Upload
others
View
14
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
NIKAH BEDA AGAMA ( STUDI KOMPARASI ANTARA TAFSIR AL MANAR DAN AL MARAGHI )
SKRIPSI
DI Susun Oleh :
FAISAL HAITOMI
Nim : UT.150196
PRODI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2018
PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan untuk orang yang sangat kusayangi, bapak Sa’arudin dan
ibu Hasramah, serta adik tercinta Anggia Muharani dan Hani Febriani, sebagai tanda bakti,
dan terima kasih yang tiada terhingga, terima kasih atas segala dukungan, dan cinta kasih
yang tiada terhingga untuk kalian penyemangatku.
Ku persembahkan juga untuk seluruh guru yang telah mengajariku dari awal mula
tanpa mengenal satu huruppun, terima untuk seluruh guru sekolah Dasar ( SD ) 271/6 Desa
Sekancing Ilir, guru-guru madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA) Al-
Mujahadah, serta seluruh bapak / ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, terima
kasih atas segala ilmu, didikan, dan pengalaman yang sangat berarti.
Tidak lupa pula terima kasih kepada teman seperjuangan Ilmu al Quran dan Tafsir
Tahun Angkatan 2015, semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa.
vi
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh realita bahwa terjadinya perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat pernikahan beda agama antara tafsir al Manar dan al Maraghi, padahal antara tafsir al Manar dan al Maraghi adalah dua tafsir yang dikarang oleh guru dan murid yaitu Muhammad Abduh dan Ahmad Mustafa al Maraghi. Hal ini mendorong penulis untuk mengemukakan bagaimana penafsiran antara tafsir al Manar dan al Maraghi terhadap ayat-ayat pernikahan beda agama, dan apakah perbedaan penafsiran antara tafsir al Manar dan al Maraghi.
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah ( library research) dengan menggunakan teknik analisis komparatif, yaitu mencoba mendeskripsikan konstruksi tafsir tersebut, lalu dianalisa secara kritis, serta mencari sisi persamaan dan perbedaan antara kedua tafsir tersebut. Adapun metode yang penulis gunakan dalam menganalisis permasalahan ini adalah metode muqarran / perbandingan.
Hasilnya penulis menemukan bahwa ketika menafsirkan ayat-ayat pernikahan beda agama pada surah al Baqarah ayat 221, baik tafsir al Manar maupun tafsir al Maraghi memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada kesimpulan yang dimbil keduanya yaitu mengharamkan pernikahan pria muslim dan wanita musyrik. Dan perbedaan antara keduanya terletak pada pemahaman dan pendekatan yang mereka gunakan dalam menafsirkan ayat tersebut. Dalam tafsir al Manar menafsirkan kata musyrikah pada ayat 221 dengan wanita musyrik arab saja, karena menggunakan pendekatan al ‘ibrah bi khusus al sabab la bi ‘umum al lafzi. Sedangkan dalam tafsir al Maraghi memahami kata musyrikah pada ayat 221 dengan wanita musyrik secara umum, karena menggunakan pendekatan al ‘ibrah bi ‘umum al lafzi la bi khusus al sabab. Sedangkan dalam menafsirkan surah al Maidah ayat 05 juga terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada kasimpulan yang dikemukakan kedua tafsir tersebut bahwa boleh hukumnya menikahi wanita ahli kitab. Sedangkan perbedaan keduanya terletak pada pemahaman tentang ahli kitab dan kata mukhshanat dalam ayat tersebut. Dalam tafsir al Manar memahami ahli kitab dengan bahwa wanita semua agama yang mempunyai kitab, dan kata mukhsanat dengan wanita baik-baik. Sedangkan dalam tafsir al Maraghi memahami ahli kitab yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah khusus kepada wanita kaum Yahudi dan Nasrani saja, dan kata mukhsanat difahami dengan wanita yang merdeka.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunianya berupa kesehatan dan kekuatan
lahir batin sehingga penulis dapat menyelesaikan karya kecil ini dengan judul NIKAH BEDA
AGAMA ( STUDI KOMPARASI ANTARA TAFSIR AL MANAR DAN AL MARAGHI).
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi akhir zaman
yaitu Nabi Muhammad SAW. Untuk segala keluarga serta para sahabt beliau yang senantiasa
iatiqamah dalam perjuangan Islam. Semoga kita menjadi hamba-hamba pilihan laksana
mereka.
Selanjutnya, penulis menyadari dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis telah
dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih
kepada beberapa pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini hingga selesai. Penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua dan keluargaku yang
telah menjaga , mendidik, menyayangi, dan senantiasa selalu mendoakan penulis sehingga
karya ini dapat terselesaikan.
Dan pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tulus dan
ikhlas kepada :
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
2. Bapak Prof. Dr.H. Sua’idi Asy’ari, MA Ph.D, Bapak Dr. H. Hidayat M. Pd, Ibu
Dr. Hj. Fadhlilah, M. Pd selaku wakil rektor I,II,III, UIN STS Jambi.
3. Bapak Dr. H. Abd. Ghaffar, M. Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
4. Bapak Dr. Masiyan M Syam M. Ag selaku wakil dekan I dan bapak H. Abdullah
Firdaus, Lc., MA., Ph.D Selaku wakil dekan II, dan bapak Dr. Pirhat Abbas, M.
Ag selaku wakil dekal III Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama.
5. Ibu Ermawati, MA selaku kepala prodi Ilmu al Quran dan Tafsir UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
6. Bapak Dr. H. Abd Ghaffar M, Ag selaku pembimbing I dan ibu Sajida Putri S.
Ud, M, HUM selaku pembimbing II.
7. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi semoga ilmu yang diberikan kepada penulis dapat diamalkan
sebagaimana mestinya.
8. Seluruh Karyawan dan Karyawati dilingkungan akademik Fakultas Ushuluddin
dan Studi Agama UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa, semoga amal ibadah semua pihak dapat diterima
dan dicatat oleh Allah SWT, sebagai amal shaleh dan mendapatkan balasan sebaik-baiknya.
Tidak ada sesuatu yang sempurna didunia ini melainkan Allah yang maha sempurna.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik
dan saran dalam penulisan skripsi ini. Dan penulis berharap semoga tulisan ini mempunyai
nilai guna dan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jambi, Oktober 2018
Penulis
FAISAL HAITOMI
UT.150196
ix
DAFTAR ISI SEMENTARA
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................i
NOTA DINAS ......................................................................................................................ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI .......................................................iii
PENGESAHAN ....................................................................................................................iv
MOTTO .................................................................................................................................v
PERSEMBAHAN ................................................................................................................vi
ABSTRAK ............................................................................................................................vii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................viii
DAFTAR ISI .........................................................................................................................x
PEDOMAN TRANSLITERASI ..........................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................5 B. Pokok Masalah ..............................................................................................5 C. Rumusan Masalah .........................................................................................5 D. Batasan Masalah ............................................................................................5 E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ..................................................................5 F. Tinjauan Pustaka ............................................................................................6 G. Metode Penelitian ..........................................................................................8 H. Sistematika Penulisan ....................................................................................10
BAB II BIOGRAFI MUFASSIR DAN KITAB TAFSIR
1. Muhammad Abduh a. Potret Kehidupan dan Perjalanan Intelektual .......................................12 b. Karya-Karya Muhammad Abduh .........................................................17
2. Sayyid Rasyid Ridha a. Potret Kehidupan Dan Perjalanan Intelektual ......................................17 b. Karya-Karya Sayyid Rasyid Ridha ......................................................22 c. Tafsir Al Manar ....................................................................................22
1. Latar Belakang Penulisan ..........................................................22 2. Metode dan Corak .....................................................................24 3. Sistematika Penulisan ................................................................25
3. Ahmad Mustafa al Maraghi a. Potret Kehidupan Dan Perjalanan Intelektual ....................................26 b. Karya-Karya al Maraghi .....................................................................28 c. Tafsir al Maraghi ................................................................................29
1. Latar Belakang Penulisan .......................................................29 2. Metode dan Corak ..................................................................30 3. Sistematika Penulisan .............................................................30
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN PERNIKAHAN BEDA
AGAMA A. Pengertian Pernikahan Secara Umum .............................................................32 B. Pengertian Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif al-Qur’an ..................35 C. Pandangan Ulama Tentang Pernikahan Beda Agama .....................................38
BAB IV KOMPARASI PENAFSIRAN AYAT-AYAT PERNIKAHAN BEDA AGAMA
A. Penafsiran Dalam Tafsir al Manar Terhadap Ayat-ayat Nikah Beda Agama ..42 1. Surah al Baqarah ayat 221 ...................................................................42 2. Surah al Maidah ayat 05 ......................................................................45 3. Surah al Mumtahanah ayat 10 .............................................................48
B. Penafsiran Al Maraghi Terhadap Ayat Nikah Beda Agama ...........................49 1. Surah al Baqarah ayat 221 ..................................................................49 2. Surah al Maidah ayat 05 ......................................................................50 3. Surah al Mumtahanah ayat 10 .............................................................52
C. Persamaan Dan Perbedaan Metodologi dan Isi Penafsiran .............................55 D. Analisis Penulis Terhadap Perbedaan Penafsiran al Manar dan al Maraghi ...58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................... B. Saran-Saran ........................................................................................................... C. Penutup .................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN CURICULUM VITAE
TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
‘ t
b Z
t ‘
th gh
j f
h q
kh k
d l
dh m
r n
z h
s w
sh ,
s y
d
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
A a i
U a aw
I u ay
C. Ta’ Marbutah
Tarnsliterasi untuk Ta Marbutah ini ada tiga macam :
1. Ta’ Marbutah yang mati atau mendapat harakat sukun, maka transliterasinya
adalah /h/.
Arab Indonesia
Salah
Mir’ah
2. Ta Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dommah,
maka tarnsliterasinya adalah /t/.
Arab Indonesia
Wizarat al-Tarbiyah
Mir’at al-zaman
3. Ta Marbutah yang berharakat tanwin maka transliterasinya adalah /tan/tin/tun.
Arab Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui dan diyakini, al Qur‟an diturunkan Allah SWT
sebagai petunjuk dan pembimbing makhluk-makhluknya di setiap ruang dan
waktu. Al Qur‟an juga mengantarkan dan mengarahkan mereka ke jalan yang
paling lurus.1 Allah berfirman :
“Sesungguhnya al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min
yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar
(Qs.al-Isra 9).2
Agar fungsi-fungsi al-Qur‟an tersebut dapat terwujud, maka kita harus
menemukan makna-makna firman Allah SWT saat menafsirkan al-Qur‟an,
sebagaimana para sahabat Rasulullah SAW dahulu telah menemukan makna-
maknanya sesuai dengan masa dan tempat mereka.3
Tafsir dan wawasan al-Qur‟an tentu tidak terlepas dari pembicaraan
metodologi tafsirnya.4 Menurut gagasan Abdul Hay al-Farmawi dalam bukunya,
al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudu‟iy, terdapat empat metode tafsir yang menjadi
pijakan dalam memahami al-Qur‟an, yang dikenal yaitu metode ijmali (global),
metode tahlily (analitis), metode muqarrin (perbandingan), metode maudu‟iy
(tematik).5 Metodologi tafsir bagi para mufassir merupakan sebuah alat bantu
untuk memahami kasus-kasus dalam studi Islam (Islam Studies). Metode tafsir
yang berkembang saat ini, sebagaimana yang diungkap di atas adalah metode
1 Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir,(Jakarta: AMZAH 2010) hlm, 3.
2 Depag RI , Al Qur‟an Dan Terjemahannya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al Qur‟an 1971) hlm, 570. 3 Rahman Dahlan, Ibid, hlm 3
4 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al Quran dan Tafsir, (Yogyakarta : CV. Idea
Sejahtera) 2015 hlm, 17-18. 5 Hasbullah Diman, Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Tafsir, Vol. XI, No,2
Sept-Jan 2016, hlm 1.
2
kontekstual yang menurut Islah Gusmian sama dengan pendekatan sejarah sosial
(sosial historis). 6
Al-Qur‟an bagi umat Islam adalah sumber utama untuk semua sisi
kehidupan, sekaligus menjelaskan berbagai prinsip baik yang berkaitan dengan
hubungan vertikal individu dengan Tuhan maupun hubungan horizontal antara
individu dengan masyarakat. Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, semua
persoalan yang berkenaan dengan masalah tersebut dengan mudah dapat
diselesaikan. Keadaan tersebut sangat berbeda dengan zaman sesudahnya,
sehubungan dengan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi, umat Islam
berusaha untuk memahami dan menjelaskan isi kandungan al-Qur‟an untuk
diselaraskan dengan situasi yang ada, sampai saat ini era modern kontemporer.7
Salah satu persoalan yang menjadi polemik saat ini adalah fenomena
pernikahan beda agama. Dalam al-Qur‟an pembahasan tentang pernikahan beda
agama ini terdapat dalam beberapa ayat di beberapa surah yaitu, surah al-Baqarah
[2] 221, dan al-Maidah [5] 5. Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang
pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama disini adalah pernikahan antara
laki-laki muslim dengan perempuam musyrik. Peristiwa di atas menyangkut
perkawinan antar agama yang dapat meliputi : perkawinan orang beragama islam
(pria/wanita) dengan orang yang beragama non Islam (pria/wanita). Perkawinan
antar agama yang dimaksud antara lain adalah :
1. Calon isteri beragama Islam dan calon suami tidak beragama Islam,
baik ahlul kitab maupun musyrik.
2. Calon suami beragam Islam dan calon isteri tidak beragama Islam, baik
ahlul kitab maupun musyrik.8
Perkawinan beda agama secara fakta bukanlah isu baru di Indonesia.
Namun, secara historis nikah beda agama ini telah menjadi perdebatan di
kalangan tokoh-tokoh Islam pada masa sahabat, tabii‟in,dan masa berikutnya dan
6 Hasbullah Diman, Ibid, hlm 2.
7 Amarudin Asra dkk, Jurnal Syahadah, Tafsir Ayat-Ayat hukum Tentang Nikah Beda
Agama, Vol. V, No 1, April 2017, hlm 73. 8 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaharu Keagamaan,(Bandung :
PT Mizan Pustaka,2005) hlm,55.
3
berlanjut hingga sekarang. Lebih-lebih dalam konteks masyarakat plural dan etnis,
budaya, agama seperti di Indonesia, kawin beda agama menjadi sebuah fakta yang
wajar dan sangat mungkin terjadi.9 Dalam agama Islam, memilih pasangan adalah
tidak bebas mutlak. Nabi Muhammad saw telah memberikan kriteria pilihan yang
menempatkan agama pada peringkat pertama. Dalam Islam sebenarnya
pernikahan haruslah dengan sesama muslim. 10
Namun faktanya di zaman modern
ini, banyak ummat Islam yang tidak peduli lagi mempertimbangkan keagamaan
dalam memilih pasangan hidup. Nikah beda agama seakan-akan menjadi trend di
sebagian kalangan, khususnya selebritis. Ditambah dengan beredarnya pemikiran
ngawur dari kaum liberal yang menghalalkan nikah beda agama karena mereka
menganggap bahwa semua agama itu benar. Nikah beda agama pun sering
dijadikan modus pemurtadan seorang muslim atau muslimah.
Para ulama berpendapat11
bahwa seorang lelaki muslim tidak boleh
menikahi perempuan musyrik berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-
Baqarah 221:
9 Nalla Fezy Bazarghand, Pernikahan Laki-laki Muslim Dengan Wanita Ahlu Kitab (Studi
Komparatif Pemikiran Rasyid Ridho Dan Yusuf al-Qardhawi), Skripsi Fakultas Syari‟ah UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017, hlm 12. 10
Al-Mawarid, Kawin Beda Agama Dalam Legalisasi Hukum Perkawinan Indonesia
Perspektif HAM, Vol. XI, No,2 Sept-Jan 2012 . hlm 158 11
Semua mazhab sepakat bahwa, laki-laki dan perempuan muslim tidak boleh kawin
dengan orang-orang yang tidak mempunyai kitab suci atau yang dekat dengan kitab suci (syibh
kitab). Orang-orang yang masuk dalam kategori ini adalah para penyembah berhala, penyembah
bintang, dan benda-benda lain yang mereka puja, dan setiap zindik yang tidak percaya kepada
Allah. Keempat mazhab sepakat bahwa orang-orang yang memiliki kitab yang dekat dengan kitab
(syibh kitab)., seperti orang-orang majusi,tidak boleh dikawini. Lihat, Muhammad Jawad
Mughniyah, Al-Fiqh „ala al-madzahib al-khamsah, Fiqih Lima Mazhab( Jakarta : SHAF, 2011)
hlm,364-365.
4
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.12
Kemudian Nabi Muhammad saw juga menegaskan dalam hadisnya :
13
“Diriwayatkan daripada Abu Hurairah RA, daripada Nabi Muhammad
SAW beliau bersabda “ Nikahilah perempuan karena empat perkara,
karena hartanya, karena nasabnya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Maka pilihlah karena agamanya maka kamu akan beruntung”.
(HR. Bukhari Muslim)
Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad Abduh dan Ahmad Mustafa al-
Maraghi adalah seorang guru dan murid . Sebagai seorang murid Muhammad
Abduh, tentu saja Mustafa al-Maraghi mempunyai banyak persamaan. Uniknya,
meski persamaannya lebih menonjol, namun tafsir al Maraghi tampaknya lebih
dapat diterima, dianggap lebih lurus, daripada tafsir yang dihasilkan Rasyid Ridho
dan gurunya.14
Terkait ayat di atas, penafsiran mereka cenderung berbeda.
Berdasarkan fakta ini, penulis ingin mengkaji lebih jauh bagaimana penafsiran
12
Depag RI, Ibid, hlm 245. 13 Al-Bukhariy, Abu Abdullah Bin Mughirah Bin Al-Bardizbat, Shahih Al-Bukhariy,Juz 3
Dar Al Kutub Al Ilmiyyah 1992 14
Ali Mustafa Ya‟qub, Kritik Hadis (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000), hlm 47.
5
Muhammad Abduh dan Mustafa al-Maraghi selaku Mufassir modern terkait ayat-
ayat hukum dalam al-Qur‟an terkait masalah pernikahan beda agama. Kemudian
penulis akan melakukan analisis komparasi terhadap pendapat mereka atau hasil
dari metode yang mereka pakai dalam penafsiran mereka.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok
masalah dalam penelitian ini adalah perbedaan penafsiran antara Muhammad
Abduh dan Muhammad Mustafa al-Maraghi dalam menafsirkan ayat-ayat nikah
beda agama.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pokok dan latar belakang masalah di atas maka yang akan
menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penafsiran ayat-ayat nikah beda agama dalam tafsir al Manar dan
al Maraghi ?
2. Bagaimana perbandingan penafsiran Muhammad Abduh dan Ahmad Mustafa
al Maraghi terhadap ayat-ayat nikah beda agama ?
D. Batasan Masalah
Untuk menghindari melebarnya masalah yang akan penulis bahas, maka
penulis rasa perlu untuk membatasinya. Maka dalam penelitian ini penulis hanya
memfokuskan penelitian terhadap penafsiran tentang ayat-ayat nikah beda agama
dalam surah al Baqarah 221 dan al Maidah 05 menurut tafsir al-Manar dan tafsir
al-Maraghi.
E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran terhadap ayat-ayat nikah
beda agama dalam tafsir al Manar dan tafsir al Maraghi.
b. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan kedua penafsiran tokoh
tersebut.
6
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memenuhi di
antaranya :
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberkan kontribusi khasanah
keilmuan, khususnya yang berkaitan dengan hukum saat dikaji melalui
ilmu al Qur‟an dan tafsir.
b. Penelitian ini diharapkan mampu meramaikan dan memperkaya
perbendaharaan ilmu pengetahuan, khususnya dalam penelaahan
mengenai pernikahan beda agama.
c. Penelitian ini diharapkan pula menjadi kontribusi keilmuan penulis
terhadap UIN STS Jambi yang tengah mengembangkan paradigm
keilmuan yang berwawasan global dalam bentuk Universitas Islam.
F. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan dan pengamatan penulis, hingga saat ini sudah
banyak penelitian yang penulis temukan tentang pernikahan beda agama. Namun,
sepanjang penelaahan penulis, belum ada penelitian yang secara spesifik
membahas tentang komparasi antara tafsir al Manar dan al Maraghi. Diantara
penelitian yang terdahulu yang pernah dilakukan adalah :
Pertama, dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Maratur Rabikhah
Mahasiswi Fakultas Syariah jurusan ahwalul sahsiyyah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta pada tahun 2013 yang berjudul “ pernikahan beda agama (komparasi
antara pemikiran Nurkholis Majid dan Musdah Mulia), setelah penulis telaah
penelitian ini lebih banyak membahas nikah beda agama dari segi hukum.15
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Sodri al- Rizal Supardi mahasiswa
Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “
Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal Dan Hizbut
15
Di akses melalui internet dengan alamat : https://opac.uin-suka.ac.id/?, pada tanggal 25
September 2018 pada jam 19.30
7
Tahrir Indonesia” ), Skripsi ini banyak membahas tentang nikah beda agama
menurut JIL dan HTI Indonesia.16
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Robith mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta yang berjudul “ Perkawinan Beda Agama
Menurut Quraish Shihab Dan Nurkholis Majid Studi Interpretatif terhadap teks al
Qur‟an surah al-Baqarah ayat 221. Setelah penulis teliti penelitian ini hanya
mengupas nikah beda agama dalam pendangan Quraish Shihab dan Nurkholis
Majid.
Keempat, skripsi yang ditulis oleh Zulkarnaen mahasiswa Fakulltas
Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “ Studi Terhadap
Pemikiran M. Quraish Shihab Tentang Makna Ahl Kitab Dan Implikasi Hukum
Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Setelah ditelaah penelitian ini brsifat ke
Indonesiaan dan hanya mengupas dari sisi Ahl Kitab Saja.
Kelima, buku yang berjudul Muslimah Reformis Perempuan Pembaharu
Keagamaan yang ditulis oleh Siti Musdah Mulia, dalam buku ini ada beberapa
bab yang menjelaskan tentang pernikahan beda agama menurut pendapat Siti
Musdah Mulia, tetapi setelah penulis telaah buku ini memaparkan berbagai
interpretasi para ulama baik kontemporer maupun klasik mengenai pernikahan
beda agama. Kemudian dalam buku yang ditulis oleh Siti Musdah Mulia ini dia
hanya menginterpretasi pendapat para ulama yang kemudian dianalisis untuk
diambil kesimpulan dan dia tidak menginterpretasi ayat-ayat tentang pernikahan
beda agama.
Keenam, dalam bentuk jurnal yang ditulis oleh Ahmadi Hasanuddin
Dardiri dkk, jurusan ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
yang berjudul “ pernikahan beda agama ditinjau dari persfektif Islam dan
HAM”.17
Setelah penulis teliti, tulisan ini memuat tentang pernikahan beda agama
ditinjau dari hukum Islam dan HAM, penelitian ini bersifat umum dan tidak
mengkhususkan kajiannya terhadap ayat-ayat tentang pernikahan lintas agama.
16
Internet, ibid, diakses pada tanggal 25 September 2018 pada jam 19.30 17
Ahmadi Hasanuddin Dardiri dkk, Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif
Islam dan HAM, KHAZANAH Vol.VI.No. 1 Juni 2013, hlm 100.
8
G. Metode Penelitian
Metode dapat diartikan sebagai way of doing anything18
,. Yaitu suatu cara
yang ditempuh untuk mengerjakan sesuatu, agar sampai kepada suatu tujuan.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
komparatif (analitycal comparative method), yaitu mencoba mendeskripsikan
konstruksi penafsiran ayat-ayat nikah beda agama dari kedua tokoh tersebut,lalu
dianalisis, serta mencari persamaan dan perbedaa, kelebihan dan kekurangan dari
penafsiran kedua tokoh tersebut.
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian menguraikan pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini , dalam hal ini pendekatan merujuk pada bidang keilmuan sesuai
focus penelitian. Dalam penelitian kepustakaan (library research) ini,
menggunakan teknik analisis-komparatif, yaitu mencoba mendiskripsikan
konstruksi tafsir kedua tokoh tersebut, lalu dianalisa secara kritis, serta mencari
sisi persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan pemikiran kedua tokoh
tersebut.
2. Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, karena itu sumber data dalam
penelitian ini dapat penulis klasifikasikan dalam dua jenis, yaitu data primer dan
data sekunder. Adapun objek utama dalam penelitian ini adalah penafsiran
terhadap teks-teks yang berkaitan dengan penafsiran Qs. Al Baqarah 221,dan al
Maidah 05,. Dalam hal ini yang merupakan data primernya merupakan al Qur‟an
itu sendiri, serta dua kitab tafsir lainnya yaitu : Tafsir al Qur‟an al Hakim masyhur
bi al Tafsir al Manar, dan Tafsir al Maraghi. Dan data sekunder sebagai data
pendukung adalah karya-karya yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan,
tafsir al azhar, jurnal-jurnal, buku-buku, dan lain-lain yang memiliki hubungan
dengan topik bahasan sebagai pelengkap penelitian.
18
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur‟an Dan Tafsir, (Yogyakarta : CV. Idea
Sejahtera) 2015, hlm 51.
9
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam megumpulkan data yang diperlukan, penulis melakukan penelusuran
kepustakaan dengan mengkaji dan menelaah referensi yang bersumber dari
tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data pokok
persoalan yang akan diteliti, selanjutnya data tersebut dianalisis sehingga dapat
memberikan pengertian dan kesimpulan sebagai jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang menjadi objek penelitian.
4. Metode Analisis Data
Setelah melakukan pengumpulan data, penulis akan menganalisa data yang
didapatkan dengan menggunakan metode Muqarran. Muqarran secara harfiah
berarti perbandingan, secara istilah berarti suatu metode atau teknik penafsiran al
Qur‟an dengan cara memperbandingkan pendapat seorang mufassir dengan
mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat.19
Penafsiran al Qur‟an dengan menggunakan metode muqarran dapat
dikategorikan dalam tiga bentuk : pertama, memperbandingkan ayat al Qur‟an
yang berbeda redaksinya satu dengan yang lain, padahal sepintas terlihat bahwa
ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan yang sama.20
Kedua,
membandingkan ayat al Qur‟an dengan suatu hadis, ketiga membandingkan suatu
tafsir dengan tafsir yang lainnya mengenai sejumlah ayat yang ditetapkan oleh
mufassir itu sendiri.
Sebenarnya metode riset komparatif tidak jauh beda dengan riset-riset yang
lain, hanya saja dalam riset komparatif akan tampak sangat menonjol uraian-
uraian perbandingannya. Adapun langkah metodisnya adalah sebagai berikut:21
1. Menentukan tema apa yang akan diriset.
2. Mengidentifikasi aspek-aspek yang hendak diperbandingkan.
3. Mencari keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi antar konsep.
19
Kadar M Yusuf, Studi Al Qur‟an edisi kedua,( Jakarta: AMZAH,2014),136 20
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tanggerang: penerbit Lentera Hati,2013),382 21
Abdul Mustaqim,Ibid, hlm 137
10
4. Melakukan analisis secara mendalam dan kritis dengan disertai
argument data.
5. Membuat kesimpula-kesimpulan untuk menjawab problem riset.
Dengan metode perbandingan ini, penulis akan menghubungkan
penafsiran satu dengan yang lainnya, memperjelaskan kekayaan alternatif yang
terdapat dalam satu permasalahan tertentu dan menyoroti titik temu penafsiran
mereka dengan tetap mempertahankan dan menjelaskan perbedaan-perbedaan
yang ada, baik dalam metodologi maupun materi pemikirannya. Data-data yang
hendak diteliti terdiri dari data premier dan data sekunder. Data premier adalah
data-data yang merupakan karya dua tokoh yang di kaji dalam hal ini adalah tafsir
al manar dan tafsir al maraghi. Sedangkan data sekunder adalah buku-buku, kitab,
jurnal, atau artikel mengenai pemikiran dua tokoh tersebut (Muhammad Abduh
dan Muhammad Mustafa al Maraghi), dan buku-buku lain yang terkait dengan
objek kajian ini, yang sekiranya dapat digunakan untuk menganalisis persoalan-
persoalan pernikahan beda agama menurut penafsiran dua tokoh tersebut.22
H. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mudah dalam memahami isi skripsi ini agar tidak memperluas
objek kajian dalam penelitian, maka perlu adanya sistematika penulisan. Skripsi
ini merujuk pada teknik penulisan yang disepakati pada Fakultas Ushuluddin UIN
STS Jambi. Penelitian ini terbagi kepada lima bab, di setiap babnya terdiri dari
sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan –permasalahan
tersendiri, tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang
berikutnya. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut :
Bab pertama, merupakan abab pendahuluan yang mana dalam bab ini
memaparkan lartar belakang masalah, pokok masalah, rumusan masalah, batasan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,
serta sistematika penulisan.
Bab kedua berisikan tentang potret kehidupan serta perjalanan intelektual
dari pengarang tafsir al manar dan al maraghi serta biografi tasir al manar dan al
maraghi.
22
Abdul Mustaqim, Ibid, hlm 172
11
Bab ketiga, diarahkan untuk menelusuri terhadap gambaran umum tentang
pernikahan, serta pernikahan beda agama menurut al Qur‟an dan pendapat ulama
mengenai pernikahan bda agama.
Bab empat merupakan bahasan inti yang akan memaparkan bagaimana
penafsiran tentang ayat pernikahan beda agama menurut tafsir al Manar dan tafsir
al Maraghi, serta memaparkan apa persamaan dan perbedaan penafsiran dalam
kedua tafsir tersebut, serta penulis akan menganalisis terhadap kedua penafsiran
tersebut.
Bab kelima, merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang
kesimpulan akhir dari penelitian saran penulis, berkaitan dengan penafsiran ayat-
ayat pernikahan beda agama menurut tafsir al Manar dan tafsir al Maraghi, serta
kata penutup yangakan mengakhiri penelitian.
12
BAB II
BIOGRAFI MUFASSIR DAN KITAB TAFSIR
1. Muhammad Abduh
A. Potret Kehidupan dan Perjalanan Intelektual
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266 H/ 1849 M, di desa Mahllat
Nashr kabupaten Bahirah, Mesir. Pada saat itu negeri yang pernah menjadi pusat
peradaban dunia dipimpin oleh „Ali Pasha (1805-1849), seorang tokoh yang
membuka kran modernisme di Mesir. Kebijakannya itu di tandai dengan
dipersilahkannya bangsa-bangsa Eropa berdagang dan menjalankan industry di
negeri itu. Para pelajar juga banyak yang dikirim ke Barat seperti Ingris, Perancis
dan lainnya. Untuk menimba imlu-ilmu modern.23
Dengan demikian Muhammad
Abduh tumbuh dizaman bertemunya dua arus, yaitu arus tradisional dan arus
modern. Dialektika antara dua araus inilah nantinya membentuk jati dirinya.
Muhammad Abduh adalah anak dari Abduh Khairullah dan Junainah binti
Usman al-Kabir. Abduh Khairullah merupakan seorang petani taat beragama dan
kritis terhadap pemerintah. Dikabarkan, ia pernah ditawan oleh rezim Ali Pasha
karena dituduh menentang pemerintah. Penentangan ini menurut Harun Nasution
yang dikutip oleh Rif‟at Syauqi Nawawi, terjadi sejak zaman kakek Muhammad
Abduh.24
Bila ditelusuri dari jalur ibunya, Muhammad Abduh Masih keturunan
dari Khalifah Usman bin Affan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa ibunya
juga masih keturunan dari Khalifah Umar bin al-Khattab.25
Bagi orang tua Muhammad Abduh, pendidikan merupakan perkara yang
penting. Untuk itu, sejak kecil perkembangan pendidikannya sangat diperhatikan.
23
Fakhrudin Faiz, Hermeneutika Qur‟ani : antara teks, konteks dan kontekstualisasi
(Yogyakarta : Qalam,2002),hlm 57. 24
Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Jakarta :
Paramadina,2002),hlm 21 25
M. Abduh lahir dalam keadaan Islam yang mengalami kemunduran dan Barat
mengalami kemajuan. Pada waktu itu barat sedang gencar melebarkan sayap imperialismenya.
Nama Napoleon Banoparte telah nyaring terdengar di penjuru Mesir. Napoleon datang ke Mesir
untuk melebarkan misi imperialismenya. Ketika memasuki Mesir Napoleon mebawa kemajuan
ilmu pengetahuan dari Perancis (Barat). Hal itulah yang membuat orang-orang Mesir dan raja
Muhammad Ali Pasha menyadari akan kemunduran umat Islam dibandingkan Barat. (Rif‟at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh) hlm, 22
13
Mulai awal ia di ajar membaca dan menulis dirumah. Kemudian ia menghafal al
Qur‟an dalam kurun waktu dua tahun. Pada tahun 1279 H/ 1863 M, ia dikirim
oleh orang tuanya ke Thantha untuk belajar tajwid di masjid al-Ahmadi. Di masjid
itulah ia terus melanjutkan belajar tidak hanya tajwid tetapi ilmu-ilmu agama
lainnya. Ketika belajar ilmu di masjid itu Muhammad Abduh menemukan
kejenuhan. Hal ini karena merasa sulit memahami pelajaran yang diajarkan.
Menurutnya, kesulitan ini disebabkan dari metode pengajaran yang kurang tepat
dan menarik. Para murid disuruh menghapalkan istilah nahwu tanpa ada
penjelasan yang gamblang. Seolah guru tidak memperhatikan apakah para murid
faham atau tidak. Akhirnya ia pulang dan memutuskan tidak melanjutkan belajar
di tempat tersebut.
Ketika berusia 17 tahun (1866 M) Muhammad Abduh memutuskan
menikah dengan modal menjadi petani seperti ayahnya. Melihat usianya yang
masih muda dan juga potensi kecerdasannya, ayah Muhammad Abduh tidak rela
bila pendidikan anaknya terputus begitu saja. Akhirnya, selang 40 hari setelah
menikah ia dipojokkan agar kembali belajar ke masjid al-Ahmadi. Akhirnya ia
pergi kesana. Namun, sebelum sampai disana ia singgah dulu dirumah kerabat
ayahnya yaitu Syaikh Darwis Khadr, seorang alim yang banyak mengembara
mencari ilmu diluar Mesir. Selama singgah dirumah Darwis Khadr ia banyak
mendapat bimbingan darinya, dan semangat Muhammad Abduh tumbuh kembali.
Ia membaca beberapa secara mandiri, kemudian apabila ada istilah yang tidak
difahami langsung ia tanyakan kepada Syaikh Darwis Khadr. Kemudian setelah
merasa cukup mendapat pencerahan, Muhammad Abduh melanjutkan menuju ke
masjid al-Ahmadi. Disana ia mampu menyesuaikan diri dengan pengajaran yang
diterapkan hingga ia menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan.26
Selanjutnya Muhammad Abduh melanjutkan belajar di Al-azhar , Kairo.
Di sana ia menemukan model pengajaran yang tidak jauh berbeda dengan masjid
al-Ahmadi. Di Al-azhar pelajaran-pelajaran filsafat, geografi, dan ilmu alam,
dianggap haram. Muhammad Abduh tidak mengindahkankan pengharaman itu.
Baginya, sesuatu bisa dianggap benar jika memiliki argumentasi yang kuat. Ia
26
Rif‟at Syauqi Nawawi, Ibid, hlm 23
14
tetap belajar ilmu-ilmu alam, sosial, filsafat dan juga agama. Ia belajar filsafat,
matematika dan logika kepada Syaikh Hasan al-Tawil.
Ketika belajar bersama Syaikh Hasan al-Tawil, Muhammad Abduh masih
saja belum merasakan kepuasan yang berarti. Baru setelah kedatangan Jamaludin
Al-afghani, ia menemukan sosok guru yang mampu menjawab segala
keresahannya selama ini. Jamaludin Al-afghani datang ke Mesir pada akhir tahun
1870 M. Muhammad Abduh bersama teman-temanya dalam beberapa kesempatan
sempat berdiskusi dengan Jamaludin Al-afghani. Melalui interaksi-interaksi itulah
Muhammad Abduh tertarik dengan pemikiran pembaruan Jamaludin Al-afghani.27
Dibawah bimbingan Jamaludin Al-afghani Muhammad Abduh mengenal
buku-buku penting seperti, al Zawara karya Dawani mengenai tasawuf, Syarh al-
Qutb‟ala al-Syiasiyah,al-Mathali,Sulam al-Ulum fi al-Mantiq, al-Hidayah, al-
Isyarat, Himah al „Ain wa Hikmah al-Isyraq,fi al-Falsafah, „Aqaid al-Jalal al-
Dawani fi al-Tauhid, al-Jugmini, dan buku-buku lainnya yang membahas tentang
pengetahuan modern.
Karena pengaruh Jamaludin Al-afghani ini Muhammad Abduh juga mulai
gemar menulis. Ia semakin giat berdiskusi bersama teman-temannya membahas
buku apapun baik yang klasik maupun yang modern, baik yang halal maupun
yang haram dipelajari menurut ulama Al-azhar. Meskipun Muhammad Abduh
sering membuat geram ulama Al-azhar, namun akhirnya ia lulus dari Universitas
itu dengan berhasil meraih ijazah „Alim. Dengan demikian, pengetahuan dan
pendidikan Muhammad Abduh di pengaruhi dua tradisi yaitu tradisi Islam
tradisional dan tradisi pengetahuan modern. Dua tradisi itulah yang nantinya
menjadi bekal utama dalam perjuangan pembaruan Islam.
Setelah lulus dari Al-azhar, dengan keilmuannya yang matang Muhammad
Abduh langsung terjun aktif dalam bidang pendidikan. Berbekal ijazahnya itu, ia
bisa mengajar di Al-azhar. Selain itu ia juga mengajar di Universitas Dar al-Ulum
dan juga di rumahnya. Ketika mengajar ia berusaha melakukan pembaruan dan
memasukkan mata kuliah yang sebelumnya tidak pernah diajarkan. Di Al-azhar,
27
Keterangan lain menjelaskan bahwa Jamludin Al-afghani datang ke Mesir dua kali
yaitu pada tahun 1869 dan 1871.
15
ia berusaha mengajarkan ilmu etika dan ilmu politik. Sedangkan di Dar al-Ulum
ia mengajar sejarah, dengan berpedoman pada kitab “Muqaddimah Ibnu
Khaldun”. Di rumahnya ia mengajar ilmu-ilmu lain seperti logika, teologi, dan
filsafat.28
Muhammad Abduh dalam mengajar berusaha mengenalkan metode
pengajaran yang mendidik para mahasiswa berfikiran kritis. Ceramah. Diskusi,
dan penugasan menulis makalah merupakan metode yang ditekankan.
Sebenarnya, Muhammad Abduh juga menyarankan diadakan pembaruan secara
menyeluruh pada manajemen pendidikan Universitas Al-azhar. Ia bercita-cita,
agar Universitas Islam yang terbilang tertua ini mampu bersanding dengan
universitas-universitas modern lainnya di dunia. Namun lagi-lagi usahanya tidak
berjalan mudah. Pendiriannya selalu mendapat tantangan melalui kritikan dan
hujatan dari berbagai pihak.
Bagi Muhammad Abduh pendidikan merupakan bidang yang penting
dimajukan, karena sangat menentukan progresifitas umat Islam masa depan. Maka
dari itu, fokus pembaruan Muhammad Abduh utamanya adalah dalam bidang ini.
Meskipun banyak hujatan, ia tetap gigih memperjuangkan misinya. Hingga pada
tahun 1881 M, karena kritikan-kritikan yang dilakukannya, ia mampu mendorong
berdirinya Dewan Tinggi Departemen Pendidikan (The Superior Council of the
Departement Of Edication). Tujuan pendirian ini adalah untuk mengatur
administrasi pendidikan umum, dan Muhammad Abduh termasuk salah satu
anggotanya.29
Setelah diangkat menjadi hakim pada tahun 1891 M, ia menguatkan
kesungguhannya dalam membangun Universitas Al-azhar. Pada tanggal 15
Januari 1895 M, atas sarannya dibentuklah Dewan al-Azhar yang anggotanya
terdiri dari ulama-ulama empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali.
Dewan ini diketuai oleh Syekh Hasan al-Nawawi dan Muhammad Abduh menjadi
28
Rif‟at Syauqi Nawawi, Ibid, hlm 26 29
Fakhrudin Faiz,Hermeneutika Qur‟ani:antara teks, konteks, dan kontekstualisasi
(Yogyakarta: Qalam 2002) hlm 59.
16
anggota dewan wakil pemerintahan. Meskipun hanya sebagai anggota
Muhammad Abduh yang menjadi jiwa penggerak dewan itu.30
Usaha lain yang dilakukan Muhammad Abduh dalam rangka memajukan
al-Azhar adalah memperbaiki administrasi terkait honorium untuk para ulama.
Selain itu ia juga membangun gedung tersendiri untuk kantor administrasi. Ia juga
mengangkat beberapa pihak untuk menjadi pembantu rektor. Untuk kemudahan
mahasiswa mengakses buku-buku, ia berusaha menata perpustakaan yang
sebelumnya amburadul yang kemudian menjadi lebih baik.31
Adapun dibidang
pengajaran Muhammad Abduh memperjuangkan cara berfikir umat Islam. Pada
waktu itu umat Islam Mesir masih banyak yang berpola fikir mitis, stagnan dan
fatalistik. Inilah yang menurutnya sebagai faktor utama penyebab kemunduran
umat Islam seluruh dunia. Menurut Rif‟at Syauqi Nawawi, tujuan hidup
Muhammad Abduh adalah :
a. Membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid dan memahami
ajaran agama sesuai dengan jalan yang ditempuh ulama klasik
(salaf), yaitu zaman sebelum timbulnya perbedaan-perbadaan
faham (ikhtilaf), yaitu dengan kembali kepada sumber-sumber
utamanya.
b. Memperbaiki bahasa arab yang dipakai, baik yang digunakan oleh
instansi pemerintah maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada
umumnya, dalam surat menyurat mereka.32
Sosok Muhammad Abduh dari awal memang mecerminkan seorang yang
progresif. Mulai dari ketidaksukaanya dengan model pengajaran ditempat-tempat
ia belajar, kemudian ia ingin belajar semua mata kuliah yang menurut kebanyakn
itu diharamkan. Usaha-usahanya dalam rangka memajukan pendidikan di Mesir.
Perjuangannya dalam membangun pemikiran kritis kepada umat Islam untuk
memperjuangkan kemerdekaan dari kaum imperialis Barat. Semua itu merupakan
usaha untuk menciptakan kondisi umat Islam yang baru dan modern. Karena
kegigihannya dalam pembaruan inilah, Muhammad Abduh tidak sempat
30
Rif‟at Syauqi Nawawi, Ibid, hlm 34 31
Ibid, hlm 34 32
Ibid, hlm 38
17
malaksanakan ibadah haji ketanah Hijaz. Hal ini bukan karena ia tidak memiliki
keinginan kesana, tetapi karena kesibukan dan faktor politik ia tidak bisa
mengunjungi Baitullah dan makam Rasulullah.33
Akhirnya Muhammad Abduh
meninggal dunia di Iskandariyah pada tanggal 11 Juli 1905 M. Akibat menderita
penyakit kanker hati.34
B. Karya-karya Muhammad Abduh
Setelah meninggalnya Muhammad Abduh, ia meniggal banyak karya
diantaranya :
1. Al-Waridat,
2. Risalah fi Wahdah al-Wujud.
3. Tarikh Ismail Basya
4. Falsafah al-Ijtima‟ wa al Tarikh
5. Hasyiah „Aqaid al-Jalal al-Dawani fi „Ilm al Kalam
6. Sarh Nahj al-Balaghah
7. Syarh Maqamat Badi‟ Zaman al-Hamadzani
8. Syarh al-Bahair al-Nashiriyyah
9. Nizam al-Tarbiyah wa al-Ta‟lim bi Mishr
10. Risalah al-Tauhid
11. Taqrir Mahakim al-Syariyyah
12. Tafsir Juz „Amma
13. Tafsir al-Manar
2. Muhammad Rasyid Ridha
A. Potret kehidupan dan Perjalanan Intelektual
Muhammad Rasyid Ridha ibn „Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-
Sayyid Baha‟uddin ibn Ayyid Manlan „Ali Khalifah al-Baghdadi, lahir di Qalmon
salah satu kota di Tharablis, Syam, tahun 1282 H/1865 M. Ia termasuk keturunan
Sayyidina Husein bin „ali bin Abi Thalib r.a yang memiliki darah keturunan
33
Ibid,hlm 40 34
Ibid, hlm 40
18
Rasulullah saw.35
Ayahnya, Syaikh Ahmad merupakan panutan umat dari
berbagai golongan dan strata sosial. Oleh karena itu, majelisnya dipenuhi oleh
berbagai ulama, budayawan, dan sastrawan. Pendidikan pertama Rasyid Ridha
tidak lain dari ayahnya tersebut. Ketika masih kecil, ia belajar di “Kuttab” (taman
kanak-kanak)yaitu tempat belajar baca, tulis, dan dasar berhitung untuk anak-
anak.
Setelah itu, Rasyid Ridha belajar membaca al Quran, khat, dan matematika
kepada sekretaris kampung. Kemudian dia pindah ke Madrasah al- Wathaniyah
al-Islamiyah di Tharabis. Disana ia bertemu dan berguru kepada Syaikh Husein al
Jisr (w 1990), seorang pemuka ulama Syam. Syeikh Husein inilah yang memiliki
peranan besar terhadap perkembangan intelektual Rasyid Ridha. Ia banyak belajar
ilmu agama, bahasa dan filsafat kepadanya.
Guru-guru Rasyid Ridha selain Syaikh Husein al-Jisr, diantaranya adalah
Syaikh Muhammad Nasabah, Syaikh Muhammad al-Qawiji, Syaikh „Abdul Ghani
al-Rafi‟, al-Ustadz Muhammad al-Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil al-
Rafi‟. Rasyid Ridha begitu kuat dalam hal hafalan dan analisis. Kemampuannya
dalam memahami segala persolan sangat mengagumkan. Begitu juga disetiap
diskusi, pandangannya selalu menonjol. Inilah yang kemudian yang membawa ia
kepada pemikiran-pemikiran Islam yang cemerlang. Selanjutnya ia melanjutkan
studinya hingga memperoleh ijazah Alamiyah. Tujuan utamanya dalam mecari
ilmu selama ini semata-mata hanya taqarrub kepada Allah, mengabdi kepada
agama dan bagi kepentingan Islam.36
Pada saat itu corak pendidikan Islam yang dominan disekitar tempat belajar
Rasyid Ridha adalah Islam kesufian. Arus dakwah gerakan tasawuf yang fatalistik
masih gencar dilakukan, sehingga Rasyid Ridha sendiri sempat turut serta
mempelajari Thariqah al-Naqsabandi serta mengikut praktik-praktik sufistik.37
Sebelum mengikuti aliran Thariqah, Rasyid Ridha gemar belajar tentang
hadis , namun setelah belajar dari kitab ihya‟ Ulum al-ddin arah keterkaitannya
35
Fakhrudin Faiz, Ibid, hlm 61 36
Abdul Hamid dkk, Pemikiran Modern Dalam Islam, ( Bandung : Pustaka Setia, 2010 ),
hlm 236-237. 37
Fakhrudin Faiz, Ibid, hlm 61
19
berubah menjadi pelaku sufisme dengan menempuh jalan hidup dengan
meninggalkan keduniaan atau zuhud. Karena darah mudanya dan umurnya yang
dibawah 30 tahun, dan didukung pemikiran kritis yang dimiliki, dalam
mempraktikkan ajaran thariqah ia tidak serta merta hanyut begitu saja. Ada
semacam kegundahan dalam hati ketika melihat Islam yang meninggalkan
keduniaan dalam satu sisi dan realitas kehebatan Barat yang mampu megalahkan
Islam dengan kecintaannya kepada dunia disisi lain.
Kegundahan itu akhirnya terjawab setelah membaca majalah yang diterbitkan
oleh Muhammad Abduh dan Jamludin al-Afghani yaitu al-Urwah al Wusqa.
Majalah ini sangat menarik baginya, sehingga mampu merubah pandangan
dunianya. Sebelum menekuni kehidupan zuhud dan setelah itu ia berusaha
menyingsingkan baju, berjuang mencerahkan umat agar bangkit dari
keterpurukan. Semenjak itulaj ia tertarik belajar kepada Muhammad Abduh dan
Jamaludin al-Afghani.
Menurut Fakhrudin Faiz, sebelum terpengaruh dengan pemikiran Jamludin
al-Afghani dan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha sebelumnya sudah mengenal
ide pembaruan dari al-Syaikh al-Jisr. Jadi, sebelum membaca majalah al-Urwah
al-Wusqa, memang Rasyid Ridha sudah mengenal ide pembaruan, namun karena
pengaruh lingkungan yang fatalistik, pemikiran itu hanya sebatas gagasan kecil di
benaknya. Baru setelah membaca majalah itu ia merasa mantap untuk beraksi atas
ide pembaruan itu.
Sebelum mengenal pemikiran Jalaludi al-Afghani dan Muhammad Abduh,
Rasyid Ridho merupakan seorang aktivis dakwah keliling di Qalmun dan desa-
desa sekitarnya. Meskipun yang didakwahkan ketika itu masih tetang Islam yang
bercorak fatalistik, namun minimal sebagai da‟i ia tentu memiliki pemikiran yang
lebih aktif. Sehingga saja ia terbiasa untuk berfikir kritis disamping kekuatan jiwa
perjuangan yang kuat.38
Ketika di Mesir Rasyid Ridha memperjuangkan
pembaruan pada dua bidang yaitu pendidikan dan politik.
38
Abdul Hamid dkk, Ibid, hlm 238
20
Semenjak menjadi murid terdekat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
berperan sebagai penerjemah faham keagamaan yang di anut oleh Muhammad
Abduh. Peran ini sangat menyenangkkan baginya, karena ini membuatnya
semakin dekat dengan yang dianggapnya sendiri guru yang agung. Salah saru
akasi dari perannya sebagai penerjemah faham itu adalah ia menjadi pemimpin
redaksi majalah al Manar. Fungsi majalah ini persis seperti al-Urwah al-Wutsqa
yaitu sebagai corong pembaruan yang dimunculkan tidak banyak menyinggung
masalah politik, majalah ini lebih mengedepankan ide pendidikan kepada umat
Islam agar lepas dari belenggu taklid buta dan pengekoran terhadap Barat secara
mentah-mentah.
Rasyid Ridha juga member saran kepada gurunya bahwa sudah saatnya
gagasan-gagasan modern Islam disebarluaskan secara langsung kepada
masyarakat. Ia memotivasi agar gagasan itu di wujudkan dalam bentuk tafsir al
Quran supaya memiliki legitimasi yang lebih kuat, sehingga pengeruhnya di
masyarakat juga kuat. Akhirnya Muhammad Abduh mengiyakan saran muridnya
itu.
Ia menyampaikan tafsir kepada khalayak di masjid al-Azhar dan Rasyid
Ridha selalu mencatat dan terkadang meberikan uraian berdasarkan pemikirannya
sendiri. Catatan itu kemudian diterbitkan dalam majalah al Manar, setelah
dikoreksi terlebih dahulu oleh Muhammad Abduh. Kajian tafsir di masjid al-
Azhar berlangsung terus hingga Muhammad Abduh meninggal 1905 M. Ketika
itu, penafsiran yang disamoaikan sampai pada surah al-Nisa [04]:125.39
Majalah yang berisikan tafsir itu kemudian dikodifikasi oleh Rasyid Ridha
menjadi kitab tafsir. Ia menamai kitab tafsir itu dengan Tafsir al-Quran al-Hakim
tetapi sering juga disebut dengan tafsir al-Manar.40
Meskipun respon dari
khalayak begitu baik terhadap tafsir ini,41
namun semangat Rasyid Ridha tidak
surut begitu saja. Ia berusaha melanjutkan misi yang dibangun bersama
39
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh yang Berpengaruh Pada Abad Ke 20 ( Jakarta: Gema
Insani , 2006),hlm 314 40
Abdul Hamid dkk, Ibid, hlm 243 41
J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir al-Quran Modern, terj. Hairus Salim, Syarif
Hidayatullah, ( Yogyakarta: Tiara Waana ,1997), hlm 30
21
Muhammad Abduh dengan menyuarakan pembaruan dan tafsir. Kemuadian
Rasyid Ridha melanjutkan penafsiran Muhammad Abduh sampai pada surat
Yusuf [12]:107. Dengan jujur dia juga mengungkapkan bagian mana yang
ditafsirkan oleh Muhammad Abduh dan bagian mana yang ditafsirkan oleh Rasyid
Ridha sendiri.42
Sepeninggalan Muhammad Abduh dinamika politik di Timur Tengah terasa
semakin memanas. Terjadi konflik antara Turki dengan Arab yang berujung pada
pemberontakan Syarif Husein kepada raja Turki (1916 M), menjadikan Rasyid
Ridha tertuntut untuk berkecimpung dalam masalah politik itu. Ia pun turut pergi
ke Istanbul untuk mempersatukan dua kelompok yang berseteru tersebut.43
Seiring dengan itu, mulai tahun 1914 M, perpolitikan dunia sedang
mengalami pertarungan hebat dengan ditandai pecahnya perang dunia 1. Pecahnya
perang ini tentu juga menuntut umat Islam menentukan posisi politiknya. Maka
dari itu focus tulisan Rasyid Ridha pada saat itu mulai berubah kea rah politik. Ia
membahas khilafah Islamiyah, hubungan Turki-Arab, intervensi colonial Barat di
Arab dan Zionisme yang mengancam wilayah Arab dan Palestina khususnya.
Rasyid Ridha juga menjabat sebagai ketua parlemen Suriah. Namun akhirnya
ia harus meninggalkan jabatan itu ketika Perancis berhasil menduduki negeri itu.
Terkait politik Islam, ialah penggagas utama adanya konferensi ulama sedunia
tentang revivalisasi kekhalifahan Islam pasca runtuhnya kekhalifahan Utsmani di
Turki tahun 1924 M.44
Pada tahun 1912 M, Muhammad Rasyid Ridha
mendirikan sekolah dengan nama al-Madrasah Dar ad-Da‟wah wa al-Irsyad. Misi
sekolah ini adalah mengirimkan lulusannya ke Indonesia dan China untuk
menghalau gencarnya serangan aktivis misionaris Kristen dinegara-negara
tersebut.,
Namun ketiak perang dunia I meletus pada tahun 1914 M, dan keadaan
semakin genting sekolah ini terpaksa ditutup. Begitulah perjuangan Rasyid Ridha
dalam bidang pendidikan dan politik. Ia merupakan sosok pembaharu yang
pantang menyerah. Meskipun dimasa tua kesehatannya sering terganggu ia tetap
42
J.J.G Jansen, Ibid, hlm 73 43
Fakhrudin Faiz, Ibid, hlm 63 44
Herry Mohammad, Ibid, hlm 315
22
aktif berjuang, hingga ia wafat pada bulan Agustus 1935 M. Sewaktu ia baru saja
kembali mengantarkan pangeran Su‟ud kekapal Suez.
B. Karya-karya Rasyid Ridho
Setelah meninggalnya Rasyid Ridha, ia meniggal banyak karya ilmiyah
diantaranya adalah :
1. Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syeikh Abduh
2. Nida‟ li al-Jins al-Latif
3. Zikra Maulid al-Nabawi
4. Risalah Hujjah al-Islam al-Ghazali
5. Al-Sunnah wa al-Syi‟ah
6. Al-Wahdah al-Islamiyah
7. Haqiqah Riba
8. Al-Wahyu al-Muhammadiy
9. Yusr al-islam Wa Ushul al-Yasyri‟al-„Am al-Khilafat
10. Al-Wahabiyyah Wa al-Hijaz
11. Munawwarat al-Mushlih Wa al-Muqayyid
12. Tafsir al-Manar
C. Tafsir al-Manar
1. Latar Belakang Penulisan
Tafsir al Manar yang juga bernama Tafsir al Quran al-Hakim hadir
sebagai tafsir bi al-Ra‟yi pada abad modern. Tafsir ini terdiri dari 12 jilid yang
dimulai dari surah al Fatihah sampai surah Yusuf. Tafsir al-Manar ini, bermula
dari pengajian tafsir di masjid al-Azhar sejak awal Muharram 1317 H. Meskipun
ayat-ayat penafsiran tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh,
namun itu dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena muridnya Rasyid Ridha
yang menulisnya.45
Dari sini diketahui bahwa sebagian besar karya tafsir Muhammad Abduh
pada mulanya bukan dalam bentuk tulisan. Hal ini menurutnya dikarenakan uraian
45
Dudung Abdullah, Pemikiran Syekh Muhammad Abduh Dalam Tafsir al-Manar, Jurnal
al-Daulah Vol.1 /No.1/Desember 2012, hlm 37.
23
yang disampaikan secara lisan akan difahami oleh sekitar 80 % oleh
pendengarnya, sedangkan karya tulis hanya dapat difahami sekitar 20% oleh
pembaca.46
Dari pemaparan biografi diatas, terlihat bahwa kitab ini disusun disaat
umat Islam terbelenggu oleh penjajahan dan kemunduran. Muhammad Abduh
sebagaimana dikutipoleh M. Quraish Shihab, berpandangan bahwa kemunduran
umat Islam tersebut dikarenakan umat telah berpaling dari petunjuk al Quran.
Untuk kembali memperoleh kejayaan, kepemimpinan dan kehormatan hidup
adalah jalan yang harus ditempuh untuk kembali kkepada al Quran dan berpegang
teguh kepadanya. Adapun untuk mengambil petunjuk al Quran tersebut menurut
Muhammad Abduh diperlukan penafsiran.47
Tujuan pokok penafsiran al Quran dalam pandangan Muhammad Abduh
ialah menekankan fungsi-fungsi al Quran untuk manusia agar mereka benar-benar
dapat menjalani ini dibawah bimbingan dan petunjuk al Quran. Penekanan ini
dijelaskan oleh Rasyid Ridha dalam muqaddimah tafsir al-Manar. Dia
mengatakan bahwa Allah swt telah menurunkan bagi kita kitab sucinya sebagai
hidayah dan petunjuk.48
Hal ini senada dengan firman Allah dala Qs, al-Baqarah
ayat 185 :
49
46
Ibid,hlm 37 47
Muhammad Quraish Sihab, dalam pengantar buku, Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh, hlm xiv
i48
Ibid,hlm 5 49
Depag RI, Al Quran Dan Terjemahannya ( Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al Quran 1971)
24
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu,
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.”
Agaknya atas dasar itulah Muhammad Abduh langsung menerima ajakan
Rasyid Ridha untuk menuliskan pemahamannya terhadap al Quran pada majalah
al-Manar. Disamping itu, bertemunya semangat pembaruan kedua tokoh tersebut
tentu juga memiliki pengaruh tersendiri.
Menurut Quraish Syihab dalam menafsirkan al Quran Muhammad Abduh
menyajikan penafsiran yang mengutamakan rasionalitas, sesuai dengan sifat-sifat
kepribadiannya yang antara lain cerdas, pandai, dan aktif berbicara. Dalam banyak
hal Muhammad Abduh telah menafsirkan al Quran dengan pendekatan takwil.
Penakwilan Muhammad Abduh merupakan penakwilan yang didasarkan pada
prinsip kebebasan akal.
2. Metode dan Corak
Dalam penulisan kitab tafsir, ada empat bentuk metode yaitu : ijlami,
tahlili, muqarran dan maudhu‟i. Secara etimologis ijmali dapat diartikan
penafsiran secara global, tahlili diartikan tafsir secara analitis, muqarran diartikan
tafsir perbandingan, dan maudhu‟i adalah tafsir tematik.50
Dalam tafsir al-Manar ayat-ayat al Quran diuraikan dengan menafsirkan
ayat demi ayat, surat demi surat dengan penjelasan kosakata dan lafal yang diikuti
dengan penjabaran arti ayat dibelakangnya. Runtutan penafsiran yang digunakan
tafsir ini adalah sebagaimana tertib pada mushaf Usmani yaitu dari Qs. Al-Fatihah
runtut sampai Qs. Yusuf ayat 53. Dari cirri-ciri ini tafsir ini bisa menggunakan
metode tahlili (analitis).
50
Nur Kholis, Pengantar Studi alquran dan Hadis (Yogyakarta: Penerbit TERAS,2008),
143-160
25
Dalam defenisi yang sederhana tahlili adalah salah satu metode tafsir yang
bermaksud menafsirkan al Quran dengan penyampaian secara lengkap dari
berbagai aspeknya, seperti pembahsan lafaznya, pembahsan makna, munasabah
dan lain-lain. Dalam atfsir tahlil ini penafsir menguraikan makna yang dikandung
dalam al Quran ayat demi ayat, surat demi surat sesuai urutan yang telah
dibukukan dalam mushaf.51
Karena metode yang digunakan adalah metode tahlili (analisis), maka
dalam tafsir tahlili selalu ada corak tertentu. Adapun corak dari tafsir ini adalah
al-adab al-ijtima‟i, yaitu tafsir yang menggunakan kebahsaan dan analisisnya
berkaitan dengan problematika sosial kemasyarakatan.52
3. Sistematika Penulisan
Sebagaimana kitab tafsir pada umumnya yang memiliki sistematika penulisan,
tafsir al Manar juga mempunyai sistematika penulisan. Adapun sistematika
penulisan dalam tafsir ini adalah sebagai berikut :
1. Mengemukakan ayat-ayat di awal pembahasan
2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab an-Nuzul)
3. Mengesampingkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan.
4. Pada setiap pembahasan al-Maraghi memulai dengan mengemukakan satu,
dua atau lebih ayat-ayat al Quran, yang kemudian disusun sedemikian rupa
sehingga memberikan pengertian yang menyatu.
5. Ketika menafsirkan al Quran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
menafsirkan dengan luas, dan menyertakan hadis Nabi.
6. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya.
7. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat (kosakata) susunan redaksi
serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.
51
Ibid, hlm 143-144 52
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Quran dan Tafsir ( Yogyakarta: Idea Pres
2015), hlm 137
26
4. Ahmad Mustafa al-Maraghi
A. Potret Kehidupan dan Perjalanan Intelektual
Nama lengkapnya adalah Ahmad Mustafa bin Muhammad bin Abdul
Mun‟im al-Maraghi. Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata
Beik, sehingga menjadi Ahmad Mustafa al-Maraghi Beik. Ia berasal dari keluarga
yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan
peradilan secara turun temurun. Sehingga keluarga mereka dikenal sebagai
keluarga hakim.
Al-Maraghi lahir dikota Maraghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat
sungai Nil sekitar 70 km disebelah selatan kota Kairo. Pada tahun 1300 H/ 1883
M, nama kota kelahirannya inilah yang kemudian melekat dan menjadi nisbah
(nama belakang) bagi dirinya, bukan keluarganya. Ini berarti nama al-Maraghi
bukan monopoli bagi dirinya dan keluarganya. Ia mempunyai 7 saudara. Lima
diantaranya laki-laki yaitu Muhammad Mustafa al-Maraghi ( pernah menjadi
Grand Syaikh di al-Azhar), Abdul Aziz al-Maraghi, Abdullah Mustafa al-
Maraghi, dan Abdul Wafa‟ Mustafa al-Maraghi.
Hal ini perlu diperjelas, sebab seringkali terjadi salah kaprah siapa
sebenarnya penulis tafsir al-Maraghi diantara kelima putra Mustafa tersebut.
Kesalah kaprahan ini terjadi karena Muhammad Mustafa al-Maraghi
(kakaknya)juga terkenal sebagai seoran mufassir. sebagai seorang mufassir
Muhammad Mustafa jua menghasilkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak
meninggalkan karya tafsir al quran secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis
tafsir beberapa bagian al Quran seperti surat al Hujurat dan lain-lain. Dengan
demikian, yang dimaksud disini sebagai penulis tafsir al-Maraghi adalah Ahmad
Mustafa al-Maraghi, adik kandung dari Muhammad Mustafa al maraghi.
Al-Maraghi dibesarkan bersama delapan orang saudaranyadi tengah
keluarga terdidik. Di keluarga inilah al-Maraghi mengenal dasar-dasar agaam
Islam sebelum menempuh pendidikan dasar disebuah madrasah didesanya. Di
27
madrasah, ia sangat keras mempelajari al Quran, baik memperbaiki bacaan
maupun menghafalnya.53
Sebelum genap 13 tahun ia telah menghafal al Quran seluruhnya.
Disamping itu ia juga mempelajari ilmu-ilmu tajwid dan dasar ilmu syari‟ah di
Madrasah sampai ia menamatkan pendidkan tingkat menengah.
Pada tahun 1314 H/1897 M, al-Maraghi kuliah di Universitas al-Azhar
juga Universitas Darul Ulum ( sekarang menjadi bagian dari Cairo University)
yang berada di kairo. Di Universitas tersebut ia mempelajari berbagai cabang ilmu
pengetahuan agama, seperti bahasa arab, balaghah, tafsir, ilmu, hadis, fiqh, ushul
fiqh, akhlak, ilmu falak, dan lain-lain. Karena kecerdasan yang dimilikinya ia
mampu menyesuaikan pendidikannya di dua Universitas tersebut secara
bersamaaan, yaitu pada tahun 1909 M.
Di dua Universitas tersebut ia menyerap ilmu dari beberapa ulam terkenal,
diantaranya Muhammad Abduh, Muhammad Bukhait al-Muthi‟i, Ahmad Rifa‟i
al-Fayumi, dan lain-lain. Mereka memiliki andil yang sangat besar dalam
membentuk Intelektulitas al-Maraghi sehingga ia menguasai hamper seluruh
cabang ilmu agama. Setelah menguasai dan mendalami seluruh cabang-cabang
ilmu keislaman, ia mulai dipercaya oleh pemerintah untuk memegang jabatan
yang penting dalam pemerintahan. 54
Setelah lulus dari dua Univrsitas tersebut al-Maraghi megabdikan diri
sebagai guru di beberapa madrasah. Tak lama kemudian ia diangkat sebagai
Direktur Madrasah Mu‟allimin di Fayum, sebuah kota yang terletak 300 km arah
barat daya kota Kairo. Selain sibuk mengajar di Sudan, al-Maraghi juga gaiat
mengarang buku-buku ilmiah, salah satu buku yang selesai karangannya di Sudan
adalah “Ulum al-Balaghah”.
Pada tahun 1908 sampai dengan tahun 1919, al-Marghi diangkat menjadi
seorang hakim di Sudan. Sewaktu ia menjadi hakim negeri tersebut, ia sempatkan
dirinya untuk mempelajari dan mendalami bahasa-bahasa asing antara lain yang
53
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir al Quran Dari Klasik sampai Kontemporer, hlm
65 54
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh yang Berpengaruh Pada Abad Ke 20 ( Jakarta: Gema
Insani , 2006)
28
ditekuninya adalah bahasa Inggris. Dari bahasa Inggris ia banyak membaca
literature-literatur bahasa Inggris. Tahun 1919-1920 ia didaulat menjadi dosen
tamu di Fakultas Filial Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan. Kemudian al-
Maraghi diangkat menjadi dosen bahasa arab di Universitas Darul Ulum serta
dosen ilmu Balaghah dan kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas
al-Azhar. Dalam rentan waktu yang sama ia juga masih mengajar dibeberapa
madrasah , diantaranya Ma‟had Tarbiyah Mu‟allimah dan dipercaya memimpin
madrasah Utsman Basya di Kairo.
Selain keturunan ulama yang menjadi ulama besar, al-Maraghi juga
berhasil mendidik putera-puteranya menjadi ulama dan sarjana yang senantiasa
mengabdikan dirinya untuk masyarakat, dan bahkan mendapat kedudukan penting
sebagai hakim pada pemerintahan Mesir. Ke empat orang putera al-Maraghi yang
menjadi hakim yaitu :
a. M. Aziz Ahmad al-Maraghi
b. A. Hamid al-Maraghi
c. Asim Ahmad al-Maraghi
d. Ahmad Midhat al-Maraghi
B. Karya-karya al-Maraghi
Al-Maraghi merupakan salah seorang ulama yang mengabdikan hamper
seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu disela-sela kesibukannya mengajar, ia
tetap menyisihkan waktu untuk menulis. Ia juga sangat produktif dalam
menyampaikan pemikirannya lewat tulisan-tulisannya yang terbilang sangat
banyak. Karya al-Maraghi diantaranya adalah :
1. „Ulum al Balaghah
2. Hidayah at-Talib
3. Tahzib at-Taudih
4. Tarikh „ulum Al-Balaghah wa Ta‟rif bi Rijaliha
5. Buhus wa Ara‟
6. Murshid at-Tullab
7. Al-Mujaz fi Al-Adal Al-„Arabi
8. Al-Mujad fi „Ulum al Quran
29
9. Ad-Diyatwa al-Akhlak
10. Al-Hisbah fi al-Islam
11. Al-Rifq bi Al- Hayawan fi Al-Islam
12. Sharh Salasih Hadisan
13. Tafsir al-Maraghi
14. Al-Khutabwa Al-Khutabau fi ad-Daulatain al-Umawiyyah al-
Abasiyyah al-Muthala‟ah al-„Arabiyyah li Al-Madaris As-Sudaniyyah
15. Risalah Isbat Ru‟yah al-Hilal fi Ramadhan
16. Risalah fi Zaujat an-Nabi saw
C. Tafsir al-Maraghi
1. Latar belakang Penulisan
Dalam muqaddimah kitab tafsir al-Maraghi yang ia susun, ada bebrapa hal
yang melatar belakangi penyusunan kitabnya ini, diantaranya ialah :
a. Karena dimasa sekarang sering menyaksikan banyak kalangan yang
cenderung memperluas cakrawala pegetahuan dibidang agama,
terutama dibidang tafsir al Quran dan sunnah rasul. Pertanyaan-
pertanyaan yang dilontarkan kepadanya berkisal masalah tafsir apakah
yang paling mudah untuk difahami dan paling bermanfaat bagi
pembaca, serta dapat dipelajari dalam waktu singkat. Mendengar
pertanyaan-pertanyaan tersebut ia merasa kesulitan untuk
menjawabnya.
b. Kitab tafsir yang ada memang bermanfaat karena menyingkap berbagai
persoalan agama dan berbagai macam kesulitan yang tidak mudah
difahami, namun kebanyakan telah dibumbui dengan istilah-istilah ilmu
lain, seperti ilmu balaghah, nahwu, sharaf, fiqih, tauhid, dan ilmu
lainnya yang justru merupakan hambatan pemahaman al Quran secara
benar bagi pembaca.
c. Kitab-kitab tafsir juga sering diberi cerita-cerita yang bertentangan
dengan fakta dan kebenaran bahkan bertentangan dengan akal dan
fakta-fakta ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan.
Meskipun adajuga kitab-kitab tafsir yang dilengkapi dengan analisa-
30
analisa ilmiah yang selaras dengan perkembangan ilmu pada saat
penulisan kitab tafsir tersebut.
2. Metode dan Corak
Sebagaimana diketahui bahwa metode penafsiran ayat-ayat al Quran
dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili (analisis), metode ijmali
(global), metode muqarran (komparatif), dan metode maudhu‟i (tematik).55
Sedangkan metode yang digunakan dalam penulisan tafsir al-Maraghi adalah
metode tahlili (analisis).56
Sebab dalam tafsirnya ia menafsirkan ayat demi ayat
dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf utsmani.
Dari segi metodologi, al-Maraghi bisa disebut telah mengembangkan
metode baru. Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang
pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara uraian
global dan uraian rincian. Sehingga penjelasan ayat-ayat didalamnya dibagi
menjadi dua kategori, yaitu ma‟na ijmali dan ma‟na tahlili.57
Corak penafsiran yang digunakan dal tafsir al-Maraghi adalah corak al
adabi wa al ijtima‟i yaitu salah satu corak baru dalam tafsir modern. Tokoh utama
pencetus corak ini adalah Muhammad Abduh, lalu dikembangkan oleh muridnya
Rasyid Ridha yang selanjutnya diikuti oleh mufassir lainnya salah satunya Ahmad
Mustafa al-Maraghi.
3. Sistematika Penulisan
Didalam muqaddimah tafsir al-Maraghi disebutkan sistematika penulisan
yang digunakan oleh al-Maraghi dalam menulis tafsirnya58
:
a. Mengemukakan ayat-ayat di awal pembahasan
55
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al Quran dan Tafsir (Yogyakarta:Idea Press
2015), hlm 9 56
Nasarudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir ( Yogyakarta :Pustaka Pelajar,2011) ,
hlm 426 57
Ibid, hlm 24-27 58
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi juz 30, (Mesir : Mushtafa al-Babiy al-
Halabiy) Cet VII
31
b. Pada setiap pembahasan al-Maraghi memulai dengan mengemukakan
satu, dua atau lebih ayat-ayat al Quran, yang kemudian disusun
sedemikian rupa sehingga memberikan pengertian yang menyatu.
c. Penjelasan kata-kata atau tafsir mufaradat
d. Al-Maraghi juga menyertakan penjelsan-penjelasan kata-kata secara
bahasa, jika memang terdapat kata-kata yang dianggap sulit untuk
difahami oleh pembaca.
e. Pengertian ayat-ayat secara global (al-Ma‟na al-Jumali al-Ayat)
f. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab an-Nuzul)
g. Mengesampingkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan.
32
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN
PERNIKAHAN BEDA AGAMA
A. Pengertian Pernikahan Secara Umum
Secara etimologis, nikah mempunyai arti bersetubuh atau hubungan badan.
Sedangkan secara terminologis nikah adalah akad yang menimbulkan kebolehan
bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntunan naluri kemanusiaan dalam
kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. 59
Menurut pengertian sebagian fuqaha perkawinan didefenisikan sebagai
berikut :
“akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin
dengan lafaz nikah atau ziwaj atau yang semakna keduanya.”60
Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu saja yakni kebolehan hukum,
dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang
kemudian diperbolehkan. Ada beberapa pendapat ulama‟ tentang pengertian nikah
diantaranya :
Muhammad Abu Ishrah mendefenisikan Nikah tau Ziwaj ialah :
61
“akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami-isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong
59
Mardani, Hadis Ahkam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm 219. 60
Departeman Agama , Ilmu Fiqh II, Jakarta :Proyeksi Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama /IAIN dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1945, hlm 48. 61
Ibid. Hlm 49
33
menolong dan memberikan batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan
kewajiban bagi masing-masingnya.”
Pengertian dari Abu Ishrah diatas dapat difahami bahwa perkawinan
mengandung akibat hukum yakni mendapatkan hak dan kewajiban serta bertujuan
mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena perkawinan
termasuk pelaksanaan agama maka didalamnya terkandung adanya tujuan atau
maksud mengharapkan keridhaan Allah swt. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa makna haqiqi dari nikah adalah wath‟i dan aqad yang merupakan makna
majazinya. Sedangkan Syafi‟iyah menyatakan bahwa nikah berarti aqad secara
haqiqi dan wath‟i dalam arti majazinya. Pendapat golongan ini mengacu pada
firman Allah swt :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,62
Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”( an-Nisa‟:3)63
Dan hadis Nabi Muhammad saw :
62
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lainnya. 63
Depag RI , al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Pentafsir al-Quran , 1971, hlm 77.
34
64 “Diceritakan kepada kami dari Ahmad Bin Azhar diceritakan kepada kami
dari Adam diceritakan kepada kami dari Isa bin Maimun dari Qasim dari
Aisyah beliau berkata : telah bersabda Rasulallah saw “ Nikah adalah
sebagian dari sunnahku, barangsiapa yang tidak mengerjakan sunnahku
maka bukan dari golonganku. Dan menikahlah, karena sesungguhnya aku
membanggakan banyaknya kalian dihadapan umat-umat lain, dan
barangsiapa yang memiliki kemampuan maka menikahlah, dan
barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan maka diatasnya dianjurkan
berpuasa, maka sesungguhnya puasa itu.
Menurut Zakiah Dardjat dkk pernikahan adalah suatu akad atau perikatan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah swt.65
Sedangkan
Siti Musdah Mulia mendefenisikan pernikahan adalah sebuah akad atau kontrak
yang mengikat dua pihak yang setara, yaitu laki-laki dan perempuan yang masing-
masing telah memenuhi persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas dasar
kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak untuk membentuk keluarga.66
Kompilasi hukum islam (INPRES No.1 Tahun 1991) mendefenisikan perkawinan
dalam pasal 2, disebutkan bahwa : “ perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Ungkapan akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan) dalam KHI
merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam
rumusan undang-undang perkawinan (UUP) yang mengandung arti bahwa akad
perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan.67
Kemudian menurut kacamata Islam menikah itu adalah untuk penghalalan
hubungan lawan jenis. Hal ini terlihat dalam fiqih secara bahasa , defenisi nikah
adalah al-wath‟u, yang artinya hubungan badan. Maksudnya, pernikahan adalah
penghalalan seorang laki-laki untuk atau terhadap perempuan untuk bisa
melakukan hubungan badan. Tanpa pernikahan yang sah, hubungan badan
64
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwainî, Sunan Ibnu Majah, Beirut
Dar Al- Resalah Al-A‟lamiah 1430 H, Juz 3, Bab Nikah, hlm 54. 65
Departemen Agama, Ibid, hlm 38. 66
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis : Perempuan Pembaru Keagamaan , Bandung
: PT. Mizan Pustaka ,2005, hlm 55. 67
Amir Syarifuddin , Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : antara Fiqh Munakahat
dan UU Perkawinan , Jakarta, Prenada Media, 2007, hlm,40.
35
diharamkan dan hal itu merupakan zina, dan zina merupakan dosa besar. Hal ini
senada dengan firman Allah dalam al-Qur‟an surah al-Isra‟ ayat 32 :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”68
Kemudian ayat diatas dipertegas dengan Hadis Nabi yang berbunyi :
69 “Diceritakan dari „Imran Ibn Maisaroh dia berkata diceritakan dari Abdul
Warits dari Abi Tayyah dari Anas beliau berkata : telah bersabda
Rasulallah saw “ Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat yaitu
diangkatnya ilmu dan kebodohan nampak jelas, dan banyak yang minum
khamar dan banyak orang berzina secara terang-terangan”. ( Hr. Bukhari )
Menurut Azhari an-Nikah dalam bahasa arab pada asalnya bermakna al
wath‟u ( persetubuhan). Perkawinan disebut nikah karena menjadi sebab
persetubuhan.70
Secara luwesnya, menurut perspektif fiqih, pernikahan adalah
penyambungan tali ikatan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
agar perasaan cinta yang ada diarahkan kepada tempat yang tepat. Dalam istilah
Jawa, hal itu disebut dengan manunggaling rasa tresna, yakni bersatunya rasa
cinta. Yang dimaksudkan adalah rasa cinta dari seorang laki-laki kepada seorang
perempuan yang keduanya itu diperbolehkan menikah.71
Tegasnya, perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman sarat
kasih sayang dengan cara yang diridhai oleh Allah swt.
B. Pernikahan Beda Agama Perspektif al Quran
Pernikahan beda agama adalah suatu akad atau perikatan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
68
Departemen Agama, Ibid, hlm 285. 69
Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Al- Bukhari, Al-Jami‟u al-Shahih,
Kairo,Mathba‟ah Salafiah, 1400 H, juz 1, Bab 28, hlm 46. 70
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin „Abdir Razaaq, Panduan Lengkap Nikah, Dari A
Sampai Z, Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2006, hlm 11-12. 71
Ali Abdullah, Habis Nikah Terbitlah Berkah, Jakarta, PT Gramedia, 2015, hlm 29.
36
mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang dilakukan oleh sesorang yang
beragama Islam (Muslim) dan orang yang bukan Islam (Non Muslim).72
Adapun perkawinan beda agama yang dirumuskan oleh Rusli dan R. Tama
yang dikutip oleh Wasman, perkawinan antar agama adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing. Dengan
tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Didalam al Quran pernikahan beda agama diatur dalam beberapa ayat
dibeberapa surat.73
Diantaranya didalam surat al-Baqarah ayat 221 yang
menerangkan larangan menikahi orang musyrik sampai mereka beriman.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.74
Selain itu didalam surat al-Mumtahanah juga dijelaskan larangan
mengembalikan wanita Islam yang hijrah dari Makkah ke Madinah kepada
suami mereka di Makkah.
72
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaharu Keagamaan (Bandung
: PT Mizan Pustaka, 2005), hlm 57. 73
Ahmad Hasanudin Dardiri dkk, Pernikahan Beda Agama ditinjau Dari perspektif Islam
dan Ham, Jurnal KHAZANAH Vol 6, No 1 Juni 2013, hlm 103 74
Depag RI , al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Pentafsir al-Quran , 1971
37
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta
mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang
telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara
kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.75
Meskipun secara tegas dalam Islam terdapat pelarangan pernikahan beda
agama dalam teori, namun di ayat lain menyatakan adanya kesempatan untuk
terjadinya pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat Islam dan golongan
ahl kitab. Pembolehan ini ditegaskan Allah dalam surat al-Maidah ayat 05 :
75
Depag RI, Ibid, hlm 550
38
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan 76
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia
di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.”77
Dari uraian yang dijelaskan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pada dasarnya hukum Islam melarang adanya pernikahan beda agama.78
C. Pandangan Ulama Tentang Pernikahan Beda Agama
Semua mazhab sepakat bahwa laki-laki dan perempuan Muslim tidak
boleh menikah dengan orang-orang yang tidak mempunyai kitab atau yang dekat
dengan kitab suci ( syibh kitab ). Orang-orang yang masuk dalam kategori ini
adalah para penyembah berhala, penyembah matahari, penyembah bintang, dan
benda-benda lainnya yang mereka puja, dan setiap orang zindik yang tidak
percaya kepada Allah.79
Kemudian empat mazhab juga sepakat bahwa orang-orang yang memiliki
kitab atau yang dekat dengan kitab (syibh kitab) , seperti orang Majusi tidak boleh
dikawini.yang dimaksud dengan syibh kitab adalah bahwa orang-orang majusi
yang mempunyai kitab suci yang kemudian mereka ubah, sehingga mereka
menjadi orang-orang seperti yang ada sekarang ini, sedangkan kitab asli mereka
sudah lenyap.80
Sementara itu ulama Imamiyah mengatakan bahwa wanita Muslim tidak
boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
76
Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka 77
Depag RI, Ibid, hlm 106 78 Ahmad Hasanudin Dardiri dkk, Ibid, hlm 105-106 79
Muhammad Jawad Mughniyah, al Fiqh „Ala al-Madzahib al-Khomsah Fiqih Lima
Mazhab (Dar al Jawad, Beirut 2011), hlm 365 80
Ibid, hlm 365
39
kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita ahli kitab. Sebagian dari mereka
berpendapat bahwa hal itu tidak baik dalam bentuk kawin daim atau kawin
sementara ( Mut‟ah). Mereka mendasarkan pendapatnya pada Firman Allah :
“Dan janganlah kamu berpegang pada tali ( perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir. (Qs. Al-Mumtahanah 10)81
Dan juga berdasarkan kepada firman Allah :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman. 82
(Qs. Al-Baqarah 221)
Disini mereka menafsirkan syirk dengan kufur dan non Islam. Ahli Kitab,
menurut istilah yang diberikan al Quran, bukanlah orang-orang musyrik. Hal ini
berdasarkan firman Allah :
“Orang-orang kafir bukanlah orang-orang ahli kitab,dan orang-orang
musyrik tidak akan meninggalkan agama mereka.83
( Qs. Al- Bayyinah: 1)
Sementara yang lain mengatakan bahwa mengawini ahli kitab itu
hukumnya boleh, baik dalam bentuk kawin daim atau kawin mut‟ah. Mereka
berpegang pada firman Allah :
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatannya
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita ahli kitab.84
(Qs.
Al-Maidah 05)
81
Depag RI, Ibid,hlm 650. 82
Depag RI,Ibid, hlm 220 83
Depag RI, Ibid, hlm 870 84
Depag RI,Ibid,hlm 267
40
Ayat ini tampak menunjukkan kehalalan mengawini wanita-wanita ahli
kitab. Sedangkan kelompok lainnya mengatakan bahwa mengawini wanita-wanita
ahli kitab itu boleh dalam bentuk kawin sementara, tapi tidak dalam bentuk kawin
daim. Mereka mengkompromikan antara dalil yang melarang dan dalil yang
membolehkan. Dalil yang menunjukkan larangan menurut mereka adalah
larangan untuk kawin daim sedangkan dalil yang membolehkan adalah untuk
kawin sementara.
Pada prinsipnya pandangan para ulama mengenai hal ini terbagi dalam tiga
pendapat :
Pertama, melarang secara mutlak. Sebagian ulama melarang secara
mutlak pernikahan antara Muslim dan non Muslim. Baik yang dikategorikan
musyrik maupun ahli kitab. Larangan itu berlaku, baik bagi perempuan Muslim
maupun laki-laki Muslim.
Kedua, membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan
pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan non Muslim dengan syarat
perempuan non Muslim itu dari kelompok ahli kitab, tetapi tidak untuk
sebaliknya.
Ketiga, sebagian ulama lainnya membolehkan pernikahan antara Muslim
dan non Muslim., dan kebolehan itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Adapun argument dari masing-masing dari ketiga pendapat tersebut.85
Pendapat
pertama86
berangkat dari pemahaman surat al-Baqarah 221, penganut pendapat ini
tidak membedakan antara musyrik dan ahli kitab karena kedua kelompok tersebut
dalam realitasnya sama saja, seperti penyataan sahabat Nabi Saw, Abdullah ibn
Umar “ saya tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada
kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa tuhannyaadalah Isa atau salah
satu dari hamba tuhan.87
85
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaharu Keagamaan, (
Bandung :Mizan Pustaka 2005) hlm 59-60 86
Ulama yang dapat digolongkan ke dalam kelompok pertama ini, antara lain Atha‟,
Abdullah ibnu Umar, dan Muhammad ibn Al-Hanafiyah. 87
Siti Musdah Mulia, Ibid, hlm 60
41
Argumen kelompok kedua adalah surat al-Maidah ayat 05, menurut
pendukung pendapat ini bahwa ayat di atas secara tegas berbicara bolehnya
pernikahan laki-laki Muslim dan perempuan ahli kitab. Sementara untuk
sebaliknya ( pernikahan perempuan Muslim dengan laki-laki ahli kitab), tidak
dinyatakan secara eksplisit. Hal itu menyimpulkan bahwa pernikahan perempuan
Muslim dengan laki-laki ahli kitab dilarang. Andaikata dibolehkan maka akan
ditegaskan dalam ayat tersebut.88
Kemudian argumen pendapat ketiga89
yang membolehkan pernikahan
Muslim dengan non Muslim, tidak terbatas bagi laki-laki saja melainkan juga
perempuan. Kelompok ini juga berdalil kepada tiga ayat yang dipakai oleh kedua
kelompok sebelumnya yakni Qs. Al-Baqarah ayat 221, al-Maidah ayat 05, dan al-
Mumtahanah ayat 10. Yang berbeda cuma penafsirannya.
88
Siti Musdah Mulia, Ibid, hlm 61 89
Yang tegolong dalam pendapat ketiga ini antara lain adalah Muhammad Abduh dan
Rasyd Ridha, lihat Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan pembaharu agama, hlm 82
42
BAB IV
KOMPARASI PENAFSIRAN AYAT-AYAT PERNIKAHAN BEDA
AGAMA
A. Penafsiran dalam Tafsir al-Manar
1. Penafsiran surat al-Baqarah 221
Ayat al Quran yang berbicara tentang pernikahan antara pria Muslim
dengan wanita musyrik termaktub dalam Qs. Al-Baqarah ayat 221 :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.90
Ada beberapa riwayat yang mengabarkan tentang asbab an nuzul dari ayat di atas
diantaranya :
Diriwayatkan dari Ibnu Munzir, Ibnu Hatim, dan al-Wahidi dari Muqatil,
dia berkata : ayat ini turun kepada Ibnu Abi Murtsad al Ghawawi, ketika dia
meminta izin kepada Rasulallah saw untuk menikahi seorang wanita muda
musyrikah yang memiliki kekayaan dan kecantikan. Maka turunlah ayat 221 surat
al-Baqarah di atas.91
90
Depag RI , al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Pentafsir al-Quran , 1971 91
Jalaludin Ash Shayuti, Libabun Nuqulil Fii Asbabin Nuzul, Sebab-sebab Turunnya
Ayat al Quran ( Kairo : Darul Taqwa) hlm 91.
43
Al Wahidi meriwayatkan dari jalur Assudi dari Abu Malik dari Ibnu
Abbas, dia berkata : ayat tersebut turun kepada Abdullah bin Rawahah yang
ketika itu memiliki budak wanita berkulit hitam. Pada suatu hari dia marah
dengan budaknya dan menamparnya, kemudian dia mendatangi Rasulallah saw
dengan memberitahukan kepada beliau tentang hal itu, lalu dia berkata : sungguh
saya akan memerdekakannya dan menikahinya. Lalu dia melakukan apa yang dia
katakan tersebut. Melihat apa yang dilakukannya itu, sebagian orang Muslim
mencelanya. Mereka berkata : dia menikahi seorang budak wanita, maka turunlah
ayat ini.92
Rasyid Ridha dalam kitab tafsirnya menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut :
93
94
Didalam tafsir al-Manar disebutkan bahwa ayat tersebut dengan
menyatakan bahwa wanita musyrik yang haram dinikahi oleh pria Muslim dalam
surat al-Baqarah ayat 221 di atas adalah wanita musyrik arab yang tidak memiliki
kitab suci sebagai pedoman untuk dibaca atau dianut. Karena, seluruh riwayat
92
Ibid, hlm 91 93
Muhammad Rasyid , Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1947). Cet .
I,Juz II, hlm 281. 94
Ibid, hlm 283.
44
terkait ayat ini memang mengarah ke pemahaman itu. Adapun orang-orang yang
mempunyai kitab suci tidak termasuk kedalam kategori musyrik dan secara
spontan telah keluar dari hukum pengharaman.
Muhammad Abduh menerangkan bahwa jika ada sampai sekarang orang-
orang arab yang dimaksud dalam penafsiran di atas maka hukumnya tetap
berlaku. Tetapi apabila tidak ada, maka dengan sendirinya tidak ada suatu
kepercayaan dan agama pun yang menjadi kendala dalam melangsungkan
pernikahan.95
Penafsiran kata “Musyrikah” dalam surat al-Baqarah ayat 221 tersebut
dengan musyrik arab, menurut Rasyid Ridha adalah pendapat yang sudah
disepakati dan didukung oleh Syaikh al-Mufassirun, yaitu Ibnu Jarir al-Thabari
sebagaimana yang dituangkan dalam kitab tafsirnya96
.
Mengenai terminologi musyrik yang terdapat surat al-Baqarah tersebut,
memang at-Thabari dalam tafsirnya juga mengungkapkan beberapa pendapat
ulama :
a. Ayat ini merupakan dalil pengharaman kepada setiap Muslim untuk
menikahi wanita musyrik secara general, baik penyembah berhala.
Yahudi, Majusi, maupun Nasrani, terkecuali ahli kitab. Hal itu
disebabkan adanya ayat yang menasakh keharaman menikahi wanita
musyrik.
b. Terminologi ayat di atas dikhususkan bagi wanita musyrik arab saja,
meskipun secara zahir nash terlihat mencakup seluruh wanita
musyrik.
c. Ayat tersebut mencakup seluruh wanita musyrik tanpa terkecuali, baik
penyembah berhala, Majusi, Nasrani maupun ahli kitab, tanpa adanya
ayat yang menasakh.97
95
Ibid, hlm 281 96
Ibid, Juz VI, hlm 159 97
Al-Thabari, Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil al Quran ( Cairo : Dar Hijr, 2001), Cet. I, Jilid III,
hlm 711-714
45
Menurut Rasyid Ridha, dari semua pendapat yang dikemukakan, at-
Thabari memposisikan diri berada dan sejalan dengan pendapat Qatadah yaitu
pada kelompok kedua yang menyatakan bahwa :
98 “Terminologi musyrik dalam ayat tersebut dimaksudkan hanya
bagi musyrikat arab yang tidak memiliki kitab sebagai pedoman
untuk dibaca. Secara zahir, nash itu bersifat umum. Akan tetapi,
secara aplikatif bersifat khusus, ayat tersebut juga tidak pernah
dinasahk oleh ayat apapun. Oleh karena itu, wanita ahli kitab tidak
termasuk dalam kategori musyrik.”
Rasyid Ridha juga menegaskan bahwa ayat tersebut ( pernikahan pria
muslim dengan wanita musyrik) tidak pernah menganulir ayat apapun, seperti
surat al Maidah ayat 05 yang membolehkan nikah dengan wanita ahli kitab.
Rasyid Ridha menganggap sangat tidak logis kalau ayat yang datangnya duluan
menganulir ketentuan ayat yang datangnya belakangan.99
Pernyataan Rasyid Ridha di atas sangat jelas sekali mengharamkan pria
muslim menikah dengan wanita musyrik ( musyrik Mekah). Alasan dari
pengharaman tersebut dikatakan Rasyid Ridha adalah karena orang musyrik
merupakan faktor yang bisa menjerumuskan atau mengajak pria Muslim ke dalam
api neraka, baik dengan faktor perkataan atau perbuatan mereka. Maka, menjalin
hubungan dengan mereka dalam bentuk pernikahan merupakan faktor terbesar
yang bisa mewujudkan kehinaan masuk ke dalam neraka.100
Rasyid Ridha menegaskan dengan bersumpah bahwa menikahi wanita
hamba sahaya yang beriman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW jauh
lebih bagus dibandingkan menikahi wanita musyrik yang cantik jelita.101
Karena,
wanita musyrik tersebut tidak mempunyai pedoman yang bisa dijadikan sebagai
98
Muhammad Rasyid Ridha, Ibid, Juz VI, hlm 158. 99
Muhammad Rasyid Ridha, Juz II 100
Ibid, hlm 284 101
Ibid, hlm 282
46
prinsip dalam kehidupan agar terbiasa dengan kebaikan dan menjauhi keburukan
dan kemungkaran. Wanita musyrik tidak akan merasaa berdosa ketika melakukan
penghianatan kepada suaminya.102
2. Penafsiran Surah al-Maidah ayat 05
Ayat al Quran yang terkait pernikahan antara pria Muslim dengan wanita
ahli kitab terdapat dalam surah al-Maidah ayat 05 :
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia
di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.”103
104
102
Ibid, hlm 283 103
Depag RI, Ibid, hlm 106 104
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, ( Beirut : Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1947), Juz VI, hlm 148
47
105
Dalam menafsirkan ayat ini, Rasyid Ridha menyatakan bahwa ahli kitab
tidak hanya sebatas dua komunitas saja Yahudi dan Nasrani saja, melainkan
semua penganut agama dan kepercayaan yang memiliki dan mempedomani salah
satu kitab suci merupakan ahli kitab, seperti Majusi, Shabi‟un, Hindu, Budha,
Konghucu, Sinto, dan lain-lain. Hal ini menurutnya juga berdasarkan fajta sejarah
serta penjelasan dan pernyataan dari al Quran sendiri, bahwa setiap umat
mempunyai rasul yang diutus kepada mereka oleh Allah SWT. Mereka juga
memiliki kitab suci yang dibawa oleh nabi mereka, hanya saja terjadi
penyelewengan (tahrif) terhadap kitab suci tersebut sebagaimana terjadi pada
kitab suci Yahudi dan Nasrani. Apalagi hukum asal pernikahan menurut Rasyid
Ridha adalah mubah (boleh). Oleh karena itu, datang nash untuk mengatur dan
menjelaskan dalam hal-hal dan kasus apa saja pernikahan tersebut dilarang atau
diharamkan.
Berdasarkan konsep Rasyid Ridha terhadap makna ahli kitab ini, tentu saja
membolehkan pernikahan pria Muslim dengan wanita ahli kitab. Kebolehannya
tidak hanya dengan wanita Yahudi dan Nasrani saja, tetapi juga dengan wanita
Majusi, Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan penganut agama lainnya yang
memiliki kitab suci.
Menurut Rasyid Ridha, tidak ada perbedaan yang besar antara wanita ahli
kitab dengan orang mukmin. Karena, wanita ahli kitab juga beriman kepada Allah
105
Ibid, hlm 159-160.
48
SWT dan menyembahnya, beriman kepada para Nabi dan hari akhir serta
balasannya, meyakini kewajiban berperilaku baik dan keharaman berbuat jahat.
Hanya saja, perbedaan yang paling prinsipil antara mukmin dengan ahli kitab
adalah keengganan mereka untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan
karekteristik tauhid dan ibadah yang dibawanya. Maka, orang yang beriman
dengan kenabian secara umum, tentu saja mereka mau beriman kepada nabi
Muhammad SAW.
Faktor yang menyebabkan mereka terhalang untuk beriman kepada Nabi
Muhammad SAW adalah ketidaktahuan mereka dengan hakikat risalah yang
dibawanya, atau penentangan dan keingkaran mereka secara zahir, padahal hati
nurani mereka meyakini kebenarannya.106
Wanita ahli kitab dinikahi oleh seorang muslim, maka ia akan hidup
dibawah naungan suaminya yang muslim dan tunduk terhadap undang-undang
masyarakat Islam. Sehingga lama kelamaan wanita tersebut akan terpengaruh
dengan ajaran-ajaran Islam. Dan sangat diharapkan agar wanita tersebut dapat
memeluk Islam stelah sekian lama ia hidup di dalam masyarakat Muslim. Akan
tetapi, wanita ahli kitab yang boleh dinikahi menurut Rasyid Ridha adalah wanita
yang baik-baik. Karena, kata muhshanat dalam ayat itu maksudnya adalah wanita
yang terhormat ( terjaga dari perbuatan zina).107
Kebolehan menikahi wanita ahli kitab, menurut Rasyid Ridha hanya
berlaku bagi pria muslim yang kuat imannya dan teguh keyakinannya. Jadi, bagi
yang tidak mantap keimananya, maka tidak boleh bagi pria muslim untuk
menikahi wanita ahli kitab. Karena, bisa jadi dia akan terjerumus dan terpengaruh
dengan wanita tersebut yang pada akhirnya dia pindah keyakinan dengan masuk
agama wanita itu. Jadi, di sini Rasyid Ridha menekankan tindakan
preventifnya.108
Adapun dihalalkannya menikah dengan wanita ahli kitab tujuannya adalah
untuk memperlihatkan keindahan mu‟amalah umat Islam dan kemudahan
syari‟atnya. Hal itu bisa terwujud dengan melakukan pernikahan dengan wanita
106
Ibid, Juz II, hlm 284 107
Ibid, Juz VI, hlm 151 108
Ibid, Juz II, hlm 159
49
mereka. Karena, laki-laki adalah pemegang otoritas dan kekuasaan terhadap
wanita. Jika mu‟amalah sang suami bagus terhadap sang istri, maka itu adalah
suatu pertanda bahwa agama sang suamiadalah agama yang mengajak kepada
kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Agama yang mengajarkan pemeluknya
untuk bersikap adil kepada sesama muslim dan non muslim. Agama yang
mengajarkan lapang dada dalam bermu‟amalah dengan orang yang berbeda.109
3. Al-Mumtahanah ayat 10
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah
kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka
apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”110
Di dalam tafsir al-Manar baik Muhammad Abduh maupun Rasyid Ridha
tidak menyantumkan penafsiran beliau terhadap surat al-Mumtahanah ayat 10 di
atas. Karena memang di dalam tafsir al-Manar penafsiran yang ditafsirkan hanya
109
Ibid, Juz III, hlm 282-283 110
Depag RI,Ibid, hlm 549
50
sampai surah Yusuf 53. Oleh karena itu penulis tidak menyantumkan penafsiran
beliau terhadap ayat tersebut. Namun teks ayat di atas tidak jauh berbeda dengan
surat al-Baqarah ayat 221 tentang pelarangan menikah dengan wanita musyrik.
B. Penafsiran dalam tafsir al-Maraghi
1. Surah al-Baqarah ayat 221
Ahmad Mustafa al-Maraghi menafsirkan ayat 221 surat al-Baqarah
di atas, dalam tafsirnya dia menuliskan sebagai berikut :
Dalam penafsirannya terhadap ayat di atas, al-Maraghi menyatakan bahwa
wanita musyrik yang haram dinikahi oleh pria muslim dalam surat al-Baqarah
ayat 221 tersebut adalah semua musyrik secara global, baik dari bangsa arab
maupun dari non arab. Kecuali mereka mau beriman kepada Allah SWT dan Nabi
Muhammad SAW. Kalau mereka tetap dengan keyakinan dan kepercayaan yang
mereka anaut, maka tidak ada celah sedikitpun bagi seorang muslim untuk
menjalin hubungan kekeluargaan dan tali pernikahan dengan mereka.111
Al-Maraghi menambahkan bahwa menikahi seorang budak wanita yang
beriman dengan segala kekurangannya jauh lebih baik dibanding menikahi wanita
musyrik, walaupun dia memiliki banyak kelebihan. Al-Maraghi mengakui bahwa
kalau bisa mendapatkan istri yang cantik (cantik agama dan wajahnya), yang
dengan dua hal itu dia bisa menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan secara
agama sekaligus agama, maka itu lebih bagus. Akan tetapi, jika disuruh memilih
antara kecantikan dan keimanan, maka pilihlah keimanan.
111
Ahmad Mustafa al-Maraghi,Tafsir al-Maraghi ( Mesir : Mathba‟ah al-Halabiy, 1946)
51
Karena jika hanya mengandalkan kecantikan semata tanpa ada keimanan,
maka akan berdampak buruk baginya. Keimanan lebih penting daripada
kecantikan. Keimanan adalah harga mati dan segalanya.112
Wanita musyrik tidak
punya panduan dalam kehidupannya untuk menentukan benar salahnya suatu
tindakan. Sehingga, dia akan merasa biasa saja ketika melakukan kedurhakaan
kepada suaminya.113
Oleh karena itu sudah wajar pernikahan dengan wanita
musyrik akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang neraka.114
Secara eksplisit, ayat ini (al-Baqarah ayat 221) memang meyatakan
keharaman menikahi wanita musyrik. Bahkan hamba sahaya yang beriman jauh
lebih dari wanita musyrik walaupun mereka sangat menakjubkan.menurut para
ulama pun sejauh ini hukum pernikahan antara pria muslim dengan wanita
musyrik, terutama ulama empat mazhab adalah haram.115
2. Penafsiran surat al-Maidah ayat 05
Ayat al Quran yang berbicara tentang pernikahan antara pria muslim
dengan wanita ahli kitab termektub dalam surat al-Maidah ayat 05 :
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
112
Ibid 113
Ibid, hlm 152 114
Ibid, hlm 153 115
Muhammad Jawad Mughniyah, al Fiqh „Ala al-Madzahib al-Khomsah Fiqih Lima
Mazhab (Dar al Jawad, Beirut 2011), hlm 365
52
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia
di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.”
Berikut kutipan penafsiran al-Maraghi terhadap ayat di atas (al-Maidah ayat 05) :
Al-Maraghi menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ahli
kitab hanya terbatas kepada dua komunitas Yahudi dan Nasrani saja dari
keturunan siapapun mereka. Sementara penganut agama lain walaupun mereka
memiliki kitab suci, tidak bisa dikatakan ahli kitab. Karena, pada dasarnya kitab
suci mereka tersebut bukan kitab suci samawi.116
Agaknya al-Maraghi memasukkan semua pemeluk Yahudi dan Nasrani
sebagai ahli kitab dikarenakan kedua komunitas tersebut memiliki kitab suci
samawi dan mempercayai nabi yang diutus kepada mereka. Oleh karena itu,
menurut al-Maraghi kebolehan menikah bagi pria muslim hanya terbatas pada
wanita ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani saja, jika wanita yang dinikahi itu
sudah diberikan mas kawinnya. Sementara hukum menikahi wanita Majusi,
Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan lain sebagainya adalah tidak boleh atau
haram. Diikatnya kehalalan menikahi dengan keharusan membayar mahar adalah
sebagai penekanan bahwa mahar itu hukumnya wajib, bukan hanya sekedar syarat
halal pernikahan.117
Menurut al-Maraghi, ada syarat yang harus dipenuhi jika ingin menikahi
wanita ahli kitab, yaitu wanita tersebut harus baik akhlaknya. Walaupun kata
mukhsanat dalam ayat itu menurut al-Maraghi adalah wanita merdeka, karena
116
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Ibid, Jilid VI, hlm 59 117
Ibid
53
khitabnya memang mengarah kepada mereka, nukan berarti tidak boleh menikahi
wanita budak. Hal ini asalkan tujuan pernikahan ini adalah untuk saling menjaga
kesucian, bukan untuk sesuatu yang nista.118
Kemudian pembolehan pernikahan
ini hanya bagi pria muslim yang kokoh imannya yang dengan itu bisa mengayomi
dan mendakwahi istrinya, sehingga diharapkan kelak istrinya bisa mengikuti
agama suaminya. Jadi, kebolehan ini tidak berlaku bagi pria muslim yang lemah
keimananya, karena kerasukan dan fitnah yang akan terjadi jika pernikhan tetap
dilaksanakan.119
Hikmah dibolehkannya pria muslim menikahi wanita ahli kitab menurut
al-Maraghi adalah agar mereka bisa melihat keindahan mu‟amalah umat Islam
terhadap mereka dan supaya mereka bisa mengetahui realistis dan elastisnya
syari‟at Islam. Laki-laki dalam Islam adalah pembimbing dan pengayom bagi
perempuan. Jadi, jika komunikasi dan mu‟amalahnya bagus dengan istrinya, maka
itu sudah cukup sebagai bukti bahwa Islam mengajak umatnya untuk berlaku
objektif dalam bermu‟amalah dengan penganut agama yangberbeda. Islam juga
mengajak umatnya untuk bersikap legowo atau berlapang hati, dan berjiwa besar
terhadap agam lain.120
3. Penafsiran surah al Mumtahanah ayat 10
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
118
Ibid, hlm 59 119
Ibid, Jilid II, hlm 154 120
Ibid, hlm 153
54
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah
kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada
dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar
yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara
kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”121
Ada beberapa riwayat yang menerangkan tengan asbab an nuzul ayat di
atas diantaranya sebagai berikut :
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari al-Masur dan Marwan bin
Hakam bahwa ketika Rasulallah membuat kesepakatan damai dengan orang-orang
kafir Hudaibiyah, datanglah beberapa wanita mukminah kepada beliau. Lalu Allah
menurunkan ayat ini.122
Imam ath- Thabari meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abdullah
bin Abi Ahmad yang berkata : pada masa berlangsungnya perjanjian damai
(antara kaum muslimin dan kaum kafir Mekkah), Ummu Kultsum bin Uqbah bin
Abi Mu‟ith melakukan hijrah ke Madinah. Dua orang saudara laki-laki Ummu
Kultsum yaitu Umarah dan Walid, lantas dating menemui Rasulallah dan meminta
beiau untuk mengembalikan Ummu Kultsum kepada mereka. Akan tetapi Allah
membatalkan perjanjian antara rasulnya dengan orang-orang musyrik tersebut,
khususnya dalam masalah wanita mukminah. Dimana Allah melarang beliau
untuk mengembalikan mereka kepada orang-orang musyrik. Ketika itu Allah
menurunkan ayat ini. 123
121
Depag RI, Ibid, hlm 530 122
Jalaludin ash- Sayuthi, sebab-sebab turunnya ayat al Quran ( Kairo ; Darul Taqwa)
hlm 568 123
Ibid, hlm 569
55
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yazad bin Abu al Habib bahwa yang ia
dengar adalah ayat ini turun berkenaan dengan Umaimah binti Basyar istri Abu
Hasan ad-Dahdahah.124
Dari Muqatil diriwayatkan bahwa ada seorang wanita bernama Saidah
yang merupakan istri dari Shaifi bin Rahib seorang laki-laki musyrik di Mekkah.
Wanita itu dilarang kemadinah disaat berlangsungnya kesepakatan damai. Orang-
orang musyrik lantas berkata “ kembalikan dia kepada kami “, sebagai responnya,
maka turunlah ayat ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari az- Zuhri bahwaayat ini turun berkenaan
pada saat Rasulallah tengah berda di kawasan Hudaibiyah yaitu ketika beliau
menyepakati bahwa jika ada penduduk Mekkah yang dating kepadanya maka
beliau akan mengembalikannya kepada mereka. Akan tetapi, tatkala yang datang
wanita maka turunlah ayat ini. 125
Berikut kutipan al-Maraghi dalam menafsirkan ayat di atas ( al-
Mumtahanah ayat 10) :
–
124
Ibid, hlm 360 125
Ibid, hlm 363
56
126
Al-Maraghi menafsirkan bahwa apabila datang kepadamu wahai sekalian
orang mukmin wanita yang mengucapkan persaksian (syahadah) maka ujilah
mereka dan tidak tampak dari mereka itu apa yang bertentangan dengan hal
tersebut, sedang mereka berhijrah dari orang-orang kafir, maka ujilah keadaan
mereka, dan perhatikanlah apakah hati mereka sesuai dengan lidah mereka,
ataukah mereka itu wanita yang munafik. Dan adalah Rasulallah saw mengatakan
kepada wanita yang diuji itu, demi Allah yang tidak ada tuhan selain dia, engkau
tidaklah pergi karena kebencian kepada suami. Demi Allah, engkau tidak pergi
mencari dunia. Demi Allah, engkau tidak pergi kacuali karena cinta kepada Allah
dan Rasulnya.
Kemudian Allah menyebutkan kalimat sisipan (jumlah mu‟taridah) antara
sebelum dan sesudahnya, untuk menjelaskan bahwa ujian ujian itu berguna untuk
menguji zahir saja. Senada dengan firman Allah swt :
Allah lebih mengetahui iman mereka daripada kamu, dialah yang
menguasai segala rahasia. Disini terdapat penjelasan bahwa tidak ada jalan untuk
mengetahui hakikat iman mereka, karena hal itu termasuk urusan yang hanya
diketahui oleh Allah sendiri. Wanita-wanita mukmin itu tidak halal bagi suami-
suami yang kafir. Dan suami-suami yang kafir itu tidak halal pula bagi istri-istri
yang mukmin.
C. Persamaan dan Perbedaan Metodologi dan isi penafsiran.
Jika diperhatikan penafsiran Rasyid Ridha dan al-Maraghi terhadap ayat
yang membicarakan masalah pernikahan antara pria muslim dengan wanita
musyrik ini, terdapat persamaan dan perbedaan antara mereka. Diantara
persamaan penafsiran antara Rasyid Ridha dan al-Maraghi antara lain adalah :
126 Ahmad Mustafa al-Maraghi,Tafsir al-Maraghi ( Mesir : Mathba‟ah al-Halabiy, 1946),
Juz 28, hlm 72
57
Pertama, adalah berkaitan dengan kesimpulan hukum yang mereka
utarakan bahwa menikahi wanita musyrik bagi pria muslim adalah haram. Hal ini
tentu saja berdasarkan informasi dari al Quran yang menyatakan secara eksplisit
masalah tersebut.
Kedua, dilihat dari alasan atau argumentasi yang mereka kemukakan
mengenai haramnya pernikahan tersebut.
Sementara perbedaan penafsiran antara Rasyid Ridah dan al-Maraghi
terhadap ayat yang membicarakan tentang masalah pernikahan antara pria muslim
dengan wanita musyrik ini adalah pemahaman mereka terhadap kata musyrikah
yang ada di dalam ayat tersebut. Rasyid Ridha memahami bahwa kata musyrikah
yang terdapat pada ayat 221 surat al-Baqarah tersebut ditujukan kepada wanita
musyrik arab, sementara al-Maraghi memahami kata musyrikah di dalam ayat di
atas ditujukan kepada wanita musyrik secara global.
Sementara dilihat dari segi metodologi penafsiran Rasyid Ridha dan al-
Maraghi memakai metode yang sama yaitu metode tahlili. Metode tahlili adalah
suatu metode yang mencoba menafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat
sesuai dengan urutan mushaf utsmani. Namun pendekatan yang mereka gunakan
dalam menafsirkan tampak berbeda. Rasyid Ridha dalam memahami kata
musyrikah pada ayat di atas menggunakan pendekatan al-„ibrah bi al-khusus al
sabab la bi „umum al lafzhi. Oleh karena itu, dia memahami bahwa yang
dimaksud dengan musyrikah pada ayat di atas adalah wanita musyrik arab ketika
al Quran diturunkan. Makanya keharaman pernikahan hanya berlaku bagi wanita
musyrik arab saja, bukan yang lainnya.
Sementara al-Maraghi berpandangan bahwa kata musyrikah yang terdapat
di dalam surat al-Baqarah ayat 221 tersebut adalah wanita musyrik secara global.
Karena di dalam memahami ayat tersebut al-Maraghi menggunakan pendekatan al
„ibrah bi „umum al lafzhila bi al khusus al sabab. Oleh Karena itu, al-Maraghi
berpendapat bahwa haram hukumnya bagi pria muslim menikah dengan wanita
musyrik. Keharamannya tidak hanya terbatas pada wanita musyrik arab saja
sebagaimana yang dikatakan oleh Rasyid Ridha tetapi termasuk semua wanita
musyrik yang ada didunia ini.
58
Didalam penafsiran Rasyid Ridha dan al-Maraghi terhadap ayat yang
membicarakan tentang pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab, di satu
sisi mereka berada dalam kesamaan pendapat dan di sisi lain terdapat perbedaan
pendapat di antara mereka. Pendapat Rasyid Ridha terkait masalah pernikahan
antara pria muslim dengan wanita ahli kitan adalah boleh, begitu juga halnya
dengan al-Maraghi dan ini bersifat mutlak. Menurut mereka, wanita ahli kitab
memiliki kesatuan sumber agama dengan agama Islam, dan diapun (wanita ahli
kitab) beriman kepada tuhan dan nabi-nabinya serta beriman pula akan adanya
hari pembalasan dan akherat.
Mereka juga sama-sama mengemukakan alasan atau argument bahwa
kebolehannya dengan syarat yang terpenuhinya beberapa ketentuan sebagai
berikut :
a. Wanita ahli kitab yang boleh dinikahi adalah wanita yang baik, dalam
arti kata mereka adalah wanita yang menjaga kehormatannya, bukan
wanita yang nakal dan binal. Dalam hal ini tidak ada bedanya wanita
merdeka dan hamba sahaya.
b. Harus membayar mahar pernikahan kepada wanita ahli kitab yang
hendak dinikahi tersebut. Dan setelah dibayarkan, mahar itu
sepenuhnya menjadi hak wanita tersebut.
c. Tujuan melangsungkan pernikahan tersebut haruslah positif. Jadi,
kalau tujuannya untuk hal-hal yang negatif, maka pernikahan itu tidak
boleh dilaksanakan.
d. Kebolehan menikahi wanita ahli kitab hanya berlaku kepada pria
muslim yang kuat imannya. Karena pada dasarnya, dibolehkannya
pernikahan tersebut bertujuan agar wanita ahli kitab yang sudah
menjadi istri bagi pria muslim, bisa beralih menjadi wanita muslimah.
e. Kalau dikhawatirkan pernikahan tersebut berdampak buruk bagi bagi
pria muslim, maka tidak boleh melakukannya. Karena tindakan
preventif lebih diutamakan dalam Islam.
Perbedaan penafsiran antara Rasyid Ridha dan al-Maraghi dalam
menafsirkan surat al Maidah ayat 05 terletak pada dua hal :
59
Pertama, mereka berbeda dalam memaknai kata mukhsanat yang ada
dalam ayat tersebut. Rasyid Ridha memilih bahwa yang dimaksud dengan
mukhsanat dalam ayat adalah wanita yang terhormat. Hal ini dinyatakan Rasyid
Ridha setelah dia memaparkan panjang lebar tentang perbedaan yang terjadi
antara ulama dalam masalah ini. Pada akhirnya dia enyatakan bahwa endapat yang
kuat adalah pendapat yang menafsirkan kata itu dengan wanita yang terhormat
bukan wanita merdeka. Sementara al-Maraghi secara gamblang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan mukhsanat dalam ayat tersebut adalah wanita
merdeka. Al-Maraghi tidak menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam
masalah ini. Karena memang salah satu ciri khas dari tafsir al-Maraghi adalah
ringkas dan tidak panjang lebar dalam mebahas suatu masalah.
Kedua, mereka berbeda dalam defenisi yang dipakai tentang ahli kitab.
Rasyid Ridha memaknai ahli kitab adalah semua agama yang memiliki kitab suci
untuk dijadikan pedoman. Jadi, kriteria ahli kitab menurut Rasyid Ridha adalah
asalkan mempunyai kitab suci. Sedangkan al-Maraghi memaknai ahli kitab adalah
umat Yahudi dan Nasrani saja, tanpa memberikan kriteria yang lebih rinci atau
mensyaratkan bahwa wanita ahli kitab tersebut harus memnuhi kritria tertententu
sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama yang lain seperti Syafi‟i.
Melihat pendapat al-Maraghi tentang ahli kitab yang membatasi maknanya
pada golongan Yahudi dan Nasrani saja, maka dapat penulis simpulkan bahwa :
Pertama, seseorang yang menganut agama ahli kitab sebelum al Quran
diturunkan maupun sesudahnya, sebelum mengalami perubahan maupun sesudah
mengalami perubahan, termasuk dalam kategori ahli kitab.
Kedua, kelompok ahli kitab ini tidak hanya sebatas jazirah arab saja,
tempat para nabi diutus oleh Allah, tetapi juga termasuk mereka yang berada
diluar jazirah arab. Jadi, orang Yahudi di Israel dan dimanapunm mereka berada,
begitu juga orang nasrani di Indonesia meraka termasuk kedalam golongan ahli
kitab.
Ketiga, walaupun agama Yahudi dan Nasrani diperuntukkan bagi orang-
orang Israel, tetapi al-Maraghi tetap memasukkan orang-orang diluar etnis Israel,
yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sebagai ahli kitab.
60
D. Analisis Penulis terhadap perbedaan Penafsiran al-Manar dan al-
Maraghi
Dari pemaparan diatas ada beberapa poin yang dapat penulis kemukakan
dalam penelitian ini sebagai analisis penulis terhadap perbedaan penafsiran antara
tafsir al-Manar dan al-Maraghi :
Penafsiran Rasyid Ridha terhadap surat al-Baqarah ayat 221 ini penulis
rasa tidak relavan, kalau dilihat dari segi relevansinya dengan kehidupan modern.
Karena bisa diketahui dalam sejarah bahwa semua jazirah arab sudah memeluk
Islam sebelum Nabi wafat. Puncaknya ketika fathu Makkah semua orang
berbondong-bondong memluk agama Islam. Oleh karena itu bisa dipastikan
bahwa sekarang wanita musyrik arab tidak ada lagi. Sementara penafsiran al-
Maraghi lebih relevan dengan zaman modern. Karena, sampai saat sekarang orang
musyrik masih ada dan jumlah mereka sangat banyak.
Untuk memperjelas analisis komparasi antara kedua mufassir ini, maka
penulis menampilkan table komparasi sebagai berikut :
No Komparasi Rasyid Ridha Al-Maraghi
1. Persamaan
Dilarang
menikah dengan
wanita musyrik
Dilarang menikah dengan
wanita musyrik
2. Perbedaan Musyrikat arab
saja Musyrikat secara umum
3. Metodologi Al „ibrah bi
khusus al sabab
Al „ibrah bi „umum al
lafzhi
4. Relavansi Tidak relavan Relevan
Kemudian dari penafsiran Rasyid Ridha dan al-Maraghi tentang masalah
bolehnya pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab, dapat penulis fahami
bahwa mereka sama-sama menggunakan pendekatan takhsis al-ayah bi al-ayah.
Ayat yang melarang pernikahan beda agama secara umum dengan wanita musyrik
61
dalam surat al-Baqarah ayat 221 sebenarnya tidak mencakup wanita ahli kitab,
meskipun mereka dalam keimanannya telah terkontaminasi dengan konsep
keimanan yang menjurus kepada kemusyrikan. Karena dalam dalam ayat lain,
surat al-Maidah ayat 05 dinyatakan kebolehan menikahi mereka. Artinya, surah
al-Maidah ayat 05 ini memberi pengkhususan (takhsis) bahwa larangan menikah
dengan wanita musyrik dalam surah al-Baqarah ayat 221 tidak berlaku terhadap
wanita ahli kitab.
Dilihat dari relevansinya, penulis menganggap bahwa penafsiran Rasyid
Ridha mungkin bisa diterapkan di Indonesia. Karena, Indonesia menaungi banyak
agama besar di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Di
Indonesia terdapat agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu
yang mana semua agama ini memiliki kitab suci yang mereka yakini
kebenarannya. Begitu juga dengan penafsiran al-Maraghi yang menyatakan ahli
kitab itu hanya Yahudi dan Nasrani saja. Di Indonesia orang Nasrani cukup
banyak.
Untuk memperjelas analisis komparasi penafsiran antara kedua tafsir ini,
maka penulis rasa perlu menampilkan tabel komparasi sebagai berikut :
No Komparasi Rasyid Ridha Al-Maraghi
1. persamaan Boleh nikah dengan wanita
ahli kitab
Boleh nikah dengan
wanita ahli kitab
2. Perbedaan Ahli kitab setiap agama
yang memiliki kitab suci
Ahli kitab Yahudi dan
Nasrani saja.
3. Metodologi Takhsis al-ayah bi al-ayah Takhsis al-ayah bi al-
ayah
4. Relevansi Relevan Relevan
Namun, berdasarkan fakta yang ada ditengah-tengah masyarakat yang
melakukan pernikahan dengan ahli kitab pada zaman sekarang ini, apalagi ahli
kitab versi Rasyid Ridha, penulis tidak berada dalam satu pandangan dengan
62
pendapat yang membolehkan pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab,
walaupun dengan berbagai syarat dan ketentuan yang mereka rumuskan, seperti
kebolehan Cuma berlaku kepada pria muslim yang kuat imannya.
Menurut penulis, ketentuan dan syarat itu tidak bisa dijadikan landasan
yang kuat dan masih dipertanyakan. Pandangan penulis berdasarkan pada
berbagai argumentasi adalah :
a. Kalau syarat bolehnya pria mullim menikahi wanita ahli kitab adalah
harus bagus agamanya. Masalahnya, apakah ada jaminan bahwa
setelah menikah nanti ia tidak terpengaruh oleh agama istrinya yang
ahli kitab, walaupun sebelum menikah ia menyanggupinya.
Jadi siapa yang bisa menjamin pria ini masih bisa tetap konsisten
dengan keimananya. Karena, godaan wanita sangat kuat, apalagi
kalau wanita ahli kitab tersebut mempunyai semangat dakwah yang
tinggi pula untuk mengajak si pria masuk kedalam agamanya.
Ditambah lagi setiap orang bisa mengklaim bahwa agamanya
bagus, agar dia juga diperbolehkan melakukan pernikahan dengan
wanita ahli kitab. Tapi pada akhirnya mudharatnya yang terjadi.
b. Faktanya para ulama tidak berada dalam satu pendapat tenytang
hukum menikahi wanita ahli kitab.
Dalam penelitian ini penulis juga tidak sependapat dengan Rasyid Ridha terkait
kriteria ahli kitab yang dikemukakannya. Yaitu asalkan punya kitab suci bisa
digolongkan kepada ahli kitab. Pendapat Rasyid Ridha yang menyatakan ahli
kitab adalah semua agama yang mempunyai kitab suci, tidak populer dikalangan
ulama. Karena pada prakteknya sangat sulit untuk mengetahui apakah kitab suci
suatu agama yang tidak secara tegas disebutkan dalam al Quran (Taurat, Zabur,
Injil dan al Quran) merupakan wahyu dari Allah SWT yang kemudian
diselewengkan, atau murni pikiran manusia. Penulis lebih sependapat dengan al-
Maraghi yang menyatakan bahwa ahli kitab itu hanya terbatas pada dua komunitas
saja, yaitu Yahudi dan Nasrani.
63
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Adapun penafsiran al Manar dan al Maraghi terhadap ayat-ayat nikah beda
agama adalah sebagai berikut :
a. Penafsiran surah al Baqarah ayat 221 dalam tafsir al Manar
Di dalam tafsir al Manar Muhammad Abduh menafsirkan bahwa
musyrikah yang dimaksud di dalam ayat di atas adalah khusus untuk
wanita musyrik arab saja. Di dalam menafsirkan ayat ini Muhammad
Abduh menggunakan pendekatan al „ibrah bi khusus al sabab la bi
„umum al lafzi. Artinya Muhammad Abduh hanya melihat sebab
turunnya ayat tersebut dan tidak mlihat keumuman lafaznya.
b. Penafsiran surah al Maidah ayat 05 dalam tafsi al Manar
Di dalam tafsir al Manar Muhammad Rasyid Ridha menafsirkan
ayat tersebut dengan memahami ahli kitab yang dimaksud dari ayat di
atas adalah semua agama yang memiliki kitab suci yang menjadi
pegangan mereka unuk menjalani kehidupan ini. Artinya Rasyid Ridha
memandang bahwa pernikahan antara pria muslim dengan wanita ahli
kitab tidak terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani saja seperti
umumnya pemahaman ulama. Kemudian Rasyid Ridha memahami
kata al mukhsanat dalam ayat di atas sebagai wanita baik-baik.
c. Penafsiran surah al Mumtahanah ayat 10 dalam tafsir al Manar
Dalam tafsir al Manar hanya menafsirkan sampai surah yusuf ayat
52 saja. Namun ayat 10 surah al Mumtahanah ini teksnya tidak beda
jauh dengan surah al Baqarah aat 221. Namun dalam ayat 10 surah al
Mumtahanah membicarakan tentang larangan mengembalikan wanita
muslimah kepada suami yang masih musyrik.
65
Dalam tafsir al Maraghi menafsirkan ayat-ayat nikah beda agama sebagai berikut :
a. Penafsiran surah al Baqarah ayat 221
Ahmad Mustafa al Maraghi menafsirkan surah al Baqarah ayat 221
dengan memahami kata musyrikah pada ayat tersebut sebagai wanita
musyrik secara umum. Di dalam memahami ayat ini al Maraghi
menggunakan pendekat al „ibrah bi „umum al lafzi la bi khusus al
sabab. Artinya al Maraghi melihat keumuman ayat bukan melihat
sebab turunnya ayat.
b. Penafsiran surah al Maidah ayat 05
Al Maraghi menafsirkan ayat ini dengan memahami ahli kitab yang
dimaksud ayat di atas adalah wanita Yahudi dan Nasrani saja.
Kemudian kata al mukhsanat dalam ayat di atas difahami dengan
wanita merdeka dari kalangan ahli kitab.
c. Penafsiran surah al Mumtahanah ayat 10
Dalam menafsirkan ayat ini al Maraghi mengatakan bahwa ketika
datang kepada kamu wanita yang mengucapkan persaksian
(syahadah), maka ujilah merka terlebih dahulu. Dan perhatikan apakah
sesuai hati mereka dengan lidah mereka.
2. Di dalam tafsir al Manar diterangkan bahwa orang musyrik yang dimaksud
di dalam surah al Baqarah ayat 221 itu adalah musyrik arab saja. Berbeda
dengan al Manar, dalam tafsir al Maraghi diterangkan bahwa yang
dimaksud dengan musyrik adalam ayat tersebut adalah wanita musyrik
secara umum. Kemudian dalam memahami surah al Maidah ayat 05 al
Manar menegaskan bahwa ahli kitab yang disebutkan dalam ayat adalah
wanita baik-baik yang mempunyai kitab suci untuk pedoman hidup di dunia
ini. Sedankgkan di dala tafsir al Maraghi dijelaskan bahwa ahli kitab yang
dimaksud dalam ayat adalah wanita merdeka dari kalangan Yahudi dan
Nasrani saja.
Dal hal ini, penulis sependapat dengan al Maraghi yang mengatakan bahwa
wanita musyrik yang dimaksud di dalam ayat 221 tersebut adalah wanita
musyrik secara umum, dan ahli kitab yang dimaksud dalam ayat 05 surah al
66
Maidah adalah kalangan Yahudi dan Nasrani saja. Melihat fakta pada zaman
sekarang kalau mengikuti pemahaman di dala tafsir al Manar maka akan
banyak orang yang tidak mementingkan agama di dalam meilih pasangan
hidup dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi Muhammad saw.
B. Saran-saran
Sebagai catatan akhir dari skripsi ini, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat serta menambah khazanah keilmuan khususnya bagi diri
penulis. Selain itu pebnulis juga berharap skripsi ini dapat menambah semangat
dalam hal dunia penelitian. Hendaknya juga dapat menambah pemahaman
terhadap ayat-ayat al Quran khususnya dalam menafsirkan serta mengambil
pesan-pesan Allah yang tercantum dalam al Quran.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tidak ada hal yang mudah dalam
meraih sesuatu kecuali mau berusaha dengan gigih, serta tidak ada pemahaman
yang benar kecuali dengan membaca. Penulis mohon maaf atas segala kekurangan
dan segala kesalahan baik yang bersifat tulisan maupun pemahaman. Oleh karena
itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi penulis.
Wallahu‟alamu bisshawab.