Upload
30061991
View
10
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Mengurai “Revolusi mental”
Qua vadis Sistem Pendidikan dan Nilai Keagamaan
Oleh : DR. H. M. Syahrial Yusuf SE. MM
Sejak kemerdekaan, kini perjalanan bangsa Indonesia bisa dikatakan sebagai
fase ketiga, fase pertama di awali dengan Orde lama, orde baru dan
reformasi. Masing-masing zaman atau pemerintahan memiliki ciri khas
kebijakan dan arah pembangunan. Indonesia dalam perjalanan sejarahnya
juga bergerak dengan proses, pergerakan, dan perkembangan.
Dalam era reformasi yang sudah 12 tahun ini, bulan lalu kita telah
melakukan peralihan era kepemimpinan yang disebut Pemilu. Dengan era
kepemiminan baru sudah saatnya kita melakukan perubahan dengan
melakukan koreksi apa yang salah dalam proses membangun bangsa.
Mengapa? Tak bisa dipungkiri dari kenyataan perkembangan bangsa juga
berimplikasi pada pergeseran budaya yang terjadi di masyarakat.
Koreksi ini sejatinya meliputi berbagai aspek, baik persoalan ekonomi, politik
dan budaya. Sampai kapankah kita diam jika perilaku koruptif oleh kalangan
terdidik dari sarjana hingga profesor, budaya monopoli, praktik kecurangan
sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat bahkan sampai mengubah nilai-
nilai keagamaan.
Sejatinya, wajar bukan jika salah satu jargon yang dikemas oleh Jokowi
sebagai calon Presiden terpilih adalah melakukan “revolusi mental’.
Alasannya, koreksi dari pembangunan bangsa yang cenderung menerapkan
prinsip-prinsip paham liberalisme yang kontradiktif dengan nilai, budaya, dan
karakter bangsa Indonesia. Jargon “revolusi mental” diartikan sebagai cara
lain untuk menciptakan paradigma baru, budaya politik, dan pendekatan
nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya
Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Penulis tidak mengupas terlalu panjang terkait pergeseran budaya dan nilai.
Namun, lebih menekankan konklusi dari “revolusi mental” strategi dan cara
mengubah paradigma yang sudah karut marut tersebut, ibarat bermain
pencak silat penulis memiliki dua jurus jitu. Yakni membenahi sistem
pendidikan dan meningkatkan keimanan sumber daya manusia dengan
memberikan nilai-nilai keagamaan.
Koreksi pada Sistem Pendidikan
Pendidikan bukan lah hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum masa
penjajahan, proses pendidikan sudah masuk namun masih berorientasi pada
proses penyebaran agama. Pada masa peradaban Budha, proses pendidikan
muncul ketika para musafir Cina singgah ke Indonesia (Jawa) untuk belajar
gramatikal bahasa sansakerta dan penerjemahan kitab – kitab Budha oleh
guru – guru besar yang ada di Indonesia.
Pada masa peradaban Hindu, dikenal sistem kasta dimana kaum brahmana
yaitu kaum ulama yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran
sastra, bahasa, ilmu kemasyarakatan, ilmu eksakta (perbintangan, ilmu pasti
dan perhitungan), seni bangunan, seni rupa dan ilmu pengetahuan lainnya.
Sedang pada masa kolonial Belanda perjalanan sejarah menunjukkan
bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan
menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada.
Pada 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas
mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda
mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus
minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe-ordonnantie yang menetapkan
bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan
kepada pihak Belanda. (Rifa’i, 2011: 56).
Menurut Ary Gunawan dalam Rifa’i (2011: 67), prinsip kebijakan pendidikan
kolonial yaitu:
Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
1. Pendidikan diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja,
terutama demi kepentingan kaum penjajah.
2. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada
dalam masyarakat.
3. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat
penjajah) Belanda.
4. Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi
pada pengetahuan dan kebudayaan barat.
Prinsipnya, tujuan pendidikan di masa kolonial adalah untuk memenuhi
keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda, di samping ada
sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga-tenaga administrasi,
tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang dianggap sebagai
pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga.
Kalau diperhatikan seksama, kondisi ini tidak berbeda dengan kondisi saat
ini, kurikulum pendidikan kita hanya untuk melayani pemodal, dan pemilik
usaha. Maka kita perlu menelurkan terobosan baru dalam konteks kekinian
guna menelurkan SDM yang handal yang memiliki daya saing dengan luar.
Bukankah lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu
perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui
eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh
kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda.
Dengan melewati tiga fase kemerdekaan hingga saat ini. Mengubah
paradigma pendidikan adalah bagian dari revolusi mental. Caranya, dengan
cara mengubah kurikulum sistem pendidikan kita. Salah satu upaya penting
meningkatkan kualitas pendidikan ini adalah dengan cara memasukan
pendidikan berkarakter ke dalam kurikulum. Di perguruan tinggi, pendidikan
karakter ini sangatlah penting untuk membentuk kepribadian seorang
mahasiswa.
Penerapan pendidikan berkarakter ini dapat termuat dalam tiga hal.
Pertama, kita harus menanamkan spririt kerja keras. Cara ini menekankan
kepada peserta didik bahwa dengan bekerja keras berarti telah menjalankan
salah satu etos. Kerja keras adalah bagian dari hidup, mereka yang tidak
kerja keras akan menjadi orang yang terhina dan terbuang.
Kedua, kewirausahaan. Kurikulum pendidikan seyogianya juga membangun
mental kewirausahawan peserta didik. Jangan ajarkan peserta didik dengan
“Budi membeli pakaian” tapi ajarkan “Budi menjual pakaian”. Bacaan
tersebut tentunya memiliki efek psikologis bagi peserta didik. Mengapa?
Seorang wirausahawan memiliki karakter yang tidak menyalahkan orang
lain, tetapi selalu berkaca dan menyalahkan diri sendiri untuk memperbaiki
diri ke depannya. Artinya berkacalah pada diri sendiri dan jadilah
wirausahawan yang selalu berpikir positif.
Ketiga, pengembangan kepribadian. Pendidikan berkarakter perlu
mengarahkan mahasiswa untuk memiliki mimpi dan menggapai mimpi
mereka. Selain fokus dibidang pendidikan, perguruan tinggi juga harus
menghasilkan lulusan yang terampil, siap kerja dan menjadi seorang
entrepreneur. Untuk itulah selain hard skill yang diberikan kepada
mahasiswa, softskill pun harus dibangun. Kslsu tifsk dibangun secara
bersama maka akan tertinggal dengan lulusan luar negeri.
Sebagai contoh pendidikan tidak pernah diperhatikan pemerintah, dapat
dilihat dengan hanya ada tiga jurusan saja di fakultas Ekonomi di perguruan
tinggi UGM. Jumlah jurusan ini jauh tertinggal dibandingkan fakultas ekonomi
di Australia yang memiliki 12 jurusan. Seperti adanya jurusan perdagangan,
ekonomi asia Pasifik, Ekonomi Timur Tengah dan ekonomi Asia. Bukankah
bangsa ini harus mempersiapkan SDM-nya pada era global.
Padahal, kita ketahui bahwa tokoh-tokoh pemimpin bangsa Indonesia juga
merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila kita lihat perkembangan
Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu
bangsa, begitu pula bangsa Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Menanamkan Prinsip Keagamaan
Ada pesan yang kita tangkap dalam sebuah hadis “didiklah anak-anakmu
karena sesungguhnya mereka makhluk yang bukan di jaman kalian”.
Seirama dengan paradigma membenahi sistem pendidikan, maka dalam
menanamkan nilai keagamaan perlunya di tekankan pada hal-hal yang
bersifat nilai-nilai aktual tidak hanya konseptual saja. Berikanlah contoh pada
peserta didik bukan hanya sekadar pengetahuan.
Semisal hanya memaparkan hadis dan tafsir atau kitab-kitab keagamaan
lainnya. Tapi lebih fokus pada hal yang sifatnya membangun karakter
seseorang dari nilai-nilai keagamaan yang ada. Contohnya saja munculnya
gerakan ISIS yang tengah marak menjadi perbincangan di dunia.
Sejatinya, jika prinsip kita kuat di Indonesia gerakan ini tidak akan menarik
karena kondisi kebangsaan di Irak dan Suriah karena wilayah dalam suasana
kemarahan, kekecewaan, dan konflik. Kondisi itu bertolak belakang dengan
Indonesia yang memiliki Pancasila dan melindungi kebebasan beragama.
Nuansa agama dan dinasti-nya lebih kental. Sementara, saat ini peran
tersebut sudah diambil alih dengan bentukan negara, nasionalisme yang
lebih demokratis, terbagi dan tidak tersentral dengan sosok seseorang
Kita harus fokus untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam bentuk
aktualisasi yang nyata. Bukankah rasulullah di utus untuk menyempurnakan
akhlak? Bagi penulis ini bukanlah hal yang baru, di berbagai kesempatan
dalam seminar dan pelatihan yang ada 7 hal yang harus ditanamkan. Hal ini
begitu penting hingga penulis juga menulis buku SEQ (Spiritual
Entrepreneurship Quotient), 7 hal tersebut antara lain;
1. Jangan berbohong
Mengapa? Karena berbohong adalah ciri orang munafik. Ironisnya
berbohong merupakan perilaku biasa dalam masyarakat modern.
Kebohongan yang dilakukan akan mengakibatkan kebiasaan dan sulit
dihilangkan. Saya menilai orang yang berbohong akan mengalami
kerugian dalam banyak hal.
2. Tidak menepati janji
Dalam hidup seseorang pasti memiliki keterikatan dengan seseorang
dalam pergaulan. Maka tak lepas dari mengucapkan kata janji. Namun
banyak sekali dari mereka yang tidak menepati janji. Padahal janji
tersebut suatu saat akan diminta pertanggungjawabannya. Orang yang
tidak menepati janji pasti memiliki kawan yang sedikit.
3. Hubungan dengan orang tua kurang baik.
Rasulullah bersabda ridha Allah ada pada keridhaan orang tua dan
murkanya Allah ada bersama murka orang tua. Hubungan yang tidak
baik dengan orang tua akan menimbulkan malapetaka dan
penderitaan dalam hidup seseorang.
4. Menyakiti orang sampai sakit hati sekali.
Doa yang dipanjatkan orang yang disakiti itu dikabulkan oleh Allah. Jika
kita menjelekkan orang lain apakah kita bisa dengan mudah
memperbaiki nama orang tersebut.
5. Sering ke dukun-dukun. Banyaknya problematika hidup seseorang
mengakibatkan orang hilang kesadaran. Orang yang pergi ke dukun
menunjukkan orang yang tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi
dan termasuk orasng yang tidak percaya kepada Allah
6. Tidak amanah, di antara ketakwaan seorang hamba kepada Allah SWT
adalah dengan menjalankan dan menjaga amanah yang dipikulnya.
Baik yang sifanya transendental dan horizontal. Orang yang tidak
amanah akan sulit mendapatkan kepercayaan orang lain. Kepercayaan
itu mahal sekali, jika kita sampai kehilangan akan sulit
mengembangkan diri.
7. Sering mengeluh. Mengeluh memang sudah menjadi kodrat dari
manusia, tapi kita harus bisa menyikapi hal tersebut sehingga
mengeluh kita tepat sasaran. Mengeluh menunjukkan bahwa kita
lemah dan tidak percaya diri. Bahkan cenderung menyalahkan orang
lain. Sesungguhnya harus disadari bahwa kejadian yang menimpa atau
terjadi dengan kita adalah akibat perbuatan kita sendiri.
Oleh Karena itu, revolusi mental yang terbaik sejatinya dikuatkan dalam
sektor pendidikan dan pengamalan agamanya yang disokong oleh
Pemerintah. Jika ini tidak segera dibenahi akan menimbulkan stagnasi dalam
perilaku berbangsa dan bernegara. Quo vadis pendidikan dan Pengamalan
agama ?
Tulisan ini mengangkat revolusi mental yang berakar pada pendidikan dan
pengamalan agama kita secara sempurna.
Semoga bermanfaat