19
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transfusi darah merupakan salah satu bagian penting pada pelayanan kesehatan. Transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat kesehatan bila digunakan dengan benar. Indikasi tepat transfusi darah dan komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara lain. WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi dunia berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang aman, sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya 20% memakai darah donor yang aman. Oleh karena itu, WHO mengembangkan strategi untuk transfusi darah yang aman dan meminimalkan risiko tranfusi. Strategi tersebut terdiri dari pelayanan transfusi darah yang terkoordinasi secara nasional, pengumpulan darah hanya dari donor sukarela dari populasi risiko rendah, pelaksanaan skrining terhadap semua darah donor dari penyebab infeksi, mengurangi transfusi darah yang tidak perlu dengan penentuan indikasi transfusi darah dan komponen darah yang tepat. 1 1

Makalah Transfusi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Transfusi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transfusi darah merupakan salah satu bagian penting pada pelayanan

kesehatan. Transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat

kesehatan bila digunakan dengan benar. Indikasi tepat transfusi darah dan

komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan morbiditas

dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara lain.

WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi

dunia berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang

aman, sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya

20% memakai darah donor yang aman. Oleh karena itu, WHO mengembangkan

strategi untuk transfusi darah yang aman dan meminimalkan risiko tranfusi.

Strategi tersebut terdiri dari pelayanan transfusi darah yang terkoordinasi secara

nasional, pengumpulan darah hanya dari donor sukarela dari populasi risiko

rendah, pelaksanaan skrining terhadap semua darah donor dari penyebab infeksi,

mengurangi transfusi darah yang tidak perlu dengan penentuan indikasi transfusi

darah dan komponen darah yang tepat.1

B. Permasalahan

Melakukan transfusi harus selalu berdasarkan penilaian yang tepat dari

segi klinis penyakit dan hasil pemeriksaan laboratorium.

Faktor keamanan dan keefektifan transfusi bergantung pada 2 hal yaitu (1)

tersedianya darah dan komponen darah yang aman, mudah didapat, harga

terjangkau, dan jumlahnya cukup memenuhi kebutuhan nasional; (2) indikasi

transfusi darah dan komponen darah yang tepat. Transfusi darah atas indikasi

yang tidak tepat tidak akan memberi keuntungan bagi pasien, bahkan memberi

risiko yang tidak perlu. Misalnya, transfusi yang diberikan dengan tujuan

menaikkan kadar hemoglobin sebelum operasi atau mempercepat pulangnya

pasien dari rumah sakit. Transfusi darah atau plasma untuk perdarahan akut masih

1

Page 2: Makalah Transfusi

sering dilakukan padahal terapi dengan infus kristaloid atau cairan pengganti

lainnya sama efektifnya bahkan lebih aman dan murah.

Transfusi dapat mengakibatkan penyulit akut atau lambat dan membawa

risiko transmisi infeksi antara lain HIV, hepatitis, sifilis dan risiko supresi sistem

imun tubuh.

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah:

1. Apa saja indikasi transfusi komponen darah?

2. Apa saja faktor risiko yang dapat ditimbulkan dari transfusi darah?

3. Bagaimana skrining untuk mengetahui darah donor yang aman?

C. Tujuan

1. Mengetahui indikasi transfusi komponen darah

2. Mengetahui faktor risiko dari transfusi darah

3. Mengetahui skrining darah donor yang aman

2

Page 3: Makalah Transfusi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Indikasi Transfusi Komponen Darah

1. Transfusi Sel Darah Merah

Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar

Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat

ditunda jika pasien asimptomatik, maka batas kadar Hb yang lebih rendah

dapat diterima.

Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar

Hb =11 g/dL. Tetapi bila tidak ada gejala, batas ini dapat diturunkan hingga 7

g/dL. Jika terdapat penyakit jantung atau paru, batas untuk memberi transfusi

adalah Hb =13 g/dL.2

Transfusi satu unit darah lengkap (whole blood) atau sel darah merah

pada pasien dewasa berat badan 70 kg yang tidak mengalami perdarahan

dapat meningkatkan hematokrit kira-kira 3% atau kadar Hb sebanyak 1 g/dl.

Tetapi, kadar Hb bukan satu-satunya faktor penentu untuk transfusi sel darah

merah. Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah kondisi pasien,

tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia karena penyakit

yang diderita oleh pasien dan risiko transfusi.2

Banyak transfusi sel darah merah dilakukan pada kehilangan darah

ringan atau sedang, padahal kehilangan darah itu sendiri tidak menyebabkan

peningkatan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Meniadakan transfusi

tidak menyebabkan keluaran (outcome) perioperatif yang lebih buruk.3

Beberapa faktor spesifik yang menjadi pertimbangan transfusi adalah:

1) Pasien dengan riwayat menderita penyakit kardiopulmonal perlu transfusi

pada batas kadar Hb yang lebih tinggi; 2) Volume darah yang hilang selama

masa perioperatif, dapat dinilai secara klinis dan dapat dikoreksi dengan

penggantian volume yang tepat; 3) Konsumsi oksigen, dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor penyebab antara lain adalah demam, anestesia dan menggigil.

3

Page 4: Makalah Transfusi

Jika kebutuhan oksigen meningkat maka kebutuhan untuk transfusi sel darah

merah juga meningkat.3

Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl

apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan

laboratorium. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb =10 g/dl, kecuali bila

ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas

transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat

dan penyakit jantung iskemik berat).

Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah

bila pasien akan menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan

darah serta adanya gejala dan tanda klinis dari gangguan transportasi oksigen

yang dapat diperberat oleh anemia.2

Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus

diatasi dengan penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting

daripada menaikkan kadar Hb. Pemberian cairan pengganti plasma (plasma

subtitute) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi

kebutuhan transfusi, terutama bila perdarahan dapat diatasi. Setelah pasien

mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit

dapat digunakan sebagai indikator apakah transfusi sel darah merah

dibutuhkan atau tidak.2

Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan

transportasi oksigen, terutama bila volume darah yang hilang >25% dan

perdarahan belum dapat diatasi. Kehilangan volume darah >40% dapat

menyebabkan kematian.3

Sebaiknya hindari transfusi darah menggunakan darah simpan lebih

dari sepuluh hari karena tingginya potensi efek samping akibat penyimpanan.

Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium yang tinggi, pH

rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-

diphosphoglycerate rendah.1

Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah

yang menyebabkan: 1) peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan

4

Page 5: Makalah Transfusi

katekolamin, kondisi yang tidak stabil, nyeri; 2) penurunan penyediaan

oksigen, seperti hipovolemia dan hipoksia. Tanda dan gejala klasik anemia

berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat, takikardia, penurunan

kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala anemia

serta pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan alasan transfusi

yang lebih rasional.4

Penelitian oleh Carmel dan Shulman (dipublikasikan tahun 1989)

menyatakan bahwa dispnea tidak terjadi sampai Hb <7 g/dl. Pada penelitian

lain dengan Hb <6 g/dl, hanya 54% pasien mengalami takikardia, 32%

mengalami hipotensi, 35% penurunan kesadaran, dan 27% dispnea. Pada

anak, gejala baru muncul pada nilai Hb yang lebih rendah lagi. Kelambatan

munculnya tanda-tanda tersebut mungkin menyebabkan undertransfusion.

Walaupun Hb merupakan prediktor yang cukup baik untuk kebutuhan

transfusi, pengukuran oksigenasi jaringan lebih akurat dalam menentukan

kebutuhan.

2. Transfusi Trombosit

Transfusi trombosit dapat digunakan untuk:

Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung

trombosit <50.000/uL, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus

batasnya menjadi <100.000/uL. Pada kasus DHF dan DIC supaya

merujuk pada penatalaksanaan masing-masing.

Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/uL pada pasien yang

akan menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi

massif.

Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.

Pada tahun 1987 Nasional Institute of Health Consensus Conference

merekomendasikan profilaksis transfusi trombosit untuk pasien dengan

hitung trombosit kurang dari 10.000-20.000/uL, sedangkan untuk pasien

dengan hitung trombosit >50.000/uL transfusi trombosit tidak memberikan

keuntungan. Transfusi trombosit pada hitung trombosit yang lebih tinggi

5

Page 6: Makalah Transfusi

diindikasikan untuk pasien dengan perdarahan sistemik atau yang memiliki

risiko tinggi mengalami perdarahan karena kelainan koagulasi, sepsis, atau

disfungsi trombosit.3,5

Transfusi trombosit jarang diindikasikan pada pasien trombositopenia

yang akan menjalani operasi dengan penurunan produksi trombosit jika

hitung trombosit mencapai 100.000/uL, dan biasanya baru diindikasikan bila

hitung trombosit <50.000/uL.3

Penentuan apakah pasien yang memiliki jumlah trombosit 50.000-

100.000/uL membutuhkan transfusi, harus berdasarkan pada risiko terjadinya

perdarahan. Pasien obstetrik dengan perdarahan mikrovaskular yang akan

menjalani prosedur operasi atau persalinan biasanya membutuhkan transfusi

trombosit bila hitung trombosit <50.000/uL dan jarang memerlukan bila

hitung trombosit >100.000/uL. Pada pasien dengan hitung trombosit 50.000-

100.000/uL, pemberian transfusi trombosit berdasarkan risiko perdarahan.

Transfusi trombosit juga diindikasikan pada pasien dengan hitung trombosit

normal tetapi terdapat gangguan fungsi trombosit dan perdarahan

mikrovaskular.3

Penggunaan trombosit diindikasikan untuk pencegahan dan

penatalaksanaan perdarahan pada pasien dengan trombositopenia atau

kelainan fungsi trombosit. Hitung trombosit adalah faktor pemicu utama

penggunaan trombosit, dengan faktor risiko terjadi perdarahan dan banyaknya

perdarahan akan mempengaruhi keputusan perlu tidaknya transfusi.2

3. Transfusi Plasma Beku Segar (Fresh Frozen Plasma)

Transfusi FFP digunakan untuk:

Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor

koagulasi baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat

faktor spesifik atau kombinasi.

Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan

yang mengancam nyawa.

6

Page 7: Makalah Transfusi

Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah

transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan

penyakit hati.

Penggunaan FFP seringkali tidak tepat baik dari segi indikasi maupun

jumlah FFP yang diberikan. Penggunaan FFP dianjurkan pada beberapa

kondisi klinis, tetapi belum menunjukkan adanya keuntungan atau dianggap

sebagai terapi alternatif yang aman dan memuaskan.2

Kelompok kerja ASA pada tahun 2001 merekomendasikan bahwa

pemberian FFP dilakukan untuk neutralisasi segera setelah terapi dengan

warfarin, untuk koreksi defisiensi faktor koagulasi bila konsentrat yang

spesifik tidak tersedia, untuk koreksi perdarahan mikrovaskular dengan

adanya peningkatan PT dan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5

x nilai normal, untuk koreksi perdarahan mikrovaskular sekunder karena

kekurangan faktor koagulasi pada pasien yang mendapat transfusi lebih dari

satu volume darah dan jika PT dan APTT tidak dapat dipantau secara serial.

FFP sebaiknya diberikan dengan perhitungan dosis untuk mencapai jumlah

minimum 30% konsentrasi faktor koagulasi dalam plasma (biasanya dicapai

dengan pemberian FFP sebesar 10-15 ml/kg), kecuali untuk neutralisasi

hemostasis setelah terapi dengan warfarin maka dosis sebesar 5-8 mg/kg

sudah cukup. ASA juga menyatakan bahwa 4-5 unit trombosit, satu unit

trombosit aferesis, atau satu unit darah lengkap mempunyai kandungan faktor

koagulasi yang sama dengan satu unit FFP. FFP merupakan indikasi kontra

pada pasien untuk terapi hipovolemia atau meningkatkan kadar albumin.3

4. Transfusi Kriopresipitat

Kriopresipitat digunakan untuk:

Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani

prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.

Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang

mengalami perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian

desmopresin asetat atau akan menjalani operasi.2

7

Page 8: Makalah Transfusi

B. Risiko Transfusi Darah

Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan bagian

situasi klinis yang kompleks. Jika suatu operasi dinyatakan potensial

menyelamatkan nyawa hanya bila didukung dengan transfusi darah, maka

keuntungan dilakukannya transfusi jauh lebih tinggi daripada risikonya.

Sebaliknya, transfusi yang dilakukan pasca bedah pada pasien yang stabil hanya

memberikan sedikit keuntungan klinis atau sama sekali tidak menguntungkan.

Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak sesuai dengan

keuntungannya. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat,

reaksi lambat, penularan penyakit infeksi dan risiko transfusi massif.6

1. Reaksi Akut

Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24

jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu

ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan

ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini

disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan

adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri

kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di

kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya

disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi

non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi

pirogen dan/atau bakteri.1

Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah,

nyeri dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri

punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot,

demam, lemah, hipotensi (turun =20% tekanan darah sistolik), takikardia

(naik =20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini

disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok

septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.1

8

Page 9: Makalah Transfusi

Hemolisis intravaskular akut

Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan

inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan

melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah

inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan

reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan

semakin meningkatkan risiko.1,7

Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya

terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah

dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label

pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi.

Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien

melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari

darah yang ditransfusikan. Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul

dalam beberapa menit awal transfusi, kadang-kadang timbul jika telah

diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak sadar atau dalam anestesia,

hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan satu-

satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien dilakukan sejak

awal transfusi dari setiap unit darah.1,7

Kelebihan cairan

Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini

dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu

cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada

pasien dengan anemia kronik dan memiliki penyakit dasar kardiovaskular.1,7

Reaksi anafilaksis

Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam

plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi

pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi

anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan produk darah yang banyak

9

Page 10: Makalah Transfusi

mengandung IgA.1 Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan

ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa

demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat

dan agresif.1,7

Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung

injury = TRALI)

Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung

antibodi yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya

timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan gambaran foto toraks

kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan bantuan

pernapasan di ruang rawat intensif.1,7

2. Reaksi Lambat

Reaksi hemolitik lambat

Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan

gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi

hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal

ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan

laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan sel

darah kompatibel dengan antibodi tersebut.1,7

Purpura pasca transfusi

Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi

potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal

ini disebabkan adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik

trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda

yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10

hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit

<100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit

=50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung trombosit

10

Page 11: Makalah Transfusi

20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang

kompatibel dengan antibodi pasien.1,7

Supresi imun

Transfusi darah dapat mengubah sistem imun resipien dalam beberapa

cara, dan hal ini menjadi perhatian karena adanya pendapat yang menyatakan

bahwa angka rekurensi tumor dapat meningkat. Selain itu juga terdapat

pendapat yang menyatakan bahwa transfusi darah meningkatkan risiko

infeksi pasca bedah karena menurunnya respons imun: sampai saat ini,

penelitian klinis gagal membuktikan hal ini.1

3. Penularan Infeksi

Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung

pada berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan

skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit

darah. Saat ini yang dinilai untuk risiko transfusi darah, antara lain penularan

HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic

(HTLV). Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama

timbul pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana darah

donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).7,8

C. Skrining

11

Page 12: Makalah Transfusi

BAB III

KESIMPULAN

12

Page 13: Makalah Transfusi

REFERENSI

13