Upload
others
View
33
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
0
MAKALAH LENGKAP
INSTRUMENTASI UNTUK PENCITRAAN
KEDOKTERAN NUKLIR
Dipresentasikan pada
Annual Scientific Meeting 2011
The Indonesia Society of Nuclear Medicine A
The Indonesia Society of Nuclear Medicine and Biology
Radioisotopes, Radiopharmaceutical and Cyclotron
Bandung, November 4-5, 2011
A. Hussein S. Kartamihardja
Departemen Ilmu Kedokteran Nuklir
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung
1
INSTRUMENTASI UNTUK PENCITRAAN
KEDOKTERAN NUKLIR
A. Hussein S. Kartamihardja
Departemen Ilmu Kedokteran Nuklir
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung
Dipresentasikan pada
Annual Scientific Meeting 2011
The Indonesia Society Of Nuclear Medicine A
The Indonesia Society Of Nuclear Medicine And Biology
Radioisotopes, Radiopharmaceutical And Cyclotron
Bandung, November 4-5, 2011
Pendahuluan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
008/Menkes/SK/I/2009 memberikan definisi pelayanan kedokteran nuklir
adalah pelayanan penunjang dan/atau terapi yang memanfaatkan sumber radiasi
terbuka dari disintegrasi inti radionuklida yang meliputi pelayanan diagnotik in-
vivo dan in-vitro melalui pemantauan proses fisiologi, metabolisme dan terapi
radiasi internal
Pelayanan kedokteran yang prima memerlukan beberapa persyaratan
seperti sumber daya manusia yang kompeten, radiofarmaka yang memadai dan
berkualitas baik serta peralatan atau instrumentasi yang prima. Peralatan utama
dalam pelayanan kedokteran nuklir pada prinsipnya berkaitan dengan sistem
deteksi radiaktif.
Pemanfaatan teknologi nuklir dalam bidang kedokteran sudah dimulai sejak
awal abad ke 20. Bebagai penemuan radionuklida untuk kesejahteraa manusia
terus diupayakan sejalan dengan pengembangan peralatan teknologi nuklir.
2
Perkembangan dalam penggunaan alat diagnostic ditandai dengan
pengembangan alat pendeteksi radiasi, kemudian dikembangkan alat dengan
kemampuan pencitraan sederhana berupa rectilinear scanner. Penemuan
kamera gamma merupakan perkembangan yang sangat signifikan dalam bidang
diagnostic pencitraan. Alat ini jauh dapat menghasilkan hasil pencitraan jauh
lebih baik dan lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan alat rectilinear
scanner. Perbedaan tersebut terletak pada detektor dengan kristal lebih besar
dan jumlah multi photo multiplier tube (PMT) lebih dimiliki oleh kamera
gamma dibandingkan rectilinear scanner yang hanya memiliki satu PMT saja.
Pengembangan dalam bidang diasnostik tidak terbatas pada perangkat kerasnya
saja, tetapi juga pada perangkat lunak. Pemanfaatan computer memberikan
konstribusi yang sangat bermakna dalam pemanfaatan teknologi nuklir.
Perangkat lunak dikembangkan untuk menganalisa hasil pencitraan yang
tadinya hanya bersifat kualitatif menjadi hasil yang sifatnya kuantitatif.
Perangkat lunak dikembangkan selai untuk aplikasi klinik juga untuk program
pada umumnya.
Peralatan yang paling canggih saat ini adalah kamera gamma dengan
teknologi positron emission tomography (PET) yang digabungkan dengan
peralatan CT atau MRI sebagai pendukung khususnya untuk koreksi atenuasi
dan penentuan lokasi lesi secara anatomi.
Di Indonesia, pelayanan kedokteran nuklir dimulai sejak tahun 1967 setelah
reaktor atom pertama didirikan di Bandung pada tahun 1965. Awalnya
pelayanan kedokteran nuklir dilaksanakan di PRAB (Pusat Reaktor Atom
Bandung) tempat reaktor atom didirikan. Pelayanan kedokteran tersebut pada
tahun 1971 dipindahkan ke RSUP Dr. Hasan Sadikin yang merupakan RS
3
pertama di Indonesia yang memberikan pelayanan kedokteran nuklir. Beberapa
rumah sakit seperti RSCM, RS Dr. Soetomo, RS Gatot Soebroto dan RS Dr.
Sardjito kemudian membuka pelayanan kedokteran nuklir. RS Swasta pertama
yang memberikan pelayanan kedokteran nuklir adalah RSP Pertamina.
Selanjutnya beberapa rumah sakit lain ikut serta memberikan pelayanan
kedokteran nuklir. Saat ini terdapat 12 RS yang dapat memberikan pelayanan
kedokteran nuklir, 3 diantaranya sudah dapat memberikan pelayanan dengan
kamera gamma PET/CT. Sebagian besar RS tersebut terletak di Jakarta.
Sistem deteksi radiasi
Pencitraan dalam bidang kedokteran nuklir dibentuk melalui deteksi sinar
gamma, sianr-x dan pada pemeriksaan Positron Emission Tomography adalah
annihilation. Kamera gamma akan mendetksi densitas sinar gamma per unit
area, energi dan arah cahayanya. Apabila cahaya tunggal dari foton yang
digunakan, maka cahaya tersebut harus diarahkan menggunakan kolimator
geometrik. Pada deteksi sinar koinsiden ditemukan gambaran yang unik dari
annihilasi positron yang menghasilkan 2 sinar gamma berenergi tinggi dan
secara simultan memancar ke arah yang berlawanan, sehingga diperlukan
system deteksi yang juga simultan.
Peralatan detektor skintigrafi terdiri dari Kristal skintilasi untuk merubah
energy sinar gamma menjadi sinar tampak, sensor sinar, sistem elektonik dan
unit pemroses gambar.
4
A B
Gambar 1: A. Foto detektor kamera gamma. B. bagian-bagian dari
kamera gamma terdiri dari kolimator, PMT dan rangkaian elektronik.
Kollimator
Kollimator merupakan bagian terluar dari detektor kamera gamma.
Kollimator terbuat dari timbal dengan penampang mirip sarang tawon, terdiri
dari lubang dan septa diantara lubang-lubang tersebut. Bentuk lubang bisa
bundar atau hexagonal. Lubang hexagonal lebih banyak digunakan, karena lebih
banyak sinar yang dapat mencapai kristal dan tebal septa homogeny. Besar
lubang dan tebal septa ditentukan oleh tingkat energi dari radionuklida yang
akan digunakan.
Fungsi kollimator adalah untuk menseleksi sinar gamma yang mana yang
boleh mencapai kristal, sehingga sinar yang masuk ke satu area pada kristal
detektor hanya berasal dari satu area pada organ yang diperiksa. Sinar gamma
yang akan masuk ke satu area yang berasal dari area lain dari organ yang
diperiksa akan tertahan oleh septa pada kollimator, dengan demikian resolusi
gambar yang diperoleh lebih tajam. (lihat gambar 2) Ketajaman resolusi gambar
yang dihasilkan juga ditentukan oleh jarak sumber atau organ yang diperiksa
dan detektor. Jarak yang makin jauh akan memberikan resolusi gambar lebih
kabur.
5
Gambar 2: sketsa pancaran sinar yang masuk ke dalam kristal
detektor dan pengaruh jarak antara sumber radiasi dengan
detektor.
Berdasarkan fungsinya kolimator dapat dikelompokan ke dalam pembagian
berdasarkan bentuk atau alur lubang dan tingkat energi radionuklida yang
digunakan.
Jenis kollimator berdasarkan bentuk atau alur lubang kollimator (lihat
gambar 3):
1. Parallel hole
Kollimator parallel hole adalah kollimator dengan lubang yang tersusun
sejajar, sehingga perbandingan antara gambaran yang diperoleh dan
besar organ yang diperiksa berimbang. Kamera gamma yang
menggunakan kollimator parallel hole biasanya memiliki diameter
detektor cukup besar sehingga bisa mencakup lebar tubuh pasien.
2. Convergen
Kollimator convergen adlah kollimator yang memiliki alur dengan
diameter permukaan terluar (dekat dengan organ yang diperiksa) lebih
kecil dibandingkan dengan diameter permukaan yang menempel pada
kristal skintilator. Kollimator jenis ini biasnya digunakan pada kamera
gamma dengan diameter detektor jauh lebih besar dibandingkan dengan
organ yang akan diperiksa, misalnya jika bayi atau anak-anak.
6
3. Divergen
Kollimator divergen merupakan kollimator dengan bentuk atau alur
lubang yang berlawanan dengan kollimator convergen. Kollimator ini
digunakan untuk pemeriksaan organ yang lebih besar dibandingkan
dengan diameter detektor. Apabila organ tersebut diperiksa dengan
kollimator parallel hole, maka ada bagian organ tersebut yang tidak
terlihat pada pencitraan yang dibuat.
4. Pin hole
Kollimator pin hole merupakan kollimator berbentu kerucut dengan
lubang tunggal. Kollimator ini sering digunakan untuk pencitraan organ
kecil seperti kelenjar tiroid dan persendian.
Gambar 3 : Jenis kollimator yang dapat digunakan
tergantung pada diameter detektor dibandingkan dengan
besar organ yang diperiksa. A. parallel hole digunakan pada
organ besar tapi masih ada dalam lapang pandang detektor;
B. convergen digunakan untuk organ kecil dan perlu
diperbesar; C. pinhole digunakan untuk organ sangat kecil
agar tampak lebih besar, dan D. divergen untuk organ lebih
besar dari diameter detektor.
7
Jenis kollimator berdasarkan tingkat energi dan jenis pemeriksaan yang
akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Kollimator energi rendah resolusi tinggi (Low Energy High
Resolution/LEHR)
Kollimator LEHR merupakan kollimator yang dirancang untuk
kepentingan pemeriksaan yang memerlukan citra dengan resolusi
tinggi, sehingga dapat mendeteksi kelainan dengan ukuran seminimal
mungkin. Teknik pemeriksaan yang menggunakan kollimator ini
adalah pemeriksaan statik dan bersifat kualitatif. Bentuk kollimator ini
memiliki diameter lubang yang kecil dan septa yang tipis namun masih
mampu menahan arah sinar gamma yang tidak diinginkan, sehingga
dapat memberikan gambar dengan resolusi tinggi.
2. Kollimator energi rendah sensitifitas tinggi (Low Energy High
Sensitivity/LEHS)
Pemeriksaan yang bersifat kuantitatif dan pencitraan dinamik
memerlukan count rate yang tinggi dalam kurun waktu yang sempit,
seperti pemeriksaan renografi dan laju filtrasi glomerulus. Pemeriksaan
jenis ini memerlukan kemampuan kristal detektor menangkap lebih
banyak sinar gamma. Makin banyak cacahan yang bisa diperoleh,
makin kecil kemungkinan kesalahan. Kollimator ini memiliki lubang
relatif lebih besar dengan septa yang tipis, sehingga memungkinkan
lebih banyak sinar gamma yang dapat mencapat kristal detektor,
namun demikian resolusi kurang dibandingkan dengan pencitraan yang
dihasilkan menggunakan kollimator LEHR.
8
3. Kollimator energi rendah multi fungsi (Low Energy General
Purpose/LEGP)
Kollimator LEGP merupakan kollimator kompromi dari kedua
kollimator sebelumnya. Kollimator ini digunakan jika jumlah cacahan
diperlukan dalam jumlah yang tinggi, namun resolusi tetap diperlukan.
Pemeriksaan yang memerlukan kollimator jenis ini adalah pencitraan
dinamik yang tidak memerlukan perhitungan kuantitatif.
4. Kollimator energi tinggi
Kollimator ini memiliki septa yang tebal agar mempu nenahan sinar
gamma dengan tingkat energi tinggi. Septa yang tebal diharapkan
mampu untuk menahan sinar gamma yang tidak diharapkan dapat
mencapai kristal detektor. Kollimator ini biasa digunakan pada
pencitraan menggunakan radionuklida 131
I.
Prinsip dasar detektor skintilasi
Sinar tampak sebagai hasil dari proses skintilasi yang terjadi saat sinar
gamma menembus kristal. Sinar tersebut merupakan sinar tampak dengan
panjang gelombang seperti ultra violet. Intensitas dan waktu pendistribusian
sinar dari proses skintilasi tersebut tergantung bahan yang digunakan untuk
kristal skintilator tersebut.
Kristal skintilator
Kristal skintilator tersebut dapat dibuat dari bahan organic seperti plastic
atau inorganik yang masing-masing bahan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing dalam mendeteksi sinar gamma, sinar-x atau
partikel bermuatan.
9
Semua camera yang digunakan untuk kepentingan klinik kedokteran
nuklir dibuat dengan skintilator inorganic, karena efisiensi pendeteksiannya
lebih tinggi untuk sinar gamma dan sinar-x. Makin tinggi densitas dari bahan
kristal skintilasi dan makin tinggi nomor atom, maka makin baik efisiensi
detektor tersebut untuk sinar gamma. Makin banyak sinar skintilasi yang
dipancarkan dalam kurun waktu yang pendek akan memberikan keuntungan
proses deteksi dalam interval waktu yang pendek.
Tabel 1. Karakteristik berbagai jenis kristal skintilator yang digunakan dalam bidang
kedokteran nuklir.
NaI/Tl adalah Kristal natrium iodide yang diaktivasi dengan Thallium. BGO : bismuth
germinat, YSO:Ce cerium yang diaktivasi oleh yttrium oxy-orthosilicate, LSO:Ce cerium
diaktivasi oleh lutetium oxy-orthosilicate, GCO:Ce cerium yang diaktivasi dengan
gadolinium orthosilicate
Kristal Na(Tl) atau kristal sodium iodide yang diaktivasi dengan thallium
masih merupakan kristal pilihan untuk deteksi sinar gamma (single photon)
dengan tingkat energy antara 70 keV sampai 360 keV. Kristal ini akan
menghasilkan sinar yang tinggi, waktu peluruhan yang memadai dan relative
murah untuk produksi dalam jumlah besar. Satu kelemahan dari Na(Tl) adalah
material ini mempunyai sifat higroskopik, sehingga diperlukan pelindung
dengan udara yang sangat terbatas pada kontener.
Resolusi energi kamera gamma ditentukan oleh seluruh bagian dari system,
namun banyaknya sinar yang dihasilkan oleh Kristal skintilasi menjadi sangat
penting. Kontras hasil pencitraan yang baik akan diperoleh jika pemiian energy
yang diperlukan lebih baik.
10
Skintilator yang paling sering digunakan pada kamera PET adalah bismuth
germinate (BGO) yang memiliki efisiensi deteksi sangat tinggi untuk sinar
annihilasi yang rendah dan waktu peluruhan yang panjang. Kristal cerium
activated lutetium axy-orthosilicate (LSO) merupakan kristal memberikan
potensi yang menjanjikan, memiliki efisiensi deteksi mirip dengan BGO namun
count rate nya lebih tinggi.
Photo multiplier tube (PMT)
PMT merupakan tabung sesuai dengan namanya berfungsi sebagai alat
untuk menggandakan sinar tampak yang dilepaskan dari kristal detektor. Sinar
tampak yang terbentuk akibat peristiwa skintilasi dengan masuknya sinar
gamma sangat lemah, sehingga perlu dikuatkan dengan PMT. Selain
memperkuat sinar, PMT juga mekonversikannya menjadi pulsa elektrik. Sinar
yang tadinya berkekuatan 100 V dilipatgandakan menjadi 1200V.
1. Gambar 4: Photomultiplier tube, berfungsi untuk
melipatgandakan sinar dan mengkonfersinya menjadi pulsa
listrik.
Selanjutnya signal yang terbentuk menjadi tiga jenis yang direpresentasikan
menjadi x, y dan z. Signal x dan y merupakan signal yang digunakan untuk
menetukan lokasi pada lapang pandang detektor, sedangkan z
merepresentasikan kekuatan dari signal yang masuk tersebut.
11
Kesimpulan
Kamera gamma merupakan salah unsur yang sangat penting dalam
pelayanan kedokteran nuklir. Detektor yang terdiri dari kollimator, kristal
skintilator dan PMT merupakan komponen kamera gamma yang dapat
dikatakan jantungnya kamera gamma.
Pemilihan jenis kollimator dan pemilihan seting energi sangat penting dan
harus disesuaikan dengan jenis pemeriksaan yang diperlukan dan radiofarmaka
yang digunakan.
Daftar pustaka
1. Becker CL. Myocardial perfusion. In Textbook of Nuclear Medicin vol.II :
Clinical Application, 2nd ed., Herbert J and Da Rocha FGA (Eds.).
Philadelphia, Lea & Febiger, 1984
2. Henkin RE. Nuclear Medicine, 2
nd edition, Philadelphia, Mosby Elservier.
2006.
3. Lele RD. Principles and Practice of Nuclear Medicine and Correlative
Medical Imaging. New Delhi, Jaypee Brother Medical Publisher(p) Ltd,
2009.
12
13
14
15
16
17
A : Tc-99m pyrophosphate
B : Tc-99m uniformity test
PPhhoottooppeeaakk
sseelleeccttiioonn
18
19
20
21