Upload
dhiney
View
390
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Nephrolithiasis ( Batu Ginjal )
Di Indonesia, kasus penyakit batu saluran kemih banyak dijumpai. Di negara-negara Asia seperti
Indonesia, Timur Tengah, Cina dan India disebutkan dalam kepustakaan sebagai negara-negara
dengan jumlah kasus batu saluran kemih yang tinggi (Ashadi T., 1998).
Batu saluran kemih sering terjadi dalam urine yang steril. Diperkirakan bahwa peningkatan
insidensi batu berkaitan dengan diet rendah protein nabati dan fosfat. Adanya perubahan pola
hidup ke gaya modern, yang antara lain ditandai dengan meningkatnya komsumsi protein
hewani, insidensi batu saluran kemih cenderung meningkat. Makanan yang mempengaruhi
pembentukan batu adalah berbagai makanan yang mengandung kalsium, tetapi sedikit
mengandung serat (Ashadi T., 1998).
Batu saluran kemih sebenarnya tidak lebih dari mineral-mineral di dalam air yang mengalami
pengendapan dan memadat. Dehidrasi akibat cuaca, iklim tropis panas dan diare bisa
mempersulit keadaaan batu ginjal atau batu saluran kemih yang sebelumnya telah terjadi.
Disamping itu, batu saluran kemih mempunyai sifat sering kambuh sehingga merupakan
ancaman seumur hidup bagi penderitanya (Ashadi T., 1998).
Di negara-negara berkembang banyak dijumpai pasien batu buli-buli, sedangkan di negara maju
lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas, karena adanya pengaruh status
gizi dan aktivitas pasien sehari-hari (Ismadi M., 1976). Batu ginjal atau nefrolithiasis menyerang
sekitar 4% dari seluruh populasi, dengan rasio pria : wanita adalah 4 : 1, dan penyakit
nefrolithiasis disertai dengan morbiditas yang besar karena rasa nyeri (Palmer P.E.S., 1995).
II. 1. Definisi Nefrolithiasis
Nefrolithiasis atau batu ginjal adalah benda-benda padat yang terjadi di dalam ginjal yang
terbentuk melalui proses fisikokimiawi dari zat-zat yang terkandung di dalam air kemih. Batu
ginjal terbentuk secara endogen yaitu dari unsur-unsur terkecil, mikrolith-mikrolith dan dapat
tumbuh menjadi besar. Massa yang mula-mula lunak, misalnya jendalan darah, juga dapat
mengalami pembatuan ( kalsifikasi ) (Price S. A., Wilson L. M., 1995).
II. 2. Etiologi Nefrolithiasis
Terbentuknya batu pada ginjal diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urine, gangguan
metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum
terungkap ( idiopatik ) (Ismadi M., 1976).
Secara epidemiologis, terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu pada ginjal.
Faktor-faktor itu adalah (Ismadi M., 1976) :
1. Faktor intrinsik
Yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang. Faktor intrinsik dan faktor idiopatik umumnya
sukar untuk dikoreksi, sehingga mempunyai kecenderungan untuk kambuh (Purnomo B., 2003).
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Hereditair dan Ras
Penyakit nefrolithiasis diduga diturunkan dari orang tuanya (Ismadi M., 1976) dan ternyata
anggota keluarga nefrolithiasis lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menderita penyakit
yang sama dari pada orang lain. Misalnya faktor genetik familial pada hipersistinuria,
hiperkalsiuria primer dan hiperoksaluria primer (Purnomo B., 2003). Batu saluran kemih juga
lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia sedangkan pada penduduk Amerika dan Eropa jarang
ditemukan (Purnomo B., 2003).
b. Umur.
Penyakit nefrolithiasis paling sering didapatkan pada usia 30 sampai 50 tahun (Purnomo B.,
2003).
c. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien perempuan (Ismadi
M., 1976) dan pada pria lebih banyak ditemukan batu ureter dan buli-buli sedangkan pada wanita
lebih sering ditemukan batu ginjal atau batu piala ginjal (Purnomo B., 2003).
2. Faktor ekstrinsik
Yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya. Faktor ekstrinsik, bila penyebabnya
diketahui dapat diambil langkah-langkah untuk mengubah faktor lingkungan atau kebiasaaan
sehari-hari sehingga terjadinya rekurensi dapat dicegah (Purnomo B., 2003). Beberapa faktor
ekstrinsik, diantaranya adalah :
a. Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu yang lebih tinggi daripada daerah lain,
sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (Purnomo B., 2003).
b. Iklim dan temperatur
Tempat yang bersuhu panas, misalnya di daerah tropis, di kamar mesin, menyebabkan banyak
mengeluarkan keringat yang akan mengurangi produksi urin dan mempermudah pembentukan
batu. Sedangkan pada daerah yang dingin, akan menyebabkan kurangnya asupan air pada
masyarakatnya (Purnomo B., 2003).
c. Asupan air
Kurangnya asupan air menyebabkan kadar semua substansi dalam urin akan meningkat dan akan
mempermudah pembentukan batu (Purnomo B., 2003) dan tingginya kadar mineral kalsium pada
air yang dikomsumsi dapat meningkatkan insidensi batu (Ismadi M., 1976).
d. Diet
Diet banyak purin, oksalat dan kalsium mempermudah terbentuknya batu (Ismadi M., 1976).
Pada golongan masyarakat yang lebih banyak makan protein hewani, angka morbiditas batu
berkurang sedangkan pada golongan masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi rendah lebih
sering morbiditas meningkat. Penduduk vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering
menderita batu buli-buli dan uretra dan hanya sedikit yang ditemukan menderita batu ginjal atau
batu piala ginjal (Purnomo B., 2003).
e. Pekerjaan
Penyakit nefrolithiasis sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang
aktivitas atau sedentary life (Ismadi M., 1976).
f. Infeksi
Infeksi saluran kemih dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti
pembentukan batu. Infeksi oleh bakteri yang memecah ureum ( urea splitting organism ) dan
membentuk amonium akan mengubah pH urin menjadi alkali dan akan mengendapkan garam-
garam fosfat sehingga akan mempercepat pembentukan batu yang telah ada (Purnomo B., 2003).
g. Obstruksi dan stasis urin
Adanya obstruksi saluran kemih, misalnya oleh tumor, striktur dan hiperplasi prostat, akan
menyebabkan stasis urin sedangkan urin sendiri adalah substansi yang banyak mengandung
kuman sehingga mempermudah terjadinya infeksi dan pembentukan batu (Purnomo B., 2003).
Selain faktor-faktor di atas terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi, misal gangguan
metabolisme. Gangguan metabolisme yang dimaksud adalah yang dapat mengakibatkan
peningkatan kadar produk yang dapat mengendap dan menjadi batu. Misalnya hiperkalsemia
yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme, sindroma susu alkali, mieloma multiple, metastase Ca
dan sarkoidosis. Hiperurikemia dan terapi dengan sitostatika atau diuretika yang lama, serta
hipersistinemia yang disebabkan oleh renal tubular acidosis (Purnomo B., 2003).
II. 3. Patofisiologi Nefrolithiasis
Secara teoritis, batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih, terutama pada tempat-tempat yang
sering mengalami hambatan aliran urine ( stasis urine ), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-
buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises ( stenosis uretero pelvis ), divertikulum,
obstruksi intravesika kronis seperti pada hiperplasi prostat benigna, striktura dan buli-buli
neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu
(Ismadi M., 1976).
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal, kemudian berada di kaliks ginjal, pielum, infun
dibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang
mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa
sehinggga disebut batu staghorn. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal
( penyempitan infundibulum dan stenosis uteropelvik ) akan mempermudah timbulnya batu
ginjal (Ismadi M., 1976).
Batu yang berasal dari ginjal dan berjalan menuruni ureter, paling mungkin tersangkut pada satu
dari tiga lokasi, yaitu pada sambungan uteropelvik, pada titik ureter menyilang pembuluh darah
iliaka, atau pada sambungan ureterovesika (Raharjo J. P., 1996). Batu yang tidak terlalu besar,
didorong oleh peristaltik sistem pelvikalises dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga
peristaltik ureter mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke buli-buli. Batu yang
ukurannya kecil ( < 5 mm ) pada umumnya dapat keluar spontan, sedangkan batu yang lebih
besar seringkali tetap berada di sistem pelvikalises dan ureter, dan mampu menimbulkan
obstruksi dan kelainan struktur saluran kemih bagian atas (Ismadi M., 1976).
A. Teori Proses Pembentukan Batu
Garam-garam kalsium dapat diendapkan dalam bentuk batu atau kalkuli di dalam sistem saluran
dari berbagai organ. Kalkuli dibentuk dari berbagai zat, yang tersedia secara lokal, yaitu bahan-
bahan dari sekresi organ tertentu. Jadi, walaupun kalkuli-kalkuli itu sering mengandung kalsium,
tetapi pada awalnya, banyak dari kalkuli-kalkuli tersebut yang tidak mengandung kalsium.
Beberapa kalkuli terbentuk sebagai akibat dari hancurnya debris nekrotik dalam saluran,
sedangkan lainnya terbentuk dari ketidakseimbangan unsur-unsur sekresi tertentu sedemikian
rupa sehingga terjadi pengendapan dari unsur yang biasanya larut (Sabiston C. D. Jr, MD.,
1997).
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang
terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan tetap terlarut (
metastable ) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya
presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu
( nukleasi ) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga
menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh
dan belum cukup mampu menyumbat saluran kemih. Untuk itu, agregat kristal menempel pada
epitel saluran kemih, membentuk retensi kristal, dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada
agregat sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih (Ismadi
M., 1976).
Kondisi tetap terlarut dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine,
konsentrasi solute di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih atau adanya korpus
alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu (Ismadi M., 1976). Kemih yang
terus menerus bersifat asam dapat terjadi pada asidosis metabolik dan pada keadaan pireksia,
sedangkan kemih yang terus menerus bersifat basa menyatakan adanya infeksi pada saluran
kemih, keadaan asidosis tubulus ginjal, kekurangan kalium dan pada sindrom Fanconi (Sabiston
C. D. Jr, MD., 1997).
Terbentuk atau tidaknya batu di dalam saluran kemih, ditentukan juga oleh adanya
keseimbangan antara zat-zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat-zat yang mampu mencegah
timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu di saluran
kemih, yang bekerja mulai dari proses reabsorbsi kalsium di dalam usus, proses pembentukan
inti batu atau kristal, proses agregasi kristal, hingga retensi kristal. Ion magnesium dikenal dapat
menghambat pembentukan batu karena jika berikatan dengan oksalat, akan membentuk garam
magnesium oksalat, sehingga jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsium untuk
membentuk batu kalsium oksalat menurun. Demikian pula dengan sitrat, jika berikatan dengan
ion kalsium, akan membentuk garam kalsium sitrat, sehingga jumlah kalsium yang akan
berikatan dengan oksalat maupun fosfat berkurang. Hal ini menyebabkan kristal kalsium oksalat
atau kalsium fosfat jumlahnya berkurang. Beberapa protein atau senyawa organik lain mampu
bertindak sebagai inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan kristal, menghambat agregasi
kristal, maupun menghambat retensi kristal. Senyawa itu antara lain adalah glikosaminoglikan,
protein Tamm Horsfall atau uromukoid, nefrokalsin, dan osteopontin. Defisiensi zat-zat yang
berfungsi sebagai inhibitor batu merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya batu saluran
kemih (Ismadi M., 1976).
B. Komposisi Batu
1. Batu Kalsium
Batu jenis ini, paling banyak dijumpai, yaitu sekitar 70-80% dari seluruh batu saluran kemih.
Kandungan batu jenis ini, terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran dari kedua
unsur itu. Batu kalsium oksalat biasanya terbentuk pada suasana urine asam. Batu kalsium
bentuknya bergerigi sehingga jarang keluar spontan. Faktor terjadinya batu kalsium adalah
(Ismadi M., 1976):
a. Hiperkalsiuri
Yaitu kadar kalsium dalam urine > 250-300 mg/24 jam. Terdapat 3 macam penyebab terjadinya
hiperkalsiuria, antara lain :
Hiperkalsiuria absorbtif : keadaan hiperkalsiuria absorbtif terjadi karena adanya
peningkatan absorbsi kalsium melalui usus
Hiperkalsiuri renal : keadaan hiperkalsiuria renal dapat terjadi karena adanya gangguan
kemampuan reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal
Hiperkalsiuria resorptif : keadaan hiperkalsiuria resorptif terjadi karena adanya
peningkatan resorpsi kalsium tulang. Banyak terjadi pada hiperparatiroidisme primer atau
pada tumor paratiroid.
b. Hiperoksaluri
Adalah ekskresi oksalat urine melebihi 45 gram / hari. Keadaan hiperoksaluria banyak dijumpai
pada pasien dengan gangguan pada usus setelah menjalani pembedahan usus dan pada pasien
yang banyak mengkomsumsi makanan kaya akan oksalat seperti teh, kopi instant, soft drink,
kokoa, arbei, jeruk, sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam.
c. Hiperurikosuria
Adalah kadar asam urat di dalam urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan
dalam urine, bertindak sebagai inti batu / nidus untuk terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber
asam urat di dalam urine berasal dari makanan mengandung banyak purin seperti daging, ikan,
unggas maupun berasal dari metabolisme endogen.
d. Hipositraturia
Dapat terjadi pada asidosis tubulus ginjal, sindrom malabsorbsi, atau pemakaian diuretik
golongan thiazide dalam jangka waktu lama
e. Hipomagnesiuria
Penyebab tersering hipomagnesiuria adalah penyakit inflamasi usus ( inflammatory bowel
disease ) yang diikuti gangguan malabsorbsi.
2. Batu struvit
Disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu struvit disebabkan oleh adanya
infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi adalah kuman golongan pemecah urea yang
dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis
urea menjadi amoniak. Suasana basa memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat
dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat dan karbonat apatit. Karena terdiri
atas 3 kation, dikenal sebagai batu triple phosphate. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea
diantaranya adalah Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobacter, Pseudomonas, dan
Stafilokokus (Ismadi M., 1976).
3. Batu Asam Urat
Merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Sebagian besar terdiri atas batu asam urat
murni, sisanya merupakan campuran kalsium oksalat. Penyakit batu asam urat banyak diderita
oleh pasien-pasien penyakit gout, mieloproliferatif, pasien dengan terapi antikanker, dan banyak
menggunakan obet urikosurik, antara lain sulfinpirazole, thiazide, dan salisilat. Kegemukan,
peminum alkohol, dan diet tinggi protein berpeluang besar mendapat penyakit ini. Batu asam
urat berbentuk bulat dan halus sehingga seringkali keluar spontan (Ismadi M., 1976).
Sumber asam urat berasal dari diet mengandung purin dan metabolisme endogen di dalam tubuh.
Purin di dalam tubuh didegradasi oleh asam inosinat, dirubah menjadi hipoxanthin,. Dengan
bantuan enzim xanthin oksidase, hipoxanthin dirubah menjadi xanthin yang akhirnya dirubah
menjadi asam urat. Pada manusia, karena tidak memiliki enzim urikase, maka asam urat
diekskresikan ke dalam urine dalam bentuk asam urat bebas dan garam urat. Garam urat lebih
sering berikatan dengan natrium membentuk natrium urat, yang lebih mudah larut di dalam air
dibandingkan asam urat bebas. Asam urat bebas relatif tidak larut di dalam urine, sehingga pada
keadaan tertentu mudah sekali membentuk kristal asam urat dan selanjutnya membentuk batu
asam urat. Beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah (Ismadi M.,
1976) :
Urine yang terlalu asam ( pH urine < 6 )
Volume urine yang jumlahnya sedikit ( < 2 liter / hari ) atau dehidrasi
Hiperurikosuria atau kadar asam urat yang tinggi
II. 4. Gambaran Klinis Nefrolithiasis
Keluhan yang disampaikan oleh pasien, tergantung pada posisi batu, ukuran batu dan penyulit
yang telah terjadi. Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang, baik
berupa nyeri kolik maupun bukan kolik. Nyeri kolik disebabkan oleh adanya aktivitas peristaltik
otot polos sistem kalises meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih.
Peningkatan peristaltik menyebabkan tekanan intraluminal meningkat sehingga terjadi
peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Sedangkan nyeri non kolik
terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal akibat
stasis urine (Ismadi M., 1976).
Hematuria sering dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada mukosa saluran kemih karena batu.
Kadang hematuria didapatkan dari pemeriksaan urinalisis berupa hematuria mikroskopik. Jika
didapatkan demam, harus dicurigai suatu urosepsis (Ismadi M., 1976).
Pada pemeriksaan fisis, mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba
ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, dan adanya
retensi urine (Ismadi M., 1976).
Pada pemeriksaan sedimen urine, menunjukkan adanya leukosituria, hematuria dan dijumpai
kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya
pertumbuhan kuman pemecah urea (Ismadi M., 1976).
II. 5. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, dan pemeriksaan fisik, selain itu perlu ditunjang
dengan pemeriksaan laboratorium, radiologik, dan dengan pencitraan untuk menentukan
kemungkinan adanya gangguan fungsi ginjal.
Pemeriksaan Penunjang yang dapat menegakan diagnosis Nefrolithiasis antara lain :
Laboratorium :
1. Urin
· pH urin
- Batu kalsium, asam urat dan batu sistin terbentuk pada urin dengan pH yang rendah (pH<7).
- Batu struvit terbentuk pada urin dengan pH yang tinggi (pH> 7)
· Sedimen
- Sel darah meningkat (90%), pada infeksi sel darah putih akan meningkat.
- Ditemukan adanya kristal, misalnya kristal oksalat
- Biakan urin untuk melihat jenis mikroorganisme penyebab infeksi pada saluran kemih
2. Darah
- Hemoglobin, adanya gangguan fungsi ginjal yang kronis dapat terjadi anemia
- Leukosit, infeksi saluran kemih oleh karena batu menyebabkan leukositosis
- Ureum kreatinin, parameter ini digunakan untuk melihat fungsi ginjal
- Kalsium, dan asam urat.
Radiologik :
1. Foto Polos Abdomen
Bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih. Batu jenis
kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radioopak dan paling sering dijumpai, sedangkan
batu asam urat bersifat radiolusen (Ismadi M., 1976).
2. Pielografi Intra Vena
Bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu juga dapat mendeteksi adanya
batu semi opak ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika
pielografi intra vena ( selanjutnya disebut dengan PIV ) belum dapat menjelaskan keadaan sistem
saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai gantinya adalah pemeriksaan
pielografi retrograde (Ismadi M., 1976).
3. Ultrasonografi
Dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu pada keadaan alergi
terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada wanita yang sedang hamil.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli ( yang
ditunjukkan sebagai echoic shadow ), hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal
(Ismadi M., 1976).
II. 6. Penatalaksanaan Nefrolithiasis
Tujuan pengelolaan batu pada ginjal adalah untuk menghilangkan obstruksi, mengobati infeksi,
menghilangkan rasa nyeri, mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan
terjadinya rekurensi (Palmer P.E.S., 1995). Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah
yang dapat diambil adalah sebagai berikut (Purnomo B., 2003):
Diagnosis yang tepat mengenai adanya batu, lokasi dan besarnya batu
Menentukan akibat adanya batu seperti rasa nyeri, obstruksi yang disertai perubahan pada
ginjal, infeksi dan adanya gangguan fungsi ginjal
Menghilangkan obstruksi, infeksi dan rasa nyeri
Analisis batu
Mencari latar belakang terjadinya batu
Mengusahakan pencegahan terjadinya rekurensi
Tindakan penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah (Ismadi M., 1976):
1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena
diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan lebih bersifat simtomatis, yaitu
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan memberikan diuretikum,
dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar
2. ESWL ( Extracorporeal Shockwave Lithotripsy )
Alat ESWL dapat memecah batu ginjal tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan.
Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran
kemih. Tidak jarang, pecahan-pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri
kolik dan menyebabkan hematuria.
3. Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu, tindakan
tersebut terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui
alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat tersebut dimasukkan melalui uretra
atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara
mekanik, dengan memakai energi hidroulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi untuk mengeluarkan batu pada ginjal adalah :
a. PNL ( Percutaneous Nephro Litholapaxy )
Yaitu mengeluarkan batu di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke
sistem kalises ginjal melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih
dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
b. Uretero atau Uretero-renoskopi
Yaitu memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna melihat kedaan ureter atau sistem
pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun
sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureterorenoskopi.
4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk tindakan-tindakan
endourologi, laparaskopi maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui
pembedahan terbuka. Pembedahan itu antara lain adalah pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk
mengambil batu pada saluran ginjal. Tidak jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi
karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan telah terjadi pionefrosis, korteksnya sudah sangat
tipis atau mengalami pengkerutan akibat batu yang menimbulkan obstruksi dan infeksi yang
menahun
II. 7. Pencegahan Nefrolithiasis
Tindakan selanjutnya yang tidak kalah penting setelah pengeluaran batu adalah upaya
menghindari timbulnya kekambuhan. Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas
kandungan unsur yang menyusun batu yang diperoleh dari analisis batu (Palmer P.E.S., 1995).
Pada umumnya pencegahan itu berupa (Purnomo B., 2003):
Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urine sebanyak 2-
3 L/hari
Aktivitas harian yang cukup
Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu
Jenis Batu Faktor predisposisi Pengobatan pencegahan
untuk mencapai pH
kemih ynag dibutuhkan
Kemih asam ( pH < 6 ) Kemih basa ( pH > 6 )
Kalsium oksalat Hiperkalsiuria Sayuran, susu, buah
Kristal asam urat
Kemoterapi gout
( kecuali plum, plum
kering, cranberry )
Natrium bikarbonat atau
sitrat
Triple fosfat
Kalsium fosfat
Kemih basa
Infeksi saluran kemih
Hiperkalsiuria, imobilitas
lama
Kemih asam
Daging, roti, makanan
berprotein, jus cranberry,
plum, plum kering
Mandelanin
II. 8. Prognosis Nefrolithiasis
Prognosis batu pada saluran kemih, dan ginjal khususnya tergantung dari faktor-faktor ukuran
batu, letak batu, adanya infeksi serta adanya obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin
jelek prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah
terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor obstruksi
akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sehingga prognosis menjadi jelek (Purnomo
B., 2003).
II. 9. Komplikasi Nefrolithiasis
Obstruksi ureter dapat menimbulkan hidroureter dan hidronefrosis. Batu di pielum dapat
menimbulkan hidronefrosis, batu di kaliks mayor dapat menimbulkan kaliekstasis pada kaliks
yang bersangkutan. Jika disertai dengan infeksi sekunder, dapat menimbulkan pionefrosis,
urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik, ataupun pielonefritis. Pada keadaan lanjut, dapat terjadi
kerusakan ginjal, dan jika mengenai kedua sisi dapat mengakibatkan gagal ginjal permanen
(Ismadi M., 1976).
DAFTAR PUSTAKA
1. Ashadi T., 1998, Manfaat Diagnosa Radiografi pada Batu Saluran Kemih, 24 (8), hal ; 544
– 9, Medika
2. Ismadi M., 1976, Penelitian Tentang Urolithiasis Pada Perhatian Dengan Sifat Biokimiawi
Air Kencing, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
3. Palmer P.E.S., 1995, Petunjuk Membaca Foto Untuk Dokter Umum, Penerbit EGC, Jakarta.
4. Price S. A., Wilson L. M., 1995. Batu Ginjal dan Saluran Kemih dalam Patofisiologi, konsep
klinis proses-proses penyakit, ed 4, hal ; 797 – 8, EGC, Jakarta
5. Purnomo B., 2003, Batu Ginjal dan Ureter dalam Dasar-Dasar Urologi, hal ; 57 – 68, Sagung
Seto, Yogyakarta
6. Raharjo J. P., 1996, Batu Saluran Kencing dalam Ilmu Penyakit Dalam, ed 3, hal ; 337 – 40,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
7. Sabiston C. D. Jr, MD., 1997, Batu Ginjal dan Ureter dalam Buku Ajar Bedah 2, hal ; 472 –
3, EGC, Jakarta