10
7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 1/10 MeletakkanBadanPerwakilanDesa Pada Posisi yang Sebenarnya 1 Sutoro Eko 2 Gagasan“MeletakkanBadanPerwakilanDesa(BPD) PadaPosisi yang Sebenarnya” sangat pentinguntukdipahami olehBPD sendiri, pemerintah desa, masyarakat dan bahkan oleh para fasilitator pemberdayaanBPD. Sebelum kitamerumuskansecaraoperasional tugas pokokdanfungsi (tupoksi) BPD, kitaharusmampu memahami secarakonseptualposisi BPD di level desa. Mengapademikian?Pertama , tupoksi BPD yangdirumuskandalam UU No. 22/1999 maupun Perda ternyata tidak mudah untuk dipahami,apalagi dioperasionalkan. Bahasahukum selalu menimbulkan tafsiryangberbeda-  beda, dankarenaitumenimbulkanpraktikyangberbedapula, bahkanbisa praktik yang keliru darisemangatundang-undang.Sebagaicontoh,para anggota BPD sangat bingung memahami (apalagimenerapkan) fungsi mengayomi adat-istiadat yangdirumuskandalam UU. Pasal tentangfungsi ini dalam UU, kalaudibawa ke Sumatera Barat, ataumungkindi tempat lainyang masihkental dengan adat lokalnya, tidakterlalurelevankarenaadat bukan urusanparlemenlokal yangdibentuknegara. Di Sumatera Barat, adat bukan menjadi urusanBadanPerwakilanNagari, melainkanurusanKerapatanAdat Nagari (KAN) danMajelis Adat danSyarak. Karena itu, BPD, pemerintahdesa, masyarakat danpara fasilitator pemberdayaanBPD tidakcukupberpedoman pada kerangkaregulasi untukmemahami, apalagi mendidik, BPD. Kita harus beyond padaUU, denganmasukpadateorisasi yanglebihluasdanmembumi pada konteksempirik.Kalau ada peraturan yang kurang relevan dengan konteks lokal, maka bisa menimbulkanmasalah serius dalam implementasinya. Kedua , belajar padakasusempirik, BPD sekarangberadapadasituasi transisional, yaitusituasi yang penuh eforia, pancaroba, gejolak danseterusnya. Karenatransisional, BPD menjadibagian darimasalah (  partof theproblem ) 1 Makalahbelum selesai inidisampaikandalam Diskusi Perumusan Modul Pelatihan Badan Perwakilan Desa, Balai PemberdayaanMasyarakat Desa, Yogyakarta, 5 Maret 2003. 2 Ketua Sekolah TinggiPembangunan MasyarakatDesa (STPMD)"APMD" YogyakartadanDeputyDirektur I NSTITUTE  FOR  R ESEARCH  AND  E MPOWERMENT  (IRE) Yogyakarta. 1

Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 1/10

Meletakkan Badan Perwakilan Desa

Pada Posisi yang Sebenarnya1

Sutoro Eko2

Gagasan “Meletakkan Badan Perwakilan Desa (BPD) Pada Posisi yang

Sebenarnya” sangat penting untuk dipahami oleh BPD sendiri, pemerintah

desa, masyarakat dan bahkan oleh para fasilitator pemberdayaan BPD. Sebelum

kita merumuskan secara operasional tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPD,kita harus mampu memahami secara konseptual posisi BPD di level desa.

Mengapa demikian?Pertama, tupoksi BPD yang dirumuskan dalam UU No.

22/1999 maupun Perda ternyata tidak mudah untuk dipahami, apalagi

dioperasionalkan. Bahasa hukum selalu menimbulkan tafsir yang berbeda-

 beda, dan karena itu menimbulkan praktik yang berbeda pula, bahkan bisa

praktik yang keliru dari semangat undang-undang. Sebagai contoh, para

anggota BPD sangat bingung memahami (apalagi menerapkan) fungsi

mengayomi adat-istiadat yang dirumuskan dalam UU. Pasal tentang fungsi ini

dalam UU, kalau dibawa ke Sumatera Barat, atau mungkin di tempat lain yangmasih kental dengan adat lokalnya, tidak terlalu relevan karena adat bukan

urusan parlemen lokal yang dibentuk negara. Di Sumatera Barat, adat bukan

menjadi urusan Badan Perwakilan Nagari, melainkan urusan Kerapatan Adat

Nagari (KAN) dan Majelis Adat dan Syarak. Karena itu, BPD, pemerintah desa,

masyarakat dan para fasilitator pemberdayaan BPD tidak cukup berpedoman

pada kerangka regulasi untuk memahami, apalagi mendidik, BPD. Kita harus

beyondpada UU, dengan masuk pada teorisasi yang lebih luas dan membumi

pada konteks empirik. Kalau ada peraturan yang kurang relevan dengan

konteks lokal, maka bisa menimbulkan masalah serius dalam implementasinya.Kedua, belajar pada kasus empirik, BPD sekarang berada pada situasi

transisional, yaitu situasi yang penuh eforia, pancaroba, gejolak dan seterusnya.

Karena transisional, BPD menjadi bagian dari masalah ( part of the problem)

1Makalah belum selesai ini disampaikan dalam Diskusi Perumusan Modul

Pelatihan Badan Perwakilan Desa, Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa, Yogyakarta, 5

Maret 2003.2Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) "APMD"

Yogyakarta dan Deputy Direktur INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE)Yogyakarta.

1

Page 2: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 2/10

ketimbang sebagai solusi atas masalah (solution of the problem) bagi

demokratisasi di tingkat desa. Baik UU maupun masyarakat berharap bahwa

kehadiran BPD menjadi arena baru yang lebih segar dan semarak bagi

dinamika demokrasi di tingkat desa, tetapi secara empirik di banyak tempat

BPD justru menimbulkan masalah yang tidak sepele. Ada kasus KKN antara

kepala desa dengan BPD, tetapi juga banyak kasus ketegangan antara BPD

dengan kepala desa. BPD jadi arogan sehingga menjadi momok bagi kades dan

perangkatnya. Kades, misalnya, menilai bahwa BPD bertindak melebihi

fungsinya, yakni justru bertindak sebagai hakim, inspektorat, jaksa dan intelijen

dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa.3 Di Bantul, BPD diplesetkan

menjadi Badan Pemborosan Desa; di Kaltim BPD disebut sebagai Badan

Provokasi Desa. Di Pati, para petinggi (kades) merasa tergencet dari samping

oleh BPD.

Mengapa semua itu terjadi? Menurut Menteri Dalam Negeri, Hari

Sabarno, kekurangharmonisan hubungan antara pemerintah desa dan BPD

terjadi karena kedua pihak belum memahami substansi UU No 22/1999 tentang

Pemerintahan Daerah (Kompas, 22/7). Ungkapan Mendagri secara formal betul.

Tetapi ada dua hal yang perlu dicatat.Pertama, semua pihak harus mempunyai

pemahaman yang memadai posisi BPD, yangbeyonddari UU.Kedua, UU harus

dipahami bukan sebagai instruksi tetapi sebagai referensi. Pihakstakeholders

harus membuat “kontrak sosial” sesuai dengan konteks lokal untuk

merumuskan posisi, peran dan fungsi BPD. Antara BPD dan pemerintah desa,

misalnya, harus membangun kontrak sosial untuk merumuskancode of conduct

(kode etik) terhadap apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan

oleh kades maupun BPD.

Untuk masuk ke dua isu di atas, tulisan ini hendak melakukandetour

terhadap posisi BPD posisi yang sebenarnya. BPD harus diletakkan pada

konteks demokrasi, pemerintahan desa (village governance), konteks dan proses

kebijakan desa, serta konteks masyarakat desa. Dari pintu ini kita akan masuk

ke arena yang lebih luas, dan karena itu akan dengan mudah merumuskan apa

tugas dan fungsi BPD yangbeyonddari UU.

BPD, Demokrasi dan Village Governance

Governance adalah relasi antara negara dan masyarakat. Sebagai sebuah

perspektif, governance mengajarkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan

3“BPD Momok bagi Kades dan Perangkatnya”,Suara Merdeka, 27 September

2001; dan “Badan Perwakilan Desa: Konfrontasi atau Kompromi”, Kompas,3Agustus

2002

 

2

Page 3: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 3/10

desa tidak dimonopoli oleh pemerintah desa (terutama kepala desa), tetapi

harus dikelola secara bersama oleh pemdes beserta unsur-unsur lain, baik BPD

maupun masyarakat. Pemerintah desa harus berbagi kekuasaan ke samping

dengan BPD, dan berbagi peran ke bawah dengan masyarakat.

Di desa, proses pemerintahan ( governance) bisa dilihat dari sisi aktor dan

arena. Dari sisi aktor, governance desa setidaknya menghadirkan pemerintah

desa (sebagai kepanjangan tengan negara), BPD sebagai aktor masyarakat

politik dan masyarakat sipil (kelompok-kelompok sosial, organisasi masyarakat,

maupunordinary people). Tabel 1 menggambarkan peta governance di desa.

 Jika kita mengikuti struktur formal, BPD berada di samping kades dan

tidak ada hubungan apa pun antara BPD dengan masyarakat. Secara ideal,

posisi BPD sebenarnya sebagai intermediary atau jembatan yang

menghubungkan antara masyarakat dan pemerintah desa.Intermediaryini

 bukan dalam kerangka relasi secara privat dan sosial antara masyarakat dan

pemerintah desa, melainkan dalam konteks pengelolaan kebijakan dan barang-

 barang publik. Karena BPD dilahirkan sebagai institusi demokrasi perwakilan,

maka posisi intermediary BPD secara ideal harus dibingkai dengan kerangka

demokrasi.

Tabel 1

Peta governance di desa

No Aktor Arena Posisi dan Peran

1 Pemerintah Desa

(negara)

Pemdes adalah kepanjangan tangan negara

yang menguasai dan mengendalikan wilayah

dan penduduk desa. Pemdes punya tugas

regulasi untuk mewujudkanlaw and orderdi

tingkat desa dan pelayanan publik untuk

kesejahteraan warga.

2 BPD (masyarakat

politik)

• Arena bagi masyarakat untuk mengorgansir

kekuasaan dan kontrol atas negara

(pemerintah desa).

• Pemilihan kades dan BPD juga sebagai arena

masyarakat politik, yakni untuk kompetisi

dan memperebutkan jabatan politik.

• BPD sebagai jembatan (intermediary) antara

masyarakat dengan pemerintah desa.

3 Masyarakat sipil

(organisasi lokal dan

warga)

Arena bagi masyarakat untuk berorganisasi,

self-help, membangun solidaritas, partisipasi,

dan lain-lain.

3

Page 4: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 4/10

Menurut saya, pemerintahan desa yang demokratis adalah pemerintahan

yang berasal “dari”partisipasimasyarakat; dikelola secaraakuntabel dan

transparan“oleh” wakil-wakil yang diberi mandat oleh masyarakat; dan

dimanfaatkan secararesponsif“untuk” kepentingan masyarakat. Dengan

 bingkai ini, maka posisi dan peran intermediarysecara demokratis yang

dilakukan BPD mencakup:

• BPD adalah wakil masyarakat yang dibentuk atau dipilih berdasarkan

partisipasi masyarakat. Karena BPD dipilih masyarakat, maka parlemen

desa itu memperoleh mandat sebagai wadah (institusi) partisipasi

masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Dalam

 bahasa UU, peran BPD adalah menyerap aspirasi masyarakat untuk

ditransformasikan menjadi kebijakan publik. Lebih dari itu, tantangan BPD

sebagai wadah partisipasi adalah membangun kemitraan dengan unsur-

unsur masyarakat atau menjalin jaringan dengan berbagai organisasi lokal

untuk mewujudkan kapasitas masyarakat sebagai subyek yang secara aktif

menentukan dan mengontrol proses pemerintahan dan pembangunan desa.

Box 1: Tentang partisipasi

• Partisipasi bukan sekadar keterlibatan atau keikutsertaan masyarakat dalam

proses pemerintahan dan pembangunan, melainkan lebih dari itu bahwa

partisipasi memperlihatkan kekuatan masyarakat untuk menentukan dan

mengontrol lingkungan kehidupannya sendiri maupun kekuatan di luarnya

(misalnya pemerintah desa) yang mempengaruhi kehidupannya. Jika

partisipasi hanya dimaknai sebagai keterlibatan atau ikutserta, maka posisi

masyarakat hanya mengambil bagian atau diajak oleh pemerintah desa

dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian, ikutserta

identik dengan obyek. Tetapi kalau partisipasi dimaknai sebagai proses

menentukan dan mengontrol, maka posisi masyarakat merupakan subyek

yang mempunyai kekuatan aktif.

• Partisipasi bukan sekadar menyerap aspirasi, memberikan informasi,

sosialisasi atau konsultasi publik. Ini bisa disebuttokenism participation, atau

mendengarkan suara dan memberikan penghargaan kepada masyarakat.

Lebih dari itu, partisipasi berarti membangun kemitraan secara bersama-

sama untuk mewujudkan masyarakat sebagai subyek yang secara aktif

mampu menentukan dan mengontrol proses pemerintahan.

• BPD juga berperan sebagai “ruang publik” yang membuat dialektika politik

menjadi lebih terbuka dan semarak. BPD bersama masyarakat dan

pemerintah desa terus-menerus membicarakan masalah-masalah

pemerintahan dan pembangunan sehari-hari, seraya merumuskan agenda

4

Page 5: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 5/10

pemecahan masalah dan perubahan yang lebih ke depan. Dengan demikian,

BPD menjalin kemitraan dengan masyarakat dan pemerintah untuk

membangun desa dari dalam.

• BPD sebagai kekuatan kontrol (check and balances) terhadap pemerintah desa,

sehingga mendorong akuntabilitas, transparansi dan responsivitas

penyelenggaraan pemerintahan desa. Kontrol ini tidak dilakukan dengan

pendekatan kompromi atau sebaliknya pendekatan konfrontatif, melainkan

harus menggunakan pendekatan kemitraan yang bersandar pada prinsip

mutual trust.

BPD dalam Konteks Kebijakan Publik

Regulasi desa (Perdes) adalah sebuah bentuk konkret kebijakan publik di

tingkat desa. Perdes adalah sebuah perangkat hukum untuk memerintah

maupun mengelola barang-barang publik. Sebagai bentuk kebijakan publik,

regulasi desa adalah bentuk aturan main yang mempunyai banyak fungsi:

sebagai pembatas apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan

oleh pemdes maupun masyarakat; menegaskan pola-pola hubungan antar

lembaga di desa; mengatur pengelolaan barang-barang publik desa;

memastikan aturan main kompetisi politik; memberikan perlindungan terhadap

lingkungan; menegaskan sumber-sumber penerimaan desa; memastikan

penyelesaian masalah dan penanganan konflik; dan lain-lain. Pada prinsipnya

regulasi desa dibuat untuk menciptakan keseimbangan relasi sosial-politik dan

pengelolaan barang-barang publik.

Ada tiga isu yang perlu diperhatikan untuk memahami kebijakan publik

desa: konteks, kontens (isi) dan proses.

1. Konteks

Setiap perdes harus relevan dengan konteks kebutuhan dan aspirasi

masyarakat. Dengan kalimat lain, perdes yang dibuat memang dimaksudkan

untuk menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar merumuskan

keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah

supradesa. Mengenali kebutuhan masyarakat memang tidak mudah karena

 begitu banyaknya aspirasi dan kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat.

Paling tidak mengenali kebutuhan masyarakat bisa berangkat darimasalah

krusial(misalnya kerusakan jalan kampung karena masuknya kendaraan berat,

praktik-praktik politik uang dalam pemilihan pamong desa, kerusakan

lingkungan, dan lain-lain) di komunitas yang selalu menjadi bahan

pembicaraan masyarakat dan harus segera ditangani dengan aturan main.

5

Page 6: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 6/10

Selain memperhatikan masalah krusial, kebutuhan lokal juga bisa dilihat

daripotensi desa yang perlu dikembangkan dan membutuhkan jaminan

kepastian secara hukum dalam pengelolaannya. Misalnya, sebuah desa akan

mengembangkan Badan Kredit Desa (BKD) sebagai bentuk Badan Usaha Milik

Desa (BUMD). Pengelolaan BKD tersebut tentu membutuhkan perdes yang

mengatur tentang banyak hal: siapa pemilik BKD, dari mana sumber dananya,

 bagaimana posisi pemerintah desa, siapa yang berhak meminjam kredit,

 bagaimana aturan main kreditnya, dan lain-lain. Sebagai barang publik desa,

BKD memang perlu dibingkai dengan perdes agar bisa memberikan jaminan

kepastian hukum bagi warga masyarakat dan pemerintah desa, sehingga BKD

 bisa dikelola dengan baik, bertanggungjawab, dan berkelanjutan.

2. Kontens

Kontens adalah kandungan isi yang tertulis secara eksplisit dalam

perdes, mulai dari konsiderans sampai dengan batang tubuhnya. Sebuah

regulasi desa yang baik atau yang berbasis pada masyarakat mengandung isi

sebagai berikut:

Sesuai dengan prinsip konstitusionalisme (rule of law), perdes bersifat

membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah.

Paling tidak, perdes harus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas

pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa.

Mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi

pengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan

kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap barang-barang publik;

memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan

dan pembangunan desa.

Untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, perdes bersifat

membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam; membatasi

penyalahgunaan kekuasaan; mencegah perbuatan kriminal; mencegah

dominasi kelompok kepada kelompok lain, dan seterusnya.

Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya

maupun kepentingan umum masyarakat.

3. Proses

Proses menggambarkan alur pengelolaan kebijakan publik atau

peraturan desa. Dalam literatur sebenarnya dikenal setidaknya empat model

proses pembuatan kebijakan.

• Model kebijakan teknokratis. Yaitu kebijakan yang disusun (dirumuskan)

oleh para ahli yang dinilai atau merasa mempunyai pengetahuan yang

mendalam tentang filosofi kebijakan dan mengetahui konteks lokal karena

6

Page 7: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 7/10

sudah melakukan penelitian. Sebagai contoh, pemdes dan BPD sepakat

menunjuk beberapa orang yang dianggap mumpuni dan dipercaya

masyarakat, untuk merumuskan perdes. Orang tersebut mungkin ahli dan

responsif terhadap kebutuhan lokal, tetapi proses semacam itu tidak

partisipatif.

• Model kebijakan oligarkis, yaitu kebijakan yang hanya dirumuskan oleh

segelintir orang, yaitu pemerintah desa dan BPD.

• Model klientelistik, yaitu kebijakan yang dirumuskan oleh seorang atau

segelintir orang yang didasarkan pada pertemanan, kekerabatan, patronase,

nepotisme, dan lain-lain.

• Model demokratis/partisipatif, yaitu kebijakan yang didasarkan diproses

secara partipatif melibatkan masyarakat. Alur kebijakan

demokratis/partisipatif bisa dilihat dalam tabel 2.

Sesuai dengan logika demokrasi, regulasi desa berbasis masyarakat

disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi,

agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi,

implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat

mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya.

Artikulasi adalah proses penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh

BPD maupun pamong desa. Agregasi adalah proses mengumpulkan, mengkaji

dan membuat prioritas aspirasi yang akan dirumuskan menjadi perdes.

Formulasi adalah proses perumusan rancangan perdes yang bisa dilakukan

oleh BPD dan/atau oleh pemerintah desa. Konsultasi adalah proses dialog

 bersama antara pemerintah desa dan BPD dengan masyarakat. Masyarakat

mempunyai ruang untuk mencermati, mengkritisi, memberi masukan dan

merevisi terhadap naskah raperdes. Pemerintah desa dan BPD wajib melakukan

revisi terhadap raperdes berdasarkan umpan balik dari masyarakat dalam

proses konsultasi sebelumnya. Naskah raperdes yang sudah direvisi kemudian

disahkan (legislasi) menjadi perdes oleh pemerintah desa dan BPD. Sebelum

perdes diimplementasikan, maka pemerintah desa dan BPD wajib melakukan

sosialisasi publik, untuk memberikan informasi tentang perdes agar masyarakat

tahu dan siap ikut melaksanakan perdes itu. Jika sosialisasi sudah mantap,

maka perdes bisa dijalankan (implementasi). Berbarengan dengan proses

implementasi tersebut, ada proses kontrol dan evaluasi yang dilakukan oleh

pemerintah desa, BPD dan juga masyarakat. Penilaian dari berbagai pihak ini

menjadi semacam umpan balik untuk inovasi terhadap implementasi, dan jika

masalah terlalu berat maka umpan balik itu bisa digunakan sebagai pijakan

untuk merevisi perdes.

7

Page 8: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 8/10

Tabel 2

Alur Kebijakan Publik Demokratis/Partisipatif

Alur Tahap Kegiatan

1 Artikulasi BPD menyerap aspirasi masyarakat

2 Agregasi BPD melakukan pengumpulan terhadap banyak

aspirasi, yang kemudian dikaji dan dirumuskan

prioritas aspirasi.

3 Formulasi BPD dan/atau pemerintah desa merumuskan

Raperdes yang berbasis pada aspirasi

4 Konsultasi Pemdes dan BPD melakukan konsultasi publik

kepada warga untuk membahas Raperdes. Warga

menyampaikan umpan balik pada Pemdes dan BPD.

5 Revisi Pemdes dan BPD melakukan perubahan substansi

Raperdes sesuai dengan umpan balik dari warga.

6 Sosialisasi I Pemdes dan/atau BPD menyampaikan informasi

Raperdes yang telah direvisi7 Legislasi Apabila Raperdes sudah disetujui oleh masyarakat,

maka kepala desa melakukan pengesahan Raperdes

menjadi Perdes.

8 Sosialisasi II Pemdes dan BPD melakukan sosialisasi terhadap

Perdes yang segera akan dilaksanakan.

9 Implementasi Perdes dilaksanakan atau diberlakukan

10 Monitoring dan

evaluasi

Pemdes, BPD dan masyarakat aktif melakukan

monitoring (kontrol) dan evaluasi terhadap

pelaksanaan Perdes.11 Artikulasi Melalui monitoring dan evaluasi, masyarakat

mempunyai aspirasi baru yang bisa digunakan untuk

melakukan inovasi terhadap implementasi. Jika

masalahnya semakin serius, maka aspirasi baru

tersebut bisa digunakan sebagai pijakan untuk

merevisi Perdes yang sudah dilaksanakan.

Catatan: tahap-tahap di atas sebenarnya berbentuk siklus yang bisa disusun

dalam bentuk bagan melingkar.

8

Page 9: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 9/10

Formulasi merupakan tahap yang sangat krusial. Pihak-pihak yang

dianggap akan dijadikan sasaran terhadap berlakunya suatu kebijakan, harus

dilibatkan, untuk mengetahui sejauh mana pihak-pihak ini berkepentingan

terhadap peraturan yang akan dibuat. Sementara itu, rumusan kebijakan yang

dibuat tidak mempunyai arti apa-apa kalau tidak diimplementasikan. Karena

itu implementasi kebijakan harus dilakukan secara arif, bersifat situasional,

mengacu kepada semangat kompetensi dan berwawasan permberdayaan.

Berkaitan dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa salah satu tolok ukur

keberhasilan suatu kebijakan terletak pada proses implementasinya. Bahkan

mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan

merupakan aspek yang terpenting dari keseluruhan proses kebijakan. Namun,

 bukan berarti implementasi kebijakan terpisah dengan formulasinya,

melainkan keberhasilan suatu kebijakan sangat tergantung pada tatanan

kebijakan itu sendirimacro policy danmacro policy. Artinya, formulasi kebijakan

makro yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,

keberhasilan implementasinya akan dipengaruhi oleh kebijakan mikro, yaitu

para pelaksana kebijakan, dan kebijakan operasional serta kelompok sasaran

dalam mencermati lingkungannya. Karena itu, lemahnya tatanan formulasi,

akan mengakibatkan lemahnya implementasi.

Selain formulasi dan implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan adalah

sebuah fase yang paling kritis. Artinya, disini partisipasi publik sebagai hal

yang paling fundamental dalam paradigma kritis studi kebijakan publik

menjelma menjadi sebuah bentuk keterlibatan yang sarat dengan kegiatan

kritik. Proses kebijakan publik yang didalamnya juga termasuk evaluasi

kebijakan publik, merupakan sebuah proses politik yang melibatkan semua

pihak. Dengan keterlibatan masyarakat dalam proses evaluasi, maka masalah

keterpisahan kebijakan publik dengan masyarakat akan dapat teratasi.

Proses penyerapan aspirasi masyarakat oleh BPD memang sangat

 bervariasi. Dalam konteks ini, saya mencoba membuat tipologi proses

penyerapan aspirasi berdasarkan kategori level (personal dan institusional) dan

sifat (informal dan formal). Tipologi ini bisa dilihat dalam bagan 1. Dengan

melihat bagan tersebut, ada empat metode penyerapan aspirasi yang bisa

dilakukan oleh BPD: personal-informal; personal-formal; institusional-informal;

dan institusional-formal. Keempat metode ini bisa dilakukan oleh BPD sesuai

dengan tradisinya. Toh keempatnya juga mempunyai kelebihan dan

kekurangannya. Tetapi kalau dipandang dari sudut partisipasi aktif, maka

metode institusional-formal mempunyai kekuatan paling besar ketimbang tiga

metode lainnya. Pertanyaannya kemudian, apa keunggulan dan kelemahan

masing-masing metode tersebut? Ini perlu didiskusikan lebih lanjut

9

Page 10: Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

7/23/2019 Meletakkan Badan Perwakilan Desa prose kebijakan.doc

http://slidepdf.com/reader/full/meletakkan-badan-perwakilan-desa-prose-kebijakandoc 10/10

Bagan 1

Tipologi metode

Penyerapan aspirasi

Sifat

Level

Personal Institusional

Informal   • Anggota BPD secara

personal berbincang-

 bincang dengan warga

arena anjangsana

(bertamu, layat, pesta,

ronda, ketemu di jalan,

dll).

• Seorang warga

menyampaikan

kepentingan dan

keluhannya pada

anggota BPD

• BPD secara kolektif

melakukan safari

kunjungan dan obrolan

informal dengan warga.

• BPD secara kolektif

melakukan dialog dengan

kelompok-kelompok sosial

atau organisasi

masyarakat

Formal   • Anggota BPD

menerima surat dari

warga.

• Anggota BPD masuk

ke forum-forum

komunitas (kelompok

sosial, RT, PKK, Karang

Taruna, dll).

• Dengar pendapat warga

dengan BPD.

• Lokakarya atau rembug

desa yang teragenda

secara sistematis.

Catatan: kuadran IV (institusional-formal) mempunyai kekuatan terbesar

karena sebagai arena “kontrak sosial” bersama antara BPD dan masyarakat.

10