Upload
tanzil-al-khair
View
492
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
A. HILANGNYA ILMU PENGETAHUAN DISEBABKAN KARENA
HILANGNYA ORANG YANG BERILMU PENGETAHUAN
Umar Bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm, “Kumpulkan
Hadits-hadits Nabi SAW yang engkau temukan, kemudian tulislah, Aku khawatir
akan hilangnya ilmu dan perginya para ulama (meninggal). janganlah engkau terima
kecuali dari hadits Nabi. pelajarilah ilmu dengan seksama, sampai dapat mengetahui
sesuatu yang tidak diketahui. ilu tidak akan rusak kecuali setelah menjadi rahasia.”
Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash RA katanya dia mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “Allah tidak menarik kembali ilmu pengetahuan dengan jalan
mencabutnya dari hati sanubari manusia, tetapi dengan jalan mematikan orang-
orang yang berpengetahuan (Ulama). Apabila orang berpengetahuan telah punah,
maka masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang
akan dijadikan tempat bertanya ; Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa ilmu;
mereka itu sesat dan menyesatkan.”
Keterangan Hadits :
(Tulislah). Dari kalimat ini dapat diartikan, bahwa ini adalah awal
mula penulisan hadits Nabi, karena sebelumnya umat masih bergantung kepada
hafalan. pada saat Umar Abdul Aziz merasa khawatir akan hilangnya ilmu dengan
meninggalnya para ulama, maka ia berpendapat bahwa penulisan ilu berarti usaha
untuk melestarikan ilmu itu sendiri.
(Allah tidak menarik kembali ilmu pengetahuan dengan
jalan mencabutnya) atau menghapus ilmu dari lubuk hati sanubari. Rasulullah
mengucapkan hadits ini pada saat haji wada’ sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan Thabrani dari hadits Abu Umamah, bahwa saat haji wada’ Nabi
SAW bersabda, “Pelajarilah ilmu sebelum datang masa punahnya ilmu tersebut.”
Arabi berkata, “Punahnya ilmu itu dengan punahnya para ulama (orang yang
menguasai ilmu tersebut.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan
Dalam Riwayat Abu Al Aswad pada kitab Al I’tisham
karangan Imam Bukhari disebutkan (mereka memberikan fatwa
dengan pendapatnya), begitu pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim.
Hadits ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi pemimpin yang
bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa adalah pemimpin yang
benar-benar mengetahui, dan larangan bagi orang yang berani mengeluarkan fatwa
tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan. Hadits ini juga dijadikan alasan oleh jumhur
ulama untuk mengatakan, bahwa pada zaman sekarang ini tidak ada lagi seorang
mujtahid.
B. KEUTAMAAN SHALAT PADA WAKTUNYA
Dari Abdullah, dia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi SAW, apakah
perbuatan yang paling dicintai Allah?” Rasul menjawab, “Shalat pada waktunya.”
Saya bertanya lagi. “lalu apa? Rasul menjawab, “lalu berbuat baik kepada orang
tua.” Saya bertanya lagi, “lalu apa?” Rasulullah menjawab, “Jihad (berjuang di jalan
Allah.” Dia berkata “Rasulullah memberitahuku tentang itu, dan jika akau ingin
menambahkan lagi, maka beliau pasti akan menambahkan.”
Keterangan Hadits
(apakah perbuatan yang paling dicintai Allah?) Dalam
riwayat Malik bin Mighwal disebutkan (apakah
perbuatan yang lebih utama?) begitu juga dalam kebanyakan riwayat.
Nabi sering memberikan jawaban jang berbeda-beda kepada orang yang
bertanya tentang amal yang paling baik. Para ulama mengatakan bahwa hal itu
disebabkan perbedaan kondisi para penannya. maka Nabi menjawab sesuai dengan
apa yang mereka butuhkan atau apa yang mereka senangi, atau apa yang sesuai
dengan keadaan mereka. Atau juga perbedaan itu karena perbedaan waktu, dimana
perbuatan tertentu pada suatu saat lebih utama daripada perbuatan yang lain.
Pada permulaan islam, jihad merupakan perbuatan yang paling utama. Dalam
nash-nash lain dijelaskan bahwa shalat lebih utama daripada sedekah. Namun di saat
banyak terjadi kelaparan yang melanda masyarakat, maka sedekah lebih utama.
Ibnu Daqiq Al Id berkata ‘Perbuatan yang disebutkan dalam hadits itu adalah
perbuatan yang bersifat badaniyah, dengan maksud menjaga keimanan, maka ia tidak
bertentangan dengan hadits (Perbuatan yang
paling adalah iman kepada Allah) karena iman adalah perbuatan hati.
(Shalat tepat pada waktunya) Ibnu Bathathal
mengatakan, bahwa shalat tepat pada waktunya adalah lebih utama daripada
mengakhirkannya, sebab syarat menjadi perbuatan yang paling dicintai adalah jika
dikerjakan pada waktu yang disukai (mustahab).
(lalu apa lagi?) Yang benar lafazh tidak di-
tanwin kan karena perkataan tersebut tidak berhenti dan penanya masih menunggu
jawabannya. sedangkan bacaan tanwin tidak boleh diberhentikan. Untuk itu jika
dibaca tanwin tapi diteruskan, maka merupakan suatu kesalahan. Ibnu Al jauzi
menceritakan dari Ibnu Al Khasyab bahwa dia membacanya dengan tanwin, karena
lafazh tersebut mu’rab dan tidak di-mudhaf- kan (dinisbatkan kepada lafazh
sesudahnya.)
Sebagian ulama berkata, “Hadits ini sesuai dengan firman Allah dalam surah
Luqman ayat 14 berbunyi, (Hendaknya kamu
bersyukur kepada-Ku dan berterimakasihlah kepada kedua orang tuamu)”.
Seolah-olah hal itu diambil dari tafsir ibnu Uyainah yang berkata, “Barang
siapa shalat lima waktu, maka ia telah berterima kasih kepada Allah, dan barang siapa
berdoa untuk kedua orang tuanya setelah shalat, maka ia berterima kasih kepada
mereka.”
(jika aku ingin menambahkan) kemungkinan meksudnya
adalah jenis perbuatan utama sepertinya, atau mungkin juga dimaksudkan pertanyaan
yang dibutuhkannya. Imam Tirmidzi menambahkan dari jalur Al Mas’udi dari Walid,
“lalu rasulullah
diam terhadapku, maka aku menambahkan (bertanya lagi), niscaya beliau akan
menambahkannya (menjawab lagi)
Seakan-akan dia merasakan adanya kesulitan dari rasulullah. Hal ini
dikuatkan dalam riwayat Muslim yang menyebutkan,
(aku tidak meninggalkan untuk bertanya lagi melainkan
agar Rasulullah tidak merasa bosan)
C. KEWAJIBAN SHALAT BERJAMAAH
Al Hasan berkata. “Apabila seseorang dilarang oleh ibunya untuk menghadiri
shalat isya’ berjamaah karena sayang kepadanya maka ia tidak boleh menaatinya.”
Dari abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Demi dzat yang
jiwaku di tangan-Nya, sungguh telah timbul keinginanku untuk memerintahkan agar
kayu bakar dikumpulkan, kemudian akau memrintahkan shalat dan dikumandangkan
adzan, lalu akau memerintahkan seseorang untuk mengimami manusia. Kemudian
aku pergi kepada beberapa orang laki-laki lalu aku bakar rumah-rumah mereka.
Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya. apabila salah seorang mereka mengetahui
bahwa ia memperoleh tulang yang gemuk atau daging yang baik. niscaya ia akan
menghadiri shalat Isya.”
Keterangan Hadits
(Bab kewajiban shalat berjamaah). Demikianlah Imam Bukhari menetapkan
dengan tegas hukum persoalan ini, seakan-akan Imam Bukhari melihat dalil yang
menyatakan demikian sangat kuat. Hanya saja dia tidak mengaitkan kata “wajib”
dengan sesuatu yang lain, sehingga bisa saja yang dimaksud adalah kewajiban
individu (fardhu ‘Ain) dan bisa pula kewajiban sosial (fardhu kifayah). akan tetapi
atssr yang dia nukil dari Al Hasan memberi asumsi bahwa yang beliau maksudkan
adalah kewajiban individu (fardhu ‘Ain). hal ini dipahami dari kebiasaan Imam
Bukhari yang menyebutkan atsar-atsar di bawah suatu bab untuk menjelaskan
maksud bab tersebut dan menyempurnakannya, serta menentukan salah satu dari
kemungkinan yang terkandung dalam hadits bab itu. berdasarkan keterangan ini
maka terjawab kritikan sebagian orang yang menyatakan bahwa atsar Al- Hasan ini
justru masih membutuhkan dalil lain, dan bukan dijadikan sebagai dalil.
Banyak perbedaan para ulama Hadits tentang hukum shalat berjamaah.
secara lahiriah hadits yang disebutkan diatas tadi menyatakan bahwa hal itu
kewajiban individu (fardhu ain), Sebab apabila hukum perbuatan itu adalah sunah,
maka tidak ada ancaman untuk dibakar rumahnya. sedangkan apabila fardhu kifayah,
maka kewajibannya telah dilaksanakan oleh Nabi SAW beserta orang-orang yang
bersamanya. kemungkinan lain dapat dikatakan “Ancaman pembakaran itu mungkin
diberlakukan pada seseorang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti disyariatkan
untuk memerangi mereka yang meninggalkan fardhu kifayah.” Tapi pernyataan ini
kurang tepat, karena membakar yang kadang menyebabkan terbunuhnya seseorang
lebih khusus daripada peperangan. Sesungguhnya tindakan untuk memerangi hanya
disyariatkan apabila semua telah sepakat untuk meninggalkan kewajiban sosial
(fardhu kifayah).
Adapun mereka yang mengatakan shalat berjamaah merupakan kewajiban
individu (fardhu ain) adalah Atha’ Al Auza’I, Ahmad dan sejumlah ulama ahli hadits
dalam madzhab Syafi’I seperti Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Al Mundzir serta
Ibnu Hibban. Sementara Daud dan orang-orang yang sepaham dengannya
mengemukakan pendapat yang ekstrim, dimana mereka menjadikan jamaah sebagai
syarat sahnya shalat. Ibnu Daqiq Al Id mengisyaratkan bahwa pemdapat tersebut
dilandasi bahwa semua yang diwajibkan pada shalat telah menjadi syarat sah shalat
itu. Oleh karena keinginan Nabi SAW tersebut menunjukkan pada konsekuensinya
(yakni kehadiran), sementara kewajiban untuk hadir merupakan dalil (petunjuk)
kepada konsekuensinya (yakni shalat), maka diketahui bahwa berjamaah merupakan
syarat shalat. akan tetapi logika (pemahaman) seperti ini tidak dapat diterima, kecuali
apabila diakui bahwa semua yang diwajibkan pada shalat menjadi syarat bagi shalat
itu sendiri. Menurut sebagian ulama memang demikian umumnya. Namun oleh
karena “syarat” terkadang dapat dipisahkan dari “kewajiban”, maka Imam Ahmad
mengatakan “sesungguhnya shalat berjamaah hukumnya wajib dan bukan sebagai
syarat sahnya shalat.”
Adapun makna lahiriah pernyataan tekstual Imam syafi’I menyatakan bahwa
shalat berjamaah adalah kewajiban sosial (fardhu kifayah). inilah yang menjadi
pendapat di kalangan mayoritas ulama madzhab syafi’i. pendapat demikian
dikemukakan pula oleh sejumlah ulama di kalangan Hanafi dan Maliki. Sedangkan
pendapat yang masyhur di kalangan ulana lainnya adalah bahwa shalat berjamaah
hukumnya sunah mu’akkadah (sunah yang sangat dianjurkan).
DAFTAR PUSTAKA
1. Fathul Baari syarah : Shahih bukhari / Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al
Asqalani ; penerjemah, Amiruddin, Lc. – Jakarta ; Pustaka Azzam, 2003
PENDAHULUAN
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat
kesehatan dan nikmat keimanan, semoga kita semua mendapat hidayah dari-Nya di
Akhirat kelak.
Shalawat beserta kita curah ke baginda Nabi Muhammad SAW. Yang telah
menerangi dunia ini menjadi terang-benderang dengan budi pekertinya,
perjuangannya, untuk menjauhkan umat manusia dari kegelapan/kejahiliyahan.
Sebelumnya penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang
telah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada kami, sehingga kami dapat
mengembangkan ilmu yang telah diberikan kepada kami selaku mahasiswa.
Adapun isi makalah ini membahas tentang “Ilmu, Sholat pada waktunya,
Sholat berjamaah” yang ini semua tidak akan terlaksana tanpa adanya bantuan dari
teman-teman mahasiswa sekalian. Dan kami selaku penyusun sangat mengharap
kritikan dan saran apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam ketikan ataupun
hal-hal lainnya. Hanya kepada Allah lah kami mohon ampun. Sekian dan terima
kasih.
Tanggal 28 Oktober 2008
TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
II. DAFTAR ISI
III. HILANGNYA ILMU PENGETAHUAN DISEBABKAN
KARENA HILANGNYA ORANG YANG BERILMU
PENGETAHUAN … ………………………………………..1
1. HILANGNYA ILMU PENGETAHUAN DISEBABKAN
KARENA HILANGNYA ORANG YANG BERILMU
PENGETAHUAN ….………………………………... 1
2. KEUTAMAAN SHALAT PADA WAKTUNYA …….….3
3. KEWAJIBAN SHALAT BERJAMAAH ..……………… 5
IV. DAFTAR PUSTAKA
“ HADITS KEUTAMAAN SHOLAT TEPAT WAKTU, SHOLAT BERJAMA’AH DAN HADITS
TENTANG HILANG ILMU PENGETAHUAN”
DI
S
U
S
U
N
OLEH
1. TANZIL ALKHAIR2. ISMAIL3. USMAN4. SARIANTI
Dosen Pembimbing : Mahyiddin, S.Ag
SEMESTER III UNIT B
STAIN ZAWIYAH COT KALA LANGSA
TAHUN 2007-2008