Upload
krianda-jaya
View
72
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tentang manajemen bencana
Citation preview
MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA DAN LINGKUNGAN
MANAJEMEN BENCANA
Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan
terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi bencana. (UU 24/2007).
Manajemen bencana menurut (University of Wisconsin) sebagai
serangkaian kegiatan yang didesain untuk mengendalikan situasi bencana
dan darurat dan untuk mempersiapkan kerangka untuk membantu orang
yang renta bencana untuk menghindari atau mengatasi dampak bencana
tersebut.
Manajemen bencana menurut (Universitas British Columbia) ialah proses
pembentukan atau penetapan tujuan bersama dan nilai bersama (common
value) untuk mendorong pihak-pihak yang terlibat (partisipan) untuk
menyusun rencana dan menghadapi baik bencana potensial maupun akual.
Secara umum, manajemen bencana bertujuan untuk :
1. Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan
harta benda dan lingkungan hidup
2. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan
penghidupan korban
3. Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/
pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke
daerah baru yang layak huni dan aman.
4. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/
transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan
kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana.
5. Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut.
6. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.
Adapula tujuan lainya adalah sebgai berikut:
1. Menghindari kerugian pada individu, masyarakat dan Negara melalui
tindakan dini. Tindakan ini merupakan pencegahan, tindakan ini efektif
sebelum bencana itu terjadi.Tindakan penghindaran biasanya dikaitkan
dengan beberapa upaya. Pertama penghilangan kemungkinan sebab.
Kalau bencana itu bisa disebabkan oleh kesalahan manusia, tindakan
penghilangan sebab tentunya bisa dilakukan. Tentunya hal ini akan
sulit bila penyebabnya adalah alam yang memiliki energi di luar
kemampuan manusia untuk melakukannya. Pergeseran lempeng bumi
yang menyebabkan gempa bumi tektonik, misalnya, merupakan sebab
yang sampai saat ini belum diatasi manusia. Oleh karena itu tindakan
penghindaran bencana alam lebih diarahkan pada menghilangkan,
atau mengurangi kondisi yang dapat menimbulkan bencana. Kondisi
dimaksud dalah struktur bangunan yang sesuai untuk kondisi gempa
yang dapat bangunan tahan terhadap goncangan, sehingga dapat
menghidari kerugian fisik, ekonomi, dan lingkungan.
2. Meminimalisasi kerugian pada individu, masyarakat dan Negara
berupa kerugian yang berkaitan dengan orang, fisik, ekonomi, dan
lingkungan bila bencana tersebut terjadi, serta efektif bila bencana itu
telah terjadi. Tetapi perlu diingat, piranti tindakan meminimalisasi
kerugian itu telah dilakukan jauh sebelum bencana itu terjadi. Contoh
bencana alam dengan cepat akan menimbulkan masalah pada
kesehatan akibat luka parah, bahkan meninggal, maka tindakan
minimalisasi yang harus dilakukan sejak dini adalah penyebaran pusat-
pusat medis ke berbagai wilayah, paling tidak sampai tingkat
kecamatan.
3. Meminimalisasi penderitaan yang ditanggung oleh individu dan
masyarakat yang terkena bencana. Ada juga yang menyebut tindakan
ini sebagai pengentasan. Tujuan utamanya adalah membantu individu
dan masyarakat yang terkena bencana supaya dapat bertahan hidup
dengan cara melepaskan penderitaan yang langsung dialami. Bantuan
tenda, pembangunan kembali perumahan yang hancur, memberi
subsidi, termasuk kedalam kategori ini. Pemberian pemulihan kondisi
psikis individu dan masyarakat yang terkena bencana juga perlu
karena bertujuan untuk mengembalikan optimisme dan kepercayaan
diri.
4. Untuk memperbaiki kondisi sehingga indivudu dan masyarakat dapat
mengatasi permasalahan akibat bencana. Perbaikan kondisi terutama
diarahkan kepada perbaikan infrastruktur seperti jalan, jembatan,
listrik, penyedian air bersih, sarana komunikasi, dan sebagainya.
Mekanisme manajemen bencana terdiri dari :
1. Mekanisme internal atau informal, yaitu unsur-unsur masyarakat di
lokasi bencana yang secara umum melaksanakan fungsi pertama dan
utama dalam manajemen bencana dan kerapkali disebut mekanisme
manajemen bencana alamiah, terdiri dari keluarga, organisasi sosial
informal (pengajian, pelayanan kematian, kegiatan kegotong
royongan, arisan dan sebagainya) serta masyarakat lokal.
2. Mekanisme eksternal atau formal, yaitu organisasi yang sengaja
dibentuk untuk tujuan manajemen bencana, contoh untuk Indonesia
adalah BAKORNAS PB, SATKORLAK PB dan SATLAK PB.
Secara umum manajemen bencana dan keadaan darurat adalah tahapan
pra-bencana, saat bencana, dan pasca-bencana. Untuk daerah-daerah yang
kerap tertimpa bencana entah itu yang dibuat manusia (banjir, longsor,
luapan lumpur, dll.) ataupun yang tak terduga secara awam (gempa
tektonik, vulkanik, angin puting beliung, dll.), sebaiknya menerapkan
tahapan-tahapan kerja yang lebih mendetail. Setiap tahapan itu adalah
sebagai berikut:
1. Riset: pelajari fenomena alam yang akan terjadi secara umum
atau khusus di satu daerah. Kontur tanah hingga letak geografis
suatu daerah menjadi pengaruh utama penanganan ke depan. Jika
yang terjadi adalah peristiwa kebakaran hutan, riset tentang lokasi
dan pendataan masyarakat di dalam ataupun sekitar hutan
mengawali paket penanganan bencana. Jika kebakaran seperti
terjadi di beberapa pasar, tentulah pendataan kelayakan pasar
tersebut akan membantu akar permasalahan bencana kebakaran
tersebut.
2. Analisis Kerawanan dan Kajian Risiko (Vulnerabilities
Analysis and Risk Assessment): ada beberapa variabel yang
bisa menyebabkan bencana ataupun keadaan darurat terjadi di
satu daerah. Matriks atas variabel ini patut didaftar untuk
kemudian dikaji risiko atau dampaknya jika satu variabel atau
paduan beberapa variabel terjadi.
3. Sosialisasi dan Kesiapan Masyarakat: pengetahuan atas
fenomena alam hingga tindakan antisipatif setiap anggota
masyarakat menjadi suatu hal mutlak dilakukan oleh Pemerintah
ataupun kalangan akademisi yang telah melakukan kajian-kajian
dan pemantauan atas fenomena alam di daerahnya.
4. Mitigasi atau persiapan mendekati terjadinya bencana atau
keadaan darurat. Persiapan menghadapi banjir di komplek
perumahan saya, misalnya, dilakukan dengan membersihkan
saluran got dan membangun daerah-daerah penyerapan air ke
tanah. Setiap minggu ada pemuda Karang Taruna berkeliling
meneriakkan “3M”.
5. Warning atau peringatan bencana: di saat hari ini Gunung
Kelud sudah “batuk” cukup parah, sosialisasi bahaya letusan yang
lebih besar selayaknya juga dilakukan tak hanya dengan upaya
persuasif. Tindakan memaksa selayaknya juga diterapkan, tentu
ada sosialisasi tindakan ini harus diambil, jauh sebelum bencana ini
terdeteksi. Teriakan melalui pengeras suara masjid ataupun
kentongan hingga SMS Blast ke setiap pemilik telepon selular di
daerah tersebut bisa menjadi alternatif peringatan bagi warga
masyarakat.
6. Tindakan Penyelamatan: jika yang terjadi adalah angin puting
beliung, tentulah tempat paling aman berada di bawah tanah
dengan kedalaman dan persiapan logistik yang memadai. Jika yang
terjadi adalah banjir, penyelamatan barang pribadi ke tempat lebih
tinggi menjadi kewajiban selain logistik dan perahu karet jika
diperlukan.
7. Komunikasi: faktor komunikasi tetap harus terjaga, yang bisa
dilakukan dengan sistem telepon satelit (lihat www.psn.co.id untuk
alat komunikasi langsung ke satelit), agar bala-bantuan hingga
kepastian keadaan sesaat setelah terjadi bencana bisa terdeteksi
dari Jakarta ataupun pusat pemerintah provinsi.
8. Penanganan Darurat: jika ada anggota masyarakat yang
memerlukan perawatan medis ataupun ada anggota masyarakat
yang dinyatakan hilang, kesiapan regu penyelamat harus
terkoordinasi dengan baik.
9. Keberlangsungan Penanganan: jika banjir tidak surut dalam
waktu satu-dua hari ataupun lokasi bencana tak memiliki jalur
transportasi yang memadai, upaya yang berkelanjutan adalah
kewajiban pemerintah daerah ataupun pusat dengan selalu
berkoordinasi di lapangan.
10. Upaya Perbaikan: tahapan pasca-bencana ataupun pasca-
keadaan darurat adalah “proses pengobatan” yang memakan
waktu lama. Jika peristiwa Tsunami Aceh memakan korban jiwa
dan harta yang sangat besar, merancang perbaikan harus
dilakukan secara seksama mengingat biaya yang besar yang
dikumpulkan dari masyarakat, bahkan masyarakat internasional.
Jika peristiwa banjir yang tiap tahun melanda pinggiran Kali
Ciliwung, tentunya lebih baik dilakukan tindakan antisipatif yang
lebih komprehensif dalam kerangka perbaikan di masa mendatang.
11. Pelatihan dan Pendidikan: untuk mendapatkan hasil terbaik
untuk mengantisipasi hingga mengupayakan perbaika pasca-
bencana, setiap daerah harus memiliki petugas-petugas yang
cakap dan berpengetahuan. Untuk itu diperlukan pendidikan dan
pelatihan yang selalu sejalan dengan penemuan teknologi
penanganan bencana termutakhir.
12. Simulasi: setelah memiliki petugas yang cakap dan
berpengetahuan, setiap daerah harus melaksanakan simulasi
penanganan bencana atapun keadaan darurat agar setiap anggota
masyarakat bisa mengantisipasi hingga menyelamatkan diri dan
anggota keluarganya , sehingga beban daerah ataupun kerugian
pribadi dapat diminimalisasi.
Berbicara manajemen bencana kita harus tahu juga mengenai apa itu
bencana?
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007)
Bencana dibagi menjadi 3: alam, non-alam dan sosial
Sedikit membahas tentang bencana kita akan mmbahas tentang resiko, ini
berawal dari kerentanan yang nantinya menjadi resiko bencana dan ada
pemicu sehingga menjadi bencana.bisa dikatakan ini kondisi bahaya
(hazard)
1. Faktornya Geologi
Gempa bumi, tsunami, longsor, gerakan tanah
2. Hidro-meteorologi
Banjir, topan, banjir bandang,kekeringan
3. Teknologi
Kecelakaan transportasi, industri
4. Lingkungan
Kebakaran,kebakaran hutan, penggundulan hutan.
5. Sosial
Konflik, terrorisme
6. Biologi
Epidemi, penyakit tanaman, hewan
Dan bagaimana penangananya ? Dibagi menjadi 3 periode menurut data
diatas:
1. Pra Bencana : pencegahan lebih difokuskan, kesiapsiagaan berlevel
medium
2. Bencana : pada saat kejadian / krisis tanggap darurat menjadi
kegiataan terpenting
3. Pasca Bencana : pemulihan dan reconstruksi menjadi proses
terpenting setelah bencana
Kegiatan-kegiatan manajemen bencana :
1. Pencegahan (prevention)
2. Mitigasi (mitigation)
3. Kesiapan (preparedness)
4. Peringatan Dini (early warning)
5. Tanggap Darurat (response)
6. Bantuan Darurat (relief)
7. Pemulihan (recovery)
8. Rehablitasi (rehabilitation)
9. Rekonstruksi (reconstruction)
Pencegahan (prevention)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana (jika mungkin
dengan meniadakan bahaya).
Misalnya :
i. Melarang pembakaran hutan dalam perladangan
ii. Melarang penambangan batu di daerah yang curam
iii. Melarang membuang sampah sembarangan
Mitigasi Bencana (Mitigation)
Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana (UU 24/2007) atau upaya yang dilakukan
untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Bentuk mitigasi :
a. Mitigasi struktural (membuat chekdam, bendungan, tanggul
sungai, rumah tahan gempa, dll.)
b. Mitigasi non-struktural (peraturan perundang-undangan,
pelatihan, dll.)
Kesiapsiagaan (Preparedness)
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna
(UU 24/2007)
Misalnya: Penyiapan sarana komunikasi, pos komando, penyiapan lokasi
evakuasi, Rencana Kontinjensi, dan sosialisasi peraturan / pedoman
penanggulangan bencana.
Peringatan Dini (Early Warning)
Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada
masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat
oleh lembaga yang berwenang (UU 24/2007) atau Upaya untuk memberikan
tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi.
Pemberian peringatan dini harus :
1. Menjangkau masyarakat (accesible)
2. Segera (immediate)
3. Tegas tidak membingungkan (coherent)
4. Bersifat resmi (official)
Tanggap Darurat (response)
· Upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk
menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan
korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian
Bantuan Darurat (relief)
Merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar berupa :
1. Pangan
2. Sandang
3. Tempat tinggal sementara
4. kesehatan, sanitasi dan air bersih
Pemulihan (recovery)
1. Proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yang terkena
bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana
pada keadaan semula.
2. Upaya yang dilakukan adalah memperbaiki prasarana dan
pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas, dll).
Rehabilitasi (rehabilitation)
Upaya langkah yang diambil setelah kejadian bencana untuk membantu
masyarakat memperbaiki rumahnya, fasilitas umum dan fasilitas sosial
penting, dan menghidupkan kembali roda perekonomian.
Rekonstruksi (reconstruction)
Program jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan fisik, sosial
dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi
yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.
Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan
masyarakat kita berharap berkurangnya korban nyawa dan kerugian harta
benda. Dan yang terpenting dari manajemen bencana ini adalah adanya
suatu langkah konkrit dalam mengendalikan bencana sehingga korban yang
tidak kita harapan dapat terselamatkan dengan cepat dan tepat dan upaya
untuk pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan secepatnya.
Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis
masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan
proses perbaikan total atas pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya
kebijakan lokal yang bertumpu pada kearifan lokal yang berbentuk peraturan
nagari dan peraturan daerah atas menejemen bencana. Yang tak kalah
pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-hatian
terutama pada daerah rawan bencana.
MANAJEMEN BENCANA BERBASIS MASYARAKAT
Konsep dasar manajemen bencana berbasis masyarakat adalah upaya
meningkatkan kapasitas masyarakat atau mengurangi kerentanan
masyarakat. Besaran bencana merupakan akumulasi berbagai ancaman
bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Rangkaian
kerentanan ini antara lain terdiri dari kemiskinan, kurangnya kewaspadaan,
kondisi alam yang sensitif, ketidak-berdayaan, dan berbagai tekanan dinamis
lainnya. Kerentanan satu kelompok masyarakat dengan kelompok
masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya, demikian pula ancaman
bahayanya pun berbeda-beda jenisnya.
Berbagai jenis ancaman bahaya, berdasar penyebabnya dapat
diklasifikasikan menjadi empat, yaitu bencana geologi, bencana iklim,
bencana lingkungan, dan bencana sosial. Bencana geologi antara lain gempa
bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan tanah longsor. Bencana iklim
antara lain banjir, kekeringan, dan badai. Bencana lingkungan antara lain
pencemaran lingkungan (air, udara, tanah), eksploitasi sumber daya alam
berlebihan termasuk penjarahan hutan, alih fungsi lahan di kawasan lindung,
penerapan teknologi yang keliru, dan munculnya wabah penyakit. Bencana
sosial antara lain kehancuran budaya, budaya tidak peduli, KKN, politik tidak
memihak rakyat, perpindahan penduduk, kesenjangan sosial ekonomi
budaya, konflik dan kerusuhan.
Banyak pihak telah mencoba menyusun siklus manajemen dengan
maksud dan tujuan agar mudah dipahami dan mudah diaplikasikan terutama
oleh masyarakat umum. Sebagai contoh pihak United Nation Development
Program (UNDP) dalam program pelatihan manajemen bencana yang
diselenggarakan tahun 1995 dan 2003, menyusun siklus manajemen
bencana dalam versi cukup sederhana. UNDP membagi manajemen bencana
menjadi empat tahapan besar. Tahap pertama kesiapsiagaan (perencanaan
siaga, peringatan dini), tahap kedua tanggap darurat (kajian darurat,
rencana operasional, bantuan darurat), tahap ketiga pasca darurat
(pemulihan, rehabilitasi, penuntasan, pembangunan kembali), tahap
keempat pencegahan dan mitigasi atau penjinakan.
Pengalaman menunjukkan, dari keempat tahap tersebut justru tahap
kedua yaitu tahap tanggap darurat yang selalu penuh "hiruk pikuk" tetapi
koordinasinya sangat lemah. Hal ini membuktikan bahwa manakala bencana
itu terjadi, penanganan bencana selalu dilakukan dalam suasana kepanikan
dan kebingungan. Pada saat tanggap darurat ini nampak ada yang terkaget-
kaget dan merasa kecolongan, ada yang serius, ada yang menjadi "seksi
repot", ada yang hanya menonton saja, bahkan ada yang berpura-pura
minta sumbangan tetapi untuk kepentingan pribadi.
Pada tahap ketiga, yaitu pasca darurat, nuansa rehabilitasi dan
rekonstruksi mulai berbau "proyek", banyak pihak yang mencari kesempatan
dalam kesempitan. Pada tahap keempat, yaitu pencegahan dan mitigasi,
semua pihak mulai melupakan peristiwa bencana yang lalu, hampir semua
tidak peduli lagi harus berbuat apa. Kembali ke tahap pertama, yaitu
kesiapsiagaan, bisa dipastikan semua pihak tidak siap dan tidak siaga, dan
bila terjadi bencana, kembali kecolongan, terkaget-kaget dan panik. Padahal
penanganan keempat tahap sejak kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca
darurat, pencegahan dan mitigasi masing-masing memiliki bobot keseriusan
yang sama.
Cita-cita manajemen bencana berbasis masyarakat atau community
based disaster management sudah menjadi visi dari negara-negara maju di
muka bumi ini. Peristiwa bencana gempa dan tsunami di NAD juga membuka
mata dan hati kita betapa di muka bumi ini masih ada semangat
perikemanusiaan dan gotong royong membantu para korban. Berdasar fakta
tersebut, merealisasikan manajemen bencana berbasis masyarakat bukan
hal yang mustahil, walaupun banyak kendala dan hambatan yang harus
bersama-sama kita hadapi.
Kelompok masyarakat sebagai pelaku utama manajemen bencana ini
harus dapat diupayakan dari tingkat yang paling kecil yaitu kelompok Rukun
Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dusun, kampung, sampai kelompok yang
lebih besar yaitu desa atau kelurahan, kecamatan, bahkan kota atau
kabupaten.
Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan
bersama-sama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat
dalam mitigasi bencana, antara lain:
1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau
mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna
tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana.
2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang
kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana,
penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana,
perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan.
3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat
yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud
koordinasi kerja yang baik.
4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang
merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat
preventif kebencanaan.
5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam
setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.
Tujuan dari manajemen bencana berbasis masyarakat adalah :
1. Meningkatkan kesadaran dan kesiap-siagaan masyarakat, terutama
pada daerah-daerah yang rawan bencana.
2. Memperkenalkan cara membuat peta bahaya setempat.
3. Memperkuat kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bencana
dengan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait.
4. Mengembangkan organisasi bencana di daerah.
5. Memperkaya pengetahuan masyarakat dengan pendidikan tentang
bencana.
6. Mempertinggi kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup
DESERTIFIKASI
1. Definisi Desertifikasi
Desertifikasi adalah persisten degradasi dari ekosistem lahan kering
dengan variasi iklim dan aktivitas manusia. Home untuk sepertiga dari
populasi manusia pada tahun 2000, lahan kering menempati hampir
setengah dari luas daratan bumi. Di seluruh dunia, penggurunan
mempengaruhi mata pencaharian jutaan orang yang bergantung pada
ekosistem lahan kering manfaat yang dapat menyediakan.
Desertifikasi terjadi sebagai hasil dari kegagalan jangka panjang untuk
menyeimbangkan kebutuhan manusia untuk jasa ekosistem dan jumlah
ekosistem dapat pasokan. Tekanan meningkat pada ekosistem lahan kering
untuk menyediakan jasa seperti makanan, pakan, bahan bakar, bahan
bangunan, dan air yang diperlukan bagi manusia, ternak, irigasi, dan
sanitasi. Kenaikan ini disebabkan oleh kombinasi faktor manusia (seperti
tekanan penduduk dan lahan pola) dan faktor iklim (seperti kekeringan).
Sementara interaksi global dan regional faktor-faktor ini sangat kompleks,
adalah mungkin untuk memahaminya pada skala lokal.
Desertifikasi adalah proses yang mengubah produktif menjadi gurun
non-produktif akibat buruk pengelolaan lahan-. Desertifikasi terjadi terutama
di daerah semi-kering (curah hujan tahunan rata-rata kurang dari 600 mm)
berbatasan dengan gurun. Di Sahel, (yang gersang daerah selatan-semi
Gurun Sahara), misalnya, gurun bergerak ke selatan 100 km antara tahun
1950 dan 1975.
Desertifikasi merupakan salah satu masalah yang paling
mengkhawatirkan di dunia lingkungan global. Ini terjadi di seluruh dunia
pada lahan kering . Setidaknya 90% dari penduduk lahan kering tinggal di
negara berkembang dan mereka menderita kondisi ekonomi dan sosial
termiskin. Lahan kering menempati 41% dari luas daratan bumi dan adalah
rumah bagi lebih dari 2 miliar orang. Telah diperkirakan bahwa sekitar 10-
20% dari lahan kering sudah terdegradasi , luas areal dipengaruhi oleh
penggurunan menjadi antara 6 dan 12 juta kilometer persegi, bahwa sekitar
1-6% dari penduduk hidup di daerah lahan kering desertified, dan bahwa
miliar orang berada di bawah ancaman dari penggurunan lebih lanjut.
Desertifikasi merupakan fenomena bersejarah; gurun besar dunia
terbentuk oleh proses alam berinteraksi selama selang waktu yang lama.
Selama sebagian besar kali, padang pasir telah tumbuh dan menyusut
independen dari aktivitas manusia. Paleodeserts yang besar lautan pasir
sekarang tidak aktif karena mereka stabil oleh vegetasi, beberapa
memperluas luar margin sekarang gurun inti, seperti Sahara .
Desertifikasi mengacu pada baik penyebaran gurun saat ini dan
degradasi tanah di daerah curah hujan rendah. Hal ini disebabkan oleh faktor
alam, seperti kekeringan, dan faktor manusia, seperti berlebihan. Sebuah
iklim dengan variasi suhu harian besar, angin kencang dan curah hujan
intermittent namun intens membuat tanah rapuh rentan terhadap erosi dan
penggurunan.
Kebutuhan manusia meningkatkan menyebabkan penggurunan
melalui overcultivation, berlebihan, penggundulan hutan dan manajemen air
yang buruk. Makan hewan dan kerusakan kayu bakar koleksi vegetasi
memegang tanah bersama-sama. Tanah dipadatkan dengan keras binatang
berkaki kurang mampu menyerap hujan ketika hal itu jatuh dan mudah
terkikis oleh air dan angin. Memotong pohon-pohon untuk kayu bakar daun
unshaded tanah, yang menyebabkan peningkatan suhu tanah dan dalam
tingkat penguapan yang menarik garam ke permukaan. Hal ini semakin
mengurangi pertumbuhan tanaman. Tuntutan tinggi permukaan terbatas
dan cadangan air tanah yang berlebihan dan mengarah ke salinasi lebih
lanjut.
2. Penyebab Desertifikasi
Penggembalaan adalah penyebab utama dari penggurunan di seluruh
dunia. Tanaman daerah semi-kering yang disesuaikan untuk dimakan oleh
jarang tersebar, penggembalaan mamalia, besar yang bergerak dalam
menanggapi curah hujan merata umum untuk daerah ini. Awal manusia
penggembala yang tinggal di daerah semi-kering disalin sistem alam.
Mereka pindah kelompok-kelompok kecil mereka hewan domestik dalam
menanggapi ketersediaan pangan dan air. pergerakan saham biasa tersebut
dicegah berlebihan dari tanaman penutup rapuh.
3. Dampak Desertifikasi
Desertifikasi mengurangi kemampuan tanah untuk mendukung
kehidupan, mempengaruhi spesies liar, hewan domestik, tanaman pertanian
dan orang-orang. Penurunan di cover pabrik yang menyertai penggurunan
mengarah ke erosi tanah dipercepat oleh angin dan air. Afrika Selatan
kehilangan sekitar 3-400 ton lapisan atas tanah setiap tahun. Sebagai
penutup vegetasi dan lapisan tanah berkurang, hujan dampak drop dan-off
meningkatkan dijalankan.
Air hilang dari tanah bukan perendaman ke dalam tanah untuk
memberikan kelembaban bagi tanaman. Bahkan lama-hidup tanaman yang
biasanya akan bertahan mati kekeringan. Penurunan pada tanaman penutup
juga menghasilkan pengurangan jumlah humus dan nutrisi tanaman dalam
tanah, dan produksi tanaman menurun lebih lanjut. Sebagai penutup
tanaman pelindung menghilang, banjir menjadi lebih sering dan lebih parah.
Desertifikasi adalah memperkuat diri, yaitu satu kali proses dimulai, kondisi
yang ditetapkan untuk penurunan terus-menerus.
Dampak utama dari penggurunan berkurang keanekaragaman hayati
dan berkurang kapasitas produktif , misalnya, dengan transisi dari tanah
didominasi oleh shrublands untuk non-pribumi padang rumput. Sebagai
contoh, di daerah semi-kering California selatan, banyak semak pesisir bijak
dan kaparal ekosistem telah digantikan oleh non-pribumi, rumput invasif
karena pemendekan interval membalas tembakan. Dalam Madagaskar 's
dataran tinggi pusat dataran tinggi, 10% dari seluruh negara telah
desertified karena memangkas dan membakar pertanian oleh masyarakat
adat.
4. Langkah Antisipasi
· Untuk menghentikan penggurunan jumlah hewan di tanah harus
dikurangi, memungkinkan tanaman untuk tumbuh kembali. kondisi tanah
harus dibuat menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dengan, misalnya,
mulsa. Mulsa (lapisan jerami, daun atau serbuk gergaji yang meliputi tanah)
mengurangi penguapan, menekan pertumbuhan gulma, memperkaya tanah
seperti membusuk, dan mencegah dan karenanya limpasan erosi. Reseeding
mungkin diperlukan di daerah yang rusak parah. Mulsa dan reseeding adalah
praktek mahal. Namun, pendekatan realistis skala besar hanya untuk
mencegah penggurunan melalui pengelolaan lahan yang baik di daerah
semi-kering.
1. Lahan kering sangat rentan karena variabilitas iklim dan tekanan
manusia. Kerusakan penutup tanah dan tanaman telah
mempengaruhi 70% dari lahan kering di dunia. Selain itu,
negara-negara dan orang-orang yang paling terpengaruh oleh
penggurunan seringkali mereka dengan sumber daya yang
sedikit. Namun adalah mungkin untuk memerangi penggurunan
oleh lestari mengelola lahan kering, merehabilitasi areal yang
rusak, dan dengan mendidik pemuda.
2. Memulihkan dan pupuk tanah, cara mudah dan murah untuk
menyuburkan tanah adalah untuk mempersiapkan kompos, yang
akan menjadi humus dan akan diperbarui tanah dengan bahan
organik.
3. Mengatasi dampak dari angin dengan membangun hambatan
dan menstabilkan bukit pasir dengan spesies tanaman lokal.
4. Reboisasi, pohon memainkan beberapa peran: mereka
membantu memperbaiki tanah, bertindak sebagai pemutus
angin, meningkatkan kesuburan tanah, dan membantu
menyerap air saat hujan deras. Karena pembakaran lahan dan
hutan meningkatkan gas rumah kaca berbahaya, aforestasi -
penanaman pohon baru - dapat membantu mengurangi dampak
negatif akibat perubahan iklim.
5. Mengembangkan praktek-praktek pertanian berkelanjutan, lahan
kering adalah rumah bagi berbagai macam spesies, yang dapat
produk komersial juga becomeimportant: misalnya, mereka
memberikan 1 / 3 dari tanaman obat yang diturunkan di Amerika
Serikat. Pertanian keanekaragaman hayati harus dilestarikan.
Tanah eksploitasi berlebihan harus dihentikan dengan
meninggalkan 'bernafas' tanah selama periode tertentu-waktu,
dengan budidaya tidak, atau penggembalaan ternak.
6. Tradisional gaya hidup, gaya hidup tradisional seperti yang
dipraktikkan di zona kering banyak menawarkan contoh-contoh
hidup harmonis dengan lingkungan. Di masa lalu, nomadisme
terutama disesuaikan dengan kondisi lahan kering; bergerak dari
satu danau ke yang lain, tidak pernah tinggal di tanah yang
sama, masyarakat pastoral tidak mengerahkan banyak tekanan
pada lingkungan. Namun, perubahan gaya hidup dan
pertumbuhan populasi menempatkan meningkatkan tekanan
terhadap sumber daya yang langka dan lingkungan yang rentan.
Jalan Sutra di Asia dan rute Trans-Sahara di Afrika adalah contoh
yang baik dari pertukaran ekonomi dan budaya yang kuat yang
dikembangkan oleh masyarakat nomaden.