Upload
mul-yadi
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 1/10
Meletakkan Badan Perwakilan Desa
Pada Posisi yang Sebenarnya1
Sutoro Eko2
Gagasan “Meletakkan Badan Perwakilan Desa (BPD) Pada Posisi yang
Sebenarnya” sangat penting untuk dipahami oleh BPD sendiri, pemerintah
desa, masyarakat dan bahkan oleh para fasilitator pemberdayaan BPD. Sebelum
kita merumuskan secara operasional tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPD,kita harus mampu memahami secara konseptual posisi BPD di level desa.
Mengapa demikian?Pertama, tupoksi BPD yang dirumuskan dalam UU No.
22/1999 maupun Perda ternyata tidak mudah untuk dipahami, apalagi
dioperasionalkan. Bahasa hukum selalu menimbulkan tafsir yang berbeda-
beda, dan karena itu menimbulkan praktik yang berbeda pula, bahkan bisa
praktik yang keliru dari semangat undang-undang. Sebagai contoh, para
anggota BPD sangat bingung memahami (apalagi menerapkan) fungsi
mengayomi adat-istiadat yang dirumuskan dalam UU. Pasal tentang fungsi ini
dalam UU, kalau dibawa ke Sumatera Barat, atau mungkin di tempat lain yangmasih kental dengan adat lokalnya, tidak terlalu relevan karena adat bukan
urusan parlemen lokal yang dibentuk negara. Di Sumatera Barat, adat bukan
menjadi urusan Badan Perwakilan Nagari, melainkan urusan Kerapatan Adat
Nagari (KAN) dan Majelis Adat dan Syarak. Karena itu, BPD, pemerintah desa,
masyarakat dan para fasilitator pemberdayaan BPD tidak cukup berpedoman
pada kerangka regulasi untuk memahami, apalagi mendidik, BPD. Kita harus
beyondpada UU, dengan masuk pada teorisasi yang lebih luas dan membumi
pada konteks empirik. Kalau ada peraturan yang kurang relevan dengan
konteks lokal, maka bisa menimbulkan masalah serius dalam implementasinya.Kedua, belajar pada kasus empirik, BPD sekarang berada pada situasi
transisional, yaitu situasi yang penuh eforia, pancaroba, gejolak dan seterusnya.
Karena transisional, BPD menjadi bagian dari masalah ( part of the problem)
1Makalah belum selesai ini disampaikan dalam Diskusi Perumusan Modul
Pelatihan Badan Perwakilan Desa, Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa, Yogyakarta, 5
Maret 2003.2Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) "APMD"
Yogyakarta dan Deputy Direktur INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE)Yogyakarta.
1
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 2/10
ketimbang sebagai solusi atas masalah (solution of the problem) bagi
demokratisasi di tingkat desa. Baik UU maupun masyarakat berharap bahwa
kehadiran BPD menjadi arena baru yang lebih segar dan semarak bagi
dinamika demokrasi di tingkat desa, tetapi secara empirik di banyak tempat
BPD justru menimbulkan masalah yang tidak sepele. Ada kasus KKN antara
kepala desa dengan BPD, tetapi juga banyak kasus ketegangan antara BPD
dengan kepala desa. BPD jadi arogan sehingga menjadi momok bagi kades dan
perangkatnya. Kades, misalnya, menilai bahwa BPD bertindak melebihi
fungsinya, yakni justru bertindak sebagai hakim, inspektorat, jaksa dan intelijen
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa.3 Di Bantul, BPD diplesetkan
menjadi Badan Pemborosan Desa; di Kaltim BPD disebut sebagai Badan
Provokasi Desa. Di Pati, para petinggi (kades) merasa tergencet dari samping
oleh BPD.
Mengapa semua itu terjadi? Menurut Menteri Dalam Negeri, Hari
Sabarno, kekurangharmonisan hubungan antara pemerintah desa dan BPD
terjadi karena kedua pihak belum memahami substansi UU No 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Kompas, 22/7). Ungkapan Mendagri secara formal betul.
Tetapi ada dua hal yang perlu dicatat.Pertama, semua pihak harus mempunyai
pemahaman yang memadai posisi BPD, yangbeyonddari UU.Kedua, UU harus
dipahami bukan sebagai instruksi tetapi sebagai referensi. Pihakstakeholders
harus membuat “kontrak sosial” sesuai dengan konteks lokal untuk
merumuskan posisi, peran dan fungsi BPD. Antara BPD dan pemerintah desa,
misalnya, harus membangun kontrak sosial untuk merumuskancode of conduct
(kode etik) terhadap apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan
oleh kades maupun BPD.
Untuk masuk ke dua isu di atas, tulisan ini hendak melakukandetour
terhadap posisi BPD posisi yang sebenarnya. BPD harus diletakkan pada
konteks demokrasi, pemerintahan desa (village governance), konteks dan proses
kebijakan desa, serta konteks masyarakat desa. Dari pintu ini kita akan masuk
ke arena yang lebih luas, dan karena itu akan dengan mudah merumuskan apa
tugas dan fungsi BPD yangbeyonddari UU.
BPD, Demokrasi dan Village Governance
Governance adalah relasi antara negara dan masyarakat. Sebagai sebuah
perspektif, governance mengajarkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
3“BPD Momok bagi Kades dan Perangkatnya”,Suara Merdeka, 27 September
2001; dan “Badan Perwakilan Desa: Konfrontasi atau Kompromi”, Kompas,3Agustus
2002
2
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 3/10
desa tidak dimonopoli oleh pemerintah desa (terutama kepala desa), tetapi
harus dikelola secara bersama oleh pemdes beserta unsur-unsur lain, baik BPD
maupun masyarakat. Pemerintah desa harus berbagi kekuasaan ke samping
dengan BPD, dan berbagi peran ke bawah dengan masyarakat.
Di desa, proses pemerintahan ( governance) bisa dilihat dari sisi aktor dan
arena. Dari sisi aktor, governance desa setidaknya menghadirkan pemerintah
desa (sebagai kepanjangan tengan negara), BPD sebagai aktor masyarakat
politik dan masyarakat sipil (kelompok-kelompok sosial, organisasi masyarakat,
maupunordinary people). Tabel 1 menggambarkan peta governance di desa.
Jika kita mengikuti struktur formal, BPD berada di samping kades dan
tidak ada hubungan apa pun antara BPD dengan masyarakat. Secara ideal,
posisi BPD sebenarnya sebagai intermediary atau jembatan yang
menghubungkan antara masyarakat dan pemerintah desa.Intermediaryini
bukan dalam kerangka relasi secara privat dan sosial antara masyarakat dan
pemerintah desa, melainkan dalam konteks pengelolaan kebijakan dan barang-
barang publik. Karena BPD dilahirkan sebagai institusi demokrasi perwakilan,
maka posisi intermediary BPD secara ideal harus dibingkai dengan kerangka
demokrasi.
Tabel 1
Peta governance di desa
No Aktor Arena Posisi dan Peran
1 Pemerintah Desa
(negara)
Pemdes adalah kepanjangan tangan negara
yang menguasai dan mengendalikan wilayah
dan penduduk desa. Pemdes punya tugas
regulasi untuk mewujudkanlaw and orderdi
tingkat desa dan pelayanan publik untuk
kesejahteraan warga.
2 BPD (masyarakat
politik)
• Arena bagi masyarakat untuk mengorgansir
kekuasaan dan kontrol atas negara
(pemerintah desa).
• Pemilihan kades dan BPD juga sebagai arena
masyarakat politik, yakni untuk kompetisi
dan memperebutkan jabatan politik.
• BPD sebagai jembatan (intermediary) antara
masyarakat dengan pemerintah desa.
3 Masyarakat sipil
(organisasi lokal dan
warga)
Arena bagi masyarakat untuk berorganisasi,
self-help, membangun solidaritas, partisipasi,
dan lain-lain.
3
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 4/10
Menurut saya, pemerintahan desa yang demokratis adalah pemerintahan
yang berasal “dari”partisipasimasyarakat; dikelola secaraakuntabel dan
transparan“oleh” wakil-wakil yang diberi mandat oleh masyarakat; dan
dimanfaatkan secararesponsif“untuk” kepentingan masyarakat. Dengan
bingkai ini, maka posisi dan peran intermediarysecara demokratis yang
dilakukan BPD mencakup:
• BPD adalah wakil masyarakat yang dibentuk atau dipilih berdasarkan
partisipasi masyarakat. Karena BPD dipilih masyarakat, maka parlemen
desa itu memperoleh mandat sebagai wadah (institusi) partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Dalam
bahasa UU, peran BPD adalah menyerap aspirasi masyarakat untuk
ditransformasikan menjadi kebijakan publik. Lebih dari itu, tantangan BPD
sebagai wadah partisipasi adalah membangun kemitraan dengan unsur-
unsur masyarakat atau menjalin jaringan dengan berbagai organisasi lokal
untuk mewujudkan kapasitas masyarakat sebagai subyek yang secara aktif
menentukan dan mengontrol proses pemerintahan dan pembangunan desa.
Box 1: Tentang partisipasi
• Partisipasi bukan sekadar keterlibatan atau keikutsertaan masyarakat dalam
proses pemerintahan dan pembangunan, melainkan lebih dari itu bahwa
partisipasi memperlihatkan kekuatan masyarakat untuk menentukan dan
mengontrol lingkungan kehidupannya sendiri maupun kekuatan di luarnya
(misalnya pemerintah desa) yang mempengaruhi kehidupannya. Jika
partisipasi hanya dimaknai sebagai keterlibatan atau ikutserta, maka posisi
masyarakat hanya mengambil bagian atau diajak oleh pemerintah desa
dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian, ikutserta
identik dengan obyek. Tetapi kalau partisipasi dimaknai sebagai proses
menentukan dan mengontrol, maka posisi masyarakat merupakan subyek
yang mempunyai kekuatan aktif.
• Partisipasi bukan sekadar menyerap aspirasi, memberikan informasi,
sosialisasi atau konsultasi publik. Ini bisa disebuttokenism participation, atau
mendengarkan suara dan memberikan penghargaan kepada masyarakat.
Lebih dari itu, partisipasi berarti membangun kemitraan secara bersama-
sama untuk mewujudkan masyarakat sebagai subyek yang secara aktif
mampu menentukan dan mengontrol proses pemerintahan.
• BPD juga berperan sebagai “ruang publik” yang membuat dialektika politik
menjadi lebih terbuka dan semarak. BPD bersama masyarakat dan
pemerintah desa terus-menerus membicarakan masalah-masalah
pemerintahan dan pembangunan sehari-hari, seraya merumuskan agenda
4
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 5/10
pemecahan masalah dan perubahan yang lebih ke depan. Dengan demikian,
BPD menjalin kemitraan dengan masyarakat dan pemerintah untuk
membangun desa dari dalam.
• BPD sebagai kekuatan kontrol (check and balances) terhadap pemerintah desa,
sehingga mendorong akuntabilitas, transparansi dan responsivitas
penyelenggaraan pemerintahan desa. Kontrol ini tidak dilakukan dengan
pendekatan kompromi atau sebaliknya pendekatan konfrontatif, melainkan
harus menggunakan pendekatan kemitraan yang bersandar pada prinsip
mutual trust.
BPD dalam Konteks Kebijakan Publik
Regulasi desa (Perdes) adalah sebuah bentuk konkret kebijakan publik di
tingkat desa. Perdes adalah sebuah perangkat hukum untuk memerintah
maupun mengelola barang-barang publik. Sebagai bentuk kebijakan publik,
regulasi desa adalah bentuk aturan main yang mempunyai banyak fungsi:
sebagai pembatas apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan
oleh pemdes maupun masyarakat; menegaskan pola-pola hubungan antar
lembaga di desa; mengatur pengelolaan barang-barang publik desa;
memastikan aturan main kompetisi politik; memberikan perlindungan terhadap
lingkungan; menegaskan sumber-sumber penerimaan desa; memastikan
penyelesaian masalah dan penanganan konflik; dan lain-lain. Pada prinsipnya
regulasi desa dibuat untuk menciptakan keseimbangan relasi sosial-politik dan
pengelolaan barang-barang publik.
Ada tiga isu yang perlu diperhatikan untuk memahami kebijakan publik
desa: konteks, kontens (isi) dan proses.
1. Konteks
Setiap perdes harus relevan dengan konteks kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Dengan kalimat lain, perdes yang dibuat memang dimaksudkan
untuk menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar merumuskan
keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah
supradesa. Mengenali kebutuhan masyarakat memang tidak mudah karena
begitu banyaknya aspirasi dan kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat.
Paling tidak mengenali kebutuhan masyarakat bisa berangkat darimasalah
krusial(misalnya kerusakan jalan kampung karena masuknya kendaraan berat,
praktik-praktik politik uang dalam pemilihan pamong desa, kerusakan
lingkungan, dan lain-lain) di komunitas yang selalu menjadi bahan
pembicaraan masyarakat dan harus segera ditangani dengan aturan main.
5
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 6/10
Selain memperhatikan masalah krusial, kebutuhan lokal juga bisa dilihat
daripotensi desa yang perlu dikembangkan dan membutuhkan jaminan
kepastian secara hukum dalam pengelolaannya. Misalnya, sebuah desa akan
mengembangkan Badan Kredit Desa (BKD) sebagai bentuk Badan Usaha Milik
Desa (BUMD). Pengelolaan BKD tersebut tentu membutuhkan perdes yang
mengatur tentang banyak hal: siapa pemilik BKD, dari mana sumber dananya,
bagaimana posisi pemerintah desa, siapa yang berhak meminjam kredit,
bagaimana aturan main kreditnya, dan lain-lain. Sebagai barang publik desa,
BKD memang perlu dibingkai dengan perdes agar bisa memberikan jaminan
kepastian hukum bagi warga masyarakat dan pemerintah desa, sehingga BKD
bisa dikelola dengan baik, bertanggungjawab, dan berkelanjutan.
2. Kontens
Kontens adalah kandungan isi yang tertulis secara eksplisit dalam
perdes, mulai dari konsiderans sampai dengan batang tubuhnya. Sebuah
regulasi desa yang baik atau yang berbasis pada masyarakat mengandung isi
sebagai berikut:
Sesuai dengan prinsip konstitusionalisme (rule of law), perdes bersifat
membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah.
Paling tidak, perdes harus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas
pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa.
Mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi
pengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan
kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap barang-barang publik;
memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan
dan pembangunan desa.
Untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, perdes bersifat
membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam; membatasi
penyalahgunaan kekuasaan; mencegah perbuatan kriminal; mencegah
dominasi kelompok kepada kelompok lain, dan seterusnya.
Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya
maupun kepentingan umum masyarakat.
3. Proses
Proses menggambarkan alur pengelolaan kebijakan publik atau
peraturan desa. Dalam literatur sebenarnya dikenal setidaknya empat model
proses pembuatan kebijakan.
• Model kebijakan teknokratis. Yaitu kebijakan yang disusun (dirumuskan)
oleh para ahli yang dinilai atau merasa mempunyai pengetahuan yang
mendalam tentang filosofi kebijakan dan mengetahui konteks lokal karena
6
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 7/10
sudah melakukan penelitian. Sebagai contoh, pemdes dan BPD sepakat
menunjuk beberapa orang yang dianggap mumpuni dan dipercaya
masyarakat, untuk merumuskan perdes. Orang tersebut mungkin ahli dan
responsif terhadap kebutuhan lokal, tetapi proses semacam itu tidak
partisipatif.
• Model kebijakan oligarkis, yaitu kebijakan yang hanya dirumuskan oleh
segelintir orang, yaitu pemerintah desa dan BPD.
• Model klientelistik, yaitu kebijakan yang dirumuskan oleh seorang atau
segelintir orang yang didasarkan pada pertemanan, kekerabatan, patronase,
nepotisme, dan lain-lain.
• Model demokratis/partisipatif, yaitu kebijakan yang didasarkan diproses
secara partipatif melibatkan masyarakat. Alur kebijakan
demokratis/partisipatif bisa dilihat dalam tabel 2.
Sesuai dengan logika demokrasi, regulasi desa berbasis masyarakat
disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi,
agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi,
implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat
mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya.
Artikulasi adalah proses penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh
BPD maupun pamong desa. Agregasi adalah proses mengumpulkan, mengkaji
dan membuat prioritas aspirasi yang akan dirumuskan menjadi perdes.
Formulasi adalah proses perumusan rancangan perdes yang bisa dilakukan
oleh BPD dan/atau oleh pemerintah desa. Konsultasi adalah proses dialog
bersama antara pemerintah desa dan BPD dengan masyarakat. Masyarakat
mempunyai ruang untuk mencermati, mengkritisi, memberi masukan dan
merevisi terhadap naskah raperdes. Pemerintah desa dan BPD wajib melakukan
revisi terhadap raperdes berdasarkan umpan balik dari masyarakat dalam
proses konsultasi sebelumnya. Naskah raperdes yang sudah direvisi kemudian
disahkan (legislasi) menjadi perdes oleh pemerintah desa dan BPD. Sebelum
perdes diimplementasikan, maka pemerintah desa dan BPD wajib melakukan
sosialisasi publik, untuk memberikan informasi tentang perdes agar masyarakat
tahu dan siap ikut melaksanakan perdes itu. Jika sosialisasi sudah mantap,
maka perdes bisa dijalankan (implementasi). Berbarengan dengan proses
implementasi tersebut, ada proses kontrol dan evaluasi yang dilakukan oleh
pemerintah desa, BPD dan juga masyarakat. Penilaian dari berbagai pihak ini
menjadi semacam umpan balik untuk inovasi terhadap implementasi, dan jika
masalah terlalu berat maka umpan balik itu bisa digunakan sebagai pijakan
untuk merevisi perdes.
7
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 8/10
Tabel 2
Alur Kebijakan Publik Demokratis/Partisipatif
Alur Tahap Kegiatan
1 Artikulasi BPD menyerap aspirasi masyarakat
2 Agregasi BPD melakukan pengumpulan terhadap banyak
aspirasi, yang kemudian dikaji dan dirumuskan
prioritas aspirasi.
3 Formulasi BPD dan/atau pemerintah desa merumuskan
Raperdes yang berbasis pada aspirasi
4 Konsultasi Pemdes dan BPD melakukan konsultasi publik
kepada warga untuk membahas Raperdes. Warga
menyampaikan umpan balik pada Pemdes dan BPD.
5 Revisi Pemdes dan BPD melakukan perubahan substansi
Raperdes sesuai dengan umpan balik dari warga.
6 Sosialisasi I Pemdes dan/atau BPD menyampaikan informasi
Raperdes yang telah direvisi7 Legislasi Apabila Raperdes sudah disetujui oleh masyarakat,
maka kepala desa melakukan pengesahan Raperdes
menjadi Perdes.
8 Sosialisasi II Pemdes dan BPD melakukan sosialisasi terhadap
Perdes yang segera akan dilaksanakan.
9 Implementasi Perdes dilaksanakan atau diberlakukan
10 Monitoring dan
evaluasi
Pemdes, BPD dan masyarakat aktif melakukan
monitoring (kontrol) dan evaluasi terhadap
pelaksanaan Perdes.11 Artikulasi Melalui monitoring dan evaluasi, masyarakat
mempunyai aspirasi baru yang bisa digunakan untuk
melakukan inovasi terhadap implementasi. Jika
masalahnya semakin serius, maka aspirasi baru
tersebut bisa digunakan sebagai pijakan untuk
merevisi Perdes yang sudah dilaksanakan.
Catatan: tahap-tahap di atas sebenarnya berbentuk siklus yang bisa disusun
dalam bentuk bagan melingkar.
8
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 9/10
Formulasi merupakan tahap yang sangat krusial. Pihak-pihak yang
dianggap akan dijadikan sasaran terhadap berlakunya suatu kebijakan, harus
dilibatkan, untuk mengetahui sejauh mana pihak-pihak ini berkepentingan
terhadap peraturan yang akan dibuat. Sementara itu, rumusan kebijakan yang
dibuat tidak mempunyai arti apa-apa kalau tidak diimplementasikan. Karena
itu implementasi kebijakan harus dilakukan secara arif, bersifat situasional,
mengacu kepada semangat kompetensi dan berwawasan permberdayaan.
Berkaitan dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa salah satu tolok ukur
keberhasilan suatu kebijakan terletak pada proses implementasinya. Bahkan
mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan
merupakan aspek yang terpenting dari keseluruhan proses kebijakan. Namun,
bukan berarti implementasi kebijakan terpisah dengan formulasinya,
melainkan keberhasilan suatu kebijakan sangat tergantung pada tatanan
kebijakan itu sendirimacro policy danmacro policy. Artinya, formulasi kebijakan
makro yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
keberhasilan implementasinya akan dipengaruhi oleh kebijakan mikro, yaitu
para pelaksana kebijakan, dan kebijakan operasional serta kelompok sasaran
dalam mencermati lingkungannya. Karena itu, lemahnya tatanan formulasi,
akan mengakibatkan lemahnya implementasi.
Selain formulasi dan implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan adalah
sebuah fase yang paling kritis. Artinya, disini partisipasi publik sebagai hal
yang paling fundamental dalam paradigma kritis studi kebijakan publik
menjelma menjadi sebuah bentuk keterlibatan yang sarat dengan kegiatan
kritik. Proses kebijakan publik yang didalamnya juga termasuk evaluasi
kebijakan publik, merupakan sebuah proses politik yang melibatkan semua
pihak. Dengan keterlibatan masyarakat dalam proses evaluasi, maka masalah
keterpisahan kebijakan publik dengan masyarakat akan dapat teratasi.
Proses penyerapan aspirasi masyarakat oleh BPD memang sangat
bervariasi. Dalam konteks ini, saya mencoba membuat tipologi proses
penyerapan aspirasi berdasarkan kategori level (personal dan institusional) dan
sifat (informal dan formal). Tipologi ini bisa dilihat dalam bagan 1. Dengan
melihat bagan tersebut, ada empat metode penyerapan aspirasi yang bisa
dilakukan oleh BPD: personal-informal; personal-formal; institusional-informal;
dan institusional-formal. Keempat metode ini bisa dilakukan oleh BPD sesuai
dengan tradisinya. Toh keempatnya juga mempunyai kelebihan dan
kekurangannya. Tetapi kalau dipandang dari sudut partisipasi aktif, maka
metode institusional-formal mempunyai kekuatan paling besar ketimbang tiga
metode lainnya. Pertanyaannya kemudian, apa keunggulan dan kelemahan
masing-masing metode tersebut? Ini perlu didiskusikan lebih lanjut
9
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc
http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 10/10
Bagan 1
Tipologi metode
Penyerapan aspirasi
Sifat
Level
Personal Institusional
Informal • Anggota BPD secara
personal berbincang-
bincang dengan warga
arena anjangsana
(bertamu, layat, pesta,
ronda, ketemu di jalan,
dll).
• Seorang warga
menyampaikan
kepentingan dan
keluhannya pada
anggota BPD
• BPD secara kolektif
melakukan safari
kunjungan dan obrolan
informal dengan warga.
• BPD secara kolektif
melakukan dialog dengan
kelompok-kelompok sosial
atau organisasi
masyarakat
Formal • Anggota BPD
menerima surat dari
warga.
• Anggota BPD masuk
ke forum-forum
komunitas (kelompok
sosial, RT, PKK, Karang
Taruna, dll).
• Dengar pendapat warga
dengan BPD.
• Lokakarya atau rembug
desa yang teragenda
secara sistematis.
Catatan: kuadran IV (institusional-formal) mempunyai kekuatan terbesar
karena sebagai arena “kontrak sosial” bersama antara BPD dan masyarakat.
10