Upload
chandrafitriya
View
35
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH PERITONITIS
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami
nikmat sehat jasmani dan rohani sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini .
Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada bapak Ns. Supadi, M.Kep, SP.MB dosen mata
kuliah keperawatan dewasa yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menambah
wawasan kami.
Dalam Makalah ini berisikan tentang “PERITONITIS”, kami mengharapkan kritik dan saran
agar kami dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan khususnya bagi
penulis.
Cirebon, 30 Oktober 2010
Tim penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................ i
Daftar Isi ……………………………………………………………… ii
BAB I Pendahuluan
1.1.Latar Belakang................................................................................ .... 1
1.2.Tujuan Penulisan............................................................................. .... 2
BAB II Pembahasan
2.1 Peritonitis........................................................................................ .... 3
2.2 Etiologi........................................................................................... .... 3
2.3 Patofisiologi.................................................................................... .... 5
2.4 Klasifikasi....................................................................................... .... 8
2.5 Tanda dan Gejala............................................................................ .. 10
2.6 Komplikasi...................................................................................... .. 11
2.7 Pemeriksaan Penunjang.................................................................. .. 11
2.8 Diagnosa Keperawatan yang Muncul............................................. .. 11
2.9 Intervensi........................................................................................ .. 11
2.10 Penatalaksanaan Medis................................................................. .. 13
2.11 Dampak KDM.............................................................................. .. 13
2.12 Pengobatan................................................................................... .. 14
2.13 Prognosis...................................................................................... .. 15
BAB III Penutup
3.1. Kesimpulan....................................................................................... 16
3.2. Saran................................................................................................. 17
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang
biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan
penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan
intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal),
ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-
kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya
benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan
akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan
diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dalam penulisan referat ini akan dibahas mengenai penanganan peritonitis. Peritonitis selain
disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya, juga oleh ileus
obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung atau tidak
langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah mahasiswa dapat memahami penyakit yang terjadi pada organ
abdomen terutama pada peritoneum, dan penulis berharap mahasiswa tidak hanya memahami penyakit
tersebut tapi mahasiswa juga dapat mengetahui penyebab gejala pengobatan dan pencegahan dari
penyakit yang di alami khususnya penyakit peritonitis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan
meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis /
kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan
tanda-tanda umum inflamasi.
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang melingkupi
kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi
peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti rupture appendiks atau divertikulum
karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh
materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung
empeduatau laserasi hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga
pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani
dapat berakibat fatal.
2.2 Etiologi
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan
peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena ninfeksi intra abdomen,tetapi biasanya terjadi pada
pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehinggan menjadi translokasi
bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen
jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan
asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang
rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah
bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan
gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus
lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur
bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi
transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri
gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi
peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan
berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan
atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena
iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses
inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).
2.3 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu
dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi
usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran.
Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.
Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh
mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan
juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem
disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan
cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta
muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana
intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren
dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga
dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi
yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid
5
6
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam
selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri
perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium
dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum
bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan
hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium
karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian
menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk
sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren
dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal
maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial.
Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster
yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila
bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan
waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritoneum.
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Peritonitis Bakterial Primer
1. Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus.
Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
Spesifik : misalnya Tuberculosis
2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen,
imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
B. Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus
urinarius. Pada umumnya organism tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme
dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman
dapat berasal dari:
Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi
usus sehingga feces keluar dari usus.
Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
C. Peritonitis tersier, misalnya:
Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung,
getah pankreas, dan urine.
D. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
Aseptik/steril peritonitis
Granulomatous peritonitis
Hiperlipidemik peritonitis
Talkum peritonitis
2.5 Tanda dan Gejala
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang
sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang
hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut
akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari
palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi
(misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan
penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dnegan paraplegia dan penderita geriatric.
2.6 Komplikasi
Eviserasi Luka
Pembentukan abses
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Test laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
2. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
Usus halus dan usus besar dilatasi.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
2.8 Diagnosa Keperawatan yang Muncul
1. Nyeri bd proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd muntah dan penghisapan usus.
2.9 Intervensi
Diagnosa Keperawatan I :
Nyeri bd proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan
Tujuan :
Persepsi klien tentang nyeri menurun, ditandai penurunan skala nyeri, dan tidak meringis.
Intervensi :
Kaji dan catat karakter dan beratnya nyeri setiap 1-2 jam
Setelah diagnosis, berikan narkotik, analgetik dan sedatif sesuai program untuk meningkatkan
kenyamanan dan istirahat.
Pertahankan tirah baring ; istirahat, lingkungan yang tenang.
Pertahankan posisi nyaman ; semifowler.
Diagnosa Keperawatan II :
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd muntah dan penghisapan usus.
Tujuan :
Nutrisi pasien adekuat, ditandai BB stabil, albumin serum 3,5 s/d 5,5 g/dl.
Intervensi :
Pertahankan pasien puasa sesuai program selama fase akut.
Bila mengalami ileus, selang NG akan dipasang untuk dekompresi abdomen.
Berikan cairan secara bertahap bila motilitas telah kembali, dibuktikan bising usus, penurunan
distensi dan pasase flatus.
Bila diprogramkan dukung pasien dengan nutrisi parenteral.
Berikan pengganti cairan, elektrolit dan vitamin sesuai program.
2.10 Penatalaksanaan Medis
1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan kegagalan
sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk mengganti elektrolit dan
kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan melalui hidung ke dalam usus untuk
mengurangi tekanan dalam usus.
2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan dapat
diupayakan.
3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti apendiktomi. Bila
perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase terhadap abses.
2.11 Dampak KDM
Ruptur perineu → Luka → Terputusnya kontinuitas jaringan → memudahkan mikroorganisme masuk
kedalam tubuh → Pengeluaran zat-zat mediator kimia → kuman berkembang biak → Bradikinin,
histamine, serotonin → menyebabkan infeksi → Rangsangan ujung saraf(nociseptor) → Saraf afferent
Thalamus Cortex cerebri → Saraf afferent Nyeri → dipersepsikan Nyeri
2.12 Pengobatan
Prinsip umum terapi pada peritonitis adalah :
a) Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena.
b) Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi nifas.
Karena pemeriksaan-pemeriksaan ini memerlukan waktu, maka pengobatan perlu dimulai tanpa
menunggu hasilnya. Dalam hal ini dapat diberikan penicillin dalam dosis tinggi atau antibiotika dengan
spectrum luas, seperti ampicillin dan lain-lain.
c) Terapi analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri.
Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Intubasi usus dan
pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan meningkatkan fungsi usus. Cairan
dalam rongga abdomen dapat menyebabkan tekanan yang membatasi ekspansi paru dan menyebabkan
distress pernapasan.
Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat,
tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan.
d) Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.
Tindakan pembedahan diarahkan kepada eksisi terutama bila terdapat apendisitis, reseksi
dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki pada ulkus peptikum yang mengalami perforasi
atau divertikulitis dan drainase pada abses. Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit
radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang
tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Disamping pengobatan dengan antibiotika, tindakan-tindakan untuk mempertinggi daya tahan
badan tetap perlu dilakukan. Perawatan baik sangat penting, makanan yang mengandung zat-zat yang
diperlukan hendaknya diberikan dengan cara yang cocok dengan keadaan penderita, dan bila perlu
transfusi darah dilakukan.
Pada sellulitis pelvika dan pelvioperitonitis perlu diamat-amati dengan seksama apakah terjadi
abses atau tidak. Jika terjadi abses, abses harus dibuka dengan menjaga supaya nanah tidak masuk
kedalam rongga peritoneum dan pembuluh darah yang agak besar tidak sampai dilukai.
2.13 Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum
prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam
rongga perut. Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding
perut sebelah dalam. Peritonitis yang terlokalisir hanya dalam rongga pelvis disebut pelvioperitonitis.
Penyebab peritonitis antara lain : penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi, penyakit
radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual, infeksi dari rahim dan
saluran telur, kelainan hati atau gagal jantung, peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan,
dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal), iritasi tanpa infeksi.
Patofisologi peritonitis adalah reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi usus.
Prinsip umum terapi pada peritonitis adalah :
a) Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena.
b) Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi nifas.
c) Terapi analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri.
d) Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.
3.2 Saran
Kita sebagai seorang perawat dalam mengatasi masalah peritonitis di masyarakat dapat
memberikan berbagai cara untuk mencegah peritonitis dan diharapkan mahasiswa/i dapat memberikan
asuhan keperawatan khususnya pada klien yang mengalami peritonitis yang sesuai dengan apa yang
dipelajari.
Daftar Pustaka
Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ECG ; Jakarta Diagnosa
Keperawatan NANDA 2005-2006 Prima Medika : Jakarta
Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta
Peritonitis,http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7&UID 200705.
Bahan kuliah System Gastroenterohepatologi, Makassar: 2005
Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. 2007. Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah. Dalam: Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: CV Sagung Seto