9
Redaktur : Ana ‘Siopi’, Andri ‘Jambu’, Annisa ‘BuAya‘, Iwa Mayasari, Izzatul Lilin, Jeffry Sodiq, Kristian Patrasio, Laura Valencia, Raras Parafitra, Rifkan Editor : Aya & Rifkan Layout : Laura EDISI JULI-SEPTEMBER Vol. 01 Putussibau, Kalimantan Barat, Indonesia MATA BORNEO Jendela Informasi Kapuas Hulu Titik Nol Laskar Borneo Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, itulah kalimat pembelajaran terbaik bagi para Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar untuk mengarungi luasnya kisah dan dinamika pendidikan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ada pembelajaran dari setiap pengalaman yang didapatkan, ada peristiwa untuk dikabarkan, ada inspirasi yang siap disebarkan dari apa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari di belantara khatulistiwa ini. Semangat itulah yang melatarbelakangi lahirnya “Mata Borneo”, suatu buletin yang berisikan kumpulan pengalaman, informasi dan cerita yang tertangkap oleh hati dan mata sepuluh Pengajar Muda Kapuas Hulu bersama berbagai kontributor baik dari siswa, guru, hingga tokoh pendidikan Kapuas Hulu. Dengan tujuan menyebarkan semangat melalui serangkaian karya tertulis yang dikemas menjadi sumber informasi, Mata Borneo diharapkan menjadi inspirasi yang mengalir dari mata hingga ke hati para pembaca. Inilah Mata Borneo edisi pertama, mengawali dinamika pengalaman dan cerita dari Kapuas Hulu untuk semua. Selamat MATA HATI ............ 2 KAPUAS HULU, Kalimantan Barat menjadi salah satu daerah penem- patan para Pengajar Muda dari Indo- nesia Mengajar angkatan 6. Berikut merupakan cerita dari para Penga- jar Muda ketika mereka memasuki ragam situasi yang membuahkan pengalaman, opini, dan pembela- jaran. RUBRIK - MATA HATI - MATA INSPIRASI - MATA SISWA - MATA BUDAYA - RUANG BELAJAR - GALERI FOTO DAERAH PENEMPATAN KAPUAS HULU membaca!!l (Red.) MATA BUDAYA ....... 7 SETIAP DAERAH memiliki dinamika budaya tersendiri. Ikuti kisah para pengajar muda menyelami tradisi masyarakat setempat dalam Mata Budaya. MATA SISWA ......... 6 INGIN TAHU bagaimana para siswa binaan para pengajar muda berkarya? Lihat karya mereka dalam Mata Siswa. MATA INSPIRASI .... 5 INSPIRASI DARI setiap perjalanan dapat menjadi pembelajaran besar dan menggali jalan menuju perubahan. Mata Inspirasi hadir membawa semangat dan makna dari ragam peristiwa sebagai benih inspirasi untuk perubahan. Jalan Lintas Kalimantan bukanlah jalan yang mudah, kombinasi dari turunan dan tanjakan tajam serta lubang-lubang random yang bertebaran. Dibutuhkan lebih dari 20 jam dari Pontianak, ditambah 2-10 jam untuk menuju desa penempatan. Perjalanan menuju desa-desa terdalam di Kapuas Hulu tidak pernah membosankan meski sangat melelahkan. Sungai, danau dan pegunungan menyuguhkan pemandangan yang masih alami dan menyejukkan. Kapuas Hulu adalah kabupaten multi etnis. Suku yang dominan adalah Dayak, Tionghoa dan Melayu Kalimantan. Ada 23 kecamatan di kabupaten yang luasnya menyamai luas Provinsi Jawa Barat, Jakarta dan Banten digabungkan menjadi satu ini.

Mata Borneo Vol. 01

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sekelumit cerita tentang keseharian para Pengajar Muda Angkatan VI Kabupaten Kapuas Hulu

Citation preview

Page 1: Mata Borneo Vol. 01

Redaktur : Ana ‘Siopi’, Andri ‘Jambu’, Annisa ‘BuAya‘, Iwa Mayasari, Izzatul Lilin, Jeffry Sodiq, Kristian Patrasio, Laura Valencia, Raras Parafitra, RifkanEditor : Aya & RifkanLayout : Laura

EDISI JULI-SEPTEMBER

Vol. 01

Putussibau,Kalimantan Barat,Indonesia

MATA BORNEOJendela Informasi Kapuas Hulu

Titik Nol Laskar Borneo

Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, itulah kalimat pembelajaran terbaik bagi para Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar untuk mengarungi luasnya kisah dan dinamika pendidikan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ada pembelajaran dari setiap pengalaman yang didapatkan, ada peristiwa untuk dikabarkan, ada inspirasi yang siap disebarkan dari apa yang

dialami dalam kehidupan sehari-hari di belantara khatulistiwa ini. Semangat itulah yang melatarbelakangi lahirnya “Mata Borneo”, suatu buletin yang berisikan kumpulan pengalaman, informasi dan cerita yang tertangkap oleh hati dan mata sepuluh Pengajar Muda Kapuas Hulu bersama berbagai kontributor baik dari siswa, guru, hingga tokoh pendidikan Kapuas Hulu.

Dengan tujuan menyebarkan semangat melalui serangkaian karya tertulis yang dikemas menjadi sumber informasi, Mata Borneo diharapkan menjadi inspirasi yang mengalir dari mata hingga ke hati para pembaca. Inilah Mata Borneo edisi pertama, mengawali dinamika pengalaman dan cerita dari Kapuas Hulu untuk semua. Selamat

MATA HATI ............ 2Kapuas Hulu, Kalimantan Barat menjadi salah satu daerah penem-patan para Pengajar Muda dari Indo-nesia Mengajar angkatan 6. Berikut merupakan cerita dari para Penga-jar Muda ketika mereka memasuki ragam situasi yang membuahkan pengalaman, opini, dan pembela-jaran.

RuBRIK- MATA HATI- MATA INSPIRASI- MATA SISWA- MATA BUDAYA- RUANG BELAJAR - GALERI FOTO

DAERAH PENEMPATAN KAPUAS HULU

membaca!!l (Red.)

MATA BUDAYA ....... 7setIap daeRaH memiliki dinamika budaya tersendiri. Ikuti kisah para pengajar muda menyelami tradisi masyarakat setempat dalam Mata Budaya.

MATA SISWA ......... 6IngIn taHu bagaimana para siswa binaan para pengajar muda berkarya? Lihat karya mereka dalam Mata Siswa.

MATA INSPIRASI .... 5InspIRasI daRI setiap perjalanan dapat menjadi pembelajaran besar dan menggali jalan menuju perubahan. Mata Inspirasi hadir membawa semangat dan makna dari ragam peristiwa sebagai benih inspirasi untuk perubahan.

Jalan Lintas Kalimantan bukanlah jalan yang mudah, kombinasi dari turunan dan tanjakan tajam serta lubang-lubang random yang bertebaran. Dibutuhkan lebih dari 20 jam dari Pontianak, ditambah 2-10 jam untuk menuju desa penempatan. Perjalanan menuju desa-desa terdalam di Kapuas Hulu tidak pernah membosankan meski sangat melelahkan. Sungai, danau dan pegunungan menyuguhkan pemandangan yang masih alami dan menyejukkan. Kapuas Hulu adalah kabupaten multi etnis. Suku yang dominan adalah Dayak, Tionghoa dan Melayu Kalimantan. Ada 23 kecamatan di kabupaten yang luasnya menyamai luas Provinsi Jawa Barat, Jakarta dan Banten digabungkan menjadi satu ini.

Page 2: Mata Borneo Vol. 01

UPACARA PERTAMA: KEBUN SAWIT PUN MENJADI SAKSI MATA HATI

BELAJE BOH, MISS!“Terkadang apa yang bisa didapat dengan mudah membuat manusia tidak mensyukurinya.” Awal September kemarin, desa memutuskan untuk menghentikan aliran listrik. Banyak rumah yang menunggak pembayaran. Hutang bertumpuk, membuat para pengurus kewalahan. Ada yang belum membayar sampai 6 bulan, kata mereka. Geram? Pasti. Membayar 60.000 atau 150.000 rupiah per bulan jauh lebih baik daripada penggunaan genset pribadi yang bisa sampai Rp. 30.000,- per malam. Walaupun jauh dari ibu kota, jaman dulu pulau ini sama-sama dijajah. Tentara Jepang masuk sampai kampung terpelosok. 27 anggota PKI di desa ujung turut ditangkap diiringi isak tangis sanak saudara. Mirisnya, ketika sekarang pulau seberang sudah maju dan sesak, desa ini belum terlalu berubah. Listrik belum ada, jalan tidak memadai, harga barang melambung 2 sampai 3 kali lipat sementara penghasilan tidak menentu. Negara bagi mereka mungkin sekedar pemberi empat karung raskin setiap 3 bulan. Kegelapan lalu membuat manusia merasakan betapa berharganya secercah sinar. Bagaimana aktivitas begitu terhambat saat mentari terbenam. Senja seakan menjadi alarm yang mengingatkan usainya

hari. Ditambah lagi akhir-akhir ini langit selalu dipenuhi awan tebal. Bulan bintang yang biasanya benderang tak jua kelihatan. Malam ini ada jadwal les. Kupikir tidak ada anak yang datang, apalagi

banyak yang tinggal cukup jauh dari rumah dinasku. Tapi tunggu, apa itu? Titik-titik terang yang perlahan mendekat? Kinoi, rupanya itu para muridku! Sekitar 20 anak datang dari kam-pung hulu dan hilir, menenteng buku bahasa Inggris beserta alat tulis.

Saya terharu. Anak-anak itu tetap bersemangat belajar tak peduli keterbatasan di sekeliling mereka. Meskipun desa sedang hujan badai, dipenuhi asap dari pembakaran ladang, atau gelap gulita seperti

malam ini, tetap banyak anak yang datang mengikuti les. Saya jadi bersyukur mengalami saat-saat ini. Jadi diingatkan lagi kalau bahagia itu sederhana. Bahwa batas nyaman dan sulit sebenarnya tipis, yang ada hanyalah kebiasaan. Standar ditentukan keseharian, dan rasa terbentuk oleh pengalaman.

Betapa mudah untuk mensyukuri hal yang jarang didapat, betapa mudah menganggap biasa apa yang bisa diperoleh setiap hari, dan betapa mudah menghujat ketika ada hal-hal biasa yang hilang.

Namun lihat anak-anak itu, dalam kondisi apapun mereka tetap tertawa lepas tanpa beban. Tak ada keluhan akan gelap, tidak ada protes saat laptop yang biasa dipakai un-tuk menonton tergolek diam kehabisan baterai. Mereka se-mua tetap menatapku dengan antusias : “Belaje boh, Miss!“(belajar yuk, Miss!) Itulah sekelumit cerita yang kualami di desa Kepala Gurung. Desa yang terletak di perbukitan jantung Borneo, 50 km dari Putu-ssibau. Letaknya yang tidak strategis membuat kabupaten ini kesulitan mengakses apapun. Logistik dan barang jadi harus dikirim dari Pontianak melewati 840 km perjalanan, bahkan sebagian masyarakat sini lebih memilih membeli sembako asal Malaysia yang lebih murah dan

berkualitas baik. Perbatasan yang kekurangan

personel, anak-anak yang bingung apa kewarganegaraan mereka, anak kelas VI yang belum pandai baca tulis, menjadi cerita sehari-hari disini. Inilah Kapuas Hulu. Inilah Indonesia. Inilah Negeriku. (Laura. V)

2 Bla Bla Bla Exero 01, 5555

peRnaHKaH anda menyanyikan Lagu Indonesia Raya dengan hati bergetar hingga tak terasa air mata jatuh mengalir di kedua pipi? Sensasi seperti itu baru tiga kali saya rasakan. Pertama, ketika m e n o n t o n pertandingan sepak bola Tim Indonesia mela-wan Malaysia di Gelora Bung Karno, Jakarta. Kedua, ketika menggenggam bendera merah putih di kawasan Hutan Kareumbi pada pelatihan k e p e m i m p i -nan bersama Wanadri. Dan ketiga, saat upacara ben-dera bersama siswa dan masyarakat di Desa Sungai Putat, Kapuas Hulu. Hari Kemerdekaan ke-68 di bumi Kalimantan Barat ini terasa berbeda dari sebelumnya. Upacara ben-dera di bumi Uncak Kapuas (baca: Kabupaten Kapuas Hulu) membuka kembali makna tentang Ke-Indone-sia-an. Para siswa serta masyarakat

mengikuti upacara bendera dengan sarat makna dan khidmat. Makna tentang bagaimana mereka begitu

menghargai dan memberikan yang terbaik. Terpana saya menyaksikan mereka sibuk berkemas sejak pagi, mencari baju terbaik, menyiapkan seragam merah-putih, sampai me-ninggalkan pekerjaan mereka. “Bu, ini upacara pertama kami!” ucap seorang Bapak kepada saya dengan sangat antusias. Iya, upac-

ara pertama bagi beberapa dari mereka, kebun sawit dan rimba pepohonan menjadi

saksi. Menjadi benar ketika saya kembali tersa-darkan bahwa upacara bukan sekedar serag-am licin putih bersih semata, bukan sekedar barisan rapih tanpa cela, atau bukan sekedar berdiri lama dan berpanas-panasan. Akan tetapi, upacara p e r i n g a t a n kemerdekaan adalah tentang memberik an kepada negeri ini (baca: Indo-nesia) secara

optimal apa yang bisa dilakukan, apakah mengibarkan bendera atau menyanyikan lagu kebangsaan. Mereka mungkin baru pertama kali menyaksikan bendera berkibar secara langsung, mereka mung-kin tidak tahu bagaimana sikap hormat yang sesungguhnya (ada yang mengangkat tangan ke dahi,

ada yang menutup pipi, bahkan ada yang hormat menggunakan tangan kiri), atau mereka mungkin saja bisa memilih untuk menoreh atau be-kerja. Pada nyatanya, saat ini mereka memilih untuk berkata: Selamat Ulang Tahun Indonesia! (Iwamaya)

-Namun kegelapan tak menghalangi anak-anak untuk beramai-ramai datang belajar ke rumah, mencari ilmu ditemani pelita dan senter-

MATA BORNEO Vol. 01 2

Page 3: Mata Borneo Vol. 01

COMING SOON : FESTIVAL ANAK KAPUAS HULU (FAK)

Exero 01, 5555 Bla Bla Bla 3

KADO TERBAIK (Suatu Kisah di Hari Kemenangan)

desa tempat saya mengajar merupakan desa dengan mayoritas penduduk yang tidak merayakan Hari Raya Idul Fitri. Desa Nanga Lungu, Kabupaten Kapuas Hulu merupakan desa dengan mayoritas beragama Protestan. Agar tetap dapat merayakan hari kemenan-gan dan melaksanakan shalat Ied, saya pergi ke desa terdekat, yakni Desa Landau Badai. Desa Landau Badai terletak lebih hilir dari Desa Nanga Lungu dengan jarak sekitar 1 jam per-jalanan dengan berjalan kaki. Penduduk desa itu terbagi dua; 50% beragama muslim dan 50% nasrani. Seluruh penduduk adalah orang Dayak, namun mereka yang sudah menjadi muslim disebut Melayu. Hal itu menjadi keu-nikan di bumi Kapuas ini; pindah agama berarti juga mengubah identitas suku mereka.

Merayakan hari raya jauh dari rumah dan ke-luarga merupakan suatu hal yang baru. Setiap Hari Raya Idhul Fitri, pasti saya berkumpul ber-sama keluarga di Pulau Bali.

Tahun ini menjadi berbeda ketika langkah saya berjalan jauh menelusuri kehidupan di Pulau Kalimantan. Sejak H-2 lebaran saya sudah siap berkemas. Murid-murid yang saya didik datang dan membantu mengemasi barang. Setelah beberapa jam mengemasi barang. Akh-irnya, semua barang terkemas dalam tas karier 40 Liter. “Lubah Pak angkat ke Desa Landau Badai” kata salah satu murid. Salam dan lamba-ian penuh semangat terbalas untuk mereka.

Sampailah di Desa Landau Badai, hari lebaran pun tiba. Suasana lebaran sangat kental di desa ini. Setelah selesai Shalat Eid, saya pergi kandau (baca:berkunjung) ke rumah penduduk desa dari hulu sampai hilir, dan mengunjungi hampir seluruh rumah penduduk desa.

Suasana lebaran ini tidak jauh berbeda dari tradisi lebaran yang pernah saya jalani, seperti berkunjung ke rumah orang, mencicipi kue leb-aran dan “sungkem” dengan pemilik rumah.

Perbedaan istimewa terjadi ketika murid-murid dari Nanga Lungu menyusul saya ke Desa Landau Badai hanya untuk mengucapkan Selamat Lebaran. Senyum manis dan semangat menjadi kado dari mereka saat menghampiri saya. Saya sangat terkejut! Momentum itu sangat istimewa. Kedatangan mereka bagi saya bukan hanya tentang ungkapan rasa sayang terhadap guru, tetapi tentang rasa toleransi yang ditunjukkan sesama manusia. Secara bergantian mereka mengucapkan; “Selamat Hari Raya Idul Fitri, Pak, mohon maaf lahir dan batin.”

Mereka tidak merayakan Idul Fitri namun mereka membagi senyum, semangat, dan kehangatan kepada saya. Mengingatkan saya bahwa di sini pun saya berkumpul dengan ke-luarga. Kado terindah di hari kemenangan ini, bukan hanya tentang senyum dan perhatian, tetapi tentang ketoleransian yang tulus dari mereka. (Jefry)

“Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin”

KE-INDONESIA-AN VS KETIDAKPAHAMAN “Sebutkan satu provinsi yang telah lepas dari wilayah RI dan menjadi negara sendiri?” tanyaku kepada siswa kelas 5 dan 6 yang sedang cerdas cermat pelajaran IPS siang itu. “10..9..8..7..6..5..4..3..2..1..angkat semua kertas jawabannya!” Kami menghitung bersama dan saat waktu habis, kelima juru bicara tiap kelompok mengangkat kertas jawabannya. Urut dari kelompok 1 yaitu kelompok Kalimantan hingga kelompok Papua membacakan jawabannya. Ya, jawaban polos mereka yang membuatku terpukul atau mungkin tersungkur ke tanah. “Belanda.” “Belanda-Jepang” “India” “Sulawesi” dan yang paling membuatku kaget adalah jawaban “Kalimantan Barat” emosiku rasanya ingin meluap, air mataku hampir saja menetes melihat jawaban tersebut. Bukan, bukan karena mereka tidak bisa menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Bukan juga karena mereka tidak bisa membedakan provinsi, negara, dan nama pulau, tapi karena perih hati ini melihat anak - anak sepolos mereka menganggap provinsinya sendiri sudah lepas dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Sebelum aku menghakimi mereka karena terbawa emosi, aku mencoba bertanya baik - baik pada mereka. “Kalian tinggal di provinsi mana?” “Kalimantan Barat, Bu,” hampir semua siswa dapat menjawab pertanyaan tersebut. “Apakah Kalimantan Barat sudah menjadi negara sendiri?” “Sudah Buuuuuu,” serentak mereka menjawab dengan diiringi pelototan mataku karena tak percaya dengan jawaban mereka. Mungkin karena mereka terbiasa dengan ekspresiku jika jawaban mereka salah, maka beberapa dari mereka langsung menarik jawabannya. “Eh, tidak bu tidak,” “Terus, apakah Kalimantan Barat masih di negara Indonesia?” “Tidak, Bu.” Astagfirullah, harus berbuat apa aku ini? Cukup panjang aku menghela nafas mendengar jawaban mereka. Entah karena mereka tidak konsentrasi sehingga asal menjawab atau memang seperti itulah pengetahuan mereka. Padahal setiap hari Senin mereka menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan mengibarkan Sang Merah Putih, tiap hari pula mereka menggunakan seragam merah putih, setiap hari pula di sekolah aku membiasakan mereka menggunakan

bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi mengapa? Mulai kemarin aku mengajar kelas I-IX hanya dengan satu guru honor yang memegang mata pelajaran SBK (Seni Budaya dan Keterampilan) dan Penjaskes. Hari ini aku mengajar kelas 3 sampai 6 di jam pertama dan kedua secara bersamaan. Kelas 3 mengerjakan tugas Pkn (Pendidikan Kewarganegaraan) dengan tenang, kelas 4 mencari berbagai macam daun untuk kemudian dilabeli dengan penggolongan jenis tulang daunnya, sedangkan kelas 5 dan 6 aku jadikan satu untuk cerdas cermat Bahasa Inggris kemudian jam kedua dilanjutkan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Pelajaran Bahasa Inggris berjalan dengan lancar dan sangat menyenangkan, sedangkan pelajaran IPS... ya begitulah yang terjadi. Antara kesal dengan guru mata pelajaran IPS yang mengajar dan miris dengan pengetahuan mereka tentang daerah tempat tinggalnya sendiri. Tapi aku cukup tenang ketika aku kembali melontarkan pertanyaan lanjutan tentang kebaradaan Kalimantan Barat. “Apakah kalian orang Indonesia?” “Iyaaaaaa, Bu.” “Jadi apakah Kalimantan Barat masih menjadi bagian dari Indonesia?” “Masih Bu, kami memang ada di Indonesia”.

Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Kapuas Hulu ini memang kabupaten yang paling dekat dengan perbatasan Malaysia. Barang - barang yang digunakan di sini banyak yang berasal dari Malaysia, bahkan saat berbelanja di perbatasan orang - orang di sini menggunakan Ringgit dan bukan Rupiah. Namun, anak - anak perbatasan ini sebenarnya sadar mereka anak Indonesia, hanya saja karena lebih banyak sentuhan aroma perbatasan jadi terkadang mereka tidak terpikir akan tanah airnya. Anak - anakku, walaupun Ibu beberapa kali melihat kalian memakai baju dengan bendera Malaysia, melihat ibu - ibu kalian lebih memilih gula subsisdi pemerintah Malaysia daripada buatan Indonesia, atau ayah abang kalian lebih memilih merantau ke Malaysia untuk ngaret, dalam hati kecil Ibu berkata bahwa kalian memiliki semangat ke-Indonesiaan yang tinggi. Semoga di masa kalian menjadi garda terdepan kampung halaman, atribut ke-Indonesiaan sudah lebih terpahami di sini. (Raras)

-Senyum anak-anak Nanga Lauk-

MATA BORNEO Vol. 01 3

Page 4: Mata Borneo Vol. 01

DETIK MENJELANG PERAYAAN HUT RI KE-6815 AGUSTUS 2013,

Malam yang tenang, kerlip gerombolan kunang-kunang tampak indah sebab tiadanya lampu listrik. Inilah waktu rapat dengan masyarakat terkait acara peringatan 17 Agustus 2013, dan sangat banyak warga yang hadir. Para warga meminta saran-saran terkait acara HUT RI ke-68 nanti kepada saya. Saya menjelaskan, bahwa putra-putri mereka telah berlatih menjadi pengibar bendera dan petugas upacara lainnya. Oleh karena itu saya usulkan untuk mengadakan upacara bersama warga desa Jangkang, dengan sebagian petugas diambil dari warga. Setelah itu barulah berbagai perlombaan diselenggarakan untuk menambah kemeriahaan HUT RI di desa Jangkang. Dua buah lentera tampak mulai meredup seiring semakin lamanya rapat berlangsung. Banyak perlombaan yang diusulkan oleh warga, saya hanya menampung dan mencatatnya dengan bantuan cahaya dari lentera yang kian meredup. Angin dari luar rumah semakin dingin. Jam tepat menunjukkan pukul 24.00. Saat itu tiga lembar kertas A4 sudah sangat penuh coretan. Dalam kertas-kertas itu sudah ada catatan tentang rangkaian acara dan list hadiah-hadiah perlombaan. Sesaat saya berfikir darimana uang untuk menyediakan hadiah-hadiah ini? Kepala Desa Jangkang dengan usulan dari Pak Kepala Dusun ternyata bersedia menyiapkan anggarannya dari kas desa. Baru kali ini saya rasakan desa yang sangat kompak dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia.

16 AGUSTUS 2013,

Desa berkemas menjelang keramaian 17 Agustus-an, ramai-ramai warga memasang bendera “umbul-umbul” di sepanjang jalan

menuju desa. Gapura tampak megah berdiri di depan kantor desa yang belum selesai dibangun. “Jalan di tempat, Grak!” “Langkah tegak maju, jalan!”. Aba-aba ini sangat sering saya dengarkan dari anak-anak. Mungkin saya pikir mereka selalu memperhatikan kakak-kakaknya berlatih mengibarkan bendera dalam formasi sembilan yang saya ajarkan.

17 AGUSTUS 2013,

Hari yang ditunggu sudah datang. Kicauan burung-burung terdengar indah di pagi yang cerah, berbeda dari hari-hari sebelumnya yang kerap dikurung mendung. Segera saya mandi di sungai. Airnya tidak terlalu bersih, tetapi sangat menyegarkan. Air merah khas sungai rawa dengan kedalaman sekitar tiga meter.Upacara segera dimulai. Tampak tiga barisan utama yang terdiri dari pasukan pelajar SD, pelajar SMP, dan pasukan warga. Upacara berlangsung tidak terlalu khidmat, tetapi sangat saya rasakan bagaimana kesungguhan dan nikmatnya peringatan upacara 17 Agustus pertama di Pulau Kalimantan. Nampak bapak ibu yang mewakili para warga memakai pakaian terbaiknya. Saya semakin terharu, apalagi sesaat bendera pusaka mulai berkibar dengan pasukan sembilan yang mengiringinya dengan gagah.Berbagai perlombaan langsung diadakan setelah selesai upacara HUT RI, dari perlombaan anak-anak sampai dengan perlombaan orang dewasa yang sangat meriah. Semua bergerak menyukseskan kegiatan tanpa kenal siapa panitia ataupun bukan. Senin sore acara selesai, ditutup dengan penyerahan berbagai hadiah dan nonton bareng hasil dokumentasi dari kegiatan HUT RI tersebut.(Andri)

GALERI FOTOSemangat 17 Agustusan di Berbagai Daerahsiapapun yang lahir di bumi nusantara ini adalah warga negara Indonesia, tidak peduli suku, agama, kedudukan, atau tempat dimana dia tinggal.Desa-desa tempat kami mengajar mungkin jauh dari pusat pemerintahan, kesulitan akses dengan infrastruktur yang minim. Namun semangat mereka untuk menyambut hari kemerdekaan patut diacungi jempol. Bendera yang sudah pudar menjadi merah muda, lagu wajib yang salah nada dan terik matahari yang menyengat tak menyurutkan langkah untuk berkumpul bersama merayakan ulang tahun Indonesia.

Desa Kepala Gurung, Kecamatan Mentebah

Desa Sungai Putat, Kecamatan Silat Hilir

Desa Nanga Lauk, Kecamatan Embaloh Hilir

Desa Nanga Lungu, Kecamatan Silat Hulu

4 Bla Bla Bla Exero 01, 5555 MATA BORNEO Vol. 01 4

Page 5: Mata Borneo Vol. 01

di perahu bermesin tempel yang memerlukan BBM bernilai lebih dari satu juta rupiah untuk sekali jalan. Belum terbukanya akses jalur darat dari kawasan Taman Nasional Betung Kerihun yang menjadi pusat “paru-paru dunia” juga

menjadi faktor utamanya ketiadaan sinyal di desa kami. Tapi, kemewahan listrik yang menerangi sepanjang hari hingga malam sudah dapat dinikmati sejak tahun lalu dengan pembangunan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Ini adalah cerita tentang pembuktian bahwa pendidikan adalah modal perubahan, bahwa gerakan adalah alur kegiatan efektif untuk mencapai hasil maksimal dan juga tentang kerja keras dan percaya diri yang menjadi kunci meraih mimpi. Ini juga kisah tentang bagaimana anak-anak terpelosok di

belantara Hutan Kalimantan sekalipun dapat berprestasi di tingkat Nasional jika “ditemukan”. Ini adalah hasil dari sebuah gerakan yang dilakukan bersama dan simultan dari berbagai pihak baik dari Guru, Kepala Sekolah, Instansi terkait, Kepala Daerah, Orang Tua maupun seluruh dukungan do’a Warga Desa. Tentu saja aktor utama adalah mereka, Niko dan Tera. Kisah ini bermula dari email Panitia KJSA 2013 yang mengabarkan bahwa Niko dan Tera mendapat kesempatan sebagai finalis dan berhak ke Jakarta untuk mengikuti penjurian dalam kategori Teknologi Terapan Sederhana. Karya ilmiah mereka tentang “Waterhole, sistem otomatis pemompa air dari dalam perahu tanpa bahan bakar” yang lolos hingga 18 besar ini pertama kali dirancang oleh Pengajar Muda sebelumnya. Pengajar Muda hanya “menemukan” saja, semua kerja keras patut kita apresiasi kepada mereka berdua. Niko, siswa yang aku daftarkan sebagai ketua tim memang benar-benar sudah paham tentang alur kerja penelitian yang

IBu pendeta yang juga menjadi Guru Agama tiba-tiba datang ke rumah dinasku siang tadi. Ketika itu sedang jam istirahat kedua dan aku sedang bersiap untuk Sholat Dzuhur. Setelah berwudhu di tong penampung hujan belakang rumah dinas, Ibu Pendeta itu setengah berteriak memanggil “Pak Guru...”. dan, kabar yang paling aku tunggu akhirnya datang juga. Niko dan Tera akan berangkat ke Singapura tanggal 23 September nanti dan harus segera “turun” ke kota untuk membuat Passport, begitu Ibu Pendeta meneruskan kabar yang dikirimkan lewat gelombang Radio dari kota. Niko dan Tera, mereka bersahabat baik. Keduanya sekarang duduk di kelas enam SD, meski dari hitungan umur harusnya mereka sudah di level pendidikan s e l a n j u t n y a . Mereka sempat beberapa kali tinggal kelas karena berbagai kondisi yang memaksa. Kadang mereka harus ikut membantu orang tuanya kerja ke Hulu Kapuas atau masuk belantara hutan Kalimantan bermalam-malam lamanya, atau juga karena memang tenaga pengajar yang tidak menentu kehadirannya. Meski begitu, mereka sudah terbang dengan pesawat dua kali, dan akan terbang keluar negeri ketika masih memakai seragam merah-putih. Ini bukan mimpi, juga bukan sebuah keajaiban. Ini efek nyata dari sebuah gerakan. Bahwa sebenarnya ketika kesempatan dan persiapan yang matang bertemu dalam sebuah titik, maka kemenangan sangat mungkin untuk didapatkan oleh siapa pun, bahkan oleh anak pelosok. Nanga Bungan adalah sebuah dusun yang termasuk dalam bagian dari Desa Bungan Jaya, sebuah desa yang terletak paling ujung di bagian Hulu Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Setelah desa kami ini, sudah tidak ada lagi peradaban manusia di aliran Sungai Kapuas. Tidak ada pilihan lain selain “mempertaruhkan nyawa” melewati beberapa jeram berbatu raksasa untuk mencapai desa ini. Perlu waktu paling cepat enam jam duduk

berhasil kami lakukan. Pengajar Muda hanya membantu menjelaskan tentang penerapan Prinsip Bernoulli dan Hukum Archimedes sebagai latar belakang ilmiah yang mendukung teknologi terapan yang sangat khas dan sudah diterapkan sejak lama oleh “orang hulu” Kapuas. Persiapan tentu membutuhkan waktu dan strategi, termasuk di dalamnya adalah motivasi untuk meningkatkan kepercayaan diri. Ternyata, bukan masalah menjelaskan konsep ilmiah tersebut yang menjadi tantangan terbesar dalam persiapan kali ini. Justru penuturan penjelasan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar lah yang harus terus

dipersiapkan berhari-hari. Tenun kebangsaan yang dirajut dan disatukan lewat Bahasa Indonesia telah menjadi perekat semangat mereka untuk lebih mengenal Indonesia. Bahkan Niko belum pernah ke Pontianak sebelumnya, tapi kini mereka telah melihat bagaimana Jakarta yang menjadi Ibukota Negaranya. Lihatlah bagaimana besarnya efek pendidikan pada seseorang! Aku selalu percaya bahwa kesempatan dan kesiapan adalah dua kunci utama untuk memaksimalkan rencana keberhasilan. Kisah ini kembali menjadi bukti, bahwa ketika bahkan anak pelosok sekalipun diberi kesempatan mengukir prestasi, maka dengan persiapan yang matang, mimpi tentang prestasi apapun akan dapat dipenuhi. Selamat dan Apresiasi kepada kalian anak-anak didikku, Niko dan Tera. Kami bersyukur dan juga bangga dengan prestasi kalian. Ini adalah efek nyata dari sebuah kepercayaan diri yang dibangun dari sebuah kesempatan yang datang dan dipertanggungjawabkan dengan persiapan yang matang.(Rifki Furqan)

“Ketika kesempatan dan persiapan yang matang bertemu dalam sebuah

titik, maka kemenangan sangat mungkin untuk didapatkan oleh siapa pun, bahkan oleh anak

pelosok.”

Exero 01, 5555 Bla Bla Bla 5

NIKO-TERA: KEBERHASILAN ANAK BORNEO MENUJU SINGAPURA

MATA INSPIRASIMATA BORNEO Vol. 01 5

Page 6: Mata Borneo Vol. 01

agustus 2013. Inilah pertama kali kami merayakan 17 Agustus di SDN 06 dan SMP 04 Satu Atap secara bersamaan, di Desa Teluk Aur, Kec. Bunut Hilir, Kab. Kapuas Hulu-Kalimantan Barat. Bagiku dan teman-teman yang lain perayaan ini sangatlah menyenangkan. Aku senang karena bisa merayakan hari kemerdekaan walaupun tidak pada hari dan waktu yang tepat. Waktu itu kami merayakan hari kemerdekaan pada 19 Agustus. Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar, walaupun ada beberapa guru yang tidak hadir dalam acara tersebut. Banyak sekali acara yang diadakan seperti beberapa pertandingan volly, tarik tambang, bola dangdut dan panjat pinang khusus untuk siswa laki-laki. Walaupun agak melelahkan dalam beberapa permainan sungguh aku sangat senang. Kegiatan yang beragam dimulai dengan pawai obor keliling desa hingga perlombaan. Perlombaan seperti menyanyikan lagu Indonesia raya dan kegiatan pawai obor keliling desa pada malamnya. Dalam pertandingan ada yang menang dan ada yang kalah, kan tidak mungkin semua menjadi pemenang, terus siapa dong yang kalah. Ini adalah pengalaman pertama bagiku peringatan HUT RI yang tidak hanya dengan upacara dan memasang bendera. Ini pun pengalaman pertama ketika kegiatan bervariasi dan para orang tua kami ikut membantu mempersiapkan, meskipun ini adalah acara sekolah. Pengalaman pertama ketika kami melakukan upacara bendera seperti di televisi dengan formasi baris berbaris yang membuat saya bangga. Sungguh pengalaman yang berkesan mendalam. (Sul, pelajar- Teluk aur)

Karya kolaborasi siswa SDN 04 Kepala Gurung

6 Bla Bla Bla Exero 01, 5555

PENGALAMAN HUT-RI PERTAMA

MATA SISWA

Perkenalkan, nama saya Yanto. Saat ini saya kelas 6 di SDN 09 Nanga Lungu. Nanga Lungu itu letaknya di Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. SD saya termasuk gugus dua di Kecamatan Silat Hulu. Saya akan menceritakan proses pembuatan bekal untuk dibawa ke sekolah. Bekal yang akan saya buat adalah nasi singkong. Pertama-tama, saya harus mencari daun singkong tersebut ke dalam hutan. Untuk mendapat daun singkong tersebut saya harus memetik daun yang muda. Daun tersebut, letaknya ada di paling atas pohon singkong. Setelah saya mendapatkan daun singkong tersebut saya membawanya pulang untuk dimasak. Sampai di rumah, saya harus memisahkan batang dan daunnya sebelum di tumbuk. Setelah itu, saya menggunakan lentung (alat yang biasanya digunakan untuk mengulek cabe yang terbuat dari batu) untuk menumbuk daun singkong tersebut. Setelah di tumbuk, saya memberi sedikit garam dan menumisnya. Saya menumisnya sekitar dua menit. Karena kalau terlalu lama menumisnya, vitamin yang ada di dalam daun singkong akan hilang. Ketika matang, saya menyajikan tumis singkong tersebut dan nasi ke dalam wadah bekal yang akan saya bawa ke sekolah. Sampai di sekolah, kami menikmati bekal masing-masing sebelum jam pelajaran di mulai. Terkadang, pada saat makan kami saling berbagi. Suasana di lingkungan sekolah saya sangat bersih. Teman-teman banyak yang datang pada pagi hari, terkadang mereka langsung melaksanakan tugas piket kelas. Oleh karena itu kelas saya selalu bersih dan enak untuk belajar. Oh ya, disekolah saya ada banyak jenis makanan yang teman-teman saya jual yaitu bakwan, donat dan gendum (makanan yang terbuat dari tepung yang didalamnya ada kelapa). Itulah cerita saya. (YanTo, pelajar - nanga lungu)

BEKAL SEKOLAHKU

KOTAK SURAT

Rudiman, Kelas VII SMPN 5 SATAP Silat Hulu

Menyanyi bersama di tengah Sungai Kapuas (Teluk Aur) Belajar kreatif Bahasa Inggris (Nanga Lauk) Mendongeng menggunakan boneka (Landau Badai)

MATA BORNEO Vol. 01 6

Assalamu’alaikum wr. wb. Bapak Bupati yang saya hormati. “Mengapa pembangunan jalan-jalan di pelosok daerah tidak pernah ditindak lanjuti, hanya memperbaiki jalan-jalan aspal yang berlubang. Padahal menurut saya, rakyat di pelosok daerah tidak pernah meminta banyak, paling-paling hanya meminta untuk menggarap (membuat/memperbaiki) jalan-jalan yang sangat rusak. Seandainya Bapak Bupati melihat jalan yang berada di Provinsi Kalimantan Barat, tepatnya Kabupaten Kapuas Hulu, Kecamatan Silat Hulu. Jalan itu menghubungkan Desa Mengirau dan Desa Landau Badai. Jalannya sangat memprihatinkan. Jangankan mobil, motor sekalipun tidak bisa lewat dari jalan tersebut, rasanya sudah seperti jalan setapak yang cukup untuk satu ban motor dan jika salah ambil jalan, maka jatuh dan masuk dalam lobang yang ada di kanan kiri jalan setapak tersebut. Padahal, jarak Desa Badai ke Mengirau kurang lebih 1 km. Saya berharap balas kasihan Pak Bupati untuk menindaklanjuti masalah jalan ini. Mungkin karena jarak kita berjauhan, Bapak Bupati tidak dapat melihat keadaan jalan desa kami (Desa Landau Badai). Wassalamu’alaikum wr. wb.

Page 7: Mata Borneo Vol. 01

desa teluK auR. Desa yang tidak hanya membuat hati ini terhanyut dalam situasi luar biasa, tetapi juga memberikan pelajaran tentang arti menghargai tradisi budaya lokal yang mendalam. Desa yang berada tepat di tepi Sungai Kapuas ini memiliki cerita akan tradisi, salah satunya melalui alat musik gambus. Gambus, alat musik tradisional yang terdapat di Kapuas Hulu ini sangatlah unik. Bentuknya seperti perpaduan gitar dengan kecapi. Tidak seperti alat musik petik pada umumnya yang memiliki tanda kunci dalam memainkannya (baca: gitar), gambus dimainkan tidak mempunyai kunci nada atau teknik permainan yang baku. Tidak ada aturan khusus tentang cara bermain, mengandalkan kemampuan musikalitas dan emosi dari yang memainkan.

Pemain harus menyatu dalam petikan suara gambus hingga muncul harmonisasi yang indah. Sayangnya, kesenian yang cantik ini sudah hampir punah. Kini di Desa Teluk Aur -Kecamatan Bunut Hilir, hanya tinggal seorang yang dapat memainkan alat musik gambus. Dialah Bapak Ahmad. Tidak hanya memainkan tetapi beliau juga melestarikan bagaimana alat musik gambus dapat terus hidup seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Teluk Aur. Pak Ahmad menghabiskan hidupnya untuk memperdengarkan musik gambus di berbagai desa di tepi sungai Kapuas Hulu. Alat musik dengan bergambarkan ikan siluk (baca: arwana) ini menjadi alat musik utama

yang diperdengarkan ketika terdapat acara adat. Suara gambus sangatlah menenangkan, dengan perpaduan lirik yang mendendangkan nasehat kepada manusia dalam kehidupan. Gambus menjadi tradisi lokal khususnya pada masyarakat Suku Melayu Kalimantan yang semakin mengukuhkan betapa kaya tradisi dan budaya Indonesia. Bapak Ahmad pun menjadi bukti bahwa di negeri ini kepedulian terhadap seni tradisional masih ada di jiwa-jiwa tanpa pamrih orang Indonesia. Optimis bahwa tidak hanya Pak Ahmad yang konsisten melestarikan tradisi kebudayaannya tetapi juga para tokoh tanpa nama di Indonesia yang dapat menjadi contoh untuk terus melestarikan dan bangga akan budaya sendiri.( Annisa Meutia).

Exero 01, 5555 Bla Bla Bla 7

MENGUSIK MUSIK GAMBUSMATA BUDAYA :

MUTUTJIKa malam takbiran umumnya dilakukan dengan pawai keliling di jalan-jalan utama, di Desa Semalah Kecamatan Selimbau ini takbiran keliling dilakukan dengan singgah secara bergantian ke rumah-rumah mulai dari ujung hilir hingga ujung hulu. Saat singgah di setiap rumah, tuan rumah menyajikan makanan bagi para tamu yang melakukan takbir di rumahnya. Di desa ini terdapat 70 rumah yang siap disinggahi dan menyajikan hidangan untuk siapapun yang melakukan takbir. Apapun yang disediakan oleh tuan rumah tidak boleh tersisa, sehingga bagi yang tidak dapat menghabiskan makanan harus siap membawa pulang makanan tersebut. Ragam makanan yang disajikan seperti kue semprit, keripik, kerupuk basah, dodol

serta makanan lain khas desa Semalah. Dari anak-anak sampai orang tua. Semua yang ikut dalam takbir keliling pasti membawa kantung plastik, karung goni bahkan tas ransel. Tahukah itu gunanya untuk apa? Tas-tas tersebut digunakan untuk memasukkan aneka kue yang disediakan oleh tuan rumah. Tradisi membungkus makanan sajian pada saat takbir keliling di kenal dengan sebutan mutut. Dari hasil mutut, kue yang diambil bisa memenuhi sebuah kantong besar. Tradisi ini mengundang antusiasme para warga di Desa Semalah. Bagi pengajar muda sepertiku pengalaman mutut di malam lebaran menjadi pengalaman yang berkesan. Sepanjang malam bermutut ria, menelusuri gertak-gertak Desa Semalah.(Izza)

MATA BORNEO Vol. 01 7

Page 8: Mata Borneo Vol. 01

setIap KalI akan melakukan kegiatan Pramuka, guru-guru pembina di SDN 05 PB. Penai harus memutar otak untuk mengemas kegiatan pramuka yang berkesan dan edukatif bagi para siswa. Pada 6 September 2013, para siswa diberikan tantangan untuk menelusuri desa sambil memunguti sampah. Ide memunguti sampah ini muncul dengan fakta banyaknya sampah di setiap sudut desa. Saat itu, kegiatan dimulai pukul setengah empat sore. Anak-anak di bagi ke dalam dua kelompok besar. Kedua kelompok tersebut akan melewati dua rute yang berbeda. Saat berangkat, anak-anak tidak membawa wadah apapun untuk menyimpan sampah-sampah tersebut. Jadi, mereka harus pintar-pintar mencari wadah dari sampah-sampah yang mereka temui di jalan. Akhirnya mereka menggunakan kantung-kantung plastik yang mereka pungut juga di jalan. Bahkan ada beberapa anak yang menemukan kardus dan menggunakannya. Selama sekitar satu jam, anak-anak mengelilingi desa. Di sepanjang jalan, mereka pun dengan semangat memunguti sampah-sampah plastik bekas bungkus makanan, minuman, sabun, shampo, dan bungkusan-bungkusan plastik lainnya. Betapa antusiasnya mereka hingga sampai memunguti juga sampah-sampah yang ada

di pekarangan rumah-rumah warga. Jiwa kompetitif pun terlihat. Begitu melihat satu plastik di jalan, beberapa anak langsung lari berusaha memungut sampah itu duluan. Saat anak-anak tersebut berkeliling, setiap warga desa yang sedang berkegiatan di depan rumah memantau mereka. Mereka pun bisa melihat anak-

anak mereka memunguti sampah dengan semangat. Beberapa wargapun mengapresiasi kegiatan tersebut. Harapan dari kegiatan tersebut, semoga anak-anak dan warga desa lainnya bisa semakin terbiasa dalam menjaga kebersihan desa mereka.(Kris)

PRAMUKA PENJAGA KEBERSIHAN

RUANG BELAJAR

BERNYANYI UNTUK BELAJARLangkah – langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

maKna

Setiap hal yang dilakukan atas dasar kegemaran akan lebih mudah dilakukan dan terekam dalam memori, begitu juga dengan anak – anak yang cenderung suka bergerak seperti misalnya menyanyi daripada membaca dan diam di satu tempat. Dengan menggunakan lagu maka siswa tanpa sadar memasukkan hafalan dalam lirik lagu ke dalam memori jangka panjang mereka. (Raras)

lataR BelaKang

Bertemu dan bersentuhan langsung dengan anak – anak pedalaman Indonesia membuat kita melihat sisi lain dari kehidupan. Perbedaan cara berpikir dan melakukan kegiatan sehari – hari terkadang menciptakan benturan yang menyebabkan kita (red: sebagai guru) putus asa menghadapi perbedaan tersebut. Namun seperti apapun siswa bimbingannya, seorang guru harus mempunyai 1001 cara agar siswa mampu menerima materi yang disampaikan. Sebagai guru SDN 08 Nanga Lauk yang juga merangkap menjadi guru SMPN 03 Satap Nanga Lauk, Kec. Embaloh Hilir, Kapuas hulu, saya harus memutar otak lebih keras menghadapi perbedaan pola belajar siswa SD dan SMP yang seringkali belajar di waktu yang sama.

pROses pemBelaJaRan

Di saat sudah mulai capek dengan kondisi muncullah ide untuk mengajak anak – anak yang memang hobi bermusik yaitu menyanyi dan bermain gitar untuk belajar memanfaatkan kesenangannya tersebut. Siswa membangun imajinasinya sendiri untuk menuangkan hafalan – hafalan pelajaran ke dalam sebuah lagu gubahan karya mereka sendiri.

SATUAN PANJANG

Gubahan Lagu Kerupuk BasahKarya kelas VII, VIII, IX

C F G CKm kilometer, hm hektometerC F G CDam dekameter, m sama dengan meterC F G CDm desimeter, cm centimeterC F G CMm milimeter, itulah semua satuannyaC F G CKalau naik dibagi sepuluhC F G CKalaulah turun dikali sepuluhC F G CIngat ingat hatiku ingatC F G CIngat sama MatematikaC F G C Oh senangnya, oh asyiknyaC F G C Belajar Dengan matematika

1. Siswa dan guru menentukan materi yang akan dihafalkan kemudian dicari kata kunci hafalannya untuk mempermudah membuat lirik lagu.2. Pilih lagu yang dihafal oleh siswa seperti misalnya lagu daerah, lagu dangdut, lagu remaja, atau yang paling mudah adalah lagu anak – anak sepanjang masa.3. Bagi siswa yang bisa memainkan gitar bertugas mencari kunci dari lagu yang telah dipilih.4. Seluruh siswa memasukkan lirik ke dalam melodi lagu yang mereka pilih agar menjadi sebuah lagu baru yang enak didengar kapan saja tanpa menyadari itu adalah hafalan.5. Tulis lirik dan kuncinya sehingga siswa dapat memainkan lagu tersebut sewaktu – waktu walaupun sudah lama tidak menyanyikannya.

8 Bla Bla Bla Exero 01, 5555 MATA BORNEO Vol. 01 8

Page 9: Mata Borneo Vol. 01

SekIan eDISI kalI InI, SaMpaI juMpa Dan TerIMa kaSIH :)

GALERI FOTO

PROFIL PENGAJAR MUDA ANGKATAN VI KAPUAS HULU74 orang, 47 perempuan dan 27 laki-laki yang lulus seleksi Pengajar Muda angkatan VI mengikuti pelatihan intensif selama hampir dua bulan sebelum dikirim ke daerah penempatan. Berbekal materi dan mimpi untuk menyentuh ujung-ujung wilayah Indonesia, 10 pemuda-pemudi yang berasal dari Aceh, Jawa, sampai Bali ini akhirnya diberangkatkan menuju Bumi Uncak Kapuas, wilayah yang terletak tepat di tengah Pulau Kalimantan dan berbatasan langsung dengan negara tetangga.

Ana ‘Siopi‘SDN 05 Landau Badai, Silat Hulu

@anaminhatul

Jeffry SodiqSDN 09 Nanga Lungu, Silat Hulu

@JeFfry_Sodiq

Iwa MayasariSDN 20 Sungai Putat, Silat Hilir

@iraiwa

‘Raras’ ParafitraSDN 08 Nanga Lauk, Embaloh Hilir

@rarasparafitra

Izza LilinSDN 12 Semalah, Selimbau

@izza_lilin

Rifki FurqanSDN 17 Nanga Bungan, Pts Selatan

@rifkan

Andri ‘Jambu‘SDN 27 Gudang Suai, Pts Utara

@AndriAndrenium

Kristian PatrasioSDN 05 PB Penai, Silat Hilir

@patrasio

Annisa ‘BuAya‘SDN 06 Teluk Aur, Bunut Hilir

@AyyaRatri

Laura ValenciaSDN 04 Kepala Gurung, Mentebah

@lauravalencia_

CP : Iwa 085692861347, Kris 08568563866 Alamat : Pengajar Muda, Kantor Pos Putussibau Jalan DI Panjaitan no. 22, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia 78711

Exero 01, 5555 Bla Bla Bla 9