Upload
arlyhidayat
View
68
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sejarah medan
Citation preview
SEJARAH / SITUS PUTRI HIJAU
SMK SWASTA BUDI AGUNG MEDAN
Tahun Ajaran 2015/2016
NAMA : - RIZKY JIHAN- ADINDA SABILA- SITI RAHMA- M. RIZKY- IYSCA ANISYAH
CLASS : X – 3
Jl. Platina Raya No. 7 TITI PAPAN MEDAN DELI
Kode Pos 20244 Medan (061) 6852807
SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, berkat rahmat
dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah ini.
Dalam penulisan makalah yang berjudul “ Sejarah Situs Putri Hijau’’, banyak sekali
kendala dan kesulitan yang penulis hadapi. Tetapi berkat bimbingan dan bantuan berbagai
pihak maka makalah ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Guru Bidang Sejarah di SMK Budi Agung Medan yang telah banyak memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
2. Kedua orang tua yang telah memberikan kasih sayang, dorongan, semangat, bimbingan
dan bantuan moril maupun materil,
3. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu khususnya yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna untuk itu dengan hati yang
terbuka penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya
makalah ini dan makalah-makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi diri saya
pribadi dan bagi pembaca pada umumnya.
Medan, Maret 2016
P e n u l i s
Makalah Sejarahii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Permasalahan ........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Mitologi Putri Hijau .............................................................................. 3
2.2. Tinggalan Arkeologis di Benteng Putri Hijau ...................................... 5
2.3. Konsep Benteng .................................................................................... 7
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan ........................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 12
Makalah Sejarahiii
BAB I
PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang
Benteng Putri Hijau terletak di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara, dengan koordinat 030 28’ 57,9” LU dan 0980 40’ 27.0” BT.
Kondisinya saat ini semakin terancam oleh pembangunan perumahan di sekeliling situs
tersebut. Benteng tersebut melingkupi areal berukuran ± 732 x 250 meter atau memiliki luas
sekitar 17 ha. Batas-batas Benteng Putri Hijau adalah sebagai berikut : di sebelah utara
berbatasan dengan pemukiman penduduk yang menempati areal di luar maupun di dalam
benteng. Sebelah barat sebagian merupakan areal yang berbatasan dengan tebing curam,
terutama yang terletak di sisi sebelah baratlaut. Sebagian lagi berbatasan dengan areal landai
yang saat ini dimanfaatkan sebagai perladangan. Demikian juga dengan sisi selatan
berbatasan dengan perladangan penduduk, sedangkan di sebelah timur benteng tanah
menghadap langsung ke jurang, di mana terdapat hulu aliran Sungai Deli yang disebut Sungai
Petani (Lau Tani).
Di luar benteng tanah terdapat parit-parit buatan yang mengelilingi. Benteng tanah, maupun
parit buatan berukuran lebar mencapai 4 meter, bahkan lebih. kedalaman parit mencapai lebih
dari 2 meter. Adapun bangunan benteng tanah di beberapa tempat, berukuran tinggi mencapai
hingga 6-7 meter.
Pintu masuk utama benteng pada masa lalu diperkirakan terletak di sebelah timur, tepat di
sebelah pemandian Putri Hijau (Pancuran Gading). Bagian pintu masuk benteng merupakan
dinding tebing yang dilandaikan. Di samping kiri-kanan pintu masuk tersebut terdapat
dinding tanah berukuran cukup tinggi.
Di beberapa tempat tampaknya terdapat pemotongan bagian benteng. Tidak diketahui secara
pasti, apakah pemotongan dinding benteng merupakan sisa aktivitas masa lalu atau dilakukan
pada masa belakangan. Benteng tanah juga mengalami kerusakan akibat aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat pada saat mengolah lahan. Di beberapa tempat benteng tanah
maupun paritnya bahkan telah rata. Sebagai sebuah sistem pertahanan keamanan bangunan
benteng dikelilingi juga dengan tanaman bambu yang sampai saat ini masih dapat ditemukan.
Makalah Sejarah1
1.2. Permasalahan
Tinggalan arkeologis yang masih tersisa dari bukti-bukti keberadaan Benteng Putri Hijau
hingga saat ini Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Banda Aceh (2008: 4) pada Bulan Desember 2008, di kawasan Benteng Puti Hijau
pertama, yang tersisa saat ini adalah bagian dinding tanah yang membujur arah utara-selatan
sepanjang 40 meter. Selain itu terdapat benteng sisi selatan, membujur arah barat-timur
sepanjang 100 meter, sementara hasil pengukuran yang dilakukan oleh Balai Arkeologi
Medan pada Bulan Agustus 2008 diperkirakan panjang dinding benteng tanah sisi sebelah
selatan mencapai 240 meter.
Benteng kedua adalah terletak di sebelah utara benteng tersebut di atas. Saat ini yang tersisa
adalah gundukan tanah membentuk huruf L. Dinding sebelah selatan (barat-timur) berukuran
panjang 180 meter. Sedangkan dinding sebelah barat (utara-selatan) berukuran panjang 120
meter. Beberapa survey yang dilakukan di lokasi ini berhasil mendapatkan cukup banyak
temuan keramik tembikar dan beberapa temuan lain, seperti batuan yang diperkirakan telah
dibentuk oleh manusia.
Saat ini lokasi Benteng Putri Hijau sebagian berada pada areal pembangunan perumahan
yang dilaksanakan oleh Perum Perumnas Regional I Wilayah Sumatera Bagian Utara. Lahan
peruntukan proyek pembangunan Perum Perumnas adalah mencapai luasan sekitar 40 hektar,
yang meliputi kawasan lokasi Benteng Putri Hijau. Sebagian areal ini merupakan lokasi
pemukiman penduduk. Lebih dari separuh bagian benteng telah diratakan oleh pengembang.
Tulisan ini membahas arti penting Benteng Putri Hijau ini bagi sejarah cikal bakal
Kesultanan Deli. Beberapa data sejarah dan arkeologis berusaha ditampilkan untuk
memperkuat dugaan peran Benteng Putri Hijau ini bagi sejarah awal perkembangan
Kesultanan Deli.
Makalah Sejarah2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Mitologi Putri Hijau
Masyarakat pada umumnya memercayai keberadaan benteng tanah di Deli Tua berkaitan erat
dengan keberadaan Mitologi Putri Hijau. Pancuran Gading yang terdapat di depan pintu
masuk, di bagian bawah benteng merupakan sumber mata air keramat, yang dipercaya
sebagai tempat pemandian Putri Hijau.
Dikisahkan bahwa Putri Hijau adalah merupakan putri dari Sultan Deli yang beristana di Deli
Tua saat ini. Karena kecantikannya, putri tersebut menarik minat Raja Aceh, sehingga
timbullah keinginan untuk meminang putri tersebut. Namun gayung tak bersambut,
penolakan pinangan menimbulkan ketersinggungan yang berujung pada penyerangan yang
dilakukan Kerajaan Aceh ke wilayah Deli.
Mendapat perlawanan yang cukup sengit, Kerajaan Aceh menggunakan strategi dengan
menembakkan peluru yang diisi dengan uang emas. Melihat keadaan itu buyarlah konsentrasi
pasukan Kesultanan Deli sehingga dengan mudah Kerajaan Aceh menguasai keadaan.
Melihat keadaan itu seorang saudara Putri Hijau yang merupakan seekor naga dan mengambil
inisiatif membawa lari Putri Hijau, sedangkan saudara lainnya, yang merupakan meriam tetap
melakukan perlawanan dengan memuntahkan peluru-pelurunya. Akibat terlalu sering
ditembakkan meriam tersebut pecah karena panas. Pecahan meriam tersebut terlontar ke
Labuhan-Deli dan sebagian lagi ke Sukanalu, Tanah Karo. Sementara itu untuk menghindari
penguasaan Kerajaan Aceh sang putri diungsikan oleh saudaranya yang menjelma menjadi
naga menyusuri aliran Sungai Deli, menuju ke Selat Malaka dan akhirnya menuju Teluk
Jambu Air (Jambu Aye) di dekat Lhokseumawe.
Mitologi Putri Hijau merupakan sarana untuk menyampaikan informasi, data sejarah yang
terjadi pada masa itu berkaitan dengan penyerangan Kerajaan Aceh ke wilayah Aru (?) yang
merupakan cikal-bakal kerajaan Deli saat ini. Beberapa fakta yang disepakati di antaranya
adalah telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh ke wilayah Kerajaan
Aru yang berakibat keruntuhan Kerajaan Aru.
Makalah Sejarah3
Mitologi yang menyatakan Putri Hijau bersaudara dengan naga dan meriam puntung
bertujuan untuk mengukuhkan keberadaan Kerajaan Aru. Ketiganya perlambang bahwa Raja
Aru mengesahkan dirinya sebagai penguasa dari Kerajaan Aru yang ditandai dengan
pernyataan bahwa Raja Aru memiliki anak berwujud naga. Seperti disebutkan di atas,
ular/naga, adalah jin penguasa tanah, demikian juga dengan pernyataan bahwa Raja Aru
memiliki anak Putri Hijau yang merupakan simbol dari vegetasi yang terdapat di
permukaannya. Dengan adanya pengakuan bahwa Raja Aru memiliki anak Putri Hijau dan
Naga, menunjukkan bahwa bumi pertiwi beserta vegetasinya (hijau) serta naga yang
merupakan penguasa tanah (bumi) adalah “anak” dari Raja Aru. Upaya ini adalah untuk
melegitimasi bahwa Raja Aru adalah pemilik yang sah dari “Bumi Aru” beserta isinya.
Pinangan Kerajaan Aceh terhadap Putri Hijau yang cantik rupawan merupakan penghalusan
dari kalimat penaklukan yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh. Kecantikan Putri Hijau lebih
bermakna kecantikan/kesuburan bumi dan alam Kerajaan Aru yang sangat terkenal sampai ke
Aceh. Hal ini berhubungan dengan ekspansi Kerajaan Aceh yang pada masa itu Aru
dipandang merupakan kekuatan yang akan menjadi pesaing. “Pinangan” dari Kesultanan
Aceh terhadap Puteri Hijau tentu saja ditolak. Sebagai sebuah kerajaan yang mandiri
keinginan Kesultanan Aceh untuk menjadikan Kerajaan Aru sebagai daerah taklukan
mendapatkan penolakan, sehingga Kesultanan Aceh menggunakan cara peperangan.
Disebutkan dalam mitologi tersebut bahwa Putri Hijau tidak bersedia dan akhirnya melarikan
diri. Tuanku Luckman Sinar meyebutkan bahwa Putri Hijau menggunakan perahu dengan
motif kepala naga menuju Selat Malaka. Pertahanan terakhir adalah Meriam Puntung.
Mengingat jasa-jasanya pada masa belakangan meriam tersebut diperlakukan sebagai
“anak/saudara” Puteri Hijau dan Naga Simangombus.
Penaklukan Aceh terhadap Aru kemungkinan diiringi juga dengan proses Islamisasi
mengingat pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan institusi Islam yang cukup gencar
melancarkan Islamisasi. Akibat penaklukan ini adalah mulai dikenalnya Islam di daerah yang
menjadi kekuasaan Kesultanan Deli. Pada masa itu kemungkinan masyarakat Aru masih
menganut kepercayaan yang telah ada sebelumnya (Agama Hindu/Budha), hal ini terlihat dari
temuan berupa fragmen lingga (simbol dari Dewa Siwa) yang saat ini terdapat di Sukanalu
yang oleh masyarakat dianggap sebagai peluru meriam. Sampai sekarang, meriam puntung,
yang dianggap keramat oleh kesultanan Deli masih terdapat di Istana Maimon. Meriam
puntung adalah merupakan salah satu bukti simbol gigihnya perlawanan masyarakat Aru
Makalah Sejarah4
(Deli) disaat penaklukan oleh kerajaan Aceh. Pengkultusan meriam puntung yang dalam
mitologi dianggap sebagai saudara Putri Hijau pada hakikatnya adalah untuk mengingatkan
kita generasi penerus bahwa perjuangan untuk mempertahankan kebenaran adalah mutlak,
walaupun adakalanya mengorbankan diri kita. Selain itu meriam puntung dianggap sebagai
ikon pemersatu beberapa sub etnis asli penduduk Kerajaan Deli.
Penaklukan Aceh jangan dianggap upaya untuk memecah belah persatuan yang ada,
penaklukan Aceh lebih banyak hanya bersifat politis mengingat Aru sebagai kerajaan yang
besar suatu saat akan menjadi ancaman. Meriam puntung yang saat ini tersimpan di Istana
Maimon tersimpan sebagai benda sakral yang merupakan symbol dari berhasil dikuasainya
Kerajaan Aru yang merupakan cikal-bakal kerajaan Deli yang telah mendapat pengaruh dari
kerajaan Aceh. Pecahan meriam puntung yang terdapat di Sukanalu adalah ungkapan yang
terdapat di masyarakat bahwa pada masa lampau, dan masa kini, masyarakat Karo, yang
diwakili oleh masyarakat Sukanalu, adalah merupakan bagian dari Kerajaan Deli.
2.2. Tinggalan Arkeologis di Benteng Putri Hijau
Di lokasi yang disebut dengan Benteng Putri Hijau telah didapatkan lapisan budaya masa lalu
yang mengandung serangkaian data arkeologis, baik di atas maupun di bawah permukaan
tanah. Data-data arkeologis tersebut merupakan bukti adanya aktivitas budaya yang penting
pada masa lalu di lokasi tersebut. Pelaksanaan penggalian penyelamatan yang dilakukan oleh
pihak Balai Pelestarian Peninggalan Pubakala Banda Aceh, Balai Arkeologi Medan serta
instansi terkait di daerah pada tahun 2008 berhasil membuka beberapa kotak gali untuk test
pit (TP).
Test pit yang dilakukan menghasilkan beberapa tinggalan artefaktual, di antaranya adalah:
peralatan batu (sumatralith) yang menggunakan bahan batuan beku. Indikasi pembentukan
yang dilakukan oleh manusia antara lain terdapat jejak-jejak pemangkasan (retus) pada saat
pembentukan maupun penggunaanya. Alat-alat batu (sumatralith) yang ditemukan pada TP I
berjumlah dua buah, yang pertama berukuran panjang 14 cm, lebar 7 cm, tebal pangkal 4 cm
dan tebal ujung 2,7 cm. Alat batu kedua dan berukuran panjang 13,5 cm, lebar 9,13 cm, tebal
pangkal 4,6 cm dan tebal ujung 2,6 cm. Alat batu ketiga ditemukan di TP II, berukuran
panjang 12,9 cm, lebar 8,5 cm, tebal pangkal 3,6 cm dan tebal ujung 1,5 cm.
Jenis temuan kedua adalah peluru senjata api berbahan timah, berbentuk bulat dengan
diameter 1,5 cm dengan berat 23 gram. Peluru tersebut merupakan peluru laras panjang yang
Makalah Sejarah5
umum digunakan pada abad ke 15-ke 19 M, yang dikenal dengan nama
senapan musket atau tϋfenk(dalam bahasa Turki).
Jenis temuan ketiga, yang ditemukan pada saat penggalian ataupun pada saat survey adalah
keramik. Melalui penggalian yang dilakukan di situs tersebut didapatkan sebanyak 19
fragmen keramik, sisanya, sebanyak 35 buah didapat melalui survey permukaan. Analisis atas
bentuk, bahan dan pola hias yang terdapat pada temuan keramik hasil penggalian sebagian
menunjukkan pertanggalan penggunaan situs tersebut adalah berkisar pada abad 12-14 M
(sebanyak 8 keping), abad 16-17 M (sebanyak 3 keping) dan masing masing satu keping
berasal dari abad lebih tua, yaitu abad 9-10 M dan yang termuda berasal dari abad 17-18 M.
Adapun temuan yang didapat dari survey permukaan didominasi temuan yang berasal dari
abad 17-18 M, disusul temuan berasal dari abad 12-14 M.
Dalam bukunya yang berjudul “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera
Timur”, Tuanku Lukman Sinar menyebutkan bahwa pada tahun 1869, Kontelir Cats de
Raet menemukan sebuah meriam (lela) yang telah diserahkan ke Museum Pusat di Jakarta
dengan kapal BaronSloet v.d. Beele. Pada meriam tersebut terdapat pertulisan dalam aksara
Melayu/Jawi yang berbunyi “Sanat….03 Alamat Balun Haru”. Sanat…03 tidak jelas,
namun apabila 03 berarti tahun 1003 Hijriyah, berarti cocok dengan 1539 Masehi, yang
menurut Pinto merupakan ditaklukkannya Haru oleh Sultan Aceh, Al Qahhar. “Alamat Balun
Haru” dapat juga berarti Alamat sadar (siuman) Haru, tetapi dalam bahasa Aceh dapat berarti:
“Dalam Tahun ….03, di tempat saya menyerahkan Haru kepada Tuanku”. Dalam Bahasa
Melayu “Balun” juga berarti “sadar” atau juga “dilibas”.Terlepas dari isi/arti pertulisan
tersebut, di tengah-tengah benteng Putri Hijau telah didapatkan bukti tentang nama Haru.
Temuan peluru senjata api berbahan timah, menunjukkan bahwa di situs tersebut pernah
terjadi perang atau setidaknya senapan yang ditembakkan. Apabila kepemilikan senjata api
tersebut sejaman dengan peperangan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dan Aru (Deli?) maka
senjata api tersebut kemungkinan berasal dari Turki. Senjata api jenis senapan laras panjang
itu umum digunakan pada abad ke 15-19, yang dikenal dengan sebutan musket atau tufenk.
Senapan-senapan tersebut dibawa ke Deli Tua dari Negara asal pembuatnya (Turki) oleh
tentara Aceh atau sepasukan tentara Turki sendiri yang diperbantukan untuk menyerang
wilayah kekuasaan kerajaan di Deli Tua (BP3 Aceh, 2008:17).
Selain itu terdapat temuan berupa koin Aceh yang diperkirakan berasal dari abad ke XVII.
Keberadaan mata uang Aceh berkaitan dengan kedatangan dan atau digunakan koin-koin
Aceh untuk transaksi perdagangan. Hal ini tentu saja sangat memungkinkan, mengingat
Makalah Sejarah6
keberadaan Kesultanan Aceh pada waktu yang sama, bahkan sebelumnya telah mengeluarkan
mata uang resmi kerajaan untuk perdagangan, sehingga tidak mustahil apabila koin-koin yang
beredar di Kerajaan Aceh juga beredar di Kerajaan Aru, untuk memperlancar transaksi
perdagangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Hubungan dagang antara Kerajaan Aru (Deli Tua) pada masa yang cukup lama juga telah
dilakukan dengan bangsa-bangsa lain seperti India dan Cina. Melalui hubungan perdagangan
secara tidak langsung juga berpengaruh pada kontak-kontak kebudayaan, yang dilakukan
dengan Cina ataupun India. E.E. Mc Kinnon menyebutkan bahwa walaupun bukti-bukti
secara fisik sangat jarang ditemukan, kebudayaan masyarakat Karo sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan yang berasal dari India. Bukti-bukti yang ada hingga saat ini adalah adanya
unsur-unsur India Selatan yang digunakan oleh masyarakat Karo. Marga Colia, Brahmana,
serta hal-hal lain merupakan salah satu bukti penggunaan unsur-unsur yang berasal dari
India (Kinnon:1993-1994).
Bukti-bukti adanya kontak dengan Cina secara fisik dapat diketahui, dari adanya bukti berupa
temuan keramik yang tersebar di situs Benteng Putri Hijau. Berdasarkan hasil analisis temuan
keramik yang ditemukan di Deli Tua dari hasil penggalian yang dilakukan diketahui bahwa
periode masa hunian di bagian dalam benteng tanah Deli Tua adalah dalam rentang waktu
antara 12-18. Temuan hasil penggalian menunjukkan bahwa periode tertua adalah temuan
keramik yang berasal dari abad 12-14 M, bahkan ditemukan sekeping fragmen keramik yang
berasal dari abad 9-10 M. Periode yang lebih muda menunjukkan bahwa situs tersebut masih
digunakan sampai abad 17-18.
Sebaliknya berdasarkan hasil survey permukaan menunjukkan bahwa temuan keramik
terbanyak berasal dari abad ke 17-18 M, disusul oleh temuan yang berasal dari abad 12-14 M.
Hal ini menunjukkan bahwa di situs tersebut mengalami masa hunian yang cukup lama.
Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi penyebab maju mundurnya hunian di Benteng
Putri Hijau. Data-data sejarah tidak banyak memberikan informasi tentang kondisi kerajaan
yang berkedudukan di Deli Tua ini.
2.3. Konsep Benteng
Benteng adalah merupakan perkembangan dari sebuah pagar yang pada awalnya ditujukan
untuk mencegah masuknya binatang buas. Seiring dengan berkembangnya sistem organisasi
kemasyarakatan yang mantap, fungsi pagar keliling menjadi sangat penting. Sebuah
Makalah Sejarah7
pemukiman, menggunakan pagar keliling sebagai batas teritorial sekaligus sebagai penanda
wilayah kekuasaan. Untuk bangunan-bangunan yang bernilai religius penggunaan pagar-
pagar lebih maju lagi, yaitu digunakan untuk membatasi dan membedakan bagian sakral
dengan yang profan. Pada hakekatnya fungsi pagar digunakan untuk menghambat atau
menahan unsur-unsur yang berasal dari luar yang akan memasuki suatu wilayah tanpa seijin
pemilik wilayah tersebut.
Kontak kebudayaan dan didukung keadaan alam yang memungkinkan, mulailah dibangun
benteng seperti yang disebut sekarang ini. Benteng-benteng merupakan bangunan yang
terbuat dari bahan batu ataupun bata, di beberapa daerah karena kurang tersedianya bahan
baku, sarana pertahanan keamanan tetap menggunakan tanah sebagai benteng terutama di
Sumatera. Pemakaian bangunan tanah sebagai bangunan pertahanan ditemukan di beberapa
tempat mewakili beberapa masa hunian, Hindu/Buddha, Islam sampai kolonial.
Pembangunan benteng dengan menggunakan bata mulai populer di Jawa pada masa kejayaan
Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Pada saat itu penggunaan bata untuk pembangunan
bangunan-bangunan monumental seperti istana ataupun benteng mulai memasyarakat,
terutama di Jawa dan beberapa daerah lain.
Pada masa kedatangan Belanda sekitar abad ke-16 fungsi bangunan benteng sedikit
mengalami perubahan. Bangunan-bangunan perumahan Belanda dikelilingi oleh benteng. Hal
ini karena dasar mereka menetap di Indonesia disertai dengan siasat perang. Pada masa itu
benteng dibangun dengan menggunakan bahan batu karang yang diplester
tanah (Sumintardja, 1981:113).
Umumnya pola pemukiman pada masyarakat Batak (Toba), Huta atau Kuta dikelilingi oleh
parit yang sengaja digali atau dikelilingi oleh dinding-dinding tanah, atau bahkan keduanya
(parit dan dinding tanah). Bagian atas dari dinding tanah tersebut biasanya ditanami rumpun
bambu atau pokok kayu. Fungsi parit serta dinding tanah tersebut dalam kepercayaan
masyarakat Batak dipercaya sebagai pelindung dari serapan angin jahat (Simanjuntak,
2004:36).
Dalam tradisi pembangunan pemukiman masyarakat Batak Toba, setelah umah selesai
dibangun, selanjutnya adalah membuat tembok tanah (parik) di sekeliling desa dan
menanaminya dengan tanaman bambu berduri. Setelah pekerjaan selesai diadakan sebuah
pesta peresmian yang disebut mangompoi huta (meresmikan kampung).
Beberapa huta memiliki dua buah parik, yakni parik bulu suraton dan parik bulu duri.
Makalah Sejarah8
Adanya tanaman bambu yang berasosiasi dengan benteng memperkuat asumsi bahwa selain
berfungsi untuk membatasi daerah sakral dan profan benteng tersebut sangat efektif
digunakan untuk pertahanan keamanan. Masyarakat Batak Toba menganggap, tanaman
bambu atau pohon dimaksudkan untuk mencegah masuknya angin yang kuat yang dianggap
dapat membawa penyakit(Simanjuntak, 2004: 51-62). Pembangunan benteng-benteng tanah
pada masyarakat Batak (Toba, Simalungun dan Karo) berkaitan dengan dilakukannya
perlindungan terhadap kesatuan teritorial (bentuk pemukiman), seperti: sosor, lumban, huta,
horja, bius, kuta, urung dan partumpakan.
Huta Pada masyarakat Batak Toba dan Simalungun merupakan suatu kesatuan teritorial atau
bentuk pemukiman yang dihuni oleh beberapa keluarga yang berasal dari satu klen atau
marga. Pada masyarakat Batak Karo kesatuan teritorial semacam itu dinamakan kesain yang
berarti “halaman rumah”, yang dalam hal ini adalah sebuah desa yang dihuni oleh satu
marga. Kutapada masyarakat Karo berbeda dengan huta pada masyarakat Batak
Toba. Kuta dalam masyarakat Karo merupakan pemukiman yang dihuni oleh beberapa klen
atau marga. Bentuk pemukiman yang lebih kecil dari huta (pada Masyarakat Toba)
dan kesain (pada masyarakat Karo) adalah lumban, sosor (Toba) dan barung-barung (karo).
Satuan pemukiman yang paling besar adalah bius (Toba), urung (karo)
atau partumpakan (Simalungun). Bentuk pemukiman ini adalah merupakan kesatuan
dari Huta/Kuta atau Horja (Simanjuntak, 2004: 37).
Mengingat daerah tersebut memiliki luasan mencapai 40 ha. Dan secara geografis berada
pada wilayah persebaran masyarakat Karo. Kemungkinan benteng tanah tersebut merupakan
sebuahKuta(Karo), atau bahkan mungkin merupakan Urung. Seperti disebutkan di atas Kuta,
dalam masyarakat Karo merupakan pemukiman yang dihuni oleh beberapa klen/marga,
sedangkanUrung adalah merupakan bentuk kesatuan dari Kuta. Tidak diketahui secara pasti
apakah Kerajaan Aru/Haru/Karo(?) adalah merupakan sebuah Kuta atau Urung.
Lebih jauh, tidak banyak bukti arkeologis yang mampu menjawab pertanyaan bagaimana
keterkaitan antara Benteng Putri Hijau yang ada saat ini dengan ekspansi yang dilakukan
tentara Aceh pada masa lalu, namun beberapa data arkeologis menguatkan pendapat tersebut.
Berdasarkan data-data tekstual maupun mitologi penyerangan Kerajaan Aceh adalah ke
Aru/Haru. Tidak diketahui secara pasti sebelum akhirnya berubah nama menjadi Deli hingga
sekarang ini. Terdapat kemiripan antara sebutan Aru/Haru dengan Karo.
Makalah Sejarah9
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Secara umum fungsi benteng tanah adalah untuk “membentengi” dari gangguan dan ancaman
yang bersifat fisik ataupun non-fisik. Seiring dengan perkembangan jaman fungsi benteng
tanah bergeser dari fungsi awal yaitu membentengi suatu lokalitas dari gangguan yang
bersifat fisik beralih fungsi sebagi pelindung dari ancaman yang bersifat fisik maupun non-
fisik. Pada masa belakangan seiring dengan mulai memudarnya kekuasaan raja-raja di
nusantara akibat dominasi Belanda fungsi benteng lebih banyak digunakan untuk
membentengi dari gangguan yang bersifat fisik, peperangan misalnya.
Beberapa data arkeologis membuktikan bahwa terdapat indikasi bahwa bangunan benteng
Putri Hijau memang merupakan sebuah lokasi hunian. Tidak diketahui secara pasti apakah
hunian tersebut merupakan sebuah Kuta atau Urung dalam kebudayaan Karo. Data-data
sejarah menyebutkan bahwa di lokasi tersebut pada masa lalu merupakan pusat dari kota
kerajaan Aru atau yang merupakan cikal bakal dari kerajaan Deli yang sisanya masih dapat
kita ketahui hingga saat ini. Selain itu beberapa data sejarah menyebutkan bahwa keberadaan
Benteng Putri Hijau merupakan pusat kota dari Kerajaan Aru yang pernah ditaklukkan oleh
kerajaan Aceh pada abad ke 16 M. penyerangan Aceh ini berkaitan dengan mitos yang
berkembang di masyarakat yang berasal dari Deli Tua ini. Data-data arkeologis sampai saat
ini masih sedikit memberikan informasi mengenai keberadaan Benteng Putri Hijau ini.
Kegiatan penggalian yang dilaksanakan oleh instansi terkait, seperti Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Banda Aceh dan balai Arkeologi Medan belum banyak membuktikan
bahwa di tempat tersebut pada masa lalu merupakan pusat Kerajaan Aru. Hasil analisis
terhadap temuan keramik menunjukkan bahwa masa hunian di dalam Benteng Putri Hijau ini
cukup panjang, yaitu diperkirakan mulai dari abad 12-14 dan dari abad 17-18. Beberapa
Informasi penting lainnya adalah yang berasal dari beberapa catatan perjalanan bangsa-
bangsa asing. Informasi yang didapatkan umumnya mengarah pada keberadaan Benteng Putri
Hijau sebagai pusat Kerajaan Aru, dimana pada abad ke 16 kerajaan tersebut pada akhirnya
dapat ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh.
Makalah Sejarah10
Tidak banyak data-data arkeologis yang dapat membuktikan keterkaitan antara Kerajaan Aru
dengan Benteng Putri Hijau. Mengingat minimnya bukti-bukti arkeologis berkaitan dengan
Benteng Putri Hijau ini maka diperlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan informasi
sebanyak mungkin berkaitan dengan mitologi yang berkembang dengan Benteng Putri Hijau.
(Penulis: Peneliti pada Balai Arkeologi Medan)
Makalah Sejarah11
DAFTAR PUSTAKA
Geldern, Robert Heine, 1982. Konsepsi Tentang Negara Kedudukan Raja di Asia
Tenggara(diterjemahkan oleh Deliar Noer). Jakarta: Rajawali Press.
Guillot, Claude, 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: EFEO, Association
Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, Yayasan Obor Indonesia.
Kinnon, E.E. Mc, 1993-1994. Arca-arca Tamil Di Kota Cina, dalam Saraswati Majalah
Arkeologi No 2. Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia 2. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Oetomo, Repelita Wahyu, 2003. Benteng Tanah Di Pulau Lingga, dalam Berkala Arkeologi
Sangkhakala No. 11 / 2003, Medan: Balai Arkeologi Medan, hal 91—100.
————-2003. Pusat Kota Kesultanan Langkat, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala
No. 12 / 2003, Medan: Balai Arkeologi Medan, hal 55-63).
Santiko, Hariani, 1996. Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Budha di Indonesia (Abad
VIII-XV Masehi) Analisis Arsitektur dan Makna Simbolik, dalam Jurnal Arkeologi
Indonesia No. 2, Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Hal 136-156.
Sinar, T. Luckman, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur
Simanjuntak, DR. Bungaran Antonius dkk, 2004. Arti dan Fungsi Tanah Bagi Masyarakat
Batak. Medan: KSPPM dan Batara.
Makalah Sejarah12