1
Sekarang ini, banyak pemerhati sejarah dan budaya Indonesia yang membincangkan warisan naskah nusantara. Apa yang dimak- sud dengan naskah nusantara itu? Yang dimaksud naskah dalam konteks ini adalah semua karya lama yang ditulis tangan atau yang kita kenal sebagai manuscript, handschriften, bukan naskah cetak. Sedangkan, nusantara bisa merujuk pada wilayah yang sekarang ini disebut Asia Tenggara. Identitas kenusantaraan bisa dike- tahui melalui banyak hal: pengarang, penyalin, bahasa, atau aksara yang digu- nakan. Menurut saya, naskah nusantara mencakup tiga kategori. Pertama, semua naskah yang ditulis oleh pengarang asal nusantara, baik menggunakan bahasa-bahasa lokal nusan- tara, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Aceh, Batak, Bali, Wolio, ataupun bahasa asing, misalnya Arab dan Belanda. Kedua, naskah karangan penulis asing, tapi disalin oleh penyalin lokal dan naskahnya banyak digunakan oleh masyarakat nusan- tara. Ketiga, naskah karya penulis asing dengan bahasa asing pula, tetapi ditulis dalam konteks nusantara. Disiplin apa saja yang termuat dalam naskah nusantara? Beragam sekali. Bayangkan, naskah nusan- tara adalah rekaman kehidupan sehari-hari masyarakat masa lalu. Jadi, semuanya ada, mulai dari yang ‘biasa-biasa’ saja sampai yang dianggap akademis. Ada adat istiadat, hukum, aktivitas sosial, ekonomi, politik, agama, hingga primbon dan mujarobat. Bahkan, ada juga naskah tentang takwil gempa. Naskah kan lahir pada masa transisi antara tradisi lisan dan tradisi cetak masyarakat nusantara, jadi hanya naskah media setiap orang berekspresi saat itu. Dalam konteks keagamaan (Islam), kita bisa menjumpai naskah-naskah Alquran, tafsir, hadis, fikih, tauhid, tasawuf, bahasa, dan sastra. Yang beberapa di antaranya bisa disebut sebagai ‘yang pertama’, tafsir Melayu pertama, hadis Melayu pertama, fikih Melayu pertama, dan seterusnya. Kira-kira, berapa persen jumlah naskah yang termaktub dengan aksara Arab Jawi dibandingkan yang tertulis dengan aksara lainnya? Saya tidak bisa menyebut angka pasti. Tapi, jelas sangat dominan karena tulisan Arab Jawi dan juga Arab Pegon (untuk bahasa Jawa dan Sunda), dalam banyak hal, telah menggantikan peran aksara-aksara nusantara lainnya sejak abad ke-14 dan semakin berpengaruh di seantero nusantara seiring dengan proses Islamisasi. Aksara Jawi datang bersama ideologi Islam masa itu. Tentu, bukan berarti aksara nusan- tara lain sudah tidak dipakai sama sekali, tapi perbandingannya mungkin bisa 70:30. Tapi, ini baru perkiraan saja. Kami belum bisa menghitungnya dengan pasti. Siapa yang memelopori penulisan dengan aksara Arab Jawi di nusantara? Kalau siapa dalam pengertian orang, agak sulit diketahui. Sejauh ini, berbagai kajian tentang aksara Jawi belum sampai pada ke- simpulan siapa tokoh yang memulai. Bahkan, bagaimana ceritanya sampai ada tambahan enam huruf, selain huruf Arab, pun belum terlalu jelas. Mungkin, ada pe- ngaruh Persia juga. Tapi, hampir semua sepakat bahwa perkembangan awalnya tidak dapat dilepaskan dari tumbuh- nya komunitas Muslim Melayu nu- santara. Bisa Anda ceritakan bagaimana proses peralihan penulisan teks-teks berbahasa Sanskerta ke bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Arab Jawi? Saya kira, ini ada kaitannya dengan sejarah budaya terjemahan di nusan- tara. Terjemahan yang saya maksud bukan sekadar peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain, aksara ke aksara lain, melainkan juga diiringi peralihan agama ke agama lain. Tentang hal ini, saya banyak terinspi- rasi sebuah buku baru berjudul Sadur, yaitu tentang sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia, buah suntingan Henri Chambert- Loir (2009). Ia menjelaskan bahwa gelombang pertama sejarah terjemahan adalah ketika teks-teks India berbahasa Sanskerta membuka dan memulai lembaran sejarah terjemahan di nusantara, lebih dari seribu tahun lalu (tahun 900-an). Pada masa ini, Hindu-Buddha pun menjadi agama mayoritas. Pada gelombang kedua, tradisi tulis dan terjemahan di nusantara dipengaruhi teks- teks asing Islam berbahasa Arab dan mulai saat itulah masyarakat nusantara lebih gemar menulis dengan aksara Arab, yang kemudian dimodifikasi menjadi Jawi dan Pegon untuk disesuaikan dengan bunyi vokal bahasa lokal setempat. Kegemaran ini muncul seiring per- alihan agama mayoritas, dari Hindu-Buddha ke Islam. Uniknya, ketika pada abad ke-19 aksara Jawi mulai tergantikan oleh aksara Latin akibat derasnya desakan kolonialisme dan misionaris Kristen, pola lama tidak terjadi—peralihan aksara itu—misalnya, tidak diiringi dengan peralihan agama secara masif dari Islam ke Kristen yang banyak dianut oleh masyarakat Barat. Justru, agama Islam semakin terkon- solidasi dalam melakukan perlawanan meski aksara Jawi tetap semakin terping- girkan. Seberapa luas perse- baran naskah-naskah Islam nusantara dan bagaimana pengaruh- nya terhadap penge- tahuan dan perilaku keagamaan pada waktu itu? Sangat luas, dari ujung barat sampai timur nusantara. Ini terkait dengan perse- baran Islam itu sendiri. Sebuah teks Islam tertentu bahkan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, mulai dari Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Wolio, dan lainnya. Dalam setiap proses penerjemahan itu, selalu ada unsur lokal yang ter- simpan sehingga naskah-naskah tersebut menjadi sumber lokal unik untuk merekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam di wilayah yang melahirkannya. Ini tentu menggambarkan sebera- pa jauh pengaruhnya terhadap pengetahuan dan perilaku keaga- maan saat itu. Peralihan tradisi tulis dari bahasa Sanskerta menjadi aksara Arab Jawi tentu saja menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir masyarakat, dari pola pikir yang bercirikan Hindu-Buddha menjadi Islam. Bagaimana ciri-ciri perubahan itu? Salah satu cirinya mungkin dari karya- karya yang dihasilkan. Jika sebelumnya banyak karya bercirikan doktrin dan sema- ngat teologi Hindu-Buddha, seiring peralihan tradisi tulis ke aksara Jawi itu, banyak karya, seperti hikayat dan babad, yang ‘di-Islam- kan’. Tapi, hebatnya masyarakat nusantara, peralihan pola pikir itu juga tidak terjadi secara radikal, melainkan lebih kultural. Tak heran jika karakter masyarakat Muslim Indonesia cenderung lebih akomodatif dan adaptif terhadap tradisi lokal. Tradisi penulisan dengan aksara Jawi sendiri akhirnya nyaris punah akibat lemah- nya kesadaran untuk melestarikan warisan budaya Islam Indonesia. Pendapat Anda? Saya kira, banyak faktor yang menye- babkannya. Pada masa kolonialisme, Islam kan diidentikkan dengan perlawanan, semen- tara aksara Jawi kadung dianggap sebagai bagian dari identitas tradisi dan budaya masyarakat Muslimnya. Karenanya, saat itu, kolonialisme cenderung mengurangi apa pun yang berbau Islam, termasuk pengaruh peng- gunaan aksara Jawi. Faktor lain adalah globalisasi yang menye- babkan aksara Jawi tidak lagi fungsional. Siapa sekarang ini yang mau berkirim surat dalam aksara Jawi? Bahwa perlu ada kesadaran untuk melestarikan aksara Jawi sebagai warisan budaya Indonesia, itu hal lain. Bagaimana nasib naskah-naskah nusantara sekarang ini? Nah, ini yang memprihatinkan. Sebagai orang lapangan, saya tahu persis bagaimana kondisi fisik naskah-naskah nusantara kita itu terabaikan dan bertambah rusak, bahkan pada setiap detik saat kita membicarakannya. Ini terjadi terutama dalam kasus naskah-naskah yang tersimpan di tangan masyarakat. Mengapa? Karena itu tadi, tingkat kesadaran masyarakat akan nilai pentingnya benda cagar budaya tersebut masih sangat rendah. Kondisi ini diperparah oleh infra- struktur konservasi dan restorasi yang belum maksimal, termasuk di lembaga-lembaga pemerintah, seperti perpustakaan dan museum. Tapi, saya tetap optimis bahwa ke depan akan lebih baik karena sebetulnya kita juga tidak tinggal diam. Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) melakukan dua pola pelestarian. Pertama, pelestarian fisik naskahnya melalui konservasi dan restorasi. Kedua, pelestarian teks-teksnya melalui upaya alih media digital. Ini berarti bahwa meskipun pada suatu saat fisik naskah-naskah nusantara itu secara alami akan musnah, setidaknya teks-teks yang terkandung di dalamnya akan tetap dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Strategi apa yang sebaiknya dilakukan, baik oleh pemerintah, akademisi, peneliti, maupun LSM, untuk menyelamatkan naskah-naskah nusantara? Saya kira, kita harus menyamakan persepsi dulu bahwa naskah nusantara yang sudah dijamin oleh Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 5 Tahun 1992 adalah artefak budaya yang penting dilestarikan karena menyangkut bagian dari sejarah peradaban dan kebudayaan masa lalu kita. Kalau ini sudah disadari, action-nya lebih gampang. Tidak akan terjadi lagi heboh jual beli naskah ke luar negeri. Khusus bagi pemerintah, saya kira masih perlu memfasilitasi berbagai fasilitas preser- vasi naskah nusantara. Mestinya, ada semacam Pusat Penelitian Naskah Nusantara, semacam Pusat Arkeologi Nasional yang sudah kita miliki. Memang, sudah ada Perpusnas dan Arsip Nasional, tapi kedua lembaga ini kan lebih pada menyimpan dan merawat saja, tidak berkonsentrasi pada aspek pengkajian dan penelitiannya. Saya yakin, lembaga semacam itu bisa mempercepat dan menge- jar ketertinggalan kita dalam hal upaya pelestarian naskah-naskah nusantara. Bagi kalangan akademisi, naskah nusantara seyogianya dijadikan sebagai salah satu sumber primer kajian dalam disiplin ilmu apa pun, termasuk kedok- teran misalnya, karena kandungan isi naskah nusantara sungguh sangat beragam. Jika sudah demikian, pasti masyarakat akan dapat merasakan manfaat naskah kuno tersebut. Apa pengaruh naskah-naskah nusantara itu bagi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia modern? Sejarah katanya kan tidak pernah mati. Siklus kehidupan sering kali berputar dan berulang-ulang. Nah, saya kira, kita bisa banyak belajar dari kearifan lokal masa lalu yang terkandung dalam naskah-naskah terse- but, dari apa yang pernah terjadi, mungkin menyangkut resolusi konflik, penyele- saian masalah adat, masalah sosial keagamaan, dan lain- lain. Itu memang tergantung pada kemampuan kita me- narik benang merah antara masa lalu dan masa kini. B8 REPUBLIKA AHAD, 27 DESEMBER 2009 N askah kuno (manuskrip) nusantara meru- pakan salah satu bagian dari identitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, jika kita tidak menyelamatkannya, bangsa ini akan kehilang- an salah satu identitas budayanya sendiri. Hal itu di- sampaikan oleh Dr Oman Fathurahman (ketua umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara [Manassa] dan peneliti di PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) kepada Ali Rido dari Republika. Pihak pemerintah melalui Perpusnas, menurut Oman, telah melakukan banyak upaya penyelamatan manuskrip nusantara. Cuma, lembaga ini hanya bisa fokus pada aspek penelitian teks-teksnya, tidak sampai pada upaya konservasi dan restorasi. Melihat nasib manuskrip nusantara yang demikian memprihatinkan, pihak Manassa melakukan Program Restorasi dan Digitalisasi Naskah. Misalnya, restorasi dan digitalisasi naskah-naskah Islam dari Aceh, dengan bekerja sama dengan Museum Aceh, Yayasan Ali Hasjmy, PKPM Aceh, dan Leipzig University. Hasilnya, sejak 2007 sampai akhir 2009, sudah lebih dari 1.989 naskah yang direstorasi dan 1.223 naskah yang didigitalisasi. Mengapa bangsa Indonesia mesti menyelamatkan warisan budayanya? Apa kandungan naskah-naskah nusantara itu? Dan apa pula pentingnya bagi umat Islam Indonesia untuk mengetahuinya? Berikut penje- lasan Oman Fathurahman selengkapnya. DR OMAN FATHURAHMAN Nasib Manuskrip Islam Nusantara Memprihatinkan

Nasib Manuskrip Islam Nusantara Memprihatinkan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Naskah kuno (manuskrip) nusantara merupakan salah satu bagian dari identitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, jika kita tidak menyelamatkannya, bangsa ini akan kehilangan salah satu identitas budayanya sendiri. Hal itu disampaikan oleh Dr. Oman Fathurahman (ketua umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara [Manassa] dan peneliti di PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).Pihak pemerintah melalui Perpusnas menurutnya, telah melakukan banyak upaya penyelamatanmanuskrip nusantara. Cuma, lembaga ini hanya bisafokus pada aspek penelitian teks-teksnya, tidaksampai pada upaya konservasi dan restorasi.Melihat nasib manuskrip nusantara yang demikian memprihatinkan, pihak Manassa melakukan Program Restorasi dan Digitalisasi Naskah. Misalnya, restorasi dan digitalisasi naskah-naskah Islam dari Aceh, dengan bekerja sama dengan Museum Aceh, Yayasan Ali Hasjmy, PKPM Aceh, dan Leipzig University. Hasilnya, sejak 2007 sampai akhir 2009, sudah lebihdari 1989 naskah yang direstorasi dan 1223 naskah yang didigitalisasi.Mengapa bangsa Indonesia mesti menyelamatkan warisan budayanya? Apa kandungan naskah-naskah nusantara itu? Dan apa pula pentingnya bagi umat Islam Indonesia untuk mengetahuinya? Berikut penjelasan Oman Fathurahman selengkapnya.

Citation preview

Page 1: Nasib Manuskrip Islam Nusantara Memprihatinkan

Sekarang ini, banyak pemerhati sejarahdan budaya Indonesia yang membincangkanwarisan naskah nusantara. Apa yang dimak-sud dengan naskah nusantara itu?

Yang dimaksud naskah dalam konteks iniadalah semua karya lama yang ditulis tanganatau yang kita kenal sebagai manuscript,handschriften, bukan naskah cetak.Sedangkan, nusantara bisa merujuk padawilayah yang sekarang ini disebut AsiaTenggara. Identitas kenusantaraan bisa dike-tahui melalui banyak hal: pengarang,penyalin, bahasa, atau aksara yang digu-nakan.

Menurut saya, naskah nusantara mencakuptiga kategori. Pertama, semua naskah yangditulis oleh pengarang asal nusantara, baikmenggunakan bahasa-bahasa lokal nusan-tara, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Bugis,Aceh, Batak, Bali, Wolio, ataupun bahasaasing, misalnya Arab dan Belanda.

Kedua, naskah karangan penulis asing, tapidisalin oleh penyalin lokal dan naskahnyabanyak digunakan oleh masyarakat nusan-tara. Ketiga, naskah karya penulis asingdengan bahasa asing pula, tetapi ditulisdalam konteks nusantara.

Disiplin apa saja yang termuat dalamnaskah nusantara?

Beragam sekali. Bayangkan, naskah nusan-tara adalah rekaman kehidupan sehari-harimasyarakat masa lalu. Jadi, semuanya ada,mulai dari yang ‘biasa-biasa’ saja sampaiyang dianggap akademis. Ada adat istiadat,hukum, aktivitas sosial, ekonomi, politik,agama, hingga primbon dan mujarobat.Bahkan, ada juga naskah tentang takwilgempa.

Naskah kan lahir pada masa transisi antaratradisi lisan dan tradisi cetak masyarakatnusantara, jadi hanya naskah media setiaporang berekspresi saat itu. Dalam kontekskeagamaan (Islam), kita bisa menjumpainaskah-naskah Alquran, tafsir, hadis, fikih,tauhid, tasawuf, bahasa, dan sastra. Yangbeberapa di antaranya bisa disebut sebagai‘yang pertama’, tafsir Melayu pertama, hadisMelayu pertama, fikih Melayu pertama, danseterusnya.

Kira-kira, berapa persen jumlah naskahyang termaktub dengan aksara Arab Jawidibandingkan yang tertulis dengan aksaralainnya?

Saya tidak bisa menyebut angka pasti.Tapi, jelas sangat dominan karena tulisanArab Jawi dan juga Arab Pegon (untukbahasa Jawa dan Sunda), dalam banyak hal,telah menggantikan peran aksara-aksaranusantara lainnya sejak abad ke-14 dansemakin berpengaruh di seantero nusantaraseiring dengan proses Islamisasi.

Aksara Jawi datang bersama ideologi Islammasa itu. Tentu, bukan berarti aksara nusan-tara lain sudah tidak dipakai sama sekali,tapi perbandingannya mungkin bisa 70:30.Tapi, ini baru perkiraan saja. Kami belumbisa menghitungnya dengan pasti.

Siapa yang memelopori penulisan denganaksara Arab Jawi di nusantara?

Kalau siapa dalam pengertian orang, agaksulit diketahui. Sejauh ini, berbagai kajiantentang aksara Jawi belum sampai pada ke -simpulan siapa tokoh yang memulai. Bahkan,bagaimana ceritanya sampai ada tambahanenam huruf, selain huruf Arab, punbelum terlalu jelas. Mungkin, ada pe -ngaruh Persia juga. Tapi, hampir semuasepakat bahwa perkembangan awalnyatidak dapat dilepaskan dari tumbuh-nya komunitas Muslim Melayu nu -santara.

Bisa Anda ceritakan bagaimanaproses peralihan penulisan teks-teksberbahasa Sanskerta ke bahasa-bahasayang menggunakan huruf Arab Jawi?

Saya kira, ini ada kaitannya dengansejarah budaya terjemahan di nusan-tara. Terjemahan yang saya maksudbukan sekadar peralihan dari satubahasa ke bahasa lain, aksara keaksara lain, melainkan juga diiringiperalihan agama ke agama lain.Tentang hal ini, saya banyak terinspi-

rasi sebuah buku baru berjudul Sadur, yaitutentang sejarah terjemahan di Indonesia danMalaysia, buah suntingan Henri Chambert-Loir (2009).

Ia menjelaskan bahwa gelombang pertamasejarah terjemahan adalah ketika teks-teksIndia berbahasa Sanskerta membuka danmemulai lembaran sejarah terjemahan dinusantara, lebih dari seribu tahun lalu (tahun900-an). Pada masa ini, Hindu-Buddha punmenjadi agama mayoritas.

Pada gelombang kedua, tradisi tulis danterjemahan di nusantara dipengaruhi teks-teks asing Islam berbahasa Arab dan mulaisaat itulah masyarakat nusantara lebih gemarmenulis dengan aksara Arab, yang kemudiandimodifikasi menjadi Jawi dan Pegon untukdisesuaikan dengan bunyi vokal bahasa lokalsetempat. Kegemaran ini muncul seiring per-alihan agama mayoritas, dari Hindu-Buddhake Islam.

Uniknya, ketika pada abad ke-19 aksaraJawi mulai tergantikan oleh aksaraLatin akibat derasnya desakankolonialisme dan misionarisKristen, pola lama tidakterjadi—peralihan aksaraitu—misalnya, tidak diiringidengan peralihan agamasecara masif dari Islam keKristen yang banyakdianut oleh masyarakatBarat. Justru, agamaIslam semakin terkon-solidasi dalammelakukan perlawananmeski aksara Jawitetap semakin terping-girkan.

Seberapa luas perse-baran naskah-naskahIslam nusantara danbagaimana pengaruh-nya terhadap penge-tahuan dan perilakukeagamaan pada waktuitu?

Sangat luas, dariujung barat sampaitimur nusantara. Initerkait dengan perse-baran Islam itusendiri. Sebuah teksIslam tertentu bahkanditerjemahkan ke dalamberbagai bahasa, mulaidari Arab, Melayu, Jawa,Sunda, Wolio, dan lainnya. Dalamsetiap proses penerjemahan itu,selalu ada unsur lokal yang ter-simpan sehingga naskah-naskahtersebut menjadi sumber lokalunik untuk merekonstruksisejarah sosial intelektualIslam di wilayah yangmelahirkannya. Ini tentumenggambarkan sebera-pa jauh pengaruhnyaterhadap pengetahuandan perilaku keaga-maan saat itu.

Peralihan tradisi tulis dari bahasaSanskerta menjadi aksara Arab Jawi tentusaja menyebabkan terjadinya perubahan polapikir masyarakat, dari pola pikir yangbercirikan Hindu-Buddha menjadi Islam.Bagaimana ciri-ciri perubahan itu?

Salah satu cirinya mungkin dari karya-karya yang dihasilkan. Jika sebelumnyabanyak karya bercirikan doktrin dan sema -ngat teologi Hindu-Buddha, seiring peralihantradisi tulis ke aksara Jawi itu, banyak karya,seperti hikayat dan babad, yang ‘di-Islam-kan’. Tapi, hebatnya masyarakat nusantara,peralihan pola pikir itu juga tidak terjadisecara radikal, melainkan lebih kultural. Takheran jika karakter masyarakat MuslimIndonesia cenderung lebih akomodatif danadaptif terhadap tradisi lokal.

Tradisi penulisan dengan aksara Jawisendiri akhirnya nyaris punah akibat lemah-nya kesadaran untuk melestarikan warisanbudaya Islam Indonesia. Pendapat Anda?

Saya kira, banyak faktor yang menye-babkannya. Pada masa kolonialisme, Islamkan diidentikkan dengan perlawanan, semen-tara aksara Jawi kadung dianggap sebagaibagian dari identitas tradisi dan budayamasyarakat Muslimnya. Karenanya, saat itu,kolonialisme cenderung mengurangi apa punyang berbau Islam, termasuk pengaruh peng-gunaan aksara Jawi.

Faktor lain adalah globalisasi yang menye-babkan aksara Jawi tidak lagi fungsional.Siapa sekarang ini yang mau berkirim suratdalam aksara Jawi? Bahwa perlu adakesadaran untuk melestarikan aksara Jawisebagai warisan budaya Indonesia, itu hallain.

Bagaimana nasib naskah-naskah nusantarasekarang ini?

Nah, ini yang memprihatinkan. Sebagaiorang lapangan,

saya tahupersis

bagaimana kondisi fisik naskah-naskahnusantara kita itu terabaikan dan bertambahrusak, bahkan pada setiap detik saat kitamembicarakannya. Ini terjadi terutamadalam kasus naskah-naskah yang tersimpandi tangan masyarakat.

Mengapa? Karena itu tadi, tingkatkesadaran masyarakat akan nilai pentingnyabenda cagar budaya tersebut masih sangatrendah. Kondisi ini diperparah oleh infra-struktur konservasi dan restorasi yang belummaksimal, termasuk di lembaga-lembagapemerintah, seperti perpustakaan danmuseum.

Tapi, saya tetap optimis bahwa ke depanakan lebih baik karena sebetulnya kita jugatidak tinggal diam. Masyarakat PernaskahanNusantara (Manassa) melakukan dua polapelestarian. Pertama, pelestarian fisiknaskahnya melalui konservasi dan restorasi.Kedua, pelestarian teks-teksnya melaluiupaya alih media digital.

Ini berarti bahwa meskipun pada suatu saatfisik naskah-naskah nusantara itu secaraalami akan musnah, setidaknya teks-teksyang terkandung di dalamnya akan tetapdapat diwariskan dari generasi ke generasi.

Strategi apa yang sebaiknya dilakukan,baik oleh pemerintah, akademisi, peneliti,maupun LSM, untuk menyelamatkannaskah-naskah nusantara?

Saya kira, kita harus menyamakan persepsidulu bahwa naskah nusantara yang sudahdijamin oleh Undang-Undang Cagar BudayaNomor 5 Tahun 1992 adalah artefak budayayang penting dilestarikan karenamenyangkut bagian dari sejarah peradabandan kebudayaan masa lalu kita. Kalau inisudah disadari, action-nya lebih gampang.Tidak akan terjadi lagi heboh jual beli naskahke luar negeri.

Khusus bagi pemerintah, saya kira masihperlu memfasilitasi berbagai fasilitas preser-vasi naskah nusantara. Mestinya, adasemacam Pusat Penelitian NaskahNusantara, semacam Pusat ArkeologiNasional yang sudah kita miliki.

Memang, sudah ada Perpusnas dan ArsipNasional, tapi kedua lembaga ini kan lebihpada menyimpan dan merawat saja, tidakberkonsentrasi pada aspek pengkajian danpenelitiannya. Saya yakin, lembaga

semacam itu bisa mempercepat dan menge-jar ketertinggalan kita dalam hal upayapelestarian naskah-naskah nusantara.

Bagi kalangan akademisi, naskahnusantara seyogianya dijadikan sebagaisalah satu sumber primer kajian dalamdisiplin ilmu apa pun, termasuk kedok-teran misalnya, karena kandungan isinaskah nusantara sungguh sangatberagam. Jika sudah demikian, pastimasyarakat akan dapat merasakan

manfaat naskah kuno tersebut.

Apa pengaruh naskah-naskahnusantara itu bagi kehidupansosial dan keagamaan masyarakatIndonesia modern?

Sejarah katanya kan tidak per nahmati. Siklus kehidupan sering kali

berputar dan berulang-ulang. Nah,saya kira, kita bisa banyak belajar

dari kearifan lokal masa lalu yangterkandung dalam naskah-naskah terse-

but, dari apa yang pernah terjadi, mungkinmenyangkut resolusi konflik, penyele-

saian masalah adat, ma sa lahsosial keagamaan, dan lain-

lain. Itu memang tergan tungpa da kemampuan kita me -narik benang me rah

antara masa lalu danma sa kini. ■

B8REPUBLIKA ● AHAD, 27 DESEMBER 2009

Naskah kuno (manuskrip) nusantara meru-pakan salah satu bagian dari identitas bangsaIndonesia. Oleh karena itu, jika kita tidakmenyelamatkannya, bangsa ini akan kehilang -

an salah satu identitas budayanya sendiri. Hal itu di -sam paikan oleh Dr Oman Fathurahman (ketua umumMasyarakat Pernaskahan Nusantara [Manassa] danpeneliti di PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)kepada Ali Rido dari Republika.

Pihak pemerintah melalui Perpusnas, menurutOman, telah melakukan banyak upaya penyelamatanmanuskrip nusantara. Cuma, lembaga ini hanya bisafokus pada aspek penelitian teks-teksnya, tidaksampai pada upaya konservasi dan restorasi.

Melihat nasib manuskrip nusantara yang demikianmemprihatinkan, pihak Manassa melakukan ProgramRestorasi dan Digitalisasi Naskah. Misalnya, restorasidan digitalisasi naskah-naskah Islam dari Aceh,dengan bekerja sama dengan Museum Aceh, YayasanAli Hasjmy, PKPM Aceh, dan Leipzig University.Hasilnya, sejak 2007 sampai akhir 2009, sudah lebihdari 1.989 naskah yang direstorasi dan 1.223 naskahyang didigitalisasi.

Mengapa bangsa Indonesia mesti menyelamatkanwarisan budayanya? Apa kandungan naskah-naskahnusantara itu? Dan apa pula pentingnya bagi umatIslam Indonesia untuk mengetahuinya? Berikut penje-lasan Oman Fathurahman selengkapnya.

D R O M A N FAT H U R A H M A N

Nasib Manuskrip Islam NusantaraMemprihatinkan