7
Mengurai “Revolusi mental” Qua vadis Sistem Pendidikan dan Nilai Keagamaan Oleh : DR. H. M. Syahrial Yusuf SE. MM Sejak kemerdekaan, kini perjalanan bangsa Indonesia bisa dikatakan sebagai fase ketiga, fase pertama di awali dengan Orde lama, orde baru dan reformasi. Masing-masing zaman atau pemerintahan memiliki ciri khas kebijakan dan arah pembangunan. Indonesia dalam perjalanan sejarahnya juga bergerak dengan proses, pergerakan, dan perkembangan. Dalam era reformasi yang sudah 12 tahun ini, bulan lalu kita telah melakukan peralihan era kepemimpinan yang disebut Pemilu. Dengan era kepemiminan baru sudah saatnya kita melakukan perubahan dengan melakukan koreksi apa yang salah dalam proses membangun bangsa. Mengapa? Tak bisa dipungkiri dari kenyataan perkembangan bangsa juga berimplikasi pada pergeseran budaya yang terjadi di masyarakat. Koreksi ini sejatinya meliputi berbagai aspek, baik persoalan ekonomi, politik dan budaya. Sampai kapankah kita diam jika perilaku koruptif oleh kalangan terdidik dari sarjana hingga profesor, budaya monopoli, praktik kecurangan sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat bahkan sampai mengubah nilai- nilai keagamaan. Sejatinya, wajar bukan jika salah satu jargon yang dikemas oleh Jokowi sebagai calon Presiden terpilih adalah melakukan “revolusi mental’. Alasannya, koreksi dari pembangunan bangsa yang cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Jargon “revolusi mental” diartikan sebagai cara lain untuk menciptakan paradigma baru, budaya politik, dan pendekatan

Mengurai-Revolusi-mental.rtf

Embed Size (px)

Citation preview

Mengurai “Revolusi mental”

Qua vadis Sistem Pendidikan dan Nilai Keagamaan

Oleh : DR. H. M. Syahrial Yusuf SE. MM

Sejak kemerdekaan, kini perjalanan bangsa Indonesia bisa dikatakan sebagai

fase ketiga, fase pertama di awali dengan Orde lama, orde baru dan

reformasi. Masing-masing zaman atau pemerintahan memiliki ciri khas

kebijakan dan arah pembangunan. Indonesia dalam perjalanan sejarahnya

juga bergerak dengan proses, pergerakan, dan perkembangan.

Dalam era reformasi yang sudah 12 tahun ini, bulan lalu kita telah

melakukan peralihan era kepemimpinan yang disebut Pemilu. Dengan era

kepemiminan baru sudah saatnya kita melakukan perubahan dengan

melakukan koreksi apa yang salah dalam proses membangun bangsa.

Mengapa? Tak bisa dipungkiri dari kenyataan perkembangan bangsa juga

berimplikasi pada pergeseran budaya yang terjadi di masyarakat.

Koreksi ini sejatinya meliputi berbagai aspek, baik persoalan ekonomi, politik

dan budaya. Sampai kapankah kita diam jika perilaku koruptif oleh kalangan

terdidik dari sarjana hingga profesor, budaya monopoli, praktik kecurangan

sudah menjadi hal yang biasa di masyarakat bahkan sampai mengubah nilai-

nilai keagamaan.

Sejatinya, wajar bukan jika salah satu jargon yang dikemas oleh Jokowi

sebagai calon Presiden terpilih adalah melakukan “revolusi mental’.

Alasannya, koreksi dari pembangunan bangsa yang cenderung menerapkan

prinsip-prinsip paham liberalisme yang kontradiktif dengan nilai, budaya, dan

karakter bangsa Indonesia. Jargon “revolusi mental” diartikan sebagai cara

lain untuk menciptakan paradigma baru, budaya politik, dan pendekatan

nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya

Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.

Penulis tidak mengupas terlalu panjang terkait pergeseran budaya dan nilai.

Namun, lebih menekankan konklusi dari “revolusi mental” strategi dan cara

mengubah paradigma yang sudah karut marut tersebut, ibarat bermain

pencak silat penulis memiliki dua jurus jitu. Yakni membenahi sistem

pendidikan dan meningkatkan keimanan sumber daya manusia dengan

memberikan nilai-nilai keagamaan.

Koreksi pada Sistem Pendidikan

Pendidikan bukan lah hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum masa

penjajahan, proses pendidikan sudah masuk namun masih berorientasi pada

proses penyebaran agama. Pada masa peradaban Budha, proses pendidikan

muncul ketika para musafir Cina singgah ke Indonesia (Jawa) untuk belajar

gramatikal bahasa sansakerta dan penerjemahan kitab – kitab Budha oleh

guru – guru besar yang ada di Indonesia.

Pada masa peradaban Hindu, dikenal sistem kasta dimana kaum brahmana

yaitu kaum ulama yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran

sastra, bahasa, ilmu kemasyarakatan, ilmu eksakta (perbintangan, ilmu pasti

dan perhitungan), seni bangunan, seni rupa dan ilmu pengetahuan lainnya.

Sedang pada masa kolonial Belanda perjalanan sejarah menunjukkan

bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan

menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada.

Pada 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas

mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda

mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus

minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe-ordonnantie yang menetapkan

bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan

kepada pihak Belanda. (Rifa’i, 2011: 56).

Menurut Ary Gunawan dalam Rifa’i (2011: 67), prinsip kebijakan pendidikan

kolonial yaitu:

Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.

1. Pendidikan diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja,

terutama demi kepentingan kaum penjajah.

2. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada

dalam masyarakat.

3. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat

penjajah) Belanda.

4. Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi

pada pengetahuan dan kebudayaan barat.

Prinsipnya, tujuan pendidikan di masa kolonial adalah untuk memenuhi

keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda, di samping ada

sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga-tenaga administrasi,

tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang dianggap sebagai

pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga.

Kalau diperhatikan seksama, kondisi ini tidak berbeda dengan kondisi saat

ini, kurikulum pendidikan kita hanya untuk melayani pemodal, dan pemilik

usaha. Maka kita perlu menelurkan terobosan baru dalam konteks kekinian

guna menelurkan SDM yang handal yang memiliki daya saing dengan luar.

Bukankah lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu

perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui

eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh

kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda.

Dengan melewati tiga fase kemerdekaan hingga saat ini. Mengubah

paradigma pendidikan adalah bagian dari revolusi mental. Caranya, dengan

cara mengubah kurikulum sistem pendidikan kita. Salah satu upaya penting

meningkatkan kualitas pendidikan ini adalah dengan cara memasukan

pendidikan berkarakter ke dalam kurikulum. Di perguruan tinggi, pendidikan

karakter ini sangatlah penting untuk membentuk kepribadian seorang

mahasiswa.

Penerapan pendidikan berkarakter ini dapat termuat dalam tiga hal.

Pertama, kita harus menanamkan spririt kerja keras. Cara ini menekankan

kepada peserta didik bahwa dengan bekerja keras berarti telah menjalankan

salah satu etos. Kerja keras adalah bagian dari hidup, mereka yang tidak

kerja keras akan menjadi orang yang terhina dan terbuang.

Kedua, kewirausahaan. Kurikulum pendidikan seyogianya juga membangun

mental kewirausahawan peserta didik. Jangan ajarkan peserta didik dengan

“Budi membeli pakaian” tapi ajarkan “Budi menjual pakaian”. Bacaan

tersebut tentunya memiliki efek psikologis bagi peserta didik. Mengapa?

Seorang wirausahawan memiliki karakter yang tidak menyalahkan orang

lain, tetapi selalu berkaca dan menyalahkan diri sendiri untuk memperbaiki

diri ke depannya. Artinya berkacalah pada diri sendiri dan jadilah

wirausahawan yang selalu berpikir positif.

Ketiga, pengembangan kepribadian. Pendidikan berkarakter perlu

mengarahkan mahasiswa untuk memiliki mimpi dan menggapai mimpi

mereka. Selain fokus dibidang pendidikan, perguruan tinggi juga harus

menghasilkan lulusan yang terampil, siap kerja dan menjadi seorang

entrepreneur. Untuk itulah selain hard skill yang diberikan kepada

mahasiswa, softskill pun harus dibangun. Kslsu tifsk dibangun secara

bersama maka akan tertinggal dengan lulusan luar negeri.

Sebagai contoh pendidikan tidak pernah diperhatikan pemerintah, dapat

dilihat dengan hanya ada tiga jurusan saja di fakultas Ekonomi di perguruan

tinggi UGM. Jumlah jurusan ini jauh tertinggal dibandingkan fakultas ekonomi

di Australia yang memiliki 12 jurusan. Seperti adanya jurusan perdagangan,

ekonomi asia Pasifik, Ekonomi Timur Tengah dan ekonomi Asia. Bukankah

bangsa ini harus mempersiapkan SDM-nya pada era global.

Padahal, kita ketahui bahwa tokoh-tokoh pemimpin bangsa Indonesia juga

merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila kita lihat perkembangan

Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam sejarah

perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu

bangsa, begitu pula bangsa Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan

berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Menanamkan Prinsip Keagamaan

Ada pesan yang kita tangkap dalam sebuah hadis “didiklah anak-anakmu

karena sesungguhnya mereka makhluk yang bukan di jaman kalian”.

Seirama dengan paradigma membenahi sistem pendidikan, maka dalam

menanamkan nilai keagamaan perlunya di tekankan pada hal-hal yang

bersifat nilai-nilai aktual tidak hanya konseptual saja. Berikanlah contoh pada

peserta didik bukan hanya sekadar pengetahuan.

Semisal hanya memaparkan hadis dan tafsir atau kitab-kitab keagamaan

lainnya. Tapi lebih fokus pada hal yang sifatnya membangun karakter

seseorang dari nilai-nilai keagamaan yang ada. Contohnya saja munculnya

gerakan ISIS yang tengah marak menjadi perbincangan di dunia.

Sejatinya, jika prinsip kita kuat di Indonesia gerakan ini tidak akan menarik

karena kondisi kebangsaan di Irak dan Suriah karena wilayah dalam suasana

kemarahan, kekecewaan, dan konflik. Kondisi itu bertolak belakang dengan

Indonesia yang memiliki Pancasila dan melindungi kebebasan beragama.

Nuansa agama dan dinasti-nya lebih kental. Sementara, saat ini peran

tersebut sudah diambil alih dengan bentukan negara, nasionalisme yang

lebih demokratis, terbagi dan tidak tersentral dengan sosok seseorang

Kita harus fokus untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam bentuk

aktualisasi yang nyata. Bukankah rasulullah di utus untuk menyempurnakan

akhlak? Bagi penulis ini bukanlah hal yang baru, di berbagai kesempatan

dalam seminar dan pelatihan yang ada 7 hal yang harus ditanamkan. Hal ini

begitu penting hingga penulis juga menulis buku SEQ (Spiritual

Entrepreneurship Quotient), 7 hal tersebut antara lain;

1. Jangan berbohong

Mengapa? Karena berbohong adalah ciri orang munafik. Ironisnya

berbohong merupakan perilaku biasa dalam masyarakat modern.

Kebohongan yang dilakukan akan mengakibatkan kebiasaan dan sulit

dihilangkan. Saya menilai orang yang berbohong akan mengalami

kerugian dalam banyak hal.

2. Tidak menepati janji

Dalam hidup seseorang pasti memiliki keterikatan dengan seseorang

dalam pergaulan. Maka tak lepas dari mengucapkan kata janji. Namun

banyak sekali dari mereka yang tidak menepati janji. Padahal janji

tersebut suatu saat akan diminta pertanggungjawabannya. Orang yang

tidak menepati janji pasti memiliki kawan yang sedikit.

3. Hubungan dengan orang tua kurang baik.

Rasulullah bersabda ridha Allah ada pada keridhaan orang tua dan

murkanya Allah ada bersama murka orang tua. Hubungan yang tidak

baik dengan orang tua akan menimbulkan malapetaka dan

penderitaan dalam hidup seseorang.

4. Menyakiti orang sampai sakit hati sekali.

Doa yang dipanjatkan orang yang disakiti itu dikabulkan oleh Allah. Jika

kita menjelekkan orang lain apakah kita bisa dengan mudah

memperbaiki nama orang tersebut.

5. Sering ke dukun-dukun. Banyaknya problematika hidup seseorang

mengakibatkan orang hilang kesadaran. Orang yang pergi ke dukun

menunjukkan orang yang tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi

dan termasuk orasng yang tidak percaya kepada Allah

6. Tidak amanah, di antara ketakwaan seorang hamba kepada Allah SWT

adalah dengan menjalankan dan menjaga amanah yang dipikulnya.

Baik yang sifanya transendental dan horizontal. Orang yang tidak

amanah akan sulit mendapatkan kepercayaan orang lain. Kepercayaan

itu mahal sekali, jika kita sampai kehilangan akan sulit

mengembangkan diri.

7. Sering mengeluh. Mengeluh memang sudah menjadi kodrat dari

manusia, tapi kita harus bisa menyikapi hal tersebut sehingga

mengeluh kita tepat sasaran. Mengeluh menunjukkan bahwa kita

lemah dan tidak percaya diri. Bahkan cenderung menyalahkan orang

lain. Sesungguhnya harus disadari bahwa kejadian yang menimpa atau

terjadi dengan kita adalah akibat perbuatan kita sendiri.

Oleh Karena itu, revolusi mental yang terbaik sejatinya dikuatkan dalam

sektor pendidikan dan pengamalan agamanya yang disokong oleh

Pemerintah. Jika ini tidak segera dibenahi akan menimbulkan stagnasi dalam

perilaku berbangsa dan bernegara. Quo vadis pendidikan dan Pengamalan

agama ?

Tulisan ini mengangkat revolusi mental yang berakar pada pendidikan dan

pengamalan agama kita secara sempurna.

Semoga bermanfaat