Upload
novi-agustina
View
206
Download
23
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS
( SLE )
Kelompok 4
Cendri Diana 030.05.056
Putri Prihartati 030.05.173
Muji Hartiningsih 030.06.171
NamanKhalid 030.07.176
Novi Agustina 030.07.189
Putri Kurniasari 030.07.207
Rina Wulandari 030.07.220
Septiyayanti 030.07.238
Steven Tirta Putra 030.07.250
Vania Zamri 030.07.261
William Faisal 030.07.272
Zuki Saputra 030.07.283
Hazirah Bt Abd Khalim 030.07.293
Mohd Zulhelmi Bin Ramli 030.07.303
Noraiman Bin Roslim 030.07.313
Nur Faraha Binti Daud 030.07.323
Ruzanaz S Bt Ruzman Azlee 030.07.334
Ukim Bin Antiko 030.07.344
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERITAS TRISAKTI
JAKARTA, FEBRUARI 2009
BAB I
PENDAHULUAN
Sesi 1
Mulan, wanita usia 25 tahun, belum menikah, datang berobat kepada seorang General
Practioner dua tahun yang lalu, dengan keluhan utama nyeri sendi pada kedua pergelangan
tangan, jari-jari tangan, dan kedua pergelangan kaki.
Pemeriksaan saat itu menunjukan semua tanda vital dalam batas normal. Nampak bercak
kemerahan dikedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung. Dalam anamnesis, bercak
merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai 2 jam.
Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan.
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium: Ht = 35%; Leukosit = 9800/mm3; hitung jenis leukosit
normal. LED 40 mm/jam; ANA positif 1:256.
Sesi 2
Tiga bulan kemudian Mulan merasakan lesu dan lelah sepanjang hari. Ia berfikir
mengalami “flu syndrom”. Dalam satu minggu terakhir ini ia mengalami bengkak kedua kaki
sampai pergelangannya. Pada pemeriksaan didapati pitting oedema kaki. Pada pemeriksaan
abdomen ditemukan shifting dullnes pada perkusi.
Pemeriksaan Laboratorium memperlihatkan ANA positif masih dengan titer 1:256; LED
120 mm/jam; albumin serum 0,8 g/dl. Serum komplemen C3= 42 mg/dl (normal= 80-180)
dan C4= 5 mg/dl (normal= 15-45). Urinalisis: proteinuria 4+, hematuria, pyuria,
danditemukan silinder bergranula. Urin 24 jam mengandung 4 gr protein.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS ( SLE )
A. DEFINISI
Systemic lupus erythematosus (SLE), merupakan prototipe suatu penyakit autoimun
yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang
menyebabkan kerusakan sel maupun organ, penyakit ini berhubungan dengan manifestasi
klinis yang luas. Sembilan puluh persen pasien adalah wanita usia produktif, dengan rasio
wanita dan laki-laki 9:1. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respon
imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor Klas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-
DR3.
B. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi dan patogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian,
diduga bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral, dan ini mencakup pengaruh faktor
genetik, lingkungan (infeksi, zat kimia, makanan, sinar matahari), dan juga faktor hormonal
( sex hormone, stress hormone, leptine) yang dapat menghasilkan respon imun yang
abnormal.
Seperti telah disebutkan diatas, patogenesis SLE bersifat multifaktoral, namun faktor
genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Penelitian-
penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang
mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan halotipe MHC tertentu, terutama HLA-
DR2, pada sel yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC); HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi gen ikatan komplemen; Gen yang mengkode
pembentukan Mannose Binding Lectin (MBL); Gen yang berkaitan dengan mekanisme
apoptosis, juga gen-gen lain yang ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin. Penelitian telah menunjukan bahwa sistem neuroendrokin juga
ikut berperan melalui pengaruh saling timbal balik antara sistem neuroendokrin dan sistem
imun.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T, yang
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibatnya munculah
set T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang
memproduksi antibodi maupun yang berupa sel memori. Pada keadaan normal, sel B tidak
akan terpajan dengan DNA, karena pada mekanisme pembersihan unsur-unsur asing, proses
apoptosis DNA akan dibungkus rapi dalam vesikel dan difagositosis tanpa menimbulkan
reaksi radang. Tetapi pada SLE, terjadi defek pada mekanisme pembersihan unsur-unsur
tubuh yang sudah tidak diperlukan lagi , yaitu oleh: proses apoptosis, complement, dan MBL.
Proses mekanisme pembersihan unsur-unsur tubuh yang tidak sempurna tersebut dapat
menyebabkan antigen diri (ds-DNA) terpapar oleh sel B yang T-independent. Sehingga sel B
dapat mengenali dan bereaksi dengan ds-DNA, dan terbentuklah IgG anti DNA.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (Anti Nuclear Antibodi). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Dan karena adanya ganguan kompleks imun, maka kompleks imun ini akan mengendap pada
berbagai macam organ (yang tersering adalah basement membran gromerulus, sendi dan
kulit), dengan mengendapnya kompleks imun tersebut akibatnya terjadi fiksasi komplemen
pada organ dan peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan reaksi
radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya gejala pada organ yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi,kulit, pleura, pleksus koroideus, dan sebagainya.
C. MANIFESTASI KLINIS
Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang
waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat
ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai dari
ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Gejala awal yang mungkin dialami saat
lupus: sakit pada sendi/tulang, Demam berkepanjangan/panas tinggi bukan karena infeksi,
sering merasa cepat lelah, kelemahan berkepanjangan, ruam pada kulit, anemia, gangguan
ginjal, sakit di dada bila menghirup nafas dalam, bercak merah pada wajah yang berbentuk
seperti kupu-kupu (butterfly rash), sensitif terhadap sinar matahari, ujung jari berwarna
kebiruan/pucat dan sakit kepala. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa
yang relatif tenang; remisi permanen sempurna (Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang
terjadi. Gejala sistemik, utamanya malaise dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan.
Manifestasi Muskuloskeletal
Kebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga
kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering
pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya
pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang ditemukan; keberadaannya
menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti rheumatoid arthritis; beberapa ahli
memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi,
seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan,
utamanya jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya.
Manifestasi Penyakit Kulit
Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE), bercak
sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau “lainnya”. Lesi discoid
merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa
hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal
secara permanent rusak. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitive, eritema
sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan sekitar hidung –the ”buterfly
rash”), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan.
Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. Bercak SLE
lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis
(“lupus profundus”). Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE;
lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.
Manifestasi Renal
Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi
merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini. Karena nephritis
asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya dilakukan pada pasien
yang dicurigai mengalami SLE. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif
berbahaya biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam);
sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi.
Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya nephrotik) memiliki perubahan
glomerulus membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsy ginjal.
Manifestasi Sistem Saraf
Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE, pada beberapa
pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas. Manifestasi klinis
SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan
memberikan alasan. Sakit kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini
menandakan serangan SLE; jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit
kepala tipe tegang. Psikosis dapat menjadi manifestasi dominant pada SLE; hal ini mesti
dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada
minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau
sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau
dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan; terapi
immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi.
Oklusi Vaskuler
Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myocard meningkat pada pasien
SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE dengan
antibody terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibody antifosfolipid ini berkaitan dengan
hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan
percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal (baik
noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau dengan embolisasi dari plaq arteri carotid
atau dari vegerasi fibrinous dari Libman-Sack endocarditis. Pada SLE, infark myokard
merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan resiko kejadian vaskuler
dapat mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada wanita.
Manifestasi Pulmoner
Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau tanpa
efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi NSAID
(nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi
glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit
dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan
nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut,
dan perdarahan intraalveolar.
Manifestasi Penyakit Jantung
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini berespon
dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak
yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan
endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakan katup mitral atau aorta,
atau kejadian embolik. Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami
peningkatan resiko infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis,
dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada
lipid dan pada organ.
Manifestasi Hematologik
Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya
normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Leukopenia juga sering dan
hampir selalu mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan
terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan
masalah yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi.
Manifestasi Gastrointestinal
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan
SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun dan/atau
peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase
(ALT) umum jika SLE sedang aktif. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam
nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi.
Manifestasi Okuler
Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE
namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis
optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau
minggu.
D. DIAGNOSIS
Diagnosis SLE, dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.
American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk
klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakan.
Kriteria tersebut adalah:
No Gejala Batasan
1 Malar Rash
(Butterfly rash)
Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan
lipat nasolabial.
2 Discoid rash Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
3 Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter
pemeriksa.
4 Ulkus oral Ulkus oral dan nasofaring, umumnya tidak nyeri.
5 Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh
rasa nyeri, bengkak, dan efusi
6 SerositisPleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura. Atau
Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti adanya efusi perikardial
7 Gangguan
Ginjal
Proteinuria >0,5 g/hari atau >+3, atau
Cetakan selular- berupa eritrosit, hemoglobin, granular,tubular atau
gabungan
8 Gangguan
neurologic
Kejang/Psikosis -tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit.
9 Gangguan
hematologik
Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
Leucopenia hemolytic (<4000/mm3 pada 2x pemeriksaan) atau
Limfopenia (<1500/mm3 pada 2x pemeriksaan) atau
Trombositopenia (<100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan.
10 Gangguan
Imunologis
Anti-dsDNA: antibodi terhadap naive DNA dengan titer yang
abnormal, atau
Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm,atau
Temuan positif terhadap antibodi anti-phospholipid
11 Antibodi
Antinuklear
positif (ANA)
Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan
imunoflorosensi atau pemeriksaan setingkat pada setiapa kurun
waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.
E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena
pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien
ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat
berguna. Lupus dengan ANA negatif dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada
orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro
atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik
untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara
pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi.
Pemeriksaan Staandar untuk Diagnosis
Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan
urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan
mempengaruhi keputusan penatalaksanaan
Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan Penyakit
Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari
keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung.
Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau
albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya untuk
menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA, beberapa
komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi (termasuk yang
berikatan dengan reseptor C4 pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2, dan adiponektin urin
atau monosit kemotaktik protein.
F. PENATALAKSANAAN
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting dalam penatalaksanaan pasien
LES, terutama pada pasien yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan
langsung kepada pasien atau dengan membentuk kelompok pasien yang bertemu secara
berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya.
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi. Sehinga
dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan
kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima
dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami beberapa efek samping
pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah manifestasi penyakit
membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan organ, segera rencanakan
terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial reversible, dan (3) pendekatan terbaik
untuk mencegah komplikasi penyakit dan penanganannya.
Pada umumnya, pasien LES mengalami fotosensitifitas, sehingga pasien harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari, dan dinasehatkan untuk
selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung
bila akan berjalan di siang hari. Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibody
untuk SLE, namun tidak disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan
diarahkan untuk menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering
digunakan. NSAID merupakan analgesik/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk
arthritis/arthralgia. Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat
meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan kerusakan
jaringan. Jika kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini,
maka dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan.
Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau
organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.5–2 mg/kg per hari prednisolon atau 1000
mg methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.5–1 mg/kg
prednisone per hari). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa
pemberian glukokortikoid dosis tinggi melalui intravena (Methylprednisolone 1000 mg/hari
selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan pemberian
oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal.
Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid
direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada
SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan
selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya
direkomendasikan untuk mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau micophenolat
mofetil (inhibitor spesifik limfosit) merupakan pilihan yang dapat diterima untuk
mendapatkan erbaikan pada pasien dengan penyakit yang berat; azathioprine (suatu analog
purin dan antimetabolik) dapat efektif namun lebih lama berespon.
BAB III
PEMBAHASAN
SESI I
Identitas pasien:
Nama: Mulan
Jenis Kelamin: Wanita
Usia: 25 tahun
Status : Belum menikah
Keluhan utama:
Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan, dan kedua pergelangan kaki.
Pemeriksaan Fisik:
Tanda vital : Normal
Inspeksi Wajah:
Nampak bercak kemerahan dikedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung, dan
Dalam anamnesis, bercak merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas
matahari antara 1 sampai 2 jam.
Inspeksi dan Palpasi Ekstremitas:
Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan.
Pemeriksaan Laboratorium:
Ht = 35%
Leukosit = 9800/mm3
Hitung jenis leukosit normal
LED 40 mm/jam
ANA positif 1:256.
Masalah yang ditemukan dari data-data diatas adalah:
1. Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan kedua pergelangan kaki.
2. Bercak kemerahan di kedua pipi, lebih jelas di sekitar hidung.
3. Fotosensitifitas (bercak merah muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari)
4. Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan.
5. Hasil laboratorium - Ht menurun (Normal, 37-48%)
- LED meningkat (Normal, 0-20mm/jam)
- ANA positif (Normal, negatif)
Penyebab dan mekanisme timbulnya masalah:
Penyebab dari masalah masalah diatas adalah karena mekanisme autoimun yang belum
diketahui penyebabnya. Diperkirakan akibat dari ganguan respon imun dimana partikel tubuh
dianggap sebagai benda asing sehingga timbul reaksi peradangan yang dipengaruhi oleh
faktor genetik, lingkungan (infeksi, zat kimia, makanan, sinar matahari), dan juga faktor
hormonal ( sex hormone, stress hormone, leptine) yang dapat menghasilkan respon imun
yang abnormal. Pada faktor lingkungan, sinar ultraviolet (UV) yang dapat merusak DNA dan
akhirnya merubah apoptosis.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen.
Sebagai akibatnya munculah set T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi
sel B, baik yang memproduksi antibodi maupun yang berupa sel memori. Pada keadaan
normal, sel B tidak akan terpajan dengan DNA, karena pada mekanisme pembersihan unsur-
unsur asing, proses apoptosis DNA akan dibungkus rapi dalam vesikel dan difagositosis
tanpa menimbulkan reaksi radang. Tetapi pada SLE, terjadi defek pada mekanisme
pembersihan unsur-unsur tubuh yang sudah tidak diperlukan lagi , yaitu oleh: proses
apoptosis, complement, dan MBL. Proses mekanisme pembersihan unsur-unsur tubuh yang
tidak sempurna tersebut dapat menyebabkan antigen diri (ds-DNA) terpapar oleh sel B yang
T-independent. Sehingga sel B dapat mengenali dan bereaksi dengan ds-DNA, dan
terbentuklah IgG anti DNA.
Dengan antigennya yang spesifik, autoantibodi membentuk kompleks imun yang beredar
dalam sirkulasi. Dan karena adanya ganguan kompleks imun, maka kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dan menimbulkan reaksi radang.
Pada kasus ini, kompleks imun yang terbentuk mengendap pada sendi, karena banyaknya
pergerakan pada sendi, yang kemudian mengaktifasi komplemen dan leukosit, melepaskan
mediatior sel radang dan akan menyebabkan inflamasi sehingga terjadi nyeri dan juga
pembengkakan pada sendi. Selain mengendap pada sendi, komlpleks imun pun di deposit di
kulit, mengaktifkan komplemen dan akan menghasilkan reaksi radang berupa bercak-bercak
kemerahan di sekitar hidung.
Reaksi Fotosensitifitas pada pasien ini diduga karena sinar UV yang berasal dari sinar
matahari yang mensensitisasi sel-sel yang berada di bawah permukaan kulit sehingga terjadi
perubahan pada inti sel-sel tersebut menjadi antigenik bagi tubuh. Sistem imun menganggap
inti sel yang sudah berubah sebagai antigen musuh yang harus dilawan dan menginisiasi
terjadinya apoptosis pada sel-sel tersebut.
Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan Hasil Interpretasi
Hematokrit 35%(N: 37%-48%)
Ht anemia ringan
Leukosit 9800/mm³,hitung jenis normal(N: 5000-10000/mm³)
Normal
LED 40mm/jam(N: <20mm/jam)
LED, leukosit Normal adanya inflamasi yang bukan disebabkan oleh mikroorganisme, proses kronisitas
ANA Positif 1:256( Negatif : < 1:40, Positif Lemah : 1:80 pada wanita dan lansia.)
Adanya antibody yang melawan komponen tubuh sendiri. Titer 1:256 Terdapat pada connective tissue disease autoimmune disease
DIAGNOSIS
Diagnosis pada kasus ini adalah SLE, dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium, dan berdasarkan 4 kriteria dari 11 kriteria yang diajukan oleh American
College of Rheumatology (ACR).
Dimana pada kasus ini, diketahui terdapat 4 dari 11 kriteria SLE, diantaranya adalah:
1. Bercak kemerahan dikedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung Ruam malar
2. Bercak merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai
2 jam Fotosensitifitas
3. Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan, dan kedua pergelangan kaki;
Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan
Arthritis
4. ANA positif 1:256
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien SLE dengan gejala-gejala yang ditemukan diatas, masih sebatas
nyeri sendi, pembengkakan sendi, dan fotosensitifitas, yang tidak membahayakan nyawa,
dalam hal ini penatalaksanaan yang kami ajukan diarahkan untuk menekan gejala,
diantaranya:
1. Edukasi
Hindari paparan sinar matahari berlebihan
Menggunakan krim pelindung sinar matahari (sunscreen), baju lengan
panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari
Istirahat yang cukup dan hindari kelelahan
Anjurkan agar pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi
teratur.
2. Konsevatif
NSAID merupakan analgesik/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk
arthritis/arthralgia
Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat
meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan
SESI II
Data tambahan:
Masalah lain yang ditemui oleh Mulan setelah tiga bulan kemudian:
Ananmnesis: Lelah dan lesu sepanjang hari
Pemeriksaan Fisik:
1. Bengkak kedua kaki sampai pergelangan, Pitting oedema kaki
2. Shifting dullnes pada perkusi abdomen
Pemeriksaan Laboratorium:
1) ANA Positif dengan titer 1:256 6) Urinalisis:
2) LED 120 mg/dl - Proteinuria 4+; Hematuria; Pyuria;
3) Albumin serum 0,8 gr/dl - (+) silinder bergranula
4) Serum komplemen C3 = 42 mg/dl (N= 80-180) 7) Urin 24 jam (+) 4 gr protein.
5) Serum komplemen C4 = 5 mg/dl (N= 15-45)
Interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium
Mekanisme yang mendasari hasil pemeriksaan laboratorium dan gejala yang ditemui:
Seperti telah kita ketahui SLE adalah suatu penyakit autoimunitas, suatu keadaan dimana
sel T menjadi intoleran terhadap unsur tubuh sendiri (self antigen) sehingga antibodi dapat
mengenali dan bereaksi terhadap self antigen tersebut. Sel T yang dimaksud adalah sel T
yang autoreaktif, hal tersebut terjadi karena kegagalan seleksi negatif di timus pada tingkat
perkembangan limfosit T, dimana seleksi tersebut bertujuan untuk membuat sel-sel T yang
bereaksi dengan antigen diri mengalami apoptosis, sehingga tidak lolos ke perifer. Pada
keadaan normal, sel B tidak akan terpajan dengan DNA, karena pada proses apoptosis DNA
akan dibungkus rapi dalam vesikel dan difagositosis tanpa menimbulkan reaksi radang.
Tetapi pada SLE, terjadi defek pada mekanisme pembersihan unsur-unsur tubuh yang sudah
tidak diperlukan lagi , yaitu oleh: proses apoptosis, complement, dan MBL. Proses apoptosis
yang tidak sempurna karena defek complemen dan MBL tersebut dapat menyebabkan antigen
diri (ds-DNA) terpapar oleh sel B yang T-independent. Sehingga sel B dapat mengenali dan
bereaksi dengan ds-DNA, dan terbentuklah IgG anti DNA. Antibodi ini secara bersama-sama
disebut ANA (Anti Nuclear Antibodi). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk
kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Karena adanya ganguan pada kompleks imun pada kasus ini, kompleks imun yang
terbentuk mengendap di basement membran glomerulus di ginjal, kompleks imun ini
kemudian akan mengaktifasi jalur klasik komplemen dan leukosit. Aktifasi komplemen akan
merangsang terjadinya inflamasi pada membran glomerulus dan aktifasi leukosit yang
mengeluarkan enzim Reactive Oksidase Intermediate (ROIs) dan enzim Inducible Nitric
Oksidase (INOs) yang kedua enzim tersebut juga dapat merusak membran glomerulus. Pada
inflamasi dan kerusakan membran glomerulus ini terjadi kegagalan filtrasi, sehingga zat-zat
yang seharusnya terfiltrasi seperti protein, sel darah merah, dan leukosit, tidak dapat di
filtrasi, dan akhirnya keluar melalui urin. Hal ini yang menyebabkan pada pasien ini
ditemukan Proteinuri, Hematuri, dan Pyuri pada hasil laboratoriumnya.
Kompleks imun yang mengendap di basement membran glomerulus, kompleks imun ini
kemudian akan mengaktifasi jalur klasik komplemen. Pengaktifan komplemen ini dapat
mengakibatkan penurunan jumlah protein komplemen (C3,C4). Sehingga pada hasil
laboratorium didapatkan penurunan kadar C3 dan C4 serum.
Pada pasien ini juga didapatkan peningkatan laju endap darah (LED), hal ini disebabkan
karena: terjadinya inflamasi yang menyebabkan terjadinya pembentukan protein salah
satunya fibrinogen, dan kemudian fibrinogen tersebut akan menempel pada eritrosit,
kemudian memicu terbentuknya roleaux menjadi lebih cepat, sehingga laju endap darah akan
meningkat.
Terjadinya kebocoran protein yang keluar melalui urin, maka hal tersebut juga akan
menyebabkan jumlah albumin serum berkurang. Pada keadaan jumlah albumin serum yang
dibawah normal ini, menyebabkan penurunan tekanan osmotik dan menyebabkan terjadinya
perpindahan cairan dari vaskular ke jaringan, sehingga terjadi oedem.
Wanita lebih sering menderita autoimmune disease
Autoimmune disease biasanya dikaitkan dengan faktor hormon. Faktor hormone ini bekerja
pada sistem imun melalui 3 cara, yaitu:
Merangsang system saraf pusat untuk melepaskan bahan kimia imunoregulasi
Mengatur produksi sitokin
Merangsang kelenjar endokrin untuk melepaskan hormon lainya seperti prolaktin
pada wanita
Pada wanita terdapat hormon estrogen yang dapat meningkatkan autoimmunitas dan secara
tidak langsung meningkatkan inflamasi. Sedangkan kecenderungan Androgen (hormone laki-
laki) secara umum menekan autoimunitas. Hormon estrogen juga dapat meningkatkan
produksi autoantibody, menghambat fungsi sel pembunuh dan menginduksi atrofi kelenjar
timus. Oleh karena itu auto immune disease ini lebih sering terjadi pada wanita.
Diagnosis Banding SLE
Diagnosis Banding Perbedaan dengan SLE
RA X-Ray: Erosif Ada deformitas/deviasi ulnar Menyerang sendi-sendi Kerusakan sendi lebih hebat Ada Nodul subkutan
Drug induce LE Ratio antara pria dan wanita hampir sama Usia rata-rata 60 tahun Lebih banyak pada kaukasia di AS Tidak ada kelainan nephritis dan susunan saraf pusat Hipokomplementemia dan antibody terhadap DNA (-) Reversibvle-sembuh setelah obat dihentikan
Discoid LE Bukan sistemik Dapat menimbulkan kanker kulit Tidak menyebabkan gagal ginjal
Anti-nuclear Antibody dan kemaknaanya
Terdapat berbagai macam autoantibodi dan spesifisitasnya terhadap SLE.
Antibody
Prevalensi, % Antigen yang Dikenali
Clinical Utility
Antinuclear antibodies
98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double-stranded)
Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubunfan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA
Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks protein pada U1 RNAγ
Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDa
Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada hY RNA
Biasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis
Anti-histone 70 Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin)
Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.
Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2 glycoprotein 1 cofactor, prothrombin
Tiga tes tersedia –ELISA untuk cardiolipin dan β2G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.
Antierythrocyte 60 Membran eritrosit
Diukur sebagai tes Coombs’ langsung; terbentuk pada hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan Terkait dengan trombositopenia namun
Prevalensi, % Antigen yang Dikenali
Clinical Utility
perubahan antigen sitoplasmik pada platelet.
sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE
Antineuronal (termasuk anti-glutamate receptor)
60 Neuronal dan permukaan antigen limfosit
Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.
Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome
Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS
Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay.
Anti-Nuclear Antibodi (ANA), atau disebut juga Anti-Nuclear Factor (ANF), ditujukan
terhadap berbagai unsur inti sel seperti DNA, RNA, dan nuclear proteins. ANA, yang
ditujukan terhadap ds-DNA, centromeric proteins dan the Extractable Nuclear Antigens
(ENAs), memiliki kemaknaan klinis utama. ENAs termasuk terhadap antibodi untuk Sm, La,
Ro, RNP, dan lain-lain. Metode pemerikasaan, dahulu terutama Indirect Imunoflorosensi.
Saat ini sering dengan ELISA, RIA, dan immunoblotting.
Dalam keadaan yang normal ANA adalah negatif. ANA dianggap negatif apabila titer
<1:40. Sedangkan ANA yang positif menunjukan titer abnormal, positif kuat berkaitan
dengan connective tissue disease (SLE) dan autoimmune liver disease, dan positif lemah
(titer 1:80), tidak spesifik, cukup sering dijumpai pada wanita dan orang tua, serta
peradangan.
Penatalaksanaan
Pada kasus ini, telah ditemukan hasil laboraturium yang mendukung adanya gangguan
pada ginjal pasien. Dalam hal ini penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah dengan
memberikan glukokortikoid yang merupakan imunosupresan dan anti inflamasi kombinasi
(prednison 0.5–2 mg/kg per hari atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV
harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.5–1 mg/kg prednisone per hari).
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus
erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif otoimun yang belum diketahui
etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan
prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut
dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE
merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita pada usia reproduksi.
Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses
patofisiologi.
Diagnosis pada penyakit SLE mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American
College of Rheumatology revisi tahun 1997. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana
diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau
dengan tenggang waktu.
Diagnosis dini tidaklah mudah mengingat dinamisnya perjalan penyakit SLE ini
sehingga seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya Artritis reumatoid,
gelomerulonefritis dan sebagainya. Oleh karenanya ketepatan diagnosis dan pengenalan dini
akan penyakit SLE menjadi penting.
SARAN
Dalam pembuatan makalah hasil diskusi ini, masih banyak terdapat banyak kesalahan,
maka kritik dan saran pembaca khususnya para dosen akan sangat bermanfaaat bagi kami
untuk dapat membuat makalah hasil diskusi yang lebih baik untuk lain waktu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas KA. Lichtman AH. Basic Imunology Functoin and Disoders of Immune Syestem.
2nd ed. 2007. Philadelphia: Sauders Elsevier.
2. Helbert M. Flesh and Bones of Immunology. 2006. Spain: Mosby
3. Paul WE. Fundamental Immunology. 5th ed. 2003. Philadelphia: Lippincot Wiliams &
Wilkins.
4. Sudoyo W. Setiyohadi B. Alwi I. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam Jilid II. 4th ed. 2006.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. pg: 1214-21.
5. Husnul. SLE. Available at: http://cetrione.blogspot.com/2008/07/systemic-lupus-erithematosus.html. Accessed on Feb, 5 2009.