabila penghinaan tersebut memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam beberapa
pasal dalam KUHP mengenai tindak pidana penghinaan. Tindak pidana fitnah merupakan tindak
pidana penghinaan yang ditambahkan unsur kesempatan bagi pelaku penghinaan untuk
membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya, dan jika apa yang dituduhkan oleh si pelaku
tersebut tidak terbukti, maka ia telah melakukan tindak pidana fitnah. Apabila tindak pidana
fitnah itu dilakukan melalui media pemberitaan pers maka tindak pidana fitnah tersebut akan
memenuhi unsur unsur yang ada.
Dengan demikian, pada prinsipnya KUHP sendiri juga cukup memberikan perlindungan
bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku penghinaan atau fitnah untuk
membuktikan kebenaran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan atau
fitnah tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melakukan pemberitaan
tersebut dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran mengenai
pemberitaannya.Jika pemberitaan pers yang dianggap menghina atau menfitnah itu dapat
dibuktikan kebenarannya maka, wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas
tuduhan penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, maka si terhina atau
si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang dituduhkan, dan putusan tersebut menjadi bukti
sempurna bahwa apa yang dituduhkan tersebut tidak benar.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dimengerti bahwa kebebasan pers dalam
mengemukakan buah pikiran dan berita tetap dilindungi, akan tetapi bukan berarti kriminalisasi
dalam pers tidak dimungkinkan sesuai hokum positif. Dalam hal media pers telah menjadi alat
untuk melakukan penghinaan dan fitnah tentu saja pelaku tersebut harus dapat dipidana
berdasarkan hokum positif. Jadi bukan pers sebagai media pemberitaan yang dikriminalisasi
tetapi pelaku, pelaku yang mungkin saja menunggangi pers atau memanfaatkan pers untuk
kepentingan yang melanggar hukum, itulah yang akan dikriminalisasi. Jadi yang diadili adalah si
pelaku dan bukan pers. Dalam pembuktian pidana penghinaan dan fitnah yang dilakukan melalui
media pemberitaan pers, tentu saja harus terdapat kesengajaan pelaku untuk melakukan tindak
pidana, dan juga adanya kesalahan dalam perbuatan tersebut. Jadi sesungguhnya bukan
pemberitaan pers yang dipidanakan tetapi perbuatan menghina atau memfitnah tersebut yang
dipidana.
Selain daripada apa yang telah diatur dalam KUHP, dalam DUHAM pasal 12 juga
mengatur bahwa tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah-
tangganya atau hubungan surat menyurat dengan sewenang-wenang tidak diperkenankan
melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya, setiap orang berhak mendapat
perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran. Perlindungan yang sama seperti ini
juga diatur dalam Konstitusi RDTL pasal 36 bahwa setiap orang berhak atas kehormatan, nama
baik dan reputasi, perlindungan citra umumnya serta keleluasaan pribadinya dalam hal
kehidupan pribadi dan keluarganya. JSMP berpendapat bahwa kebebasan pers merupakan hal
yang mutlak untuk dijaga dan dijamin secara hukum sesuai konstitusi RDTL pasal 40 dan 41
serta pasal 19 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan pasal 19 DUHAM
yang mengatur tentang kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan informasi serta
kebebasan pers dan media massa. Namun demikian, dilain sisi pers juga harus menghargai
kehormatan dan nama baik seseorang sebagaimana dituangkan dalan Konstitusi, DUHAM pasal
19 dan Konvenan Internasional tentang hak hak sipil dan politik Pasal 19 ayat (2) dan (3) huruf a
serta hukum subsider lainnya.
Dengan demikian tercapai tujuan dari pada pembuatan hukum yakni menciptakan tatanan hidup
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan, dan dalam mencapai tujuan
tersebut hokum bertugas untuk membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat,
membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hokum serta memelihara
kepastian dari hukum itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
LBH Pers mencatat, dalam kurun waktu Februari 2010 – Juni 2010, pengekangan
terhadap kebebasan pers serta kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat keamanan
maupun organisasi masyarakat menunjukkan kenaikkan yang cukup mengkhawatirkan bagi
kebebasan pers di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada kesadaran semua pihak
untuk menghormati pers dalam melaksanakan peran dan fungsi dalam melakukan pengawasan,
kritik dan koreksi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Pers sebagai pilar demokrasi menjalankan fungsi dan peranannya untuk melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan yang dengan kepentingan
umum. Pers juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, nepotisme, maupun penyelewengan lainnya.
Kebebasan pers yang sakarang ini sedang dinikmati sejak reformasi 1998 dianggap sebagai
gangguan oleh penguasa, mereka menganggap kebebasan pers telah kebablasan sehingga
pemerintah menganggap perlu untuk mengendalikan dan mengontrol kembali kembebasan
pers.Beberapa kebijakan pemerintah sekarang cenderung ingin kembali mengontrol pers.
Departemen Komunikasi dan Informasi yang seharusnya berada di garda depan dalam
memajukan kebebasan pers jutrus sebaliknya ingin kembali memasung kebebasan pers.
Peraturan Pemerintah (PP) dalam bidang penyiaran adalah salah bukti upaya pemerintah untuk
mengendalikan dan mengontrol penyiaran Indonesia. Padahal dengan adanya UU No. 32 tahun
2002 tentang Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diberi tugas dan wewenang
untuk mengatur penyiaran di Indonesia. Dengan adanya peraturan pemerintah tersebut
pemerintah berupaya untuk mengebiri dan mengkerdilkan keberadaan KPI sebagi satu-satunya
lembaga independen yang merupakan wujud peran serta masyakarat di bidang penyiaran. Bentuk
intervensi pemerintah lainya dalam upaya mengontrol dan mengendalikan kebebasan pers
sekarangan ini adalah upaya pemerintah melalui Depkominfo untuk merevisi undang-undang
No. 40/1999 tentang Pers. Melalui usulan revisi tersebut pemerintah ingin mengintervensi
kembali kebebasan pers seperti dimasa orde baru dimana pemerintah bisa mengatur, mengontrol
sampai pada pencabutan SIUPP.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang saat ini sedang
disusun oleh pemerintah menjadi ancaman serius bagi kehidupan pers. hasil riset LBHPers
terhadap R-KUHP terdapat 61 pasal yang berpotensi mengkriminalkan pers bahkan hukumannya
sampai pencabutan profesi sebagai wartawan. Beberapa pasal anatar lain : penyebaran atau
pengembangan ajaran komunisme/marxisme-Leninisme ( Pasal 212, 213), penyiaran berita
bohong dan berita yang tidak pasti (Pasal 307, 308), pencemaran nama baik (Pasal 529), fitnah
(Pasal 530, 531), tindak pidana pembocoran rahasi negara (Pasal 540 -543), tindak pidana
penrbitan dan percetakan (Pasal 737-739), serta pencabutan hak menjalankan profesi tertentu
(Pasal 91). Jelas sekali R-KUHP yang sedang disusun merupakan upaya pemerintah untuk
mengkriminalisasikan pers. Padahal terhadap karya jurnalistik tidak dapat dipidanakan, undang-
undang pers sudah mengatur bagaimana seseorang yang dirugikan oleh karya jurnalistik , ada
mekanisme dan prosedur yang harus ditempuh yakni melalui hak jawab, hak koreksi atau
mengadukan ke organisasi wartawan atau langsung mengadukan ke Dewan pers . upaya hukum
merupakan langkah terkahir bila prosedur penyelesaian sengketa pers dalam undang-undang pers
sudah ditepuh, langkah hukum juga tidak bisa memenjarakan wartawan, pers cukup dikenai
denda yang proposional bukan denda yang bisa membangkrutkan.
Ancaman terhadap kebebasan pers tidak hanya dalam bentuk regulasi yang bersifat represif
namun juga ancaman dalam bentuk tekanan, fisik dan non fisik masih terjadi dibeberapa daerah
yang mengancam wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pada hari Kemerdekaan Pers
Sedunia, 3 Mei 2007, Lembaga bantuan hukum Pers (LBHPers), Menyampaikan:
1. Menuntut kepada pemerintah untuk mencabut regulasi yang menghambat dan dapat
mengancam kebebasan pers di Indonesia. LBHPers mengingatkan jaminan terhadap kebebasan
pers merupakan amanat konstitusi (Pasal 28F), Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers, serta
telah mendapat jaminan Pasal 19 Deklarasi universal Hak Asasi manusia 1948
2. Menolak pengkriminalisasian terhadap pers. LBH Pers mengingatkan terhadap karya
jurnalistik sudah ada aturan hukum sendiri (spesialis) yang mengatur permasalahan pers yakni
Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers
3. Menuntut aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim) untuk menggunakan
undang-undang pers sebagai lex spesialis dalam menyelesaikan setiap sengketa pers.
4. Menyerukan kepada pihak-pihak yang keberatan / dirugikan isi pemberitaan agar menempuh
mekanisme yang tersedia sebagaimana diatur dalam UU Pers No. 40/1999, yakni melakukan hak
jawab atau surat protes, mengadukan kepada Dewan Pers, dan organisasi jurnalis.
5. Menghimbau kepada seluruh media massa, jurnalis, organisasi-organisasi pers dan wartawan
untuk bekerja bersama-sama secara sistematis memperbaiki kekurangan yang ada dalam internal
media massa agar bisa bekerja dengan standar profesional yang tinggi. Hanya dengan standar
profesional yang tinggi, kebebasan pers secara jangka panjang akan terjamin.
SARAN
Menolak segala bentuk kriminalisasi pers yang mengancam kebebasan pers dalam
melaksanakan fungsi dan perannya untuk memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi, dan
melakukan pengawasan, saran, kritik, koreksi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum. Menuntut kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia untuk segera
mengusut tuntas peristiwa pelemparan bom Molotov terhadap kantor Majalah Tempo dan
mengusut pelaku.
DAFTAR PUSTAKA
Satjipto Rahardjo, DELIK PERS DAN DUNIA JURNALIS,(Disampaikan pada seminar regional Aliansi
Jurnalis Independen di semarang, 12 Sept 2006)
Pasal-pasal Delik Pers, didalam KUHP
Binsar Gultom, Berdayakan Undang Undang Pers untuk Mengadili Delik Pers diambil dari situs
www.ham.go.id
Kebebasan Pers Dan Demokrasi diakses pada 29 APRIL 2010 JAM 10.30 WIB,
http://id.shvoong.com/law-and-politics/1785814-kebebasan-pers-dan- demokrasi/……………
anggara.blogspot.com , Kemerdekaan Pers Dalam Tinjauan Hukum Pidana diakses pada 29 APRIL 2010
JAM 10.30 WIB
Zenwen Pador,SH, Pelaksanaan Hak Jawab VS Pidana Pers
Ade Armando, Hukum Dan Pers, Aliansi nasional Reformasi KUHP, Seminar Nasional
”Mengurai Delik Pers Dalam RUU KUHP“ Hotel Sofyan Betawi, Kamis, 24 Agustus 2006