Upload
insaani-mukhlisah
View
57
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
manajemen
Citation preview
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Angka pasien skizofrenia di AS cukup tinggi (lifetime prevalance rates) mencapai 1/100
penduduk. Sebagai perbandungan, di Indonesia bila pada PJPT I angkanya adalah 1/1000
penduduk maka proyeksinya pada PJPT II, 3/1000 penduduk, bahkan bisa lebih besar lagi.
Berdasarkan data di AS. Setiap tahun terdapat 300.000 pasien skizofrenia mengalami episode
akut. Prevalensi skizofrenia lebih tinggi dari penyakit Alzheimer, multipel skelosis, pasien
diabtes yang memakai insulin, dan penyakit otot (muscular dystrophy). 20%-50% pasien
skizofrenia melakukan percobaan bunuh diri, dan 10% di antaranya berhasil (mati bunuh diri) .
angka kematian pasien skizofrenia 8 kali lebih tinggi dari angka kematian penduduk pada
umumnya.
Perempuan dengan Skizofrenia dapat dan bisa menjalani kehamilannya. Namun, pada
skizofrenia yang tak terkontrol dapat membahayakan, baik terhadap ibu maupun janin. Lagipula,
pada beberapa wanita, kehamilan dapat menimbulkan gejala skizofrenia meningkat. Pada
skizofrenia angka kesuburan (fertility rate)relatif lebih rendah dari wanita pada umumnya.
Namun, pasien skizofrenia memiliki resiko yang tinggi terhadap kehamilan yang tidak
direncanakan atau diinginkan dan lebih sering tidak menikah dan dengan dukungan dukungan
sosial yang terbatas.
Perbedaan signifikan jenis kelamin ada pada gejala, karakteristik, dan respon pengobatan
skizofrenia. Meskipun schizophrenia secara sederhana memiliki perbandingan yang sama antara
laki-laki dan perempuan, resiko terjadinya lebih kecil pada perempuan. Puncak onset
1
schizophrenia lebih lambat pada wanita, terjadi usia 20 tahunan, selanjutnya lebih jarang pada
usia antara 45-49 tahun.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas skizofrenia pada kehamilan serta pengobatan skizofrenia pada kehamilan
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Memahami definisi skizofrenia, skizofrenia pada kehamilan serta pengobatan skizofrenia
pada kehamilan
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang ilmu kedokteran jiwa.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK UR RSJ Tampan Pekanbaru.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan dari referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada
beberapa literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindroma dengan variasi penyebab (banyak yang
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial
budaya.
Gangguan skizofrenik umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang
mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar (inappropiate) atau tumpul (blunted).
Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan, walaupun
defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Gangguan ini melibatkan fungsi yang
paling mendasar yang memberikan kepada orang normal suatu perasaan kepribadian, keunikan,
dan pengarahan diri. Pikiran, perasaan, dan perbuatan yang paling intim/mendalam sering terasa
atau diketahui oleh atau terbagi rasa dengan orang lain, dan waham-waham dapat timbul, yang
menjelaskan bahwa kekuatan alami dan supernatural sedang bekerja mempengaruhi pikiran dan
perbuatan penderita dengan cara-cara yang sering tidak masuk akal atau bizarre.
Individu mungkin mengganggap dirinya sebagai pusat segala-galanya yang terjadi.
Halusinasi, terutama auditorik, lazim dijumpai dan mungkin memberi komentar tentang prilaku
dan pikiran individu itu. Persepsi sering terganggu, dan kebingungan juga lazim dijumpai pada
awal penyakit dan sering mengakibatkan keyakinan bahwa situasi sehari-hari itu benar memiliki
makna khusus, biasanya bernada seram atau mengancam, yang ditujukan secara khas pada
individu tersebut.
3
Berikut ini merupakan pedoman diagnostik untuk skizofrenia :
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
(a) - Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya
(tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya
berbeda.
- Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal); dan
- Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
(b) - Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar; atau
- Delusion of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar; atau
- Delusion of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
sesuatu kekuatan dari luar.
- Delusional perception : pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
(c) Halusinasi auditorik:
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
- mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara).
4
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagi tubuh
(d) Waham - waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu, atau kekuatan dam kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau komunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
(e) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas,
ataupun disertai ide-ide berlebihan (over- valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus berulang.
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih.
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek kehidupan perilaku pribadi (personal behaviour),
5
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap
larut dalam diri sendir (self absorbed atitude), dan penarikan diri secara sosial.
2.2 Fertilitas
Angka kesuburan pada wanita dengan skizofrenia rendah (30-80%) dibandingkan pada
wanita dengan penyakit psikiatri lainnya dan penyakit umumnya. Walaupun demikian, wanita
dengan skizofrenia bisa hamil karena mereka aktif secara seksual, memiliki pengetahuan yang
kurang tentang kontrasepsi dan seks yang tidak terproteksi.
2.3 Gambaran Klinik Skizofrenia selama Kehamilan
Efek kehamilan pada beratnya gejala dan perkembangan skizofrenia tidak dipelajari
dengan baik, tetapi data yang tersedia mengindikasikan bahwa kehamilan dihubungkan dengan
gejala yang memburuk. Pada satu studi, 9 dari 99 wanita dengan psikosis endogen memiliki
gangguan mental selama kehamilan dan persalinan. Kehamilan pada 88 wanita dengan psikosis
nonorganik memiliki kegelisahan dan kecemasan.
2.4 Komplikasi Perinatal
Dampak kelahiran dan periode neonatus yang dini pada wanita dengan skizofrenia tidak
dipelajari dengan baik. McNeil (1986) menemukan 24%-36% wanita dengan skizofrenia
berkembang menjadi psikosis postpartum. Bukti yang tersedia menyatakan bahwa periode
postpartum menunjukkan sebuah periode dengan resiko relatif tinggi untuk gejala yang buruk,
walaupun tidak setinggi wanita dengan penyakit afektif.
6
Prenatal care pada wanita dengan skizofrenia dan penyakit mental kronik lainnya,
biasanya tidak adekuat. Wanita dengan skizofrenia memiliki angka komplikasi yang tinggi
selama kehamilan dan persalinan, serta dapat menyebabkan kematian bayi. Penelitian belum
menemukan hubungan antara skizofrenia dengan komplikasi perinatal.
Ketidakpatuhan pada prenatal care merupakan faktor penting dan dihubungkan dengan
gelandangan, pengangguran, kehamilan yang tidak direncanakan, dan psikosis. Gejala yang
berhubungan dengan skizofrenia dapat mengganggu kemampuan wanita untuk memahami
kehamilannya. Sebagai contoh, wanita dengan skizofrenia percaya bahwa perutnya yang besar
sebagai tumor dan mencoba untuk menghancurkannya dengan sengaja menggunakan kursi,
meninju perutnya, dan sebagainya.
2.5 Manajemen Kehamilan Pada Perempuan dengan Skizofrenia
Perencanaan keluarga harus didiskusikan dengan seluruh pasien yang masih dalam
kondisi subur. Adanya potensi penolakan, klinisi seharusnya lebih waspada untuk kemungkinan
kehamilan yang tidak diharapkan. Jika pasien perempuan dengan skizofrenia menjadi hamil,
penting untuk menentukan kemampuannya untuk mengurus dirinya sendiri, faktor resiko seperti
merokok, penyalahgunaan zat, akses “prenatal care” dan kemampuannya untuk mengurus
anaknya. Penyerahan kepada petugas prenatal, pekerja sosial, dan pengobatan oleh psikiatri
harus dilakukan. Penggunaan obat-obat anti psikosis pada perempuan hamil harus diawasi
dengan ketat. Pada umumnya penggunaan obat-obat anti psikosis selama kehamilan memiliki
resiko potensi yang merugikan terhadap janin serta perburukan gejala psikosis.
Resiko farmakoterapi anti psikosis secara umum antara lain:
1. hendaya fungsi
7
2. masa perawatan di rumah sakit yang lebih lama
3. kecenderungan untuk bunuh diri dan kekerasan
4. kehilangan pekerjaaan dan dukungan sosial
5. juga mempengaruhi terhadap kehamilan antara lain, malnutrisi, prematur, abortus,
fetal abuse atau neonaticide, serta penolakan prenatal care.
2.6 Efek Antipsikosis terhadap kehamilan
Pada umumnya, seluruh antipsikosis dapat menembus sawar darah plasenta. Efeknya
dapat berupa efek teratogenik, efek pada persalinan, efek toksik pada janin dan neonatus, efek
perubahan perilaku jangka panjang, dan efek pada bayi yang mendapat ASI (Air susu Ibu).
Meskipun pada penelitian inisial yang dilakukan Rumeau-Roquitto menunjukan bahwa insiden
malformasi kongenital akibat fenotiazin (Clorpromazin) sangat besar.
Berbagai gejala telah ditemukan pada bayi yang terpapar anti psikosis selama dalam
kandungan, antara lain, gejala ekstrapiramidal, jaundice, depresi napas, obstruksi usus
fungsional, dan gangguan perilaku. Penelitian pada anak yang terpapar antipsikosis saat dalam
kandungan tidak menampakan efek signifikan jangka panjang pada IQ dan perilaku. Penggunaan
obat-obat untuk mengatasi efek ekstrapiramidal seperti difenhidramin, benztropin, dan
triheksifenidil memiliki efek terhadap minor malformasi, sehingga penggunaannya harus
dihindari. Penggunaan diazepam selama kehamilan, sering dikaitkan dengan kejadian oral cleft,
sedangkan golongan benzodiazepin lainnya belum ditemukan memiliki efek terhadap
abnormalitas malformasi.
Kebanyakan peneliti melarang penggunaan antipsikosis selama trimester pertama bila
memungkinkan. Informed konsen harus dilakukan pada saat permulaan atau lanjutan
pengobatan. Jika tetap harus menggunakan antipsikosis selama kehamilan, maka disarankan
8
menggunakan obat-obat high-potent, karena obat-obat low potent seperti klorpromazin memiliki
efek yang besar malformasi kongenital dan juga memiliki efek hipotensi yang dapat
mengakibatkan insufisiensi uteroplasenta. Cohen dkk, mengungkapkan bahwa, penggunaan
antipsikosis dosis kecil dapat mencegah peningkatan dosis pada episode akut yang dapat
meningkatkan efek toksik terhadap janin. Bila memungkinkan, obat-obat dihentikan 5-10 hari
sebelum waktu kelahiran yang diperkiraan.
2.7 Beberapa Anti Psikosis yang Sering Digunakan
2.7.1. Haloperidol
Haloperidol adalah turunan butiropenon yang mempunyai aktivitas sebagai antipsikotik
dan efektif untuk pengelolaan hiperaktivitas, agitasi dan mania. Reaksi ekstrapiramidal timbul
pada 80% penderita yang diobati dengan haloperidol.
Gambar 1. Formula heksagonal haloperidol
Pada orang normal efek haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol
memperlihatkan efek antipsikotik yang kuat dan efektif untuk mania dan skizofrenia. Efek
penotiazin piperazin dan butiropenon berbeda secara kuantitatif karena butiropenon selain
menghambat efek dopamin, juga meningkatkan turn over ratenya.
9
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma tercapai
dalam waktu 2-6 jam sejak obat diminum, menetap sampai 72 jam dan masih dapat ditemukan
dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam hati dan kira-kira 1% dari
dosis yang diberikan dieksresikan melalui empedu. Eksresi haloperidol lambat melalui ginjal,
kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah pemberian dosis tunggal.
Haloperidol diindikasikan pada keadaan berikut ini:
Psikosis akut dan kronis
Halusinasi pada skizofrenia
Kelainan sikap dan tingkah laku pada anak
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami eksitasi.
Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding klorpromazin (CPZ), sedangkan efek haloperidol
terhadap EEG menyerupai CPZ yakni memperlambat gelombang teta. Haloperidol dan CPZ
sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsif. Haloperidol menghambat sistem dopamin
dan hipotalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
Efek haloperidol terhadap sistem saraf otonom lebih kecil daripada antipsikotik lain,
walaupun haloperidol dapat menyebabkan pandangan mata menjadi kabur (Blurring of Vision).
Obat ini menghambat aktivitas reseptor alpa yang disebabkan oleh amin simpatomimetik, tetapi
hambatannya tidak sekuat hambatan CPZ.
Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering dan sehebat hipotensi akibat
CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardi meskipun kelainan EKG belum pernah dilaporkan.
Seperti halnya CPZ, haloperidol menyebabkan galaktore.
10
Gambar 2. Sediaan Haloperidol
Sedian haloperidol terdapat dalam bentuk tablet : 0,5 mg, 1,5 mg dan 5 mg, serta dalam
bentuk likuor (injeksi) : 2 mg/ml dan 5 mg/ml. Besarnya dosis tergantung kepada umur, keadaan
fisik dan derajat kehebatan gejalanya.
Untuk dewasa dan anak-anak di atas 12 tahun :
- Dosis awal bila gejala sedang : 0,5 mg – 2 mg pemberian 2-3 kali per hari.
- Dosis awal bila gejala berat : 3 mg – 5 mg pemberian 2-3 kali per hari.
Untuk anak 3 -12 tahun : 0,05 mg – 0,15 mg per KgBB per hari terbagi dalam 2-3 dosis
pemberian. Selanjutnya dosis secara bertahap disesuaikan dengan kebutuhan dan toleransi tubuh.
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden tinggi, terutama pada
penderita usia muda. Efek samping ekstrapiramidal akibat penggunaan haloperidol memberikan
gejala Parkinsonisme, akatisia, distonia juga bisa terjadi opistotonus dan okulogirik krisis.
Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai dengan hati-hati. Dapat terjadi depresi akibat
reverse keadaan mania atau sebagai efek samping yang sebenarnya. Perubahan hematologik
11
ringan dan selintas dapat terjadi, tetapi hanya leukopenia dan agranulositosis yang sering
dilaporkan. Frekuensi kejadian ikterus akibat haloperidol rendah. Haloperidol sebaiknya tidak
diberikan pada wanita hamil sampai obat ini terbukti tidak teratogenik.
Efek samping yang bisa ditimbulkan oleh haloperidol adalah tardif diskinesia. Gejala ini
muncul pada pasien dengan terapi jangka panjang atau muncul setelah terapi dihentikan. Risiko
lebih besar terjadi pada orang tua, pada terapi dosis tinggi. Gambaran klinis yang terjadi adalah
gerakan involunter dan berirama, pergerakan lidah, wajah, rahang atau mulut. Kadang-kadang
bisa muncul gerakan involunter pada kaki. Pengobatan yang diberikan untuk gejala tardif
diskinesia antara lain adalah pemberian antiparkinson.
Pemberian haloperidol dengan lithium akan mengurangi metabolisme masing-masing
obat, sehingga konsentrasi plasma kedua obat tidak akan meningkat. Pemberian haloperidol
bersama dengan methyldopa akan menimbulkan efek aditif hipotensif. Pemberian haloperidol
bersamaan dengan antikonvulsan, alkohol, depresan sistem saraf pusat dan golongan opioid
dapat menimbulkan efek potensiasi. Amfetamin dapat menurunkan efek haloperidol. Pemberian
dengan epinefrin akan menimbulkan hipotensi berat.11
2.7.2 Klorpromazin
Klorpromazin (CPZ) merupakan salah satu antipsikosis tipikal. Merupakan kelompok
Fenotiazin, dengan struktur kimia 2-kloro-10-(3-dimetilaminopropil)-fenotiazin. Merupakan obat
pertama yang dikembangkan sebagai antipsikosis. CPZ bekerja pada berbagai reseptor di
susunan saraf pusat, menyebabkan efek antikolinergik, antidopaminergik, antihistamin, dan
antiadrenergik. Efek antikolinergik antara lain konstipasi, sedasi, dan hipotensi dan mengurangi
nausea. CPZ juga memiliki efek anxiolitik (anti-ansietas). Efek antidopaminergik dapat
12
menyebabkan gejala ekstrapiramidal seperti akatisia, distonia, dan parkinsonism, selain itu juga
menyebabkan diskinesia tardive yang dapat bersifat ireversibel. Pemberian dalam bentuk sirup
memiliki efek lebih cepat dibandingkan tablet. Injeksi subkutan tidak dianjurkan, dan pemberian
dibatasi pada keadaan cegukan berat (Hiccup), pembedahan dan tetanus.
CPZ diklasifikasikan sebagai antipsikosis low-potent dan awalnya digunakan sebagai anti
psikosis akut dan kronik, termasuk skizofrenia, gangguan afektif bipolar dengan episode manik.
Saat ini, penggunaan CPZ telah digantikan dengan golongan antipsikosis atipikal yang memiliki
toleransi baik.
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian CPZ yaitu:
Schizoprenia/psikosis, Oral : 30-2000 mg/hari dibagi dalam 1-4 dosis, mulai dengan dosis
rendah, kemudian sesuaikan dengan kebutuhan. Dosis lazim : 400-600 mg/hari, beberapa pasien
membutuhkan 1-2 g/hari. im.,iv.: awal: 25 mg, dapt diulang 25-50 mg , dalam 1-4 jam, naikkan
bertahap sampai maksimum 400 mg/dosis setiap 4-6 jam sampai pasien terkendali. Dosis lazim :
300-800 mg/hari. Cegukan tidak terkendali : Oral, im.: 25-50 mg sehari 3-4 kali. Mual muntah :
Oral : 10-25 mg setiap 4-6 jam, im.,iv., : 25-50 mg setiap 4-6 jam. Orang tua : gejala-gejala
perilaku yang berkaitan dengan demensia : awal : 10-25 mg sehari 1-2 kali, naikkan pada interval
4-7 hari dengan 10-25 mg/hari, naikkan interval dosis, sehari 2x, sehari 3 kali dst. Bila perlu
untuk mengontrol respons dan efek samping; dosis maksimum : 800 mg.
Onset kerja yaitu: IM.: 15 menit; oral: 30-60 menit, absorpsi cepat, distribusi melewati
plasenta dan masuk ke ASI, Vd: 20 L/kg, Ikatan protein 92%-97%, Metabolisme di hati secara
luas menjadi metabolit aktif dan tidak aktif. Bioavailibilitas 20%, Waktu paruh bifasik, awal: 2
jam, akhir: 30 jam, Ekskresi lewat urin dalam 24 jam <1% sebagai bentuk utuh.
13
Kontraindikasi CPZ yaitu hipersensitifitas terhadap klorpromazin atau komponen lain
formulasi, reaksi hipersensitif silang antar fenotiazin mungkin terjadi, Depresi SSP berat dan
koma.
Efek Samping CPZ ssebagai berikut:
Kardiovaskuler : hipotensi postural, takikardia, pusing, perubahan interval QT tidak spesifik.
SSP : mengantuk, distonia, akathisia, pseudoparkinsonism, diskinesia tardif, sindroma
neurolepsi malignan, kejang.
Kulit : fotosensitivitas, dermatitis, pigmentasi (abu-abu-biru).
Metabolik & endokrin : laktasi, amenore, ginekomastia, pembesaran payudara,
hiperglisemia, hipoglisemia, test kehamilan positif palsu.
Saluran cerna : mual, konstipasi xerostomia.
Agenitourinari : retensi urin, gangguan ejakulasi, impotensi.
Hematologi : agranulositosis, eosinofilia, leukopenia, anemia hemolisis, anemia aplastik,
purpura trombositopenia.
Hati : jaundice.
Mata : penglihatan kabur, perubahan kornea dan lentikuler, keratopati epitel, retinopati
pigmen.
Interaksi CPZ sebagai berikut:
Dengan Obat Lain :
Efek klorpromazin dapat ditingkatkan oleh delavirdin, fluoksetin, mikonazol, paroksetin,
pergolid, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirol dan inhibitor CYP2D6 lainnya. Klorpromazin
memperkuat efek penekan terhadap SSP dari analgesik narkotik, etanol, barbiturat, antidepresan
siklik, antihistamin, hipnotik-sedatif.
14
Klorpromazin dapat meningkatkan efek amfetamin, betabloker tertentu, dekstrometorfan,
fluoksetin, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, antidepresan trisiklik dan substrat CYP2D6
lainnya. Klorpromazin dapat meningkatkan efek/toksiksitas antikolinergik, antihipertensi,litium,
trazodon, asam valproat. Penggunaan bersama antidepresan trisklik dapt mengubah respons dan
meningkatkan toksisitas.
Kombinasi dengan epinefrin akan dapat menimbulkan hipotensi. Kombinasi dengan
antiaritmia, cisaprid, pimosid, sparfloksacin dan obat-obat yang memperpanjang interval QT
akan dapat meningkatkan resiko aritmia. Kombinasi dengan metoklopramid akan dapt
meningkatkan resiko gejala ekstrapiramidal. Klorpromazin mungkin menurunkan efek substrat
prodrug CYP2D6 seperti kodein, hirokodon, oksikodon dan tramadol. Klorpromasin mungkin
dapat menghambat efek antiparkinson levodopa dan mungkin dapat menghambat efek pressor
epinefrin.
Dengan Makanan:
Etanol, valerian, St John's wort, kava-kava, gotu kola dapat meningkatkan efek depresi SSP.
Adapun pengaruh CPZ yiatu sebagai berikut:
Terhadap Kehamilan : Dicurigai bersifat teratogenik.
Terhadap Ibu Menyusui : Masuk ke dalam ASI, tidak dianjurkan.
Terhadap Anak-anak : Keamanan terhadap anak< 6 tahun belum ditetapkan
Terhadap Hasil Laboratorium : -
Hati-hati penggunaan pada pasien dengan depresi SSP, penyakit hati dan jantung berat.
Hipotensi mungkin terjadi terutama pada pemberian parenteral. Diskinesia tardif : prevalensi
pada orang tua mungkin 40%. Reaksi ekstrapiramidal lebih umum pada orang tua dan akathisia
adalah gejala yang paling sering muncul. Bingung, lupa, perilaku psikosis, agitasi sering muncul
15
akibat efek antikholinergik. Ortostatik hipotensi karena blokade reseptor alfa pada orang tua
lebih berisiko.
2.7.3 Trifluoperazine
Trifluoferazine memiliki pusat antiadrenergic, antidopaminergic, dan efek minimal
antikolinergic. Bekerja dengan memblokade dopamin reseptor D1 dan D2 di jalur mesocortical
dan mesolimbic, menghilangkan atau meminimalkan gejala-gejala skizofrenia.
Efek samping ekstrapiramidal seperti akatisia, distonia, dan parkinsonisme, sindrom
neuroleptik malignan, penglihatan kabur, dan mulut kering. Kontraindiksasi berupa depresi SSP,
koma, dam diskrasia. Sediaan tab 1-5 mg, dengan dosis terapi 10-15 mg. Trifluorerazine dijual
dengan nama dagang Stelazine.
2.7.4 Risperidon
Risperidon merupakan obat yang lebih baru, bersifat non sedatif, kurang mempunyai efek
antikolinergik, serta kurang aksi blok alfanya. Risperidon memblok resptor 5HT2, tetapi
merupakan antagonis yang jauh lebih poten daripada klozapin pada reseptor D2. Pada dosis
rendah, risperidon tidak menyebabkan efek ekstrapiramidal.
16
Gambar 3. Sediaan Risperidon
Kontraindikasi yaitu pada passien yang hipersensitif terhadap risperidon. Pemberian pada
wanita hamil dan menyusui jika keuntungannya lebih besar daripada resiko. Efek samping yang
umum terjadi yaitu insomnia, agitasi, rasa cemas, dan sakit kepala. Efek samping lain yaitu
somnolen, kelelahan, pusing, konsentrasi terganggu, konstipasi, dispepsia, mual/muntah, nyeri
abdominal, gangguan penglihatan, priapismus, disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi, disfungsi
orgasme, inkontinensia urin, rinitis, ruam, dan reaksi alergi lain.
Dosis risperidon yaitu sebagai berikut:
Hari ke-1: 2 mg/hari, 1-2 kali sehari
Hari ke-2: 4 mg/hari, 1-2 kali sehari
Hari ke-3: 6 mh/hari, 1-2 kali sehari
Dosis umum 4-8 mg/hari. Dosis awal 0,5 mg, 2 kali sehari. Dosis dapat disesuaikan secara
individual dengan penambahan 0,5 mg, 2 kali sehari ( hingga mencapai 1-2 mg, 2 kali sehari).
Interaksi obat yaitu:
Hati-hati pada penggunaan kombinasi dengan obar-obat yang bekerja pada SSp dan alkohol
Risperidone mempunyai efek antagonis dengan levodopa atau agonis dopamin lainnya
karbamazepin dapat menurunkan kadar plasma risperidone
Clozapine dapat menurunkan bersihan risperidone
Fluoksetin dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari fraksi antipsikotik (risperidone dan
9-hydroxy-risperidone) dengan meningkatka konsentrasi risperidone.
17
2.7.5 Olanzapine
Efektif jika dikonsumsi dengan dosis 10-25 mg 1 kali per hari (mulai dengan 5 mg/hari).
Lebih sedikit mengakibatkan gejala ekstrapiramidal dibandingkan risperidon, tetapi
mengakibatkan lebih banyak peningkatan berat badan, efek sedasi, dan hipotensi postural. Secara
umum, selain efek samping, olanzapin tampak setara dengan risperidon.
Gambar 4. Sediaan Olanzapine
18
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3. 1. Kesimpulan
Kehamilan pada pasien schizofrenia merupakan hal yang tidak dapat kita cegah.
Kebanyakan kehamilan tidak direncanakan. Dibutuhkan perhatian khusus terhadap pasien
schizofrenia yang sedang hami., baik dari segi pengobatan, penerimaan pasien terhadap
kehamilannya serta terhadap anak yang akan dilahirkannya. Oleh karena itu, dibutuhkan
pengawasan yang ketat selama kehamilan untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.
3. 2. Saran
a. Diperlukan informasi dan komunikasi antara petugas kesehatan dengan anggota keluarga
agar dapat lebih memperhatikan anggota keluarganya yang menderita schizofrenia agar
tidak terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.
b. Untuk pasangan suami istri dengan istri yang memiliki riwayat schizofrenia, dibutuhkan
konsultasi dan informed consent, baik dalam perencanaan kehamilan, penggunaan obat-
obatan dengan efek samping minimal, serta mencegah timbulnya eksaserbasi gejala pada
saat kehamilan.
19