Multikulturalisme: suatu Perspektif IPS dan Desain Pendidikan Multikultural

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah ini mengupas mengenai kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam, masalah yang ditimbulkannya, dan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Pendidikan Multikultural merupakan salah satu solusi yang ditawarkan dalam makalah ini. Dijelaskan juga mengenai desain yang tepat bagi implementasi pendidikan multikultural.

Citation preview

  • 0

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

    Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembang-kan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan sedapat mungkin ditujukan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI No. 20 Tahun 2003). Pemerintah dan pihak-pihak yang terkait telah melakukan upaya-upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mulai dari penyusunan regulasi yang mengatur sistem pendidikan secara nasional sampai pada implementasinya di lapangan. Tentunya, semua proses ini telah melalui pemikiran mendalam dan menyeluruh. Pemikiran mendalam tentang apa hakikat pendidikan, apa tujuan pendidikan, bagaimana upaya untuk mencapai tujuan tersebut, dan manfaat apa yang akan diperoleh dari pendidikan. Semua aspek ini terangkum dalam sistem pendidikan nasional. Namun dalam upaya implementasinya di Indonesia, sistem pendidikan nasional berhadapan dengan realita sosial-budaya masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultural, di mana masing-masing daerah memiliki karakteristik yang unik dan khas. Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ad diwilayah NKRI sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta jiwa,terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta bnerbagai macam kepercayaan (Diknas: 2004). Satu sistem global, dalam hal ini sistem pendidikan nasional, tidak bisa diterapkan melalui mekanisme yang sama di setiap wilayah. Kondisi multikultural ini memerlukan penyikapan khusus, yang berbeda di tiap wilayah. Di lain hal, kondisi multikulturalisme bangsa Indonesia juga memunculkan potensi konflik yang dapat meledak setiap saat. Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan seperti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit terjadinya tragedi pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada tahun 1965,

  • 2

    kekerasan etnis Cina di Jakarta pada bulan Mei 1998 dan perang antara Islam Kristen di Maluku utara pada tahun 1999-2003. Jika menilik kembali hakikat pendidikan nasional sebagaimana dicantumkan di awal, dan juga mempertimbangkan tujuan pendidikan, serta tantangan bangsa dan negara ini ke depan yang penuh dengan masalah dan konflik yang didasari oleh SARA. Maka bangsa dan negara ini membutuhkan formulasi baru pendidikan yang dapat mengakomodir keanekaragaman masyarkat Indonesia, sikap saling menghargai perbedaan, merasa memiliki masing-masing kebudayaan Indonesia, serta peka terhadap situasi dan kondisi masyarakat. Kehidupan sosial merupakan laboratorium dari Ilmu Pengetahuan Sosial. Oleh karena itu, segala macam permasalahan-permasalahan sosial perlu dikaji dari perspektif IPS. Sistem pendidikan nasional yang harus berhadapan dengan multikulturalisme bangsa Indonesia juga perlu dikaji dari perspektif IPS. Masalah-masalah di atas akan dikaji lebih jauh dalam makalah ini, mengenai seperti apa karakteristik masyarakat Indonesia? bagaimana model pendidikan yang relevan dengan karakteristik masyarakat Indonesia? apakah model pendidika tersebut efektif? dan bagaimana IPS memandang model pendidikan tersebut? Bingkai untuk mengakomodir pertanyaan-pertanyaan di atas adalah makalah berjudul Multikulturalisme Indonesia: suatu Perspektif IPS dan Desain Pendidikan Multikultural. B. RUMUSAN MASALAH

    Masalah yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah sebagai berikut, 1. Bagaimana karakteristik masyarakat Indonesia? 2. Bagaimana model pendidikan yang relevan dengan karakteristik masyarakat

    Indonesia? 3. Bagaimana efektivitas model pendidikan tersebut untuk mencapai Tujuan

    Nasional Indonesia? 4. Bagaimana tinjauan IPS terhadap pendidikan multikultural? C. TUJUAN PENULISAN

    Tujuan penelitian makalah ini adalah: 1. Menganalisis karakteristik masyarakat Indonesia. 2. Menganalisis desain pendidikan yang relevan dengan karakteristik

    masyarakat Indonesia. 3. Menganalisis efektivitas desain pendidikan tersebut untuk mencapai Tujuan

    Nasional Indonesia. 4. Menganalisis tinjauan IPS terhadap pendidikan multikultural.

  • 3

    D. MANFAAT PENULISAN

    1. Manfaat Teoretis Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah keilmuan tentang

    pendidikan multikultural. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi peneliti berikutnya yang akan

    melakukan studi lanjut berkaitan dengan pendidikan multikultural. Sebagai bahan informasi yang memiliki validitas ilmiah (keilmuan) bagi

    pembaca mengenai pendidikan multikultural.

    2. Manfaat Praktis Bagi pemerintah, hasil pembahasan ini bermanfaat sebagai masukan dan

    bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan terkait implementasi pendidikan multikultural.

    Bagi pembaca, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan wawasan tentang implementasi pendidikan multikultural.

    Bagi peneliti, penelitian ini merupakan ajang uji kompetensi atas ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan.

  • 4

    BAB II PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MASYARAKAT INDONESIA

    Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosial-budaya maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ada di wilayah NKRI sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk yang banyak, terdiri dari banyak suku bangsa yang menggunakan hampir ratusan bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, serta berbagai macam kepercayaan (Diknas: 2004). Pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama resmi: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan; 3,5% Katolik; 1,8% Hindu; dan 0,4% Buddha dan Khonghucu. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia, atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Suku Jawa adalah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41% dari total populasi. Orang Jawa kebanyakan berkumpul di Pulau Jawa, akan tetapi jutaan jiwa telah bertransmigrasi dan tersebar ke berbagai pulau di Nusantara bahkan bermigrasi ke luar negeri seperti ke Malaysia dan Suriname. Suku Sunda, Suku Melayu, dan Suku Madura adalah kelompok terbesar berikutnya di negara ini. Banyak suku-suku terpencil, terutama di Kalimantan dan Papua, memiliki populasi kecil yang hanya beranggotakan ratusan orang. Sebagian besar bahasa daerah masuk dalam golongan rumpun Bahasa Austronesia, meskipun demikian sejumlah besar suku di Papua tergolong dalam rumpun bahasa Papua atau Melanesia. Berdasarkan data Sensus 2000, suku Tionghoa Indonesia berjumlah sekitar 1% dari total populasi. Warga keturunan Tionghoa Indonesia ini berbicara dalam berbagai dialek bahasa Tionghoa, kebanyakan bahasa Hokkien dan Hakka. Pembagian kelompok suku di Indonesia pun tidak mutlak dan tidak jelas akibat perpindahan penduduk, percampuran budaya, dan saling pengaruh; sebagai contoh sebagian pihak berpendapat orang Banten dan Cirebon adalah suku tersendiri dengan dialek yang khusus pula, sedangkan sementara pihak lainnya berpendapat bahwa mereka hanyalah sub-etnik dari suku Jawa secara keseluruhan. Demikian pula Suku Baduy yang sementara pihak menganggap mereka sebagai bagian dari keseluruhan Suku Sunda. Contoh lain percampuran suku bangsa adalah Suku Betawi yang merupakan suku bangsa hasil percampuran berbagai suku bangsa pendatang baik dari Nusantara maupun orang Tionghoa dan Arab yang datang dan tinggal di Batavia pada era kolonial. Indonesia merupakan negara besar baik secara kuantitas maupun kualitas. Tanah Indonesia membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote. Luas wilayah ini berbanding lurus dengan jumlah penduduk dan kebudayaan yang dimiliki oleh tiap-tiap penduduk tersebut. Data statistik

  • 5

    menunjukkan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Data di bawah ini menjelaskan jumlah penduduk tiap propinsi di Indonesia. Tabel 1. Jumlah Penduduk Indonesia Per Propinsi Berdasarkan Tahun

    Provinsi Penduduk

    1971 1980 1990 1995 2000 2010 Nanggroe Aceh Darussalam

    2.008.595 2.611.271 3.416.156 3.847.583 3.930.905 4.494.410

    Sumatera Utara 6.621.831 8.360.894 10.256.027 11.114.667 11.649.655 12.982.204

    Sumatera Barat 2.793.196 3.406.816 4.000.207 4.323.170 4.248.931 4.846.909

    Riau 1.641.545 2.168.535 3.303.976 3.900.534 4.957.627 5.538.367

    Jambi 1.006.084 1.445.994 2.020.568 2.369.959 2.413.846 3.092.265

    Sumatera Selatan 3.440.573 4.629.801 6.313.074 7.207.545 6.899.675 7.450.394

    Bengkulu 519.316 768.064 1.179.122 1.409.117 1.567.432 1.715.518

    Lampung 2.777.008 4.624.785 6.017.573 6.657.759 6.741.439 7.608.405

    Bangka Belitung - - - - 900.197 1.223.296

    Kepulauan Riau - - - - - 1.679.163

    DKI Jakarta 4.579.303 6.503.449 8.259.266 9.112.652 8.389.443 9.607.787

    Jawa Barat 21.623.529 27453525 35.384.352 39.206.787 35.729.537 43.053.732

    Jawa Tengah 21.877.136 25372889 28.520.643 29.653.266 31.228.940 32.382.657

    DI Yogyakarta 2.489.360 2.750.813 2.913.054 2.916.779 3.122.268 3.457.491

    Jawa Timur 25.516.999 29188852 32.503.991 33.844.002 34.783.640 37.476.757

    Banten - - - - 8.098.780 10.632.166

    Bali 2.120.322 2.469.930 2.777.811 2.895.649 3.151.162 3.890.757

    Nusa Tenggara Barat 2.203.465 2.724.664 3.369.649 3.645.713 4.009.261 4.500.212

    Nusa Tenggara Timur 2.295.287 2.737.166 3.268.644 3.577.472 3.952.279 4.683.827

    Kalimantan Barat 2.019.936 2.486.068 3.229.153 3.635.730 4.034.198 4.395.983

    Kalimantan Tengah 701.936 954.353 1.396.486 1.627.453 1.857.000 2.212.089

    Kalimantan Selatan 1.699.105 2.064.649 2.597.572 2.893.477 2.985.240 3.626.616

    Kalimantan Timur 733.797 1.218.016 1.876.663 2.314.183 2.455.120 3.553.143

    Sulawesi Utara 1.718.543 2.115.384 2.478.119 2.649.093 2.012.098 2.270.596

    Sulawesi Tengah 913.662 1.289.635 1.711.327 1.938.071 2.218.435 2.635.009

    Sulawesi Selatan 5.180.576 6.062.212 6.981.646 7.558.368 8.059.627 8.034.776

    Sulawesi Tenggara 714120 942.302 1.349.619 1.586.917 1.821.284 2.232.586

    Gorontalo - - - - 835.044 1.040.164

    Sulawesi Barat - - - - - 1.158.651

    Maluku 1.089.565 1.411.006 1.857.790 2.086.516 1.205.539 1.533.506

    Maluku Utara - - - - 785.059 1.038.087

    Papua Barat - - - - - 760.422

    Papua 923440 1.173.875 1.648.708 1.942.627 2.220.934 2.833.381

    INDONESIA 119.208.229 147.490.298 179.378.946 194.754.808 206.264.595 237.641.326 Sumber: www.bps.go.id

  • 6

    Tabel 1. menunjukkan besarnya penduduk Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Besarnya jumlah penduduk ini menjadi potensi yang menguntungkan sekaligus potensi yang merugikan. Jumlah penduduk yang besar dikatakan sebagai potensi yang menguntungkan karena bermanfaat sebagai pilar bagi ketahanan nasional. Jumlah penduduk yang besar dapat dikatakan sebagai potensi yang merugikan karena itu menimbulkan potensi konflik yang besar pula. Selain itu, akan susah jika me-menej orang banyak bila dibandingkan dengan sedikit orang. Ketahanan nasional bersumber pada dua pendekatan, yakni pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Jumlah penduduk yang besar akan memiliki ketahanan yang tangguh jika kedua pendekatan tadi terpenuhi. Secara sosial-budaya, masyarakat Indonesia sangat kaya akan kebudayaan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Data terakhir, sebagaimana diberitakan Jawa Pos National Network edisi 3 Februari 2010, menunjukkan ada sekitar 1.128 suku bangsa di Indonesia. Kompas.com memberitakan, berdasarkan hasil penelitian tahun 2012, menghasilkan simpulan bahwa setidaknya ada 546 bahasa dan sub bahasa yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Geertz turut menyumbangkan gambarannya tentang Indonesia. Menurutnya Indonesia ini demikian kompleksnya, sehingga sulit melukiskan anatominya secara persis. Negeri ini bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, dan seterusnya), melainkan juga menjadi arena pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Budhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalis, dan seterusnya). Indonesia adalah sejumlah bangsa dengan ukuran, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama (Kymlicka, 2003: viii). Keanekaragaman bangsa Indonesia ini selain merupakan kekayaan yang patut dilestarikan, juga merupakan ancaman atau bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak jika tidak dilakukan upaya-upaya preventif. Sikap-sikap promordialisme, etnosentrisme, dan fanatisme berlebih perlu direduksi ketika hidup di negara yang multietnis. Jika hal ini tidak diperhatikan, gesekan sedikit saja akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Kasus-kasus seperti kasus Sampit, Poso, Kerusuhan 1998, kasus-kasus penistaan agama, kasus Syiah dan Sunni di Sampang-Madura, merupakan kasus-kasus SARA yang terjadi di Indonesia. Pendidikan sebagai salah satu pilar-pilar kehidupan seharusnya memiliki peran penting bagi pembentukan karakter bangsa. Dengan kata lain, pendidikan merupakan agen dalam national character building. Pendidikan harus kembali pada tujuan hakikinya, yakni guna berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketika tujuan ini dapat diwujudkan melalui pendidikan, maka berbagai bentuk perilaku menyimpang

  • 7

    akan dapat direduksi sehingga terwujudlah keteraturan sosial menuju masyarakat yang adil, aman, sentosa, sejahtera, dan damai. Data tentang kondisi pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia bersifat wajib hingga kelas 9 (SMP kelas 3). Sekitar 92% anak usia sekolah dasar di Indonesia bersekolah di sekolah dasar. Sekitar 44% anak berusia sekolah menengah bersekolah di sekolah menengah pertama. Dari perkiraan tahun 2005, total populasi Indonesia yang dapat membaca dan menulis yang berusia lebih dari 15 tahun ke atas adalah 87.9%, yang terbagi menjadi 92.5% populasi pria dan 83.4% populasi wanita. Angka ini sangat potensial, dalam arti, untuk mengatasi masalah-masalah dalam lingkup nasional, jika salah satunya ditangani melalui jalur pendidikan, maka akan cukup membantu. Melalui penciptaan manusia Indonesia yang cerdas, secara jasmani dan rokhani. Wacana-wacana yang berkembang untuk menuju pada pendidikan yang dapat membekali peserta didik dengan soft skill adalah pendidikan yang berperspektif multikulturalisme bangsa Indonesia. Alasan sederhananya adalah, masyarakat Indonesia sangat beragam, butuh pendidikan yang dapat mengarahkan cara pandang masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi dan hidup selaras dengan sesama. Rancang bangun pendidikan multikultural akan dibahas pada sub-bab di bawah ini. B. DESAIN PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT INDONESIA

    1. Definisi Pendidikan Multikultural Definisi pertama yang akan dipaparkan di sini adalah tentang multikultural itu sendiri. Multikulturalisme secara sederhana dapat dikatakan sebagai pengakuan atas keanekaragaman budaya. Keanekaragaman budaya bukanlah suatu yang given, tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai dalam suatu komunitas. Tidak mengherankan apabila tokoh politik demokrasi dan pendidikan demokrasi, John Dewey, telah melahirkan karya besarnya mengenai hubungan antara demokrasi dan pendidikan (Tilaar, 2004: 1790). Pandangan Dewey mengaitkan antara proses demokrasi dan proses pedidikan. Demokrasi bukan hanya masalah prosedural atau bentuk pemerintahan, tetapi merupakan suatu way of life. Sebagai way of life dari suatu komunitas, maka hal tersebut tidak mungkin dicapai tanpa proses pendidikan. Proses pendidikan itu sendiri haruslah merupakan suatu proses demokrasi. Inilah jalan pemikiran Dewey dalam memelihara dan mengembangkan suatu masyarakat demokrasi. Multikultural berasal dari kata multi dan kultural. Multi berarti plural, jamak, atau beragam. Istilah plural mengandung beberapa arti, pluralisme bukan hanya sekedar pengakuan tersebut mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Kata kedua adalah kata kultural berarti budaya (Farida: 2). Ada beberapa pendapat mengenai makna pendidikan multikultural, diantaranya sebagai berikut:

  • 8

    a. Bank (2001) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Pendidikan multikultural merupakan ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya peserta didik (laki-laki maupun perempuan), peserta didik berkebutuhan khusus, dan peserta didik dari anggota kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah (Bank, 1993). Multicultural education is a field of study and an emerging discipline whose major aim is to create equal educational opportunities for students from diverse racial, ethnic, social-class, and cultural groups. One of its important goals is to help all students to acquire the knowledge, attitudes, and skills needed to function effectively in a pluralistic democratic society and to interact, negotiate, and communicate with peoples from diverse groups in order to create a civic and moral community that works for the common good.

    b. Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multikultural memberi kompetensi multikultural. Pada masa awal kehidupan peserta didik, waktu banyak dilalui di daerah etnis dan kulturnya masing-masing. Kesalahan dalam mentransformasi nilai, aspirasi, etiket dari budaya tertentu, sering berdampak pada primordialisme kesukuan, agama, dan golongan yang berlebihan. Faktor ini merupakan penyebab timbulnya permusuhan antaretnis dan golongan. Melalui pendidikan multikultural sejak dini diharapkan anak mampu menerima dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan cara individu bertingkah laku (usage); kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarkat (folkways); tata kelakuan masyarakat (mores); dan adat istiada suatu komunitas (customs). Melalui pendidikan multikultural peserta didik mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang golongan, status, gender, dan kemampuan akademik (Hanum, 2005).

    c. Musa Asrarie (2004) menyatakan bahwa pendidikan multikultural bermakna sebagai proses pendidikan cara hidup menghormati, tulus, toleransi terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural, sehingga peserta didik kelak memiliki kekenyalan dan kelenturan mental bangsa dalam menyikapi konflik sosial di masyarakat.

    d. Ki Hajar Dewantara menekankan pendidikan multicultural dengan pernyataannya sebagai berikut: Oleh karena tiap-tiap negara itu terjadi dari beberapa golongan yang masing-masing mempunyai sifat dan kepercayaan sendiri-sendiri, haruslah kita memahamkan perbedaan-perbedaan golongan itu agar terwujudlah azas persatuan yang selaras (harmonis) dan menurut keadaan. perbedaan dan keberadaan bangsa yang beragam baik dilihat dari sisi gender, suku, ras, budaya dan lain-lain adalah suatu kenyataan dan lebih jauh adalah suatu hukum alam. Oleh karenanya paham akan perbedaan untuk persatuan dan keselarasan (perdamaian) antar bangsa perlu ditanamkan dalam proses pendidikan.

  • 9

    e. Pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Berkaitan dengan kurikulum, dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembang kan filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum serta lingkungan belajar siswa sehingga peserta didik dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, ketrampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan. Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi set iap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dalam aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap orang-orang dari etnis lain. Hal ini berarti pendidikan multikultural secara luas mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompok, baik itu etnis, ras, budaya, strata sosial, agama, dan gender sehingga mampu mengantarkan siswa menjadi manusia yang toleran danmenghargai perbedaan.

    Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultur merupakan reformasi sekolah yang komprehensif dan juga pendidikan dasar bagi semua siswa. Pendidikan multicultural menentang dan menolak rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah dan masyarakat. Pendidikan multikultur menerima dan menghargai plurtalisme (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender, dll) yang siswa, masyarakat dan guru wakili. Pendidikan multikultural merasuk masuk kedalam kurikulum dan strategi pembelajaran yang digunakan di sekolah, juga kedalam interaksi antar guru, siswa dan orang tua dan semua cara dimana sekolah mengkonseptualisasikan proses belajar mengajar. Karena pendidikan multikultur menerapkan pedagogi kritis, maka memfokuskan pada pengetahuan, refleksi, dan aksi (praksis) sebagai dasar perubahan sosial. Pendidikan multikultur juga mendorong prinsip demokrasi keadilan sosial.

    2. Landasan Implementasi Pendidikan Multikultural Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis Cina, etnis Arab, etnis Arya, etnis Eropa, etnis Afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku Jawa, Batak, Minang, Bugis, Ambon, Papua, suku Dayak, dan suku Sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku

  • 10

    tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa. Kedua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula. Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence). Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Kelima, landasan yuridis diimplementasikannya pendidikan multikultural di Indonesia adalah UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Pasal 4 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia (Tilaar: 2004: 67).

  • 11

    Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non-Eropa (Ainurrafiq: 2003:24).

    3. Pendekatan dalam Proses Pendidikan Multikultural Pertama, perubahan paradigma dalam memandang pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik. Hal ini semata-mata berada di tangan mereka dan justru seharusnya semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Yang dimaksud adalah tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient daripada dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk meng-hilangkan kecenderungan memandang peserta didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka, dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta didik dari berbagai kelompok etnik. Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis. Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Adapun kebudayaan mana yang akan diadopsi itu ditentukan oleh situasi yang ada disekitarnya. Kelima, pendidikan multikultural, baik dalam sekolah maupun luar sekolah meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat

  • 12

    membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengelaman moral manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri peserta didik.

    4. Konsep Pendidikan Multikultural James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: a) Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu; b) The Knowledge Construction Process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin); c) an Equity Paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragambaik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial; d) Prejudice Reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Konsep pendidikan multikultural perlu diintegrasikan dengan kurikulum pendidikan yang ada. Struktur kurikulum yang sudah tersusun perlu memuat nilai-nilai multikulturalisme. Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) harus secara tegas memasukkan nilai-nilai multikulturalisme, sehingga dalam implementasinya, pendidik melakukan pembelajaran berperspektif multikultural. Jika semua aspek tersebut telah terpenuhi, maka tahap selanjutnya adalah mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme ke dalam pembelajaran. Kegiatan pembelajaran meliputi perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Perencanaan pembelajaran, dalam hal ini penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), perlu menyisipkan nilai-nilai multikultural. RPP yang disusun guru berisi kegiatan-kegiatan apa yang akan dilakukan untuk menanamkan sikap menghargai dan melestarikan keanekaragaman masyarakat Indonesia. Misalkan, dalam Kurikulum 2013 pada KD 1.3 menyebutkan bahwa Menghargai karunia Tuhan YME yang telah menciptakan manusia dan lingkungannya. KD ini kemudian dikembangkan dalam RPP, dan yang harus direncanakan oleh guru adalah dengan jalan mencari contoh-contoh fenomena alam yang ada keterkaitannya dengan manusia. Fenomena alam tersebut dapat berupa keindahan laut dan bawah laut, keindahan pantai, keindahan peugunungan, keindahan alam hutan yang hijau, dan lain sebagainya. Disamping itu, guru perlu juga menjelaskan berbagai bencana alam di dunia, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa bumi, kebakaran, kekeringan, dan bencana-bencana lainnya. Berdasarkan contoh pengembangan RPP di atas, nilai-nilai multikultural dapat dimunculkan. Dari berbagai keindahan alam di dunia, guru dapat menyelipkan bahwa tidak hanya secara fisis saja alam ini ada. Ada aspek lain yang juga sangat indah, yakni kehidupan di dalam alam raya, termasuk kehidupan manusia. Diantara berbagai keindahan alam, di dalamnya terdapat

  • 13

    keanekaragaman kebudayaan manusia juga. Faktor determinan masyarakatnya ikut berubah adalah menyesuaikan dengan alam tempat masyarakat itu hidup dan berkembang. Jika guru telah berhasil mengarahkan peserta didik, langkah selanjutnya agar sesuai dengan KD adalah mengajak peserta didik untuk menghargai kaanekaragaman. Tidak ada alasan untuk tidak menghargai kenekaragaman Indonesia. Betapa tidak, Indonesia sangat luas, berisi beranekaragam manusia dan kebudayaannya. Namun, semua perbedaan itu tidak menghalangi bangsa Indonesia untuk bersatu, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Pelaksanaan pembelajaran harus sesusai dengan RPP yang telah disusun sebelumnya. KD 1.3 yang telah di susun dengan memasukkan nilai-nilai multikultural harus diterapkan di kelas. H.A.R. Tilaar (2002) mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencap ai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu. Evaluasi pembelajaran yang dilakukan juga harus berperspektif multikultural. Jangan ada keberpihakan guru dalam memberi penilaian terhadap peserta didi. Misalkan peserta didik yang berasal dari etnis tertentu mendapat nilai lebih baik dari pada etnis lain. Hal ini tentunya keliru dan merupakan tindakan diskriminatif. Lebih luas dari itu, penilaian guru tidak sebatas pada aspek kognitif, namun secara keseluruhan guru mengamati afektif dan psikomotor peserta didik. Dalam interaksinya di masyarakat apakah peserta didik sudah bersikap toleran dan menghormati keberagaman? Dan apa yang sudah dan dapat dilakukan peserta didik untuk menerapkan pengetahuan yang telah diperolehnya di sekolah? Poin-point pertanyaan inilah yang perlu menjadi fokus guru dalam menilai secara komprehensif dan integral terhadap peserta didik. Membangun masyarakat demokratis atau pendidikan multikultural, yang dapat menghasilkan orang-orang (warga negara) yang menyadari, mengakui dan menghargai perbedaan (pluralism) bukan merupakan hal yang mudah. Perlu dirancang atau didesain sedemikian rupa secara sistemik. Pada dasarnya, menurut Gorsky (2010) untuk dapat menerapkan pendidikan multikultur di sekolah diperlukan upaya transformasi pada tiga level yaitu transformasi level diri (transformation of self), transformasi level sekolah (transformation of school and schooling) dan transformasi level masyarakat (transformation of society). Transformasi pada level diri dapat digambarkan dengan menjawab pertanyaan, apakah semangat multikulturalisme telah ada atau terjadi pada

  • 14

    diri saya sebagai pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah? Dengan kata lain, bagaimana kita dapat melakukan pendidikan multikultur kalau sikap positif kita terhadap perbedaan dan keberaagaman belum terjadi. Nampaknya, transformasi level diri ini merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pendidikan multikultur. Untuk transformasi level sekolah, Banks dan Banks memberikan panduan dimana ada lima dimensi pendidikan multikultur yang seharusnya secara simultan dilakukan, yaitu integrasi materi (content integration), proses pembentukan pengetahuan (knowledge construction process), reduksi prasangka (prejudice reduction), pendidikan/perlakuan pedagogik tanpa pandang bulu (equity pedagogy), dan pemberdayaan budaya sekolah dan struktur social (empowering school culture and social structure). Integrasi konten adalah upaya guru memberikan atau menggunakan contoh dan materi dari berbagai budaya dan kelompok untuk mengajarkan konsep kunci, pronsip, generalisasi, teori dan lain-lain ketika mengajar satu topik atau mata pelajran tertentu. Sebagai contoh, ketika mengajar topik tumbuhan berbiji belah (dikotil), guru menyinggung bahwa kopi adalah salah satu contoh dikotil, kemudian dikaitkan dengan bagaimana masyarakat Lampung, masyarakat Aceh, masyarakat Jawa memanfaatkan kopi sebagai minuman dalam tradisi masing-masing. Artinya, yang dimaksud dengan integrasi konten adalah mengintegrasikan pendidikan multikultur ekdalam mata pelajaran/topic pelajaran. Dengan kata lain, sambil belajar biologi, terjadi penyadaran akan perbedaan budaya. Proses pembentukan pengetahuan adalah upaya membantu siswa untuk memahami, mencari tahu, dan menentukan bagaimana suatu pengetahuan atau teori pada dasarnya secara implisit tercipta karena adanya pengaruh budaya tertentu, kalangan tertentu, kelompok dengan status social tertentu yang terjadi pada saat itu. Sebagai contoh, Galileo menghasilkan teori heliosentris yang menumbangkan asumsi geosentris yang terjadi pada masa dimana pengaruh agama saat itu sangat dominan. Sehingga, Galileo harus dihukum mati karena teorinya, namun belakangan teori tersebut dipakai oleh masyarakat dunia. Reduksi prasangka adalah upaya guru membantu siswa mengembangkan sikap positif terhadap perbedaan (baik dari sisi suku, budaya, ras, gender, status sosial) Sebagai contoh, adalah tidak benar kalau guru mendorong sikap atau prasangka yang menganggap bahwa orang papua yang berkulit hitam adalah terbelakang, bodoh dan lain-lain. Prasangka-prasangka yang tidak benar terhadap gender, ras, budaya dan lain-lain dalam proses interaksi di sekolah inilah yang harus dihindari. Setidaknya guru berkewajiban meluruskan pasumsi dan prasangka tersebut. Salah satu cara mengurangi prasangka ini adalah dengan melibatkan siswa melakukan aktifitas bersama dengan mereka yang terdiri dari berbagai status social, ras, gender dan lain-lain. Perlakuan pedagodik tanpa pandang bulu (equity pedagogy) adalah upaya guru memperlakukan secara sama tanpa pandang bulu dalam proses

  • 15

    pembelajaran di kelas. Hal ini akan terlihat dari metode yang digunakan, cara bertanya, penunjukkan siswa, pengelompokkan siswa. Contoh inequity pedagogy adalah guru senantiasa menunjuka seorang siswa sebagai ketua kelompok, karena siswa tersebut anak dari kalangan status social tertentu yang lebih tinggi dari yang lain. Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial proses merstrukturisasi dan reorganisasi sekolah sehingga siswa dari beragam ras, suku, kelas sosial akan mengalami dan merasakan pemberdayaan dan persamaan budaya. Dengan demikian, semangat multikulturalisme harus tercermin dalam segala aktifitas sekolah. Hal ini menuntut adanya perubahan baik dari sisi literasi multikultur pendidik dan tenaga kependidikan, kebijakan sekolah, struktur organisasi, iklim sekolah dan lain-lain. Transformasi level masyarakat merupakan upaya yang paling berat dan karena sangat kompleks dan melibatkan berbagai unsur terkait. Namun, sebenarnya transformasi level masyarakat akan terjadi dengan sendirinya jika transformasi level diri dan level sekolah berjalan dengan baik.

    5. Tahap-Tahap Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Kurikulum Sekolah Tahap-tahap ini mendasarkan diri pada pendapat Bank, bahwa ada empat tahap untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural dalam kurikulum sekolah, diantaranya sebagai berikut. a. Pendekatan Kontribusi (The Contributions Approach). Level 1 ini adalah satu dari yang paling sering dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis (ethnic revival movement). Juga sering digunakan jika sekolah mencoba mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum aliran utama. Ciri pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan tokoh/pahlawan etnis dan benda-benda budaya yang khas ke dalam kurikulum,yang dipilih dengan menggunakan kriteria budaya aliaran utama. Jadi individu seperti Gus Dur, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain sebagai pahlawan dari kelompok multikultural ditambahkan dalam kurikulum. Elemen budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok etnis dipelajari, namun hanya sedikit memberi perhatian pada makna dan pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis. Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa kurikulum aliran utama tetap tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan karakteristik. Persyaratan implementasi pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan dasar mengenai masyarakat Indonesia dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan dan kontribusinya terhadap masyarakat dan budaya. Individu yang menentang ideologi, nilai, dan konsepsi masyarakat yang dominan dan yang mendukung reformasi sosial, politik, dan ekonomi radikal jarang dimasukkan dalam pendekatan kontribusi. Jadi Gus Dur lebih mungkin dipilih untuk studi dibandingkan dengan Soeharto. Kriteria yang digunakan untuk memilih pahlawan etnis untuk dipelajari dan penentuan keberhasilan perjuangannya berasal dari masyarakat aliran utama dan bukan dari komunitas etnis. Akibatnya, pemakaian pendekatan kontribusi biasanya menghasilkan studi tentang pahlawan etnis yang hanya menggambarkan satu perspektif penting dalam komunitas etnis. Dalam pendekatan kontribusi, individu yang lebih radikal dan kurang konformis yang

  • 16

    hanya menjadi pahlawan bagi komunitas etnis cenderung untuk diabaikan dalam buku teks, materi pembelajaran dan aktivitas yang dipakai. Pendekatan kepahlawanan dan hari libur adalah varian dari pendekatan kontribusi. Dalam pendekatan ini, materi etnis terutama terbatas pada hari, minggu dan bulan spesial yang berhubungan dengan peristiwa dan peringatan etnis. Peringatan Hari Kartini, Hari Raya Imlek dan Cap Go Meh merupakan contoh hari libur pahlawan dan etnis yang diperingati di sekolah. Selama perayaan ini, pengajar melibatkan siswa dalam pelajaran, pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan dengan kelompok etnis yang sedang diperingati. Ketika pendekatan ini digunakan, kelas mempelajari sedikit atau tidak sama sekali tentang kelompok etnis sebelum atau sesudah peristiwa atau kesempatan khusus itu. Pendekatan kontribusi memberi kesempatan pada guru untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum secara cepat dengan memberi pengenalan tentang kontribusi etnis terhadap masyarakat dan budaya Indonesia. Pengajar yang komit untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kelompok etnis dan hanya sedikit merevisi kurikulum. Akibatnya, mereka menggunakan pendekatan kontribusi saat mengajarkan tentang kelompok etnis. Guru-guru ini seharusnya mendorong, mendukung, dan memberi kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mereformasi kurikulumnya dengan menggunakan satu atau beberapa pendekatan yang efektif. Seringkali ada tuntutan politik yang kuat dari komunitas etnis terhadap sekolah untuk mencantumkan pahlawan, kontribusi dan budaya mereka ke dalam kurikulum sekolah. Kekuatan politik ini dapat mengambil bentuktuntutan atas pahlawan dan kontribusi pahlawan dari kelompok mereka karena pahlawan aliran utama seperti Soekarno-Hatta sangat nampak dalam kurikulum sekolah. Masyarakat etnis Papua, atau wilayah Indonesia Timur juga ingin melihat pahlawan dan kontribusi mereka sendiri berdampingan dengan masyarakat aliran utama. Kontribusi tersebutdapat membantu mereka merasa dicantumkan (inklusi struktural), teruji, dan persamaan. Inklusi kurikulum juga memfasilitasi penelitian tentang kelompok etnis dan budaya yang menjadi korban kekuatan dan kekuasaan yang ada saat ini. b. Pendekatan Aditif (Additive Approach) Tahap kedua Pendekatan penting lain terhadap integrasi materi etnis terhadap kurikulum adalah penambahan materi, konsep, tema dan perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karateristik dasarnya. Pendekatan Aditif (Tahap 2) ini sering dilengkapi dengan penambahan suatu buku, unit, atau bidang terhadap kurikulum tanpa mengubahnya secara substansial. Contoh pendekatan ini meliputi penambahan buku seperti Sejarah Indonesia pada suatu unit tentang abad dua puluh, penggunaan film perjuangan kemerdekaan. Pendekatan aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan pemikiran kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substa,nsial. Pendekatan aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif yang didesain untuk menyusun

  • 17

    kembali kurikulum total dan untuk mengintegrasikannya dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis. Hal yang paling penting adalah pandangan tentang materi etnis dari perspektif sejarawan, penulis, artis, dan ilmuwan aliran utama yang tidak memerlukan restrukturisasi kurikulum. Jika mengajar tentang gerakan orang Indonesia untuk kemerdekaan, pengajar seharusnya membantu siswa memahami bahwa kelompok budaya, ras, dan etnis yang berbeda sering memiliki konsepsi dan sudut pandang yang berbeda dan bertentangan atas peristiwa sejarah, konsep, isu, dan perkembangan yang sama. Pemenang dan yang ditundukkan seringkali memiliki konsep yang berlawanan atas peristiwa sejarah yang sama. Namun, biasanya sudut pandang pemenang yang terlembagakan dalam sekolah dan masyarakat aliran utama. Ini terjadi karena sejarah dan buku teks biasanya ditulis oleh orang yang menang perang dan memperoleh keuntungan untuk mengontrol masyarakat, dan bukan oleh yang kalah (korban) dan lemah. Perspektif dari kedua kelompok perlu untuk membantu kita memahami secara penuh sejarah, budaya dan masyarakat kita. Orang yang ditaklukkan dan orang yang menaklukkan memiliki sejarah dan budaya yang saling menjalin dan saling berhubungan secara berbelit-belit. Mereka harus mempelajari masing-masing sejarah dan budaya yang lain untuk memahaminya secara utuh. Penggunaan efektif dari materi yang kompleks dan bermuatan emosi biasanya memerlukan guru yang membantu siswa mempelajari secara bertahap dan berkembang, memiliki latar belakang materi yang kuat serta memiliki kematangan sikap. c. Pendekatan Transformasi (The Transformation Approach) Pendekatan transformasi berbeda secara mendasar dari pendekatan kontribusi dan aditif. Padakedua pendekatan, materi etnis ditambahkan pada kurikukulum inti aliran utama tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan strukturnya. Dalam pendekatan transformasi ada perubahan dalam tujuan, struktur, dan perspektif fundamental dari kurikulum. Pendekatan transformasi (tahap 3) mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama adalah hanya satu di antara beberapa perspektif darimana isu, masalah, konsep, dan isu dipandang. Tidak mungkin dan tidak inginlah untuk melihat setiapisu, konsep, peristiwa atau masalah dari sudut pandang setiap kelompok etnis Indonesia. Lebih dari itu, tujuan seharusnya memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan isu lebih dari satu perspektif dan melihat peristiwa, isu, atau konsep yang sedang dipelajari dari sudut pandang kelompok etnis, budaya dan ras partisipan yang paling aktif, atau berpengaruh paling meyakinkan (Banks, 1993: 203). Isu kurikulum esensial yang terdapat dalam reformasi kurikulum multikultural bukan penambahan dari daftar panjang dari kelompok, pahlawan, atau kontribusi etnis namun pemasukan berbagai perspektif, kerangka pikir,dan materi dari berbagai kelompok yang akan memperluas pemahaman siswa akan sifat,perkembangan, dan kompleksitas masyarakat Indonesia. Jika siswa sedang mempelajari revolusi dari kolonialisme Belanda dan Jepang, perspektif dari para pejuang, veteran, pihak Belanda atau Jepang adalah esensial bagi mereka untuk memperoleh suatu pemahaman utuh tentang

  • 18

    peristiwa yang signifikan dalam sejarah Indonesia. Siswa harus mempelajari revolusi dari berbagai kelompok yang berbeda ini untuk dipahami secara utuh. Jika mempelajari sejarah, bahasa, musik, seni, sains, dan matematika Indonesia, penekanan seharusnya bukan pada cara-cara di mana berbagai kelompok etnis dan budaya itu telah berkontribusi pada aliran utama budaya dan masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, penekanan seharusnya pada bagaimana budaya dan masyarakat Indonesia pada umumnya muncul dari sintesis dan interaksi kompleks dari elemen budaya yang berbeda yang asalnya dari berbagai kelompok budaya, ras, etnis, dan agama yang membentuk masayarakat Indonesia. Banks menyebut proses ini multiple acculturation dan berpendapat bahwa sekalipun etnis Jawa Muslim adalah kelompok dominan di Indonesia secara kultural, politis, dan ekonomis, akan terjadi salah pengertian dan tidak akuratlah untuk menggambarkan budaya dan masyarakat Indonesia sebagai budaya Jawa Muslim. d. Pendekatan Aksi Sosial (The Social Action Approach) Pendekatan Aksi Sosial mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi namun menambahkan komponen yang mempersyaratkan siswa membuat keputusan dan melakukan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik sosialdan perubahan sosial dan mengajari mereka ketrampilan pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh kemanjuran politis, sekolah seharusnya membantunya menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yangterlatih dalam perubahan sosial. Tujuan tradisional dari persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa sehingga mereka menerima tanpa bertanya ideologi, lembaga, dan praktek yang ada dalam masyarakat dan negara. Pendidikan politik di Indonesia secara tradisional meningkatkan kepasifan politik daripada aksi politik. Tujuan utama dari pendekatanaksi sosial adalah untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan, nilai, dan ketrampilan yang mereka butuhkan untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial sehingga kelompok-kelompok ras dan etnis yang terabaikan dan menjadi korban ini dapat menjadi berpartisipan penuh dalam masyarakat Indonesia dan negara akan lebih dekat dalam mencapai ide demokrasi. Untuk berpartisipasi secara efektif dalam perubahan sosial yang demokratis, siswa harus diajar kritik sosial dan harus dibantu untuk memahami inkonsistensi antara ideal dan realitas sosial, kegiatan yang harus dilakukan untuk mendekatkan jurang pemisah ini, dan bagaimana siswa, sebagai individu dan kelompok, dapat mempengaruhi sistem politik dan sosial pada masyarakat Indonesia. Dalam pendekatan ini, pengajar adalah agen perubahan sosial (agents of social change) yang meningkatkan nilai-nilai demokratis dan kekuatan siswa. Empat pendekatan untuk integrasi materi multikultural ke dalam kurikulum sering dipadukan dalam situasi pengajaran aktual. Satu pendekatan, seperti pendekatan kontribusi, dapat dipakai sebagai wahana untuk bergerak ke yang lain, yang lebih menantang secara intelektual seperti pendekatan transformasi dan pendekatan aksi sosial. Tidak realistis untuk mengharapkan guru berpindah secara langsung dari kurikulum yang amat berpusat pada aliran utama ke pendekatan yang berfokus pada pembuatan keputusan dan aksi

  • 19

    sosial. Pergerakan dari tahap awal ke tahap lebih tinggi dalam mengintegrasikan materi multikultural dapat terjadi secara bertahap dan kumulatif. Tahap-tahap perkembangannya akan dibahas dalam unit 6. Guru yang memiliki kurikulum yang berpusat pada aliran utama mungkin memakai peringatan ulang tahun Gus Dur, Kartini, Ki Hajar Dewantara sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan kurikulum dengan materi etnis, di samping memikirkan secara serius tentang bagaimana materi tentang orang Indonesia dan kelompok etnis yang lain dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum secara berangsur-angsur.

    C. EFEKTIVITAS DESAIN PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURAL Studi tentang pendidika berbasis multikultural telah banyak dilakukan, dari hasil studi tersebut salah satunya dikemukakan hambatan-hambatan implmentasi pendidikan berbasis mulltikultural. Dan kiranya perlu hambatan-hambatan tersebut dikaji juga dalam makalah ini, agar pembahasan mengenai pendidikan multikultural disajikan secara komprehensif. Tujuannya, hambatan-hambatan yang dipaparkan di sini dapat menjadi inspirasi bagi agen yang akan menerapkan pendidikan multikultural, agar hal-hal tersebut dapat dihindari. Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si. mengatakan, hambatan-hambatan implementasi pendidikan multikultural diantaranya sebagai berikut: 1. Keragaman identitas budaya daerah 2. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah 3. Kurang kokohnya nasionalisme 4. Fanatisme sempit 5. Konflik kesatuan nasional dan multikultural 6. Kesejahteraan ekonomi yang tidak merata di antara kelompok budaya 7. Keberpihakan yang salam dari media massa, khususnya teleisi swasta dalam

    memberitakan peristiwa Iis Arifudin, M.Ag. juga mengatakan beberapa hambatan yang ditemui dalam implementasi pendidikan multikultural, diantaranya sebagai berikut: 1. Perbedaan pemaknaan terhadap pendidikan multikultural 2. Munculnya gejala diskontinyuitas 3. Rendahnya komitmen berbagai pihak 4. Kebijakan-kebijakan yang suka akan keseragaman D. TINJAUAN IPS TERHADAP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

    Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupan sosial masyarakat yang diseleksi dengan menggunakan konsep-konsep ilmu sosial yang digunakan untuk kepentingan pembelajaran. National Council of Social Studies (NCSS) mendefinisikan IPS sebagai berikut:

    Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural

  • 20

    sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.

    Dirumuskan secara sederhana, IPS atau Social Studies merupakan telaah terpadu dari ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan untuk meningkatkan kompetensi kewarganegaraan peserta didik. Tujuan utamanya untuk membantu meningkatkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan generasi muda dalam membuat keputusan-keputusan rasional sebagai warga negara yang secara kultural memiliki keragaman, dan yang hidup dalam masyarakat demokratis di dunia yang saling tergantung. Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa IPS merupakan bahan kajian yang wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang antara lain mencakup ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya yang dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat (penjelasan pasal 37). Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai bahan kajian merupakan subject matter yang dapat dikemas menjadi satu atau beberapa mata pelajaran atau diintegrasikan dengan bahan kajian lain sesuai dengan kebutuhan pendidikan. Dalam Permendiknas No 22 tahun 2006, (KTSP) dinyatakan bahwa IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, dan sejarah. Penjelasan di atas dapat diartikan bahwa IPS merupakan studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial untuk membentuk warganegara yang baik, mampu memahami dan menganalisis kondisi dan masalah sosial serta ikut memecahkan masalah sosial kemasyarakatan. Berdasarkan definisi di atas, IPS rasanya perlu untuk ikut membicarakan pendidikan multikultural. IPS perlu memberi kontribusi mengenai bagaimana IPS memandang multikulturalisme masyarakat Indonesia? bagaimana bidang-bidang dalam IPS berbicara tentang multikulturalisme? dan apa yang bisa dilakukan IPS untuk melestarikan multikulturalisme Indonesia? Pertama yang akan dibahas disini adalah mengenai bagaimana IPS memandang multikulturalisme masyarakat Indonesia. Secara geografis, negara Indonesia merupakan the big country. Indonesia terletak di 60 LU - 110 LS dan 950 BT- 1410 BT, terletak di antara dua benua & dua samudra terletak di garis katulistiwa, terletak pada pertemuan dua jalur pegunungan, yakni Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik. Total luas wilayah Indonesia adalah 5,192 juta km2, dengan luas daratan 2,027 juta km2 dan luas lautan 3,166 juta km2. Jarak utara-selatan 1.888 km dan jarak timur-barat 5.110 km. Jumlah pulau: 17.508 pulau, dengan garis pantai 80.000 km. Implikasinya, Indonesia memiliki tiga wilayah waktu dan memiliki iklim tropis dengan dua musim, yakni musim hujan dan kemarau.

  • 21

    Indonesia juga merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Indonesia memiliki 20.000 spesies tumbuhan berbunga (nomor 1 di dunia), 4.000 spesies pohon (nomor 2 di dunia), 515 spesies mamalia (nomor 1 di dunia), 121 spesies kupu-kupu (nomor 1 di dunia), 600 spesies reptilia (nomor 3 di dunia), 1516 burung (nomor 4 di dunia), 270 spesies amphipia (nomor 5 di dunia), ratusan spesies jasad renik, biota laut (terumbu karang, rumput laut, dan lain sebagainya). Geografi menyumbangkan analisis keruangan, kewilayahan, dan kelingkungan bagi IPS. Salah satu konsep dalam geografi adalah ruang antroposfer. Dalam konsep keruangan ini dijelaskan berbagai macam keterkaitan antara lingkungan dan kehidupan manusia (dan makhluk hidup lain) di bumi. Kehidupan manusia sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan alamnya. Manusia yang hidup di wilayah pegunungan pasti akan memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat pesisir. Fakta-fakta empirik itulah yang menyebabkan kondisi multukultural masyarakat Indonesia. Masyarakat yang hidup di Aceh, Sumatera, Lampung, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua, dan wilayah-wilayah lain memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Secara sosiologis, bangsa Indonesia memiliki karakter yang beraneka ragam. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pola komunikasi antara masyarakat pesisir dan masyarakat pegunungan akan memiliki perbedaan yang khas. Berbagai literatur menggeneralisasi bahwa masyarakat pesisir memiliki karakter yang lebih keras bila dibandingkan dengan masyarakat pegunungan. Fakta empiris yang bisa dikaji di sini adalah pada masyarakat Jawa. Dikotomi yang mengemuka di sini adalah antara masyarakat Keraton (Yogyakarta) dan luar Keraton dan bahkan masyarakat yang jauh dari Keraton. Pola interaksi yang dibangun di masyarakat Keraton sangat memperhatikan unggah-ungguh. Bahasa yang digunakan juga memiliki tingkatannya masing-masing. Bagaimana harus berkomunikasi dengan orang yang lebih tinggi tingkatannya, bagaimana harus berkomunikasi dengan teman sebaya, dan seterusnya. Berbeda dengan lingkungan Keraton, terlebih ketika sudah memasuki wilayah Pantura Jawa. Unggah-Ungguh dan pola komunikasi yang sopan dan santun sudah tereduksi. Orang-orang dari wilayah Keraton akan menyebutnya tidak njawani. Contoh di atas hanya salah satu contoh keanekaragaman karakter masyarakat Indonesia. Berbeda wilayah, sudah berbeda pola interaksi. Inilah mengapa negara Indonesia merupakan negara yang sangat plural. Secara antropologis, Indonesia memiliki corak kebudayaan yang sangat beraneka warna. Setidaknya ada 1.128 suku bangsa di Indonesia.

  • 22

    Masyarakat petani dan nelayan memiliki budaya yang berbeda satu sama lain. Salah satunya adalah ritual-ritual yang mereka lakukan di seputar alur kehidupan mereka. Mulai dari ritual-ritual lahir-hidup-mati. Sejarah Indonesia juga turut menyumbang bagi keanekaragaman masyarakat Indonesia. Kehidupan masa lalu bangsa Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa babak, mulai dari zaman kerajaan, zaman kolonialisme, dan zaman kemerdekaan. Di era kerajaan-kerajaan kuno, kerajaan Hindu-Budha lah yang mengawali babakan ini. Di awali dengan berdirinya Kerajaan Kutai, kemudian bermunculan kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan-kerajaan tersebut diantaranya Kerajaan Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram Kuno, Kartanegara, Singosari, dan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang lain. Sejarah berlanjut, hingga munculnya kerajaan-kerajaan Islam. Di awali oleh berdirinya Kerajaan Samudra Pasai di Aceh, kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak, Banten, Ternate dan Tidore, Gowa dan Tallo, Mataram Islam, dan kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya. Kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut mulai goyah setelah datang bangsa-bangsa barat di tanah air. Maluku merupakan wilayah yang menjadi sasaran bangsa Barat, mereka membawa tiga misi, yakni Gold, Glory, and Gospel. Semangat inilah yang menimbulkan penjajahan di tanah air selama 3,5 abad lebih. Bangsa Indonesia tidak tinggal diam dengan kondisi ini, banyak pergerakan-pergerakan kemerdekaan yang dilakukan di tiap-tiap daerah. Hingga tiba waktunya bangsa Indonesia mendeklarasikan hari Kebangkitan Nasional, dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda, dan pada akhirnya sampai pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah merdeka, bukan berarti masalah selesai. Negara Indonesia dihadapkan pada masalah-masalah krusial dalam mempertahankan kemerdekaannya. Mulai dari peristiwa agresi militer terhadap Belanda, kondisi ekonomi yang carut marut, tumbuhnya ideologi komunisme, perpecahan internal, dan peristiwa kudeta pemerintahan (peristiwa Supersemar). Setelah serentetan sejarah panjang tersebut, Orde Baru, di bawah Soeharto, memimpin Indonesial selama 32 tahun. Dalam perkembangannya, banyak pembangunan yang berhasil dicapai. Namun, sisi gelap Orde Baru mulai banyak terkuak ke permukaan. Praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta kasus-kasus pelanggaran HAM, sudah menjamur dan dianggap sebagai hal yang wajar. Kondisi ini memicu kaum pemuda (mahasiswa) untuk menggulirkan wacara reformasi. Puncaknya, pecah tragedi 1998. Terjadi kerusuhan di berbagai tempat di Indonesia, penjarahan dimana-mana, etnis Cina terintimidasi, harga-harga barang melonjak, dan terjadi krisis multidimensi di Indonesia.

  • 23

    Kaum pemuda mencapai kemenagannya, dan mulailah Indonesia pada babak baru kehidupan. Orde Reformasi, di orde ini iklim demokrasi mulai menemukan titik cerah dan kehidupan sosial semakin bebas dari intervensi ketat dari pemerintah, kebebasan pers semakin meningkat, dan HAM semakin baik ditegakkan. Sejarah panjang bangsa dan negara Indonesia ini berimplikasi secara signifikan bagi terbentuknya corak kebudayaan masyarakat Indonesia. Kebudayaan yang dibawa oleh Hindu, Budha, Islam, Kristen telah terinternalisasi dan menjadi way of life bagi masyarakat Indonesia. Bangsa-bangsa Barat dan asing juga turut menyumbang bagi pembentukan karakter budaya Indonesia, seperti kebudayaan Cina, Arab, Amerika, Eropa, dan corak kebudayaan bangsa asing lainnya. Kondisi ekonomi Indonesia juga sangat beragam, secara general bisa digolongkan ke dalam empat ranah, yakni golongan ekonomi lemah, ekonomi menengah ke bawah, golongan ekonomi menengah ke atas, dan golongan ekonomi atas. Golongan-golongan ini memiliki kaitan erat dengan pola pekerjaan yang dilakukan masyarakat, mulai dari pengangguran, petani, nelayan, karyawan, pegawai negeri, pengusaha, dan anggota dewan, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya. Kehidupan sosial ini amatlah multidimensional, masing-masing masyarakat memiliki karakteristik masing-masing. Sifat multikultural bangsa Indonesia ini bisa menjadi potensi positif dan negatif. Oleh karena itu, memerlukan traeatment tertentu, agar keanekaragaman ini tetap lestari dan dapat diarahkan menjadi trend positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan IPS menempati posisi strategis untuk dapat berperan dalam memberikan wawasan nusantara, bahwa masyarakat Indonesia sangatlah beragam, dan masyarakat perlu mengetahui itu agar tercipta rasa saling menghormati, memiliki, dan saling bekerja sama menuju tujuan nasional Indonesia. Peran yang dapat dijalankan pendidikan IPS adalah dengan memasukkan materi-materi yang sarat akan nilai-nilai multikultural. Kajian-kajian tentang masyarakat yang ada di IPS diarahkan untuk menimbulkan rasa saling menghormati, memiliki, dan saling bekerja sama. Bukan sebaliknya, justru menanamkan benih-benih kebencian terhadap orang di luar lingkungannya. Pendidikan merupakan sarana penting bagi penularan pengetahuan dari seseorang ke orang lain. Tiga tahap penularan ini adalah sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi. Dalam hal ini, nilai-nilai multikultural perlu disosialisasikan kepada peserta didik melalui pendidikan IPS. Ceritakan bahwa masyarakat Indonesia, dari sabang sampai merauke, berbeda. Dan seperti itulah kebudayaan yang dimiliki. Tujuan jangka pendeknya adalah setidaknya peserta didik mengenal dan mengetahui dengan baik keanekaragaman Indonesia.

  • 24

    Peserta didik, pada tahap selanjutnya, diarahkan untuk proses enkulturasi (pembudayaan). Peserta didik dibiasakan untuk dapat menerima perbedaan dan menghormatinya. Sikap-sikap seperti ini penting bagi terwujudnya keteraturan sosial. Pembudayaan yang berlangsung secara terus menerus pada diri peserta didik, lambat laun mereka akan menjadikan multikulturalisme sebagai bagian dari hidup mereka. Setiap helaan nafas, langkah, berucap, dan cara berpikir selalu didasarkan pada perspektif multukulturalisme. Inilah suatu tahap di mana individu terlah meng-internalisasi nilai-nilai multikultural.

  • 25

    BAB III PENUTUP A. SIMPULAN

    Kajian tentang masyarakat Indonesia dan desain pendidikan seperti apa yang cocok untuk masyarakat yang plural pada Bab II sudah sangat detail dan mendalam. Berdasarkan kajian-kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa: 1. Masyarakat Indonesia, ditinjau dari perspektif ilmu-ilmu pengetahuan sosial,

    memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi. Mulai dari kondisi geografis, sejarah kehidupan, aspek sosiologis dan antropologis, dan kondisi ekonominya.

    2. Multikulturalisme masyarakat Indonesia ini bisa menjadi potensi positif dan negatif. Dunia pendidikan memiliki tanggung jawa moral untuk turut mereduksi potensi negatif multikulturalisme. Pendidikan menempati posisi strategis dalam hal ini. Jalan yang dapat ditempuh dunia pendidikan adalah melalui pendidikan multikulturalisme.

    3. Desain pendidikan multikultural yang bisa diterapkan salah satunya adalah melalui pendidikan yang mengangkat tema-tema etnis dan kepahlawanan. Melalui tema-tema etnis, peserta didik akan memiliki pemahaman mengenai keberagaman masyarakat Indonesia. Melalui tema-tema kepahlawanan, peserta didik akan lebih menghargai jasa para pahlawan dan lebih mencintai lagi bangsa Indonesia.

    4. Implementasi pendidikan karakter bukan merupakan perkara mudah, semudah membalik telapak tangan. Hambatan-hambatan ditemui di tengah perjalanan menuju tujuannya. Hambatan yang bersifat ideologis merupakan hambatan utama dalam mencapai tujuan tersebut.

    5. Perspektif IPS (melalui berbagai bidang kajiannya: Geografi, Sosiologi, Antropologi, Sejarah, dan Ekonomi) atas masyarakat Indonesia, menghasilkan rekomendasi bahwa pendidikan multikultural memang urgen dan perlu diterapkan dalam pendidikan Indonesia.

    6. Pendidikan IPS, sebagai bidang yang mengkaji kehidupan sosial dan lingkungan sekitarnya, merupakan salah satu jalan yang strategis untuk menerapkan pendidikan multikultural.

    B. SARAN

    Berdasarkan simpulan di atas, saran yang diajukan dalam makalah ini adalah: 1. Konsep pendidikan multikultural sudah sangat baik dirumuskan oleh pakar

    pendidikan, yang dibutuhkan dalam hal ini adalah komitmen dan konsistensi dalam peng-implementasiannya. Semua pihak yang terkait, mulai dari tingkat menteri, kepala dinas pendidikan, kepala sekolah, stakeholders, sampai guru mata pelajaran harus mempunyai satu visi yang diwujudkan dalam misinya untuk mencapai peserta didik yang menghargai dan menghormati perbedaan.

    2. Pihak-pihak terkait perlu memiliki kesamaan persepsi megenai keanekaragaman masyarakat Indonesia dan harus sama-sama mempunyai rumusan yang jelas mengenai arah pembangunan keanekaragaman tersebut.

    3. Pelaku teknis di lapangan perlu memahami dengan baik konsep pendidikan multikultural, agar dalam implementasinya sesuai dengan konsep yang telah dirancang sebelumnya.

  • 26

    BAB III DAFTAR PUSTAKA Arifudin, Iis. 2007. Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah.

    Jurnal. Purwokerto: Jurnal Insania STAIN Purwokerto. Chaeruman, Uwes A., dan Pasari Ruslan. 2010. Menerapkan Pendidikan

    Multikultural di Sekolah. Tidak diterbitkan. Isnaini, Muhammad. 2011. Konsep Pendidikan Multikultural dalam Merespon

    Tantangan Globalisasi. Tidak diterbitkan. Mukharis. 2011. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Pelajaran Al-Quran dan

    Al-Hadist. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Puspitasari, Nimas. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis

    Multikultural. Jurnal. Semarang: Journal of Educational Social Studies. Program Pascasarjana Unnes.

    Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan

    dalam Transformsi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. ___________. 2003. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja

    Rosdakarya. ___________. 2004. Pendidikan, Kebudayaan, dan masyarakat Madani

    Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. ___________. 2003. Kekuatan dan Pendidikan. Jakarta: Grasindo. ___________.2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Paedagogik

    Transformatif Untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo. Hanum, Mufida. 2010. Multikulturalisme dan Pendidikan. Tidak diterbitkan.