Upload
dalas-yoga-pratama
View
371
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 1/86
MEDIA PETERNAKANJURNAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
M e d . P e t . Vo l . 2 9 N o . 3 : 1 2 1 - 1 9 2
D e s e m b e r 2 0 0 6
M ed . P et . Vo l. 2 9 N o . 3 : 1 21 -1 92
D e se m b er 2 0 06
A R T I K E L :
I S S N 0 1 2 6 - 0 4 7 2
TerakreditasiSK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
TerakreditasiSK Dikt i No: 56/DIKTI/Kep/2005
Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap
Aktivitas Fermentasi Rumen Secara
Pemberian Antanan ( ) dan Vitamin C Sebagai Upaya
Mengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler.
Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan
hCGpada Induk SapiPotong.
Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi
dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing.
Kajian Penambahan Ragi Tape pada Pakan terhadap Konsumsi,
Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan, dan Mortalitas
Tikus ( ).
Pengaruh Konformasi terhadap Karakteristik Karkas
Sapi Brahman pada Beberapa Klasifikasi Jenis Kelamin.
Respons Ayam Kampung terhadap Penambahan Kalsium Asal Siput( ) dan Kerang ( ) pada Kondisi Ransum
Miskin Fosfor.
Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap
Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo
Kabupaten Sleman Yogyakarta.
Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan dan
Peranakan Merino.
in Vitro.
Centella asiatica
Rattus norvegicus
Butt Shape
Cross
Lymnae Sp Corbiculla m olktiana
W. D.Astuti, T. Sutardi, D.Evvyernie& T. Toharmat.
E. Kusnadi, R.Widjajakusuma,T. Sutardi, P.S. Hardjosworo &A. Habibie.
E.M. Kaiin & B.Tappa.
T. Toharmat, E. Nursasih,R. Nazilah,N. Hotimah,T.Q.Noerzihad, N.A. Sigit & Y. Retnani.
E.M.Sianturi,A.M.Fuah & K.G. Wiryawan.
Harapin Hafid H. & R. Priyanto.
Khalil.
S.A.Wibowo& F.T. Haryadi.
M. Duldjaman, T.R. Wiradarya & M.I.H. Muttaqin.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 2/86
MEDIA PETERNAKANJURNAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 3/86
MEDIA PETERNAKANJurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan
Vol. 29 No. 3, Desember 2006
Dewan Penyunting : Rachmat Herman (Ketua)
Kooswardhono Mudikdjo
Toto Toharmat
Komang G. Wiryawan
Cece Sumantri
Hadiyanto
Penyunting Pelaksana : Erlin Trisyulianti (Ketua)
Anggraini Sukmawati
Tuti Suryati
Administrasi dan : Irma Nuranthy P.
Kesekretariatan
Alamat Redaksi : Fakultas Peternakan IPB Jl. Agatis, Kampus
Darmaga, Bogor 16680
Telp.: (0251) 421692, 628394, 622841,
Fax. 622842, e-mail : [email protected]
Media Peternakan, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan
diterbitkan sejak September 1967 oleh Fakultas Peternakan IPB
Terbit 3 (tiga) kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 4/86
MEDIA PETERNAKANJurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan
Desember 2006 Vol. 29 No. 3: 121-192
DAFTAR ISI
Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap AktivitasFermentasi Rumen Secara in Vitro. W. D. Astuti, T. Sutardi, D. Evvyernie & T.Toharmat..................................................................................................................
Pemberian Antanan (Centella asiatica) dan Vitamin C Sebagai UpayaMengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler. E. Kusnadi, R. Widjajakusuma,T. Sutardi, P.S. Hardjosworo & A. Habibie.............................................................
Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hCG padaInduk Sapi Potong. E.M. Kaiin & B.Tappa...........................................................
Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi danKecernaan Nutrien Ransum pada Kambing. T. Toharmat, E. Nursasih, R.Nazilah, N. Hotimah, T.Q. Noerzihad, N.A. Sigit & Y. Retnani..............................
Kajian Penambahan Ragi Tape pada Pakan terhadap Konsumsi,Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan, dan Mortalitas Tikus( Rattus norvegicus). E.M.Sianturi, A.M.Fuah & K.G. Wiryawan..........................
Pengaruh Konformasi Butt Shape terhadap Karakteristik Karkas SapiBrahman Cross pada Beberapa Klasifikasi Jenis Kelamin. Harapin Hafid H.& R. Priyanto.............................................................................................................
Respons Ayam Kampung terhadap Penambahan Kalsium Asal Siput ( LymnaeSp) dan Kerang (Corbiculla molktiana) pada Kondisi Ransum Miskin Fosfor.Khalil........................................................................................................................
Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap ProgramKredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo Kabupaten SlemanYogyakarta. S.A. Wibowo & F.T. Haryadi.............................................................
Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan dan PeranakanMerino. M. Duldjaman, T.R. Wiradarya & M.I.H. Muttaqin..................................
121
133
141
146
155
162
169
176
187
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 5/86
Pengantar Redaksi
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas terbitnya Media Peternakan Vol. 29 No. 3
Tahun 2006 yang diterbitkan oleh Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Media Peternakan
merupakan jurnal ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan, terbit 3 (tiga) kali setahun pada
bulan April, Agustus dan Desember.
Media Peternakan melakukan beberapa perubahan dalam penulisan naskah mulai edisi ini dan
seterusnya. Perubahan-perubahan tersebut, antara lain : Indeks Penulis dan Indeks Subyek akan
dicantumkan pada setiap penerbitan (nomor), Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris baik untuk naskah
berbahasa Indonesia maupun naskah berbahasa Inggris, serta judul gambar diletakkan di tengah(center).
Pada edisi kali ini menampilkan hasil penelitian tentang penggunaan kromium organik dari beberapa
jenis fungi terhadap aktivitas fermentasi rumen secara in vitro; pemberian antanan (Centella asiatica)
dan vitamin C sebagai upaya mengatasi efek cekaman panas pada broiler; induksi superovulasi
dengan kombinasi CIDR, hormon FSH dan HCG pada induk sapi potong; sifat fisik pakan kaya
serat dan pengaruhnya terhadap konsumsi dan kecernaan nutrien ransum pada kambing; kajian
penambahan ragi tape pada pakan terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan, rasio konversi
pakan, dan mortalitas tikus ( Rattus norvegicus); pengaruh konformasi butt shape terhadap
karakteristik karkas sapi Brahman Cross pada beberapa klasifikasi jenis kelamin; respons ayamkampung terhadap penambahan kalsium asal siput ( Lymnae sp) dan kerang (Corbiculla molktiana)
pada kondisi ransum miskin fosfor; faktor karakteristik peternak yang mempengaruhi sikap terhadap
program kredit sapi potong di kelompok peternak Andiniharjo kabupaten Sleman Yogyakarta; daya
pintal dan kekuatan benang bulu domba Priangan dan peranakan Merino.
Kami mengucapkan terima kasih kepada penulis dan semua pihak yang telah membantu penerbitan
jurnal ini. Semoga dengan terbitnya jurnal ini dapat mengaktifkan dan menghimpun hasil-hasil
penelitian para dosen dan peneliti serta sebagai sarana informasi bagi masyarakat ilmiah, khususnya
masyarakat peternakan, dan umumnya bagi masyarakat luas.
Redaksi
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 6/86
Edisi Desember 2006 121
Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 121-132ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap
Aktivitas Fermentasi Rumen Secara in Vitro
W.D. Astutia, T. Sutardib, D. Evvyernieb & T. Toharmatb
aPusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Jalan Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911Telp: 021-8754587, E-mail: [email protected]
bDepartemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPBJl Agatis Kampus IPB, Darmaga, Bogor 16680(Diterima 20-12-2005; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT
Chromium appears to be an essential trace element since 1959, but its effect on ruminalmicrobes is not clear yet. This experiment was conducted to study the effects of organicchromium supplementation on rumen fermentation activity. An in vitro technique washeld using randomized block design with 13 treatments and 3 replications. There were fourkinds of organic Cr used, produced with four different species of fungi as carriers. Fungiused as carriers were Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, Rhizophus oryzaeand “ragi tape”. The result indicated that the optimum organic Cr supplementation was 1
mg organic Cr/kg dry matter. Supplementation of 1 mg organic Cr/kg dry matter increaseddry matter and organic matter digestibilities. It also tended to increase NH
3and total VFA
production. Propionate production increased, which decreased methane production andincreased hexose conversion efficiency in several treatments. Each fungus used as carrierof organic Cr resulted in different effects on rumen fermentation activity, but the effectswas within a normal range. It was concluded that either Saccharomyces cerevisiae,
Aspergillus oryzae, Rhizophus oryzae or “ragi tape” could be used as carrier in organic Crproduction.
Key words : organic Cr, ruminal microbes, Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, Rhizophus oryzae, “ragi tape”
PENDAHULUAN
Kromium dianggap sebagai mineral yang
esensial sejak tahun 1959 (Mertz, 1998). Peran
utama Cr secara fisiologis adalah meningkatkan
potensi aktivitas insulin. Kromium merupakan
komponen aktif dari GTF (Glucose Tolerance
Factor ), yaitu kompleks yang tersusun atas Cr3+
dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam
amino yang terkandung dalam glutation seperti
glutamat, glisin dan sistein (Burton, 1995).
Ketiadaan unsur Cr di dalam GTF akan
mengakibatkan GTF tidak dapat bekerja
mempengaruhi insulin. Kromium dalam bentuk
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 7/86
Edisi Desember 2006 122
GTF telah diketahui dapat meningkatkan
potensi aktivitas hormon insulin yang
memegang peranan penting dalam transpor
glukosa dan asam amino (Lyons, 1995).
Di samping esensial dalam metabolisme
karbohidrat, Cr juga dibutuhkan dalam
metabolisme lemak dan protein. Defisiensi Cr
dapat menyebabkan rendahnya inkorporasi
asam amino pada protein hati. Asam amino yang
dipengaruhi oleh Cr dalam sintesis protein
adalah metionin, glisin dan serin (Anderson,
1987).
Sampai saat ini belum banyak informasi
mengenai peranan Cr bagi mikroba rumen.Muktiani (2002) menyebutkan bahwa
pemberian Cr organik dapat meningkatkan
fermentabilitas ransum secara in vitro. Adanya
peningkatan aktivitas mikroba rumen tersebut
memberikan indikasi bahwa Cr kemungkinan
esensial bagi mikroba rumen. Tujuan dari
percobaan ini adalah untuk mengetahui
seberapa jauh suplementasi Cr organik yang
menggunakan berbagai spesies fungi yang
berbeda sebagai carrier mempengaruhi aktivitasfermentasi rumen secara in vitro.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan secara in vitro
menggunakan rancangan acak kelompok
dengan 3 ulangan sebagai kelompok. Empat
spesies fungi digunakan sebagai carrier untuk
memproduksi empat macam Cr organik yang
dicobakan. Fungi tersebut adalah Saccharomycescerevisiae (SC) , Aspergillus oryzae (AO) ,
Rhizopus oryzae (RO) dan ragi tape.
Produksi Cr organik dilakukan dengan
cara menginkorporasikan Cr ke dalam fungi
melalui proses fermentasi. Substrat dasar yang
digunakan adalah singkong. Singkong diiris
tipis, kemudian dicampur dengan larutan Cr
anorganik, triptofan, medium selektif dan air
sehingga campuran substrat tersebut mempunyai
konsentrasi Cr sesuai dengan perlakuan.
Triptofan yang digunakan sebanyak 600 mg/kg
substrat. Campuran substrat kemudian
disterilkan menggunakan pressure cooker
selama 20 menit pada suhu 110oC, 15 psi.
Setelah dingin, substrat diratakan pada nampan
plastik dan ditambahkan starter/inokulan untuk
masing-masing perlakuan fungi yang
digunakan. Bagian atas nampan plastik
dibungkus dengan kertas, dan disusun dalam rak
yang tertutup plastik, dalam ruangan tertutup.
Hal tersebut dilakukan untuk menghindari
terjadinya kontaminasi tetapi masih ada udara
yang masuk. Inkubasi dilakukan selama 5 haripada suhu ruang, kemudian produk dikeringkan
dengan menggunakan oven. Setelah kering,
produk dihaluskan sehingga berbentuk butiran
halus dan siap digunakan.
Perlakuan yang diuji berupa 13 jenis
ransum yaitu:
1. Kontrol = ransum kontrol
2. SC 1 = kontrol + Cr-org SC sebanyak 1
mg/kg ransum
3. SC 2 = kontrol + Cr-org SC sebanyak 2mg/kg ransum
4. SC 3 = kontrol + Cr-org SC sebanyak 3
mg/kg ransum
5. AO 1 = kontrol + Cr-org AO sebanyak 1
mg/kg ransum
6. AO 2 = kontrol + Cr-org AO sebanyak 2
mg/kg ransum
7. AO 3 = kontrol + Cr-org AO sebanyak 3
mg/kg ransum
8. RO 1 = kontrol + Cr-org RO sebanyak 1mg/kg ransum
9. RO 2 = kontrol + Cr-org RO sebanyak 2
mg/kg ransum
10. RO 3 = kontrol + Cr-org RO sebanyak 3
mg/kg ransum
11. Ragi tape 1 = kontrol + Cr-org ragi tape
sebanyak 1 mg/kg ransum
12.Ragi tape 2 = kontrol + Cr-org ragi tape
sebanyak 2 mg/kg ransum
Media PeternakanASTUTI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 8/86
Edisi Desember 2006 123
13.Ragi tape 3 = kontrol + Cr-org ragi tape
sebanyak 3 mg/kg ransum
Bahan dasar ransum kontrol yang
digunakan adalah rumput gajah dan konsentrat
dengan perbandingan 50:50. Komposisi nutrien
ransum kontrol dapat dilihat pada Tabel 1.
Parameter yang diukur adalah kecernaan
bahan kering dan bahan organik, VFA total, VFA
individual, dan NH3. Sebanyak satu gram
sampel ransum dimasukkan ke dalam tabung
fermentor, kemudian ditambahkan larutan
McDougall sebanyak 12 ml dan cairan rumen
sapi 8 ml. Tabung ditambahkan gas CO2selama
30 detik untuk menciptakan kondisi anaerob dandisumbat dengan tutup karet. Selanjutnya
tabung dimasukkan ke dalam shaker bath dan
difermentasi selama 6 jam. Sumbat karet dibuka
dan ditambahkan 0,2 ml HgCl2
jenuh untuk
membunuh mikroba sehingga fermentasi
terhenti. Kemudian tabung disentrifugasi pada
kecepatan 10000 rpm selama 10 menit, dan
supernatan diambil untuk analisis VFA total,
VFA individual, dan NH3. VFA total diukur
dengan metode destilasi uap, NH3 diukurdengan metode mikrodifusi Conway (Sutardi,
1994), serta VFA individual dilakukan dengan
teknik kromatografi gas (Adnan, 1997).
Uji kecernaan dilakukan dengan metode
Tilley & Terry (1963). Tahapan analisis sama
seperti yang dilakukan pada fermentasi in vitro,
tetapi waktu inkubasi dilanjutkan sampai 24
jam. Setelah pencernaan fermentatif (anaerob)
selama 24 jam, tutup tabung dibuka dan
ditambahkan 0,2 ml HgCl2. Campuran
disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm
selama 10 menit dan supernatan dibuang,
kemudian ke dalam tabung ditambahkan 20 ml
larutan pepsin 0,2%. Inkubasi dilanjutkan
selama 24 jam secara aerob. Sisa pencernaan
disaring dengan kertas saring Whatman nomor
41 dengan bantuan pompa vakum. Hasilsaringan dimasukkan ke dalam cawan porselin
dan dikeringkan dengan oven 105oC untuk
mengetahui residu bahan kering dan diabukan
dalam tanur 600oC untuk menghitung residu
bahan organiknya.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa dengan
menggunakan sidik ragam (analysis of variance) dan apabila ada perbedaan di antara
perlakuan dilanjutkan dengan uji orthogonal
kontras (Steel & Torrie, 1981).
Tabel 1. Komposisi bahan pakan dan nutrien ransum penelitian
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3
Bahan pakan Jumlah
(% BK)
Nutrien Jumlah
Rumput gajah 50 Bahan kering (%) 87,82
Jagung 2,4 Abu (% BK) 7,92
Bungkil kedelai 7,1 Protein kasar (% BK) 14,93
Bungkil kelapa 18 Serat kasar (% BK) 33,98
Onggok 15,2 Lemak kasar (% BK) 2,07
Tepung ikan 0,5 BETN (% BK) 29,20
Bungkil kelapa sawit 4,8 TDN (% BK) 49,10Minyak kelapa 0,5 Ca (% BK) 0,064
Molases 1 P (% BK) 0,050
Urea 0,5
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 9/86
Edisi Desember 2006 124
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecernaan
Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum penelitian disajikan pada Tabel 2.Suplementasi Cr organik sebesar 1 mg/kgransum telah dapat meningkatkan kecernaanbahan kering ransum secara nyata (P<0,05)dibandingkan dengan kontrol pada semua fungiyang digunakan.
Suplementasi Cr organik yang menggunakancarrier Saccharomyces cerevisiae memberikan
nilai kecernaan bahan kering ransum yangmenurun dengan meningkatnya level Cr organik yang digunakan, meskipun antara 1 mg/kgransum dan 2 mg/kg ransum tidak memberikannilai kecernaan bahan kering ransum yangberbeda nyata. Suplementasi Cr organik 3 mg/ kg ransum memberikan nilai kecernaan yang
lebih rendah dari ransum kontrol.
Suplementasi Cr organik yang
menggunakan carrier Aspergillus oryzae
sebanyak 2 dan 3 mg/kg ransum tidak
memberikan nilai kecernaan bahan kering yang
berbeda nyata dengan kontrol. Cr organik
dengan carrier Rhizophus oryzae memberikan
nilai kecernaan bahan kering yang lebih rendah
dari kontrol (P<0,05) pada taraf 2 mg/kg
ransum, dan nilai kecernaan bahan kering
ransum kembali meningkat pada level 3 mg/kg
ransum. Pemakaian Cr organik yang
menggunakan ragi tape sebagai carrier
memberikan nilai kecernaan bahan kering
ransum yang berbeda nyata (P<0,05) pada
semua taraf Cr yang digunakan, yang nilainya
lebih tinggi daripada nilai kecernaan bahan
kering ransum kontrol (P<0,05).
Nilai kecernaan bahan organik ransum
pelakuan juga dipengaruhi oleh suplementasi Cr
organik, yang polanya tidak berbeda jauh
Tabel 2. Nilai kecernaan ransum penelitian (%)
Keterangan : 1)Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05);2)Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Perlakuan KCBK1) KCBO2)
Kontrol 43,7±0,8ab 43,1±0,8A SC 1 46,0±1,4b 45,4±1,1B SC 2 44,6±0,5b 44,0±0,2B SC 3 42,7±1,7a 42,6±1,4A Saccharomyces cerevisiae 44,4±1,8a 43,9±1,5A AO 1 45,2±0,7b 44,8±0,4B AO 2 44,1±0,6ab 43,6±0,6A AO 3 44,1±2,1ab 43,4±1,4A
Aspergillus oryzae 44,4±1,3a
43,9±1,0A
RO 1 45,2±2,0b 44,0±1,9B RO 2 41,5±1,9a 42,0±1,6A RO 3 45,6±0,2b 45,4±0,1B
Rhizopus oryzae 44,1±2,4a 43,8±1,9A Ragi tape 1 45,2±3,6b 44,6±3,0B Ragi tape 2 44,6±0,8b 44,3±1,3B Ragi tape 3 45,7±0,3b 44,6±0,3B Ragi tape 45,1±1,9a 44,5±1,7A
Media PeternakanASTUTI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 10/86
Edisi Desember 2006 125
dengan nilai kecernaan bahan kering.Suplementasi Cr organik dengan carrier S.
cerevisiae sebesar 1 dan 2 mg/kg ransum sudah
dapat meningkatkan nilai kecernaan bahanorganik ransum secara nyata (P<0,01)dibandingkan dengan ransum kontrol.Peningkatan Cr organik menjadi 3 mg/kgransum menghasilkan nilai kecernaan bahanorganik yang menurun pada taraf yang samadengan kontrol. Demikian pula dengansuplementasi Cr organik yang menggunakancarrier A. oryzae. Suplementasi sebanyak 1 mg/ kg ransum mampu meningkatkan kecernaan
bahan organik ransum secara nyata (P<0,01),tetapi kembali menurun sesuai denganpeningkatan taraf Cr organik yang digunakan.
Suplementasi Cr organik yangmenggunakan carrier R. oryzae memberikanhasil yang sedikit berbeda. Suplementasisebesar 1 mg/kg ransum memberikan nilaikecernaan bahan organik yang lebih tinggi darikontrol (P<0,01), dan menurun padasuplementasi sebesar 2 mg/kg ransum.Penurunan tersebut diduga disebabkan
konsentrasi Cr yang terlalu tinggi. SuplementasiCr sebesar 3 mg/kg ransum nilai kecernaanbahan organik yang dihasilkan kembali
meningkat secara signifikan (P<0,01). Haltersebut menunjukkan adanya upaya adaptasidari mikroba rumen terhadap aditif yangdiberikan. Suplementasi Cr organik yangmenggunakan ragi tape sebagai carrier
memberikan nilai kecernaan bahan organik yanglebih tinggi dari ransum kontrol (P<0,01) padasemua taraf yang digunakan (1, 2 dan 3 mg/kgransum).
Berdasarkan level Cr organik yang
digunakan, nilai kecernaan bahan kering danbahan organik memberikan respon yang serupa.Pemakaian 1 mg Cr organik /kg ransum sudahdapat meningkatkan nilai kecernaan ransum.Nilai kecernaan ransum justru menurun padasuplementasi Cr organik sebesar 2 mg/kgransum dan kembali naik pada pemakaian 3 mg/ kg ransum (Gambar 1).
Penggunaan Cr organik yang terbaik dalam penelitian ini adalah 1 mg/kg ransum.Peningkatan nilai kecernaan tersebut
42.0
42.5
43.0
43.5
44.0
44.5
45.0
45.5
46.0
0 1 2 3
Level Cr organik (mg/kg)
K
o e f i s i e n c e r n a ( % )
KCBK KCBO
Gambar 1. Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 11/86
Edisi Desember 2006 126
disebabkan kinerja mikroba rumen yang
semakin aktif karena suplai energi yang cukup
sebagai pengaruh suplementasi Cr organik. Hal
itu menunjukkan Cr merupakan mineral yang
penting bagi mikroba rumen. Suplementasi Cr
organik akan meningkatkan efisiensi
pengambilan energi oleh mikroba rumen
sehingga dapat mencerna ransum dengan lebih
baik (Kegley & Spears, 1995; Kegley et al.,
2000). Kecernaan yang meningkat akan
meningkatkan ketersediaan nutrien yang
dibutuhkan oleh mikroba tersebut. Selain itu,
peningkatan nilai kecernaan dipengaruhi oleh
adanya fungi yang berperan sebagai carrier Crorganik. Keberadaan fungi dapat membantu
dalam pencernaan pencernaan dengan enzim-
enzim yang dihasilkan seperti amilase, protease
dan lipase sehingga mikroba rumen lebih mudah
dalam mencerna pakan (Martin & Nisbet, 1992;
Beauchemin et al., 2003).
Amonia
Amonia adalah sumber nitrogen yangutama dan sangat penting untuk sintesis protein
mikroba rumen. Konsentrasi amonia di dalam
rumen merupakan suatu besaran yang sangat
penting untuk dikendalikan, karena sangat
menentukan optimasi pertumbuhan biomassa
mikroba rumen. Sekitar 80% mikroba rumen
dapat menggunakan amonia sebagai sumber
nitrogen untuk petumbuhannya (Arora, 1995).
Kisaran konsentrasi optimal amonia di
cairan rumen sangat bervariasi. Hoover & Miller
(1992) menyatakan bahwa konsentrasi amonia
yang kurang dari 3,57 mM dapat menghambat
pertumbuhan mikroba rumen, sedangkan
menurut McDonald et al. (1995) kisaran
konsentrasi amonia yang baik adalah 6–12 mM.
Sementara Preston & Leng (1987) menyatakan
bahwa kisaran normal konsentrasi amonia
adalah 2,9–14,7 mM.
Mengacu pada batasan tersebut, rataan
konsentrasi amonia yang dihasilkan dari
penelitian ini cukup tinggi namun masih dalam
kisaran yang mendukung pertumbuhan mikroba
rumen (Tabel 3). Suplementasi Cr organik
sebesar 1 mg/kg ransum belum menunjukkan
konsentrasi amonia yang berbeda dengan
kontrol, kecuali pada Cr organik dengan carrier
A. oryzae. Suplementasi Cr organik sebesar 2
mg/kg ransum dapat meningkatkan konsentrasi
amonia lebih tinggi dari ransum kontrol secara
nyata (P<0,01), pada semua jenis fungi yang
digunakan.
Tingginya konsentrasi amonia
menunjukkan tingginya nilai protein yang
mudah didegradasi dalam ransum tersebut. Cr
organik yang diberikan dalam penelitian ini
merupakan mikroorganisme yang tinggi
kandungan proteinnya. Hal tersebut diduga ikut
menyebabkan tingginya nilai amonia yang
dihasilkan.
Konsentrasi amonia dapat dipengaruhi
oleh aktivitas proteolitik dari kedua fungi ( R.
oryzae dan A. oryzae) yang digunakan sebagai
carrier pada suplementasi Cr organik. Enzim
protease yang dihasilkan oleh kedua fungi
tersebut meningkatkan proses pencernaan
protein dengan memecah substrat protein
menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga
lebih mudah dicerna dan amonia yang
dihasilkan meningkat (Ghorbani et al., 2002).
Komposisi VFA Individual
Perbedaan konsentrasi VFA dapat terjadi
karena model fermentasi di dalam rumen
ditentukan oleh komposisi populasi mikroba,
yang sangat dipengaruhi oleh ransum. Empat
spesies fungi yang digunakan dalam pembuatan
Cr organik memberikan respon yang berbeda
terhadap produksi VFA total. Menurut Forbes
& France (1993) konsentrasi VFA total dalam
cairan rumen umumnya berkisar antara 70–130
mM, sementara menurut Bergman (1983)
berkisar antara 79–150 mM.
Media PeternakanASTUTI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 12/86
Edisi Desember 2006 127
Produksi VFA paling rendah daripenelitian ini dihasilkan oleh ransum dengan Cr
organik dengan carrier R. oryzae (Tabel 3). Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh adanya zat
antagonis bagi pertumbuhan mikroba rumen.
Jayanegara (2003) menyimpulkan bahwa
kapang Rhizopus sp. mempunyai zat antagonis
yang mengakibatkan terhambatnya penyerapan
monosakarida oleh mikroba rumen.
Suplementasi Cr dalam penelitian ini
dapat membuat sistem fermentasi rumenmengarah ke sintesis propionat (Tabel 4).
Peningkatan produksi propionat ini lebih
menguntungkan untuk pertumbuhan atau
penggemukan ternak. Propionat merupakan
VFA yang bersifat glukogenik, artinya dapat
menjadi prekursor dalam sintesis glukosa
melalui proses glukoneogenesis (McDonald et
al ., 1995). Berarti suplementasi Cr yang
diberikan dapat berpengaruh terhadap kinerja
mikroba rumen sehingga metabolisme
mengarah ke peningkatan pasokan energi untuk produksi.
Pengaruh suplementasi Cr organik
terhadap proporsi molar asam butirat sangat
bervariasi. Suplementasi 1 mg/kg ransum Cr
organik dengan carrier S. cerevisiae dan A.
oryzae tidak mengubah proporsi molar butirat.
Semakin tinggi taraf Cr organik yang diberikan
akan menurunkan proporsi molar butirat
(P<0,01). Sementara itu proporsi molar butirat
tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr organik dengan carrier R. oryzae pada seluruh level baik
1, 2, maupun 3 mg/kg ransum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rataan proporsi molar butirat dari ransum yang
disuplementasi Cr organik yang menggunakan
ragi tape sebagai carrier paling tinggi (P<0,05)
dibandingkan dengan ketiga fungi lainnya. Hal
tersebut dapat terjadi karena di dalam ragi tape
terdapat berbagai jenis fungi yang saling
berinteraksi, sehingga kombinasi berbagai fungi
Tabel 3. Konsentrasi NH3
dan VFA total pada pemberian ransum penelitian yang berbeda (mM)
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3
Perlakuan NH3 VFA
Kontrol 12,9±3,0A
136,8±7,4A
SC 1 13,1±2,4A
144,3±19,9B
SC 2 13,9±2,5B
144,3±5,8B
SC 3 14,0±1,2B
139,2±6,3B
Saccharomyces cerevisiae 13,6±1,9A
142,6±11,1A
AO 1 14,4±1,4B
134,4±4,5A
AO 2 14,5±3,3B
146,5±2,9B
AO 3 12,8±1,5A
130,8±10,3A
Aspergillus oryzae 13,9±2,1A
137,2±9,2A
RO 1 13,2±2,3A
127,0±20,1A
RO 2 14,3±1,1B
134,9±3,5A
RO 3 13,9±2,2B
134,5±8,6A
Rhizopus oryzae 13,8±1,8A
132,1±11,7A
Ragi tape 1 12,6±2,1A
129,6±13,9A
Ragi tape 2 14,6±3,1B
137,7±12,1B
Ragi tape 3 13,7±2,0B
145,8±20,6B
Ragi tape 13,6±2,3A
137,7±15,5A
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 13/86
Edisi Desember 2006 128
inilah yang diduga dapat meningkatkan butirat
yang dihasilkan oleh suplementasi Cr organik
yang menggunakan ragi tape.
Keberadaan mikroba rumen selain
berperan dalam proses pencernaan pakan secara
fermentatif juga berperan sebagai pemasok
sumber protein bagi ternak. Mikroorganisme
rumen membutuhkan pasokan nutrien yang
cukup untuk dapat berkembang dan melakukan
pencernaan fermentatif dengan baik. Sintesis
protein mikroba rumen membutuhkan asam
lemak rantai cabang sebagai prekursor. Asam
lemak rantai cabang tersebut meliputi asam
isobutirat (i-C4), asam isovalerat (i-C
5), dan
asam 2-metilbutirat (2Me-C4) (Russel &
Sniffen, 1984).
Jenis fungi yang digunakan sebagai
carrier pada penelitian ini, dalam pembuatan
Cr organik tidak berpengaruh terhadap proporsi
molar isobutirat, isovalerat maupun isoacids
secara keseluruhan (Tabel 5), tetapi
suplementasi Cr memberikan pola produksi
isoacids yang berbeda pada setiap fungi yang
digunakan. Ransum kontrol menghasilkan
isobutirat sebesar 2,91% mM. Suplementasi 1
mg Cr organik/kg ransum dengan carrier S.
cerevisiae dan ragi tape menghasilkan proporsi
molar isobutirat yang meningkat (P<0,05).
Suplementasi Cr organik 2 mg/kg ransum
justru menurunkan proporsi molar isobutirat dan
kembali meningkat pada suplementasi Cr
organik sebesar 3 mg/kg (P<0,05). Sementara
suplementasi Cr organik dengan A. oryzae dan
R. oryzae sebagai carrier meningkatkan
(P<0,05) proporsi molar isobutirat pada level 2
mg/kg ransum. Peningkatan Cr organik menjadi
3 mg/kg ransum justru menurunkan isobutirat
(P<0,05) yang dihasilkan.
Suplementasi Cr organik yang diberikan
juga tidak berpengaruh nyata terhadap proporsi
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Tabel 4. Proporsi molar asetat, propionat, butirat dan valerat (% mM)
Perlakuan Asetat Propionat Butirat Valerat
Kontrol 50,52±19,94 29,81±13,10 12,95±8,17B
0,73±1,26A
SC 1 43,46±7,47 33,42±5,74 12,10±6,02 2,05±2,54AB
SC 2 46,43±14,81 35,29±5,59 11,99±7,24A
0,57±0,98A
SC 3 48,82±21,20 31,58±14,65 11,79±7,20A
0,00±0,00A
Saccharomyces
cerevisiae 46,24±13,66 33,43±8,50 11,96±5,93
A0,87±1,64
A
AO 1 45,07±6,60 33,01±1,73 14,33±3,91B
1,24±1,09AB
AO 2 46,14±10,14 34,91±7,71 10,94±5,65A
0,43±0,74A
AO 3 49,89±16,14 33,38±9,64 9,77±5,01A
0,96±0,86AB
Aspergillus oryzae 47,03±10,32 33,77±6,29 11,68±4,72A
0,87±0,86A
RO 1 51,22±6,74 33,95±3,08 8,90±6,55A 0,52±0,89A
RO 2 46,59±11,11 28,72±6,03 11,06±2,97A
2,95±4,13AB
RO 3 47,02±9,84 35,20±6,39 10,43±7,88A
1,21±1,11AB
Rhizopus oryzae 48,28±8,44 32,62±5,53 10,13±5,42A
1,56±2,44A
Ragi tape 1 49,74±4,80 33,02±2,95 10,10±5,69A
0,46±0,79A
Ragi tape 2 41,33±6,89 37,34±2,78 15,03±5,26B
0,47±0,81A
Ragi tape 3 41,17±12,10 33,17±8,50 17,53±3,68B
0,51±0,88A
Ragi tape 44,08±8,50 34,51±5,17 14,22±5,39AB
0,48±0,72A
Media PeternakanASTUTI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 14/86
Edisi Desember 2006 129
Tabel 5. Konsentrasi isobutirat, isovalerat dan isoacids (% mM)
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Perlakuan Isobutirat Isovalerat Isoacids
Kontrol 2,91±0,35A
3,09±0,31 5,99±0,55
SC 1 mg/kg 4,72±3,45AB
4,25±2,88 8,96±6,33
SC 2 mg/kg 2,44±1,26A
3,28±1,55 5,72±2,80
SC 3 mg/kg 3,84±1,45AB
3,98±1,53 7,82±2,96
Saccharomyces cerevisiae 3,66±2,21A
3,84±1,86 7,50±4,03
AO 1 3,23±0,45A
3,12±0,77 6,35±1,17
AO 2 3,86±1,82AB
3,72±1,62 7,58±3,44
AO 3 3,22±2,80A
2,78±2,34 6,00±5,14
Aspergillus oryzae 3,44±1,72A
3,21±1,53 6,64±3,23
RO 1 2,88±1,35A
2,54±0,54 5,42±1,89
RO 2 5,37±4,72AB 5,31±5,34 10,68±1,05
RO 3 3,14±1,39A
3,00±1,44 6,15±2,83
Rhizopus oryzae 3,80±2,81A
3,62±3,06 7,41±5,85
Ragi tape 1 3,72±2,86AB
2,97±1,63 6,68±4,49
Ragi tape 2 2,70±2,53A 3,12±0,58 5,83±2,97
Ragi tape 3 4,21±2,40AB
3,43±1,23 7,63±3,61
Ragi tape 3,54±2,35A
3,17±1,08 6,71±3,34
molar isovalerat dan isoacids. Proporsi molarisovalerat mempunyai pola yang hampir sama
dengan isobutirat. Namun demikian, secara
umum suplementasi Cr dapat meningkatkan
proporsi molar isoacids (Gambar 2).
Suplementasi Cr organik 2 mg/kg ransum
merupakan taraf terbaik dimana dapat
menghasilkan proporsi isoacids tertinggi.
Isoacids yang proporsi molarnya
meningkat dalam penelitian ini adalah
isobutirat, yang pada akhirnya menyebabkanpeningkatan proporsi molar isoacids secara
keseluruhan. Meskipun mekanismenya belum
dapat diketahui pasti, Besong et al. (2001)
menyatakan bahwa suplementasi Cr organik
pada dosis yang tepat akan mempengaruhi
produksi propionat, butirat, dan isobutirat dalam
cairan rumen, dimana pemakaian 1,6 mg Cr/kg
ransum dapat meningkatkan proporsi molar
isobutirat.
Peningkatan isoacids tersebut diharapkandapat meningkatkan sintesis protein mikrobakarena isoacids merupakan sumber kerangkakarbon bagi bakteri untuk biosintesis asam-asam amino rantai cabang, berturut-turut valin,leusin, dan isoleusin. Isoacids tersebut disintesisdari protein dan sumber karbon lain selamaproses fermentasi di dalam rumen (Czerkawski,1986).
Nisbah A/P, NGR, Produksi Metan dan
Efisiensi Konversi Heksosa
Data VFA individual dalam cairan rumendapat digunakan untuk mengetahui nilai nisbahA/P, NGR, produksi metan dan efisiensikonversi heksosa (Orskov & Ryle, 1990), yangdapat dilihat pada Tabel 6. Pemberian Crorganik tidak berpengaruh secara nyata terhadapnisbah A/P, tetapi terlihat kecenderungan nisbahA/P yang lebih rendah dari kontrol. Hal ini
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 15/86
Edisi Desember 2006 130
menunjukkan bahwa proporsi propionat yang
meningkat di dalam rumen, dibandingkan
dengan asetat. Suplementasi Cr yang berperan
dalam metabolisme glukosa mempengaruhi
produksi propionat yang bersifat glukogenik.
Sistem fermentasi rumen yang mengarah
ke propionat juga mengakibatkan nilai non
glucogenic ratio (NGR) cenderung menurun.
NGR adalah perbandingan antara asam lemak
terbang yang bersifat non-glukogenik dan
glukogenik. Peningkatan propionat yang
bersifat glukogenik akan menurunkan nilai
NGR. Nilai NGR pada ransum kontrol adalah
2,49 sedangkan suplementasi Cr organik 1, 2,
dan 3 mg/kg ransum menyebabkan turunnya
nilai NGR menjadi 1,72; 1,66 dan 1,89.
Nilai NGR berhubungan erat denganproduksi gas metan. NGR dan metan
mempunyai korelasi positif, yang berarti
semakin rendah nilai NGR semakin rendah pula
produksi metan. Adanya indikasi penurunan
produksi gas metan juga didukung oleh hasil
estimasi produksi metan yang dihitung
berdasarkan stoikiometri sintesis asetat,
propionat dan butirat. Suplementasi Cr organik
tidak menghasilkan perubahan yang signifikan
terhadap produksi metan, tetapi terlihat bahwa
produksi metan ransum perlakuan lebih rendah
dari kontrol. Rendahnya produksi metan berarti
akan meningkatkan nilai efisiensi konversi
heksosa, karena semakin sedikit energi yang
terbuang dalam bentuk metan. Berdasarkan
efisiensi penggunaan energi ransum, sistem
fermentasi rumen yang mengarah ke sintesis
asam propionat akan lebih menguntungkan
(Orskov & Ryle, 1990), karena energi yang
terbuang sebagai gas metan akan berkurang.
Nilai efisiensi konversi heksosa menjadi VFA
tersebut dapat diduga dari data VFA individual.
Peningkatan efisiensi konversi heksosa
dengan suplementasi Cr organik terjadi pada
level 2 mg/kg ransum untuk Cr organik dengan
carrier S. cerevisiae dan A. oryzae. Efisiensikonversi heksosa yang diperoleh pada ransum
perlakuan tersebut nyata lebih tinggi (P<0,01)
dibanding ransum kontrol. Suplementasi Cr
organik dengan carrier R. oryzae dan ragi tape
dapat meningkatkan efisiensi konversi heksosa
secara signifikan (P<0,01) pada taraf 1 mg/kg
ransum. Suplementasi Cr organik menunjukkan
kecenderungan peningkatan efisiensi konversi
heksosa.
Media PeternakanASTUTI ET AL.
0
2
4
6
8
I s o a c i d s ( % m M )
0 1 2 3
Level Cr organik (mg/kg ransum)
Gambar 2. Konsentrasi isoacids berdasarkan Cr organik yang digunakan
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 16/86
Edisi Desember 2006 131
Tabel 6. Nisbah A/P, NGR, produksi metan, dan efisiensi konversi heksosa
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Perlakuan Nisbah A/P NGRMetan(mM)
Efisiensi konversiheksosa
(%)
Kontrol 2,30±2,08 2,49±1,80 21,05±11,57 64,19±6,20A
SC 1 1,36±0,49 1,66±0,62 16,40±6,25 63,74±2,35A SC 2 1,39±0,69 1,65±0,50 17,39±6,96 67,62±3,44B SC 3 2,06±1,68 2,13±1,23 19,46±12,42 65,04±3,85A Saccharomyces cerevisiae 1,60±1,04 1,81±0,77 17,75±7,89 65,47±3,31A AO 1 1,73±0,25 1,71±0,16 17,87±2,69 64,32±3,11A AO 2 1,41±0,63 1,62±0,45 17,08±5,91 67,03±2,49B AO 3 1,71±1,14 1,95±1,10 19,04±10,04 67,65±0,93B
Aspergillus oryzae 1,49±0,68 1,76±0,62 17,99±6,04 66,32±2,55A
RO 1 1,52±0,30 1,73±0,29 19,35±3,03 69,07±3,98B RO 2 1,68±0,61 1,89±0,69 18,88±6,33 60,54±8,44A RO 3 1,40±0,57 1,65±0,60 17,32±6,10 67,85±4,09B
Rhizopus oryzae 1,54±0,46 1,76±0,48 18,52±4,74 65,82±6,48A Ragi tape 1 1,52±0,28 1,76±0,37 19,14±3,37 67,17±2,02B Ragi tape 2 1,12±0,27 1,47±0,15 15,09±2,90 66,74±1,72B Ragi tape 3 1,38±0,82 1,81±0,75 16,67±7,17 62,13±3,73A Ragi tape 1,34±0,49 1,68±0,45 16,97±4,57 65,34±3,33A
Penggunaan fungi yang berbeda sebagaicarrier ternyata menimbulkan respon yangberbeda pula. Hal tersebut disebabkan sifat darifungi itu sendiri dan interaksinya terhadapmikroba rumen dan daya cerna terhadap ransumdalam rumen. Dua kapang yang digunakanbersifat proteolitik sedangkan khamir yangbersifat amilolitik lebih berperan dalammetabolisme glukosa, sedangkan ragi tapemerupakan campuran antara kapang, khamir
dan terkadang terdapat bakteri (Saono, 1984).Perbedaan tersebut memberikan respon yangberbeda terhadap mikroba rumen dan prosesfermentasi rumen (Martin & Nisbet, 1992; Yoon& Stern, 1996).
KESIMPULAN
Percobaan in vitro menunjukkan bahwasuplementasi Cr organik sebanyak 1 mg/kgransum dapat meningkatkan kecernaan bahan
kering dan bahan organik dibandingkan dengankontrol pada semua fungi yang digunakan.
Suplementasi Cr organik dapat meningkatkan
produksi NH3dan VFA total. Hasil analisis VFA
individual terlihat bahwa suplementasi Cr
organik pada taraf pemakaian yang tepat dapat
meningkatkan proporsi molar valerat dan
isobutirat. Empat spesies fungi yang digunakan
dapat dipakai sebagai carrier dalam pembuatan
Cr organik karena tidak mengakibatkan efek
negatif bagi aktivitas fermentasi rumen.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi,Yogyakarta.
Anderson, R.A. 1987. Chromium. In: W. Mertz(Ed.). Trace Elements in Human and AnimalNutrition. Ed ke-5. Academic Press, Inc., SanDiego, California.
PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 17/86
Edisi Desember 2006 132
Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba padaRuminansia. Murwani R, penerjemah;Srigandono B, editor. Ed ke-2. Terjemahan
dari: Microbial Digestion in Ruminants.GajahMada University Press, Yogyakarta.Beauchemin, K.A., W.Z.Yang, D.P. Morgavi, G.R.
Ghorbani, W. Kautz, & J.A.Z. Leedle.2003. Effects of bacterial direct-fed microbialand yeast on site and extent of digestion, bloodchemistry, and subclinical ruminal acidosis infeedlot cattle. J. Anim. Sci. 81:1628-1640.
Bergman, E.N. 1983. Dynamic Biochemistry of Animal Production. Elsevier, New York.
Besong, S., J.A. Jackson, D.S. Trammell, & V.Akay. 2001. Influence of supplementalchromium on concentrations of livertriglyceride, blood metabolites and rumenVFA profile in steers fed a moderately highfat diet. J. Dairy Sci. 84:1679-1685.
Burton, J.L. 1995. Supplemental chromium: itsbenefits to the bovine immune system. Anim.Feed Sci. Technology 53: 117-125.
Czerkawski, J.W. 1986. An Introduction to RumenStudies. Pergamon Press, New York.
Forbes, J.M. & J. France. 1993. QuantitativeAspects of Ruminant Digestion andMetabolism. CAB International, London.
Ghorbani, G.R., D.P. Morgavi, K.A. Beauchemin,
& J.A.Z. Leedle. 2002. Effects of bacterialdirect-fed microbials on ruminal fermentation,blood variables, and the microbial populationof feedlot cattle. J.Anim. Sci. 80:1977-1986.
Hoover, W.H. & T.K. Miller. 1992. RumenDigestive Physiology and Microbial Ecology.Agric. Forestry Exp. Station, West VirginiaUniversity, Morgantown, West Virginia.
Jayanegara, A. 2003. Uji in vitro ransum yangdisuplementasi kromium anorganik danorganic. Skripsi. Fakultas Peternakan, InstitutPertanian Bogor, Bogor.
Kegley, E.B. & J.W. Spears. 1995. Immuneresponse, glucose metabolism, andperformance of stressed feeder calves fedinorganic or organic chromium. J. Anim. Sci.73:2721-2726.
Kegley, E.B., D.L. Galloway, & T.M. Fakler. 2000.Effect of dietary chromium-L-methionine onglucose metabolism of beef steers. J. Anim.Sci. 78:3177-3183.
Lyons, T.P. 1995. Biotechnology in The FeedIndustry: A look Forward and Backward. In:
T.P. Lyons & K.A. Jacques (Eds.).Biotechnology in The Feed Industry. Proc. of Alltech’s 11 th Annual Symposium.
Nottingham University Press:1-29.Martin, S.A. & D.J. Nisbet. 1992. Effect of direct-
fed microbials on rumen microbialfermentation. J. Dairy Sci. 75:1736-1744.
McDonald, P., R. Edwards, J.F.D. Greenhalgh,& C.A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th
Ed. Longman Scientific and Technical, NewYork.
Mertz, W. 1998. Chromium research from adistance: from 1959 to 1980. J. Am. Collegeof Nutrition 17:544-547.
Muktiani, A. 2002. Penggunaan hidrolisat buluayam dan sorghum serta suplemen kromiumorganik untuk meningkatkan produksi susupada sapi perah. Disertasi. ProgramPascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Orskov, E.R. & M. Ryle. 1990. Energy Nutritionin Ruminant. Elsevier Applied Science,London.
Preston, T.R. & R.A. Leng. 1987. MatchingRuminant Production System with AvailableResources in Tropic. Penambul Book,Armidale.
Russel, J.B. & C.J. Sniffen. 1984. Effect of carbon-4 and carbon-5 volatile fatty acids on growth
of mixed rumen bacteria. J. Dairy Sci. 67:987-994.
Saono, J.K.D. 1984. Pengawetan berbagai Khamirdan Kapang Industri di dalam Ragi KulturTunggal. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Sutardi, T. 1994. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia Melalui Amoniasi Pakan SeratBermutu Rendah, Defaunasi danSuplementasi Sumber Protein TahanDegradasi dalam Rumen. Laporan PenelitianHibah Bersaing 1993/1994. Institut PertanianBogor, Bogor.
Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1981. Principles andProcedures of Statistics. A BiometricalApproach. 2nd Ed. McGraw Hill Kogashusha,Ltd., Tokyo.
Tilley, J.M.A. & R.A. Terry. 1963. Two-stagetechnique for the in vitro digestion of foragecrops. J. British Grassland Soc. 18: 104-110.
Yoon, I.K. & M.D. Stern. 1996. Effects of Saccharomyces cerevisiae and Aspergillusoryzae cultures on ruminal fermentation indairy cows. J. Dairy Sci. 79:411-417.
Media PeternakanASTUTI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 18/86
Edisi Desember 2006 133
Pemberian Antanan (Centella asiatica) dan Vitamin C Sebagai Upaya
Mengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler
E. Kusnadia, R. Widjajakusumab, T. Sutardic, P.S. Hardjosworoc & A. Habibied
aJurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Andalas PadangbJurusan Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Insititut Pertanian Bogor
cFakultas Peternakan Insititut Pertanian Bogord Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Gedung Departemen Keuangan Jakarta
(Diterima 17-01-2006; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT
High environmental temperatures may cause heat stress in poultry. This may increasewater consumption, decrease feed consumption and in turn, decrease production level. Inaddition, high temperature contributes to oxidative stress, a condition where oxidantactivity (free radicals) exceeds antioxidant activity. In this research, antanan (Centellaasiatica) and vitamin C were utilized as anti heat-stress agents for heat stressed broilers.The research used 120 male broilers of 2 – 6 weeks of age, kept at 31.98 ± 1.94oC poultryhouse temperatures during the day and 27.36 ± 1.31oC at night. The data colected wereanalyzed with a factorial in completely randomized design of 2 x 3 (2 levels of vitamin C,
3 levels of antanan and 4 replications) and continued with contrast-orthogonal test whennecessary. The result indicated that the treatments of 5% antanan (A5), 10% antanan (A10),combination of A5C, and A10C significantly (P<0.05) increased the plasma triiodothyroninehormone from 101 ng/dL to 113, 110, 121, 119 and 126 ng/dL respectively; carcass proteinfrom 16.5% to 17.8%, 19.1%, 19.2%, 17.3% and 18.1%; feed consumption from 2711 g to3026, 3071, 2883, 3156 and 2935 g and body weight gain from 1181 g to 1297, 1347,1254, 1376 and 1330 g. It could be concluded that the combination of addition 5% antananand vitamin C 600 ppm is the most effective as anti heat-stress agent in broilers.
Key words : Centella asiatica, vitamin C, heat stress, broiler
PENDAHULUAN
Suhu keliling yang tinggi dapat
mengakibatkan terjadinya penimbunan panas
dalam tubuh, sehingga tubuh akan mengalami
cekaman panas. Ayam yang termasuk hewan
homeothermis akan berusaha mempertahankan
suhu tubuhnya dalam keadaan relatif konstan
antara lain melalui peningkatan pernafasan dan
konsumsi air minum serta penurunan konsumsi
ransum. Akibatnya, akan terjadi penurunan
dalam pertumbuhan dan produksi/produktivitas.
Kondisi tersebut nampaknya akan terjadi pada
pemeliharaan ayam broiler di daerah panas yang
suhu lingkungannya dapat mencapai 34oC pada
siang hari, sementara suhu keliling yang nyaman
bagi ayam broiler sekitar 21 – 24oC (Charles,
1981).
Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 133-140ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 19/86
Edisi Desember 2006 134
Penelitian Bonnet et al. (1997)
menunjukkan bahwa konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan ayam broiler umur 4
s/d 6 minggu yang dipelihara pada suhu
lingkungan 32oC masing-masing 1470 g dan
515 g. Sementara pada suhu 22oC konsumsi
ransum dan pertambahan bobot badan (PBB)
tersebut masing-masing 2226 g dan 1084 g.
Tingginya suhu lingkungan tersebut, selain
menurunkan asupan nitrogen dan mineral,
ternyata juga menurunkan retensi keduanya. Hal
serupa dibuktikan pula oleh May & Lott (2001)
di mana pertambahan bobot badan ayam broiler
jantan umur 3 s/d 7 minggu pada suhu 30oCadalah 1869 g, nyata lebih rendah dibandingkan
pemeliharaan pada suhu 22oC yang
pertambahan berat badannya mencapai 2422 g,
sedangkan konversi ransum (konsumsi ransum/
PBB) menurun dari 3,28 menjadi 2,54. Artinya
terjadi penurunan efisiensi penggunaan ransum
jika suhu keliling lebih tinggi.
Penurunan performa ayam pada suhu
keliling tinggi, secara fisiologis dapat dijelaskan
antara lain karena rendahnya sekresi hormontiroid (Geraert et al., 1996), menurunnya
kandungan hemoglobin dan hematokrit darah
(Yahav et al., 1997) serta meningkatnya
pengeluaran beberapa mineral (Belay et
al.,1992) dan beberapa asam amino (Tabiri et
al., 2000) dari dalam tubuh. Hormon tiroid
(triiodotironin) berperan dalam meningkatkan
konsumsi oksigen, sehingga metabolisme secara
keseluruhan menjadi naik. Akibatnya
pertumbuhan yang dimulai dari sintesis proteinmenjadi meningkat (Geraert et al., 1996).
Selain itu, cekaman panas dapat
menyebabkan terjadinya stres oksidatif dalam
tubuh, sehingga menimbulkan munculnya
radikal bebas yang berlebihan. Radikal bebas
dapat menimbulkan peroksidasi lemak
membran, sehingga radikal bebas tersebut dapat
menyerang DNA dan protein (Rahman, 2003).
Penelitian Takahashi & Akiba (1999)
membuktikan bahwa pemberian lemak teroksidasi pada ayam broiler, nyatamenurunkan konsumsi ransum, pertambahanbobot badan, kadar vitamin C dan á-tokoferolplasma. Hal serupa terbukti pula dari stresoksidatif karena pemberian hormonkortikosteron (Taniguchi et al., 1999).
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi cekaman panas di atas, antara laindengan penambahan vitamin C, E, A danpengaturan suhu lingkungan denganmemperoleh hasil yang beragam. Pemberianbeberapa tanaman obat yang mudah diperoleh,
dapat merupakan alternatif untuk digunakan.Antanan/pegagan (Centella asiatica (L.)
Urban), merupakan salah satu tanaman obatyang memiliki zat aktif asam asiatik ,
asiatikosida dan asam madekasik yang selainmudah diperoleh, juga sudah terbukti dapatmengatasi stres pada tikus (Kumar & Gupta,2003). Penelitian Shukla et al. (1999)membuktikan bahwa pemberian asiatikosidapada tikus yang luka, selain mempercepatpenyembuhan luka juga terjadi peningkatanbeberapa antioksidan enzimatik dan nonenzimatik pada jaringan yang baru terbentuk.Selain itu, vitamin C yang telah terbukti dapatdigunakan baik untuk mengatasi cekamandingin (Sahin & Sahin, 2002) maupun cekamanpanas pada ayam (Puthpongsiriporn et al., 2001)ternyata terbukti pula bersifat sinergik denganzat aktif antanan (Bonte et al., 1994). Ayammampu mensintesis vitamin C, namun dalamkondisi cekaman, selain kebutuhannya
meningkat, kemampuan mensintesis jugamenurun (Kutlu & Forbes, 1993).
Berdasarkan pemikiran di atas, makadiadakan penelitian tentang “PemberianAntanan (Centella asiatica) dan Vitamin Csebagai Upaya Mengatasi Efek Cekaman Panaspada Broiler”. Pemberian vitamin Cdimaksudkan sebagai pembanding dariperlakuan antanan yang belum diujikan padaayam.
Media PeternakanKUSNADI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 20/86
Edisi Desember 2006 135
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan pada ayam broiler
jantan umur 2 s/d 6 minggu yang dilaksanakan
pada kandang terbuka yang berlokasi di daerah
Bubulak – Bogor. Pada masing-masing sangkar
percobaan diberi lampu pemanas sebesar 40
Watt, yang di atasnya dipasang reflektor yang
terbuat dari seng untuk memantulkan panas.
Hasil pengukuran selama penelitian
menunjukkan bahwa rataan suhu dan
kelembaban pada siang hari 31,98 ± 1,28oC dan
78,82 ± 5,43%, merupakan rerata dari
pengukuran siang (jam 13.00 s/d 14.00) dansore hari (jam 17.00 s/d 18.00). Pada malam
hari, suhu dan kelembaban tersebut masing-
masing 27,36 ± 0,88oC dan 86,23 ± 3,93%,
merupakan rerata dari pengukuran pada malam
(jam 21.00 s/d 22.00) dan pagi hari (jam 05.00
s/d 06.00).
Sebanyak 120 ekor ayam broiler jantan
umur 2 minggu dibagi secara acak dan
ditempatkan pada 24 kandang perlakuan (6
perlakuan dan 4 ulangan), sehingga tiap unit
ulangan ditempati 5 ekor. Perlakuan dalam
penelitian ini meliputi dua 2 faktor; faktor
pertama pemberian vitamin C yakni 0 dan 500
ppm dan faktor kedua pemberian antanan yakni
0%, 5% dan 10%. Pemberian vitamin Csebanyak 500 ppm dan antanan sebesar 5% dan
Tabel 1. Susunan dan kandungan nutrien ransum
Keterangan : 1) hasil perhitungan berdasarkan kandungan nutrien dari NRC (1994) dan hasil analisis di Balitnak
Ciawi Bogor;2) hasil analisis di Balitbio Bogor.
PEMBERIAN ANTANANVol. 29 No. 3
Jenis R1 R2 R3
Bahan pakan (%)
Jagung 63,00 57,60 52,35
Bungkil kedelai 17,00 17,00 17,00Tepung ikan 11,20 11,20 11,20
Tepung bulu ayam 4,80 4,80 4,80
Antanan 0,00 5,00 10,00
Minyak kelapa 2,25 3,05 3,50
Dikalsium fosfat 0,10 0,10 0,00
CaCO3 0,90 0,75 0,65
Premix 0,50 0,50 0,50
Total 100,00 100,00 100,00
Nutrien
Energi metabolis (kkal/kg) 3245,02 3222,94 3202,87
Protein (%) 20,84 20,91 20,99Lemak (%) 6,16 6,15 6,96
P (%) 0,65 0,65 0,63
Ca (%) 1,03 1,28 1,02
Serat kasar (%) 2,46 3,28 4,09
Lisina (%) 1,39 1,38 1,36
Metionina (%) 0,51 0,49 0,48
Vitamin C (mg/100 g)2)
20,21 22,92 25,88
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 21/86
Edisi Desember 2006 136
10%; keduanya didasarkan atas hasil penelitian
pendahuluan sebelumnya. Vitamin C dilarutkan
dalam air minum dan diberikan pada pagi hari.
Agar vitamin C yang diberikan cepat terminum,
maka sekitar 2 jam sebelumnya, ayam tersebut
tidak diberi minum. Antanan sebanyak 5% dan
10% diberikan dalam ransum yang dicampur
bersama bahan lainnya dan diberikan ad libitum.
Oleh karena itu dalam penelitian ini disusun 3
jenis ransum (iso kalori dan iso protein) dengan
3 kandungan antanan yang berbeda yakni 0%,
5% dan 10%. Susunan dan kandungan nutrien
ransum dapat dilihat pada Tabel 1.
Peubah yang Diukur
1. Hormon triodotironin (T3) plasma diukur
pada umur 4 dan 6 minggu dengan
menggunakan metode radioimmunoasay
(RIA).
2. Protein karkas diukur pada umur 6 minggu.
Karkas yang merupakan gabungan tulang
dan daging diblender hingga hancur dan
homogen. Diambil sampel dan dianalisikadar proteinnya dengan metode makro
Kjeldhal.
3. Konsumsi ransum diukur setiap minggu,
yakni dengan mengurangkan jumlah
ransum yang diberikan dengan ransum sisa.
4. Pertambahan bobot badan diukur setiap
minggu, dengan mengurangkan bobot
badan akhir dengan bobot badan awal.
5. Konversi ransum diamati pada umur 6
minggu dengan membagi konsumsi ransumdengan pertambahan bobot badan.
Analisis Statistik
Rancangan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola
faktorial 2x3. Data dianalisa dengan ANOVA,
sedangkan uji lanjut menggunakan uji ortogonal
kontras menurut Steel & Torrie (1980).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh pemberian antanan dan vitamin
C terhadap kandungan hormon triiodotironin
(T3) plasma umur 4 minggu dan 6 minggu
masing-masing dapat dilihat pada Gambar 1
dan 2, sementara terhadap protein karkas,
konsumsi ransum, pertambahan bobot badan
dan konversi ransum dapat dilihat pada Tabel
2.
Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa
kadar T3plasma umur 4 minggu yang berkisar
dari 115 sampai 157, lebih tinggi dibandingkan
pada umur 6 minggu yang berkisar dari 101sampai 126 ng/dL. Hormon T
3dalam tubuh
berfungsi antara lain untuk pertumbuhan
termasuk sintesis protein melalui peningkatan
konsumsi oksigen yang diperlukan untuk
metabolisme. Tingginya T3
umur 4 minggu
menunjukkan bahwa pertumbuhan pada umur
4 minggu lebih cepat dibandingkan pada umur
6 minggu. Peningkatan kandungan T3plasma,
ternyata sejalan dengan meningkatnya protein
karkas (Tabel 2).Selanjutnya dari analisis keragaman yang
rerata hasil ortogonal kontrasnya ditampilkan
pada Gambar 1 dan 2, dihasilkan bahwa semua
perlakuan dari A5 s/d A10C, nyata
meningkatkan kadar hormon triiodotironin
plasma. Namun antara perlakuan A5, A10, C,
kombinasi A5C dan A10C serta interaksi antara
antanan dan vitamin C tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kadar hormon
triiodotironin tersebut. Ditinjau dari keefektifan,maka pemberian antanan sebanyak 5% yang
paling efektif dibandingkan perlakuan lainnya.
Kemampuan antanan dalam meningkat-
kan sintesis hormon T3dan protein karkas antara
lain karena antanan mengandung antioksidan
seperti senyawa fenol dan vitamin C yang
mampu mengurangi terjadinya peroksidasi
lemak, terutama asam lemak tidak jenuh pada
membran sel. Baik zat aktif antanan
Media PeternakanKUSNADI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 22/86
Edisi Desember 2006 137
Gambar 2. Hormon T3 plasma ayam broiler jantan umur 6 minggu yang diberi antanan 0% (K), 5%
(A5),10% (A10) dan vitamin C500 ppm (C) serta kombinasi A5C dan A10C
101a
113b
Gambar 1. Hormon T3 plasma ayam broiler jantan umur 4 minggu yang diberi antanan 0% (K), 5%
(A5),10% (A10) dan vitamin C500 ppm (C) serta kombinasi A5C dan A10C
115a
145b 136
b 139
b
157b
126b
0
40
80
120
160
T 3 p l a s m a ( n g / d L )
K A5 A10 C A5C A10C
Perlakuan
(asiatikosida, madekasid dan asam asiatik) yang
tergolong fenol maupun vitamin C, keduanya
memiliki gugus hidroksil yang mudah
teroksidasi, sehingga keduanya dengan mudah
mampu mendonorkan elektron dan hidrogen
terhadap radikal bebas (Sediaoetama, 1987;
Bonte et al., 1994; Pietta, 2000). Akibatnya
radikal bebas yang semula memilki elektrontidak berpasangan menjadi stabil, namun di sisi
lain baik senyawa aktif antanan maupun vitamin
C mengandung radikal bebas. Proses peredaman
radikal bebas yang terbentuk dapat terjadi
melalui kerja antioksidan lainnya sehingga
DNA dan protein relatif kurang terganggu dari
serangan radikal bebas. Peroksidasi lipida,
selain dapat menurunkan antioksidan dalam sel,
juga dapat meningkatkan jumlah radikal bebas
endogenous serta eksogenous yang dapatterserangnya DNA dan protein. Akibatnya dapat
terbentuk antara lain 8-hidroksi guanin, protein
PEMBERIAN ANTANANVol. 29 No. 3
101a
113b 110
b
121b 119
b
126b
0
40
80
120
160
T 3 p l a s m a ( n g / d L )
K A5 A10 C A5C A10C
Perlakuan
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 23/86
Edisi Desember 2006 138
Tabel 2. Protein karkas, konsumsi ransum, PBB dan konversi ransum ayam broiler jantan umur 2 - 6
minggu yang diberi antanan 0% (K), 5% (A5), 10% (A10) dan vitamin C500 ppm (C) serta
kombinasi A5C dan A10C
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05);
pengukuran protein karkas dilakukan pada akhir penelitian (umur 6 minggu).
PerlakuanPeubah
K A5 A10 C A5C A10C
Protein karkas
(%)
Konsumsi
ransum (g/ekor)
PBB (g)
Konversi
ransum
16,5±1,0a
2711±196a
1181±66a
2,30±0,16
17,8±0,4b
3026±22b
1297±113b
2,35±0,31
19,1±1,2b
3071±148b
1347±112b
2,42±0,30
19,2±1,2b
2883±362b
1254±35b
2,30±0,23
17,3±0,8b
3156±247b
1376±135b
2,31±0,32
18,1±1,0b
2935±198b
1330±100b
2,22±0,29
karbonil serta hidroksileusin, yang tentunya
akan mengganggu pertumbuhan (Yoshikawa &
Naito, 2002).
Selain itu, dilaporkan bahwa antanan
terbukti mampu menurunkan katabolisme
protein, terlihat dari menurunnya kandungan
senyawa epineprin, norepineprin, dopamin danserotonin pada otak tikus yang diberi ektrak
antanan (Nalini et al., 1992). Oleh karena itu
dapat dipahami kalau dalam penelitian ini terjadi
peningkatan dalam kandungan protein karkas,
yang menunjukkan adanya peningkatan pula
dalam sintesis protein.
Tabel 2 menunjukkan bahwa konsumsi
ransum ayam selama 4 minggu (umur 2 s/d 6
minggu) pada kontrol adalah 2711 g, nyata
(P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan A5,A10, C, A5C dan A10C masing-masing adalah
3026, 3071, 2883, 3156 dan 2935 g; sementara
antara A5 s/d A10C500 tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata. Hal serupa terjadi pula
pada pertambahan bobot badannya. Namun
tidak terjadi pada konversi ransum di mana
kontrol adalah 2,30; tidak berbeda nyata
dibandingkan A5 (2,35), A10 (2,42), C (2,30),
A5C (2,31) dan A10C (2,22). Begitu pula
dengan interaksi antara antanan dan vitamin C,
tidak memberikan pengaruh yang nyata baik
terhadap konsumsi ransum, PBB dan konversi
ransum. Hal ini berarti sejalan dengan kadar
hormon triiodotironin bahwa pemberian antanan
5% lebih efektif dalam mempengaruhi
konsumsi ransum dan pertambahan bobotbadan. Bila diperhatikan lebih lanjut, ternyata
kombinasi antanan 5% dengan vitamin C 500
ppm cenderung meningkatkan PBB, walaupun
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
dibandingkan perlakuan lainnya.
Hasil di atas membuktikan bahwa antanan
dan vitamin C telah berperan dengan baik
sebagai antioksidan, sehingga mampu
mengatasi turunnya konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan pada kondisicekaman. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Anim et al. (2000) pada ayam dan Sharma &
Sharma (2002) pada tikus yang mengalami
cekaman. Antanan mengandung antioksidan
antara lain senyawa fenol, yang mampu
menghentikan/mengurangi proses stres
oksidatif (Blokhina, 2000). Selain itu,
pemberian antanan dan vitamin C terbukti
mampu meningkatkan sintesis protein, serta
Media PeternakanKUSNADI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 24/86
Edisi Desember 2006 139
mengurangi katabolisme protein yang banyak
menghasilkan panas. Akibatnya individu akan
merasa lebih nyaman (tidak dalam kondisi
tercekam). Kenyamanan akan merangsang pusat
lapar yang berada di hipotalamus sementara
pusat haus dihambat, selain itu juga merangsang
TSH (thyroid stimulating hormone) di
hipotalamus, sehingga kelenjar tiroid akan
meningkatkan sekresi hormon tiroid baik
tiroksin (T4) maupun triiodotironin (T
3). Hal ini
akan meningkatkan konsumsi ransum,
metabolisme secara umum melalui peningkatan
konsumsi oksigen serta pertambahan bobot
badan (Cooper & Washburn, 1998).
KESIMPULAN
Pemberian antanan dan vitamin C dari
umur 2 s/d 6 minggu dapat meningkatkan kadar
hormon triiodotironin plasma, kadar protein
karkas, konsumsi ransum dan pertambahan
bobot badan pada ayam broiler yang mengalami
cekaman panas, tetapi tidak memperbaiki
efisiensi penggunaan ransum. Kombinasipemberian antanan sebanyak 5% dalam ransum
dan vitamin C cenderung paling efektif
digunakan dalam mengatasi cekaman panas
pada ayam broiler.
DAFTAR PUSTAKA
Anim, A.J., P.Y. Lin, D. Hester, B.A. Thiagarajan,Watkins & C.C. Wu. 2000. Ascorbic acidsupplementation improved antibody response
to infectious bursal disease vaccination inchickens. Poultry Sci. 79: 680-688.
Belay, T., C.J.Wiernusz & R.G. Teeter. 1992.Mineral balance and urinary and fecal mineralexcretion profile of broilers housed inthermoneutral and heat-distressedenvironments. Poultry Sci. 71: 1043 – 1047.
Blokhina, O. 2000. Anoxia and oxidative stress:Lipid peroxidation, mitochondrial functionsin plants antioxidant status and mitochondrialfunctions in plants. http://thesis,helsinki.fi/
j u l k a i s u t / m a t / b i o t i / v k / b l o k h i n a / anoxiaan.html. [20 Desember 2003].
Bonnet, S., P.A. Geraert, M. Lessire, M.B. Cerre& S. Guillaumin. 1997. Effect of highambient temperature on feed digestibility in
broilers. Poultry Sci. 76:857-863Bonte, F., M.Dumas, C.Chaudagne & A.
Meybeck. 1994. Influence of asiatic acid,madecassic acid, and asiaticoside on humancollagen I synthesis. Planta Med. 60: 133 –135.
Charles, D.R. 1981. Practical ventilation andtemperature control for poultry. In: J.A.Clark (Ed.). Environmental Aspects of Housing forAnimal Production. University of Nottingham, Butterworths, London.
Cooper, M.A. & K.W. Washburn. 1998. The
relationship of body temperature to weightgain, feed consumption, and feed utilizationin broilers under heat stress. Poultry Sci.77:237-242.
Geraert, P.A., J.C.F. Padilha & S.Guillaumin.1996. Metabolic and endocrine changes bychronic heat exposure in broiler chickens:biological and endocrinological variables. Br.J. Nutr.75:205-216.
Kumar, V.M.H. & Y.K. Gupta. 2003. Effect of Centella asiatica on cognition and oxidativestress in an intracerebroventricular
streptozotocin model of Alzheimers diseasein rat. Clin Exp Pharmacol Physiol 30:336-342.
Kutlu, H.R. & J.M. Forbes. 1993. Changes ingrowth and blood parameters in heat-stressedbroiler chicks in response to dietary ascorbicacid. Livestock Prod Sci 36: 335 – 350.
May, J.D. & B.D. Lott . 2001. Relating weight gainand feed:gain of male and female broilers torearing temperature. Poultry Sci 80: 581-58444.
Nalini, K., A.R. Aroor, K.S. Karanth & A.Rao.1992. Effect of Centella asiatica fresh leaf aqueous extract on learning and memory andbiogenic amine turover in albino rats.Fitoterapia 63: 232 – 237.
NRC (Nutritional Research Council). 1994.Nutrient Requirement of Poultry. 9th Rev. Ed.National Academy Press, Washington DC.
Pietta, P.G. 2000. Flavonoids as antioxidants.Reviews. J Nat Prod 63: 1035-1042.
Puthpongsiriporn, U., S.E. Scheideler, J.L.Sell &M.M. Beck. 2001. Effects of vitamin E andC supplementation on performance, in vitrolymphocyte proliferation, and antioxidant
PEMBERIAN ANTANANVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 25/86
Edisi Desember 2006 140
status of laying hens during heat stress.Poultry Sci 80: 1190-1200.
Rahman, I. 2003. Oxidative stress, chromatin
remodelling and gene transciption ininflammation and chronic lung desease.J.Biochem. Mol. Biol. 36: 95-109.
Sahin, K. & N.Sahin. 2002. Efect of chromiumpicolinate and ascorbic acid dietarysupplementation on nitrogen and mineralexcretion of laying hens reared in low ambienttemperature (7oC). Acta Vet Brno 71 : 183-189.
Sediaoetama, A.D. 1987. Vitaminologi. BalaiPustaka, Jakarta.
Sharma, J. & R. Sharma. 2002. Radioprotectionof Swiss albino mouse by Centella asiaticaextract. Phytother Res 16: 785 – 786.
Shukla, A., A.M. Rasik & B.N. Dhawan. 1999.Asiaticoside-induced elevation of antioxidantlevels in healing wounds. Phytotherapy-Research 13: 50-54.
Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1980. Principles andProcedures of Statistic. 2nd Ed.. Graw-Hall,Book Comp, New York.
Tabiri, H.Y., K. Sato, K. Takahashi, M.Toyomizu& Y. Akiba. 2000. Effects of acute heat stresson plasma amino acids concentration of broiler chickens. Japan Poult Sci 37: 86-94.
Takahashi, K. & Y. Akiba. 1999. Effect of oxidizedfat on performance and some physiologicalresponses in broiler chickens. J Poult Sci 36:304-310.
Taniguchi, N., A. Ohtsuka & K. Hayashi. 1999.Effect of dietary corticosteron and vitamin Eon growth and oxidative stress in broilerchickens. Anim.Sci.J 70:195-200.
Yahav, S., A.Straschnow, I. Plavnik & S. Hurwitz.1997. Blood system response of chickens tochanges in environmental temperature.Poultry Sci 76: 627 – 633.
Yoshikawa, T. & Y. Naito. 2002. What is oxidativestress ? JMAJ, 45: 271-276.
Media PeternakanKUSNADI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 26/86
Edisi Desember 2006 141
Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH
dan hCG pada Induk Sapi Potong
E.M. Kaiin & B.TappaPusat Penelitian Bioteknologi LIPI
Jl. Raya Bogor km.46 Cibinong 16911Telp. 021-8754587, [email protected]
(Diterima 22-02-2006; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT
The aim of this study was to evaluate the effect of superovulation treatment usingcombination of CIDR, FSH and hCG in beef cattle as donor embryos using MOETprogramme. All animals had been palpated to evaluated the ovary status and normal cowswere used as donor and synchronized with CIDR (Eazy BreedTM ). At day 10 of oestruscycle, cows were divided into two groups, first group: cows were injected intramuscularlywith FSH (Antrin) 40 IU per cow with decreasing doses (for 4 days) and second groupcows were treated the same way but at day 5 after FSH injection, they were injectedintramuscularly with 1,500 IU hCG (Chorulon). Embryo collection was done at day 7 afterArtificial Insemination (AI). Average number of corpora lutea (CL) in animals that
superovulated with CIDR, FSH and hCG was significantly higher (P<0.05) compared toanimals treated with CIDR and FSH only (5.52). Average number of embryo collectionand number of transferable embryos were also higher in group treated with hCG (6.00 vs5.44) compared with those treated without hCG (4.33 vs 3.17). The conclusion is hCGsuperovulation injection with CIDR and FSH can increase the respon of superovulation.
Key words : superovulation, CIDR, FSH, hCG, beef cattle
PENDAHULUAN
Salah satu masalah utama dalam programtransfer embrio adalah tingginya variabilitasrespon terhadap superovulasi pada induk donor.Padahal kuantitas dan kualitas embrio donorsangat berpengaruh terhadap keberhasilantransfer embrio. Superovulasi merupakan kuncikeberhasilan transfer embrio dan tidak hanyaditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan
jumlah embrio yang diperoleh, tetapisuperovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai
faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi
respon superovulasi pada induk donor, faktoryang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitasembrio serta faktor yang berhubungan denganmanajemen induk donor.
Hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalahFollicle Stimulating Hormone (FSH) yangberasal dari hipofisa. FSH merupakan hormonglikoprotein yang mempunyai waktu paruhyang pendek, sehingga memerlukan pemberiansecara berulang untuk merangsang aktivitas
Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 141-146ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 27/86
Edisi Desember 2006 142
folikel secara lebih efisien. Berbagai penelitian
pengaruh pemberian hormon terhadap respon
superovulasi pada induk donor telah dilakukan
yaitu dengan menggunakan PMSG, FSH
Ovagen, FSH-PTM (FSH from pituitary) baik
pada sapi potong maupun sapi perah (Tappa et
al., 1994a; 1997).
Pemakaian CIDR yang mengandung
hormon progesteron efektif dilakukan untuk
proses sinkronisasi siklus estrus pada sapi perah.
Selain itu, kombinasi penggunaan CIDR dengan
penyuntikan hormon prostaglandin ( )
secara nyata dapat meningkatkan jumlah sapi
yang standing pada saat estrus (Vargas et al.,1994). Pemberian hCG pada proses
superovulasi dengan FSH dilaporkan dapat
menghasilkan lebih banyak embrio layak
transfer walaupun tidak berbeda secara nyata
dari kontrol (Armstrong, 1993).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
respon superovulasi dari kombinasi perlakuan
superovulasi dengan menggunakan CIDR-FSH
dan kombinasi perlakuan CIDR-FSH-hCG pada
induk sapi potong yang digunakan sebagaiinduk donor embrio.
MATERI DAN METODE
Persiapan Ternak
Sapi potong betina Brangus dengan
umur yang bervariasi (4-5 tahun) digunakan
sebagai induk donor dalam program transfer
embrio. Sebelum digunakan, semua induk
diperiksa keadaan ovarinya dengan cara palpasi
rektal. Induk sapi dengan keadaan ovari dan alat
reproduksi normal digunakan dalam penelitian
ini. Body Condition Score induk-induk sapi
yang digunakan dalam penelitian sebesar 2,5
sampai 3,5. Induk sapi dikelompokkan secara
acak menjadi dua kelompok perlakuan yaitu :
pertama, kombinasi perlakuan CIDR-FSH dan
kedua, kombinasi perlakuan CIDR-FSH dan
hCG.
Superovulasi
Induk sapi pada kelompok pertama (n=
25) disinkronisasi berahinya dengan mengguna-
kan CIDR (Eazi BreedTM). Pada hari ke-10
setelah pemasangan CIDR, induk disuntik
dengan FSH (Antrin) dosis total 40 IU/20 ml
pelarut per ekor secara intramuskular dengan
dosis menurun sebanyak delapan kali (selama
4 hari berturut-turut). Pemberian FSH dilakukan
sebanyak dua kali sehari (pada pagi dan sore
hari). Pada hari pertama diberikan masing-
masing 4 ml, hari kedua sebanyak 3,5 ml dan
2,5 ml, hari ketiga sebanyak 2 ml dan 1,5 ml,sedangkan pada hari keempat diberikan
sebanyak 1,5 ml dan 1 ml, sehingga total
volume mencapai 20 ml (Tappa et al., 1994b).
Penyuntikan 15 mg per ekor (Prosolvin,
Intervet) dilakukan pada hari ke-3 penyuntikan
FSH, sedangkan pencabutan CIDR dilakukan
pada hari ke-4 penyuntikan FSH dan inseminasi
buatan (IB) sebanyak 2 kali dilakukan pada hari
ke-5 setelah penyuntikan FSH yang pertama.
Koleksi embrio dengan cara tanpa operasidilakukan pada hari ke-7 setelah IB. Koleksi
embrio dilakukan dengan menggunakan media
Ringer Laktat + 1% Calf Serum (CS).
Pada kelompok kedua (n=12),
pemasangan CIDR dan penyuntikan FSH
dilakukan dengan program yang sama dengan
kelompok pertama. Penyuntikan hCG
(Chorulon, Intervet) dengan dosis 1500 IU/ekor
secara intra muskular dilakukan pada hari yang
sama dengan IB. Inseminasi dilakukan dengan
menggunakan straw semen beku sapi Brangus.
Analisis Statistik
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah
korpus luteum (CL), jumlah embrio hasil
koleksi dan jumlah embrio yang layak transfer.
Data pengamatan dianalisa secara statistik
dengan menggunakan uji X2 (Steel & Torie,
1993).
Media PeternakanKAIIN & TAPPA
PGF2α
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 28/86
Edisi Desember 2006 143
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon induk sapi donor terhadap
perlakuan superovulasi dengan kombinasi
CIDR-FSH dan CIDR-FSH-hCG dapat dilihat
pada Tabel 1. Hanya 17 ekor induk sapi saja
(68%) yang memberikan respon terhadap
perlakuan superovulasi dari 25 ekor yang
diperlakukan dengan CIDR-FSH, sedangkan
pada perlakuan CIDR-FSH-hCG dari 12 induk
yang disuperovulasi terdapat 11 ekor (91,7%)
yang respon terhadap superovulasi. Rata-rata
jumlah korpus luteum (CL) per induk pada sapi
yang disuperovulasi dengan kombinasi CIDR-FSH-hCG adalah sebesar 7,33 dan hasil tersebut
lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dibandingkan
dengan perlakuan CIDR-FSH yaitu sebesar 5,52
CL per induk.
Jumlah embrio hasil koleksi dan jumlah
embrio yang layak transfer dirangkum pada
Tabel 2. Embrio hasil koleksi pada perlakuan
CIDR-FSH lebih banyak dikoleksi embrio pada
tahap perkembangan morula (45,12%)
dibandingkan dengan embrio tahapperkembangan blastosis (20,73%). Hal yang
serupa juga terjadi pada perlakuan CIDR-FSH-
hCG yaitu menghasilkan morula sebanyak 30
embrio (45,45%) dan blastosis sebanyak 16
embrio (24,24%). Kedua perlakuan
menunjukkan bahwa embrio yang tidak layak
transfer yaitu embrio yang mengalami
degenerasi atau embrio yang tidak mencapai
tahap morula atau blatosis masing-masing
34,15% untuk perlakuan CIDR-FSH dan
30,30% untuk perlakuan CIDR-FSH-hCG.
Walaupun tidak ada perbedaan yang nyata,
perlakuan CIDR-FSH-hCG menghasilkan rata-
rata embrio hasil koleksi lebih banyak (6,00
embrio per induk) dibandingkan dengan
perlakuan FSH-CIDR saja (4,33 embrio per
induk). Rata-rata jumlah embrio yang layak
transfer per induk pada perlakuan CIDR-FSH-
hCG lebih tinggi (5,44 embrio per induk)
dibandingkan dengan perlakuan CIDR-FSH
saja (3,17 embrio per induk). Kisaran embrio
layak transfer pada perlakuan CIDR-FSHadalah 0 sampai 16 embrio per induk, sedangkan
pada perlakuan CIDR-FSH-hCG berkisar antara
0 sampai 13 embrio layak transfer per induk.
Penggunaan CIDR untuk sinkronisasi
estrus sapi Holstein telah dilakukan di Jepang
oleh Vargas et al. (1994) dan menghasilkan
sebanyak 90,7% induk estrus dan 63,3% induk
bunting sebagai respon terhadap penggunaan
CIDR. Penelitian tersebut juga menunjukkan
bahwa penyuntikan pada saat penca-butan CIDR tidak berpengaruh terhadap
persentase kebuntingan, tetapi berpengaruh
secara nyata terhadap peningkatan kejadian
standing estrus dan jumlah CL yang dihasilkan
yaitu rata-rata per induk sebesar 3,1.
FSH berfungsi merangsang pertumbuhan
folikel yang muda menjadi matang, sehingga
dapat diovulasikan dan siap difertilisasi setelah
Tabel 1. Pengaruh kombinasi perlakuan superovulasi terhadap jumlah sapi respon dan korpus luteum
Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Perlakuan Jumlah sapi
(n)
Jumlah sapi respon
n (%)
Jumlah korpus luteum
(rata-rata per induk)
CIDR-FSH 25 17 138
(68)a
(5,52 ± 3,41)a
CIDR-FSH-hCG 12 11 88
(91,7)b
(7,33 ± 2,32)b
INDUKSI SUPEROVULASIVol. 29 No. 3
PGF2α
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 29/86
Edisi Desember 2006 144
inseminasi. Penyuntikan pFSH (pituitary FSH)
dengan dosis menurun dan pada 48 jam
sesudahnya diberi pada sapi Holstein
juga menghasilkan jumlah embrio hasil koleksi
dan jumlah embrio layak transfer yang lebih
tinggi dibandingkan dengan penyuntikan
tunggal (Takedomi et al., 1993). Dhanani et al.
(1991) melakukan penyuntikan FSH terhadap
sapi Brahman menghasilkan jumlah CL rata-rata
sebesar 10,6 per induk, jumlah embrio koleksi
sebanyak 7,2 dan jumlah embrio layak transfersebanyak 5,5 embrio per induk. Hasil ini lebih
tinggi dari hasil yang diperoleh pada penelitian
ini yang juga menggunakan sapi potong
Brangus, tetapi superovulasi dengan FSH pada
sapi Bali menghasilkan rata-rata CL 5,3 per ekor
dan embrio terkoleksi sebanyak 12 embrio
(Triyono et al., 1995). Deyo et al. (2001)
menggunakan CIDR-BTM pada sapi Holstein
dan disuperovulasi dengan FSH (Folltropin)
menghasilkan rata-rata jumlah embrio sebesar2,9 dan embrio layak transfer sebesar 1,8 per
induk.
Penyuntikan FSH Antrin dosis 7,5 mg/
ekor pada sapi Holstein menghasilkan CL rata-
rata sebesar 3,1 per ekor (Kojima et al., 1995).
CL yang diperoleh pada penelitian ini lebih
banyak yaitu 5,5 sampai 7,3 per ekor pada sapi
Brangus. Penggunaan FSH untuk superovulasi
pada sapi perah Hongarian dosis 36 mg dengan
dosis pemberian menurun selama 4 hari
menghasilkan rata-rata jumlah CL 6,0 dan
jumlah embrio terkoleksi sebanyak 5,6 dan
jumlah embrio layak transfer sebanyak 5,2
embrio pada program pertama superovulasi,
tetapi jumlah tersebut menurun setelah
disuperovulasi untuk yang keempat kalinya
(Tappa et al., 1994a). Profil hormon progesteron
pada waktu superovulasi dengan hormon FSH
tidak berpengaruh terhadap jumlah embrio,
tetapi berpengaruh sangat positif dengan kondisi
estrus (Tappa et al., 1993). Pengukuran profilhormon estrogen dan progesteron pada
penelitian ini tidak dilakukan.
Hormon hCG merupakan glikoprotein
yang berfungsi mencegah involusi normal sel-
sel korpus luteum sehingga sel-sel korpus
luteum mensekresikan lebih banyak hormon
progesteron dan estrogen serta menyebabkan
endometrium terus tumbuh dan menyimpan
nutrisi. Hormon hCG juga mempunyai aktivitas
biologi serupa dengan “luteinizing hormone,LH”. Pemberian hCG menyebabkan sekresi
progesteron dan induksi perkembangan korpus
luteum, serta memperpanjang waktu CL
(Nishigai et al., 2001).
Perlakuan CIDR dan FSH menghasilkan
kadar hormon LH yang secara alami terdapat
pada tubuh induk sapi donor kurang mencukupi
untuk mengovulasikan lebih banyak sel telur,
sehingga jumlah CL dan jumlah embrio yang
diperoleh lebih sedikit. Sebaliknya dengan
Tabel 2. Pengaruh kombinasi perlakuan superovulasi terhadap kualitas dan kuantitas embrio hasil koleksi
Status embrio hasil koleksiPerlakuan
(n induk)
Morulan (%)
Blastosisn (%)
Degenerasin (%)
Total
n (rata-rata perinduk)
Jumlah embrio
layak transfer
(rata-rata perinduk)
37 17 28 82 54CIDR-FSH
(17) (45,12) (20,73) (34,15) (4,33±4,58) (3,17±4,02)
30 16 20 66 46CIDR-FSH-hCG
(11) (45,45) (24,24) (30,30) (6,00±6,60) (5,44±4,49)
Media PeternakanKAIIN & TAPPA
PGF2α
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 30/86
Edisi Desember 2006 145
adanya penyuntikan hCG yang mempunyai
aktivitas biologi serupa LH terhadap induk sapi
donor, menyebabkan lebih banyak sel telur yang
dapat diovulasikan pada perlakuan
superovulasi. Hal tersebut diduga merupakan
penyebab perlakuan superovulasi kombinasi
CIDR, FSH dan hCG menghasilkan rata-rata
jumlah CL dan jumlah embrio layak transfer
lebih baik dari perlakuan CIDR dan FSH saja.
KESIMPULAN
Penyuntikan hCG pada proses
superovulasi dengan menggunakan kombinasiCIDR dan FSH menyebabkan peningkatan
respon superovulasi dan jumlah CL yang
terbentuk pada induk sapi donor Brangus secara
nyata. Selain itu juga meningkatkan jumlah CL
yang terbentuk, jumlah embrio terkoleksi dan
jumlah embrio yang layak transfer.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikankepada Unit Peternakan Tri ‘S’ Tapos yang telah
mengijinkan kami untuk menggunakan fasilitas
dan menyediakan sapi donor. Juga kepada H.
Yanwar, Hendri dan H. Parjan yang telah
membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, D.T. 1993. Recent advances insuperovulation of cattle. Theriogenology 39-7-24.
Deyo, C.D., M.G. Colazo, M.F. Martinez & R.J.Mapletoft. 2001. The use of GnRH or LH tosynchronize follicular wave emergence forsuperovulation in cattle. Theriogenology 55(1) : 513. (Abstract).
Dhanani, J.D. Jillella & P.J. Chenoweth. 1991.Prediction of response to superovulationtreatment in Bos indicus cattle by plasmaprogesterone estimation. Theriogenology 35(1) : 165. (Abstract).
Kojima, T., M. Shimizu & T. Tomizuka. 1995.Effect of administration with low-dose FSHto recipient cows on embryonic survival after
bilateral nonsurgical embryo transfer. J.of Reprod.and Develop. 41 (4) : 277 – 286.Nishigai, M., A. Takamura, H. Kamomae, T.
Tanaka & Y. Kaneda. 2001. The effect of human chorionic gonadotrophin on thedevelopment and function of bovine corpusluteum. J.of Reprod.and Develop. 47 (5) :283- 294.
Steel, R.G.D & J.H. Torrie. 1993. Prinsip danProsedur Statistika. PT. Gramedia, Jakarta.
Takedomi, T., Y. Aoyagi, M. Konishi, H. Kishi,K. Taya, G. Watanabe & S. Sasamoto. 1993.Superovulation in Holstein heifers by a singleinjection of porcine FSH dissolved inpolyvinylpyrrolidone. Theriogenology39:327. (Abstract).
Tappa, B., E.M. Kaiin & S. Said. 1993. Hubunganprofil hormon progesteron dengan jumlahovulasi dan kualitas embrio pada sapi perahyang disuperovulasi. Prosiding PertemuanIlmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi dalamBidang Industri, Pertanian dan Lingkungan,Jakarta. Hal. 357-362.
Tappa, B., E.T. Margawati & E.M. Kaiin. 1994a.Kelahiran anak sapi perah dari sapi pedaging
hasil transfer embrio. Prosiding SeminarNasional Sains dan Teknologi Peternakan,Bogor. Hal. 177-182.
Tappa, B., E.M. Kaiin, S. Said & M. Suwecha.1994b. Response of dairy cows treated withrepeated superovulation and embryo recovery.Proceeding of 7th AAAP Animal ScienceCongress. Bali. P. 19-20.
Tappa, B., M. Soewecha, S. Said, E.M. Kaiin, &F. Afiati. 1997. Over 5 years study insuperovulation of dairy and beef cows usingFSH-Ovagen and FSH-P during embryo
transfer. 4th International Meeting onBiotechnology in Animal Reproduction,Bogor.
Triyono, B., S. Said, E.M. Kaiin & B. Tappa.1995.Produksi embrio dan anak sapi Bali dari hasilsuperovulasi dan transfer embrio di Bengkulu.Seminar Hasil Penelitian dan PengembanganBioteknologi II. Cibinong.
Vargas, R.B., Y. Fukui, A. Miyamoto & Y.Terawaki. 1994. Estrus synchronizationusing CIDR in heifers. J.of Reprod.andDevelop. 40 (1):59- 64.
INDUKSI SUPEROVULASIVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 31/86
Edisi Desember 2006 146
Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi
dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing
T. Toharmat, E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, T. Q. Noerzihad,N.A. Sigit & Y. Retnani
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPBJl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680
(Diterima 06-04-2006; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT
Fibrous feeds vary in their physical properties. The experiment aimed to clarify theeffect of physical properties of fibrous component in rations on feed intake and nutrientdigestibility in goats. Rations were composed of 50% fibrous feed and 50% concentrate.The fibrous feed as treatments were as follows: napier grass (RG), rice straw (JP), cocoapod (KC), mixed rice straw and coffee husk (JK), mixed napier grass, rice straw, coffeehusk, and cocoa pod (CP). Rations were offered to four groups of 20 Etawah-grade goatsweighing of 13.50±2.14 kg in a randomized block design. Physical properties of the fibrouscomponents of ration and faeces, nutrients intake and digestibility and daily life weightgain were evaluated. Analysis of variance and correlation were applied to analyze data.
Dry matter intake varied from 298-440 g/day. Goats offered KC ration had the highestintake. Low feed intake was associated with the low density of the fibrous component.Dietary fat digestibility decreased when the fibrous feed component had low capacity of oil adsorption. Young goats had life weight gain of 50-136 g/day, TDN requirement formaintenance and 50 g daily gain of 63.4 g and 131 g TDN, respectively. The results indicatedthat physical properties of fibrous component in the rations influenced dry matter intakeand nutrients digestibility in growing goats.
Key words : physical properties, intake, nutrient, digestibility, goat
PENDAHULUAN
Rumput dan sebagian hasil ikutan industri
pertanian merupakan pakan kaya serat. Pakan
kaya serat mempunyai sifat fisik yang bervariasi
dan dapat berpengaruh terhadap tingkat
konsumsi dan kecernaannya. Keambaan bahan
pakan dan ketahanan potong merupakan sifat
fisik pakan kaya serat yang berkaitan erat
dengan kadar komponen serat dinding sel dan
kecernaan bahan tersebut (Herrero et al., 2001).
Ketahanan partikel terhadap proses pencernaan
dan ukuran partikel pakan kaya serat yang
dikonsumsi dapat mempengaruhi kondisi rumen
dan produk fermentasi (Le Liboux & Peyraud,
1999).
Diketahui bahwa bahan yang mengan-
dung serat kasar tinggi pada ternak monogastrik
Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 146-154ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 32/86
Edisi Desember 2006 147
mempunyai kecernaan lemak yang tinggi
(Sosulski & Cadden, 1982). Interaksi komponen
serat dengan kecernaan komponen lemak pakan
pada ternak ruminansia belum banyak diketahui.
Sementara lemak atau minyak digunakan
sebagai suplemen pada ternak ruminansia.
Selain itu, lemak termasuk bentuk sabunnya
sangat potensial digunakan sebagai suplemen
sumber asam lemak dalam upaya meningkatkan
kualitas susu (Adawiah, 2005).
Penelitian ini dirancang untuk mengkaji:
(1) sifat fisik beberapa pakan kaya serat hasil
samping industri pertanian, dan (2) hubungan
sifat fisik pakan dengan kecernaan nutrien padaternak ruminansia dengan ransum berbasis
bahan pakan kaya serat hasil samping industri
pertanian pada kambing peranakan Etawah.
MATERI DAN METODE
Kajian Sifat Fisik
Kajian kerapatan, berat jenis, daya ikat air
dan daya ikat lemak telah dilakukanmenggunakan metoda Lopez et al. (1996) yang
dimodifikasi. Kajian dilakukan pada bahan
pakan kaya serat yaitu rumput gajah, jerami
padi, kulit buah kopi dan kulit buah coklat serta
pada feses kambing percobaan. Bahan yang
digunakan telah dikeringkan dan digiling
menggunakan saringan 2 mm. Pengamatan
setiap sifat fisik dilakukan secara triplo.
Kandungan bahan kering, serat kasar, ADF dan
lemak bahan pakan kaya serat disajikan dalam
Tabel 1.
Kerapatan bahan ditentukan dengan
memasukkan sampel pakan ke dalam gelas ukur
250 ml. Kerapatan jenis langsung (direct
density) ditentukan dengan menggoyang-
goyangkan gelas ukur secara perlahan sehingga
seluruh ruang terisi dengan baik, sedangkan
kerapatan jenis curah (bulk density) ditentukan
dengan memberikan beban 5 kg pada
permukaan bahan dalam gelas ukur selama ± 1
menit hingga tidak terjadi perubahan volume.Volume sampel dalam gelas ukur diamati dan
bahan ditimbang. Kerapatan jenis langsung
(KJL) atau kerapatan jenis curah (KJC)
ditentukan dengan rumus: KJL (g/ml) atau KJC
(g/cm3) = berat/volume.
Berat jenis ditetapkan dengan memasukan
25 g sampel ke dalam gelas ukur 250 ml,
kemudian ditambahkan aquades 200 ml dan
didiamkan selama 1 jam. Berat jenis (BJ)
dihitung dengan rumus: BJ (g/cm3
) = beratbahan/(volume aquades dan bahan – volume
aquades).
Daya ikat air diukur dengan memasukkan
300 mg bahan dan 10 ml aquades ke dalam
tabung reaksi yang telah ditimbang. Campuran
didiamkan selama 1 jam, kemudian disentrifuge
selama 10 menit pada 3000 rpm. Filtrat dibuang
Tabel 1. Kandungan bahan kering, serat kasar, ADF dan lemak bahan pakan kaya serat penyusunransum percobaan
Keterangan: 1) Bahan kering sampel saat pengujian sifat fisik.
Bahan pakan BK1)
(%)
Serat kasar
(%BK)
ADF
(%BK)
Lemak kasar
(%BK)
Rumput gajah 88,51 45,67 49,98 3,25
Jerami padi 89,22 35,38 52,59 3,95
Kulit buah coklat 85,31 21,36 36,94 4,71
Kulit buah kopi 85,77 35,45 53,26 4,12
Media PeternakanTOHARMAT ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 33/86
Edisi Desember 2006 148
dan tabung dibalikkan selama 15 menit,
kemudian ditimbang dan dikeringkan beserta
isinya di dalam oven pada suhu 1050C selama
24 jam. Setelah pengeringan tabung beserta
isinya ditimbang kembali.
Daya ikat lemak ditentukan dengan
memasukkan 1 g sampel dan 6 ml minyak
jagung atau minyak sawit ke dalam tabung
reaksi yang telah ditimbang. Campuran dikocok
5 menit sekali hingga 30 menit, kemudian
disentrifuge selama 10 menit pada 3000 rpm.
Minyak yang terpisah dibuang, tabung
dibalikkan selama 15 menit dan selanjutnya
tabung beserta isinya ditimbang kembali.
Kajian Konsumsi dan Kecernaan
Dua puluh ekor kambing peranakan
Etawah lepas sapih dengan bobot hidup awal
13,50±2,14 kg digunakan dalam percobaan.
Kambing dikelompokkan berdasarkan bobot
hidup awal dan diberi ransum percobaan
berdasarkan rancangan acak kelompok.
Kambing dipelihara dalam kandang individu
berbentuk panggung berukaran 1 m x 1 m x 0,8
m, dengan tinggi lantai 0,5 m. Kandang
ditempatkan di dalam satu bangunan terbuka
beratap asbes.
Komponen ransum percobaan dan
komposisi nutriennya disajikan pada Tabel 2.
Ransum percobaan mengandung jenis bahan
pakan kaya serat berbeda berupa: rumput gajah
(RG), jerami padi (JP), kulit buah coklat (KC),
jerami padi + kulit buah kopi (JK), atau rumputgajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit
buah kopi (CP). Setiap ransum percobaan
diberikan pada empat ekor kambing selama dua
minggu periode adaptasi, tiga minggu periode
preliminary dan satu minggu periode koleksi
total. Ransum diberikan pada pukul 08:00 dan
SIFAT FISIK PAKANVol. 29 No. 3
Tabel 2. Komposisi bahan dan nutrien ransum percobaan yang diberikan pada kambing PeranakanEtawah lepas sapih
Keterangan: 1) kecuali bahan kering (%); ransum dengan bahan kaya serat berupa rumput gajah (RG), jerami
padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi
+ kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP).
Ransum percobaan
RG JP KC JK CP
Bahan pakan (%BK)
Konsentrat 49,40 49,51 50,98 49,82 50,00
Rumput gajah 50,60 - - - 12,50
Jerami padi - 50,49 - 25,09 12,50
Kulit buah coklat - - 49,02 - 12,50
Kulit buah kopi - - - 25,09 12,50
Total 100 100 100 100 100
Nutrien (%BK)1)
Bahan kering (BK) 90,65 90,44 87,84 89,87 89,56Abu 7,96 10,48 8,90 9,51 8,97
Lemak 7,66 8,01 8,39 8,05 8,04
Protein kasar 14,04 12,68 16,04 16,70 15,87
Serat kasar 28,60 23,46 16,45 23,48 23,00
BETN 41,74 45,37 50,22 42,26 44,12
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 34/86
Edisi Desember 2006 149
16:00 dengan total pemberian BK 3% bobot
hidup. Residu pakan dikeluarkan dari tempat
pakan satu kali sehari segera sebelum pakanbaru diberikan pada pukul 08:00. Air minumdiberikan ad libitum.
Selama periode koleksi total, feses
ditampung menggunakan kain kasa yangdipasang di bawah lantai kandang. Feses dansisa pakan ditimbang setiap hari. selanjutnyadikeringkan pada terik matahari. Semua feses
harian setiap individu kambing dicampurkanpada akhir percobaan, kemudian sampel diambil
dan digiling untuk dianalisa sifat fisik dan
komponen kimianya.Konsumsi bahan kering dan nutrien
ditentukan dengan mengukur bahan keringransum dan nutrient yang diberikan dikurangidengan bahan kering dan nutrient residu.
Kecernaan bahan kering dan nutrien dihitungdengan mengurangi bahan kering dan nutrien
yang dikonsumsi dengan bahan kering dannutrien yang ada dalam feses. Perubahan bobotbadan diukur dengan menimbang kambing satu
minggu sekali pada pukul 07:00 sebelumpemberian pakan baru.
Analisis Kimia dan Statistik
Analisis bahan kering, abu, serat kasar danlemak dalam bahan pakan, residu dan feses
menggunakan metode proksimat (AOAC,1984). Kadar ADF bahan pakan dianalisa
menggunakan metode Van Soest (1985). Datahasil percobaan dianalisa statistik menggunakananalisis keragaman (SAS, 1995). Rataanvariabel selanjutnya dibandingkan dengan uji
least significant different .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik Pakan
Nilai kerapatan langsung atau kerapatancurah suatu bahan menunjukkan nilai yang tidak sama namun keduanya sangat berkorelasi erat
(Tabel 3). Hijauan secara umum mempunyainilai kerapatan yang rendah (Khalil, 1999).Namun nilai kerapatan bahan pakan kaya seratsangat bervariasi. Jerami padi dan rumput gajah
menunjukkan nilai kerapatan langsung dancurah terendah. Hal ini berarti bahwa jerami
Media PeternakanTOHARMAT ET AL.
Tabel 3. Kadar serat dan sifat fisik bahan pakan kaya serat komponen ransum yang diberikan kepadakambing Etawah betina muda
Keterangan : *)bahan telah diektraksi ether; nilai sifat fisik bahan campuran dihitung berdasarkan sifat fisik dan
proporsi bahan kaya serat dalam ransum; ransum dengan bahan kaya serat berupa rumput gajah
(RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah
+ jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP).
Pakan kaya seratSifat fisik
RG JP KC JK CP
Kerapatan langsung (kg/m3) 191 185 362 317 297
Kerapatan curah (kg/m3
) 292 292 596 458 451Berat jenis (kg/dm
3) 0,854 0,865 1,516 1,038 1,112
Daya ikat terhadap:
Air absolut (kg/kg) 6,259 3,083 4,249 4,489 4,874
Minyak sawit (kg/kg) 2,729 3,292 1,344 2,290 2,164
Minyak jagung (kg/kg) 3.110 3.288 1.196 2.217 2.186Minyak jagung (kg/kg)
*)4,098 4,680 1,930 3,199 3,108
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 35/86
Edisi Desember 2006 150
padi dan rumput gajah merupakan bahan yang
amba (bulky) dibandingkan dengan kulit buah
coklat dan kulit buah kopi. Sifat kerapatan
bahan banyak terkait dengan kadar serat dalam
bahan (Tabel 1 dan 2), semakin tinggi kadar
serat maka semakin rendah kerapatannya atau
bahan tersebut semakin amba.
Pakan dengan tingkat keambaan yang
lebih tinggi dapat menimbulkan regangan lebih
besar dan memberikan sensasi kenyang lebih
cepat pada saat dikonsumsi ternak, sehingga
sifat amba tersebut dapat membatasi konsumsi
pada ternak. Namun dampak negatif keambaan
terhadap konsumsi setiap bahan dapat berbedatergantung pada tingkat kecernaan komponen
seratnya sepertihalnya ditunjukan oleh pakan
yang mengandung rumput gajah dan jerami.
Nilai kerapatan langsung sekitar 190 dan
kerapatan curah sekitar 290 mempunyai
pengaruh yang jelas dalam menurunkan
konsumsi bahan kering ransum.
Berat jenis komponen ransum yang
dikonsumsi kambing diperkirakan dapat
mempengaruhi konsumsi dan pencernaanfermentatif komponen tersebut di dalam rumen.
Ransum KC mempunyai berat jenis 1,516
sehingga diperkirakan sebagian besar
komponen ransum tersebut tenggelam,
sebaliknya komponen ransum lainnya dengan
berat jenis 0,854-1,112 mengapung. Bahan yang
mempunyai berat jenis besar diduga akan
mudah kontak dengan mikroba rumen dan
enzim yang berada dalam cairan rumen
sebaliknya bahan yang mempunyai berat jenislebih kecil memerlukan waktu lebih lama untuk
kontak dengan mikroba. Hal ini dapat
menyebabkan kecernaan bahan dengan berat
jenis tinggi tersebut menjadi besar.
Pakan kaya serat yang digunakan dalam
percobaan mempunyai daya ikat air yang
bervariasi. Rumput gajah menunjukkan nilai
daya ikat air tertinggi dibandingkan dengan
bahan lain dan campurannya. Tingkat daya ikat
air bahan tergantung pada jenis polisakarida
komponen seratnya. Selulosa mempunyai
kapasitas yang terbatas dalam menyerap air,
sedangkan arabinoxylan mempunyai kapasitas
penyerapan yang sangat besar (Trowell et al.,
1985). Penyerapan cairan rumen terjadi lebih
cepat pada bahan dengan daya ikat air yang
tinggi. Partikel rumput gajah dengan daya serap
air yang tinggi (Tabel 3) akan mempunyai
kontak dengan mikroba dan enzim dalam cairan
rumen lebih cepat dibandingkan pakan kaya
serat lainnya. Namun komponen serat rumput
gajah dalam ransum tidak mampu
meningkatkan kecernaan ransum (Tabel 4). Hal
ini berarti bahwa komponen kimia bahan sangatmempengaruhi tingkat kecernaan bahan pakan
atau ransum.
Nilai daya ikat serat terhadap minyak
jagung dan minyak sawit disajikan pada Tabel
3. Daya ikat partikel terhadap minyak sawit
dan jagung pada bahan yang sama menunjukkan
nilai yang sama. Nilai daya ikat bahan kaya
serat terhadap minyak berkorelasi erat dengan
kerapatan dan kadar lignin bahan (Lopez et al.,
1996). Bahan pakan kaya serat dengan nilaikerapatan curah yang besar menunjukkan daya
ikat minyak yang kecil. Peningkatan daya ikat
bahan terhadap minyak terjadi jika bahan pakan
serat mengalami defatasi terlebih dahulu. Hal
ini memberikan peluang bahwa pencampuran
suplemen minyak dengan sumber pakan
berserat tinggi dapat mempermudah
pencampuran dan meningkatkan kecernaan dan
manfaat minyak dalam ransum.
Konsumsi dan Kecernaan Nutrien
Rataan konsumsi dan kecernaan nutrien
pada kambing percobaan disajikan pada Tabel
4. Konsumsi bahan kering pada kambing
peranakan etawah muda dalam penelitian ini
berkisar antara 299-440 g/ekor/hari. Kebutuhan
bahan kering kambing yang berbobot 10-20 kg
adalah 200-480 g/ekor/hari (NRC, 1981;
Devendra & McLerroy, 1982). Kisaran
SIFAT FISIK PAKANVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 36/86
Edisi Desember 2006 151
konsumsi bahan kering pada kambing di
Indonesia cukup lebar. Namun konsumsi bahan
kering ransum yang mengandung jerami padi,
rumput gajah, kulit buah kopi atau kulit buah
coklat hingga 50% pada kambing, dapat
dinyatakan normal walaupun palatabilitas
sumber serat yang digunakan berbeda.
Konsumsi bahan kering dan nutrien
kecuali serat kasar yang paling tinggi terjadi
pada kelompok kambing dengan pakan kaya
serat kulit buah coklat (KC). Konsumsi
terendah terjadi pada ransum dengan pakan kaya
serat jerami padi (JP). Jenis pakan kaya seratdapat mempengaruhi konsumsi bahan kering
dan bahan organik yang selanjutnya akan
mempengaruhi konsumsi nutrien. Hal ini berarti
bahwa konsumsi bahan kering pakan dapat
dimanipulasi melalui pemilihan jenis pakan
kaya serat yang diberikan.
Konsumsi bahan kering dan nutrien yang
tinggi pada ransum KC diduga terkait dengan
sifat fisik kulit buah coklat khususnya nilai
kerapatan yang tinggi (Tabel 3). Kerapatan
pakan yang tinggi memberikan pengaruh
kenyang yang lebih lambat dibandingkan
dengan kerapatan pakan yang rendah seperti
jerami padi. Tingginya konsumsi bahan kering
dan nutrien pada kambing dengan ransum KC
terkait dengan tingginya kecernaan nutrien
komponen bahan tersebut seperti tergambarkan
oleh tingginya kecernaan bahan kering, bahan
organik, serat kasar dan lemak ransum KC
tersebut (Tabel 4).
Kecernaan lemak paling rendah pada
ransum dengan sumber serat yang mempunyaidaya ikat lemak paling rendah. Kajian interaksi
antar serat kasar dan lemak ransum (Tabel 5)
menunjukkan bahwa koefisen cerna lemak
(KCL) berkorelasi negatif (P<0,01) dengan
kadar lemak feses (KDLF), kadar lemak feses
(KDLF) berkorelasi negatif (P<0,05) dengan
daya ikat feses terhadap minyak jagung (DIMJ)
dan serat kasar feses (SKF), sedangkan serat
kasar feses berkorelasi positif (P<0,01) dengan
Media PeternakanTOHARMAT ET AL.
Tabel 4. Rataan konsumsi harian dan kecernaan nutrien pada kambing peranakan Etawah betina yangdiberi pakan dengan sumber serat berbeda
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); Total Digestible
Nutrient (TDN) = bahan organik tercerna + (2,5 x lemak tercerna); ransum dengan bahan kaya
serat berupa rumput gajah (RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit
buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP).
Ransum percobaan
RG JP KC JK CP
Konsumsi (g/ekor):
Bahan kering 329±131ab
298±58b
440±59a
313±156b
405±36ab
Bahan organik 291±122ab
256±50b
388±54a
270±140ab
360±32ab
Lemak 24±14b
23±4b
37±5a
25±14b
33±3ab
Serat kasar 100±22a
69±16b
72±10b
78±34ab
91±9ab
TDN 117±103b
116±34b
219±40a
125±117b
181±56a
Koefisien cerna (%):
Bahan kering 38±10b
36±10b
54±5a
38±9b
46±3ab
Bahan organik 32±10b
36±8b
48±6a
32±11b
40±4ab
Lemak 78±15
a86±8
a71±5
b81±10
a71±3
b
Serat kasar 35±16 24±12 38±9 30±9 26±5
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 37/86
Edisi Desember 2006 152
daya ikat minyak jagung. Data tersebut
menunjukkan bahwa komponen lemak pakanlebih banyak dicerna jika komponen lemak lebih
terikat pada komponen serat pakan.
Pertumbuhan Kambing
Pertambahan bobot hidup kambing
peranakan Etawah muda yang diberi ransum
dengan sumber serat berbeda disajikan dalam
Tabel 6. Pertambahan bobot hidup kambing
dalam percobaan ini berkisar antara 50-136 g/ ekor/hari, namun tidak dipengaruhi jenis
komponen pakan seratnya. Sudrajat (2000)
melaporkan pertumbuhan kambing peranakan
Etawah lepas sapih 45,36-48,45 g/ekor/hari.
Data tersebut menggambarkan bahwapenggunaan sumber serat yang berbeda pada
tingkat 50% dalam ransum dapat menghasilkan
pertumbuhan yang baik walaupun pertambahan
bobot hidupnya cukup bervariasi.
Laju pertumbuhan kambing percobaan
tidak sejalan dengan tingkat konsumsi dan
kecernaan ransum. Walaupun kelompok
kambing yang mendapat ransum KC
menunjukkan konsumsi dan kecernaan nutrien
tertinggi (Tabel 4), pertumbuhannya tidak berbeda dengan pertumbuhan kambing yang
mendapat ransum lainnya (Tabel 6). Effisiensi
penggunaan pakan yang tertinggi dicapai oleh
Tabel 5. Korelasi antar kecernaan lemak, sifat fisik dan kimia feses kambing peranakan Etawahbetina
Keterangan : KCL = koefisien cerna lemak: KDLF = kadar lemak feses; DIMJ = daya ikat feses terhadap
minyak jagung; SKF = serat kasar feses; anggka dalam () adalah nilai P.
KDLF DIMJ SKF
KCL -0,74 (0,00) 0,42 (0,07) 0,20 (0,41)
KDLF -0,76 (0,00) -0,53 (0,02)DIMJ 0,69 (0,00)
Tabel 6. Rataan bobot hidup dan pertambahan bobot hidup (PBH) kambing peranakan Etawah betinayang diberi ransum dengan sumber serat berbeda
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); ransum dengan
bahan kaya serat berupa rumput gajah (RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami
padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi
(CP).
Ransum percobaan
RG JP KC JK CP
Bobot hidup
Awal (kg) 13,5±2,5 14±3,2 13,2±1,7 13,5±2,4 13,2±1,7
Akhir (kg) 18,2±3,4 16,2±2,6 17,2±2,3 15,2±5,6 16,2±2,2
PBH (g/hari) 136±104 64±66 114±53 50±134 86±48
Efisiensi pakan 0,53±0,55a
0,20±0,21ab
0,25±0,10ab
0,03±0,41ab
0,21±0,11ab
SIFAT FISIK PAKANVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 38/86
Edisi Desember 2006 153
kelompok kambing yang mendapat ransum
dengan sumber serat rumput gajah. Rendahnya
utilisasi nutrien pada pakan dengan sumber serat
kulit coklat diduga terkait dengan kurang
seimbangnya nutrien yang diserap atau karena
adanya zat antinutrisi dalam bahan tersebut.
Pertumbuhan kambing percobaan sejalan
dengan konsumsi TDN (Gambar 1). Hubungan
konsumsi TDN dengan pertambahan bobot
hidup (PBH) tersebut mengikuti model
persamaam PBH = 0,739*(TDN)–46,836;
R=0,72 (P<0,01), PBH dan TDN (g/ekor/hari).
Persamaan tersebut menunjukkan kebutuhan
TDN untuk hidup pokok kambing peranakan
Etawah dengan bobot 13,50±2,14 kg danpertumbuhan harian 50-136g adalah 63,4g
TDN, dan kebutuhan untuk pertumbuhan adalah
67,659g TDN per 50g pertambahan bobot
hidup. Variasi pertumbuhan kambing dalam
percobaan ini disebabkan oleh variasi konsumsi
TDN, sehingga semua faktor yang
mempengaruhi konsumsi energi dapat
mempengaruhi pertumbuhan kambing. Hal ini
berarti bahwa komponen pakan kaya serat
sangat berpengaruh terhadap konsumsi TDN
dan pertumbuhan kambing muda.
KESIMPULAN
Keambaan bahan pakan kaya serat dalamransum membatasi konsumsi bahan keringpakan. Konsumsi bahan kering meningkatdengan meningkatnya kecernaan nutrienransum. Tingginya konsumsi dan kecernaanbahan kering tidak sejalan dengan pertambahanbobot hidup, tetapi bobot hidup meningkatsejalan dengan meningkatnya konsumsi TDN.Kecernaan lemak ransum meningkat dengan
meningkatnya daya ikat lemak komponen pakankaya serat. Penggunaan kulit coklat dalamransum tidak dapat dilakukan hingga 50% BKransum.
UCAPAN TERIMA KASIH
Publikasi ini merupakan bagian dari hasilpenelitian yang dibiayai oleh Program DUE Like
Batch III Institut Pertanian Bogor tahunanggaran 2004. Ucapan terima kasih
Gambar 1. Hubungan pertambahan bobot hidup dengan konsumsi TDN padakambing peranakan Etawah betina muda
-200
-100
0
100
200
300
0 100 200 300 400
Konsumsi TDN (g/ekor/hari)
P B H ( g / e k o r / h a r i )
Media PeternakanTOHARMAT ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 39/86
Edisi Desember 2006 154
disampaikan kepada A. Rukmana, D. Nurdiani,
Maman dan A. Yani atas bantuannya dalam
pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiah. 2005. Respons produktivitas dan kualitassusu pada suplementasi sabun mineral danmineral organik serta kacang kedelai sangraidalam ransum ternak ruminansia. Disertasi.Sekolah Pascasarjana. Institut PertanianBogor, Bogor.
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of theAssociation of Official Analytical Chemist.4th Ed. Association of Official AnalyticalChemist (AOAC), Washington, D.C.
Devendra, C. & G.B. McLerroy. 1982. Goat andSheep Production in the Tropics. IntermediateTropical Agriculture Series. Longman,London.
Herrero M., C B do Valle, N.R.G. Hughes, V. deO Sabatel & N. S. Jessop. 2001.Measurements of physical strength and theirrelationship to the chemical composition of four species of Brachiaria. Anim. Feed Sci.Technol. 92:149-158.
Hintz R.W., R.G. Koegel, T. J. Kraus & D. R.
Mertens. 1999. Mechanical maceration of alfalfa. J. Anim. Sci. 77:187-193.
Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuranpartikel terhadap sifat fisik pakan lokal:kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan
tumpukan dan berat jenis. Media Peternakan22:1-11.
Le Liboux S & J. L. Peyraud. 1999. Effect of
forage particle size and feeding frequency onfermentation patterns and sites and extent of digestion in dairy cows fed mixed diets. Anim.Feed Sci. Technol. 76:297-319.
Lopez G, G. Ros, F. Rincon, M.J. Periago, M.C.Martinez, & J. Ortuno. 1996. Relationshipbetween physical and hydration properties of soluble and insoluble fiber of artichoke. J.Agric. Food Chem. 44:2773-2778.
NRC (National Research Council). 1981. NutrientRequirement of Goats. National AcademyPress, Washington, D.C.
SAS. 1995. SASR User’s Guide : Statistics. Version.6.12nd Ed. SAS Inst., Inc., Cary., New York.
Sosulski, F.W. & A.M. Cadden. 1982.Composition and physiological properties of several sources of dietary fiber. J. Food Sci.47:1472-1477.
Sudrajat, D. 2000. Pengaruh suplementasi Seorganik dalam ransum terhadap kecernaan,aktivitas fermentasi dan pertumbuhankambing Peranakan Etawah. Tesis. ProgramPascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Trowell, H., D. Burkitt & K. Heaton. 1985.Dietary Fiber, Fiber Depleted Food and
Disease. Academic Press, London. Van Soest, P.J. 1985. Definition of fibre in animal
feed.In: Recent Advances in Animal Nutrition.W. Haresign & D.J.A. Cole (Ed.). Pp. 55-70.Butterworths, London.
SIFAT FISIK PAKANVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 40/86
Edisi Desember 2006 155
Kajian Penambahan Ragi Tape pada Pakan terhadap Konsumsi,
Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan,
dan Mortalitas Tikus ( Rattus norvegicus)
E.M.Sianturia, A.M.Fuaha & K.G. Wiryawanb
aDepartemen Ilmu Produksi dan Teknologi PeternakanbDepartemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680
(Diterima 17-10-2005; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT
An experiment was conducted to examine the effect of different levels of tape yeastaddition into rations on Rattus norvegicus performance, such as feed consumption, bodyweight gain, feed conversion ratio and mortality. The experimental design used was afactorial completely randomized design 2 x 4, the first factor was sex (male and femalerats), and the second factor was different levels of tape yeast added into rations (0% as R1,0.5% as R2, 1% as R3 and 1.5% as R4). The results showed that the interaction betweensex and yeast addition had significant effect on feed consumption and body weight gain(P<0.05), but the effect was not significant on feed conversion ratio and mortality. Yeastaddition in male-rat rations significantly reduced feed consumption, but did not affect bodyweight gain. In female rats, the addition of yeast in the rations increased body weight gain.Increasing levels of tape yeast in the rations improved the body weight gain and feedconversion ratio, especially for female rats (P<0.05). There was no single rat died duringthe experimental period. Rats fed ration containing 1.5% yeast showed better feedconsumption, weight gain, and feed conversion ratio compared to rats given other rations.
Key words : rat, tape yeast, consumption, weight gain, feed conversion ratio, mortality
PENDAHULUAN
Probiotik telah lama diketahui dapat
meningkatkan produktivitas ternak, yaitu
dengan meningkatkan keseimbangan mikroflora
usus (Wiryawan, 1995; Muktiani, 2002; CFNP
Tap Review, 2002). Penyerapan zat-zat
makanan akan meningkat jika keseimbangan
mikroflora usus telah dicapai. Banyak jenis
mikroba yang dapat dikategorikan sebagai
probiotik karena pengaruhnya yangmenguntungkan bagi inangnya, dijual dalam
bentuk kultur murni mikroba atau komponen
dari mikroba tertentu, dan dijual secara
komersial.
Probiotik telah banyak dijual secara
komersial terutama di negara-negara maju
seiring dengan dilarangnya penggunaan
antibiotik termasuk di Indonesia, namun
wilayah pendistribusiannya masih terbatas di
Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 155-161ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 41/86
Edisi Desember 2006 156
kota-kota besar, sementara mayoritas
peternakan di Indonesia adalah peternakan
rakyat yang secara geografis sulit untuk diakses.
Adanya kesulitan untuk mendapatkan
probiotik komersial, terutama oleh masyarakat
tani, maka dibutuhkan suatu sumber probiotik
indigenous alternatif yang banyak tersebar di
Indonesia. Pemilihan ragi tape dilakukan
dengan pertimbangan: (1) di dalam ragi tape
terdapat mikroba-mikroba baik kapang, khamir
maupun bakteri yang mampu menghidrolisis
pati, menciptakan keseimbangan mikroflora
usus, meningkatkan kesehatan serta membantu
penyerapan zat-zat makanan, dalam hal iniperan Saccharomyces cerevisiae sangat penting
(Fardiaz, 1992; Dawson, 1993; Newman, 2001,
CFNP Tap Review, 2002); (2) ragi tape tersebar
luas di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah
di Indonesia, sehingga tidak sulit untuk
mendapatkannya; (3) ragi tape sudah biasa
dikonsumsi oleh manusia sehingga aman bagi
ternak.
Sebelum ragi tape sebagai probiotik
dicobakan pada ternak, pada umumnyadicobakan terlebih dahulu pada hewan
percobaan sehingga hasilnya dapat menjadi
acuan penggunaannya. Hewan percobaan yang
digunakan pada penelitian ini ialah tikus
laboratorium ( Rattus norvegicus) yang biasa
digunakan karena karakteristik biologisnya
mirip dengan ternak monogastrik dan juga
murah, mudah didapat dan siklus reproduksi
yang singkat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melakukan pengkajian terhadap penggunaan ragi
tape sebagai probiotik dalam ransum tikus
terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan,
konversi pakan, dan mortalitas tikus putih
( Rattus norvegicus).
MATERI DAN METODE
Tikus yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tikus putih ( Rattus norvegicus) galur
Sprague Dawley berjumlah 32 ekor yang terdiriatas 16 ekor jantan dan 16 ekor betina, berasal
dari Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa
Harapan, Fakultas Peternakan IPB. Tikus
dipelihara dari umur 21 hari (lepas masa sapih)
hingga umur 60 hari. Berat awal tikus jantan dan
betina berkisar antara 29,45 g hingga 33,62 g.
Kandang yang digunakan sejumlah 32
buah, berupa bak plastik dengan ukuran 36 x 28
x 12 cm3, dilengkapi dengan kawat penutup pada
bagian atasnya. Kandang plastik diletakkansecara acak pada rak kayu yang mempunyai
empat tingkatan. Alas kandang menggunakan
sekam padi yang diganti setiap lima hari untuk
menjaga kebersihan lingkungan tikus.
Pakan yang digunakan mengandung
protein 18% yang ditambahkan dengan empat
level kandungan ragi tape. Kandungan ragi tape
Tabel 1. Komposisi pakan tikus
Sumber: PT. Indofeed (2005).
Komposisi Kandungan nutrisi
(dari bahan kering)
Protein (%)
Lemak (%)
Serat kasar (%)
Abu (%)
Metabolisme energi (kkal/kg)
18
4
4 – 6
4 – 7
2850
Media PeternakanSIANTURI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 42/86
Edisi Desember 2006 157
dalam pakan disimbolkan dengan R1, R2, R3,
dan R4 dengan R1 sebagai kontrol, dengan
kandungan ragi tape sebesar 0%. Pakan R2,
R3, R4 mengandung ragi tape dengan level
berturut-turut 0,5%; 1,0%; 1,5% dari bahan
kering pakan. Pakan yang digunakan
diproduksi oleh PT. Indofeed dengan komposisi
zat makanan seperti pada Tabel 1.
Air minum diberikan ad libitum,
menggunakan air tanah yang diendapkan
terlebih dahulu selama 1 malam, agar kotoran
yang terkandung di dalam air mengendap ke
dasar bak penampungan. Air minum diberikan
menggunakan dua jenis botol dengan kapasitas255 ml dan 265 ml yang diletakkan di atas
kandang dengan posisi terbalik sehingga tikus
dapat minum tetapi airnya tidak tumpah.
Ragi tape yang digunakan adalah ragi tape
yang dijual di Pasar Bogor dengan kode S,
dengan harga sekitar Rp 150–200/keping.
Pengujian populasi mikroba ragi tape dilakukan
di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, IPB dengan
hasil populasi 1 x 106 CFU/g. Sebelumdicampurkan ke dalam pakan, ragi tape
dihaluskan terlebih dahulu kemudian
dicampurkan dengan pakan tikus dan dibuat
menjadi pelet di PT. Indofeed.
Tikus jantan dan betina masing-masing
dibagi menjadi empat kelompok perlakuan
pakan, yaitu kelompok R1, R2, R3 dan R4.
Sebelum pengambilan data, tikus-tikus terlebih
dahulu diadaptasikan selama 9 hari dalam
kandang disertai dengan pemberian pakanperlakuan dengan tujuan menghilangkan bias
penelitian akibat efek stress. Setiap tikus diberi
identitas nomor pada telinganya dan
dikandangkan secara individu.
Rancangan percobaan yang digunakan
adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 2
x 4 dengan empat ulangan. Faktor pertama
adalah jenis kelamin yang terdiri atas jantan dan
betina. Faktor kedua adalah kandungan ragi
tape dalam pakan yang terdiri atas empat levelyaitu 0%; 0,5%; 1,0% dan 1,5% dari bahankering pakan.
Data hasil penelitian dianalisa dengansidik ragam. Uji lanjut untuk konsumsi pakanmenggunakan ortogonal polinomial, sedangkanuji lanjut untuk pertambahan bobot badan danrasio konversi pakan menggunakan Duncan(Steel & Torrie, 1995). Peubah yang diamatiadalah konsumsi pakan, pertambahan bobotbadan, konversi pakan, dan mortalitas tikusselama penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Pakan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwainteraksi antara jenis kelamin dengan level ragitape dalam pakan mempengaruhi konsumsipakan (P<0,05). Uji lanjut ortogonal polinomialmenunjukkan bahwa pemberian ragi tape dalampakan tikus jantan sangat nyata (P<0,01)menurunkan konsumsi, namun tidak berpengaruh terhadap tikus betina. Pengaruhperlakuan terhadap konsumsi pakan tikus jantanmengalami penurunan secara linier sepertidisajikan dalam Gambar 1.
Berdasarkan grafik pada Gambar 1diperoleh persamaan regresi polinomial peubahkonsumsi tikus jantan Y= –0,7378X + 13,017,dengan Y adalah respon konsumsi pakan dan Xadalah level ragi tape yang diberikan.Berdasarkan persamaan tersebut, dapat dihitung
bahwa setiap penambahan 0,5% ragi tape dalampakan akan menurunkan konsumsi tikus jantanselama masa pertumbuhan sebesar 0,3689 g/ ekor/hari.
Penurunan konsumsi pada tikus jantankemungkinan disebabkan adanya enzim yangdihasilkan oleh mikroba ragi tape ( Mucor sp.,
Rhizopus oryzae, Saccharomyces cerevisiae)seperti amilase, protease, dan lipase yang dapatmeningkatkan kecernaan dan penyerapan zat-
KAJIAN PENAMBAHAN RAGIVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 43/86
Edisi Desember 2006 158
zat makanan yang ada pada ransum sehingga
dengan konsumsi yang lebih rendah kebutuhanzat-zat makanan sudah terpenuhi (Aunstrup,
1979; Saono & Jeanny, 1982; Fardiaz, 1992).
Enzim-enzim tersebut ada yang terbawa di
dalam ragi tape, tetapi ada juga yang dihasilkan
di dalam saluran pencernaan karena khamir dan
kapang yang digunakan sebagai suplemen
pakan (probiotik) dapat hidup dan
mempertahankan aktivitas metabolismenya di
dalam saluran pencernaan paling tidak selama
enam jam setelah dikonsumsi (Newbold et al.,
1990; Dawson, 1993).
Pertambahan Bobot Badan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
interaksi antara jenis kelamin dengan pakan
perlakuan mempengaruhi pertambahan bobot
badan tikus (P<0,05). Penambahan ragi tape
dalam ransum tikus betina nyata (P<0,05)
meningkatkan pertambahan bobot badan, tetapi
Keterangan : superskrip berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05);
R1 = Pakan kontrol; R2 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 0,5 %; R3 = Pakan
dengan kandungan ragi tape sebesar 1,0 %; R4 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar
1,5 %.
Jenis kelamin R1 R2 R3 R4
Jantan 13,14a
12,41ab
12,40ab
11,91b
Betina 12,22ab
12,54ab
12,44ab
12,28ab
Tabel 2. Rataan konsumsi pakan tikus selama penelitian (g/ekor/hari)
Gambar 1. Kurva pengaruh perlakuan terhadap konsumsi pakan hariantikus jantan dan betina selama penelitian
Media PeternakanSIANTURI ET AL.
Y = -0,7378x + 13,017
R2 = 0,8843
11,8
12,0
12,2
12,4
12,6
12,8
13,0
13,2
0 0,5 1 1,5
Kandungan ragi tape dalam ransum (%)
K o n s u m s i ( g / e k o r / h a r i )
betina
jantan
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 44/86
Edisi Desember 2006 159
tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot
badan tikus jantan.Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
pertambahan bobot badan tikus jantan sangat
nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan
dengan tikus betina. Hal ini sesuai dengan
pendapat Smith & Mangkoewidjojo (1988)
bahwa tikus jantan lebih cepat perkembangan
nya dan mencapai berat sekitar 200-250 g pada
usia dewasa kelamin atau bahkan lebih
tergantung dari umur dan galurnya.
Pertambahan bobot badan pada jantan lebihtinggi daripada betina walaupun dengan jumlah
konsumsi pakan yang relatif sama (Tabel 2).
Rataan pertambahan bobot badan tikus
betina dengan pakan yang mengandung ragi
tape (0,5%; 1,0%; 1,5%) nyata lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan dengan tikus betina yang
mendapat pakan kontrol. Pertambahan bobot
badan cenderung meningkat seiring dengan
semakin tingginya kandungan ragi tape dalam
pakan. Hal ini seperti disebutkan diatas
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan
efisiensi penggunaan zat-zat makanan dalam
ransum karena adanya aktivitas mikroba ragi
tape.
Aktivitas mikroba ragi tape terjadi melalui
beberapa mekanisme yaitu (1) produksi enzim
hidrolitik seperti amilase, proteinase, pektinase
dan lipase (Fardiaz, 1992; Aunstrup, 1979) yang
menyederhanakan polimer menjadi monomer
yang lebih mudah diserap di dalam saluran
pencernaan, (2) sebagai sumber nutrien seperti
vitamin, protein, karbohidrat dan kofaktorpenting lainnya (Dawson, 1993; Stone, 1998),
(3) sebagai prebiotik karena dinding sel khamir
(Saccharomyces cerevisiae) mengandung
manan-oligosakarida yang berfungsi sebagai
sumber makanan bagi bakteri alami
(indigenous) yang bersifat menguntungkan bagi
inangnya menyebabkan bakteri indigenous
dapat berkembang lebih pesat dan lebih
dominan sehingga dapat mengurangi bakteri
patogen dalam saluran pencernaan (Turner et al., 2000; CFNP TAP Review, 2002), (4) MOS
juga berperan mengikat patogen (seperti:
Salmonella sp dan Escherichia coli) sehingga
patogen tidak dapat berkembang biak dalam
saluran pencernaan (Newman, 2001) sehingga
keseimbangan mikroba saluran pencernaan
tetap terjaga.
Rasio Konversi Pakan
Efisiensi pakan memegang peranan
penting dalam suatu usaha peternakan, karena
biaya pakan merupakan 60-70% dari biaya
produksi. Semakin efisien penggunaan pakan
maka biaya produksi akan semakin berkurang.
Efisiensi penggunaan pakan dapat dilihat dari
rasio konversi pakan yaitu jumlah pakan yang
dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram
pertambahan bobot badan. Secara umum,
semakin rendah rasio konversi pakan berarti
Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan tikus (g/ekor/hari)
Keterangan : superskrip yang berbeda dalam baris/kolom yang sama artinya berbeda nyata (P<0,05);
R1 = Pakan kontrol; R2 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 0,5 %; R3 = Pakan dengan
kandungan ragi tape sebesar 1,0 %; R4 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5 %.
Jenis kelamin R1 R2 R3 R4 Rataan
Jantan 4,71a
4,84a
4,88a
4,89a
4,83a
Betina 3,07d
3,62c
3,74bc
4,12b
3,64b
KAJIAN PENAMBAHAN RAGIVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 45/86
Edisi Desember 2006 160
efisiensi penggunaan pakan semakin baik
karena jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram pertambahan bobot
badan semakin sedikit.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
interaksi antara jenis kelamin dengan pakan
perlakuan tidak mempengaruhi rasio konversi
pakan, tetapi rasio konversi pakan tikus jantan
nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan
dengan tikus betina. Sementara itu, pakan
perlakuan dengan kandungan ragi tape
menghasilkan rasio konversi pakan yang lebih
rendah (P<0,05) dibandingkan dengan pakan
kontrol. Rataan rasio konversi pakan
berdasarkan jenis kelamin dan pakan perlakuan
disajikan dalam Tabel 4.
Tikus jantan mengkonversi pakan menjadi
bobot badan lebih baik daripada tikus betina.
Hal ini disebabkan oleh pertambahan bobot
badan tikus jantan lebih tinggi daripada tikus
betina, dengan jumlah konsumsi yang relatif
sama.
Rasio konversi pakan cenderung menurunseiring dengan semakin meningkatnya
kandungan ragi tape pada pakan. Hal ini
menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan
pakan pada tikus yang diberi ransum yang
mengandung ragi tape lebih baik dibandingkan
yang diberi ransum kontrol karena adanya
aktivitas mikroba ragi tape seperti diuraikan di
atas.
Mortalitas
Selama penelitian tidak ditemukan adanya
tikus yang mati baik jantan maupun betina,
kemungkinan disebabkan kualitas nutrisi
ransum yang digunakan cukup baik. Disamping
itu, manajemen yang cukup memadai selama
pemeliharaan ikut berkontribusi terhadap daya
hidup tikus. Tikus jantan dan betina yang
mendapat pakan yang mengandung ragi tape
menunjukkan performa yang lebih sehat
dibandingkan tikus pada perlakuan kontrol. Hal
ini disebabkan ragi tape dalam pakan dapat
menciptakan keseimbangan mikroflora usus,
karena mengandung mikroba yang dapat
mengurangi bakteri patogen dalam usus melalui
mekanisme kerja manan-oligosakarida (CFNP
TAP Review, 2002; Newman, 2001).
.
KESIMPULAN
Interaksi antara jenis kelamin tikus dengan
level ragi tape pada pakan nyata mempengaruhikonsumsi dan pertambahan bobot badan, tetapi
tidak berpengaruh terhadap rasio konversi
pakan dan mortalitas tikus. Pada tikus jantan,
penambahan ragi tape menurunkan konsumsi
dan rasio konversi pakan, tetapi tidak
berpengaruh terhadap pertambahan bobot
badan. Pada tikus betina, penambahan ragi tape
menghasilkan pertambahan bobot badan dan
Tabel 4. Rataan rasio konversi pakan tikus selama penelitian
Keterangan : superskrip yang berbeda dalam baris/kolom yang sama artinya berbeda nyata (P<0,05);
R1 = Pakan kontrol; R2 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 0,5%; R3 = Pakan dengan
kandungan ragi tape sebesar 1,0%; R4 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5%.
Jenis kelamin R1 R2 R3 R4 Rataan
Jantan 2,81 2,59 2,56 2,43 2,60b
Betina 3,99 3,52 3,33 2,98 3,46a
Rataan 3,40a
3,06b
2,95bc
2,71c
Media PeternakanSIANTURI ET AL.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 46/86
Edisi Desember 2006 161
rasio konversi pakan yang lebih baik
dibandingkan pakan kontrol. Tikus yang diberi
pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5%
menghasilkan konsumsi pakan, pertambahan
bobot badan dan rasio konversi pakan yang
paling baik dibandingkan dengan tikus yang
mendapat perlakuan pakan yang mengandung
ragi tape 0%, 0,5%, dan 1,0%.
DAFTAR PUSTAKA
Aunstrup, K. 1979. Production, isolation, andeconomic of extracelluler enzymes. In:
Wingard, L.E., E.K. Katsir, & Golstein (Eds.).Applied Biochemistry BioengineeringEnzymes Technology. Academic Press, NewYork
Center for Food and Nutrition Policy (CFNP)Technical Advisory Panel (TAP) Review.2002. Cell Wall Carbohydrates: Livestock.CFNP, Virginia.
Dawson, K.A. 1993. Current and future role of yeastculture in animal production: A review of search over the last seven years. p: 269-291.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. GramediaPustaka Utama, Jakarta.
Muktiani, A. 2002. Penggunaan hidrolisat buluayam dan sorgum serta suplemen kromiumorganik untuk meningkatkan produksi susupada sapi perah. Disertasi. SekolahPascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Newbold, C.J., P.E.V. Williams & N. McKain.
1990. The effect of yeast culture on yeastnumbers and fermentation in the rumen of
sheep. Proc. Nutr. Soc.,49, 47A.Newman, K. 2001. The MOS factor from yeast
culture- A true growth promoter for pigs andchicks and now pets. Feeding Times 6:18-19.
Saono & K.D. Jeanny. 1982. Microflora or ragi:Its composition and as a source of industrialyeast. In: Proceedings of ASCA TechnicalSeminar. The Indonesian Institute of Science,Jakarta, Indonesia.
Smith, J.B. & S. Mangkoewidjojo. 1988.Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di daerah Tropis.Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Steel, R.G.D.& J.H. Torrie. 1995. Prinsip danProsedur Statistika. Edisi kedua. Gramedia,Jakarta.
Stone, C. W. 1998. Yeast Products in the FeedIndustry: A Practical Guide for FeedProfessionals. http://www.diamondy.com/ articles/booklet/booklet.html (27 Pebruari2004)
Turner, J.L., P.A.S. Dritz & J.E. Minton. 2000.Alternatives to conventional microbials in
swine diets. J. Anim. Sci. 17:217-226.Wiryawan, K.G. & J.D. Brooker. 1995. Probiotic
control of lactate accumulation in acutelygrain-fed sheep. Aust. J. Agric. Res., 46: 1555-1568.
KAJIAN PENAMBAHAN RAGIVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 47/86
Edisi Desember 2006 162
Pengaruh Konformasi Butt Shape terhadap Karakteristik Karkas Sapi
Brahman Cross pada Beberapa Klasifikasi Jenis Kelamin
Harapin Hafid H.a & R. Priyantob
aJurusan Produksi Ternak Faperta Universitas Haluoleo
Jl. Malaka Kampus Bumi Tridarma Anduonohu, Faperta, Unhalu Kendari, 93232e-mail: [email protected]
bFakultas Peternakan Institut Pertanian BogorJl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680
(Diterima 24-01-2006; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT
Domestic demand on beef is increasing today. However the beef supply can not fulfilthe demand so that importation of beef and feeder cattle is still required. Beef cattle feedlotingis now growing in Indonesia. This research was done to study the growth and developmentof carcass components of beef carcas from Brahman Cross cattle. The number of animalsused was 165 heads with the body weight range 350 – 400 kg taken from feedlot fattening.The experiment was set in completely randomized factorial design withh two factors, namelybutt shape conformation (butt shape score D, C, B) and sex class (heifer, steer, cow).
Parameter of carcass characteristic, i.e. carcass weight, carcass percentage, loin eye area,fat thickness of ribs 12th, fat percentage of kidney, pelvic and hearth, and fat thickness of rump P8.The result of this study showed that the increase of butt shape conformation scoresignificantly increased loin eye area, especially in heifer and cow sex class.
Key words: butt shape conformation, carcass characteristic, Brahman cross cattle, sexclass
PENDAHULUAN
Klasifikasi maupun grading pada ternak sapi, khususnya terhadap karkas yangdihasilkan, di Indonesia belum dikenal . Hal inidisebabkan sebagian besar konsumen dagingbelum mempertimbangkan kualitas daging.Konsumen biasanya memanfaatkan hampirsemua komponen tubuh ternak untuk dikonsumsi dengan cara pengolahan danpemasakan yang bersifat tradisional. Komponentubuh tersebut dapat berupa karkas maupun
komponen bukan karkas (offal). Hal ini
menyebabkan industri daging di Indonesialambat berkembang dan hanya mampumembentuk dua segmen pasar yaitu pasar lokaltradisional yang melayani masyarakat kelasmenengah ke bawah dan pasar khusus yangmelayani masyarakat kelas atas, restoran, hotelberbintang dan waralaba.
Hal ini menuntut perlunya dikembangkansistem klasifikasi sapi potong, sehinggadiperoleh suatu deskripsi dalam semuakomponen industri daging yang berdampak
Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 162-168ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 48/86
Edisi Desember 2006 163
pada peningkatkan kualitas, efisiensi produksi
dan pemasaran. Klasifikasi atau grading sapi
potong terutama menyangkut sifat-sifat atau
karakteristik karkas. Klasifikasi adalah
pengembangan metode untuk mendeskripsikan
produk karkas dalam industri daging, sehingga
bisa didapatkan komunikasi yang selaras antara
pelaku industri daging, seperti: konsumen,
pengecer (retailer) , jagal (packer/butcher),
industri penggemukan (fattener) dan peternak
(produsen). Berdasarkan hal tersebut, maka
dapat dihindari konflik kepentingan di antara
pelaku industri daging.
Karkas di Eropa diklasifikasikanberdasarkan konformasi dan tingkat
perlemakan. Klasifikasi ini diberlakukan pada
semua sistem produksi daging, mulai dari anak
sapi, sapi jantan muda, sapi kastrasi, sapi dara
dan sapi betina induk afkir. Klasifikasi
berdasarkan konformasi terdiri atas lima huruf
E U R O P, dimana E merupakan karkas dengan
konformasi sangat baik dan P merupakan
konformasi yang paling rendah. Tingkat
perlemakan dinilai berdasarkan angka 1 sampaidengan 5. Angka 5 merupakan karkas dengan
tingkat perlemakan yang sangat banyak, sedang
angka 1 merupakan karkas dengan tingkat
perlemakan yang sedikit (Abustam, 2000).
Konformasi merupakan keseimbangan
dari perkembangan bagian-bagian karkas, atau
perbandingan antara daging dengan tulang. Jadi
konformasi adalah suatu ukuran untuk menilai
kualitas daging secara langsung dengan
membandingkan antara bagian-bagian karkasyang bernilai tinggi dengan yang bernilai
rendah, serta perbandingan antara bagian-
bagian yang dapat dimakan dengan yang tidak
dapat dimakan (Wello, 2000). Konformasi butt
shape adalah keselarasan bentuk paha dengan
konformasi karkas secara keseluruhan, yang
menyangkut kerangka, perototan dan
perlemakan. Skor shape digunakan pada banyak
sistem deskripsi karkas sapi potong di seluruh
dunia (Jones et al., 1978; Bass et al., 1982;
Kempster et al., 1982; Sorenson, 1988).
Asosiasi industri daging Australia telah
merekomendasikan penggunaan skor
konformasi butt shape dalam tataniaga daging
di Australia (Aus-Meat, 1987). Hal ini
disebabkan adanya anggapan hubungan antara
konformasi butt shape dengan hasil daging.
Sebagai akibatnya skor konformasi butt shape
digunakan secara luas dalam pemasaran karkas
karena berpengaruh secara ekonomis dimana
skor shapeA, B dan C mempunyai harga daging
yang lebih mahal daripada skor D dan E, dan
perbedaan harga pada bobot karkas yang sama
sekitar $40 (Aus-meat,1995).
Meskipun demikian hasil Thornton (1991)
melaporkan rendahnya korelasi antara skor butt
shape terhadap estimasi hasil daging. Pada studi
pertumbuhan karkas, Taylor et al. (1996)
menemukan bahwa skor konformasi butt shape
lebih erat hubungannya dengan lemak
dibandingkan terhadap otot (daging). Studi
tersebut menggunakan karkas yang berat
(heavyweight) dan lemak penutup karkas dalam
kisaran yang luas. Jika bentuk karkas (shape)
disamakan dengan perlemakan (fatness) seperti
dinyatakan oleh Taylor et al. (1996) yang
mempelajari karkas yang ringan (lightweight),
kurangnya lemak karkas pada pasar domestik
Australia menunjukkan perbedaan tingkat
hubungan antara skor shape dan komponen
karkas. Hasil penelitian Priyanto (1993)
menunjukkan bahwa lemak subkutanmemainkan peranan penting dalam penentuan
butt shape.
Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari pengaruh konformasi butt shape
dan klasifikasi jenis kelamin serta interaksinya
terhadap karakteristik karkas sapi Brahman
cross hasil penggemukan. Penelitian ini
diharapkan menjadi dasar dalam pengembangan
klasifikasi karkas sapi di Indonesia.
Media PeternakanHAFID & PRIYANTO
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 49/86
Edisi Desember 2006 164
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan di perusahaan
pemotongan sapi PT. Celmor Perdana Indonesia
kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian
dilakukan selama 12 bulan sejak awal Maret
2003 sampai akhir Maret 2004.
Penelitian ini menggunakan bangsa sapi
Brahman Cross (BX) berasal dari penggemukan
secara feedlot . Jumlah sapi yang digunakan
sebanyak 100 ekor. Sapi terdiri atas tiga
klasifikasi jenis kelamin (sex-class): cow, heifer
dan steer . Seluruh fasilitas peralatan rumah
potong hewan (RPH) digunakan selamapenelitian.
Pada tahap awal penelitian dilakukan
pencatatan ear tag, bangsa sapi, jenis kelamin
dan penimbangan bobot bobot potong. Sapi-sapi
dipotong pada kisaran bobot potong 350 - 400
kg. Sapi dipuasakan dari makanan sekitar 24
jam sebelum pemotongan untuk menghindari
variasi karena isi saluran pencernaan.
Sapi diantri menuju knocking box
selanjutnya dipingsankan dengan cash knocker .Penyembelihan dilakukan secara halal dengan
memotong vena jugularis, oesophagus dan
trachea. Sticking dilakukan agar darah keluar
sempurna. Sapi digantung pada tendo achilles
dengan bantuan katrol listrik. Kepala dilepaskan
pada sendi occipito-atlantis pada saat ini umur
ditentukan dengan melihat pergantian gigi seri.
Kaki depan dan belakang dilepaskan pada sendi
carpo-metacarpal dan sendi tarso-metatarsal
dengan gunting listrik butch mug cutter .
Pengulitan dilakukan dengan membuat irisan
dari arah ventral di bagian perut dan dada ke
arah dorsal dibagian kaki dan punggung.
Pengulitan menggunakan mesin hide puller .
Eviserasi diawali dengan menyayat dinding
abdomen sampai dada.
Karkas dibelah simetris dengan
menggunakan gergaji listrik Kent Master
sepanjang tulang belakang. Belahan karkas kiri
dan kanan kemudian dibersihkan dengan
menyemprotkan air, selanjutnya diberi label dan
ditimbang sebagai bobot panas kanan (A) dan
kiri (B). Karkas disimpan dalam chilling room
selama 24 jam pada suhu 2-5oC dengan
kelembaban 85-95% serta kecepatan pergerakan
angin sekitar 0,2 m/detik. Sebelum dilakukan
deboning masing-masing separuh karkas
ditimbang sebagai bobot karkas dingin kiri dan
kanan. Deboning dilakukan untuk membentuk
potongan komersial karkas. Potongan wholesale
cuts mengacu pada Australian Meat and
Livestock Corporation (1998). Batas
forequarter dan hindquarter adalah antara ruas
tulang rusuk 12 dan 13.Peubah yang diamati dalam penelitian ini
adalah: bobot karkas, persentase karkas, luas
urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung
pada rusuk ke-12, persentase lemak ginjal,
pelvis dan jantung, tebal lemak pangkal ekor
dan tebal lemak rump p8. Rancangan percobaan
yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
pola faktorial 3 x 3 (Steel & Torrie, 1995).
Faktor pertama adalah konformasi butt shape
terdiri atas tiga taraf yaitu skor konformasi butt shape B, C dan D. Faktor kedua adalah
klasifikasi jenis kelamin (sex-class) terdiri atas
tiga taraf yaitu cow, heifer dan steer. Analisis
data menggunakan prosedur GLM. LS - mean
digunakan untuk menguji perbedaan diantara
perlakuan (SAS, l996).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan karakteristik karkas berdasarkan
kategori jenis kelamin dan konformasi butt
shape dapat dilihat pada Tabel 1. Interaksi jenis
kelamin dan konformasi butt shape berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap luas urat daging
mata rusuk, sedangkan karakteristik karkas
lainnya tidak nyata. Faktor butt shape secara
mandiri berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap karakteristik karkas utamanya pada
parameter bobot karkas, luas urat daging mata
rusuk, tebal lemak punggung rusuk ke-12,
PENGARUH KONFORMASIVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 50/86
Edisi Desember 2006 165
persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung,
serta tebal lemak rump P8. Faktor klasifikasi
jenis kelamin secara mandiri berpengaruhsangat nyata (P<0,01) terhadap karakteristik
karkas utamanya pada parameter bobot karkas,
luas urat daging mata rusuk, tebal lemak
punggung rusuk ke-12 dan persentase lemak
ginjal, pelvis dan jantung.
Berdasarkan Tabel 1, kombinasi heifer
dengan konformasi butt shape “B” menunjuk-
kan area urat daging mata rusuk yang terluas
(115,80 cm2) dibandingkan kombinasi lainnya.
Luas urat daging mata rusuk terendah pada
kombinasi heifer dengan butt shape “D” (96,09
cm2
) dan kombinasi dengan steer (97,13 cm2
).Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada
kombinasi sapi betina (cow dan heifer) dengan
butt shape “B” mempunyai pertumbuhan urat
daging mata rusuk yang lebih baik dibandingkan
steer , yang ditunjukkan dengan lebih luasnya
urat daging mata rusuk. Menurut Crouse et al.
(1985) dan Aberle et al. (2001), luas urat daging
mata rusuk dipengaruhi oleh jenis kelamin dan
bangsa sapi. Urat daging mata rusuk yang lebih
Tabel 1. Rataan karakteristik karkas berdasarkan jenis kelamin dan konformasi butt shape yang berbeda
Keterangan: Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Media PeternakanHAFID & PRIYANTO
Konformasi butt shape Karakteristik karkas
Klasifikasi jenis
jelamin D C BRataan
Cow 116,00 128,95 141,50 128,82A
Heifer 118,45 129,50 140,60 129,52A
Steer 111,47 118,59 129,00 119,68B
Bobot karkas (kg)
Rataan 115,31C
125,68B
137,03A
Cow 57,68 57,85 58,38 57,97
Heifer 55,55 57,61 57,78 56,98
Steer 57,33 57,87 56,20 57,13
Persentase karkas
(%)
Rataan 56,85 57,78 57,46
Cow 102,63AD
105,30AB
109,29AC
105,74A
Heifer 96,09
D105,50
A115,80
C105,80
A
Steer 97,13D
101,89ABD
99,50ABD
99,51B
Urat daging matarusuk (cm
2)
Rataan 98,62B
104,23A
108,20A
Cow 1,55 2,15 2,64 2,11A
Heifer 1,75 2,11 2,67 2,18A
Steer 1,55 1,70 2,14 1,80B
Tebal lemak
punggung rusuk
ke-12 (cm)
Rataan 1,61C
1,99B
2,48A
Cow 1,88 1,99 2,22 2,03A
Heifer 1,59 1,78 2,06 1,81B
Steer 1,43 1,48 1,85 1,59C
Persentase lemak
ginjal, pelvik dan
jantung (%)
Rataan 1,64C
1,75B
2,04A
Cow 3,15 3,65 4,11 3,64 Heifer 3,13 3,50 4,09 3,57
Steer 3,13 3,39 4,17 3,57
Tebal lemak rump P8 (cm)
Rataan 3,14C
3,51B
4,12A
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 51/86
Edisi Desember 2006 166
luas menunjukkan perdagingan yang lebihbesar. Efek kastrasi mengurangi kecepatanpertumbuhan pada steer.
Luasan urat daging mata rusuk (loin eyearea) berimplikasi pada proporsi urat dagingkarkas, semakin luas urat daging mata rusuk makin besar pula proporsi urat daging/perototanpada karkas. Hasil penelitian Field &Schoonover (1967) maupun Ngadiyono (1995)menunjukkan korelasi yang positif antara luasanurat daging mata rusuk dengan bobot hidup ataubobot potong. Sementara itu bobot potong dapatmencerminkan persentase karkas seekor ternak
(Hafid, 1998). Fenomena tersebut sejalandengan hasil penelitian ini, yaitu bahwakombinasi luas urat daging terluas (Heifer danCow pada butt shape B) berasal dari bobotkarkas yang lebih berat dibanding kombinasilainnya.
Tabel 1 menunjukkan adanya perbedaankonformasi butt shape terhadap bobot karkas.Bobot karkas pada butt shape “B” (137,03 kg)
berbeda sangat nyata dibandingkan butt shape
“C” (125,68 kg) dan “D” (115,31 kg).Konformasi butt shape “C” berbeda sangat
nyata dibanding butt shape “D”. Berdasarkanklasifikasi jenis kelamin, diperoleh bobot karkasheifer dan cow nyata lebih berat dibandingkansteer (129,52 kg dan 128,82 kg VS 119,68 kg).Perbedaan ini disebabkan oleh adanyaperbedaan bobot potong dan adanya hubunganerat antara skor butt shape dengan bobot karkas.Data penelitian menunjukkan urutan beratkarkas terberat adalah cow, heifer dan steer . Halini sesuai Preston & Willis (1982) yang
menyatakan bahwa faktor-faktor yangmempengaruhi bobot dan persentase karkasadalah pakan, umur, bobot hidup atau bobotpotong, jenis kelamin, hormon, bangsa sapi dankonformasi. Persentase karkas akan meningkatdengan meningkatnya bobot potong Aberle et
al. (2001). Hasil penelitian Hafid et al. (2001)
dan Hafid (2002) menunjukkan perbedaan
bobot dan persentase karkas sapi Australian
Gambar 1. Grafik interaksi konformasi butt shape dengan jenis kelaminberdasarkan luas urat daging mata rusuk
90
95
100
105
110
115
120
D C B
Kategori butt shape
L u a s U D M R ( c m 2 )
Cow Heifer Steer
PENGARUH KONFORMASIVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 52/86
Edisi Desember 2006 167
Commercial Cross pada bobot potong dan lamapenggemukan yang berbeda. Bobot potong danlama waktu penggemukan berbanding lurusdengan persentase karkas.
Perbedaan interaksi antara jenis kelamindengan konformasi butt shape dapat dilihat padaGambar 1. Pada tebal lemak punggung rusuk ke-12, konformasi butt shape “B” berbeda nyatadengan butt shape “C” dan “D” (2,48 mm vs1,99 mm vs 1,61 mm). Konformasi butt shape
“C” berbeda nyata dengan “D”. Berdasarkan jenis kelamin, heifer dan cow mempunyai lemak punggung rusuk ke-12 yang nyata lebih tebal
dibandingkan steer (2,18 mm dan 2,11 mm vs1,80 mm).
Persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung pada konformasi butt shape “B” nyata
lebih tinggi dibandingkan butt shape “C” dan“D”, masing-masing 2,04% vs 1,75% vs 1,64%.Konformasi butt shape “C” berbeda nyatadengan “D”. Berdasarkan jenis kelamin, cow
mempunyai persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung lebih tinggi dibandingkan heifer dansteer (2,03% vs 1,81% vs 1,59%). Heifer
berbeda nyata dengan steer.
Lemak rump P8 nyata lebih tebal pada butt
shape “B” dibandingkan butt shape “C” dan“D” (4,12 mm vs 3,51 mm vs 3,14 mm).Konformasi butt shape “C” berbeda nyatadengan “D”.
Adanya perbedaan pada tebal lemak punggung, persentase lemak ginjal, pelvis dan
jantung dan tebal lemak rump P8, tampaknyaberkaitan erat dengan bobot potong, jenis
kelamin dan bobot karkas seperti dikemukakanPreston & Willis (1982) dan Aberle et al. (2001)di atas. Hanson et al. (1999) yang menelitiperbedaan sex-class (steer vs heifer)mendapatkan lemak punggung yang lebih tebalpada heifer dibandingkan steer.
KESIMPULAN
Klasifikasi jenis kelamin (sex-class)
berpengaruh nyata terhadap terhadap bobot
karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung rusuk ke-12 dan persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung. Peningkatan skorkonformasi butt shape dari D ke Bmenyebabkan peningkatan bobot karkas dansemua karakteristik karkas, namun tidak berkaitan dengan persentase karkas. Interaksikedua faktor menunjukkan bahwa luas uratdaging mata rusuk meningkat denganbergesernya skor butt shape pada klasifikasiheifer dan cow, namun pada steer hanyameningkat sampai skor butt shape C. Klasifikasi
jenis kelamin dan konformasi butt shape perlu
dipertimbangkan dalam mengidentifikasiproduktivitas karkas.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, D.E., J.C. Forrest, D.E. Gerrard & E.W.Mills. 2001. Principles of Meat Science.Fourth Edition. W.H. Freeman and Company,San Francisco.
Abustam, E. 2000. Teknik pemotongan,pengkarkasan dan maturasi daging (aging).Prosiding Kursus Singkat Teknik Peningkatandan Penilaian Karkas dan Daging pada Ternak Sapi dengan Menggunakan Novel Teknologi.31 Juli – 14 Agustus 2000. Makassar.Kerjasama Fapet UNHAS Makassar denganProyek Peningkatan Kualitas SDM DirjenDikti Depdiknas Jakarta. Hlm. 1 – 17.
Aus-meat. 1987. Language. 2nd Edition. Aus-Met,Hyde Park Square, Sydney NSW 2000.
Aus-meat. 1995. Aus-Meat for IndonesiaWorkshop. Work Book No.1. Australian Meatand Livestock Corporation, Perth, WesternAustralia.
Australian Meat and Livestock Corporation.1998. A Workshop for Tropical FeedlotManagers : An Introductory Workshop forFeedlot Managers in The Philippines, PerthWestern Australia.
Bass, J.J., D.L. Johnson, & E.G. Woods. 1982.Relationship of carcass conformation of cattleand sheep with carcass composition. Proc.Anim. Prod. 42:125-126.
Crouse, J.D., D.L. Ferrel, & L.V. Cundiff. 1985.Effect of sex condition, genotype and diet onbovine growth and carcass characteristics. J.Anim. Sci. 60(5):1219-1227.
Media PeternakanHAFID & PRIYANTO
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 53/86
Edisi Desember 2006 168
Field, R.A. & C.O. Schoonover. 1967. Equationfor comparing longissimus dorsi areas in bullsof different weights. J. Anim. Sci. 26:709-712.
Hafid, H.H. 1998. Kinerja produksi sapi AustralianCommercial Cross yang dipelihara secarafeedlot dengan kondisi bakalan dan lamapenggemukan berbeda. Tesis. ProgramPascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hafid, H.H., R.E. Gurnadi, R. Priyanto & A.Saefuddin. 2001. Komposisi potongankomersial karkas sapi Australian CommercialCross kebiri yang digemukkan secara feedlotpada lama penggemukan yang berbeda. JurnalIlmu-ilmu Pertanian Agroland, FakultasPertanian Universitas Tadulako Palu. Vol. 8(1) : 90 - 96.
Hafid, H.H. 2002. Pengaruh pertumbuhankompensasi terhadap efisiensi pertumbuhansapi Brahman Cross kebiri padapenggemukan feedlot . Jurnal Ilmu-ilmuPertanian Agroland, Fakultas PertanianUniversitas Tadulako Palu. Vol. 9(2): 179 -185.
Hanson, D., C. Calkins, B. Gwartney, J. Forrest& R. Lemenager. 1999. The relationship of beef primal cut composition to overall carcasscomposition. http.//ianrpubs.unl.edu/beef/ report/mp71-30.htm.[January 1999].
Jones, S.D.M, M.A, Price & R.T Berg. 1978.Effect of breed and sex on the relative growthand distribution of bone in cattle. Can. J.Anim. Sci. 58: 157-165.
Kempster, T, A. Cuthbertson & G. Harrington.1982. Carcass Evaluation in Livestock Breeding, Production and Marketing. FirstPubl. Granada Publishing Ltd., London.
Ngadiyono, N. 1995. Pertumbuhan serta sifat-sifatkarkas dan daging sapi Sumba, Ongole,Brahman Cross dan Australian CommercialCross yang dipelihara secara intensif pada
berbagai bobot potong. Disertasi. ProgramPascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Preston, T.R. & M.B. Willis. 1982. Intensif Beef
Production. The Second Ed. Pergamon Press,Oxford-New York-Toronto-Sydney-Paris-Frankfurt.
Priyanto, R., ER, Johnson & D.G. Taylor. 1993.Prediction of carcass composition in heavy-weight grass-fed and grain-fed beef cattle.Anim. Prod. 57:65-72.
SAS. 1996. The Statistical Analysis System ForWindows Release V6.12. Louisiana StateUniversity. SAS Institute, Inc., Cary, NC,USA.
Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1995. Prinsip danProsedur Statistika. Suatu PendekatanBiometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
Sorenson, S.E. 1988. The Automated Measurementof Beef. In: Australian Meat and Livestock Corporation. L.E. Brownlie, W.J.A. Hall &S.U. Fabiansson (Eds.). Sydney. Pp.75-80.
Taylor, D.G., E.R. Johnson & R. Priyanto. 1996.The accuracy of rump P8 fat thickness andtwelth rib fat thickness in predicting beef carcass fat content in three breed types. In:Proceedings of the Australian Society of Animal Production. The University of
Quensland, Brisbane. Pp 193-195.Thornton, R.F. 1991. Report on Muscle Socers
Trials. Australian Meat and Livestock Corporation, Sydney.
Wello, B. 2000. Apresiasi dan Standardisasi Karkas.Prosiding Kursus Singkat Teknik Peningkatandan Penilaian Karkas dan Daging pada Ternak Sapi dengan Menggunakan Novel Teknologi.31 Juli – 14 Agustus 2000. Makassar.Kerjasama Fapet UNHAS Makassar denganProyek Peningkatan Kualitas SDM DirjenDikti Depdiknas Jakarta. Hlm. 50 - 65.
PENGARUH KONFORMASIVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 54/86
Edisi Desember 2006 169
Respons Ayam Kampung terhadap Penambahan Kalsium Asal
Siput ( Lymnae Sp) dan Kerang (Corbiculla molktiana)
pada Kondisi Ransum Miskin Fosfor
KhalilFakultas Peternakan Universitas Andalas Kampus Limau Manis
PO. Box 79, Padang 25163 Sumatera Barat(Diterima 31-08-2005; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT
The objectives of this present investigation were to evaluate effects of using shell of freshwater snail as major source of calcium in the diets on performance and bonemineralization of growing native chicks (1-12 weeks of age). There were four dietarytreatments. The first was a basal diet (negative control) containing 0.5 % bone meal, butdeficient in phosphor. Three other diets which were relatively the same in composition asthat of basal diet, but one supplemented with 2.5 % oyster shell (positive control) and twowith 2.5% shell of freshwater snail obtained from two different water bodies: lake and ricefield, respectively. One hundred birds of native chicken were divided into four groups of treatments with five replicates with 5 birds each and offered experimental diets for 12weeks. Parameters measured included: body weight gain, feed intake, feed conversionratio (FCR), weight of tibia bone and their ash and mineral (Ca and P) composition andretention. The chicks fed on diets containing shell of freshwater snails showed nosignificantly difference in body weight gain, feed intake and FCR with those fed on dietcontaining oyster shell, but significantly lower body weight gain than those fed on basaldiet containing only bone meal. Feeding of diets supplemented with shell of snails andoyster decreased significantly the body weight gain. However, no significantly differencewas observed in the weight and content of ash, Ca and P of tibia bone.
Key words : freshwater snail, native chicken, mineral nutrition, bone mineralization
PENDAHULUAN
Siput ( Lymnae sp) merupakan hewan
moluska yang banyak ditemui dan biasa hidupdan berkembangbiak di air tawar seperti danau,
situ, sawah dan sungai di daerah SumateraBarat. Tubuh siput yang lunak dilindungi oleh
cangkang keras yang berbentuk spiral. Siputbiasanya dimanfaatkan oleh masyarakat hanya
bagian isinya sebagai bahan pangan yangbernilai gizi tinggi. Bagian cangkang yangmencakup sekitar 83-85 % dari bobot utuh siput
(Khalil, 2003) umumnya dibuang tanpadimanfaatkan.
Cangkang siput tersusun atas kalsiumkarbonat (Dharma, 1988), sehingga berpotensi
untuk digunakan sebagai sumber mineralkalsium (Ca). Kandungan Ca cangkang siput
Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 169-175ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 55/86
Edisi Desember 2006 170
sekitar 34-35% dalam bahan kering (Khalil,
2003). Bahan pakan sumber mineral Ca yang
umum digunakan dalam ransum ayam adalah
batu kapur, kulit kerang dan tepung tulang.
Disamping sebagai sumber Ca, tepung tulang
juga berfungsi sebagai sumber fosfor (P).
Menurut (Shafey, 1993) ketersediaan atau
“bioavailabilty” mineral dari bahan yang
berbeda akan berbeda pula.
Menurut Iskandar (1991) ayam kampung
umur 0-12 minggu membutuhkan Ca 1–2,5%
dan P 0,9-1,5% dalam ransum. Ca dan P dalam
ransum harus terkandung dalam perbandingan
yang optimal, karena nilai guna kedua mineraldalam proses metabolisme tubuh saling terkait
satu sama lain. Imbangan Ca dan P yang optimal
dalam ransum ayam yang sedang bertumbuh
berkisar antara 1,4:1 sampai 4:1 (Shafey, 1993).
Disamping itu, dalam penetapan kandungan Ca
dalam ransum perlu dipertimbangkan efisiensi
penggunaannya yang tergantung antara lain oleh
umur ternak. Menurut Scholtyssek (1987) ayam
umur 1-6 minggu hanya dapat menggunakan Ca
dalam ransum maksimal 60%, umur 7-12minggu 55% dan di atas 13 minggu menurun
menjadi 50%. Oleh karena itu, kandungan Ca
dalam ransum sebaiknya dilebihkan dari standar
kebutuhan untuk mencegah terjadinya
defisiensi.
Penelitian pakan mineral menggunakan
ayam ras sudah banyak dilakukan (Shafey,
1993; Farrell, 1994; Dilworth & Day, 1965).
Data hasil penelitian menggunakan ayam
kampung masih sangat terbatas, termasuk penggunaaan bahan lokal seperti cangkang
siput. Jika dibandingkan dengan ayam ras, laju
pembentukan kerangka tubuh (tulang) pada
ayam kampung lebih cepat, yang dapat dilihat
antara dari tingkat kekerasan tulang dan
kemampuan mobilitas yang lebih tinggi pada
umur muda, meskipun laju pertumbuhan lebih
lambat daripada ayam ras dengan umur yang
sama. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa
tumbuh ayam kampung lebih efisien dalam
memanfaatkan mineral dalam ransum daripada
ayam ras. Ketersediaaan mineral suatu bahan
dapat dievaluasi melalui performa ternak
dengan cara mengukur laju pertumbuhan,
kandungan abu atau komposisi mineral dari abu
tulang paha “tibia” (Shafey, 1993; Farrell, 1994;
Dilworth & Day, 1965).
Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi nilai nutrisi ransum yang
mengandung tepung cangkang siput yang
berasal dari danau dan sawah sebagai sumber
utama kalsium pada ayam kampung umur 1-12
minggu. Sebagai pembanding (kontrol)digunakan ransum yang mengandung tepung
tulang dan tepung kulit kerang. Kandungan P
ransum dalam penelitan ini sengaja ditetapkan
di bawah standar kebutuhuan (0,4%) untuk
mendapatkan pengaruh sumber Ca yang lebih
baik.
MATERI DAN METODE
Pengelompokkan dan Penempatan Ternak
Penelitian menggunakan ayam kampung
sebanyak 100 ekor yang berumur + 1 minggu
dengan rataan bobot 33,9 ± 3,2 g. Ayam dibagi
ke dalam 4 kelompok perlakuan dan setiap
perlakuan terdiri atas 5 ulangan, masing-masing
5 ekor ayam. Ayam ditempatkan secara acak ke
dalam 20 unit kandang “battery” (1 unit untuk
1 ulangan) dengan ukuran panjang, lebar dan
tinggi adalah 60 x 50 x 70 cm. Setiap kandangdilengkapi dengan tempat ransum, tempat
minum dan lampu pemanas.
Penyusunan dan Pemberian
Ransum Perlakuan
Sebagai perlakuan disusun 4 jenis ransum
perlakuan yang berbeda bahan sumber
mineralnya. Ransum pertama dan kedua adalah
Media PeternakanKHALIL
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 56/86
Edisi Desember 2006 171
ransum yang masing-masing mengandung
tepung cangkang siput yang berasal dari dua
habitat berbeda, yaitu danau dan sawah. Siput
danau diambil dari danau Maninjau, Kabupaten
Agam, sedangkan siput sawah berasal dari
persawahan Lubuk Buaya, Kotamadya Padang.
Proses penyiapan tepung cangkang dilakukan
menurut prosedur penelitian sebelumnya
(Khalil, 2003).
Ransum ketiga mengandung tepung kulit
kerang dan ransum keempat hanya mengandung
tepung tulang. Level penggunaan tepung
cangkang siput dan kulit kerang masing-masing
2,5%. Tepung tulang sebanyak 0,5%ditambahkan pada semua ransum untuk
meningkatkan kandungan P. Kandungan nutrisi
dan energi ransum disusun berdasarkan standar
kebutuhan ayam kampung umur 1-12 minggu
menurut rekomendasi Iskandar et al. (1991).
Tabel 1 disajikan komposisi bahan penyusun
dan kandungan nutrisi dan energi ransum
penelitian. Ransum perlakuan diberikan ad
libitum dengan frekuensi dua kali sehari selama
12 minggu pemeliharaan.
Parameter yang Diamati dan Diukur
Parameter yang diamati dan diukur
mencakup performa, bobot tulang paha,
kandungan dan retensi abu, Ca dan P pada tulang
paha ayam. Data performa yang diukur dan
diamati antara lain : pertambahan bobot badan,
konsumsi dan konversi ransum, mortalitas danmorbiditas.
Pada hari terakhir penelitian (akhir
minggu ke-12) dilakukan pemotongan sebanyak
3 ekor ayam pada setiap perlakuan yang dipilih
secara acak pada 3 unit penelitian (ulangan)
RESPONS AYAM KAMPUNGVol. 29 No. 3
Tabel 1. Komposisi ransum penelitian dan kandungan nutrisi
PerlakuanJenis
Cangkangsiput danau
Cangkangsiput sawah
Kulit kerang Tepungtulang
Bahan pakan (%)Jangung 38,0 38,0 38,0 37,5
Dedak padi 45,0 45,0 45,0 48,0
Bungkil kelapa 5,0 5,0 5,0 5,0
Bungkil kedelai 4,0 4,0 4,0 4,0Tepung ikan 4,0 4,0 4,0 4,0
Minyak kelapa 1,0 1,0 1,0 1,0
Tepung tulang 0,5 0,5 0,5 0,5Tepung kulit kerang - - 2,5 -
Tepung cangkang siput sawah - 2,5 - -
Tepung cangkang siput danau 2,5 - - -
Nutrien
Protein kasar (%) 15,1 15,1 15,1 15,4
Serat kasar (%) 7,4 7,4 7,4 7,1
Kalsium (%) 1,6 1,6 1,7 0,9
Fosfor (%) 0,4 0,4 0,4 0,5
Rasio Ca:P (%) 4,0:1,0 4,0:1,0 4,3:1,0 1,8:1,0Energi (MJME/kg) 10,0 10,0 10,0 10,1
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 57/86
Edisi Desember 2006 172
untuk diambil tulang paha atau “tibia”. Setelah
ditimbang, tulang paha segar dikeringkan,
kemudian digiling dan dianalisa kandungan abu,
Ca dan P. Retensi abu, Ca dan P pada tulang
paha masing-masing dihitung dengan cara
membagi jumlah abu, Ca dan P yang terkandung
pada tulang paha dengan jumlah abu, Ca dan P
yang dikonsumsi dan dikalikan dengan 100 %.
Analisis Statistik
Data hasil penelitian dianalisa secara
statistik melalui analisis keragaman (variance
analysis) dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Peubah bobot badan, konsumsi dan
konversi ransum terdiri atas 4 perlakuan
(ransum) dan 5 ulangan, sedangkan bobot tulang
paha serta kandungan dan retensi abu, Ca dan P
pada tulang paha terdiri atas 4 perlakuan dan 3
ulangan. Tingkat perbedaan nilai rataan antar
perlakuan diuji dengan uji jarak Duncan
(DMRT) (Steel & Torrie, 1981)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data performa ayam disajikan pada Tabel
2. Bobot badan akhir dan laju pertambahan
bobot badan ayam yang mendapat ransum
dengan sumber mineral tepung cangkang siput
yang berasal dari habitat yang berbeda (danau
dan sawah) terlihat tidak berbeda nyata dengan
ayam yang mendapat ransum dengan sumber
mineral tepung kulit kerang, tetapi nyata lebih
rendah (P<0,05) daripada ayam yang mendapat
ransum dengan sumber mineral tepung tulang.
Rataan bobot badan ayam setelah dipelihara
selama 12 minggu mencapai 385-475 g/ekor,
dengan rataan pertambahan bobot badan harian
4,2-5,2 g/ekor. Seperti terlihat pada Gambar 1,
ayam yang mendapat ransum dengan sumber
mineral cangkang siput dan tepung kerang
menunjukkan bobot badan yang tidak jauhberbeda sampai minggu ke-12, sedangkan bobot
badan ayam yang mendapat ransum dengan
sumber mineral hanya tepung tulang nyata
terlihat lebih tinggi dari tiga perlakuan lainnya
mulai minggu ke-3 pemeliharaan.
Konsumsi ransum selama penelitian
berkisar antara 1,823-2,035 kg/ekor, konsumsi
harian dalam BK 19,4-24,2 g/ekor dan konversi
ransum 4,9-5,3. Konsumsi dan konversi ransum
untuk semua perlakuan terlihat tidak berbedanyata secara statistik, meskipun secara absolut
ayam yang mendapat ransum dengan sumber
mineral hanya tepung tulang menunjukkan nilai
rataan konsumsi sedikit lebih tinggi, baik
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
PerlakuanParameter
Cangkang
siput danau
Cangkang
siput sawah
Kulit kerang Tepung
tulang
Bobot badan awal 32,8
34,9 32,2 35,7
Bobot badan akhir 401,7b
399,8b
385,2b
475,0a
Pertambahan bobot badan harian 4,3b
4,3b
4,2b
5,2a
Konsumsi ransum total 1823,1 1912,3 1860,6 2035,5
Konsumsi ransum harian 19,4 19,9 19,5 24,2
Konversi ransum 4,9 5,2 5,3 5,2
Tabel 2. Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum ayam buras yang diberiransum dengan sumber mineral berbeda (g/ekor)
Media PeternakanKHALIL
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 58/86
Edisi Desember 2006 173
konsumsi total selama pemeliharaan maupunkonsumsi harian dalam BK.
Data ini menunjukkan bahwa nilai nutrisi
cangkang siput sebagai sumber mineral dalam
ransum ayam kampung yang sedang tumbuh
setara dengan kulit kerang. Karakteristik
cangkang siput dengan kulit kerang baik secara
fisik maupun kimia relatif sama, karena berasal
dari phylum yang sama, yaitu Mollusca (Jassin,
1991) dan cangkang ini tersusun atas senyawa
yang sama berupa kalsium karbonat yang
mencapai 89-99% (Dharma, 1988).Apabila dibandingkan dengan performa
ayam yang mendapat ransum yang hanya
mengandung tepung tulang kuat dugaan bahwa
terjadi kelebihan Ca dan kekurangan P dalam
ransum akibat penambahan tepung cangkang
siput dan kulit kerang. Meskipun kandungan Ca
dan P telah disusun dengan kisaran imbangan
yang masih dapat ditolerir oleh ayam yang
sedang bertumbuh (sampai 4:1) (Shafey, 1993),
ayam menunjukkan tanda-tanda kelainanmetabolisme mineral, seperti terjadi penurunan
laju pertumbuhan (Tabel 2 dan Gambar 1) serta
terjadinya gangguan pembentukan tulang kaki.
Terdapat 2 ekor ayam dalam penelitian yang
menunjukkan kelainan kaki atau “ricket” pada
perlakuan ransum mengandung cangkang siput.
Hal ini sesuai dengan laporan Shafey (1993)
yang menyatakan bahwa kelebihan konsumsi
Ca tanpa diimbangi peningkatan peningkatan
kandungan P dalam ransum dapat menyebabkan
penurunan laju pertumbuhan dan efisiensipenggunaan ransum serta terjadinya gangguan
pembentukan tulang kaki atau “bone
malformation”.
Rendahnya ketersediaan P diduga karena
sebagian besar P yang terkadung dalam ransum
terikat dengan asam fitat. Menurut Scholtyssek
(1987) sekitar 70% P yang terkandung dalam
pakan nabati terikat dalam bentuk fitat-P.
Selanjutnya pada dedak padi yang merupakan
Gambar 1. Perkembangan bobot badan ayam selama penelitian
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lama pemeliharaan (minggu)
B o b o t b a d a n ( g / e k o r )
Cangkang siput danau Cangkang siput sawah
Kulit kerang Tepung tulang
RESPONS AYAM KAMPUNGVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 59/86
Edisi Desember 2006 174
komponen utama ransum perlakuan (45-48%)
(Tabel 1) P yang terikat dengan fitat mencapai
rata-rata 80% (Ravindran, 1997).
Meskipun demikian, rendahnya performa
dan terjadinya kelainan ini tidak ditunjang oleh
data bobot dan komposisi mineral tulang paha.Seperti terlihat pada Tabel 3, bobot tulang dan
kandungan abu serta Ca dan P tulang paha ayam
yang mendapat ransum dengan sumber mineral
cangkang siput dan kerang tidak berbeda nyata
dengan ayam yang mendapat ransum yang
hanya mengandung tepung tulang.
Selanjutnya, komposisi abu dan mineral
tulang paha tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata secara statistik diantara ke-4 perlakukan.
Menurut Shafey (1993) jika imbangan Ca dan
P dalam ransum ayam terlalu luas atau kelebihan
konsumsi Ca dan defiesiensi P, maka akan
mengakibatkan penurunan kandungan abu pada
tulang paha.
KESIMPULAN
Cangkang siput yang berasal dari habitat
yang berbeda sebagai sumber utama mineral
Tabel 3. Rataan bobot tulang paha serta kandungan dan retensi abu, Ca dan P tulang paha ayam yangdiberi ransum dengan sumber mineral berbeda
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
PerlakuanParameter
Cangkang
siput sawah
Cangkang
siput danau
Kulit kerang Tepung
tulang
Bobot tulang paha segar (BS)
(g/ekor)
15,8 17,4 13,6 17,7
Kandungan bahan kering (BK)
(% BS)
37,5a
36,6a
31,6b
38,9a
Kandungan abu dan mineral (% BK)
- Abu 37,3 33,4 43,6 38,9
- Ca 16,9 9,5 13,7 11,4
- P 0,9 1,4 1,3 1,5
kalsium dalam ransum tidak berpengaruh
terhadap performa ayam kampung umur 1-12
minggu. Nilai nutrisi cangkang siput sawah,
siput danau dan kulit kerang setara satu sama
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. PT.Sarana Graha, Jakarta.
Dilworth, B.C. & Day, E.J. 1965. Effect of varyingdietary calcium:phosphorus ratios on tibiaand femur composition of the chicks. Poult.Sci, 44:1474-1479.
Farrel, D.J. 1994. Utilization of rice bran in dietsfor domestic fowl and ducklings. World’sPoult. Sci., 50:115-131.
Iskandar, S., E. Juarini, D. Zainuddin,Resnawati, H. Wibowo & Sumanto. 1991.Teknologi Tepat Guna Ayam Buras. BPTCiawi, Bogor.
Khalil. 2003. Analisa rendemen dan kandunganmineral cangkang pensi dan siput dariberbagai habitat air tawar di Sumatera Barat.J. Peternakan dan Lingkungan, Vol. 9, no.3:35-41.
Jassin, M. 1991. Zoologi Invertebrata. Sinarwijaya,Surabaya.
Media PeternakanKHALIL
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 60/86
Edisi Desember 2006 175
Ravindran, V. 1997. Phytase: Value in inprovingphosphorus availability in broiler diets. BASF,Jerman.
Scholtyssek,S. 1987.Gefluegel.EugenUlmer Verlag.Steel, R.G. D. & J.H. Torrie. 1981. Principles
and Procedures of Statistics. McGraw-
Hill International Book Company,Auckland.
Shafey, T.M. 1993. Calcium tolerance of growing
chickens: effect of ratio of dietary calcium toavailable phosphorus. World’s Poult. Sci. J,49:5-18.
RESPONS AYAM KAMPUNGVol. 29 No. 3
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 61/86
Edisi Desember 2006 176
Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 176-186ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap
Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo
Kabupaten Sleman Yogyakarta
S.A. Wibowo & F.T. HaryadiJurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta(Diterima 10-05-2006; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT
This research was conducted to know the farmer’s attitude toward cattle creditassistance and farmer’s characteristic factors that influence the probability of the farmer’sattitude toward cattle credit assistance. The respondents in this research were all of themembers of Andiniharjo cattle farmer’s group of 40 farmers as respondents which locatedin Pojokan sub village, Caturharjo, Sleman regency. The farmer’s characteristics factorwhich influence the probability of the farmer’s attitude toward cattle credit assistance wasanalized using binomial logistic regressions test. The model of binomial logistic regressionstest had 92,5% of correct prediction. The characteristic factors which infuence the probabilityof the farmer‘s attitude were the age of farmers (P<0.05), the farming motivation (P<0.05)and the income from farming (P<0.05). The conclusion of this research was that mostfarmer’s attitude of Andiniharjo cattle farmer’s group which located in Pojokan sub villagetoward cattle credit assistance from PT Telkom was negative. The age of farmers, thefarming motivation and the income of farming influenced the probability of the farmer’sattitude to have positive attitude toward cattle credit assistance from PT Telkom.
Keywords : attitude, credit assistance, cattle
PENDAHULUAN
Kebijaksanaan pemerintah dalam
subsektor peternakan mengenai peternakan sapi
potong sebagai salah satu usaha yang perlu
dikembangkan adalah usaha peternakan rakyat.
Peternakan sapi potong merupakan salah satu
bagian penting dalam perekonomian
masyarakat desa di Indonesia dan sebagian
merupakan usaha ternak rakyat dengan skala
usaha satu sampai empat ekor per rumah tangga
peternak. Pemeliharaan ternak oleh petani
ternak di pedesaan masih merupakan usaha
pelengkap bagi kegiatan usahataninya. Hal ini
disebabkan karena pemeliharaannya yang masih
bersifat tradisional (Buletin PPSKI, 1992).
Keterbatasan modal pada peternakan
rakyat juga merupakan suatu kendala dalam
usaha pengembangan sapi potong, sehingga
sangat diperlukan adanya program modal dalam
usaha pengembangannya dan dibutuhkan
keberanian sikap para peternak untuk
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 62/86
Edisi Desember 2006 177
Media PeternakanWIBOWO & HARYADI
mengambil keputusan dalam menerima atau
menolak program kredit sapi potong yang
diberikan oleh pihak pemerintah ataupun swasta
(Azis, 1993). Sebagian petani peternak, tidak
bisa mengandalkan modal pribadi untuk
memenuhi kebutuhan usahataninya. Oleh
karena itu mereka berusaha memperoleh dana
dari berbagai sumber, baik secara informal yang
hanya melibatkan pihak petani dengan pemberi
pinjaman, maupun secara formal yang
pelaksanaannya melibatkan instansi pertanian
di tingkat kabupaten atau PPL. Umumnya,
kredit formal merupakan pilihan pertama, tetapi
karena terbatas, petani yang tidak memperolehkredit formal terpaksa meminjam dari sumber
informal (Tim Peneliti SMERU, 2002). Petani
masih tetap membutuhkan kredit usahatani.
Kredit yang disediakan harus mudah diakses
oleh petani. Skim kredit yang ditawarkan, baik
penyaluran maupun pengembaliannya, perlu
memperhatikan kebutuhan petani dan pola
usahataninya (Tim Peneliti SMERU, 2001).
Kebijakan adanya paket-paket kredit
usaha tani atau crash program yang lain,terkadang dalam pelaksanaannya seperti
dipaksakan ke petani, sehingga petani yang
sebenarnya tidak memerlukannya, terpaksa
mengambil juga karena tidak mau repot di
kemudian hari. Hal ini akan menyebabkan tidak
efisiennya penggunaan kredit usaha tani yang
berakibat pada kredit macet (Arfian &
Wijonarko, 2000). Karakter kepribadian
individu mempengaruhi peternak dalam
mengambil suatu risiko (Shrapnel & Davie,
2001). Peternak harus berani mengambil risiko
atas segala persyaratan yang diberikan oleh
pemberi kredit yaitu berupa angsuran beserta
bunga yang telah ditetapkan. Peternak yang
melanggar peraturan kredit akan mendapatkan
konsekuensi sesuai dengan kesepakatan.
Mardikanto (1993) menyatakan bahwa individu
yang memiliki keberanian dalam menghadapi
risiko biasanya individu tersebut lebih inovatif.
Kredit pertanian memiliki peranan yang sangat
signifikan dalam sejarah pelaksanaan program
pembangunan pertanian di Indonesia. Selain
sebagai faktor pelancar, kredit juga berfungsi
sebagai simpul kritis pembangunan yang efektif,
sehingga kredit pertanian tetap harus tersedia
(Supadi & Sumedi, 2004).
Persepsi dari petani merupakan halangan
serius dalam mengaplikasikan suatu metode
atau inovasi baru. Inovasi baru tidak akan dicoba
oleh petani, bila mereka belum yakin benar akan
efektivitasnya, dan keuntungan ekonomisnya.
Petani akan mengikuti apabila sudah melihat
hasil nyata (Arfian & Wijonarko, 2000).
Misalnya dengan memperkecil risiko programkredit akan menjadi faktor penting dalam adopsi
teknologi (Drost et al., 1996). Apabila para
peternak bersikap positif terhadap adanya
program permodalan berupa kredit sapi potong,
maka peternak tersebut akan cenderung
menerima program kredit tersebut, sebaliknya
apabila peternak bersikap negatif, maka akan
cenderung menolak adanya program kredit
tersebut. Menurut Walgito (2003) perilaku
seseorang akan dilatarbelakangi oleh sikap yangada pada orang yang bersangkutan.
Menurut Mubyarto (1991) kredit adalah
suatu transaksi antara dua pihak yaitu pihak I
disebut kreditor dan pihak II disebut debitor.
Pihak I memberikan pinjaman modal atau
menyediakan pinjaman sumber ekonomi berupa
barang atau dalam wujud uang, sedangkan pihak
II diwajibkan melunasi atau membayar kembali
pada waktu yang telah ditentukan dan telah
disepakati oleh kedua belah pihak. Menurut
Suhardjono (2003) untuk mengetahui seberapa
jauh kemungkinan calon debitor memenuhi
kewajibannya dan sekaligus mengukur
kemampuannya dalam melunasi hutang pokok
dan bunga, maka pihak kreditor akan melakukan
analisis kredit yang menyangkut berbagai aspek.
Pada umumnya untuk menganalisis suatu
permohonan kredit, pihak kreditur
menggunakan prinsip yang dikenal dengan five
C’s of credit yang terdiri dari karakter
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 63/86
Edisi Desember 2006 178
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3
(character), kemampuan (capacity), modal
(capital), kondisi ekonomi (condition of
economy) dan jaminan/agunan (collateral).
Sikap adalah kecenderungan atau
kesediaan seseorang untuk bertingkah laku
tertentu seandainya seseorang tersebut
menghadapi suatu rangsang tertentu. Misalnya
seseorang memiliki sikap positif terhadap
sesuatu hal, maka orang tersebut akan
cenderung menggunakannya, tetapi jika orang
tersebut memiliki sikap negatif terhadap sesuatu
itu, maka ia akan cenderung menghindarinya.
Adanya kepercayaan terhadap sesuatu hal akan
menyebabkan timbulnya sikap tertentu terhadapsesuatu hal tersebut. Semakin besar kepercayaan
yang diberikan, akan semakin kuat pengaruhnya
untuk mengubah sikap (Sarwono, 2000). Sikap
seseorang tidak selamanya tetap. Sikap dapat
berkembang apabila mendapat pengaruh, baik
dari dalam maupun dari luar, baik bersifat positif
ataupun negatif (Ahmadi, 2002).
Menurut Krech et al. (1996) struktur sikap
mempunyai tiga komponen, yaitu: komponen
kognitif, komponen afektif, komponenkecenderungan tindakan. Komponen kognitif
disebut juga komponen kepercayaan.
Komponen ini berhubungan dengan kesadaran
dan pengetahuan terhadap suatu obyek tertentu.
Komponen afektif merupakan unsur perasaan
atau reaksi emosional seseorang tentang suatu
obyek. Obyek yang dirasakan sebagai sesuatu
hal yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan, disukai atau tidak disukai.
Beban emosional inilah yang memberikan
watak tertentu terhadap sikap yaitu watak
mantap, tergerak, dan bertindak. Komponen
kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan
dengan penilaian individu terhadap obyek atau
subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak
manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan
evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang
akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan
pengetahuan yang telah ada di dalam otak
manusia. Nilai-nilai baru yang diyakini benar,
baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan
mempengaruhi emosi atau komponen afektif
dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen
afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi)
individu terhadap obyek atau subyek, yang
sejalan dengan hasil penilaiannya, sedangkan
komponen kecenderungan bertindak berkenaan
dengan keinginan individu untuk melakukan
perbuatan sesuai dengan keyakinan dan
keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu
obyek atau subyek dapat positif atau negatif.
Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan
seseorang apakah ia menerima atau menolak,
setuju atau tidak setuju terhadap obyek atausubyek (Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi
Pembangunan, 2005). Rahmat (2000)
menyatakan bahwa sikap bukan perilaku, tetapi
merupakan kecenderungan untuk berperilaku
dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap.
Sikap positif atau negatif terhadap program
kredit sapi potong merupakan proses perilaku
seseorang yang akan dipengaruhi oleh faktor-
faktor karakteristik orang tersebut (Soekartawi,
1988).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
sikap peternak terhadap program kredit sapi
potong dan faktor karakteristik peternak yang
mempengaruhi kecenderungan sikap peternak
terhadap program kredit sapi potong. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan
suatu informasi mengenai gambaran sikap
peternak terhadap program kredit sapi potong
dan faktor-faktor karakteristik yang
mempengaruhinya serta diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan informasi bagi
pemerintah dan pihak pemberi kredit.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini merupakan studi kasus
tentang program kredit sapi potong di kandang
kelompok “Andiniharjo” yang berlokasi di
Dusun Pojokan, Caturharjo, Sleman. Kelompok
Andiniharjo dipilih untuk penelitian karena
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 64/86
Edisi Desember 2006 179
Media PeternakanWIBOWO & HARYADI
kelompok petani peternak tersebut sudah
terorganisasi dengan baik dan sebagian peternak
mendapatkan program kredit sapi potong dari
PT Telkom. Materi penelitian ini adalah petani
peternak sapi potong di kelompok tani ternak
Andiniharjo. Responden yang diambil adalah
semua petani peternak anggota kelompok tani
ternak Andiniharjo yang berjumlah 40 orang.
Penelitian dilakukan dengan metode
pengumpulan data menggunakan kuesioner
yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya.
Data yang diambil meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diambil
dengan wawancara langsung dan denganmenggunakan kuesioner kepada para peternak
sapi potong. Data primer yang diambil meliputi
umur, lama pendidikan, jumlah tanggungan
keluarga, pengalaman beternak, jumlah sapi
yang dimiliki, jumlah tenaga kerja, luas
kepemilikan lahan, motivasi beternak dan
pendapatan usaha ternak sapi potong, sedangkan
data sekunder adalah data yang diambil dari
Dinas Peternakan, instansi-instansi terkait, dan
sumber-sumber lain yang mendukung. Datasekunder berupa jumlah populasi sapi potong
di Kecamatan Sleman dan di Kabupaten
Sleman.
Analisis yang digunakan untuk
mengetahui tingkat pendapatan dari usaha
ternak sapi potong adalah penghitungan selisih
antara pengeluaran dengan penerimaan dari
usaha ternak sapi potong (Soekartawi et al.,
1984). Digunakan 25 pernyataan untuk
mengetahui motivasi beternak dan 15
pernyataan untuk mengetahui sikap peternak
terhadap program kredit, kemudian menentukan
skor alternatif jawaban pernyataan dengan
metode Likert. Sesuai dengan pernyataan
Rollins (1993) bahwa Metode Likert
menggunakan 5 skor sebagai alternatif jawaban
yang masing-masing mempunyai makna Sangat
Tidak Setuju (1), Tidak Setuju (2), Ragu-ragu
(3), Setuju (4) dan Sangat Setuju (5). Skor
jawaban dari setiap pernyataan dijumlahkan,
dicari skor maksimum, dan skor minimum,
dengan rumus sebagai berikut :
Skor Maksimum : skor jawaban tertinggi X
jumlah pernyataan
Skor Minimum : skor jawaban terendah X
jumlah pernyataan
Keterangan :
Skor jawaban tertinggi : 5
Skor jawaban terendah : 1 (Sakdiah, 2003)
Hasil dari perhitungan mencerminkan
sikap setiap peternak terhadap bantuan kredit
yaitu :
Negatif : yang memiliki kisaran nilai 15-44
(skor 0)Positif : yang memiliki kisaran nilai 45-75
(skor 1)
Semakin tinggi skor yang diperoleh pada
pernyataan sikap peternak, maka akan
menunjukkan kecenderungan ke arah sikap
yang positif dan makin rendah skor akan
menunjukkan kecenderungan ke arah sikap
yang negatif. Hasil uji validitas dapat diketahui
bahwa pernyataan untuk mengukur motivasi
beternak dan sikap peternak semuanya sahihdengan koefisien reliabilitas sebesar 0,9652 dan
0,9721.
Analisis regresi binomial logistik
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap sikap. Analisis regresi
binomial logistik adalah analisis regresi yang
memiliki dua nilai di dalamnya. Alasan
digunakannya analisis regresi binomial logistik
yaitu: 1) dalam penelitian ini hanya dibedakan
dua nilai yaitu sikap positif = 1 dan sikap negatif
= 0, 2) variabel terikat (dependent variable)
dalam penilaian ini bersifat kualitatif (Santoso,
2001).
Digunakan rumus secara umum analisis
regresi binomial logistik untuk mengetahui
faktor karakteristik peternak yang
mempengaruhi kecenderungan sikap peternak
terhadap program kredit sapi potong. Rumus
secara umum analisis regresi binomial logistik
itu adalah sebagai berikut :
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 65/86
Edisi Desember 2006 180
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3
Selanjutnya rumus umum analisis regresi
binomial logistik tersebut diterapkan dalam
penelitian menjadi :
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah
Kecamatan Sleman merupakan salah satu
wilayah yang potensial dalam pengembangan
ternak sapi potong terutama yang dipelihara
dalam perkampungan ataupun kandang
kelompok. Hal ini didukung oleh keadaan tanah
yang subur sehingga dapat ditanami tanaman
pertanian dan hijauan pakan ternak yang
melimpah sepanjang tahun. Daerah pertanian
yang subur di wilayah Kecamatan Sleman ini
menjadikan hasil produksi pertanian tinggi
sehingga limbah pertanian akan mampu untuk
mencukupi kebutuhan pakan ternak. Usaha
pertanian sangat mendukung usaha peternakan
sebagai penyedia pakan hijauan ternak.
Program Kredit Sapi Potong
Program kredit sapi potong di Kecamatan
Sleman merupakan kerjasama PT Telkom,
Dinas Peternakan Sleman dan peternak sapi
potong di Dusun Pojokan, Caturharjo,
Kecamatan Sleman dengan kredit yang dikelolaoleh pihak Bank BPD. Adapun kredit yang
diterima adalah dalam wujud sejumlah uang
sebesar Rp 5.000.000,00. Uang tersebut
dibelikan sapi potong betina dalam keadaan
bunting minimal tiga bulan yang akan beranak
pertama kali dan sudah diperiksa oleh mantri
hewan, sehingga sudah ada kepastian bahwa
sapi yang diterima oleh peternak tidak mandul.
Pengembalian kredit dilakukan dengan
membayar angsuran setiap enam bulan sekalibeserta bunga sebesar 12% menurun per tahun
selama empat tahun.
Karakteristik Peternak Responden
Tabel 1 berikut ini menunjukkan rata-rata
persentase masing-masing karakteristik
peternak responden. Hasil penelitian
menunjukkan umur peternak rata-rata 44,73
tahun dengan kisaran 25 tahun sampai 65 tahun
(Tabel 1). Hal ini berarti seluruh responden
termasuk dalam kategori umur produktif. Sesuai
dengan BPS Daerah Istimewa Yogyakarta
(2002) menyatakan bahwa kategori usia
produktif adalah usia antara 15 tahun sampai
65 tahun atau dapat dikategorikan usia kerja
yaitu penduduk berusia 15 tahun atau lebih.
Banyaknya responden yang tidak sekolah
sebanyak satu orang, SD sebanyak delapan
orang, SLTP sebanyak 15 orang, SLTA sebanyak
110)negatif sikap(obPr
)positif sikap(obPr Log X β β ++=⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡
99...
443322 X X X X β β β β ++++
Keterangan :
β0 - β9 = Koefisien regresi
X1 = Umur (Tahun)X
2= Lama pendidikan (Tahun)
X3 = Jumlah tanggungan keluarga (Orang)
X4 = Pengalaman beternak (Tahun)
X5 = Jumlah tenaga kerja (Hari Orang Kerja)
X6 = Luas kepemilikan lahan (m2)
X7 = Jumlah sapi yang dimiliki (Unit Ternak)
X8 = Motivasi beternak (Skor)
X9 = Pendapatan usaha ternak (Rp/Th/UT)
Keterangan :
β0 - βk = Koefisien regresi
X1 - Xk = Variabel independen
X β β ++=⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡...
110
)eventno(obPr
)event(obPr Log
X k k β +
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 66/86
Edisi Desember 2006 181
Media PeternakanWIBOWO & HARYADI
13 orang dan Sarjana Muda sebanyak tiga orang.Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa lama pendidikan peternak responden
rata-rata 9,6 tahun (Tabel 1). Hal ini
menunjukkan bahwa secara rata-rata menurut
lama mengenyam pendidikan, sebagian besar
peternak berpendidikan setingkat SLTP.
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata
peternak mempunyai tanggungan keluarga
sebanyak 1,8 orang. Menurut Soekartawi
(1988), jumlah tanggungan keluarga dapat
dijadikan pertimbangan dalam pengambilankeputusan untuk menerima atau menolak suatu
teknologi baru.
Rata-rata pengalaman peternak dalam
beternak sapi potong adalah 16 tahun (Tabel 1).
Pengalaman terendah peternak dalam beternak
sapi potong adalah enam tahun dan tertinggi
adalah 28 tahun. Pengalaman peternak dalam
memelihara sapi dapat mempengaruhi tingkat
keberhasilan peternak dalam mengembangkan
usahanya. Semakin lama pengalaman beternak
sapi potong maka tingkat ketrampilan danpengetahuan peternak dalam menerapkan
teknologi akan semakin mudah dan cepat.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan peternak, tenaga kerja pada
usaha ternak sapi potong dialokasikan untuk
mencari rumput sebesar 50,8 HOK,
membersihkan kandang sebesar 22,3 HOK,
memberi pakan dan minum sebesar 15,3 HOK,
memandikan ternak sapi sebesar 19,8 HOK.
Diketahui rata-rata jumlah tenaga kerja dalam
memelihara ternak sapi potong selama satutahun rata-rata 108,2 HOK yang dilakukan oleh
kepala rumah tangga dan anggota keluarganya
(Tabel 1). Kepemilikan lahan sawah rata-rata
seluas 790,5 m2 (Tabel 1). Kepemilikan lahan
sawah yang relatif luas ini menunjukkan bahwa
pertanian di Desa Caturharjo memiliki potensi
untuk berkembang dengan baik.
Besarnya modal bergerak biasanya
digunakan sebagai petunjuk majunya tingkat
usahatani (Hernanto, 1989). Rata-rata jumlah
Karakteristik peternak Nilai
Rata-rata umur (Tahun) 44,73
Tingkat pendidikan (orang)
Tidak Sekolah 1,00
SD 8,00
SLTP 15,00
SLTA 13,00
Sarjana muda 3,00
Rata-rata lama pendidikan (Tahun) 9,60
Rata-rata jumlah tanggungan keluarga (orang) 1,80
Rata-rata pengalaman beternak (Tahun) 16,00
Rata-rata jumlah tenaga kerja (HOK) 108,20Rata-rata kepemilikan lahan sawah (m
2) 790,50
Rata-rata kepemilikan Ternak (UT) 1,36
Motivasi beternak (%)
Tinggi 80,00
Sedang 20,00
Rendah 0,00
Rata-rata pendapatan usaha ternak sapi potong (Rp/th/UT) 1.600.060,40
Tabel 1. Karakteristik peternak responden kandang kelompok Andiniharjo
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 67/86
Edisi Desember 2006 182
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3
kepemilikan ternak sapi potong yang dimilikioleh peternak adalah 1,36 unit ternak (Tabel 1)dengan kisaran antara 0,8 sampai 3,05 unit
ternak. Dilihat dari jumlah kepemilikanternaknya termasuk rendah. Rendahnya jumlahkepemilikan ternak akan mengakibatkanpeternak berusaha meningkatkan produktivitasdari ternak tersebut.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa80% peternak memiliki motivasi tinggi, 20%peternak memiliki motivasi sedang dan 0%peternak memiliki motivasi rendah dalammemelihara ternak sapi potong. Hasil dari
perhitungan motivasi beternak sapi potong padaTabel 1 mencerminkan motivasi beternak setiappeternak. Hasil pengukuran motivasi beternak sapi potong yang ada di kandang kelompok ternak sapi potong Andiniharjo tergolong tinggi.Hal ini menunjukkan bahwa peternak mempunyai keinginan yang besar untuk memelihara ternak sapi potong.
Rata-rata penerimaan usaha ternak sapipotong responden adalah Rp 4.634.156,7,sedangkan rata-rata biaya produksi yang harus
dikeluarkan oleh peternak per tahun sebesar Rp3.034.096,3, sehingga dapat diketahui rata-ratapendapatan usaha ternak sapi potong peternak responden yaitu sebesar Rp 1.600.060,4(Tabel 1).
Sikap Peternak terhadap Bantuan
Kredit Sapi Potong
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-
rata sikap peternak di kelompok ternak
Andiniharjo, Dusun Pojokan terhadap bantuankredit sapi potong dari PT. Telkom adalahnegatif. Hal ini ditunjukkan dengan kategori
sikap yang diperoleh dari hasil wawancaradengan peternak. Tabel 2 menunjukkan bahwapersentase sikap peternak terhadap bantuankredit sapi potong dari PT. Telkom adalah 47,5%peternak bersikap positif dan 52,5% peternak bersikap negatif terhadap seluruh pernyataansikap.
Sebanyak 52,5% peternak bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa jika adabantuan kredit sapi potong seperti ini, maka
kesejahteraan keluarga peternak akanmeningkat. Sebanyak 52,5% bersikap ragu-raguterhadap pernyataan bahwa bantuan kredit sapipotong tersebut dapat meningkatkan pendapatanpara peternak. Sebanyak 75% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa programbantuan kredit sapi potong ini akan membawakeberhasilan dengan cepat. Sebanyak 60%peternak bersikap ragu-ragu terhadappernyataan bahwa jika program bantuan kreditsapi potong ini diberikan kepada para peternak
akan meningkatkan usaha peternakan mereka.Sebanyak 52,5% bersikap ragu-ragu terhadappernyataan bahwa jika program bantuan kreditsapi potong ini diberikan kepada para peternak akan menguntungkan para peternak. Sebanyak 40% peternak bersikap setuju, sebanyak 40%peternak bersikap ragu-ragu dan sebanyak 20%peternak bersikap tidak setuju terhadappernyataan bahwa program bantuan kredit sapipotong ini dapat diterima oleh peternak yang
miskin. Sebagian besar peternak masih
Tabel 2. Sikap mental peternak terhadap bantuan kredit dari PT. Telkom
JumlahSikap mental peternak
(orang) (%)
Positif 19 47,5
Negatif 21 52,5
Total 40 100,0
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 68/86
Edisi Desember 2006 183
Media PeternakanWIBOWO & HARYADI
meragukan keberhasilan dari program kredit
sapi potong tersebut. Hal ini dikarenakan
sebagian peternak merasa terbebani dengan
persyaratan kredit yang dirasa cukup berat
apabila bantuan tersebut diterima oleh peternak.
Sebanyak 55% peternak bersikap ragu-
ragu terhadap pernyataan bahwa program
bantuan kredit sapi potong ini mudah dimengerti
dan dilaksanakan. Sebanyak 50% bersikap
setuju, sebanyak 50% peternak bersikap ragu-
ragu terhadap pernyataan bahwa program
bantuan kredit sapi potong ini tidak
bertentangan dengan adat dan kepercayaan/
agama. Walaupun program bantuan kredit ini
cukup mudah dimengerti dan dilaksanakan dan
sebanyak 50% peternak setuju bahwa bantuan
kredit dari PT Telkom ini tidak bertentangan
dengan adat dan kepercayaan/agama di
masyarakat, akan tetapi tetap saja belum sesuai
dengan keinginan para peternak. Hal ini dapat
ditunjukkan bahwa sebanyak 12,5% peternak
bersikap setuju, 42,5% bersikap ragu-ragu,
sebanyak 40% peternak bersikap tidak setuju
dan sebanyak 5% peternak bersikap sangat tidak
setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak
77,5% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan
bahwa prosedur pemberian kredit sapi potong
seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan
berbelit-belit.
Sebagian peternak anggota kelompok
ternak Andiniharjo bersikap negatif terhadap
bantuan kredit dari PT Telkom karena bantuan
kredit yang diberikan ini cukup memberatkan
para peternak. Hal ini dapat ditunjukkan bahwasebanyak 2,5% peternak bersikap sangat setuju
dan sebanyak 50% bersikap setuju terhadap
pernyataan bahwa pengembalian pinjaman dan
bunga kredit ini terlalu besar. Para peternak
merasa terbebani dengan pengembalian bunga
pinjaman yang dianggap masih relatif besar
yaitu sebesar 12% per tahun dengan jangka
waktu pengembalian pinjaman empat tahun
diangsur tiap enam bulan sekali. Akan tetapi,
ada juga sebagian peternak yang merasa tidak
terbebani dengan adanya angsuran dan bunga
pinjaman yang telah ditetapkan. Sebanyak
52,5% peternak bersikap setuju terhadap
pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi
potong dari PT Telkom ini akan menambah
beban biaya usaha peternakan sapi potong para
peternak, karena mereka beranggapan bahwa
dengan bunga pinjaman masih relatif besar dan
jangka waktu pengembalian pinjaman yang
lama ini akan sulit untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan keluarga mereka.
Jangka waktu pengembalian pinjaman yang
lama dengan angsuran setiap enam bulan sekali
selama empat tahun ini akan menambah beban
biaya usaha peternakan sapi potong mereka. Hal
ini dapat ditunjukkan dengan sebanyak 37,5%
bersikap setuju, sebanyak 15% peternak
bersikap ragu-ragu dan sebanyak 47,5%
peternak bersikap tidak setuju terhadap
pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi
potong dari PT Telkom ini akan membutuhkan
waktu yang relatif lama untuk mengembalikan
modal. Sebanyak 52,5% peternak bersikap
setuju bahwa persyaratan yang diberikan untuk
mendapatkan bantuan kredit sapi potong ini
akan dapat memberatkan peternak.
Sebanyak 52,5% peternak bersikap setuju
terhadap pernyataan bahwa pelaksanaan pro-
gram bantuan kredit sapi potong dari PT Telkom
ini berisiko. Peternak yang merasa dirinya
miskin tidak berani mengambil risiko dengan
menerima bantuan kredit sapi potong dari PTTelkom, mereka takut seandainya tidak mampu
membayar angsuran pinjaman beserta bunga
setiap enam bulannya selama empat tahun tepat
pada waktunya. Soekartawi (1988) menyatakan
bahwa biasanya kebanyakan petani kecil
mempunyai sifat menolak risiko. Hal inilah
yang menyebabkan sebagian besar peternak
kelompok ternak Andiniharjo bersikap negatif.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 69/86
Edisi Desember 2006 184
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3
Faktor-Faktor Karakteristik Peternak
yang Mempengaruhi Sikap Peternak
Hasil analisis binomial logistik dengan
metode forward wald dapat diketahui bahwa
kemampuan prediksi model regresi binomial
logistik yang digunakan ini layak dipakai,
artinya bahwa faktor karakteristik peternak yang
meliputi umur, motivasi beternak dan
pendapatan usaha ternak terbukti meyakinkan
tingkat prediksi kebenaran terhadap
kecenderungan bersikap positif atau negatif
sebesar 92,5%. Hasil analisis ini dapat dibuat
model persamaan regresi binomial logistik adalah seperti berikut:
Hasil analisis menunjukkan bahwa umur
peternak (X1) berpengaruh secara signifikan
(P<0,05) terhadap kecenderungan peternak untuk bersikap positif. Semakin bertambah usia
seseorang, diharapkan semakin mampu
menunjukkan kematangan jiwa dalam arti
semakin bijaksana dan mampu berpikir secara
rasional serta dapat menilai sesuatu hal dengan
lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Matatula (1997) yang mengemukakan bahwa
pada batasan umur yang produktif, seorangpetani akan berpikir lebih matang dalammenjalankan usahanya.
Hasil analisis menunjukkan bahwamotivasi beternak (X
8) berpengaruh secara
signifikan (P<0,05) terhadap kecenderunganpeternak masuk dalam kategori sikap positif.Motivasi beternak yang tinggi dari peternak akan cenderung menjadi bersikap positif terhadap sesuatu hal yang berhubungan denganinovasi dibidang peternakan dalam hal iniprogram kredit sapi potong dari PT Telkom.Menurut Handoko (1997) makin kuat motivasi
seseorang makin kuat pula usahanya untuk mencapai tujuan. Hasil analisis menunjukkanbahwa pendapatan peternak dari usaha ternak sapi potong (X
9) berpengaruh secara signifikan
(P<0,05) terhadap kecenderungan peternak untuk bersikap positif. Semakin bertambahnyapendapatan peternak dalam memelihara ternak sapi potong, maka peternak akan cenderungbersikap positif terhadap program kredit sapipotong dari PT. Telkom. Hal ini disebabkankarena dengan bertambahnya pendapatan dari
pemeliharaan ternak sapi potong, peternak akanmerasa lebih yakin dalam menentukan sikapnyaterhadap program kredit sapi potong dari PT.Telkom untuk menerima atau menolak programtersebut. Sesuai dengan pendapat Kotler (1993)yang menyatakan bahwa semakin tinggipendapatan seseorang maka kemampuan untuk menentukan pilihan akan lebih besar.
Keterangan : *= signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
Variabel bebas B Exp(B) Sig.
X1 (Umur) 0,1669212* 1,182 0,020X8 (Motivasi beternak) 0,8834772* 2,419 0,036
X9 (Pendapatan) 0,0000024* 1,000 0,045
Constant -108,598 0,000 0,030
Correct prediction (%) 92,5
Tabel 3. Faktor-faktor karakteristik yang mempengaruhi sikap mental peternak dengan metode forward wald
1X 0,1669212598,108
Negatif)(SikapProb
Positif)(SikapProb Log ++−=⎥⎦
⎤⎢⎣⎡
98 X 0,0000024X 0,8834772 +
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 70/86
Edisi Desember 2006 185
Media PeternakanWIBOWO & HARYADI
KESIMPULAN
Sebagian besar sikap peternak di
kelompok ternak Andiniharjo, Dusun Pojokan
terhadap program kredit sapi potong dari PT.
Telkom adalah negatif. Kecenderungan
peternak untuk bersikap positif atau negatif
terhadap kredit sapi potong dipengaruhi oleh
umur peternak, motivasi beternak dan
pendapatan peternak dari usaha ternak sapi
potong. Lama pendidikan, pengalaman
beternak, luas kepemilikan lahan, jumlah tenaga
kerja, jumlah sapi yang dimiliki oleh peternak
dan jumlah tanggungan keluarga tidak
mempengaruhi kecenderungan peternak untuk
bersikap positif atau negatif terhadap kredit sapi
potong.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. 2002. Psikologi Sosial. Edisi Revisi.Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. P. 170.
Arfian, M. & A. Wijonarko. 2000. Kondisi dan
tantangan ke depan sub sektor tanamanpangan di Indonesia. Proceedings of TheFourth Symposium on Agri-Bioche 2000. Hal.247-251.
Azis, M. A. 1993. Agroindustri Sapi Potong.Cetakan V BPFE, Yogyakarta.
BPS Daerah Istimewa Yogyakarta. 2002. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.
Buletin PPSKI. 1992. Strategi pengembanganindustri peternakan sapi potong skala kecildan menengah. Buletin PPSKI Vol.VIII No.39pp 7-9.
Drost, D., G. Long, D. Wilson, B. Miller & W.Campbell. 1996. Barriers to adoptingsustainable agricultural practices. J. of Extension. Vol. 34 Number 6. Departmentsof Plants, Soils and Biometeorology (PS&B)and Agricultural Systems Technology andEducation (ASTE), Utah State UniversityLogan, Utah.
Handoko, T. 1987. Manajemen Pemasaran: AnalisisPerilaku Konsumen. Penerbit Liberty,Yogyakarta.
Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. PenerbitSwadaya, Jakarta.
Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi
Pembangunan. 2005. Pembelajaran yangMenumbuhkan Sikap Wirausahawan. JurnalTerbaru Fakultas Ekonomi PembangunanUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran. Edisi ke-7. Penerbit Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia, Jakarta.
Krech, D., R.S. Crutchfield & E.L. Ballachey.1996. Sikap Sosial. Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa, Jakarta. pp 7-10.
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan PembangunanPertanian. Sebelas Maret University Press,Surakarta.
Matatula, M. J. 1997. Evaluasi pengembangan sapipotong gaduhan Yayasan Mitra Mandiri diDaerah Transmigrasi Wayapo KabupatenMaluku Tengah. Tesis. Program PascaSarjana, Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.
Mubyarto. 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian.Penerbit LP3ES, Jakarta.
Rahmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. EdisiRevisi. Penerbit PT Remaja Rosdakarya,Bandung.
Rollins, T.J. 1993. Profile of farm technology
adopters. J. of Extension 31 (3): 38-39.Department of Agricultural and ExtensionEducation, Penn State University-UniversityPark, Pennsylvania.
Sakdiah, A. 2003. Hubungan berbagai motif usahabeternak ayam kampung secara kelompok dengan pendapatan : studi kasus kelompok peternak di Desa Trimurti KecamatanSrandakan Kabupaten Bantul. Skripsi.Fakultas Peternakan, Universitas GadjahMada, Yogyakarta.
Santoso, S. 2001. SPSS Statistik Parametrik. PT
Elex Media Komputindo, Jakarta.Sarwono. 2000. Teori-teori Psikologi Sosial.
Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.Shrapnel, M. & J. Davie. 2001. The influence of
personality in determining farmer responsive-ness to risk. The Journal of AgriculturalEducation and Extension 7 (3):167-178.
Soekartawi, A., J. Soehardjo, B. Dillon &
Hardaker. 1984. Usahatani dan Penelitianuntuk Pengembangan Petani Kecil. PenerbitUI Press, Jakarta.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 71/86
Edisi Desember 2006 186
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar KomunikasiPertanian. Penerbit Universitas Indonesia,Jakarta.
Suhardjono. 2003. Manajemen Perkreditan UsahaKecil dan Menengah. Penerbit UPP AMPYKPN, Yogyakarta.
Supadi & Sumedi. 2004. Tinjauan umum kebijakankredit pertanian. Icaserd Working Paper no.25. Pusat Penelitian dan PengembanganSosial Ekonomi Pertanian, DepartemenPertanian, Bogor.
FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3
Tim Peneliti SMERU. 2001. Bagaimana SebaiknyaPenyediaan Kredit Pertanian? NewsletterSmeru. The Smeru Research Institute,
Jakarta.Tim Peneliti SMERU. 2002. Pendanaan Usahatani
Padi Pasca KUT, Kredit Ketahanan Pangan(KKP). Laporan Penelitian. LembagaPenelitian SMERU, Jakarta.
Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial (SuatuPengantar). Edisi Revisi. Penerbit Andi,Yogyakarta.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 72/86
Edisi Desember 2006 187
Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan
dan Peranakan Merino
M. Duldjamana, T.R. Wiradaryaa & M.I.H. Muttaqinb
aFakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680bWiraswasta
(Diterima 13-10-2005; disetujui 05-10-2006)
ABSTRACT
Priangan sheep is a native sheep of Indonesia and considered as a hair sheep. Its mainproduct is meat. Recently, the Priangan sheep is crossed with a Merino sheep to producethe Priangan–Merino crossbred. Since the Merino sheep is considered as a wool sheep, itis expected that the Priangan–Merino sheep will have a better quality of wool than thePriangan sheep. To measure the wool improvement of the Priangan–Merino crossbred, anexperiment was conducted. Fifteen Priangan sheeps and 15 Merino crossbreds were usedin this experiment. The spinning count and wool yarn staple length were measured. Theexperimental statistics and the design of the experiment was completely ramdomized design.The results indicated that staple strength of wool yarn of Priangan was not significantly
different with that of Merino cross. Spinning count was significantly different (P<0.01)between breed.
Keyword : Yarn, Priangan and Merino cross, staple strenght, spinning count
Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 187-192ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
PENDAHULUAN
Domba telah lama diternakkan hampir di
seluruh dunia termasuk Asia Tenggara.
Perkembangan peternakannya di Indonesiamasih sangat lambat karena umumnya
dilakukan secara tradisional. Populasinya di
Indonesia pada tahun 2003 tercatat sebanyak 8
juta ekor dan 90% tersebar di pulau Jawa (Dirjen
Bina Produksi Peternakan, 2003). Domba
mempunyai peran cukup penting dalam
kehidupan masyarakat Indonesia dan dipelihara
untuk mencukupi kebutuhan daging. Selama ini
peternak menganggap bulu masih sebagai
limbah, seperti feses, sehingga pemanfaatannya
masih kurang, padahal pemanfaatan bulu domba
menjadi usaha barang yang bernilai ekonomi
dapat dilakukan sehingga bisa menambah
pendapatan peternak. Bulu domba dapat dipintalmenjadi benang dan diproses lebih lanjut sampai
menghasilkan produk bernilai ekonomi.
Kegiatan pemintalan bulu semakin maju seiring
dengan perkembangan peradaban manusia.
Negara-negara yang memiliki bangsa
domba tipe wool menghasilkan wool berkualitas
sebagai produk utamanya, sehingga wool dapat
dipintal secara modern untuk mendapatkan
bahan sandang. Kegiatan pemintalan pada
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 73/86
Edisi Desember 2006 188
Media PeternakanDULDJAMAN ET AL.
umumnya masih dilakukan secara sederhana di
Indonesia atau Asia Tenggara. Hal ini
disebabkan antara lain produksi bulu domba
daerah tropis per ekornya umumnya sedikit dan
bulunya tidak halus atau berdiameter besar.
Gatenby (1991) mengemukakan bulu domba
tropis mempunyai rata-rata diameter antara 26-
65 mikrometer, sehingga bulu tersebut hanya
cocok untuk barang non sandang sepeti hiasan
dinding, selimut, tas dan lain-lain.
Bangsa domba lokal yang banyak terdapat
di Indonesia adalah domba Ekor Gemuk, Ekor
Tipis dan domba Priangan. Domba Priangan
merupakan hasil persilangan dari tiga bangsadomba, antara lain domba Merino, domba
Kaapstad dan domba Lokal (Merkens &
Soemirat, 1926). Produksi wool domba
persilangan tipe daging dengan tipe wool selalu
lebih rendah dari induk murninya dan
perbedaannya akan semakin menonjol setelah
berumur lebih tiga tahun. Sebaliknya untuk
jumlah kelahiran anak, jumlah yang disapih dan
bobot sapih akan lebih tinggi (Iman & Slyter,
1996).Domba Priangan memiliki bulu halus atau
wool disamping bulu kasar atau rambut,
sehingga bulunya mempunyai harapan untuk
dimanfaatkan. Bulu kasar seperti pada domba
Priangan masih banyak mengandung medulla
yang membentuk rongga sepanjang serat bulu.
Medulla sangat berguna untuk menentukan tipe
wool, tetapi sangat tidak diinginkan dalam
mohair atau wool untuk bahan pakaian (Lupton
& Pfeiffer, 1998). Menurut Syamyono (2002)rataan diameter bulu domba Priangan untuk
bulu halus 30,13±13,11 mikrometer dan bulu
kasar 130,44±20,58 mikrometer. Diameter serat
bulu ini merupakan salah satu faktor yang
menentukan tingkat kehalusannya.
Domba Persilangan Merino mempunyai
diameter bulu 23,6±4,93 mikrometer dan
bulunya lebih seragam (Bustomy, 1996). Yamin
& Rahayu (1995) melaporkan produksi bulu
domba Merino lebih tinggi dari pada bulu
domba lokal. Angka pintal suatu benang
menunjukkan kualitas dari serat bulu. Bulu yang
berkualitas baik dapat menghasilkan produk
benang yang lebih panjang dalam bobot yang
sama. Pada umumnya sifat benang yang sering
dievaluasi untuk menentukan kualitasnya adalah
pengukuran kehalusan yaitu bobot benang per
satuan panjang tertentu, kekuatan benang dan
kerataan benang (Moerdoko et al., 1973).
Respon perlakuan bahan kimia terhadap jenis
serat benang bisa berbeda. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari produksi dan
kekuatan (derajat putus dan mulur) benang yangtelah mengalami proses kimia seperti
pengelantangan dan pencelupan dari bulu
domba Priangan dibandingkan dengan benang
bulu domba Peranakan Merino.
MATERI DAN METODE
Materi yang digunakan pada penelitian ini
adalah benang bulu domba Priangan dari Garut
dan domba Peranakan Merino dari PT KarianaGita Utama. Bulu hasil pencukuran diperoleh
dari 15 ekor domba Peranakan Merino dan 15
ekor domba Priangan. Bahan kimia yang
dipakai adalah deterjen, disinfektan, H2O
2
sebagai pemutih, zat pewarna dan asam asetat.
Peralatan yang digunakan adalah carding,
jantra, instron strength tester (alat pengukur
derajat putus dan kemuluran) dan peralatan
lainnya seperti ember plastik, pengaduk,
gunting, penggaris, kompor, panci, dantimbangan listrik.
Metode pembuatan benang menurut
Yamin & Rahayu (1995) yaitu bulu domba hasil
pencukuran dibersihkan dari kotoran berupa
feses, tanah dan sisa-sisa pakan. Bulu direndam
dalam air bersih selama 12 jam, kemudian
dibilas lagi dengan air bersih. Selanjutnya bulu
direndam lagi dalam cairan deterjen 100 g/10
liter air selama 15 menit kemudian dibilas dalam
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 74/86
Edisi Desember 2006 189
Keterangan: superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Bangsa domba Angka pintalan
Priangan 0,26A± 0,03
Peranakan Merino 0,22B ± 0,03
Tabel 1. Rataan angka pintalan benang bulu domba Priangan dan Peranakan Merino (g/ 50 cm)
DAYA PINTALVol. 29 No. 3
air bersih. Terakhir bulu dicelupkan ke dalam
larutan desinfektan Trisol 100 ml/10 liter air.
Bulu yang telah didesinfektan diperas lalu
dijemur sampai kering.
Bulu yang telah kering dibersihkan
kembali dari sisa kotoran dan bulu yang
menggumpal dicabik-cabik atau digunting.
Selanjutnya bulu disisir dengan alat carding
sehingga didapatkan dua macam lembaran bulu
yaitu lembaran bulu berserat pendek dan
panjang. Lembaran bulu tersebut dipintal
dengan alat pintal jantra sehingga dihasilkan
benang mentah (benang tunggal). Benang
mentah dari domba Priangan dan dombaPeranakan Merino dipotong–potong sama
sepanjang 50 cm, masing-masing sebanyak 30
potong. Setiap potongan benang itu ditimbang
untuk mengetahui angka pintalnya.
Uji kekuatan benang dilakukan pada
benang yang telah digandakan terlebih dahulu.
Benang ini kemudian dipotong sepanjang 50 cm
sebanyak 30 potong untuk masing-masing
bangsa dan dibagi secara acak ke dalam lima
kelompok perlakuan. Perlakuan pertama benangmentah tanpa perlakuan kimia sebagai kontrol
(B1), perlakuan kedua benang mentah yang
dikelantang (B2), perlakuan ketiga benang
dikelantang dengan pencelupan selama 15 menit
(B3), perlakuan keempat benang dikelantang
dengan pencelupan selama 30 menit (B4) dan
perlakuan kelima benang dikelantang dengan
pencelupan selama 45 menit (B5). Kelima
kelompok perlakuan benang dengan ulangan
enam kali dari masing-masing bangsa diuji
kekuatannya (daya putus dan mulur) dengan alat
instron strength tester di Balai Besar Tektil
Bandung.
Pengelantangan dilakukan dengan cara
benang mentah direbus dalam larutan H2O
2(20
ml/liter) ditambah deterjen bubuk (4 g /liter)
selama 5 menit dalam suhu 40-50oC dengan
perbandingan larutan 1 : 30, kemudian benang
dibilas. Pewarnaan benang dengan cara
mencelupkan benang kedalam air mendidih
yang diberi pewarna kain (4% dari berat benang)
ditambah asam asetat 4% dibiarkan 45 menit
dengan perbandingan larutan 1: 20. Rancangan
yang digunakan adalah acak lengkap pola searahdengan masing-masing tiga puluh kali ulangan
digunakan untuk penghitungan daya pintal,
sedangkan untuk kekuatan dan kemuluran
benang digunakan rancangan acak lengkap pola
faktorial 2x5 dengan ulangan enam kali.
Pengujian selanjutnya dengan beda nyata jujur
(Steel & Torrie, 1982).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Angka Pintal
Hasil penelitian (Tabel 1) menghasilkan
rataan angka pintal dari serat bulu domba
Priangan 0,26± 0,03 g per 50 cm dan domba
Peranakan Merino 0,22 ± 0,03 g per 50 cm.
Perlakuan menunjukkan pengaruh sangat nyata.
Hal ini menunjukkan bahwa angka pintal serat
bulu domba Peranakan Merino secara statistik
sangat nyata lebih baik dari domba Priangan.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 75/86
Edisi Desember 2006 190
Tabel 2. Rataan derajat putus dan kemuluran benang bulu domba Priangan dan Peranakan Merino
Derajat putus (Newton) Kemuluran (mm)Perlakuan
Priangan P. Merino Priangan P. Merino
B1 1,76±0,59 1,83±0,54 88,17±26,82 74,50±14,22
B2 1,56±0,23 1,29±0,51 82,67±20,93 75,67±41,22
B3 1,29±0,43 1,29±0,82 86,67±23,81 75,50±37,13
B4 1,53±0,47 1,82±0,39 78,50±25,36 77,83±35,85
B5 1,09±0,44 1,63±0,66 59,50±24,03 60,50±34,90
Media PeternakanDULDJAMAN ET AL.
Domba Peranakan Merino mempunyai diameter
serat bulu lebih rendah dan seragam sehingga
serat bulunya lebih halus dibanding domba
Priangan. Angka pintal domba Priangan yang
diteliti Syamyono (2002) menghasilkan 2,07±
0,11 m/g, dengan hasil penelitian ini
menunjukkan adanya kesamaan.
Kualitas pemintalan ini menurut
Kammlade & Kammlade (1955) dipengaruhi
oleh bangsa domba. Menurut Whan (1970)
rataan diameter serat bulu dan perbedaan
genetik sangat penting dalam pengolahan wool.
Diameter serat juga merupakan salah satu faktor
terpenting dalam menentukan kualitas dan hargawool. Selain itu, keseragaman diameter serat
sangat diinginkan oleh pengolah wool karena
kualitas pintalnya akan lebih baik (Rogan,
1989). Bulu dari bangsa domba yang
mempunyai serat halus akan lebih mudah
dibentuk menjadi benang dibandingkan dengan
bulu dari bangsa domba yang berserat bulu
kasar. Semakin rendah diameter serat maka bulu
akan semakin halus dan angka pintalnya akan
semakin baik, sehingga benang yang dihasilkanakan semakin panjang.
Kekuatan atau Derajat Putus dan
Kemuluran Benang
Pengujian kekuatan atau derajat putus dan
kemuluran benang dilakukan sekaligus dengan
alat instron strength tester dengan satuannya
masing-masing Newton dan mm. Pengujian
bahan baku (benang) sangat penting dilakukan
karena sangat menentukan kualitas produk yang
akan dihasilkan.
Kekuatan serat bulu berpengaruh terhadap
kekuatan benang yang dipengaruhi antara lain
ada tidaknya titik rapuh, bentuk serat yang
bersisik, proses pencucian, masa kebuntingan
dan laktasi domba. Kondisi serat bulu dari kedua
bangsa ini hampir sama yaitu pendek-pendek,
warnanya kotor kekuning-kuningan. Titik rapuh
atau pengurangan diameter serat bulu dalam
benang masih terlihat pada kedua bangsa ini.Angka rataan derajat putus dan kemuluran
benang dari domba Priangan dan Peranakan
Merino tercantum dalam Tabel 2.
Pengujian kekuatan terhadap benang yang
telah diberi perlakuan kimiawi berupa
pengelantangan (B2) dan pencelupan dengan
waktu 15 menit (B3), 30 menit (B4), 45 menit
(B5) dan benang mentah sebagai kontrol (B1)
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Hal ini menunjukkan pengelantangan danpencelupan selama 15 menit sampai 45 menit
tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan
benang atau derajat putus dan mulurnya. Begitu
juga halnya pengaruh perbedaan bangsa tidak
berbeda nyata.
Nilai kekuatan atau derajat putus benang
mentah untuk domba Priangan sebesar 1,76
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 76/86
Edisi Desember 2006 191
DAYA PINTALVol. 29 No. 3
Newton dan domba Peranakan Merino 1,83
Newton, sedangkan nilai kemulurannya
masing–masing 88,17 dan 74,50 mm. Keadaan
ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
antara kedua bangsa. Hal ini disebabkan karena
benang dari kedua bangsa domba relatif sama
kondisinya dalam tektur benang, panjang serat,
dan kekuatan pintalannya karena dikerjakan
sama secara manual. Semakin panjang benang
semakin banyak ketidak rataanya, maka
semakin besar peluang benang untuk putus.
Pengelantangan bertujuan untuk
menghilangkan warna warni bulu yang tidak
sempurna seperti kekuning–kuningan gelapatau tidak rata. Warna–warna muncul
disebabkan karena adanya pigmen dalam bulu
atau pengaruh lingkungan yang tidak bisa hilang
waktu pencucian. Benang yang telah
dikelantang menjadi lebih putih sehingga
pewarnaan menjadi lebih jelas dan merata.
Proses pengelantangan tidak merusak serat bulu
tetapi hanya melarutkan kotoran yang
menempel pada serat bulu dan membuang
pigmen-pigmen yang bersenyawa organik dengan mengoksidasi atau mereduksi.
Menurut Tomes (1976) dan Soeprijono
et al. (1974) rata-rata panjang serat bulu domba
Priangan dengan bahan serat yang rata-rata lebih
pendek dibandingkan dengan domba Merino
akan memperlihatkan kekuatan benang yang
lebih kecil. Hasil penelitian ini agak berbeda
dibandingkan dengan hasil penelitian di atas.
Perbedaan ini disebabkan oleh bulu domba
Priangan telah mengalami penyortiran dari bulukasarnya sehingga tinggal yang halusnya, maka
kekuatannya relatif sama. Walaupun diameter
bulunya masih relatif berbeda tetapi
kekuatannya sama dengan bulu peranakan
Merino. Bustomy (1996), mengemukakan
diameter bulu domba Priangan sebesar 34,30
mikrometer termasuk ke dalam tipe wool sedang
kelas kasar, sedangkan diameter serat bulu
domba Peranakan Merino 22,70 mikrometer
termasuk kedalam tipe wool sedang kelas halus.
Selanjutnya dikemukakan bahwa jumlah crimp
pada domba Peranakan Merino 3,04/mm
sedang pada domba Priangan 1,8/mm. Semakin
halus serat dan banyak crimp maka angka
derajat putus dan kemuluran benangnya
semakin kecil.
Selain sifat fisik serat bulu, faktor
keturunan juga mempengaruhi kehalusan dan
kekuatan serat. Drummond et al. (1982)
mengemukakan bahwa domba wool bangsa
murni mempunyai kelebihan dari segi kehalusan
serat dan kekuatannya bila dibandingkan
dengan serat bulu dari domba persilanganTidak berbedanya derajat putus dan
kemuluran benang dari bulu domba Priangan
dengan Peranakan Merino pada penelitian ini
dapat disebabkan oleh faktor bahan baku,
kondisi alat dan manusia. Serat bulu domba
Peranakan Merino yang digunakan dalam
penelitian ini berasal dari PT. Kariana Gita
Utama, panjangnya tidak seragam dan
umumnya pendek-pendek. Keadaan ini
disebabkan adanya kesalahan teknis pada waktupencukuran dan umur bulu yang belum
waktunya dipanen (satu tahun) pada saat proses
pecukuran. Selain itu, pada domba Priangan
dilakukan penyortiran serat saat persiapan
peyediaan bahan terutama dari bulu kasarnya,
sehingga kondisi bulu relatif seragam. Serat
bulu yang pendek-pendek ini menyebabkan
banyak benang tidak rata. Maryani (1988)
mengemukakan bahwa semakin tinggi
ketidakrataan dalam benang maka peluanguntuk putus semakin besar. Semakin panjang
benang maka makin tinggi ketidak rataannya,
akibatnya semakin besar peluang benang untuk
putus.
KESIMPULAN
Angka pintal benang bulu domba
Peranakan Merino lebih baik dibandingkan
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 77/86
Edisi Desember 2006 192
Media PeternakanDULDJAMAN ET AL.
dengan domba Priangan, ini menunjukkankualitas serat bulu domba Peranakan Merinolebih halus. Benang bulu domba Priangankekuatannya relatif sama dengan benang daribulu Peranakan Merino, baik benang mentahnyamaupun yang telah dikelantang dan dicelupwarna. Benang bulu yang dicelup selama 45menit lebih baik karena warnanya lebih pekatatau lebih jelas dari kedua bangsa, sedangkankekuatannya sama.
DAFTAR PUSTAKA
Bustomy, B.S. 1996. Kualitas bulu domba betinadan jantan pada domba Priangan dan dombaPeranakan Merino. Skripsi. Jurusan IlmuProduksi Ternak, Fakultas Peternakan, InstitutPertanian Bogor, Bogor.
Dirjen Bina Produksi Peternakan. 2003. BukuStatistik Peternakan. Depertemen PertanianRepublik Indonesia, Jakarta.
Drummond, J., R.A. O’Connell & K.L. Colman.1982. The effect of age and Finnsheepbreeding on wool properties and processingcharacteristics. Journal of Animal Science. 54
: 8-11.Gatenby, R.M. 1991. Sheep. Macmillan EducationLtd., London.
Iman, N.Y & A.L. Slyter. 1996. Lifetime lamb andwool production of Targhee or Finn-Dorset-Targhee ewes managed as farm or range flock:II Cumulatitive Lamb and Wool Production.J. Anim. Sci. 74:1765-1769.
Kammlade, W.G. & W.G. Kammlade, Jr. 1955.Sheep Science. J.B. Lippincot Company, NewYork.
Lupton, C.J. & F.A. Pfeiffer. 1998. Measurementof medullation in wool and mohair using an
optical fibre diameter analyser. J. Anim. Sci.76:1261-1266.
Merkens, J. & R. Soemirat. 1926. Sumbangan
Pengetahuan Tentang Peternakan Domba diIndonesia. Terjemahan. Dalam : Domba danKambing. 1979. Lembaga PengetahuanIndonesia, Bogor.
Maryani, S. 1988. Usaha pemanfaatan bulu dombadalam negeri melalui pemintalan kapas.Thesis. Institut Teknologi Tekstil,Bandung.
Moerdoko, W., Isminingsih, Wagimun &
Soeripto. 1973. Evaluasi Tekstil BagianFisika. Institut Teknologi Tekstil, Bandung.
Rogan, I.M. 1989. Genetic variation and
comvariation in wool characteristics relatedto processing performance and their economicsignificance. Wool Technol. and Sheep Breed.36(4):126.
Syamyono, 0. 2002. Produksi, kualitas dan hasilpengolahan dari wol domba Priangan dandomba komposit HMG dan MHG. Skripsi.Jurusan Ilmu Produksi Ternak, FakultasPeternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Steel R.G.D & J.H Torrie. 1982. Principles andProcedures of Statistics.3rd Prin.McGraw-Hill.Kogakusha, Tokyo.
Soeprijono, P., Poerwanti, Widayat & Jumaeri.1974. Serat-serat Tekstil. Cetakan ke II.Institut Teknologi Tekstil, Bandung.
Tomes, G.J. 1976. Sheep Breeding. WesternAustralia Institute of Technology, Perth.
Yamin, M. & S. Rahayu. 1995. Pengolahan limbahbulu domba untuk kerajinan hiasandinding dan keset. Laporan Penelitian.Fakutas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,Bogor.
Whan , R.B. 1970. Why class the clip. WoolTechnol. and Sheep Breed.17(2):9.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 78/86
Edisi Desember 2006 193
Adawiah, 27
Afiati, A., 16
Arief, I.I., 76
Astawan, M., 1
Astuti, W. D., 83, 121
Duldjaman, M., 187
Evvyernie, D., 83, 121
Fuah, A.M., 155Gunawan, A., 7
Habibie, A., 133
Hafid, H.H., 63, 162
Hardjosworo, P.S., 133
Haryadi, F.T., 176
Haryanto, B., 20
Hermana, W., 16
Hotimah, N., 146
Jayanegara, A., 54
Kaiin, E.M., 141
Khalil, 70, 169
Khotijah, L., 89
Kusnadi, E., 133
Maheswari, R.R.A., 76
Manalu, W., 27
Muttaqin, M.I.H., 187
Nahrowi, 27
Nazilah, R., 146
Noerzihad, T.Q., 146
INDEKS PENULIS
VOLUME 29
Noor, R.R., 7
Novita, C.I., 96
Nursasih, E., 146
Parakkasi, A., 20
Priyanto, R., 63, 162
Purwanto, B.P., 35
Retnani, Y., 146
Saleh, A., 107Sianturi, E.M., 155
Sigit, N. A., 146
Sudono, A., 96
Sumiati, 16
Suryati, T., 1, 76
Sutama, I.K., 96
Sutardi, T., 27, 54, 83, 121, 133
Suthama, N., 47
Tanuwiria, U.H., 27
Tappa, B., 141
Tjakradidjaja, A.S., 54
Toharmat, T., 27, 83, 96, 121, 146
Uhi, H.T., 20
Wibowo, S.A., 176
Widjajakusuma, R., 133
Wiradarya, T.R., 187
Wiryawan, K.G., 155
Wresdiyati, T., 1
Yani, A., 35
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 79/86
Edisi Desember 2006 194
INDEKS SUBYEK
VOLUME 29
antanan, 133
Aspergillus oryzae, 83, 121
ayam broiler, 16, 133
ayam kampung, 169
ayam Kedu, 47
bobot lahir, 7
bobot sapih, 7
bulu domba, 187CaCl
2(kalsium klorida), 1
cekaman panas, 35, 133
CIDR, 141
daging domba, 1
daging sapi DFD, 76
daya pintal, 187
distribusi, 63
DL-metionina, 89
domba Garut tipe laga, 7
domba peranakan merino, 187
domba priangan, 187
domba, 20, 27
fermentabilitas, 54
fermentasi, 76, 96
fosfor, 169
FSH, 141
HCG, 141
heritabilitas, 7
iklim mikro, 35
jaringan komunikasi, 107
jerami padi, 96kacang kedelai sangrai, 27
kalsium, 169
kambing PE, 96
kambing, 146
karakteristik karkas, 162
karakteristik organoleptik, 1
karakteristik peternak, 176
kecernaan, 54, 96, 146
kekuatan benang, 187
kelinci, 89
kelompok peternak, 107, 176
kerang, 169
klasifikasi jenis kelamin, 162
kolin klorida, 16
komposisi mineral, 70
konformasi butt shape, 162
konsumsi, 146, 155kromium organik, 54, 83, 121
kromium, 54, 83
kulit Pensi, 70
Lactobacillus plantarum, 76
media massa, 107
mikroba rumen, 20, 121
mineral organik, 27
mineral, 20
modifikasi lingkungan, 35
mortalitas, 155
nutrien ransum, 146
pakan kaya serat, 146
pertambahan bobot badan, 155
pertumbuhan, 47, 63
peternak sapi potong, 107, 176
potongan komersial, 63
protein turn over , 47
ragi tape, 83, 121, 155
rasio konversi pakan, 155
respon fisiologis, 35
Rhyzopus oryzae, 83, 121sabun mineral, 27
Saccharomyces cerevisiae, 83, 121
sapi Australian commercial cross, 63
sapi Brahman cross, 63, 162
sapi peranakan FH, 35
sapi potong, 63, 141, 162
sifat fisik, 70, 76, 146
sikap mental, 176
siput, 169
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 80/86
Edisi Desember 2006 195
stimulasi listrik, 1
superovulasi, 133
suplemen katalitik, 20
susu, 96
tikus, 155
ubi jalar, 89
urea, 89
vitamin C, 133
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 81/86
Edisi Desember 2006 196
PANDUAN BAGI PENULIS
Ketentuan Umum
1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan.2. Lingkup jurnal ini memuat hal ikhwal yang menyangkut peternakan dalam bentuk hasil penelitian yang
berisi analisis kebijakan dan gagasan dengan topik yang aktual.3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
4. Penulis diminta mengirimkan 3 (tiga) eksemplar naskah ke redaksi yang dilengkapi dengan disket berisinaskah yang diketik pada program Microsoft Word.
5. Jadual penerbitan pada bulan April, Agustus, dan Desember.
Standar Penulisan
1. Naskah ditulis dengan jarak 2 spasi kecuali Judul, Abstrak, Judul Tabel, Judul Gambar, dan Lampiran
yang diketik 1 spasi. Naskah dicetak pada kertas ukuran A4 dengan jumlah 12-20 halaman termasuk
tabel dan gambar yang dicetak terpisah dari teks.2. Huruf standar yang digunakan untuk penulisan adalah Times New Roman font 12.
3. Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis dan nama instansi, abstrak, pendahuluan, metode(sosial ekonomi), materi dan metode (selain sosial ekonomi), hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapanterima kasih (kalau ada), serta daftar pustaka.
Tata Cara Penulisan Naskah
1. Judul harus singkat, jelas, spesifik dan informatif yang mencerminkan secara tepat isi naskah. Panjang
judul maksimal 14 kata untuk naskah berbahasa Indonesia dan 10 kata untuk naskah berbahasa Inggris.Penulisan judul menggunakan Times New Roman font 14, 1 spasi, bold dan awal kata menggunakan
huruf kapital.
2. Nama penulis sesuai dengan pencantuman untuk pustaka.
3. Nama lembaga/institusi disertai dengan alamat lengkap, nomor telepon dan e-mail.4. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris baik untuk naskah berbahasa Indonesia maupun naskah berbahasa
Inggris, tidak melebihi 200 kata, dalam satu paragraf, serta 1 spasi.5. Kata kunci (key words) maksimal 5 (lima) kata ditulis 2 spasi setelah abstrak, dan dicetak miring.6. Pendahuluan ditulis secara efisien dan menggambarkan latar belakang, tujuan, dan pustaka yang
mendukung.7. Materi dan Metode (Hasil penelitian) ditulis secara lengkap, terutama hal-hal yang menyangkut desain
penelitian.
8. Hasil dan Pembahasan memuat hasil yang diperoleh serta bahasan ringkas mencakup permasalahanyang dikaji.
9. Kesimpulan ditulis secara ringkas tetapi menggambarkan substansi hasil penelitian yang diperoleh.
10. Ucapan Terima Kasih kalau ada.11. Tabel :
a) Huruf standar yang digunakan untuk penulisan judul dan tubuh Tabel adalah Times New Roman
font 11, spasi 1.b) Judul berupa kalimat singkat, jelas, hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital, diletakkan
di atas Tabel, dan diberi nomor urut dengan angka arab.
c) Garis pemisah dibuat dalam bentuk horisontal (mendatar), tiga garis, untuk memisahkan kepala
kolom (perlakuan) dan data; serta garis bantu horisontal lainnya yang dibuat seperlunya.d) Keterangan Tabel ditulis menggunakan font 10, 1 spasi. Penulisan keterangan signifikasi data secara
statistik, menggunakan kalimat “superskrip berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkanberbeda nyata/sangat nyata (P<0,05)/(P<0,01)”.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 82/86
Edisi Desember 2006 197
12. Gambar dan Grafik
a) Judul menggunakan jenis huruf yang seragam dengan naskah, font 11, 1 spasi, diletakkan di bawahGambar dan Grafik, berupa kalimat singkat, jelas (hanya kata pertama yang menggunakan huruf
kapital), serta diberi nomor urut sesuai dengan letaknya.b) Grafik dibuat dalam program Excel.
13. Foto harus mengkilap baik berwarna maupun hitam putih dan mempunyai ketajaman yang baik disertainomor dan judul berukuran 5 R.
14. Tatanama latin 2 atau 3 kata (dicetak miring) digunakan untuk tanaman, hewan, serangga,mikroorganisme dan penyakit. Nama lengkap kimia digunakan untuk senyawaan pada penyebutanpertama kali. Nama umum atau generik dapat pula digunakan.
15. Satuan pengukuran dipakai Sistem Internasional (SI).16. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma ( , ), untuk
bahasa Inggris dengan titik ( . ).
17. Daftar Pustaka :
a) Menggunakan referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal 80%.b) Memuat nama pengarang yang dirujuk dalam naskah, disusun menurut abjad pengarang dan tahun
penerbitan. Untuk buku dicantumkan semua nama penulis, tahun, judul buku, penerbit dan tempat.Untuk jurnal dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasidan halaman. Artikel dalam buku dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, editor, judul
buku, penerbit dan tempat. Beberapa contoh penulisan sumber acuan adalah sebagai berikut :
Buku
Sihombing, D. T. H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tizard. 1998. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi ke-2. Terjemahan : Masduki Partodirejo. AirlanggaUniversity Press, Surabaya.
Jurnal
Fontenot, J. P. & K. E. Webb. 1975. Health aspect of recycling animal waste by feeding. J. Anim. Sci.
40:1267-1275.
Artikel dalam Buku
Davey, C. L. & R. J. Winger. 1988. Muscle to meat (biochemical aspects). In: H. R. Cross & A. J.Overby (Eds.). Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B. V.,
Amsterdam.Prosiding
Wery, S. & A. W. Gunawar. 1994. Pertumbuhan dan perkembangan Schizophyllum commune in vitro
dan in vivo. Di dalam: Peranan Mikrobiologi dalam Industri Pangan. Prosiding PertemuanIlmiah Tahunan. 20 Agustus 1994. Bogor. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia CabangBogor. Hlm. 170-177.
Skripsi/Tesis/DisertasiSetyorini, D. 1994. Kajian proses demineralisasi dan deliming dalam ekstraksi gelatin dari kolagen
tulang sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Internet
Steven, P. V. 1992. Gelatin. http://www.gelatin.co.za/gltn.html. [27 Juli 2003].Steiger, D.M. 1998. Enhancing user understanding in a Decision Support System: A theoritical basis
and framework. Journal of Management Information Systems. Vol. 15(2):199-221. http://
gateway.proquest.com/fmt=html. [21 April 2004].18. Heading :
a) Heading, diketik kapital, bold, diletakkan di tengah; meliputi ABSTRACT, PENDAHULUAN,MATERI DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMAKASIH, DAFTAR PUSTAKA.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 83/86
Edisi Desember 2006 198
b) Sub-heading, diketik menggunakan huruf kapital pada awal kata, diletakkan di tengah, bold.
c) Sub-sub-heading, diketik menggunakan huruf kapital hanya pada awal kalimat, diletakkan di awalparagraf, bold, dan diikuti titik. Teks diketik dua ketuk setelah judul sub-sub-heading.
Penerbitan
1. Penentuan layak tidaknya naskah yang akan dipublikasikan, ditentukan oleh penyunting ahli.2. Penulis berkewajiban memperbaiki naskah sesuai saran dari penelaah.
3. Penulis yang naskahnya dimuat wajib berlangganan Media Peternakan selama satu tahun dan membayarkontribusi sebesar Rp 250.000,00 untuk penulis dalam IPB dan Rp 300.000,00 untuk penulis luar IPB,serta berhak mendapatkan empat buah cetak lepas.
4. Hak cipta naskah yang dimuat ada pada Media Peternakan.
Alamat untuk korespondensi
Alamat untuk korespondensi dan pengiriman naskah: Redaksi Media Peternakan d/a Fakultas Peternakan
IPB, Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680. Telp. (0251) 421692, 628394, 622841, Fax. (0251)622842, e-mail: [email protected]
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 84/86
Edisi Desember 2006 199
TERIMA KASIH
Kepada :
Aminuddin Parakkasi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Andi Djajanegara Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor
Anita S. Tjakradidjaja Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Arief Boediono Departemen Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
Budi Haryanto Balai Penelitian Ternak Ciawi,Bogor
Cece Sumantri Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, FakultasPeternakan, Institut Pertanian Bogor
Denny Widaya Lukman Departemen Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
Eddie Gurnadi Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Eko Pangestu Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
Hadiyanto Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Hardi Prasetyo Balai Penelitian Ternak Ciawi,Bogor
Harimurti Martojo Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Heri Ahmad Sukria Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
I Ketut Saka Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Bali
I Wayan Rusastra Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
Ibnu Katsir Amrullah Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Ignatius Kismono Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Ismeth Inounu Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor
Khalil Fakultas Peternakan Universitas AndalasKomang G. Wiryawan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
M. Winugroho Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor
Made Nitis Fakultas Peternakan Universitas Udayana Bali
Mirnawati Bachrum S. Departemen Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
Moh.Yamin Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 85/86
Edisi Desember 2006 200
Muladno Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Nahrowi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Nurmala Pandjaitan Fakultas Ekologi Manusia Insititut Pertanian Bogor
Nyoman Suthama Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang
Pallawarukka Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Peni S. Hardjosworo Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Rachjan G. Pratas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian BogorRachmat Herman Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Rarah Ratih A. M. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Ronny R. Noor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Rudy Priyanto Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Salundik Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Siti Wahyuni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung
Sofjan Iskandar Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor
Sri Mulatsih Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Sri Supraptini Mansjoer Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Suryahadi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
Tantan R. Wiradarya Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Toto Toharmat Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
U. Hidayat Tanuwiria Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung
Wasmen Manalu Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
Yuli Retnani Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor
yang telah berpartisipasi sebagai Mitra Bestari Media Peternakan Volume 29 Tahun 2006.
5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 86/86
Edisi Desember 2006 201
FORMULIR BERLANGGANAN
Dengan ini saya/kami kirimkan permohonan berlangganan MEDIA PETERNAKAN, FakultasPeternakan Institut Pertanian Bogor, terhitung mulai Volume ……………. Nomor……………. Tahun
………….. Mohon Jurnal tersebut dapat disampaikan kepada :
Nama :
Alamat :
Telp. :
Bersama ini dilampirkan copy bukti pembayaran melalui :
Bank BNI, No. Rekening 0003630564atas nama Erlin Trisyulianti, Media Peternakan, Fakultas Peternakan-IPB
Pos wesel
3 Edisi/Tahun Rp. 45.000,-Ongkos kirim Rp. 10.000,- (per 1 kali pengiriman)
……………….., …………….200…Pelanggan,
( )
Pengirim Kepada
Redaksi Media PeternakanFakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor
D/a Fakultas Peternakan, Jl. Agatis,
Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
Telp. (0251) 421692, 628394, 622841