56

Naskah_Akademis_Peraturan_Perundang_-Undangan_Tentang_Keagenan_-_1996 (1)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Naskah_Akademis_Peraturan_Perundang_-Undangan_Tentang_Keagenan_-_1996

Citation preview

NASKAH AKADEMIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TENTANG KEAGENAN

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN RI

LAPORAN NASKAH AKADEMIS

PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN

TENTANG

KEAGENAN

DISUSUN OLEH

TIM NASKAH AKADEMIS

DffiAWAH PIMPINAN

FELIX 0. SOEBAGJO, SH., LL.M.

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

DEPARTEMEN KEHAKIMAN RI

TAHUN 1995/1996

KATA PENGANTAR

Naskah akademis merupakan suatu rancangan karya i1miah yang memuat gagasan-gagasan tentang masalah-masalah/materi hokum tertentu yang akan dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan dilengkapi dengan kerangka referensi yang memuat konsep, landasan dan prinsiPiJrinsip yang digunakan suatu pemikiran.tentang norma-normanya guna memudahkan penggarapan selanjutnya menjadi RUU dan RPP.

Masalah-masalah keagenan sangat erat hubungannya dengan bidang pemasaran dan distribusi yang pengaturannya dilakukan oleh Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan yang sekarang ini telah berubah menjadi satu departemen yaitu Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Di antara peraturan yang dibuat oleh 2 (dua) departemen yang lama dengan yang baru sering tidak sejalan.

Untuk mengatasi hal tersebut maka dibuatkan Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Keagenan untuk menyumbangkan masukan­masukan berisi pemikiran teoritis terhadap pengaturan hubungan hukum di bidang keagenan sehingga tercipta suatu keseimbangan kepentingan.

Penerbitan naskah akademis ini dimaksudkan untuk mengumpulkan masukan-masukan yang dipakai menjadi bahan acuanlbahan dasar untuk memudahkan penyusunan rancangan undang-undangan tentang keagenan.

Dalam kesempatan ini disampaikant terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Sdr. Felix 0. Soebagjo, S.H., LL.M. sebagai ketua tim dan anggota lainnya yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk menyusun naskah akademis peraturan perundang-undangan ini, semoga penerbitan ini akan berguna bagi kalangan hukum dan masyarakat yang memerlukannya.

Jakarta, Desember 1997

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

H.A.S. Natabaya, S.H., LL. M.

iii

DAFfARISI

Halaman

KATA PENGANTAR . .. . . . . .. .. . . .. . .. ... . . . . ...... .. .. ... ... . .. . . . . .. . . . . .. . .. iii DAFTAR lSI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v KATA PENGANTAR . ... . .... .. ..... .. . . . .. . .. . ... .. .. . . .. . . ... ... . .. . . .. . . ... . vii

BAD I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang dan Permasalahan ........................ 2. Maksud dan Tujuan ............................................. 3. Ruang Lingkup .................................................... 4. Metode Pendekatan .........................

BAD n PENGERTIAN AGEN DAN DISTRIBUTOR

BAD m HUBUNGAN HUKUM KEAGENAN 1. Hubungan Hukum Produsen/Prinsipal dengan

Agen .................................................................... 2. Hubungan Hukum Agen dengan Konsumen I

Pihak Ketiga .......................................................

BAD IV PERJANJIAN KEAGENAN 1. Batasan/Pengertian/Definisi mengenai istilah

tertentu ................................................................ 2. Bentuk Perjanjian ................................................ 3. Jangka Waktu Perjanjian ...................................... 4. Wtlayah Usaha!PelD8Sal'all ................................... 5. Hak dan Kewajiban Para Pihak ............................ 6. :Harga Barang Produksi ........................................ 7. Pengiritnan Barang .............................................. 8. Pemutusan Perjanjian ........................................... 9. Ganti Rugi/Sanksi ................................................ 10. Penyelesaian Sengketa .......................................... 11. Hukum yang Berlaku/Pilihan Hukum ...................

BAD v PERUNDANGAN-UNDANGANIPERATURAN MENGENAI KEAGENAN/DISTRIBUSI

LAMPIRAN: NASKAH AKADEMIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEAGENAN

l 5 6 6

7

14

14

17

19

19 20 21 23 24 27 27 28 28 29 30

31

36

v

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Laporan Naskah Akademis Peratimm Perundang-undangan tentang Keagenan ini dapat diselesaikan.

Naskah Akademis ini memuat pemikiran-pemikiran yang menggambarkan yang menggambarkan secara umum tentang pengaturan hubungan hukum para pihak yakni prinsipal, agen dan konsumen dalam menjalankan usaha di bidang keagenan, dimaksudkan sebagai bahan dasar dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang.

Kepada semua anggota tim di bawah ini yang bekerjasama dengan baik telah memberikan masukan dalam penyusunan Naskah Akademis Peraturan Perundang­undangan tentang Keagenan ini, kami ucapkan terima kasih.

Susunan tim berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : G-5.PR.09.03 Tahun 1995 adalah sebagai berikut:

Ketua Felix 0. Soebagjo, S.H., LL.M.

Sekretaris Robinson Siburian, S.H.

Anggota 1. Ani Waworuntu, S.H., CN. 2. Ny. Hafni Syahroeddin, S.H., M.H. 3. Ny. Kuswantyo Tami Haryono, S.H. 4. DR. Sri Redjeki Hartono, S.H. 5. Henry Gunanto, S.H. 6. Martini Manan, S.H.

Asisten 1. Wawan Setiawan 2. Susilo Budi

Pengetik Said Mukadam

Namun demikian tim menyadari bahwa Naskah Akademis ini tidak luput dari kekurangan dan kesempurnaannya, karena keterbatasan waktu dan tenaga, sehingga demi kesempumaan laporan ini, tanggapan dan kritikan sebagai masnkan sangat kami harapkan.

vii

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kebakiman, yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyusun Naskah Akademis ini. Harapan kami semoga naskah ini dapat memberikan dan memenuhi harapan Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam rangka pembinaan Hukum Nasional, khususnya di bidang

keagenan.

viii

J~ ~t 1996

TIM PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG

KEAGENAN Ketua,

Felix 0. Soebagjo, S.H., LLM.

BABI PENDAHULUAN

1. Latar Belakang dan Permasalahan

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir ini ditandai dengan bertambah luasnya bidang-bidang usaha yang terbuka dan dapat dilakukan oleh berbagai perusahaan yang sudah ada maupun yang baru didirikan. Bidang usaha baru yang memberikan peluang besar untuk berusaha dan relatif baru adalah bidang usaha bagi perusahaan yang menempatkan diri sebagai mediator/perantara antara produsen disatu pihak dengan konsumen pada pihak yang lain.

Peran perusahaan yang berfungsi sebagai mediator/perantara tersebut pada dasarnya mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting bagi keduanya, karena perusahaan tersebut merupakan pula rangkaian mata rantai penghubung produsen kepada konsumen, berdasarkan suatu sistem distribusi tertentu.

Salah satu bidang kegiatan ekonomi yang membutuhkan perangkat peraturan yang memadai ialah bidang pemasaran dan distribusi. Bidang pemasaran dan distribusi inilah yang erat hubungannya dengan masalah­masalahkeagenan dan distributor. Indonesia sebagai negara berkembang yang mempunyai sasaran pembangunan menuju ke arah negara industri dengan potensi pasar yang tidak kecil, eli dalam praktek menunjukkan gejala adanya berbagai pola hubungan kerja antara produsen dengan konsumen dengan mediatornya, sesuai dengan berbagai faktor dan aspek yang mempengaruhinya.

Bertolak dari pola hubungan yang sudah ada maka sangat berpengaruh terhadap pola hubungan hukum 'para pihak. Mengingat beragamnya jenis komoditi yang dapat dipasarkan, untuk luasnya pangsa pasar yang dapat dicapai, maka eli dalam masyarakat cenderung terdapat upaya hubungan hukum yang dapat terjalin antara prinsipal dengan agen. Hubungan-hubungan hukum eli antara para pihak eli dalam masyarakat pada awalnya selain dapat ditampung oleh Hukum Perikatan dan Hukum Dagang yang merupakan sumber hukum utama. Tetapi hal tersebut sekarang ini, hampir kurang/tidak dapat memenuhikebutuhan hukum pelaku ekonomi pada umumnya, termasuk kegiatan eli bidang keagenan dan sistem pemasaran.

1

Pada saat ini, kita sedang memasuki era globalisasi ekonomi pasca GA1T dibawah naungan baru wro, AFTA dan APEC, yang semuanya bertujuan free trade.

Globalisasi ekonomi tersebut memberi landasan baru bagi perdagangan internasional. Perdagangan internasional tersebut ialah kegiatan saling memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi suatu negara, dimana ada jenis­jenis barang dan jasa yang diperlukan, yang kurang tersedia, oleh negara lain, dimana barang jenis-jenis jasa tersebut lebih tersedia, tanpa harnbatan.

Kegiatan global tersebut dilakukan dengan pelbagai wahana. Wahana perdagangan internasional yang bersifat paling langsung (dan usang) ialah dimana produsen luar negeri mengirim agen-agen pemasaran dan penjualan (handel-sagenten) sebagai wakilnya ke, atau menjuallepas barangnya kepada seorang atau lebih distributor yang independen di negara sasaran, dengan macam-macam syarat yang dapat begitu luasnya, sehingga distributor nyatanya tidak independen lagi, melainkan berhakekat sebagai agen. Infra. Produsen pun dapat mendirikan pabrik lol¥U berbentuk PMA, baik PMA langsung, ataupun sebuah patungan dengan mitra lokal. Ataupun digunakan wahana kombinasi. Pemilihan wahana merupakan pemilihan ekonomi ( eco­nomic choice).

Masalah keagenan dan distributor ini menjadi muncul dan berkembang karena adanya ketentuan pasal 6a dari Undang-undang tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 sebagaimana diubah dan ditambah (UUPMDN), yang menetapkan batas waktu berusaha bagi perusahaan asing baik baru maupun lama di bidang perdagangan akan berakhir pada tanggal 31 Desember 1977.

Sebagai tindak lanjut pelaksanaan dari pasal 6a UUPMDN tersebut, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tanggal29 Desember 1977 tentang Kegiatan Usaha Asing Dalam Bidang Perdagangan (PP 36/1977).

Sejak dikeluarkannya PP 36/1977 1 keluarlah kemudian beberapa peraturan-peraturan dan surat-surat keputusan yang mengatur mengenai masalah keagenan dan distributor.

l. PP 36/1977 ini kemudian diubah dengan PP 19/1988 tanggal 21 Nopember 1988, yang intinya mengatakan perusahaan-peruasingdi bidang~i da1am nngka UUPMAdapatmelakukan penjualan basil produksinya sendiri sampai pada tingkat penyalur dengan mendirikan perusahaan patungan antaca perusahaan asing tcrscbut dengan perusahaan nasi~ scbagai penyalur/agen.

2

Peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya tidak mengatur hubungan perdata antara prinsipal dan agen atau distributor, kecua1i beberapa ketentuan dari Keputusan Menteri Perindustrian menyebutkan beberapa hal yang melindungi agen terhadap prinsipal (khususnya terhadap prinsipal asing). Sedangkan keputusan-keputusan beberapa departemen yang lain pada dasamya bertujuan untuk memberikan pengarahan dalam tentang pendaftaran agen dan distributor.

Dari pengamatan kami ada dua departemen teknis yang sangat domi­nan didalam melakukan pengaturan atas masalah yang berkaitan dengankeagenan dan distributor yaitu Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian . .

Dalam pelaksanaannya, Departemen Perdagangan misalnya menge­luarkan surat-surat keputusan (SK) antara lain: SK Menteri Perdagangan No. 77 IKPnii/78 tentang Kegiatan Perdagangan Terbatas Bagi Perusahaan Produksi Dalam Rangka Penanaman Modal, sebagaimana diubah dengan SK Menteri Perdagangan No. 376/KP/XI/88. Perubahan dilakukan terhadap ketentuanpasall2_danpasal14 SKMenteri Perdagangan No. 77/KPffil/78, menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 12

Perusahaan asing di bidang produksi yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing dapat melakukan penjualan basil produksinya di dalam negeri sampai pada tingkat pengecer, dengan mendirikan perusahaan pengecer, dengan mendirikan perusahaan patUngan antara perusahaan asing di bidang produksi tersebut dengan perusahaan nasional sebagai penyalur/ agen.

Keputusan Departemen Perdagangan ini menyebutkan sampai tingkat pengecer, agak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1988 yang menyebutkan hingga tingkat penyalur.

Pasall4

Perusabaan asing di bidang produksi dalam rangka Penanaman Modal Asing dapat melakukan penjualan basil produksinya sendiri kepada perusahaan lain yang menggunakan basil produksi tersebut sebagai barang modal, suku cadang. bahan/peralatan bangunan, bahan bakulbahan penolong bagi proses produksinya

3

4

Berdasarkan SK Menteri Perdagangan No. 376/KP/XI/1988 tersebut di atas, perusahaan asing dalam rangka Penanaman Modal Asing dapat menjual basil produksinya kepada pengecer dengan mendirikan usaha patungan dengan perusahaan nasional sebagai agen dan dapat menjual basil produksinya sendiri kepada perusahaan lain yang menggunakan produk tersebut sebagai barang modal, suku cadang dan bahan peno1ong bagi proses produksinya.

Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1988, dijelas­kan bahwa pemasaran basil produksinya yang dilakukan oleh perusahaan patungan sebagai agen/penyalur, mencakup pemasaran hingga tingkat dealer, sedangkan pemasaran tingkat pengecer hanya dilakukan oleh perusahaan nasional di bidang perdagangan. Masalah menjadi tambah ramai karena adanya penjelasan dari PP yang menegaskan bahwa prinsip pembatasan perdagangan sebagaimana dimaksud pasal 6 UUPMDN tetap berlaku.

Sedangkan pasal 6 UUPMDN mengatur bahwa waktu berusaha bagi perusahaan asing dalam bidang perdagangan berakhir tanggal 31 Desember 1977.

Departemen Perindustrian sendiri didalam pelaksanaannya kemudian mengeluarkanjuga beberapa SK, diantaranya:

*

*

SK Menteri Perindustrian No. 295/M/SK/7/1982 tentang Ketentuan­ketentuan Keagenan Tunggal (SK295).

SK Menteri Perindustrian No. 428/M/SK/12/1987 tentang Penyeder­hanaan Ketentuan Pengakuan dan Pengurangan Keagenan Tunggal Kendaraan Bermotor dan Alat-alat Besar, dan Keagenan Tunggal untuk Alat-alat E1ektronika dan Alat-alat listrik untuk Rumah Tangga (SK 428).

Perlu diketahui bahwa dengan dikeluarkannya SK 428 tersebut, SK ini mencabut dan rnenyatakan tidak berlaku 3 (tiga) SK Menteri Perindustrian sebelurnnya, yaitu rnasing-masing :

*

SK Menteri Perindustrian No. 346/M/SK/7/1982 tanggal29 Juli 1982 tentang Keagenan Tunggal Alat-alat Elektronika dan Alat-alat Listrik untuk Rumah Tangga.

SK Menteri Perindustrian Np. 347/M/SK/7/1982 tanggal29 Juli 1982 tentang Keagenan Tunggal Kendaraan Bermotor dan Alat-alat Berat.

• SK Menteri Perindustrian No. 92/M/SK/3/1982 tanggal9 Maret 1983 tentang Daftar Alat-alat Elektronika dan Alat-alat Listrik untuk Rumah Tangga, Kendaraan Bermotor dan Alat-alat Berat serta Prosedur Permohonan dan Pengakuan Keagenan Tunggal.

Menjadi pertanyaan mendasar yang barns terlebih dahulu dijawab adalah bagaimana nasib peraturan-peraturan dibidang keagenan yang telah dikeluarkan oleh kedua (ex) departemen teknis utama, dengan telah disatukannya (ex) Departemen Perindustrian dan (ex) Departemen Perdagangan menjadi 1 (satu) departemen baru, yang disebut Departemen Perindustrian dan Perdagangan, mengingat, bahwa diantara peraturan­peraturan di bidang keagenan dan distributor yang telah diterbitkan oleh (ex) Departemen Perdagangan dan (ex) Departemen Perindustrian tersebut seringkali kurang sejalan dengan antara yang satu dengan yang lain? Bila terdapat perbedaan atau ketidakselarasan diantara keduanya, yang manakah yang akan diterapkan, atau sebaliknya yang manakah yang akan dikesamping­kan, atau adakah cara lain dalam pelaksanaannya?

Tergabungnya kedua departemen teknis tersebut yakni (ex) Departe­men Perdagangan dan (ex) Departemen Perindustrian yang pada kenyataannya sangat dominan dan berpengaruh besar dalam hal masalah keagenan dan distributor, memang lebih memicu untuk menghadirkan adanya peraturan perundang-undangan yang bam dan terpadu di bidang keagenan dan dis­tributor. Namun sebenarnya, rnasalah keagenan dan distribusi bukanlah monopoli dari dan bukan juga merupakan masalah yang dihadapi oleh (ex) Departemen Perdagangan dan (ex) Departemeil Perindustrian saja, tetapi juga oleh pihak-pihak lain.

Dalam hubungan dengan hal tersebut itulah, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman Republik Indonesia (BPHN) merasa perlu untuk membentuk Tim Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Keagenan dengan melibatkan para akademisi dan praktisi yang banyak berkecimpung di bidang keagenan, termasuk di dalamnya stafBPHN sendiri.

l. Maksud dan Tujuan

• Maksud penyusunan Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Keagenan ini adalah untuk menyumbangkan rnasukan berisi pemikiran teoritis terhadap pengaturan hubungan-hmungan hukum para

5

*

pihak yang terkait dalam kegiatan usaha di bidang keagenan sebingga tercipta suatu keseimbangan kepentingan.

Tujuan Naskah Akademis tersebut adalah sebagai bahan acuan atau konsep pemikiran dasar daJam penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Keagenan. Selain itu Naskah Akademis ini dapat dipergunakan oleh semua pihak yang berminat terhadap peraturan keagenan.

3. Ruang Lingkup

I. Pengertian 2. Bentuk Perjanjian 3. Hubungan hukum antara produsenlprinsipal dengan agen, dan terhadap

pihak ketiga 4. Hak dan Kewajiban Produsen dan Agen 5. Wilayah Pemasaran 6. Jangka waktu perjanjianlputusnya perjanjian 7. Pengalihan Kedudukan 8. Jaminan-jaminan 9. Hukum yang berlaku IO. Penentuan Forum Penyeiesaian Sengketa II. Kedudukan Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang

Keagenan.

4. Metode Pendekatan

6

* * * *

Studi Kepustakaan Menyusun Makalah Diskusi

Penyusunl Naskah

BABII PENGERTIAN AGEN DAN DISTRIBUTOR

(a) Sebelum rnernbahas secara rinci rnengenai pengertian agen dan distributor, ada baiknya kita pahami bahwa rnasalah agen dan distributor setidak-tidaknya akan berkaitan baik dengan (I) hukum keagenan yang berhubungan dengan rnasalah-rnasalah perdata. dalarn hal ini hukum perjanjian keagenan, dan (ii) hukum keagenan yang berhubungan dengan rnasalah-rnasalah publik. dalarn hal ini hukum tata usaha negara (TUN) keagenan.

Mengapa kedua rezirn hukum tersebut perlu dipisahkan, antara lain ialah karena (I) pernbaharuan hukurn perjanjian keagenan rnenyangkut pernbaharuan KUHPerdata/KUHD, yang termasuk kornpetensi Departernen Kehakirnan sebagai departernen teknis kodiftkasi, c.q. BPHN, sedangkan hukum TUN keagenan termasuk kornpetensi departernen-departernen teknis lain, seperti Departernen Perindustrian dan Perdagangan, Departernen Kesehatan, dan lain-lain, (ii) penafsiran hukum TUN terrnasuk wewenang absolut Pengadilan-pengadilan TUN, sedangkan pelaksanaan dan penafsiran hukum perjanjian termasuk wewenang absolut Pengadilan-pengadilan Negeri antara kedua jajaran pengadilan tersebut tidak terdapat jernbatan untuk penggabungan perkara. 2

Hukum perjanjian kita rnengandung dua ciri khas yang, tanpa kita sadari, sangat rnernbedakannya· dari law of contract lnggris dan Am erika (common law), yaitu bahwa : (I) hukum perjanjian kita dipayungi suatu hukum perikatan sebagai lex generalis. Dalarn hukum Inggris tidak ada lex generalis dernikian. Asas-asas hukum yang terkandung dalarn hukum perikatan kita, dalarn hukum Inggris dan Amerika tersisipkan secara kasustis kedalarn, dan rnenjadi satu bagian dari, hukurn perjanjiannya sendiri; (ii) rnenurut hukurn kita, sernua perjanjian hams dilaksanakan dengan itikad baik yang mana dalarn doktrin dan yurisprudensi tentang BW Belanda lama (BW) dan BW Belanda Baru (NBW) diartikan sebagai perjanjian yang telah ditutup dengan sah hams dilaksanakan dengan rnengindahkan norma-norma kewajaran dan kepatutan (ondelijkheid en billijkheid). Dengan kata lain, dalarn hukurn kita, sernua perjanjian dilengkapi/diperluas dengan, atau justru diberi kendala kewajaran dan kepatutan. Artinya, bahwa : (a) sernua perjanjian rnewajibkan para

2. Keterkaitan antara perkara yang menyangkut peljanjian keagenan dan perkara yang menyangkut wewenang pejabat TIJN, tak akan mudah ditemukan.

7

8

pihaknya untuk disamping memberi prestasi yang telah secara expressis verbis disebut dalam perjanjian. namun wajar dan patut dan (b) suatu pihak dalam perjanjian tidak dibenarkan untuk insist atas presentasi pihak lawannya jika suatu insistensi demikian akan bertentangan dengan norma-norma kewajaran dan kepatutan. Hokum perjanjian Inggris/ Amerika berpijak pada asas lama buyers, beware, artinya bahwa sipembeli harus waspada sendiri mengenai wujud, kuantitas dan kwalitas barang yang dibeli, atau, dalam versi ekstensid adagium tersebut, bahwa pihak yang mengetahui keadaan daripada obyek perjanjian yang bersangkutan, tidak mempunyai kewajiban untuk memberitahukannya kepada pihak lainnya, kecuali dalam perjanjian­perjanjian lainnya, dinamakan contracts of the utmost good faith, seperti misalnya, perjanjian asuransi. Asas pelaksanaan semua perjanjian dengan good faith dalam hukum kita, cukup terkenal dan dikagumi oleh kalangan­kalangan hokum Inggris/ Amerika, tetapi oleh pelaku-pelaku hokum dinegara kita, seringkali justru tidak cukup disadari.

Perjanjian keagenan, distributorship, licen~ing/franchising merupakan wahana-wahana perdagangan internasional yang amat populer di negara kita dewasa ini. Berkas semua konsultan hukum pasar modal yang telah mengadakan legal audit perusahaan-perusahaan dagang terkenal di negara kita, dapat menjadi bukti nyatanya. Namun lex specialis yang mengatur perjanjian khusus tersebut, dewasa ini belum berketentuan. Pendapat yang ada bervariasi antara penggunaan sementara lex specialis perjanjianjual beli, komisioner, dan/atau pemberian kuasa secara analogi. Tetapi karena persyaratan standar khusus perjanjian-perjanjian keagenan ( dalam arti kata luas) adalah cukup luas, maka alternatif-alternatif sementara tersebut tidak memberi kepuasan yang dapat menghentikan hasrat penelitian lebih lanjut. Untuk selanjutnya, dengan keagenan di maksud dalam arti kata luas, kecuali dimana dinyatakan atau temyata lain dari konteks.

Dalam pada itu, jika membuat suatu lex specialis barn, maka hendaknya dianut asas legalisasi yang sesuai dengan jiwa manusia Indonesia, yaitu bahwa semua kaidah kehidupan manusia, yang telah dianggap demikian pentingnya bagi ketertiban sosial, dijadikan kaidah hukum, berhakekat memaksa, kecuali dimana dinyatakan lain, ketimbang sebaliknya, seperti sebelumnya. Sehubungan dengan itu, kaidah-kaidah yang dibuat, tidak hams rinci, melainkan tetap memberi peluang bagi penerapan asas kebebasan berkontrak.

Lebih lanjut harus diluruskan salah kaprah yang ada tentang pengertian hukum perjanjian keagenan. Yang dimakslld disini bnkanlab law of agency Inggris. Law of agency tersebut adalah ekivalen dari bukum tentang

vertegenwoordiging eli Belanda. Untuk diketahui, law of agency Inggris membedakan antara agent, servent dan independent contractor. Agent dan servent dipengaruhi prinsipal. Servant diberi kuasa, juga agent, tetapi tidak semua agent adalah servant (employee). Independent contractor diberi order, tetapi bebas dalam modus dan gaya pelaksana order. ~genwoordiging Belanda ialah hubungan antara wakil (vertegenwoordiger) dan prinsipal, yang sedemikian rupa, sehingga tindakan-tindakan sah sang wakil, mengikat prinsipal (toerekening) Vertegenwoordiging tak lain tak bukan adalah toerekening tindakan-tindakan seorang kepada orang lain. Hukum Belanda membedakan antara perwakilan langsung dan tak langsung (middelijke vertegenwoordiging). Perwakilan tersebut terakhir ialah dimana sang wakil bertindak atas nama, karenanya, mengikat diri sendiri, bukan prinsipalnya, rulm.un demi kepentingan dan risiko prinsipal. Contoh yang diberikan ialah komisioner. Perwakilan langsung, beraneka. Yang paling terkenal ialah (i) perwakilan perseroan terbatas sebagai badan hukum oleh direksinya, (ii) perwakilan berdasar pemberian kuasa (volmacht), dan (iii) perwakilan dalarn bentuk bewind. Yang tersebut terakhir ialah dimana kekuasaan atas sebuah benda ditarik dari tangan pemiliknya dan dilimpahkan kepada seorang lain yang ditunjuk (bewindvoerder) dan yang tugas pengelolaannya ditetapkan oleh, atau berdasar undang-undang. Misalnya, bewind atas budee pailit oleh BHP sebagai kurator. Bewind dapat diumpamakan legal ownership sebagai cerminan equitable ownership dalam hukum Inggris. Sebagaimana halnya dengan bewindvoerder, legal owner menguasai benda yang bersangkutan, tetapi demi kepentingan orang lain. Orang tersebut ialah equitable owner.

Agen, distributor. license, franchise, bukan agent Inggris ataupun vertegenwoordiger Belanda. Keagenan merupakan suatu perikatan khusus dalarn bidang perdagangan. Untuk menganggap keagenan sebagai sekadar spesies dari perwakilan berdasarkan volmach misalnya, dan distributorsiship sebagai species dari jual beli akan terlampau simplistis. Lagi pula, dalam praktek, keagenan dan distributorship tidak selalu dibedakan dalam praktek, perjanjian-perjanjian licencing/franchising sering bercampur dengan keagenanldistributorship dan sebaliknya. Para pihak tidak selalu memilih salah satu diantaranya. Misalnya, perjanjian keagenan BMW anno 1984. Perjanjiannya mewajibkan pabrik BMW untuk memasok dan suatu PT Indo­nesia untuk mempromosikan, membeli suatu stock, memasarkan, mengedarkan dan memberi pelayanan puma jual terhadap ranmor-ranmor BMW di wilayah Republik Indonesia. Perjanjian tersebut jelas bukan perjanjian jual beli biasa, tetapi perjanjian jual beli yang diberi persyaratan­persyaratan tambahan yang setba mencakup dan bersifat menentukan sifat perjanjian keagenan yang bersangkutan. Yang dalam praktek lebih

9

lO

dipentingkan daripada esensialia sebagai perjanjian pemberian volmach atau perjanjian jual beli menurut KUHPer, justru ialah persyaratan-persyaratan ekstia yang tidak tergolong esensialia tersebut. Lagi pula, persyaratan­persyaratan eksira tersebut mengandung pokok-pokok yang sama bagi perjanjian bagi perjanjian keagenan, distributorship, licensing dan franchis­ing. Yang lebih menjadi esensialia perjanjian-perjanjian keagenan ialah persyaratan-persyaratan yang sementara dianggap persyaratan-persyaratan ekstra tersebut. Dalam kenyataan, perjanjian BMW tersebut diatas, dinamakanl diberi judul sebagai perjanjian impor. Lain halnya dengan perjanjian mengenai ranmor Renault. Perjanjian yang bersangkutan, mengandung persyaratan­persyaratan ekstra yang berpokok sama dengan perjanjian BMW, tetapi perjanjian Renault disebut/diberi judul perjanjian ekspor. So, what is in a name? Perjanjian-perjanjian keagenan merupakan perjanjian sui generis, Ius constitu-endum tidak perlu memisahkan perjanjian keagenan dari perjanjian distributorship dengan melekatkan masing-masing pada lex specialis yang ada. yang berbeda, atau lain. SK-SK, Menteri Perindustrian/Perdagangan yang ada (yang berhakekat pokok sebagai hukum publik, namun mengandung banyak ingress kedalam hukum perdata) nampaknya hanya mengatur keagenan (sebagai suatu species volmach) dan tidak mengatur keagenan (sebagai suatu species jual beli). Jika keagenan dan distributorship tidak dipisah-pisahkan secara teoritis ala KUHPerdata lama sebagai dimaksud, maka kekurangan SK-SK tersebut dapat ditafsirkan secara lebih J)ositif bahwa pembuat SK -SK tersebut telah secara sadar atau tidak, menggunakan istilah keagenan dalam arti huts dan sui generalis seperti khalayak ramai. Hukum baru kita hams mengacu pengertian khalayak ramai ketimbang menciptakan pengertian doktriner, yang asing bagi jiwa khalayak.

Lex specialis perjanjian keagenan

Dalam bahasa yang populer~ agen mencakup agen non-eksklusi( agen ~ggal dan distributor. Bahkanjuga licensee dan franchisee. Agar hukum Indonesia cukup menarik bagi mitra-mitra dagang·internasional kita, lex specialis barn

· untuk perjanjian-perjanjian tersebut hams dirancang dengan mengacu pada persyaratan-persyaratan baku yang digUnakan dalam praktek perdagangan internasional.

Dalam pada itu perlu serumtiasa diingat, bahwa kita hanya mencari ketentuan­ketentuan baku yang patut dibantu untuk melangkah ambang hukum dan menjadi huklltn memak5a. · · ·

Bagaimanapunjuga, lex specialis tidak boleh merupakan jiplakan persyaratan standar, karena persyaratan demikian biasanya mencakup juga ketentuan­ketentuan 'boiler plate' dan ketentuan-ketentuan lain yang juga tidak mencakup esensial.

Dari sekian banyaknya perjanjian-perjanjian keagenan internasional yang dijumpai dalam praktek, menurut hemat kami dapatlah disimpulkan kaidah­kaidah sebagai berikut, yang pantas untuk ditingkatkan sebagai hukum memaksa lex specialis hukum perjanjian keagenan yang baru.

Sementara itu perlu diingat, bahwa hukum tersebut akan hanya berlaku jika perjanjian keagenan internasional yang bersangkutan, bertitik berat pada In­donesia dan tidak terdapat pilihan hukum lain (choice of law). Biasanya, pemasok insist untuk menggunakan hukum negaranya.

Agen dan distributor, pada dasarnya mempunyai arti yang berbeda, tetapi mempunyai fungsi yang sama atau hampir sama, sehingga memberikan jasa perantara dari produsenlprinsipal kepada konsumen.

KUH Perdata dan KUH Dagang yang merupakan sumber utama hukum perjanjian dan kegiatan perdagangan tidak mengatur tentang agen dan dis­tributor.

Di dalam KUH Perdata hanya mengatur perjanjian oada umumnya, syarat­syarat perjanjian. Sedangkan di dalam KUH Dagang hanya diatur tentang makelar, komisioner dan ekspeditur, pada Bab IV dan Bab V Buku I KUH Dagang.

Bertolak dari pengertian dan fungsi makelar dan komisioner, secara garis besar mereka adalah perantara yang memberikan jasa dari satu pihak dengan pihak yang lain dengan tanggung jawab yang tidak sama. Secara umum baik makelar dan komisioner peranannya di bidang pemasaran dan distribusi makin bergeser oleh perantara lain ialah agen dan distributor.

Di dalam kegiatan ekonomi dewasa ini fungsi agenldistributor menjadi sangat penting karena merupakan mata rantai hubungan antara produsen dan konsumen (dalam pengertian yang luas) untuk berbagai jenis komoditi baik barangljasa yang sangat penting.

11

Keagenan secara luas diartikan sebagai :

suatu hubungan hukum dimana seseoranglpihak agen di beri kuasa untuk bertindak dan atas namalpihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. 3

Keagenan adalah perbuatan mengikut-sertakan orang lain untuk melaksanakan suatu perbuatan gukan dalam hukum perdata. 4

Pendapat lain, yaitu H. Tirtaamidjaja menyatakan bahwa : keagenan (agency) sama dengan agen perniagaan adalah orang yang mempunyai perusahaan untuk memberikan perantaraan pada perbuatan persetujuan tertentu atas nama prinsipalnya. s

Selanjutnya dikatakan pula bahwa agen dalam tarafyang pertama merupakan pihak yang berdiri sendiri (zelstanding) yang fungsinya adalah t~ putting the principal in to legal relations with another.

Selanjutnya agency adalah : Agency in law is relationship that exist whwn two persons agree that one is to act on behalf of the other and be subject to the /atte s control . ..... the first person for whom another acts is called a principal the second person who nets for the first person is called an agent. 6

Dalam kegiatan bisnis keagenan bisnis keageJFlll biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum antara pihak agen dengan prinsipal, pihak agen diberi kuasa untuk bertindak atas nama prinsipal.

Agency is relationship between two parties, called principal and agent, the function of the agent being to create a contractual relationship between the principal and the third parties. 7

Sedangkan pengertian distributor pada Black's dikemukakan any individual, partnership, coorparation, association, or other legal relationship which stand between the manufacturer and the retail seller in purchase, consignments, or contracts for sale of consumen goods a wholesaler.

3. Felix Oentoeng Soebagjo, Beberapa Aspek Hukum dan Perjanjian Keagenan dan Distribllsi. 4. AclJmad lksan, Dllnia Usaha Indonesia hal99-JOO S. H. Tataamidjaja, Pokok-polcok H!lkvm Pemiagaan, Djambatan, Jakarta, 1970, hal 92 6. Enxiclopedi Americana, vol. 1, bal. 332 7. K. Smith llld D.l. KCCDIII, Mercantile Law. The Pitman Press, Bath, Toronta, 1977, bal128.

12

Berdasarkan beberapa pendapat dan batasan tersebut di atas, secara garis besar dapat dikemukakan adanya dua hal utama :

Pertama, berpendapat bahwa agen dalam melakukan kegiatannya dalam bertindak untuk dan atas nama prinsipal, tanpa harus bertanggungjawab.

Kedua, berpendapat bahwa pihak agen dalam melakukan kegiatan adalah bertindak untuk dan atas nama pihak prinsipal serta ikut bertanggungjawab.

Apabila dibandingkan dengan yang berikut, yang menyatakan bahwa :

An agency is a re/atinship in which one party, the principal, authorizes an­oiher party, the agent, to carryout some business with a third party. 8

Dari beberapa batasan tersebut dapat digambarkan hubungan para pihak (antara prinsipal dan agen terhadap pihak ketiga) sebagai berikut :

authorizes

kewenangan I Agent I to ~ct r---. -----, ....._ __ _. business with I Third Person I

Hubungan peragenan diantara para pihak, dapat menciptakan hubungan :

* Perwakilan, atau * Pemberian kuasa untuk melakukan sesuatu.

7. K. Smith and 0.1. KeaJIIII,MercantileLaw. The Pitman Press, Bath, Toronta, 1977, hall28 8. 1bomas J. Harron, Business Law. Hal S94.

13

BABID HUBUNGAN HUKUM KEAGENAN

1. Hubungan Hukum Produsen/Prinsipal dengan Agen

14

Hubungan antara produsenlprinsipal dengan agen melahirkan adanya hubungan hukum diantara para pihak atas dasar asas-asas hukum perjanjian serta dengan memperhatikan, menjunjung tinggi kebebasan berkontrak, sehingga hubungan yang terjadi merupakan suatu hubungan yang saling menguntungkan satu terhadap yang lain. Hubungan peragenan diantara para pihak, dapat menciptakan hubungan : • Perwakilan, atau • Pemberian kuasa untuk melakukan sesuatu.

Di dalam kegiatan ekonomi pada umumnya. terutama pada kegiatan di bidang pemasaran barang danlatau jasa sangat membutuhkan berbagai kegiatan yang akan berfungsi sebagai jembatan antara produsen barang dan/ atau jasa dengan konsumen sebagai pemakai akhir barang danlatau jasa di satu pihak dari produsen.

Produsen barang/jasa sebagai prinsipal, adakalanya dapat langsung mengadakan hubungan dengan konsumen (biasanya untuk produksi barang/ jasa yang bersifat sederhana). Tetapi adakalanya hubungan tersebut menjadi sangat panjang dan jauh (biasanya untuk produsen komoditi masal oleh manufakturing yang besar).

Bertolak dari beberapa sifat kemungkinan hubungan untuk prinsipal pada satu pihak dengan agen pada pihak yang lain, maka kemungkinan hubungan tersebut akan menciptakan adanya suatu hubungan hukum dengan tanggung jawab yang beJVariasi. Secara umum, hubungan yang terjadi diantara prinsipal dengan agen, atau distnbutor, melahirkan hubungan hukum yang menempatkan keduanya pada suatu posisi dengan tanggungjawab dan kewajiban serta haknya masing-masing. Dengan demikian kedudukan agen terhadap prinsipal mempunyai dua kemungkinan utama, yaitu : 1. Melayani kepentingan prinsipal, dibawah kewenangan prinsipal. 2. Mempunyai kedudukan yang mandiri berdasarkan perjanjian.

Suatu pola kerja dapat memberikan pengaruh pada banyak hal, termasuk hubungan kerja yang akhimya memberikan corak terhadap suatu hubungan hukum.

Pola kerja agen dan distributor, adalah pola kerja pemasaran, yaitu suatu mekanisme menuju pada sasaran utama yaitu konsumen. Pada dasarnya terdapat tiga jalur pemasaran berdasarkan klasi:fikasi formal, yang secara khusus berdasarkan adanya pengakuan ketergantungan sebagi berikut : 9

I. Sistem pemasaran vertikal 2. Jalur bebas 3. Jalur transaksi tunggal.

Pada sistem pemasaran vertikal, selalu ada ketergantungan satu terhadap yang lain dan salah satu dianggap dan harus mernpunyai kewenangan lebih dan dianggap sebagai pernirnpin. Dalarn hal ini biasanya prinsipal dan terjadi pada bisnis tunggal serta-terjadi berdasarkan kontrak formal. Jadi hubungan hukum yang saling ketergantungan secara formal diperjanjikan pada sistern ini dan hubungan hukum relatif tetap untuk jangka panjang.

Sistern jalur bebas, tidak terdapat saling ketergantungan. Masa kontrak relatif pendek (satu tahun) serta syarat perjanjian adalah syarat industri transportasi dan dapat dikornbinasikan dengan sistern vertikal. Sistern transaksi tunggal, adalah pernasaran berdasarkan negosiasi, jadi tidak ada peran utama bagi fungsi pernasaran.

Jadi yang erat dengan fungsi agen dalarn hal ini adalah penerapan sistern pernasaran sistern vertikal dan a tau jalur bebas dengan dua ciri utama ialah adanya hubungan hukum yang erat dan saling tergantung sehingga prinsipal dorninan atau tidak untuk rnenentukan kondisi perjanjian.

Hubungan yang terjadi antara prinsipal di satu pihak dengan agenldis­tributor pada pihak yang lain dapat terjadi karena beberapa kernungkinan :

Pertama, yang berfungsi sebagai agenldistributor sernata-rnata hanya sebagai kepanjangan tangan dari produk prinsipal saja. Hal ini dapat terjadi rnungkin pada awal pertumbuhan perusahaan atau dilakukan oleh anak perusahaan di dalarn group sendiri.

Kedua, karena ketentuan undang-undang, status prinsipal tidak dapat rnelakukan pernasaran secara langsung) rnisalnya perusahaan dengan status PMA).

9. Jalur-jalur pemMUUL hal 11 dst.

15

16

Pada kemungkinan ketiga ini, perusahaan produsen (prinsipal) mendirikan anak perusahaan yang diberi wewenang sebagai agen tunggal atau distribu­tor tunggal, karena penunjukan.

Mengenai bentuk hubungan yang ada diantara prinsipal dengan agenl ditributor pada dasamya juga sangat bervariasi. Bervariasinya bentuk hubungan antara lain dibedakan pada sifat hubungannya sendiri, apakah hubungan tetap atau insidental dalam jangka waktu tertentu, apakah hubungannya sekedar dengan penunjukan lisan saja atau dengan prosedur dan syarat yang bersifat teknis.

Hal-hal tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh:

*

*

*

Jenis produklkomoditi yang harus dipasarkan misalnya untuk barang modal, mesin-mesin, kendaraan bermotor berbeda dengan barang-barang konsutnsi berbagai jenis. Wilayah pemasaran juga sangat berbeda dengan kekuatan pangsa pasar yang bersangkutan. Sasaran konsumen yang dituju.

Hubungan hukum antara para pihak prinsipal dengan agenldistributor, menempatkan kedua belah pihak pada satu kedudukan yang secara teoritis sama/seimbang serta pada posisi saling berhadapan. Prinsipal sebagai pihak pertama mempunyai hak dan kewajiban serta wewenang tertentu bagi barang/ jasa produknya. Sedangkan agen!distributor juga mempunyai hak dan kewajiban serta wewenang tertentu bagi pemasaran, dan distribusi atas barangl jasa tertentu yang disediakan oleh prinsipal. Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, maka akan timbul beberapa permasalahan utama dalam hal hubungan hukum para pihak antara lain mengenai: * Ketentuan dasar yang mengatur hubungM hukum prinsipal dengan

agenldistributor. * Bagaimana hubungan hukum tersebut seharusnya diatur. * Ketentuan-ketentuan apakah yang seharusnya diatur oleh para pihak.

Jadi hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak tersebut diatas dapat ditindak-lanjuti dalam rangka merealisasinya sebagai suatu kegiatan yang terus menerus dan saling menguntungkan. Untuk itu dibutuhkan dokumen yang secara jelas akan dirumuskan tentang kedudukan hak dan kewajiban terutama tanggungjawab dan wewenang yang dipunyai masing-masing pihak terhadap yang lain. Rumusan tersebut dapat

secara kelas dinunuskan secara tertulis, ditaudatangani oleh para pihak atau sekedarpetunjuk pe1aksanaan oleh prinsipal kepada agenldistributomya. Oleh karena itu betapapun sederhananya hubungan hukum para pihak. perumusan koudisi hubungan tersebut sengat penting untuk dirumuskan. Yang sangat pentinguntuk dirumuskan antara adalah hale-hale yang erat kaitannya dengan beberapa hal yang kiranya dapat merupakan kendala bagi kepentingan semua pihak terutama pihale konsumen. Hubungan hukum yang terjadi dengan latar belakang untuk mencapai sasaran perusahaan baik prinsipal maupun agen atau distributor, yaitu meningkatkan produktivitas dan efisiensi yang maksimal, akan ditempuh beberapa metode dan teknis pemasaran sesuai dengan latar belakang kebutuhan teknis pemasaran dapat terjadi kemungkinan hubungan hukum dengan ciri-ciri yang sama, meskipun terdapat beberapa perbedaan tertentu, terutama pada :

1. Sifat ketergantungan satu pihale terhadap pihak yang lain, sehingga yang satu lebih dominan dari yang lain, Misalnya prinsipal yang merupakan produsen tunggal, atau menguasai lebih 500/o pangsa pasar, sangat dominan untuk menentukan pemasaran termasuk kondisi pasar, sehingga semua syarat hampir ditentukan secara sepihak.

2. Sifat keterbukaan terdapat keseimbangan diantara pihak, sehingga tidak ada dominan satu terhadap yang lain.

Dari kedua kemungkinan tersebut dapat mewarnai isi perjanjian yang diadakan antara prinsipal dengan agent distributor, terutama yang menyangkut kewenangan hale, kewajiban serta tanggung jawab para pihak. Disamping itu juga mempengaruhi beberapa hal utama antara lain :

• • •

Tentang pemutusan perjanjian Jangka waktu perjanjian Pengalihan kedudukan dan sebagainya .

l. Hubungan Hukum Agen dengan Pihak Ketiga/Konsumen.

Hubungan hukum perusahaan agen dengan pihak ketiga merupakan salah satu cara untuk membedakan antara agen dengan distributor. Secara teoritis bahwa seseorang atau badan hukum dapat disebut agen apabila dalam hal berhubungan atau melakukan tindakan hukum dengan pihak ketiga dilakukan atas nama prinsipal sedangkan disebut distributor apabila dalam hal berhubungan dengan pihak ketiga dilakukan atas namanya sendiri (Steven R Schuut Cs, 1983, 146).

17

~;~~~~:;~ .. ~ ..• ~.JJ/.~'".·~.j!#~~p=:=!~:~:UU:u!;!a~= ·~s~urRm:k~ffi. ~~eR'~~utor menu~ ~iannya untuk dan atas oamanya •• ,1 <_s.endiri, kare~ ~. milik atas barang sudah beralih dari prinsipal kepada

·:: ·.Pe~"distQ\mtor/agen. Sementaia itu bilamana barang tersebut diperoleh '<' ·,, b I .\/.' - • ' , ' . ~ ,

. dengap. ~ diberi kuasa untuk menjual oleh prinsipal. maka dapat dipastikan .... bah,wa agen tersebut dalam hal ~rhubungan dengan pihak ketiga dilakukan '"r" unillk'd3n ~tas namaprinsipaL ~· . . ' ..

Dalam praktek, para agen dalam memperoleh barang dari prinsipal dapat . ", terjadi selain melalui cara pembelian,juga dengan ~ mendapat kuasa untuk

mt;njua}nya Keadaan ini menunjukkan bahwa dalamhal berhubungan dengan pihak ketiga dimungkinkan pula bagi agen menutup perjanjian untuk dan atas namanya sendiri sehingga dalam praktek tidak ada perbedaan yangjelas antara agen dengan distributor. . . .. . .. , . . Jika agen m~qtUp PerjaJ1jiati cien~.pil)ak ketiga ll\1~ ~ .atas namanya

, , sendifj~prinsipal tidafakanbertanggungjaw.aJ?tk,r~pcacatproduk

, t:~~ih'i:hJm~~~~t::t~~!~!:!e:=~ prinsipal dengan agen. Tanggung jawab Penuh terhadap cacat produk ada

, ••. pa~,,.geny~gcbe~tan,.paling,bfU1ter prinsi~ b<:Ital!ggung jawab · •· · terbat3S)diususiira· yang inen¥angku1 ~-~a,)l~ baralig. · · ··

. , , . , . f\mlpi~ ,age,n.,~ggmtgja"'lJI> tlifha~ Pili.* ketiga atas cacat produk, ~ berarti terbuka kemungkinan bagi agen untuk dituntut oleh pihak-ketiga.

~!'.-~-.' '"·".ll ··~ ~t.·)•' .;,.!•~· -~'.i:-.'1 _., J' •" r·.~·-·#•' ...... ·-···~--~ ..• -- -, . • . . --

~· , , r. :.t, . • rc --~ ::.:..:

;;-:~Lf~; ;.;~~~f~>"-Y- -:t:~·;·:~~->~- ;;: ~:~ .... ~- ' 1' ... -~: :.·;::; !:~.~{.,.. ;;::_~) .

n.~)-}~:k; ·.• ;-~Lbr~~;~ r.·..r,lc;f·:r.;": >C·~-:·. \·: · 1 ::·~~-~{ • '·-~,-, .. ~"";r~1 ;;.ir:..rhq. -~~i·_,:..,• :·;!~;. . .f.:

t8

BABIV PERJANJIAN KEAGENAN DAN DISTRIBUTOR

Landasan utama terjadinya perjanjian antara prinsipal dengan agent distributor adalah adanya beberapa persamaan tujuan sehingga dicapai kata sepakat. Kata sepakat yang memenuhi ketentuan Buku III, Bab Kedua, Bagian Kedua KUH Perdata melainkan suatu perjanjian yang sah, termasuk perjanjian keagenanl distribusi. Realisasi ketentuan undang-undang tersebut diatas dituangkan dalam akta. Mengingat sifat perjanjian keagenan yang relatif pendek jangka waktunya, tidak dibuat di dalam akta autentik' tetapi dengan akta dibawah tangan. Bahkan tidak jarang perjanjian disiapkan secara sepibak oleh prinsipal dengan syarat dan kondisi yang standart.

Terdapat beberapa kemungkinan perjanjian yang dapat terjadi, bebempa modifikasi sebagai berikut :

Pertama, agen/distributor merupakan kepanjangan tangan semata-mata dari prinsipal. Kedua, karena adanya kerjasama yang sating menguntungkan kedua belah pihak. Ketiga, karena ketentuan undang-undang/pemtumn hubungan hukum antam prinsipal dengan agen/distributor, dituangkan di dalam naskah perjanjian, yang tidak terikat dengan bentuk yang khusus. Adakalanya berdasarkan penunjukan saja/karena dua perusahaan bemda pada satu group usaha (karena pemilikan) maka penunjukkan agenldistn"butor hanya dengan sumt penunjukkan (letter of appoinment) tanpa disertai perjanjian keagenanldlstrlbutor. Dapat pula terjadi dengan perjanjian yang sangat sederhana, hanya memuat pokok-pokoknya saja. Disamping itu dapat terjadi bahwa perjanjian yang diadakan antam prinsipal dengan agenldistributor dilakukan secara rinci dan mendetail.

Secara garis besar isi perjanjian keagenan dan atau distn"butor mengandung hal­hal ch"bawah ini.

t. BatasaDIPeacertianiDefiaiJi mea&eni istilah terteatu

Tqjuan adanya rincian tentang istilah teJSebut adalah untuk menghindari salah tafsir dan salah pengertian. yang mengakibatkan adanya sengketa atau perselisibaD di belakang bari.

19

Penafsiran tentang batasan penting mengingat selalu adanya perbedaan pada bidang atau sdttor yang JDetgadi pokok peljanjian keagenan/distributor. Dalam hal ini secara tegas harus dijelaskan mengenai kewenangan yang dimiliki oleh agen untuk bertindak dan atas nama prinsipal.

2. Bentuk dan lsi Perjanjian

20

Mengingat tidak ada ketentuan mengenai hal tersebut, maka peijanjian keagenan atau distributor, tidak adaltidak mengenal bentuk khusus. Para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri. Pada dasarnya memang tidak ada suatu bentuk khusus atau tertentu bagi satu perjanjian keagenan atau distributor. Sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku para pihak dapat menentukan bentuk dan isi peijanjian sendiri oleh mereka.

Sebagaimana diatur dalam pasal1338 JUH Perdata, bahwa: Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak, atau karena a/asan-alasan yang o/eh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Persoalan yuridis yang muncul dalam hal ini apabila agen/distributor ditunjukkan prinsipal dan membuat pemyataan sepihak pada dokumen yang telah disediakan oleh prinsipal. Dengan demikian berbagai persyaratan mengenai penyelenggaraan keagenanldistributor ditentukan oleh prinsipal. Dalam keadaan demikian, sampai seberapajauh pemyataan sepihak tersebut dapat mengikat kedua pihak, yaitu perusahaan agen/distributor dengan prinsipal atau sampai seberapa jauh azas kebebasan berkontrak yang berarti orang bebas untuk mengadakan peijanjian menurut pilihannya dengan isi dan syarat-syarat sesuai kehendaknya yang berlaku dalam hukum peijanjian dibatasi berlakunya dalam pembuatan pemyataan sepihak ini.

Meskipun pemyataan sepihak ini ditandatangani oleh agen/distributor saja dan semua formulir sudah disediakan prinsipal tetapi pemyataan sepihak ini haruslah dianggap sebagai konsensus antara prinsipal dengan agen/dis­tributor tidak menyetujui syarat-syarat yang ditetapkan prinsipal maka tidak teijadi kesepakatan mengenai isi pemyataan ini. Sejalan dengan pasall320 KUH Perdata yang mengatur mengenai syarat-syarat perjanjian maka

bilamana sudah ada kesepakatan oleh kedua belah pihak peJjanjian itu mengikat keduanya secara sah. Sedangkan berbagai syarat yang ditetapkan prinsipal yang tercantum dalam peJjanjian baku merupakan pembatasan berlakunya azas kebebasan berkontrak.

Dengan demikian, bedakunya azas kebebasan berkontrak selain dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan publik, dalam hal ini misalnya mengenai hak dan kewajiban prinsipal dan agen yang diatur dalam suatu peJjanjian juga telah ditetapkan oleh Surat Keputusan Menteri Perindustrian tentang Keagenan Tunggal, juga dipengaruhi oleh status dalam hubungan ini adalah status ekonomi prinsipal yang lebih kuat/tinggi dibandingkan dengan agenldistributor.

Proses selanjutnya setelah penunjukkan agenldistributor oleh prinsipal dan penawaran yang dilakukan agen kemudian diikuti penetapan penunjukan agenldistributor oleh prinsipal adalah dilakukannya peJjanjian tertulis. Pengertian peJjanjian tertulis didalam hubungan ini tidak berarti bahwa kedua belah pihak membuat suatu kontrak yang ditandatangani oleh kedua belah pihak tetapi juga termasuk pemyataan sepihak yang biasanya ditandatangani oleh agenlprinsipal. Demikian pula halnya dengan bentuk peJjanjian secara tertulis ini sebagian besar berupa peJjanjian baku yang syarat -syarat peJjanjian sudah ditetapkan terlebih dahulu pada suatu formulir yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.

3. Jangka Waktu Perjanjian

Menurut beberapa peraturan yang ada, peJjanjian keagenanldistributor berkisar antara 3 (tiga) tahun. Mengingat di dalam kegiatan usaha jangka waktu 3 (tiga) tahun merupakan rentang waktu yang relatif pendek, oleh karena itu perlu diberi kesempatan untuk memperpanjang (jadi harus diatur lebih lanjut tentang syarat dan prosedur peJjanjian serta waktu peJjanjian dan syarat pemutusan dan perpanjangan peJjanjian).

Dalam praktek sering teJjadi perusahaan asing selaku prinsipal sering bertindak merugikan pihak partnemya atau agennya di Indonesia. Ada kejadian setelah pihak agen tunggal pemegang merek berhasil membuka jaringan pemasaran di seluruh Indonesia dan memperkenalkan merek produk barang-barang milik prinsipal dengan mengeluarkan dana dan tenaga yang besar sekali. Kemudian pihak prinsipal mencari-cari kesalahan pihak agen tunggal pemegang merek, misalnya dengan alasan basil penjualannya tidak

21

mencapai target. disamping itu kualitas produk barang-barang yang dihasil­kannya jauh di bawah standar yang telah ditentukan.

Pada umumnya bila terjadi konflik antara prinsipal dengan pihak-pihak pemegang merek maka akan berakhir dengan diputuskannya hubungan keagenan secara sepihak oleh pihak prinsipal dan dengan otomatis terhenti pula pemasukan barang-barang dan suku cadang kepada agen tunggal pemegang merek. Akibatnya akan mengganggu kelancaran pelayanan puma jual pada para konsumen pelanggan agen tunggal yang bersangkutan.

Pada umumnya dalam kasus seperti tersebut di atas pihak pengusaha nasional tidak ada pilihan lain kecuali menerima putusan tersebut, karena pada dasamya pihak agen tunggal pemegang merek yang ditunjuk oleh prinsipal merupakan pengusaha lemah. baik dari segi permodalan, tehnologi maupun dari segi hukum.

Tidak berdayanya pihak pengusaha nasional sebagai agen tunggal pemegang merek berhadapan dengan pihak prinsipal, berawal sejak dtbuatnya perjanjian kontrak keagenan yang mereka · tandatangani. Dimana dalam klausula perjanjian tersebut banyak mengandung syarat-syarat yang merugikan pihak agen. Hal ini bisa terjadi, karena pihak pengusaha nasional pada umumnya berada dalam kedudukan yang lemah sosial dan ekonominya. Disamping itu pihak pengusaha asing sudah memiliki pengalaman yang lama dalam bemegosiasi. Pada waktu melakukan negosiasi dengan pengusaha nasional mereka selalu didampingi oleh pengacara yang menguasai bidangnya sedangkan pihak pengusaha nasional pada umumnya pergi sendirian ke meja perundingan tanpa didampingi oleh ahli hukum.

Mereka, yaitu pengusaha asing tidak akan melangkah ke dalam transaksi­transaksi tanpa sebelumnya berkonsultasi dengan ahli hukum yang berpengalaman. Ironisnya yang terjadi di Indonesia adalah sementara calon partner asing selalu berkonsultasi dengan lawyer-lawyer. Indonesia sebelum menandatangani perjanjian kontrak, calon partner jalan sendirian alias tidak meminta bantuan hukum, gejala ini harus diakui umum terjadi daiam kontrak­kontrak. 10

Untuk melindungi pihak agen tunggal pemegang merek dari tindakan yang tidak wajar pihak prinsipal, maka Pemerintah mengeluarkan Surat

I 0. Halim Sabab. SH. Melihat segi-segi protelcsi da/Q, kontralc joim verr1J1Tt1 di Indonesia, Majalah Fakultas Hukum Universitas IudoDelia Nomor 3 T.tlun kc VI, Mei 1978

22

Keputusan Menteri Perindustrian Nomor : 295/M/SK/7/1982, tentang ketentuan-ketentuan tentang Keagenan Tunggal. Dimana Pemerintah berusaha untuk mencegah tindakan pihak prinsipal melakukan pemutusan perjanjian keagenan tunggal secara sepihak. Dalam hal ini Pemerintah menetapkan jangka waktu yang tegas bagi keagenan tunggal di Indonesia, yaitu paling kurang 3 (tiga) tahun dan bagi keagenan yang berusaha di bidang manufaktur dan perakitan ditetapkan paling kurang 5 (lima) tahun. Dengan kemungkinan perpanjangan sesudah jangka waktu tersebut habis dengan mengutamakan perusahaan yang lama.

Ditetapkanjangka waktu paling kurang 3 (tiga) tahun dan 5 (lima) tahun tersebut adalah untuk mencegah pihak prinsipal melakukan pemutusan petjanjian sebelum bat~s waktu minimal yang ditentukan dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 295/1982 tersebut danjangka waktu minimal tersebut adalah wajar karena untuk usaha di sektor manufakturpihak agen tunggal telah menginvestasikan modalnya dalam jumlah yang besar terutama dalam membangun sarana dan prasarana.

Dengan memperhatikan ketentuan tersebut diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa batas waktu petjanjian keagenail perlu ditetapkan batas waktu minimum selama 3 (tiga) tahun dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama jangka waktu minimum tersebut dengan syarat-syarat yang mereka sepakati bersama.

Diadakannyajangka waktu minimum adalah dimaksudkan untuk melin­dungi kepentingan perusahaan nasional Indonesia dari tindakan yang tidak sewajarnya dari pihak prinsipal. Apabila ketentuanjangka waktu minimum telah dipenuhi, maka seterusnya adalah tergantung kepada keinginan para pihak untuk memperpanjang atau tidak.

4. Wilayah Usaha/Pemasaran

Penentuan wilayah atau daerah suatu agen atau distribusi yang satu dengan yang lain sangat penting artinya, karena hal ini penting juga untuk menentukan kedudukan mereka masing-masing, apakah yang bersangkutan menjadi agen tunggal di Indonesia atau tidak.

Dalam praktek, untuk beberapa sektor tertentu diantaranya kendaraan bermotor melalui SK Mendag No. 104/KPN/70, tanggal 11 Mei 1970, KepPres No. 45/1972, tangga126 Juni 1972; A lat-a/at Besar melalui PP No. 16/1970, KepPresNo. 45/1972, SKMendagNo. 330/KP/XII/70, SKMendag

23

No. 315/KPIXII/70, SK Dirjen Perindustrian Dasar No. 31/Kpts-DD/Perdas/ 73; dan Pupuk melalui SK Mendakop No. 56/KPtrrn9, SK Dirjen Dagri No. 004/DAGRI/KP/11179, SK Menkeu No. 276/KMK/011/1979, SK Mendakop No. 1 04/KP/111180, menyatakan secara tegas bahwa penunjukkan harus da1am bentuk agen tunggal.

Dapat saja bahwa suatu perjanjian keagenan yang sebenamya tidak hams dalam bentuk agen tunggal, tetapi dalam pelaksanaanlprakteknya temyata hams dalam bentuk agen tunggal. Sebaliknya terdapat juga kasus dimana agen seorang prinsipal yang menunjuk 2 (dua) orang agen tunggal untuk jangka waktu yang relatif sama. Anehnya kedua agen tersebut hidup berdampingan dengan baik.

Dari keadaan tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jika perjanjian keagenan tidak mengharuskan menunjuk lebih dari seorang agen untuk memasarkan hasil-hasil produksinya di Indonesia, dengan catatan sebaiknya diatur lebih lanjut wilayah pemasaran masing-masing agen.

Penunjukan agen yang bukan agen tunggal, hal ini juga berarti bahwa agen yang bersangkutan dapat saja memasarkan produksi dari prinsipal lainnya dengan berbagai merek. Dengan demikian seorang agen dapat memiliki prinsipallebih dari satu orang.

Dalam praktek dijumpai bahwa sebagian besar para agen mempunyai daerah pemasaran khusus yang ditentukan dalam perjanjian, sedangkan sebagian kecil agen tidak mempunyai daerah pemasaran khusus. Dengan

, demikian terbuka kemungkinan untuk bersaing dengan agen lain dari prinsipal dan produk yang sama. Hal sedemikian ini bisa saja menimbulkan pertjkaian di kemudian hari karena pembatasan wilayah di satu pihak sedangkan di pihak lain terdapat kebebasan tersendiri dalam pemasaran.

Mungkin terjadi permasalahan terhadap kelangsungan perjanjian keagenan jika tidak diatur dengan jelas tentang pengalihan wilayah pemasaran. Misalnya, pemasaran sesuatu jenis barang dipindahkan oleh prinsipal dari pabrik asal ke pabrik pemegang lisensi di negara lain, maka hal ini telah menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan sebelum waktunya.

5. Hak dan Kewajiban Para Pihak

24

Hak dan kewajiban para pihak perlu diatur dengan jelas (bila perlu rinci) dalam rangka menghindari perselisihan di kemudian hari.

Selanjutnya. penunjukkan agen oleh prinsipal sehaiknya tidak cukup hanya dengan sural penunjukan (letter of appoinment), karena dengan perikatan demikian mengakibatkan posisi perusahaan nasional selaku agen menjadi lemah, sebab melalui surat penunjukan saja, biasanya tidak mencantumkan secara mendetail akan hak dan kewajiban para pihak. demikianjuga hal-hal lainnya seperti, jenis produksi yang akan diageni, cara-cara penyelesaian perselisihan, jangka waktu berlakunya perjanjian, wilayah pemasaran, cara­cara mengakhiri perjanjian, dan sebagainya. Dalam kaitan ini, tidak kalah pentingnya peranan Pemerintah c.q. Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk menyiapkan atau menyediakan suatu pola surat perjanjian keagenan yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan. Hal ini dimaksudkan juga untuk melindungi atau mencegah tindakan sepihak dari prinsipal yang kedudukan ekonominya lebih kuat yang hanya menetukan klausul dengan kemauan sendiri dengan menyiapkan blanko standar perjanjian keagenan. Dengan adanya blanko tersebut, seyogyanya tidak kaku sifatnya, dalam arti dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan kesepakatan bersama para pihak. Disamping itu upaya Pemerintah untuk melindungi kepentingan dunia usaha, yaitu baik prinsipal untuk melegalisir surat perjanjian ke notaris publik dan Atase Perindustrian dan Perdagangan atau Perwakilan Republik Indonesia di negara Prinsipal. Hal itu disamping ditujukan untuk menghindarkan pemalsuan surat-surat tanda pendaftaran oleh pihak-pihak yang tidak berhak juga ditujukan untuk menghindarkan salah satu pihak mengingkari isi surat perjanjian maupun surat penunjukkan yang dibuat.

Mengenai penunjukkan agen, pihak prinsipal berhak menunjuk perus­ahaan yang ingin dijadikan agennya dan tentunya setelah mempertimbangkan/ memperhatikan legalitas dati bonafitas perusahaan agen tersebut. Sebaliknya pihak agen juga berhak memilih siapa yang menjadi prinsipalnya, demikian juga pembayaran bagi kedua belah pihak dimana pihak prinsipal berhak menerima pembayaran dari agen stelah diperhitungkan imbalan jasa agen dan pengeluaran-pengeluaran lainnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1988 menetapkan bahwa prinsi­pal yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing di bidang produksi, dapat menjual basil produksinya dengan mendirikan perusahaan patungan antara prinsipal tersebut dengan perusahaan nasional sebagai penyalur atau agen.

Di atas disebutkan bahwa prinsipal yang menunjuk agen dengan memperhatikan legalitas perusahaan tersebut. Dalam hal ini misalnya, apakah perusahaan tersebut sudah mendapat izin resmi dari Pemerintah dan telah

25

26

meodaftatkanke Departemen Perindustrian dan Petdagangan. Memang belum ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan perusabaan agen untuk mendaftarkannya ke Departemen tersebut. jadi belum menjadi keharusan. Dilakukannya pendaftaran sementara ini karena kebutuhan dunia usaha sendiri baik untuk melindungi kepentingannya sendiri maupun dalam rangka memenuhi ketentuan instansi-instansi Pemerintah ataupun swasta yang menginginkan legalitas penunjukan suatu pen1sahaan nasional sebagai agen yang ditunjuk oleh perusahaan lain.

Satu-satunya kewajiban mendaftarkan keagenan pada Departemen Perdagangan (sekarang Departemen Perindustrian dan Perdagangan) sebagai persyaratan yang ditetapkan dalam keputusan Menteri Perdagangan No. 66/ KPIIW1974, adalah pendaftaran keagenan pupuk yang bertujuan menjarnin kepastian pengadaan dan penyaluran pupuk kepada petani.

Dengan adanya pendaftaran perusahaan agen (yang ditunjuk oleh prinsipal) pada departemen terkait. maka jelas eksistensi dan kepastian hukumnya, sehingga apablia ada penunjukkan agen bam oleh prinsipal yang sama untuk mengagenijenis barang dan wilayah pemasaran yang sama, maka permohonan untuk didaftarkan perusahaan tersebut pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan harus ditolak. Prinsip ini sangat penting dalam usaha melindungi agen nasional termasuk pula untuk memberikan kesempatan mengikuti tender-tender Pemerintah dalam kaitannya dengan Surat Edaran Menko Ekuin tanggal 6 Mei 1988, dimana pembelian barang spesifik oleh instansi Pemerintah hanya dilakukan melalui agen tunggal yang telah terdaftar di Departemen Perdagangan.

Selanjutnya, pengalihan hak perlu juga diatur dalam perjanjian. Pengalihan hak bisa saja terjadi jika para pihak menginginkannya. Dengan pengalihan ini dimaksudkan bahwa dalam perjanjian keagenan para pihak kemungkinan akan mengalihkan sebagian atau seluruh hak dan kewajibannya kepada pihak lain terlepas dari adanya perbuatan curang atau kesalahan para pihak. Dalam hal ini para pihak bebas untuk menentukan apakah hak dan kewajiban mereka dapat dialihkan atau tidak. Tentu saja kedudukan masing­masing pihak sangat menentukan dalam tahap mengadakan negosiasi. Biasanya pihak yang kuat akan lebih berhasil memaksakan kehendaknya untuk dimasukkan dalam pasal-pasal perjanjian. Lebih-lebih lagi mereka ini biasanya selalu menggunakan penasehat-penasehat hukum yang akan berusa­ha memproteksi kepentingan mereka, Dalam praktek dengan melihat bar­gaining power dari para pihak. biasanya dalam perjanjian keagenan dijumpai beberapa variasi pengalihan hak sebagai berikut :

a. Kemungkinan pertama. dalam perjanjian keagenan dinyatakan bahwa masing-masing pihak tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atau seluruh hak dan kewajibannya tanpa adanya persetujuan dari pihak lain.

b. Kemungkinan kedua, prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, tetapi bukan kepada agen.

c. Kemungkinan ketiga, prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, akan tetapi agen hanya diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan kewajibannya apabila diperoleh persetujuan untuk itu dari pihak prinsipal.

Pengalihan hak dan kewajiban para pihak ini kepada pihak lain dimungkinkan terjadi dengan cara menjual atau menghibahkan pihak prinsipal atau agen karena para pihak ingin beralih profesi. Adanya upaya pengalihan hak dan kewajiban tersebut kepada pihak lain meskipun secara tegas ditetapkan dalam perjanjian, seyogyanya pihak yang akan mengalihkan haknya memberitahukan kepada pihak partnemya sebelum ( dalam batas waktu tertentu). Dan untuk pengalihan ini diperlukan adanya laporan dari pihak yang bersangkutan dan persetujuan dari instansi yang berwenang. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar terhindar dari perbuatan curang seperti penyampaian produksi yang tidak melalui jalur yang sah, demikian juga penyampaian komisi atau jasa-jasa lainnya.

Dalam hal perusahaan dapat melakukan pengalihan maka terdapat kemungkinan posisi ekonomi yang seimbang antara prinsipal dengan perusahaan keagenan. Dalam keadaan posisi ekonomi yang tidak seimbang maka meskipun perusahaan agen tidak dapat melakukan pengalihan tetapi perusahaan prinsipal dapat saja melakukan pengalihan sebagian atau seluruhnya hak dan kewajiban yang diperoleh dari perjanjian keagenan.

6. Barga Barang Produksi

Mengenai harga barang produksi perlu diatur mengenai harga jual yang ditawarkan kepada konsumen. Pengaturan lebih lanjut adalah kemungkinan adanya perubahan harga jual dari produsen, siapa yang harus bertangg\mg jawab, apabila ada perubahan harga.

7. Pengiriman Barang

Pengiriman barang, sangat erat hubungannya dengan harga barang,

27

karena barga barang mempunyai akibat mengenai : * Penyerahanlpengiriman barang * Biaya pengiriman, sehingga dapat diketahui

8. Pemutusan Perjanjian

Agar tidak terjadi tindakan semena-mena dari pihak prinsipal, yaitu memutuskan perjanjian keagenan secara sepihak tanpa alasan jelas, maka perlu diatur kapan atau apa yang menjadi dasar keputusan perjanjian keagenan bagi kedua belah pihak. Untuk itu ada 4 (empat) kategori, antara lain:

a. Apabila agen lalai melaksanakan kewajibannya sebagaimana tercantum pada perjanjian keagenan, termasuk diantaranya kewajiban melakukan pembayaran.

b. Apabila agen melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. c. Apabila para pihak jatuh pailit. d. Keadaan-keadaan ·yang menyebabkan para pihak tidak dapat melak-

sanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya. e. Apabila masa berlakunya perjanjian keagenan berakhir.

Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah pengaturan yang jelas tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak setelah dilakukannya pemutusan perjanjian. Disamping itu, pemberitahuan kepada pihak agen bila terdapat keinginan prinsipal untuk mengadakan pemutusan perjanjian dan untuk itu apakah harus melalui pengadilan agar pemutusan tersebut lebih mempunyai kekuatan hukum. Hal ini mengingat pasal 1266 KUHPer yang pada dasamya menyatakan bahwa pembatalan suatu perjanjian hanya dapt dilakukan setelah adanya keputusan pengadilan. Dengan kata lain, prinsipal yang bermaksud memutuskan perjanjian keagenan dengan agennya, tidak cukup dengan mengirimkan. pemberitahuan tertulis akan maksudnya itu. Untuk itu, prinsipal harus mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri yang berwenang dan menunggu adanya keputusan pengadilan yang membenarkan melakukan pemutusan perjanjian.

9. Ganti Rugi atau Sanksi

28

Masalah ganti rugi ini merupakan upaya untuk melindungi pihak agen dari kerugian akibat tindakan pihak prinsipal yang tidak wajar. Bagi prinsipal yang melakukan pemutusan hubungan keagenan secara sepihak diwajibkan

memberi ganti rugi kepada agen. Kerogian yang dimakSIJd adalah mengenai apa yang nyata-nyata telah diderita oleh pihak agen. Untuk menentukan jumlah ganti rugi tersebut maka perlu dilakukan inventarisasi secara bersama oleh pihak agen dan prinsipal. Sebagai acuan dapat dilihat sebagaimana tercantum dalam pasal 26 ayat 2 sub b dan c Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 295/M/SK/7/1982. Surat Keputusan Menteri Perindustrian tersebut juga berusaha memberi perlindungan kepada agen tunggal, hila pihak prinsipal setelah melakukan pemutusan perjanjian agen tunggal dan menunjuk agen tunggal yang barn, maka Pemerintah baru mengakui eksistensi agen tunggal yang baru itu hila pihak prinsipal telah menyelesaikan secara tuntas segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan perjanjian itu dengan agen tunggal yang lama (clean break) pasa126 ayat (3).

Selain pihak prinsipal diharuskan membayar/mengganti kerugian para pihak agen tunggal, hila pemutusan perjanjian keagenan tunggal secara sepihak maka pihak prinsipal dikenakan pinalti harus memasok suku cadang kepada perusahaan bekas agen tunggalnya itu sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun - pasal 26 ayat ( 4).

Keputusan ini sangat tepat sekali terutama bagi usaha untuk melindungi konsumen yang telah memakai barang-barang yang diageni oleh agen tunggal yang lama, dan juga pihak agen tunggal tersebut bisa melakukan pelayanan puma jual pada langganannya.

10. Penyelesaian Sengketa

Jika terdapat sengketa antara prinsipal dengan agen perlu diatur dengan menentukan alternatif cara penyelesaian sengketa, misalnya dengan cara : a. Musyawarah b. Arbitrase c. Pengadilan

Untuk itu juga perlu memperhatikan Keputusan Menteri Perindustrian No. 295/M/SK/7/1982 (pasal 32) mengatur penyelesaian sengketa antara prinsipal dengan agen dengan jalan musyawarah sebagai tahap pertama, selanjutnya apabila tidak memberi basil diselesaikan dengan arbitrase nasional yang putusannya adalah terakhir dan mengikat kedua belah pihak.

Disamping itu kita melihat bagaimana pengakuan terhadap putusan arbitrase

29

asing sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi New York tahun 1958. Indo­nesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui KepPres No. 34 Tahun 1981.

Untuk itu kita dapat mengaru pada Pernturan Mahkamah Agung (Penna) Nomor I Tahun 1990, yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing tersebut berkekuatan hokum yang tetap setelah memperoleh exequator dari Mahkamah Agung Republik Indonesia (sebagaimana ditetapkan dalam pasa13).

11. Hokum yang berlalw/Pilihan hokum

30

Para pihak diberi kesempatan untuk memilih hokum mana yang akan dipakai dalam perjanjiannya. Hal ini erat kaitannya dengan masalah yurisdiksi. Kalau para pihak telah memilih hokum prinsipal (asing) maka jika timbul sengketa berkaitan dengan pemutusan perjanjian, maka pengadilan Indonesia tidak dapat mengadili perkara yang bersangkutan.

Untuk melindungi kepentingan agen dari prinsipal asing dan me­nyangkut kehidupan ekonomi di Indonesia sehingga perjanjian keagenan sebaiknya dipilih hokum yang berlaku di Indonesia dan inipun sejalan dengan keputusan Menteri Perindustrian Nomor 295/M/SK/7 /1982, pasal24. Tetapi ada pula pemikiran jika prinsipal cidera janji, agen Indonesia menuntut pelaksanaan perjanjian agen di negara domisili prinsipal; untuk mudahnya pelaksanaan tuntutan itu ada baiknya kalau hokum asing itu yang dipakai.

Pok.oknya pemilihan hokum ini perlu dipikirkan secara mendalam karena ada segi kurang baik juga bagi agen Indonesia jika perkara diajukan oleh prinsipal asing di Indonesia.

Seandainya dipilih hokum asing untuk perjanjian keagenan dan di kemudian hari timbul perkara di pengadilan Indonesia maka terdapat kesulitan-kesulitan yang mungkin merugikan pihak agen Indonesia, yakni : hakim Indonesia tidak menguasai hokum asing tersebut sehingga meminta bantuan ahli dengan memakan biaya tinggi. Oleh sebab itu kemungkinan hakim Indonesia mengenyampingkan hokum asing tersebut dengan alasan bahwa hokum asing dianggapnya bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia dan dengan hokum yang bersifat memaksa. Jika para pihak menentukan pilihan hokum adalah hokum Indonesia, maka dengan melihat permasalaban diatas. menjadi suatu tantangan bagi hakim

Indonesia untuk meningkatkan pengetahuannya di bidang hokum.

BABV PERUNDANG-UNDANGANIPERATURAN MENGENAI

KEAGENANIDISTRIBUTOR

Sebagaimana telah disinggung di depan, perundang-undangan mengenai keagenan atau distributor di Indonesia. masih tersebar di dalam berbagai bentuk peraturan. Peraturan-peraturan tersebut dikeluarkan oleh berbagai departemen yang mempunyai kewenangan atas izin mengenaijenis, baranglkomoditi tertentu, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kelompok peraturan agen atau distributor yang ada hubungannya dengan farmasi dan kosmetika.

a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 238/Menkes/IX/ 1976 tentang perdagangan besar dan alat kesehatan. Dalam peraturan tersebut tidak ditemui istilah agen, dalam pasal 10-nya hanya menyebutkan mengenai pedagang besar yang tidak boleh menjual obat secara eceran.

b. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 399/ Men.Kes/SK/1988. Dalam keputusan yang ke-4 menyebutkan PT. Kimia Farma sebagai pelaksanan dan distributor obat-obatan Inpres Kesehatan daftar ~ B 1 dan B dengan harga yang telah ditetapkan.

2. Kelompok peraturan - peraturan mengenai agen atau distributor pupuk di Indonesia.

a. Keputusan Menteri Perdagangan No. 66/Kp/lll/1973, tentang keagenan tunggal pupuk produksi luar negeri. Dalam pasal3 menyebutkan secara tegas dalam pemasaran pupuk di Indonesia melalui agen yang ditunjuk.

b. Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 56/Kp/1111979 tentang ketentuan mengenai pengadaan dan penyaluran pupuk dan pestisida bersubsidi untuk sektor bimas dan non bimas. Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsisi baik di dalam negeri dan di luar negeri PUSRI bertanggungjawab. Dalam surat keputusan ini tidak disebutkan secara jelas siapa agen maupun distributornya, disini hanya disebutkan

31

mengenai peredaran dan pengadaan pupuk yang bertanggung jawab adalah PT. PUSRI.

3. Kelompok peraturan yang ada hubungannya dengan Penanaman Modal Asing.

32

a. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran kegiatan usaha asing dalam bidang perdagangan. Dalam Peraturan Pemerintah ini menyebutkan, bahwa dalam pemilikan usaha, bila ada induk usaha di luar negeri dapat menunjuk pedagang nasional sebagai penyalur atau agen. Jadi dalam Peraturan Pemerintah ini tidak membedakan istilah agen, penyalur dan distributor.

b. Peraturan Pemerintah No. 77/Kp/IW1978 tentang ketentuan mangenai kegiatan perdagangan terbatas bagi perusahaan produksi dalam rangka penanaman modal. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ditegaskan bahwa basil produksi tidak boleh dijual langsung ke konsumen atau pengecer tapi hams lewat agen atau distributor yang telah memperoleh surat izin. Dalam Peraturan Pemerintah ini tidak membedakan mengenai istilah agen dan distributor.

c. Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 78/K.p/ 11111978 tentang ketentuan perizinan usaha perwakilan perusahaan perdagangan asing. Dalam SK ini menyebutkan ada tiga jenis agen, yaitu: 1. Agen penjualan (selling agent) 2. Agen pabrik (manufacturers agent) 3. Agen pembelian (buying agent)

d. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 76/Kp/IW1978 tentang bidang perdagangan yang terbuka dalam J)enanaman modal asing. Dalam SK ini hanya menyebutkan mengenai istilah penyalur secara sepintas.

e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 77 Tahun 1978 tentang kegiatan perdagangan terbatas bagi perusahaan produksi dalam rangka Penanaman Modal Asing.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1988, yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing di Indonesia.

g. Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 376 Tahun 1988 yang mengubah Swat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 771Kp/Ill/1978 tentang Kegiatan Perdagangan Terbatas Bagi Perusahaan Produksi Dalam Rangka Penanaman Modal.

4. Kelompok peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan kendaraan bennotor dan alat-alat berat.

a. Keputusan Menteri Perdagangan No. 3151Kp1XII/1970 tentang impor dan distribusi alat-alat besar (antara lain earth moving and road constraction equipment) harus melalui pemegang merek atau agen tunggal. Dalam keputusan tersebut di atas dalamjudulnya menyebutkan mengenai agen tapi dalam isi keputusannya sama sekali tidak menyebutkan istilah agen melainkan hanya menyebutkan bursa komoditi Indonesia dalam penjualan barang.

b. Surat Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1972 tentang penyederhanaan tentang ketentuan-ketentuan pengakuan dan pengurangan pengakuan keagenan tunggal kendaraan bermotor dan alat-alat besar serta keagenan tunggal alat-alat besar serta keagenan tunggal alat-alat elektronika dan alat -alat rumah tangga.

Dalam KepPres ini mengatur mengenai hak dan kewajiban agen tung­gal kendaraan bermotor atau alat-alat besar, elektronika maupun alat­alat rumah tangga.

Adapun yang dimaksud agen tunggal disini adalah perusahaan nasional yang ditunjuk oleh prinsipal luar negeri yang memproduksi barang dengan merek tertentu atau dengan prinsipal pemegang merek tertentu sebagai satu-satunya perusahaan untuk mengimpor, mempromosikan, mendistribusikan dan melaksanakan pelayanan seluruh purnajual barang yang dimaksud keseluruh wilayah Indonesia, untuk suatu jangka waktu tertentu. Disini tugas agen tunggal lebih luas karena meliputi bidang promosi dan puma jual.

c. Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 295/M/SK/7/1982 tentang ketentuan-ketentuan Keagenan.

d. Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 428/M/SK/7/1987

33

tentang penyederhanaan ketentuan pengakuan dan pengurangan keage­nan tunggal kendaraan bermotor dan alat-alat besar dan keagenan tunggal untuk alat-alat elektronika dan alat-alat listrik untuk rumah tangga.

5. Kelompok peraturan yang ada hubungannya dengan asuransi. Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Usaha Asuransi. Dalam pasal17-nya menyebutkan etiap agen asuransi hanya dapat menjadi agen dari satu perusahaan asuransi.

34

Secara umum dapat dikatakan bahwa distribusi basil produksi prinsipal pada berbagaijenis barang produksi sampai pada tangan konsumen adalah sebagai berikut:

a. Produsen - Konsumen b. Produsen - Pengecer - Konsumen c. Produsen - Distributor - Agen - Pengecer - Konsumen d. Produsen - Agen!Distributor tunggal - agenldistributor lainnya

Pengecer - Konsumen.

Hubungan hukum antara perusahaan sebagai prinsipal dengan agenldistribu­tor sebagai perantara dalam rangka hubungan mata rantai produsen dan konsumen dapat terjadi berdasarkan :

1. Perjanjian, perjanjian formal merupakan awal hubungan hukum secara formal.

2. Hubungan kerjasama secara konsensual, semata-mata karena hubungan baik saja.

3. Dengan penunjukan baik kepada agenldistributor yang berada dalam satu group dengan perusahaan prinsipal.

Dari berbagai ketentuan mengenai keagenan dan distribusi dapat dikemukakan beberapa hal, yakni :

1. Sementara ini belum diatur secara khusus ketentuan tentang distribu­tor. Ketentuan-ketentuan keagCnan dan distribusi cenderung diatur dalam satu peraturan yang sama.

2. Meskipun agen dan distribusi diatur dalam satu ketentuan yang sama tetapi peraturan tersebut tidak secara jelas membedakan kedudukan tugas dan fungsi antara agen dan distributor.

3. Ketentuan keagenan dan distribusi diatur secara sektoral, sehingga tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai agen dan dis­tributor yang dapat digunakan oleh berbagai sektor kegiatan.

4. Berbagai ketentuan keagenan dan distribusi tersebut berpengaruh terhadap jaringan pemasaran a tau distribusi barang dari produsen kepada konsumen.

35

NASKAH AKADEMIS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR TAHUN

TENTANG KEAGENAN

BABI Ketentuan Umum

Pasall

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Agen adalah badan usaha yang ditunjuk oleh prinsipal untuk me1akukan jasa pemasaran, penjualan dan layanan puma jual atas barang dan atau jasa milik prinsipal kepada pihak pembeli/pemakai atas nama dan untuk kepentingan prinsipal. ·

2. Prinsipal adalah pihak yang mempunyai kemampuan dan kewenangan untuk menunjuk dan memberikan kuasa kepada agen serta me1aksanakannya.

3. Keagenan adalah hubungan hukum yang ada dan teljadi sebagai akibat dari adanya peljanjian keagenan antara prinsipal dan agen.

4. Departemen teknis adalah departeman yang dipimpin oleh Menteri, yang secara teknis menangani keagenan, antara lain : Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kesehatan, dan sebagainya.

Penjelasan :

1. Salah satu kriteria dari agen, untuk membedakan dengan distributor, adalah bahwa agen bertindak atas nama dan untuk kepentingan prinsipal. Di pihak lain, dalam melakukan pemasaran dan penjualan distributor bertindak atas nama dan untuk kepentingan sendiri. Dengan disebutkannya pemasaran dan penjualan kepada pembeli/pemakai sebenarnya untuk mempeljelas bahwa agen dalam melakukan pemasaran dan penjualan bisa saja langsung kepada konsumen pemakai (end-user) atau kepada pembe1i lain untuk di jual kembali (termasuk disini adalah penjualan kepada distributor atau penyalur).

36

2. Prinsipal dapat terdiri atas produsen, atau pihak yang mendapat kuasa dan weweoang dari produsen, ataupun pihak lain yang karena sistem perdagangan yang dianut oleh suatu negara akan menjadi prinsipal.

BABD Perjanjian Keagenan

Pasal2

Perjanjian keagenan dibuat oleh dan antara prinsipal dan agen secara tertulis.

Penjelasan :

Untuk menghindari keragu-raguan, kesalahan interpretasi, kemungkinan lupa maka perjanjian keagenan diisyaratkan untuk dibuat secara tertulis. Namun demikian kepada para pihak diberikan kebebasan untuk menetapkan sendiri apakah perjanjian keagenan mereka akan dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan, yang hanya ditanda-tangani oleh para pihak; dibuat dalam bentuk akta notaris; ataupun dalam bentuk lain.

Pasal 3

I. Perjanjian keagenan dibuat untuk jangka waktu tertentu.

2. Kecuali diatur secara lain dalam undang-undang yang khusus, maka perjanjian keagenan dibuat untuk jangka waktu sekurang-kurangnya I (satu) tahun, dengan kemungkinan diadakan perpanjangan.

Penjelasan :

I. Pemasaran dan penjualan suatu barang atau produk pada dasamya akan dilihat hasilnya dari jumlah barang, produk atau jasa yang berhasil dipasarkan dan dijual oleh agen. Prinsipal akan meneruskan hubungannya dengan agen dalam hal agen dinilai sukses memasarkan dan menjual barang, produk atau jasa dari prinsipal. Sebaiknya bila memang agen tidak mampu atau tidak mau lagi bertindak sebagai agen dari prinsipal, maka pemutusan atas perjanjian keagenan dapat dilakukan. Dasar pertimbangan utama adalah tidak ada satu pihak pun yang ingin melakukan kerjasama dan atau juga tidak ada satu pihak pun dapat memaksa untuk meneruskan kerjasama bila yang bersangkutan memang sudah tidak menghendakinya.

37

2. Ketentuan dalam Undang-Undang ini bersifat umum, menetapkan peijanjian keagenan sekurang-kurangnya dibuat untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Ini dimaksudkan untuk mengakomodasikan adanya ketentuan-ketentuan dari departemen teknis yang menetapkan lain. maka yang berlaku adalah jangka waktu yang ditetapkan secara lain oleh suatu departemen teknis. Namun demikian untuk menjamin adanya kepastian hukum penetapan lain tersebut harus dituangkan dalam bentuk (Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri).

Pasal4

Perjanjian keagenan sekurang-kurangnya harus memuat keterangan berikut :

a). Barang dan atau jasa yang akan dipasarkan dan dijual oleh agen; b). Wilayah pemasaran; c). Hak dan kewajiban dari prinsipal dan agen; d). Pengakhiran perjanjian dan akibatnya; e). Penunjukkan agen baru; f). Jaminan-jaminan; g). Hukum yang berlaku; h). Layanan puma jual, dan i). Penyelesaian sengketa.

Penjelasan :

Dalam mempersiapkan suatu perjanjian keagenan, masing-masing pihak, prinsipal dan agen. harus memperhatikan hal-hal yang disebut dan diatur dalam undang­undang ini. Disamping itu, prinsipal dan agen. tetap harus memperhatikan hal­hal yang diatur secara khusus oleh departemen teknis atau instansi/lembaga ter­

tentu lainnya.

38

BABm Penyaratan Agen

Pasal-5

1. Kecuali diatur secara tegas dalam Undang-Undang lain, agen berbentuk badan hukum.

2. Untuk dapat memulai kegiatan usaha sebagai agen, agen harus terdaftar pada dan memperoleh pangakuan sebagai agen dari departemen teknis dan atau lembaga atau instansi yang berkaitan.

3. Ketentuan mengenai tafu cara, prosedur dan persyaratan untuk terdaftar sebagai agen pada, atau memperoleh pengakuan sebagai agen dari departemen teknis dan atau lembaga atau instansi tertentu akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

4. Pelanggaran terhadap ketentuan ayat 2 dan 3 tersebut diatas, akan dikenakan sanksi perdata dan atau administrasi diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Penjelasan :

1. Yang dapat ditunjuk dan bertindak sebagai agen adalah badan hukum yang mungkin berupa perseroan terbatas, koperasi atau badan-badan lain yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku diakui sebagai badan hukum. Untuk alasan praktis, sebuah perseroan terbatas yang belum memperoleh status badan hukum dapat dan diperkenankan untuk ditunjuk sebagai agen, asalkan memenuhi syarat-syarat dan kondisi lain yang ditetapkan oleh departemen teknis dan atau lembaga/instansi yang berwenang.

2. Walupun dikatakan badan hukum dapat ditunjuk sebagai agen, ini tidak berarti bahwa setiap badan hukum yang telah ditunjuk oleh prinsipal sebagai agen, dapat memulai kegiatan usaha sebagai agen dari prinsipal. Untuk dapatnya agen memulai kegiatan usaha mernasarkan, menjual, memberikan jasa dan layanan puma jual dia harus terdaftar pada, dan memperoleh pengakuan sebagai agen dari departemen teknis atau lembaga atau instansi terkait. Dan mengingat bahwa ketentuan dari undang-undang ini dimaksudkan sebagai ketentuan-ketentuan umum yang mengatur tentang keagenan, dan menyerahkan hal-hal teknis kepada departemen atau lembaga atau instansi yang relevan, rnaka peraturan lebih lanjut tentang tata cara, prosedur dan

39

persyaratan tentang pennohonan untuk memperoleh pengakuan sebagai agen diserahkan kepada in:stansi masing-masing departemen teknis, lembaga atau instansi yang relevan tersebut.

Pual6

Jika tidak ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ditentukan lain oleh para pihak agen dapat bertindak sebagai agen untuk lebih dari satu prinsipal. Demikianjuga prinsipal dapat bertindak sebagai prinsipal untuk lebih dari satu agen.

Penjelasan :

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghonnati kebebasan berkontrak dari para pihak, yaitu apakah para pihak yang tersangkut dalam suatu peljanjian keagenan akan membuat peljanjian mereka atas dasar exclusive-basis atau atas dasar non­exclusive basis. Disisi lain,. para pihak tetap harus memperhatikan dan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang mungkin menetap­kan secara tegas apakah suatu peljanjian keagenan diperbolehkan dtbuat atas dasar non-exclusive basis atau sebaliknya harus atas dasar exclusive basis.

J

BABIV Hak dan Kewajiban Prinsipal dan Agen

Terbadap Pihak Ketiga

Pasal7

ika tidak dipeljanjikan lain oleh para pihak :

I. Agen bertanggungjawab kepada pihak ketiga sebagai pemilik barang/pemberi jasa atas barang atau jasa yang dipasarkan, dijual atau diberikan oleh agen kepada konsumen pembeli/pemakai barang atau jasa tersebut.

2. Prinsipal bertanggungjawab kepada agen atas tanggungjawab agen kepada konsumen pembeli atau pemakai sebagaimana di maksud paragraph (a) di atas.

40

Penjelasan :

1. Untuk memberikan kepastian kepada para konsumen pembe1i atau pemakai barang atau jasa bahwa ia berhubungan dengan agen, bahwa agen akan bertanggung jawab atas barang, produk atau jasa yang ia berikan, perlu diberikan penegasan akan hal itu.

Sebaliknya mengingat agen adalah bertindak atas nama dan untuk kepentingan prinsipal, sepanjang tindakan agen yang menimbulkan kerugian, adalah dalam batas kewenangan yang diberikan prinsipal kepada agen, adalah layak bahwa prinsipal akan menjadi bertanggung jawab atas tindakan agen tersebut.

2. Namun demikian dalam hal para pihak menghendaki lain, maka hal tersebut hams dituangkan secara tegas dalam perjanjian yang mereka buat.

BABV Berakhimya Perjanjian Keagenan

Pasal8

1. Perjanjian keagenan akan berakhir dengan lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

2. Pengecualian dari ketentuan paragraph (1) diatas dimungkinkan dalam hal:

a). Perjanjian diperpanjang baik atas dasar ketentuan perjanjian maupun

atas dasar kesepakatan para pihak.

b). Perjanjian diakhiri sebelum lewatnyajangka waktu perjanjian baik atas dasar ketentuan perjanjian maupun atas dasar pengakhiran sepihak oleh salah satu pihak atas dasar ketentuan perjanjian.

Penjelasan :

Azas yang ingin dikedepankan adalah bahwa sepanjang perjanjian keagenan telah dibuat berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dan juga dengan memperhatikan ketentuan dari peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, maka apa yang te1ah disepakati o1eh para pihak harus dihormati, ditaati dan diperlakukan sebagai

41

undang-undang bagi mereka yang membuat dan menandatanganinya. Tercakup dalam pengertian ini adalah kapan perjanjian keagenan berakhir, bagaimana perpanjangan ataupun suatu perjanjian dapat dilakukan.

Pasal9

1. Dalam hal pengakhiran suatu perjanjian keagenan secara sepihak dilakukan dengan tidak memperhatikan ketentuan pasal 8 ataupun dilakukan tanpa adanya alasan yang layak berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pihak lain tidak dapat menerima adanya pengakhiran tersebut, pihak yang diakhiri perjanjiannya berhak menuntut ganti rugi atas kerugian yang terjadi, keuntungan yang diharapkan, investasi yang dilakukan dan biaya-biaya dan ongkos-ongkos yang akan menjadi beban dari pihak yang terhadapnya dilakukan pengakhiran perjanjian keagenan secara sepihak.

2. Dikecualikan dari kewajiban memberi ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat ( 1) pasal ini adalah pengakhiran secara sepihak yang dilakukan karena adanya alasan memaksa, dan adanya alasan memaksa ini telah diberitahukan kepada pihak lain.

Penjelasan :

Pada dasarnya pengakhiran perjanjian hanya dapat di1akukan atas dasar undang­undang ini, peraturan perundang-undangan yang ada telah diSepakati oleh para pihak sebagaimana dituangkan dalam perjanjian keagenan. Dengan demikian adalah layak kepada pihak yang me1akukan pengakhiran perjanjian berpijak pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikenakan kewajiban membayar ganti rugi kepada pihak lainnya.

Dikecualikan dari kewajiban tersebut adalah pengakhiran sepihak yang dilakukan atas dasar keadaan memaksa. Bagi prinsipal, keadaan memaksa meliputi tindakan, sifat dan atau tingkah laku agen yang menjadikan prinsipal secara wajar tidak dapat meneruskan perjanjian keagenan. Bagi agen keadaan-keadaan yang menjadikan agen secara wajar tidak dapat melaksanakan perjanjian keagenan.

PasallO

Perjanjian keagenan juga akan berakhir dalam hal :

1. Agen tidak lagi terdaftar pada, dan mempunyai surat pengakuan sebagai agen yang masih berlaku dari departemen teknis, lembaga atau instansi yang berwenang.

42

2. Salah satu pihak dinyatakan pailit.

3. Perjanjian keagenan batal derni hukum karena adanya cacat hukum untuk sahnya peljanjian.

Perjanjian :

Untuk memungkinkan dilaksanakannya suatu peljanjian keagenan, para pihak dalam perjanjian harus mempunyai kewenangan. Dengan demikian kecuali dipeljanjikan lain dalam peljanjian, apabila salah satu pihak tidak mempunyai wewenang lagi maka berakhir.

BABVI Penyelesaian Sengketa

Pasalll

1. Dalam hal teljadi suatu persengketaan antara para pihak dalam peljanjian keagenan, para pihak harus berusaha untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara musyawarah.

2. Bila penyelesaian secara musyawarah tidak dicapai, para pihak dapat mengajukan masalah mereka kepada dan untuk diselesaikan melalui badan peradilan atau badan arbitrase.

3. Dalam hal para pihak menetapkan bahwa ~ah mereka akan diselesaikan melalui badan arbitrase, para pihak sepakat bahwa keputusan badan arbitrase akan bersifat final dan mengikat.

4. Penyelesaian sengketa oleh badan arbitrase dapat dilakukan secara ad-hoc ataupun yang bersifat institusional, dengan menggunakan peraturan-peraturan yang akan dibuat sendiri oleh mereka ataupun peraturan dari suatu badan arbitrase tertentu.

5. Keputusan yang diambil oleh badan peradilan yang telah mempunyai kekuatan mengikat dan yang dikeluarkan oleh badan arbitrase dapat dipergunakan sebagai dasar pengakhiran suatu peljanjian keagenan.

Penjelasan :

1. Dalam hal timbul persengketaan diantara para pihak, diharapkan mereka

43

dapat menyelesaikannya secara kekeluargaan, melalui musyawarah mufakat. Namun apabila upaya tersebut telah dilakukan temyata penyelesaian melaui cara musyawarah tidak dapat dicapai, para pihak diberi kebebasan untuk menyelesaikan persengketaan mereka melalui jalur pengadilan atau arbitrase.

2. Keputusan badan arbitrase ataupun badan peradilan yang telah mempunyai kekuatan mengikat dapat dipergunakai1 sebagai dasar pengakhiran perjanjian keagenan.

44