Upload
agus-murdadi
View
317
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TV PROGRAMMING
TV MAPPING &
PROGRAM MAPPING
Penyusun : AGUS MURDADI | 44113110086
Dosen : H. ERRY FARID, S.Sos
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI | BROADCASTING | 2014
JALAN MERUYA SELATAN, KEBUN JERUK - JAKARTA BARAT
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, akhirnya berkat rahmat Allah SWT dan bantuan dari
berbagai pihak, makalah “TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING”
dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini saya
membahas mengenai perkembangan bisnis atau industri pertelevisian di
Indonesia yang semakin pesat.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman pemetaan
televisi di Indonesia dan sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas
mahasiswa untuk mengikuti mata kuliah “TV Programming”.
Dalam proses pembuatan makalah ini, tentunya saya mendapatkan
bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang sedalam-
dalamnya saya sampaikan:
- H. Erry Farid, S.Sos, selaku dosen mata kuliah “TV Programming”- Rekan-rekan mahasiswa
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat. Saya menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat diharapkan sebagai upaya penyempurnaan makalah
ini.
Jakarta, Mei 2014
Penyusun
2
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar isi 3
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 6
Tujuan Penulisan 6
BAB II Pembahasan
Era Perkembangan Televisi di Indonesia 7
Industri Pertelevisian di Indonesia 9
Persaingan Bisnis Pertelevisian di Indonesia 11
Konglomerasi Media Televisi di Indonesia 12
Monopoli Kepemilikan Media Penyiaran Swasta 16
Program Televisi 18
Segmentation Pemirsa Televisi 20
Targeting Pemirsa Televisi 23
Positioning Pemirsa Televisi 25
Pengukuran Kepemirsaan Televisi 27
Kepemirsaan Televisi Melalui Rating & Share 30
BAB III Penutup
Kesimpulan 33
Daftar Pustaka 35
3
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
BAB IPENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Perkembangan industri media massa di era globalisasi semakin pesat
khususnya media elektronik televisi, hal ini dapat diamati dari munculnya
berbagai macam stasiun televisi swasta nasional. Globalisasi informasi setiap
media massa melahirkan suatu efek sosial yang bermuatan perubahan nilai-nilai
sosial dan budaya. Proses globalisasi tersebut membuat arus informasi
menyebar ke seluruh dunia, dan salah satunya adalah program televisi.
Pesatnya industri pertelevisian di indonesia juga dipengaruhi oleh
kebutuhan masyarakat akan informasi dan juga hiburan. Hal tersebut dijadikan
peluang tersendiri bagi dunia pertelevisian di indonesia untuk membuktikan
bahwa media elektronik televisi mampu menayangkan informasi yang mendidik,
menghibur, dan menjadi bisnis yang sangat menjanjikan.
Media massa merupakan suatu pesan yang bisa berbentuk lisan ataupun
isyarat dan sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi
massa itu sendiri. Pada prinsipnya media adalah penyampaian informasi dan
komunikasi yang sangat berguna bagi manusia dalam meningkatkan mutu
pengembangan sosialnya.
Fungsi dari komunikasi massa itu sendiri antara lain (1) to inform
(menginformasikan), (2) to entertaint (menghibur), (3) to persuade (membujuk),
serta (4) transmission of the culture (transmisi budaya) (Black dan Whitney,
2007, 64).
Kemampuan televisi dalam menarik perhatian masih menunjukan bahwa
media tersebut telah menguasai jarak secara keseluruhan, baik dalam segi
geografis maupun sosiologis. Pengaruh acara di televisi sampai saat ini masih
terbilang kuat dibandingkan dengan radio dan media cetak. Hal ini dapat terjadi
karena kekuatan audio dan visual televisi lebih menyentuh kejiwaan emosi
penonton. Minat masyarakat menonton siaran televisi dipengaruhi faktor-faktor,
konten acara, pengisi acara, konsep acara, waktu tayang, durasi, serta variasi
acara itu sendiri. Terlepas dari segi pengaruh positif atau negatif, pada intinya
media televisi menjadi tolak ukur dan cerminan budaya tontonan bagi pemirsa
4
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
dalam era informasi dan komunikasi yang semakin berkembang dengan pesat,
sehingga sampai saat ini pun televisi masih menjadi media yang paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Televisi telah menghadirkan berbagai macam bentuk acara untuk
disajikan pada masyarakat. Maraknya ragam bentuk acara yang ditayangkan
oleh stasiun televisi swasta, baik itu yang bersifat edukatif ataupun sekedar
hiburan semata yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan memanjakan pemirsa. Program-
program
yang ditayangkan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan zamannya
sehingga banyak bermunculan tayangan-tayangan baru yang membuat acara
televisi semakin beragam. Salah satu program tersebut adalah program
entertainment (hiburan) khususnya acara program musik.
Munculnya beragam program musik di televisi meramaikan dinamika
musik tanah air sebagai media perantara dan menjadi tontonan masyarakat
yang menghasilkan rating yang cukup tinggi. Khalayak meresponnya sangat baik
dan mempunyai suatu minat tontonan tersendiri untuk menjadi daya tarik yang
menghibur, mendidik, dan mengikuti perkembangan musik tanah air bagi
masyarakat. Seiring dengan berkembangnya program musik pada televisi, maka
akan menyebabkan stasiun televisi lainnya mengikuti program tersebut dengan
konsep dan bentuk program yang tidak jauh berbeda, tetapi sangat disayangkan
apabila dengan banyaknya program musik di tiap statsiun televisi ini hanya
merupakan sebuah pengulangan konsep dari program musik lainnya. Suatu
program akan lebih bagus apabila program tersebut dikonsep secara baik dan
berbeda.
.
5
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka timbul permasalahan sebagai berikut:
Seperti apakah industri bisnis pertelevisian di Indonesia?
Mengapa begitu leluasanya permonopolian bisnis penyiaran televisi di
Indonesia?
Bagaimana tingkat kreativitas program televisi yang ada di Indonesia?
Mengapa rating dan share sebagai penentu keberhasilan suatu program
televisi?
TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan industri media
pertelevisian di Indonesia
Untuk mengetahui terjadinya industri media yang lebih berorientasi pada
pemenuhan keinginan pasar sesuai dengan kriteria apa yang paling
menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal
Untuk mengetahui kebenaran bahwa kreativitas program televisi di
Indoesia hanya memproduksi jasa sejenis yang dimiliki oleh pemilik yang
berbeda-beda yang beroperasi di pasar
Untuk mengetahui jika para pekerja industri media televisi hanya
mementingkan tayangan yang diminati audien tanpa menjamin
kualitasnya
6
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
BAB IIPEMBAHASAN
TV MAPPING
ERA PERKEMBANGAN TELEVISI DI INDONESIA
Sejarah televisi di Indonesia mulai tahun 1962, sedangkan booming
Televisi mulai 1992 pada saat RCTI mengudara dengan bantuan decoder. Ketika
itu Menteri Penerangan RI Maladi usul menghadirkan televisi untuk media
penyiaran di Indonesia karena kekuatan media membangun pola pikir, gaya
hidup, kemajuan disegala bidang dan lain sebagainya.
Siaran perdana TVRI ketika Asean Games IV 24 Agustus 1962 dengan
Pemancar pertama di eks gedung Akademi Penerangan. Informasi pesanan
selama 32 tahun menyebabkan TVRI memonopoli siaran televisi di Indonesia.
Reformasi mengubah pemberitaan tidak hanya yang seremonial saja.
Masyarakat bisa memilih berita di tigabelas stasiun televisi. TVRI + 12 TV Swasta
Nasional dan seratus lebih televisi lokal. Sehingga muncullah beraneka ragam
berita dan tayangan televisi yang memberikan keleluasaan pemirsa televisi di
Indonesia.
Adapun pemisahan era perkembangan televisi di Indonesia adalah sebagai
berikut:
Era Pembaruan Tahap I (Menata Penyelenggaraan Siaran Televisi)
Pada tanggal 3 Mei 1971 Penyelenggaraan siaran Televisi di Indonesia,
wewenang ada di pemerintah/Departemen Penerangan RI. Pembangunan
stasiun relay dikembangkan diseluruh wilayah Indonesia untuk
memberikan pemerataan informasi di tanah air.
Dikenal pula munculnya Closed circuit television (CCTV) untuk keperluan
khusus izin Departemen Penerangan RI bertahan 15 tahun sampai 20
Agustus 1986.
Era Pembaruan Tahap II. (Aturan Baru)
Keputusan Menpen RI No 167/B/KEP/MENPEN/1986 tentang
penyelenggaraan siaran televisi Indonesia 20 Agustus 1986, menghapus
aturan lama, yaitu;
1. Perkembangan teknologi komunikasi yang pesat.
7
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
2. Perkembangan televisi Indonesia harus terintegrasi dengan
pembangunan di segala bidang.
3. Sebelum ada UU perlu penyempurnaan wewenang dan kebijaksanaan
tentang siaran televisi diseluruh Indonesia. Keputusan Presiden 215
tahun 1963 tidak ada pengaturan tentang materi siaran. Dengan
Keputusan Menteri (kewenangan ada di Deppen dan Pemda)
diperkenalkan lima hal baru yakni;
a. Tentang siaran televisi (siaran televisi-siaran-gambar dan suara
diterima masyarakat),
b. Stasiun relay (meneruskan siaran),
c. Antena parabola (perangkat telekomunikasi bukan milik TVRI
penerima siaran yang dipancarkan lewat satelit),
d. Sistem distribusi (sistem penyebarluasan siaran lewat pemancar
ulang atau serat optic) dan
e. Sistem closed circuit (siaran terbatas lewat kabel atau bangunan
tertentu).
Era Pembaruan Tahap III. (Siaran saluran terbatas)
Aturan siaran saluran terbatas TVRI, SK MENPEN 20 Oktober 1987;
1. Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, dana pembangunan
terbatas, perlu peninjauan program siaran.
2. Guna menunjang pembangunan dirasa perlu menambah siaran
dengan saluran terbatas, perubahan sikap bahwa Direktur Televisi,
Departemen Penerangan RI disamping menyelenggarakan siaran
saluran umum (SSU), juga memberikan wewenang kepada Yayasan
TVRI untuk menyelenggarakan Siaran Saluran Terbatas (SST). TVRI
berhak kerjasama dengan pihak swasta maka lahirlah RCTI Rajawali
Citra Televisi Indonesia dan berakhirlah monopoli TVRI pada 28
Oktober 1987.
Era Pembaruan Tahap IV. (Lahirnya SCTV, TPI, Antv dan Indosiar).
Lahirnya SK Mentri Penerangan RI no III/KEP/MENPEN/1990 tentang
penyiaran televisi di Indonesia pada 24 Juli 1990 membuka kran lahirnya
SCTV,TPI,ANTV dan Indosiar. Terdapat 3 aturan pertimbangan yang
memberikan nilai positif dari SK mentri tersebut;
1. Kemampuan penyebaran yang lebih cepat dan lebih berdaya guna
dalam pembangunan bangsa.
2. Pembangunan bangsa mendorong tumbuh kembangnya televisi.
8
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
3. Perkermbangan dunia pertelevisian harus dimanfaatkan sebesar-
besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara.
INDUSTRI PERTELEVISIAN DI INDONESIA
Siaran perdana televisi di Indonesia memang sudah dimulai pada tahun
1962, tetapi kenyataannya Indonesia memasuki era industri pertelevisian dalam
dua dekade terakhir saja. Selama lebih dari 30 tahun, rakyat Indonesia hanya
disuguhi tontonan televisi yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia
(TVRI) sebagai televisi milik pemerintah, yang merupakan stasiun televisi
pertama dan satu-satunya yang boleh mengudara pada masa kekuasaan Orde
Baru. Industri pertelevisian di Indonesia baru menggeliat pada akhir kekuasaan
Soeharto, ketika pihak swasta diperbolehkan untuk melakukan siaran televisi.
Satu per satu, televisi mengudara, dimulai dengan Rajawali Citra Televisi
Indonesia (RCTI) yang melakukan siaran pertama pada tahun 1989. Lalu
berturut-turut diikuti oleh Surya Citra Televisi (SCTV), Televisi Pendidikan
Indonesia (TPI), Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) dan Indosiar Visual Mandiri
(Indosiar) yang memulai siaran sebelum pemerintahan Presiden Suharto
berakhir.
Memasuki era reformasi, kian banyak stasiun televisi swasta bermunculan.
Tercatat lima televisi swasta nasional memulai siaran, yaitu Metro TV, Global TV,
Trans TV, TV7 (sekarang Trans7) dan Lativi (sekarang TV One). Jumlah itu masih
ditambah dengan munculnya stasiun televisi swasta lokal yang juga ikut
meramaikan frekuensi siaran televisi di Indonesia. Maraknya pertumbuhan
televisi swasta tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari dari aspek ekonomis dan
politis yang menjadi magnet bagi industri pertelevisian. Aspek ekonomis
misalnya, dilihat dari belanja iklan yang dibelanjakan ke televisi selama tahun
2011 mencapai jumlah lebih dari 10 trliun rupiah. Jumlah tersebut meningkat
sebanyak 2 triliun rupiah atau sebesar 20 % dari jumlah tahun lalu. Jumlah
tersebut juga sama dengan 65. % dari total belanja iklan sepanjang tahun lalu.
Meski banyak disedot hanya beberapa stasiun televisi swasta nasional saja,
jumlah yang sedemikian besar tersebut tentu menjadi incaran mereka yang
punya uang banyak dan ingin berinvestasi dalam bisnis ini.
Namun, di luar pertimbangan ekonomis aspek politis memiliki stasiun
televisi juga menjadi pertimbangan banyaknya pemilik modal mau terjun di
industri pertelevisian. Fungsi media yang salah satunya sebagai sumber
9
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
informasi menjadi alasan kuat kenapa banyak pemilik modal atau penguasa
yang rela mengeluarkan uang banyak untuk memiliki stasiun televisi. Dengan
memiliki stasiun televisi dianggap sebagai media yang paling efektif untuk
memberikan informasi dan mempengaruhi penonton dengan berbagai ide atau
gagasan yang dimilikinya kepada masyarakat. Hal tersebut juga ditunjang
dengan kenyataan, saat ini sangat tidak terhitung pesawat televisi yang ada di
semua rumah tangga di Indonesia. Pastinya jumlah yang paling banyak sebagai
media yang dikonsumsi masyarakat tanah air. Belum lagi, saat ini setidaknya
setiap hari tercatat 10-12 jam orang Indonesia menonton televisi. Dengan
demikian, wajar jika televisi menjadi media yang paling efektif untuk
berkampanye, termasuk untuk kepentingan politis.
Dengan dua dasar pertimbangan di atas, rasanya industri pertelevisian di
Indonesia, masih akan menarik banyak pemain baru untuk terjun di bisnis ini.
Memang harus diakui, pada era sekarang ini, agak sulit untuk mendapatkan izin
siaran televisi teresterial baru di beberapa kota besar di Indonesia. Hal tersebut
terjadi karena keterbatasan frekuensi siaran yang ada menyebabkan tidak
mungkin lagi ada siaran televisi yang dipancarkan melalui gelombang elektro
magnetik tersebut. Namun hal tersebut nantinya diperkirakan sudah tidak
menjadi masalah lagi, dengan dimulainya era televisi digital di Indonesia.
Dengan teknologi digital, maka frekuensi siaran akan sanggup menampung
hampir 10 kali lipat jumlah stasiun televisi yang kini bersiaran di Indonesia.
Artinya, sejumlah investor yang selama ini kesulitan mendapatkan izin siaran
televisi untuk membuka stasiun televisi, nantinya akan memiliki izin siaran
televisi baru yang akan meramaikan bisnis pertelevisian di Indonesia. Dengan
demikian, pada masa yang akan datang, akan semakin banyak pula stasiun
televisi swasta yang akan tayang di Indonesia. (Mufid, 2007, hal; 55-57).
PERSAINGAN BISNIS PERTELEVISIAN DI
INDONESIA
Industri penyiaran di Indonesia berkembang pesat setelah Orde Baru
berakhir. Jika sebelum era kekuasaan Soeharto berakhir pada tahun 1998,
10
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
stasiun televisi baru berjumlah 5 buah untuk swasta nasional dan 1 televisi
publik saja, jumlah tersebut sekarang meningkat lebih dua kali lipat menjadi 12
buah untuk swasta nasional dan tetap 1 televisi publik, namun masih ditambah
dengan ratusan televisi lokal, komunitas dan khusus berlangganan. Kehadiran
banyaknya stasiun televisi swasta televisi tersebut tentu saja menyebabkan
persaingan antar stasiun televisi, bertambah ketat. Semua stasiun televisi
berusaha menyajikan program-program terbaiknya, dengan tujuan ditonton
orang sebanyak dan selama mungkin. Bagi stasiun televisi swasta, baik lokal
maupun nasional, kehadiran banyaknya penonton, akan memudahkan mereka
untuk mendapatkan iklan, yang berarti sumber pemasukan bagi perusahaan
tersebut.
Jika dilihat dari perkembangan awal kehadiran televisi memang telah
mengubah hidup banyak warga dunia. Televisi bukan lagi sebuah benda mati
yang hadir di banyak ruang keluarga, tetapi menjadi media penting dalam
proses perkembangan hidup manusia. Sebagai media penyampai pesan,
memang televisi menjadi sangat efektif dan efisien dibanding media lainnya. Hal
itu disebabkan penggunaan media tersebut menjangkau banyak kalangan di
seluruh pelosok dunia, termasuk di Indonesia. Hampir tidak ada wilayah di muka
bumi ini yang tidak bisa menangkap siaran televisi, sehingga tidak ada satu
daerahpun yang terbebas dari pengaruh televisi. Termasuk di Indonesia, nyaris
dari Sabang sampai Merauke terjangkau berbagai siaran televisi yang memenuhi
frekuensi udara di Indonesia.
Tidak hanya jangkauan yang luas, televisi juga menjadi media yang paling
banyak dikonsumsi penggunaannya dibanding media lainnya. Di Amerika Serikat
yang merupakan Negara maju, masyarakatnya menghabiskan waktu 8 jam
sehari untuk menonton televisi. Di Indonesia, diperkirakan jumlahnya bisa
mencapai lebih dari 10 jam. Waktu mengkonsumsi yang banyak tersebut, tentu
saja menyebabkan kehadiran televisi selalu menjadi kajian menarik dalam ilmu
komunikasi. Pakar komunikasi, Amerika Serikat, Shirley Biagi dalam bukunya
“Media/Impact” menyatakan televisi adalah media yang telah berhasil
mengubah kehidupan sehari-hari manusia atau masyarakat. (Biagi, 2010; 201).
Tentu saja, tingginya konsumsi penggunaan media televisi dalam
kehidupan masyaratkan, pada akhirnya menyebabkan banyak pihak ingin terjun
ke industri ini, termasuk di Indonesia. Seperti di awal latar belakang, saat ini
banyaknya stasiun televisi ini menyebabkan persaingan ketat juga mewarnai
bisnis ini. Semua stasiun televisi berusaha untuk menarik penonton sebanyak-
11
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
banyaknya untuk mau menonton program-program mereka. Fenomena ketatnya
persaingan antar stasiun televisi yang menyebabkan pemilik atau pengelola
stasiun televisi harus memutar otak untuk mendapatkan penonton sebanyak-
banyaknya seharusnya menjadi sebuah sisi yang positif, karena pada akhirnya
penontonlah yang akan memilih mana program yang baik dan yang ingin
mereka tonton.
Meski demikian, upaya untuk menjaring penonton atau audien yang
menjadi faktor terpenting atau segala-galanya bagi stasiun televisi tersebut tidak
membuat penonton mendapatkan sisi yang positif dari persaingan antarstasiun
televisi tersebut. Jumlah penonton yang banyak cuma dijadikan angka besaran
penonton untuk mendapatkan iklan saja. Beberapa program yang tayang di
stasiun televisi, banyak yang mengulang program sejenis yang tercatat pernah
sukses sebelumnya. Jika hal itu terus terjadi, sebenarnya penonton tidaklah
mendapatkan keuntungan dari ketatnya persaingan yang terjadi di industri
pertelevisian Indonesia dewasa ini.
KONGLOMERASI MEDIA TELEVISI DI INDONESIA
Produksi, distribusi dan keberadaan industri televisi, koran, majalah, buku,
dan film membutuhkan modal yang besar. Dari situ, hanya pemodal besar atau
pemerintah (untuk media publik) yang mampu mendirikan industri media. Pada
gilirannya, para pemodal ini berupaya memperoleh keuntungan dari investasi
yang mereka tanamkan dalam industri media. Ada tiga tipe kepemilikan media;
yaitu: Monopoli, Oligopoli, dan yang terakhir Kompetisi monopolistik. Dalam
monopoli, suatu industri media mendominasi pasar. Di Indonesia TVRI pernah
menjadi stasiun televisi yang merajai atau memonopoli “industri televisi”. Pilihan
bagi khalayak adalah take it or live it. Khalayak pemirsa tidak dihadapkan pada
pilihan lain selain yang ada di depan mata. Pada Oligopoli didefinisikan sebagai
adanya beberapa industri media yang dimiliki oleh pemilik berbeda yang
bermain di pasar. Mereka saling bersaing di dalam pasar. Namun, ada satu
produsen atau pemilik media yang relatif lebih dominan dibanding lainnya.
Sedangkan kompetisi monopolistik diartikan sebagai kepemilikan media yang
mana banyak industri media yang memproduksi jasa sejenis yang dimiliki oleh
pemilik yang berbeda-beda yang beroperasi di pasar. Kepemilikan televisi di
Indonesia cenderung bersifat kompetisi monopolistik dalam hal content yang
diproduksi.
12
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Di Industri Media pertelevisian Indonesia sendiri, diramaikan oleh jumlah
yang tidak sedikit. Tigabelas, itulah jumlah stasiun televisi nasional yang ada di
Indonesia saat ini. Cukup banyak, namun jumlah tersebut tidak memberikan
keragaman program, yang terjadi justru keseragaman. Masalah tersebut
memang sudah menjadi isu yang bisa dibilang klise untuk dunia pertelevisian
lokal. Yang menarik untuk dikaji lebih dalam justru adalah isu yang berkaitan
dengan kepemilikan media televisi, seperti merger, take over dan penyuntikan
modal telah dialami beberapa stasiun televisi di Indonesia.
Dalam ekonomi dikenal istilah akuisisi dan merger. Akuisisi adalah
penguasaan satu perusahaan yang relatif lemah oleh perusahaan yang relatif
lebih kuat. Merger adalah penggabungan dua perusahaan atau lebih yang
posisinya relatif seimbang. Alasan akuisisi dan merger salah satunya adalah
desakan memperluas dukungan keuangan. Seperti yang kita ketahui dalam
beberapa tahun terakhir ini, dunia media di Indonesia disemarakkan dengan
beberapa “konsolidasi” stasiun televisi. Fenomena ini diperkirakan akan terus
berlanjut hingga era digitalisasi akan dimulai. Diperkirakan, dari 12 stasiun
televisi swasta nasional yang ada sekarang akan mengerucut menjadi tiga atau
empat kelompok besar. Ditilik dari segi bisnis, konsolidasi media televisi memiliki
urgensi yang tinggi. Melalui konsolidasi, sebuah media televisi bisa memperkuat
posisinya sehingga lebih survive dalam menjalani persaingan. Kalau lebih kuat,
tentu tidak perlu lagi membagi energi untuk menghadapi saingan-saingan kecil.
Media itu pun bisa menata program yang jauh lebih baik. Dalam kondisi
persaingan yang sangat ketat saat ini, konsolidasi media televisi merupakan
sinyal positif. Terlebih, di saat ceruk iklan sangat terbatas. Patut diakui, dengan
kondisi ekonomi negara saat ini, dunia industri tidak memiliki kemampuan untuk
membiayai sepuluh stasiun televisi swasta sekaligus. Konsolidasi merupakan
langkah efisiensi cost produksi yang efektif, baik melalui optimalisasi sumber
daya maupun penghematan biaya modal dan operasional. Cara ini
memungkinkan media televisi menghemat biaya rekrutmen, penggunaan
kontributor dan koresponden di daerah, pemanfaatan program-program yang
sudah diakuisisi, dan optimalisasi penggunaan studio, fasilitas, serta alat-alat
siaran lainnya. Selain itu, langkah ini pun mendapat apresiasi positif dari
sejumlah biro iklan. Suatu konsolidasi yang menggabungkan beberapa stasiun
televisi dengan segmentasi dan jangkauan siaran yang berbeda-beda, bisa
merangkum segmen penonton yang sangat luas dan beragam. Dengan
13
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
demikian, kelompok tersebut bisa dengan mudah menawarkan paket
penayangan iklan yang menarik dan lengkap kepada para pemasang iklan.
Bahkan, stasiun televisi juga akan memiliki bargaining position yang lebih
baik terhadap rumah produksi dibandingkan stasiun TV yang berdiri sendiri.
Dengan konsolidasi, pengelola TV memiliki kekuatan untuk menekan rumah
produksi agar memberikan harga yang proporsional bagi produknya. Padahal
sebelumnya, stasiun televisi-lah yang ditekan pihak rumah produksi.
Apabila dilihat dari sejarah dan kedekatan unsur bisnisnya, maka
terbentuk pengelompokan bisnis atau konglomerasi pada beberapa stasiun
televisi yang sesuai pula dengan perkembangan teknologi digital yang menuntut
investasi bisnis menjadi berlipat ganda. Empat format Konglomerasi Media yang
saat ini ada di Indonesia adalah:
1. Pengusaha yang mengembangkan bisnis media sebagai lini utama
usahanya. Bila ada usaha dalam grup maka itu hanya sebagai portofolio.
Hary Tanoesudibjo, nomor 33 orang terkaya Indonesia Pengusaha pasar
modal di tahun 1997. Kemudian di tahun 2004 mengambil alih
perusahaan Bimantara dan menjadi pemegang saham mayoritas dan juga
mengambil alih Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan membangun
Global TV serta disatukan dibawah bendera Media Nusantara Citra (MNC).
2. Pengusaha yang menjadikan usaha di media elektronika sebagai bagian
dari berbagai usaha lain yang sudah dimilikinya. Chairul Tanjung orang
nomor 11 terkaya di Indonesia mendirikan Trans TV tanpa neniliki
pengetahuan mendasar tentang televisi. TV7 diambil alih dari kelompok
Kompas Gramedia, dan pihak Trans Corp mengubah nama TV7 menjadi
Trans 7.
3. Pengusaha politisi yang menempatkan modal di bisnis media elektronika
sebagai alat untuk interest dan visi politiknya. Orang Terkaya Indonesia
Nomor 10, Ir. Aburizal Bakrie adalah penerus kelompok dagang Bakrie &
Brothers. Pada tahun 1998 mendirikan Andalas Televisi Indonesia yang
berkedudukan di Lampung. Tahun 2008 bersama sejumlah kompanyon
membeli Lativi dari pengusaha Abdul Latief dan mengubahnya menjadi
TV-One. Kini dijalankan oleh anaknya Anindya Bakrie
4. Pengusaha layanan komputer pribadi dan pernah menjadi distributor
produk Compaq di Indonesia, Eddy Kusnadi Sariaatmadja pendiri Emtek
PT. Elang Mahkota Teknologi, Tbk. Emtek menguasai Surya Citra Media
(SCTV) melalui PT. Abhimata Mediatama sejak 2001 dan di tahun 2013,
14
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Emtek resmi bergabung dengan Indosiar Karya Media dengan
penggabungan inilah yang menyebabkan perusahaan ini menguasai SCTV
dan Indosiar yang diperusahakan oleh Surya Citra Media.
Bergabungnya sejumlah stasiun televisi bukannya tanpa dasar. Sebelum
diakuisisi, sejumlah stasiun televisi mengalami kerugian besar. Akuisisi menjadi
usaha menyematkan diri dari ancaman kebangkrutan. Hasilnya menunjukan,
setelah bergabung, selain terhindar dari kebangkrutan, juga bisa menggandakan
keuntungan.
Jadi jelas, tujuan akuisisi selain menyelamatkan diri, juga usaha
meningkatkan keuntungan. Namun demikian kiranya kelompok bisnis siaran
televisi Indonesia bersikap bijaksana, dengan menayangkan hiburan yang
mendidik, dan bukan semata-mata mengejar rating tinggi dan pemasukan iklan.
Konsumsi publik hendaknya mempertimbangkan unsur hiburan dan pendidikan
secara seimbang. Perimbangan pemberitaan juga harus dijaga supaya tak ada
pembodohan publik. Kemungkinan masuknya kepentingan asing melalui
penyiaran seperti yang saat ini telah ada di bisnis Bakrie seyogyanya juga harus
dicermati. Akuisisi sejumlah stasiun televisi juga berisiko memunculkan monopoli
bisnis informasi. Masuknya investasi asing seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya juga membuka peluang masuknya kepentingan asing dalam dunia
pertelevisan Indonesia. Peluang bisnis informasi audio visual Indonesia memang
sungguh menjanjikan keuntungan besar bagi para pemilik modal besar dalam
bisnis kepemilikan media. Harapannya para pemilik modal tersebut juga memiliki
idealisme untuk memberikan kontribusi dengan memproduksi tayangan-
tayangan berkualitas sejalan dengan teori komunikasi massa bahwa media
massa berperan sebagan agent of change bagi khalayaknya.
MONOPOLI KEPEMILIKAN MEDIA PENYIARAN
SWASTA
Monopoli dunia bisnis yang berkembang di Indonesia sejak zaman
pemerintahan Soekarno hingga sampai saat ini di pemerintahan Susilo Bambang
15
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Yudhoyono masih di kuasai banyak pengusaha bermodal kuat, termasuk
pengusaha yang juga terlibat di dalam struktur pemerintahan yang berkuasa.
Dari bisnis yang bergerak di bidang usaha apapun, termasuk bisnis di bidang
industri penyiaran televisi saat ini. Hal ini sudah menjadi tradisi bisnis di
Indonesia sejak dahulu kala.
Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran dipermasalahkan menurut
berbagai kalangan dalam pelaksanaan UU tersebut. Para pemimpin media
penyiaran kerap memperjualbelikan frekuensi penyiaran dan menciptakan
pemusatan kepemilikan media penyiaran. Kondisi seperti itu akan mematikan
keanekaan informasi.
(Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sendiri kesulitan untuk
mengimplementasikan UU Penyiaran karena KPI tidak mempunyai kewenangan
yang jelas. Hanya sebatas memberikan teguran, tapi siaran terus berjalan.
Sehingga, sebagai lembaga yang dibentuk, tidak memiliki kekuatan apapun
dalam memberikan sanksi pada lembaga penyiaran yang bermasalah.
Dari sumber yang terpercaya bahwa, pemusatan kepemilikan media
penyiaran karena pengawasan yang begitu longgar dan tidak adanya peraturan
lanjutan tentang UU Penyiaran. Hal ini dikarenakan semakin semaraknya
berakarnya praktik monopoli kepemilikan media penyiaran swasta, karena
tiadanya peraturan pemerintah yang lebih spesifik untuk mengatur pelaksanaan
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Peraturan ini diperlukan untuk
membatasi secara tegas kepemilikan media penyiaran agar tercipta iklim
kompetisi yang sehat di sektor media massa. Selain itu tidak adanya peraturan
pemerintah yang mengatur lebih jauh tentang kepemilikan media televisi.
Seperti, berapa jumlah maksimal yang boleh dimiliki yang harus dimiliki para
pengusaha media massa.
Inilah yang akhirnya pelaku bisnis di bidang media massa, yaitu
khususnya di bidang industri penyiaran televisi dengan lebih leluasa melakukan
gerakan proaktif pada permonopolian bisnis penyiaran televisi. Karena memang
jelas belum terlihatnya adanya ketegasan tentang UU Penyiaran tahun 2002.
Masalah utama yang menghambat tegaknya regulasi ini adalah, berlarut-
larutnya perizinan pendirian televisi. Perizinan pendirian media harus tegas.
Masalah perizinan yang tak kunjung selesai ini harus diselesaikan segera.
Bereskan juga masalah jaringan dan kewenangan pemerintah. Masalah-masalah
inilah yang harus dapat diatasi tanpa harus merevisi UU Penyiaran tahun 2002
oleh pemerintah.
16
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Selama ini aturan dalam UU Penyiaran tidak ditindaklanjuti ke dalam
peraturan pelaksana, sehingga regulasi tersebut seperti tak berkaji dan akhirnya
yang dianggap “sakit” adalah undang-undangnya. Jadi orang-orang
menganggapnya ini salah undang-undangnya. Selain itu kendornya pengawasan
terhadap penerapan amanat UU Penyiaran yang menghasilkan pemusatan
kepemilikan media yang kian berakar menjadi sebuah penguasaan area bisnis
penyiaran yang monopoli.
Sebenarnya UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 itu sudah kuat untuk
diterapkan dengan benar dan tegas oleh peraturan pemerintah tentang
pergerakan bisnis industri penyiaran televisi di Indonesia, namun sayang hingga
sampai saat ini prakteknya masih balelo, alias masih banyak di bolak-balikan
oleh para pelaku bisnis industri penyiaran dan juga oleh pemerintah itu sendiri.
Maka tidaklah salah yang pada akhirnya muncul berbagai lembaga-lembaga
independen yang ikut berperan aktif untuk mengawasi dan memonitor pelaksaan
UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 tersebut. Hal ini agar benar-benar terbukti
keseriusan pemerintah untuk bisa melaksanakan amanat UU penyiaran tersebut.
Selama UU penyiaran hanyalah bahan bacaan, bukan jadi rujukan dalam
penyiaran, banyak di antara pelaku bisnis yang melangggar peraturan sesuai
dengan UU No. 30/2002 namun pemerintah kurang tegas dalam pemberian
sanksi, akhirnya mereka tetap berani melanggar UU tersebut. Dalam hal ini
pemerintah harus lebih serius sehingga tidak terjadi monopoli media, terutama
dalam penyiaran.
PROGRAM MAPPING
PROGRAM TELEVISI
Tidak ada yang lebih penting dari acara atau program sebagai faktor yang
paling penting dan menentukan dalam mendukung keberhasilan financial suatu
stasiun televisi. Adalah program yang membawa audien mengenal suatu stasiun
17
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
penyiaran. Jika suatu stasiun memperoleh jumlah audien yang besar dan jika
audien itu memiliki karakteristik yang dicari oleh pemasang iklan, maka stasiun
bersangkutan akan sangat menarik bagi pemasang iklan. Dengan demikian,
pendapatan dan keuntungan stasiun penyiaran sangat dipengaruhi oleh
programnya. Tanggung jawab program dipercayakan kepada departemen
program.
Kata “program” berasal dari bahasa Inggris “programme” yang berarti
acara atau rencana. Undang-Undang Penyiaran Indonesia tidak menggunakan
kata program untuk acara tetapi menggunakan istilah “siaran” yang
didefinisikan sebagai pesan atau rangkaian pesan yang disajikan dalam berbagai
bentuk. Namun kata “program” lebih sering digunakan dalam dunia penyiaran di
Indonesia daripada kata “siaran” untuk mengacu pada pengertian acara.
Program adalah segala hal yang ditampilkan stasiun penyiaran untuk memenuhi
kebutuhan audiennya. Dengan demikian, program memiliki pengertian yang
sangat luas.
Adapun maksud dan tujuan dibuatnya program televisi adalah sebagai
berikut:
1. Mendapatkan pemirsa/penonton/audien sebanyak mungkin.
2. Mendapatkan audien yang lebih spesifik sesuai dengan program televisi
yang ditayangkan.
3. Menengahkan program-program yang dapat meningkatkan
gengsi/prestige stasiun televisi itu sendiri.
4. Mendapatkan apresiasi berupa penghargaan dari berbagai pihak demi
meningkatkan status.
5. Menayangkan program demi kepentingan publik.
Program televisi setiap harinya menyajikan berbagai jenis program yang
jumlahnya sangat banyak dan jenisnya sangat beragam. Pada dasarnya apapun
bisa dijadikan program untuk ditayangkan di televisi selama program itu menarik
dan disukai audien dan selama tidak bertentangan dengan kesusilaan, hukum
dan peraturan yang berlaku. Pengelola stasiun penyiaran dituntut untuk memiliki
kreativitas seluas mungkin untuk menghasilkan berbagai program yang menarik.
Berbagai jenis program itu dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian
besar berdasarkan jenisnya, yaitu:
1. Program Informasi (news)
Hard news
18
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Soft news
Investigasi report
2. Program Hiburan (entertainment)
Musik
Permainan
Pertunjukan (show)
3. Program Pendidikan (education)
Pembelajaran akademik (kurikulum)
Penelitian (research)
Penemuan ilmu pengetahuan (science)
Kuis pendidikan (science quiz)
Sedangkan perkembangannya saat ini dengan munculnya kreativitas yang
beragam dari pekerja televisi, maka berdasarkan format acara televisi dapat
berkolaborasi satu dengan lainnya, yaitu sebagai berikut;
1. Berita/sport (Aktual & Faktual)
Berita
Sport
Feature
Infotainment (news & show)
2. Non Fiksi (Imajinatif & Faktual)
Musik
Kuis
Game show
Variety show
Talkshow
Dokumenter
Reality show (show & drama)
Operet (musik & drama)
3. Fiksi (Imajinatif & Khayalan)
Drama
Film
Sinetron (horor, komedi, action, romantisme)
SEGMENTATION PEMIRSA TELEVISI
19
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Pada awal perkembangn televisi swasta di Indonesia pada tahun 1980-an,
semua stasiun televisi melakukan segmentasi audien secara luas atau lebih
tepat lagi tidak memiliki segmentasi audien. Harus diakui bahwa stasiun televisi
ketika itu belum menerapkan betul-betul strategi segmentasi dan target audien.
Salah satu sebabnya adalah industri pertelevisian Indonesia masih sangat muda.
Tenaga-tenaga ahli pembuat film masih sangat langka, demikian pula para
programer. Semua stasiun televisi nasional masih mengandalkan pada paket-
paket film yang berasal dari Amerika, India, Hong Kong dan Jepang. Sehingga tak
heran kalau semuanya memiliki nafas siaran dan program yang sama. Akibatnya
stasiun-stasiun televisi mengalami kesulitan dalam melakukan segmentasi
audien yang jelas dan tajam.
Menjelang tahun 2000-an sejumlah stasiun televisi baru muncul. Dan
walaupun pada awalnya beberapa stasiun televisi baru itu mencoba untuk
menjadi televisi dengan target kelompok pemirsa tertentu namun hingga tahun
2004 belum ada televisi yang betul-betul menjadi televisi yang memiliki segmen
khusus. Stasiun televisi umumnya menyajikan program acara yang bersifat
beragam seperti supermarket yang menyediakan segala barang. Segmentasi
audien televisi biasanya hanya terjadi pada waktu siaran tertentu, misalnya,
pada sore hari lebih banyak menayangkan program acara untuk anak-anak
seperti film kartun karena kebanyakan anak-anak menonton televisi pada sore
hari, sementara pagi hari waktu siaran lebih banyak diisi dengan program drama
yang disukai ibu-ibu dan pembantu rumah tangga yang tinggal di rumah.
Pada tahun 2005 beberapa stasiun televisi di Indonesia mulai terarah
(fokus) dalam menentukan segmen audiennya. Stasiun televisi mulai melakukan
segmentasi dan berupaya mengarahkan programnya pada target audien
tertentu. Pengelola televisi lebih serius memikirkan segmentasi audien yang
ingin ditujunya. Kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa hanya stasiun
televisi yang memiliki segmentasi yang jelas dan mampu melayani segmen itu
dengan baik yang akan berhasil.
Segmentasi pasar audien adalah suatu konsep yang sangat penting dalam
memahami media penyiaran untuk audien penyiaran dan pemasaran program.
Dengan demikian, jika ditinjau dari perspektif audien penyiaran maka
segmentasi pasar adalah suatu kegiatan untuk membagi-bagi atau
mengelompokkan audien ke dalam kotak-kotak yang lebih homogen.
Khalayak audien umum memiliki sifat yang sangat heterogen, maka akan
sulit bagi melayani semuanya. Oleh karenanya harus dipilih segmen-segmen
20
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
audien tertentu saja dan meninggalkan segmen lainnya. Bagian atau segmen
yang dipilih itu adalah bagian yang homogen yang memiliki ciri-ciri yang sama
dan cocok dengan kemampuan stasiun penyiaran untuk memenuhi kebutuhan
mereka.
Pengelola program penyiaran harus memilih satu atau beberapa segmen
audien saja yang memiliki karakter atau respon yang sama dari seluruh
penduduk Indonesia. Dengan memahami siapa audiennya, maka praktisi
penyiaran dapat menentukan bagaimana cara menjangkaunya, program apa
yang dibutuhkan dan bagaimana mempertahankan audien dari program pesaing.
Segmentasi diperlukan agar stasiun penyiaran dapat melayani audiennya
secara lebih baik, melakukan komunikasi yang lebih persuasif dan yang
terpenting adalah memuaskan kebutuhan dan keinginan audien yang dituju.
Untuk mempromosikan suatu program misalnya, praktisi penyiaran harus tahu
siapa yang akan menjadi audiennya.
Memang ada kalanya, segmentasi tidak diperlukan yaitu bila struktur
audien bersifat monopolistik. Misalnya stasiun penyiaran anda merupakan satu-
satunya stasiun yang ada di suatu daerah. Namun ketika stasiun lain muncul dan
jumlahnya semakin banyak maka perlahan-lahan audien mulai memiliki
preferensi. Suatu program praktis tidak bisa menguasai seluruh lapisan
masyarakat. Perusahaan harus memilih segmen mana yang ingin dikuasai dan
untuk itu harus diketahui secara jelas siapa audiennya. Misalnya bagaimana
kelas sosial ekonomi audien dan program seperti apa yang mereka inginkan.
Konsep segmentasi memberi pegangan yang sangat penting dalam
memahami audien penyiaran. Konsep ini juga memberikan anjuran agar memilih
bagian tertentu saja dari khalayak audien yang sangat luas agar dapat
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Dewasa ini hampir tidak ada satu
program pun yang dapat melayani kebutuhan seluruh segmen audien. Dengan
adanya segmentasi audien maka perusahaan dapat mendesain program yang
lebih responsif terhadap kebutuhan audien.
Bagaimana menyeleksi audien sangat ditentukan oleh bagaimana
pengelola program melihat audien itu sendiri. Dengan demikian, audien yang
dilihat oleh dua orang yang berbeda, yang didekati oleh metode segmentasi
yang berbeda akan menghasilkan peta audien yang berbeda pula. Oleh karena
itulah penting dipahami struktur-struktur atau kelompok-kelompok audien yang
ada di tengah masyarakat. Berikut ini merupakan dasar-dasar dalam
melakukan segmentasi audien yang terdiri atas:
21
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
1. Segmentasi Demografis
Segmentasi audien berdasarkan demografi pada dasarnya adalah
segmentasi yang didasarkan pada peta kependudukan misalnya: usia,
jenis kelamin, besarnya anggota keluarga, pendidikan tertinggi yang
dicapai, jenis pekerjaan konsumen, tingkat penghasilan, agama, suku dan
sebagainya. Semua ini disebut dengan variabel-variabel demografi. Data
demografi dibutuhkan antara lain untuk mengantisipasi perubahan-
perubahan audien menyangkut bagaimana media penyiaran menilai
potensi audien yang tersedia dalam setiap area geografi yang dapat
dijangkau.
2. Segmentasi Geografis
Segmentasi ini membagi-bagi khalayak audien berdasarkan
jangkauan geografis. Pasar audien dibagi-bagi kedalam beberapa unit
geografis yang berbeda yang mencakup suatu wilayah negara, provinsi,
kabupaten, kota hingga ke lingkungan perumahan. Pemasang iklan media
penyiaran menggunakan segmentasi geografis ini karena konsumen
terkadang memiliki kebiasaan berbelanja yang berbeda-beda yang
dipengaruhi lokasi dimana mereka tinggal. Para penganut segmentasi ini
percaya setiap wilayah memiliki karakter yang berbeda dengan wilayah
lainnya. Oleh karenanya setiap wilayah di suatu negara perlu
dikelompokkan berdasarkan kesamaan karakternya.
3. Segmentasi Geodemografis
Ini merupakan gabungan dari segmentasi geografis dengan
segmentasi demografis. Para penganut konsep ini percaya bahwa mereka
yang menempati geografis yang sama cenderung memiliki karakter-
karakter demografis yang sama pula, namun wilayah tempat tinggal
mereka harus sesempit mungkin.
4. Segmentasi Psikografis
Segmentasi ini berdasarkan gaya hidup dan kepribadian manusia. Gaya
hidup mempengaruhi perilaku seseorang, dan akhirnya menentukan
pilihan-pilihan konsumsi seseorang. Gaya hidup mencerminkan bagaimana
seseorang menghabiskan waktu dan uangnya yang dinyatakan dalam
aktivitas-aktivitas, minat dan opini-opininya. Dengan demikian, psikografis
adalah segmentasi yang mengelompokkan audien secara lebih tajam
daripada sekedar variabel-variabel demografi.
22
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
TARGETING PEMIRSA TELEVISI
Setelah melakukan evaluasi terhadap berbagai peluang yang ditawarkan
berbagai segmen audien penyiaran, media penyiaran selanjutnya harus memilih
segmen audien yang ingin dimasuki yang disebut dengan target audien
(targeting) yang akan menjadi fokus perhatian media penyiaran bersangkutan.
Segmen yang dipilih dapat hanya terdiri atas satu segmen atau lebih dari satu
dimana media penyiaran harus menentukan tujuan dan sasaran berdasarkan
target audien yang sudah dipilih serta apa yang diharapkan untuk dicapai pada
audien tersebut.
Target audien adalah memilih satu atau beberapa segmen audien yang
akan menjadi fokus kegiatan-kegiatan pemasaran program dan promosi.
Kadang-kadang targeting disebut juga dengan selecting karena audien harus
diseleksi. Perusahaan harus memiliki keberanian untuk memfokuskan
kegiatannya pada beberapa bagian saja (segmen) audien dan meninggalkan
bagian lainnya.
Target audien berhubungan erat dengan adanya media yang dapat
digunakan untuk menjangkau kelompok-kelompok atau segmen-segmen
tertentu dalam masyarakat. Targeting mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu
menyeleksi audien sasaran sesuai dengan kriteria- kriteria tertentu dan
menjangkau audien sasaran tersebut. Sedangkan yang menjadi target audien
atau audien sasaran itu adalah orang-orang yang menginginkan diri mereka
terekspos oleh informasi atau hiburan yang ditawarkan media penyiaran kepada
mereka. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa audien melakukan suatu proses
yang disebut dengan selective exposure artinya audien secara aktif memilih mau
atau tidak mengekspos dirinya terhadap informasi. Jadi sekalipun media
penyiaran membidik dengan jor-joran kepada audien (dalam ukuran luas) namun
audien akan menyeleksinya benar-benar apakah memilih atau tidak program
yang disiarkan tersebut.
Ada empat kriteria yang harus dipenuhi pengelola media penyiaran untuk
mendapatkan audien sasaran menurut Clancy dan Shulman (1991). Ke-empat
kriteria itu adalah:
1. Responsif
Audien sasaran harus responsif terhadap program yang ditayangkan.
Kalau audien tidak merespon maka pengelola media penyiaran harus
mencari tahu mengapa hal itu terjadi. Tentu saja langkah ini harus dimulai
23
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
dengan studi segmentasi audien yang jelas. Tanpa audien sasaran yang
jelas maka media penyiaran menanggung resiko yang terlalu besar.
2. Potensi Penjualan
Setiap program yang akan disiarkan harus memiliki potensi penjualan
yang cukup luas. Semakin besar kemungkinan program untuk
mendapatkan audien sasaran maka semakin besar nilainya. Besarnya
bukan hanya ditentukan oleh jumlah populasi, tetapi juga daya beli. Dalam
hal ini daya beli audien terhadap produk iklan yang ditayangkan pada
program itu.
3. Pertumbuhan Memadai
Audien tidak dapat dengan segera bereaksi. Audien bertambah secara
perlahan-lahan sampai akhirnya meningkat dengan pesat. Kalau
pertambahan audien lambat, tentu dipikirkan langkah-langkah agar
program bisa lebih diterima audien. Mungkin program yang dibuat tidak
sesuai dengan audien sasaran. Mungkin ceritanya terlalu rumit atau
seleranya terlalu tinggi. Mungkin audien sudah dikuasai pihak pesaing dan
audien loyal kepada pesaing itu. Atau mungkin karena program itu belum
banyak diketahui oleh masyarakat karena kurang promosi.
4. Jangkauan iklan
Pemasang iklan biasanya sangat memikirkan media penyiaran yang paling
tepat untuk memasarkan produknya. Audien sasaran dapat dicapai
dengan optimal kalau pemasang iklan dapat dengan tepat memilih media
untuk mempromosikan dan memperkenalkan produknya. Ada kalanya
suatu produk gagal menjangkau pasar karena staf pemasaran perusahaan
pemasang iklan tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang media
planning dan karakter-karakter media yang ada. Biasanya pemilihan
media diserahkan sepenuhnya kepada biro iklan. Tetapi tidak semua biro
iklan memiliki pengetahuan tentang media planning dengan baik.
Adakalanya biro iklan mengambil langkah yang bisa karena kedekatan
hubungannya dengan media-media tertentu. Ada kalanya tidak ada media
yang benar-benar pas untuk menjangkau pasar sasaran. Adakalanya
media yang ada menjangkau pasar yang terlalu luas sehingga terlalu
mahal untuk menjangkau pasar yang spesifik.
24
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
POSITIONING PEMIRSA TELEVISI
Positioning adalah strategi komunikasi yang berhubungan dengan
bagaimana khalayak menempatkan suatu produk, merek atau perusahaan di
dalam otaknya, di dalam alam khayalnya, sehingga khalayak memiliki penilaian
tertentu. Dengan demikian positioning harus dilakukan dengan perencanaan
yang matang dan langkah yang tepat. Pengelola media penyiaran harus
mengetahui bagaimana audien memproses informasi, menciptakan persepsi dan
bagaimana persepsi mempengaruhi pengambilan keputusannya. Sebab, sekali
informasi ditempatkan pada posisi yang salah, ia akan sulit diubah.
Positioning menjadi penting bagi media penyiaran karena tingkat
kompetisi yang cukup tinggi saat ini. Persepsi terhadap perusahaan media
penyiaran dan program yang disiarkannya memegang peranan penting dalam
konsep positioning karena khalayak menafsirkan media bersangkutan melalui
persepsi yaitu hubungan-hubungan asosiatif yang disimpan melalui proses
sensasi. Persepsi membantu manusia memahami dunia di sekelilingnya untuk
disimpan dalam memorinya. Hiebing & Cooper (1997) mendefinisikan positioning
sebagai “membangun persepsi produk di dalam pasar sasaran relatif terhadap
persaingan.”
Dalam menyusun suatu pernyataan positioning, pengelola pemasaran
harus mengetahui bagaimana audien membedakan produk bersangkutan
terhadap produk saingan lainnya. Myers (1996) membedakan struktur
persaingan ke dalam tiga tingkat yaitu:
1. Superioritas
Suatu struktur persaingan yang dialami perusahaan atau produk yang
unggul di berbagai bidang terhadap para pesaingnya. Superioritas adalah
keadaan yang sangat ideal, namun biasanya sangat sulit dicapai. Misalnya
produk yang kuat, hebat dan lebih segala-galanya membutuhkan biaya
yang sangat besar untuk memproduksinya.
2. Diferensiasi
Keadaan yang sedikit berbeda dengan superioritas. Di sini perusahaan
bertindak lebih rasional yaitu tidak ingin unggul dalam segala hal, tetapi
membatasinya pada satu atau beberapa segi saja yang superior terhadap
pesaing-pesaingnya.
3. Program Paritas
25
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Di sini perusahaan dan produknya sama sekali tidak dapat dibedakan satu
dengan yang lainnya. Audien tidak dapat membedakan mana yang lebih
baik antara produk yang dihasilkan perusahaan A dengan perusahaan
lainnya. Positioning menjadi lebih sulit dalam kasus ketiga ini. Oleh karena
itu biasanya diciptakan pembeda khayalan dengan menanamkan citra
merek, mengasosiakan dengan tokoh-tokoh, humor, kartun dan
sebagainya. Suatu perusahaan atau suatu produk menjadi kelihatan
berbeda karena konsumen menganggapnya berbeda, bukan karena
barang itu sendiri berbeda.
PENGUKURAN KEPEMIRSAAN TELEVISI
Mekanisme pemilihan tayangan oleh pengelola stasiun televisi nyaris
semuanya didasarkan pada rating televisi. Padahal tingginya rating program
televisi tidak menjamin diikuti dengan kualitas program bagi masyarakat. Malah
stasiun televisi kebanyakan tidak peduli dengan kualitas program yang
ditayangkan, yang terpenting bagi mereka adalah program-program televisi
yang ditayangkan ditonton oleh mayoritas masyarakat serta menempati
peringkat teratas.
Dengan sistem rating, program-program unggulan (ini juga terkait dengan
kualitas, melainkan kuantitas nilai jumlah pemirsa) akan menjadi rebutan para
pemasang iklan. Kesalahannya lebih karena angka rating dipakai sebagai
pedoman dan rujukan, bukan konteks program itu sendiri. Kesalahan fatal ini
mengingkari prosedur rating karena angkanya diperoleh setelah sebuah program
ditayangkan, dan bukan sebaliknya. Sementara, tidak selalu formulasi dan
komposisi sebuah acara yang sama persis bisa mendapatkan angka rating yang
sama persis pula. Baru setelah semuanya pasti, yakni setelah angka capaian
rating didapatkan, pemasang iklan baru akan datang. (Sunardian Wirodono,
2006: 94).
Rating didapat melalui riset terhadap penonton televisi, yang sifatnya cair.
Kalau jumlah pembaca surat kabar dapat diketahui dari berapa eksemplar koran
yang terjual, sedangkan untuk mengetahui berapa penonton setiap program
televisi jauh lebih rumit. Maksud dari sifat yang cair, penonton televisi dapat
berpindah-pindah dengan mengunakan remote control. Karena sifatnya yang
dinamis dibutuhkan penelitian terhadap karakteristik penonton televisi dengan
26
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
berbagai macam metode agar mendekati akurat. Riset rating meneliti tindakan
penonton televisi yang meliputi;
Menonton program televisi seberapa lama
Menganti channel ke program saluran televisi apa
Berapa banyak penonton televisi menyaksikan suatu program
Klasifikasi apakah penonton televisi dominan yang menyaksikan suatu
program
Berapa nilai iklan per audien dapat diukur
Televisi mendominasi di semua negara diseluruh dunia, telah menjadi
media penyiaran yang sangat dominan atas informasi, komunikasi komersial dan
hiburan. Hal ini mendorong pada pelaku penyiaran, pengiklan dan agensi
periklanan untuk memperoleh informasi yang akurat, konsisten dan terperinci
mengenai kepemirsaan televisi. Pengukuran kepemirsaan televisi yang
dijalankan oleh AGB Nielsen Media Research Indonesia adalah bagian dari survey
global AGB Nielsen di lebih dari 30 negara diseluruh dunia. Survei ini dirancang
untuk pengiklan, agensi periklanan dan pelaku industri pertelevisian untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai karakteristik dan pilihan
menonton dari pemirsa televisi di 10 kota besar di Indonesia, yaitu: Jakarta,
Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang,
Denpasar, dan Banjarmasin.
Tingkat penyebaran panel (satu set perangkat pencatatan rating pada
televisi responden) didasarkan pada survei awal atau Establishment Survey (ES)
di 10 kota tersebut untuk menetapkan dan mengidentifikasi profil demografi
penonton TV. Dari ES, akan didapatkan jumlah rumah tangga (berusia 5 tahun ke
atas) yang memiliki TV yang berfungsi dengan baik atau disebut populasi TV.
Penyebaran sampel tidak sama di setiap kota, yaitu Jakarta 55 %, Surabaya 20
%, Bandung 5 %, Yogyakarta 5 %, Medan 4 %, Semarang 3 %, Palembang 3 %,
Makassar 2 %, Denpasar 2 %, dan Banjarmasin 1 %. Angka ini proporsional
berdasarkan populasi kepemilikan televsisi di tiap-tiap kota itu. Kepemilikan
televisi di Jakarta, misalnya, 55 % terhadap total 10 kota, maka jumlah
sampelnya 55 %. Dari data tersebut kemudian dilakukan pembagian SES (Social
Economic Status) berdasarkan populasi yang persentasenya tidak sama antara
kelas A, B, C, D dan E. Data yang diambil adalah pola kebiasaan penonton.
27
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Status Sosial Ekonomi
NO KELAS RANGE PENDAPATAN
1 A1 Rp 3.000.001 keatas
2 A2 Rp 2.000.001 – Rp 3.000.000
3 B Rp 1.500.001 – Rp 2.000.000
4 C1 Rp 1.000.001 – Rp 1.500.000
Istilah yang biasa digunakan dalam menghitung rating dan share pemirsa
adalah universe dalam pengertian AGB Nielsen merupakan total individu/rumah
pada populasi, yaitu rumah tangga televisi. Sedangkan target penonton
merupakan kelompok individu didalam komunitas yang terpilih sebagai target
atau kelompok individu yang paling cocok untuk jadwal atau kampanye iklan
tertentu. Adapun bagaimana cara menghitung rating program adalah rata-rata
jumlah penonton selama berlangsungnya program televisi yang dinyatakan
dalam persentase dari total potensi atau kelompok sampel. Point rating program
didasarkan atas unit waktu terkecil, yaitu 1 menit.
Sedangkan menghitung rating iklan adalah rata-rata jumlah penonton
selama jeda iklan yang dinyatakan dalam persentase dari total potensi atau
kelompok sampel. Rating iklan juga didasarkan atas unit waktu terkecil, 1 menit.
Share adalah persentase yang menonton program tertentu dari penonton
potensial pada periode waktu tertentu. Agar lebih lengkapnya mencari share,
pembilang merupakan jumlah penonton suatu program televisi A pada waktu
tertentu dibagi jumlah penonton program televisi lainnya selain televisi A pada
waktu yang sama..
28
Rating program =Rating program = Jumlah pemirsa program televisi x 100%
Total populasi (universe)
Rating iklan =Rating iklan = Jumlah pemirsa program televisi x 100%
Total populasi (universe)
Share =Share = Rating program x 100%
--------------Rating total
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Maka rating TV A = 20%, rating TV B = 10%, rating TV C = 10%, sedangkan
channel sharenya TV A = 50% , share TV B = 25% dan share TV C = 25%.
Cara mencari biaya yang diperlukan untuk menjangkau 1000 individu pada
target penonton tertentu disebut cost per thousand (CPM).
Cost per rating point (CPRP) merupakan biaya yang diperlukan untuk
menjangkau 1 persen individu pada target penonton tertentu. Oleh sebab itu
setiap pengiklan dan agen periklanan dapat mengetahui berapa nilai rupiah
yang dikeluarkan untuk membeli setiap spot iklan distasiun televisi per 1
penonton. Semakin kecil nilai CPRP-nya akan semakin efisien pengeluaran iklan
yang dibelanjakan.
KEPEMIRSAAN TELEVISI MELALUI RATING &
SHARE
Dalam industri televisi, program yang dibuat hanya untuk mengejar
rating. Rating menjadi tujuan utama sebuah program. Ketika rating menjadi
tujuan utama suatu program televisi maka pada gilirannya akan melahirkan
budaya industri televisi yang tidak sehat juga, yang mengesahkan berbagai
aspek kekerasan, baik kekerasan modal, perilaku, simbol, bahasa, hingga
konsumerisme sebagai tontonan. Salah satu penyebabnya adalah karena
rapuhnya kebijakan industri televisi sejak awalnya, yang menjadikan jumlah
stasiun televisi berskala nasional tidak sebanding dengan kue iklannya
dan geopolitik serta demografi masyarakatnya. (Nugroho, 2005:163).
Ketika suatu program sukses meraih rating yang tinggi maka bisa
dipastikan akan muncul program-program sejenis dalam televisi Indonesia.
Padahal rating tidak bisa dijadikan acuan kepantasan sebuah program televisi.
Menurut Sudibyo (2009: 178-179) ada beberapa alasan kenapa rating tidak
memadai untuk menjadi acuan utama dalam menentukan standar kepantasan
program-program televisi.
29
CPRP =
CPM =CPM = Harga iklan (rate card) x 100
------ ----Jumlah Penonton
CPRP = Harga iklan (rate card) x 100
------ ----Rating
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
Pertama, media rating sesungguhnya sama sekali tidak berurusan dengan
masalah kepantasan, kelayakan, dan kualitas program siaran. Rating
adalah metode pengukuran tindakan pemirsa televisi (tindakan menonton
program televisi) bukan metode untuk mengetahui persepsi dan perasaan
pemirsa terhadap program yang mereka tonton.
Kedua, media-rating tidak didesain untuk membedakan antara “apa
yang dibutuhkan publik” dan “apa yang ditonton publik”. Media rating
murni penghitungan program apa yang paling banyak ditonton oleh publik
segmented di 10 kota besar, yang diasumsikan dapat menggambarkan
program yang paling banyak ditonton pemirsa televisi. Benarkah apa
yang paling banyak ditonton itu bermanfaat bagi pemirsa? Benarkah apa
yang diminati pemirsa televisi itu benar-benar substansial bagi publik? Hal
tersebut tidak menjadi perhatian riset media rating.
Ketiga, tidak memadainya opini publik tentang tayangan televisi direduksi
ke dalam hasil rating juga dapat ditinjau dari identifikasi publik atau
pemirsa yang dimaksud dalam penyelenggaraan rating.
Sejauh ini pertelevisian Indonesia menggunakan data rating sebagai
“kebijakan” para programmer televisi. Data rating yang dibeli dari AGB Nielsen
bisa ditelaah dengan mudah oleh bagian departemen programming televisi
maupun oleh production house atau agency. Data berupa grafik dan angka suatu
acara di televisi A bisa dikomparasi dengan acara di televisi B di waktu yang
sama. Program acara juga bisa dilihat minutes by minute, sehingga bisa terbaca
pada menit ke berapa acara ditonton banyak orang dan kapan mulai ada
penurunan. Jadi selain head to head dengan program lain, data rating acara
televisi juga bisa dilihat secara detail bagaimana trend pemirsa menonton acara
tersebut.
Kebijakan tersebut memberikan beberapa dampak negatif dari
diberlakukannya rating sebagai “berhala” oleh insan dalam industri televisi.
Dampak pertama adalah seragamnya jenis tayangan dan pola siaran. Jadi, bila
reality show sedang naik daun, semua stasiun televisi akan berlomba program
sejenis, dan bila perlu jam tayangnya sama persis; sehingga menghasilkan pola
acara yang mirip. Pola seragam acara itu membuat masyarakat yang tidak
punya para bola atau TV kabel tidak punya pilihan lain. Dampak kedua adalah isi
siaran yang bersifat “Jakartacentris” yaitu situasi yang membuat Indonesia
seakan hendak dikerdilkan hanya menjadi Jakarta. Banyak remaja merasa
30
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
ketinggalan zaman jika dirinya tidak menggunakan slogan-slogan yang sering
disebut remaja Jakarta. Hal itu mengakibatkan keragaman budaya bisa menjadi
raib. Dampak ketiga adalah kurang diutamakannya unsur edukatif (tanpa
menggurui atau menceremahi) bagi perkembangan anak dan remaja. Kerapkali
tayangan yang dianggap mendidik justru sebaliknya. Dalam tayangan misteri
dan hantu misalnya, tampilan ulama seringkali hanya dimaksudkan sebagai
tempelan, sekedar pembenaran apa yang ditayangkan sebelumnya. Sangat sulit
menentukan apakah kelompok tayangan tersebut meningkatkan iman dan takwa
kepada sang Khalik atau sebaliknya menaikan pamor kaum paranormal sebagai
dewa penyelamat kita terhadap gangguan makhluk ghaib. Dampak keempat
adalah tidak terlindunginya khususnya bagi anak dan remaja dari tayangan yang
memuat kekerasan verbal dan visual. Kekerasan verbal yang dimaksud adalah
segala macam makian, sumpah serapah dan kalimat lain yang tidak mendidik.
Dalam sinetron dan telenovela yang bermotif balas dendam dan atau
perselingkuhan. Kita dapat mendengar banyak kata, frasa dan kalimat yang
sesungguhnya tidak sesuai dikonsumsi oleh anak dan remaja. (Heru Effendy,
2008: 13-14).
Tingginya rating suatu program belum tentu diikuti dengan kualitas
program tersebut. Jika dikatakan unggulan atau kualitas, adalah dalam konteks
pendapatan iklan belaka. Oleh karena itu, semua tidak bisa dibenarkan, ketika
lembaga rating menjadi faktor yang menentukan apakah program tersebut
berkualitas atau malah hanya kuantitas. Bahkan program-program yang
menempati rating tinggi rentan berbau sensual yang sesungguhnya tidak layak
ditayangkan.
31
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
BAB IIIPENUTUP
KESIMPULAN
Babak baru pertelevisian di Indonesia, yang ditandai dengan diberikannya
izin dan frekuensi siaran televisi swasta di Indonesia, pada akhirnya melahirkan
persaingan antarstasiun televisi yang melakukan siaran di Indonesia. Persaingan
antarstasiun televisi tersebut ditandai dengan persaingan antarprogram atau
acara televisi. Melalui program acara tersebut, stasiun televisi berusaha untuk
menarik sebanyak dan selama mungkin menonton acara atau stasiun televisi
mereka. Keberhasilan merebut penonton sebanyak dan selama mungkin akan
memudahkan stasiun televisi tersebut untuk mendapatkan iklan, yang menjadi
sumber pemasukan utama dari banyak stasiun televisi swasta.
Meski masing-masing stasiun televisi berusaha untuk menyajikan program
acara terbaik mereka, bukan berarti penonton dapat dikatakan mendapatkan sisi
positif dari adanya persaingan antar stasiun televisi tersebut. Jika dilihat dari
jumlah episode maupun jumlah judul program yang ditayangkan selama ini,
memang terlihat terjadinya peningkatan secara kuantitas. Namun penambahan
jumlah tersebut tidak dibarengi dengan keragaman jenis program, keragaman isi
atau kreatifitas program maupun keragaman talent atau pengisi acara dari
semua program-program yang ditayangkan, yang akhirnya membuat penonton
lebih banyak mendapatkan sisi negatif dari persaingan yang terjadi antar stasiun
32
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
televisi tersebut. Tidak banyak keragaman jenis program, ini terlihat dari hanya
jenis program drama dan pertandingan olahraga misalnya, masih menjadi
tayangan yang dominan. Bukti lain dari tidak adanya keragaman jenis program
terlihat dari hanya beberapa jenis program saja yang berhasil menjaring
penonton terbanyak. Sementara untuk tidak banyaknya keragaman isi, bisa
dilihat mulai banyaknya program-program yang sekedar mencontek ide program
sukses sebelumnya. Sementara untuk tidak banyaknya keragaman talent, bisa
terlihat dari banyaknya
talent yang selalu ada di banyak program acara di berbagai stasiun televisi.
Dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia yang miskin dan berdaya
beli rendah. Bagi mereka, menonton televisi adalah salah satu alternatif
mendapatkan hiburan dan informasi yang terjangkau tanpa berbayar.
Masyarakat menonton televisi terutama bukan karena kualitas atau kebutuhan,
melainkan lebih karena keterbatasan saluran informasi dan hiburan yang
terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itulah dibutuhkan kesadaran bagi
pelaku industri televisi untuk mengupayakan program hiburan televisi yang
bukan saja menghibur tetapi juga mendidik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Mensinergikan kearifan lokal dengan industri hiburan televisi merupakan
alternatif untuk mendapatkan hiburan yang bermutu. Perlu usaha dan semangat
yang keras untuk mewujudkan hiburan yang cerdas tersebut. Dengan kemauan
yang keras, pelaku industri televisi seyogyanya bisa menjadikan tontonan
sebagai tuntunan di masyarakat.
33
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
DAFTAR PUSTAKA
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta: Kompas Gramedia.
Vinet, Mark. 2005. Entertainment Industry: The Business of Music, Books, Movies, TV, Radio, Internet, Video Games, Theater, Fashion, Sports, Art, Merchandising, Copyright, Trademarks and Contracts. Canada: Wadem Publishing.
Clancy, K.J. dan Shulman. R.S. The Marketing Revolution, Harper Business, 1991 dalam Rhenald Kasali, Membidik Pasar Indonesia.
Kasali, Rhenald. 2001. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting dan Positioning, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
http://www.mahanani.web.id/2012/04/perkembangan-pertelevisian-dunia-dan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_stasiun_televisi_di_Indonesia
http://arazakirfan89.blogspot.com/2012/07/segmentasi-targeting-positioning.html
http://fery-dedi.blogspot.com/2012/08/mekanisme-perhitungan-rating-tv-indonesia.html
http://allaboutduniatv.blogspot.com/2011/12/apa-itu-rating-dan-share.html
http://artikeldanopini.blogspot.com/2013/10/mencerdaskan-generasi-bangsa-dengan.html
34
TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING 2014
35