Upload
khairunnisa-esam
View
34
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bioetik
Citation preview
Malpraktek
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu dari berbagai negara yang berbasis demokrasi. Dimana segala
sesuatu berasal dari dan untuk rakyat. Begitu juga dengan medis. Apabila seseorang mengalami
suatu kesakitan maka mereka langsung mencari pengobatan , khususnya pada tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan di Indonesia sangat banyak dan tersebar di semua pulau, dengan maksud agar
setiap kesakitan yang diderita masyarakat bisa langsung teratasi. Salah satu tenaga kesehatan
yang masih memegang peranan penting dalam masyarakat yaitu dokter. Seorang dokter adalah
seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan strata 1 pada fakultas kedokteran dan telah
mempunyai izin untuk mengobati masyarakat. Dalam pelayanannya, dokter dituntut agar
melakukannya dengan sempurna. Apabila pelayanan yang diberikan kurang sempurna, maka
dokter dapat dituntut oleh pasiennya. Dengan kata lain, dokter dituduh melakukan malpraktik.
Tindakan malpraktek medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam bidang
profesional. Tindakan malpraktek medik yang melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan
lainnya banyak terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan melakukan diagnosa, salah
melakukan tindakan perawatan yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan perawatan
terhadap pasien dengan teliti dan cermat. Di beberapa negara maju seperti Australia, dan
Amerika Serikat, kasus malpraktek medik juga banyak terjadi, bahkan setiap tahun jumlahnya
meningkat.
Dampak dari makin banyaknya kasus malpraktek yang terjadi dan dilaporkan oleh pasien,
membuat para dokter akhir-akhir ini lebih selektif dalam melakukan tindakan, dimana beberapa
tindakan yang merupakan kompetensi dokter umum tapi dianggap agak ‘menakutkan’, tidak
dilakukan oleh dokter umum, walaupun dalam keadaan darurat. Dasar dari banyaknya kejadian
malpraktek yang dilaporkan adalah akibat tingginya pendidikan rata-rata pasien sehingga pasien
lebih mengerti haknya dan lebih asertif, semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan
kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, komersialisasi dan tingginya biaya layanan
kedokteran dan kesehatan membuat masyarakat semakin tidak mentolerir kesalahan sekecil
apapun yang terjadi, dan sebagai akibat adanya provokasi daripada ahli hukum dan beberapa
tenaga kesehatan.
Dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang luas, yang saling
tumpang-tindih, sehingga banyak norma etik yang diangkat menjadi norma hukum, begitupun
sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Sehingga dokter dan segala
tindakan yang diambil oleh dokter sudah diatur oleh Undang-undang.
Malpraktek Medis
Istilah malpraktek medis tidak dikenal dalam Hukum Positif Indonesia. Secara harfiah
malpraktik berarti bad practice atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan
ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.1
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan malpraktik, dapat terjadi kesimpangsiuran
pengertian antara malpraktek, pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum. Secara etimologis,
malpraktik mengandung kata mal yang artinya buruk atau salah, sehingga malpraktik diartikan
salah melakukan prosedur yang berujung pada kerugian pasien atau bahkan sampai fatal. Dalam
hal salah melakukan prosedur ini, dapat saja dikatakan malpraktik harus memenuhi unsur
kecerobohan, kekurang hati-hatian (Professional misconduct), atau kekurangmampuan yang
tidak pantas (Unreasonable lack of skill).1
Jadi, seorang dokter dikatakan telah melakukan malpraktik jika dalam menjalankan
pelayanan medik tidak memenuhi persyaratan-persyaratan atau standar-standar yang telah
ditentukan kode etik kedokteran, standar profesi, standar pelayanan medik atau operasional
prosedur, dan akibat dari tindakan tersebut pasien mengalami kerugian.
Menurut J. Guwandi, malpraktik medis dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu :
1. Dilakukan dengan sengaja, yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau dolus.
Dengan perkataan lain, malpraktik dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja
melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia, memberi surat
keterangan medis yang isinya tidak benar, dan sebagainya.
Golongan yang pertama ini, tujuan tindakannya sudah diarahkan kepada akibat yang
hendak ditimbulkan, atau tidak perduli terhadap akibatnya, walaupun mengetahui atau
seharusnya sudah mengetahui bahwa tindakannya bertentangan dengan hukum yang
berlaku (Criminal malpractice).
2. Dilakukan dengan tidak sengaja atau neglience atau culpa, atau kelalaian misalnya
menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembaranagan sehingga penyakit
pasien bertambah berat atau bahkan meninggal dunia.
Dalam arti umum, kelalaian tidak dianggap melanggar hukum, jika kelalaian tersebut
tidak menyebabkan orang lain menderita kerugian.1
Malpraktik yang diberi istilah Serious Professional Misconduct di Inggris, dibagi empat
kelompok, yaitu :
1. Kelalaian atau keacuhan sikap tindak dokter yang menyangkut tanggung jawab
pribadinya terhadap pasien dalam meberdayakan pelayanan pengobatan.
2. Penyalahgunaan wewenang atau kepandaian
3. Sikap tindak perorangan berupa mendeskreditkan reputasi profesi medik
4. Mengiklankan diri, mempengaruhi pasien, merendahkan kepandaian dokter lain dan
pelanggaran profesi lain.1.2
Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconductor
unreasonable lack of skill” or “failure of one rendering professional services to exercise
that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community
by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or
damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.2
Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku
bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan (misalnya kasus BLBI), dan
lain-lain.
Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah:
“medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for
treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the
patient, which is the direct cause of an injury to the patient”.2
Menurut Azwar, suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai malpraktik dapat dilihat dari dua aliran,
yaitu aliran modern dan aliran tradisional. Menurut aliran modern malpraktek terjadi jika
memenuhi lima (5) unsur, yaitu :
1. Adanya kewajiban yang berhubungan dengan kerusakan
2. Adanya pengingkaran kewajiban
3. Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan yang mengingkari kewajiban dengan
kerusakan
4. Pengingkaran kewajiban merupakan faktor penyebab yang substansial (proximate cause)
5. Kerusakan itu nyata adanya.3
Sementara pandangan tradisional melihat malpraktek terjadi jika telah ditemukan adanya :
1. Adanya pelimpahan amanah
2. Adanya pengingkaran amanah
3. Adanya musibah akibat pengingkaran amanah
Menurut Jonsen et.al, menilai suatu perbuatan sebagai malpraktek atau bukan dilihat dari empat
hal, yaitu :
1. Indikasi medis (medical indications) yang diberikan oleh dokter. Pertimbangan ini
meliputi diagnosis dan prognosis penyakit, indikasi pengobatan yang akan dilakukan dan
seberapa jauh pengaruh pengobatan terhadap penyakit yang diderita.
2. Keinginan pasien (patient preferences). Mengetahui keinginan pasien dan mengusahakan
dipenuhinya keinginan tersebut, dengan mempertimbangkan pula kemampuan
(kompetensi) psien untuk mengambil keputusan terhadap suatu tindakan medis
3. Kualitas hidup (quality of life). Pertimbangan tentang pandangan pasien terhadap
keinginan untuk hidup atau sembuh, serta mempertimbangkan pandangan dokter.
4. Keadaan sosial budaya masyarakat (contextual features). Keadaan sosial budaya
masyarakat menjadi pertimbangan untuk pengambilan keputusan medis. Keadaan ini
terasuk di dalamnya nihil tidaknya dorongan masyarakat kepada pasien untuk hidup.
Dapat pula dijadikan pertimbangan, yaitu keadaan keuangan pasien.2
Menurut Mohamad, menyatakan bahwa malpraktek adalah istilah hukum. Suatu kasus baru bisa
dikatakan sebagai malpraktek jika telah diadukan korban dan dibuktikan melalui pengadilan.
Kata malpraktik sendiri tidak ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tetapi
terdapat sebuah pasal yang mengatur tentang ganti rugi yang disebabkan oleh karena kelalaian
tenaga medis. Pasal 55 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : “setiap orang berhak
atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan”.3
Jenis-Jenis Malpraktik
Penyimpangan yang dimaksud ialah beberapa jenis perbuatan malpraktik. Jenis-jenis perbuatan
malpraktik yang dimaksud , antara lain1 :
1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang
bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika
kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis,
prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
2. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek
perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administratif (administrative malpractice).
a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar janji), yaitu tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati.
Dikategorikan sebagai Civil Malpractice karena tidak melakukan (negative act)
apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, melakukan (positive act) apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat, melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna, dan
melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
b. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct
tertentu (professional), tindakan kelalaian (neglience), ataupun suatu
kekurangmahiran / ketidakkompetenan yang tidak beralasan (lack of skill).4
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam
bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum
administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan
yang merugikan pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan
rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual,
misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum
teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.
Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi
pasien, namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan
motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).4
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan
nonfeasance.
Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau
tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan
medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut
sudah improper).
Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya.
Lack of skill sering menjadi penyebab error atau kelalaian.4
c. Malpraktek administratif (Administrative Malpractice)
Bila dokter melanggar hukum tata usaha negara, pemerintah berhak mengeluarkan
berbagai macam peraturan di bidang kesehatan, seperti tentang persyaratan bagi
tenaga kesehatan untuk menjalankan profesi medik, batas kewenangan serta
kewajibannya. Yang termasuk malpraktek administratif yaitu menjalankan praktik
kedokteran tanpa lisensi atau izin, menjalankan tindakan medis yang tidak sesuai
lisensi atau izin yang dimiliki, melakukan praktik kedokteran dengan
menggunakan lisensi atau izin yang sudah kedaluwarsa, dan tidak membuat
rekam medik.4.5
Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and
lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur
kelalaian dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu
mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent erroryang tidak secara langsung
menimbulkan dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis,
sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan
oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah
merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang
seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian
atau cedera bagi orang lain.5
Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur,
yaitu :
1. Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk
tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan
kondisi tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian
akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang
setidaknya merupakan ‘proximate cause’.5
Ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang di derita
oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah
dibuktikan dengan jelas. Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profei
dan melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana ,
malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau
kelalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 359
KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau
dokter gigi.5
Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
1. Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran
2. Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat
3. Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal, dan melanggar pasal 359 dan 360 KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1. Adanya unsur kelalaian (culpa)
2. Adanya wujud perbuatan tertentu
3. Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain
4. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Cara pembuktian yang mudah bagi pasien yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita
olehnya sebagai hasil layanan/tindakan dokter (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa
loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria :
Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien.6
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis.
Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat
dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada pasien tidak
termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian medik. Dengan demikian adverse events
(hasil yang tidak diharapkan) dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan
dapat pula disebabkan oleh error. Adverse events akibat error dianggap dapat dicegah
(preventable). Apabila preventable adverse events tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia
memenuhi semua unsur kelalaian medis menurut hukum, sehingga disebut sebagai negligent
adverse events.6
Suatu adverse events di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan,
yaitu :
Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan
medis yang dilakukan dokter
Hasil dari suatu resiko yang tidak dapat dihindari, yaitu resiko yang tak dapat diketahui
sebelumnya (unforeseeable); atau resiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya
(foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin dihindari (unavoidable), karena tindakan
yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Resiko tersebut harus diinformasikan
terlebih dahulu.
Hasil dari suatu kelalaian medik
Hasil dari suatu kesengajaan
Berkaitan dengan resiko tersebut, setiap tindakan medis mengandung resiko buruk, sehingga
harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi resiko. Namun demikian,
sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena resiko tersebut dapat diterima
(acceptable) sesuai “state-of-the-art’ ilmu dan teknologi kedokteran. Resiko yang dapat diterima
adalah :
1. Resiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi,
diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan
infeksi pada pembedahan
2. Resiko yang derajat probabilitasnya dan keparahannya besar pada keadaan tertentu,
yaitu apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena
merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam
keadaan gawat darurat.6
Penyebab Terjadinya Malpraktik Kedokteran
Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan
malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medisi sesuai dengan :
Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada
dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.
Standar Operasional Prosedur (SOP) SOP adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
Informed Consent Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang
metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan
dan resiko yang akan dialami oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien terjadi suatu kontrak (doktrin social-contract), yang
memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan
kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang
kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar.
Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang
akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk
klien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti
kompetensi dan kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang etis
sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya,
dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari
ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme
tersebut dapat terwujud.
Undang-Undang No 29 tahun 2004
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk
mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada
pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Pada bagian awal, Undang-
Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik
kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran
yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan
memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian
memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter tersebut
juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan
akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Selain mengatur persyaratan
praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang
organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan
dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter.
Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang penyelenggaraan
praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang
antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan
rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan
memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah
sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila
berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi
standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi
ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta
mengendalikan mutu dan biaya.
Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan
pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan
tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta
hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis.
Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin profesi.
Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang
bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis,
rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan
pelatihan tertentu.
Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang
berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau
bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak
memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat
diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR
dan/atau SIP.7
Informed Consent
Persetujuan tindakan medis (informed consent) mencakup tentang informasi dan
persetujuan, yaitu persetujuan yang diberikan setelah yang bersangkutan mendapat informasi
terlebih dahulu atau dapat disebut sebagai persetujuan berdasarkan informasi. Berdasarkan
Permenkes 585/1989 dikatakan bahwa informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut. Pada hakekatnya, hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa
melalui komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis.
Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan interpersonal,
maka adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara pengobatan itu
sangat penting. Hasil penelitian King membuktikan bahwa essensi dari hubungan antara dokter
dan pasien terletak dalam wawancara pengobatan. Pada wawancara tersebut para dokter
diharapkan untuk secara lengkap memberikan informasi kepada pasien mengenai bentuk
tindakan yang akan atau perlu dilaksanakan dan juga risikonya.6,7
Bahasa kedokteran banyak menggunakan istilah asing yang tidak dapat dimengerti oleh
orang yang awam dalam bidang kedokteran. Pemberian informasi dengan menggunakan bahasa
kedokteran, tidak akan membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan pasien. Oleh
karena itu seyogyanya informasi yang diberikan oleh dokter terhadap pasiennya disampaikan
dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien.
Pada prinsipnya, persyaratan untuk memperoleh informed consent dalam tindakan medis
tertentu tidak dibedakan dengan Informed consent yang diperlukan dalam suatu eksperimen.
Hanya saja, dalam eksperimen suatu penelitian baik yang bersifat terapeutik maupun non-
terapeutik yang menggunakan pasien sebagai naracoba, maka informed consent harus lebih
dipertajam, sebab menyangkut perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pencegahan
terjadinya paksaan dan kesesatan serta penyalahgunaan keadaan.
Sistem Hukum Indonesia yang Mengatur Malpraktek
Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi. Secara yuridis kasus
malpraktek medis di Indonesia dapat diselesaikan dengan bersandar pada beberapa dasar
hukum yaitu: KUHP, KUHPerdata, UU No 23 Tahun 1992, UU No 8 Tahun 1999, UU
No 29 Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU Nomor 44 Tahun 2009, Peraturan
Menteri Kesehatan No 585/Menkes/Per/IX/1989, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007, Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/Per/III/2008.
Undang-Undang yang bersangkutan, antara lain : UU No 23 Tahun 1992, UU No 29
Tahun 2004, UU No 36 Tahun 2009, UU No 44 Tahun 2009. Serta UUPK memberikan
dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.
Peraturan yang tidak masuk dalam hierarki sistem hukum Indonesia tetapi berkaitan
dengan malpraktek medis antara lain: Peraturan Menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri Kesehatan No
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,
Peraturan Menteri Kesehatan No: 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan
Tindakan Medik.
Dari pengaturan tersebut yang sudah tidak berlaku lagi yakni, UU No 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan yang sudah diganti dengan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan
agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya
tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu
kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur
organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang
terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat
dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
(pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat
3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya.
Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri
dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang
kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan
MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena
anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah
jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya
yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap
melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.7
Upaya Pencegahan Malpraktik dalam Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan dokter dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni :
1) Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
2) Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3) Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis
4) Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior.
5) Memperlakukan pasien secara manusiawi denga memperhatikan segala kebutuhannya.
6) Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, serta keluarganya.7
Daftar Pustaka
1. Guwandi, J, Pengantar Ilmu Hukum Medik & Bio-etika (Prinsip, Pedoman, Pembuktian
dan contoh kasus), Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2005.
2. Achadiat, Chrisdiono M, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, Jakarta: EGC, 2007.
3. Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum
Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak).Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1998.
4. Lumenta, Benyamin. Pelayanan Medis : Citra, Konflik dan Harapan, Tinjauan Fenomena
Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989.
5. Samil, Ratna Suprapti, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1980.
6. Samil, Ratna Suprapti, Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2001.
7. Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta : Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.