Upload
others
View
26
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MEKANIKA PUISI DIGITAL PADA ANTOLOGI PUISI DIGITAL CYBERPUITIKA
YAYASAN MULTIMEDIA SASTRA
Oleh
Encik Savira Isnah/120810408
Sejak peluncurannya, (APDC) telah mengundang perdebatan, bersumber pada buku Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk (2004) perdebatan tersebut berawal dari pernyataan Ridwan yakni “Lalu kalau keberadaan teks bisa saja dikesampingkan apakah masih pantas menyandang istilah sastra?”(2004:256) didukung pula oleh Ahmad Syubanuddin Alwy (2004:267) yang mempertanyakan pertanggungjawaban teks sebagai alat ekspresi, unsur penanda dan pemanfaatan elemen multimedia. Dengan memanfaatkan teori strukturalisme, teks puisi digital di parafrase untuk menemukan unsur intrinsik puisi dan slide dibongkar untuk menemukan unsur digitalnya. Selanjutnya dideskripsikan cara kerja puisi digital dan implikasi digitalisasi. Ditemukan hasil, puisi-puisi pada APDC memenuhi unsur intrinsik puisi yang dianggap bernilai sastra, sebagaimana dipertanyakan oleh Ridwan, yaitu pemilihan kata, penggunaan gaya bahasa, permainan bunyi dan pengolahan rasa (citraan) yang dijadikan sebagai pertanggungjawaban teks. Selanjutnya penggunaan media komputer dengan program Microsoft Power Point pada tiap puisi sebagai pertanggungjawaban istilah cyber yang disandang oleh APDC. Adanya unsur warna, bunyi dan gerak dengan penggunaan aplikasi pada Microsoft Power Point menunjukkan segi digital pada APDC sehingga pantas disebut puisi cyber
Kata kunci : puisi digital, polemic sastra cyber, strukturalisme, profil puisi
From the launch, APDC has invited debated, source from Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk (2004), that debated begin from Ridwan’s statement, “Lalu kalau keberadaan teks bisa saja dikesampingkan apakah masih pantas menyandang istilah sastra?” and supported by Ahmad Syubanuddin Alwy who ask the responsibility of text as expression, signed unsure and multimedia element advantage. By advantaging strukturalisme theory, digital poetrytext is paraphrased to find intrinsic poetry and slide has loaded to find digital unsure. Then, is described the mechanica digital poetry and the implication of digitallitation. Has founded the result, that poems of APDC containt intrinsic unsure of poetry which valued literature, as ask as by Ridwan that the way of chossing diction, the uses of majas, rhytem, and feel that become as text responsibility. There are unsure as colour, sounds, and motion with application using of Microsoft Power Point, show digital side of APDC that why it deserve called cyber poetry.
Keyword: digital poetry, sastra cyber polemic, structuralisme, poetry profile
Pada umumnya masyarakat Indonesia mengenal sastra melalui dua media, yaitu
bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis hadir dalam bentuk cetakan misalnya sastra
koran dan sastra buku, sedangkan bahasa lisan hadir melalui tuturan seperti cerita rakyat
dan dongeng yang diceritakan oleh pendongeng maupun orang zaman dahulu. Sastra
dengan bahasa lisan dapat bertransformasi menjadi sastra tulis begitu pula sebaliknya.
Seiring dengan perkembangan pola pikir yang beriringan dengan kemajuan teknologi
mau tidak mau berpengaruh pula terhadap perkembangan sastra.Bukan hanya sejarah,
teori dan kritik, kini muncul karya sastra yang eksis namun bukan dengan media bahasa
tulis maupun lisan.Sastra cyber, sastra yang memanfaatkan kemajuan teknologi komputer
dan internet sebagai medianya.Salah satunya karya-karya dari Yayasan Multimedia
Sastra.
Kehadiran sastra cyber Indonesia, seperti yang bisa dibaca di situs
www.cybersastra.net, yang dikelola oleh Yayasan Multimedia Sastra (YMS), adalah
sebuah realitas yang sangat menarik untuk dicermati. Bagi sebagian pihak, kehadiran
sastra cyber merupakan angin segar, yang akan turut menumbuhsuburkan sastra di negeri
ini, melalui sebuah media baru yang bernama internet, maka kehadirannya mesti
disambut dengan bangga hati. Namun bagi sebagian pihak yang lain kehadiran sastra
cyber ditanggapi dengan sinis, dianggap mementahkan kreativitas dan tidak lebih dari
sekadar taman kanak-kanak.
Ditelusuri melalui sejarah, penggunaan media pengungkapan seni pada umumnya dan
sastra (dalam hal ini puisi) pada khususnya mulai berubah dengan adanya perkembangan
teknologi. Walter Benjamin (1936) dalam The Work of Art in the Age of Mechanical
Reproduction mencatat ada dua teknik pengungkapan seni yakni founding (mencetak
dengan menggunakan bentuk cetakan seperti cara membuat kue) dan stamping (mengecap
dengan cara menekankan bentuk cap seperti stempel atau dalam pembuatan batik yang
mempunyai pola gambar yang dibuat dari logam dan dicapkan pada kain batik). Proses ini
berkembang dari cukilan kayu yang kemudian berlanjut dengan penemuan mesin cetak,
yang dikenal dengan istilah lithography sehingga karya sastra yang semula merupakan
tradisi lisan berkembang dalam bentuk cetak baik berupa buku ataupun majalah dan koran
sebagai bentuk sastra tulis atau cetak.
Saat ini hal tersebut bergerak ke arah penggunaan program komputer (digitalisasi)
yang umum disebut cyber sehingga muncullah istilah sastra cyber.Sastra cyber
memanfaatkan kemampuan dan kemajuan teknologi komunikasi sebagai sarana dan
prasarana berkarya. Penulis sastra cyber menemukan model baru cara berkreativitas,
mengembangkan model lama yang terpaku pada bahasa tulis dan lisan.
Suwardi Endaswara (2003) menjelaskan istilah cybersastra dapat dirunut dari asal
katanya.Cyber, dalam bahasa Inggris tidaklah berdiri sendiri, melainkan terjalin dengan
kata lain seperti Cyberspace yang berarti ruang (berkomputer) yang saling terjalin
membentuk budaya di kalangan mereka. Cybernate, berarti pengendalian proses
menggunakan komputer. Dari pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa cybersastra
adalah aktivitas sastra yang memanfaatkan komputer atau internet.
Merujuk pada batasan puisi cyber yang dikemukakan Marthur menyebutkan puisi
cyber adalah animasi teks dengan penggunaan program animasi komputer-the animated
text maka APDC bisa dikategorikan sebagai puisi cyber.
Antologi APDC(APDC) merupakan karya sastra (dalam hal ini puisi) yang dikemas
dalam bentuk compact disc.Menurut kulit luar compact disc yang ditulis oleh Tommy
Prakoso (2002), ini merupakan terobosan karya sastra puisi yang menggunakan media
program komputer Microsoft. Program itu bernama PowerPoint yang digunakan untuk
menggantikan peran over head projector (OHP) karena kelebihannya dalam variasi huruf
baik ukuran dan warna, dapat menampilkan gambar berupa foto, tabel, grafik bahkan
gambar yang bergerak (animasi), serta dapat diiringi dengan suara.
Hal tersebut sedikit menyimpang dari pengertian puisi oleh Pradopo (2000:5) dengan
mengutip Shahnon Ahmad, ia mendefinisikan puisi sebagai campuran unsur-unsur
pemikiran, ide dan emosi yang diungkapkan dalam bentuk tertentu yang menimbulkan
kesan dengan media bahasa. Lebih lanjut diterangkan bahwa sifat kepuisian dapat
ditunjukkan dalam bentuk visual dengan tipografi, penataan bunyi pilihan kata untuk
menyusun bunyi persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa atau
orkestrasi, pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, susunan tatabahasa
serta gaya bahasa atau majas.
APDC merupakan antologi puisi terbitan Yayasan Multimedia Sastra, diluncurkan
pertama kali pada 3 Agustus 2002 di Lembaga Indonesia-Perancis, Yogyakarta yang
berisi 169 puisi dari 55 penyair. APDC merupakan puisi dalam program komputer
Microsoft Power Point berwujud rangkaian kata yang disajikan dengan memanfaatkan
teknologi multimedia (Ridwan, 2004: 253). Pemanfaatan teknologi multimedia ini
juga dicatat oleh Antonio (2001) yang melihat puisi digital dalam dua hal yang
pokok yakni dipenuhi dengan gambaran grafis dan puisi dengan bayangan yang bergerak
dan bunyi dalam fasilitas program komputerseperti interactivity, hypertextuality,
hypermedia, dan interface.
Sejak peluncurannya, (APDC) telah mengundang perdebatan di media surat kabar
(Pikiran Rakyat Bandung) maupun internet (mailing list). Bersumber pada buku Cyber
Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk (2004) perdebatan tersebut berawal dari pernyataan
Ridwan yakni “Lalu kalau keberadaan teks bisa saja dikesampingkan apakah masih
pantas menyandang istilah sastra?”(2004:256) dan didukung pula oleh Ahmad
Syubanuddin Alwy (2004:267) yang mempertanyakan pertanggungjawaban teks sebagai
alat ekspresi dan unsur penanda dan pemanfaatan elemen multimedia. Pernyataan tersebut
menggelitik peneliti untuk meneliti permasalahan bahwa tidak hanya teks (kata dan
kalimat) yang bertanggung jawab terhadap ekspresi dan unsur penanda dalam puisi, tetapi
keberdaan ‘teks’ (gambar, motion, bunyi) juga ikut bertanggung jawab membentuk
ekspresi dan penanda puisi digital.
Pada artikel ini objek yang akan dibahas adalah puisi digital. Yang dimaksud puisi
digital adalah puisi yang dibuat dan dipublikasikan melalui dunia maya dengan
memanfaatkan teknologi dan program-program komputer.
Antonio (2001) dalam artikelnya “A Map of Different Digital Poetries” menyebutnya
sebagai hasil seni (dalam hal ini puisi) yang tidak hanya menggunakan komputer sebagai
mediator tetapi juga sebagai pendukung.Komputer menawarkan berbagai program
aplikasi di antaranya PowerPoint untuk penerapan teknologi pada sikap kreatif. Jakob
Sumardjo (2002) menyatakan dalam artikelnya “Menggali Kekayaan Medium
Cybersastra” bahwa dalam teknologi ini (komputer), puisi dapat diwujudkan melalui
kekayaan medium tulisan, medium gambar, medium musik, medium bunyi-bunyian, dan
gambar bergerak
Zervos (2002) membatasi puisi multimedia atau digital sebagai jenis puisi yang
menggunakan program-program komputer. Puisi yang tidak lagi sederet huruf dan
kumpulan kata-kata yang bermakna tetapi sudah menjadi sebuah animasi – bentuk
yang bergerak, berwarna, berbunyi dan berlatar belakang lukisan atau foto, “… a
significant contribution to the genre of writing called poetry and he called that writing
cyber poetry.”
Deskripsi Struktur Puisi
“Ingat Lesli Basuki”
Di sini tak ada lagi tanya basa-basi Tentang kata yang mencairkan waktu Dan kalimat pun tersimpan dalam kelu Apakah setiap mata menjalarkan duri Yang selalu datang pada setiap sendu?
Mungkin mawar hati
tidak akan pernah layu Hanya dibuai ragu. Kita menjabat tangan Sambil melepaskan sejumlah angan-angan Dan kemudian silang tatap ke akar bisu Sungguh! Di sini aku menangkap lagi impian
Ya. Semuanya mengalir ke pintu zaman dan membalikan makna. Siapa pun risi saat mampir menjamah hari Betul. Kita semakin rentan melewati semua ini
“Ingat Lesli Basuki” secara umum menyajikan unsur-unsur sebagaimana puisi
konvensional, seperti gaya bahasa, ritme, pesan, dan tema. Hal tersebut dapat ditunjukkan
melalui analisis frasa dan diksi pada setiap baitnya.
Pada bait pertama, puisi tersebut menyampaikan tentang si aku yang menegaskan
kegamangannya terhadap situasi yang dihadapinya. Keberadaan frasa /tak ada lagi basa-basi/
bisa dipahami sebagai upaya si aku menunjukkan betapa sedikit waktu yang ada dan hal ini
berimplikasi pada kualitas kata yang dituturkan, hanya kalimat penting saja yang berhak
muncul dalam percakapan kehadiran larik /Tentang kata yang mencairkan waktu/ dan
/Dankalimat pun tersimpan dalam kelu/ yang memuat frasa bermajaskan personifikasi
mempertegas rasa gamang dan kaku yang dihadirkan pada bait pertama. Kemudian diksi duri
pada larik /Apakah setiap mata menjalarkan duri/ mengandung gaya bahasa hiperbola dan
citraan gerak menjalar yang hadir pada bait pertama tersebut menunjukkan suasana saat itu
menimbulkan rasa sakit seperti sakit tertusuk duri yang bergerak dari mata ke hati. Larik
/yang selalu datang pada setiap sendu?/ yang memuat citraan rasa sendu menunjukkan waktu
atau kapankah terjadinya gamang pada si aku, yaitu ketika nuansa sendu hadir.
Pada bait kedua si aku menyampaikan tentang rasanya yang akan selalu subur melalui
larik /mawar hati tidak akan pernah layu/. Frasa mawar hati menghadirkan makna sesuatu
yang indah yang tumbuh di hati, yaitu cinta sebab mawar banyak digunakan sebagai simbol
cinta. Kekukuhan cintanya tersebut semakin kuat terasa dengan hadirnya diksi layu dan
citraan rasa ragu pada frasa /tidak akan pernah layu/, /hanya dibuai ragu/. Si aku
menggunakan citraan gerak menjabat tangan dan melepaskan, dua diksi kontradiktif yang
memperlihatkan rasa enggan berpisah pada jabat tangan yang menyiratkan perpisahan, tetapi
mau tidak mau itulah yang terjadi.Citraan rasa bisu menguatkan rasa sedih dan pasrah si aku
yang tidak bisa berkata apa-apa menghadapi situasi tersebut.
Pada bait ketiga si aku menegaskan dengan kesimpulan atas apa yang ia rasakan pada
bait pertama dan kedua yaitu rasa gamang dan kekukuhan cinta bergerak pada waktu entah
masa depan atau lalu (maju atau mundur) dan memberi makna yang berlawanan, yang rindu
jadi hambar yang hambar jadi rindu, hal tersebut kuat terasa sebab keberdaan citraan gerak
mengalir yang diikuti dengan frasa pintu zaman dan diakhiri dengan kata ganti kita diikuti
dengan citraan rasa pada diksi rentan yang memperjelas kerapuhan keadaan si aku dan
seseorang tersebut.
Selain gaya bahasa dan citraan, dalam puisi ini juga dipergunakan sarana kepuitisan
yaitu keselarasan bunyi atau ritme. Keselarasan bunyi tampak pada ritme puisi yang berulang.
Pada bait pertama ritmenya a-a-b-b
“Di sini tak ada lagi tanya basa-basi Tentang kata yang mencairkan waktu Dan kalimat pun tersimpan dalam kelu”
Begitu seterusnya hingga bait terakhir ritme berubah menjadi a-b-a
“Siapa pun risi saat mampir menjamah hari
Betul. Kita semakin rentan melewati semua ini”
Penggunaan vokal tertutup /u/ dan /i/ memperkuat kesan kerdil, sedih, dan galau pada puisi
“Ingat Lesli Basuki” ini
Dalam puisi “Ingat Lesli Basuki” dipilih kata-kata yang biasa dalam pemakaian
sehari-hari, kata-kata perbendaharaan dasar hingga menjadi abadi, dalam arti dapat dipahami
sepanjang masa, tidak kabur maknanya, seperti mawar, duri, akar, bisu dan pintu.
Puisi ini merupakan tuturan si aku kepada seseorang, si aku bertutur pada seseorang
(kekasih?), ia mengungkapkan apa yang dirasakan ketika terjadi pertemuan dengannya, yaitu
bahwa masih ada rasa di hati si aku, namun semua rasa itu hanya sebuah rasa yang akan
berujung pada sebuah angan-angan dan perpisahan. Si aku pasrah pada kenyataan bahwa
mereka, terutama aku akan galau melewati situasi yang mengingatkan pada impian masa lalu.
Puisi tersebut berisi pesan, sebesar apa pun keinginan kita, apa daya jika tak bisa
berbuat apa pun, berbesar hati menerima kenyataan bisa menjadi solusinya. Dari keseluruhan
isi puisi disimpulkan bahwa tema dari puisi ini ialah kepasrahan.
Selain unsur-unsur tersebut diatas, puisi “Ingat Lesli Basuki” juga memiliki unsur
audiovisual atau unsur digital yang terdiri atas gambar, warna, gerak, bunyi.dan
bentuk/tipografi yang memperkuat rasa yang dihadirkan oleh si aku. Pertama, puisi karya
Iwan Soekri Munaf (Sutan Roedy Irawan Syafrullah) tersebut mengandung unsur gambar
lukisan Jeihan 1 “A Non-Fiction of Indonesia”, yaitu gambar seorang perempuan terlentang
dengan posisi miring ke kanan sebagai manifestasi seseorang yang dimaksudkan si aku.
Gambar 1
Kedua, warna pada setiap larik berubah-ubah yaitu warna putih pada bait pertama,
kuning pada bait kedua, bait pertama dan kedua berlatar lukisan Jeihan, gradasi warna hijau
pada bait ketiga dengan perubahan latar berwarna krem. Ketiga, unsur bunyinya yaitu
whoosh, under.wav, glass, camera, projctor, typewriter, dan chime.Latar suara karya Sapto
Raharjo 2 hingga puisi selesai.Yang keempat ialah unsur gerak, unsur gerak inilah yang
membentuk tipografi pada setiap slide/bait puisi.Unsur geraknya ialah kiri ke kanan atas dan
sebaliknya, lalu atas ke bawah. Aplikasi gerak pada slide sebagai berikut, aplikasi slide
pertama ialah dissolve slide transitions, slide keduaaplikasi slide transition checkerboard,
dan slide ketiga slide transition push from top. Selanjutnya unsur gerak pada puisi, yaitu
aplikasi effect zoom,random bars, strips, fly in, swivel,dan center revolve unsur gerak tersebut
berlaku untuk tiap bait dan gambar yang muncul pada slide.
1. “Jantan”
Puisi ini terdiri atas delapan slide, setiap slide memiliki latar belakang dengan warna
dan corak yang sama yang garis-garis diagonal dengan warna biru, nila dan merah.
Keberadaan warna-warni tersebut memancarkan keceriaan pada tiap slidenya.Puisi ini
mengandung lukisan Popo Iskandar 4 Mimpi.
Gambar 45
Slide pertama diawali dengan kemunculan lukisan tepat di tengah slide dengan efek dissolve,
kemudian kekuatan pada judul jantan menonjol dengan warna yang mencolok gradasi kuning
oranye dan efek spiral menumpuk di depan lukisan diiringi bunyi explosion. Teks Musik:
Sapto Raharjo dengan warna pelangi muncul pada sudut kanan bawah slide berbarengan
dengan teks lukisan popo iskandar berwarna biru dengan posisi vertikal pada bagian kanan
slide dengan efek zoom-strips dan teks sajak: Tommy R berwarna nila dengan posisi vertikal
pada sudut kanan atas slide dengan efek fly in.
Gambar 46
Slide kedua, teks
Darah suci deras memuncak dari kejantananku Menyirami dinding dan taman di rahimmu Saat menggelepar engkau dalam pangkuanku ber-font enviro muncul dengan word art follow part up berwarna gradasi oranye kuning
dengan efek dissolve in menghadirkan rasa si aku yang bergairah menyala-nyala.
Gambar 47
Slide ketiga, teks
Sejuta bintang Seribu bulan Oh alam raya Kau benamkan aku bersamanya
muncul dengan word art wrap parareldengan font jokerman berwarna gradasi biru ungu dan
efek random bars, menghadirkan keadaan langit yang pada malam hari
Gambar 48
Slide keempat teks
Waktu berlari kencang melesat bagai esok pagi menyambut kiamat muncul dengan font enviro dan word art follow part berwarna kuning serta efek zoom
menghadirkan bayangan bentuk dan warna matahari yang memvisualisasikan teks.
Gambar 49
Slide kelima teks
Perutmu kini kian membengkak Meski kita belum diikat oleh tambat tali yang sakral muncul dengan efek fly in, word art reflection berwarna biru pada teks utama dan cokelat
pada teks bayangannya
Gambar 50
Slide keenam terdapat dua teks dengan isi yang sama, pengulangan tersebut menghadirkan
penegasan si aku akan pembuktiaanya
Oh mama Oh papa Oh takdir manusia Kubuktikan bahwa aku sempurna teks yang pertama muncul dengan font jokermanword art circle dan reflection berwarna putih
dengan refleksi hijau dan teks kedua dengan word art pararel dengan warna putih dengan
font algerian yang berefek checkerboard.
Gambar 51
Slide ketujuh, teks
Sebagai lelaki aku setia Dan aku ingin mengembara bersamanya Di atas perahu membelah samudra seiring takdir sang pencipta muncul dengan efek random bars dengan posisi center text menghadirkan bait tersebut
sebagai pernyataan tertulis dan warna kuning yang menghadirkan diharuskan oleh si aku
untuk dibaca
Gambar 52 Slide terakhir, terdapat delapan teks JANTAN dengan warna berbeda-beda, urut dari kiri atas
ke kanan bawah, oranye, hijau tosca, putih, nila, putih, merah, hijau muda dan biru. Terdapat
empat lukisan dengan ukuran berbeda pula dua kecil dan dua lebih besar, kemudian teks
muncul dengan efek fly in, masing-masing bait berbeda warna bait pertama hijau muda,
kedua nila, ketiga biru, keempat kuning, kelima merah, dibarengi dengan teks Lukisan Popo
Iskandar berwarna biru pada sudut kanan atas slide, sajak Tommy R berwarna putih pada
sudut kiri atas slide dan Musik Sapto Raharjo dengan word art reflection berwarna putih pada
sudut kiri bawah slide.
Penutup
Dari penampilan slide terlihat puisi digital bermula dari puisi yang lebih dominan
dengan unsur bahasa yang kemudian diberi warna dan animasi serta dimasukkannya efek
bunyi. Unsur bahasa masih berperan untuk mengungkapkan gagasan walaupun ada huruf-
huruf yang dianimasi tertutup oleh foto atau lukisan yang digunakan sebagai bahan
inspirasi.Penggunaan fasilitas animasi pada huruf serta ukuran huruf membatasi usaha
pembacaan puisi karena kecepatan gerak yang dinamis atau berubah-ubah.
Memaknai puisi secara umum adalah membaca kata-kata yang menunjukkan pada
emosi, imajinasi, pemikiran dari pengalaman batin penyair.Unsur visual (tipografi, tata baris)
yang sejak semula sebagai perwakilan bunyi dari bahasa lisan menjadi tidak sekadar susunan
huruf atau kata tetapi juga gambaran dari benda nyata yang kemudian dikenal sebagai puisi
konkret.
Dengan hadirnya perangkat komputer yang menawarkan program Microsoft Power
Point puisi konkret dapat diprogramkan secara digital dengan fasilitas animasi (gerak), bunyi
dan warna. Puisi digital tidak lagi memerlukan ruang pameran lukisan untuk
mengkolaborasikan lukisan dengan puisi, maupun pertunjukan teaterikal di gedung kesenian
karena fasilitas gerak, warna dan bunyi dapat diaplikasikan melalui program Microsoft Power
Point yang dapat disimpan dalam compact disc atau flash disc, tetapi tidak dapat dicetak
dalam bentuk buku karena ada unsur bunyi dan gerak (animasi).
Pemaknaan gerak atau animasi yang ditawarkan program Microsoft Power Point yang
diaplikasikan bergantung pada unsur bahasa yang muncul pada puisi digital yang terkumpul
dalam APDC. Beberapa fasilitas tersebut dimaknai oleh penikmat secara personal maka sukar
diharapkan kesamaan pemahaman dan interpretasi. Hal ini tidak terjadi dalam medium
bahasa yang mempunyai keseragaman makna, sebuah kata akan memiliki makna seragam,
meskipun tidak seragam setidaknya ada keterkaitan makna satu sama lain, misalnya kata
jatuh bermakna gerakan ke bawah, menuju ke bawah, dan lain sebagainya yang menunjukkan
makna ke bawah. Warna, misalnya, memberikan makna yang bisa jadi tidak
behubungan.Misalnya warna merah, bisa diartikan berani, marah, romantis yang ketiganya
tidak saling bersinggungan. Oleh karena itu puisi digital akan lebih dimaknai unsur
bahasanya (kata) dibandingkan dengan keseluruhan karya kolaborasinya, maksudnya teks
diamaknai terlebih dahulu kemudian diperkuat pemaknaannya dengan berbagai ukuran font
dan warna seta gerak yang diikuti dengan bunyi dimaksudkan lebih menjelaskan gagasan
yang muncul pada puisi.
Sebagai contoh puisi Rumah Tua karya Sutan Iwan Soekri Munaf yang menggunakan
latar belakang dengan warna hitam dan lukisan Herry Dim dengan aplikasi fly in pada judul
dengan kecepatan rendah, membuat teks sangat terbaca dan suasana sedih dihadirkan melalui
gambar lukisan Herry Dim yang memperlihatkan orang yang meratapi seseorang yang
terbaring mati. Lukisan yang dihadirkan dengan gerak perlahan tersebut memvisualisasikan
frasa “nenek tidur dengan tenang” dan “bernisankan batu sunyi”. Ditambah dengan latar
musik yang menambah rasa sedih,
Hal tersebut menjelaskan bahwa yang sedang terbaring adalah sang nenek dan gambar
yang muncul sengaja diperlihatkan hanya seorang dari tiga orang yang ada dalam lukisan
adalah si aku yang sedang bersedih meratapi sang nenek. Kolaborasi teks, gambar, warna dan
bunyi pada slide tersebut menghasilkan citraan rasa yang kuat sebagaimana yang diharapkan
oleh teks, yaitu rasa yang sedih dan kehilangan.
Puisi “Jantan” dari slide pembuka sudah menawarkan kegagahan dengan keberadaan
teks ‘Jantan’ yang berwarna garadasi merah-oranye menyala. Makna jantan menjadi sangat
lugas disampaikan melalui warna dan musik/suar yang menghentak pada pembukaan. Pada
slide-slide selanjutnya bentuk dan warna teks disesuaikan dengan maksud dan tujuan teks,
misalnya pada slide kedua bait yang dimulai dengan kata darah, berwarna merah menyerupai
darah. Kemudian bait selanjutnya yang dimulai dengan kata bintang, berwarna gradasi biru-
ungu yang menggambarkan malam hari, bintang hanya terlihat jelas di malam hari. Lalu bait
selanjutnya yang memuat kata pagi, berwarna kuning dan berbentuk menyerupai matahari,
matahari berwarna kuning dan dapat dilihat manusia pada pagi hari. Digitalisasi tersebut
membantu merangsang penglihatan menemukan maksud pada teks.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, masing-masing puisi memiliki gagasan masing-
masing yang ingin ditunjukkan atau diperjelas dengan keberadaan kolaborasi aplikasi yang
dapat dimanfaatkan dari program Microsoft Power Point.Tidak semua efek digital yang
terdapat pada puisi bekerja seimbang, selalu ada hal yang memang sengaja dikhususkan atau
diunggulkan untuk mencapai harapan, maksud dan tujuan teks, misalkan lebih pada
penggunaan warna, musik, gambar atau gerak.Digitalisasi membuat teks lebih hidup dan
terasa, pembaca difokuskan pada satu maksud dengan keberadaan unsur-unsur digital
tersebut, sehingga maksud dan tujuan teks tepat sasaran dan mengurangi resiko multi
interpretasi puisi oleh pembaca.
Pada penjelasan diatas disampaikan bagian-bagian yang mendukung eksistensi puisi
digital, tetapi di sisi lain digitalisasi mengakibatkan fokus puisi terpecah. Hal tersebut
dikarenakan tidak menyatunya unsur-unsur digital sehingga memunculkan interpretasi baru.
Misalnya pada puisi ingat lesli basuki, unsur gerak memunculkan interpretasi yang
melenceng dari unsur rasa yang dihasilkan oleh teks, nuansa yang ditawarkan oleh teks
adalah rasa rindu dan kesedihan yang membaur, namun dengan kemunculan gerak yang cepat
menyarankan rasa menggebu-gebu atau terburu-buru tidak lagi halus sebagaimana diinginkan
teks.
Begitu pula yang terjadi pada puisi Ombak Malam, penggunaan unsur warna dan
suara pada puisi tersebut tidak menyarankan nuansa sebagaimana dimaksudkan oleh
teksnya.Pada teks rasa yang ingin disampaikan adalah rasa rindu yang mendayu-dayu seperti
ombak, namun keberadaan warna yang mencolok dan suara boom yang menggertak memecah
nuansa sendu yang ingin disampaikan oleh teks.
Keberadaan unsur digital di satu sisi membantu teks untuk menyampaikan maksud
dan tujuannya, namun di sisi lain sebagaimana dijelaskan, semakin mempersulit teks
menyampaikan gagasan karena unsur-unsur tersebut menyuguhkan banyak variasi yang
belum bisa menyatu dengan teksnya
Berdasar pada penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa puisi-puisi
pada APDC memenuhi unsur teks puisi yang dianggap bernilai sastra sebagaimana
dipertanyakan oleh Ridwan pada buku Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk (2004)
yaitu pemilihan kata, penggunaan gaya bahasa, permainan bunyi dan pengolahan rasa
(citraan) yang dijadikan sebagai pertanggungjawaban teks
Selanjutnya penggunaan media komputer dengan program Microsoft Power Point
pada tiap puisi sebagai pertanggungjawaban istilah cyber yang disandang oleh APDC.
Adanya unsur warna, bunyi dan gerak dengan penggunaan aplikasi pada Microsoft Power
Point menunjukkan segi digital pada APDC sehingga pantas disebut puisi cyber.Hal-hal
tersebut juga semakin menghidupkan nyawa pada puisi-puisi tersebut, bukan hanya sebagai
tempelan yang tidak bermakna.
Perpaduan antara unsur puisi konkret seperti pemilihan kata, penggunaan gaya
bahasa, permainan bunyi, pengolahan rasa dan fasilitas aplikasi pada program Microsoft
Power Point menghasilkan karya yang ketika dilihat (dibaca) puisi digital seperti
menikmati sebuah pertunjukan. Karena beragam fasilitas yang ditawarkandan
diaplikasikan pada sebuah puisi digital maka tidak jarang penikmat hanya mendapatkan
gambaran global tanpa detil yang rinci kecuali mulai menelusuri setiap slide yang
dibuat penyairnya. Layaknya menikmati musik,tarian dan pementasan drama maupun
film, karena eksistensi kewaktuan berjalan maju, artinya penikmat tidak dapat kembali ke
bagian pembuka atau sebelumnya.
Beberapa hal yang membutuhkan perhatian pada penikmatan puisi digital adalah
kecepatan gerak, beragam warna serta musik yang memerlukan konsentrasi lebih pada setiap
unsur media yang dikolaborasikan. Pengetahuan akan jenis efek bunyi atau jenis musik juga
menjadi perhatian penikmat puisi digital untuk memahami gagasan penyair.
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 1998 Encarta 98 Encyclopedia.CD-ROM. New York: Microsoft Corporation Arisel Ba. 2005. “Definisi Puisi” (dari berbagai sumber bacaan)
http://ariselba.blogdrive.com/comments?id=26, Wednesday, Mei 06, 2005 Benjamin, Walter. 1936. “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”.
http://bid.berkeley.edu/bidclass/readings/benjamin.html Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogjakarta: Pustaka Widyatama. Jatman, Darmanto, Drs. 1985.Sastra, Psikologi dan Masyarakat. Bandung: Penerbit Alumni Nunuk Suraja, Cunong, 2005. Kajian Reproduksi Digital pada APDC.Tesis. Universitas
Indonesia Jakarta Perrine, Laurence. 1969.Sound and Sense, An Introduction to Poetry, third edition. New
York: Harcourt, Brace & World, Inc. Pradopo, Rachmat Djoko, 2000. Pengkajian Puisi, Analisis Strata Norma dan Analisis
Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Prakoso, Tommy. 2002. “Pengantar Antologi Puisi Digital”, Cyberpuitika, CD-ROM,
Jakarta: Yayasan Mulimedia Sastra. Puspita Dewi, Erna. 2008. “Sistem Tanda dalam Puisi Digital Cyberpuitika”, Skripsi.
Universitas Brawijaya Malang Ridwan, Juniarso. 2004. “Menggugat Cyberpuitika” dalam Saut Situmorang,
2004. Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk, Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Stensaas, Starla. 2000. “New Media, Old Art Forms: Art in the Age of Digital Reproduction”. http://www.starlastensaas.net/resume/reproduction/index.html 13, Mei 12 2012.13:19
Sumardjo, Jakob.“Menggali Kekayaan Medium Cybersastra”,dapat http://cybersastra.net/cgibin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id= 10303620,Senin, Agustus 26, 2002
Toda, Dami, N. 1984. “Lampiran II: Kredo Puisi”Hamba-hamba Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Waluyo, Herman J. 1987.Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga
______. .2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1989.Teori Kesusastraan, terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Zervos, Komninos. 2002. “Are You Sure It's”,
http://pandora.nla.gov.au/pan/10267/20020306/www.uq.net.au/_zzkozerv ________. 2002. “Cyberpoetry”, thesis.
http://pandora.nla.gov.au/pan/10267/20020306/www.uq.net.au/zzkozerv/masters4.htm