35
1 NEGARA KESATUAN PERSPEKTIF PARA PENDIRI NEGARA DAN PASCA PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 1945 1 Oleh: Dr. Nuruddin Hady, SH., MH. 2 A. Latar Belakang Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, pada saat penyusunan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau biasa di singkat BPUPKI, maupun dalam perdebatan di sidang-sidang Dewan Konstituante, persoalan susunan negara menjadi sebuah perdebatan yang sangat menarik pada saat itu, meskipun tidak semenarik perdebatan dalam pembahasan dasar Negara, 3 tetapi perdebatan tentang susunan negara patut untuk mendapatkan perhatian yang sangat serius, karena dari aspek perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia pernah mengalami perubahan ke susunan negara federal, yaitu menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Konstitusi RIS tahun 1949, disamping susunan negara kesatuan dalam UUD 1945 dan UUDS 1950. Pandangan para pendiri negara yang muncul dalam perdebatan di BPUPKI setidaknya terdapat 5 (lima) pandangan penting, yaitu: Pertama, Pandangan negara kebangsaan, yang diantaranya dikemukakan oleh Muh. Yamin, Ir. Soekarno, dan 1 Disampaikan pada Kajian Rutin dengan tema: ”Negara Kesatuan Perspektif Para Pendiri Negara dan Pasca Perubahan UUD Negara RI tahun 1945”, yang diselenggarakan oleh UPT Pusat Pengkajian Pancasila UM, 10 Juni 2016. 2 Staf Pengajar pada Jurusan HKn FIS UM, mantan Anggota KPU Kota Malang tahun 2003-2006. 3 Perdebatan tentang dasar-dasar Indonesai merdeka ini dapat dilihat selengkapnya dalam Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995. Lihat juga dalam Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Prapantja, Jakarta, 1960. Lihat dan bandingkan juga dalam A. Buyung Nasution, “Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, studi sosio-legal atas Konstituante 1956-1959”, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995. Lihat juga dalam Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, h. 331-333.

negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

  • Upload
    ngokien

  • View
    248

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

1

NEGARA KESATUAN PERSPEKTIF PARA PENDIRI NEGARA DAN

PASCA PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 19451

Oleh: Dr. Nuruddin Hady, SH., MH.2

A. Latar Belakang

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, pada saat

penyusunan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau biasa di singkat BPUPKI,

maupun dalam perdebatan di sidang-sidang Dewan Konstituante,

persoalan susunan negara menjadi sebuah perdebatan yang

sangat menarik pada saat itu, meskipun tidak semenarik

perdebatan dalam pembahasan dasar Negara,3 tetapi perdebatan

tentang susunan negara patut untuk mendapatkan perhatian yang

sangat serius, karena dari aspek perjalanan sejarah

ketatanegaraan Republik Indonesia pernah mengalami perubahan

ke susunan negara federal, yaitu menjadi Republik Indonesia

Serikat (RIS) dengan Konstitusi RIS tahun 1949, disamping

susunan negara kesatuan dalam UUD 1945 dan UUDS 1950.

Pandangan para pendiri negara yang muncul dalam

perdebatan di BPUPKI setidaknya terdapat 5 (lima) pandangan

penting, yaitu: Pertama, Pandangan negara kebangsaan, yang

diantaranya dikemukakan oleh Muh. Yamin, Ir. Soekarno, dan

1

Disampaikan pada Kajian Rutin dengan tema: ”Negara Kesatuan Perspektif Para Pendiri Negara dan Pasca Perubahan UUD Negara RI tahun

1945”, yang diselenggarakan oleh UPT Pusat Pengkajian Pancasila UM, 10 Juni

2016. 2 Staf Pengajar pada Jurusan HKn FIS UM, mantan Anggota KPU Kota

Malang tahun 2003-2006. 3 Perdebatan tentang dasar-dasar Indonesai merdeka ini dapat dilihat

selengkapnya dalam Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995. Lihat juga dalam Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Prapantja, Jakarta, 1960. Lihat dan bandingkan juga dalam A. Buyung Nasution, “Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, studi sosio-legal atas Konstituante 1956-1959”, Pustaka Utama

Grafiti, Jakarta, 1995. Lihat juga dalam Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2011, h. 331-333.

Page 2: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

2

Soekiman; kedua, pandangan negara Integralistik, yang

dikemukakan oleh Soepomo; ketiga, Pandangan negara

kesejahteraan, yang dikemukakan oleh M. Hatta; dan keempat,

Pandangan negara Islam, yang didukung oleh M. Natsir, Ki Bagus

Hadikuesoemo, K.H. Masjkoer dan Abdoel Kahar Moezakkir serta

didukung oleh H. Agus salim, dan KH. Abdoel Wachid Hasjim, dan

kelima, pandangan Negara demokrasi yang tercermin dalam

pandangan M. Hatta.4

Pandangan pertama, disampaikan oleh Muh. Yamin yang

berbicara pada urutan pertama pada tanggal 29 Mei 1945. Muh.

Yamin antara lain mengemukakan bahwa negara yang akan

dibentuk adalah suatu negara kebangsaan Indonesia atau suatu

Nationale Staat yang sewajarnya dengan peradaban kita dan

menurut susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan

ke-Tuhanan.5 Pada kesempatan itu Muh. Yamin menyampaikan

lima asas sebagai dasar bagi Indonesia merdeka, yaitu; (i). Peri-

Kebangsaan, (ii). Peri-Kemanusiaan, (iii). Peri-Ketuhanan, (iv). Peri-

Kerakyatan, dan (v). Kesejahteraan rakyat.6

Pandangan negara kebangsaan berikutnya disampaikan oleh

Ir. Soekarno, pada pidato 1 juni 1945, yang sebetulnya menjawab

permintaan dari ketua BPUPKI Radjiman Widjodiningrat. Bung

Karno mengatakan bahwa yang diminta ketua sebenarnya adalah

philosofische gronslag Indonesia Merdeka. Philosofische gronslag

yang dalam bahasa jerman disebut Weltanschauung, adalah

fundamental, filsafat, pikiran, jiwa dan hasrat yang sedalam-

4 Dalam pandangan A. Buyung Nasution, dalam disertasinya

mengemukakan terdapat tiga konsep negara yang saling bertentangan dalam

sidang BPUPKI maupun dalam sidang-sidang di dewan konstituante, yaitu; Pertama, konsep Negara Integralistik, yang menganggap negara sebagai

perwujudan kesatuan pemerintah dan rakyat; Kedua, Negara Islam, yakni

negara sebagai perwujudan umat Islam, dan ketiga, Negara Konstitusional yang

didasarkan pada pengakuan HAM dan Kedaulatan Rakyat. Lihat lebih lanjut dalam A. Buyung Nasution, Ibid, h. 86-87.

5 Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia,

Jakarta, 1995, h. 11. 6 Ibid, h.10-25.

Page 3: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

3

dalamnya bagi didirikannya gedung Indonesia Merdeka yang kekal

dan abadi.

Ir. Soekarno, dalam pidatonya pada 1 juni 1945 secara

panjang lebar mengilustrasikan pandangannya lebih lanjut

tentang pembentukan dasar-dasar suatu negara ini, dengan

membandingkan dasar-dasar negara bangsa lain. Pembentukan

suatu bangsa menurut Ir. Soekarno adalah pertama-tama karena

adanya „kesamaan riwayat‟ (nasib) dan kehendak untuk bersatu.7

Pandangan Ir. Soekarno yang disampaikan pada tanggal 1 juni

1945 dengan uraian yang dilatari oleh pengetahuan sejarah yang

luas, ia mengemukakan rumusan pemikirannya yang disebutnya

dengan Pancasila, sebagai dasar filsafat negara, dengan susunan

Pancasila 1 juni 1945 yang diusulkan itu ialah: (1) Kebangsaan

Indonesia; (2) Internasionalisme atau peri-kemanusiaan; (3)

Mufakat atau Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; dan (5)

Ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima dasar itulah yang

disarankan oleh Ir. Soekarno sebagai dasar-dasar Indonesia

Merdeka yang akan didirikan itu.8

7 Menurut Ir. Soekarno, Lenin, misalnya mendirikan negara Sovyet pada

tahun 1917, namun weltanschauung-nya telah dipersiapkan 22 tahun

sebelumnya yaitu pada tahun 1895, pada tahun 1905, weltanschauung tersebut

telah digladiresikkan lebih dahulu. Sedangkan Hitler mendirikan Negara Jermania pada tahun 1933, tetapi dasar negaranya, National Sosialistische weltanschauung, telah dipersiapkan 12 tahun sebelumnya pada tahun 1921.

Sama seperti Lenin, sebelum 1933, National Sosialistische weltanschauung Jerman itu pun telah dicobakan pada Munchener Putsch, tetapi gagal. Sun Yat

Sen mendirikan Negara Tiongkok Merdeka pada tahun 1912, tetapi weltanschauung-nya yang disebut Sun Min Sui (Mintsu, Minchuan, dan Minseng), telah dipersiapkan 27 tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1885.

Demikian juga dengan weltanschauung yang diusulkan oleh Bung Karno tanggal

1 juni 1945, menurut pengakuannya telah ia persiapkan 27 tahun sebelumnya pada tahun 1918. Lihat, ibid, h. 69-70.

8 Pada saat menyampikan pandangannya itu, Ir. Soekarno menyebutnya

sebagai Pancasila, Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah

kita mendirikan Negara Indonesia kekal dan abadi. Selain itu, Ir. Soekarno juga

menawarkan apabila usulannya diperas menjadi tiga yang disebutnya sebagai Tri Sila, yaitu socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ke-Tuhanan. Dan

apabila yang tiga diperas lagi menjadi satu – Eka Sila yaitu „gotong royong‟,

negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong yang

menurutnya lebih dinamis dari „kekeluargaan‟, karena menggambarkan satu

Page 4: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

4

Kedua, pandangan negara „integralistik‟ yang dikemukakan

oleh Soepomo yang berbicara pada tanggal 31 Mei 1945 di sidang

BPUPKI, dengan memberikan uraiannya tentang dasar-negara

yang seharusnya dapat digunakan jika negara indonesia kelak

merdeka dikemudian hari. Soepomo mengemukakan pendapatnya

tentang struktur negara yang bergantung pada paham mengenai

negara (staatsidee). Dalam uraiannya Soepomo menjelaskan 3

(tiga) perspektif mengenai negara dan masyarakat dengan

menyebut pendapat ahli-ahli filsafat barat klasif. (1) Perspektif

individualistik yang diajukan oleh Hobbes, Locke, dan Rousseau.

Menurut Soepomo, dalam perspektif ini negara merupaan

masyarakat hukum yang berdasarkan kontrak; (2) Perspektif kelas

yang diajukan oleh Karl Marx dan Lenin, yang memandang negara

sebagai alat golongan yang menguasai sistem ekonomi untuk

menindas golongan lain; (3) Perspektif integralistik yang diajukan

oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel, yang menganggap bahwa

fungsi negara tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau

golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat

seluruhnya sebagai persatuan.9

Soepomo menyampaikan persetujuannya dengan pemikiran

Hatta, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya

urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Kemudian,

Soepomo menegaskan pendiriannya bahwa yang hendak didirikan

adalah negara nasional yang bersatu, yaitu negara yang tidak

akan mempersatukan dirinya dengan golongan yang terbesar,

tetapi yang akan mengatasi segala golongan dan akan

menghormati keistimewaan dari segala golongan, baik golongan

yang besar maupun golongan yang kecil. Dengan sendirinya

menurut Soepomo, dalam negeri nasional yang bersatu itu urusan

usaha, satu amal, satu pekerjaan-- „satu karyo, satu gawe‟. Lihat Risalah Sidang

BPUPKI, h. 80-83. 9 Risalah Sidang BPUPKI, h. 33.

Page 5: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

5

agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinya

dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama akan

diserahkan kepada golongan-golongan agama yang

bersangkutan.10 Pandangan Soepomo, yang didasari oleh pikiran

Spinoza dan Hegel ini, merupakan cakupan dari azas-azas sebagai

berikut; (i). Persatuan, (ii). Kekeluargaan, (iii). Keseimbangan lahir

dan batin, (iv). Musyawarah dan, (v). Keadilan Rakyat11 Adapun

yang merupakan ciri khas dari pandangan negara „integralistik‟

Soepomo tersebut yaitu kesatuan antara pemerintah dan rakyat.12

Ketiga, pandangan negara kesejahteraan yang dikemukakan

oleh M. Hatta yang berpijak pada asas kekeluargaan yang pada

akhirnya melahirkan rumusan Pasal 33 UUD 1945.13 Rumusan

Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa: “....Perekonomian

disusun sebagai usaha bersama (mutual endeavour) berdasar atas

asas kekeluargaan (brotherhood)....” merupakan suatu konsepsi

normatif yang dipersembahkan Hatta untuk membentuk sistem

ekonomi berdasarkan ukhuwah, baik dinniyah maupun

wathoniah, dan barangkali pula menggapai dimensi bashoriah.

Lebih jauh Hatta telah mengajukan konsepsinya tentang

“demokrasi ekonomi” yang harus mendampingi “demokrasi

politik”. Menurut Hatta kerakyatan dalam sistem ekonomi

mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat,

khususnya hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada

kedaulatan rakyat atau demokrasi. Lebih dari itu Hatta pun

menegaskan bahwa demokrasi Indonesia dasarnya adalah paham

kebersamaan yang berbeda dengan demokrasi Barat yang

dasarnya adalah liberalisme dan individualisme. Paham

kebersamaan ini adalah sikap bergotong-royong yang saling tolong

menolong dan ber-ukhuwah mengutamakan kerjasama

10 Ibid, h. 38. 11 Anhar Gonggong, ...,Op.Cit, h. 10-11. 12 A. Buyung Nasution, .....,Op. Cit, h. 105-106. 13 Lihat dan bandingkan dalam Yudi Latif, Op. Cit, h. 541-542.

Page 6: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

6

(cooperation), bukan mengutamakan persaingan (free competition).

Inilah kultur dan tradisi Indonesia yang tentulah pula sangat

islami, yang diartikulasikan Hatta pada konstelasi normatif

tertinggi, yaitu konstitusi.14

Keempat, pandangan negara Islam, yang dikemukakan oleh

K.H. Sanoesi,15 Muzakkir, Ki Bagus Hadikuesoemo. Setidaknya,

pandangan negara Islam ini tercermin dari pidato Ki Bagus

Hadikuesoemo pada sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945.16

Adapun pokok-pokok argumentasinya, antara lain sebagai berikut:

(i) bahwa agama merupakan pangkal persatuan; (ii) Islam

membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan,

berdasarkan kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan

memeluk agama; (iii) Islam tidak bertentangan, bahkan sangat

sesuai dengan kebangsaan kita; (iv) Islam merupakan ajaran

lengkap yang menyuruh masyarakat didasarkan atas hukum Allah

dan agama Islam; (v) Akhlak perseorangan harus mendapatkan

perbaikan, dan ajaran-ajaran Islam tentang perbaikan

perseorangan dan masyarakat; (vi) Isalam mengajarkan persatuan

atas dasar persaudaraan yang kokoh, maka bangunkanlah Negara

di atas dasar ajaran Islam; dan (vii) Islam membangun

pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan, berdasar

kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama.17

Inti dari pandangan tokoh-tokoh Islam ini adalah

menempatkan agama Negara adalah agama Islam dan bahwa

Negara Indonesia baru harus berdasarkan Islam sesuai dengan Al-

14 Sri Edi Swasono, Religiusitas Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta,

dalam Kata Sambutan Bung Hatta dan Ekonomi Islam, LP3M STIE Ahmad

Dahlan, Jakarta, 2008. 15 Naskah Pidato K.H. Sanoesi tidak ditemukan dalam Risalah Sidang

BPUPKI, lihat RM. AB. Kusuma, Op.Cit, h. 133. 16 Naskah Pidato Ki bagus Hadikusumo dalam Risalah sidang di BPUPKI

yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI tahun 1995 tidak ditemukan, tetapi

dalam bukunya RM. AB. Kusuma, naskah pidato tersebut tertulis secara lengkap. Lihat RM.AB. Kusuma, Ibid, h. 136-148.

17 Ibid, h. 136-143.

Page 7: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

7

Qur‟an dan Sunnah. Meskipun tuntutan mereka sangat ditentang

oleh para pemimpin nasionalis (Soekarno, Hatta, dan Soepomo),18

namun pada akhirnya pandangan inilah yang kemudian

melahirkan konsep Piagam Jakarta. Karena sikap mereka yang

tidak kenal mundur, akhirnya mereka berhasil memperoleh

konsesi penting, kompromi politik dalam BPUPKI dari kaum

nasionalis, yaitu menerima pemuatan teks yang dikenal sebagai

Piagam Jakarta yang telah disepakati oleh panitia sembilan yang

diketuai oleh Soekarno pada tanggal 22 juni 1945 untuk

dicantumkan dalam Pembukaan. 19 Meskipun pada akhirnya,

setelah melewati saat-saat yang cukup kritis,20 maka pada tanggal

18 agustus 1945, wakil-wakil Ummat Islam akhirnya menyetujui

usul penghapusan anak kalimat tersebut dari Pembukaan UUD

1945 dan Pancasila. Tetapi sila pertama, yaitu sila Ketuhanan

mendapat tambahan atribut yang sangat kunci sehingga menjadi:

“Ketuhanan Yang Maha Esa”.

18 Soepomo sendiri, sebetulnya juga mengakui bahwa Islam sebagai

suatu sistem kehidupan manusia yang komprehensif, tetapi karena Indonesia

mempunyai keistimewaan-keistimewaan khas, maka gagasan tentang negara

islam harus ditolak. Indonesia katanya tidaklah sama dengan Irak, Iran, Mesir, atau Suriah yang jelas-jelas bercorak Islam (Corpus Islamicum). Selain alasan

ini, Supomo juga meragukan apakah syari‟ah yang ada sekarang dapat

memenuhi kebutuhan manusia modern. Sampai pada batas tertentu, Soepomo

mungkin benar dalam penilaiannya terhadap isi syari‟ah yang ada sekarang;

tetapi untuk memasangkan suatu sistem politik yang sepenuhnya sekuler atas

kehidupan ummat Islam, disamping tidak akan berjalan, dalam jangka panjang,

juga dapat membahayakan eksistensi Islam itu sendiri. Lihat lebih lanjut dalam Ahmad Syafi‟i Maarif, Op cit, h. 108.

19 Lihat lebih lanjut dalam M. Yamin, I, hlm 145-197, lihat juga dalam Ibid, h. 102. Lihat dan bandingkan juga dalam Ahmad Syafi‟i Maarif, Ibid,

h.108-109. 20 Pasca pidato dari kelompok islam, ditanggapi oleh Sam Ratulangi dan

Latoeharhary. Tanggapan mereka cukup singkat namun tegas, mereka mengatakan kalau Badan Penyelidik nantinya menetapkan bahwa dasar

indonesia merdeka adalah Islam, maka mereka akan mengundurkan diri dari

sidang dan selanjutnya tidak ikut bertanggungjawab lagi. Tanggapan itu sudah

barang tentu mengakibatkan suasana sidang menjadi tegang. Dalam suasana

yang demikian, Bung Karno dengan suara terbata-bata diiringi dengan cucuran

air mata menyatakan kesedihan hatinya, karena persoalan dasar agama akan mengakibatkan perpecahan dikalangan bangsa indonesia. Ketua sidang Dr.

Radjiman Widyodiningrat tanggap akan suasana sidang, dan segera menskors sidang sampai hari berikutnya. Lihat RM. AB. Kusuma, Op, cit, h. 355.

Page 8: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

8

Kelima, pandangan negara demokrasi yang menghargai

nilai-nilai hak asasi manusia. Hal itu tercermin dalam pandangan

M. Hatta yang nampaknya menggambarkan kekhawatirannya

akan munculnya negara kekuasaan, apabila jaminan hak-hak

rakyat, seperti kebebasan berbicara dan berpendapat tidak

mendapatkan jaminan dalam konstitusi. Hal ini menurut Hatta

merupakan tanggung jawab untuk tetap menjaga agar supaya

negara Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan, sebab

menurutnya negara Indonesia didasarkan kepada kedaulatan

rakyat.

Pandangan-pandangan para pendiri negara sebagaimana

yang telah dipaparkan diatas pada intinya menggambarkan pola

pikir mereka dalam menyumbangkan pemikiran tentang

konstruksi bangunan negara Indonesia yang akan dibangun.

Pertarungan gagasan tersebut tidak lepas dari tantangan yang

dihadapi Indonesia pada masa itu, disamping dipengaruhi oleh

latar belakang mereka, baik dari aspek pendidikan maupun aspek

sosial, politik dan gerakan keagamaan.

B. ISU HUKUM

Beranjak dari latar belakang dan realitas diatas, maka isu

hukum yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Filosofi negara Kesatuan menurut para pendiri negara; dan

2. Negara Kesatuan pasca perubahan UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

C. FILOSOFI NEGARA KESATUAN MENURUT PARA PENDIRI

NEGARA

1. Perdebatan Susunan Negara pada sidang di BPUPKI.

Persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung selama dua

kali masa persidangan. Masa persidangan pertama berlangsung

Page 9: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

9

dari tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 1 juni 1945.

Sedangkan masa sidang kedua berlangsung dari tanggal 10 Juli

sampai dengan tanggal 17 Juli 1945.21

1.1. Perdebatan Masa Sidang Pertama (28 Mei–1 Juni 1945).

Dalam perdebatan yang muncul pada masa sidang Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPK), pembahasan susunan negara termasuk menjadi pokok

bahasan utama selain pembahasan dasar ideologi negara. Tetapi

dalam masa persidangan pertama yang berlangsung dari tanggal

29 Mei sampai dengan tanggal 1 juni 1945, pidato Muh. Yamin

dan Soepomo yang paling banyak mengemukakan secara eksplisit

terkait dengan susunan bentuk negara. Sementara pidato Ir.

Soekarno pada tanggal 1 juni 1945 lebih banyak memberikan

pandangan tentang “Philosofische grondslag” atau “weltanschaung”

bagi Indonesia Merdeka, dan tidak menyebut secara eksplisit

bentuk negara yang ingin diwujudkan. Meskipun demikian, secara

substansi pokok-pokok pikiran yang dikemukakan oleh Ir.

Soekarno mengandung filosofi yang sangat mendasar bagi

bangunan Indonesia merdeka yang hendak diwujudkan.

Pada persidangan pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945,

dengan agenda utama membahas tentang Dasar Negara Indonesia,

adalah Muh. Yamin yang diberikan kesempatan pertama oleh

Ketua BPUPKI Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, untuk

memberikan pandangannya dihadapan Rapat Besar BPUPKI.

Dalam pidatonya, Muhammad Yamin secara tegas mengatakan

bahwa Indonesia ialah negara persatuan yang tidak terpecah-

pecah, dibentuk diatas dan didalamnya badan bangsa Indonesia

yang tidak terbagi-bagi. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan

atas faham unitarisme.22 Salah satu poin penting dalam pidato

21 Risalah Sidang BPUPKI, Sekretaris Negara Republik Indonesia,

Jakarta, 1995. 22 Ibid, h. 21.

Page 10: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

10

yang disampaikan Muhammad Yamin mengenai bentuk negara

indonesia disampaikan sebagai berikut.

.....Kesejahteraan Rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia Merdeka ialah pada ringkasnya keadilan

masyarakat atau keadilan sosial. Negara akan dipangku oleh bangsa dan penduduk yang hampir mendekati 100 juta jiwa. Inilah negara Kesejahteraan baru, yang sudah besar dan

mulia pada hari pelantikan. Dalam peperangan dunia pertama bangsa indonesia dengan cita-citanya terjerumus

kedalam jurang penjajahan. Dalam peperangan dunia kedua, berkat bantuan Balatentara Dai Nippon, dan berkat kesungguhan perjuangan rakyat Indonosea kita ditakdirkan

Tuhan naik dari kedudukan jajahan menjadi rakyat Negara Merdeka. Jadi, bentuk negara Indonesia yang merdeka berdaulat itu ialah suatu Republik Indonesia yang tersusun

atas faham unitarisme.” 23

Dalam pandangan Muhammad Yamin pilihan bentuk negara

Indonesia yang tersusun atas faham unitarisme, terkait erat

dengan tujuan negara Indonesia Merdeka yang hendak

diwujudkan yaitu kesejahteraan masyarakat atau keadilan sosial.

Muhammad Yamin menolak segala ketata negaraan atau bagian-

bagiannya yang melanggar dasar permusyawaratan, perwakilan

dan pikiran. Muhammad Yamin juga menolak faham: federalisme

(persekutuan), feodalisme (susunan lama), monarchi (kepala

negara berturunan), liberalisme, autokrasi dan birokrasi, serta

demokrasi Barat.24 Maka, dia selalu menekankan perlunya syarat

mutlak bagi sebuah negara yang ingin didirikan, yaitu

berhubungan langsung dengan dasar permusyawaratan,

perwakilan, dan kebijaksanaan. Ketiga dasar itulah yang menurut

Muhammad Yamin menjadi syarat mutlak bagi berdirinya Negara

Indonesia.

Muhammad Yamin, juga menyinggung perlunya Indonesia

menjalankan pembagian pekerjaan negara atas jalan

23 Ibid, h. 28. Lihat juga dalam Muh. Yamin, Op. Cit, h. 106. 24 Ibid, h. 20-21.

Page 11: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

11

desentralisasi atau dekonsentrasi yang tidak mengenal federalisme

atau perpecahan negara, Muhammad Yamin mengemukakan.25

Negara Rakyat Indonesia menjalankan pembagian pekerjaan negara atas jalan desentralisasi atau dekonsentrasi yang

tidak mengenal federalisme atau perpecahan negara.

Pandangan Muhammad Yamin, terkait dengan perlunya

daerah diberikan „otonomi‟ melalui desentralisasi atau

dekonsentrasi yang tidak mengenal federalisme atau perpecahan

negara. Muhammad Yamin telah berpikir jauh kedepan bagaimana

membangun pola hubungan antara pemerintah Pusat dengan

pemerintah daerah dalam kerangka negara kesatuan yaitu melalui

desentralisasi ataupun dekonsentrasi, tetapi tidak mengarah pada

federalisme atau perpecahan negara. Hal ini penting, mengingat

perdebatan yang selalu muncul dalam beberapa dasawarsa, terkait

dengan politik hukum Otonomi Daerah, khususnya bagaimana

pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah masih belum memiliki persepsi yang sama, sehingga

kebijakan rezim Soeharto yang sentralistik berimplikasi pada

munculnya gerakan separatisme di daerah yang mengancam

disintegrasi bangsa. Sementara di era reformasi politik hukum

otonomi daerah sudah mengarah pada federalisme.

Pada pidato tanggal 31 Mei 1945 dihadapan rapat Besar

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) di gedung chuuoo Sangi-in Jakarta, gagasan mengenai

susunan negara juga disampaikan oleh Supomo. Ada 3 (tiga) hal

menarik untuk dikemukakan terkait dengan pembahasan

susunan bentuk negara yang disampaikan oleh Soepomo, yaitu:

Pertama, apakah Indonesia akan berdiri sebagai persatuan negara

(Eenheidsstat) atau negara serikat (Bondstaat) atau sebagai

persekutuan negara (Statenbond), kedua; persoalan hubungan

25 Risalah Sidang BKUPKI, Op. Cit, h. 22.

Page 12: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

12

antara negara dan agama, ketiga: apakah Republik atau Monarchi.

Menurut Soepomo, sebelum membicarakan soal persatuan negara,

atau negara serikat, Republik atau Monarchi, terlebih dahulu kita

membicarakan soal yang disebut negara itu, negara menurut

dasar pengertian apa, oleh karena segala pembentukan susunan

negara itu tergantung dari pada dasar pengertian (Staatsidee)

apa?.26 Dalam melihat susunan negara, Soepomo mengemukakan

sebagai berikut:

“Tentang persatuan negara atau negara serikat atau tentang Republik atau Morarchi, itu sebetulnya menurut pendapat saya, soal bentuk susunan negara ..........”27

Soepomo lebih menekankan pada tiap-tiap negara

mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri berhubung dengan

riwayat dan corak masyarakatnya. Oleh karena itu politik

pembangunan Negara Indonesia menurut Soepomo harus

disesuaikan dengan “sociale structuur” masyarakat Indonesia yang

nyata pada masa sekarang serta harus disesuaikan dengan

panggilan zaman. Dalam pandangan Soepomo, dasar persatuan

dan kekeluargaan sangat sesuai dengan corak masyarakat

Indonesia yang asli yang tidak lain ialah ciptaan kebudayaan

indonesia, ialah buat aliran pikiran atau semangat kebatinan

bangsa Indonesia. Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia

yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat

Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran

(Staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan

seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya

dalam lapangan apapun.28

Persoalan yang berkaitan dengan susunan bentuk negara,

apakah negara kesatuan (eenheidsstaat) atau negara serikat

(bondstaat) atau negara persekutuan (federatie), maka secara tegas

26 Ibid, h. 32. Lihat juga dalam Yudi Latif, Op. Cit, h. 331-333. 27 Ibid, h. 110. 28 Risalah Sidang BKUPKI, Op. Cit, h. 35-36.

Page 13: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

13

Soepomo menolak negara federasi dengan alasan karena dengan

mengadakan federasi, bukanlah mendirikan suatu negara, tetapi

beberapa negara, sedangkan kita hendak mendirikan satu negara.

Lebih lanjut Soepomo menegaskan:

Sekarang saya membicarakan soal yang berhubungan dengan bentuk susunan negara. Apakah negara kesatuan

(eenheidsstaat) atau negara serikat (bondstaat) atau negara persekutuan (federatie) ?. Dengan sendirinya negara secara

federasi kita tolak, karena dengan mengadakan federasi itu, bukanlah mendirikan satu negara, tetapi beberapa negara.

Sedang kita hendak mendirikan satu negara. Jadi tinggal membicarakan “eenheidsstaat” atau “bondstaat”. Jika benar, bahwa “bondstaat” itu juga satu negara belaka, maka lebih

baik kita tidak memakai “eenheidsstaat” atau “bondstaat”, oleh karena perkataan-perkataan itu menimbulkan salah

paham.29

Soepomo juga sependapat dengan pandangan Moh. Hatta,

terkait dengan sentralisasi atau disentralisasi pemerintahan yang

tergantung dari pada masa, tempat dan soal yang bersangkutan.

Segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai

keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat dan kedudukan

sendiri-sendiri, sebagai bagian organik dari negara seluruhnya.

Sedangkan soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh

pemerintahan pusat dan soal apakah yang akan diserahkan

kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah

kecil, itu semuanya akan tergantung dari pada “doelmatigheid”

berhubungan dengan waktunya, tempatnya dan juga soalnya.

Soepomo mengemukakan:

Sebagaimana telah diuraikan oleh anggota yang terhormat tuan Muh. Hatta, maka dalam negara itu soal sentralisasi

atau disentralisasi pemerintahan tergantung dari pada masa, tempat dan soal yang bersangkutan. Maka, dalam

Negara Indonesia yang berdasar pengertian negara integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat

dan kedudukan sendiri-sendiri, sebagai bagian organik dari

29

Ibid, h. 41.

Page 14: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

14

negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal apakah yang akan

diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil, itu semuanya akan tergantung dari pada “doelmatigheid” berhubungan dengan waktunya,

tempatnya dan juga soalnya. Misalnya soal ini, pada masa ini dan pada tempat ini, lebih baik diurus oleh pemerintah

daerah, sedangkan soal itu, pada masa itu dan tempat itu lebih baik diurus oleh pemerintah pusat, Jadi dalam negara totaliter atau integralistik, negara akan ingat kepada segala

keadaan, hukum negara akan memperhatikan segala keistimewaan dari golongan-golongan yang bermacam-macam adanya ditanah-air kita itu. Dengan sendirinya

dalam negara yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar, banyak soal-soal pemerintahan yang harus

diserahkan kepada pemerintah daerah. Sekian tentang bentuk susunan negara.30

Gagasan negara integralistik yang dikemukakan oleh

Soepomo didalamnya juga mengandung pemikiran bahwa

perlunya memperhatikan keistimewaan dari golongan-golongan

yang begitu beragam yang ada di tanah air Indonesia. Dengan

demikian, dalam negara yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu

besar, banyak persoalan pemerintahan yang harus diserahkan

kepada pemerintah daerah. Soepomo menyadari negara Indonesia

yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar tidak mungkin

bisa diurus oleh pemerintah pusat, maka keberadan pemerintah

daerah perlu diberikan kewenangan sesuai dengan tujuannya.

Terkait dengan pilihan apakah republik atau monarchi,

maka Supomo mengatakan hal itu tidak mengenai dasar susunan

pemerintahan. Soepomo menegaskan sebagai berikut:

Apakah kita akan mengangkat seorang sebagai Kepala

Negara dengan hak turun-temurun, atau hanya untuk waktu yang tertentu, itulah hanya mengenai bentuk

susunan pemimpin negara yang nanti akan kita selidiki dalam badan ini. Caranya mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah diturut cara pilihan menurut sistem

demokrasi Barat, oleh karena pilihan secara sistem

30

Ibid, h. 41. Lihat juga dalam Muhammad Yamin, Op. Cit, h. 117-118.

Page 15: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

15

demokrasi Barat itu berdasar atas paham perseorangan. Untuk menjamin supaya pimpinan negara terutama Kepala

Negara terus-menerus bersatu jiwa dengan rakyat, dalam susunan pemerintahan Negara Indonesia, harus dibentuk sistem badan permusyawaratan. Kepala Negara akan terus

bergaul dengan Badan Permusyawaratan supaya senantiasa mengetahui dan merasakan rasa keadilan rakyat dan cita-cita rakyat.31

Pandangan Supomo diatas, secara implisit tidak

mempersoalkan pilihan antara republik atau kerajaan, tetapi

Soepomo lebih menekankan pada cara mengangkat pemimpin

negara tidak menurut sistem demokrasi Barat yang berdasar atas

paham perseorangan. Secara eksplisit Soepomo menolak sistem

parlementer, dan mengusulkan perlunya dibentuk sistem Badan

permusyawaratan.

1.2. Perdebatan Masa Sidang Kedua (10-17 Juli 1945)

Dalam sidang BPUPKI, pembicaraan terkait susunan negara

berlanjut pada masa sidang kedua tanggal 10 Juli 1945 sampai

dengan tanggal 17 Juli 1945. Sebelum ketua sidang Radjiman

Wedyodiningrat memberikan kesempatan kepada anggota BPUPKI

untuk memberikan pandangannya terkait dengan bentuk negara,

maka Ketua BPUPKI terlebih dahulu memberikan kesempatan

kepada ketua Panitia Kecil untuk membacakan hasil kerjanya. Ir.

Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil menyampaikan hasil

tugasnya, dimana dari 40 usul yang telah disampaikan anggota

BPUPKI mengenai 32 persoalan, dan apabila digolongkan lagi

persoalan-persoalan tersebut dapat dimasukkan dalam sembilan

persoalan, yaitu: (1) usul yang meminta Indonesia Merdeka

selekas-lekasnya; (2) usul mengenai dasar negara; (3) usul

mengenai soal unificatie atau federatie; (4) usul mengenai bentuk

negara dan Kepala Negara; (5) usul mengenai warga –negara; (6)

31

Ibid, h. 42.

Page 16: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

16

usul mengenai daerah; (7) usul mengenai soal agama dan negara;

(8) usul mengenai pembelaan; dan (9) usul mengenai soal

keuangan.32

Dari berbagai usulan yang masuk itulah, maka Panitia Kecil

mengusulkan kepada ketua BPUPKI beberapa hal sebagai berikut:

(1) Badan Penyelidik ini menentukan bentuk negara dan

menyusun Hukum Dasar Negara; (2) Minta lekas dari Pemerintah

Agung di Tokyo pengesahan Hukum Dasar itu dan minta agar

dengan selekas-lekasnya diadakan Badan Persiapan

Kemerdekaan, yang kewajibannya ialah sekedar

menyelanggarakan Negara Indonesia Merdeka di atas Hukum

Dasar yang ditentukan oleh Badan Penyelidik, serta melantik

pemerintah nasional; dan (3) soal tentara kebangsaan dan soal

keuangan.33

Setelah Ir. Soekarno membacakan hasil kerja Panitia Kecil,

Ketua BPUPKI Radjiman kemudian mempersilahkan kepada para

anggota BPUPKI untuk memberikan usul soal hukum dasar

ataupun terkait dengan bentuk negara. Pada sidang tanggal 10

Juli 1945 tersebut, terdapat beberapa anggota BPUPKI yang

mengemukan pandangannya terkait dengan bentuk negara, tetapi

nampaknya para anggota BPUPKI belum memiliki pemahaman

yang sama terkait dengan apa sebetulnya bentuk negara yang

dimaksud. Hal ini setidaknya tercermin dari pandangan anggota

BPUPKI Wongsonegoro, KI Bagus Hadikusumo, Dahler dan

Singgih, pada sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 digedung

Pedjambon. Berbeda dengan pandangan Muhammad Yamin dan

Soepomo, persoalan yang berkaitan dengan susunan negara,

adalah apakah negara persatuan, negara serikat atau negara

persekutuan. Sementara pemahaman Wongsonegoro, KI Bagus

Hadikusumo, Dahler, dan Singgih, persoalan bentuk negara

32 Risalah Sidang BPUPKI, h. 89. 33 Ibid, h. 92.

Page 17: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

17

berkaitan dengan republik atau monarki. Menurut Wongsonegoro,

bentuk yang kita kehendaki, jangan kita memakai begitu saja

perkataan republik atau monarki, meskipun Wongsonegoro

menegaskan setiap orang yang mengetahui bentuk negara modern,

bahwa susunan negara itu tergantung „in de laatste en hoogste

instantie‟ pada votum rakyat. Wongsonegoro tidak sependapat

dengan penggunakan istilah republik atau monarkhi atau

menggunakan perkataan asing lainnya, karena menurutnya belum

tentu hal itu sesuai dengan maksud dan tafsir yang diinginkan.

Oleh karena itu, menurutnya anggota BPUPKI harus membuat

istilah baru yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Wongsonegoro

juga menghendaki pilihan bentuk Republik atau kerajaan

diserahkan kepada keinginan rakyat. Pandangan senada juga

dikemukakan oleh KI Bagus Hadikusumo, yang mengatakan:

Tuan-tuan yang terhormat, dengan tegas, dengan pendek dan tegas, maka tentang bentuk Negara Indonesia yang akan

datang, dalam perkataan republik atau monarki, menurut pendapat saya, sudah tersumbunyi setan .... 34

KI Bagus Hadikusumo memahami bentuk negara adalah

apakah bentuk Republik atau Monarchi, meskipun tidak setuju

penggunaan perkataan republik atau monarchi, dia menginginkan

perdebatan hanya terkait dengan isinya saja bukan bentuknya,

meskipun secara substansi KI Bagus Hadikusumo lebih setuju

bentuk Republik dari pada bentuk Monarchi. Lebih lanjut KI

Bagus Hadikusumo, mengemukakan:

Semua orang mufakat juga, bahwa republik yang akan dibangunkan memakai majelis wakil rakyat..... bahwa

negara dikepalai oleh seorang pemimpin yang tidak turun-temurun dan dimufakati oleh rakyat, dengan pemerintahan

yang berdasarkan rakyat dan permusyawaratan.35

34

Ibid, h. 106. 35

Ibid.

Page 18: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

18

Meskipun KI Bagus Hadikusumo tidak setuju penggunaan

perkataan republik atau monarchi, tetapi secara substansi KI

Bagus Hadikusumo lebih setuju bentuk Republik karena

menurutnya negara dikepalai oleh seseorang pemimpin yang tidak

turun-temurun dan dimufakati oleh rakyat dengan pemerintahan

yang berdasarkan rakyat dan permusyawaratan. Begitu juga

dengan pandangan Dahler, yang mengatakan: “...pendirian saya

tentang bentuk negara, dan saya minta bentuk negara itu

hendaknya kerajaan”.36 Pandangan senada juga dikemukakan oleh

Singgih, yang lebih menekankan pada apakah dipilih bentuk

monarki atau republik, atau bentuk lain dengan memakai nama

Kepala Negara, tetapi sepenuhnya diserahkan kepada suara

rakyat.

Pandangan anggota BPUPKI KI Bagus Hadikusumo, Dahler,

Wongsonegoro, maupun Singgih, terkait dengan bentuk negara

adalah bentuk negara republik atau Kerajaan, bukan unitary atau

federasi. Selain itu, substansi yang bisa ditangkap dari pendapat

yang ada adalah kepala negara tidak ditentukan berdasarkan

turun-temurun, tetapi dimufakati oleh rakyat dengan

pemerintahan yang berdasarkan rakyat dan permusyawaratan.

Begitu juga dengan pilihan bentuk negara sebaiknya diserahkan

kepada kehendak rakyat.

Pandangan berikutnya yang cukup luas disampaikan oleh

anggota BPUPKI Susanto, menurutnya pembicaraan tentang

bentuk negara terkait dengan 2 (dua) hal, yaitu pertama soal

unitary atau federasi; kedua soal republik atau kerajaan. 37

Sementara dalam pemahaman Susanto, terkait dengan

pembicaraan uni dan federasi, maka hai itu terkait dengan

susunan negara yang menurutnya terdapat 3 (tiga ) macam

susunan negara, dan dia lebih setuju dengan bentuk negara

36 Muhammad Yamin, loc. cit, h. 167. 37 Ibid, h.165.

Page 19: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

19

unitary. Dalam pandangannya, Unitary yang berhak untuk

berhubungan dengan luar negeri, hanya dan melalui pemerintah

pusat. Sementara Federasi yang bercorak Bondstaat, baik

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berhak

berhubungan dengan luar negeri. Dan pemerintah pusat berhak

mengadakan aturan langsung untuk semua penduduk. 38 Lebih

lanjut Anggota BPUPKI Susanto menguraikan arti dan perbedaan

antara unitary dan federasi.

Perbedaan antara Bondstaat dan Statenbond ialah dalam negara yang bersifat Bondstaat, baik pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah berhak berhubungan dengan luar negeri. Tetapi dalam Statenbond, pemerintah pusat tidak berhak langsung membuat aturan untuk penduduk,

melainkan hanya dengan perantaraan pemerintah daerah. 39

Pada sidang kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 di gedung

Tyuuoo Sangi-In, dengan agenda persiapan penyusunan

Rancangan Undang-undang Dasar dan Pembentukan Panitia

Perancang Undang-undang Dasar, ketua BPUPKI Radjiman

membentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang

diketuai oleh Ir. Soekarno. 40 Selain itu, juga dibentuk dua

bunkakai (kelompok kerja) yang membahas tentang keuangan dan

ekonomi, serta bunkakai yang membahas tentang pembelaan

tanah-air. Pada rapat Panita Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945

yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, dengan agenda utama

pembicaraan tentang Rancangan Undang-undang Dasar, pertama

yang diusulkan oleh Ir. Soekarno untuk dibahas adalah persoalan

unitarisme, federalisme atau bondstaat. Mengawali persidangan

itu, Ir. Soekarno mengemukakan sebagai berikut:

38 Ibid, h. 166. 39 Risalah Sidang BPUPKI, h. 107. Lihat Muhammad Yamin, Ibid, h.

166. 40 Anggota Panitia Perancang UUD sebanyak 19 orang, yakni: Ir.

Soekarno (Ketua), Maramis, Oto Iskandardinata, Poeroebojo, Haji Agus Salim, Subardjo, Supomo, Ny. Ulfah Santosa, Wachid Hasjim, Parada Harahap,

Latuharhary, Susanto, Sartono, Wongsonegoro, Wurjaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Husein Djajadiningrat, dan Sukiman. Lihat Ibid, h. 200-201.

Page 20: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

20

....kita mulai membicarakan hal unitarisme, federalisme atau bondstaat. Itu kita selesaikan dahulu, kemudian kita

bentuk Panitia Kecil lagi yang kami serahkan pekerjaan untuk membuat rancangan hukum dasar. Tetapi soal ini saya anggap lebih dahulu diselesaikan: unitarisme atau

federalisme atau bondstaat.41

Pembicaraan Ir. Soekarno kemudian ditanggapi oleh anggota

Haji Agus Salim yang mengemukakan bahwa soal unitarisme atau

federalisme tidak timbul dikalangan kita, karena tidak ada yang

menginginkan Provincialisme atau Separatisme. Sebab itu

urusannya terletak antara pembagian kekuasaan Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah.42 Secara substantif, tanggapan Haji

Agus Salim menarik untuk dicermati karena apapun pilihannya,

apakah unitarisme atau federalisme, tetapi tidak ada satupun

anggota Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang

menginginkan separatisme, oleh karena itu pembagian kekuasaan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus

mendapatkan perhatian yang sangat serius.

Tanggapan berikutnya disampaikan oleh anggota Sartono,

menurutnya: “...untuk tertibnya perjalanan pekerjaan Panitia

perlu sekali, bukan saja urusan unitarisme atau federalisme tetapi

juga isinya pokok-pokok daripada Republik Indonesia itu. Sesudah

pokok itu ditetapkan, barulah Panitia Kecil bersandar atas

keputusan-keputusan itu mulai bekerja.”43 Usul awal Ir. Soekarno

didukung oleh anggota Iskandardinata, yang mengusulkan

perlunya kita memutuskan pilihan antara unitarisme atau

federalisme, hal ini menurutnya sangat penting sebagai keputusan

dari panitia perancang.44

Nampaknya tentang unitarisme atau federalisme tidak

dibahas panjang lebar dalam rapat Panitia perancang Undang-

41 Ibid, h. 208. 42 Ibid. Lihat juga dalam RM.A.B. Kusuma, Op. Cit, h. 25. 43 Ibid, h. 209. 44 Ibid.

Page 21: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

21

undang Dasar, meskipun demikian atas saran dari anggota Panitia

Ny. Ulfah Santosa, maka Ir. Soekarno membacakan usulan-usulan

dari anggota BPUPKI yang masuk terkait dengan persoalan

unitarisme atau federalisme.

Setelah Ir. Soekarno membacakan usulan tertulis yang

masuk terkait dengan persoalan unitarisme atau federalisme dari

anggota BPUPKI, ternyata tidak banyak mendapatkan tanggapan

dari anggota Panitia Perancang. Kemudian Ir. Soekarno

menawarkan kepada para anggota untuk membicarakan lebih

lanjut tentang unitarisme, tetapi, aggota Singgih, menawarkan usul

perlunya dilakukan pemungutan suara, apakah unitarisme atau

federalisme. Anggota Singgih mengemukakan sebagai berikut:

“Dipungut suara saja: unitarisme atau federalisme”.45 Secara tegas

Anggota Latuharhary tetap menginginkan bentuk Bondstaat

(federalisme), meskipun demikian secara implisit Latuharhary

telah menerima unitarisme, tetapi mengusulkan perlu ada sebuah

rumusan dalam hukum dasar agar supaya persoalan pilihan

unitarisme ataupun pilihan bondstaat bisa diserahkan pilihannya

kepada rakyat setelah kondisi bangsa memungkinkan, karena

menurutnya hak rakyatlah untuk menentukan pilihan apakah

unitarisme atau bondstaat.

Atas usul itu, Ir. Soekarno menyambutnya secara positif,

dan kemudian menawarkan kepada angota Panitia Perancang

untuk dilakukan pemungutan suara. Selanjutnya, Ir. Soekarno

mengemukakan sebagai berikut.

Kalau sudah aman, semua akan dibicarakan lagi. Siapa mufakat dengan unitarisme, saya minta berdiri. (kecuali 2

anggota yang tinggal duduk, sekalian angota berdiri). Terima kasih. Tuan-Tuan, apa yang sekarang dibicarakan ?

46

45 Ibid, h. 215. 46 Ibid.

Page 22: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

22

Pembahasan terkait dengan pilihan unitarisme atau

federalisme, ternyata dalam rapat Panitia Perancang Undang-

Undang Dasar tidak melalui pembahasan yang panjang, karena

atas usul aggota Singgih, maka langsung dilakukan pemungutan

suara dalam Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang

menghasilkan suara yang menyetujui Unitarisme sebanyak 17

orang, sedangkan yang setuju dengan Federalisme hanya 2

orang.47

2. Filosofi Susunan Negara Kesatuan Menurut Para Pendiri

Negara (The founding fathers).

Negara kesatuan menurut CF. Strong adalah negara yang

diorganisir di bawah satu pemerintah pusat. Artinya, kekuasaan

apa pun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang

dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus

diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu. 48 Dicey

memberikan pengertian unitarianisme sebagai pelaksanaan

kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat.49

Terdapat dua sifat penting negara kesatuan menurut CF.Strong,

yaitu: (i) supremasi parlemen pusat, dan (ii) tidak adanya badan

berdaulat tambahan.50 Menurut R. Kranenburg terdapat dua ciri

dalam negara kesatuan desentralistis, yaitu: (i) dalam negara

kesatuan kewenangan daerah ditetapkan oleh pembuat undang-

undang pusat, dan (ii) kekuasaan pembuat undang-undang pusat

47 Ibid, h 215. Yang menyetujui Uni (Negara Kesatuan) jauh lebih banyak

daripada yang menyetujui Federasi. Di Panitia Perancang yang memilih Federasi (Bondstaat) hanya Mr. Latuharhary dan Maria Ilfah Santoso. Selain itu, anggota

BPUPKI yang memilih Federasi adalah M. Hatta, Dr. Radjiman, Dr. Sukiman

dan Dr. Kusuma Atmadja. Pratalykrama memilih Statenbond (Konfederasi).

Menjelang Proklamasi, setelah didesak oleh para mahasiswa Fakultas

Kedokteran agar Bung Karno dan Bung Hatta tidak berbeda pendapat. Bung Hatta menyetujui Uni, Negara Kesatuan. Lihat Lebih lanjut dalam RM. A.B. Kusuma, Op. Cit, h. 25

48 CF. Strong, Op. Cit, h. 87. 49 Ibid, 50 Ibid, h. 115.

Page 23: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

23

telah diberikan dalam rumus yang sangat umum dan kekuasaan

legislatif badan-badan yang lebih rendah tergantung kepada

pembuat undang-undang pusat dalam menggunakan kekuasaan

itu.51

Pembahasan ciri negara kesatuan republik Indonesia

menurut para pendiri negara (the founding fathers) dapat dilihat

pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan),

yang menyebutkan: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah

besar dan kecil, dengan memandang dan mengingati dasar

permusyawaratan dalam sitem pemerintahan negara, dan hak-hak

asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Meskipun

pengaturannya hanya dalam satu pasal, tetapi secara historis,

gagasan pendiri negara terkait desain pemerintahan daerah dapat

dilacak pada perdebatan yang muncul dalam sidang-sidang di

BPUPKI maupun dalam sidang di PPKI,52 sehingga diharapkan kita

dapat memahami apa maksud dari para pendiri negara.

Dalam hal ini dapat dilihat pada Pidato Muhammad Yamin

pada Rapat Besar BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, yang menyinggung

persoalan pemerintah daerah ini. Dalam pidatonya Muhammad

Yamin mengemukakan sebagai berikut:

Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintah Daerah untuk menjalankan Pemerintah Urusan Dalam, Pangreh Praja. Sekarang memulangkan kekuasan kepada Negara Indonesia dan Pemerintah Urusan Dalam bagi seluruh Indonesua disusun kembali. Negara Rakyat Indonesia menjalankan pembagian pekerjaan negara atas jalan desentralisasi atau dekonsentrasi yang tidak mengenal federalisme atau perpecahan negara.53

51 R. Kranenburg, Op. Cit, h. 177. 52 Ibid, h. 22. 53 Pada Rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 (Rapat Lanjutan), Soepomo

menjelaskan Pasal yang mengatur tentang Pemerintah Daerah, yang

menurutnya pemerintah daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan

perkataan lain harus ada Dewan Perwakilan Daerah. Selain selain Pemerintah pusat menghormati keberadaan daerah-daerah yang bersifat Istimewa, seperti:

kooti-kooti, kesultanan-kesultanan, tetapi keadaannya sebagai daerah bukan negara. Ibid, h. 22.

Page 24: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

24

Pandangan Muhammad Yamin di atas belum nampak begitu

jelas apa yang dimaksud dengan struktur pemerintah daerah yang

terdiri bagian atas dan bagian bawah, karena pada waktu itu

belum disampaikan secara utuh. Meskipun demikian, secara

eksplisit Muhammad Yamin memberikan usulan perlunya

pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

dengan cara desentralisasi atau dekonsentrasi.

Terkait dengan hal ini, Soepomo juga menyinggung dalam

pidatonya pada Rapat Besar BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Dalam

pidatonya Soepomo menegaskan sebagai berikut:

Sebagai telah diuraikan oleh anggota yang terhormat tuan

Moh. Hatta,54 maka dalam negara itu soal sentralisasi atau desentralisasi pemerintahan tergantung daripada masa,

tempat dan soal yang bersangkutan. Maka dalam Negara Indonesia yang berdasar pengertian Negara Integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai

keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat dan kedudukan sendiri-sendiri, sebagai bagian organik dari

negara seluruhnya. Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintah pusat dan soal apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar

maupun daerah kecil, itu semuanya akan tergantung dari pada “doelmatigheid” berhubungan dengan waktunya,

tempatnya dan juga soalnya.55

Pada kesempatan lain, ketika Muhammad Yamin

menyampaikan Rancangan Undang-Undang Dasar yang

disusunnya, maka dia secara tegas menolak pembentukan negara

serikat dalam republik, tetapi sebagai upaya untuk

mengakomodasi usulan negara federal, maka Muhammad Yamin

mengemukakan sebagai berikut:

54 Laporan “Asia Raja” tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan bahwa

Hohammad Hatta berpidato selama 1 jam menganjurkan gar urusan agama

dipisahkan dari urusan negara (separation of Church and state), pendapat Mohammad Hatta dikemukakan juga oleh Soepomo didalam pidatonya tanggal

31 Mei 1945, tetapi Naskah Pidato Mahammad Hatta belum ditemukan. Lihat dalam RM. AB. Kusuma, Op. Cit, h. 118.

55 Ibid, h. 41.

Page 25: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

25

...hendaknya kekuasan pusat jangan bertumpuk-tumpuk di pusat dan juga supaya daerah jangan kosong, melainkan

dapat kekuasaan sepenuh-penuhnya dari Pemerintah Pusat. Jadi kemauan atau aliran yang hendak memajukan bodsstaat adalah supaya memenuhi nasehat-nasehat untuk

memecahkan kekuasaan pusat mengenai 2 perkara, yaitu deconcentratie kekuasaan pusat antara badan-badan pusat

dan juga decentralisatie kekuasaan antara pusat dengan daerah. Maka, kedua syarat ini dapat kita penuhi, tetapi kita janganlah menyangka, bahwa syarat deconcentratie

(pembagian kekuasaan pusat diantara badan-badan pusat) dan decentralisatie (pembagian kekuasaan pusat dengan

daerah), hanya dapat dilakukan di dalam suatu bondstaat Indonesia, melainkan dapat pula seperti telah juga terdapat

di Jerman dan dijalankan dalam negara persatuan atau eenheidsstaat. Jadi, syarat-syarat deconcentratie dan decentralitatie dapat dijalankan dalam Negara Kesatuan

yang berupa eenheidsstaat. Semua itu terdapat dalam negara yang kita anjurkan.56

Apabila kita cermati pandangan di atas, Muhammad Yamin

memberikan tawaran solusi bagi yang menginginkan gagasan

negara federal yaitu dengan jalan deconcentratie dan

decentralisatie kekuasaan antara pusat dengan pemerintah

daerah, sehingga tidak terjadi kekuasaan yang menumpuk di

pemerintah pusat, meskipun tidak menjelaskan secara detail

bagaimana bentuk dekonsentrainya dan dimana desentralisasinya

diletakkan, apakah pada tingkat kabupaten/kota atau ditingkat

provionsi. Terkait dengan pembagian sumberdaya alam di

Indonesia, maka Muhammad Yamin lebih lanjut mengemukakan

sebagai berikut:

...berhubungan dengan bagian kekayaan di tanah air

Indonesia ini, karena segala bagian kepulauan ini tidak sama kaya dan tidak sama isi penduduknya. Keadaan itu juga menimbulkan kekacauan dalam ekonomi, jikalau

dipilih bentuk serikat. Jadi segala nafsu dan anjuran yang diberikan oleh golongan bondstaat, baiklah kita tinggalkan

dan marilah kita susun hanya satu Negara Kesatuan dengan

56

Ibid, h. 185-186.

Page 26: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

26

mementingkan kepentingan daerah dan membuang segala sifat concentratie dan bureaucratie. 57

Muhammad Yamin juga sangat meyakini bahwa Indonesia

akan kuat dengan negara kesatuan. 58 Lebih lanjut Mohammad

Yamin mengemukan sebagai berikut:

...Paham geopolitik juga memberi bahan yang nyata untuk mengadakan Negara Kesatuan atau eenheidsstaat. Saya yakin bahwa dunia internasional agak memandang kita kuat

dengan negara unitarisme dan memandang kita lemah kalau kita menutup negara federal dengan atap yang hanya berupa

unitarisme pura-pura. Maka, syarat-syarat Negara Kesatuan adalah berisi bahan-bahan yang kita idam-idamkan dengan sehebat-hebatnya.59

Secara prinsip pokok-pokok pikiran yang bisa ditangkap

adalah keberadaan pemerintahan daerah tetap memegang dasar

permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan

melestarikan serta menghormati hak-hak asal usul daerah-daerah

yang bersifat istimewa, yaitu pertama daerah kerajaan (Kooti), baik

di Jawa maupun diluar Jawa, daerah-daerah yang dalam bahasa

Belanda dinamakan “zelfbesturende lanschappen”. Kedua daerah-

daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di

Jawa, nagari di Minagkabau, dusun dan marga di Palembang,

huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh. Dalam hal ini,

pemerintah Pusat hendaknya tetap menghormati keberadaan

daerah-daerah istimewa tersebut. Terkait dengan keberadaan

daerah kerajaan (Kooti), anggota BPUPKI Surjohamidjoyo, 60

meminta penegasan pengaturan keberadaan kerajaan-kerajaan

dan kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar. Namun usul

tersebut ditolak oleh Soepomo, karena hal itu dianggap sudah

57 Ibid, h. 187. 58 Negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur

hubungan kekuasaan (gezagsverhouding) antara pemerintah pusat dan daerah,

sedangkan persatuan adalah sikap batin atau kejiwaan atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara. Lihat Moh. Mahfud MD, Op. Cit, h. 212.

59 Ibid, h. 188. 60 Ibid, h. 329. Lihat juga dalam AB. Kusuma, Op. Cit, h. 408.

Page 27: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

27

cukup jelas diatur karena yang dimaksud daerah-daerah yang

bersifat istimewa itu ialah daerah-daerah Kooti, jadi dalam hukum

dasar tidak bisa ditambah.61 Persidangan kedua BPUPKI berakhir

pada tanggal 16 Juli 1945 dengan agenda melanjutkan

pembahasana Rancangan Undang-undang Dasar, tetapi sampai

rapat berakhir tidak ada lagi anggota BPUPKI yang mengusulkan

terkait dengan susunan pemerintahan daerah.

Pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang dipimpin

oleh Ir. Soekarno dengan agenda pembicaraan tentang Susunan

Pemerintahan, Soepomo atas permintaan Ir Soekarno memberikan

penjelasan kembali yang salah satunya terkait dengan

Pemerintahan Daerah. Soepomo mengemukakan sebagai berikut:

adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, Kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai

daerah, bukan negara, jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah “Zelfbesturende landschappen”, itu bukan negara, sebab hanya ada satu negara. Jadi “Zelfbesturende landschappen”, hanyalah

daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah itu istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat

istimewa, mempunyai susunan asli. Begitupun adanya “Zelfstandige gemeenschappen” seperti desa, di Sumtera

negeri (di Minangkabau) marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “Inheenmsche Rechtsgemeenschappen”, susunannya asli dihormati.62

Penjelasan Soepomo di atas, semakin menegaskan bahwa

dalam negara kesatuan tetap menghormati keberadaan daerah-

daerah yang bersifat istimewa yang menjadi suatu bagian dari

negara Indonesia. Meskipun demikian, dalam rumusan tersebut

tidak diatur secara eksplisit tentang dekonsentrasi dan

desentralisasi, hal inilah yang mendapat tanggapan dari anggota

PPKI Amir yang mengemukakan sebagai berikut:

61 Ibid, h. 331. 62 Ibid, h. 424.

Page 28: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

28

...walaupun tidak dimasukkan dalam gronwet – supaya pemerintahan kita disusun dengan sedemikian rupa,

sehingga diadakan deconcentratie sebesar-besarnya. Pulau-pulai di luar Jawa supaya diberi pemerintahan di sana, supaya rakyat di sana berhak mengurus rumahtangganya

sendiri dengan seluas-luasnya.63

Pendapat anggota PPKI Amir di atas, juga ditanggapi oleh

Ratulangi yang setuju agar supaya daerah diberi hak seluas-

luasnya untuk mengurus keperluannya menurut pikirannya

sendiri, kehendaknya sendiri dan kebutuhan daerah-daerah

tersebut harus mendapat perhatian sepenuhnya dengan

mengadakan suatu peraturan yang akan menyerahkan kepada

pemerintahan daerah kekuasaan penuh untuk mengurus

keperluan daerahnya sendiri. 64 Meskipun demikian, Soepomo

tetap bersikukuh bahwa hal itu lebih baik diatur dalam undang-

undang tidak diatur dalam Undang-undang Dasar. Jadi, apabila

kita tarik kesimpulan dari perdebatan di atas, maka sejatinya para

pendiri negara telah menyadari bahwa betapa luasnya negara

Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau yang tersebar di wilayah

nusantara, maka tidak mungkin semuanya urusan itu diserahkan

kepada pemerintah pusat, maka mereka telah memikirkan

perlunya diberikan kepada daerah untuk mengurus

rumahtangganya sendiri dengan cara dekonsentrasi dan

desentralisasi, serta negara kesatuan yang tetap menghormati

keberadaan daerah-daerah yang bersifat istimewa yang menjadi

suatu bagian dari negara Indonesia.

Dalam konteks ini relevan dikemukakan pendapat Hans

Kelsen yang mengatakan bahwa otonomi daerah adalah suatu

perpaduan langsung dari ide-ide desentralisasi dengan ide-ide

demokrasi. Satuan daerah otonom adalah kotapraja atau

kotamadya, itu adalah sebuah pemerintahan daerah yang otonom

63 Ibid, h. 426-427. 64 Ibid, h. 427.

Page 29: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

29

dan desentralistis. Desentralisasi menunjuk hanya kepada

masalah-masalah tertentu menyangkut kepentingan khusus

daerah, dan ruang lingkup wewenang kotapraja atau kotamadya

dibatasi kepada tingkatan norma-norma khusus,65 bahkan Hans

Kelsen juga mengemukkan bahwa Otonomi Daerah biasanya

menggambarkan satu tipe desentralisasi yang relatif sempurna.66

Hans Kelsen juga mengemukakan, bahwa salah satu alasan utama

dari desentralisasi adalah semata-mata bahwa desentralisasi

memberi kemungkinan pengaturan masalah yang sama secara

berbeda untuk daerah-daerah yang berbeda. Pertimbangan yang

demikian menurut Hans Kelsen adalah berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan geografis, nasional, atau keagamaan.

Semakin besar teritorial negara, dan semakin bervariasi kondisi-

kondisi sosialnya, maka desentralisasi melalui pembagian teritorial

akan semakin diharuskan.67 Secara kuantitatif, sentralisasi atau

desentralisasi dari suatu tatanan hukum berbeda derajatnya,

karena ditentukan oleh perbandingan jumlah dan kepentingan

relatif dari norma-norma pusat dan daerah dari tatanan hukum

tersebut. 68 Merujuk pada pendapat Hans Kelsen di atas, para

pendiri negara sejatinya menghendaki otonomi daerah, melalui

dekonsentrasi dan desentralisi, dimana memberi kemungkinan

pengaturan masalah yang sama secara berbeda untuk daerah-

daerah yang berbeda dalam pengelolaan pemerintahan daerah,

yang derajatnya disesuaikan dengan keistimewaan masing-masing

daerah, khususnya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

geografis, nasional, atau keagamaan, mekipun hal itu

pengaturannya cukup dalam Undang-undang, tidak dalam

Undang-undang Dasar.

65 Hans Kelsen, Op. Cit, h. 445. 66 Ibid. 67 Ibid, h. 431-432. 68 Ibid, h. 433.

Page 30: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

30

Dapat disimpulkan bahwa ciri negara kesatuan republik

Indonesia menurut para pendiri negara (the founding fathers)

adalah negara kesatuan yang kuat yang berautonomi dengan tetap

menghormati keberadaan daerah-daerah yang bersifat istimewa

yang menjadi suatu bagian dari negara Indonesia, dengan

menerapkan otonomi daerah, melalui dekonsentrasi dan

desentralisi.

D. NEGARA KESATUAN PASCA PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 1945.

Secara historis, filosofi pilihan negara kesatuan yang telah

disepakati para pendiri negara merupakan pertarungan gagasan

antara kelompok yang menginginkan negara kesatuan yang kuat

(strong unitary state) dan berhadapan dengan kelompok yang

menginginkan negara demokrasi yang menghargai prinsip-prinsip

hak-hak asasi manusia yang pada waktu dimotori oleh

Mohammad Hatta, disamping kelompok yang menginginkan

negara Islam. Kelompok pertama didukung oleh Ir. Soekarno,

Muh. Yamin, dan Mr. Soepomo. sedangkan kelompok yang

menginginkan negara Islam, diantaranya didukung oleh Ki Bagus

Hadikuesoemo, Kiai Sanusi, KH. Wachid Hasjim, KH. Masjkoer

dan K.H. Abdul Kahar Moezakkir.

Muh. Yamin secara tegas mengatakan “menolak federalisme

dan menyetujui unitarisme. 69 Sejalan dengan pandangan M.

Yamin, secara eksplisit Ir. Soekarno menolak demokrasi Barat,

dan lebih setuju dengan permusyawaratan yang menurutnya

memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu

mendatangkan kesejahteraan sosial. 70 Mohammad Hatta,

mengemukakan perlunya negara mengakui hak-hak asasi

manusia agar jangan sampai menjadi negara kekuasaan atau

69 Ibid, h. 114. 70 Ibid, h. 79.

Page 31: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

31

negara penindas. Disamping itu, sebagai cara untuk merawat

persatuan itu, Ki Bagoes Hadikoesoemo yang menekankan

pentingnya „permusyawaratan” dalam mengambil keputusan

sebagai cara merawat persatuan.

Pertarungan gagasan tersebut tidak lepas dari tantangan

yang dihadapi Indonesia pada masa itu yang setidaknya

menghadapi 3 (tiga) tantangan utama, yaitu: Pertama, ancaman

konflik dan disintegrasi bangsa yang mewarnai perjalanan revolusi

kemerdekaan Indonesia yang terjadi di beberapa daerah. Hal itu

disebabkan baik oleh faktor internal, seperti munculnya gerakan-

gerakan kedaerahan, maupun pertentangan ideologi yang begitu

tajam, sedangkan faktor eksternal yakni politik pecah belah

(devide et impera) ala Van Mook, yang diterapkan oleh kolonial

Belanda.

Kedua, komitmen menjaga persatuan (unity) ditengah

keberagaman dan kemajemukan bangsa dengan keluasan

teritorial. Memang diperlukan pengerahan kemauan dan

kemampuan yang luar biasa untuk bisa menyatukan keluasan

teritorial dan kebhinekaan sosio-kultural Indonesia ke dalam

kesatuan entitas negara-bangsa. Sebuah negeri “untaian zamrud

khatulistiwa”, yang mengikat lebih dari lima ratus suku bangsa

dan bahasa, ragam agama dan budaya. Secara geopolitik, Negara

Republik Indonesia, seperti pernah dikatakan oleh Soekarno,

adalah “negara lautan” (archipelago) yang ditaburi oleh pulau-

pulau, atau dalam sebutan umum dikenal sebagai “negara

kepulauan”. 71

Ketiga, tantangan bagaimana mensejahterakan seluruh

rakyat Indonesia. Dalam ungkapan Ir. Soekarno: “ .... di seberang

jembatan emas inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat

Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.”72

71 Yudi Latif, Op. Cit, h. 250-251. 72 Risalah Sidang BPUPKI, Op. Cit, h. 68.

Page 32: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

32

Seperti halnya ungkapan anggota BPUPKI Sukardjo Wirjopranoto

yang mengatakan: “... membangkitkan rakyat dari kemiskinan

sehingga menjadi makmur”. 73 Pada akhirnya, para pendiri negara

telah menyepakati pilihan negara kesatuan dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia yang kemudian dijabarkan dalam UUD

1945, yaitu “Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik” yang

menempatkan kedaulatan adalah berada ditangan rakyat, dan

dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaran Rakyat.

Jatuhnya pemerintahan Orde Baru Soeharto pada tanggal

21 Mei 1998 melalui gerakan reformasi, menandai berakhirnya era

rezim otoritarian yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh

dua tahun, yang pada akhirnya membuka peluang suksesi

kepemimpinan nasional kepada B.J. Habibie. Sistem politik yang

otoriter sejak akhir 1950-an sampai akhir 1990-an dinilai banyak

kalangan disebabkan adanya sentralisasi kekuasaan yang

menguat pada pribadi, kelompok atau institusi tertentu. Masalah

utama bagi adanya sentralisasi kekuasaan pada saat itu adalah

begitu besarnya kekuasaan pada eksekutif, dalam hal ini lembaga

kepresidenan, sementara kekuasaan legislatif yang juga

didalamnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak mampu

menjalankan tugas dan fungsinya secara baik.

Perkembangan penting di era reformasi ini adalah tuntutan

perlunya merevitalisasi fungsi-fungsi lembaga-lembaga politik agar

supaya dapat bekerja secara lebih demokratis dan tercipta check

and balances antara lembaga eksekutif terhadap lembaga-lembaga

negara lainnya melalui amandemen terhadap UUD 1945.

Disamping itu reformasi juga telah mendorong tuntutan agar

perlunya menata ulang relasi kekuasaan antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah yaitu melalui desentralisasi atau

Otonomi Daerah. Tuntutan perlunya otonomi daerah tidak terlepas

73 Ibid, h. 117.

Page 33: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

33

dari sentralisasi Negara Kesatuan yang diterapkan oleh rezim Orde

Baru Soeharto, baik dari sisi administrasi pemerintahan, masalah

politik, dan juga masalah ekonomi terutama terkait dengan

pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah. Hal inilah yang

berimplikasi pada munculnya ketidakpuasan daerah bahkan

berimplikasi pada munculnya gerakan separatisme yaitu tuntutan

memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setidaknya terdapat 5 (lima) poin yang sangat krusial hasil

perubahan UUD 1945 yang mengatur tentang Pemerintahan

daerah ini, yaitu: (1) penegasan bahwa pemerintah daerah

provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan (Pasal 18 ayat 2); (2) Gubernur, Bupati, dan Walikota

masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,

kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 4);

(3) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat 6); (4)

hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman

daerah; dan (5) hubungan keuangan, pelayanan umum, dan

pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan

secara adil dan selaras berdasarkan UU. Perubahan tersebut

diharapkan dalam kerangka menjamin dan memperkuat Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Pasca perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR pada

tahun 1999 hingga 2002 meliputi hampir keseluruhan materi

muatan UUD 1945, kecuali Pembukaan dan prinsip-prinsip

bernegara tertentu yang disepakati tidak diubah. Oleh karena itu,

hasil perubahan tersebut bukan hanya telah mengubah secara

mendasar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi

Page 34: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

34

juga telah terjadi pergeseran ciri negara kesatuan republik

Indonesia. Hal itu setidaknya terjadi pada dua hal, yaitu:

Pergeseran Kekuasaan Tertinggi dalam Negara Kesatuan Repulik

Indonesia, dan Pergeseran Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

yang mengarah pada prinsip Negara Federal.

E. PENUTUP

Filosofi susunan negara menurut para pendiri negara (the

founding fathers) adalah negara kesatuan yang kuat (strong unitary

state) yang berautonomi dengan tetap menghargai daerah-daerah

yang bersifat Istimewa, serta menjunjung tinggi nilai-nilai

demokrasi, hukum dan hak-hak asasi manusia dengan

menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai

penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara. Sistem

ketatanegaraan Indonesia juga telah dirancang sedemikian rupa

oleh para pendiri negara, agar compatible dengan tujuan negara

Indonesia merdeka yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia telah terjadi

pergeseran susunan negara kesatuan pasca perubahan UUD

Negara RI Tahun 1945. Pergeseran penyelenggaraan pemerintahan

daerah di Indonesia yang mengarah ke sistem federal, atau federal

arrangements atau meminjam istilah Arend Lijphart sebagai semi

federal. Hal itu dapat dilihat dengan jelas pada ketentuan Pasal

18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD Negara RI Tahun 1945, yang

berimplikasi pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (i) sistem

penyerahan sisa kewenangan (reserve of power) kepada daerah: (ii)

isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan

daerah lainnya menggambarkan kesamaan dengan konsep

diversity in unity dalam sistem negara federal; dan (iii)

pelaksanaan Otonomi khusus dan Istimewa yang mengarah pada

sistem negara federal.

Page 35: negara kesatuan perspektif para pendiri negara dan pasca

35

DAFTAR BACAAN

Buku

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, edisi terjemahan Bahasa Indonesia, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2008.

Kranenburg, R, Mr, Ilmu Negara Umum, J.B. Wolters, Jakarta, 1957.

Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,

2004.

Latif, Yudi, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan aktualisasi Pancasila, Penerbit PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2011.

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid

I, Penerbit Jajasan Prapantja, Jakarta, 1959.

------------------, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia,

Djambatan, Jakarta, 1952.

Ma‟arif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta, 2006.

Strong, C.F, Modern Political Constitustions: An Introduction to the Comparative study of Their History and Existing Form, Sidgwick & Jackson Limited London, 1996, edisi bahasa

Indonesia, Penerbit Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2004.

Sri Edi Swasono, Religiusitas Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta, dalam Kata Sambutan Bung Hatta dan Ekonomi Islam, LP3M STIE Ahmad Dahlan, Jakarta, 2008.

Risalah dan Konstitusi

Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sekretaris Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995.

UUD 1945, Sekretaris jenderal MPR RI, Jakarta, 2010