21
JAKARTA, KOMPAS.com -- Mantan Wakil Presiden Jusuf Kala menilai, konsolidasi demokrasi telah menyelamatkan Indonesia dari kerterpurukan ekonomi 1998. Sebagai negara berpulau dan bersuku, dengan lebih dari 300 bahasa, Indonesia merupakan negara besar yang bisa jadi contoh keberhasilan dalam menerapkan demokrasi mutikultural. "Walaupun banyak perbedaan, namun karena demokrasi kita baik, maka kita dapat hidup dengan damai," ujar Kalla dihadapan peserta World Peace Forum (WPF) ke-4, Sabtu (24/11/2012). Dalam pemaparannya Kalla didampingi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin, dan pimpinan Cheng Ho Multi Culture Education Trus, Tan Sri Lee Kim Yew dari Malaysia. "Demokrasi sangat baik dan penting bagi negara multikultural seperti Indonesia, karena itu Indonesia memilih demokrasi sebagai alat pembangunan mencapai kesejahteraan," kata Kalla. Setiap negara menjalankan demokrasi dengan kelebihannya masing- masing, tak ada yang bisa klaim yang satu lebih baik dari yang lain. Di sinilah, menurut Kalla, perlunya melakukan pendidikan demokrasi dengan baik dan kepemimpinan yang baik. WPF merupakan forum tingkat dua tahunan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bekerja sama dengan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), dan Cheng Ho Multi Culture Education Trust dari Malaysia. WPF ke-4 ini dibuka oleh Wakil Ketua MPR-RI Hajriyanto Y Tohari dan diikuti 200 peserta dari dalam dan luar negeri. Peserta tersebut terdiri dari tokoh politik, pemimpin organisasi, akademisi, dan aktivis perdamaian. Acara ini menekankan pentingnya konsolidasi demokrasi multikultural, identitas dan multikulturalisme, yang sangat menentukan bagi terciptanya perdamaian dan peningkatan demokrasi. WPF akan diakhiri dengan pidato puncak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu (25/11/2012) di Istana Bogor.

Multikultural Dan Demokrasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

multikultural

Citation preview

Page 1: Multikultural Dan Demokrasi

JAKARTA, KOMPAS.com -- Mantan Wakil Presiden Jusuf Kala menilai, konsolidasi demokrasi telah menyelamatkan Indonesia dari kerterpurukan ekonomi 1998. Sebagai negara berpulau dan bersuku, dengan lebih dari 300 bahasa, Indonesia merupakan negara besar yang bisa jadi contoh keberhasilan dalam menerapkan demokrasi mutikultural.

"Walaupun banyak perbedaan, namun karena demokrasi kita baik, maka kita dapat hidup dengan damai," ujar Kalla dihadapan peserta World Peace Forum (WPF) ke-4, Sabtu (24/11/2012).

Dalam pemaparannya Kalla didampingi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin, dan pimpinan Cheng Ho Multi Culture Education Trus, Tan Sri Lee Kim Yew dari Malaysia. "Demokrasi sangat baik dan penting bagi negara multikultural seperti Indonesia, karena itu Indonesia memilih demokrasi sebagai alat pembangunan mencapai kesejahteraan," kata Kalla.

Setiap negara menjalankan demokrasi dengan kelebihannya masing-masing, tak ada yang bisa klaim yang satu lebih baik dari yang lain. Di sinilah, menurut Kalla, perlunya melakukan pendidikan demokrasi dengan baik dan kepemimpinan yang baik.

WPF merupakan forum tingkat dua tahunan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bekerja sama dengan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), dan Cheng Ho Multi Culture Education Trust dari Malaysia.

WPF ke-4 ini dibuka oleh Wakil Ketua MPR-RI Hajriyanto Y Tohari dan diikuti 200 peserta dari dalam dan luar negeri. Peserta tersebut terdiri dari tokoh politik, pemimpin organisasi, akademisi, dan aktivis perdamaian.

Acara ini menekankan pentingnya konsolidasi demokrasi multikultural, identitas dan multikulturalisme, yang sangat menentukan bagi terciptanya perdamaian dan peningkatan demokrasi. WPF akan diakhiri dengan pidato puncak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu (25/11/2012) di Istana Bogor.

DEMOKRASI MULTIKULTURAL

Sabtu, 1 Desember 2012 15:47:53 - oleh : redaksi - views 225

http://mitranews.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=4056&judul=demokrasi-multikultural.html, diunduh pada tanggal 19 Maret 2013, 9:08AM

Demokrasi multikultural yang kuat, teduh, dan stabil sangat diperlukan untuk menjamin perdamaian sejati. Demikian ungkapan Susilo Bambang Yudoyono pada pembukaan The 4th World Peace Forum (WPF) yang diprakarsai oleh Muhammamdiyah pada 23 - 25 November

Page 2: Multikultural Dan Demokrasi

2012 di Bogor Jawa Barat.

Pertemuan ini bagi seluruh kalangan sangat luar biasa di tengah bangsa Indonesia mengalami krisis moral dan kontraksi sosial, terutama dalam perilaku demokrasi yang sedang kita anut bersama. Bukan main, 50 tokoh dunia dari 21 negara dan 100 peserta dari berbagai kalangan seperti tokoh agama, praktisi politik, intelektual, bisnis, dan media lokal maupun media internasional.

Visi demokrasi multikultural adalah membangun peradaban dalam dialog dan mengedepankan keharmonisan. Sisi lain, tantangan demokrasi kita saat ini krisis moral dan estetika sehingga makna demokrasi sedikit ditinggalkan termasuk terjadinya gejala-gejala impunitas media, korupsi, penjarahan, penyelewengan konstitusi dan lain-lain.

Menurut Robert W Hefner (2012) bahwa demokrasi multikultural harus disepadankan dengan agama mayoritas maupun minoritas sebagai jalan menuju pengakuan kemajemukan diantara masyarakat dunia. Indonesia pun menjadi lahan besar nan subur untuk memberikan kontribusi positif dalam menciptakan tatanan perdamaian di seluruh dunia dengan ciri khas gaya multikulturnya yang unik sehingga dapat menjadi contoh bagi negara lainnya seperti eropa, AS, dan Timur Tengah.

Agama dan Multikultural

Konsep agama tentu harus diakui sebagai ujung tombak perbaikan sistem sosial (kulltur). Agama mengajarkan kebaikan, saling memahami, menghormati, menghargai dan harmonis. Hubungan dengan demokrasi tentu sangat erat kaitannya ketika kita membahas wacana demokrasi dan realitas masyarakat multikultural.

Menurut Sri Lee Kim Yew (kompas 24/11/2012) mengatakan bahwa semua agama mengajarakan kebaikan. Agama itu perlu terus di kampanyekan dalam ruang kehidupan masyarakat melalui pendidikan yang benar. Karena dengan agamalah makna lain demokrasi akan tercapai sebagaimana harapan. Untuk membangun hubungan antar agama harus melalui dialog, diskusi, dan penciptaan kondisi harmonis sehingga pengembangan gaya hidup multikultural merupakan syarat utama dalam sebuah negara damai dan harmonis.

Pendapat lain, Din Syamsuddin (2012) mengatakan bahwa tentu agama yang benar menekankan pada penghargaan atas keberagaman sebagai hukum alam yang harus diterima ditengah pergulatan realitas perbedaan. Maka karena itu, sangat perlu pengembangan demokrasi multikultural dalam dimensi kemanusiaan.

Bagaimanapun demokrasi multikultural adalah produk bangsa Indonesia yang harus dijaga kelestariaannya ditengah keberagaman masyarakat sehingga terciptanya kerukunan yang saling mengisi dalam pembangunan bangsa ini. Jika kita bandingkan dengan Eropa dari dulu hingga sekarang ini, bahwa Eropa tidak memiliki sejarah pluralismenya. Struktur sosial kemasyarakatan cenderung di dominasi oleh kalangan menengah ke atas yang belatarbelakang ras satu sehingga Eropa di kenal dengan "No Rasion". Begitu juga ditimur tengah saat ini yang sedang menumbuhkan demokrasi di situasi serba sulit karena dominannya "religion rasism" (rasisme

Page 3: Multikultural Dan Demokrasi

agama).

Faktor pendukung demokrasi multikultural adalah membangun kekuatan baru dengan kesamaan visi baik secara ideologi politik, agama, ekonomi maupun budaya sehingga demokrasi dan agama dalam proses perbedaan tersebut dapat saling mengisi satu sama lain atas spirit bersama membangun perdamaian dunia. Susilo Bambang Yudoyono (2012) mengatakan bahwa keberadaan demokrasi dan agama merupakan hasil reflektif perjalanan suatu bangsa. Kemudian bangsa tersebut harus siap menerima segala bentuk perbedaan, termasuk perbedaan budaya. Berbeda dengan demokrasi di negara homogen, dimana Indonesia akhir 1990-an memulai reformasi dan demokratisasi yang kini masih berupaya mematang demokrasi dengan segala aspek ekonomi, sosial, agama dan politik.

Demokrasi dan agama di Indonesia sudah bergerak maju ke arah yang lebih baik dan selalu berkelindan sepanjang masa untuk memperbaiki segala perkembangan sosialitas masyarakat. Walaupun disisi lainnya, demokrasi Indonesia mengalami pasang surut. Prinsip demokrasi harus berupaya terus dikembangkan seiring pembentukan nilai-nilai moral dalam struktur kekuasaan maupun masyarakat agar kualitas demokrasi dapat terjaga dengan baik. Problem lain demokrasi kita adalah soal multi partai, pilkada langsung yang belum matang, kesiapan masyarakat dalam memainkan peran demokrasi multikultural tersebut masih lemah. Dengan demikian, tantangan tersebut harus secara terus menerus diperbaiki melalui imajinasi dalam lingkup damai, harmonis dan etos kerja yang benar.

Koeksistensi

Fenomena menarik dari demokrasi multikultural adalah terjadinya koeksistensi, dimana tingkat kesulitan demokrasi bertambah banyak karena Indonesia pasca reformasi menganut sistem multipartai sehingga proses politik dan perjalanan panjang model birokrasi tak terhindarkan. Memaksimalkan demokrasi multikultural harus memasang telinga pada dua tempat perbedaan yakni kaum mayoritas dan minoritas. Keduanya ini harus diasosiasikan atau berada dalam jaringan aspirasi politik yang dikombinasikan melalui pemahaman tentang penting multikultural secara menyeluruh. Karena apapun namanya, bahwa kemajemukan itu tidak akan bisa dihindari sampai kapan pun. Negara-negara demokrasi multikultural harus menggali dan melaksanakan hidup rukun, aman berdampingan, harmonis, damai dan toleran serta koeksistensi.

Apalagi demokrasi multikultural Indonesia dipengaruhi oleh tatanan ekonomi global dan jaringan komunikasi informasi. Dimana masyarakat Indonesia dituntut untuk mampu melawan arus besar ini yang senantiasa membawa dampak negatif dengan merasuki dan membawa sistem masyarakat pada materialisme hedonisme.

Selain itu juga menurut Azyumardi Azzahra (2012) mengungkapkan realitas fundamentalisme dan ekstrimisme dalam khasanah demokrasi maupun aliran keagamaan yang mempengaruhi tatanan kelas menengah. Sehingga sebagian kelas menengah agama mengalami disorientasi dan kesadaran keIndonesiaan seolah hilang dalam pikiran generasi beragama tersebut.

Dengan demikian, kondisi ini tentu harus diperbaiki oleh seluruh kalangan baik itu Muhammadiyah, NU, intelektual, pastur, patikan, kiyai, tuan guru, ulama, akademisi, ustad dan

Page 4: Multikultural Dan Demokrasi

melibatkan struktur besar masyarakat. Maka karena itu, koeksistensi sangat perlu diantara berbagai kalangan diatas. Sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam peradaban dunia yang damai dapat terwujud.

Multiculture Visit Indonesia

Membentuk wawasan demokrasi dan tatanan kebangsaan Indonesia ditengah perkembangan dunia tanpa batas, utamanya soal kemajuan faktor teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi kebutuhan bangsa ini pada sisi batas negara dan ras kebangsaan yang jelas. Tanpa identitas tersebut, boleh jadi nilai demokrasi multikultural dan kekuatan kebangsaan akan hilang dalam perjalanan waktu.

Multiculture Visit To Democracy Of Indonesia merupakan rangkaian refleksi sejarah, untaian suara rakyat sebagai alur aspirasi politik, tradisi serta potensi sumber daya alam yang memikat dan terpancar dalam prilaku demokrasi bangsa Indonesia. Kebersamaan yang sungguh-sungguh dalam membangun negara demokrasi multikultural.

Membenahi institusi politik dan demokrasi merupakan tugas yang sangat penting saat ini. Seluruh rakyat dan pemerintahan harus mendedikasikan secara penuh untuk memperbaiki demokrasi dan keharmonisan dalam keberagaman. Maka oleh karena itu, setiap warga negara yang peduli dengan masa depan bangsa, maka wajib memikirkan keberlangsungan demokrasi persfektif multikultural ini. Kunci kemajuan suatu bangsa adalah ditentukan oleh keberhasilan mendidik asas multikultural sebagai maenstream peradaban damai. Keberhasilan itupun tolak ukurnya tentu didasarkan pada perkembangan politik, ekonomi, sosial dan hukum.

Demokrasi multikultural akan berjalan efektif apabila keragaman yang berkemajuan itu sebagai pemaknaan dari aturan main (etika) dari struktur masyarakat. Karakter vital demokrasi multikultural ini adanya keterbukaan dan melibatkan institusi agama, ormas, tokoh dan lainnya dalam pengambilan keputusan. Institusi ormas yang mendukung demokrasi multikultural adalah institusi yang pro-kemajuan dengan menjadikan demokrasi substantif, transendental, dan bukan hanya prosedural.

Meski demikian, untuk memastikan kemajuan bangsa juga membutuhkan peran civil community, dimana civil community ini sebagai bagian dari pendidikan caracter building dan pembentukan generasi clean goverment, seperti Muhammadiyah dengan kekuatan lembaga pendidikan (amal usaha)-nya.

Menurut Mitsuo Nakamura seorang antropolog dan peneliti Islam Universitas Chiba Jepang (2012), mengatakan Muhammadiyah telah mendorong gagasan keagamaan yang kuat dan bersifat moderat. Kendati dorongan itu masih menyisakan tantangan berat dan rumit. Haris Azhar (2012) dalam sebuah diskusi mengungkapkan bahwa konflik sosial terus berulang dengan pola dan model kekerasan yang identik rasis. Kasus-kasus serangan terhadap minoritas dan tawuran institusi pendidikan merupakan ketegangan komunal sepanjang tahun 2012 ini. Berbagai pihak yang teridentifikasi terlibat dalam konflik tersebut yakni antar kampung, dusun dan kelurahan atau desa yang masuk dalama wilayah territorial. Tercerabutnya modal multikultural ini yang kemudian menjadi konflik adalah soal identitas, sosial dan budaya yang rentan dengan

Page 5: Multikultural Dan Demokrasi

kepentingan politik seperti pemilukada maupun konflik sampang madura antara syiah sunni. Dengan demikian, kesadaran multikulral itu perlu dipupuk agar subur sehingga tidak terjadi konflik rasis yang justru menghabiskan energi.

Sekali lagi mengutip apa yang disampaikan oleh Din Syamsuddin ketika membuka WPF itu dibogor (2012) mengatakan aksi-aksi kekerasan yang terjadi dan meletup di Indonesia maupun dibanyak negara lainnya dipicu oleh gesekan rasialis dengan latarbelakang etnik, agama, suku, dan kelompok, padahal sebagian negara telah menempatkan sistem demokrasi. Bagi bangsa Indonesia sistem demokrasi telah diterima sebagai mekanisme politik bernegara. Sistem ini menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kekuatan utama, dalam masyarakat yang majemuk tentu demokrasi sangat perlu semangat multikultural.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang akan menjadi laboratorium besar bagi proses demokratisasi dalam masyarakat multikultural. Tak mudah untuk menjalankan proses itu, karena memiliki letak geografis yang sangat luas.

Energi Multikultural

Bangsa ini hidup dalam sekian episode perjalanan sejarah yang masing-masing membawa dampak positif maupun negatif. Terbukti dengan kekuatan pemahaman multikultural bangsa ini mampu melewati seluruh fase tersulit. Maka kedepan, bangsa ini harus mampu memengaruhi tatanan sosial untuk diarahkan pada pembangunan visi bersama dalam konteks multikultural sehingga tujuan bangsa itu sendiri tercapai. Selain itu juga, pemimpin sebuah bangsa dengan pemahaman multikulturalnya harus berkelindan dan menyatu dalam konsep kebangsaan. Pemimpin seperti ini tentu harus memiliki keteguhan, visi, dan tanggungjawab yang besar atas nasib bangsanya sendiri.

Mengutip Yusuf Kalla (kompas, 27/11/12) mengatakan bahwa ada dua masalah besar yang menghambat kemajuan suatu bangsa dalam konteks membangun energi sosial multikultural adalah pertama, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan aparat pemerntahan. Kemudian kedua, kemampuan ekonomi Indonesia harus lebih baik untuk mengatasi kesenjangan.

Kemajuan bangsa dan negara dalam ranah pembangunan modal multikultural sebagai ujung tombak pemeliharaan demokrasi sangatlah vital. Sistem apapun yang dianut oleh suatu negara tetap akan bisa maju apabila di pimpin secara baik dan benar, katakan saja sistem otoriter China, sistem demokrasi liberal Amerika Serikat, sistem semiotoriter Malaysia dan Singapura dan masih banyak contoh bangsa lain yang mengalami kemajuan bukan karena sistemnya namun daya upaya pemimpin bangsa untuk atas nama rakyat dan keputusannya pun untuk rakyat semata.

Maka oleh karena itu, Syafi'i Ma'arif (2012) mengatakan bahwa multikultural merupakan tenda besar bangsa indonesia untuk mewujudkan tatanan sosial kemanusiaan. Seluruh kekuatan potensial rakyat wajib memperluas pergaulan baik dengan kelompok mayoritas maupun minoritas dengan dasar kebangsaan. Semangat multikultural harus diwujudkan secara otentik dalam kehidupan masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Selain itu juga, bangsa ini harus mengakui segala macam bentuk perbedaan karena semuanya memiliki hak hidup dan hak berkarya. Instrument demokrasi multikultural ini adalah energi besar yang harus direalisasikan

Page 6: Multikultural Dan Demokrasi

secara bersama agar rakyat dapat hidup penuh damai. Negara juga harus mendorong kesadaran patuh terhadap konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan. Dengan kesadaran energi multikultural maka semua komponen akan bisa diajak kerjasama untuk mencapai kemajuan demi memformulasikan keragaman itu sesuai zaman dengan berbagai bentuk aliansi harmonis antar semua kelompok dan corak perbedaan.

Penulis adalah Rusdianto Direktur Segitiga Institute Jakarta Dan Alumni Universitas Muhammadiyah Mataram 2008, Sekarang sedang menempuh Pasca Sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Dipo Alam: Hormatilah Pluralisme

http://mitranews.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=147&judul=dipo-alam:-hormatilah-pluralisme.html, diunduh tanggal 19 Maret 2013, 9:12AM

Rabu, 9 Maret 2011 12:11:10 - oleh : redaksi - views 493

Page 7: Multikultural Dan Demokrasi

Jakarta (Mitra News) - Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengatakan, tidak hanya kelompok mayoritas yang dituntut harus paham serta melindungi hak dan kewajiban kelompok minoritas beragama, tetapi sebaliknya minoritas juga harus paham serta melindungi hak dan kewajiban mayoritas.

"Agar sama-sama mencegah penistaan agama, dan bersama pula mencegah kekerasan antarumat beragama," katanya di Jakarta, Rabu (9/3)

Dipo mengingatkan agar kelompok lintas agama eksklusif kalau mau melakukan gerakan politik terselubung, janganlah mengusung soal agama, dan menamakan sebagai gerakan moral.

Ia meminta semua pihak menghormati pluralisme dalam beragama sesuai denganUUD dan turunannya dalam SKB Tiga Menteri, tetapi bukan dengan mengorbankan kepahaman setara antara hak dan kewajiban minoritas dan mayoritas.

Dipo menegaskan bahwa pemerintah jelas sangat serius dalam memperhatikan hak dan kewajiban antarumat beragama baik berdasarkan konstitusi maupun pengadilan/hukum bila terjadi konflik kekerasan.

"Tidak perlu lagi diajari, kita masing-masing tahu makna dalam asas Pancasila. Janganlah satu dua kejadian, yang bersama kita kutuk sebagai kekerasan dengan alasan keyakinan agama, kemudian seolah dengan mudah digeneralisasikan menganggap pemerintah lalai dan melakukan pembiaran kekerasan," ujarnya.

Konflik umat Islam dengan Ahmadiyah sudah berlangsung lama, tidak hanya terjadi di pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dipo Alam mengingatkan, tokoh agama memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, di era demokrasi sebagai pemangku kekuasaan --termasuk juga media-- untuk bersama-sama menyejukankerukunan beragama.

"Bukan sebaliknya, gaduh memperkeruh kerukunan beragama antara minoritas dan mayoritas. Konflik horizontal yang pernah kita alami sangatlah pahit dan memilukan. Itu memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menyelesaikannya," tegas Dipo.

Sebelumnya,diberitakan bahwa dalam konferensi pers di Kantor Maarif Institute, Juru Bicara Badan Pekerja Gerakan Lintas Agama, Fajar Riza Ul Haq mengatakan, gerakan tokoh lintas agama sama sekali tidak pernah secara

Page 8: Multikultural Dan Demokrasi

kolektif bicara polemik Ahmadiyah.

"Tetapi kekerasan terhadap kelompok minoritas harus disikapi serius oleh negara, karena melindungi minoritas adalah amanat konstitusi, dan yang menjadi titik tekan gerakanini," kata Fajar. (AR)

Empat Sikap Tuntutan Masyarakat Multikultural

http://meurunoteumuleh.blogspot.com/2012/03/empat-sikap-tuntutan-masyarakat.html#more, diunduh tgl 19 Maret 2013, 9:52AM

Bangsa-bangsa di dunia ini memang diciptakan beraneka ragam. Mereka kadang kala tidak hanya hidup tersebar di sejumlah tempat tetapi juga kadang hidup di suatu tempat yang tak jarang menimbulkan masalah tersendiri jika diantara mereka tidak sadar akan adanya multikultural di luar budaya yang ia anut sendiri.

Untuk bisa hidup dalam sebuah masyarakat yang multikultural, paling tidak ada empat sikap yang harus dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Empat sikap tuntutan masyarakat multikultural tersebut, menurut Dr Mulyadhi Kartanegara, antara lain inklusivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi. Adakah hal itu terlihat dalam pemerintahan Islam di masa lalu?

Inklusivisme. Sikap inklusif ini, menurut Mulyadhi, sebenarnya telah dipraktekkan oleh para adib, ilmuwan, filosof Muslim, Sufi dan Guru dalam proses belajar mengajar. Para Adib ketika menyusun “adab” mempraktekkan inklusivisme ini. Karena selain menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber yang paling otoritatif, mereka juga masih menggunakan sumber-sumber lain dari kebudayaan lain. Dalam puisi, misalnya, mereka menggunakan dan menghargai warisan Jahiliyah sebagai tolok ukur bagi kualitas dan kesuksesan sebuah karya puitis.Demikian juga ketika mereka mengambil pelajaran moral dari karakter hewan-hewan, mereka tidak ragu menggunakan karya fable India (missal Kitab Kalilah wa al-Dimnah karya pujangga India Bidpei). Sedangkan teladan moral dari pahlawan dan raja-raja mereka ambil dari Persia, sebagaimana tercermin dari karya Firdawsi, Shah namah (kisah para raja). Demikian juga dengan kata-kata hikmah, mereka himpun dari berbagai hikmah para pujangga Persia, Arab, Yunani dan India sebagaimana tercermin dalam karya Miskawayh, al-Hikmah al-Khalidah.

Para ilmuwan Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif dalam karya-karya mereka. Dalam hal matematika, para ahli matematika Muslim telah banyak belajar dari matematika India. Misalnya al-Fazari (atau al-Khwarizmi dalam versi lain) telah menterjemahkan karya matematika India Siddhanta al-Kubra ke dalam versi bahasa Arab. Karya ini mendorong ahli-ahli matematika muslim untuk berkarya lebih kreatif lagi sehingga banyak penemuan-penemuan penting di bidang matematika ini mereka

Page 9: Multikultural Dan Demokrasi

temukan. Misalnya Al-Khawarizmi sendiri, ia dakui sebagai penemu angka nol atau sifr atau zero. Tentu ini merupakan sebuah revolusi matematik yang besar, karena tidak dapat dibayangkan “matematika” tanpa angka nol.

Demikian juga para filosof Muslim (falasifa) telah dengan jelas memperlihatkan sikap inklusif ini. Mereka telah menunjukkan sikap lapang dada dan konfiden yang luar biasa terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak tampak sedikitpun rasa minder dalam diri mereka. Menyikapi para pengritiknya yang lebih eksklusif tentang sumber kebenaran, al-Kindi (w.866) dengan elegan mengatakan: “Kebenaran dari manapun asalnya harus kita terima, karena tidak ada yang lebih dicintai oleh pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri.

Para sufi muslim pun, di dalam memilih murid atau guru juga mengembangkan sikap inklusivisme. Misalnya Jalal al-Din Rumi (w.1273) seorang sufi dan penyair Persia terbesar memiliki murid Muslim, Yahudi, Kristen dan bahkan Zoroaster. Mereka diperlakukan secara adil tanpa dipaksa untuk melakukan konversi agama.Sikap inkluisif dalam memilih guru bisa dilihat dari al-Farabi (w.950), seorang peripetik Muslim, yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles. Ketika al-Farabi datang ke Bagdad pada dasawarsa ketiga abad kesembilan masehi, ia belajar logika dan filsafat dari guru logika yang terkenal. Yohanna bin Haylan dan Bisyr Matta bin Yunus. Keduanya beragama Kristen.

Humanisme (Egalitarianisme). Yang dimaksud dengan humanisme di sini adalah cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit, kedudukan, kekayaan atau bahkan agama. Dengan demikian termasuk di dalam humanisme ini adalah sifat egaliter, yang menilai semua manusia sama derajatnya.

Sejarah Kebudayaan Islam, menurut Mulyadhi, sarat dengan contoh-contoh sifat humanis ini. Nabi kita sendiri pernah menyatakan dengan tegas, bahwa “tidak ada kelebihan seorang Arab daripada non Arab”. Al Hujwiri, seorang penulis mistik Islam, dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub menunjukkan sikap humanis Nabi Muhammad saw. Dikatakan bahwa ketika seorang kepala suku datang menemuinya, secara spontan Nabi Muhammad melepas dan menghamparkan jubahnya untuk duduk sang kepala suku, (padahal ia tahu bahwa ia bukanlah seorang Muslim), seraya berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Hormatilah setiap kepala suku, (apapun agamanya)”. Ini adalah contoh yang jelas dari pandangan humanis seorang Muhammad, yang memandang manusia, bukan karena keturunan maupun agamanya, tetapi karena kemanusiannya.

Toleransi. Toleransi umat Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah ini: Para penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah menaklukkan beberapa wilayah sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan Persia. Ketika para penguasa Islam itu menaklukkan daerah-daerah tersebut, di sana telah ada dan berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Namun mereka tidak mengganggu kegiatan-kegiatan ilmiah dan filosofis yang telah ada sebelum Islam datang. Beberapa pusat ilmu di kota-kota Siria, seperti Antioch, Harran dan Edessa, tetap berkembang ketika orang-orang menaklukkan Siria dan Iraq. Di pusat-pusat ilmu ini, kajian-kajian filosofis dan teologis oleh para sarjana Kristen tetap berjalan sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati kebebasan berpikir yang diberikan oleh para penguasa Muslim.

Page 10: Multikultural Dan Demokrasi

Dari pusat-pusat ilmu inilah justru umat Islam banyak belajar tentang ilmu-ilmu rasional seperti ilmu matematika, astronomi, kedokteran dan juga ilmu-ilmu filsafat. Banyak sarjana-sarjana Muslim yang belajar di pusat-pusat ilmu ini dengan sarjana-sarjana Kristen. (Kadang murid-murid Muslim ternyata mengungguli guru-guru Kristen mereka, seperti yang terjadi pada kasus al Farabi dan Ibn Sina). Selain itu, umat Islam, terutama para penguasanya, bahkan telah menjadikan system pendidikan mereka sebagai model. Dikatakan bahwa observatory astronomis dan rumah sakit Baghdad, (dan bahkan menurut yang lain Bayt al Hikmah yang telah mulai dirintis oleh Harun al-Rasyid dan didirikan oleh putranya al Ma’mun), dibangun dengan mengikuti model Yundishapur, sebuah pusat ilmu pengetahuan terbesar Persia.

Selanjutnya, komunitas non Muslim seperti Kristen, Yahudi dan bahkan Zoroaster dapat hidup dan menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan relatif bebas di bawah kekuasaan para penguasa Muslim. Di sebelah Barat kota Baghdad pada sekitar abad kesepuluh terdapat 8 biara dan 6 gereja Kristen, sedangkan di sebelah timur terdapat 3 biara dan 5 gereja. Demikian juga komunitas Yahudi di Baghdad menikmati sikap toleran penguasa Muslim. Baghdad pada abad kedua belas terdapat sekitar 40.000 orang Yahudi, 28 sinagog dan 10 akademi ilmu pengetahuan.

Demikian juga keadaan orang-orang non Muslim yang hidup di Andalusia, terutama kota Kordoba, saat dikuasai Penguasa Muslim, mereka menikmati kebebasan beragama dan dapat hidup tenang dan bebas dalam menjalankan ibadah dan aktivitas mereka sehari-hari.

Demokrasi. (Kebebasan Berpikir) Menurut Abdolkarim Soroush, sebagaimana dikutip Mulyadhi dari buku Soroush berjudul Reason, Fredom and Democracy in Islam, salah satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berpikir. Nah bagaimana kebebasan berpikir ini dilaksanakan oleh masyarakat kota-kota besar Islam, terutama pada masa kejayaannya, dapat dilihat dari contoh-contoh di bawah ini.

Kebebasan untuk menyampaikan kritik terhadap penguasa, dalam hal ini para perdana menteri (wazir), dapat dengan gamblang dilihat dalam karya Abu Hayyan al-Tawhidi mengkritik karakter dan bahkan administrasi dari dua wazir Buyid, Ibn Amid dan Ibnu Sa’dan. Ibn Amid, misalnya, dikatakan terlalu “pelit” dalam menggaji bawahannya, bahkan bawahan yang penting seperti Ibn Miskawayh (w.1010), seorang filosof etik yang terkenal, hanya dibayar dengan gaji yang pas-pasan.

Kadang kritik itu juga ditujukan oleh sarjana, terhadap orang-orang penting (tidak mesti penguasa) yang punya pengaruh besar di masyarakat, karena menurut penilaiannya orang-orang itu mempunyai cacat moral. Demikian juga dalam hal ilmiah kebebasan berpikir juga mendapatkan peran, sehingga ilmuwan yang satu bebas mengkritik ilmuwan yang lain. Dengan demikian ilmu pun akan terus berkembang. (lut).

Sumber:

Suara Muhammadiyah

Edisi 04 2004

Page 11: Multikultural Dan Demokrasi

Diposkan oleh juandapoltek di 01.31

MULTIKULTURALISME, DEMOKRASI, DAN PENDIDIKAN http://meurunoteumuleh.blogspot.com/2012/03/multikulturalisme-demokrasi-dan.html, diunduh tgl 19 Maret 2013, 9:55AM

1

Oleh : Shodiq M. Hum

Multikulturalisme

Dilihat dari proses terjadinya, proses menjadi multikultural berbeda dengan akulturasi dan akomodasi. Akulturasi atau disebut juga asimilasi adalah konsep untuk merujuk roses di mana seseorang pendatang luar, imigran, aturan kelompok subordinate menjadi menyatu secara tak kentara lagi ke dalam masyarakat tuan rumah yang dominan. Sedangkan akomodasi adalah proses di mana subordinate group menyetujui harapan-harapan dari kelompok masyarakat dominan. Baik dalam asimilasi maupun akomodasi, keduanya mendasarkan pada asumsi adanya kelompok masyarakat yang lemah (subordinate group) dan kelompok masyarakat yang kuat (dominant group). Dalam multikulturalisme, asumsi tentang subordinate dan dominant

group tidak ada karena setiap kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk mengekspresikan diri, hidup berdampingan, dan bekerjasama dengan kelompok lain. Masyarakat multikulturalisme juga mungkin harus dibedakan dari konsep melting pot culture. Dalam melting pot, konsep dasarnya ialah adanya suatu kesatuan budaya baru yang terbentuk akibat pertemuan budaya dan suku yang ada. Melting pot culture perlu dibedakan dari masyarakat multikultural karena dalam melting pot culture, seolah-olah diasumsikan bahwa keragaman budaya yang ada tersebut dalam rentang waktu tertentu akan semakin menghilang. Multikulturalisme, paling kurang pada awalnya, tidak sama dengan sekadar pluralisme masyarakat. Plural societies pada awal penggunaannya merujuk pada masyarakat-masyarakat Negara berkembang pada sebelum dan awal zaman penjajahan dahulu, seperti Burma dan Indonesia, di mana di dalamnya hidup sejumlah masyarakat yang hidup berdasarkan kesamaan kelompok kesukuan dan mendiami wilayah tertentu serta memiliki sistem pembagian kerja sendiri-sendiri yang satu sama lain tidak saling memerlukan bahkan tidak saling berhubungan sehingga tidak ada keperluan membangun rasa kebangsaan. Sedangkan dalam masyarakat multikultural, konsepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama, tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan mengembangkan pluralisme masyarakat itu (multiculturalism celebrate culture variety). Dengan demikian, ada tiga syarat bagi adanya suatu masyarakat multikultural, yaitu: 1) adanya pluralisme masyarakat; 2) adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama; 3) adanya kebanggaan mengenai pluralisme itu.

1

Page 12: Multikultural Dan Demokrasi

Multikultural dan Demokrasi

Adanya prinsip-prinsip kesamaan kesempatan mengekspresikan diri, hidup berdampingan, dan bekerjasama antarberbagai kelompok masyarakat membuat konsep masyarakat multikultural berdekatan dengan sejumlah konsep yang didengungkan oleh masyarakat demokrasi dan masyarakat sipil. Konsep-konsep yang berdekatan itu, atau bahkan menjadi landasan bagi penegakan masyarakat multikultural ialah demokrasi, hak asasi manusia, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan, kesederhanaan, penghargaan atas keyakinan, kesempatan berprestasi dan mobilitas sosial, penghindaran tindak kekerasan fisik, dan keyakinan rasa aman dengan identitas dan eksistensi. Dengan menyebut sejumlah konsep yang berdekatan itu, kita sudah dapat melihat bagaimana dekatnya konsep multikulturalisme masyarakat dengan upaya peningkatan kesempatan masyarakat memperoleh kesejahteraan sosial. Untuk mewujudkan cita-cita mulia ini diperlukan niat baik dan upaya serius dari segenap komponen bangsa.

Secara konseptual, multikulturalisme sebenarnya relatif baru jika dibandingkan dengan konsep pluralis (plurality) maupun keragaman (diversity). Sekitar tahun 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia kemudian di Amerikan Serinkkat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Selain itu, ketiganya memiliki perbedaan titik tekan. Konsep pluralitas mengandaikan adanya “hal-hal yang lebih dari satu”. Keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan. Sedangkan multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaan itu mereka adalah sama di dalam ruang publik sehingga dibutuhkan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memedulikan perbedaan agama, budaya, etnik, gender, maupun bahasa. Sikap semacam itu membutuhkan keterbukaan hati semua pihak. Tanpa sikap yang terbuka, masing-masing kelompok masyarakat akan membangun berlapis-lapis kecurigaan. Multikulturalisme merupakan pengikat dan jembatan yang mengakkomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedan–perbedaan kesukubangsaan dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan-perbedaan itu terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem

nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekkonomi, dan sosial.

Parsudi Suparlan, berpendapat bahwa landasan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk sudah saatnya dikaji kembali. Masyarakat multikultural adalah bentuk yang dirasa mampu menjawab tantangan perubahan zaman. Multikulturalisme, adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwudjudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehiduan dan masyarakat. Di sisi lain, munculnya konsep multikulturalisme juga sesuai dengan tuntutan era reformasi. Datangnya era reformasi telah membuka jalan bagi rakyak Indonesia untuk membetuntuk Indonesia Baru. Konsep Indonesia Baru pada hakikatnya adalah sebuah tatanan masyarakat sipil yang demokratis yang ditandai dengan berjalannya penegakan hukum untuk supremasi keadilan, terciptanya pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteratuarn sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran

Page 13: Multikultural Dan Demokrasi

produktivitas warga masyarakat serta terwujudnya kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Sebagai strategi dari integrasi sosial maka multikulturalisme mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya. Hal ini membawa implikasi dalam bersikap bahwa realitas sosial yang sangat majemuk tak akan menjadi kendala dalam membangun pola hubungan sosial antarindividu yang penuh toleransi. Bahkan, akan tumbuh sikap yang dapat menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya. Perlu ditegaskan bahwa multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan. Oleh karena itu, untuk menerapkan multikulturalisme agaknya menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Bisa diibaratkan, keanekaragaman budaya ini bagai bintang-bintang di langit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagat raya. Konsekuensinya, peranan Negara pada konteks ini hanya memfalitasi peran terciptanya toleransi antaretnis sosial budaya, dan bukan memainkan peran intervensi-represif yang dapat menimbulkan resistensi dan radikalisasi kultural sebagaimana terjadi pada rezim Orde Baru. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralisme bangsa baik dalam etnis, agama, budaya maupun orientasi politik akan bisa mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu konflik sosial di belakang hari.

Menggagas pendidikan multikultural

Mengikuti konsep psikologi pendidikan, sesuatu yang paling banyak memengaruhi pribadi seseorang adalah orang atau lingkungan yang mempunyai makna baginya significant others/affective others).

Ingat sajak Dorothy Law Nolte:

Jika anak hidup dengan kecaman, ia belajar untuk menyalahkan

Jika anak hidup dengan permusuhan, ia belajar untuk berkelahi

Jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar untuk jadi pemalu

Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah

Jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar untuk menjadi penyabar

Jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar untuk percaya diri

Jika anak hidup dengan pujian, ia belajar untuk menghargai

Jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar untuk bersikap adil

Page 14: Multikultural Dan Demokrasi

Jika anak hidup dengan perlindungan, ia belajar untuk memiliki keadilan

Jika anak hidup dengan restu, ia belajar untuk menyukai diri sendiri

Jika anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukan

cinta di dunia

Pendidikan multikultural, perlu menegaskan paradigma interkoneksitas:

Learning to think

Lerning to do

Learning to be

Learning to live together

Visi pendidikan yang dibangun bukanlah ideologisasi, tetapi humanisasi-spiritualisasi.

1. Paradigma pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk membangun cara pandang cara hidup. Oleh karena itu, paradigma multikulturalisme sebetulnya ingin menawarkan bahwa cara pandang kita sebagai umat dalam kehidupan berbangsa tidak lagi logosentris, terpusat, tetapi desenter.

2. Dalam kehidupan umat sendiri ada beban baik beban teologis maupun