Upload
iwan-nugroho
View
1.402
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
4. Iwan Nugroho. 1996. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hayati yang Efisien: Tinjauan dari sudut pandang ekonomi sumberdaya alam. Prosiding Seminar Regional Bioteknologi Universitas Widya Gama Malang, 1996
Citation preview
MENUJU PENGELOLAAN SUMBERDAYA HAYATI YANG EFISIEN1
Iwan Nugroho
PENDAHULUAN
Di dalam perspektif ilmu ekologi, apa yang dikenal sebagai biological diversity atau
keragaman hayati adalah suatu kondisi yang mendukung persyaratan stabilnya sistem
lingkungan di muka bumi. Secara normatif, disinilah manusia beraktifitas melalui konsep-
konsep pembangunannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan kehidupannya dalam dimensi
ruang bumi yang terbatas namun dituntut mampu menjangkau dimensi waktu antar generasi
yang tak terbatas. Dari sisi ini, kemudian dijadikan sebagai kerangka dasar munculnya
paradigma pembangunan yang baru, yaitu sustainable development atau sering disebut
dengan pembangunan berwawasan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan.
Paradigma baru di atas ternyata penuh kontroversi dalam pandangan ekonom yang
berorientasi klasik atau neoklasik yang sangat mengandalkan kepada pasar. Ia justru
dipandang sebagai konsep pembangunan anti pertumbuhan, dan memang hal tersebut
nampaknya benar (Portney, 1990) sehingga sempat mengangkat dikotomi antara memacu
pertumbuhan atau menyelamatkan lingkungan (Kneese, 1990). Ekonom klasik maupun
neoklasik terpukul karena dibatasi aksesnya terhadap common dan public resources.
Mereka dipaksa untuk memahami nilai-nilai baru yang sama sekali belum terbayang
sebelumnya, yaitu menempatkan sistem ekonomi sebagai bagian dari subsistem biofisik
(Holden, 1990). Muaranya adalah kepada dua hal yaitu kelestarian fungsi ekologi dan
tatanan kelembagaan. Artinya segala aktifitas pemanfaatan sumberdaya sebagai input
hingga alokasi outputnya, maupun distribusinya hendaknya mempertimbangkan kepada
1 Disajikan dalam Prosiding Seminar Regional Bioteknologi Universitas Widya Gama Malang, 1996
2
terpeliharanya fungsi-fungsi ekologi lingkungan maupun aspirasi masyarakatnya, dan
manfaat yang dihasilkan-sebagai kepuasan fisik maupun estetika-mempunyai dimensi waktu
yang panjang antar generasi.
Pada akhirnya mutlak diperlukan atau diciptakannya mekanisme kelembagaan dalam
masyarakat untuk mengaplikasikan paradigma di atas, melalui kajian sosial, teknis, maupun
ekonomi untuk menjalankan sistem produksi secara efisien. Tidak disangsikan lagi,
kerjasama di antara pakar dari berbagai bidang diperlukan untuk menerjemahkannya ke
dalam rumusan konsep dan praktek pembangunan (Sayer, 1995).
Melalui tulisan ini dicoba untuk mengkaji kelembagaan tersebut terutama dalam
kajian ekonomi keragaman sumberdaya hayati, atau disebut juga sumberdaya hayati, agar
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat sepanjang masa.
PENDEKATAN PENGELOLAAN
Pendekatan ini mengandung prinsip, aturan atau kaidah mendasar tentang
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan (selanjutnya ditulis pengelolaan SDA), yang
memberikan kerangka rumusan bagaimana kebijaksanaan atau kajian ekonomi kelak akan
diterapkan, sekaligus menjamin keefisienan pengelolaannya. Pengelolaan SDA, termasuk di
dalamnya sumberdaya hayati, dapat didekati penelaahannya melalui dua cara, yaitu:
1. Property Right System (Tietenberg, 1994;p. 32)
Property Right System (PRS) merupakan kumpulan kepemilikan, hak-hak
(privileges), dan batasan-batasan bagi pelaku-pelaku pembangunan agar dalam pengelolaan
sumberdaya hayati berjalan secara efisien dan menuju suatu tingkat kesejahteraan maksimal
secara berkelanjutan. PRS memiliki empat ciri dan harus diberlakukan semuanya (lengkap).
Pertama universality, maksudnya status kepemilikan sumberdaya harus terspesifikasi
dengan jelas. Siapa yang berkepentingan. Apakah itu hak milik, hak sewa, hak
menggunakan, dan hak-hak lainnya yang disepakati. Adanya kekaburan status kepemilikan
3
mengakibatkan pengelolaan yang tidak terendali sehingga menghabiskan sumberdaya itu
sendiri (open-acces).
Kedua, exclusivity. Pemilik menanggung semua manfaat dan beaya sebagai akibat
kepemilikan tadi. Kegagalan menerapkan ciri ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang
disebut eksternalitas. Ketiga, transferability. Maksudnya adalah bahwa hak kepemilikan
tersebut dapat dipindahtangankan secara sah tanpa paksaan. Terakhir, enforceability. Hal
ini menyangkut jaminan keamanan terhadap individu pemilik sumberdaya dari individu
lainnya.
Sumberdaya hayati sebagai public resources secara jelas tidak memenuhi ciri ke dua
dan ke empat. Implikasinya adalah sangat mungkin untuk menimbulkan ketidak-efisienan
dalam pengelolaannya. Public resources memiliki sifat un-rivalry in consumtion, artinya
bila sumberdayanya sudah dikonsumsi seseorang, maka orang lain yang akan mengkonsumsi
barang yang sama tidak dirugikan dalam jumlah maupun kualitasnya.
2. Materials Balance (Kneese, Ayres, D'Arge, 1973)
Pendekatan ini melihat secara obyektif terhadap suatu fenomena materi dan alirannya
(materials balance). Sumberdaya input, output, atau materi apapun diperhitungkan dalam
proporsi yang sebenarnya. Sumberdaya input dimanfaatkan sebaik-baiknya, dan output yang
merugikan (polusi) dialokasikan dengan cara-cara yang aman dan tidak dianggap lagi
sebagai aib atau kesalahan. Disinilah kemudian pilihan-pilihan kebijaksanaan dirumuskan,
misalnya tudingannya adalah wabah penyakit, maka kebijaksanaan ditujukan untuk menekan
materi atau mikroba yang membahayakan itu (Ahearne, 1989) dan sekaligus mendorong
peningkatan kualitas lingkungan dan estetika yang lebih baik (Easterling III, 1990).
Demikian pula sebaliknya, bila dimungkinkan terjadinya kepunahan spesies tertentu atau
timbulnya polutan yang belum ada teknologi pengolahannya akibat suatu proyek
pembangunan, maka kegiatannya harus dihentikan.
4
Penerapan pendekatan ini memerlukan ketelitian yang mendalam dan spesifik
tentang kondisi fisik lingkungan, jumlah penduduk, tingkat konsumsi, teknologi, dan
informasi lainnya. Kelengkapan informasi ini penting untuk merumuskan konsep
pengelolaan sumberdaya agar supaya materi apapun yang merugikan tidak mengakibatkan
dampak buruk bagi masyarakat dan sistem produksinya. Karena alasan ini pula, ada
keinginan kuat mendesentralisasikan (otonomi) pengelolaan SDA ke wilayah lokal (Schwab,
1988).
KONSEP PENILAIAN
Salah satu teknik analisis atau penilaian (valuation) yang sering digunakan adalah
Benefit-Cost Analysis (BCA). Ia dapat digunakan untuk menilai suatu kegiatan, proyek, atau
bahkan suatu regulasi (peraturan) khususnya yang berkaitan dengan upaya-upaya
pengelolaan SDA (Portney, 1990). Berkembangnya teknik penilaian ini merupakan
pendorong sekaligus pemicu para ekonom untuk lebih memahami paradigma pembangunan
yang berkelanjutan. Sebelumnya tidak ada alat analisis yang digunakan terhadap upaya-
upaya pengelolaan SDA sekitar tahun 1970. Tetapi pada saat ini setiap pembuat keputusan
atau yang melaksanakan amanat badan legislatif telah dibekali dengan BCA dengan tujuan
agar keputusan-keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pandang
lingkungan dan sosial yang lebih luas.
Perhitungan beaya dihubungkan dengan jumlah uang yang diperlukan untuk
mengkompensasi dari bahaya atau resiko akibat kegiatan yang hendak dilaksanakan,
misalnya munculnya wabah penyakit, bencana banjir, kehilangan pekerjaan, sehingga
mereka tetap tidak dirugikan (tetap kaya) seperti sebelum dilaksanakannya kegiatan.
Dengan kata lain, pengukuran beaya mirip dengan pengeluaran-pengeluaran untuk beaya
5
kesehatan, rekonstruksi saluran irigasi, dan lain-lain. Sebaliknya, perhitungan manfaat
melibatkan penilaian yang pasti dari hasil kegiatan dan menerjemahkannya ke dalam
pengaruh-pengaruh fisik seperti hilangnya wabah penyakit, peningkatan produksi tanaman,
masa pakai bangunan yang lebih lama dan pengaruh menguntungkan lainnya.
Ada prospek atau rasa optimis terhadap makin baiknya konsep penilaian yang terkait
dengan beaya dan manfaat. Penilaian dapat dilakukan ke segala aspek mulai dari
perencanaan hingga implementasi hal-hal yang teknis dalam wujud ukuran-ukuran ekonomi
yang mudah dipahami. Dan tekniknya akan terus disempurnakan menyusul kelemahan-
kelemahan yang ditemui, antara lain:
1. Tidak ada standart atau baku ukuran penilaian.
2. Tidak menjelaskan sasaran atau lokasi yang menanggung beban beaya atau manfaat yang
ditimbulkan.
3. Masih ditemukan kesulitan untuk memberikan penilaian terhadap peubah-peubah SDA
(pricing the priceless)
4. Ada aspek ketidak-menentuan (uncertainty) terutama terhadap penilaian kondisi SDA di
masa mendatang.
5. Terbatasnya kemampuan untuk menilai semua peubah yang diperkirakan terkait dengan
yang dianalisis.
6. Adanya subyektifitas atau superficial dalam penilaian.
7. Hasil analisis sering terabaikan dalam pengambilan keputusan. Total Economic Value Use Value Non-use Value Direct Use Indirect Use Option Baquest Existence Value Value Value Value Value
6
Output can be Functional Future direct Value of leaving Value from knowledge consumed benefit and indirect use and non-use of continued existence, directly use value values for spring based on ,e.g. moral moral conviction food, bimass, ecological biodiversity, habitat, habitats, recreation, functions, conserved irreversible endangered health flood control habitat changes species Decreasing ‘tangibility’ of value to individuals Gambar 1. Klasifikasi teknik penilaian SDA (Munasinghe and Lutz, 1993)
Dikemukakan Munasinghe and Lutz (1993), konsep dasar teknik penilaian
bersumber dari willingness to pay (WTP) setiap individu terhadap kenikmatan atau
pelayanan yang telah ia dapatkan dari SDA sekitarnya. Besarnya adalah setara luas area di
bawah kurva permintaan Hicksian (compensated demand curve), yang sudah berwujud nilai
atau ukuran ekonomi. Selanjutnya WTP dapat digunakan untuk menghitung nilai ekonomi
dari beragam sumberdaya (Gambar 1) yang ada dimuka bumi ini, dimulai dari nampak
nyata (tangible) hingga yang paling sulit dihitung (intangible).
KEBIJAKSANAAN EKONOMI
Proses pembangunan yang didambakan dalam kebijaksanaan ekonomi adalah
terjaminnya keefisienan pengelolaan SDA dan keberlanjutan sistem produksi, yang
didukung mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi dan mendorong
mekanisme pasar pada tingkat yang efisien, dan di dalam nuansa keseimbangan suplai dan
permintaan antara produk barang dan jasa serta kelestarian fungsi lingkungan. Manusia
mendapatkan kepuasan yang seimbang antara produk yang dikonsumsi dan dari kenyamanan
lingkungan sekitarnya. Berikut disajikan beberapa hal penting yang berkaitan dengan hal
yang dikemukakan di atas.
1. Kondisi Dasar
7
Untuk melihat posisi dimana pembangunan berkelanjutan ditempatkan, sangat baik
kiranya mereview ideologi yang ada di dalam pengelolaan SDA (O'Riordan dan Turner,
1983 dalam Pierce dan Turner, 1990; p. 12-15). Empat ideologi tersebut berturut-turut
adalah extreme cornucopian, accommodating, communalist, dan deep ecology. Yang
pertama orientasinya sangat ekstrim mengejar pertumbuhan, eksploitatif, dan
menggantungkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar untuk memaksimumkan GDP.
Sementara itu menuju ke urutan terakhir semakin berorientasi ekstrim preservasionis, non-
eksploitatif, dan mendambakan pertumbuhan yang didasari moral dan etika untuk
melindungi SDA.
Memilih satu atau lebih dari empat ideologi di atas sangat tergantung dari aspirasi
dan perilaku masyarakat yang dicerminkan dari tingkat konsumsi, dan teknologinya. Seiring
dan sekaligus untuk mendukung hal tersebut, menurut Randall (1987;p. 380) kebijaksanaan
ekonomi hendaknya dapat mencapai sasaran-sasaran berikut:
1. Kebijaksanaan pengelolaan SDA didasarkan kepada keseimbangan penilaian beaya dan
manfaat.
2. Penetapan insentif dalam kebijaksanaan ekonomi pengelolaan SDA.
3. Pendefinisian strategi dan tanggungjawab pengelolaan SDA ke arah desentralisasi atau
otonomi.
4. Kerjasama antara berbagai pihak dalam perumusan kebijaksanaan pengelolaan SDA.
2. Alokasi sumberdaya hayati
Tietenberg (1994;p. 39) mengemukakan bahwa keragaman sumberdaya hayati
berkaitan dengan (1) jumlah keragaman genetik dalam satu spesies dan (2) jumlah spesies
dalam satu komunitas organisme. Yang pertama berkaitan dengan fungsinya sebagai
cadangan untuk mengembangkan benih baru yang unggul, dan ke dua berkaitan dengan
ketergantungan, keseimbangan dan stabilitas di dalam komunitas untuk mendukung atau
melindungi sistem produksi.
8
Alokasi terhadap sumberdaya hayati sebagai input sistem produksi harus dilakukan
secara cermat dan efisien agar tidak menyebabkan jumlahnya merosot sehingga akhirnya
mengganggu sistem produksi.
Alokasi yang efisien hendaknya dapat diterjemahkan melalui pasar (Gambar 2),
dimana kurva permintaan tiap individu (katakan A dan B) dijumlahkan secara vertikal.
Kurva marginal cost (MC) mendatar menunjukkan ciri public resources mempunyai beaya
yang relatif konstan meskipun alokasinya berubah. Total alokasi yang efisien bagi kedua
individu terletak di Q*. Pada kondisi ini, A diharuskan mengalokasikan sejumlah qa dengan
harga Pa dan B mengalokasikan sejumlah qb dengan harga Pb. Atau secara total nilai untuk
membeli atau menyediakan keragaman sumberdaya hayati tersebut adalah (Pa x Q*) + (Pb x
Q*) atau MC x Q*. Nampak bahwa baik A maupun B secara bersama-sama membeli
meskipun dengan jumlah dan harga yang berbeda. Instrumen kebijaksanaan yang akan
diambil, sekalipun sangat sulit, harus mampu mengidentifikasikan perbedaan tersebut
sekaligus mengantisipasi insentif terhadap alokasi yang melanggar kesepakatan.
Ketidakefisienan dalam alokasi public resources biasanya muncul akibat adanya free
rider. Yang terakhir adalah seseorang yang memperoleh keuntungan dari menikmati public
resources tanpa upaya membeli atau menyediakannya. Misalnya dalam kasus di atas, hanya
A saja yang membayar sementara B memperoleh gratis. Dalam kondisi demikian, ada
kecenderungan berkurangnya insentif, yakni sebesar Pb x Q*, untuk menyediakan public
resources kembali seperti semula. Bila hal ini berlanjut maka kepunahan dan ketidak-
stabilan akan terjadi.
3. Instrumen Kebijaksanaan
Instrumen kebijaksanaan dalam pengelolaan keragaman sumberdaya hayati hampir
mirip dengan pengendalian lingkungan sekalipun tidak sama benar. Ia juga dapat ditransfer
atau diperdagangkan meskipun tidak secara bebas karena ciri-ciri keragaman hayati sama
sekali berbeda dengan polusi. Berikut disajikan beberapa instrumen tersebut:
9
a. Pajak (charges)
Pajak dikenakan kepada siapa saja yang menikmati kepuasan atau pelayanan yang
dihasilkan oleh sumberdaya hayati. Adanya alokasi yang berlebihan harus dipajak agar
insentif penyelamatannya juga meningkat mengimbangi penurunan kuantitas keragamannya.
Ada dua pengertian tentang pajak dalam hubungannya dengan struktur beaya alokasi, yaitu
real resources cost dan transfer cost. Yang pertama dibebankan kepada industri yang
mengalokasi sumberdaya sehingga meningkatkan struktur beayanya. Dan kedua, pajak
dibebankan kepada masyarakat konsumen sehingga membatasi kepuasannya dalam
menikmati sumberdaya. Secara keseluruhan keduanya tidak akan berbeda tanggapannya
dalam menuju alokasi yang efisien. Harga Mikroba (Rp/unit) Permintaan Pasar (DA+DB) MC
10
Pa DA Pb DB qb qa Q* Jumlah Mikroba (unit)
Gambar 2. Alokasi sumberdaya hayati (Tietenberg, 1994;p. 40)
b. Kuota (Individual Transferable Quotas)
Kuota diberikan oleh pemerintah kepada industri melalui mekanisme yang
disepakati, misalnya melihat pengalaman sebelumnya. Sistem kuota yang efisien harus
terspesifikasi dengan jelas dalam hal: (1) jumlah dan nama spesies atau bahkan strain yang
dialokasi tiap individu, (2) total sumberdaya hayati yang digunakan industri berada pada
tingkat yang efisien, dan (3) kuota dapat ditransfer di antara individu.
Setiap individu bebas keluar masuk dalam industri untuk memperoleh kuota asal
mempunyai struktur cost lebih rendah. Aliran transfer kuota ini akan berlangsung terus
sehingga menghasilkan keadaan dimana tiap individu bersaing menekan struktur costnya,
melalui perbaikan managemen dan penggunaan teknologi baru. Atau sebaliknya, kemajuan
teknologi akan menekan cost.
c. Perlindungan sumberdaya hayati
Untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau maksud perlindungan lainnya, sangat
diperlukan upaya untuk menyelamatkan sumberdaya hayati tertentu dari alokasi pada saat
ini. Hal ini bertujuan (1) upaya antisipasi kelemahan ilmu pengetahuan saat ini untuk suatu
keperluan yang tidak dapat diperkirakan (uncertainty) di masa mendatang, dan (2) upaya
diskon (discount future) alokasi saat ini bagi kepentingan pengelolaan SDA bagi generasi
mendatang.
Sayer (1995) mengemukakan hampir setiap negara telah mencadangkan sebagian
wilayahnya, darat atau lautan, untuk perlindungan sumberdaya hayati di dalam taman-taman
11
nasionalnya. Kecenderungan demikian nampak meningkat baik dari jumlah maupun luas
totalnya. Di daerah tropika diperkirakan ada 250 taman nasional dengan luas total lebih dari
100 ribu kilometer persegi.
KESIMPULAN
Pembangunan yang berkelanjutan sebagai paradigma baru nampaknya semakin
dipahami. Mulai muncul kesadaran di antara berbagai pakar, ahli ekologi maupun ekonom,
mengenali kendala satu sama lain untuk merumuskannya ke dalam mekanisme kelembagaan
yang diinginkan, dalam rangka mempertahankan stabilitas ekosistem dan sistem produksi.
Telah tersedia perangkat pendekatan property right system maupun materials
balance, yang dapat digunakan, tergantung mana yang dipilih, untuk menjamin alokasi
sumberdaya hayati secara efisien, melalui instrumen kebijaksanan pajak, kuota, maupun
melalui upaya untuk melindunginya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahearne, J. F. 1989. Will nuclear power recover in a greenhouse? Resources.
94(Winter):14-17. Easterling III, W. E. 1990. The question of climate as a natural resource. Resources.
100(Summer):13-17. Holden, C. 1990. Multidiciplinary look at a finite world. Science. 249(July 6,
1990):16&19. Kneese, A. V. 1990. Confronting future environmental challenges. Resources.
99(Spring):15-17. _____________., R. U. Ayres, and R. C. D'Arge. 1973. Economics and Environment: A
materials balance approach. In: Enthoven, A. C. and A. M. Freeman III (eds.). Problems of the Modern economy. W. W Norton and Company, Inc. 25-36.
Munasinghe, M. and E. Lutz. 1993. Environmental economics and valuation in
development decisionmaking. In: Munasinghe (ed.). Environmental Economics and Natutal Resources Management in Developing Countries. Commitee of International Development Institution on the Environment (CIDIE)-World Bank, Washington. 17-71.
12
Pierce, D. W. and K. Turner. 1990. Economics of Natural Resources and the Environment. Harvester Wheatscheaf.
Portney, P. R. 1990. Taking the measure of environmental regulation. Resources.
99(Spring):2-4. Randall, A. 1987. Resources Economics. John Wiley & Son, Toronto. 433p. Sayer, J. A. 1995. Science and international nature conservation. Paper was submitted in
inaugural lecture for the Prince Bernhard Chair at the University of Utrecht, Dept. Plant Ecology and Evolutionary Biology. March 16, 1995. PO Box 800.84, 3508 TB Utrecht, The Netherlands. Scientific publication In: Center for International Forestry Research (CIFOR) Occasional Paper No 4, March 1995, Bogor. 14p.
Schwab, R. M. 1988. Environmental federalism. Resources. 92(Summer):6-9. Tietenberg, T. H. 1994. Environmental Economics and Policy. HarperCollins College
Publishers, New York. 432p.
13