23
MAKALAH TOKSIKOLOGI DASAR (BI-4205) STUDI LITERATUR RISK ASSESSMENT TERHADAP MIKROBA PATOGEN MAKANAN Listeria monocytogenes Disusun oleh: Maryanna Istiqomah Pratiwi 10611014

Makalah Risk Assessment_ Maryanna_ 10611014

Embed Size (px)

DESCRIPTION

studi literatur mengenai risk assessment mikroba patogen pada makanan; Listeria monocytogenes beserta peraturan pemerintah untuk menanggulanginya

Citation preview

MAKALAH TOKSIKOLOGI DASAR (BI-4205)STUDI LITERATUR RISK ASSESSMENT TERHADAP MIKROBA PATOGEN MAKANAN Listeria monocytogenes

Disusun oleh:Maryanna Istiqomah Pratiwi10611014

PROGRAM STUDI BIOLOGISEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATIINSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG2014

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangPeningkatan pendapatan masyarakat Indonesia membawa dampak pada perubahan konsumsi untuk berbagai jenis pangan tertentu, terutama pangan yang memiliki harga jual cukup tinggi, seperti daging dan susu, serta olahannya. Berdasarkan survei yang dilakukan ANZ, diketahui bahwa terjadi peningkatan konsumsi susu sebesar 4,8% dari tahun 2006 hingga 2010. Indonesia juga diklaim sebagai negara yang mengalami peningkatan konsumsi susu paling pesat seluruh di ASEAN (Fauziyah, 2013). Industri pengolahan susu pun tumbuh hingga 7% akibat semakin tingginya permintaan susu dalam negeri. Bahkan 75% permintaan susu di Indonesia harus dipenuhi lewat impor dari berbagai negara (Suhendra, 2011). Akibat lain dari peningkatan pendapatan atau PDB per kapita masyarakat Indonesia adalah peningkatan konsumsi daging. Diperkirakan konsumsi daging per kapita pada tahun 2030 akan meningkat sebanyak 43 kg (Zak, 2013).Peningkatan konsumsi susu dan daging menyebabkan produk industri berbasis susu dan daging turut berkembang. Namun, dilaporkan bahwa kasus keracunan makanan semakin meningkat seiiring berkembangnya produk industri pangan di beberapa negara maju dan berkembang. Salah satu patogen makanan yang perlu diwaspadai adalah mikroba patogen Listeria monocytogenes (Ariyanti, 2010).Listeria monocytogenes merupakan salah satu bakteri penyebab foodborne disease (penyakit yang bersumber dari makanan). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini disebut listeriosis. Tidak seperti di banyak negara maju, belum banyak laporan dan penelitian mengenai kasus listeriosis di Indonesia. Hal ini disebabkan bakteri ini dianggap baru sehingga belum banyak diteliti. Meskipun belum ada pelaporan di Indonesia, Listeria monocytogenes telah menjadi perhatian ahli mikrobiologi karena listeriosis merupakan penyakit yang sangat fatal. Tingkat kematian akibat listeriosis sekitar 20-30% bahkan dapat hingga 50%. Tingkat kematian ini sangat jauh berbeda dengan foodborne disease lain yang lazim terjadi di Indonesia seperti salmoneliosis, kolera atau penyakit yang disebabkan E. coli yaitu hanya sekitar 6% (Ariyanti, 2010; FAO/WHO, 2004).Sebagai patogen makanan, Listeria monocytogenes juga memiliki karakteristik yang lebih unggul dibandingkan bakteri lain karena lebih tahan terhadap berbagai tekanan lingkungan. Bakteri ini diketahui dapat hidup pada kondisi lingkungan dengan rentang yang luas (FAO/WHO, 2004). Listeria monocytogenes dapat hidup pada suhu 1o C hingga 50oC dengan rentang pH yang lebar, dari 4,3 - 9,4. Bahkan, Listeria monocytogenes juga masih dapat hidup setelah perlakuan pasteurisasi 72oC selama 15 detik maupun pendinginan hingga 1oC. Iklim tropis yang hangat juga cukup menguntungkan bagi pertumbuhan Listeria monocytogenes karena dekat dengan suhu optimal pertumbuhannya yaitu 35-37 oC (Ariyanti, 2010). Hal ini menyebabkan Listeria monocytogenes lebih berbahaya pada iklim tropis.L. monocytogenes umumnya ditemukan pada makanan siap santap seperti olahan daging dan susu, lalap, serta daging dan susu yang disimpan pada suhu 4oC dalam waktu lama (Ariyanti, 2010; FAO/WHO, 2004). Mengingat bahaya yang ditimbulkan Listeria monocytogenes, diperlukan adanya pengetahuan yang cukup untuk mencegah kontaminasi Listeria monocytogenes baik pada level produsen maupun konsumen. Pihak yang berwenang di Indonesia juga telah menerapkan regulasi serta rekomendasi untuk menangani bahaya Listeria monocytogenes. Makalah ini dibuat untuk merangkum hasil penelitian mengenai hasil risk assessment Listeria monocytogenes, menjabarkan secara singkat prinsip dan teknik dalam risk assessment Listeria monocytogenes, serta menjabarkan regulasi terkait penanganan Listeria monocytogenes yang telah diterapkan. Diharapkan dengan adanya makalah ini, aspek-aspek toksisitas Listeria monocytogenes dapat diketahui dan bermanfaat untuk keperluan penelitian maupun pengetahuan.1.2. TujuanTujuan dari studi literatur risk assessment terhadap Listeria monocytogenes adalah:1. Menentukan estimasi dosis maksimum serta probabilitas dosis tersebut menyebabkan resiko listeriosis parah pada populasi rentan 2. Menentukan estimasi dosis maksimum serta probabilitas dosis tersebut menyebabkan resiko listeriosis parah pada populasi tidak rentan3. Menentukan estimasi resiko penyakit serius akibat L. monocytogenes dalam makanan yang mendukung pertumbuhannya serta dalam makanan yang tidak mendukung pertumbuhannya pada penyimpanan spesifik tertentu4. Menentukan ambang jumlah L. monocytogenes yang diperbolehkan dalam makanan berdasarkan risk management

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Prinsip-Prinsip dalam Risk Assessment Mikroba Patogen Makanan dan L. monocytogenesSecara umum, risk assessment pada mikroba makanan dilakukan dengan pendekatan stokastik. Pendekatan stokastik adalah pendekatan menggunakan input model matematika yang didapatkan melalui sampling dari distribusi probabilitas atau distribusi frekuensi dalam populasi. Pendekatan ini dapat memperkirakan resiko tiap sajian dan resiko terhadap populasi per tahun pada makanan tertentu. Pendekatan stokastik dapat memungkinkan perkiraan ketidakpastian serta keberagaman yang secara alami ada di populasi untuk masuk ke dalam output model (FAO/WHO, 2004).Sama seperti risk assessment untuk mikroba makanan pada umumnya, risk assessment pada L. monocytogenes dilakukan dengan pendekatan kuatitatif (stokastik) dimana perkiraan resiko disajikan dalam model matematika untuk memperkirakan resiko per sajian serta resiko terhadap populasi dalam 1 tahun pada makanan tertentu. Pada risk assessment L. monocytogenes, penelitian dilakukan terbatas hanya pada pedagang eceran (bukan dari awal atau produsen), dampak kesehatan saat dikonsumsi, serta faktor setelah pembelian yang memengaruhi resiko seperti durasi dan suhu penyimpanan (FAO/WHO, 2004).Hal yang cukup berbeda pada risk assessment mikroba makanan dibandingkan risk assessment bahan kimia pada umumnya adalah manifestasi efek merugikan kesehatan. Efek merugikan kesehatan akibat mikroba patogen umumnya umumnya hasil pemaparan akut tunggal (single acute exposure), dan bukan long term chronic. Karakterisasi pemaparan efek merugikan kesehatan membutuhkan penentuan prevalensi patogen yang diinginkan pada makanan. Prevalensi patogen sangat bervariasi, bergantung banyaknya makanan, tipe makanan, serta lama waktu penyimpanan. Prevalensi total pada makanan juga dapat bertambah karena bakteri dapat tumbuh serta inaktif. Pada risk assessment mikroba pathogen makanan, bagian paling penting dalam mengkarakterisasi hazard adalah deskripsi kerentanan (toleransi populasi yang terpapar). Toleransi individual ini bergantung pada faktor risiko utama: jenis kelamin, umur serta status kesehatan. (FAO/WHO, 2004).

2.2. Risk AssessmentRisk assessment pada Listeria monocytogenes dilakukan melalui empat tahap secara berurutan antara lain hazard identification, hazard characterization, exposure assessment serta risk characterization (Farber et al., 1996).2.2.1 Hazard IdentificationHazard identification dan hazard characterization adalah bagian kunci dalam risk assessment. Hazard pada umumnya didefinisikan sebagai agen yang dapat menyebabkan efek merugikan pada individu yang terpapar agen tersebut. Dalam hazard identification, agen mikrobiologi serta efek merugikan yang berkaitan dengan agen tersebut diidentifikasi dan didefinisikan terutama dalam konteks aspek epidemiologi, informasi klinik, serta informasi lingkungan (USDA, 2012).Dalam hazard identification diketahui bahwa Listeria monocytogenes merupakan bakteri anaerob fakultatif gram positif. Listeria monocytogenes umumnya ditemukan pada makanan mentah, makanan yang diolah oleh pemanasan yang kurang, serta makanan produk daging dan susu, meskipun Listeria monocytogenes dapat pula ditemukan di tanah dan air. Adapun makanan yang paling berhubungan dengan listeriosis adalah makanan siap konsumsi yang memungkinkan pertumbuhan Listeria; masa penyimpanan di kulkas panjang; dikonsumsi tanpa perlakuan listeriasida. Listeria monocytogenes juga merupakan bakteri yang tahan suhu rendah lemari pendingin. Semua strain L. monocytogenes diketahui pathogen, namun virulensi dari tiap strain bervariasi (FAO/WHO, 2004). Listeria monocytogenes merupakan bakteri penyebab listeriosis. Transmisi bakteri penyebab listeriosis ini dapat dilakukan melalui beberapa modus; vertikal (dari ibu hamil ke fetus), zoonotik (dari hewan ke manusia), dan nosokomial (dari penderita ke orang sehat), namun modus paling umum adalah melalui makanan. Manifestasi listeriosis dapat diketahui melalui berbagai gejala dan efek yang ditimbulkan. Pada listeriosis non invasif, manifestasi yang terlihat adalah gejala demam, keracunan makanan dan diare, sementara pada listeriosis invasif Listeria monocytogenes akan menginvasi jaringan intestinal kemudian menyebar ke darah, hati uterus ibu hamil serta sistem saraf pusat. Pada ibu hamil listeriosis dapat menyebabkan keguguran, adapun pada orang beresiko tinggi Listeria dapat menyerang otak dan menyebabkan kematian. Faktor resiko utama bagi penderita listeriosis antara lain imunosupresi, kehamilan dan umur (usia uzur atau neonatal). Ketiga faktor resiko ini berhubungan dengan sistem imun. Kerentanan pada wanita hamil disebabkan oleh adanya karakterisitik penghambatan aktivitas sel natural killer (NK) pada plasenta, adapun pada manusia berusia uzur atau neonatal diketahui adanya perubahan pada acquired dan innate immunity. Dilaporkan sejumlah biomarker yang bertanggung jawab pada respon imun seperti produksi gamma interferon serta aktivitas sel NK berkurang pada usia uzur (FAO/WHO, 2004).2.2.2 Hazard CharacterizationHazard characterization merupakan bagian dari risk assessment yang merepresentasikan evaluasi kualitatif dan kuantitatif dari efek yang membahayakan. Evaluasi kualitatif pada hazard characterization berfokus pada mekanisme interaksi patogen dan inang, patogenesitas, serta virulensi. Adapun evaluasi hazard characterization secara kuantitatif dilakukan dengan analisis dose-response (USDA, 2012).Analisis dose-response pada mikroba makanan bertujuan untuk menetapkan hubungan antara dosis patogen yang terpapar pada individu atau populasi tertentu dengan kemungkinan (probabilitas) efek yang merugikan kesehatan (mis: infeksi, sakit atau kematian) (USDA, 2012). Pada pemodelan hubungan dose-response Listeria monocytogenes, dosis diartikan sebagai jumlah mikroba yang masuk ke saluran pencernaan/paparan, sementara respon adalah frekuensi efek yang terlihat pada populasi terpapar (FAO/WHO, 2004). Berbeda dengan dosis zat kimia yang diekspresikan berupa unit massa (mg/kg), dosis untuk mikroba patogen umumnya diekspresikan dalam jumlah organisme misalnya cfu (colony forming unit)/sajian (USDA, 2012). Respon akibat paparan mikroba beragam dan kemungkinan berpenyakit bergantung kepada integrasi ketiga faktor dalam disease triangle, ketiga faktor tersebut antara lain kerentanan host (manusia), virulensi patogen, serta efek matriks (tekstur dan komposisi makanan) (FAO/WHO, 2004).

Gambar 1. Disease triangleUntuk menetapkan respon akibat paparan terhadap Listeria monocytogenes, dipilih beberapa endpoint. Endpoint yang umum dilakukan adalah berupa infeksi, morbitidas, serta mortalitas (FAO/WHO, 2004). Mortalitas berarti kematian. Infeksi adalah invasi sel asing yang berbahaya bagi tubuh (Christensen, 2014), sementara morbiditas diartikan sebagai keadaan fisik yang di luar keadaan normal. Morbiditas umumnya disebut juga sebagai penurunan kesehatan, atau keadaan sakit, yang lebih merujuk pada penyakit kronis (IUPAC, 2013). Untuk membuat model dose-response tentu dibutuhkan berbagai data. Dalam pemodelan dose-response Listeria monocytogenes, data untuk membentuk model dose-response diambil dari data epidemiologi, data uji hewan, ketetapan ahli, atau kombinasi diantara ketiganya. Hal tersebut dikarenakan data dari human volunteer tidak tersedia. Data untuk dosis biasanya diambil dari makanan yang berhubungan dengan listeriosis seperti soft cheese, hot dogs, daging olahan, pate, susu pasteurisasi atau nonpasteurisasi, mentega, udang, salad kentang, lalap. Secara umum, jumlah L. monocytogenes pada makanan > 103 CFU/g (FAO/WHO, 2004).Pemodelan hubungan dose-response dilakukan dengan pemodelan matematika. Hubungan dose-response didapatkan dengan menghubungkan data kasus listeriosis tahunan dengan data jumlah L. monocytogenes yang terkonsumsi. Banyak peneliti mengembangkan berbagai model berdasarkan beragam endpoint (FAO/WHO, 2004). Meskipun begitu, model dose-response yang paling relevan untuk mikroba makanan penyebab penyakit adalah model one-hit (no-treshold). Pada model one-hit (no-treshold), diasumsikan bahwa setiap sel berpotensi menyebabkan penyakit (ID minimum = 1 sel). Model ini juga mengasumsikan bahwa satu organisme yang menginfeksi memiliki potensi untuk menyebabkan infeksi. Ketika satu mikroorganisme tertelan, probabilitas bahwa mikroorganisme tersebut mengalahkan hambatan pada inang dan memulai infeksi direpresentasikan oleh pengukuran unit infektivitas, yaitu nilai r. r adalah probabilitas infeksi akibat ingesti dari 1 mikroorganisme. r ditetapkan konstan pada sebagian besar model yang dipakai; model ekponensial (USDA, 2012).Salah satu model one-hit yang paling umum digunakan adalah model eksponensial dan model beta-Poisson. Model eksponensial mengasumsikan bahwa probabilitas setiap bakteri berpotensi menyebabkan penyakit adalah sama. Probabilitas ini diekspresikan dalam parameter tunggal yaitu nilai r. Berbeda dengan model eksponensial, model dose-response beta-Poisson menyertakan adanya heterogenitas pada interaksi pathogen. Oleh karena itu, nilai r pada model ini diasumsikan bervariasi serta terdapat 2 parameter yang memungkinkan parameter pembuat variasi masuk ke dalam model. Model lain yang dapat dipakai adalah model Weibull-Gamma. Pada model ini dipakai 3 parameter, salah satunya variabel pemodifikasi bentuk kurva dose-response. Model ini juga mengasumsikan dengan nilai r yang bervariasi (FAO/WHO, 2004). Masing-masing model memiliki kelebihan dan kekurangan. Model eksponensial yang paling sering dipakai adalah model yang paling sederhana dan dapat diaplikasikan ketika data terbatas, namun kurang mencakup keberagaman dalam disease triangle karena hanya memakai 1 parameter. Sementara model lainnya lebih representatif dan mencakup semua keberagaman dalam disease triangle namun cenderung kurang dapat diaplikasikan ketika data kurang (FAO/WHO, 2004).Meskipun telah dikembangkan berbagai model dose-response, tidak ada satu model yang dapat merefleksikan hubungan tersebut secara sempurna. Hal tersebut terjadi akibat adanya ketidakpastian model. Ketidakpastian model ini terjadi akibat informasi epidemiologi tidak lengkap, ektrapolasi dari data hewan tidak pasti, tidak ada data uji voluntir, tidak ada model mekanistik, serta pemahaman rendah tentang strain dan efek matriks (FAO/WHO, 2004).Untuk menghasilkan kebijakan keamanan acuan terhadap Listeria monocytogenes di seluruh dunia, FDA/FSIS mengembangkan sebuah model dose-response untuk Listeria monocytogenes. Model yang dipilih adalah model eksponensial. Dalam mengembangkan model dose-response, FDA/FSIS dilakukan menggunakan data epidemiologi (statistik penyakit tahunan) dengan kontaminasi Listeria monocytogenes pada makanan, dengan asumsi perbandingan orang yang sakit dengan orang rentan sama. Berdasarkan risk assessment oleh FDA/FSIS, diketahui dosis maksimum Listeria monocytogenes pada makanan dimana penyakit serius terlihat adalah 7.5 Log10 CFU per saji, sementara level maksimum yang menyebabkan listeriosis adalah >107 CFU/g (FAO/WHO, 2004).

Gambar 2. Kurva dose-response berdasarkan FDA/FSIS2.2.3 Exposure AssessmentExposure assessment merupakan proses menghitung besarnya asupan atauintakesuatu agen pada populasi ataupun individu yang terpapar.Namun exposure assessment pada Listeria monocytogenes berfokus pada deskripsi pertumbuhan bakteri tersebut antara waktu pembelian dengan waktu konsumsi yang dipengaruhi suhu penyimpanan serta penghitungan jumlah Listeria monocytogenes yang dikonsumsi (FAO/WHO, 2004).Terdapat empat makanan yang dipakai sebagai model untuk exposure assessment. Makanan tersebut antara lain susu, es krim, daging fermentasi serta ikan asap. Makanan-makanan ini dipilih karena dianggap merepresentasikan kebiasaan makan di seluruh dunia serta merupakan makanan yang lazim dikonsumsi sehari-hari (FAO/WHO, 2004).Berdasarkan hasil exposure assessment, Listeria monocytogenes dapat tumbuh lebih cepat pada suhu 10oC lemari pendingin dibandingkan suhu 4oC. Kepadatan populasi tertinggi 7-9 log10 CFU/g pada suhu tertinggi kulkas (6-8oC) pada suhu (2-5oC) hanya 4-6 log10 CFU/g. Adapun konsumsi perorangan per hari adalah 0,75-0,79/25 gram sajian (FAO/WHO, 2004).2.2.4 Risk CharacterizationPada langkah ini, output exposure assessment dan hubungan dose-response dikombinasikan dengan risk characterization untuk menghitung estimasi kejadian kasus listeriosis

Gambar 3. Tabel mengenai perkiraan rerata kasus listeriosis per 100.000 populasi per tahun pada empat makanan model.2.3 Risk ManagementSetelah dilakukan risk assessment, selanjutnya dilakukan risk management atau manajemen resiko. Manajemen risiko merupakan proses pembuatan kebijakan untuk mengontrol risiko dari suatu agen yang telah teridentifikasi dari tahap-tahap risk assessment yang telah dilakukan sebelumnya. Pengambilan keputusan tersebut harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain hukum yang berlaku, sosial, politik, ekonomi, teknik, sains/ilmu pengetahuan, dan bukti-bukti penelitian itu sendiri (Klaassen (ed.), 2008).Manajemen resiko untuk keamanan makanan (termasuk keamanan dari mikroba patogen makanan) terbagi menjadi dua tingkatan. Tingkatan pertama adalah manajemen resiko tingkat nasional yang mencakup kebijakan kemanan makanan serta kriteria makanan yang aman. Kemudian tingkatan kedua adalah tingkat operasional yang mencakup pengontrolan secara spesifik serta pengontrolan secara general (Ronnie, 2010).

Gambar 3. Kerangka berpikir dalam manajemen keamanan makanan (Ronnie, 2010)Manajemen resiko untuk mengontrol pertumbuhan L. monocytogenes yang paling mudah dengan menerapkan langkah-langkah untuk membunuh L. monocytogenes. Langkah ini akan menginaktivasi semua L.monocytogenes. Umumnya hal tersebut dilakukan dengan pemanasan misalnya pasteurisasi dan pemasakan. Namun selain pemanasan, sering pula digunakan zat aditif listerisida seperti asam sorbat. Asam sorbat merupakan bakterisida yang umum dipakai untuk semua jenis bakteri dan tidak akan mengubah rasa makanan (Food Safety Authority of Ireland, 2005).Prinsip dalam manajemen resiko untuk mengontrol L. monocytogenes yang paling penting antara lain mengurangi jumlah serta kesempatan mikroba untuk mengkontaminasi, mengurangi kemungkinan mikroba dapat tumbuh serta mengkomunikasikan konsumen yang beresiko untuk menghindari makanan yang berpotensi terkontaminasi. Pada tingkat operasional, penerapan GOP (Good Operating Practices) dan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) dapat mencegah kontaminasi Listeria saat awal proses maupun pasca proses (Ministry of Primary Industries, 2013). Di tingkatan operasional tersebut ditetapkan bahwa makanan berkualitas baik tidak boleh mengandung bakteri L. monocytogenes atau batas kontaminasi yang masih diperbolehkan adalah