27
HEMATOLOGI NORMOKROM NORMOSITER 1.1 Pengertian Normokrom Normositer Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar, yaitu anemia hipokrom makrositer, anemia hipokrom mikrositer, dan anemia normokrom normositer. Anemia Normokrom Normositer merupakan jenis anemia dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia normokrom normositer (MCV didalam batasan normal, 80-100), antara lain: 1. Pasca perdarahan akut 2. Anemia aplastik-hipoplastik 3. Anemia hemolitik – terutama yang didapat

normokrom normositer

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: normokrom normositer

HEMATOLOGI

NORMOKROM NORMOSITER

1.1 Pengertian Normokrom Normositer

Anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas

hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah.

Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari

dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran

fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium.

Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro

menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan

warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar, yaitu anemia hipokrom

makrositer, anemia hipokrom mikrositer, dan anemia normokrom normositer.

Anemia Normokrom Normositer merupakan jenis anemia dimana ukuran

dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam

jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia

normokrom normositer (MCV didalam batasan normal, 80-100), antara lain:

1. Pasca perdarahan akut

2. Anemia aplastik-hipoplastik

3. Anemia hemolitik – terutama yang didapat

4. Akibat penyakit kronis

5. Anemia mieloplastik

6. Gagal ginjal kronis

7. Mielofibrosis

8. Sindroma mielodisplastik

9. Leukemia akut

1.2 Penyakit

1.2.1 Anemia Aplastik

1. Pengertian

Anemia Aplastik, adalah kondisi dimana sumsum tidak dapat

berproduksi maksimal sehingga sel darah baru tidak mencukupi untuk

Page 2: normokrom normositer

proses penggantian sel darah lama. Pada kasus anemia biasa,

umumnya hanya jumlah sel darah merah yang rendah, tetapi pada

anemia aplastik, jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan platelet

menjadi sangat rendah. Dicurigai penyebab anemia aplastik ini adalah

gangguan sistem imun, atau disebut gangguan autoimun. Dimana sel

darah putih menyerang sumsum. Jika anemia aplastik ini tidak diobati,

maka resiko kematian akan muncul dalam waktu 6 bulan.

2. Klasifikasi dan Etiologi

Anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua faktor penyebab, yaitu

faktor primer dan sekunder. Secara sederhana anemia aplastik dapat

diklasifikasi sebagai berikut.

a. Penyebab Primer

1. Idiopatik (paling banyak)

2. Anemia Fanconi

3. c. Dyskeratosis congenita

b. Penyebab Sekunder

1. Zat kimia

2. Obat-obatan

3. Infeksi

4. Radiasi

Gangguan kongenital yang paling umum terjadi adalah anemia

Fanconi. Penyakit ini dapat menyerang anak-anak dan biasanya

dikarenakan defek pada DNA Repair dan aplasia yang sering disertai

kelainan rangka, pigmentasi pada kulit dan abnormalitas pada ginjal.

Pemaparan pada bahan-bahan kimia, obat-obatan dan radiasi juga

dapat merusak sel induk. Obat-obatan dapat menekan hematopoiesis

secara idiosinkratik ataupun secara terduga.

Page 3: normokrom normositer

Obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pada sumsum tulang

dapat dibagi dua:

a. Sering atau selalu menyebabkan depresi sumsum tulang

1. Sitostatika

b. Kadang-kadang menyebabkan depresi sumsum tulang

1. Antikonvulsan, misalnya: metilhidantoin

2. Antibiotik, misalnya: kloramfenikol, sulfonamide,

penicillin dan lain-lain

3. Analgesik, misalnya: fenilbutazon

4. Relaksan otot, misalnya: meprobamat

Obat seperti kloramfenikol diduga dapat menyebabkan anemia

aplastik. Misalnya pemberian kloramfenikol pada bayi sejak berumur

2 – 3 bulan akan menyebabkan anemia aplastik setelah berumur 6

tahun.

America Medical Association juga telah membuat daftar obat-obat

yang dapat menimbulkan anemia aplastik. Lihat tabel berikut.

Obat-obat yang sering

dihubungkan dengan

Anemia Aplastik

1. Azathioprine

2. Karbamazepine

3. Inhibitor carbonic

anhydrase

4. Kloramfenikol

5. Ethosuksimide

6. Indomethasin

7. Imunoglobulin limfosit

8. Penisilamine

9. Probenesid

10. Quinacrine

11. Obat-obat sulfonamide

12. Sulfonilurea

13. Obat-obat thiazide

14. Trimethadione

Page 4: normokrom normositer

Zat-zat kimia yang sering menjadi penyebab anemia aplastik

misalnya benzen, arsen, insektisida, dan lain-lain. Zat-zat kimia

tersebut biasanya terhirup ataupun terkena (secara kontak kulit) pada

individu.

Radiasi juga dianggap sebagai penyebab anemia aplastik ini karena

dapat mengakibatkan kerusakan pada stem cell atau sel induk ataupun

menyebabkan kerusakan pada lingkungan sel induk. Contoh radiasi

yang dimaksud antara lain pajanan sinar X yang berlebihan ataupun

jatuhan radioaktif (misalnya dari ledakan bom nuklir).

Paparan oleh radiasi berenergi tinggi ataupun sedang  yang

berlangsung lama dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang akut

dan kronis maupun anemia aplastik. Terutama sel-sel germinal dan sel

hematopoietik. Sel-sel tersebut merupakan sel yang paling mudah

mengalami kerusakan tersebut.

Selain radiasi, infeksi juga dapat menyebabkan anemia aplastik.

Misalnya seperti infeksi virus Hepatitis C, EBV, CMV, parvovirus,

HIV, dengue dan lain-lain.

Dari semua faktor penyebab anemia aplastik diatas, faktor yang paling

banyak terjadi ialah faktor idiopatik. Dimana penyebabnya anemia

aplastik ini masih belum jelas.

3. Patofisiologi

Ada dua hal yang menjadi patofisiologi anemia aplastik.

a. Kerusakan pada sel induk pluripoten

Gangguan pada sel induk pluripoten ini menjadi penyebab utama

terjadinya anemia aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami

Page 5: normokrom normositer

gangguan gagal membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah

yang baru.

Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten

ataupun karena fungsinya yang menurun.

Penanganan yang tepat untuk individu anemia aplastik yang

disebabkan oleh gangguan pada sel induk adalah terapi transplantasi

sumsum tulang.

b. Kerusakan pada microenvironment

Ditemukan gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral (misal

eritropoietin) maupun bahan penghambat pertumbuhan sel. Hal ini

mengakibatkan gagalnya jaringan sumsum tulang untuk berkembang.

Gangguan pada microenvironment merupakan kerusakan lingkungan

sekitar sel induk pluripoten sehingga menyebabkan kehilangan

kemampuan sel tersebut untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel darah.

Selain itu pada beberapa penderita anemia aplastik ditemukan cell

inhibitors atau penghambat pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan

dengan adanya limfosit T yang menghambat pertumbuhan sel-sel

sumsum tulang.

Sampai saat ini, teori yang paling dianut sebagai penyebab anemia

aplastik adalah gangguan pada sel induk pluri poten.

4. Gejala Klinis

Pada penderita anemia aplastik dapat ditemukan tiga gejala utama

yaitu, anemia, trombositopenia, dan leukopenia. Ketiga gejala ini

disertai dengan gejala-gejala lain yang dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

-       Anemia biasanya ditandai dengan pucat, mudah lelah, lemah,

hilang selera makan, dan palpitasi.

-       Trombositopenia, misalnya: perdarahan gusi, epistaksis, petekia,

ekimosa dan lain-lain.

-       Leukopenia ataupun granulositopenia, misalnya: infeksi.

Page 6: normokrom normositer

Selain itu, hepatosplenomegali dan limfadenopati juga dapat

ditemukan pada penderita anemia aplastik ini meski sangat jarang

terjadi.

5. Pemeriksaan dan diagnosis

Ada dua jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis

anemia aplastik, yaitu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan

laboratorium.

Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis penderita anemia aplastik diperoleh:

a. Pucat

b. Perdarahan pada gusi, retina, hidung, dan kulit.

c. Tanda-tanda infeksi, misalnya demam.

d. Pembesaran hati (hepatomegali)

e. Tanda anemia Fanconi, yaitu bintik Café au lait dan postur tubuh

yang pendek.

f. Tanda dyskeratosis congenita, yaitu jari-jari yang aneh dan

leukoplakia.

Pemeriksaan Laboratorium

Darah Tepi

Granulosit           < 500 /mm3

Trombosit           < 20.000 /mm3

Retikulosit          < 1.0 % (atau bahkan hampir tidak ada)

Pada penderita anemia aplastik ditemukan kadar retikulosit yang

sedikit atau bahkan tidak ditemukan. Sedangkan jumlah limfosit dapat

normal atau sedikit menurun.

Dari ketiga kriteria darah tepi di atas, dapat ditentukan berat tidaknya

suatu anemia aplastik yang diderita oleh pasien. Cukup dua dari tiga

kriteria di atas terpenuhi, maka si individu sudah dapat digolongkan

sebagai penderita anemia aplastik berat.

Sumsum Tulang

Page 7: normokrom normositer

Hiposeluler        < 25%

Pemeriksaan sumsum tulang ini dilakukan pemeriksaan biopsi dan

aspirasi.

6. Prognosis

Kondisi semakin buruk jika ditemukan:

-          Neutrofil     < 0.5 x 109

-          Platelet        < 20 x 109

-          Retikulosit  < 40 x 109

Sebelum era transplantasi sumsum tulang tulang, angka mortalitas

sangatlah tinggi. Kira-kira 65% sampai 80%. Dengan adanya

transplantasi sumsum tulang, angka mortalitas ini dapat dipastikan

turun.

Transplantasi sumsum tulang ini sangatlah baik dilakukan bagi

mereka yang berumur dibawah 25 tahun dan lebih baik lagi bila

dilakukan pada anak-anak.

7. Penatalaksanaan

Terapi Suportif

Transfusi darah dan platelet sangat bermanfaat, namun harus

digunakan dengan bijaksana dan baik karena dapat terjadi sensitisasi

pada sel dan imunitas humoral pasien anemia aplastik. Bila terjadi hal

yang demikian, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua

atau saudara kandung).

Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik

Terapi dengan Growth factor sebenarnya tidak dapat memperbaiki

kerusakan sel induk. Namun terapi ini masih dapat dijadikan pilihan

terutama untuk pasien dengan infeksi berat.

Penggunaan G-CSF (granulocyte-colony stimulating factor) terbukti

bermanfaat memulihkan neutrofil pada kasus neutropenia berat.

Namun hal ini tidak berlangsung lama. G-CSF harus dikombinasikan

Page 8: normokrom normositer

dengan regimen lain misalnya ATG/CsA untuk mendapatkan hasil

terapi yang lebih baik.

Transplantasi Sumsum Tulang (SCT, Stem Cell Transplantation)

Transplantasi sumsum tulang ini dapat dilakukan pada pasien anemia

aplastik jika memiliki donor yang cocok HLA-nya (misalnya saudara

kembar ataupun saudara kandung). Terapi ini sangat baik pada pasien

yang masih anak-anak.

Transplantasi sumsum tulang ini dapat mencapai angka keberhasilan

lebih dari 80% jika memiliki donor yang HLA-nya cocok. Namun

angka ini dapat menurun bila pasien yang mendapat terapi semakin

tua. Artinya, semakin meningkat umur, makin meningkat pula reaksi

penolakan sumsum tulang donor. Kondisi ini biasa disebut GVHD

atau graft-versus-host disease.

Terapi imunosupresif

Terapi imunosupresif dapat dijadikan pilihan bagi mereka yang

menderita anemia aplastik. Terapi ini dilakukan dengan konsumsi

obat-obatan. Obat-obat yang termasuk terapi imunosupresif ini antara

lain antithymocyte globulin (ATG) atauantilymphocyte

globulin (ALG), siklosporin A (CsA) dan Oxymethalone.

Regimen terbaik adalah kombinasi dari ATG dan siklosporin. Namun

kedua obat ini juga dapat berpotensi toksik. ATG dapat memproduksi

pyrexia, ruam dan hipotensi sedangkan  siklosporin dapat

menyebabkan nefrotoksik dan hipertensi.

Oxymethalon juga memiliki efek samping diantaranya, retensi garam

dan kerusakan hati.

Orang dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi transplantasi

sumsum tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.

1.2.2 Anemia Pasca Perdarahan

1. Definisi

Page 9: normokrom normositer

Anemia Karena Perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah

merah atau jumlah hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang

disebabkan oleh perdarahan.

2. Etiologi

Perdarahan hebat merupakan penyebab tersering dari anemia.

Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari

jaringan diluar pembuluh darah sebagai usaha untuk menjaga agar

pembuluh darah tetap terisi. Akibatnya darah menjadi lebih encer

dan persentase sel darah merah berkurang.

Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan

memperbaiki anemia. Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat

berat, terutama jika timbul dengan segera karena kehilangan darah

yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada:

a. Kecelakaan

b. Pembedahan

c. Persalinan

d. Pecahnya pembuluh darah.

Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus

menerus atau berulang-ulang), yang bisa terjadi pada berbagai

bagian tubuh: Perdarahan hidung dan wasir : jelas terlihat.

Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan

kanker usus besar) : mungkin tidak terlihat dengan jelas karena

jumlah darahnya sedikit dan tidak tampak sebagai darah yang

merah di dalam tinja; jenis perdarahan ini disebut perdarahan

tersembunyi.

Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih; bisa

menyebabkan ditemukannya darah dalam air kemih. Perdarahan

menstruasi yang sangat banyak.

3. Gejala Klinis

Page 10: normokrom normositer

Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat

menyebabkan 2 masalah:

a. Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam

pembuluh darah berkurang

b. Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah

merah yang mengangkut oksigen berkurang.

Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung,

stroke atau kematian. Anemia yang disebabkan oleh perdarahan

bisa bersifat ringan sampai berat, dan gejalanya bervariasi. Anemia

bisa tidak menimbulkan gejala atau bisa menyebabkan:

a. pingsan

b. pusing

c. haus

d. berkeringat

e. denyut nadi yang lemah dan cepat

f. pernafasan yang cepat.

Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri

(hipotensi ortostatik). Anemia juga bisa menyebabkan kelelahan

yang luar biasa, sesak nafas, nyeri dada dan jika sangat berat bisa

menyebabkan kematian. Berat ringannya gejala ditentukan oleh

kecepatan hilangnya darah dari tubuh. Jika darah hilang dalam

waktu yang singkat (dalam beberapa jam atau kurang), kehilangan

sepertiga dari volume darah tubuh bisa berakibat fatal.

Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau

lebih lama lagi), kehilangan sampai dua pertiga dari volumer darah

tubuh bisa hanya menyebabkan kelelahan dan kelemahan atau

tanpa gejala sama sekali.

4. Manifestasi klinis menurut Brunner dan Suddart (2001):

a. Pengaruh yang timbul segera

Akibat kehilangan darah yang cepat terjadi reflek cardia

vaskuler yang fisiologis berupa kontraksi orteiola, pengurangan

Page 11: normokrom normositer

cairan darah atau komponennya ke organ tubuh yang kurang

vital (otak dan jantung). Gejala yang timbul tergantung dari

cepat dan banyaknya darah yang hilang dan apakah tubuh masih

dapat mengadakan kompensasi. Kehilangan darah 200 ml pada

orang dewasa yang terjadi dengan cepat dapat lebih berbahaya

daripada kehilangan darah sebanyak 3000ml dalam waktu yang

lama.

b. Pengaruh lambat

Beberapa jam setelah perdarahan terjadi pergeseran cairan

ekstraseluler dan intravaskuler yaitu agar isi iontravaskuler dan

tekanan osmotik dapat dipertahankan tetapi akibatnya terjadi

hemodilati. Gejala yang ditemukan adalah leukositosis (15.000-

20.000/mm3) nilai hemoglobin, eritrosit dan hematokrit merendah

akibat hemodilasi. Untuk mempertahankan metabolisme, sebagai

kompensasi sistem eritropoenik menjadi hiperaktif, kadang-

kadang terlihat gejala gagal jantung. Pada orang dewasa keadaan

hemodelasi dapat menimbulkan kelainan cerebral dan infark

miokard karena hipoksemia. Sebelum ginjal kembali normal akan

ditemukan oliguria atau anuria sebagai akibat berkurangnya aliran

ke ginjal.

5. Penatalaksanaan

Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan

beratnya anemia yang terjadi. Satu-satunya pengobatan untuk

kehilangan darah dalam waktu yang singkat atau anemia yang

berat adalah transfusi sel darah merah. Selain itu, sumber

perdarahan harus ditemukan dan perdarahan harus dihentikan.

Jika darah hilang dalam waktu yang lebih lama atau anemia tidak

terlalu berat, tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah

yang cukup untuk memperbaiki anemia tanpa harus menjalani

transfusi. Zat besi yang diperlukan untuk pembentukan sel darah

merah juga hilang selama perdarahan.

Page 12: normokrom normositer

Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan

tambahan zat besi, biasanya dalam bentuk tablet.

1.2.3 Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebakan adanya

peningkatan destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi

eritropoiesis sumsum tulang. Sel darah merah usianya sekitar 120 hari

tetapi pada anemia hemolitik usianya berkurang. Lisis dari sel darah

merah normal terjadi di makrofag sumsum tulang, hati dan lien.

A. Etiologi dan Klasifikasi

Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena 1) Defek

molekular hemoglobinopati atau enzimopati 2) Abnormalitas struktur dan

fungsi membran-membran 3) faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau

autoantibodi.

Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi :

1. Anemia hemolisis herediter,

yang termasuk kelompok ini adalah:

a) Defek enzim / enzimopati

1. Defek jalur Embden Meyerhof

1. Defisiensi piruvat kinase

2. Defisiensi glukosa fosfat isomerase

3. Defisiensi fosfogliserat kinase

2. defek jalur heksosa monofosfat

4. Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)

5. Defisiensi glutation reduktase

b) Hemoglobinopati

- Thalasemia

- Anemia Sickle cell

- Hemoglobinopati lain

c) Defek membran (membranopati) : sferositosis herediter

2. Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah:

Page 13: normokrom normositer

a) Anemia hemolisis imun, misalnya ; idiopatik, keganasan, obat-obatan,

kelainan autoimun, transfusi.

b) Mikroangiopati, misalnya ; Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP),

Sindroma Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular (KID),

preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik.

c) Infeksi, misalnya ; infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium

B. Patofisiologi

Defisiensi isozim piruvat kinase yang ditemukan dalam sel darah merah

menimbulkan anemia hemolitik. Piruvat kinase adalah enzim kunci dalam

glikolisis. Enzim ini mengkatalisis langkah akhir dan merupakan satu dari

dua enzim yang menghasilkan ATP. Defisiensi enzim ini pada sel darah

merah menyebabkan penimbunan zat antara glikolisis, termasuk 2,3-BPG.

Peningkatan kadar 2,3-BPG menurunkan afinitas hemoglobin terhadap

oksigen, dan secara parsial mengkompensasi penurunan kemampuan darah

mengangkut oksigen akibat penurunan jumlah sel darah merah. Jumlah sel

darah merah menurun karena penurunan pembentukan ATP mempengaruhi

pompa kation di membran sel. Ca2+ masuk ke dalam sel, sementara K+ dan

H2O keluar dari sel. Sel eritrosit mengalami dehidrasi dan difagositosis oleh

sel-sel di limpa. Umur eritrosit jadi lebih memendek. Seiring dengan

penurunan jumlah eritrosit, jumlah retikulosit meningkat. Retikulosit

berkembang menjadi sel darah merah baru.5

Defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase dapat mengakibatkan anemia

hemolitik, hemolisis disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. Selengkapnya

dapat dijelaskan pada gambar berikut :

Page 14: normokrom normositer

Gambar 9 : Glikolisis

1. Pemeliharaan integritas integritas membran eritrosit bergantung pada

kemapuan eritrosit menghasilkan ATP dan NADPH dari glikolisis.

2. NADPH dihasilkan dari jalur pentosa fosfat

3. NADPH digunakan untuk mereduksi glutation teroksidasi menjadi

glutation tereduksi, glutation penting untuk menyingkirkan H2O2 dan

peroksida lemak yang terbentuk oleh spesies oksigen reaktif (ROS)

4. pada eritrosit individu yang sehat, pembentukan ion superoksida yang

terjadi terus menerus dari oksidasi nonenzimatik hemoglobin merupakan

sumber spesies oksigen reaktif. Sistem pertahan glutation terganggu akibat

defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase, infeksi, obat-obatan tertentu, dan

glikosida purin pada buncis fava.

5. Akibatnya terbentuk badan Heinz (kumpulan hemoglobin yang

mengalami pengikatan silang) pada membran sel dan menyebabkan sel

mengalami stres mekanis sewaktu sel mencoba untuk mengalir melalui

kapiler yang sempit. Kerja ROS pada membran sel serta sters mekanis

akibat berkurangnya daya lentur (deformabilitas) menimbulkan hemolisis.

Pendeknya usia sel darah merah tidak selalu menyebabkan anemia

karena adanya kompensasi dengan peningkatan sel darah merah oleh

sumsum tulang. Jika destruksi sel darah masih dalam kapasitas sumsum

tulang untuk meningkatkan output, maka akan terjadi suatu keadaan

hemolitik tanpa anemia. Ini disebut sebagai compensated haemolytic

Page 15: normokrom normositer

disease. Sumsum tulang bisa meningkatkan outputnya sebanyak 6 hingga 8

kali lipat dengan meningkatkan proposi sel untuk eritropoiesis (erythroid

hyperplasia) dan dengan menambah volume untuk aktivitas sumsum tulang.

Ditambah dengan pelepasan prematur sel darah merah immatur (retikulosit).

Sel tersebut lebih besar dari sel yang matur dan mewarnai dengan biru muda

pada apus darah tepi. Hasil tersebut disebut sebagai polychromasia.

Retikulosit dapat dihitung secara akurat sebagai persentase dari semua sel

darah merah pada apus darah dengan menggunakan pewarnaan supravital

untuk RNA residual. (cth; methylene biru)

C. Lokasi Hemolisis

1. Hemolisis Ekstravaskular

Pada kebanyakan kondisi hemolitik, destruksi sel darah merah

adalah di ekstravaskular. Sel darah merah disingkirkan dari sirkulasi oleh

makrofag di RES, khususnya lien.

2. Hemolisis Intravaskular

Apabila sel darah merah terdestruksi dalam sirkulasi, hemoglobin

terlepas dan akan terikat pada haptoglobin plasma tetapi mengalami saturasi.

Hb plasma bebas yang banyak ini akan difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan

masuk ke urin, walaupun sebagian kecil direabsorbsi oleh tubulus renal.

Dalam sel tubular renal, Hb pecah dan terdeposit di sel sebagai

haemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi

methemoglobin, yang berpecah lagi menjadi globin dan ferrihaem.

Hemopexin plasma mengikat ferrihaem namun jika kapasitas pengikatannya

melebihi maka ferrihaem bersatu dengan albumin membentuk

methaemalbumin. Hati berperan penting dalam mengeliminasi Hb yang

terikat dengan haptoglobin dan haemopexin dan sisa Hb bebas.

C. Bukti hemolisis

Peningkatan destruksi sel darah merah menyebabkan;

1. peningkatan bilirubin serum (unconjugated)

2. kelebihan urobilinogen urin ( akibat pemecahan bilirubin di intestinal)

3. penurunan haptoglobin plasma

Page 16: normokrom normositer

4. kenaikan LDH serum

Peningkatan produksi sel darah merah menyebabkan ;

1. retikulositosis

2. hiperplasia eritroid dari sumsum tulang

Pada beberapa anemia hemolitik terdapat sel darah merah abnormal seperti ;

1. sferosit

2. sickle sel

3. fragmen sel darah merah

D. Tanda dan Gejala Klinis

Dapat asimptomatik, maupun akut dan berat. Pada bentuk berat dan

akut, pada umumnya berupa :

1. Mendadak mual, panas badan, muntah, menggigil, nyeri perut, pinggang

dan ekstrimitas, lemah badan, sesak nafas, pucat

2. Gangguan kardiovaskuler

3. BAK warna merah/gelap

Bentuk kronis, keluhan lemah badan berlangsung dalm periode

beberapa minggu sampai bulan. Bentuk asimptomatik biasanya tanpa gejala.

Bentuk sedang berat : pucat, subikterik, splenomegali, petekhie, purpura

(Sindrom Evan’s), hemolisis kongenital. Dapat terjadi komplikasi berupa

kolelitihiasis/kolesistitis, hepatitis pasca transfusi, hemokromatosis.

F. Diagnosis Banding

- Anemia pernisiosa

- Anemia defisiensi Fe stadium awal

- Anemia pasca perdarahan masif

- Eritroleukemi

- Anemia aplastik

- Myelofibrosis

G. Terapi

1. Tergantung etiologi

a) Anemia Hemolitik autoimun :

Page 17: normokrom normositer

- Glukokortikoid : Prednison 40 mg/m2 luas permukaan tubub (LPT)/hari.

Respon biasanya terlihat setelah 7 hari, retikulosit meningkat, Hb

meningkat 2-3 gr %/minggu. Bila Hb sudah mencapai 10 gr%, dosis

steroid dapat diturunkan dalam 4-6 minggu sampi 20 mg/m2 LPT/bari;

kemudian diturunkan salam 3-4 bulan. Beberapa kasus memerlukan

prednison dosis pemeliharaan 5-10 mg selang sehari

- Splenoktomi : pada kasus yang tidak berespon dengan pemberian

glukokortikoid

- Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan

splenoktomi

- Azatioprin : 80 mg/m2/hari, atau

- Siklofosfamid : 60-75 mg/m2/hari

- Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan. kemudian tappering off,

biasanya dikombinasikan dengan Prednison 40 mg/m2 LPT/hari. Dosis

prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3 bulan

- Obat imunosupresif intravena : 0,4 gr/kgBB/hari sampai 1 gr/kgBB/hari

selama 5 hari

- Danazol : 600-800 mg/hari, bila ada respon, dosis diturunkan menjadi 200-

400 mg/hari.

- Diberikan bersama dengan Prednison.

- Plasmaferes’s

b) Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan

c) Stop obat-obat yang diduga menjadi penyebab

d) Kelainan congenital, misalnya: Talasemia

Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr %

Desferal untuk mencegah penumpukan besi :

Diberikan bila serum Feritin mencapai 1000 μg/dL biasanya setelah

transfusi labu ke 12

Dosis inisial 20 mg/kgBB, diberikan 8-12 jam infus SC di dinding anterior

abdomen, selama 5 hari/minggu.

Diberikan bersama dengan 100-200 mg vitamin C per oral untuk

meningkatkan ekskresi Fe

Page 18: normokrom normositer

Pada keadaan pemunpukan Fe bcrat, terutama disertai komplikasi jantung

dan endokrin, deferoxamine diberikan 50 mg/kgBB secara infus kontinue

IV.

Sferositosis herediter.

Splenektomi, umur optimal 6-7 thn, Kl limfopeni, hipogamaglobulinemi

2. Bila perlu transfusi darah : washed red cell (pada hemolitik autoimun) atau

packed red cell

3. Pada hemolisis kronik diberikan Asam Folat 0,15-0,3 mg/hari untuk

mencegah krisis megaloblastik

4. HUS (Hemolytic Uremic Syndrome) :

Adanya Triad : Hemolitik mikroangiopati, trombositopeni, GGA

Terapi suportif, perhatikan kesimbangan cairan, transfusi (pertahankan Hb

9 gr%), jangan beri suspensi trombosit

Dialisis

5. TTP (Thrombotic Thrombocytopenic Purpura)

Adanya pentad : gangguan neurologik, anemia hemolitik, trombositopenia.

gangguan fungsi ginjal, demam.

Terapi : Kortikosteroid, prednison 200 mg/hari atau metil prednisolon 0,75

mg/kg IV tiap 12 jam, bila tidak ada respon, dilakukan plasmaferesis denuan

FFP 3-4 L/hari