87
 ME I PETERN K N JURN L ILMU PENGET HU N N TEKNOLOGI PETERN K N Med. Pet. Vol. 29 No. 3: 121-192 Desember 2006 Med Pet Vol 29 No 3: 121 192 Des embe r 200 6  RTIKEL ISSN 126 472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005 Terakreditasi SK Dikti No: 56 DIKTI Kep 2 5 Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap Akti vit as Fer mentas i Rumen Sec ara Pemberian Antanan ( ) dan Vitamin C Sebagai Upaya Menga tasi Ef ek Cekaman Pan as pada Broi ler. Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hCGpada Induk SapiPotong. Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi dan Kec ern aan Nut rie n Ransum pada Kambin g. Kaji an Penambahan Ragi T ape pada Pakan ter hada p Kons umsi, Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan, dan Mortalitas Tikus ( ). Penga ruh Konfo rmas i te rhada p Kar ak teristik Karkas Sapi Bra hman pa da Beb er apa Kl as ifi kasi Je ni s Ke la mi n. Respons A yam Kampung terhad ap Penambahan Kalsium Asal Siput ( ) dan Kerang ( ) pada Kondisi Ransum Miskin Fosfor. Faktor Karakteri stik Peter nak yang Mempe ngaruhi Sikap terhad ap Pr ogra m Kr edi t Sapi Poto ng di Kel ompok Pet ernak Andini har jo Kabupate n Slema n Y ogyakart a. Day a Pi ntal dan Kekuatan Be nan g Bulu Domba Pr ianga n dan Perana kan Meri no. in V itro. Centella asiatica  Rattus norvegicus  Butt Shape Cross  Lymnae Sp Corbiculla molktiana W. D. Ast ut i, T . Sutar di, D. Evvy ernie & T . T oharmat. E. Kusn ad i, R. Wi djaj akus uma,T. Suta rdi, P .S. Hardj oswo ro & A. Habi bie. E.M. Kaiin& B.T app a. T . T ohar mat, E.  Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, T .Q. Noerzihad, N.A. Sigit & Y . Retnani. E.M.S iant uri,A.M.Fua h& K.G . Wi ryawa n. Har api n Haf id H. & R. Pri yan to. Khalil. S.A. Wi bowo & F .T. Hary adi. M. Duld jama n, T .R. Wirada rya & M.I.H. Mutt aqin .

Media Peternakan Desember 2006

Embed Size (px)

Citation preview

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 1/86

MEDIA PETERNAKANJURNAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

M e d . P e t . Vo l . 2 9 N o . 3 : 1 2 1 - 1 9 2

D e s e m b e r 2 0 0 6

M ed . P et . Vo l. 2 9 N o . 3 : 1 21 -1 92

D e se m b er 2 0 06

A R T I K E L :

I S S N 0 1 2 6 - 0 4 7 2

TerakreditasiSK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

TerakreditasiSK Dikt i No: 56/DIKTI/Kep/2005

Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap

Aktivitas Fermentasi Rumen Secara

Pemberian Antanan ( ) dan Vitamin C Sebagai Upaya

Mengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler.

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan

hCGpada Induk SapiPotong.

Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi

dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing.

Kajian Penambahan Ragi Tape pada Pakan terhadap Konsumsi,

Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan, dan Mortalitas

Tikus ( ).

Pengaruh Konformasi terhadap Karakteristik Karkas

Sapi Brahman pada Beberapa Klasifikasi Jenis Kelamin.

Respons Ayam Kampung terhadap Penambahan Kalsium Asal Siput( ) dan Kerang ( ) pada Kondisi Ransum

Miskin Fosfor.

Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap

Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo

Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan dan

Peranakan Merino.

in Vitro.

Centella asiatica

 Rattus norvegicus

  Butt Shape

Cross

  Lymnae Sp Corbiculla m olktiana

W. D.Astuti, T. Sutardi, D.Evvyernie& T. Toharmat.

E. Kusnadi, R.Widjajakusuma,T. Sutardi, P.S. Hardjosworo &A. Habibie.

E.M. Kaiin & B.Tappa.

T. Toharmat, E. Nursasih,R. Nazilah,N. Hotimah,T.Q.Noerzihad, N.A. Sigit & Y. Retnani.

E.M.Sianturi,A.M.Fuah & K.G. Wiryawan.

Harapin Hafid H. & R. Priyanto.

Khalil.

S.A.Wibowo& F.T. Haryadi.

M. Duldjaman, T.R. Wiradarya & M.I.H. Muttaqin.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 2/86

 

MEDIA PETERNAKANJURNAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 3/86

MEDIA PETERNAKANJurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan

Vol. 29 No. 3, Desember 2006

Dewan Penyunting : Rachmat Herman (Ketua)

Kooswardhono Mudikdjo

Toto Toharmat

Komang G. Wiryawan

Cece Sumantri

Hadiyanto

Penyunting Pelaksana : Erlin Trisyulianti (Ketua)

Anggraini Sukmawati

Tuti Suryati

Administrasi dan : Irma Nuranthy P.

Kesekretariatan

Alamat Redaksi : Fakultas Peternakan IPB Jl. Agatis, Kampus

Darmaga, Bogor 16680

Telp.: (0251) 421692, 628394, 622841,

Fax. 622842, e-mail : [email protected]

Media Peternakan, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan

diterbitkan sejak September 1967 oleh Fakultas Peternakan IPB

Terbit 3 (tiga) kali setahun pada bulan April, Agustus dan Desember

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 4/86

MEDIA PETERNAKANJurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan

Desember 2006 Vol. 29 No. 3: 121-192

DAFTAR ISI

Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap AktivitasFermentasi Rumen Secara in Vitro. W. D. Astuti, T. Sutardi, D. Evvyernie & T.Toharmat..................................................................................................................

Pemberian Antanan (Centella asiatica) dan Vitamin C Sebagai UpayaMengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler. E. Kusnadi, R. Widjajakusuma,T. Sutardi, P.S. Hardjosworo & A. Habibie.............................................................

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hCG padaInduk Sapi Potong. E.M. Kaiin & B.Tappa...........................................................

Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi danKecernaan Nutrien Ransum pada Kambing. T. Toharmat, E. Nursasih, R.Nazilah, N. Hotimah, T.Q. Noerzihad, N.A. Sigit & Y. Retnani..............................

Kajian Penambahan Ragi Tape pada Pakan terhadap Konsumsi,Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan, dan Mortalitas Tikus( Rattus norvegicus). E.M.Sianturi, A.M.Fuah & K.G. Wiryawan..........................

Pengaruh Konformasi   Butt Shape terhadap Karakteristik Karkas SapiBrahman Cross pada Beberapa Klasifikasi Jenis Kelamin. Harapin Hafid H.& R. Priyanto.............................................................................................................

Respons Ayam Kampung terhadap Penambahan Kalsium Asal Siput ( LymnaeSp) dan Kerang (Corbiculla molktiana) pada Kondisi Ransum Miskin Fosfor.Khalil........................................................................................................................

Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap ProgramKredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo Kabupaten SlemanYogyakarta. S.A. Wibowo & F.T. Haryadi.............................................................

Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan dan PeranakanMerino. M. Duldjaman, T.R. Wiradarya & M.I.H. Muttaqin..................................

121

133

141

146

155

162

169

176

187

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 5/86

Pengantar Redaksi

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas terbitnya Media Peternakan Vol. 29 No. 3

Tahun 2006 yang diterbitkan oleh Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Media Peternakan

merupakan jurnal ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan, terbit 3 (tiga) kali setahun pada

bulan April, Agustus dan Desember.

Media Peternakan melakukan beberapa perubahan dalam penulisan naskah mulai edisi ini dan

seterusnya. Perubahan-perubahan tersebut, antara lain : Indeks Penulis dan Indeks Subyek akan

dicantumkan pada setiap penerbitan (nomor), Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris baik untuk naskah

berbahasa Indonesia maupun naskah berbahasa Inggris, serta judul gambar diletakkan di tengah(center).

Pada edisi kali ini menampilkan hasil penelitian tentang penggunaan kromium organik dari beberapa

 jenis fungi terhadap aktivitas fermentasi rumen secara in vitro; pemberian antanan (Centella asiatica)

dan vitamin C sebagai upaya mengatasi efek cekaman panas pada broiler; induksi superovulasi

dengan kombinasi CIDR, hormon FSH dan HCG pada induk sapi potong; sifat fisik pakan kaya

serat dan pengaruhnya terhadap konsumsi dan kecernaan nutrien ransum pada kambing; kajian

penambahan ragi tape pada pakan terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan, rasio konversi

pakan, dan mortalitas tikus (  Rattus norvegicus); pengaruh konformasi butt shape terhadap

karakteristik karkas sapi Brahman Cross pada beberapa klasifikasi jenis kelamin; respons ayamkampung terhadap penambahan kalsium asal siput ( Lymnae sp) dan kerang (Corbiculla molktiana)

pada kondisi ransum miskin fosfor; faktor karakteristik peternak yang mempengaruhi sikap terhadap

program kredit sapi potong di kelompok peternak Andiniharjo kabupaten Sleman Yogyakarta; daya

pintal dan kekuatan benang bulu domba Priangan dan peranakan Merino.

Kami mengucapkan terima kasih kepada penulis dan semua pihak yang telah membantu penerbitan

  jurnal ini. Semoga dengan terbitnya jurnal ini dapat mengaktifkan dan menghimpun hasil-hasil

penelitian para dosen dan peneliti serta sebagai sarana informasi bagi masyarakat ilmiah, khususnya

masyarakat peternakan, dan umumnya bagi masyarakat luas.

Redaksi

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 6/86

 Edisi Desember 2006  121

Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 121-132ISSN 0126-0472

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

Penggunaan Kromium Organik dari Beberapa Jenis Fungi terhadap

Aktivitas Fermentasi Rumen Secara in Vitro

W.D. Astutia, T. Sutardib, D. Evvyernieb & T. Toharmatb

aPusat Penelitian Bioteknologi LIPI

Jalan Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911Telp: 021-8754587, E-mail: [email protected]

bDepartemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPBJl Agatis Kampus IPB, Darmaga, Bogor 16680(Diterima 20-12-2005; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

Chromium appears to be an essential trace element since 1959, but its effect on ruminalmicrobes is not clear yet. This experiment was conducted to study the effects of organicchromium supplementation on rumen fermentation activity. An in vitro technique washeld using randomized block design with 13 treatments and 3 replications. There were fourkinds of organic Cr used, produced with four different species of fungi as carriers. Fungiused as carriers were Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, Rhizophus oryzaeand “ragi tape”. The result indicated that the optimum organic Cr supplementation was 1

mg organic Cr/kg dry matter. Supplementation of 1 mg organic Cr/kg dry matter increaseddry matter and organic matter digestibilities. It also tended to increase NH

3and total VFA

production. Propionate production increased, which decreased methane production andincreased hexose conversion efficiency in several treatments. Each fungus used as carrierof organic Cr resulted in different effects on rumen fermentation activity, but the effectswas within a normal range. It was concluded that either Saccharomyces cerevisiae,

 Aspergillus oryzae, Rhizophus oryzae or “ragi tape” could be used as carrier in organic Crproduction.

Key words : organic Cr, ruminal microbes, Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, Rhizophus oryzae, “ragi tape”

PENDAHULUAN

Kromium dianggap sebagai mineral yang

esensial sejak tahun 1959 (Mertz, 1998). Peran

utama Cr secara fisiologis adalah meningkatkan

potensi aktivitas insulin. Kromium merupakan

komponen aktif dari GTF (Glucose Tolerance

Factor ), yaitu kompleks yang tersusun atas Cr3+

dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam

amino yang terkandung dalam glutation seperti

glutamat, glisin dan sistein (Burton, 1995).

Ketiadaan unsur Cr di dalam GTF akan

mengakibatkan GTF tidak dapat bekerja

mempengaruhi insulin. Kromium dalam bentuk 

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 7/86

 Edisi Desember 2006 122

GTF telah diketahui dapat meningkatkan

potensi aktivitas hormon insulin yang

memegang peranan penting dalam transpor

glukosa dan asam amino (Lyons, 1995).

Di samping esensial dalam metabolisme

karbohidrat, Cr juga dibutuhkan dalam

metabolisme lemak dan protein. Defisiensi Cr

dapat menyebabkan rendahnya inkorporasi

asam amino pada protein hati. Asam amino yang

dipengaruhi oleh Cr dalam sintesis protein

adalah metionin, glisin dan serin (Anderson,

1987).

Sampai saat ini belum banyak informasi

mengenai peranan Cr bagi mikroba rumen.Muktiani (2002) menyebutkan bahwa

pemberian Cr organik dapat meningkatkan

fermentabilitas ransum secara in vitro. Adanya

peningkatan aktivitas mikroba rumen tersebut

memberikan indikasi bahwa Cr kemungkinan

esensial bagi mikroba rumen. Tujuan dari

percobaan ini adalah untuk mengetahui

seberapa jauh suplementasi Cr organik yang

menggunakan berbagai spesies fungi yang

berbeda sebagai carrier mempengaruhi aktivitasfermentasi rumen secara in vitro.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan secara in vitro

menggunakan rancangan acak kelompok 

dengan 3 ulangan sebagai kelompok. Empat

spesies fungi digunakan sebagai carrier untuk 

memproduksi empat macam Cr organik yang

dicobakan. Fungi tersebut adalah Saccharomycescerevisiae (SC)  , Aspergillus oryzae (AO) ,

 Rhizopus oryzae (RO) dan ragi tape.

Produksi Cr organik dilakukan dengan

cara menginkorporasikan Cr ke dalam fungi

melalui proses fermentasi. Substrat dasar yang

digunakan adalah singkong. Singkong diiris

tipis, kemudian dicampur dengan larutan Cr

anorganik, triptofan, medium selektif dan air

sehingga campuran substrat tersebut mempunyai

konsentrasi Cr sesuai dengan perlakuan.

Triptofan yang digunakan sebanyak 600 mg/kg

substrat. Campuran substrat kemudian

disterilkan menggunakan   pressure cooker 

selama 20 menit pada suhu 110oC, 15 psi.

Setelah dingin, substrat diratakan pada nampan

plastik dan ditambahkan starter/inokulan untuk 

masing-masing perlakuan fungi yang

digunakan. Bagian atas nampan plastik 

dibungkus dengan kertas, dan disusun dalam rak 

yang tertutup plastik, dalam ruangan tertutup.

Hal tersebut dilakukan untuk menghindari

terjadinya kontaminasi tetapi masih ada udara

yang masuk. Inkubasi dilakukan selama 5 haripada suhu ruang, kemudian produk dikeringkan

dengan menggunakan oven. Setelah kering,

produk dihaluskan sehingga berbentuk butiran

halus dan siap digunakan.

Perlakuan yang diuji berupa 13 jenis

ransum yaitu:

1. Kontrol = ransum kontrol

2. SC 1 = kontrol + Cr-org SC sebanyak 1

mg/kg ransum

3. SC 2 = kontrol + Cr-org SC sebanyak 2mg/kg ransum

4. SC 3 = kontrol + Cr-org SC sebanyak 3

mg/kg ransum

5. AO 1 = kontrol + Cr-org AO sebanyak 1

mg/kg ransum

6. AO 2 = kontrol + Cr-org AO sebanyak 2

mg/kg ransum

7. AO 3 = kontrol + Cr-org AO sebanyak 3

mg/kg ransum

8. RO 1 = kontrol + Cr-org RO sebanyak 1mg/kg ransum

9. RO 2 = kontrol + Cr-org RO sebanyak 2

mg/kg ransum

10. RO 3 = kontrol + Cr-org RO sebanyak 3

mg/kg ransum

11. Ragi tape 1 = kontrol + Cr-org ragi tape

sebanyak 1 mg/kg ransum

12.Ragi tape 2 = kontrol + Cr-org ragi tape

sebanyak 2 mg/kg ransum

Media PeternakanASTUTI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 8/86

 Edisi Desember 2006  123

13.Ragi tape 3 = kontrol + Cr-org ragi tape

sebanyak 3 mg/kg ransum

Bahan dasar ransum kontrol yang

digunakan adalah rumput gajah dan konsentrat

dengan perbandingan 50:50. Komposisi nutrien

ransum kontrol dapat dilihat pada Tabel 1.

Parameter yang diukur adalah kecernaan

bahan kering dan bahan organik, VFA total, VFA

individual, dan NH3. Sebanyak satu gram

sampel ransum dimasukkan ke dalam tabung

fermentor, kemudian ditambahkan larutan

McDougall sebanyak 12 ml dan cairan rumen

sapi 8 ml. Tabung ditambahkan gas CO2selama

30 detik untuk menciptakan kondisi anaerob dandisumbat dengan tutup karet. Selanjutnya

tabung dimasukkan ke dalam shaker bath dan

difermentasi selama 6 jam. Sumbat karet dibuka

dan ditambahkan 0,2 ml HgCl2

jenuh untuk 

membunuh mikroba sehingga fermentasi

terhenti. Kemudian tabung disentrifugasi pada

kecepatan 10000 rpm selama 10 menit, dan

supernatan diambil untuk analisis VFA total,

VFA individual, dan NH3. VFA total diukur

dengan metode destilasi uap, NH3 diukurdengan metode mikrodifusi Conway (Sutardi,

1994), serta VFA individual dilakukan dengan

teknik kromatografi gas (Adnan, 1997).

Uji kecernaan dilakukan dengan metode

Tilley & Terry (1963). Tahapan analisis sama

seperti yang dilakukan pada fermentasi in vitro,

tetapi waktu inkubasi dilanjutkan sampai 24

 jam. Setelah pencernaan fermentatif (anaerob)

selama 24 jam, tutup tabung dibuka dan

ditambahkan 0,2 ml HgCl2. Campuran

disentrifugasi pada kecepatan 10000 rpm

selama 10 menit dan supernatan dibuang,

kemudian ke dalam tabung ditambahkan 20 ml

larutan pepsin 0,2%. Inkubasi dilanjutkan

selama 24 jam secara aerob. Sisa pencernaan

disaring dengan kertas saring Whatman nomor

41 dengan bantuan pompa vakum. Hasilsaringan dimasukkan ke dalam cawan porselin

dan dikeringkan dengan oven 105oC untuk 

mengetahui residu bahan kering dan diabukan

dalam tanur 600oC untuk menghitung residu

bahan organiknya.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisa dengan

menggunakan sidik ragam (analysis of variance) dan apabila ada perbedaan di antara

perlakuan dilanjutkan dengan uji orthogonal

kontras (Steel & Torrie, 1981).

Tabel 1. Komposisi bahan pakan dan nutrien ransum penelitian

PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3

  Bahan pakan Jumlah

(% BK)

Nutrien Jumlah

Rumput gajah 50 Bahan kering (%) 87,82

Jagung 2,4 Abu (% BK) 7,92

Bungkil kedelai 7,1 Protein kasar (% BK) 14,93

Bungkil kelapa 18 Serat kasar (% BK) 33,98

Onggok 15,2 Lemak kasar (% BK) 2,07

Tepung ikan 0,5 BETN (% BK) 29,20

Bungkil kelapa sawit 4,8 TDN (% BK) 49,10Minyak kelapa 0,5 Ca (% BK) 0,064

Molases 1 P (% BK) 0,050

Urea 0,5

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 9/86

 Edisi Desember 2006 124

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecernaan

Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum penelitian disajikan pada Tabel 2.Suplementasi Cr organik sebesar 1 mg/kgransum telah dapat meningkatkan kecernaanbahan kering ransum secara nyata (P<0,05)dibandingkan dengan kontrol pada semua fungiyang digunakan.

Suplementasi Cr organik yang menggunakancarrier  Saccharomyces cerevisiae memberikan

nilai kecernaan bahan kering ransum yangmenurun dengan meningkatnya level Cr organik yang digunakan, meskipun antara 1 mg/kgransum dan 2 mg/kg ransum tidak memberikannilai kecernaan bahan kering ransum yangberbeda nyata. Suplementasi Cr organik 3 mg/ kg ransum memberikan nilai kecernaan yang

lebih rendah dari ransum kontrol.

Suplementasi Cr organik yang

menggunakan carrier Aspergillus oryzae

sebanyak 2 dan 3 mg/kg ransum tidak 

memberikan nilai kecernaan bahan kering yang

berbeda nyata dengan kontrol. Cr organik 

dengan carrier   Rhizophus oryzae memberikan

nilai kecernaan bahan kering yang lebih rendah

dari kontrol (P<0,05) pada taraf 2 mg/kg

ransum, dan nilai kecernaan bahan kering

ransum kembali meningkat pada level 3 mg/kg

ransum. Pemakaian Cr organik yang

menggunakan ragi tape sebagai carrier 

memberikan nilai kecernaan bahan kering

ransum yang berbeda nyata (P<0,05) pada

semua taraf Cr yang digunakan, yang nilainya

lebih tinggi daripada nilai kecernaan bahan

kering ransum kontrol (P<0,05).

Nilai kecernaan bahan organik ransum

pelakuan juga dipengaruhi oleh suplementasi Cr

organik, yang polanya tidak berbeda jauh

Tabel 2. Nilai kecernaan ransum penelitian (%)

Keterangan : 1)Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05);2)Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

  Perlakuan KCBK1) KCBO2) 

Kontrol 43,7±0,8ab 43,1±0,8A SC 1 46,0±1,4b 45,4±1,1B SC 2 44,6±0,5b 44,0±0,2B SC 3 42,7±1,7a 42,6±1,4A Saccharomyces cerevisiae  44,4±1,8a 43,9±1,5A AO 1 45,2±0,7b 44,8±0,4B AO 2 44,1±0,6ab 43,6±0,6A AO 3 44,1±2,1ab 43,4±1,4A 

 Aspergillus oryzae 44,4±1,3a

43,9±1,0A

 RO 1 45,2±2,0b 44,0±1,9B RO 2 41,5±1,9a 42,0±1,6A RO 3 45,6±0,2b 45,4±0,1B 

 Rhizopus oryzae 44,1±2,4a 43,8±1,9A Ragi tape 1 45,2±3,6b 44,6±3,0B Ragi tape 2 44,6±0,8b 44,3±1,3B Ragi tape 3 45,7±0,3b 44,6±0,3B Ragi tape 45,1±1,9a 44,5±1,7A 

Media PeternakanASTUTI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 10/86

 Edisi Desember 2006  125

dengan nilai kecernaan bahan kering.Suplementasi Cr organik dengan carrier   S.

cerevisiae sebesar 1 dan 2 mg/kg ransum sudah

dapat meningkatkan nilai kecernaan bahanorganik ransum secara nyata (P<0,01)dibandingkan dengan ransum kontrol.Peningkatan Cr organik menjadi 3 mg/kgransum menghasilkan nilai kecernaan bahanorganik yang menurun pada taraf yang samadengan kontrol. Demikian pula dengansuplementasi Cr organik yang menggunakancarrier   A. oryzae. Suplementasi sebanyak 1 mg/ kg ransum mampu meningkatkan kecernaan

bahan organik ransum secara nyata (P<0,01),tetapi kembali menurun sesuai denganpeningkatan taraf Cr organik yang digunakan.

Suplementasi Cr organik yangmenggunakan carrier   R. oryzae memberikanhasil yang sedikit berbeda. Suplementasisebesar 1 mg/kg ransum memberikan nilaikecernaan bahan organik yang lebih tinggi darikontrol (P<0,01), dan menurun padasuplementasi sebesar 2 mg/kg ransum.Penurunan tersebut diduga disebabkan

konsentrasi Cr yang terlalu tinggi. SuplementasiCr sebesar 3 mg/kg ransum nilai kecernaanbahan organik yang dihasilkan kembali

meningkat secara signifikan (P<0,01). Haltersebut menunjukkan adanya upaya adaptasidari mikroba rumen terhadap aditif yangdiberikan. Suplementasi Cr organik yangmenggunakan ragi tape sebagai carrier 

memberikan nilai kecernaan bahan organik yanglebih tinggi dari ransum kontrol (P<0,01) padasemua taraf yang digunakan (1, 2 dan 3 mg/kgransum).

Berdasarkan level Cr organik yang

digunakan, nilai kecernaan bahan kering danbahan organik memberikan respon yang serupa.Pemakaian 1 mg Cr organik /kg ransum sudahdapat meningkatkan nilai kecernaan ransum.Nilai kecernaan ransum justru menurun padasuplementasi Cr organik sebesar 2 mg/kgransum dan kembali naik pada pemakaian 3 mg/ kg ransum (Gambar 1).

Penggunaan Cr organik yang terbaik dalam penelitian ini adalah 1 mg/kg ransum.Peningkatan nilai kecernaan tersebut

42.0

42.5

43.0

43.5

44.0

44.5

45.0

45.5

46.0

0 1 2 3

Level Cr organik (mg/kg)

   K

  o  e   f   i  s   i  e  n  c  e  r  n  a   (   %   )

KCBK KCBO

Gambar 1. Koefisien cerna bahan kering dan bahan organik 

PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 11/86

 Edisi Desember 2006 126

disebabkan kinerja mikroba rumen yang

semakin aktif karena suplai energi yang cukup

sebagai pengaruh suplementasi Cr organik. Hal

itu menunjukkan Cr merupakan mineral yang

penting bagi mikroba rumen. Suplementasi Cr

organik akan meningkatkan efisiensi

pengambilan energi oleh mikroba rumen

sehingga dapat mencerna ransum dengan lebih

baik (Kegley & Spears, 1995; Kegley et al.,

2000). Kecernaan yang meningkat akan

meningkatkan ketersediaan nutrien yang

dibutuhkan oleh mikroba tersebut. Selain itu,

peningkatan nilai kecernaan dipengaruhi oleh

adanya fungi yang berperan sebagai carrier Crorganik. Keberadaan fungi dapat membantu

dalam pencernaan pencernaan dengan enzim-

enzim yang dihasilkan seperti amilase, protease

dan lipase sehingga mikroba rumen lebih mudah

dalam mencerna pakan (Martin & Nisbet, 1992;

Beauchemin et al., 2003).

Amonia

Amonia adalah sumber nitrogen yangutama dan sangat penting untuk sintesis protein

mikroba rumen. Konsentrasi amonia di dalam

rumen merupakan suatu besaran yang sangat

penting untuk dikendalikan, karena sangat

menentukan optimasi pertumbuhan biomassa

mikroba rumen. Sekitar 80% mikroba rumen

dapat menggunakan amonia sebagai sumber

nitrogen untuk petumbuhannya (Arora, 1995).

Kisaran konsentrasi optimal amonia di

cairan rumen sangat bervariasi. Hoover & Miller

(1992) menyatakan bahwa konsentrasi amonia

yang kurang dari 3,57 mM dapat menghambat

pertumbuhan mikroba rumen, sedangkan

menurut McDonald et al. (1995) kisaran

konsentrasi amonia yang baik adalah 6–12 mM.

Sementara Preston & Leng (1987) menyatakan

bahwa kisaran normal konsentrasi amonia

adalah 2,9–14,7 mM.

Mengacu pada batasan tersebut, rataan

konsentrasi amonia yang dihasilkan dari

penelitian ini cukup tinggi namun masih dalam

kisaran yang mendukung pertumbuhan mikroba

rumen (Tabel 3). Suplementasi Cr organik 

sebesar 1 mg/kg ransum belum menunjukkan

konsentrasi amonia yang berbeda dengan

kontrol, kecuali pada Cr organik dengan carrier 

 A. oryzae. Suplementasi Cr organik sebesar 2

mg/kg ransum dapat meningkatkan konsentrasi

amonia lebih tinggi dari ransum kontrol secara

nyata (P<0,01), pada semua jenis fungi yang

digunakan.

Tingginya konsentrasi amonia

menunjukkan tingginya nilai protein yang

mudah didegradasi dalam ransum tersebut. Cr

organik yang diberikan dalam penelitian ini

merupakan mikroorganisme yang tinggi

kandungan proteinnya. Hal tersebut diduga ikut

menyebabkan tingginya nilai amonia yang

dihasilkan.

Konsentrasi amonia dapat dipengaruhi

oleh aktivitas proteolitik dari kedua fungi ( R.

oryzae dan A. oryzae) yang digunakan sebagai

carrier pada suplementasi Cr organik. Enzim

protease yang dihasilkan oleh kedua fungi

tersebut meningkatkan proses pencernaan

protein dengan memecah substrat protein

menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga

lebih mudah dicerna dan amonia yang

dihasilkan meningkat (Ghorbani et al., 2002).

Komposisi VFA Individual

Perbedaan konsentrasi VFA dapat terjadi

karena model fermentasi di dalam rumen

ditentukan oleh komposisi populasi mikroba,

yang sangat dipengaruhi oleh ransum. Empat

spesies fungi yang digunakan dalam pembuatan

Cr organik memberikan respon yang berbeda

terhadap produksi VFA total. Menurut Forbes

& France (1993) konsentrasi VFA total dalam

cairan rumen umumnya berkisar antara 70–130

mM, sementara menurut Bergman (1983)

berkisar antara 79–150 mM.

Media PeternakanASTUTI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 12/86

 Edisi Desember 2006  127

Produksi VFA paling rendah daripenelitian ini dihasilkan oleh ransum dengan Cr

organik dengan carrier R. oryzae (Tabel 3). Hal

ini kemungkinan disebabkan oleh adanya zat

antagonis bagi pertumbuhan mikroba rumen.

Jayanegara (2003) menyimpulkan bahwa

kapang Rhizopus sp. mempunyai zat antagonis

yang mengakibatkan terhambatnya penyerapan

monosakarida oleh mikroba rumen.

Suplementasi Cr dalam penelitian ini

dapat membuat sistem fermentasi rumenmengarah ke sintesis propionat (Tabel 4).

Peningkatan produksi propionat ini lebih

menguntungkan untuk pertumbuhan atau

penggemukan ternak. Propionat merupakan

VFA yang bersifat glukogenik, artinya dapat

menjadi prekursor dalam sintesis glukosa

melalui proses glukoneogenesis (McDonald et 

al ., 1995). Berarti suplementasi Cr yang

diberikan dapat berpengaruh terhadap kinerja

mikroba rumen sehingga metabolisme

mengarah ke peningkatan pasokan energi untuk produksi.

Pengaruh suplementasi Cr organik 

terhadap proporsi molar asam butirat sangat

bervariasi. Suplementasi 1 mg/kg ransum Cr

organik dengan carrier   S. cerevisiae dan  A.

oryzae tidak mengubah proporsi molar butirat.

Semakin tinggi taraf Cr organik yang diberikan

akan menurunkan proporsi molar butirat

(P<0,01). Sementara itu proporsi molar butirat

tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr organik dengan carrier   R. oryzae pada seluruh level baik 

1, 2, maupun 3 mg/kg ransum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

rataan proporsi molar butirat dari ransum yang

disuplementasi Cr organik yang menggunakan

ragi tape sebagai carrier paling tinggi (P<0,05)

dibandingkan dengan ketiga fungi lainnya. Hal

tersebut dapat terjadi karena di dalam ragi tape

terdapat berbagai jenis fungi yang saling

berinteraksi, sehingga kombinasi berbagai fungi

Tabel 3. Konsentrasi NH3

dan VFA total pada pemberian ransum penelitian yang berbeda (mM)

Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3

Perlakuan NH3 VFA

Kontrol 12,9±3,0A

136,8±7,4A 

SC 1 13,1±2,4A

144,3±19,9B 

SC 2 13,9±2,5B

144,3±5,8B 

SC 3 14,0±1,2B

139,2±6,3B 

Saccharomyces cerevisiae  13,6±1,9A

142,6±11,1A 

AO 1 14,4±1,4B

134,4±4,5A 

AO 2 14,5±3,3B

146,5±2,9B 

AO 3 12,8±1,5A

130,8±10,3A 

 Aspergillus oryzae 13,9±2,1A

137,2±9,2A 

RO 1 13,2±2,3A

127,0±20,1A 

RO 2 14,3±1,1B

134,9±3,5A 

RO 3 13,9±2,2B

134,5±8,6A 

 Rhizopus oryzae 13,8±1,8A

132,1±11,7A 

Ragi tape 1 12,6±2,1A

129,6±13,9A 

Ragi tape 2 14,6±3,1B

137,7±12,1B 

Ragi tape 3 13,7±2,0B

145,8±20,6B 

Ragi tape 13,6±2,3A

137,7±15,5A 

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 13/86

 Edisi Desember 2006 128

inilah yang diduga dapat meningkatkan butirat

yang dihasilkan oleh suplementasi Cr organik 

yang menggunakan ragi tape.

Keberadaan mikroba rumen selain

berperan dalam proses pencernaan pakan secara

fermentatif juga berperan sebagai pemasok 

sumber protein bagi ternak. Mikroorganisme

rumen membutuhkan pasokan nutrien yang

cukup untuk dapat berkembang dan melakukan

pencernaan fermentatif dengan baik. Sintesis

protein mikroba rumen membutuhkan asam

lemak rantai cabang sebagai prekursor. Asam

lemak rantai cabang tersebut meliputi asam

isobutirat (i-C4), asam isovalerat (i-C

5), dan

asam 2-metilbutirat (2Me-C4) (Russel &

Sniffen, 1984).

Jenis fungi yang digunakan sebagai

carrier pada penelitian ini, dalam pembuatan

Cr organik tidak berpengaruh terhadap proporsi

molar isobutirat, isovalerat maupun isoacids

secara keseluruhan (Tabel 5), tetapi

suplementasi Cr memberikan pola produksi

isoacids yang berbeda pada setiap fungi yang

digunakan.  Ransum kontrol menghasilkan

isobutirat sebesar 2,91% mM. Suplementasi 1

mg Cr organik/kg ransum dengan carrier   S.

cerevisiae dan ragi tape menghasilkan proporsi

molar isobutirat yang meningkat (P<0,05).

Suplementasi Cr organik 2 mg/kg ransum

 justru menurunkan proporsi molar isobutirat dan

kembali meningkat pada suplementasi Cr

organik sebesar 3 mg/kg (P<0,05). Sementara

suplementasi Cr organik dengan A. oryzae dan

  R. oryzae sebagai carrier  meningkatkan

(P<0,05) proporsi molar isobutirat pada level 2

mg/kg ransum. Peningkatan Cr organik menjadi

3 mg/kg ransum justru menurunkan isobutirat

(P<0,05) yang dihasilkan.

Suplementasi Cr organik yang diberikan

 juga tidak berpengaruh nyata terhadap proporsi

Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Tabel 4. Proporsi molar asetat, propionat, butirat dan valerat (% mM)

 Perlakuan Asetat Propionat Butirat Valerat

Kontrol 50,52±19,94 29,81±13,10 12,95±8,17B

0,73±1,26A 

SC 1 43,46±7,47 33,42±5,74 12,10±6,02 2,05±2,54AB

 

SC 2 46,43±14,81 35,29±5,59 11,99±7,24A

0,57±0,98A 

SC 3 48,82±21,20 31,58±14,65 11,79±7,20A

0,00±0,00A 

Saccharomyces

cerevisiae 46,24±13,66 33,43±8,50 11,96±5,93

A0,87±1,64

AO 1 45,07±6,60 33,01±1,73 14,33±3,91B

1,24±1,09AB

 

AO 2 46,14±10,14 34,91±7,71 10,94±5,65A

0,43±0,74A

AO 3 49,89±16,14 33,38±9,64 9,77±5,01A

0,96±0,86AB

 

 Aspergillus oryzae 47,03±10,32 33,77±6,29 11,68±4,72A

0,87±0,86A 

RO 1 51,22±6,74 33,95±3,08 8,90±6,55A 0,52±0,89A 

RO 2 46,59±11,11 28,72±6,03 11,06±2,97A

2,95±4,13AB

 

RO 3 47,02±9,84 35,20±6,39 10,43±7,88A

1,21±1,11AB

 

 Rhizopus oryzae 48,28±8,44 32,62±5,53 10,13±5,42A

1,56±2,44A 

Ragi tape 1 49,74±4,80 33,02±2,95 10,10±5,69A

0,46±0,79A 

Ragi tape 2 41,33±6,89 37,34±2,78 15,03±5,26B

0,47±0,81A 

Ragi tape 3 41,17±12,10 33,17±8,50 17,53±3,68B

0,51±0,88A 

Ragi tape 44,08±8,50 34,51±5,17 14,22±5,39AB

0,48±0,72A 

Media PeternakanASTUTI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 14/86

 Edisi Desember 2006  129

Tabel 5. Konsentrasi isobutirat, isovalerat dan isoacids (% mM)

Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

  Perlakuan Isobutirat Isovalerat Isoacids

Kontrol 2,91±0,35A

3,09±0,31 5,99±0,55

SC 1 mg/kg 4,72±3,45AB

4,25±2,88 8,96±6,33

SC 2 mg/kg 2,44±1,26A

3,28±1,55 5,72±2,80

SC 3 mg/kg 3,84±1,45AB

3,98±1,53 7,82±2,96

Saccharomyces cerevisiae  3,66±2,21A

3,84±1,86 7,50±4,03

AO 1 3,23±0,45A

3,12±0,77 6,35±1,17

AO 2 3,86±1,82AB

3,72±1,62 7,58±3,44

AO 3 3,22±2,80A

2,78±2,34 6,00±5,14

 Aspergillus oryzae 3,44±1,72A

3,21±1,53 6,64±3,23

RO 1 2,88±1,35A

2,54±0,54 5,42±1,89

RO 2 5,37±4,72AB 5,31±5,34 10,68±1,05

RO 3 3,14±1,39A

3,00±1,44 6,15±2,83

 Rhizopus oryzae 3,80±2,81A

3,62±3,06 7,41±5,85

Ragi tape 1 3,72±2,86AB

2,97±1,63 6,68±4,49

Ragi tape 2 2,70±2,53A  3,12±0,58 5,83±2,97

Ragi tape 3 4,21±2,40AB

3,43±1,23 7,63±3,61

Ragi tape 3,54±2,35A

3,17±1,08 6,71±3,34

molar isovalerat dan isoacids. Proporsi molarisovalerat mempunyai pola yang hampir sama

dengan isobutirat. Namun demikian, secara

umum suplementasi Cr dapat meningkatkan

proporsi molar isoacids (Gambar 2).

Suplementasi Cr organik 2 mg/kg ransum

merupakan taraf terbaik dimana dapat

menghasilkan proporsi isoacids tertinggi.

Isoacids yang proporsi molarnya

meningkat dalam penelitian ini adalah

isobutirat, yang pada akhirnya menyebabkanpeningkatan proporsi molar isoacids secara

keseluruhan. Meskipun mekanismenya belum

dapat diketahui pasti, Besong et al. (2001)

menyatakan bahwa suplementasi Cr organik 

pada dosis yang tepat akan mempengaruhi

produksi propionat, butirat, dan isobutirat dalam

cairan rumen, dimana pemakaian 1,6 mg Cr/kg

ransum dapat meningkatkan proporsi molar

isobutirat.

Peningkatan isoacids tersebut diharapkandapat meningkatkan sintesis protein mikrobakarena isoacids merupakan sumber kerangkakarbon bagi bakteri untuk biosintesis asam-asam amino rantai cabang, berturut-turut valin,leusin, dan isoleusin. Isoacids tersebut disintesisdari protein dan sumber karbon lain selamaproses fermentasi di dalam rumen (Czerkawski,1986).

Nisbah A/P, NGR, Produksi Metan dan

Efisiensi Konversi Heksosa

Data VFA individual dalam cairan rumendapat digunakan untuk mengetahui nilai nisbahA/P, NGR, produksi metan dan efisiensikonversi heksosa (Orskov & Ryle, 1990), yangdapat dilihat pada Tabel 6. Pemberian Crorganik tidak berpengaruh secara nyata terhadapnisbah A/P, tetapi terlihat kecenderungan nisbahA/P yang lebih rendah dari kontrol. Hal ini

PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 15/86

 Edisi Desember 2006 130

menunjukkan bahwa proporsi propionat yang

meningkat di dalam rumen, dibandingkan

dengan asetat. Suplementasi Cr yang berperan

dalam metabolisme glukosa mempengaruhi

produksi propionat yang bersifat glukogenik.

Sistem fermentasi rumen yang mengarah

ke propionat juga mengakibatkan nilai non

glucogenic ratio (NGR) cenderung menurun.

NGR adalah perbandingan antara asam lemak 

terbang yang bersifat non-glukogenik dan

glukogenik. Peningkatan propionat yang

bersifat glukogenik akan menurunkan nilai

NGR. Nilai NGR pada ransum kontrol adalah

2,49 sedangkan suplementasi Cr organik 1, 2,

dan 3 mg/kg ransum menyebabkan turunnya

nilai NGR menjadi 1,72; 1,66 dan 1,89.

Nilai NGR berhubungan erat denganproduksi gas metan. NGR dan metan

mempunyai korelasi positif, yang berarti

semakin rendah nilai NGR semakin rendah pula

produksi metan. Adanya indikasi penurunan

produksi gas metan juga didukung oleh hasil

estimasi produksi metan yang dihitung

berdasarkan stoikiometri sintesis asetat,

propionat dan butirat. Suplementasi Cr organik 

tidak menghasilkan perubahan yang signifikan

terhadap produksi metan, tetapi terlihat bahwa

produksi metan ransum perlakuan lebih rendah

dari kontrol. Rendahnya produksi metan berarti

akan meningkatkan nilai efisiensi konversi

heksosa, karena semakin sedikit energi yang

terbuang dalam bentuk metan. Berdasarkan

efisiensi penggunaan energi ransum, sistem

fermentasi rumen yang mengarah ke sintesis

asam propionat akan lebih menguntungkan

(Orskov & Ryle, 1990), karena energi yang

terbuang sebagai gas metan akan berkurang.

Nilai efisiensi konversi heksosa menjadi VFA

tersebut dapat diduga dari data VFA individual.

Peningkatan efisiensi konversi heksosa

dengan suplementasi Cr organik terjadi pada

level 2 mg/kg ransum untuk Cr organik dengan

carrier  S. cerevisiae dan  A. oryzae. Efisiensikonversi heksosa yang diperoleh pada ransum

perlakuan tersebut nyata lebih tinggi (P<0,01)

dibanding ransum kontrol. Suplementasi Cr

organik dengan carrier   R. oryzae dan ragi tape

dapat meningkatkan efisiensi konversi heksosa

secara signifikan (P<0,01) pada taraf 1 mg/kg

ransum. Suplementasi Cr organik menunjukkan

kecenderungan peningkatan efisiensi konversi

heksosa.

Media PeternakanASTUTI ET AL.

0

2

4

6

8

   I  s  o  a  c   i   d  s   (   %  m   M   )

0 1 2 3

Level Cr organik (mg/kg ransum)

Gambar 2. Konsentrasi isoacids berdasarkan Cr organik yang digunakan

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 16/86

 Edisi Desember 2006  131

Tabel 6. Nisbah A/P, NGR, produksi metan, dan efisiensi konversi heksosa

Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

 

Perlakuan Nisbah A/P NGRMetan(mM)

Efisiensi konversiheksosa

(%)

Kontrol 2,30±2,08 2,49±1,80 21,05±11,57 64,19±6,20A 

SC 1 1,36±0,49 1,66±0,62 16,40±6,25 63,74±2,35A SC 2 1,39±0,69 1,65±0,50 17,39±6,96 67,62±3,44B SC 3 2,06±1,68 2,13±1,23 19,46±12,42 65,04±3,85A Saccharomyces cerevisiae  1,60±1,04 1,81±0,77 17,75±7,89 65,47±3,31A AO 1 1,73±0,25 1,71±0,16 17,87±2,69 64,32±3,11A AO 2 1,41±0,63 1,62±0,45 17,08±5,91 67,03±2,49B AO 3 1,71±1,14 1,95±1,10 19,04±10,04 67,65±0,93B 

 Aspergillus oryzae 1,49±0,68 1,76±0,62 17,99±6,04 66,32±2,55A 

RO 1 1,52±0,30 1,73±0,29 19,35±3,03 69,07±3,98B RO 2 1,68±0,61 1,89±0,69 18,88±6,33 60,54±8,44A RO 3 1,40±0,57 1,65±0,60 17,32±6,10 67,85±4,09B 

 Rhizopus oryzae 1,54±0,46 1,76±0,48 18,52±4,74 65,82±6,48A Ragi tape 1 1,52±0,28 1,76±0,37 19,14±3,37 67,17±2,02B Ragi tape 2 1,12±0,27 1,47±0,15 15,09±2,90 66,74±1,72B Ragi tape 3 1,38±0,82 1,81±0,75 16,67±7,17 62,13±3,73A Ragi tape 1,34±0,49 1,68±0,45 16,97±4,57 65,34±3,33A 

Penggunaan fungi yang berbeda sebagaicarrier  ternyata menimbulkan respon yangberbeda pula. Hal tersebut disebabkan sifat darifungi itu sendiri dan interaksinya terhadapmikroba rumen dan daya cerna terhadap ransumdalam rumen. Dua kapang yang digunakanbersifat proteolitik sedangkan khamir yangbersifat amilolitik lebih berperan dalammetabolisme glukosa, sedangkan ragi tapemerupakan campuran antara kapang, khamir

dan terkadang terdapat bakteri (Saono, 1984).Perbedaan tersebut memberikan respon yangberbeda terhadap mikroba rumen dan prosesfermentasi rumen (Martin & Nisbet, 1992; Yoon& Stern, 1996).

KESIMPULAN

Percobaan in vitro menunjukkan bahwasuplementasi Cr organik sebanyak 1 mg/kgransum dapat meningkatkan kecernaan bahan

kering dan bahan organik dibandingkan dengankontrol pada semua fungi yang digunakan.

Suplementasi Cr organik dapat meningkatkan

produksi NH3dan VFA total. Hasil analisis VFA

individual terlihat bahwa suplementasi Cr

organik pada taraf pemakaian yang tepat dapat

meningkatkan proporsi molar valerat dan

isobutirat. Empat spesies fungi yang digunakan

dapat dipakai sebagai carrier dalam pembuatan

Cr organik karena tidak mengakibatkan efek 

negatif bagi aktivitas fermentasi rumen.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi,Yogyakarta.

Anderson, R.A. 1987. Chromium. In: W. Mertz(Ed.). Trace Elements in Human and AnimalNutrition. Ed ke-5. Academic Press, Inc., SanDiego, California.

PENGGUNAAN KROMIUM ORGANIKVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 17/86

 Edisi Desember 2006 132

Arora, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba padaRuminansia. Murwani R, penerjemah;Srigandono B, editor. Ed ke-2. Terjemahan

dari: Microbial Digestion in Ruminants.GajahMada University Press, Yogyakarta.Beauchemin, K.A., W.Z.Yang, D.P. Morgavi, G.R.

Ghorbani, W. Kautz, & J.A.Z. Leedle.2003. Effects of bacterial direct-fed microbialand yeast on site and extent of digestion, bloodchemistry, and subclinical ruminal acidosis infeedlot cattle. J. Anim. Sci. 81:1628-1640.

Bergman, E.N. 1983. Dynamic Biochemistry of Animal Production. Elsevier, New York.

Besong, S., J.A. Jackson, D.S. Trammell, & V.Akay. 2001. Influence of supplementalchromium on concentrations of livertriglyceride, blood metabolites and rumenVFA profile in steers fed a moderately highfat diet. J. Dairy Sci. 84:1679-1685.

Burton, J.L. 1995. Supplemental chromium: itsbenefits to the bovine immune system. Anim.Feed Sci. Technology 53: 117-125.

Czerkawski, J.W. 1986. An Introduction to RumenStudies. Pergamon Press, New York.

Forbes, J.M. & J. France. 1993. QuantitativeAspects of Ruminant Digestion andMetabolism. CAB International, London.

Ghorbani, G.R., D.P. Morgavi, K.A. Beauchemin,

& J.A.Z. Leedle. 2002. Effects of bacterialdirect-fed microbials on ruminal fermentation,blood variables, and the microbial populationof feedlot cattle. J.Anim. Sci. 80:1977-1986.

Hoover, W.H. & T.K. Miller. 1992. RumenDigestive Physiology and Microbial Ecology.Agric. Forestry Exp. Station, West VirginiaUniversity, Morgantown, West Virginia.

Jayanegara, A. 2003. Uji in vitro ransum yangdisuplementasi kromium anorganik danorganic. Skripsi. Fakultas Peternakan, InstitutPertanian Bogor, Bogor.

Kegley, E.B. & J.W. Spears. 1995. Immuneresponse, glucose metabolism, andperformance of stressed feeder calves fedinorganic or organic chromium. J. Anim. Sci.73:2721-2726.

Kegley, E.B., D.L. Galloway, & T.M. Fakler. 2000.Effect of dietary chromium-L-methionine onglucose metabolism of beef steers. J. Anim.Sci. 78:3177-3183.

Lyons, T.P. 1995. Biotechnology in The FeedIndustry: A look Forward and Backward. In:

T.P. Lyons & K.A. Jacques (Eds.).Biotechnology in The Feed Industry. Proc. of Alltech’s 11 th Annual Symposium.

Nottingham University Press:1-29.Martin, S.A. & D.J. Nisbet. 1992. Effect of direct-

fed microbials on rumen microbialfermentation. J. Dairy Sci. 75:1736-1744.

McDonald, P., R. Edwards, J.F.D. Greenhalgh,& C.A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th

Ed. Longman Scientific and Technical, NewYork.

Mertz, W. 1998. Chromium research from adistance: from 1959 to 1980. J. Am. Collegeof Nutrition 17:544-547.

Muktiani, A. 2002. Penggunaan hidrolisat buluayam dan sorghum serta suplemen kromiumorganik untuk meningkatkan produksi susupada sapi perah. Disertasi. ProgramPascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Orskov, E.R. & M. Ryle. 1990. Energy Nutritionin Ruminant. Elsevier Applied Science,London.

Preston, T.R. & R.A. Leng. 1987. MatchingRuminant Production System with AvailableResources in Tropic. Penambul Book,Armidale.

Russel, J.B. & C.J. Sniffen. 1984. Effect of carbon-4 and carbon-5 volatile fatty acids on growth

of mixed rumen bacteria. J. Dairy Sci. 67:987-994.

Saono, J.K.D. 1984. Pengawetan berbagai Khamirdan Kapang Industri di dalam Ragi KulturTunggal. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Sutardi, T. 1994. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia Melalui Amoniasi Pakan SeratBermutu Rendah, Defaunasi danSuplementasi Sumber Protein TahanDegradasi dalam Rumen. Laporan PenelitianHibah Bersaing 1993/1994. Institut PertanianBogor, Bogor.

Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1981. Principles andProcedures of Statistics. A BiometricalApproach. 2nd Ed. McGraw Hill Kogashusha,Ltd., Tokyo.

Tilley, J.M.A. & R.A. Terry. 1963. Two-stagetechnique for the in vitro digestion of foragecrops. J. British Grassland Soc. 18: 104-110.

Yoon, I.K. & M.D. Stern. 1996. Effects of Saccharomyces cerevisiae and  Aspergillusoryzae cultures on ruminal fermentation indairy cows. J. Dairy Sci. 79:411-417.

Media PeternakanASTUTI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 18/86

 Edisi Desember 2006  133

Pemberian Antanan (Centella asiatica) dan Vitamin C Sebagai Upaya

Mengatasi Efek Cekaman Panas pada Broiler

E. Kusnadia, R. Widjajakusumab, T. Sutardic, P.S. Hardjosworoc & A. Habibied

aJurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Andalas PadangbJurusan Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Insititut Pertanian Bogor

cFakultas Peternakan Insititut Pertanian Bogord Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Gedung Departemen Keuangan Jakarta

(Diterima 17-01-2006; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

High environmental temperatures may cause heat stress in poultry. This may increasewater consumption, decrease feed consumption and in turn, decrease production level. Inaddition, high temperature contributes to oxidative stress, a condition where oxidantactivity (free radicals) exceeds antioxidant activity. In this research, antanan (Centellaasiatica) and vitamin C were utilized as anti heat-stress agents for heat stressed broilers.The research used 120 male broilers of 2 – 6 weeks of age, kept at 31.98 ± 1.94oC poultryhouse temperatures during the day and 27.36 ± 1.31oC at night. The data colected wereanalyzed with a factorial in completely randomized design of 2 x 3 (2 levels of vitamin C,

3 levels of antanan and 4 replications) and continued with contrast-orthogonal test whennecessary. The result indicated that the treatments of 5% antanan (A5), 10% antanan (A10),combination of A5C, and A10C significantly (P<0.05) increased the plasma triiodothyroninehormone from 101 ng/dL to 113, 110, 121, 119 and 126 ng/dL respectively; carcass proteinfrom 16.5% to 17.8%, 19.1%, 19.2%, 17.3% and 18.1%; feed consumption from 2711 g to3026, 3071, 2883, 3156 and 2935 g and body weight gain from 1181 g to 1297, 1347,1254, 1376 and 1330 g. It could be concluded that the combination of addition 5% antananand vitamin C 600 ppm is the most effective as anti heat-stress agent in broilers.

Key words : Centella asiatica, vitamin C, heat stress, broiler 

PENDAHULUAN

Suhu keliling yang tinggi dapat

mengakibatkan terjadinya penimbunan panas

dalam tubuh, sehingga tubuh akan mengalami

cekaman panas. Ayam yang termasuk hewan

homeothermis akan berusaha mempertahankan

suhu tubuhnya dalam keadaan relatif konstan

antara lain melalui peningkatan pernafasan dan

konsumsi air minum serta penurunan konsumsi

ransum. Akibatnya, akan terjadi penurunan

dalam pertumbuhan dan produksi/produktivitas.

Kondisi tersebut nampaknya akan terjadi pada

pemeliharaan ayam broiler di daerah panas yang

suhu lingkungannya dapat mencapai 34oC pada

siang hari, sementara suhu keliling yang nyaman

bagi ayam broiler sekitar 21 – 24oC (Charles,

1981).

Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 133-140ISSN 0126-0472

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 19/86

 Edisi Desember 2006 134

Penelitian Bonnet et al. (1997)

menunjukkan bahwa konsumsi ransum dan

pertambahan bobot badan ayam broiler umur 4

s/d 6 minggu yang dipelihara pada suhu

lingkungan 32oC masing-masing 1470 g dan

515 g. Sementara pada suhu 22oC konsumsi

ransum dan pertambahan bobot badan (PBB)

tersebut masing-masing 2226 g dan 1084 g.

Tingginya suhu lingkungan tersebut, selain

menurunkan asupan nitrogen dan mineral,

ternyata juga menurunkan retensi keduanya. Hal

serupa dibuktikan pula oleh May & Lott (2001)

di mana pertambahan bobot badan ayam broiler

  jantan umur 3 s/d 7 minggu pada suhu 30oCadalah 1869 g, nyata lebih rendah dibandingkan

pemeliharaan pada suhu 22oC yang

pertambahan berat badannya mencapai 2422 g,

sedangkan konversi ransum (konsumsi ransum/ 

PBB) menurun dari 3,28 menjadi 2,54. Artinya

terjadi penurunan efisiensi penggunaan ransum

 jika suhu keliling lebih tinggi.

Penurunan performa ayam pada suhu

keliling tinggi, secara fisiologis dapat dijelaskan

antara lain karena rendahnya sekresi hormontiroid (Geraert et al., 1996), menurunnya

kandungan hemoglobin dan hematokrit darah

(Yahav et al., 1997) serta meningkatnya

pengeluaran beberapa mineral (Belay et 

al.,1992) dan beberapa asam amino (Tabiri et 

al., 2000) dari dalam tubuh. Hormon tiroid

(triiodotironin) berperan dalam meningkatkan

konsumsi oksigen, sehingga metabolisme secara

keseluruhan menjadi naik. Akibatnya

pertumbuhan yang dimulai dari sintesis proteinmenjadi meningkat (Geraert et al., 1996).

Selain itu, cekaman panas dapat

menyebabkan terjadinya stres oksidatif dalam

tubuh, sehingga menimbulkan munculnya

radikal bebas yang berlebihan. Radikal bebas

dapat menimbulkan peroksidasi lemak 

membran, sehingga radikal bebas tersebut dapat

menyerang DNA dan protein (Rahman, 2003).

Penelitian Takahashi & Akiba (1999)

membuktikan bahwa pemberian lemak teroksidasi pada ayam broiler, nyatamenurunkan konsumsi ransum, pertambahanbobot badan, kadar vitamin C dan á-tokoferolplasma. Hal serupa terbukti pula dari stresoksidatif karena pemberian hormonkortikosteron (Taniguchi et al., 1999).

Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi cekaman panas di atas, antara laindengan penambahan vitamin C, E, A danpengaturan suhu lingkungan denganmemperoleh hasil yang beragam. Pemberianbeberapa tanaman obat yang mudah diperoleh,

dapat merupakan alternatif untuk digunakan.Antanan/pegagan (Centella asiatica (L.)

Urban), merupakan salah satu tanaman obatyang memiliki zat aktif asam asiatik  ,

asiatikosida dan asam madekasik yang selainmudah diperoleh, juga sudah terbukti dapatmengatasi stres pada tikus (Kumar & Gupta,2003). Penelitian Shukla et al. (1999)membuktikan bahwa pemberian asiatikosidapada tikus yang luka, selain mempercepatpenyembuhan luka juga terjadi peningkatanbeberapa antioksidan enzimatik dan nonenzimatik pada jaringan yang baru terbentuk.Selain itu, vitamin C yang telah terbukti dapatdigunakan baik untuk mengatasi cekamandingin (Sahin & Sahin, 2002) maupun cekamanpanas pada ayam (Puthpongsiriporn et al., 2001)ternyata terbukti pula bersifat sinergik denganzat aktif antanan (Bonte et al., 1994). Ayammampu mensintesis vitamin C, namun dalamkondisi cekaman, selain kebutuhannya

meningkat, kemampuan mensintesis jugamenurun (Kutlu & Forbes, 1993).

Berdasarkan pemikiran di atas, makadiadakan penelitian tentang “PemberianAntanan (Centella asiatica) dan Vitamin Csebagai Upaya Mengatasi Efek Cekaman Panaspada Broiler”. Pemberian vitamin Cdimaksudkan sebagai pembanding dariperlakuan antanan yang belum diujikan padaayam.

Media PeternakanKUSNADI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 20/86

 Edisi Desember 2006  135

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada ayam broiler

 jantan umur 2 s/d 6 minggu yang dilaksanakan

pada kandang terbuka yang berlokasi di daerah

Bubulak – Bogor. Pada masing-masing sangkar

percobaan diberi lampu pemanas sebesar 40

Watt, yang di atasnya dipasang reflektor yang

terbuat dari seng untuk memantulkan panas.

Hasil pengukuran selama penelitian

menunjukkan bahwa rataan suhu dan

kelembaban pada siang hari 31,98 ± 1,28oC dan

78,82 ± 5,43%, merupakan rerata dari

pengukuran siang (jam 13.00 s/d 14.00) dansore hari (jam 17.00 s/d 18.00). Pada malam

hari, suhu dan kelembaban tersebut masing-

masing 27,36 ± 0,88oC dan 86,23 ± 3,93%,

merupakan rerata dari pengukuran pada malam

(jam 21.00 s/d 22.00) dan pagi hari (jam 05.00

s/d 06.00).

Sebanyak 120 ekor ayam broiler jantan

umur 2 minggu dibagi secara acak dan

ditempatkan pada 24 kandang perlakuan (6

perlakuan dan 4 ulangan), sehingga tiap unit

ulangan ditempati 5 ekor. Perlakuan dalam

penelitian ini meliputi dua 2 faktor; faktor

pertama pemberian vitamin C yakni 0 dan 500

ppm dan faktor kedua pemberian antanan yakni

0%, 5% dan 10%. Pemberian vitamin Csebanyak 500 ppm dan antanan sebesar 5% dan

Tabel 1. Susunan dan kandungan nutrien ransum

Keterangan : 1) hasil perhitungan berdasarkan kandungan nutrien dari NRC (1994) dan hasil analisis di Balitnak 

Ciawi Bogor;2) hasil analisis di Balitbio Bogor.

PEMBERIAN ANTANANVol. 29 No. 3

  Jenis R1 R2 R3

Bahan pakan (%)

Jagung 63,00 57,60 52,35

Bungkil kedelai 17,00 17,00 17,00Tepung ikan 11,20 11,20 11,20

Tepung bulu ayam 4,80 4,80 4,80

Antanan 0,00 5,00 10,00

Minyak kelapa 2,25 3,05 3,50

Dikalsium fosfat 0,10 0,10 0,00

CaCO3 0,90 0,75 0,65

Premix 0,50 0,50 0,50

Total 100,00 100,00 100,00

Nutrien

Energi metabolis (kkal/kg) 3245,02 3222,94 3202,87

Protein (%) 20,84 20,91 20,99Lemak (%) 6,16 6,15 6,96

P (%) 0,65 0,65 0,63

Ca (%) 1,03 1,28 1,02

Serat kasar (%) 2,46 3,28 4,09

Lisina (%) 1,39 1,38 1,36

Metionina (%) 0,51 0,49 0,48

Vitamin C (mg/100 g)2)

20,21 22,92 25,88

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 21/86

 Edisi Desember 2006 136

10%; keduanya didasarkan atas hasil penelitian

pendahuluan sebelumnya. Vitamin C dilarutkan

dalam air minum dan diberikan pada pagi hari.

Agar vitamin C yang diberikan cepat terminum,

maka sekitar 2 jam sebelumnya, ayam tersebut

tidak diberi minum. Antanan sebanyak 5% dan

10% diberikan dalam ransum yang dicampur

bersama bahan lainnya dan diberikan ad libitum.

Oleh karena itu dalam penelitian ini disusun 3

 jenis ransum (iso kalori dan iso protein) dengan

3 kandungan antanan yang berbeda yakni 0%,

5% dan 10%. Susunan dan kandungan nutrien

ransum dapat dilihat pada Tabel 1.

Peubah yang Diukur

1. Hormon triodotironin (T3) plasma diukur

pada umur 4 dan 6 minggu dengan

menggunakan metode radioimmunoasay

(RIA).

2. Protein karkas diukur pada umur 6 minggu.

Karkas yang merupakan gabungan tulang

dan daging diblender hingga hancur dan

homogen. Diambil sampel dan dianalisikadar proteinnya dengan metode makro

Kjeldhal.

3. Konsumsi ransum diukur setiap minggu,

yakni dengan mengurangkan jumlah

ransum yang diberikan dengan ransum sisa.

4. Pertambahan bobot badan diukur setiap

minggu, dengan mengurangkan bobot

badan akhir dengan bobot badan awal.

5. Konversi ransum diamati pada umur 6

minggu dengan membagi konsumsi ransumdengan pertambahan bobot badan.

Analisis Statistik

Rancangan yang digunakan adalah

rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola

faktorial 2x3. Data dianalisa dengan ANOVA,

sedangkan uji lanjut menggunakan uji ortogonal

kontras menurut Steel & Torrie (1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pemberian antanan dan vitamin

C terhadap kandungan hormon triiodotironin

(T3) plasma umur 4 minggu dan 6 minggu

masing-masing dapat dilihat pada Gambar 1

dan 2, sementara terhadap protein karkas,

konsumsi ransum, pertambahan bobot badan

dan konversi ransum dapat dilihat pada Tabel

2.

Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa

kadar T3plasma umur 4 minggu yang berkisar

dari 115 sampai 157, lebih tinggi dibandingkan

pada umur 6 minggu yang berkisar dari 101sampai 126 ng/dL. Hormon T

3dalam tubuh

berfungsi antara lain untuk pertumbuhan

termasuk sintesis protein melalui peningkatan

konsumsi oksigen yang diperlukan untuk 

metabolisme. Tingginya T3

umur 4 minggu

menunjukkan bahwa pertumbuhan pada umur

4 minggu lebih cepat dibandingkan pada umur

6 minggu. Peningkatan kandungan T3plasma,

ternyata sejalan dengan meningkatnya protein

karkas (Tabel 2).Selanjutnya dari analisis keragaman yang

rerata hasil ortogonal kontrasnya ditampilkan

pada Gambar 1 dan 2, dihasilkan bahwa semua

perlakuan dari A5 s/d A10C, nyata

meningkatkan kadar hormon triiodotironin

plasma. Namun antara perlakuan A5, A10, C,

kombinasi A5C dan A10C serta interaksi antara

antanan dan vitamin C tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap kadar hormon

triiodotironin tersebut. Ditinjau dari keefektifan,maka pemberian antanan sebanyak 5% yang

paling efektif dibandingkan perlakuan lainnya.

Kemampuan antanan dalam meningkat-

kan sintesis hormon T3dan protein karkas antara

lain karena antanan mengandung antioksidan

seperti senyawa fenol dan vitamin C yang

mampu mengurangi terjadinya peroksidasi

lemak, terutama asam lemak tidak jenuh pada

membran sel. Baik zat aktif antanan

Media PeternakanKUSNADI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 22/86

 Edisi Desember 2006  137

Gambar 2. Hormon T3 plasma ayam broiler jantan umur 6 minggu yang diberi antanan 0% (K), 5%

(A5),10% (A10) dan vitamin C500 ppm (C) serta kombinasi A5C dan A10C

101a 

113b 

Gambar 1. Hormon T3 plasma ayam broiler jantan umur 4 minggu yang diberi antanan 0% (K), 5%

(A5),10% (A10) dan vitamin C500 ppm (C) serta kombinasi A5C dan A10C

115a 

145b  136

b  139

157b 

126b 

0

40

80

120

160

   T   3  p   l  a  s  m  a   (  n  g   /   d   L   )

K A5 A10 C A5C A10C

Perlakuan

(asiatikosida, madekasid dan asam asiatik) yang

tergolong fenol maupun vitamin C, keduanya

memiliki gugus hidroksil yang mudah

teroksidasi, sehingga keduanya dengan mudah

mampu mendonorkan elektron dan hidrogen

terhadap radikal bebas (Sediaoetama, 1987;

Bonte et al., 1994; Pietta, 2000). Akibatnya

radikal bebas yang semula memilki elektrontidak berpasangan menjadi stabil, namun di sisi

lain baik senyawa aktif antanan maupun vitamin

C mengandung radikal bebas. Proses peredaman

radikal bebas yang terbentuk dapat terjadi

melalui kerja antioksidan lainnya sehingga

DNA dan protein relatif kurang terganggu dari

serangan radikal bebas. Peroksidasi lipida,

selain dapat menurunkan antioksidan dalam sel,

 juga dapat meningkatkan jumlah radikal bebas

endogenous serta eksogenous yang dapatterserangnya DNA dan protein. Akibatnya dapat

terbentuk antara lain 8-hidroksi guanin, protein

PEMBERIAN ANTANANVol. 29 No. 3

101a 

113b  110

121b  119

126b 

0

40

80

120

160

   T   3  p   l  a  s  m  a   (  n  g   /   d   L   )

K A5 A10 C A5C A10C

Perlakuan

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 23/86

 Edisi Desember 2006 138

Tabel 2. Protein karkas, konsumsi ransum, PBB dan konversi ransum ayam broiler jantan umur 2 - 6

minggu yang diberi antanan 0% (K), 5% (A5), 10% (A10) dan vitamin C500 ppm (C) serta

kombinasi A5C dan A10C

Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05);

pengukuran protein karkas dilakukan pada akhir penelitian (umur 6 minggu).

  PerlakuanPeubah

K A5 A10 C A5C A10C

Protein karkas

(%)

Konsumsi

ransum (g/ekor)

PBB (g)

Konversi

ransum

16,5±1,0a 

2711±196a 

1181±66a 

2,30±0,16

17,8±0,4b 

3026±22b 

1297±113b 

2,35±0,31

19,1±1,2b 

3071±148b 

1347±112b 

2,42±0,30

19,2±1,2b 

2883±362b 

1254±35b 

2,30±0,23

17,3±0,8b 

3156±247b 

1376±135b 

2,31±0,32

18,1±1,0b 

2935±198b 

1330±100b 

2,22±0,29

karbonil serta hidroksileusin, yang tentunya

akan mengganggu pertumbuhan (Yoshikawa &

Naito, 2002).

Selain itu, dilaporkan bahwa antanan

terbukti mampu menurunkan katabolisme

protein, terlihat dari menurunnya kandungan

senyawa epineprin, norepineprin, dopamin danserotonin pada otak tikus yang diberi ektrak 

antanan (Nalini et al., 1992). Oleh karena itu

dapat dipahami kalau dalam penelitian ini terjadi

peningkatan dalam kandungan protein karkas,

yang menunjukkan adanya peningkatan pula

dalam sintesis protein.

Tabel 2 menunjukkan bahwa konsumsi

ransum ayam selama 4 minggu (umur 2 s/d 6

minggu) pada kontrol adalah 2711 g, nyata

(P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan A5,A10, C, A5C dan A10C masing-masing adalah

3026, 3071, 2883, 3156 dan 2935 g; sementara

antara A5 s/d A10C500 tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata. Hal serupa terjadi pula

pada pertambahan bobot badannya. Namun

tidak terjadi pada konversi ransum di mana

kontrol adalah 2,30; tidak berbeda nyata

dibandingkan A5 (2,35), A10 (2,42), C (2,30),

A5C (2,31) dan A10C (2,22). Begitu pula

dengan interaksi antara antanan dan vitamin C,

tidak memberikan pengaruh yang nyata baik 

terhadap konsumsi ransum, PBB dan konversi

ransum. Hal ini berarti sejalan dengan kadar

hormon triiodotironin bahwa pemberian antanan

5% lebih efektif dalam mempengaruhi

konsumsi ransum dan pertambahan bobotbadan. Bila diperhatikan lebih lanjut, ternyata

kombinasi antanan 5% dengan vitamin C 500

ppm cenderung meningkatkan PBB, walaupun

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

dibandingkan perlakuan lainnya.

Hasil di atas membuktikan bahwa antanan

dan vitamin C telah berperan dengan baik 

sebagai antioksidan, sehingga mampu

mengatasi turunnya konsumsi ransum dan

pertambahan bobot badan pada kondisicekaman. Hasil ini sejalan dengan penelitian

Anim et al. (2000) pada ayam dan Sharma &

Sharma (2002) pada tikus yang mengalami

cekaman. Antanan mengandung antioksidan

antara lain senyawa fenol, yang mampu

menghentikan/mengurangi proses stres

oksidatif (Blokhina, 2000). Selain itu,

pemberian antanan dan vitamin C terbukti

mampu meningkatkan sintesis protein, serta

Media PeternakanKUSNADI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 24/86

 Edisi Desember 2006  139

mengurangi katabolisme protein yang banyak 

menghasilkan panas. Akibatnya individu akan

merasa lebih nyaman (tidak dalam kondisi

tercekam). Kenyamanan akan merangsang pusat

lapar yang berada di hipotalamus sementara

pusat haus dihambat, selain itu juga merangsang

TSH (thyroid stimulating hormone) di

hipotalamus, sehingga kelenjar tiroid akan

meningkatkan sekresi hormon tiroid baik 

tiroksin (T4) maupun triiodotironin (T

3). Hal ini

akan meningkatkan konsumsi ransum,

metabolisme secara umum melalui peningkatan

konsumsi oksigen serta pertambahan bobot

badan (Cooper & Washburn, 1998).

KESIMPULAN

Pemberian antanan dan vitamin C dari

umur 2 s/d 6 minggu dapat meningkatkan kadar

hormon triiodotironin plasma, kadar protein

karkas, konsumsi ransum dan pertambahan

bobot badan pada ayam broiler yang mengalami

cekaman panas, tetapi tidak memperbaiki

efisiensi penggunaan ransum. Kombinasipemberian antanan sebanyak 5% dalam ransum

dan vitamin C cenderung paling efektif 

digunakan dalam mengatasi cekaman panas

pada ayam broiler.

DAFTAR PUSTAKA

Anim, A.J., P.Y. Lin, D. Hester, B.A. Thiagarajan,Watkins & C.C. Wu. 2000. Ascorbic acidsupplementation improved antibody response

to infectious bursal disease vaccination inchickens. Poultry Sci. 79: 680-688.

Belay, T., C.J.Wiernusz & R.G. Teeter. 1992.Mineral balance and urinary and fecal mineralexcretion profile of broilers housed inthermoneutral and heat-distressedenvironments. Poultry Sci. 71: 1043 – 1047.

Blokhina, O. 2000. Anoxia and oxidative stress:Lipid peroxidation, mitochondrial functionsin plants antioxidant status and mitochondrialfunctions in plants. http://thesis,helsinki.fi/ 

  j u l k a i s u t / m a t / b i o t i / v k / b l o k h i n a /  anoxiaan.html. [20 Desember 2003].

Bonnet, S., P.A. Geraert, M. Lessire, M.B. Cerre& S. Guillaumin. 1997. Effect of highambient temperature on feed digestibility in

broilers. Poultry Sci. 76:857-863Bonte, F., M.Dumas, C.Chaudagne & A.

Meybeck. 1994. Influence of asiatic acid,madecassic acid, and asiaticoside on humancollagen I synthesis. Planta Med. 60: 133 –135.

Charles, D.R. 1981. Practical ventilation andtemperature control for poultry. In: J.A.Clark (Ed.). Environmental Aspects of Housing forAnimal Production. University of Nottingham, Butterworths, London.

Cooper, M.A. & K.W. Washburn. 1998. The

relationship of body temperature to weightgain, feed consumption, and feed utilizationin broilers under heat stress. Poultry Sci.77:237-242.

Geraert, P.A., J.C.F. Padilha & S.Guillaumin.1996. Metabolic and endocrine changes bychronic heat exposure in broiler chickens:biological and endocrinological variables. Br.J. Nutr.75:205-216.

Kumar, V.M.H. & Y.K. Gupta. 2003. Effect of Centella asiatica on cognition and oxidativestress in an intracerebroventricular

streptozotocin model of Alzheimers diseasein rat. Clin Exp Pharmacol Physiol 30:336-342.

Kutlu, H.R. & J.M. Forbes. 1993. Changes ingrowth and blood parameters in heat-stressedbroiler chicks in response to dietary ascorbicacid. Livestock Prod Sci 36: 335 – 350.

May, J.D. & B.D. Lott . 2001. Relating weight gainand feed:gain of male and female broilers torearing temperature. Poultry Sci 80: 581-58444.

Nalini, K., A.R. Aroor, K.S. Karanth & A.Rao.1992. Effect of  Centella asiatica fresh leaf aqueous extract on learning and memory andbiogenic amine turover in albino rats.Fitoterapia 63: 232 – 237.

NRC (Nutritional Research Council). 1994.Nutrient Requirement of Poultry. 9th Rev. Ed.National Academy Press, Washington DC.

Pietta, P.G. 2000. Flavonoids as antioxidants.Reviews. J Nat Prod 63: 1035-1042.

Puthpongsiriporn, U., S.E. Scheideler, J.L.Sell &M.M. Beck. 2001. Effects of vitamin E andC supplementation on performance, in vitrolymphocyte proliferation, and antioxidant

PEMBERIAN ANTANANVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 25/86

 Edisi Desember 2006 140

status of laying hens during heat stress.Poultry Sci 80: 1190-1200.

Rahman, I. 2003. Oxidative stress, chromatin

remodelling and gene transciption ininflammation and chronic lung desease.J.Biochem. Mol. Biol. 36: 95-109.

Sahin, K. & N.Sahin. 2002. Efect of chromiumpicolinate and ascorbic acid dietarysupplementation on nitrogen and mineralexcretion of laying hens reared in low ambienttemperature (7oC). Acta Vet Brno 71 : 183-189.

Sediaoetama, A.D. 1987. Vitaminologi. BalaiPustaka, Jakarta.

Sharma, J. & R. Sharma. 2002. Radioprotectionof Swiss albino mouse by Centella asiaticaextract. Phytother Res 16: 785 – 786.

Shukla, A., A.M. Rasik & B.N. Dhawan. 1999.Asiaticoside-induced elevation of antioxidantlevels in healing wounds. Phytotherapy-Research 13: 50-54.

Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1980. Principles andProcedures of Statistic. 2nd Ed.. Graw-Hall,Book Comp, New York.

Tabiri, H.Y., K. Sato, K. Takahashi, M.Toyomizu& Y. Akiba. 2000. Effects of acute heat stresson plasma amino acids concentration of broiler chickens. Japan Poult Sci 37: 86-94.

Takahashi, K. & Y. Akiba. 1999. Effect of oxidizedfat on performance and some physiologicalresponses in broiler chickens. J Poult Sci 36:304-310.

Taniguchi, N., A. Ohtsuka & K. Hayashi. 1999.Effect of dietary corticosteron and vitamin Eon growth and oxidative stress in broilerchickens. Anim.Sci.J 70:195-200.

Yahav, S., A.Straschnow, I. Plavnik & S. Hurwitz.1997. Blood system response of chickens tochanges in environmental temperature.Poultry Sci 76: 627 – 633.

Yoshikawa, T. & Y. Naito. 2002. What is oxidativestress ? JMAJ, 45: 271-276.

Media PeternakanKUSNADI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 26/86

 Edisi Desember 2006  141

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH

dan hCG pada Induk Sapi Potong

E.M. Kaiin & B.TappaPusat Penelitian Bioteknologi LIPI

Jl. Raya Bogor km.46 Cibinong 16911Telp. 021-8754587, [email protected]

(Diterima 22-02-2006; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

The aim of this study was to evaluate the effect of superovulation treatment usingcombination of CIDR, FSH and hCG in beef cattle as donor embryos using MOETprogramme. All animals had been palpated to evaluated the ovary status and normal cowswere used as donor and synchronized with CIDR (Eazy BreedTM ). At day 10 of oestruscycle, cows were divided into two groups, first group: cows were injected intramuscularlywith FSH (Antrin) 40 IU per cow with decreasing doses (for 4 days) and second groupcows were treated the same way but at day 5 after FSH injection, they were injectedintramuscularly with 1,500 IU hCG (Chorulon). Embryo collection was done at day 7 afterArtificial Insemination (AI). Average number of corpora lutea (CL) in animals that

superovulated with CIDR, FSH and hCG was significantly higher (P<0.05) compared toanimals treated with CIDR and FSH only (5.52). Average number of embryo collectionand number of transferable embryos were also higher in group treated with hCG (6.00 vs5.44) compared with those treated without hCG (4.33 vs 3.17). The conclusion is hCGsuperovulation injection with CIDR and FSH can increase the respon of superovulation.

Key words : superovulation, CIDR, FSH, hCG, beef cattle

PENDAHULUAN

Salah satu masalah utama dalam programtransfer embrio adalah tingginya variabilitasrespon terhadap superovulasi pada induk donor.Padahal kuantitas dan kualitas embrio donorsangat berpengaruh terhadap keberhasilantransfer embrio. Superovulasi merupakan kuncikeberhasilan transfer embrio dan tidak hanyaditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan

  jumlah embrio yang diperoleh, tetapisuperovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai

faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi

respon superovulasi pada induk donor, faktoryang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitasembrio serta faktor yang berhubungan denganmanajemen induk donor.

Hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalahFollicle Stimulating Hormone (FSH) yangberasal dari hipofisa. FSH merupakan hormonglikoprotein yang mempunyai waktu paruhyang pendek, sehingga memerlukan pemberiansecara berulang untuk merangsang aktivitas

Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 141-146ISSN 0126-0472

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 27/86

 Edisi Desember 2006 142

folikel secara lebih efisien. Berbagai penelitian

pengaruh pemberian hormon terhadap respon

superovulasi pada induk donor telah dilakukan

yaitu dengan menggunakan PMSG, FSH

Ovagen, FSH-PTM (FSH from pituitary) baik 

pada sapi potong maupun sapi perah (Tappa et 

al., 1994a; 1997).

Pemakaian CIDR yang mengandung

hormon progesteron efektif dilakukan untuk 

proses sinkronisasi siklus estrus pada sapi perah.

Selain itu, kombinasi penggunaan CIDR dengan

penyuntikan hormon prostaglandin ( )

secara nyata dapat meningkatkan jumlah sapi

yang standing pada saat estrus (Vargas et al.,1994). Pemberian hCG pada proses

superovulasi dengan FSH dilaporkan dapat

menghasilkan lebih banyak embrio layak 

transfer walaupun tidak berbeda secara nyata

dari kontrol (Armstrong, 1993).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

respon superovulasi dari kombinasi perlakuan

superovulasi dengan menggunakan CIDR-FSH

dan kombinasi perlakuan CIDR-FSH-hCG pada

induk sapi potong yang digunakan sebagaiinduk donor embrio.

MATERI DAN METODE

Persiapan Ternak

Sapi potong betina Brangus dengan

umur yang bervariasi (4-5 tahun) digunakan

sebagai induk donor dalam program transfer

embrio. Sebelum digunakan, semua induk 

diperiksa keadaan ovarinya dengan cara palpasi

rektal. Induk sapi dengan keadaan ovari dan alat

reproduksi normal digunakan dalam penelitian

ini.  Body Condition Score induk-induk sapi

yang digunakan dalam penelitian sebesar 2,5

sampai 3,5. Induk sapi dikelompokkan secara

acak menjadi dua kelompok perlakuan yaitu :

pertama, kombinasi perlakuan CIDR-FSH dan

kedua, kombinasi perlakuan CIDR-FSH dan

hCG.

Superovulasi

Induk sapi pada kelompok pertama (n=

25) disinkronisasi berahinya dengan mengguna-

kan CIDR (Eazi BreedTM). Pada hari ke-10

setelah pemasangan CIDR, induk disuntik 

dengan FSH (Antrin) dosis total 40 IU/20 ml

pelarut per ekor secara intramuskular dengan

dosis menurun sebanyak delapan kali (selama

4 hari berturut-turut). Pemberian FSH dilakukan

sebanyak dua kali sehari (pada pagi dan sore

hari). Pada hari pertama diberikan masing-

masing 4 ml, hari kedua sebanyak 3,5 ml dan

2,5 ml, hari ketiga sebanyak 2 ml dan 1,5 ml,sedangkan pada hari keempat diberikan

sebanyak 1,5 ml dan 1 ml, sehingga total

volume mencapai 20 ml (Tappa et al., 1994b).

Penyuntikan 15 mg per ekor (Prosolvin,

Intervet) dilakukan pada hari ke-3 penyuntikan

FSH, sedangkan pencabutan CIDR dilakukan

pada hari ke-4 penyuntikan FSH dan inseminasi

buatan (IB) sebanyak 2 kali dilakukan pada hari

ke-5 setelah penyuntikan FSH yang pertama.

Koleksi embrio dengan cara tanpa operasidilakukan pada hari ke-7 setelah IB. Koleksi

embrio dilakukan dengan menggunakan media

Ringer Laktat + 1% Calf Serum (CS).

Pada kelompok kedua (n=12),

pemasangan CIDR dan penyuntikan FSH

dilakukan dengan program yang sama dengan

kelompok pertama. Penyuntikan hCG

(Chorulon, Intervet) dengan dosis 1500 IU/ekor

secara intra muskular dilakukan pada hari yang

sama dengan IB. Inseminasi dilakukan dengan

menggunakan straw semen beku sapi Brangus.

Analisis Statistik

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah

korpus luteum (CL), jumlah embrio hasil

koleksi dan jumlah embrio yang layak transfer.

Data pengamatan dianalisa secara statistik 

dengan menggunakan uji X2 (Steel & Torie,

1993).

Media PeternakanKAIIN & TAPPA

PGF2α 

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 28/86

 Edisi Desember 2006  143

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon induk sapi donor terhadap

perlakuan superovulasi dengan kombinasi

CIDR-FSH dan CIDR-FSH-hCG dapat dilihat

pada Tabel 1. Hanya 17 ekor induk sapi saja

(68%) yang memberikan respon terhadap

perlakuan superovulasi dari 25 ekor yang

diperlakukan dengan CIDR-FSH, sedangkan

pada perlakuan CIDR-FSH-hCG dari 12 induk 

yang disuperovulasi terdapat 11 ekor (91,7%)

yang respon terhadap superovulasi. Rata-rata

 jumlah korpus luteum (CL) per induk pada sapi

yang disuperovulasi dengan kombinasi CIDR-FSH-hCG adalah sebesar 7,33 dan hasil tersebut

lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dibandingkan

dengan perlakuan CIDR-FSH yaitu sebesar 5,52

CL per induk.

Jumlah embrio hasil koleksi dan jumlah

embrio yang layak transfer dirangkum pada

Tabel 2. Embrio hasil koleksi pada perlakuan

CIDR-FSH lebih banyak dikoleksi embrio pada

tahap perkembangan morula (45,12%)

dibandingkan dengan embrio tahapperkembangan blastosis (20,73%). Hal yang

serupa juga terjadi pada perlakuan CIDR-FSH-

hCG yaitu menghasilkan morula sebanyak 30

embrio (45,45%) dan blastosis sebanyak 16

embrio (24,24%). Kedua perlakuan

menunjukkan bahwa embrio yang tidak layak 

transfer yaitu embrio yang mengalami

degenerasi atau embrio yang tidak mencapai

tahap morula atau blatosis masing-masing

34,15% untuk perlakuan CIDR-FSH dan

30,30% untuk perlakuan CIDR-FSH-hCG.

Walaupun tidak ada perbedaan yang nyata,

perlakuan CIDR-FSH-hCG menghasilkan rata-

rata embrio hasil koleksi lebih banyak (6,00

embrio per induk) dibandingkan dengan

perlakuan FSH-CIDR saja (4,33 embrio per

induk). Rata-rata jumlah embrio yang layak 

transfer per induk pada perlakuan CIDR-FSH-

hCG lebih tinggi (5,44 embrio per induk)

dibandingkan dengan perlakuan CIDR-FSH

saja (3,17 embrio per induk). Kisaran embrio

layak transfer pada perlakuan CIDR-FSHadalah 0 sampai 16 embrio per induk, sedangkan

pada perlakuan CIDR-FSH-hCG berkisar antara

0 sampai 13 embrio layak transfer per induk.

Penggunaan CIDR untuk sinkronisasi

estrus sapi Holstein telah dilakukan di Jepang

oleh Vargas et al. (1994) dan menghasilkan

sebanyak 90,7% induk estrus dan 63,3% induk 

bunting sebagai respon terhadap penggunaan

CIDR. Penelitian tersebut juga menunjukkan

bahwa penyuntikan pada saat penca-butan CIDR tidak berpengaruh terhadap

persentase kebuntingan, tetapi berpengaruh

secara nyata terhadap peningkatan kejadian

standing estrus dan jumlah CL yang dihasilkan

yaitu rata-rata per induk sebesar 3,1.

FSH berfungsi merangsang pertumbuhan

folikel yang muda menjadi matang, sehingga

dapat diovulasikan dan siap difertilisasi setelah

Tabel 1. Pengaruh kombinasi perlakuan superovulasi terhadap jumlah sapi respon dan korpus luteum

Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

  Perlakuan Jumlah sapi

(n)

Jumlah sapi respon

n (%)

Jumlah korpus luteum

(rata-rata per induk)

CIDR-FSH 25 17 138

(68)a

(5,52 ± 3,41)a 

CIDR-FSH-hCG 12 11 88

(91,7)b

(7,33 ± 2,32)b 

INDUKSI SUPEROVULASIVol. 29 No. 3

PGF2α 

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 29/86

 Edisi Desember 2006 144

inseminasi. Penyuntikan pFSH (pituitary FSH)

dengan dosis menurun dan pada 48 jam

sesudahnya diberi pada sapi Holstein

 juga menghasilkan jumlah embrio hasil koleksi

dan jumlah embrio layak transfer yang lebih

tinggi dibandingkan dengan penyuntikan

tunggal (Takedomi et al., 1993). Dhanani et al.

(1991) melakukan penyuntikan FSH terhadap

sapi Brahman menghasilkan jumlah CL rata-rata

sebesar 10,6 per induk, jumlah embrio koleksi

sebanyak 7,2 dan jumlah embrio layak transfersebanyak 5,5 embrio per induk. Hasil ini lebih

tinggi dari hasil yang diperoleh pada penelitian

ini yang juga menggunakan sapi potong

Brangus, tetapi superovulasi dengan FSH pada

sapi Bali menghasilkan rata-rata CL 5,3 per ekor

dan embrio terkoleksi sebanyak 12 embrio

(Triyono et al., 1995). Deyo et al. (2001)

menggunakan CIDR-BTM pada sapi Holstein

dan disuperovulasi dengan FSH (Folltropin)

menghasilkan rata-rata jumlah embrio sebesar2,9 dan embrio layak transfer sebesar 1,8 per

induk.

Penyuntikan FSH Antrin dosis 7,5 mg/ 

ekor pada sapi Holstein menghasilkan CL rata-

rata sebesar 3,1 per ekor (Kojima et al., 1995).

CL yang diperoleh pada penelitian ini lebih

banyak yaitu 5,5 sampai 7,3 per ekor pada sapi

Brangus. Penggunaan FSH untuk superovulasi

pada sapi perah Hongarian dosis 36 mg dengan

dosis pemberian menurun selama 4 hari

menghasilkan rata-rata jumlah CL 6,0 dan

  jumlah embrio terkoleksi sebanyak 5,6 dan

  jumlah embrio layak transfer sebanyak 5,2

embrio pada program pertama superovulasi,

tetapi jumlah tersebut menurun setelah

disuperovulasi untuk yang keempat kalinya

(Tappa et al., 1994a). Profil hormon progesteron

pada waktu superovulasi dengan hormon FSH

tidak berpengaruh terhadap jumlah embrio,

tetapi berpengaruh sangat positif dengan kondisi

estrus (Tappa et al., 1993). Pengukuran profilhormon estrogen dan progesteron pada

penelitian ini tidak dilakukan.

Hormon hCG merupakan glikoprotein

yang berfungsi mencegah involusi normal sel-

sel korpus luteum sehingga sel-sel korpus

luteum mensekresikan lebih banyak hormon

progesteron dan estrogen serta menyebabkan

endometrium terus tumbuh dan menyimpan

nutrisi. Hormon hCG juga mempunyai aktivitas

biologi serupa dengan “luteinizing hormone,LH”. Pemberian hCG menyebabkan sekresi

progesteron dan induksi perkembangan korpus

luteum, serta memperpanjang waktu CL

(Nishigai et al., 2001).

Perlakuan CIDR dan FSH menghasilkan

kadar hormon LH yang secara alami terdapat

pada tubuh induk sapi donor kurang mencukupi

untuk mengovulasikan lebih banyak sel telur,

sehingga jumlah CL dan jumlah embrio yang

diperoleh lebih sedikit. Sebaliknya dengan

Tabel 2. Pengaruh kombinasi perlakuan superovulasi terhadap kualitas dan kuantitas embrio hasil koleksi

  Status embrio hasil koleksiPerlakuan

(n induk)

Morulan (%)

Blastosisn (%)

Degenerasin (%)

Total

n (rata-rata perinduk)

Jumlah embrio

layak transfer

(rata-rata perinduk)

37 17 28 82 54CIDR-FSH

(17) (45,12) (20,73) (34,15) (4,33±4,58) (3,17±4,02)

30 16 20 66 46CIDR-FSH-hCG

(11) (45,45) (24,24) (30,30) (6,00±6,60) (5,44±4,49)

Media PeternakanKAIIN & TAPPA

PGF2α 

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 30/86

 Edisi Desember 2006  145

adanya penyuntikan hCG yang mempunyai

aktivitas biologi serupa LH terhadap induk sapi

donor, menyebabkan lebih banyak sel telur yang

dapat diovulasikan pada perlakuan

superovulasi. Hal tersebut diduga merupakan

penyebab perlakuan superovulasi kombinasi

CIDR, FSH dan hCG menghasilkan rata-rata

  jumlah CL dan jumlah embrio layak transfer

lebih baik dari perlakuan CIDR dan FSH saja.

KESIMPULAN

Penyuntikan hCG pada proses

superovulasi dengan menggunakan kombinasiCIDR dan FSH menyebabkan peningkatan

respon superovulasi dan jumlah CL yang

terbentuk pada induk sapi donor Brangus secara

nyata. Selain itu juga meningkatkan jumlah CL

yang terbentuk, jumlah embrio terkoleksi dan

 jumlah embrio yang layak transfer.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikankepada Unit Peternakan Tri ‘S’ Tapos yang telah

mengijinkan kami untuk menggunakan fasilitas

dan menyediakan sapi donor. Juga kepada H.

Yanwar, Hendri dan H. Parjan yang telah

membantu pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, D.T. 1993. Recent advances insuperovulation of cattle. Theriogenology 39-7-24.

Deyo, C.D., M.G. Colazo, M.F. Martinez & R.J.Mapletoft. 2001. The use of GnRH or LH tosynchronize follicular wave emergence forsuperovulation in cattle. Theriogenology 55(1) : 513. (Abstract).

Dhanani, J.D. Jillella & P.J. Chenoweth. 1991.Prediction of response to superovulationtreatment in Bos indicus cattle by plasmaprogesterone estimation. Theriogenology 35(1) : 165. (Abstract).

Kojima, T., M. Shimizu & T. Tomizuka. 1995.Effect of administration with low-dose FSHto recipient cows on embryonic survival after

bilateral nonsurgical embryo transfer. J.of Reprod.and Develop. 41 (4) : 277 – 286.Nishigai, M., A. Takamura, H. Kamomae, T.

Tanaka & Y. Kaneda. 2001. The effect of human chorionic gonadotrophin on thedevelopment and function of bovine corpusluteum. J.of Reprod.and Develop. 47 (5) :283- 294.

Steel, R.G.D & J.H. Torrie. 1993. Prinsip danProsedur Statistika. PT. Gramedia, Jakarta.

Takedomi, T., Y. Aoyagi, M. Konishi, H. Kishi,K. Taya, G. Watanabe & S. Sasamoto. 1993.Superovulation in Holstein heifers by a singleinjection of porcine FSH dissolved inpolyvinylpyrrolidone. Theriogenology39:327. (Abstract).

Tappa, B., E.M. Kaiin & S. Said. 1993. Hubunganprofil hormon progesteron dengan jumlahovulasi dan kualitas embrio pada sapi perahyang disuperovulasi. Prosiding PertemuanIlmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi dalamBidang Industri, Pertanian dan Lingkungan,Jakarta. Hal. 357-362.

Tappa, B., E.T. Margawati & E.M. Kaiin. 1994a.Kelahiran anak sapi perah dari sapi pedaging

hasil transfer embrio. Prosiding SeminarNasional Sains dan Teknologi Peternakan,Bogor. Hal. 177-182.

Tappa, B., E.M. Kaiin, S. Said & M. Suwecha.1994b. Response of dairy cows treated withrepeated superovulation and embryo recovery.Proceeding of 7th AAAP Animal ScienceCongress. Bali. P. 19-20.

Tappa, B., M. Soewecha, S. Said, E.M. Kaiin, &F. Afiati. 1997. Over 5 years study insuperovulation of dairy and beef cows usingFSH-Ovagen and FSH-P during embryo

transfer. 4th International Meeting onBiotechnology in Animal Reproduction,Bogor.

Triyono, B., S. Said, E.M. Kaiin & B. Tappa.1995.Produksi embrio dan anak sapi Bali dari hasilsuperovulasi dan transfer embrio di Bengkulu.Seminar Hasil Penelitian dan PengembanganBioteknologi II. Cibinong.

Vargas, R.B., Y. Fukui, A. Miyamoto & Y.Terawaki. 1994. Estrus synchronizationusing CIDR in heifers. J.of Reprod.andDevelop. 40 (1):59- 64.

INDUKSI SUPEROVULASIVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 31/86

 Edisi Desember 2006 146

Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap Konsumsi

dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing

T. Toharmat, E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, T. Q. Noerzihad,N.A. Sigit & Y. Retnani

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPBJl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680

(Diterima 06-04-2006; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

Fibrous feeds vary in their physical properties. The experiment aimed to clarify theeffect of physical properties of fibrous component in rations on feed intake and nutrientdigestibility in goats. Rations were composed of 50% fibrous feed and 50% concentrate.The fibrous feed as treatments were as follows: napier grass (RG), rice straw (JP), cocoapod (KC), mixed rice straw and coffee husk (JK), mixed napier grass, rice straw, coffeehusk, and cocoa pod (CP). Rations were offered to four groups of 20 Etawah-grade goatsweighing of 13.50±2.14 kg in a randomized block design. Physical properties of the fibrouscomponents of ration and faeces, nutrients intake and digestibility and daily life weightgain were evaluated. Analysis of variance and correlation were applied to analyze data.

Dry matter intake varied from 298-440 g/day. Goats offered KC ration had the highestintake. Low feed intake was associated with the low density of the fibrous component.Dietary fat digestibility decreased when the fibrous feed component had low capacity of oil adsorption. Young goats had life weight gain of 50-136 g/day, TDN requirement formaintenance and 50 g daily gain of 63.4 g and 131 g TDN, respectively. The results indicatedthat physical properties of fibrous component in the rations influenced dry matter intakeand nutrients digestibility in growing goats.

Key words : physical properties, intake, nutrient, digestibility, goat 

PENDAHULUAN

Rumput dan sebagian hasil ikutan industri

pertanian merupakan pakan kaya serat. Pakan

kaya serat mempunyai sifat fisik yang bervariasi

dan dapat berpengaruh terhadap tingkat

konsumsi dan kecernaannya. Keambaan bahan

pakan dan ketahanan potong merupakan sifat

fisik pakan kaya serat yang berkaitan erat

dengan kadar komponen serat dinding sel dan

kecernaan bahan tersebut (Herrero et al., 2001).

Ketahanan partikel terhadap proses pencernaan

dan ukuran partikel pakan kaya serat yang

dikonsumsi dapat mempengaruhi kondisi rumen

dan produk fermentasi (Le Liboux & Peyraud,

1999).

Diketahui bahwa bahan yang mengan-

dung serat kasar tinggi pada ternak monogastrik 

Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 146-154ISSN 0126-0472

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 32/86

 Edisi Desember 2006  147

mempunyai kecernaan lemak yang tinggi

(Sosulski & Cadden, 1982). Interaksi komponen

serat dengan kecernaan komponen lemak pakan

pada ternak ruminansia belum banyak diketahui.

Sementara lemak atau minyak digunakan

sebagai suplemen pada ternak ruminansia.

Selain itu, lemak termasuk bentuk sabunnya

sangat potensial digunakan sebagai suplemen

sumber asam lemak dalam upaya meningkatkan

kualitas susu (Adawiah, 2005).

Penelitian ini dirancang untuk mengkaji:

(1) sifat fisik beberapa pakan kaya serat hasil

samping industri pertanian, dan (2) hubungan

sifat fisik pakan dengan kecernaan nutrien padaternak ruminansia dengan ransum berbasis

bahan pakan kaya serat hasil samping industri

pertanian pada kambing peranakan Etawah.

MATERI DAN METODE

Kajian Sifat Fisik

Kajian kerapatan, berat jenis, daya ikat air

dan daya ikat lemak telah dilakukanmenggunakan metoda Lopez et al. (1996) yang

dimodifikasi. Kajian dilakukan pada bahan

pakan kaya serat yaitu rumput gajah, jerami

padi, kulit buah kopi dan kulit buah coklat serta

pada feses kambing percobaan. Bahan yang

digunakan telah dikeringkan dan digiling

menggunakan saringan 2 mm. Pengamatan

setiap sifat fisik dilakukan secara triplo.

Kandungan bahan kering, serat kasar, ADF dan

lemak bahan pakan kaya serat disajikan dalam

Tabel 1.

Kerapatan bahan ditentukan dengan

memasukkan sampel pakan ke dalam gelas ukur

250 ml. Kerapatan jenis langsung (direct

density) ditentukan dengan menggoyang-

goyangkan gelas ukur secara perlahan sehingga

seluruh ruang terisi dengan baik, sedangkan

kerapatan jenis curah (bulk density) ditentukan

dengan memberikan beban 5 kg pada

permukaan bahan dalam gelas ukur selama ± 1

menit hingga tidak terjadi perubahan volume.Volume sampel dalam gelas ukur diamati dan

bahan ditimbang. Kerapatan jenis langsung

(KJL) atau kerapatan jenis curah (KJC)

ditentukan dengan rumus: KJL (g/ml) atau KJC

(g/cm3) = berat/volume.

Berat jenis ditetapkan dengan memasukan

25 g sampel ke dalam gelas ukur 250 ml,

kemudian ditambahkan aquades 200 ml dan

didiamkan selama 1 jam. Berat jenis (BJ)

dihitung dengan rumus: BJ (g/cm3

) = beratbahan/(volume aquades dan bahan – volume

aquades).

Daya ikat air diukur dengan memasukkan

300 mg bahan dan 10 ml aquades ke dalam

tabung reaksi yang telah ditimbang. Campuran

didiamkan selama 1 jam, kemudian disentrifuge

selama 10 menit pada 3000 rpm. Filtrat dibuang

Tabel 1. Kandungan bahan kering, serat kasar, ADF dan lemak bahan pakan kaya serat penyusunransum percobaan

Keterangan: 1) Bahan kering sampel saat pengujian sifat fisik.

  Bahan pakan BK1)

 

(%)

Serat kasar

(%BK)

ADF

(%BK)

Lemak kasar

(%BK)

Rumput gajah 88,51 45,67 49,98 3,25

Jerami padi 89,22 35,38 52,59 3,95

Kulit buah coklat 85,31 21,36 36,94 4,71

Kulit buah kopi 85,77 35,45 53,26 4,12

Media PeternakanTOHARMAT ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 33/86

 Edisi Desember 2006 148

dan tabung dibalikkan selama 15 menit,

kemudian ditimbang dan dikeringkan beserta

isinya di dalam oven pada suhu 1050C selama

24 jam. Setelah pengeringan tabung beserta

isinya ditimbang kembali.

Daya ikat lemak ditentukan dengan

memasukkan 1 g sampel dan 6 ml minyak 

  jagung atau minyak sawit ke dalam tabung

reaksi yang telah ditimbang. Campuran dikocok 

5 menit sekali hingga 30 menit, kemudian

disentrifuge selama 10 menit pada 3000 rpm.

Minyak yang terpisah dibuang, tabung

dibalikkan selama 15 menit dan selanjutnya

tabung beserta isinya ditimbang kembali.

Kajian Konsumsi dan Kecernaan

Dua puluh ekor kambing peranakan

Etawah lepas sapih dengan bobot hidup awal

13,50±2,14 kg digunakan dalam percobaan.

Kambing dikelompokkan berdasarkan bobot

hidup awal dan diberi ransum percobaan

berdasarkan rancangan acak kelompok.

Kambing dipelihara dalam kandang individu

berbentuk panggung berukaran 1 m x 1 m x 0,8

m, dengan tinggi lantai 0,5 m. Kandang

ditempatkan di dalam satu bangunan terbuka

beratap asbes.

Komponen ransum percobaan dan

komposisi nutriennya disajikan pada Tabel 2.

Ransum percobaan mengandung jenis bahan

pakan kaya serat berbeda berupa: rumput gajah

(RG), jerami padi (JP), kulit buah coklat (KC),

 jerami padi + kulit buah kopi (JK), atau rumputgajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit

buah kopi (CP). Setiap ransum percobaan

diberikan pada empat ekor kambing selama dua

minggu periode adaptasi, tiga minggu periode

 preliminary dan satu minggu periode koleksi

total. Ransum diberikan pada pukul 08:00 dan

SIFAT FISIK PAKANVol. 29 No. 3

Tabel 2. Komposisi bahan dan nutrien ransum percobaan yang diberikan pada kambing PeranakanEtawah lepas sapih

Keterangan: 1) kecuali bahan kering (%); ransum dengan bahan kaya serat berupa rumput gajah (RG), jerami

padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi

+ kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP).

  Ransum percobaan

RG JP KC JK CP

Bahan pakan (%BK)

Konsentrat 49,40 49,51 50,98 49,82 50,00

Rumput gajah 50,60 - - - 12,50

Jerami padi - 50,49 - 25,09 12,50

Kulit buah coklat - - 49,02 - 12,50

Kulit buah kopi - - - 25,09 12,50

Total 100 100 100 100 100

Nutrien (%BK)1)

 

Bahan kering (BK) 90,65 90,44 87,84 89,87 89,56Abu 7,96 10,48 8,90 9,51 8,97

Lemak 7,66 8,01 8,39 8,05 8,04

Protein kasar 14,04 12,68 16,04 16,70 15,87

Serat kasar 28,60 23,46 16,45 23,48 23,00

BETN 41,74 45,37 50,22 42,26 44,12

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 34/86

 Edisi Desember 2006  149

16:00 dengan total pemberian BK 3% bobot

hidup. Residu pakan dikeluarkan dari tempat

pakan satu kali sehari segera sebelum pakanbaru diberikan pada pukul 08:00. Air minumdiberikan ad libitum.

Selama periode koleksi total, feses

ditampung menggunakan kain kasa yangdipasang di bawah lantai kandang. Feses dansisa pakan ditimbang setiap hari. selanjutnyadikeringkan pada terik matahari. Semua feses

harian setiap individu kambing dicampurkanpada akhir percobaan, kemudian sampel diambil

dan digiling untuk dianalisa sifat fisik dan

komponen kimianya.Konsumsi bahan kering dan nutrien

ditentukan dengan mengukur bahan keringransum dan nutrient yang diberikan dikurangidengan bahan kering dan nutrient residu.

Kecernaan bahan kering dan nutrien dihitungdengan mengurangi bahan kering dan nutrien

yang dikonsumsi dengan bahan kering dannutrien yang ada dalam feses. Perubahan bobotbadan diukur dengan menimbang kambing satu

minggu sekali pada pukul 07:00 sebelumpemberian pakan baru.

Analisis Kimia dan Statistik

Analisis bahan kering, abu, serat kasar danlemak dalam bahan pakan, residu dan feses

menggunakan metode proksimat (AOAC,1984). Kadar ADF bahan pakan dianalisa

menggunakan metode Van Soest (1985). Datahasil percobaan dianalisa statistik menggunakananalisis keragaman (SAS, 1995). Rataanvariabel selanjutnya dibandingkan dengan uji

least significant different .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik Pakan

Nilai kerapatan langsung atau kerapatancurah suatu bahan menunjukkan nilai yang tidak sama namun keduanya sangat berkorelasi erat

(Tabel 3). Hijauan secara umum mempunyainilai kerapatan yang rendah (Khalil, 1999).Namun nilai kerapatan bahan pakan kaya seratsangat bervariasi. Jerami padi dan rumput gajah

menunjukkan nilai kerapatan langsung dancurah terendah. Hal ini berarti bahwa jerami

Media PeternakanTOHARMAT ET AL.

Tabel 3. Kadar serat dan sifat fisik bahan pakan kaya serat komponen ransum yang diberikan kepadakambing Etawah betina muda

Keterangan : *)bahan telah diektraksi ether; nilai sifat fisik bahan campuran dihitung berdasarkan sifat fisik dan

proporsi bahan kaya serat dalam ransum; ransum dengan bahan kaya serat berupa rumput gajah

(RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah

+ jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP).

  Pakan kaya seratSifat fisik 

RG JP KC JK CP

Kerapatan langsung (kg/m3) 191 185 362 317 297

Kerapatan curah (kg/m3

) 292 292 596 458 451Berat jenis (kg/dm

3) 0,854 0,865 1,516 1,038 1,112

Daya ikat terhadap:

Air absolut (kg/kg) 6,259 3,083 4,249 4,489 4,874

Minyak sawit (kg/kg) 2,729 3,292 1,344 2,290 2,164

Minyak jagung (kg/kg) 3.110 3.288 1.196 2.217 2.186Minyak jagung (kg/kg)

*)4,098 4,680 1,930 3,199 3,108

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 35/86

 Edisi Desember 2006 150

padi dan rumput gajah merupakan bahan yang

amba (bulky) dibandingkan dengan kulit buah

coklat dan kulit buah kopi. Sifat kerapatan

bahan banyak terkait dengan kadar serat dalam

bahan (Tabel 1 dan 2), semakin tinggi kadar

serat maka semakin rendah kerapatannya atau

bahan tersebut semakin amba.

Pakan dengan tingkat keambaan yang

lebih tinggi dapat menimbulkan regangan lebih

besar dan memberikan sensasi kenyang lebih

cepat pada saat dikonsumsi ternak, sehingga

sifat amba tersebut dapat membatasi konsumsi

pada ternak. Namun dampak negatif keambaan

terhadap konsumsi setiap bahan dapat berbedatergantung pada tingkat kecernaan komponen

seratnya sepertihalnya ditunjukan oleh pakan

yang mengandung rumput gajah dan jerami.

Nilai kerapatan langsung sekitar 190 dan

kerapatan curah sekitar 290 mempunyai

pengaruh yang jelas dalam menurunkan

konsumsi bahan kering ransum.

Berat jenis komponen ransum yang

dikonsumsi kambing diperkirakan dapat

mempengaruhi konsumsi dan pencernaanfermentatif komponen tersebut di dalam rumen.

Ransum KC mempunyai berat jenis 1,516

sehingga diperkirakan sebagian besar

komponen ransum tersebut tenggelam,

sebaliknya komponen ransum lainnya dengan

berat jenis 0,854-1,112 mengapung. Bahan yang

mempunyai berat jenis besar diduga akan

mudah kontak dengan mikroba rumen dan

enzim yang berada dalam cairan rumen

sebaliknya bahan yang mempunyai berat jenislebih kecil memerlukan waktu lebih lama untuk 

kontak dengan mikroba. Hal ini dapat

menyebabkan kecernaan bahan dengan berat

 jenis tinggi tersebut menjadi besar.

Pakan kaya serat yang digunakan dalam

percobaan mempunyai daya ikat air yang

bervariasi. Rumput gajah menunjukkan nilai

daya ikat air tertinggi dibandingkan dengan

bahan lain dan campurannya. Tingkat daya ikat

air bahan tergantung pada jenis polisakarida

komponen seratnya. Selulosa mempunyai

kapasitas yang terbatas dalam menyerap air,

sedangkan arabinoxylan mempunyai kapasitas

penyerapan yang sangat besar (Trowell et al.,

1985). Penyerapan cairan rumen terjadi lebih

cepat pada bahan dengan daya ikat air yang

tinggi. Partikel rumput gajah dengan daya serap

air yang tinggi (Tabel 3) akan mempunyai

kontak dengan mikroba dan enzim dalam cairan

rumen lebih cepat dibandingkan pakan kaya

serat lainnya. Namun komponen serat rumput

gajah dalam ransum tidak mampu

meningkatkan kecernaan ransum (Tabel 4). Hal

ini berarti bahwa komponen kimia bahan sangatmempengaruhi tingkat kecernaan bahan pakan

atau ransum.

Nilai daya ikat serat terhadap minyak 

 jagung dan minyak sawit disajikan pada Tabel

3. Daya ikat partikel terhadap minyak sawit

dan jagung pada bahan yang sama menunjukkan

nilai yang sama. Nilai daya ikat bahan kaya

serat terhadap minyak berkorelasi erat dengan

kerapatan dan kadar lignin bahan (Lopez et al.,

1996). Bahan pakan kaya serat dengan nilaikerapatan curah yang besar menunjukkan daya

ikat minyak yang kecil. Peningkatan daya ikat

bahan terhadap minyak terjadi jika bahan pakan

serat mengalami defatasi terlebih dahulu. Hal

ini memberikan peluang bahwa pencampuran

suplemen minyak dengan sumber pakan

berserat tinggi dapat mempermudah

pencampuran dan meningkatkan kecernaan dan

manfaat minyak dalam ransum.

Konsumsi dan Kecernaan Nutrien

Rataan konsumsi dan kecernaan nutrien

pada kambing percobaan disajikan pada Tabel

4. Konsumsi bahan kering pada kambing

peranakan etawah muda dalam penelitian ini

berkisar antara 299-440 g/ekor/hari. Kebutuhan

bahan kering kambing yang berbobot 10-20 kg

adalah 200-480 g/ekor/hari (NRC, 1981;

Devendra & McLerroy, 1982). Kisaran

SIFAT FISIK PAKANVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 36/86

 Edisi Desember 2006  151

konsumsi bahan kering pada kambing di

Indonesia cukup lebar. Namun konsumsi bahan

kering ransum yang mengandung jerami padi,

rumput gajah, kulit buah kopi atau kulit buah

coklat hingga 50% pada kambing, dapat

dinyatakan normal walaupun palatabilitas

sumber serat yang digunakan berbeda.

Konsumsi bahan kering dan nutrien

kecuali serat kasar yang paling tinggi terjadi

pada kelompok kambing dengan pakan kaya

serat kulit buah coklat (KC). Konsumsi

terendah terjadi pada ransum dengan pakan kaya

serat jerami padi (JP). Jenis pakan kaya seratdapat mempengaruhi konsumsi bahan kering

dan bahan organik yang selanjutnya akan

mempengaruhi konsumsi nutrien. Hal ini berarti

bahwa konsumsi bahan kering pakan dapat

dimanipulasi melalui pemilihan jenis pakan

kaya serat yang diberikan.

Konsumsi bahan kering dan nutrien yang

tinggi pada ransum KC diduga terkait dengan

sifat fisik kulit buah coklat khususnya nilai

kerapatan yang tinggi (Tabel 3). Kerapatan

pakan yang tinggi memberikan pengaruh

kenyang yang lebih lambat dibandingkan

dengan kerapatan pakan yang rendah seperti

 jerami padi. Tingginya konsumsi bahan kering

dan nutrien pada kambing dengan ransum KC

terkait dengan tingginya kecernaan nutrien

komponen bahan tersebut seperti tergambarkan

oleh tingginya kecernaan bahan kering, bahan

organik, serat kasar dan lemak ransum KC

tersebut (Tabel 4).

Kecernaan lemak paling rendah pada

ransum dengan sumber serat yang mempunyaidaya ikat lemak paling rendah. Kajian interaksi

antar serat kasar dan lemak ransum (Tabel 5)

menunjukkan bahwa koefisen cerna lemak 

(KCL) berkorelasi negatif (P<0,01) dengan

kadar lemak feses (KDLF), kadar lemak feses

(KDLF) berkorelasi negatif (P<0,05) dengan

daya ikat feses terhadap minyak jagung (DIMJ)

dan serat kasar feses (SKF), sedangkan serat

kasar feses berkorelasi positif (P<0,01) dengan

Media PeternakanTOHARMAT ET AL.

Tabel 4. Rataan konsumsi harian dan kecernaan nutrien pada kambing peranakan Etawah betina yangdiberi pakan dengan sumber serat berbeda

Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); Total Digestible

 Nutrient (TDN) = bahan organik tercerna + (2,5 x lemak tercerna); ransum dengan bahan kaya

serat berupa rumput gajah (RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami padi + kulit

buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi (CP).

  Ransum percobaan

RG JP KC JK CP

Konsumsi (g/ekor):

Bahan kering 329±131ab

298±58b

440±59a

313±156b

405±36ab

 

Bahan organik 291±122ab

256±50b

388±54a

270±140ab

360±32ab

 

Lemak 24±14b

23±4b

37±5a

25±14b

33±3ab

 

Serat kasar 100±22a

69±16b

72±10b

78±34ab

91±9ab

 

TDN 117±103b

116±34b

219±40a

125±117b

181±56a 

Koefisien cerna (%):

Bahan kering 38±10b

36±10b

54±5a

38±9b

46±3ab

 

Bahan organik 32±10b

36±8b

48±6a

32±11b

40±4ab

 Lemak 78±15

a86±8

a71±5

b81±10

a71±3

Serat kasar 35±16 24±12 38±9 30±9 26±5

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 37/86

 Edisi Desember 2006 152

daya ikat minyak jagung. Data tersebut

menunjukkan bahwa komponen lemak pakanlebih banyak dicerna jika komponen lemak lebih

terikat pada komponen serat pakan.

 Pertumbuhan Kambing

Pertambahan bobot hidup kambing

peranakan Etawah muda yang diberi ransum

dengan sumber serat berbeda disajikan dalam

Tabel 6. Pertambahan bobot hidup kambing

dalam percobaan ini berkisar antara 50-136 g/ ekor/hari, namun tidak dipengaruhi jenis

komponen pakan seratnya. Sudrajat (2000)

melaporkan pertumbuhan kambing peranakan

Etawah lepas sapih 45,36-48,45 g/ekor/hari.

Data tersebut menggambarkan bahwapenggunaan sumber serat yang berbeda pada

tingkat 50% dalam ransum dapat menghasilkan

pertumbuhan yang baik walaupun pertambahan

bobot hidupnya cukup bervariasi.

Laju pertumbuhan kambing percobaan

tidak sejalan dengan tingkat konsumsi dan

kecernaan ransum. Walaupun kelompok 

kambing yang mendapat ransum KC

menunjukkan konsumsi dan kecernaan nutrien

tertinggi (Tabel 4), pertumbuhannya tidak berbeda dengan pertumbuhan kambing yang

mendapat ransum lainnya (Tabel 6). Effisiensi

penggunaan pakan yang tertinggi dicapai oleh

Tabel 5. Korelasi antar kecernaan lemak, sifat fisik dan kimia feses kambing peranakan Etawahbetina

Keterangan : KCL = koefisien cerna lemak: KDLF = kadar lemak feses; DIMJ = daya ikat feses terhadap

minyak jagung; SKF = serat kasar feses; anggka dalam () adalah nilai P.

  KDLF DIMJ SKF

KCL -0,74 (0,00) 0,42 (0,07) 0,20 (0,41)

KDLF -0,76 (0,00) -0,53 (0,02)DIMJ 0,69 (0,00)

Tabel 6. Rataan bobot hidup dan pertambahan bobot hidup (PBH) kambing peranakan Etawah betinayang diberi ransum dengan sumber serat berbeda

Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); ransum dengan

bahan kaya serat berupa rumput gajah (RG), jerami padi (JP), kulit buah cokla (KC), jerami

padi + kulit buah kopi (JK), rumput gajah + jerami padi + kulit buah coklat + kulit buah kopi

(CP).

  Ransum percobaan

RG JP KC JK CP

Bobot hidup

Awal (kg) 13,5±2,5 14±3,2 13,2±1,7 13,5±2,4 13,2±1,7

Akhir (kg) 18,2±3,4 16,2±2,6 17,2±2,3 15,2±5,6 16,2±2,2

PBH (g/hari) 136±104 64±66 114±53 50±134 86±48

Efisiensi pakan 0,53±0,55a

0,20±0,21ab

0,25±0,10ab

0,03±0,41ab

0,21±0,11ab

 

SIFAT FISIK PAKANVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 38/86

 Edisi Desember 2006  153

kelompok kambing yang mendapat ransum

dengan sumber serat rumput gajah. Rendahnya

utilisasi nutrien pada pakan dengan sumber serat

kulit coklat diduga terkait dengan kurang

seimbangnya nutrien yang diserap atau karena

adanya zat antinutrisi dalam bahan tersebut.

Pertumbuhan kambing percobaan sejalan

dengan konsumsi TDN (Gambar 1). Hubungan

konsumsi TDN dengan pertambahan bobot

hidup (PBH) tersebut mengikuti model

persamaam PBH = 0,739*(TDN)–46,836;

R=0,72 (P<0,01), PBH dan TDN (g/ekor/hari).

Persamaan tersebut menunjukkan kebutuhan

TDN untuk hidup pokok kambing peranakan

Etawah dengan bobot 13,50±2,14 kg danpertumbuhan harian 50-136g adalah 63,4g

TDN, dan kebutuhan untuk pertumbuhan adalah

67,659g TDN per 50g pertambahan bobot

hidup. Variasi pertumbuhan kambing dalam

percobaan ini disebabkan oleh variasi konsumsi

TDN, sehingga semua faktor yang

mempengaruhi konsumsi energi dapat

mempengaruhi pertumbuhan kambing. Hal ini

berarti bahwa komponen pakan kaya serat

sangat berpengaruh terhadap konsumsi TDN

dan pertumbuhan kambing muda.

KESIMPULAN

Keambaan bahan pakan kaya serat dalamransum membatasi konsumsi bahan keringpakan. Konsumsi bahan kering meningkatdengan meningkatnya kecernaan nutrienransum. Tingginya konsumsi dan kecernaanbahan kering tidak sejalan dengan pertambahanbobot hidup, tetapi bobot hidup meningkatsejalan dengan meningkatnya konsumsi TDN.Kecernaan lemak ransum meningkat dengan

meningkatnya daya ikat lemak komponen pakankaya serat. Penggunaan kulit coklat dalamransum tidak dapat dilakukan hingga 50% BKransum.

UCAPAN TERIMA KASIH

Publikasi ini merupakan bagian dari hasilpenelitian yang dibiayai oleh Program DUE Like

 Batch III Institut Pertanian Bogor tahunanggaran 2004. Ucapan terima kasih

Gambar 1. Hubungan pertambahan bobot hidup dengan konsumsi TDN padakambing peranakan Etawah betina muda

-200 

-100 

100 

200 

300 

0  100  200  300  400 

Konsumsi TDN (g/ekor/hari) 

   P   B   H   (  g   /  e   k  o  r   /   h  a  r   i   )

Media PeternakanTOHARMAT ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 39/86

 Edisi Desember 2006 154

disampaikan kepada A. Rukmana, D. Nurdiani,

Maman dan A. Yani atas bantuannya dalam

pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Adawiah. 2005. Respons produktivitas dan kualitassusu pada suplementasi sabun mineral danmineral organik serta kacang kedelai sangraidalam ransum ternak ruminansia. Disertasi.Sekolah Pascasarjana. Institut PertanianBogor, Bogor.

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of theAssociation of Official Analytical Chemist.4th Ed. Association of Official AnalyticalChemist (AOAC), Washington, D.C.

Devendra, C. & G.B. McLerroy. 1982. Goat andSheep Production in the Tropics. IntermediateTropical Agriculture Series. Longman,London.

Herrero M., C B do Valle, N.R.G. Hughes, V. deO Sabatel & N. S. Jessop. 2001.Measurements of physical strength and theirrelationship to the chemical composition of four species of  Brachiaria. Anim. Feed Sci.Technol. 92:149-158.

Hintz R.W., R.G. Koegel, T. J. Kraus & D. R.

Mertens. 1999. Mechanical maceration of alfalfa. J. Anim. Sci. 77:187-193.

Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuranpartikel terhadap sifat fisik pakan lokal:kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan

tumpukan dan berat jenis. Media Peternakan22:1-11.

Le Liboux S & J. L. Peyraud. 1999. Effect of 

forage particle size and feeding frequency onfermentation patterns and sites and extent of digestion in dairy cows fed mixed diets. Anim.Feed Sci. Technol. 76:297-319.

Lopez G, G. Ros, F. Rincon, M.J. Periago, M.C.Martinez, & J. Ortuno. 1996. Relationshipbetween physical and hydration properties of soluble and insoluble fiber of artichoke. J.Agric. Food Chem. 44:2773-2778.

NRC (National Research Council). 1981. NutrientRequirement of Goats. National AcademyPress, Washington, D.C.

SAS. 1995. SASR User’s Guide : Statistics. Version.6.12nd Ed. SAS Inst., Inc., Cary., New York.

Sosulski, F.W. & A.M. Cadden. 1982.Composition and physiological properties of several sources of dietary fiber. J. Food Sci.47:1472-1477.

Sudrajat, D. 2000. Pengaruh suplementasi Seorganik dalam ransum terhadap kecernaan,aktivitas fermentasi dan pertumbuhankambing Peranakan Etawah. Tesis. ProgramPascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Trowell, H., D. Burkitt & K. Heaton. 1985.Dietary Fiber, Fiber Depleted Food and

Disease. Academic Press, London. Van Soest, P.J. 1985. Definition of fibre in animal

feed.In: Recent Advances in Animal Nutrition.W. Haresign & D.J.A. Cole (Ed.). Pp. 55-70.Butterworths, London.

SIFAT FISIK PAKANVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 40/86

 Edisi Desember 2006  155

Kajian Penambahan Ragi Tape pada Pakan terhadap Konsumsi,

Pertambahan Bobot Badan, Rasio Konversi Pakan,

dan Mortalitas Tikus ( Rattus norvegicus)

E.M.Sianturia, A.M.Fuaha & K.G. Wiryawanb

aDepartemen Ilmu Produksi dan Teknologi PeternakanbDepartemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680

(Diterima 17-10-2005; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

An experiment was conducted to examine the effect of different levels of tape yeastaddition into rations on  Rattus norvegicus performance, such as feed consumption, bodyweight gain, feed conversion ratio and mortality. The experimental design used was afactorial completely randomized design 2 x 4, the first factor was sex (male and femalerats), and the second factor was different levels of tape yeast added into rations (0% as R1,0.5% as R2, 1% as R3 and 1.5% as R4). The results showed that the interaction betweensex and yeast addition had significant effect on feed consumption and body weight gain(P<0.05), but the effect was not significant on feed conversion ratio and mortality. Yeastaddition in male-rat rations significantly reduced feed consumption, but did not affect bodyweight gain. In female rats, the addition of yeast in the rations increased body weight gain.Increasing levels of tape yeast in the rations improved the body weight gain and feedconversion ratio, especially for female rats (P<0.05). There was no single rat died duringthe experimental period. Rats fed ration containing 1.5% yeast showed better feedconsumption, weight gain, and feed conversion ratio compared to rats given other rations.

Key words : rat, tape yeast, consumption, weight gain, feed conversion ratio, mortality

PENDAHULUAN

Probiotik telah lama diketahui dapat

meningkatkan produktivitas ternak, yaitu

dengan meningkatkan keseimbangan mikroflora

usus (Wiryawan, 1995; Muktiani, 2002; CFNP

Tap Review, 2002). Penyerapan zat-zat

makanan akan meningkat jika keseimbangan

mikroflora usus telah dicapai. Banyak jenis

mikroba yang dapat dikategorikan sebagai

probiotik karena pengaruhnya yangmenguntungkan bagi inangnya, dijual dalam

bentuk kultur murni mikroba atau komponen

dari mikroba tertentu, dan dijual secara

komersial.

Probiotik telah banyak dijual secara

komersial terutama di negara-negara maju

seiring dengan dilarangnya penggunaan

antibiotik termasuk di Indonesia, namun

wilayah pendistribusiannya masih terbatas di

Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 155-161ISSN 0126-0472

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 41/86

 Edisi Desember 2006 156

kota-kota besar, sementara mayoritas

peternakan di Indonesia adalah peternakan

rakyat yang secara geografis sulit untuk diakses.

Adanya kesulitan untuk mendapatkan

probiotik komersial, terutama oleh masyarakat

tani, maka dibutuhkan suatu sumber probiotik 

indigenous alternatif yang banyak tersebar di

Indonesia. Pemilihan ragi tape dilakukan

dengan pertimbangan: (1) di dalam ragi tape

terdapat mikroba-mikroba baik kapang, khamir

maupun bakteri yang mampu menghidrolisis

pati, menciptakan keseimbangan mikroflora

usus, meningkatkan kesehatan serta membantu

penyerapan zat-zat makanan, dalam hal iniperan Saccharomyces cerevisiae sangat penting

(Fardiaz, 1992; Dawson, 1993; Newman, 2001,

CFNP Tap Review, 2002); (2) ragi tape tersebar

luas di pasar-pasar tradisional di berbagai daerah

di Indonesia, sehingga tidak sulit untuk 

mendapatkannya; (3) ragi tape sudah biasa

dikonsumsi oleh manusia sehingga aman bagi

ternak.

Sebelum ragi tape sebagai probiotik 

dicobakan pada ternak, pada umumnyadicobakan terlebih dahulu pada hewan

percobaan sehingga hasilnya dapat menjadi

acuan penggunaannya. Hewan percobaan yang

digunakan pada penelitian ini ialah tikus

laboratorium (  Rattus norvegicus) yang biasa

digunakan karena karakteristik biologisnya

mirip dengan ternak monogastrik dan juga

murah, mudah didapat dan siklus reproduksi

yang singkat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 

melakukan pengkajian terhadap penggunaan ragi

tape sebagai probiotik dalam ransum tikus

terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan,

konversi pakan, dan mortalitas tikus putih

( Rattus norvegicus).

MATERI DAN METODE

Tikus yang digunakan dalam penelitian ini

adalah tikus putih ( Rattus norvegicus) galur

Sprague Dawley berjumlah 32 ekor yang terdiriatas 16 ekor jantan dan 16 ekor betina, berasal

dari Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa

Harapan, Fakultas Peternakan IPB. Tikus

dipelihara dari umur 21 hari (lepas masa sapih)

hingga umur 60 hari. Berat awal tikus jantan dan

betina berkisar antara 29,45 g hingga 33,62 g.

Kandang yang digunakan sejumlah 32

buah, berupa bak plastik dengan ukuran 36 x 28

x 12 cm3, dilengkapi dengan kawat penutup pada

bagian atasnya. Kandang plastik diletakkansecara acak pada rak kayu yang mempunyai

empat tingkatan. Alas kandang menggunakan

sekam padi yang diganti setiap lima hari untuk 

menjaga kebersihan lingkungan tikus.

Pakan yang digunakan mengandung

protein 18% yang ditambahkan dengan empat

level kandungan ragi tape. Kandungan ragi tape

Tabel 1. Komposisi pakan tikus

Sumber: PT. Indofeed (2005).

Komposisi Kandungan nutrisi

(dari bahan kering)

Protein (%)

Lemak (%)

Serat kasar (%)

Abu (%)

Metabolisme energi (kkal/kg)

18

4

4 – 6

4 – 7

2850

Media PeternakanSIANTURI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 42/86

 Edisi Desember 2006  157

dalam pakan disimbolkan dengan R1, R2, R3,

dan R4 dengan R1 sebagai kontrol, dengan

kandungan ragi tape sebesar 0%. Pakan R2,

R3, R4 mengandung ragi tape dengan level

berturut-turut 0,5%; 1,0%; 1,5% dari bahan

kering pakan. Pakan yang digunakan

diproduksi oleh PT. Indofeed dengan komposisi

zat makanan seperti pada Tabel 1.

Air minum diberikan ad libitum,

menggunakan air tanah yang diendapkan

terlebih dahulu selama 1 malam, agar kotoran

yang terkandung di dalam air mengendap ke

dasar bak penampungan. Air minum diberikan

menggunakan dua jenis botol dengan kapasitas255 ml dan 265 ml yang diletakkan di atas

kandang dengan posisi terbalik sehingga tikus

dapat minum tetapi airnya tidak tumpah.

Ragi tape yang digunakan adalah ragi tape

yang dijual di Pasar Bogor dengan kode S,

dengan harga sekitar Rp 150–200/keping.

Pengujian populasi mikroba ragi tape dilakukan

di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, IPB dengan

hasil populasi 1 x 106 CFU/g. Sebelumdicampurkan ke dalam pakan, ragi tape

dihaluskan terlebih dahulu kemudian

dicampurkan dengan pakan tikus dan dibuat

menjadi pelet di PT. Indofeed.

Tikus jantan dan betina masing-masing

dibagi menjadi empat kelompok perlakuan

pakan, yaitu kelompok R1, R2, R3 dan R4.

Sebelum pengambilan data, tikus-tikus terlebih

dahulu diadaptasikan selama 9 hari dalam

kandang disertai dengan pemberian pakanperlakuan dengan tujuan menghilangkan bias

penelitian akibat efek stress. Setiap tikus diberi

identitas nomor pada telinganya dan

dikandangkan secara individu.

Rancangan percobaan yang digunakan

adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 2

x 4 dengan empat ulangan. Faktor pertama

adalah jenis kelamin yang terdiri atas jantan dan

betina. Faktor kedua adalah kandungan ragi

tape dalam pakan yang terdiri atas empat levelyaitu 0%; 0,5%; 1,0% dan 1,5% dari bahankering pakan.

Data hasil penelitian dianalisa dengansidik ragam. Uji lanjut untuk konsumsi pakanmenggunakan ortogonal polinomial, sedangkanuji lanjut untuk pertambahan bobot badan danrasio konversi pakan menggunakan Duncan(Steel & Torrie, 1995). Peubah yang diamatiadalah konsumsi pakan, pertambahan bobotbadan, konversi pakan, dan mortalitas tikusselama penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Pakan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwainteraksi antara jenis kelamin dengan level ragitape dalam pakan mempengaruhi konsumsipakan (P<0,05). Uji lanjut ortogonal polinomialmenunjukkan bahwa pemberian ragi tape dalampakan tikus jantan sangat nyata (P<0,01)menurunkan konsumsi, namun tidak berpengaruh terhadap tikus betina. Pengaruhperlakuan terhadap konsumsi pakan tikus jantanmengalami penurunan secara linier sepertidisajikan dalam Gambar 1.

Berdasarkan grafik pada Gambar 1diperoleh persamaan regresi polinomial peubahkonsumsi tikus jantan Y= –0,7378X + 13,017,dengan Y adalah respon konsumsi pakan dan Xadalah level ragi tape yang diberikan.Berdasarkan persamaan tersebut, dapat dihitung

bahwa setiap penambahan 0,5% ragi tape dalampakan akan menurunkan konsumsi tikus jantanselama masa pertumbuhan sebesar 0,3689 g/ ekor/hari.

Penurunan konsumsi pada tikus jantankemungkinan disebabkan adanya enzim yangdihasilkan oleh mikroba ragi tape ( Mucor sp.,

  Rhizopus oryzae, Saccharomyces cerevisiae)seperti amilase, protease, dan lipase yang dapatmeningkatkan kecernaan dan penyerapan zat-

KAJIAN PENAMBAHAN RAGIVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 43/86

 Edisi Desember 2006 158

zat makanan yang ada pada ransum sehingga

dengan konsumsi yang lebih rendah kebutuhanzat-zat makanan sudah terpenuhi (Aunstrup,

1979; Saono & Jeanny, 1982; Fardiaz, 1992).

Enzim-enzim tersebut ada yang terbawa di

dalam ragi tape, tetapi ada juga yang dihasilkan

di dalam saluran pencernaan karena khamir dan

kapang yang digunakan sebagai suplemen

pakan (probiotik) dapat hidup dan

mempertahankan aktivitas metabolismenya di

dalam saluran pencernaan paling tidak selama

enam jam setelah dikonsumsi (Newbold et al.,

1990; Dawson, 1993).

Pertambahan Bobot Badan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

interaksi antara jenis kelamin dengan pakan

perlakuan mempengaruhi pertambahan bobot

badan tikus (P<0,05). Penambahan ragi tape

dalam ransum tikus betina nyata (P<0,05)

meningkatkan pertambahan bobot badan, tetapi

Keterangan : superskrip berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05);

R1 = Pakan kontrol; R2 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 0,5 %; R3 = Pakan

dengan kandungan ragi tape sebesar 1,0 %; R4 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar

1,5 %.

 Jenis kelamin R1 R2 R3 R4

Jantan 13,14a

12,41ab

12,40ab

11,91b 

Betina 12,22ab

12,54ab

12,44ab

12,28ab

 

Tabel 2. Rataan konsumsi pakan tikus selama penelitian (g/ekor/hari)

Gambar 1. Kurva pengaruh perlakuan terhadap konsumsi pakan hariantikus jantan dan betina selama penelitian

Media PeternakanSIANTURI ET AL.

 

Y = -0,7378x + 13,017 

R2 = 0,8843 

11,8 

12,0 

12,2 

12,4 

12,6 

12,8 

13,0 

13,2 

0  0,5  1  1,5 

Kandungan ragi tape dalam ransum (%) 

   K  o  n  s  u  m  s   i   (  g   /  e   k  o  r   /   h  a  r   i   )

betina 

 jantan

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 44/86

 Edisi Desember 2006  159

tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot

badan tikus jantan.Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa

pertambahan bobot badan tikus jantan sangat

nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan

dengan tikus betina. Hal ini sesuai dengan

pendapat Smith & Mangkoewidjojo (1988)

bahwa tikus jantan lebih cepat perkembangan

nya dan mencapai berat sekitar 200-250 g pada

usia dewasa kelamin atau bahkan lebih

tergantung dari umur dan galurnya.

Pertambahan bobot badan pada jantan lebihtinggi daripada betina walaupun dengan jumlah

konsumsi pakan yang relatif sama (Tabel 2).

Rataan pertambahan bobot badan tikus

betina dengan pakan yang mengandung ragi

tape (0,5%; 1,0%; 1,5%) nyata lebih tinggi

(P<0,05) dibandingkan dengan tikus betina yang

mendapat pakan kontrol. Pertambahan bobot

badan cenderung meningkat seiring dengan

semakin tingginya kandungan ragi tape dalam

pakan. Hal ini seperti disebutkan diatas

kemungkinan disebabkan oleh peningkatan

efisiensi penggunaan zat-zat makanan dalam

ransum karena adanya aktivitas mikroba ragi

tape.

Aktivitas mikroba ragi tape terjadi melalui

beberapa mekanisme yaitu (1) produksi enzim

hidrolitik seperti amilase, proteinase, pektinase

dan lipase (Fardiaz, 1992; Aunstrup, 1979) yang

menyederhanakan polimer menjadi monomer

yang lebih mudah diserap di dalam saluran

pencernaan, (2) sebagai sumber nutrien seperti

vitamin, protein, karbohidrat dan kofaktorpenting lainnya (Dawson, 1993; Stone, 1998),

(3) sebagai prebiotik karena dinding sel khamir

(Saccharomyces cerevisiae) mengandung

manan-oligosakarida yang berfungsi sebagai

sumber makanan bagi bakteri alami

(indigenous) yang bersifat menguntungkan bagi

inangnya menyebabkan bakteri indigenous

dapat berkembang lebih pesat dan lebih

dominan sehingga dapat mengurangi bakteri

patogen dalam saluran pencernaan (Turner et al., 2000; CFNP TAP Review, 2002), (4) MOS

  juga berperan mengikat patogen (seperti:

Salmonella sp dan Escherichia coli) sehingga

patogen tidak dapat berkembang biak dalam

saluran pencernaan (Newman, 2001) sehingga

keseimbangan mikroba saluran pencernaan

tetap terjaga.

Rasio Konversi Pakan

Efisiensi pakan memegang peranan

penting dalam suatu usaha peternakan, karena

biaya pakan merupakan 60-70% dari biaya

produksi. Semakin efisien penggunaan pakan

maka biaya produksi akan semakin berkurang.

Efisiensi penggunaan pakan dapat dilihat dari

rasio konversi pakan yaitu jumlah pakan yang

dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram

pertambahan bobot badan. Secara umum,

semakin rendah rasio konversi pakan berarti

Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan tikus (g/ekor/hari)

Keterangan : superskrip yang berbeda dalam baris/kolom yang sama artinya berbeda nyata (P<0,05);

R1 = Pakan kontrol; R2 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 0,5 %; R3 = Pakan dengan

kandungan ragi tape sebesar 1,0 %; R4 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5 %.

 Jenis kelamin R1 R2 R3 R4 Rataan

Jantan 4,71a

4,84a

4,88a

4,89a

4,83a 

Betina 3,07d

3,62c

3,74bc

4,12b

3,64b 

KAJIAN PENAMBAHAN RAGIVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 45/86

 Edisi Desember 2006 160

efisiensi penggunaan pakan semakin baik 

karena jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram pertambahan bobot

badan semakin sedikit.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

interaksi antara jenis kelamin dengan pakan

perlakuan tidak mempengaruhi rasio konversi

pakan, tetapi rasio konversi pakan tikus jantan

nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan

dengan tikus betina. Sementara itu, pakan

perlakuan dengan kandungan ragi tape

menghasilkan rasio konversi pakan yang lebih

rendah (P<0,05) dibandingkan dengan pakan

kontrol. Rataan rasio konversi pakan

berdasarkan jenis kelamin dan pakan perlakuan

disajikan dalam Tabel 4.

Tikus jantan mengkonversi pakan menjadi

bobot badan lebih baik daripada tikus betina.

Hal ini disebabkan oleh pertambahan bobot

badan tikus jantan lebih tinggi daripada tikus

betina, dengan jumlah konsumsi yang relatif 

sama.

Rasio konversi pakan cenderung menurunseiring dengan semakin meningkatnya

kandungan ragi tape pada pakan. Hal ini

menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan

pakan pada tikus yang diberi ransum yang

mengandung ragi tape lebih baik dibandingkan

yang diberi ransum kontrol karena adanya

aktivitas mikroba ragi tape seperti diuraikan di

atas.

Mortalitas

Selama penelitian tidak ditemukan adanya

tikus yang mati baik jantan maupun betina,

kemungkinan disebabkan kualitas nutrisi

ransum yang digunakan cukup baik. Disamping

itu, manajemen yang cukup memadai selama

pemeliharaan ikut berkontribusi terhadap daya

hidup tikus. Tikus jantan dan betina yang

mendapat pakan yang mengandung ragi tape

menunjukkan performa yang lebih sehat

dibandingkan tikus pada perlakuan kontrol. Hal

ini disebabkan ragi tape dalam pakan dapat

menciptakan keseimbangan mikroflora usus,

karena mengandung mikroba yang dapat

mengurangi bakteri patogen dalam usus melalui

mekanisme kerja manan-oligosakarida (CFNP

TAP Review, 2002; Newman, 2001).

.

KESIMPULAN

Interaksi antara jenis kelamin tikus dengan

level ragi tape pada pakan nyata mempengaruhikonsumsi dan pertambahan bobot badan, tetapi

tidak berpengaruh terhadap rasio konversi

pakan dan mortalitas tikus. Pada tikus jantan,

penambahan ragi tape menurunkan konsumsi

dan rasio konversi pakan, tetapi tidak 

berpengaruh terhadap pertambahan bobot

badan. Pada tikus betina, penambahan ragi tape

menghasilkan pertambahan bobot badan dan

Tabel 4. Rataan rasio konversi pakan tikus selama penelitian

Keterangan : superskrip yang berbeda dalam baris/kolom yang sama artinya berbeda nyata (P<0,05);

R1 = Pakan kontrol; R2 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 0,5%; R3 = Pakan dengan

kandungan ragi tape sebesar 1,0%; R4 = Pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5%.

 Jenis kelamin R1 R2 R3 R4 Rataan

Jantan 2,81 2,59 2,56 2,43 2,60b 

Betina 3,99 3,52 3,33 2,98 3,46a 

Rataan 3,40a

3,06b

2,95bc

2,71c 

Media PeternakanSIANTURI ET AL.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 46/86

 Edisi Desember 2006  161

rasio konversi pakan yang lebih baik 

dibandingkan pakan kontrol. Tikus yang diberi

pakan dengan kandungan ragi tape sebesar 1,5%

menghasilkan konsumsi pakan, pertambahan

bobot badan dan rasio konversi pakan yang

paling baik dibandingkan dengan tikus yang

mendapat perlakuan pakan yang mengandung

ragi tape 0%, 0,5%, dan 1,0%.

DAFTAR PUSTAKA

Aunstrup, K. 1979. Production, isolation, andeconomic of extracelluler enzymes. In:

Wingard, L.E., E.K. Katsir, & Golstein (Eds.).Applied Biochemistry BioengineeringEnzymes Technology. Academic Press, NewYork 

Center for Food and Nutrition Policy (CFNP)Technical Advisory Panel (TAP) Review.2002. Cell Wall Carbohydrates: Livestock.CFNP, Virginia.

Dawson, K.A. 1993. Current and future role of yeastculture in animal production: A review of search over the last seven years. p: 269-291.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. GramediaPustaka Utama, Jakarta.

Muktiani, A. 2002. Penggunaan hidrolisat buluayam dan sorgum serta suplemen kromiumorganik untuk meningkatkan produksi susupada sapi perah. Disertasi. SekolahPascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Newbold, C.J., P.E.V. Williams & N. McKain.

1990. The effect of yeast culture on yeastnumbers and fermentation in the rumen of 

sheep. Proc. Nutr. Soc.,49, 47A.Newman, K. 2001. The MOS factor from yeast

culture- A true growth promoter for pigs andchicks and now pets. Feeding Times 6:18-19.

Saono & K.D. Jeanny. 1982. Microflora or ragi:Its composition and as a source of industrialyeast. In: Proceedings of ASCA TechnicalSeminar. The Indonesian Institute of Science,Jakarta, Indonesia.

Smith, J.B. & S. Mangkoewidjojo. 1988.Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan

Hewan Percobaan di daerah Tropis.Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Steel, R.G.D.& J.H. Torrie. 1995. Prinsip danProsedur Statistika. Edisi kedua. Gramedia,Jakarta.

Stone, C. W. 1998. Yeast Products in the FeedIndustry: A Practical Guide for FeedProfessionals. http://www.diamondy.com/ articles/booklet/booklet.html (27 Pebruari2004)

Turner, J.L., P.A.S. Dritz & J.E. Minton. 2000.Alternatives to conventional microbials in

swine diets. J. Anim. Sci. 17:217-226.Wiryawan, K.G. & J.D. Brooker. 1995. Probiotic

control of lactate accumulation in acutelygrain-fed sheep. Aust. J. Agric. Res., 46: 1555-1568.

KAJIAN PENAMBAHAN RAGIVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 47/86

 Edisi Desember 2006 162

Pengaruh Konformasi Butt Shape terhadap Karakteristik Karkas Sapi

Brahman Cross pada Beberapa Klasifikasi Jenis Kelamin

Harapin Hafid H.a & R. Priyantob

aJurusan Produksi Ternak Faperta Universitas Haluoleo

Jl. Malaka Kampus Bumi Tridarma Anduonohu, Faperta, Unhalu Kendari, 93232e-mail: [email protected]

bFakultas Peternakan Institut Pertanian BogorJl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680

(Diterima 24-01-2006; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

Domestic demand on beef is increasing today. However the beef supply can not fulfilthe demand so that importation of beef and feeder cattle is still required. Beef cattle feedlotingis now growing in Indonesia. This research was done to study the growth and developmentof carcass components of beef carcas from Brahman Cross cattle. The number of animalsused was 165 heads with the body weight range 350 – 400 kg taken from feedlot fattening.The experiment was set in completely randomized factorial design withh two factors, namelybutt shape conformation (butt shape score D, C, B) and sex class (heifer, steer, cow).

Parameter of carcass characteristic, i.e. carcass weight, carcass percentage, loin eye area,fat thickness of ribs 12th, fat percentage of kidney, pelvic and hearth, and fat thickness of rump P8.The result of this study showed that the increase of butt shape conformation scoresignificantly increased loin eye area, especially in heifer and cow sex class.

Key words: butt shape conformation, carcass characteristic, Brahman cross cattle, sexclass

PENDAHULUAN

Klasifikasi maupun grading pada ternak sapi, khususnya terhadap karkas yangdihasilkan, di Indonesia belum dikenal . Hal inidisebabkan sebagian besar konsumen dagingbelum mempertimbangkan kualitas daging.Konsumen biasanya memanfaatkan hampirsemua komponen tubuh ternak untuk dikonsumsi dengan cara pengolahan danpemasakan yang bersifat tradisional. Komponentubuh tersebut dapat berupa karkas maupun

komponen bukan karkas (offal). Hal ini

menyebabkan industri daging di Indonesialambat berkembang dan hanya mampumembentuk dua segmen pasar yaitu pasar lokaltradisional yang melayani masyarakat kelasmenengah ke bawah dan pasar khusus yangmelayani masyarakat kelas atas, restoran, hotelberbintang dan waralaba.

Hal ini menuntut perlunya dikembangkansistem klasifikasi sapi potong, sehinggadiperoleh suatu deskripsi dalam semuakomponen industri daging yang berdampak 

Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 162-168ISSN 0126-0472

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 48/86

 Edisi Desember 2006  163

pada peningkatkan kualitas, efisiensi produksi

dan pemasaran. Klasifikasi atau grading sapi

potong terutama menyangkut sifat-sifat atau

karakteristik karkas. Klasifikasi adalah

pengembangan metode untuk mendeskripsikan

produk karkas dalam industri daging, sehingga

bisa didapatkan komunikasi yang selaras antara

pelaku industri daging, seperti: konsumen,

pengecer (retailer) ,   jagal (packer/butcher),

industri penggemukan (fattener) dan peternak 

(produsen). Berdasarkan hal tersebut, maka

dapat dihindari konflik kepentingan di antara

pelaku industri daging.

Karkas di Eropa diklasifikasikanberdasarkan konformasi dan tingkat

perlemakan. Klasifikasi ini diberlakukan pada

semua sistem produksi daging, mulai dari anak 

sapi, sapi jantan muda, sapi kastrasi, sapi dara

dan sapi betina induk afkir. Klasifikasi

berdasarkan konformasi terdiri atas lima huruf 

E U R O P, dimana E merupakan karkas dengan

konformasi sangat baik dan P merupakan

konformasi yang paling rendah. Tingkat

perlemakan dinilai berdasarkan angka 1 sampaidengan 5. Angka 5 merupakan karkas dengan

tingkat perlemakan yang sangat banyak, sedang

angka 1 merupakan karkas dengan tingkat

perlemakan yang sedikit (Abustam, 2000).

Konformasi merupakan keseimbangan

dari perkembangan bagian-bagian karkas, atau

perbandingan antara daging dengan tulang. Jadi

konformasi adalah suatu ukuran untuk menilai

kualitas daging secara langsung dengan

membandingkan antara bagian-bagian karkasyang bernilai tinggi dengan yang bernilai

rendah, serta perbandingan antara bagian-

bagian yang dapat dimakan dengan yang tidak 

dapat dimakan (Wello, 2000). Konformasi butt 

shape adalah keselarasan bentuk paha dengan

konformasi karkas secara keseluruhan, yang

menyangkut kerangka, perototan dan

perlemakan. Skor shape digunakan pada banyak 

sistem deskripsi karkas sapi potong di seluruh

dunia (Jones et al., 1978; Bass et al., 1982;

Kempster et al., 1982; Sorenson, 1988).

Asosiasi industri daging Australia telah

merekomendasikan penggunaan skor

konformasi butt shape dalam tataniaga daging

di Australia (Aus-Meat, 1987). Hal ini

disebabkan adanya anggapan hubungan antara

konformasi butt shape dengan hasil daging.

Sebagai akibatnya skor konformasi butt shape

digunakan secara luas dalam pemasaran karkas

karena berpengaruh secara ekonomis dimana

skor shapeA, B dan C mempunyai harga daging

yang lebih mahal daripada skor D dan E, dan

perbedaan harga pada bobot karkas yang sama

sekitar $40 (Aus-meat,1995).

Meskipun demikian hasil Thornton (1991)

melaporkan rendahnya korelasi antara skor butt 

shape terhadap estimasi hasil daging. Pada studi

pertumbuhan karkas, Taylor et al. (1996)

menemukan bahwa skor konformasi butt shape

lebih erat hubungannya dengan lemak 

dibandingkan terhadap otot (daging). Studi

tersebut menggunakan karkas yang berat

(heavyweight) dan lemak penutup karkas dalam

kisaran yang luas. Jika bentuk karkas (shape)

disamakan dengan perlemakan (fatness) seperti

dinyatakan oleh Taylor et al. (1996) yang

mempelajari karkas yang ringan (lightweight),

kurangnya lemak karkas pada pasar domestik 

Australia menunjukkan perbedaan tingkat

hubungan antara skor shape dan komponen

karkas. Hasil penelitian Priyanto (1993)

menunjukkan bahwa lemak subkutanmemainkan peranan penting dalam penentuan

butt shape.

Penelitian ini bertujuan untuk 

mempelajari pengaruh konformasi butt shape

dan klasifikasi jenis kelamin serta interaksinya

terhadap karakteristik karkas sapi Brahman

cross hasil penggemukan. Penelitian ini

diharapkan menjadi dasar dalam pengembangan

klasifikasi karkas sapi di Indonesia.

Media PeternakanHAFID & PRIYANTO

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 49/86

 Edisi Desember 2006 164

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di perusahaan

pemotongan sapi PT. Celmor Perdana Indonesia

kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian

dilakukan selama 12 bulan sejak awal Maret

2003 sampai akhir Maret 2004.

Penelitian ini menggunakan bangsa sapi

Brahman Cross (BX) berasal dari penggemukan

secara  feedlot . Jumlah sapi yang digunakan

sebanyak 100 ekor. Sapi terdiri atas tiga

klasifikasi jenis kelamin (sex-class): cow, heifer 

dan steer . Seluruh fasilitas peralatan rumah

potong hewan (RPH) digunakan selamapenelitian.

Pada tahap awal penelitian dilakukan

pencatatan ear tag, bangsa sapi, jenis kelamin

dan penimbangan bobot bobot potong. Sapi-sapi

dipotong pada kisaran bobot potong 350 - 400

kg. Sapi dipuasakan dari makanan sekitar 24

  jam sebelum pemotongan untuk menghindari

variasi karena isi saluran pencernaan.

Sapi diantri menuju knocking box

selanjutnya dipingsankan dengan cash knocker .Penyembelihan dilakukan secara halal dengan

memotong vena jugularis, oesophagus dan

trachea. Sticking dilakukan agar darah keluar

sempurna. Sapi digantung pada tendo achilles

dengan bantuan katrol listrik. Kepala dilepaskan

pada sendi occipito-atlantis pada saat ini umur

ditentukan dengan melihat pergantian gigi seri.

Kaki depan dan belakang dilepaskan pada sendi

carpo-metacarpal dan sendi tarso-metatarsal

dengan gunting listrik  butch mug cutter .

Pengulitan dilakukan dengan membuat irisan

dari arah ventral di bagian perut dan dada ke

arah dorsal dibagian kaki dan punggung.

Pengulitan menggunakan mesin hide puller .

Eviserasi diawali dengan menyayat dinding

abdomen sampai dada.

Karkas dibelah simetris dengan

menggunakan gergaji listrik  Kent Master 

sepanjang tulang belakang. Belahan karkas kiri

dan kanan kemudian dibersihkan dengan

menyemprotkan air, selanjutnya diberi label dan

ditimbang sebagai bobot panas kanan (A) dan

kiri (B). Karkas disimpan dalam chilling room

selama 24 jam pada suhu 2-5oC dengan

kelembaban 85-95% serta kecepatan pergerakan

angin sekitar 0,2 m/detik. Sebelum dilakukan

deboning masing-masing separuh karkas

ditimbang sebagai bobot karkas dingin kiri dan

kanan. Deboning dilakukan untuk membentuk 

potongan komersial karkas. Potongan wholesale

cuts mengacu pada Australian Meat and

Livestock Corporation (1998). Batas

 forequarter dan hindquarter adalah antara ruas

tulang rusuk 12 dan 13.Peubah yang diamati dalam penelitian ini

adalah: bobot karkas, persentase karkas, luas

urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung

pada rusuk ke-12, persentase lemak ginjal,

pelvis dan jantung, tebal lemak pangkal ekor

dan tebal lemak rump p8. Rancangan percobaan

yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

pola faktorial 3 x 3 (Steel & Torrie, 1995).

Faktor pertama adalah konformasi butt shape

terdiri atas tiga taraf yaitu skor konformasi butt shape B, C dan D. Faktor kedua adalah

klasifikasi jenis kelamin (sex-class) terdiri atas

tiga taraf yaitu cow, heifer dan steer. Analisis

data menggunakan prosedur GLM. LS - mean

digunakan untuk menguji perbedaan diantara

perlakuan (SAS, l996).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan karakteristik karkas berdasarkan

kategori jenis kelamin dan konformasi butt 

shape dapat dilihat pada Tabel 1. Interaksi jenis

kelamin dan konformasi butt shape berpengaruh

sangat nyata (P<0,01) terhadap luas urat daging

mata rusuk, sedangkan karakteristik karkas

lainnya tidak nyata. Faktor butt shape secara

mandiri berpengaruh sangat nyata (P<0,01)

terhadap karakteristik karkas utamanya pada

parameter bobot karkas, luas urat daging mata

rusuk, tebal lemak punggung rusuk ke-12,

PENGARUH KONFORMASIVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 50/86

 Edisi Desember 2006  165

persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung,

serta tebal lemak  rump P8. Faktor klasifikasi

  jenis kelamin secara mandiri berpengaruhsangat nyata (P<0,01) terhadap karakteristik 

karkas utamanya pada parameter bobot karkas,

luas urat daging mata rusuk, tebal lemak 

punggung rusuk ke-12 dan persentase lemak 

ginjal, pelvis dan jantung.

Berdasarkan Tabel 1, kombinasi heifer 

dengan konformasi butt shape “B” menunjuk-

kan area urat daging mata rusuk yang terluas

(115,80 cm2) dibandingkan kombinasi lainnya.

Luas urat daging mata rusuk terendah pada

kombinasi heifer dengan butt shape “D” (96,09

cm2

) dan kombinasi dengan steer (97,13 cm2

).Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada

kombinasi sapi betina (cow dan heifer) dengan

butt shape “B” mempunyai pertumbuhan urat

daging mata rusuk yang lebih baik dibandingkan

steer , yang ditunjukkan dengan lebih luasnya

urat daging mata rusuk. Menurut Crouse et al.

(1985) dan Aberle et al. (2001), luas urat daging

mata rusuk dipengaruhi oleh jenis kelamin dan

bangsa sapi. Urat daging mata rusuk yang lebih

Tabel 1. Rataan karakteristik karkas berdasarkan jenis kelamin dan konformasi butt shape yang berbeda

Keterangan: Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Media PeternakanHAFID & PRIYANTO

Konformasi butt shape Karakteristik karkas

Klasifikasi jenis

 jelamin D C BRataan

Cow 116,00 128,95 141,50 128,82A

 Heifer  118,45 129,50 140,60 129,52A

Steer  111,47 118,59 129,00 119,68B

Bobot karkas (kg)

Rataan 115,31C

125,68B

137,03A 

Cow 57,68 57,85 58,38 57,97

 Heifer  55,55 57,61 57,78 56,98

Steer  57,33 57,87 56,20 57,13

Persentase karkas

(%)

Rataan 56,85 57,78 57,46

Cow 102,63AD

105,30AB

109,29AC

105,74A

  Heifer  96,09

D105,50

A115,80

C105,80

Steer  97,13D

101,89ABD

99,50ABD

99,51B 

Urat daging matarusuk (cm

2)

Rataan 98,62B

104,23A

108,20A 

Cow 1,55 2,15 2,64 2,11A

 Heifer  1,75 2,11 2,67 2,18A

Steer  1,55 1,70 2,14 1,80B

Tebal lemak 

punggung rusuk 

ke-12 (cm)

Rataan 1,61C

1,99B

2,48A 

Cow 1,88 1,99 2,22 2,03A

 Heifer  1,59 1,78 2,06 1,81B

Steer  1,43 1,48 1,85 1,59C

Persentase lemak 

ginjal, pelvik dan

 jantung (%)

Rataan 1,64C

1,75B

2,04A 

Cow 3,15 3,65 4,11 3,64 Heifer  3,13 3,50 4,09 3,57

Steer  3,13 3,39 4,17 3,57

Tebal lemak rump P8 (cm)

Rataan 3,14C

3,51B

4,12A 

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 51/86

 Edisi Desember 2006 166

luas menunjukkan perdagingan yang lebihbesar. Efek kastrasi mengurangi kecepatanpertumbuhan pada steer.

Luasan urat daging mata rusuk (loin eyearea) berimplikasi pada proporsi urat dagingkarkas, semakin luas urat daging mata rusuk makin besar pula proporsi urat daging/perototanpada karkas. Hasil penelitian Field &Schoonover (1967) maupun Ngadiyono (1995)menunjukkan korelasi yang positif antara luasanurat daging mata rusuk dengan bobot hidup ataubobot potong. Sementara itu bobot potong dapatmencerminkan persentase karkas seekor ternak 

(Hafid, 1998). Fenomena tersebut sejalandengan hasil penelitian ini, yaitu bahwakombinasi luas urat daging terluas (Heifer danCow pada butt shape B) berasal dari bobotkarkas yang lebih berat dibanding kombinasilainnya.

Tabel 1 menunjukkan adanya perbedaankonformasi butt shape terhadap bobot karkas.Bobot karkas pada butt shape “B” (137,03 kg)

berbeda sangat nyata dibandingkan butt shape

“C” (125,68 kg) dan “D” (115,31 kg).Konformasi butt shape “C” berbeda sangat

nyata dibanding butt shape “D”. Berdasarkanklasifikasi jenis kelamin, diperoleh bobot karkasheifer dan cow nyata lebih berat dibandingkansteer (129,52 kg dan 128,82 kg VS 119,68 kg).Perbedaan ini disebabkan oleh adanyaperbedaan bobot potong dan adanya hubunganerat antara skor butt shape dengan bobot karkas.Data penelitian menunjukkan urutan beratkarkas terberat adalah cow, heifer dan steer . Halini sesuai Preston & Willis (1982) yang

menyatakan bahwa faktor-faktor yangmempengaruhi bobot dan persentase karkasadalah pakan, umur, bobot hidup atau bobotpotong, jenis kelamin, hormon, bangsa sapi dankonformasi. Persentase karkas akan meningkatdengan meningkatnya bobot potong Aberle et 

al. (2001). Hasil penelitian Hafid et al. (2001)

dan Hafid (2002) menunjukkan perbedaan

bobot dan persentase karkas sapi  Australian

Gambar 1. Grafik interaksi konformasi butt shape dengan jenis kelaminberdasarkan luas urat daging mata rusuk 

90

95

100

105

110

115

120

D C B

Kategori butt shape

   L  u  a  s   U   D   M   R   (  c  m   2   )

Cow Heifer Steer  

PENGARUH KONFORMASIVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 52/86

 Edisi Desember 2006  167

Commercial Cross pada bobot potong dan lamapenggemukan yang berbeda. Bobot potong danlama waktu penggemukan berbanding lurusdengan persentase karkas.

Perbedaan interaksi antara jenis kelamindengan konformasi butt shape dapat dilihat padaGambar 1. Pada tebal lemak punggung rusuk ke-12, konformasi butt shape “B” berbeda nyatadengan butt shape “C” dan “D” (2,48 mm vs1,99 mm vs 1,61 mm). Konformasi butt shape

“C” berbeda nyata dengan “D”. Berdasarkan jenis kelamin, heifer dan cow mempunyai lemak punggung rusuk ke-12 yang nyata lebih tebal

dibandingkan steer (2,18 mm dan 2,11 mm vs1,80 mm).

Persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung pada konformasi butt shape “B” nyata

lebih tinggi dibandingkan butt shape “C” dan“D”, masing-masing 2,04% vs 1,75% vs 1,64%.Konformasi butt shape “C” berbeda nyatadengan “D”. Berdasarkan jenis kelamin, cow

mempunyai persentase lemak ginjal, pelvis dan  jantung lebih tinggi dibandingkan heifer dansteer  (2,03% vs 1,81% vs 1,59%).  Heifer 

berbeda nyata dengan steer.

Lemak rump P8 nyata lebih tebal pada butt 

shape “B” dibandingkan butt shape “C” dan“D” (4,12 mm vs 3,51 mm vs 3,14 mm).Konformasi butt shape “C” berbeda nyatadengan “D”.

Adanya perbedaan pada tebal lemak punggung, persentase lemak ginjal, pelvis dan

  jantung dan tebal lemak rump P8, tampaknyaberkaitan erat dengan bobot potong, jenis

kelamin dan bobot karkas seperti dikemukakanPreston & Willis (1982) dan Aberle et al. (2001)di atas. Hanson et al. (1999) yang menelitiperbedaan sex-class (steer vs heifer)mendapatkan lemak punggung yang lebih tebalpada heifer dibandingkan steer.

KESIMPULAN

Klasifikasi jenis kelamin (sex-class)

berpengaruh nyata terhadap terhadap bobot

karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung rusuk ke-12 dan persentase lemak ginjal, pelvis dan jantung. Peningkatan skorkonformasi butt shape dari D ke Bmenyebabkan peningkatan bobot karkas dansemua karakteristik karkas, namun tidak berkaitan dengan persentase karkas. Interaksikedua faktor menunjukkan bahwa luas uratdaging mata rusuk meningkat denganbergesernya skor butt shape pada klasifikasiheifer  dan cow, namun pada steer  hanyameningkat sampai skor butt shape C. Klasifikasi

 jenis kelamin dan konformasi butt shape perlu

dipertimbangkan dalam mengidentifikasiproduktivitas karkas.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, D.E., J.C. Forrest, D.E. Gerrard & E.W.Mills. 2001. Principles of Meat Science.Fourth Edition. W.H. Freeman and Company,San Francisco.

Abustam, E. 2000. Teknik pemotongan,pengkarkasan dan maturasi daging (aging).Prosiding Kursus Singkat Teknik Peningkatandan Penilaian Karkas dan Daging pada Ternak Sapi dengan Menggunakan Novel Teknologi.31 Juli – 14 Agustus 2000. Makassar.Kerjasama Fapet UNHAS Makassar denganProyek Peningkatan Kualitas SDM DirjenDikti Depdiknas Jakarta. Hlm. 1 – 17.

Aus-meat. 1987. Language. 2nd Edition. Aus-Met,Hyde Park Square, Sydney NSW 2000.

Aus-meat. 1995. Aus-Meat for IndonesiaWorkshop. Work Book No.1. Australian Meatand Livestock Corporation, Perth, WesternAustralia.

Australian Meat and Livestock Corporation.1998. A Workshop for Tropical FeedlotManagers : An Introductory Workshop forFeedlot Managers in The Philippines, PerthWestern Australia.

Bass, J.J., D.L. Johnson, & E.G. Woods. 1982.Relationship of carcass conformation of cattleand sheep with carcass composition. Proc.Anim. Prod. 42:125-126.

Crouse, J.D., D.L. Ferrel, & L.V. Cundiff. 1985.Effect of sex condition, genotype and diet onbovine growth and carcass characteristics. J.Anim. Sci. 60(5):1219-1227.

Media PeternakanHAFID & PRIYANTO

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 53/86

 Edisi Desember 2006 168

Field, R.A. & C.O. Schoonover. 1967. Equationfor comparing longissimus dorsi areas in bullsof different weights. J. Anim. Sci. 26:709-712.

Hafid, H.H. 1998. Kinerja produksi sapi AustralianCommercial Cross yang dipelihara secarafeedlot dengan kondisi bakalan dan lamapenggemukan berbeda. Tesis. ProgramPascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hafid, H.H., R.E. Gurnadi, R. Priyanto & A.Saefuddin. 2001. Komposisi potongankomersial karkas sapi Australian CommercialCross kebiri yang digemukkan secara feedlotpada lama penggemukan yang berbeda. JurnalIlmu-ilmu Pertanian Agroland, FakultasPertanian Universitas Tadulako Palu. Vol. 8(1) : 90 - 96.

Hafid, H.H. 2002.  Pengaruh pertumbuhankompensasi terhadap efisiensi pertumbuhansapi Brahman Cross kebiri padapenggemukan  feedlot . Jurnal Ilmu-ilmuPertanian Agroland, Fakultas PertanianUniversitas Tadulako Palu. Vol. 9(2): 179 -185.

Hanson, D., C. Calkins, B. Gwartney, J. Forrest& R. Lemenager. 1999. The relationship of beef primal cut composition to overall carcasscomposition. http.//ianrpubs.unl.edu/beef/ report/mp71-30.htm.[January 1999].

Jones, S.D.M, M.A, Price & R.T Berg. 1978.Effect of breed and sex on the relative growthand distribution of bone in cattle. Can. J.Anim. Sci. 58: 157-165.

Kempster, T, A. Cuthbertson & G. Harrington.1982. Carcass Evaluation in Livestock Breeding, Production and Marketing. FirstPubl. Granada Publishing Ltd., London.

Ngadiyono, N. 1995. Pertumbuhan serta sifat-sifatkarkas dan daging sapi Sumba, Ongole,Brahman Cross dan Australian CommercialCross yang dipelihara secara intensif pada

berbagai bobot potong. Disertasi. ProgramPascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Preston, T.R. & M.B. Willis. 1982. Intensif Beef 

Production. The Second Ed. Pergamon Press,Oxford-New York-Toronto-Sydney-Paris-Frankfurt.

Priyanto, R., ER, Johnson & D.G. Taylor. 1993.Prediction of carcass composition in heavy-weight grass-fed and grain-fed beef cattle.Anim. Prod. 57:65-72.

SAS. 1996. The Statistical Analysis System ForWindows Release V6.12. Louisiana StateUniversity. SAS Institute, Inc., Cary, NC,USA.

Steel, R.G.D. & J.H. Torrie. 1995. Prinsip danProsedur Statistika. Suatu PendekatanBiometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

Sorenson, S.E. 1988. The Automated Measurementof Beef. In: Australian Meat and Livestock Corporation. L.E. Brownlie, W.J.A. Hall &S.U. Fabiansson (Eds.). Sydney. Pp.75-80.

Taylor, D.G., E.R. Johnson & R. Priyanto. 1996.The accuracy of rump P8 fat thickness andtwelth rib fat thickness in predicting beef carcass fat content in three breed types. In:Proceedings of the Australian Society of Animal Production. The University of 

Quensland, Brisbane. Pp 193-195.Thornton, R.F. 1991. Report on Muscle Socers

Trials. Australian Meat and Livestock Corporation, Sydney.

Wello, B. 2000. Apresiasi dan Standardisasi Karkas.Prosiding Kursus Singkat Teknik Peningkatandan Penilaian Karkas dan Daging pada Ternak Sapi dengan Menggunakan Novel Teknologi.31 Juli – 14 Agustus 2000. Makassar.Kerjasama Fapet UNHAS Makassar denganProyek Peningkatan Kualitas SDM DirjenDikti Depdiknas Jakarta. Hlm. 50 - 65.

PENGARUH KONFORMASIVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 54/86

 Edisi Desember 2006  169

Respons Ayam Kampung terhadap Penambahan Kalsium Asal

Siput ( Lymnae Sp) dan Kerang (Corbiculla molktiana)

pada Kondisi Ransum Miskin Fosfor

KhalilFakultas Peternakan Universitas Andalas Kampus Limau Manis

PO. Box 79, Padang 25163 Sumatera Barat(Diterima 31-08-2005; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

The objectives of this present investigation were to evaluate effects of using shell of freshwater snail as major source of calcium in the diets on performance and bonemineralization of growing native chicks (1-12 weeks of age). There were four dietarytreatments. The first was a basal diet (negative control) containing 0.5 % bone meal, butdeficient in phosphor. Three other diets which were relatively the same in composition asthat of basal diet, but one supplemented with 2.5 % oyster shell (positive control) and twowith 2.5% shell of freshwater snail obtained from two different water bodies: lake and ricefield, respectively. One hundred birds of native chicken were divided into four groups of treatments with five replicates with 5 birds each and offered experimental diets for 12weeks. Parameters measured included: body weight gain, feed intake, feed conversionratio (FCR), weight of tibia bone and their ash and mineral (Ca and P) composition andretention. The chicks fed on diets containing shell of freshwater snails showed nosignificantly difference in body weight gain, feed intake and FCR with those fed on dietcontaining oyster shell, but significantly lower body weight gain than those fed on basaldiet containing only bone meal. Feeding of diets supplemented with shell of snails andoyster decreased significantly the body weight gain. However, no significantly differencewas observed in the weight and content of ash, Ca and P of tibia bone.

Key words : freshwater snail, native chicken, mineral nutrition, bone mineralization

PENDAHULUAN

Siput (  Lymnae sp) merupakan hewan

moluska yang banyak ditemui dan biasa hidupdan berkembangbiak di air tawar seperti danau,

situ, sawah dan sungai di daerah SumateraBarat. Tubuh siput yang lunak dilindungi oleh

cangkang keras yang berbentuk spiral. Siputbiasanya dimanfaatkan oleh masyarakat hanya

bagian isinya sebagai bahan pangan yangbernilai gizi tinggi. Bagian cangkang yangmencakup sekitar 83-85 % dari bobot utuh siput

(Khalil, 2003) umumnya dibuang tanpadimanfaatkan.

Cangkang siput tersusun atas kalsiumkarbonat (Dharma, 1988), sehingga berpotensi

untuk digunakan sebagai sumber mineralkalsium (Ca). Kandungan Ca cangkang siput

Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 169-175ISSN 0126-0472

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 55/86

 Edisi Desember 2006 170

sekitar 34-35% dalam bahan kering (Khalil,

2003). Bahan pakan sumber mineral Ca yang

umum digunakan dalam ransum ayam adalah

batu kapur, kulit kerang dan tepung tulang.

Disamping sebagai sumber Ca, tepung tulang

  juga berfungsi sebagai sumber fosfor (P).

Menurut (Shafey, 1993) ketersediaan atau

“bioavailabilty” mineral dari bahan yang

berbeda akan berbeda pula.

Menurut Iskandar (1991) ayam kampung

umur 0-12 minggu membutuhkan Ca 1–2,5%

dan P 0,9-1,5% dalam ransum. Ca dan P dalam

ransum harus terkandung dalam perbandingan

yang optimal, karena nilai guna kedua mineraldalam proses metabolisme tubuh saling terkait

satu sama lain. Imbangan Ca dan P yang optimal

dalam ransum ayam yang sedang bertumbuh

berkisar antara 1,4:1 sampai 4:1 (Shafey, 1993).

Disamping itu, dalam penetapan kandungan Ca

dalam ransum perlu dipertimbangkan efisiensi

penggunaannya yang tergantung antara lain oleh

umur ternak. Menurut Scholtyssek (1987) ayam

umur 1-6 minggu hanya dapat menggunakan Ca

dalam ransum maksimal 60%, umur 7-12minggu 55% dan di atas 13 minggu menurun

menjadi 50%. Oleh karena itu, kandungan Ca

dalam ransum sebaiknya dilebihkan dari standar

kebutuhan untuk mencegah terjadinya

defisiensi.

Penelitian pakan mineral menggunakan

ayam ras sudah banyak dilakukan (Shafey,

1993; Farrell, 1994; Dilworth & Day, 1965).

Data hasil penelitian menggunakan ayam

kampung masih sangat terbatas, termasuk penggunaaan bahan lokal seperti cangkang

siput. Jika dibandingkan dengan ayam ras, laju

pembentukan kerangka tubuh (tulang) pada

ayam kampung lebih cepat, yang dapat dilihat

antara dari tingkat kekerasan tulang dan

kemampuan mobilitas yang lebih tinggi pada

umur muda, meskipun laju pertumbuhan lebih

lambat daripada ayam ras dengan umur yang

sama. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa

tumbuh ayam kampung lebih efisien dalam

memanfaatkan mineral dalam ransum daripada

ayam ras. Ketersediaaan mineral suatu bahan

dapat dievaluasi melalui performa ternak 

dengan cara mengukur laju pertumbuhan,

kandungan abu atau komposisi mineral dari abu

tulang paha “tibia” (Shafey, 1993; Farrell, 1994;

Dilworth & Day, 1965).

Penelitian ini bertujuan untuk 

mengevaluasi nilai nutrisi ransum yang

mengandung tepung cangkang siput yang

berasal dari danau dan sawah sebagai sumber

utama kalsium pada ayam kampung umur 1-12

minggu. Sebagai pembanding (kontrol)digunakan ransum yang mengandung tepung

tulang dan tepung kulit kerang. Kandungan P

ransum dalam penelitan ini sengaja ditetapkan

di bawah standar kebutuhuan (0,4%) untuk 

mendapatkan pengaruh sumber Ca yang lebih

baik.

MATERI DAN METODE

Pengelompokkan dan Penempatan Ternak

Penelitian menggunakan ayam kampung

sebanyak 100 ekor yang berumur + 1 minggu

dengan rataan bobot 33,9 ± 3,2 g. Ayam dibagi

ke dalam 4 kelompok perlakuan dan setiap

perlakuan terdiri atas 5 ulangan, masing-masing

5 ekor ayam. Ayam ditempatkan secara acak ke

dalam 20 unit kandang “battery” (1 unit untuk 

1 ulangan) dengan ukuran panjang, lebar dan

tinggi adalah 60 x 50 x 70 cm. Setiap kandangdilengkapi dengan tempat ransum, tempat

minum dan lampu pemanas.

Penyusunan dan Pemberian

Ransum Perlakuan

Sebagai perlakuan disusun 4 jenis ransum

perlakuan yang berbeda bahan sumber

mineralnya. Ransum pertama dan kedua adalah

Media PeternakanKHALIL

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 56/86

 Edisi Desember 2006  171

ransum yang masing-masing mengandung

tepung cangkang siput yang berasal dari dua

habitat berbeda, yaitu danau dan sawah. Siput

danau diambil dari danau Maninjau, Kabupaten

Agam, sedangkan siput sawah berasal dari

persawahan Lubuk Buaya, Kotamadya Padang.

Proses penyiapan tepung cangkang dilakukan

menurut prosedur penelitian sebelumnya

(Khalil, 2003).

Ransum ketiga mengandung tepung kulit

kerang dan ransum keempat hanya mengandung

tepung tulang. Level penggunaan tepung

cangkang siput dan kulit kerang masing-masing

2,5%. Tepung tulang sebanyak 0,5%ditambahkan pada semua ransum untuk 

meningkatkan kandungan P. Kandungan nutrisi

dan energi ransum disusun berdasarkan standar

kebutuhan ayam kampung umur 1-12 minggu

menurut rekomendasi Iskandar et al. (1991).

Tabel 1 disajikan komposisi bahan penyusun

dan kandungan nutrisi dan energi ransum

penelitian. Ransum perlakuan diberikan ad 

libitum dengan frekuensi dua kali sehari selama

12 minggu pemeliharaan.

Parameter yang Diamati dan Diukur

Parameter yang diamati dan diukur

mencakup performa, bobot tulang paha,

kandungan dan retensi abu, Ca dan P pada tulang

paha ayam. Data performa yang diukur dan

diamati antara lain : pertambahan bobot badan,

konsumsi dan konversi ransum, mortalitas danmorbiditas.

Pada hari terakhir penelitian (akhir

minggu ke-12) dilakukan pemotongan sebanyak 

3 ekor ayam pada setiap perlakuan yang dipilih

secara acak pada 3 unit penelitian (ulangan)

RESPONS AYAM KAMPUNGVol. 29 No. 3

Tabel 1. Komposisi ransum penelitian dan kandungan nutrisi

  PerlakuanJenis

Cangkangsiput danau

Cangkangsiput sawah

Kulit kerang Tepungtulang

Bahan pakan (%)Jangung 38,0 38,0 38,0 37,5

Dedak padi 45,0 45,0 45,0 48,0

Bungkil kelapa 5,0 5,0 5,0 5,0

Bungkil kedelai 4,0 4,0 4,0 4,0Tepung ikan 4,0 4,0 4,0 4,0

Minyak kelapa 1,0 1,0 1,0 1,0

Tepung tulang 0,5 0,5 0,5 0,5Tepung kulit kerang - - 2,5 -

Tepung cangkang siput sawah - 2,5 - -

Tepung cangkang siput danau 2,5 - - -

Nutrien

Protein kasar (%) 15,1 15,1 15,1 15,4

Serat kasar (%) 7,4 7,4 7,4 7,1

Kalsium (%) 1,6 1,6 1,7 0,9

Fosfor (%) 0,4 0,4 0,4 0,5

Rasio Ca:P (%) 4,0:1,0 4,0:1,0 4,3:1,0 1,8:1,0Energi (MJME/kg) 10,0 10,0 10,0 10,1

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 57/86

 Edisi Desember 2006 172

untuk diambil tulang paha atau “tibia”. Setelah

ditimbang, tulang paha segar dikeringkan,

kemudian digiling dan dianalisa kandungan abu,

Ca dan P. Retensi abu, Ca dan P pada tulang

paha masing-masing dihitung dengan cara

membagi jumlah abu, Ca dan P yang terkandung

pada tulang paha dengan jumlah abu, Ca dan P

yang dikonsumsi dan dikalikan dengan 100 %.

Analisis Statistik

Data hasil penelitian dianalisa secara

statistik melalui analisis keragaman (variance

analysis) dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Peubah bobot badan, konsumsi dan

konversi ransum terdiri atas 4 perlakuan

(ransum) dan 5 ulangan, sedangkan bobot tulang

paha serta kandungan dan retensi abu, Ca dan P

pada tulang paha terdiri atas 4 perlakuan dan 3

ulangan. Tingkat perbedaan nilai rataan antar

perlakuan diuji dengan uji jarak Duncan

(DMRT) (Steel & Torrie, 1981)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data performa ayam disajikan pada Tabel

2. Bobot badan akhir dan laju pertambahan

bobot badan ayam yang mendapat ransum

dengan sumber mineral tepung cangkang siput

yang berasal dari habitat yang berbeda (danau

dan sawah) terlihat tidak berbeda nyata dengan

ayam yang mendapat ransum dengan sumber

mineral tepung kulit kerang, tetapi nyata lebih

rendah (P<0,05) daripada ayam yang mendapat

ransum dengan sumber mineral tepung tulang.

Rataan bobot badan ayam setelah dipelihara

selama 12 minggu mencapai 385-475 g/ekor,

dengan rataan pertambahan bobot badan harian

4,2-5,2 g/ekor. Seperti terlihat pada Gambar 1,

ayam yang mendapat ransum dengan sumber

mineral cangkang siput dan tepung kerang

menunjukkan bobot badan yang tidak jauhberbeda sampai minggu ke-12, sedangkan bobot

badan ayam yang mendapat ransum dengan

sumber mineral hanya tepung tulang nyata

terlihat lebih tinggi dari tiga perlakuan lainnya

mulai minggu ke-3 pemeliharaan.

Konsumsi ransum selama penelitian

berkisar antara 1,823-2,035 kg/ekor, konsumsi

harian dalam BK 19,4-24,2 g/ekor dan konversi

ransum 4,9-5,3. Konsumsi dan konversi ransum

untuk semua perlakuan terlihat tidak berbedanyata secara statistik, meskipun secara absolut

ayam yang mendapat ransum dengan sumber

mineral hanya tepung tulang menunjukkan nilai

rataan konsumsi sedikit lebih tinggi, baik 

Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

PerlakuanParameter

Cangkang

siput danau

Cangkang

siput sawah

Kulit kerang Tepung

tulang

Bobot badan awal 32,8 

34,9 32,2 35,7

Bobot badan akhir 401,7b

399,8b

385,2b

475,0a 

Pertambahan bobot badan harian 4,3b

4,3b

4,2b

5,2a 

Konsumsi ransum total 1823,1 1912,3 1860,6 2035,5

Konsumsi ransum harian 19,4 19,9 19,5 24,2

Konversi ransum 4,9 5,2 5,3 5,2

Tabel 2. Rataan pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum ayam buras yang diberiransum dengan sumber mineral berbeda (g/ekor)

Media PeternakanKHALIL

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 58/86

 Edisi Desember 2006  173

konsumsi total selama pemeliharaan maupunkonsumsi harian dalam BK.

Data ini menunjukkan bahwa nilai nutrisi

cangkang siput sebagai sumber mineral dalam

ransum ayam kampung yang sedang tumbuh

setara dengan kulit kerang. Karakteristik 

cangkang siput dengan kulit kerang baik secara

fisik maupun kimia relatif sama, karena berasal

dari phylum yang sama, yaitu Mollusca (Jassin,

1991) dan cangkang ini tersusun atas senyawa

yang sama berupa kalsium karbonat yang

mencapai 89-99% (Dharma, 1988).Apabila dibandingkan dengan performa

ayam yang mendapat ransum yang hanya

mengandung tepung tulang kuat dugaan bahwa

terjadi kelebihan Ca dan kekurangan P dalam

ransum akibat penambahan tepung cangkang

siput dan kulit kerang. Meskipun kandungan Ca

dan P telah disusun dengan kisaran imbangan

yang masih dapat ditolerir oleh ayam yang

sedang bertumbuh (sampai 4:1) (Shafey, 1993),

ayam menunjukkan tanda-tanda kelainanmetabolisme mineral, seperti terjadi penurunan

laju pertumbuhan (Tabel 2 dan Gambar 1) serta

terjadinya gangguan pembentukan tulang kaki.

Terdapat 2 ekor ayam dalam penelitian yang

menunjukkan kelainan kaki atau “ricket” pada

perlakuan ransum mengandung cangkang siput.

Hal ini sesuai dengan laporan Shafey (1993)

yang menyatakan bahwa kelebihan konsumsi

Ca tanpa diimbangi peningkatan peningkatan

kandungan P dalam ransum dapat menyebabkan

penurunan laju pertumbuhan dan efisiensipenggunaan ransum serta terjadinya gangguan

pembentukan tulang kaki atau “bone

malformation”.

Rendahnya ketersediaan P diduga karena

sebagian besar P yang terkadung dalam ransum

terikat dengan asam fitat. Menurut Scholtyssek 

(1987) sekitar 70% P yang terkandung dalam

pakan nabati terikat dalam bentuk fitat-P.

Selanjutnya pada dedak padi yang merupakan

Gambar 1. Perkembangan bobot badan ayam selama penelitian

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Lama pemeliharaan (minggu)

   B  o   b  o   t   b  a   d  a  n   (  g   /  e   k  o  r   )

Cangkang siput danau Cangkang siput sawah

Kulit kerang Tepung tulang

RESPONS AYAM KAMPUNGVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 59/86

 Edisi Desember 2006 174

komponen utama ransum perlakuan (45-48%)

(Tabel 1) P yang terikat dengan fitat mencapai

rata-rata 80% (Ravindran, 1997).

Meskipun demikian, rendahnya performa

dan terjadinya kelainan ini tidak ditunjang oleh

data bobot dan komposisi mineral tulang paha.Seperti terlihat pada Tabel 3, bobot tulang dan

kandungan abu serta Ca dan P tulang paha ayam

yang mendapat ransum dengan sumber mineral

cangkang siput dan kerang tidak berbeda nyata

dengan ayam yang mendapat ransum yang

hanya mengandung tepung tulang.

Selanjutnya, komposisi abu dan mineral

tulang paha tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata secara statistik diantara ke-4 perlakukan.

Menurut Shafey (1993) jika imbangan Ca dan

P dalam ransum ayam terlalu luas atau kelebihan

konsumsi Ca dan defiesiensi P, maka akan

mengakibatkan penurunan kandungan abu pada

tulang paha.

KESIMPULAN

Cangkang siput yang berasal dari habitat

yang berbeda sebagai sumber utama mineral

Tabel 3. Rataan bobot tulang paha serta kandungan dan retensi abu, Ca dan P tulang paha ayam yangdiberi ransum dengan sumber mineral berbeda

Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

  PerlakuanParameter

Cangkang

siput sawah

Cangkang

siput danau

Kulit kerang Tepung

tulang

Bobot tulang paha segar (BS)

(g/ekor)

15,8 17,4 13,6 17,7

Kandungan bahan kering (BK)

(% BS)

37,5a

36,6a

31,6b

38,9a 

Kandungan abu dan mineral (% BK)

- Abu 37,3 33,4 43,6 38,9

- Ca 16,9 9,5 13,7 11,4

- P 0,9 1,4 1,3 1,5

kalsium dalam ransum tidak berpengaruh

terhadap performa ayam kampung umur 1-12

minggu. Nilai nutrisi cangkang siput sawah,

siput danau dan kulit kerang setara satu sama

lain.

DAFTAR PUSTAKA

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. PT.Sarana Graha, Jakarta.

Dilworth, B.C. & Day, E.J. 1965. Effect of varyingdietary calcium:phosphorus ratios on tibiaand femur composition of the chicks. Poult.Sci, 44:1474-1479.

Farrel, D.J. 1994. Utilization of rice bran in dietsfor domestic fowl and ducklings. World’sPoult. Sci., 50:115-131.

Iskandar, S., E. Juarini, D. Zainuddin,Resnawati, H. Wibowo & Sumanto. 1991.Teknologi Tepat Guna Ayam Buras. BPTCiawi, Bogor.

Khalil. 2003. Analisa rendemen dan kandunganmineral cangkang pensi dan siput dariberbagai habitat air tawar di Sumatera Barat.J. Peternakan dan Lingkungan, Vol. 9, no.3:35-41.

Jassin, M. 1991. Zoologi Invertebrata. Sinarwijaya,Surabaya.

Media PeternakanKHALIL

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 60/86

 Edisi Desember 2006  175

Ravindran, V. 1997. Phytase: Value in inprovingphosphorus availability in broiler diets. BASF,Jerman.

Scholtyssek,S. 1987.Gefluegel.EugenUlmer Verlag.Steel, R.G. D. & J.H. Torrie. 1981. Principles

and Procedures of Statistics. McGraw-

Hill International Book Company,Auckland.

Shafey, T.M. 1993. Calcium tolerance of growing

chickens: effect of ratio of dietary calcium toavailable phosphorus. World’s Poult. Sci. J,49:5-18.

RESPONS AYAM KAMPUNGVol. 29 No. 3

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 61/86

 Edisi Desember 2006 176

Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 176-186ISSN 0126-0472

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

Faktor Karakteristik Peternak yang Mempengaruhi Sikap terhadap

Program Kredit Sapi Potong di Kelompok Peternak Andiniharjo

Kabupaten Sleman Yogyakarta

S.A. Wibowo & F.T. HaryadiJurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta(Diterima 10-05-2006; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

This research was conducted to know the farmer’s attitude toward cattle creditassistance and farmer’s characteristic factors that influence the probability of the farmer’sattitude toward cattle credit assistance. The respondents in this research were all of themembers of Andiniharjo cattle farmer’s group of 40 farmers as respondents which locatedin Pojokan sub village, Caturharjo, Sleman regency. The farmer’s characteristics factorwhich influence the probability of the farmer’s attitude toward cattle credit assistance wasanalized using binomial logistic regressions test. The model of binomial logistic regressionstest had 92,5% of correct prediction. The characteristic factors which infuence the probabilityof the farmer‘s attitude were the age of farmers (P<0.05), the farming motivation (P<0.05)and the income from farming (P<0.05). The conclusion of this research was that mostfarmer’s attitude of Andiniharjo cattle farmer’s group which located in Pojokan sub villagetoward cattle credit assistance from PT Telkom was negative. The age of farmers, thefarming motivation and the income of farming influenced the probability of the farmer’sattitude to have positive attitude toward cattle credit assistance from PT Telkom.

 Keywords : attitude, credit assistance, cattle

PENDAHULUAN

Kebijaksanaan pemerintah dalam

subsektor peternakan mengenai peternakan sapi

potong sebagai salah satu usaha yang perlu

dikembangkan adalah usaha peternakan rakyat.

Peternakan sapi potong merupakan salah satu

bagian penting dalam perekonomian

masyarakat desa di Indonesia dan sebagian

merupakan usaha ternak rakyat dengan skala

usaha satu sampai empat ekor per rumah tangga

peternak. Pemeliharaan ternak oleh petani

ternak di pedesaan masih merupakan usaha

pelengkap bagi kegiatan usahataninya. Hal ini

disebabkan karena pemeliharaannya yang masih

bersifat tradisional (Buletin PPSKI, 1992).

Keterbatasan modal pada peternakan

rakyat juga merupakan suatu kendala dalam

usaha pengembangan sapi potong, sehingga

sangat diperlukan adanya program modal dalam

usaha pengembangannya dan dibutuhkan

keberanian sikap para peternak untuk 

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 62/86

 Edisi Desember 2006  177

Media PeternakanWIBOWO & HARYADI

mengambil keputusan dalam menerima atau

menolak program kredit sapi potong yang

diberikan oleh pihak pemerintah ataupun swasta

(Azis, 1993). Sebagian petani peternak, tidak 

bisa mengandalkan modal pribadi untuk 

memenuhi kebutuhan usahataninya. Oleh

karena itu mereka berusaha memperoleh dana

dari berbagai sumber, baik secara informal yang

hanya melibatkan pihak petani dengan pemberi

pinjaman, maupun secara formal yang

pelaksanaannya melibatkan instansi pertanian

di tingkat kabupaten atau PPL. Umumnya,

kredit formal merupakan pilihan pertama, tetapi

karena terbatas, petani yang tidak memperolehkredit formal terpaksa meminjam dari sumber

informal (Tim Peneliti SMERU, 2002). Petani

masih tetap membutuhkan kredit usahatani.

Kredit yang disediakan harus mudah diakses

oleh petani. Skim kredit yang ditawarkan, baik 

penyaluran maupun pengembaliannya, perlu

memperhatikan kebutuhan petani dan pola

usahataninya (Tim Peneliti SMERU, 2001).

Kebijakan adanya paket-paket kredit

usaha tani atau crash program yang lain,terkadang dalam pelaksanaannya seperti

dipaksakan ke petani, sehingga petani yang

sebenarnya tidak memerlukannya, terpaksa

mengambil juga karena tidak mau repot di

kemudian hari. Hal ini akan menyebabkan tidak 

efisiennya penggunaan kredit usaha tani yang

berakibat pada kredit macet (Arfian &

Wijonarko, 2000). Karakter kepribadian

individu mempengaruhi peternak dalam

mengambil suatu risiko (Shrapnel & Davie,

2001). Peternak harus berani mengambil risiko

atas segala persyaratan yang diberikan oleh

pemberi kredit yaitu berupa angsuran beserta

bunga yang telah ditetapkan. Peternak yang

melanggar peraturan kredit akan mendapatkan

konsekuensi sesuai dengan kesepakatan.

Mardikanto (1993) menyatakan bahwa individu

yang memiliki keberanian dalam menghadapi

risiko biasanya individu tersebut lebih inovatif.

Kredit pertanian memiliki peranan yang sangat

signifikan dalam sejarah pelaksanaan program

pembangunan pertanian di Indonesia. Selain

sebagai faktor pelancar, kredit juga berfungsi

sebagai simpul kritis pembangunan yang efektif,

sehingga kredit pertanian tetap harus tersedia

(Supadi & Sumedi, 2004).

Persepsi dari petani merupakan halangan

serius dalam mengaplikasikan suatu metode

atau inovasi baru. Inovasi baru tidak akan dicoba

oleh petani, bila mereka belum yakin benar akan

efektivitasnya, dan keuntungan ekonomisnya.

Petani akan mengikuti apabila sudah melihat

hasil nyata (Arfian & Wijonarko, 2000).

Misalnya dengan memperkecil risiko programkredit akan menjadi faktor penting dalam adopsi

teknologi (Drost et al., 1996). Apabila para

peternak bersikap positif terhadap adanya

program permodalan berupa kredit sapi potong,

maka peternak tersebut akan cenderung

menerima program kredit tersebut, sebaliknya

apabila peternak bersikap negatif, maka akan

cenderung menolak adanya program kredit

tersebut. Menurut Walgito (2003) perilaku

seseorang akan dilatarbelakangi oleh sikap yangada pada orang yang bersangkutan.

Menurut Mubyarto (1991) kredit adalah

suatu transaksi antara dua pihak yaitu pihak I

disebut kreditor dan pihak II disebut debitor.

Pihak I memberikan pinjaman modal atau

menyediakan pinjaman sumber ekonomi berupa

barang atau dalam wujud uang, sedangkan pihak 

II diwajibkan melunasi atau membayar kembali

pada waktu yang telah ditentukan dan telah

disepakati oleh kedua belah pihak. Menurut

Suhardjono (2003) untuk mengetahui seberapa

  jauh kemungkinan calon debitor memenuhi

kewajibannya dan sekaligus mengukur

kemampuannya dalam melunasi hutang pokok 

dan bunga, maka pihak kreditor akan melakukan

analisis kredit yang menyangkut berbagai aspek.

Pada umumnya untuk menganalisis suatu

permohonan kredit, pihak kreditur

menggunakan prinsip yang dikenal dengan five

C’s of credit  yang terdiri dari karakter

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 63/86

 Edisi Desember 2006 178

FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3

(character), kemampuan (capacity), modal

(capital), kondisi ekonomi (condition of 

economy) dan jaminan/agunan (collateral).

Sikap adalah kecenderungan atau

kesediaan seseorang untuk bertingkah laku

tertentu seandainya seseorang tersebut

menghadapi suatu rangsang tertentu. Misalnya

seseorang memiliki sikap positif terhadap

sesuatu hal, maka orang tersebut akan

cenderung menggunakannya, tetapi jika orang

tersebut memiliki sikap negatif terhadap sesuatu

itu, maka ia akan cenderung menghindarinya.

Adanya kepercayaan terhadap sesuatu hal akan

menyebabkan timbulnya sikap tertentu terhadapsesuatu hal tersebut. Semakin besar kepercayaan

yang diberikan, akan semakin kuat pengaruhnya

untuk mengubah sikap (Sarwono, 2000). Sikap

seseorang tidak selamanya tetap. Sikap dapat

berkembang apabila mendapat pengaruh, baik 

dari dalam maupun dari luar, baik bersifat positif 

ataupun negatif (Ahmadi, 2002).

Menurut Krech et al. (1996) struktur sikap

mempunyai tiga komponen, yaitu: komponen

kognitif, komponen afektif, komponenkecenderungan tindakan. Komponen kognitif 

disebut juga komponen kepercayaan.

Komponen ini berhubungan dengan kesadaran

dan pengetahuan terhadap suatu obyek tertentu.

Komponen afektif merupakan unsur perasaan

atau reaksi emosional seseorang tentang suatu

obyek. Obyek yang dirasakan sebagai sesuatu

hal yang menyenangkan atau tidak 

menyenangkan, disukai atau tidak disukai.

Beban emosional inilah yang memberikan

watak tertentu terhadap sikap yaitu watak 

mantap, tergerak, dan bertindak. Komponen

kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan

dengan penilaian individu terhadap obyek atau

subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak 

manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan

evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang

akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan

pengetahuan yang telah ada di dalam otak 

manusia. Nilai-nilai baru yang diyakini benar,

baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan

mempengaruhi emosi atau komponen afektif 

dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen

afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi)

individu terhadap obyek atau subyek, yang

sejalan dengan hasil penilaiannya, sedangkan

komponen kecenderungan bertindak berkenaan

dengan keinginan individu untuk melakukan

perbuatan sesuai dengan keyakinan dan

keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu

obyek atau subyek dapat positif atau negatif.

Manifestasikan sikap terlihat dari tanggapan

seseorang apakah ia menerima atau menolak,

setuju atau tidak setuju terhadap obyek atausubyek (Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi

Pembangunan, 2005). Rahmat (2000)

menyatakan bahwa sikap bukan perilaku, tetapi

merupakan kecenderungan untuk berperilaku

dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap.

Sikap positif atau negatif terhadap program

kredit sapi potong merupakan proses perilaku

seseorang yang akan dipengaruhi oleh faktor-

faktor karakteristik orang tersebut (Soekartawi,

1988).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

sikap peternak terhadap program kredit sapi

potong dan faktor karakteristik peternak yang

mempengaruhi kecenderungan sikap peternak 

terhadap program kredit sapi potong. Hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan

suatu informasi mengenai gambaran sikap

peternak terhadap program kredit sapi potong

dan faktor-faktor karakteristik yang

mempengaruhinya serta diharapkan dapat

dijadikan sebagai bahan informasi bagi

pemerintah dan pihak pemberi kredit.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini merupakan studi kasus

tentang program kredit sapi potong di kandang

kelompok “Andiniharjo” yang berlokasi di

Dusun Pojokan, Caturharjo, Sleman. Kelompok 

Andiniharjo dipilih untuk penelitian karena

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 64/86

 Edisi Desember 2006  179

Media PeternakanWIBOWO & HARYADI

kelompok petani peternak tersebut sudah

terorganisasi dengan baik dan sebagian peternak 

mendapatkan program kredit sapi potong dari

PT Telkom. Materi penelitian ini adalah petani

peternak sapi potong di kelompok tani ternak 

Andiniharjo. Responden yang diambil adalah

semua petani peternak anggota kelompok tani

ternak Andiniharjo yang berjumlah 40 orang.

Penelitian dilakukan dengan metode

pengumpulan data menggunakan kuesioner

yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya.

Data yang diambil meliputi data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang diambil

dengan wawancara langsung dan denganmenggunakan kuesioner kepada para peternak 

sapi potong. Data primer yang diambil meliputi

umur, lama pendidikan, jumlah tanggungan

keluarga, pengalaman beternak, jumlah sapi

yang dimiliki, jumlah tenaga kerja, luas

kepemilikan lahan, motivasi beternak dan

pendapatan usaha ternak sapi potong, sedangkan

data sekunder adalah data yang diambil dari

Dinas Peternakan, instansi-instansi terkait, dan

sumber-sumber lain yang mendukung. Datasekunder berupa jumlah populasi sapi potong

di Kecamatan Sleman dan di Kabupaten

Sleman.

Analisis yang digunakan untuk 

mengetahui tingkat pendapatan dari usaha

ternak sapi potong adalah penghitungan selisih

antara pengeluaran dengan penerimaan dari

usaha ternak sapi potong (Soekartawi et al.,

1984). Digunakan 25 pernyataan untuk 

mengetahui motivasi beternak dan 15

pernyataan untuk mengetahui sikap peternak 

terhadap program kredit, kemudian menentukan

skor alternatif jawaban pernyataan dengan

metode Likert. Sesuai dengan pernyataan

Rollins (1993) bahwa Metode Likert

menggunakan 5 skor sebagai alternatif jawaban

yang masing-masing mempunyai makna Sangat

Tidak Setuju (1), Tidak Setuju (2), Ragu-ragu

(3), Setuju (4) dan Sangat Setuju (5).  Skor

  jawaban dari setiap pernyataan dijumlahkan,

dicari skor maksimum, dan skor minimum,

dengan rumus sebagai berikut :

Skor Maksimum : skor jawaban tertinggi X

 jumlah pernyataan

Skor Minimum : skor jawaban terendah X

 jumlah pernyataan

Keterangan :

Skor jawaban tertinggi : 5

Skor jawaban terendah : 1 (Sakdiah, 2003)

Hasil dari perhitungan mencerminkan

sikap setiap peternak terhadap bantuan kredit

yaitu :

Negatif : yang memiliki kisaran nilai 15-44

(skor 0)Positif : yang memiliki kisaran nilai 45-75

(skor 1)

Semakin tinggi skor yang diperoleh pada

pernyataan sikap peternak, maka akan

menunjukkan kecenderungan ke arah sikap

yang positif dan makin rendah skor akan

menunjukkan kecenderungan ke arah sikap

yang negatif. Hasil uji validitas dapat diketahui

bahwa pernyataan untuk mengukur motivasi

beternak dan sikap peternak semuanya sahihdengan koefisien reliabilitas sebesar 0,9652 dan

0,9721.

Analisis regresi binomial logistik 

digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap sikap. Analisis regresi

binomial logistik adalah analisis regresi yang

memiliki dua nilai di dalamnya. Alasan

digunakannya analisis regresi binomial logistik 

yaitu: 1) dalam penelitian ini hanya dibedakan

dua nilai yaitu sikap positif = 1 dan sikap negatif 

= 0, 2) variabel terikat (dependent variable)

dalam penilaian ini bersifat kualitatif (Santoso,

2001).

Digunakan rumus secara umum analisis

regresi binomial logistik untuk mengetahui

faktor karakteristik peternak yang

mempengaruhi kecenderungan sikap peternak 

terhadap program kredit sapi potong. Rumus

secara umum analisis regresi binomial logistik 

itu adalah sebagai berikut :

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 65/86

 Edisi Desember 2006 180

FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3

Selanjutnya rumus umum analisis regresi

binomial logistik tersebut diterapkan dalam

penelitian menjadi :

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah

Kecamatan Sleman merupakan salah satu

wilayah yang potensial dalam pengembangan

ternak sapi potong terutama yang dipelihara

dalam perkampungan ataupun kandang

kelompok. Hal ini didukung oleh keadaan tanah

yang subur sehingga dapat ditanami tanaman

pertanian dan hijauan pakan ternak yang

melimpah sepanjang tahun. Daerah pertanian

yang subur di wilayah Kecamatan Sleman ini

menjadikan hasil produksi pertanian tinggi

sehingga limbah pertanian akan mampu untuk 

mencukupi kebutuhan pakan ternak. Usaha

pertanian sangat mendukung usaha peternakan

sebagai penyedia pakan hijauan ternak.

Program Kredit Sapi Potong

Program kredit sapi potong di Kecamatan

Sleman merupakan kerjasama PT Telkom,

Dinas Peternakan Sleman dan peternak sapi

potong di Dusun Pojokan, Caturharjo,

Kecamatan Sleman dengan kredit yang dikelolaoleh pihak Bank BPD. Adapun kredit yang

diterima adalah dalam wujud sejumlah uang

sebesar Rp 5.000.000,00. Uang tersebut

dibelikan sapi potong betina dalam keadaan

bunting minimal tiga bulan yang akan beranak 

pertama kali dan sudah diperiksa oleh mantri

hewan, sehingga sudah ada kepastian bahwa

sapi yang diterima oleh peternak tidak mandul.

Pengembalian kredit dilakukan dengan

membayar angsuran setiap enam bulan sekalibeserta bunga sebesar 12% menurun per tahun

selama empat tahun.

Karakteristik Peternak Responden

Tabel 1 berikut ini menunjukkan rata-rata

persentase masing-masing karakteristik 

peternak responden. Hasil penelitian

menunjukkan umur peternak rata-rata 44,73

tahun dengan kisaran 25 tahun sampai 65 tahun

(Tabel 1). Hal ini berarti seluruh responden

termasuk dalam kategori umur produktif. Sesuai

dengan BPS Daerah Istimewa Yogyakarta

(2002) menyatakan bahwa kategori usia

produktif adalah usia antara 15 tahun sampai

65 tahun atau dapat dikategorikan usia kerja

yaitu penduduk berusia 15 tahun atau lebih.

Banyaknya responden yang tidak sekolah

sebanyak satu orang, SD sebanyak delapan

orang, SLTP sebanyak 15 orang, SLTA sebanyak 

110)negatif sikap(obPr

)positif sikap(obPr Log  X  β  β  ++=⎥⎦

⎤⎢⎣

99...

443322 X  X  X  X  β  β  β  β  ++++  

Keterangan :

β0 - β9 = Koefisien regresi

X1 = Umur (Tahun)X

2= Lama pendidikan (Tahun)

X3 = Jumlah tanggungan keluarga (Orang)

X4 = Pengalaman beternak (Tahun)

X5 = Jumlah tenaga kerja (Hari Orang Kerja)

X6 = Luas kepemilikan lahan (m2)

X7 = Jumlah sapi yang dimiliki (Unit Ternak)

X8 = Motivasi beternak (Skor)

X9 = Pendapatan usaha ternak (Rp/Th/UT)

Keterangan :

β0 - βk  = Koefisien regresi

X1 - Xk  = Variabel independen

 X  β  β  ++=⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡...

110

)eventno(obPr

)event(obPr Log

 X k k  β +  

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 66/86

 Edisi Desember 2006  181

Media PeternakanWIBOWO & HARYADI

13 orang dan Sarjana Muda sebanyak tiga orang.Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa lama pendidikan peternak responden

rata-rata 9,6 tahun (Tabel 1). Hal ini

menunjukkan bahwa secara rata-rata menurut

lama mengenyam pendidikan, sebagian besar

peternak berpendidikan setingkat SLTP.

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata

peternak mempunyai tanggungan keluarga

sebanyak 1,8 orang. Menurut Soekartawi

(1988), jumlah tanggungan keluarga dapat

dijadikan pertimbangan dalam pengambilankeputusan untuk menerima atau menolak suatu

teknologi baru.

Rata-rata pengalaman peternak dalam

beternak sapi potong adalah 16 tahun (Tabel 1).

Pengalaman terendah peternak dalam beternak 

sapi potong adalah enam tahun dan tertinggi

adalah 28 tahun. Pengalaman peternak dalam

memelihara sapi dapat mempengaruhi tingkat

keberhasilan peternak dalam mengembangkan

usahanya. Semakin lama pengalaman beternak 

sapi potong maka tingkat ketrampilan danpengetahuan peternak dalam menerapkan

teknologi akan semakin mudah dan cepat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil

wawancara dengan peternak, tenaga kerja pada

usaha ternak sapi potong dialokasikan untuk 

mencari rumput sebesar 50,8 HOK,

membersihkan kandang sebesar 22,3 HOK,

memberi pakan dan minum sebesar 15,3 HOK,

memandikan ternak sapi sebesar 19,8 HOK.

Diketahui rata-rata jumlah tenaga kerja dalam

memelihara ternak sapi potong selama satutahun rata-rata 108,2 HOK yang dilakukan oleh

kepala rumah tangga dan anggota keluarganya

(Tabel 1). Kepemilikan lahan sawah rata-rata

seluas 790,5 m2 (Tabel 1). Kepemilikan lahan

sawah yang relatif luas ini menunjukkan bahwa

pertanian di Desa Caturharjo memiliki potensi

untuk berkembang dengan baik.

Besarnya modal bergerak biasanya

digunakan sebagai petunjuk majunya tingkat

usahatani (Hernanto, 1989). Rata-rata jumlah

Karakteristik peternak Nilai

Rata-rata umur (Tahun) 44,73

Tingkat pendidikan (orang)

Tidak Sekolah 1,00

SD 8,00

SLTP 15,00

SLTA 13,00

Sarjana muda 3,00

Rata-rata lama pendidikan (Tahun) 9,60

Rata-rata jumlah tanggungan keluarga (orang) 1,80

Rata-rata pengalaman beternak (Tahun) 16,00

Rata-rata jumlah tenaga kerja (HOK) 108,20Rata-rata kepemilikan lahan sawah (m

2) 790,50

Rata-rata kepemilikan Ternak (UT) 1,36

Motivasi beternak (%)

Tinggi 80,00

Sedang 20,00

Rendah 0,00

Rata-rata pendapatan usaha ternak sapi potong (Rp/th/UT) 1.600.060,40

Tabel 1. Karakteristik peternak responden kandang kelompok Andiniharjo

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 67/86

 Edisi Desember 2006 182

FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3

kepemilikan ternak sapi potong yang dimilikioleh peternak adalah 1,36 unit ternak (Tabel 1)dengan kisaran antara 0,8 sampai 3,05 unit

ternak. Dilihat dari jumlah kepemilikanternaknya termasuk rendah. Rendahnya jumlahkepemilikan ternak akan mengakibatkanpeternak berusaha meningkatkan produktivitasdari ternak tersebut.

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa80% peternak memiliki motivasi tinggi, 20%peternak memiliki motivasi sedang dan 0%peternak memiliki motivasi rendah dalammemelihara ternak sapi potong. Hasil dari

perhitungan motivasi beternak sapi potong padaTabel 1 mencerminkan motivasi beternak setiappeternak. Hasil pengukuran motivasi beternak sapi potong yang ada di kandang kelompok ternak sapi potong Andiniharjo tergolong tinggi.Hal ini menunjukkan bahwa peternak mempunyai keinginan yang besar untuk memelihara ternak sapi potong.

Rata-rata penerimaan usaha ternak sapipotong responden adalah Rp 4.634.156,7,sedangkan rata-rata biaya produksi yang harus

dikeluarkan oleh peternak per tahun sebesar Rp3.034.096,3, sehingga dapat diketahui rata-ratapendapatan usaha ternak sapi potong peternak responden yaitu sebesar Rp 1.600.060,4(Tabel 1).

Sikap Peternak terhadap Bantuan

Kredit Sapi Potong

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-

rata sikap peternak di kelompok ternak 

Andiniharjo, Dusun Pojokan terhadap bantuankredit sapi potong dari PT. Telkom adalahnegatif. Hal ini ditunjukkan dengan kategori

sikap yang diperoleh dari hasil wawancaradengan peternak. Tabel 2 menunjukkan bahwapersentase sikap peternak terhadap bantuankredit sapi potong dari PT. Telkom adalah 47,5%peternak bersikap positif dan 52,5% peternak bersikap negatif terhadap seluruh pernyataansikap.

Sebanyak 52,5% peternak bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa jika adabantuan kredit sapi potong seperti ini, maka

kesejahteraan keluarga peternak akanmeningkat. Sebanyak 52,5% bersikap ragu-raguterhadap pernyataan bahwa bantuan kredit sapipotong tersebut dapat meningkatkan pendapatanpara peternak. Sebanyak 75% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan bahwa programbantuan kredit sapi potong ini akan membawakeberhasilan dengan cepat. Sebanyak 60%peternak bersikap ragu-ragu terhadappernyataan bahwa jika program bantuan kreditsapi potong ini diberikan kepada para peternak 

akan meningkatkan usaha peternakan mereka.Sebanyak 52,5% bersikap ragu-ragu terhadappernyataan bahwa jika program bantuan kreditsapi potong ini diberikan kepada para peternak akan menguntungkan para peternak. Sebanyak 40% peternak bersikap setuju, sebanyak 40%peternak bersikap ragu-ragu dan sebanyak 20%peternak bersikap tidak setuju terhadappernyataan bahwa program bantuan kredit sapipotong ini dapat diterima oleh peternak yang

miskin. Sebagian besar peternak masih

Tabel 2. Sikap mental peternak terhadap bantuan kredit dari PT. Telkom

  JumlahSikap mental peternak 

(orang) (%)

Positif  19 47,5

Negatif  21 52,5

Total 40 100,0

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 68/86

 Edisi Desember 2006  183

Media PeternakanWIBOWO & HARYADI

meragukan keberhasilan dari program kredit

sapi potong tersebut. Hal ini dikarenakan

sebagian peternak merasa terbebani dengan

persyaratan kredit yang dirasa cukup berat

apabila bantuan tersebut diterima oleh peternak.

Sebanyak 55% peternak bersikap ragu-

ragu terhadap pernyataan bahwa program

bantuan kredit sapi potong ini mudah dimengerti

dan dilaksanakan. Sebanyak 50% bersikap

setuju, sebanyak 50% peternak bersikap ragu-

ragu terhadap pernyataan bahwa program

bantuan kredit sapi potong ini tidak 

bertentangan dengan adat dan kepercayaan/ 

agama. Walaupun program bantuan kredit ini

cukup mudah dimengerti dan dilaksanakan dan

sebanyak 50% peternak setuju bahwa bantuan

kredit dari PT Telkom ini tidak bertentangan

dengan adat dan kepercayaan/agama di

masyarakat, akan tetapi tetap saja belum sesuai

dengan keinginan para peternak. Hal ini dapat

ditunjukkan bahwa sebanyak 12,5% peternak 

bersikap setuju, 42,5% bersikap ragu-ragu,

sebanyak 40% peternak bersikap tidak setuju

dan sebanyak 5% peternak bersikap sangat tidak 

setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 

77,5% bersikap ragu-ragu terhadap pernyataan

bahwa prosedur pemberian kredit sapi potong

seperti ini membutuhkan waktu yang lama dan

berbelit-belit.

Sebagian peternak anggota kelompok 

ternak Andiniharjo bersikap negatif terhadap

bantuan kredit dari PT Telkom karena bantuan

kredit yang diberikan ini cukup memberatkan

para peternak. Hal ini dapat ditunjukkan bahwasebanyak 2,5% peternak bersikap sangat setuju

dan sebanyak 50% bersikap setuju terhadap

pernyataan bahwa pengembalian pinjaman dan

bunga kredit ini terlalu besar. Para peternak 

merasa terbebani dengan pengembalian bunga

pinjaman yang dianggap masih relatif besar

yaitu sebesar 12% per tahun dengan jangka

waktu pengembalian pinjaman empat tahun

diangsur tiap enam bulan sekali. Akan tetapi,

ada juga sebagian peternak yang merasa tidak 

terbebani dengan adanya angsuran dan bunga

pinjaman yang telah ditetapkan. Sebanyak 

52,5% peternak bersikap setuju terhadap

pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi

potong dari PT Telkom ini akan menambah

beban biaya usaha peternakan sapi potong para

peternak, karena mereka beranggapan bahwa

dengan bunga pinjaman masih relatif besar dan

  jangka waktu pengembalian pinjaman yang

lama ini akan sulit untuk meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan keluarga mereka.

Jangka waktu pengembalian pinjaman yang

lama dengan angsuran setiap enam bulan sekali

selama empat tahun ini akan menambah beban

biaya usaha peternakan sapi potong mereka. Hal

ini dapat ditunjukkan dengan sebanyak 37,5%

bersikap setuju, sebanyak 15% peternak 

bersikap ragu-ragu dan sebanyak 47,5%

peternak bersikap tidak setuju terhadap

pernyataan bahwa program bantuan kredit sapi

potong dari PT Telkom ini akan membutuhkan

waktu yang relatif lama untuk mengembalikan

modal. Sebanyak 52,5% peternak bersikap

setuju bahwa persyaratan yang diberikan untuk 

mendapatkan bantuan kredit sapi potong ini

akan dapat memberatkan peternak.

Sebanyak 52,5% peternak bersikap setuju

terhadap pernyataan bahwa pelaksanaan pro-

gram bantuan kredit sapi potong dari PT Telkom

ini berisiko. Peternak yang merasa dirinya

miskin tidak berani mengambil risiko dengan

menerima bantuan kredit sapi potong dari PTTelkom, mereka takut seandainya tidak mampu

membayar angsuran pinjaman beserta bunga

setiap enam bulannya selama empat tahun tepat

pada waktunya. Soekartawi (1988) menyatakan

bahwa biasanya kebanyakan petani kecil

mempunyai sifat menolak risiko. Hal inilah

yang menyebabkan sebagian besar peternak 

kelompok ternak Andiniharjo bersikap negatif.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 69/86

 Edisi Desember 2006 184

FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3

Faktor-Faktor Karakteristik Peternak

yang Mempengaruhi Sikap Peternak

Hasil analisis binomial logistik dengan

metode   forward wald dapat diketahui bahwa

kemampuan prediksi model regresi binomial

logistik yang digunakan ini layak dipakai,

artinya bahwa faktor karakteristik peternak yang

meliputi umur, motivasi beternak dan

pendapatan usaha ternak terbukti meyakinkan

tingkat prediksi kebenaran terhadap

kecenderungan bersikap positif atau negatif 

sebesar 92,5%. Hasil analisis ini dapat dibuat

model persamaan regresi binomial logistik adalah seperti berikut:

Hasil analisis menunjukkan bahwa umur

peternak (X1) berpengaruh secara signifikan

(P<0,05) terhadap kecenderungan peternak untuk bersikap positif. Semakin bertambah usia

seseorang, diharapkan semakin mampu

menunjukkan kematangan jiwa dalam arti

semakin bijaksana dan mampu berpikir secara

rasional serta dapat menilai sesuatu hal dengan

lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat

Matatula (1997) yang mengemukakan bahwa

pada batasan umur yang produktif, seorangpetani akan berpikir lebih matang dalammenjalankan usahanya.

Hasil analisis menunjukkan bahwamotivasi beternak (X

8) berpengaruh secara

signifikan (P<0,05) terhadap kecenderunganpeternak masuk dalam kategori sikap positif.Motivasi beternak yang tinggi dari peternak akan cenderung menjadi bersikap positif terhadap sesuatu hal yang berhubungan denganinovasi dibidang peternakan dalam hal iniprogram kredit sapi potong dari PT Telkom.Menurut Handoko (1997) makin kuat motivasi

seseorang makin kuat pula usahanya untuk mencapai tujuan. Hasil analisis menunjukkanbahwa pendapatan peternak dari usaha ternak sapi potong (X

9) berpengaruh secara signifikan

(P<0,05) terhadap kecenderungan peternak untuk bersikap positif. Semakin bertambahnyapendapatan peternak dalam memelihara ternak sapi potong, maka peternak akan cenderungbersikap positif terhadap program kredit sapipotong dari PT. Telkom. Hal ini disebabkankarena dengan bertambahnya pendapatan dari

pemeliharaan ternak sapi potong, peternak akanmerasa lebih yakin dalam menentukan sikapnyaterhadap program kredit sapi potong dari PT.Telkom untuk menerima atau menolak programtersebut. Sesuai dengan pendapat Kotler (1993)yang menyatakan bahwa semakin tinggipendapatan seseorang maka kemampuan untuk menentukan pilihan akan lebih besar.

Keterangan : *= signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.

Variabel bebas B Exp(B) Sig.

X1 (Umur) 0,1669212* 1,182 0,020X8 (Motivasi beternak) 0,8834772* 2,419 0,036

 

X9 (Pendapatan) 0,0000024* 1,000 0,045

Constant -108,598 0,000 0,030

Correct prediction (%) 92,5

Tabel 3. Faktor-faktor karakteristik yang mempengaruhi sikap mental peternak dengan metode forward wald 

1X 0,1669212598,108 

Negatif)(SikapProb

Positif)(SikapProb Log ++−=⎥⎦

⎤⎢⎣⎡

98 X 0,0000024X 0,8834772 + 

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 70/86

 Edisi Desember 2006  185

Media PeternakanWIBOWO & HARYADI

KESIMPULAN

Sebagian besar sikap peternak di

kelompok ternak Andiniharjo, Dusun Pojokan

terhadap program kredit sapi potong dari PT.

Telkom adalah negatif. Kecenderungan

peternak untuk bersikap positif atau negatif 

terhadap kredit sapi potong dipengaruhi oleh

umur peternak, motivasi beternak dan

pendapatan peternak dari usaha ternak sapi

potong. Lama pendidikan, pengalaman

beternak, luas kepemilikan lahan, jumlah tenaga

kerja, jumlah sapi yang dimiliki oleh peternak 

dan jumlah tanggungan keluarga tidak 

mempengaruhi kecenderungan peternak untuk 

bersikap positif atau negatif terhadap kredit sapi

potong.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 2002. Psikologi Sosial. Edisi Revisi.Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. P. 170.

Arfian, M. & A. Wijonarko. 2000. Kondisi dan

tantangan ke depan sub sektor tanamanpangan di Indonesia. Proceedings of TheFourth Symposium on Agri-Bioche 2000. Hal.247-251.

Azis, M. A. 1993. Agroindustri Sapi Potong.Cetakan V BPFE, Yogyakarta.

BPS Daerah Istimewa Yogyakarta. 2002. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.

Buletin PPSKI. 1992. Strategi pengembanganindustri peternakan sapi potong skala kecildan menengah. Buletin PPSKI Vol.VIII No.39pp 7-9.

Drost, D., G. Long, D. Wilson, B. Miller & W.Campbell.   1996. Barriers to adoptingsustainable agricultural practices. J. of Extension. Vol. 34 Number 6. Departmentsof Plants, Soils and Biometeorology (PS&B)and Agricultural Systems Technology andEducation (ASTE), Utah State UniversityLogan, Utah.

Handoko, T. 1987. Manajemen Pemasaran: AnalisisPerilaku Konsumen. Penerbit Liberty,Yogyakarta.

Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. PenerbitSwadaya, Jakarta.

Jurnal Terbaru Fakultas Ekonomi

Pembangunan. 2005. Pembelajaran yangMenumbuhkan Sikap Wirausahawan. JurnalTerbaru Fakultas Ekonomi PembangunanUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kotler, P. 1993. Manajemen Pemasaran. Edisi ke-7. Penerbit Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia, Jakarta.

Krech, D., R.S. Crutchfield & E.L. Ballachey.1996. Sikap Sosial. Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa, Jakarta. pp 7-10.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan PembangunanPertanian. Sebelas Maret University Press,Surakarta.

Matatula, M. J. 1997. Evaluasi pengembangan sapipotong gaduhan Yayasan Mitra Mandiri diDaerah Transmigrasi Wayapo KabupatenMaluku Tengah. Tesis. Program PascaSarjana, Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

Mubyarto. 1991. Pengantar Ekonomi Pertanian.Penerbit LP3ES, Jakarta.

Rahmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. EdisiRevisi. Penerbit PT Remaja Rosdakarya,Bandung.

Rollins, T.J. 1993. Profile of farm technology

adopters. J. of Extension 31 (3): 38-39.Department of Agricultural and ExtensionEducation, Penn State University-UniversityPark, Pennsylvania.

Sakdiah, A. 2003. Hubungan berbagai motif usahabeternak ayam kampung secara kelompok dengan pendapatan : studi kasus kelompok peternak di Desa Trimurti KecamatanSrandakan Kabupaten Bantul. Skripsi.Fakultas Peternakan, Universitas GadjahMada, Yogyakarta.

Santoso, S. 2001. SPSS Statistik Parametrik. PT

Elex Media Komputindo, Jakarta.Sarwono. 2000. Teori-teori Psikologi Sosial.

Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.Shrapnel, M. & J. Davie. 2001. The influence of 

personality in determining farmer responsive-ness to risk. The Journal of AgriculturalEducation and Extension 7 (3):167-178.

Soekartawi, A., J. Soehardjo, B. Dillon &

Hardaker. 1984. Usahatani dan Penelitianuntuk Pengembangan Petani Kecil. PenerbitUI Press, Jakarta.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 71/86

 Edisi Desember 2006 186

Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar KomunikasiPertanian. Penerbit Universitas Indonesia,Jakarta.

Suhardjono. 2003. Manajemen Perkreditan UsahaKecil dan Menengah. Penerbit UPP AMPYKPN, Yogyakarta.

Supadi & Sumedi. 2004. Tinjauan umum kebijakankredit pertanian. Icaserd Working Paper no.25. Pusat Penelitian dan PengembanganSosial Ekonomi Pertanian, DepartemenPertanian, Bogor.

FAKTOR KARAKTERISTIK PETERNAKVol. 29 No. 3

Tim Peneliti SMERU. 2001. Bagaimana SebaiknyaPenyediaan Kredit Pertanian? NewsletterSmeru.  The Smeru Research Institute,

Jakarta.Tim Peneliti SMERU. 2002. Pendanaan Usahatani

Padi Pasca KUT, Kredit Ketahanan Pangan(KKP). Laporan Penelitian. LembagaPenelitian SMERU, Jakarta.

Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial (SuatuPengantar). Edisi Revisi. Penerbit Andi,Yogyakarta.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 72/86

 Edisi Desember 2006  187

Daya Pintal dan Kekuatan Benang Bulu Domba Priangan

dan Peranakan Merino

M. Duldjamana, T.R. Wiradaryaa & M.I.H. Muttaqinb

aFakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Fakultas Peternakan, IPB Bogor 16680bWiraswasta

(Diterima 13-10-2005; disetujui 05-10-2006)

ABSTRACT

Priangan sheep is a native sheep of Indonesia and considered as a hair sheep. Its mainproduct is meat. Recently, the Priangan sheep is crossed with a Merino sheep to producethe Priangan–Merino crossbred. Since the Merino sheep is considered as a wool sheep, itis expected that the Priangan–Merino sheep will have a better quality of wool than thePriangan sheep. To measure the wool improvement of the Priangan–Merino crossbred, anexperiment was conducted. Fifteen Priangan sheeps and 15 Merino crossbreds were usedin this experiment. The spinning count and wool yarn staple length were measured. Theexperimental statistics and the design of the experiment was completely ramdomized design.The results indicated that staple strength of wool yarn of Priangan was not significantly

different with that of Merino cross. Spinning count was significantly different (P<0.01)between breed.

Keyword : Yarn, Priangan and Merino cross, staple strenght, spinning count 

Vol. 29 No. 3Media Peternakan, Desember 2006, hlm. 187-192ISSN 0126-0472

Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005

PENDAHULUAN

Domba telah lama diternakkan hampir di

seluruh dunia termasuk Asia Tenggara.

Perkembangan peternakannya di Indonesiamasih sangat lambat karena umumnya

dilakukan secara tradisional. Populasinya di

Indonesia pada tahun 2003 tercatat sebanyak 8

 juta ekor dan 90% tersebar di pulau Jawa (Dirjen

Bina Produksi Peternakan, 2003). Domba

mempunyai peran cukup penting dalam

kehidupan masyarakat Indonesia dan dipelihara

untuk mencukupi kebutuhan daging. Selama ini

peternak menganggap bulu masih sebagai

limbah, seperti feses, sehingga pemanfaatannya

masih kurang, padahal pemanfaatan bulu domba

menjadi usaha barang yang bernilai ekonomi

dapat dilakukan sehingga bisa menambah

pendapatan peternak. Bulu domba dapat dipintalmenjadi benang dan diproses lebih lanjut sampai

menghasilkan produk bernilai ekonomi.

Kegiatan pemintalan bulu semakin maju seiring

dengan perkembangan peradaban manusia.

Negara-negara yang memiliki bangsa

domba tipe wool menghasilkan wool berkualitas

sebagai produk utamanya, sehingga wool dapat

dipintal secara modern untuk mendapatkan

bahan sandang. Kegiatan pemintalan pada

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 73/86

 Edisi Desember 2006 188

Media PeternakanDULDJAMAN ET AL.

umumnya masih dilakukan secara sederhana di

Indonesia atau Asia Tenggara. Hal ini

disebabkan antara lain produksi bulu domba

daerah tropis per ekornya umumnya sedikit dan

bulunya tidak halus atau berdiameter besar.

Gatenby (1991) mengemukakan bulu domba

tropis mempunyai rata-rata diameter antara 26-

65 mikrometer, sehingga bulu tersebut hanya

cocok untuk barang non sandang sepeti hiasan

dinding, selimut, tas dan lain-lain.

Bangsa domba lokal yang banyak terdapat

di Indonesia adalah domba Ekor Gemuk, Ekor

Tipis dan domba Priangan. Domba Priangan

merupakan hasil persilangan dari tiga bangsadomba, antara lain domba Merino, domba

Kaapstad dan domba Lokal (Merkens &

Soemirat, 1926). Produksi wool domba

persilangan tipe daging dengan tipe wool selalu

lebih rendah dari induk murninya dan

perbedaannya akan semakin menonjol setelah

berumur lebih tiga tahun. Sebaliknya untuk 

 jumlah kelahiran anak, jumlah yang disapih dan

bobot sapih akan lebih tinggi (Iman & Slyter,

1996).Domba Priangan memiliki bulu halus atau

wool disamping bulu kasar atau rambut,

sehingga bulunya mempunyai harapan untuk 

dimanfaatkan. Bulu kasar seperti pada domba

Priangan masih banyak mengandung medulla

yang membentuk rongga sepanjang serat bulu.

Medulla sangat berguna untuk menentukan tipe

wool, tetapi sangat tidak diinginkan dalam

mohair atau wool untuk bahan pakaian (Lupton

& Pfeiffer, 1998). Menurut Syamyono (2002)rataan diameter bulu domba Priangan untuk 

bulu halus 30,13±13,11 mikrometer dan bulu

kasar 130,44±20,58 mikrometer. Diameter serat

bulu ini merupakan salah satu faktor yang

menentukan tingkat kehalusannya.

Domba Persilangan Merino mempunyai

diameter bulu 23,6±4,93 mikrometer dan

bulunya lebih seragam (Bustomy, 1996). Yamin

& Rahayu (1995) melaporkan produksi bulu

domba Merino lebih tinggi dari pada bulu

domba lokal. Angka pintal suatu benang

menunjukkan kualitas dari serat bulu. Bulu yang

berkualitas baik dapat menghasilkan produk 

benang yang lebih panjang dalam bobot yang

sama. Pada umumnya sifat benang yang sering

dievaluasi untuk menentukan kualitasnya adalah

pengukuran kehalusan yaitu bobot benang per

satuan panjang tertentu, kekuatan benang dan

kerataan benang (Moerdoko et al., 1973).

Respon perlakuan bahan kimia terhadap jenis

serat benang bisa berbeda. Penelitian ini

bertujuan untuk mempelajari produksi dan

kekuatan (derajat putus dan mulur) benang yangtelah mengalami proses kimia seperti

pengelantangan dan pencelupan dari bulu

domba Priangan dibandingkan dengan benang

bulu domba Peranakan Merino.

MATERI DAN METODE

Materi yang digunakan pada penelitian ini

adalah benang bulu domba Priangan dari Garut

dan domba Peranakan Merino dari PT KarianaGita Utama. Bulu hasil pencukuran diperoleh

dari 15 ekor domba Peranakan Merino dan 15

ekor domba Priangan. Bahan kimia yang

dipakai adalah deterjen, disinfektan, H2O

2

sebagai pemutih, zat pewarna dan asam asetat.

Peralatan yang digunakan adalah carding,

 jantra, instron strength tester  (alat pengukur

derajat putus dan kemuluran) dan peralatan

lainnya seperti ember plastik, pengaduk,

gunting, penggaris, kompor, panci, dantimbangan listrik.

Metode pembuatan benang menurut

Yamin & Rahayu (1995) yaitu bulu domba hasil

pencukuran dibersihkan dari kotoran berupa

 feses, tanah dan sisa-sisa pakan. Bulu direndam

dalam air bersih selama 12 jam, kemudian

dibilas lagi dengan air bersih. Selanjutnya bulu

direndam lagi dalam cairan deterjen 100 g/10

liter air selama 15 menit kemudian dibilas dalam

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 74/86

 Edisi Desember 2006  189

Keterangan: superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

  Bangsa domba Angka pintalan

Priangan 0,26A± 0,03

Peranakan Merino 0,22B ± 0,03

Tabel 1. Rataan angka pintalan benang bulu domba Priangan dan Peranakan Merino (g/ 50 cm)

DAYA PINTALVol. 29 No. 3

air bersih. Terakhir bulu dicelupkan ke dalam

larutan desinfektan Trisol 100 ml/10 liter air.

Bulu yang telah didesinfektan diperas lalu

dijemur sampai kering.

Bulu yang telah kering dibersihkan

kembali dari sisa kotoran dan bulu yang

menggumpal dicabik-cabik atau digunting.

Selanjutnya bulu disisir dengan alat carding

sehingga didapatkan dua macam lembaran bulu

yaitu lembaran bulu berserat pendek dan

panjang. Lembaran bulu tersebut dipintal

dengan alat pintal jantra sehingga dihasilkan

benang mentah (benang tunggal). Benang

mentah dari domba Priangan dan dombaPeranakan Merino dipotong–potong sama

sepanjang 50 cm, masing-masing sebanyak 30

potong. Setiap potongan benang itu ditimbang

untuk mengetahui angka pintalnya.

Uji kekuatan benang dilakukan pada

benang yang telah digandakan terlebih dahulu.

Benang ini kemudian dipotong sepanjang 50 cm

sebanyak 30 potong untuk masing-masing

bangsa dan dibagi secara acak ke dalam lima

kelompok perlakuan. Perlakuan pertama benangmentah tanpa perlakuan kimia sebagai kontrol

(B1), perlakuan kedua benang mentah yang

dikelantang (B2), perlakuan ketiga benang

dikelantang dengan pencelupan selama 15 menit

(B3), perlakuan keempat benang dikelantang

dengan pencelupan selama 30 menit (B4) dan

perlakuan kelima benang dikelantang dengan

pencelupan selama 45 menit (B5). Kelima

kelompok perlakuan benang dengan ulangan

enam kali dari masing-masing bangsa diuji

kekuatannya (daya putus dan mulur) dengan alat

instron strength tester  di Balai Besar Tektil

Bandung.

Pengelantangan dilakukan dengan cara

benang mentah direbus dalam larutan H2O

2(20

ml/liter) ditambah deterjen bubuk (4 g /liter)

selama 5 menit dalam suhu 40-50oC dengan

perbandingan larutan 1 : 30, kemudian benang

dibilas. Pewarnaan benang dengan cara

mencelupkan benang kedalam air mendidih

yang diberi pewarna kain (4% dari berat benang)

ditambah asam asetat 4% dibiarkan 45 menit

dengan perbandingan larutan 1: 20. Rancangan

yang digunakan adalah acak lengkap pola searahdengan masing-masing tiga puluh kali ulangan

digunakan untuk penghitungan daya pintal,

sedangkan untuk kekuatan dan kemuluran

benang digunakan rancangan acak lengkap pola

faktorial 2x5 dengan ulangan enam kali.

Pengujian selanjutnya dengan beda nyata jujur

(Steel & Torrie, 1982).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Angka Pintal

Hasil penelitian (Tabel 1) menghasilkan

rataan angka pintal dari serat bulu domba

Priangan 0,26± 0,03 g per 50 cm dan domba

Peranakan Merino 0,22 ± 0,03 g per 50 cm.

Perlakuan menunjukkan pengaruh sangat nyata.

Hal ini menunjukkan bahwa angka pintal serat

bulu domba Peranakan Merino secara statistik 

sangat nyata lebih baik dari domba Priangan.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 75/86

 Edisi Desember 2006 190

 Tabel 2. Rataan derajat putus dan kemuluran benang bulu domba Priangan dan Peranakan Merino

  Derajat putus (Newton) Kemuluran (mm)Perlakuan

Priangan P. Merino Priangan P. Merino

B1 1,76±0,59 1,83±0,54 88,17±26,82 74,50±14,22

B2 1,56±0,23 1,29±0,51 82,67±20,93 75,67±41,22

B3 1,29±0,43 1,29±0,82 86,67±23,81 75,50±37,13

B4 1,53±0,47 1,82±0,39 78,50±25,36 77,83±35,85

B5 1,09±0,44 1,63±0,66 59,50±24,03 60,50±34,90

Media PeternakanDULDJAMAN ET AL.

Domba Peranakan Merino mempunyai diameter

serat bulu lebih rendah dan seragam sehingga

serat bulunya lebih halus dibanding domba

Priangan. Angka pintal domba Priangan yang

diteliti Syamyono (2002) menghasilkan 2,07±

0,11 m/g, dengan hasil penelitian ini

menunjukkan adanya kesamaan.

Kualitas pemintalan ini menurut

Kammlade & Kammlade (1955) dipengaruhi

oleh bangsa domba. Menurut Whan (1970)

rataan diameter serat bulu dan perbedaan

genetik sangat penting dalam pengolahan wool.

Diameter serat juga merupakan salah satu faktor

terpenting dalam menentukan kualitas dan hargawool. Selain itu, keseragaman diameter serat

sangat diinginkan oleh pengolah wool karena

kualitas pintalnya akan lebih baik (Rogan,

1989). Bulu dari bangsa domba yang

mempunyai serat halus akan lebih mudah

dibentuk menjadi benang dibandingkan dengan

bulu dari bangsa domba yang berserat bulu

kasar. Semakin rendah diameter serat maka bulu

akan semakin halus dan angka pintalnya akan

semakin baik, sehingga benang yang dihasilkanakan semakin panjang.

Kekuatan atau Derajat Putus dan

Kemuluran Benang

Pengujian kekuatan atau derajat putus dan

kemuluran benang dilakukan sekaligus dengan

alat instron strength tester  dengan satuannya

masing-masing Newton dan mm. Pengujian

bahan baku (benang) sangat penting dilakukan

karena sangat menentukan kualitas produk yang

akan dihasilkan.

Kekuatan serat bulu berpengaruh terhadap

kekuatan benang yang dipengaruhi antara lain

ada tidaknya titik rapuh, bentuk serat yang

bersisik, proses pencucian, masa kebuntingan

dan laktasi domba. Kondisi serat bulu dari kedua

bangsa ini hampir sama yaitu pendek-pendek,

warnanya kotor kekuning-kuningan. Titik rapuh

atau pengurangan diameter serat bulu dalam

benang masih terlihat pada kedua bangsa ini.Angka rataan derajat putus dan kemuluran

benang dari domba Priangan dan Peranakan

Merino tercantum dalam Tabel 2.

Pengujian kekuatan terhadap benang yang

telah diberi perlakuan kimiawi berupa

pengelantangan (B2) dan pencelupan dengan

waktu 15 menit (B3), 30 menit (B4), 45 menit

(B5) dan benang mentah sebagai kontrol (B1)

menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.

Hal ini menunjukkan pengelantangan danpencelupan selama 15 menit sampai 45 menit

tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan

benang atau derajat putus dan mulurnya. Begitu

  juga halnya pengaruh perbedaan bangsa tidak 

berbeda nyata.

Nilai kekuatan atau derajat putus benang

mentah untuk domba Priangan sebesar 1,76

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 76/86

 Edisi Desember 2006  191

DAYA PINTALVol. 29 No. 3

Newton dan domba Peranakan Merino 1,83

Newton, sedangkan nilai kemulurannya

masing–masing 88,17 dan 74,50 mm. Keadaan

ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

antara kedua bangsa. Hal ini disebabkan karena

benang dari kedua bangsa domba relatif sama

kondisinya dalam tektur benang, panjang serat,

dan kekuatan pintalannya karena dikerjakan

sama secara manual. Semakin panjang benang

semakin banyak ketidak rataanya, maka

semakin besar peluang benang untuk putus.

Pengelantangan bertujuan untuk 

menghilangkan warna warni bulu yang tidak 

sempurna seperti kekuning–kuningan gelapatau tidak rata. Warna–warna muncul

disebabkan karena adanya pigmen dalam bulu

atau pengaruh lingkungan yang tidak bisa hilang

waktu pencucian. Benang yang telah

dikelantang menjadi lebih putih sehingga

pewarnaan menjadi lebih jelas dan merata.

Proses pengelantangan tidak merusak serat bulu

tetapi hanya melarutkan kotoran yang

menempel pada serat bulu dan membuang

pigmen-pigmen yang bersenyawa organik dengan mengoksidasi atau mereduksi.

Menurut Tomes (1976) dan Soeprijono

et al. (1974) rata-rata panjang serat bulu domba

Priangan dengan bahan serat yang rata-rata lebih

pendek dibandingkan dengan domba Merino

akan memperlihatkan kekuatan benang yang

lebih kecil. Hasil penelitian ini agak berbeda

dibandingkan dengan hasil penelitian di atas.

Perbedaan ini disebabkan oleh bulu domba

Priangan telah mengalami penyortiran dari bulukasarnya sehingga tinggal yang halusnya, maka

kekuatannya relatif sama. Walaupun diameter

bulunya masih relatif berbeda tetapi

kekuatannya sama dengan bulu peranakan

Merino. Bustomy (1996), mengemukakan

diameter bulu domba Priangan sebesar 34,30

mikrometer termasuk ke dalam tipe wool sedang

kelas kasar, sedangkan diameter serat bulu

domba Peranakan Merino 22,70 mikrometer

termasuk kedalam tipe wool sedang kelas halus.

Selanjutnya dikemukakan bahwa jumlah crimp

pada domba Peranakan Merino 3,04/mm

sedang pada domba Priangan 1,8/mm. Semakin

halus serat dan banyak  crimp maka angka

derajat putus dan kemuluran benangnya

semakin kecil.

Selain sifat fisik serat bulu, faktor

keturunan juga mempengaruhi kehalusan dan

kekuatan serat. Drummond et al. (1982)

mengemukakan bahwa domba wool bangsa

murni mempunyai kelebihan dari segi kehalusan

serat dan kekuatannya bila dibandingkan

dengan serat bulu dari domba persilanganTidak berbedanya derajat putus dan

kemuluran benang dari bulu domba Priangan

dengan Peranakan Merino pada penelitian ini

dapat disebabkan oleh faktor bahan baku,

kondisi alat dan manusia. Serat bulu domba

Peranakan Merino yang digunakan dalam

penelitian ini berasal dari PT. Kariana Gita

Utama, panjangnya tidak seragam dan

umumnya pendek-pendek. Keadaan ini

disebabkan adanya kesalahan teknis pada waktupencukuran dan umur bulu yang belum

waktunya dipanen (satu tahun) pada saat proses

pecukuran. Selain itu, pada domba Priangan

dilakukan penyortiran serat saat persiapan

peyediaan bahan terutama dari bulu kasarnya,

sehingga kondisi bulu relatif seragam. Serat

bulu yang pendek-pendek ini menyebabkan

banyak benang tidak rata. Maryani (1988)

mengemukakan bahwa semakin tinggi

ketidakrataan dalam benang maka peluanguntuk putus semakin besar. Semakin panjang

benang maka makin tinggi ketidak rataannya,

akibatnya semakin besar peluang benang untuk 

putus.

KESIMPULAN

Angka pintal benang bulu domba

Peranakan Merino lebih baik dibandingkan

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 77/86

 Edisi Desember 2006 192

Media PeternakanDULDJAMAN ET AL.

dengan domba Priangan, ini menunjukkankualitas serat bulu domba Peranakan Merinolebih halus. Benang bulu domba Priangankekuatannya relatif sama dengan benang daribulu Peranakan Merino, baik benang mentahnyamaupun yang telah dikelantang dan dicelupwarna. Benang bulu yang dicelup selama 45menit lebih baik karena warnanya lebih pekatatau lebih jelas dari kedua bangsa, sedangkankekuatannya sama.

DAFTAR PUSTAKA

Bustomy, B.S. 1996. Kualitas bulu domba betinadan jantan pada domba Priangan dan dombaPeranakan Merino. Skripsi. Jurusan IlmuProduksi Ternak, Fakultas Peternakan, InstitutPertanian Bogor, Bogor.

Dirjen Bina Produksi Peternakan. 2003. BukuStatistik Peternakan. Depertemen PertanianRepublik Indonesia, Jakarta.

Drummond, J., R.A. O’Connell & K.L. Colman.1982. The effect of age and Finnsheepbreeding on wool properties and processingcharacteristics. Journal of Animal Science. 54

: 8-11.Gatenby, R.M. 1991. Sheep. Macmillan EducationLtd., London.

Iman, N.Y & A.L. Slyter. 1996. Lifetime lamb andwool production of Targhee or Finn-Dorset-Targhee ewes managed as farm or range flock:II Cumulatitive Lamb and Wool Production.J. Anim. Sci. 74:1765-1769.

Kammlade, W.G. & W.G. Kammlade, Jr. 1955.Sheep Science. J.B. Lippincot Company, NewYork.

Lupton, C.J. & F.A. Pfeiffer. 1998. Measurementof medullation in wool and mohair using an

optical fibre diameter analyser. J. Anim. Sci.76:1261-1266.

Merkens, J. & R. Soemirat. 1926. Sumbangan

Pengetahuan Tentang Peternakan Domba diIndonesia. Terjemahan. Dalam : Domba danKambing. 1979. Lembaga PengetahuanIndonesia, Bogor.

Maryani, S. 1988. Usaha pemanfaatan bulu dombadalam negeri melalui pemintalan kapas.Thesis. Institut Teknologi Tekstil,Bandung.

Moerdoko, W., Isminingsih, Wagimun &

Soeripto. 1973. Evaluasi Tekstil BagianFisika. Institut Teknologi Tekstil, Bandung.

Rogan, I.M. 1989. Genetic variation and

comvariation in wool characteristics relatedto processing performance and their economicsignificance. Wool Technol. and Sheep Breed.36(4):126.

Syamyono, 0. 2002. Produksi, kualitas dan hasilpengolahan dari wol domba Priangan dandomba komposit HMG dan MHG. Skripsi.Jurusan Ilmu Produksi Ternak, FakultasPeternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Steel R.G.D & J.H Torrie. 1982. Principles andProcedures of Statistics.3rd Prin.McGraw-Hill.Kogakusha, Tokyo.

Soeprijono, P., Poerwanti, Widayat & Jumaeri.1974. Serat-serat Tekstil. Cetakan ke II.Institut Teknologi Tekstil, Bandung.

Tomes, G.J. 1976. Sheep Breeding. WesternAustralia Institute of Technology, Perth.

Yamin, M. & S. Rahayu. 1995. Pengolahan limbahbulu domba untuk kerajinan hiasandinding dan keset. Laporan Penelitian.Fakutas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,Bogor.

Whan , R.B. 1970. Why class the clip. WoolTechnol. and Sheep Breed.17(2):9.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 78/86

 Edisi Desember 2006  193

Adawiah, 27

Afiati, A., 16

Arief, I.I., 76

Astawan, M., 1

Astuti, W. D., 83, 121

Duldjaman, M., 187

Evvyernie, D., 83, 121

Fuah, A.M., 155Gunawan, A., 7

Habibie, A., 133

Hafid, H.H., 63, 162

Hardjosworo, P.S., 133

Haryadi, F.T., 176

Haryanto, B., 20

Hermana, W., 16

Hotimah, N., 146

Jayanegara, A., 54

Kaiin, E.M., 141

Khalil, 70, 169

Khotijah, L., 89

Kusnadi, E., 133

Maheswari, R.R.A., 76

Manalu, W., 27

Muttaqin, M.I.H., 187

Nahrowi, 27

Nazilah, R., 146

Noerzihad, T.Q., 146

INDEKS PENULIS

VOLUME 29

Noor, R.R., 7

Novita, C.I., 96

Nursasih, E., 146

Parakkasi, A., 20

Priyanto, R., 63, 162

Purwanto, B.P., 35

Retnani, Y., 146

Saleh, A., 107Sianturi, E.M., 155

Sigit, N. A., 146

Sudono, A., 96

Sumiati, 16

Suryati, T., 1, 76

Sutama, I.K., 96

Sutardi, T., 27, 54, 83, 121, 133

Suthama, N., 47

Tanuwiria, U.H., 27

Tappa, B., 141

Tjakradidjaja, A.S., 54

Toharmat, T., 27, 83, 96, 121, 146

Uhi, H.T., 20

Wibowo, S.A., 176

Widjajakusuma, R., 133

Wiradarya, T.R., 187

Wiryawan, K.G., 155

Wresdiyati, T., 1

Yani, A., 35

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 79/86

 Edisi Desember 2006 194

INDEKS SUBYEK

VOLUME 29

antanan, 133

 Aspergillus oryzae, 83, 121

ayam broiler, 16, 133

ayam kampung, 169

ayam Kedu, 47

bobot lahir, 7

bobot sapih, 7

bulu domba, 187CaCl

2(kalsium klorida), 1

cekaman panas, 35, 133

CIDR, 141

daging domba, 1

daging sapi DFD, 76

daya pintal, 187

distribusi, 63

DL-metionina, 89

domba Garut tipe laga, 7

domba peranakan merino, 187

domba priangan, 187

domba, 20, 27

fermentabilitas, 54

fermentasi, 76, 96

fosfor, 169

FSH, 141

HCG, 141

heritabilitas, 7

iklim mikro, 35

 jaringan komunikasi, 107

 jerami padi, 96kacang kedelai sangrai, 27

kalsium, 169

kambing PE, 96

kambing, 146

karakteristik karkas, 162

karakteristik organoleptik, 1

karakteristik peternak, 176

kecernaan, 54, 96, 146

kekuatan benang, 187

kelinci, 89

kelompok peternak, 107, 176

kerang, 169

klasifikasi jenis kelamin, 162

kolin klorida, 16

komposisi mineral, 70

konformasi butt shape, 162

konsumsi, 146, 155kromium organik, 54, 83, 121

kromium, 54, 83

kulit Pensi, 70

 Lactobacillus plantarum, 76

media massa, 107

mikroba rumen, 20, 121

mineral organik, 27

mineral, 20

modifikasi lingkungan, 35

mortalitas, 155

nutrien ransum, 146

pakan kaya serat, 146

pertambahan bobot badan, 155

pertumbuhan, 47, 63

peternak sapi potong, 107, 176

potongan komersial, 63

protein turn over , 47

ragi tape, 83, 121, 155

rasio konversi pakan, 155

respon fisiologis, 35

 Rhyzopus oryzae, 83, 121sabun mineral, 27

Saccharomyces cerevisiae, 83, 121

sapi Australian commercial cross, 63

sapi Brahman cross, 63, 162

sapi peranakan FH, 35

sapi potong, 63, 141, 162

sifat fisik, 70, 76, 146

sikap mental, 176

siput, 169

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 80/86

 Edisi Desember 2006  195

stimulasi listrik, 1

superovulasi, 133

suplemen katalitik, 20

susu, 96

tikus, 155

ubi jalar, 89

urea, 89

vitamin C, 133

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 81/86

 Edisi Desember 2006 196

PANDUAN BAGI PENULIS

Ketentuan Umum

1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan.2. Lingkup jurnal ini memuat hal ikhwal yang menyangkut peternakan dalam bentuk hasil penelitian yang

berisi analisis kebijakan dan gagasan dengan topik yang aktual.3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

4. Penulis diminta mengirimkan 3 (tiga) eksemplar naskah ke redaksi yang dilengkapi dengan disket berisinaskah yang diketik pada program Microsoft Word.

5. Jadual penerbitan pada bulan April, Agustus, dan Desember.

Standar Penulisan

1. Naskah ditulis dengan jarak 2 spasi kecuali Judul, Abstrak, Judul Tabel, Judul Gambar, dan Lampiran

yang diketik 1 spasi. Naskah dicetak pada kertas ukuran A4 dengan jumlah 12-20 halaman termasuk 

tabel dan gambar yang dicetak terpisah dari teks.2. Huruf standar yang digunakan untuk penulisan adalah Times New Roman font 12.

3. Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis dan nama instansi, abstrak, pendahuluan, metode(sosial ekonomi), materi dan metode (selain sosial ekonomi), hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapanterima kasih (kalau ada), serta daftar pustaka.

Tata Cara Penulisan Naskah

1. Judul harus singkat, jelas, spesifik dan informatif yang mencerminkan secara tepat isi naskah. Panjang

 judul maksimal 14 kata untuk naskah berbahasa Indonesia dan 10 kata untuk naskah berbahasa Inggris.Penulisan judul menggunakan Times New Roman font 14, 1 spasi, bold dan awal kata menggunakan

huruf kapital.

2. Nama penulis sesuai dengan pencantuman untuk pustaka.

3. Nama lembaga/institusi disertai dengan alamat lengkap, nomor telepon dan e-mail.4. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris baik untuk naskah berbahasa Indonesia maupun naskah berbahasa

Inggris, tidak melebihi 200 kata, dalam satu paragraf, serta 1 spasi.5. Kata kunci (key words) maksimal 5 (lima) kata ditulis 2 spasi setelah abstrak, dan dicetak miring.6. Pendahuluan ditulis secara efisien dan menggambarkan latar belakang, tujuan, dan pustaka yang

mendukung.7. Materi dan Metode (Hasil penelitian) ditulis secara lengkap, terutama hal-hal yang menyangkut desain

penelitian.

8. Hasil dan Pembahasan memuat hasil yang diperoleh serta bahasan ringkas mencakup permasalahanyang dikaji.

9. Kesimpulan ditulis secara ringkas tetapi menggambarkan substansi hasil penelitian yang diperoleh.

10. Ucapan Terima Kasih kalau ada.11. Tabel :

a) Huruf standar yang digunakan untuk penulisan judul dan tubuh Tabel adalah Times New Roman

font 11, spasi 1.b) Judul berupa kalimat singkat, jelas, hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital, diletakkan

di atas Tabel, dan diberi nomor urut dengan angka arab.

c) Garis pemisah dibuat dalam bentuk horisontal (mendatar), tiga garis, untuk memisahkan kepala

kolom (perlakuan) dan data; serta garis bantu horisontal lainnya yang dibuat seperlunya.d) Keterangan Tabel ditulis menggunakan font 10, 1 spasi. Penulisan keterangan signifikasi data secara

statistik, menggunakan kalimat “superskrip berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkanberbeda nyata/sangat nyata (P<0,05)/(P<0,01)”.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 82/86

 Edisi Desember 2006  197

12. Gambar dan Grafik

a) Judul menggunakan jenis huruf yang seragam dengan naskah, font 11, 1 spasi, diletakkan di bawahGambar dan Grafik, berupa kalimat singkat, jelas (hanya kata pertama yang menggunakan huruf 

kapital), serta diberi nomor urut sesuai dengan letaknya.b) Grafik dibuat dalam program Excel.

13. Foto harus mengkilap baik berwarna maupun hitam putih dan mempunyai ketajaman yang baik disertainomor dan judul berukuran 5 R.

14. Tatanama latin 2 atau 3 kata (dicetak miring) digunakan untuk tanaman, hewan, serangga,mikroorganisme dan penyakit. Nama lengkap kimia digunakan untuk senyawaan pada penyebutanpertama kali. Nama umum atau generik dapat pula digunakan.

15. Satuan pengukuran dipakai Sistem Internasional (SI).16. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma ( , ), untuk 

bahasa Inggris dengan titik ( . ).

17. Daftar Pustaka :

a) Menggunakan referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal 80%.b) Memuat nama pengarang yang dirujuk dalam naskah, disusun menurut abjad pengarang dan tahun

penerbitan. Untuk buku dicantumkan semua nama penulis, tahun, judul buku, penerbit dan tempat.Untuk jurnal dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasidan halaman. Artikel dalam buku dicantumkan nama penulis, tahun, judul tulisan, editor, judul

buku, penerbit dan tempat. Beberapa contoh penulisan sumber acuan adalah sebagai berikut :

Buku

Sihombing, D. T. H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Tizard. 1998. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi ke-2. Terjemahan : Masduki Partodirejo. AirlanggaUniversity Press, Surabaya.

Jurnal

Fontenot, J. P. & K. E. Webb. 1975. Health aspect of recycling animal waste by feeding. J. Anim. Sci.

40:1267-1275.

Artikel dalam Buku

Davey, C. L. & R. J. Winger. 1988. Muscle to meat (biochemical aspects). In: H. R. Cross & A. J.Overby (Eds.). Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B. V.,

Amsterdam.Prosiding

Wery, S. & A. W. Gunawar. 1994. Pertumbuhan dan perkembangan Schizophyllum commune in vitro

dan in vivo. Di dalam: Peranan Mikrobiologi dalam Industri Pangan. Prosiding PertemuanIlmiah Tahunan. 20 Agustus 1994. Bogor. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia CabangBogor. Hlm. 170-177.

Skripsi/Tesis/DisertasiSetyorini, D. 1994. Kajian proses demineralisasi dan deliming dalam ekstraksi gelatin dari kolagen

tulang sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Internet

Steven, P. V. 1992. Gelatin. http://www.gelatin.co.za/gltn.html. [27 Juli 2003].Steiger, D.M. 1998. Enhancing user understanding in a Decision Support System: A theoritical basis

and framework. Journal of Management Information Systems. Vol. 15(2):199-221. http:// 

gateway.proquest.com/fmt=html. [21 April 2004].18. Heading :

a) Heading, diketik kapital, bold, diletakkan di tengah; meliputi ABSTRACT, PENDAHULUAN,MATERI DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMAKASIH, DAFTAR PUSTAKA.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 83/86

 Edisi Desember 2006 198

b) Sub-heading, diketik menggunakan huruf kapital pada awal kata, diletakkan di tengah, bold.

c) Sub-sub-heading, diketik menggunakan huruf kapital hanya pada awal kalimat, diletakkan di awalparagraf, bold, dan diikuti titik. Teks diketik dua ketuk setelah judul sub-sub-heading.

Penerbitan

1. Penentuan layak tidaknya naskah yang akan dipublikasikan, ditentukan oleh penyunting ahli.2. Penulis berkewajiban memperbaiki naskah sesuai saran dari penelaah.

3. Penulis yang naskahnya dimuat wajib berlangganan Media Peternakan selama satu tahun dan membayarkontribusi sebesar Rp 250.000,00 untuk penulis dalam IPB dan Rp 300.000,00 untuk penulis luar IPB,serta berhak mendapatkan empat buah cetak lepas.

4. Hak cipta naskah yang dimuat ada pada Media Peternakan.

Alamat untuk korespondensi

Alamat untuk korespondensi dan pengiriman naskah: Redaksi Media Peternakan d/a Fakultas Peternakan

IPB, Jl. Agatis, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680. Telp. (0251) 421692, 628394, 622841, Fax. (0251)622842, e-mail: [email protected]

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 84/86

 Edisi Desember 2006  199

TERIMA KASIH

Kepada :

Aminuddin Parakkasi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Andi Djajanegara Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor

Anita S. Tjakradidjaja Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Arief Boediono Departemen Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Budi Haryanto Balai Penelitian Ternak Ciawi,Bogor

Cece Sumantri Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, FakultasPeternakan, Institut Pertanian Bogor

Denny Widaya Lukman Departemen Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Eddie Gurnadi Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Eko Pangestu Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang

Hadiyanto Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Hardi Prasetyo Balai Penelitian Ternak Ciawi,Bogor

Harimurti Martojo Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Heri Ahmad Sukria Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

I Ketut Saka Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Bali

I Wayan Rusastra Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

Ibnu Katsir Amrullah Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Ignatius Kismono Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Ismeth Inounu Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor

Khalil Fakultas Peternakan Universitas AndalasKomang G. Wiryawan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

M. Winugroho Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor

Made Nitis Fakultas Peternakan Universitas Udayana Bali

Mirnawati Bachrum S. Departemen Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Moh.Yamin Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 85/86

 Edisi Desember 2006 200

Muladno Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Nahrowi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Nurmala Pandjaitan Fakultas Ekologi Manusia Insititut Pertanian Bogor

Nyoman Suthama Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang

Pallawarukka Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Peni S. Hardjosworo Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Rachjan G. Pratas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian BogorRachmat Herman Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Rarah Ratih A. M. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Ronny R. Noor Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Rudy Priyanto Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Salundik Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Siti Wahyuni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung

Sofjan Iskandar Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor

Sri Mulatsih Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Sri Supraptini Mansjoer Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Suryahadi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

Tantan R. Wiradarya Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Toto Toharmat Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

U. Hidayat Tanuwiria Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung

Wasmen Manalu Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor

Yuli Retnani Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor

yang telah berpartisipasi sebagai Mitra Bestari Media Peternakan Volume 29 Tahun 2006.

5/14/2018 Media Peternakan Desember 2006 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/media-peternakan-desember-2006 86/86

 Edisi Desember 2006  201

FORMULIR BERLANGGANAN

Dengan ini saya/kami kirimkan permohonan berlangganan MEDIA PETERNAKAN, FakultasPeternakan Institut Pertanian Bogor, terhitung mulai Volume ……………. Nomor……………. Tahun

………….. Mohon Jurnal tersebut dapat disampaikan kepada :

Nama :

Alamat :

Telp. :

Bersama ini dilampirkan copy bukti pembayaran melalui :

Bank BNI, No. Rekening 0003630564atas nama Erlin Trisyulianti, Media Peternakan, Fakultas Peternakan-IPB

Pos wesel

3 Edisi/Tahun Rp. 45.000,-Ongkos kirim Rp. 10.000,- (per 1 kali pengiriman)

……………….., …………….200…Pelanggan,

( )

  Pengirim Kepada

Redaksi Media PeternakanFakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor

D/a Fakultas Peternakan, Jl. Agatis,

Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

Telp. (0251) 421692, 628394, 622841