67
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infark Miokard Non ST Elevasi (NSTEMI) 2.1.1 Definisi Merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner akibat dari trombosis akut atau proses vasokontriksi koroner. 2.1.2 Epidemiologi Penyakit arteri koroner (CAD) adalah penyebab utama kematian di amerika serikat. NSTEMI (Non ST- Elevation Miocardial Infarction) adalah salah satu manifestasi akut kondisi ini. Pada tahun 2004, pusat nasional untuk statistik kesehatan dilaporkan dirawat di rumah sakit 896.000 penderita infark miokard (MI). 2.1.3 Etiologi NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses vasokonstrikai koroner sehingga terjadi iskemia miokard dan dapat menyebabkakn nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. 5

NSTEMI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kasus kematian

Citation preview

Page 1: NSTEMI

BAB  II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infark Miokard Non ST Elevasi (NSTEMI)

2.1.1 Definisi

Merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh menurunnya suplai

oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh

obstruksi koroner akibat dari trombosis akut atau proses vasokontriksi koroner.

2.1.2 EpidemiologiPenyakit arteri koroner (CAD) adalah penyebab utama kematian di

amerika serikat. NSTEMI (Non ST-Elevation Miocardial Infarction) adalah salah

satu manifestasi akut kondisi ini. Pada tahun 2004, pusat nasional untuk statistik

kesehatan dilaporkan dirawat di rumah sakit 896.000 penderita infark miokard

(MI).

2.1.3 Etiologi

NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan

kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI

terjadi karena thrombosis akut atau proses vasokonstrikai koroner sehingga terjadi

iskemia miokard dan dapat menyebabkakn nekrosis jaringan miokard dengan

derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Kedaan ini tidak

dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun menyebabkan pelepasan penanda

nekrosis.

2.1.4 Faktor Risiko

1. Tidak dapat diubah

Umur

Seiring dengan bertambahnya umur, maka resiko penyakit

jantung akan meningkat, sama seperti penyakit-penyakit lainnya. Hal

ini terkait dengan kemungkinan terjadinya atherosclerosis yang makin

besar, terkait dengan deposit lemak serta elastisistas pembuluh darah

yang makin menurun seiring dengan bertambahnya umur.

5

Page 2: NSTEMI

Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-

44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Kadar kolesterol

pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur 20 tahun. Pada

laki-laki kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan

sebelum menopause ( 45-0 tahun ) lebih rendah dari pada laki-laki

dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar kolesterol

perempuan meningkat menjadi lebih tinggi dari pada laki-laki.

Jenis kelamin lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan

dengan wanita. Diduga karena pengaruh estrogen. Namun, setelah

wanita menopause, insidensi terjadinya hampir sama

Genetik terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas

arteria brakhialis, pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan

tunika media.

RasPerbedaan resiko PJK antara ras didapatkan sangat menyolok,

walaupun bercampur baur dengan faktor geografis, sosial dan

ekonomi. Di Amerika serikat perbedaan ras perbedaan antara ras

caucasia dengan non caucasia ( tidak termasuk Negro) didapatkan

resiko PJK pada non caucasia kira-kira separuhnya.

DietDidapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah

lemak di dalam susunan makanan sehari-hari ( diet ). Makanan orang

Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi

sehingga kadar kolesterol cendrung tinggi. Sedangkan orang Jepang

umumnya berupa nasi dan sayur-sayuran dan ikan sehingga orang

jepang rata-rata kadar kolesterol rendah dan didapatkan resiko PJK

yang lebih rendah dari pada Amerika.

. ObesitasObesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 %

pada lakilaki dan > 21 % pada perempuan . Obesitas sering didapatkan

bersama-sama dengan hipertensi, DM, dan hipertrigliseridemi.

Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol

. Resiko PJK akan jelas meningkat bila BB mulai melebihi 20 % dari

6

Page 3: NSTEMI

BB ideal. penderita yang gemuk dengan kadar kolesterol yang tinggi

dapat menurunkan kolesterolnya dengan mengurangi berat badan

melalui diet ataupun menambah exercise

2. Dapat diubah

Merokok

Merokok dapat memicu terjadinya aterosclerosis, melingkupi

meningkatnya proses oksidasi modifikasi dari LDL dan menurunkan

HDL dalam sirkulasi. Kelainan disfungsi endotel pembuluh darah

disebabkan karena jaringan tersebut mengalami hipoksia dan

peningkatan adhesi dari trombosit, peningkatan molekul leukosit dan

respon inflamasi stimulasi yang tidak sesuai dari nervus simpotikus

oleh nikotin dan perpindahan dari oksigen menjadi karbon monoksida

pada hemoglobin. Dari percobaan yang dilakukan pada hewan

merokok mempunyai konstribusi dalam terjadinya aterosklerosis.

Hipertensi

Kenaikan tekanan darah (sistolik atau diastolik) memperbesar

kemungkinan untuk beresiko aterosklerosis, peyakit jantung koroner

dan stroke. Hubungan kenaikan darah dengan penyakit kardiovaskular

tidak memperlihatkan hasil akhir yang baik. Lebih dari itu resiko akan

terus naik dengan nilai progresif yang tinggi. Tekanan sistolik

diprediksi menurunkan out come lebih nyata dari pada tekanan

diastolik terutama pada usia tua.

Hipertensi mungkin memicu aterosklerosis dengan berbagai

cara. Penelitian yang dilakukan pada bintang memperlihatkan

kenaikan tekanan darah dapat melukai endotel dan meningkatkan

permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga lipoprotein menjadi

lebih mudah untuk masuk ke dinding pembuluh darah tersebut.

Peningkatan hemodinamik stress dapat juga meningkatkan jumlah

reseptor scanvanger di makrofag, juga meningkatkan foam sel. Siklus

rantai circum ferential, dapat meningkatkan tekanan arteri yang dapat

7

Page 4: NSTEMI

meningkatkan produksi sel otot polos yang mengikat proteoglikan dan

menahan partikel LDL, memacu akumulasi di tunika intima dan

memfasilitasi perubahan oksidatif. Angiotensin II adalah sebuah

mediator hipertensi tidak hanya sebagai vasokontriktor tetapi juga

sebagai sitokin pro-inflamasi. Dengan demikian hipertensi juga dapat

menimbulkan proses aterogenesis yang melibatkan proses inflamasi.

Diabetes mellitus

Diabetes meningkatkan resiko terjadinya aterosklerosis dan

orang dengan diabetes melitus memiliki 2-3 kali peningkatan

kemungkinan terjadi gangguan pada kardiovaskular. Mekanismenya

bisa berhubungan dengan non-enzim glycation dari lipoprotein pada

pasien diabetes (hal tersebut berhubungan dengan besarnya ambilan

kolesterol oleh makrofag scavenger) atau kecenderungan protrombotik

dan anti fibrinolitik. Keadaan tersebut mungkin banyak terjadi pada

pasien dengan kondisi ini.

Seseorang dengan diabetes seringkali memiliki fungsi endotel

yang lemah ini dapat diukur dari menurunnya bioavailabilitas dari NO

dan meningkatnya perlekatan leukosit. Contoh : kadar serum glukosa

yang terjaga pada pasien diabetes mengurangi resiko komplikasi

mikrovaskuler antaralain seperti retinophati dan neprophaty.

Diabetes tipe- II adalah bagian tersering dalam syndrom

metabolik dalam hal ini berhubungan dengan hipertensi, kadar lemak

yang abnormal (hipertrigliserida, HDL rendah, partikel LDL padat)

dan bertambahnya ukuran lingkar perut. Pada diabetes terjadi

resistensi insulin pada sel-sel perpheral dan mendorong terjadinya

aterosklerosis.

Dislipidemia

Dislipidemia adalah keadaan terjadinya peningkatan kadar

LDL kolesterol dalam darah atau trigliserida dalam darah yang dapat

disertaipenurunan kadar HDL kolesterol. Jumlah lipid yang abnormal

8

Page 5: NSTEMI

dalam sirkulasi menjadi bukti tetap dan terbesar sebagai faktor risiko

utama terhadap perkembangan arterosklerosis.Menurut studi

Framingham menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung iskemik

meningkat seiring dengan total kolesterol serum yang tinggi. Risiko

penyakit jantung koroner meningkat kira-kira dua kali lipat pada

individu yang level total kolesterolnya 240 mg/dL dari pada individu

yang level kolesterolnya 200 mg/dL.

Normalnya, kandungan kolesterol intraseluler dipertahankan

dengan memperketat regulasi asupan kolesterol, sintesis de novo,

penyimpanan, dan membuangnya dari sel. Enzim HMG CoA

reductase adalah langkah untuk membatasi biosintesis kolesterol

intraseluler dan dikontrol oleh reseptor terkait endositosis dari partikel

LDL sirkulasi. Level kolesterol yang tinggi dapat menghambat enzim

HMG CoA reduktase dan sinyal sel untuk mengurangi produksi

reseptor LDL. Jumlah kolesterol intraseluler yang cukup pada sel

perifer selalu dipicu oleh peningkatan produksi Cholesterol efflux

regulatory protein (CERP), produk yang baru-baru ini teridentifikasi

adalah gen ATP binding Cassette 1 (ABC A-1). CERP memediasi

transfer kolesterol membran ke partikel HDL, yang mengirim

kolesterol berlebih kembali ke hati dalam proses yang dikenal sebagai

transport balik kolesterol. Dengan kemampuan ini dapat membuang

lipid intraseluler, HDL melindungi lagi akumulasi lipid, dan level

HDL serum berbanding terbalik dengan kejadian penyakit

arterosklerotik. HDL sering juga disebut sebagai “ kolesterol baik.”

Sebaliknya, jumlah LDL yang tinggi berhubungan dengan

meningkatnya kejadian arterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler.

Saat jumlahnya berlebihan, LDL dapat terakumulasi di rongga

subendothelial dan mengalami modifikasi kimia dan merusak tunika

intima mengakibatkan perkembangan arterosklerosis. LDL sering

disebut juga “ Lemak Jahat.“

9

Page 6: NSTEMI

2.1.5 Patofisiologi

Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang

kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis

ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-

kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen

menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat

penyumbatan terjadi.

Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II,

hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan

aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury

bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi

molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator,

anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru

meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang

berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel.

Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi.

Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di

sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol

LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel

busa (foam cell). Makrofag dan trombosit melepaskan faktor pertumbuhan

sehingga menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika

intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi

ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari

lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar

menyebabkan terbentuknya trombosis. Makrofag dan limfosit T melepaskan

metaloprotease dan sitokin sehingga melemahkan selubung fibrosa. Hal ini

mengakibatkan ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan

yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri.

Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi

plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi,

menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark

10

Page 7: NSTEMI

miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan

keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri

koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya.

Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan

miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis,

biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung

menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang

disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan

kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi.

Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme,

fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa

menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam

lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel

menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi

membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit.

Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan

oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20

menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark

miokard.

Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri

koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).

Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena

dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan

kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat.

Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang

disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur

plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi

menyeluruh lumen arteri koroner.

Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial

(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner

11

Page 8: NSTEMI

yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot

jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark

miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian

nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda.

2.1.6 Diagnosis IMA tanpa ST elevasi (NSTEMI)

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang epigastrium dengan

ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa

penuh, berat atau tertekan menjadi manifestasi gejala yang sering ditemui pada

NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka

yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat memiliki prognosis lebih

baik jika dibandingkan dengan yang nyeri dada pada saat istirahat.Walaupun

gejala khas rasa tidak enak di dada, iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan

baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di

lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih

besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.

a. Anamnesis

Diagnosis adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan

didasarkan pada tiga kriteria, yaitu gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran

EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada

tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak

nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA.

Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu

membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan penanda

awal dalam pengelolaan pasien SKA. Sifat nyeri dada yang spesifik angina

sebagai berikut:

• Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial

• Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,

seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

• Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung atau

interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.

12

Page 9: NSTEMI

• Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,

dan lemas.

Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan Angina

Pektoris Tidak Stabil /NSTEMI dan STEMI berdasarkan gejala semata-

mata.

Presentasi klinis klasik SKA tanpa elevasi segmen ST berupa:

angina saat istirahat lebih dari 20 menit (angina at rest)

angina yang dialami pertama kali dan timbul saat aktivitas yang lebih

ringan dari aktivitas sehari-hari (new onset angina)

peningkatan intensitas, frekuensi dan durasi angina (angina kresendo)

angina pasca infark

Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri

akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek,

rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama

pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih

besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar

tidak terjadi kesalahan diagnosis atau bahkan sampai tidak terdiagnosis/ under

estimate .

b. Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor

pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari SKA. Keadaan disfungsi

ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk.

c. Elektrokardiografi

EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang

dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari

EKG adalah :

1. Depresi segmen ST > 0,05 mV (1/2 kotak kecil)

2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV (2 kotak kecil) inversi

gelombang T yang simetris di sandapan prekordial

Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia

jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya

13

Page 10: NSTEMI

perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan

diagnosis APTS/NSTEMI.

Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan

kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut,

dengan berbagai ciri dan kategori:

• Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa

inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri,

tidak dijumpai gelombang Q.

• Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T

d. Penanda Biokimia Jantung

Penanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT)

mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CK-MB. Troponin T juga

didapatkan selama jejas otot, pada penyakit otot (misal polimiositis), regenerasi

otot, gagal ginjal kronik. Hal ini dapat mengurangi spesifisitas troponin T

terhadap jejas otot jantung. Sehingga pada keadaan-keadadan tersebut, troponin T

tidak lagi dapat digunakan sebagai penanda biokimia.Troponin C, TnI dan TnT

berkaitan dengan kontraksi dari sel miokard. Susunan asam amino dari Troponin

C sama antara sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda.

Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark

miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari adalah sama. Kadar serum

creatinine kinase (CK) dengan fraksi MB merupakan indikator penting dari

nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua penanda tersebut adalah relatif

rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam) setelah onset serangan.

Risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segmen ST elevasi lebih besar pada

pasien dengan peningkatan nilai CKMB

Diagnosis NSTEMI ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu

Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan

pemberian nitrat biasa.

Perubahan elektrokardiografi (EKG)

14

Page 11: NSTEMI

Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai

dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non

STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,

gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan

EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu

dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan

lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten

(<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada

STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat

dugaan Non STEMI.

Peningkatan petanda biokimia.

Pada NSTEMI iskemia yang terjadi cukup berat sehingga terjadi

kerusakan miokard yang ditandai dengan peningkatan enzim penanda

biokimia jantung (CKMB-Troponin).

Tabel 1. perbedaan antara angina tak stabil, NSTEMI dan STEMI :

2.1.6 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan pada pasien sindrom koroner akut adalah untuk

mengontrol simtom dan mencegah progresifitas dari SKA, atau setidaknya

mengurangi tingkat kerusakan miokard. Terapi untuk SKAsebagai berikut :

1. Terapi untuk mengurangi area infark pada miokard

15

Page 12: NSTEMI

Terapi ini bertujuan untuk mencegah meluasnya area infark pada miokard.

Terapi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan

pemberian :

Aspirin

Aspirin berfungsi sebagai penghambat aktivitas cyclooxygenase

(COX) pada platelets. Akibatnya platelet tidak dapat menghasilkan

thromboxane A2sehingga menghambat agregasi platelet. Selain itu

aspirin juga berpengaruh pada proses perjalanan penyakit unstable

angina. Dosis yang diberikan kepada pasien sekitar 75 – 300 mg/hari.

Aspirin memiliki efek samping berupa gangguan pada gastrointestinal.

Clopidogrel

Clopidogrel merupakan thienooyridine yang menghambat

adenosine diphospate – mediated platelet activation. Obat anti platelet

jenis ini bersinergi dengan aspirin karena sama – sama bekerja pada

jalur asam arakhidonat. Clopidogrel direkomendasikan sebagai pilihan

antiplatelet pada pasien yang tidak toleran terhadap aspirin, dan juga

digunakan sebagai agen antiplatelet adjunctive selain aspirin (terapi

antiplatelet ganda).

Pada percobaan menunjukkan bahwa penambahan clopidogrel

pada terapi aspirin mengurangi kejadian kematian kardiovaskular,

infark miokard, atau stroke. Clopidogrel kurang efektif dalam

mencegah perdarahan, sehingga kurang tepat diberikan pada pasien

pasca operasi seperti CABG. Dosis awal diberikan 300mg dilanjutkan

dengan 75 mg/hari.

Glikoprotein Iib/Iiia (Gp Iib/Iiia)

GP IIB/IIIA merupakan reseptor yang bekerja mengaktivasi membrane

platelet. GP IIB/IIIA juga menghambat agregasi platelet terutama

setelah dilakukan PCI.

Heparin

Prinsip penghambatan oleh heparin terjadi pada tahap koagulasi.

Dimana pada saat itu terjadi penghambatan thrombin yang

16

Page 13: NSTEMI

mengaktivasi factor V dan VIII.Pada penderita angina tak stabil dan

NSTEMI dapat di berikan unfractionated heparin untuk dosis awal 60

U per kg (maksimum 4000-5000 U) dilanjutkan dengan infus awal 12-

15 U per kg per jam (maksimum 1000 U/JAM). Target normogram

terapi adalah aPTT adalah1,5 – 2,5 kali nilai aPTT normal atau tingkat

optimal 50-75 detik. Sangat dibutuhkan pencapaian target terapi ini.

pengukuran dilakukan berulang jika terdapat perubahan dosis UFH,

biasanya setelah 6 jam pemberuan UFH dengan dosis baru. Selama

pemeberian UFH sebainya dilakukan pemeriksaan darah lengkap

untuk pengawasan terjadinya anemia dan trombositopenia. Salah satu

kontra indikasi obat ini adalah bila ada riwayat heparin induced

thrombocytopenia

2. Terapi untuk tanda dan gejala iskemik yang muncul

Gejala iskemik yang muncul pada kasus NSTEMI sering

berupa unstable angina. Untuk mengurangi angina dapat diberikan

beberapa obat berikut :

Nitrogliserin

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan

dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan

interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga

dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan

menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen

miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena

infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus

berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG intravena

juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema

paru. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan

darah sistolik < 90mm Hg atau pasien yang dicurigai menderita

infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP

meningkat, paru bersih dan hipotensi).

17

Page 14: NSTEMI

Pertama kali diberikan nitrogliserin sublingual jika pasien

mengalami nyeri dada, jika nyeri dada menetap maka diberikan

nitrogliserin iv (mulai 5-10ug/menit). Laju infus dapat

ditingkatkan 10ug/menit tiap 3-5menit sampai keluhan

menghilang.

Beta blocker

Beta blockers menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung

dengan cara menurunkan frekuensi denyut jantung, tekanan

darah dan kontraktilitas. Suplai oksigen meningkat karena

penurunan frekuensi denyut jantung sehingga perfusi koroner

membaik saat diastol.

Pada penderita STEMI ketika berada di ruang emergensi,

jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada pemberian β-

bloker secara intravena mungkin efektif. Regimen yang biasa

diberikan adalah metoprolol 5mg setiap 2-5 menit sampai total

3 dosis, dengan syarat, frekuensi jantung >60 menit, tekanan

darh sistolik >100mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki

tidak lebih dari 10cm dari diagfragma. 15menit setelah dosis

intravena terakhir di lanjutkan denganmetoprolol oral dengan

dosis 50mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100mg

tiap 12 jam.

Calsium Channel Blocker

Pada angina tak stabil antagonis kalsium dapat di gunakan

sebagai tambahan, karena efek relaksasi terhadap vasospasme

pembuluh darah pada angina tak stabil. Pada penderita

NSTEMI antagonis kalsium dapat menghilangkan keluhan pada

pasien yang sudah mendapat nitrat dan β-bloker; juga berguna

pada pasien dengan kontra indikasi β-bloker.

Selain terapi diatas dapat juga diberikan terapi berupa Coronary

Artery Bypass Grafting (CABG) atau Percutaneus Coronary Intervention

(PCI).

18

Page 15: NSTEMI

Komplikasi

Keadaan NSTEMI dapat berkembang menjadi keadaan STEMI,

sehingga menimbulkan komplikasi seperti :

Aritmia

Disritmia

Defek septum ventrikel

Ruptur jantung

Aneurisma ventrikel

Tromboembolisme

Gagal jantung

Hasil iskemia jantung akut pada gangguan kontraktilitas ventrikel

(disfungsi sistolik) dan kekakuan miokard meningkat (disfungsi

diastolik), yang keduanya dapat menyebabkan gejala gagal jantung.

Selain itu, remodelling ventrikel, aritmia, dan komplikasi mekanik

MI akut (dijelaskan di bawah) dapat berujung pada gagal jantung.

Tanda dan gejala dekompensasi tersebut meliputi dyspnea, rales

paru, dan suara jantung ketiga (S3).

Shock kardiogenik

Syok kardiogenik adalah kondisi dari output jantung sangat

menurun dan hypotension (tekanan darah sistolik <90 mmHg)

dengan perfusi jaringan perifer tidak memadai, yang terjadi ketika

lebih dari 40% dari massa LV telah infark. Hal ini juga dapat

mengikuti komplikasi mekanik parah MI dijelaskan di bawah ini :

1. Hipotensi menyebabkan perfusi koroner menurun, yang

memperburuk kerusakan iskemik

2. Menurunnya stroke volume meningkatkan ukuran LV dan

karena itu menambah kebutuhan oksigen miokard. Meskipun

perlakuan agresif, angka kematian pasien dalam syok kardiogenik

lebih besar dari 70%.

19

Page 16: NSTEMI

Tatalaksana kasus

a. Infus Ringer Laktat

Osmolaritas cairan mendekati serum, sehingga mudah untuk masuk ke

pembuluh darah dan lebih cepat menggantikan kehilangan cairan tubuh.

Kristaloid dengan mudah didistribusi ke cairan ekstraseluler, hanya sekitar

20% elektrolityang diberikan akan tinggal di ruang intravaskuler.

KomposisiNa (130 mEq/L), Cl (109 mEq/L), Ca (3 mEq), dan laktat (28

mEq/L). RL juga banyak dugunakan sebagai replacement therapy. Memiliki

resiko terjadinya overload, khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif

dan hipertensi.

b. ISDN 3x5mg

Indikasi :

Pengobatan pada angina pektoris, IMA dengan gagal jantung kiri, Terapi

pemeliharaan pasca infark miokard. Infark miokard baru dengan gagal

jantung kiri. Gagal ventrikel kiri akut dengan edem pulmoner, cor pulmonale

kronik.

Kontraindikasi :

TD sangat rendah & kegagalan sirkulasi darah akut; infark miokard akut dg

tekanan pengisian yg rendah, anemia, trauma kepala, perdarahan serebral,

hipotensi atai hipovolemia berat.

ESO : Sakit kepala, vasodilatasi kutaneus, hipotensi postural.

Dosis : tab 5 mg 3-4 kali sehari saat adanya serangan angina

c. Diazepam

Indikasi : jangka pendek pada gejala ansietas. Sebagai terapi tambahan

untuk meringankan spasme otot rangka karena inflamasi atau trauma

Dosis : terapi ansietas 2-10mg, 2-4x sehari

Pemberian obat : setelah makan

Kontra I : anak usia < 6bulan, ibu hamil dan menyusui, depresi nafas

ESO : Mengantuk,ataksia. kelelahan Erupsi pada kulit. edema, mual dan

konstipasi, gejala-gejala ekstra pirimidal. jaundice dan neutropenia.

20

Page 17: NSTEMI

d. Bisoprolol

Bisoprolol adalah zat penyekat (blocking) adrenoreseptor S, selektif

(kardioselektif) sintetik tanpa aktivitas stabilisasi membran yang signifikan

atau aktivitas simpatomimetik intrinsik pada dosis terapi. Namun demikian,

sifat kardioselektivitasnya tidaklah mutlak, pada dosis tinggi ( >20 mg)

bisoprolol fumarate juga menghambat adrenoreseptor p2 yang terutama

terdapat pada otot-otot bronkus dan pembuluh darah; untuk mempertahankan

selektivitasnya, penting untuk menggunakan dosis efektif terendah.

Farmakodinamik :

Mekanisme kerja antihipertensi dari bisoprolol belum seluruhnya diketahui.

Faktor-faktor yang terlibat adalah :

1. Penurunan curah jantung

2. Penghambatan pelepasan renin oleh ginjal.

3. Pengurangan aliran tonus simpatis dari pusat vasomotor pada otak.

Pada orang sehat, pengobatan dengan bisoprolol menurunkan kejadian

takikardia yang diinduksi oleh aktivitas fisik dan isoproterenol. Efek

maksimum terjadi dalam waktu 1-4 jam setelah pemakaian. Efek

tersebut menetap selama 24 jam pada dosis >5 mg. Penelitian secara

elektrofisiologi pada manusia menunjukkan bahwa bisoprolol secara

signifikan mengurangi frekuensi denyut jantung, meningkatkan waktu

pemulihan sinus node, memperpanjang periode refrakter AV node dan

dengan stimulasi atrial yang cepat, memperpanjang konduksi/W node.

Bisoprolol juga dapat diberikan bersamaan dengan diuretik tiazid.

Hidroklorotiazid dosis rendah (6,25 mg) digunakan bersamaan dengan

bisoprolol fumarate untuk menurunkan tekanan darah pada penderita

hipertensi rengan sampai sedang.

e. Clopidrogel

Indikasi

Mengurangi kejadian atherosclerotic (myocardial infarction, stroke,

kematian pembuluh darah) pada pasien dengan atherosclerosis dibuktikan

21

Page 18: NSTEMI

oleh myocardial infarction (MI) yang belum lama berselang terjadi, stroke

yang belum lama berselang terjadi, atau penyakit arterial peripheral yang

sudah terbukti; sindrom coronary akut (angina tidak stabil atau MI non-Q-

wave) yang terkontrol secara medis atau melalui percutaneous coronary

intervention/PCI (dengan atau tanpa stent)

Kontra-indikasi

Hipersensitivitas terhadap clopidogrel atau komponen lain dari

formulasinya; perdarahan patologis aktif seperti PUD atau hemoragi

intrakranial; gangguan koagulasi; active peptic ulcer (tukak lambung aktif).

Bentuk sediaan: Tablet 75 mg

Dosis

Oral, dewasa: myocardial infarction (MI) yang belum lama berselang

terjadi, stroke yang belum lama berselang terjadi, atau penyakit

arterial peripheral yang sudah terbukti: satu kali sehari satu tablet 75

mg

Sindrom coronary akut: initial: loading dose 300 mg; diikuti dengan

satu kali sehari satu tablet 75 mg (dikombinasikan dengan aspirin 75-

325 mg satu kali sehari satu tablet).

Pencegahan penutupan coronary artery bypass graft (saphenous vein):

pasien dengan alergi terhadap aspirin: dosis loading: 300 mg 6 jam ;

dosis maintenance: 50-100 mg/hari

f. Ranitidin

histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin secara

kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. 

Dosis :

Injeksi i.m. : 50 mg (tanpa pengenceran) tiap 6 – 8 jam.

g. Sukralfat

Indikasi

Benign Gastric, tukak duodenal, gastritis kronis, Profilaksis tukak akibat

stres.

Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian

22

Page 19: NSTEMI

Dosis dewasa :

Pengobatan Tukak duodenal : 1 gram per oral sehari empat kali atau 2

gram sehari dua kali selama 4-8 minggu.

Perawatan Tukak duodenal : 1 gram per oral sehari dua kali.

Perawatan Tukak peptik : 1 gram per oral sehari dua kali.

Profilaksis tukak akibat stres : 1 gram secara nasogastrik atau per oral

setiap 6 jam.

Farmakologi

Absorpsi : setelah pemberian oral, Sukralfat diabsorpsi dalam jumlah kecil

dari saluran cerna, kemungkinan disebabkan karena polaritas yang tinggi

dan kelarutan yang rendah dari Sukralfat pada saluran cerna.2,7

Bioavailabilitas oral (lokal) : komponen disakarida 5%, aluminium <

0.02%. (1)

Distribusi (2) : distribusi ke dalam jaringan dan cairan tubuh setelah

absorpsi sistemik belum ditentukan. Studi pada hewan, volume distribusi

kurang lebih 20% dari berat badan.

Ekskresi (1,2) : Sukralfat bereaksi dengan asam klorida dalam saluran

cerna, membentuk sukrosa sulfat yang tidak dimetabolisme.

Efek Samping

Konstipasi (paling sering, sekitar 2%).   mual, muntah, kembung, mulut

kering, gatal-gatal, sakit kepala, insomnia, diare (sangat jarang, < 1%)

2.2. EMBOLI PARU

2.2.1 ETIOLOGI        

Penyebab emboli paru terbanyak adalah trombus  terutama berasal dari

vena dalam.2,4  Material lain juga bisa masuk sirkulasi darah seperti sel atau

fragmen tumor, lemak, cairan amnion, udara dan benda asing.2        

Berbagai faktor resiko dapat menyebabkan terjadinya emboli paru, seperti

faktor herediter trombofilia  dan faktor yang didapat. Faktor herediter trombofilia

ini sekitar   24 - 37% dari semua tromboemboli vena. Herediter trombofilia

23

Page 20: NSTEMI

merupakan akibat defek dari faktor inhibitor koagulan (antitrombin, protein C,

protein S), peningkatan level atau fungsi faktor koagulan (activated protein C

resistance, factor V leiden mutation, prothrombin  gene mutation, elevated factor

VIII levels). Faktor  resiko yang didapat lebih banyak ditemukan daripada

herediter. Faktor yang didapat seperti bedah atau trauma, umur, kehamilan,

keganasan, obesitas, kontrasepsi hormon, immobilisasi yang lama, gagal jantung

kongestif, aterosklerotis kardiovaskuler, PPOK dan varises. 4

           

2.2.2. PATOFISIOLOGI

            Ruldoph Virchow yang pertama kali mendeskripsikan fenomena emboli

dan trombus pada tahun 1856 dan mengidentifikasi  tiga  faktor yang berperan

utama dalam terjadinya emboli paru yang disebut Virchow’s Triad yaitu : dikutip dari

2,3,10

a.       Stasis aliran darah vena

b.      Hiperkoagulabel

c.       Trauma vaskuler  yang menyebabkan kerusakan endotelium

Beberapa faktor resiko terjadinya emboli paru berdasarkan Virchow’s Triad

seperti :3

1.      Stasis aliran vena : immobilisasi, tirah baring, anestesi, gagal jantung kongestif,

Cor Pulmonale, PPOK

2.      Hiperkoagulabel : keganasan, sindrom nefrotik, terapi estrogen, heparin induced

thrombositopenia, dessiminated intravascular coagulation, defesiensi protein C,

defesiensi Protein S, defisiensi antitrombin III

3.      Kerusakan endotel vaskuler : trauma, bedah

Efek fisiologik dan konsekuensi klinis dari emboli paru sangat bervariasi, mulai

asimptomatis sampai kolaps hemodinamik dan kematian. Faktor utama yang

menentukannya adalah : 3

1.      Ukuran dan lokasi emboli

2.      Adanya penyakit kardiopulmonari yang bersamaan

3.      Pelepasan mediator humoral sekunder dan respon hipoksik vaskuler

4.      Kecepatan perbaikan emboli

24

Page 21: NSTEMI

Hipoksemia merupakan akibat yang umum terjadi pada emboli paru.

Obstruksi pembuluh darah paru mengakibatkan hambatan aliran darah dari vena

sistemik mencapai kapiler paru.  Hal ini menyebabkan  peningkatan shunting intra

pulmoner, ketidaksamaan ventilasi-perfusi (V/Q) dan penurunan kadar O2 vena.

Selanjutnya,  shunting dan peningkatan ruang rugi alveolar dapat terjadi akibat

perdarahan alveolar atau atelektasis yang berhubungan dengan berkurangnya

surfaktan. Konstriksi bronkiolus terminal dapat meningkatkan ruang rugi alveolar

akibat dari hipokapnia dan pelepasan substansi vasokonstriktor dari agregasi

platelet dan sel mast.  Walaupun terjadi peningkatan ruang rugi alveolar, pasien

dengan emboli paru biasanya terjadi hipokapnia. Hal ini diduga karena  hipoksia

yang disebabkan oleh stimulasi reflek fagal intrapulmoner dengan menghasilkan

hiperventilasi. Akhirnya terjadi hipoksemia merupakan petunjuk peningkatan

simpatik sehingga menyebabkan vasokontriksi sistemik. Pasien yang tidak

mempunyai penyakit kardiopulmoner akan memberi respon kompensasi dengan

meningkatkan venous return dan stroke volume. Kemudian, emboli akan

meningkatkan tekanan atrium kanan.3,4,10

Emboli paru bisa menyebabkan terjadinya infark paru (walaupun kasusnya

jarang), karena terjadi kerusakan parenkim paru. Infark terjadi sekitar 20% karena

kerusakan aliran arteri bronkial dan saluran nafas yang nyata.3,11

Respon hemodinamik terhadap emboli paru berhubungan dengan

cadangan hemodinamik dan respon adaptasi kompensasi. Setelah melewati

jantung kanan, trombus/embolus menyumbat arteri pulmonalis utama atau bagian

distal percabangannya sampai menyebabkan perubahan hemodinamik. Emboli

paru akut merangsang pelepasan substansi vasoaktif yang kemudian menghasilkan

peningkatan resistensi vaskuler paru dan afterload ventrikel kanan. Karena

peningkatan afterload ventrikel kanan, menyebabkan peningkatan tekanan

dinding ventrikel kanan sehingga terjadi dilatasi ventrikel kanan dan hipokinesis

yang akhirnya menyebabkan disfungsi ventrikel kanan, regurgitasi trikuspidal,

dan gagal ventrikel kanan.4,5,10

Jika tidak ada penyakit kardiopulmonari sebelumnya, obstruksi < 20%

pembuluh darah paru mengakibatkan gangguan hemodinamik yang minimal.

25

Page 22: NSTEMI

Ketika obstruksi 30 – 40%, kenaikan tekanan ventrikel kanan sudah terjadi tapi

curah jantung masih dipertahankan melalui peningkatan denyut jantung dan

kontraktilitas miokard.  Mekanisme kompensasi mulai gagal bila obstruksi arteri

pulmonalis melebihi 50 – 60%. Curah jantung mulai berkurang dan tekanan

atrium kanan meningkat sehingga terjadi gangguan hemodinamik yang nyata.3

Satu dari komponen trias virchow (stasis, hiperkoagulabilitas dan cedera

intimal), menggambarkan hampir semua pasien dengan emboli paru. Risiko

penyakit meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Faktor idiopatik ikut

terlibat dalam salah satu faktor yang menyebabkan keadaan protrombotik.

Trombosis vena dalam paling sering berasal dari vena yang berasal dari tungkai

bawah dan biasanya menyebar ke bagian proksimal sebelum akhirnya mengalami

embolisasi. Ada beberapa emboli yang berasal langsung dari trombus vena yang

terdapat di tungkai bawah, sekitar 95% trombus mengalami embolisasi ke paru-

paru dan melepaskan diri dari vena dalam bagian proksimal bagian bawah kaki

( termasuk bagian atas vena poplitea). Trombosis yang berkembang di vena

subklavia aksilaris disebabkan oleh munculnya kateter pada vena sentral, biasanya

terdapat pada pasien dengan penyakit yang ganas dan trombosis pada ekstremitas

atas yang diinfuksi oleh aktivitas. Kejadian hipoksemia menstimulasi saraf-saraf

simpatik yang mengakibatkan vasokonstriksi di pembuluh-pembuluh darah

sistemik, meningkatkan vena balik dan strok volume. Pada emboli yang masih

masif, kardiak output biasanya berkurang akan tetapi terus-menerus meningkat

tekanan pada atrium kanannya. Peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal

menghalangi aliran darah ventrikel kanan sehingga mengurangi beban dari

ventrikel kiri. Sekitar 25% hingga 30% oklusi dari vaskular oleh emboli

berhubungan dengan peningkatan tekanan di arteri pulmonalis. Dengan keadaan

lebih lanjut seperti obstruksi pembuluh darah, hipoksemia yang memburuk,

stimulasi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Lebih dari

50% obstruksi yang terdapat pada arteri pulmonalis biasanya muncul sebelum

terdapat peningkatan yang besar dari tekanan arteri pulmonalis. Ketika obstruksi

yang terdapat pada sirkulasi arteri pulmonalis makin membesar, ventrikel kanan

harus menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 50mmHg dan rata-rata tekanan

26

Page 23: NSTEMI

arteri pulmonalis lebih dari 40 mmHg untuk mempertahankan perfusi pulmonal.

Pasien dengan penyakit kardiopulmonal sering terjadi kerusakan substansial pada

kardiak outputnya dibandingkan dengan orang dengan kondisi tubuh yang normal.

Gambar 1. Patofisiologi emboli paru

2.2.3 DIAGNOSIS           

Menegakkan  diagnosis   emboli paru merupakan sebuah tantangan yang

sulit. Tanda klinis yang muncul seperti dispnea atau nyeri dada tidak spesifik dan

dapat merupakan manifestasi penyakit lain seperti infark miokard atau

pneumonia. Banyak pasien dengan penyakit tromboemboli mempunyai gejala

tidak spesifik dan diagnosis lebih sulit lagi jika disertai penyakit gagal jantung

kongestif atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).4,7  Emboli paru bahkan

bisa tanpa gejala dan kadang didiagnosis dengan prosedur diagnosis yang

dilakukan untuk tujuan lain. 9

27

Page 24: NSTEMI

2.2.3. 1. Manifestasi Klinis :

 Emboli paru bisa dipikirkan bila ditemukan satu dari tiga sindrom klinik,

yaitu: 3

a.       Dispnea

b.      Nyeri pleura atau hemoptisis

c.       Kollap sirkulasi

Dispnea merupakan gejala yang sering muncul (walaupun ada sekitar 25%

yang tidak muncul dispnea), diikuti dengan nyeri pleura, hemoptisis. Gejala lain

seperti pembengkakan atau nyeri tungkai.3,12  Pada pemeriksaan fisik ditemukan

takipnea (frekuensi nafas > 20 kali/menit), takikardi, ronki, deman.7,12   

Mengenai gejala dan tanda emboli paru dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel

2 dari dua sumber berbeda. Tes probabiliti dapat digunakan untuk menilai

kemungkinan emboli paru. Ada 2 macam tes yang biasa digunakan yaitu sistem

skor menurut Wells dan Genewa seperti yang dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 2. Frekuensi gejala dan tanda emboli paru akut dikutip dari  4

Gejala                                                              Frekuensi (%)Dispnea                                                                       73

Nyeri pleuritik                                                            66

Batuk                                                                          37

Leg swelling                                                             33

    Batuk darah                                                              13

Mengi 6

Tanda   Frekuensi (%)

Frekuensi nafas  ≥ 20x/menit                                     70

Ronkhi   51

Frekuensi jantung ≥ 100 x/menit                            30

Bunyi jantung 3 atau 4                                           26

Suhu  > 38,5 ºC                                                         7

                                                     

28

Page 25: NSTEMI

  Tabel 3. Frekuensi gejala dan tanda emboli paru dikutip dari 3

Gejala Emboli Paru Masif (%) Emboli Paru sub Masif (%)

Di Dispnea                      85 82

Nyeri pleura                      64 85

Batuk                                53 52

Batuk darah                     23 40

Takipneu 95 87

Takikardi     48 38

Bunyi P2

meningkat              

58 45

Ronki                               57 60

Plebitis   36 26

Tabel 4. Sistem skoring Wells dan Genewa untuk menilai kemungkinan Emboli Parudikutip dari 4

Skor Wells  Poin  Skor Genewa        PoinAdanya riwayat VTE*        1,5       

           Adanya riwayat VTE* 2

     Denyut jantung >100x/menit   1,5                  

Denyut jantung >100x/menit 1

Se Setelah tindakan bedah atau imobilsasi 

1,5 Setelah tindakan bedah 3

Gejala DVT**                         3 Umur (tahun)Al Alternatif diagnosis lain

sedikit                               3 60 - 79                                      1

Hemoptisis 1  ≥80                                          2Keganasan    1 PaCO2Atelektasis 1 <36 mmHg                               2Elevasi Diafragma 1   36 - 38,9                                 1

PaO2 <48,7 mmHg                          4 48,7 - 59,9                              3 60 - 71,2                                  2 71,3 - 82,4                            1

*Venous Thromboemboli**Deep Venous Thromboemboli

29

Page 26: NSTEMI

Penilaian berdasarkan sistem skor Wells, kemungkinan untuk terjadinya emboli

paru   adalah:

1.      Jika poin < 2 : kemungkinan klinik rendah

2.      Jika poin 2 - 5 : Kemungkinan klinik sedang 

3.      Jika poin  > 6 : kemungkinan klinik tinggi

Penilaian berdasarkan sistem skor Genewa, kemungkinan untuk terjadinya emboli

paru adalah :

1.      Jika poin 0 - 4 : kemungkinan klinik rendah

2.      Jika poin 5 - 8 : kemungkinan klinik sedang

3.      Jika poin  ≥ 9 : kemungkinan klinik tinggi

Pemilihan sistem skor ini tergantung dari klinisi dan ketersediaan fasilitas

pendukung diagnosis.

Penelitian yang dilakukan oleh Douma dkk tahun 2011 yang

membandingkan 4 cara sistem skor untuk menentukan emboli paru yaitu skor

Wells, skor Genewa yang direvisi, skor Wells yang disederhanakan dan skor

revisi Genewa yang disederhanakan yang dikombinasikan dengan pemeriksaan D-

dimer. Penelitian ini merupakan studi kohor prospektif di 7 rumah sakit di

Belanda pada 807 pasien yang dicurigai emboli paru. Hasil penelitian ini

didapatkan prevalensi emboli paru sekitar  23%, dan ke empat cara sistem skor

yang digunakan hampir sama dalam menyingkirkan emboli paru dengan

mengkombinasikan dengan hasil D-dimer yang normal.13

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik baik trombosis vena dalam maupun

emboli paru biasanya tidak spesifik. Pasien dengan trombosis pada vena

ekstremitas bawah biasanya tidak disertai dengan eritema, demam, nyeri, dan

bengkak. Ketika tanda-tanda tersebut muncul, biasanya tanda tersebut tidaklah

spesifik akan tetapi bila dievaluasi kembali bisa dinilai. Nyeri dengan dorsi eksi

pada bagian kaki (tanda homans) akan muncul pada trombosis vena dalam, akan

tetapi kadang tanda ini juga kurang sensitif. Gejala yang paling sering terjadi

emboli paru yaitu sesak napas, lalu nyeri dada pleuritik dan muntah darah yang

terjadi pada infark pulmonal yang disebabkan oleh emboli yang lebih kecil di

30

Page 27: NSTEMI

bagian perifer. Palpitasi, batuk, kecemasan biasanya merupakan gejala-gejala

yang tidak spesifik pada emboli pulmonal akut. Sinkop biasanya muncul pada

emboli pulmonal yang masih masiv. Takipneu dan takikardi merupakan tanda dari

emboli paru yang paling umum, akan tetapi memang masih tidak spesifik. Gejala-

gejala lain yang muncul juga meliputi demam, wheezing, nyeri pada pleura, serta

pengangkatan ventrikel kanan. Sesak napas, takipneu serta hipoksemia pada

pasien biasanya diikuti pada pasien-pasien dengan penyakit kardiopulmonal.

1. Gambaran klinis emboli paru masif

Emboli paru masif memberikan gejala karena tersumbatnya ateri

pulmonalis atau cabang pertama. Pasien akan mengalami pingsan

mendadak, renjatan, pucat dan berkeringat, nyeri dada sentral atau sesak

napas. Napas sangatlah cepat. Kesadaran mungkin hilang untuk sementara.

Denyut nadi kecil dan cepat. Tekanan darah turun. Bagian perifer menjadi

pucat dan dingin. Ditemukan tanda sianosis tipe sentral, yang mungkin

tidak responsif terhadap pemberian oksigen. Apabila pasien menjadi sadar,

dia akan merasakan nyeri dada yang sangat hebat.

Pemeriksaan terhadap jantung, selain adanya hipotensi akan ditemukan

tanda-tanda beban jantung kanan berlebihan, misalnya dapat

ditemukannya vena jugularis terisi penuh, hepatojugularis refluks positif,

adanya tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan, bunyi jantung P2 mengeras

dan bising sistolik akibat insufisiensi katup trikuspid.

2. Gambaran klinis emboli paru ukuran sedang

Biasanya emboli paru akan menyumbat cabang arteri pulmonalis

segmental dan subsegmental. Pasien biasanya mengeluh adanya nyeri

pleura, sesak napas, demam, hemoptisis. Tidak ditemukannya sinkop atau

hipotensi, kecuali apabila telah ada kelainan jantung dan paru sebelumnya.

Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan tanda-tanda kelainan yang

nyata, kecuali pada pasien yang menderita emboli berulang, dapat timbul

korpulmonal dengan hipertensi pulmonal berat dan berlanjut dengan

timbulnya gagal jantung.

31

Page 28: NSTEMI

Pada pemeriksaan paru ditemukan : tanda-tanda pleuritis, area konsolidasi

paru, tanda-tanda fisis adanya suatu efusi pleura. Bila terdapat nyeri tekan

diatas daerah efusi pleura mungkin terdapat empiema. Apabila terdapat

infark paru, dapat ditemukan adanya demam, leukositosis dan ikterus

ringan. Emboli paru ukuran sedang dapat terjadi m berulang dalam

beberapa bulan atau tahun berikutnya, terutama pada pasien usia lanjut

yang tirah baring lama.

3. Gambaran klinis emboli paru ukuran kecil

Tromboemboli paru ukuran kecil sering luput dari perhatian karena

sumbatan mengenai cabang-cabang arteri pulmonalis yang kecil. Baru

sesudah sebagian besar sirkulasi pulmonal tersumbat, muncullah gejala-

gejala. Gejalanya yaitu sesak napas waktu bekerja mirip dengan keluhan

pasien gagal jantung kiri. Apabial emboli paru datang berulang dan

berlangsung sampai berbulan-bulan maka akan mengakibatkan hipertensi

pulmonal. Hipertensi pulmonal ini akan mengakibatkan hipertrofi

ventrikel kanan. Adanya keluhan mudah lelah, pingsan waktu bekerja dan

angina pectoris menunjukkan bahwa curah jantung sudah terbatas

4. Gambaran Klinis Infark Paru

Gambaran klinis infark paru menyerupai emboli paru. Mungkin ditemukan

sesak napas mendadak, takipneu, batuj-batuk, hemoptisis, nyeri pleuritik.

Nyeri pleuritik tersebut menyebabkan pergerakan dada daerah yang

terkena menjadi lebih berkurang. Gejala umum lainnya misalnya terdapat

demam dan takikardi. Apabila sumbatan emboli paru mengenai arteri atau

cabang yag besar, maka tanda-tanda gangguan hemodinamik akan lebih

menonjol, misalnya tekan vena jugularis meninggi, renjatan, hipotensi,

sianosis sentral dan tanda-tanda kegagalan jantung kanan lainnya.

Apabila sumbatan emboli paru mengenai arteri/cabang (kecil), yang

mencolok tanda klinisnya ialah gangguan respirasi. Hilangnya surfaktan

dari sebagaian besar alveoli paru karena iskemia paru akan menyebabkan

terjadinya atelektasis paru yang progresif. Tanda-tanda fisis paru

sebenarnya terbagi menjadi tiga bagian : pleuritis, elevasi diafragma

32

Page 29: NSTEMI

daerah yang terkena serta tanda-tanda konsolidasi daerah paru yang

terkena.

2.2.3.2. Pemeriksaan Laboratorium :

Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dapat dipakai untuk menegakkan

suatu diagnosis emboli paru. Tidak satupun  pemeriksaan yang bisa memastikan

diagnosis, tetapi pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai informasi tambahan,

menilai kemajuan terapi dan dapat menilai kemungkinan diagnosis lain.10

Pemeriksaan leukosit bisa melebihi nilai 20.000/mm3. Hipoksemia bisa ditemukan

pada emboli paru.1  Tekanan parsial O2 ditemukan rendah pada kemungkinan

emboli paru akut, walaupun bisa saja ditemukan normal. Tekan parsial CO2

ditemukan < 35 mmHg, tapi ada juga ditemukan >45mmHg walaupun kasusnya

sedikit.7,12

2.2.3.3. Pemeriksaan D-dimer :

Trombosis vena terdiri dari fibrin dan eritrosit yang terperangkap dalam

benang–benang fibrin. Fibrin ini terbentuk akibat adanya aktivasi sistem koagulasi

yang tidak dapat dinetralkan oleh antikoagulan alamiah. Jika terjadi aktivasi

koagulasi maka akan terbentuk thrombin dari protrombin dengan melepaskan

fragmen protrombin 1 dan 2 (F1.2). Trombin akan diikat oleh antitrombin

sehingga terbentuk kompleks trombin-antitrombin (TAT). Trombin juga

mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer yang akan mengalami polimerasi

membentuk fibrin polimer. Selanjutnya F XIII akan terjadi ikatan silang sehingga

terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan memecah cross-linked

fibrin menghasilkan D-dimer. Oleh karena itu, parameter yang dapat dipakai

untuk menilai aktivasi koagulasi adalah F 1.2, TAT, fibrin monomer dan D-dimer.

Dari semua parameter, yang sering dipakai adalah D-dimer.14

Pemeriksaan D-dimer cara ELISA dengan nilai cut off 500 ng/ml

mempunyai sensitifitas paling tinggi yaitu > 99%.  Namun ELISA cara klasik

membutuhkan waktu lama, sehingga dikembangkan berbagai cara cepat antara

lain SimpliRed yang memakai darah lengkap dan Vidas DD yang berdasarkan

33

Page 30: NSTEMI

enzyme linked fluorescence assay . SimpliRed mempunyai sensitifitas 85% dan

spesifisitas 71% dan nilai prediksi negatif 92%. Vidas DD mempunyai sensitifitas

98% dan spesifisitas 41% dengan nilai prediksi negatif 98%. 14

Penelitian prospektif yang dilakukan Palareti dkk tahun 2006 di Italia

mengenai penggunaan tes D-dimer pada pasien tromboemboli idiopatik yang

menggunakan antikoagulan jangka panjang dan yang tidak. Pada penelitian ini

didapatkan bahwa pasien yang memiliki nilai abnormal D-dimer abnormal setelah

penghentian pemakaian antikoagulan 1 bulan mempunyai insiden berulang yang

signifikan terjadinya tromboemboli vena (15% dibandingkan dengan yang tetap

memakai antikoagulan 2,9%) dan akan berkurang bila kembali digunakan

antikoagulan.15

Gambar 2. D-Dimer2.2.3.4. Pemeriksaan Foto Toraks :

34

Page 31: NSTEMI

Gambaran foto  toraks biasanya menunjukkan kelainan, walaupun tidak

jelas, non spesifik dan tidak memastikan diagnosis.  Gambaran yang nampak

berupa atelektasis atau infiltrat seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.4

Gambaran lain dapat berupa konsolidasi, perubahan letak diafragma, penurunan

gambaran vaskuler paru, edema paru.8  

2.2.3.5. Pemeriksaan Angiogram :

Pemeriksaan angiogram paru ini merupakan standar baku emas untuk

memastikan emboli paru. Pemeriksaan ini invasif dan mempunyai resiko. Temuan

angiografik emboli paru berupa filling defect dan  abrupt cutoff  dari pembuluh

darah.3,16,17

        Arteriogram negatif menyingkirkan diagnosis tromboemboli, sedangkan

arteriogram positif  merupakan konfirmasi diagnosis. Di tangan operator yang

berpengalaman, komplikasi angiografi paru ini jarang terjadi. Komplikasi ini

meliputi reaksi pirogen terhadap kontras, reaksi alergik terhadap kontras, perforasi

arteri pulmoner, aritmia, bronkospasme, perforasi ventrikel kanan dan gagal

jantung kongestif. Arteriografi sangat invasif, tidak nyaman pada penderita, mahal

dan tidak selalu dapat dilakukan serta menimbulkan resiko pada penderita.1

Gambar 3. Angiograi Paru2.2.3.6. Pemeriksaan Computed Tomography (CT) :

35

Page 32: NSTEMI

Computed Tomography (CT) merupakan tes yang dapat mendiagnosis

emboli paru. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 86% dan spesifisitas 96%.

Pada saat sekarang dapat dipakai untuk menyikirkan diagnosis emboli paru pada

pasien dengan resiko rendah dan mendekati intermediet, serta dapat

mengkonfirmasi  diagnosis emboli paru pada pasien dengan resiko intermediat

dan tinggi.3

Pemeriksaan  CT Pulmonary Angiogram (CTPA) telah lama dipakai

dalam evaluasi emboli paru (gambar 4). CTPA ini memberi banyak keunggulan

dalam mendiagnosis emboli paru yaitu : 4

a.        Visualisasi langsung embolus

b.      Kemampuan menilai etiologi lain pada pasien lain seperti pneumonia

Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa CT angiografi mempunyai sensitifitas

50 % sampai 100% dan spesifisitasnya 81% sampai 100%. 18

Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Sood dkk tahun 2006 dengan

membandingkan CT angiografi dengan angiografi paru konvensional. Penelitian

ini menyimpulkan bahwa CT angiografi dapat dipakai sebagai alternatif  untuk

mendiagnosis emboli paru dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 85% dengan

keuntungan tidak invasif dan harga lebih murah. 19

2.2.3.7. Pemeriksaan Ventilation Perfusion Scanning :

Walaupun ada keterbatasan, pemeriksaan Ventilation-Perfusion Scanning

dapat memberikan informasi yang berguna dan dapat diinterpretasikan dengan

cepat. Gabungan Ventilation-Perfusion Scanning dan penilaian klinis dapat

memberikan akurasi diagnosis yang baik dibandingkan dengan hanya scan. 3,17

            Payar perfusi (Perfusion Lung Scan) yang benar – benar  normal dapat

menyingkirkan dugaan klinis emboli paru. Kriteria untuk kemungkinan besar

positif atau kemungkinan kecil negatif  bervariasi menurut  penafsiran, tetapi

secara umum tergantung pada ukuran, jumlah dan distribusi defek perfusi, yang

dihubungkan dengan foto toraks dan abnormalitas payar ventilasi. Emboli yang

terisolasi di lobus atas jarang terjadi pada penderita berobat jalan, karena aliran

darah saat posisi berdiri lebih terdistribusi ke basal (berbeda dengan penderita

36

Page 33: NSTEMI

yang harus tirah baring). Defek perfusi yang lebih luas dari konsolidasi yang

tampak pada foto toraks pada daerah yang sama menyokong ada emboli, defek

dengan ukuran sama atau lebih kecil dari abnormalitas radiologi tidak mendukung

kearah emboli. 1

            Payar ventilasi paru (Ventilation Lung Scan) memperbaiki spesifisitas

diagnosis emboli. Daerah dengan pengurangan aktifitas ventilasi regional yang

terganggu. 1

Penelitian yang dilakukan Stein dkk bertujuan untuk menentukan apakah

paparan radiasi untuk pasien yang diduga dengan emboli paru bisa menurun

dengan meningkatkan penggunaan ventilasi-perfusi (V/Q) scanning dan

mengurangi penggunaan CT paru angiografi (CTPA) melalui intervensi

pendidikan. Jumlah pemeriksaan yang dilakukan CTPA menurun dari 1.234 pada

tahun 2006 untuk 920 tahun 2007, dan jumlah V/Q scan meningkat dari 745 pada

2006 menjadi 1.216 pada tahun 2007. Berarti dosis efektif berkurang sebesar

20%, dari 8,0 mSv pada 2006-6,4 mSv pada tahun 2007 (p <0,0001). Para pasien

yang menjalani CTPA dan V/Q scan pada tahun 2006 adalah usia yang sama.

Pada tahun 2007, pasien yang menjalani V/Q scan secara signifikan lebih muda.

Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat false-negatif (kisaran, 0,8-

1,2%) antara CTPA dan V/Q scan  pada tahun 2006 dan 2007.20

2.2.3.8. Pemeriksaan Elektrokardiografi

Temuan  elektrokardiografi (EKG) tidak spesifik. Elektrokardiogram

normal tidak menyingkirkan diagnosis emboli paru, bila ditemukan perubahan,

seringkali bersifat sementara  berupa : 1,4

-          Deviasi axis ke kanan

-          Sinus takikardi atau aritmia supraventrikuler

-          RBBB komplit atau tidak komplit

-          Inversi gelombang T

Pada keadaan emboli paru massif dapat terjadi perubahan EKG antara lain

37

Page 34: NSTEMI

Pola S1Q3T3, gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III, disertai

gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang

dikarenakan dilatasi atrium dan ventrikel kanan.

P Pulmonal

Right Bundle Branch Block (RBBB) yang baru

Right ventricular strain dengan T inverted di lead V1 sampai V4

Gambar 4. EKG Pasien Emboli Paru

2.2.3.9. Pemeriksaan Ekokardiografi :

            Pemeriksaan ekhokardiografi transtorakal atau transesofageal terbatas

penggunaannya untuk diagnosis emboli paru. Pada ekokardiografi dapat dilihat

perubahan ukuran dan fungsi ventrikel kanan dan regurgitasi trikuspid jantung

kanan akut menandakan adanya regangan. Dengan penilaian klinis yang tepat,

perubahan ventrikel kanan dapat menandakan emboli paru akut. 4

38

Page 35: NSTEMI

Gambar 5. Ekokardiografi D shape ventrikel kiri

Pemeriksaan untuk  diagnosis harus disesuaikan dengan tingkat kegawatan

klinis pasien berdasarkan  kondisi pasien, nilai  keadaan hemodinamik stabil atau

tidak stabil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Diagnosis banding emboli paru adalah : 4

1.      Pneumonia

2.      Bronkitis

3.      Asma

4.      PPOK

5.      Pneumotoraks

6.      Nyeri muskulosleletal

7.      Kostokondritis

8.      Fraktur iga

9.      Edema Paru

10.  Gagal jantung kongestif

11.  Keganasan toraks

12.  Hipertensi pulmonal

13.  Infark miokard

14.  Ansietas

39

Page 36: NSTEMI

2.2.4  PENATALAKSANAAN EMBOLI PARU

Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus.

Tata laksana yang umum antara lain:

1. Tirah baring di ruang intensivf

2. Pemberian O2 2-4 lpm/ menit

3. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan

4. Pemantauan tekanan darah

5. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg, bila tidak ditoleransi gunakan 20-

30 mmHg)

Sementara terapi yang bersifat khusus adalah:

2.2.4. 1.Heparin

Heparin sebagai antikoagulan utama pertama kali ditemukan oleh Howell

dan Holt tahun 1918.21  Pada beberapa kasus kecurigaaan terhadap emboli paru,

keputusan untuk memberikan terapi harus dibuat dengan dasar diagnosis yang

kuat. Jika ada evaluasi klinis dan pemeriksaan awal kecurigaaan besar terhadap

emboli akut, terapi antikoagulan harus diberikan walaupun belum ada

pemeriksaan tambahan untuk konfirmasi diagnosis.1

Tujuan awal penatalaksanaan emboli paru dengan pemberian cepat

antikoagulan sehingga meminimalisir komplikasi perdarahan. 4,22  Antikoagulan

yang diberikan berupa subkutan  Low Molecular Weight (LMW) Heparin,

intravena atau subkutan Unfractionated (UF) heparin dan tidak ada kontraindikasi

pemberian heparin (klas 1, level eviden A)21  Terapi awal pemberian heparin

selama 5 hari dengan diawali pemberian vitamin K antagonis. Target terapi

sampai Partial Thromboplasti Time (PTT) antara 1,5 sampai 2 kali kontrol. 4

Penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk yang mempelajari 400 pasien di

instalasi gawat darurat (IGD) didiagnosis dengan emboli paru akut dengan

menggunakan CT scan angiografi dan diobati di rumah sakit dengan heparin

unfractionated IV tahun 2002-2005. Pasien menerima heparin baik di IGD atau

setelah masuk. Waktu  dari  IGD sampai  tercapai activated partial tromboplastin

time (aPTT) terapeutik dihitung. Outcome termasuk mortalitas masuk rumah sakit

dan dalam 30-hari, masa rawatan rumah sakit dan ICU, timbulnya perdarahan

40

Page 37: NSTEMI

pada pemberian  heparin, dan berulang vena tromboemboli dalam waktu 90 hari.

Pada penelitian ini didapatkan  tingkat mortalitas masuk rumah sakit 3,0 % dan

dalam 30 hari 7,7%. Pasien yang berikan heparin di IGD lebih  rendah mortalitas

pada masuk rumah sakit (1.4% vs 6.7%; P= 0.009) dan tingkat mortalitas 30 hari

(4,4 vs% 15,3%; P<.001) dibandingkan pasien yang diberi heparin setelah masuk.

Pasien yang mencapai aPTT terapeutik dalam waktu 24 jam lebih rendah

mortalitas pada masuk rumah sakit (1,5% vs 5,6%; P = 0,093) dan mortalitas

dalam 30 hari (5,6% vs 14,8%;  P = 0,037) dibandingkan dengan pasien yang

mencapai aPTT terapi setelah 24 jam. Pada beberapa model regresi logistik,

menerima heparin di IGD masih prediksi penurunan mortalitas , dan masuk ICU

tetap prediksi peningkatan mortalitas. Penelitian ini menyimpulkan  hubungan

antara antikoagulasi awal dan penurunan mortalitas pada pasien dengan emboli

paru akut.23

2.2.4.2. Trombolisis

Obat trombolisis berguna melisis trombus dengan meningkatkan produksi

plasmin melalui aktivasi plasminogen. Banyak sediaan yang tersedia seperti

streptokinase dan urokinase.3,22 Fibrinolisis digunakan pada penderita dengan

emboli paru akut yang massif dan kemungkinan komplikasi perdarahan yang lebih

besar (klas II, level eviden B).20,22

Pada penderita dengan hemodinamik tidak stabil, perawatan lebih agresif

seperti trombolisis. Ini merupakan pilihan terapi karena tingginya angka kematian

pada penderita tersebut dan perbaikan obstruksi tromboemboli lebih cepat dengan

trombolitis dibandingkan dengan antikoagulan.9

Wang dkk melakukan penelitian mengenai keefektifan dan keamanan

regimen Urokinase 2 jam dibandingkan dengan Urokinase 12 jam pada pasien

emboli paru akut. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kedua regimen memiliki

kesamaan dalam hal efektifitas dan keamanannya untuk emboli paru akut. 24

41

Page 38: NSTEMI

Tabel 5. Obat dan dosis trombolitik dikutip dr 25

Obat                            Regimen dosis

Streptokinase    250.000 unit selama 30 menit, kemudian 100.000 unit /jam  selama 24 jam

Urokinase  4.400 unit/kgBB selama 10 menit, kemudian 4.400 unit/kgBB selama 12 jam

Rt-PA                          10 mg bolus, kemudian 90 mg selama 2 jam 

           Tabel 6. Kontraindikasi absolut dan relatif terapi trombolitik dikutip dari 25

ABSOLUT RELATIF       Riwayat perdarahan intrakranial       Keganasan intrakranial       Trauma kepala        Perdarahan internal yang aktif       Riwayat bedah intrakranial atau

intraspinal dalam 3 bulan      Kecelakaan serebrovaskuler dalam 2

bulan

        Pernah perdarahan internal        Pernah bedah atau biopsi organ        Pernah trauma        Hipertensi tidak terkontrol        Resiko tinggi trombosis jantung kiri        Retinopati diabetik        Kehamilan

Umur >75 tahun

.

Penelitian metaanalisis yang dilakukan Wan S dkk tahun 2004 mengenai

perbandingan trombolitik dengan heparin sebagai terapi awal emboli paru pada 11

studi mencakup 748 pasien. Hasil penelitian ini menyimpulkan belum ada bukti

manfaat terapi trombolitik lebih baik dibandingkan dengan heparin sebagai terapi

awal pada pasien emboli paru. Manfaat trombolitik baru dirasakan pada pasien

dengan resiko tinggi untuk kejadian berulang atau kematian. 26

2.2.4.3. Embolektomi

            Embolektomi merupakan terapi pertama emboli paru yang pertama kali

dilakukan oleh Tredelenberg tahun 1908 pada arteri pulmonari.21 Merupakan

tindakan bedah yang dilakukan pada  emboli paru akut untuk mencegah resiko

hemoragi intrakranial.16  Operasi plag mempunyai resiko kematian yang besar

(30%), karena pasien berada dalam keadaan kritis, hemodinamik yang tidak stabil

42

Page 39: NSTEMI

selama operasi. Pasien didiagnosis di ruang emergensi yang mempunyai

kecendrungan diagnosis besar terhadap emboli paru dan biasanya pemberian

antikoagulan atau trombolitik tidak memberikan manfaat.4

         Penelitian yang dilakukan oleh Lidt dkk terhadap penderita dengan emboli

paru massif dengan disfungsi ventikel kanan. Pada pasien ini  tindakan trombolitik

merupakan kontraindikasi karena akan meningkatkan resiko perdarahan, gagal

trombolisis. Pada pasien ini dilakukan percoutaneous mechanical trombectomy

(PMT) yang ternyata merupakan alternatif terapi yang bermanfaat untuk kasus

tersebut. 27

2.2.5 PENCEGAHAN

Pencegahan terhadap timbulnya trombosis vena dalam dan tromboemboli

paru dilakukan dengan tindakan-tindakan fisis, suntikan heparin dosis kecil dan

obat antiplatelet pada pasien-pasien risiko tinggi. Tindakan-tindakan fisis

misalnya pemasangan stocking elastik dan kompresi udara intermitten pada

tungkai bawah. Pemakaian stocking elastik mungkin efektif untuk mencegah

timbulnya trombosis vena dalam. Pemasangan alat kompresi udara intermitten

pascaoperasi pada tungkai bawah dianjurkan pada pasien sesudah taraf

pembedahan saraf prostat atau lutut. Tindakan-tindakan lain untuk mencegah

trombosis vena dalam misalnya mobilisasi dini sesudah pembedahan, kaki

letaknya ditinggikan pada pasien tirah baring dan latihan aktif dan pasif

menggerakkan kaki pada pasien tirah baring. Suntikan heparin dosis rendah, 5000

unit subkutan diberikan tiap 8-12 jam, dimulai 2 jam sebelum operasi. Monitoring

sama seperti pengobatan heparin. Pencegahan dengan obat antitrombosit dalam

mencegah trombosis vena dalam belum ada bukti keberhasilannya.

43

Page 40: NSTEMI

Tabel 7. Terapi Profilaksis pada DVT

2.2.6 PROGNOSIS

            Angka kematian mencapai 10-15%. Dalam persentasi kecil emboli paru

masif meninggal sebelum didiagnosis, seringkali dalam 1 jam pertama. Pada

penderita yang mendapat antikoagulan adekuat dengan heparin dan bertahan lebih

dari 2 jam, prognosisnya baik. Bila heparin tidak diberikan akan terjadi embolisasi

pada 1/3 kasus. Resiko menurun kurang dari 5% dengan terapi heparin adekuat.1 

44

Page 41: NSTEMI

Emboli paru berulang dapat dicegah bila diberikan terapi dengan heparin dan

antikoagulan oral, sehingga prognosisnya menjadi lebih baik. 21

Penelitian yang dilakukan Fremont dkk secara retrospektif di RS

Trousseau Prancis mulai 1 Januari 1992 sampai 30 Juni 2005 mengenai nilai

diagnostik rasio diameter akhir diastolik ekhokardiografi  right/left ventricular

pada pasien emboli paru akut. Rasio RV/LV ≥0,9 pada ekhokardiografi (P=0,01)

merupakan faktor prediktor bebas untuk menilai  angka  kematian rumah sakit.

Kriteria  ini dapat dipakai menilai prognosis yang buruk .28

            Penelitian yang dilakukan oleh Klok dkk mengenai kualitas hidup

penderita emboli paru akut  mulai 1 Januari 2001 sampai 1 Juli 2007 dengan

jumlah sampel 392 penderita. Penelitian ini didapatkan kualitas hidup yang buruk

berhubungan dengan umur, obesitas, keganasan dan status kardiopulmoner.29

            Pulmonary Embolism Prognostic Index (PESI) dapat menilai lebih baik

prediksi resiko kematian pada pasien dengan emboli paru. Adapun caranya dapat

di lihat pada tabel dibawah ini.30

Tabel 8. Pulmonary embolism prognostic index (PESI) dikutip dari 30

Prediktor                                              Skor        Umur                                                               tahun        Laki – laki                                                       + 10        Kanker                                                           + 30        Gagal jantung                                                 + 10        PPOK                                                             + 10        Denyut jantung ≥110 x/menit                          + 20        Tekanan darah sistolik <100mmHg                 + 30        Frekuensi napas ≥ 30                                      + 20        Suhu tubuh <36ºC                                          + 20        Delirium                                                          + 60        SaO2 < 90%                                                  + 20

          TOTAL : ____________          

45

Page 42: NSTEMI

Interpretasi:

-          Risiko rendah :  ≤ 65 klas I, kematian 0,7%

66 – 85 klas II, kematian 1,2%

-          Resiko tinggi :  86 – 105 klas III, kematian 4,8%

106-125 klas IV, kematian 13,6%

>125 klas V, kematian 25%

46