24
SEJARAH / SITUS PUTRI HIJAU SMK SWASTA BUDI AGUNG MEDAN Tahun Ajaran 2015/2016 NAMA : - RIZKY JIHAN - ADINDA SABILA - SITI RAHMA - M. RIZKY - IYSCA ANISYAH CLASS : X – 3 Jl. Platina Raya No. 7 TITI PAPAN MEDAN DELI

Makalah Putri Hijau

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sejarah medan

Citation preview

Page 1: Makalah Putri Hijau

SEJARAH / SITUS PUTRI HIJAU

SMK SWASTA BUDI AGUNG MEDAN

Tahun Ajaran 2015/2016

NAMA : - RIZKY JIHAN- ADINDA SABILA- SITI RAHMA- M. RIZKY- IYSCA ANISYAH

CLASS : X – 3

Jl. Platina Raya No. 7 TITI PAPAN MEDAN DELI

Kode Pos 20244 Medan (061) 6852807

SUMATERA UTARA

Page 2: Makalah Putri Hijau

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, berkat rahmat

dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah ini.

Dalam penulisan makalah yang berjudul “ Sejarah Situs Putri Hijau’’, banyak sekali

kendala dan kesulitan yang penulis hadapi. Tetapi berkat bimbingan dan bantuan berbagai

pihak maka makalah ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan

terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Guru Bidang Sejarah di SMK Budi Agung Medan yang telah banyak  memberikan

bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

2. Kedua orang tua yang telah memberikan kasih sayang, dorongan, semangat, bimbingan

dan bantuan moril maupun materil,

3. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu khususnya yang telah

memberikan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna untuk itu dengan hati yang

terbuka penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya

makalah ini dan makalah-makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi diri saya

pribadi dan bagi pembaca pada umumnya.

Medan, Maret 2016

P e n u l i s

Makalah Sejarahii

Page 3: Makalah Putri Hijau

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2. Permasalahan ........................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Mitologi Putri Hijau .............................................................................. 3

2.2. Tinggalan Arkeologis di Benteng Putri Hijau ...................................... 5

2.3. Konsep Benteng .................................................................................... 7

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ........................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 12

Makalah Sejarahiii

Page 4: Makalah Putri Hijau

BAB I

PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang

Benteng Putri Hijau terletak di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli

Serdang, Sumatera Utara, dengan koordinat 030 28’ 57,9” LU dan 0980 40’ 27.0” BT.

Kondisinya saat ini semakin terancam oleh pembangunan perumahan di sekeliling situs

tersebut. Benteng tersebut melingkupi areal berukuran ± 732 x 250 meter atau memiliki luas

sekitar 17 ha. Batas-batas Benteng Putri Hijau adalah sebagai berikut : di sebelah utara

berbatasan dengan pemukiman penduduk yang menempati areal di luar maupun di dalam

benteng. Sebelah barat sebagian merupakan areal yang berbatasan dengan tebing curam,

terutama yang terletak di sisi sebelah baratlaut. Sebagian lagi berbatasan dengan areal landai

yang saat ini dimanfaatkan sebagai perladangan. Demikian juga dengan sisi selatan

berbatasan dengan perladangan penduduk, sedangkan di sebelah timur benteng tanah

menghadap langsung ke jurang, di mana terdapat hulu aliran Sungai Deli yang disebut Sungai

Petani (Lau Tani).

Di luar benteng tanah terdapat parit-parit buatan yang mengelilingi. Benteng tanah, maupun

parit buatan berukuran lebar mencapai 4 meter, bahkan lebih. kedalaman parit mencapai lebih

dari 2 meter. Adapun bangunan benteng tanah di beberapa tempat, berukuran tinggi mencapai

hingga 6-7 meter.

Pintu masuk utama benteng pada masa lalu diperkirakan terletak di sebelah timur, tepat di

sebelah pemandian Putri Hijau (Pancuran Gading). Bagian pintu masuk benteng merupakan

dinding tebing yang dilandaikan. Di samping kiri-kanan pintu masuk tersebut terdapat

dinding tanah berukuran cukup tinggi.

Di beberapa tempat tampaknya terdapat pemotongan bagian benteng. Tidak diketahui secara

pasti, apakah pemotongan dinding benteng merupakan sisa aktivitas masa lalu atau dilakukan

pada masa belakangan. Benteng tanah juga mengalami kerusakan akibat aktivitas yang

dilakukan oleh masyarakat pada saat mengolah lahan. Di beberapa tempat benteng tanah

maupun paritnya bahkan telah rata. Sebagai sebuah sistem pertahanan keamanan bangunan

benteng dikelilingi juga dengan tanaman bambu yang sampai saat ini masih dapat ditemukan.

Makalah Sejarah1

Page 5: Makalah Putri Hijau

1.2. Permasalahan

Tinggalan arkeologis yang masih tersisa dari bukti-bukti keberadaan Benteng Putri Hijau

hingga saat ini Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan

Purbakala Banda Aceh (2008: 4) pada Bulan Desember 2008, di kawasan Benteng Puti Hijau

pertama, yang tersisa saat ini adalah bagian dinding tanah yang membujur arah utara-selatan

sepanjang 40 meter. Selain itu terdapat benteng sisi selatan, membujur arah barat-timur

sepanjang 100 meter, sementara hasil pengukuran yang dilakukan oleh Balai Arkeologi

Medan pada Bulan Agustus 2008 diperkirakan panjang dinding benteng tanah sisi sebelah

selatan mencapai 240 meter.

Benteng kedua adalah terletak di sebelah utara benteng tersebut di atas. Saat ini yang tersisa

adalah gundukan tanah membentuk huruf L. Dinding sebelah selatan (barat-timur) berukuran

panjang 180 meter. Sedangkan dinding sebelah barat (utara-selatan) berukuran panjang 120

meter. Beberapa survey yang dilakukan di lokasi ini berhasil mendapatkan cukup banyak

temuan keramik tembikar dan beberapa temuan lain, seperti batuan yang diperkirakan telah

dibentuk oleh manusia.

Saat ini lokasi Benteng Putri Hijau sebagian berada pada areal pembangunan perumahan

yang dilaksanakan oleh Perum Perumnas Regional I Wilayah Sumatera Bagian Utara. Lahan

peruntukan proyek pembangunan Perum Perumnas adalah mencapai luasan sekitar 40 hektar,

yang meliputi kawasan lokasi Benteng Putri Hijau. Sebagian areal ini merupakan lokasi

pemukiman penduduk. Lebih dari separuh bagian benteng telah diratakan oleh pengembang.

Tulisan ini membahas arti penting Benteng Putri Hijau ini bagi sejarah cikal bakal

Kesultanan Deli. Beberapa data sejarah dan arkeologis berusaha ditampilkan untuk

memperkuat dugaan peran Benteng Putri Hijau ini bagi sejarah awal perkembangan

Kesultanan Deli.

Makalah Sejarah2

Page 6: Makalah Putri Hijau

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Mitologi Putri Hijau

Masyarakat pada umumnya memercayai keberadaan benteng tanah di Deli Tua berkaitan erat

dengan keberadaan Mitologi Putri Hijau. Pancuran Gading yang terdapat di depan pintu

masuk, di bagian bawah benteng merupakan sumber mata air keramat, yang dipercaya

sebagai tempat pemandian Putri Hijau.

Dikisahkan bahwa Putri Hijau adalah merupakan putri dari Sultan Deli yang beristana di Deli

Tua saat ini. Karena kecantikannya, putri tersebut menarik minat Raja Aceh, sehingga

timbullah keinginan untuk meminang putri tersebut. Namun gayung tak bersambut,

penolakan pinangan menimbulkan ketersinggungan yang berujung pada penyerangan yang

dilakukan Kerajaan Aceh ke wilayah Deli.

Mendapat perlawanan yang cukup sengit, Kerajaan Aceh menggunakan strategi dengan

menembakkan peluru yang diisi dengan uang emas. Melihat keadaan itu buyarlah konsentrasi

pasukan Kesultanan Deli sehingga dengan mudah Kerajaan Aceh menguasai keadaan.

Melihat keadaan itu seorang saudara Putri Hijau yang merupakan seekor naga dan mengambil

inisiatif membawa lari Putri Hijau, sedangkan saudara lainnya, yang merupakan meriam tetap

melakukan perlawanan dengan memuntahkan peluru-pelurunya. Akibat terlalu sering

ditembakkan meriam tersebut pecah karena panas. Pecahan meriam tersebut terlontar ke

Labuhan-Deli dan sebagian lagi ke Sukanalu, Tanah Karo. Sementara itu untuk menghindari

penguasaan Kerajaan Aceh sang putri diungsikan oleh saudaranya yang menjelma menjadi

naga menyusuri aliran Sungai Deli, menuju ke Selat Malaka dan akhirnya menuju Teluk

Jambu Air (Jambu Aye) di dekat Lhokseumawe.

Mitologi Putri Hijau merupakan sarana untuk menyampaikan informasi, data sejarah yang

terjadi pada masa itu berkaitan dengan penyerangan Kerajaan Aceh ke wilayah Aru (?) yang

merupakan cikal-bakal kerajaan Deli saat ini. Beberapa fakta yang disepakati di antaranya

adalah telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh ke wilayah Kerajaan

Aru yang berakibat keruntuhan Kerajaan Aru.

Makalah Sejarah3

Page 7: Makalah Putri Hijau

Mitologi yang menyatakan Putri Hijau bersaudara dengan naga dan meriam puntung

bertujuan untuk mengukuhkan keberadaan Kerajaan Aru. Ketiganya perlambang bahwa Raja

Aru mengesahkan dirinya sebagai penguasa dari Kerajaan Aru yang ditandai dengan

pernyataan bahwa Raja Aru memiliki anak berwujud naga. Seperti disebutkan di atas,

ular/naga, adalah jin penguasa tanah, demikian juga dengan pernyataan bahwa Raja Aru

memiliki anak Putri Hijau yang merupakan simbol dari vegetasi yang terdapat di

permukaannya. Dengan adanya pengakuan bahwa Raja Aru memiliki anak Putri Hijau dan

Naga, menunjukkan bahwa bumi pertiwi beserta vegetasinya (hijau) serta naga yang

merupakan penguasa tanah (bumi) adalah “anak” dari Raja Aru. Upaya ini adalah untuk

melegitimasi bahwa Raja Aru adalah pemilik yang sah dari “Bumi Aru” beserta isinya.

Pinangan Kerajaan Aceh terhadap Putri Hijau yang cantik rupawan merupakan penghalusan

dari kalimat penaklukan yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh. Kecantikan Putri Hijau lebih

bermakna kecantikan/kesuburan bumi dan alam Kerajaan Aru yang sangat terkenal sampai ke

Aceh. Hal ini berhubungan dengan ekspansi Kerajaan Aceh yang pada masa itu Aru

dipandang merupakan kekuatan yang akan menjadi pesaing. “Pinangan” dari Kesultanan

Aceh terhadap Puteri Hijau tentu saja ditolak. Sebagai sebuah kerajaan yang mandiri

keinginan Kesultanan Aceh untuk menjadikan Kerajaan Aru sebagai daerah taklukan

mendapatkan penolakan, sehingga Kesultanan Aceh menggunakan cara peperangan.

Disebutkan dalam mitologi tersebut bahwa Putri Hijau tidak bersedia dan akhirnya melarikan

diri. Tuanku Luckman Sinar meyebutkan bahwa Putri Hijau menggunakan perahu dengan

motif kepala naga menuju Selat Malaka. Pertahanan terakhir adalah Meriam Puntung.

Mengingat jasa-jasanya pada masa belakangan meriam tersebut diperlakukan sebagai

“anak/saudara” Puteri Hijau dan Naga Simangombus.

Penaklukan Aceh terhadap Aru kemungkinan diiringi juga dengan proses Islamisasi

mengingat pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan institusi Islam yang cukup gencar

melancarkan Islamisasi. Akibat penaklukan ini adalah mulai dikenalnya Islam di daerah yang

menjadi kekuasaan Kesultanan Deli. Pada masa itu kemungkinan masyarakat Aru masih

menganut kepercayaan yang telah ada sebelumnya (Agama Hindu/Budha), hal ini terlihat dari

temuan berupa fragmen lingga (simbol dari Dewa Siwa) yang saat ini terdapat di Sukanalu

yang oleh masyarakat dianggap sebagai peluru meriam. Sampai sekarang, meriam puntung,

yang dianggap keramat oleh kesultanan Deli masih terdapat di Istana Maimon. Meriam

puntung adalah merupakan salah satu bukti simbol gigihnya perlawanan masyarakat Aru

Makalah Sejarah4

Page 8: Makalah Putri Hijau

(Deli) disaat penaklukan oleh kerajaan Aceh. Pengkultusan meriam puntung yang dalam

mitologi dianggap sebagai saudara Putri Hijau pada hakikatnya adalah untuk mengingatkan

kita generasi penerus bahwa perjuangan untuk mempertahankan kebenaran adalah mutlak,

walaupun adakalanya mengorbankan diri kita. Selain itu meriam puntung dianggap sebagai

ikon pemersatu beberapa sub etnis asli penduduk Kerajaan Deli.

Penaklukan Aceh jangan dianggap upaya untuk memecah belah persatuan yang ada,

penaklukan Aceh lebih banyak hanya bersifat politis mengingat Aru sebagai kerajaan yang

besar suatu saat akan menjadi ancaman. Meriam puntung yang saat ini tersimpan di Istana

Maimon tersimpan sebagai benda sakral yang merupakan symbol dari berhasil dikuasainya

Kerajaan Aru yang merupakan cikal-bakal kerajaan Deli yang telah mendapat pengaruh dari

kerajaan Aceh. Pecahan meriam puntung yang terdapat di Sukanalu adalah ungkapan yang

terdapat di masyarakat bahwa pada masa lampau, dan masa kini, masyarakat Karo, yang

diwakili oleh masyarakat Sukanalu, adalah merupakan bagian dari Kerajaan Deli.

2.2. Tinggalan Arkeologis di Benteng Putri Hijau

Di lokasi yang disebut dengan Benteng Putri Hijau telah didapatkan lapisan budaya masa lalu

yang mengandung serangkaian data arkeologis, baik di atas maupun di bawah permukaan

tanah. Data-data arkeologis tersebut merupakan bukti adanya aktivitas budaya yang penting

pada masa lalu di lokasi tersebut. Pelaksanaan penggalian penyelamatan yang dilakukan oleh

pihak Balai Pelestarian Peninggalan Pubakala Banda Aceh, Balai Arkeologi Medan serta

instansi terkait di daerah pada tahun 2008 berhasil membuka beberapa kotak gali untuk test

pit (TP).

Test pit yang dilakukan menghasilkan beberapa tinggalan artefaktual, di antaranya adalah:

peralatan batu (sumatralith) yang menggunakan bahan batuan beku. Indikasi pembentukan

yang dilakukan oleh manusia antara lain terdapat jejak-jejak pemangkasan (retus) pada saat

pembentukan maupun penggunaanya. Alat-alat batu (sumatralith) yang ditemukan pada TP I

berjumlah dua buah, yang pertama berukuran panjang 14 cm, lebar 7 cm, tebal pangkal 4 cm

dan tebal ujung 2,7 cm. Alat batu kedua dan berukuran panjang 13,5 cm, lebar 9,13 cm, tebal

pangkal 4,6 cm dan tebal ujung 2,6 cm. Alat batu ketiga ditemukan di TP II, berukuran

panjang 12,9 cm, lebar 8,5 cm, tebal pangkal 3,6 cm dan tebal ujung 1,5 cm.

Jenis temuan kedua adalah peluru senjata api berbahan timah, berbentuk bulat dengan

diameter 1,5 cm dengan berat 23 gram. Peluru tersebut merupakan peluru laras panjang yang

Makalah Sejarah5

Page 9: Makalah Putri Hijau

umum digunakan pada abad ke 15-ke 19 M, yang dikenal dengan nama

senapan musket atau tϋfenk(dalam bahasa Turki).

Jenis temuan ketiga, yang ditemukan pada saat penggalian ataupun pada saat survey adalah

keramik. Melalui penggalian yang dilakukan di situs tersebut didapatkan sebanyak 19

fragmen keramik, sisanya, sebanyak 35 buah didapat melalui survey permukaan. Analisis atas

bentuk, bahan dan pola hias yang terdapat pada temuan keramik hasil penggalian sebagian

menunjukkan pertanggalan penggunaan situs tersebut adalah berkisar pada abad 12-14 M

(sebanyak 8 keping), abad 16-17 M (sebanyak 3 keping) dan masing masing satu keping

berasal dari abad lebih tua, yaitu abad 9-10 M dan yang termuda berasal dari abad 17-18 M.

Adapun temuan yang didapat dari survey permukaan didominasi temuan yang berasal dari

abad 17-18 M, disusul temuan berasal dari abad 12-14 M.

Dalam bukunya yang berjudul “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera

Timur”, Tuanku Lukman Sinar menyebutkan bahwa pada tahun 1869, Kontelir Cats de

Raet menemukan sebuah meriam (lela) yang telah diserahkan ke Museum Pusat di Jakarta

dengan kapal BaronSloet v.d. Beele. Pada meriam tersebut terdapat pertulisan dalam aksara

Melayu/Jawi yang berbunyi “Sanat….03 Alamat Balun Haru”. Sanat…03 tidak jelas,

namun apabila 03 berarti tahun 1003 Hijriyah, berarti cocok dengan 1539 Masehi, yang

menurut Pinto merupakan ditaklukkannya Haru oleh Sultan Aceh, Al Qahhar. “Alamat Balun

Haru” dapat juga berarti Alamat sadar (siuman) Haru, tetapi dalam bahasa Aceh dapat berarti:

“Dalam Tahun ….03, di tempat saya menyerahkan Haru kepada Tuanku”. Dalam Bahasa

Melayu “Balun” juga berarti “sadar” atau juga “dilibas”.Terlepas dari isi/arti pertulisan

tersebut, di tengah-tengah benteng Putri Hijau telah didapatkan bukti tentang nama Haru.

Temuan peluru senjata api berbahan timah, menunjukkan bahwa di situs tersebut pernah

terjadi perang atau setidaknya senapan yang ditembakkan. Apabila kepemilikan senjata api

tersebut sejaman dengan peperangan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dan Aru (Deli?) maka

senjata api tersebut kemungkinan berasal dari Turki. Senjata api jenis senapan laras panjang

itu umum digunakan pada abad ke 15-19, yang dikenal dengan sebutan musket atau tufenk.

Senapan-senapan tersebut dibawa ke Deli Tua dari Negara asal pembuatnya (Turki) oleh

tentara Aceh atau sepasukan tentara Turki sendiri yang diperbantukan untuk menyerang

wilayah kekuasaan kerajaan di Deli Tua (BP3 Aceh, 2008:17).

Selain itu terdapat temuan berupa koin Aceh yang diperkirakan berasal dari abad ke XVII.

Keberadaan mata uang Aceh berkaitan dengan kedatangan dan atau digunakan koin-koin

Aceh untuk transaksi perdagangan. Hal ini tentu saja sangat memungkinkan, mengingat

Makalah Sejarah6

Page 10: Makalah Putri Hijau

keberadaan Kesultanan Aceh pada waktu yang sama, bahkan sebelumnya telah mengeluarkan

mata uang resmi kerajaan untuk perdagangan, sehingga tidak mustahil apabila koin-koin yang

beredar di Kerajaan Aceh juga beredar di Kerajaan Aru, untuk memperlancar transaksi

perdagangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Hubungan dagang antara Kerajaan Aru (Deli Tua) pada masa yang cukup lama juga telah

dilakukan dengan bangsa-bangsa lain seperti India dan Cina. Melalui hubungan perdagangan

secara tidak langsung juga berpengaruh pada kontak-kontak kebudayaan, yang dilakukan

dengan Cina ataupun India. E.E. Mc Kinnon menyebutkan bahwa walaupun bukti-bukti

secara fisik sangat jarang ditemukan, kebudayaan masyarakat Karo sangat dipengaruhi oleh

kebudayaan yang berasal dari India. Bukti-bukti yang ada hingga saat ini adalah adanya

unsur-unsur India Selatan yang digunakan oleh masyarakat Karo. Marga Colia, Brahmana,

serta hal-hal lain merupakan salah satu bukti penggunaan unsur-unsur yang berasal dari

India (Kinnon:1993-1994).

Bukti-bukti adanya kontak dengan Cina secara fisik dapat diketahui, dari adanya bukti berupa

temuan keramik yang tersebar di situs Benteng Putri Hijau. Berdasarkan hasil analisis temuan

keramik yang ditemukan di Deli Tua dari hasil penggalian yang dilakukan diketahui bahwa

periode masa hunian di bagian dalam benteng tanah Deli Tua adalah dalam rentang waktu

antara 12-18. Temuan hasil penggalian menunjukkan bahwa periode tertua adalah temuan

keramik yang berasal dari abad 12-14 M, bahkan ditemukan sekeping fragmen keramik yang

berasal dari abad 9-10 M. Periode yang lebih muda menunjukkan bahwa situs tersebut masih

digunakan sampai abad 17-18.

Sebaliknya berdasarkan hasil survey permukaan menunjukkan bahwa temuan keramik

terbanyak berasal dari abad ke 17-18 M, disusul oleh temuan yang berasal dari abad 12-14 M.

Hal ini menunjukkan bahwa di situs tersebut mengalami masa hunian yang cukup lama.

Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab maju mundurnya hunian di Benteng

Putri Hijau. Data-data sejarah tidak banyak memberikan informasi tentang kondisi kerajaan

yang berkedudukan di Deli Tua ini.

2.3. Konsep Benteng

Benteng adalah merupakan perkembangan dari sebuah pagar yang pada awalnya ditujukan

untuk mencegah masuknya binatang buas. Seiring dengan berkembangnya sistem organisasi

kemasyarakatan yang mantap, fungsi pagar keliling menjadi sangat penting. Sebuah

Makalah Sejarah7

Page 11: Makalah Putri Hijau

pemukiman, menggunakan pagar keliling sebagai batas teritorial sekaligus sebagai penanda

wilayah kekuasaan. Untuk bangunan-bangunan yang bernilai religius penggunaan pagar-

pagar lebih maju lagi, yaitu digunakan untuk membatasi dan membedakan bagian sakral

dengan yang profan. Pada hakekatnya fungsi pagar digunakan untuk menghambat atau

menahan unsur-unsur yang berasal dari luar yang akan memasuki suatu wilayah tanpa seijin

pemilik wilayah tersebut.

Kontak kebudayaan dan didukung keadaan alam yang memungkinkan, mulailah dibangun

benteng seperti yang disebut sekarang ini. Benteng-benteng merupakan bangunan yang

terbuat dari bahan batu ataupun bata, di beberapa daerah karena kurang tersedianya bahan

baku, sarana pertahanan keamanan tetap menggunakan tanah sebagai benteng terutama di

Sumatera. Pemakaian bangunan tanah sebagai bangunan pertahanan ditemukan di beberapa

tempat mewakili beberapa masa hunian, Hindu/Buddha, Islam sampai kolonial.

Pembangunan benteng dengan menggunakan bata mulai populer di Jawa pada masa kejayaan

Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Pada saat itu penggunaan bata untuk pembangunan

bangunan-bangunan monumental seperti istana ataupun benteng mulai memasyarakat,

terutama di Jawa dan beberapa daerah lain.

Pada masa kedatangan Belanda sekitar abad ke-16 fungsi bangunan benteng sedikit

mengalami perubahan. Bangunan-bangunan perumahan Belanda dikelilingi oleh benteng. Hal

ini karena dasar mereka menetap di Indonesia disertai dengan siasat perang. Pada masa itu

benteng dibangun dengan menggunakan bahan batu karang yang diplester

tanah (Sumintardja, 1981:113).

Umumnya pola pemukiman pada masyarakat Batak (Toba), Huta atau Kuta dikelilingi oleh

parit yang sengaja digali atau dikelilingi oleh dinding-dinding tanah, atau bahkan keduanya

(parit dan dinding tanah). Bagian atas dari dinding tanah tersebut biasanya ditanami rumpun

bambu atau pokok kayu. Fungsi parit serta dinding tanah tersebut dalam kepercayaan

masyarakat Batak dipercaya sebagai pelindung dari serapan angin jahat (Simanjuntak,

2004:36).

Dalam tradisi pembangunan pemukiman masyarakat Batak Toba, setelah umah selesai

dibangun, selanjutnya adalah membuat tembok tanah (parik) di sekeliling desa dan

menanaminya dengan tanaman bambu berduri. Setelah pekerjaan selesai diadakan sebuah

pesta peresmian yang disebut mangompoi huta (meresmikan kampung).

Beberapa huta memiliki dua buah parik, yakni parik bulu suraton dan parik bulu duri.

Makalah Sejarah8

Page 12: Makalah Putri Hijau

Adanya tanaman bambu yang berasosiasi dengan benteng memperkuat asumsi bahwa selain

berfungsi untuk membatasi daerah sakral dan profan benteng tersebut sangat efektif

digunakan untuk pertahanan keamanan. Masyarakat Batak Toba menganggap, tanaman

bambu atau pohon dimaksudkan untuk mencegah masuknya angin yang kuat yang dianggap

dapat membawa penyakit(Simanjuntak, 2004: 51-62). Pembangunan benteng-benteng tanah

pada masyarakat Batak (Toba, Simalungun dan Karo) berkaitan dengan dilakukannya

perlindungan terhadap kesatuan teritorial (bentuk pemukiman), seperti: sosor, lumban, huta,

horja, bius, kuta, urung dan partumpakan.

Huta Pada masyarakat Batak Toba dan Simalungun merupakan suatu kesatuan teritorial atau

bentuk pemukiman yang dihuni oleh beberapa keluarga yang berasal dari satu klen atau

marga. Pada masyarakat Batak Karo kesatuan teritorial semacam itu dinamakan kesain yang

berarti “halaman rumah”, yang dalam hal ini adalah sebuah desa yang dihuni oleh satu

marga. Kutapada masyarakat Karo berbeda dengan huta pada masyarakat Batak

Toba. Kuta dalam masyarakat Karo merupakan pemukiman yang dihuni oleh beberapa klen

atau marga. Bentuk pemukiman yang lebih kecil dari huta (pada Masyarakat Toba)

dan kesain (pada masyarakat Karo) adalah lumban, sosor (Toba) dan barung-barung (karo).

Satuan pemukiman yang paling besar adalah bius (Toba), urung (karo)

atau partumpakan (Simalungun). Bentuk pemukiman ini adalah merupakan kesatuan

dari Huta/Kuta atau Horja (Simanjuntak, 2004: 37).

Mengingat daerah tersebut memiliki luasan mencapai 40 ha. Dan secara geografis berada

pada wilayah persebaran masyarakat Karo. Kemungkinan benteng tanah tersebut merupakan

sebuahKuta(Karo), atau bahkan mungkin merupakan Urung. Seperti disebutkan di atas Kuta,

dalam masyarakat Karo merupakan pemukiman yang dihuni oleh beberapa klen/marga,

sedangkanUrung adalah merupakan bentuk kesatuan dari Kuta. Tidak diketahui secara pasti

apakah Kerajaan Aru/Haru/Karo(?) adalah merupakan sebuah Kuta atau Urung.

Lebih jauh, tidak banyak bukti arkeologis yang mampu menjawab pertanyaan bagaimana

keterkaitan antara Benteng Putri Hijau yang ada saat ini dengan ekspansi yang dilakukan

tentara Aceh pada masa lalu, namun beberapa data arkeologis menguatkan pendapat tersebut.

Berdasarkan data-data tekstual maupun mitologi penyerangan Kerajaan Aceh adalah ke

Aru/Haru. Tidak diketahui secara pasti sebelum akhirnya berubah nama menjadi Deli hingga

sekarang ini. Terdapat kemiripan antara sebutan Aru/Haru dengan Karo.

Makalah Sejarah9

Page 13: Makalah Putri Hijau

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Secara umum fungsi benteng tanah adalah untuk “membentengi” dari gangguan dan ancaman

yang bersifat fisik ataupun non-fisik. Seiring dengan perkembangan jaman fungsi benteng

tanah bergeser dari fungsi awal yaitu membentengi suatu lokalitas dari gangguan yang

bersifat fisik beralih fungsi sebagi pelindung dari ancaman yang bersifat fisik maupun non-

fisik. Pada masa belakangan seiring dengan mulai memudarnya kekuasaan raja-raja di

nusantara akibat dominasi Belanda fungsi benteng lebih banyak digunakan untuk

membentengi dari gangguan yang bersifat fisik, peperangan misalnya.

Beberapa data arkeologis membuktikan bahwa terdapat indikasi bahwa bangunan benteng

Putri Hijau memang merupakan sebuah lokasi hunian. Tidak diketahui secara pasti apakah

hunian tersebut merupakan sebuah Kuta atau Urung dalam kebudayaan Karo. Data-data

sejarah menyebutkan bahwa di lokasi tersebut pada masa lalu merupakan pusat dari kota

kerajaan Aru atau yang merupakan cikal bakal dari kerajaan Deli yang sisanya masih dapat

kita ketahui hingga saat ini. Selain itu beberapa data sejarah menyebutkan bahwa keberadaan

Benteng Putri Hijau merupakan pusat kota dari Kerajaan Aru yang pernah ditaklukkan oleh

kerajaan Aceh pada abad ke 16 M. penyerangan Aceh ini berkaitan dengan mitos yang

berkembang di masyarakat yang berasal dari Deli Tua ini. Data-data arkeologis sampai saat

ini masih sedikit memberikan informasi mengenai keberadaan Benteng Putri Hijau ini.

Kegiatan penggalian yang dilaksanakan oleh instansi terkait, seperti Balai Pelestarian

Peninggalan Purbakala Banda Aceh dan balai Arkeologi Medan belum banyak membuktikan

bahwa di tempat tersebut pada masa lalu merupakan pusat Kerajaan Aru. Hasil analisis

terhadap temuan keramik menunjukkan bahwa masa hunian di dalam Benteng Putri Hijau ini

cukup panjang, yaitu diperkirakan mulai dari abad 12-14 dan dari abad 17-18. Beberapa

Informasi penting lainnya adalah yang berasal dari beberapa catatan perjalanan bangsa-

bangsa asing. Informasi yang didapatkan umumnya mengarah pada keberadaan Benteng Putri

Hijau sebagai pusat Kerajaan Aru, dimana pada abad ke 16 kerajaan tersebut pada akhirnya

dapat ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh.

Makalah Sejarah10

Page 14: Makalah Putri Hijau

Tidak banyak data-data arkeologis yang dapat membuktikan keterkaitan antara Kerajaan Aru

dengan Benteng Putri Hijau. Mengingat minimnya bukti-bukti arkeologis berkaitan dengan

Benteng Putri Hijau ini maka diperlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan informasi

sebanyak mungkin berkaitan dengan mitologi yang berkembang dengan Benteng Putri Hijau.

(Penulis: Peneliti pada Balai Arkeologi Medan)

Makalah Sejarah11

Page 15: Makalah Putri Hijau

DAFTAR PUSTAKA

Geldern, Robert Heine, 1982. Konsepsi Tentang Negara Kedudukan Raja di Asia

Tenggara(diterjemahkan oleh Deliar Noer). Jakarta: Rajawali Press.

Guillot, Claude, 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: EFEO, Association

Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, Yayasan Obor Indonesia.

Kinnon, E.E. Mc, 1993-1994. Arca-arca Tamil Di Kota Cina, dalam Saraswati Majalah

Arkeologi No 2. Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia 2. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Oetomo, Repelita Wahyu, 2003. Benteng Tanah Di Pulau Lingga, dalam Berkala Arkeologi

Sangkhakala No. 11 / 2003, Medan: Balai Arkeologi Medan, hal 91—100.

————-2003. Pusat Kota Kesultanan Langkat, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala

No. 12 / 2003, Medan: Balai Arkeologi Medan, hal 55-63).

Santiko, Hariani, 1996. Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Budha di Indonesia (Abad

VIII-XV Masehi) Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik, dalam Jurnal Arkeologi

Indonesia No. 2, Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Hal 136-156.

Sinar, T. Luckman, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur

Simanjuntak, DR. Bungaran Antonius dkk, 2004. Arti dan Fungsi Tanah Bagi Masyarakat

Batak. Medan: KSPPM dan Batara.

Makalah Sejarah12