31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi 2.1.1 Pengertian Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Nyamuk mempunyai metamorfosis sempurna yaitu telur, jentik, pupa kemudian menjadi dewasa. Jentik merupakan larva dari siklus hidup nyamuk. Telur berkembang menjadi jentik dan jentik mendapat makanan dari bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air. Jentik nyamuk bernafas dengan sifon (Wulan, 2016). 2.1.2 Morfologi dan Karakteristik Jentik Nyamuk 1. Morfologi Jentik nyamuk pada umumnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 : Gambar 2.1 Jentik nyamuk (Gede, 2010) Jentik nyamuk bisa disebut pula dengan istilah cuk atau uget-uget (Bahasa Jawa). Tubuh jentik nyamuk terlihat berulir dan berwarna kelabu kehitaman. Adapun panjang tubuhnya berkisar 10-25 mm. siklus hidup jentik nyamuk sejak menetas hingga menjadi nyamuk dewasa sekitar 5-6 hari. Terdapat beberapa jenis jentik nyamuk, tergantung jenis nyamuk induknya, tubuh jentik nyamuk terkandung protein, lemak, serat dan abu (Joti, 2009). Jentik nyamuk akan mengalami mengalami 4 masa perubahan (instar IV). Jentik instar I berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada dan corong pernafasan pada siphon

Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2.1.1 Pengertian Jentik Nyamuk Aedes Aegypti

Nyamuk mempunyai metamorfosis sempurna yaitu telur, jentik, pupa kemudian

menjadi dewasa. Jentik merupakan larva dari siklus hidup nyamuk. Telur berkembang

menjadi jentik dan jentik mendapat makanan dari bahan-bahan organik yang terdapat di

dalam air. Jentik nyamuk bernafas dengan sifon (Wulan, 2016).

2.1.2 Morfologi dan Karakteristik Jentik Nyamuk

1. Morfologi Jentik nyamuk pada umumnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 :

Gambar 2.1 Jentik nyamuk (Gede, 2010)

Jentik nyamuk bisa disebut pula dengan istilah cuk atau uget-uget (Bahasa Jawa).

Tubuh jentik nyamuk terlihat berulir dan berwarna kelabu kehitaman. Adapun panjang

tubuhnya berkisar 10-25 mm. siklus hidup jentik nyamuk sejak menetas hingga menjadi

nyamuk dewasa sekitar 5-6 hari. Terdapat beberapa jenis

jentik nyamuk, tergantung jenis nyamuk induknya, tubuh jentik nyamuk terkandung protein,

lemak, serat dan abu (Joti, 2009).

Jentik nyamuk akan mengalami mengalami 4 masa perubahan (instar IV). Jentik

instar I berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada dan corong pernafasan pada siphon

Page 2: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

belum jelas, jentik instar II berukuran 2,5-3,5 mm, duri- duri belum jelas, corong kepala

mulai menghitam, jentik instar III berukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan corong

pernafasan berwarna coklat kehitaman dan jentik instar IV berukuran 5-6 mm dengan

warna kepala gelap (Zumrotus, 2009).

Jentik nyamuk hidup di tempat yang berbeda-beda sesuai dengan spesies nyamuk

tersebut seperti Aedes dapat bertahan hidup pada media perindukan dari air got, Sungai

Gali (SGL), dan Perusahaan Air Minum (PAM), dan mati pada air limbah sabun mandi. Jentik

Aedes dapat hidup dan tumbuh normal dengan masa stadium larva dan pupa yang wajar,

hanya pada perindukan berisi air got, bahkan tumbuh sedikit lebih cepat, sedangkan pada

air SGL dan PAM hanya sedikit larva yang bertahan hidup dan akhirnya mati setelah melalui

masa jentik yang panjang dan menjadi pupa yang tidak normal. Artinya, daya dukung air got

terhadap ketahanan hidup dan pertumbuhan jentik Aedes cukup baik, dan sebaliknya pada

air SGL dan PAM (Sayuno,2011).

2. Karakteristik Jentik Nyamuk Aedes Aegypti

Tubuh terdiri dari kepala, thorax, abdomen, sifon dan anal segmen. Duri- duri pada

ujung abdomen (Combteeth) pada ujung abdomen hanya satu baris. sifon gemuk dan

pendek, bulu-bulu sifon hanya satu pasang. Morfologi jentik nyamuk Aedes dapat dilihat

pada Gambar 2.2 :

Page 3: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Gambar 2.2 Jentik Nyamuk Aedes (Stephen,2002).

Jentik hidup di air yang stadianya terdiri atas empat instar. Jentik mengalami empat

kali menyilih (molting) sebelum menjadi pupa. Setiap kali molting inilah yang menunjukkan

tingkatan jentik yang disebut dengan instar. Keempat instar tersebut berlangsung selama 4

hari-2 minggu tergantung keadaan lingkungan seperti suhu air persediaan makanan. Pada

kondisi suhu air yang rendah perkembangan jentik lebih lambat, dengan demikian juga

keterbatasan persediaan makanan juga menghambat perkembangan jentik. Pada masa

jentik, jentik akan bergerak sangat aktif untuk memperoleh makanan. Keterbatasan

makanan dalam suatu wadah dapat mempengaruhi perkembangan jentik terjadinya

kompetisi, kemampuan bertahan hidup dan pada akhirnya menentukan populasi nyamuk

dewasa yang dihasilkan (Elita, 2015).

2.1.3 Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorraghic Fever) merupakan penyakit infeksi

yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau

nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, diatesis hemoragik dan

perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau

penumpukan cairan di rongga tubuh, (Nisa, 2007).

2.1.4 Etiologi DBD

Page 4: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Virus dengue memiliki 4 tipe virus penyebab DBD, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan

DEN-4. Tiap virus dapat dibedakan melalui isolasi virus di laboratorium. Infeksi oleh satu tipe

virus dengue akan memberikan imunitas yang menetap terhadap infeksi virus yang sama

pada masa yang akan datang. Namun hanya memberikan imunitas sementara dan parsial

terhadap infeksi tipe virus lainnya, (Ginanjar, 2008).

Virus yang ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti

memerlukan 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsik dari lambung sampai

kelenjar ludah nyamuk tersebut. Sebelum demam muncul pada penderita, virus ini sudah

terlebih dulu berada dalam darah 1-2 hari. Setelahnya penderita berada dalam kondisi

virenia selama 4-7 hari, (Ginanjar, 2008).

2.1.5 Gejala Klinis

Gejala klinis yang mungkin timbul pasca-infeksi virus dengue sangat beragam, mulai

dari demam tidak spesifik (sindrom infeksi demam virus), demam dengue, demam berdarah

dengue (DBD), hingga yang terberat yaitu sindrom syok dengue, (Ginanjar, 2008).

Pada penderita penyakit DBD dapat ditemukan gejala-gejala klinis dan laboratoris,

sebagai berikut, (Tumbelaka, 2004):

a. Kriteria Klinis

1) Demam tinggi yang berlangsung dalam waktu singkat, antara 2-7 hari, yang dapat

mencapai 40°C. Demam sering disertai gejala tidak spesifik, seperti tidak nafsu makan

(anoreksia), lemah badan (malaise), nyeri sendi dan tulang serta rasa sakit di daerah bola

mata (retro orbita) dan wajah yang kemerah-merahan (flusing).

2) Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan gusi, perdarahan pada

kulit seperti tes Rumpeleede (+), ptekiae dan ekimosis, serta buang air besar berdarah

berwarna merah kehitaman (melena).

Page 5: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

3) Pembesaran organ hati (hepatomegali).

4) Kegagalan sirkulasi darah yang ditandai dengan denyut nadi yang teraba lemah dan

cepat, ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat disertai penurunan kesadaran dan

renjatan (syok) yang dapat menyebabkan kematian.

b. Kriteria Laboratoris

Diagnosis penyakit DBD ditegakkan berdasarkan adanya dua kriteria klinis atau lebih,

ditambah dengan adanya minimal satu kriteria laboratoris. Kriteria laboratoris meliputi:

1) Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) ≤ 100.000/mm³.

2) Peningkatan kadar hematokrit >20% dari normal.

c. Derajat Keparahan/Besar Penyakit DBD

Derajat keparahan penyakit DBD berbeda-beda menurut tingkat keparahannya.

Tingkat keparahan penyakit DBD terbagi menjadi:

1) Derajat 1 : Badan panas selama 5-7 hari, gejala umum tidak khas.

2) Derajat 2 : Seperti derajat 1, disertai pendarahan spontan pada kulit berupa ptekiae

dan ekimosis, mimisan (epistaksis), muntah darah (hematemesis), buang air

besar berdarah berwarna merah kehitaman (melena), perdarahan gusi,

perdarahan rahim (uterus), telinga dan sebagainya.

3) Derajat 3 : Ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah, seperti denyut nadi teraba

lemah dan cepat (>120x/menit), tekanan nadi (selisih antara tekanan darah

sistolik dan diastolik) menyempit (<20 mmHg). DBD derajat 3 merupakan

peringatan awal yang mengarah pada terjadinya renjatan (syok).

4) Derajat 4 : Denyut nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, denyut jantung

>140x/menit, ujung-ujung jari kaki dan tangan terasa dingin, tubuh

Page 6: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

berkeringat, kulit membiru. DBD derajat 4 merupakan manifestasi syok,

yang sering kali berakhir dengan kematian.

2.1.6 Epidemiologi DBD.

a. Distribusi penyakit DBD menurut orang.

Menurut WHO (1998), DBD dapat menyerang semua umur walaupun sampai sampai

saat ini DBD lebih banyak menyerang anak-anak tetapi dalam dekade terakhir DBD terlihat

kecendrungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini

mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang

lancar, sehingga memungkinkan tertularnya virus dengue lebih besar.

Pada awal epidemi, jenis kelamin pernah ditemukan perbedaan nyata antara anak

laki-laki dan perempuan. Beberapa negara melaporkan banyak kelompok wanita dengan

Dengue Shock Syndrome (DSS) menunjukkan angka kematian yang tinggi daripada laki-laki.

Singapura dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian infeksi di

antara kelompok etnik. Penduduk Cina banyak terserang DBD dari pada yang lain

(Soegijanto, 2003).

b. Distribusi penyakit DBD menurut tempat

Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat- tempat dengan

ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu

yang rendah siklus perkembangan Aedes Aegypti tidak sempurna, (Depkes RI, 2007).

Depkes (2005), menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan

virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah

penyebaran penyakit meningkat pesat. Hingga saat ini DBD telah ditemukan di seluruh

provinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa dengan IR

Page 7: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 6-27 per 100.000

penduduk pada tahun 2004.

Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebablan

karena semakin baiknya sarana transportasi, adanya pemukiman baru dan terdapatnya

vektor nyamuk hampir di seluruh wilayah di Indonesia (Depkes RI, 2003).

c. Distribusi penyakit DBD menurut waktu

Menurut Djunaedi (2006), menyebutkan bahwa epidemi DBD di negara-negara 4

musim, berlangsung pada musim panas walaupun ditemukan kasus DBD yang sporadis pada

musim dingin. Negara-negara kawasan Asia Tenggara, epidemik DBD terutama terjadi pada

musim hujan. Epidemi DBD yang berlangsung pada musim hujan, erat kaitannya dengan

kelembaban yang tinggi pada musim hujan. Kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan

yang optimal bagi masa inkubasi (dapat mempersingkat masa inkubasi) dan juga dapat

meningkatkan aktivitas vektor penular virus DBD.

2.2 Vektor Penular

2.2.1 Morfologi Nyamuk Aedes Aegypti

Nyamuk Aedes Aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam kecoklatan.

Ukuran tubuh nyamuk Aedes Aegypti betina antara 3-4 cm dengan mengabaikan panjang

kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian

dorsal (punggung) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan

yang menjadi ciri dari nyamuk Aedes Aegypti (Ginanjar, 2008).

Sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok dan terlepas sehingga

menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk Aedes

Aegypti kerap berbeda antarpopulasi, tergantung pada kondisi lingkungan dan nutrisi yang

diperoleh nyamuk selama perkembangan (Ginanjar, 2008).

Page 8: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Dalam hal ukuran nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan nyata.

Biasanya, nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil dari pada betina dan terdapat rambut-

rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata

telanjang (Ginanjar, 2008).

2.2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti

Nyamuk termasuk hewan yang bermetamorfosis sempurna atau holometabola.

Masa pertumbuhan dan perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti dibagi menjadi empat

tahap, yaitu telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa, (Soegijanto, 2006).

a. Stadium Telur

Telur nyamuk Aedes Aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, berwarna hitam,

berukuran 0,5-0,8 mm, tidak memiliki alat pelampung dan terpisah satu dengan yang lain.

Nyamuk Aedes Aegypti meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual dan

meletakkan telur- telurnya satu per satu pada permukaan air, biasanya pada tepi air di

kontainer/tempat penampungan air (TPA) bersih dan sedikit di atas permukaan air. Setiap

hari nyamuk Aedes Aegypti betina dapat bertelur rata-rata 100 butir apabila telah

menghisap darah manusia. Telur pada tempat kering (tanpa air) dapat bertahan hingga 6

bulan. Telur-telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva/jentik (Herms, 2006).

b. Stadium Larva

Larva nyamuk Aedes Aegypti mempunyai ciri khas yakni memiliki siphon yang

pendek, besar dan berwarna hitam. Tubuh larva ini langsing, bergerak sangat lincah, bersifat

fototaksis negatif dan pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan

permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit,

guna mendapatkan oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes Aegypti dapat

berkembang selama 6-8 hari (Herms, 2006).

Page 9: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva

saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Contohnya,

populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa

yang cenderung lebih rakus dalam menghisap darah (Ginanjar, 2008).

Menurut Depkes RI (2005) terdapat empat tahapan pada perkembangan larva yang

disebut instar. Pertumbuhan larva tersebut yaitu:

1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

2) Instar II : 2,5-3,8 mm

3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II

4) Instar IV : berukuran paling besar, yaitu 5 mm

Perkembangan dari instar satu ke instar empat memerlukan waktu sekitar lima hari.

Setelah mencapai instar keempat, larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki

masa dorman (inaktif/tidur) (Ginanjar, 2008).

c. Stadium Pupa

Pupa nyamuk Aedes Aegypti mempunyai bentuk bengkok dengan bagian kepala

dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya sehingga

tampak seperti tanda baca “koma”. Tahap pupa pada nyamuk Aedes Aegypti umumnya

berlangsung selama 2-4 hari. Pupa akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan

permukaan air saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang

pupa untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa (Achmadi, 2011).

d. Nyamuk Dewasa

Nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat untuk periode singkat di atas

permukaan air agar sayap-sayap dan badan mereka kering dan menguat sebelum akhirnya

dapat terbang. Nyamuk jantan dan betina muncul dengan perbandingan jumlah 1:1.

Page 10: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap dekat tempat

perkembangbiakan, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang

muncul kemudian. Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah dan

tumbuhan untuk mengisi tenaga, kemudian kawin dan menghisap darah manusia. Umur

nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan :

a. Tempat Perkembangbiakan Vektor

Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes Aegypti adalah tempat

penampungan air bersih di dalam atau sekitar rumah, berupa genangan air yang tertampung

di suatu tempat atau bejana seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung dan

barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang dapat terisi air pada waktu hujan.

Nyamuk Aedes Aegypti tidak dapat berkembangbiak pada genangan air yang

berhubungan langsung dengan tanah (Depkes RI, 2005). Pernyataan ini diperkuat dengan

penelitian Nelson (1976) dikutip Falah (2012), bahwa tempat perindukan nyamuk Aedes

Aegypti di Jakarta sebagian besar terletak di rumah. Sedangkan penelitian Chan (1971)

dikutip Nisa (2007) 95% tempat perindukan Aedes Aegypti adalah di rumah. Serta penelitian

Suzuki (1976) dikutip Febrianto (2012) menunjukkan bahwa 70% bejana penyimpanan air di

dalam rumah merupakan tempat berkembangbiaknya Aedes Aegypti.

Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

(2005) jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti dapat dikelompokkan

menjadi:

1) Tempat penampunga air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki

reservoir, bak mandi/wc, tempayan dan ember.

Page 11: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non TPA), seperti tempat

minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, botol,

kaleng, dan lain-lain).

3) Tempat penampungan air alamiah, seperti: lubang pohon, lubang batu, potongan bambu

dan lain-lain.

b. Tempat Mencari Makan Vektor

Nyamuk Aedes Aegypti memiliki kebiasaan yang disebut dengan endophagic, artinya

golongan nyamuk yang lebih senang mencari makan di dalam rumah (Sumantri, 2010).

Selain itu nyamuk Aedes Aegypti bersifat diurnal, yakni aktif pada pagi dan sore hari,

biasanya pada jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 (Ginanjar, 2008). Berdasarkan data Depkes

RI (2004) nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telurnya. Oleh karena

itu, setelah kawin nyamuk betina memerlukan darah untuk pemenuhan kebutuhan

proteinnnya. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Untuk

mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang.

Posisi menghisap darah nyamuk Aedes Aegypti sejajar dengan permukaan kulit manusia.

Jarak terbang nyamuk ini sekitar 100 meter.

c. Tempat Istirahat Vektor

Setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3 hari

untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes Aegypti hidup domestik, artinya lebih

menyukai tinggal di dalam rumah daripada di luar rumah. Tempat-tempat yang lembab dan

kurang terang seperti kamar mandi, dapur dan WC adalah tempat-tempat beristirahat yang

disenangi nyamuk. Di dalam rumah nyamuk ini beristirahat di baju-baju yang digantung,

kelambu dan tirai. Sedangkan di luar rumah nyamuk ini beristirahat pada tanaman-tanaman

yang ada di luar rumah (Depkes RI, 2004).

Page 12: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

2.3. Pengendalian Vektor DBD

2.3.1 Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD)

Salah satu program pemerintah Republik Indonesia untuk mengontrol keberadaan

vektor DBD dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah

Dengue (PSN DBD). Indikator keberhasilan PSN DBD dapat diukur dengan Angka Bebas

Jentik (ABJ). Jika ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah

atau dikurangi.

Apabila kegiatan PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi

nyamuk Aedes Aegypti dapat ditekan sehingga penyakit DBD tidak terjadi lagi. Oleh karena

itu, upaya penyuluhan dan Menguras kepada masyarakat harus dilakukan secara terus-

menurus karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan prilaku masyarakat

(Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005).

PSN DBD dalam program kesehatan dikenal dengan istilah 3M. Pelaksanaan 3M

meliputi, (WHO, 2009):

a. Menguras tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, bak WC dan lain-lain.

Praktek ini merupakan banyaknya jumlah pengurasan yang dilaku- kan oleh

masyarakat dalam 1 minggu. Dikatakan baik adalah jika responden menguras lebih atau

sama dengan 1 kali per minggu (≥ 1x minggu), dan tidak baik jika melakukan pengurasan

kurang dari 1 kali per minggu (< 1x minggu) (Rahman, 2012).

b. Menutup rapat tempat-tempat penampungan air, seperti tong, gendi, drum maupun

yang lainnya yang ada di luar maupun di dalam rumah.

Praktek ini merupakan prilaku masyarakat yang memperlakukan tempat

penampungan air dengan baik, yaitu dengan memberikan tutup pada tempat

Page 13: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

penampungan air sehingga nyamuk tidak dapat berkem- bangbiak di dalamnya

(Rahman, 2012).

c. Mengubur, memusnahkan atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat

menampung air seperti kaleng bekas dan plastik bekas.

Praktek ini merupakan kebiasaan masyarakat dalam memperlakukan sampah

rumah tangga ataupun barang bekas yang ada disekitar rumahnya seperti plastik, kaleng

bekas, pecahan kaca, ember bekas dan lainnya yang memungkinkan menjadi tempat

berkem- bangbiakkan nyamuk dengan cara dikubur (Rahman, 2012).

Kegiatan diatas dapat menjadikan tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypti tidak

ada, sehingga dapat memutus mata rantai perkembangbiakan nyamuk. Selain kegiatan 3M,

kegiatan PSN DBD ditambah dengan tindakan plus yaitu:

a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis

seminggu sekali.

b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak.

c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon dan lain-lain, seperti dengan

tanah.

d. Menaburkan bubuk larvasida, misalnya pada tempat-tempat yang sulit dikuras atau di

daerah yang sulit air.

e. Memasang kawat kasa.

f. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air.

g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian.

h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai.

i. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.

j. Menggunakan kelambu.

Page 14: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Berdasarkan penelitian Ayubi dan Hasan (2007) menemukan bahwa ada hubungan

yang bermakna antara kebiasaan melakukan PSN DBD dengan kejadian DBD di Kota Bandar

Lampung. Individu yang tidak melakukan dan melakukan 1M (menguras atau menutup atau

mengubur saja) berisiko 2,22 kali dan 5,85 kali lebih besar untuk menderita DBD dari pada

yang melakukan PSN (2M atau 3M). Selain itu, penelitian Setyobudi (2011) menunjukkan

bahwa partisipasi PSN memiliki hubungan yang bermakna dengan keberadaan jentik

nyamuk dengan nilai p value = 0,0001.

2.3.2 Pengendalian secara Kimia

Pengendalian secara kimiawi masih paling sering digunakan baik bagi program

pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD

bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida jika digunakan secara tepat sasaran,

tepat dosis, tepat waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi

dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan

insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor.

Insektisida untuk pengendalian DBD harus digunakan dengan bijak dan merupakan

media yang ampuh untuk pengendalian vektor (Sukowati, 2010).

2.3.3 Pengendalian secara Biologi

Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk

pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti

mampu mengendalikan populasi larva vektor DBD adalah dari kelompok bakteri, predator

seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda) (Sukowati, 2010).

2.3.4 Manajemen Lingkungan

Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi

bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan

Page 15: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik

kalau dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan lembaga

swadaya masyarakat melalui program kemitraan (Sukowati, 2010).

a. Predator

Cukup banyak predator larva di alam, namun yang bisa digunakan untuk

pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya dan yang paling mudah didapat dan

dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik. Ada beberapa ikan

yang berkembang biak secara alami dan biasa digunakan di Indonesia adalah ikan kepala

timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah digunakan

untuk pengendalian larva DBD adalah ikan cupang. Meskipun terbukti efektif untuk

pengendalian larva Aedes Aegypti, namun sampai sekarang belum digunakan oleh

masyarakat secara luas dan berkesinambungan.

Jenis predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan larva

DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops, jenis ini merupakan jenis Crustacea

dengan ukuran mikro. Beberapa spesies sudah diuji coba dan efektif, antara lain

Mesocyclops aspericornis diuji coba di Vietnam, Tahiti dan juga di Balai Besar Penelitian

Vektor dan Reservoir, Salatiga. Peran Copepoda dalam pengendalian larva DBD masih harus

diuji coba lebih rinci ditingkat operasional.

b. Bakteri

Kelompok bakteri merupakan agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan

digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva vektor. Dua spesies bakteri

yang sporanya mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus

thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS). Endotoksin merupakan racun

perut bagi larva, sehingga spora harus masuk ke dalam saluran pencernaan larva.

Page 16: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Keunggulan agent biologis ini tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan

dan organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara berulang dan

sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah melalui sektor kesehatan. Karena

endotoksin berada di dalam spora bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agent

tersebut tidak efektif lagi.

5. Kepadatan Vektor

Menurut WHO-South East Region (2010), kepadatan vektor DBD dapat diketahui

dengan melakukan surveilans nyamuk Aedes Aegypti. Kegiatan ini dapat memperoleh

distribusi, kepadatan vektor, habitat utama vektor serta faktor resiko lainnya seperti tempat

dan waktu yang berhubungan dengan transmisi virus dengue dan level insektisida yang

rentan atau resisten untuk menentukan wilayah dan musim yang menjadi prioritas kegiatan

pengendalian vektor.

Suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi dan memonitoring populasi larva

nyamuk yaitu dengan melakukan metode survey larva atau jentik. Metode ini paling sering

digunakan dibandingkan dengan metode survei telur maupun nyamuk dewasa karena lebih

praktis dibandingkan metode lainnya. Tempat pengambilan sampelnya adalah rumah atau

tempat yang dilakukan penyelidikan tempat penampungan air atau kontainer vektor (WHO-

South East Region, 2010). Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan (2005) pemeriksaan jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Memeriksa keberadaan jentik nyamuk pada semua TPA atau kontainer di rumah tangga

yang berpotensi menjadi tempat perkembang biakan nyamuk Aedes Aegypti.

Pemeriksaan dilakukan dengan mata telanjang.

Page 17: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

b. Pemeriksaan pada TPA yang berukuran besar (bak mandi, drum dan lain- lain), jika pada

pandangan pertama tidak menemukan jentik maka tunggu kira-kira ½ - 1 menit untuk

memastikan bahwa jentik benar-benar tidak ada.

c. Pemeriksaan pada TPA berukuran kecil (vas bunga, air tampungan kulkas, tempat minum

burung dan lain-lain), airnya harus dipindahkan dahulu ke tempat lain.

d. Pemeriksaan pada tempat yang agak gelap atau airnya keruh dapat menggunakan senter.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2005)

menyebutkan bahwa terdapat 2 metode yang digunakan pada survei jentik, yaitu:

a. Single larva, dimana dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan

air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.

b. Visual, cukup dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air

tanpa mengambil jentiknya.

2.3.4. Tata Cara Mengamati Jentik Nyamuk

Menurut Robby Indra Wahyudi dkk (2013) cara untuk mengamati keberadaan jentik

dilakukan menggunakan lembar observasi dengan metode visual yaitu :

1. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembang biakan nyamuk

Aedes Aegypti diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya jentik.

2. Untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti: bak

mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya. Jika pada pandangan

(penglihatan) pertama tidak di temukan jentik, tunggu kira-kira ½ -1 menit untuk

memastikan bahwa benar jentik tidak ada.

3. Untuk memeriksa tempat-tempat perkebangbiakan yang kecil, seperti: vas

bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, maka airnya perlu di pindahkan ke

tempat lain.

Page 18: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

4. Untuk pemeriksaan jentik di tempat gelap, atau airnya keruh, biasanya di gunakan

senter.

5. Untuk meningkatkan ukuran jentik agar terlihat lebih jelas bisa menggunaka kaca

pembesar atau mikroskop.

Menurut Depkes RI (1996) alat untuk survei jentik visual adalah lampu senter, lembar

observasi dan alat tulis untuk mencatat hasil observasi. Sasaran survei adalah tempat-

tempat yang memungkinkan air tergenang, karena merupakan tempat biasa nyamuk Aedes

Aegypti berkembang biak. Nyamuk Aedes Aegypti betina selalu meletakkan telur di dinding

tempat penampungan air atau barang-barang yang memungkinkan air tergenang.

Survei yang dilaksanakan kelompok Dawis didampingi mahasiswa FKM UNDIP Tahun 2013

menggukan cara pelaksanaan survei jentik sebagai berikut :

1. Membuka tutup kontainer air apabila ada;

2. Mengamati secara langsung ada tidaknya jentik di dalam kontainer, Lampu senter

digunakan untuk membantu pengamatan kontainer di tempat kurang cahaya,

dengan cara mengarahkan cahaya senter ke dalam kontainer, tunggu beberapa saat

apakah ada jentik yang terlihat;

3. Menghitung jumlah total tempat penampungan air dan jumlah tempat penampungan

air yang positif jentik;

4. Mencatat hasil pengamatan ke dalam lembar observasi.

Selain itu juga bisa menggunakan unit sampel rumah dengan mengidentifikasi

karakteristik dari tempat perkembangbiakan menurut jenis, letak, bahan, ukuran,

kebersihan air, keadaan tutup dan warna, penelitian ini juga disertakan lembar wawancara

mengenai kegiatan PSN DBD yang dilakukan oleh penghuni yang tinggal di rumah tersebut

baik Bapak/Ibu yang mewakili sebagai Kepala Keluarga (Depkes RI, 2005).

Page 19: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

2.3.5 3M (Menutup, Menguras, Mengubur)

Upaya pemberantasan penyakit DBD yang paling penting adalah upaya membasmi

larva nyamuk penularannya di tempat perindukannya dengan melakukan 3M yaitu salah

satunya menguras tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali dengan

cara menyikat dinding penampungan air dengan baik dan benar. PSN (Pemberantasan

Sarang Nyamuk) merupakan cara pemberantasan yang lebih aman, murah dan sederhana.

Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah dalam pengendalian vektor DBD lebih

menitikberatkan pada program ini, walaupun cara ini sangat tergantung pada peran serta

masyarakat (Chadijah, 2011).

Hasil observasi peneliti sebelumnya di temukan bahwa jenis TPA (Tempat

Penampungan Air) sehari-hari yang paling banyak ditemukan larva yaitu bak mandi

sebanyak 19 buah dan yang paling sedikit ditemukan yaitu ban karet ada 2 buah. Hal ini

disebabkan karena pada waktu dilakukan pengamatan sebagian pada tempat penampungan

air tersebut ditemukan bak mandi yang berlumut, kotor, dan airnya agak keruh. Hal ini

sejalan dengan penelitian Ni Nyoman, yang memperlihatkan bahwa jenis TPA (Tempat

Penampungan Air) sehari-hari yang paling banyak ditemukan larva adalah bak mandi. Hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu membersihkan atau menguras belum menjadi

kebiasaan yang kontinyu, teknik pengurasan yang tidak tepat, waktu pengurasan yang lebih

dari satu minggu dan kondisi lingkungan ruang maupun air yang mendukung

perkembangbiakan nyamuk (Ninyoman, 2008).

Selain itu, bahan dari semen mudah berlumut, permukaannya kasar dan berpori-pori

pada dindingnya. Permukaan kasar memiliki kesan sulit dibersihkan mudah ditumbuhi

lumut, dan mempunyai refleksi cahaya yang rendah. Refleksi cahaya yang rendah dan

permukaan dinding yang berpori mengakibatkan suhu dalam air menjadi rendah, sehingga

Page 20: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

jenis bahan TPA (Tempat Penampungan Air) yang demikian akan disukai oleh nyamuk Aedes

Aegypti sebagai tempat perkembangbiakannya (Ninyoman, 2008).

Bila pelaksanaan menguras ini dikaitkan dengan kepadatan larva pada penelitian ini

untuk rumah yang melakukan pengurasan dengan densitas larva tinggi sebanyak 33 rumah

sedangkan untuk rumah yang tidak melakukan pengurasan dengan densitas larva tinggi ada

16 rumah. Hal ini didapatkan dari jumlah kontainer yang terdapat larva dibagi dengan

jumlah kontainer yang telah diperiksa. Oleh karena itu keberadaaan tempat penampungan

air sangat berperan dalam menentukan kepadatan vektor nyamuk Aedes Aegypti, karena

semakin banyak tempat penampungan air akan semakin banyak tempat perindukan dan

akan semakin padat populasi nyamuk Aedes Aegypti, maka semakin tinggi pula risiko

terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit

DBD cepat meningkat yang pada akhinya mengakibatkan terjadinya KLB (Kejadian Luar

Biasa) (Ninyoman, 2008).

2.3.6 Kebersihan Lingkungan Menurut Agama Islam

Agama Islam menuntun umat manusia ke arah kesempurnaan, kebahagiaan dan

kesejahteraanhidup lahir bathin, baik di dunia sekarang ini maupun di akhirat nanti. Agama

Islam memberi petunjuk kepada umat manusia dalam upaya mengantisipasi cobaan dan

tantangan hidup, termasuk dalam menghadapi penyakit yang merupakan sebab

kesengsaraan dan penderitaan. Agama Islam mendorong umat manusia untuk menjaga dan

memelihara kesehatan, karena pemeliharaan kesehatan adalah suatu upaya yang sangat

penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Hasil usaha pemeliharaan kesehatan, tidak

hanya terbatas pada terjadinya keadaan sehat, akan tetapi mempunyai dampak jauh lebih

Page 21: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

luas pada peningkatan makna hidup dan kehidupan itu sendiri baik perorangan maupun

masyarakat, baik aspek duniawi maupun ukhrawi (Majelis Ulama Indonesia, 2015).

Ajaran Islam tentang ibadat ataupun mu’amalat erat kaitannya dengan pemeliharaan

kesehatan, begitu pula sebaliknya, pemeliharaan kesehatan berkaitan dengan

ibadah. Pemeliharaan kesehatan dengan segala aspeknya adalah amal kebajikan dari setiap

amal kebajikan yang didasari iman dikategorikan amal shaleh yang akan mendapat balasan

berupa kehidupan yang lebih baik (Majelis Ulama Indonesia, 2015).

Dalam upaya mengamalkan dan memasyarakatkan ajaran Islam tentang air bersih,

kebersihan dan kesehatan lingkungan para ulama memegang peranan yang amat

penting. Ulama selaku pewaris para Nabi mempunyai tanggung jawab untuk menuntun dan

membimbing umat, amar ma’ruf nahi munkar, yang salah satunya memasyarakatkan air

bersih dan kesehatan lingkungan dalam rangka meningkatkan kualitas umat di bidang

kesehatan. Memelihara air bersih dan kesehatan lingkungan merupakan aspek amar ma’ruf.

Mencegah pencemaran air serta merusak kesehatan lingkungan merupakan aspek nahi

munkar. Firman Allah SWT yang artinya :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah

orang-orang yang beruntung” (Ali Imran [3]:104).

Dalam memasyarakatkan air bersih, sanitasi dan kesehatan lingkungan, para ulama

dapat menggunakan beberapa cara pendekatan, di antaranya:

1. Menyebarluaskan pengetahuan dan pemahaman tentang air bersih, sanitasi dan

kesehatan lingkungan melalui ceramah dalam kegiatan pengajian, tabligh, khutbah

jum’at, ceramah agama, majelis taklim dan pada setiap kesempatan di mana para

ulama berbicara.

Page 22: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

2. Memberikan contoh dan keteladanan yang baik dalam usaha pemeliharaan air

bersih, sanitasi dan kesehatan yang dimulai dari dirinya sendiri, rumah tangga,

lingkungan tempat ibadah(masjid/mushalla), lingkungan pendidikan

(madrasah/pesantren) dan sebagainya. keadaan sehat, akan tetapi mempunyai

dampak jauh lebih luas pada peningkatan makna hidup dan kehidupan itu sendiri

baik perorangan maupun masyarakat, baik aspek duniawi maupun ukhrawi (Majelis

Ulama Indonesia, 2015).

Untuk dapat terlaksananya semua ini, perlu ada kerjasama yang baik antara ulama

dan ormas-ormas Islam dengan umara serta lembaga-lembaga lain yang terkait, antara

lain Kementrian Agama, Kementrian Kesehatan, Kementrian Pekerjaan Umum dan

Kementrian Lingkungan Hidup & Kehutanan (Majelis Ulama Indonesia, 2015).

2.3.7 Gejala Klinis Demam Berdarah DBD

Berikut ini adalah gejala klinis DBD menurut Hospital Care for Children (2018) yaitu :

Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7

hari

Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan :

1. Uji bendung positif

2. Petekie, Ekimosis, Purpura

3. Perdarahan mukosa, Epistaksis, perdarahan gusi

4. Hematemesis dan atau melena

5. Pembesaran hati

6. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi

( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab,

capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.

Page 23: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

2.3.8 Program Penanggulangan DBD

Menurut Dinas kesehatan Aceh Tahun 2019 program penanggulangan DBD yaitu PSN

dan 4M Plus. Dalam penanganan DBD ini peran serta masyarakat untuk menekan kasus ini

sangat menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan

cara 4M Plus perlu terus dilakukan secara berkelanjutan sepanjang tahun khususnya pada

musim penghujan.

Program PSN , yaitu: 1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering

dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air

minum, penampung air lemari es dan lain-lain 2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat

tempat-tempat penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan 3)

Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi

tempat perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah, 4). Memantau wadah

penampungan air dan bak sampah (Dinkes Aceh, 2019).

Adapun yang dimaksud dengan Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan

seperti 1) Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit

dibersihkan; 2) Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk; 3) Menggunakan kelambu

saat tidur; 4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk; 5) Menanam tanaman pengusir

nyamuk, 6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah; 7) Menghindari kebiasaan

menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk, dan lain-

lain. Setiap rumah juga dihimbau untuk punya satu orang pemantau jentik (jumantik)

sampah (Dinkes Aceh, 2019).

Periksa wadah atau tanaman yang bisa menampung air (vas bunga, tempat minum

burung, wadah penampungan air ditempat dispenser), dan memperbaiki saluran dan talang

air yang tidak lancar. Jangan menggantung pakaian bekas pakai, memelihara ikan pemakan

Page 24: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

jentik, memasang kawat kasa pada ventilasi rumah, menanam tanaman pengusir nyamuk

(selasih, serai, lavender, dan geranium), serta memakai lotion/spray antinyamuk sampah

(Dinkes Aceh, 2019).

PSN perlu ditingkatkan terutama pada musim penghujan dan pancaroba, karena

meningkatnya curah hujan dapat meningkatkan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk

penular DBD, sehingga seringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) terutama pada saat

musim penghujan sampah (Dinkes Aceh, 2019).

2.3.9 Observasi

Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap suatu objek yang ada di

lingkungan yang sedang di amati meliputi berbagai aktivitas perhatian terhadap kajian objek

dengan menggunakan pengindraan (Arikunto, 2013). Menurut Sudjana (2010) pengertian

observasi adalah metode penelitian untuk mengukur tindakan dan proses individu dalam

sebuah peristiwa yang diamati.

Berikut ini beberapa peralatan yang di gunakan peneliti untuk proses observasi jentik

antaranya :

1. Cawan Porsele Penampung jentik Nyamuk Aedes Aegypti

2. Senter dengan merek tesla yang di produksi tahun 2018

3. Kaca Pembesar dengan tingkat pembesaran 6X.

2.4 Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik nyamuk Aedes Aegypti

2.4.1 Hubungan Menutup dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti

Penggunaan tutup pada tempat penampungan air dengan benar memiliki dampak

yang signifikan untuk mengurangi keberadaan larva dan pupa nyamuk Aedes Aegypti

dibandingkan dengan penampungan tanpa penutup (Tsuzuki, 2009).

Page 25: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Penelitian Arsin (2004) mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian

DBD di Kota Makasar menunjukkan bahwa keberadaan tutup pada kontainer/penampungan

berhubungan dengan keberadaan vektor DBD. Dengan adanya tutup berarti tempat hidup

bagi nyamuk Aedes Aegypti tidak tersedia. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sandra

(2010), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ketersediaan tutup pada TPA

(p=0,009) dengan kejadian DBD di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong.

Hasil analisis Ramlawati (2015) pada variabel tindakan menutup tempat

penampungan air tidak berhubungan dengan densitas larva Aedes Aegypti. Tidak adanya

hubungan antara praktik menutup TPA (Tempat Penampungan Air) dengan densitas larva

Aedes Aegypti, disebabkan karena sebagian besar rumah tergolong buruk dalam

pelaksanaan praktik menutup TPA (Tempat Penampungan Air). Hasil observasi menunjukkan

banyak penampungan air yang tidak memiliki penutup seperti bak mandi dan sebagian

ember. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah sifat nyamuk Aedes Aegypti yang lebih

menyukai TPA (Tempat Penampungan Air) yang tertutup tetapi dalam keadaan longgar

daripada TPA (Tempat Penampungan Air) yang tidak tertutup sama sekali. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurjannah menyatakan bahwa praktik menutup TPA

(Tempat Penampungan Air) tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian DBD

(Nurjannah, 2013). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Riyadi

yang menyatakan bahwa ada hubungan antara tindakan PSN DBD (p = 0,000) dengan

densitas larva Aedes Aegypti (Riyadi, 2012).

Penelitian lain, Setiawan (2002) menunjukkan ada hubungan antara letak

TPA/tempat penampungan air, tutup TPA dan frekuensi pembersihan TPA. Selain itu

penelitian Damyanti (2009) mengenai hubungan pengetahuan, sikap dan praktek 3M

(menutup, mengubur dan menguras) dengan keberadaan jentik Aedes Aegypti menunjukkan

Page 26: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek menguras tempat

penampungan air dan praktek mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dengan

keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti di Kelurahan Kepolorejo, Magetan.

2.4.2 Hubungan Menguras dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti

Pengurasan tanpa penyikatan dan sabun tidak menghilangkan telur-telur

yang menempel di dinding tempat penampungan air. Responden yang tidak menguras bak

mandi bisa terjadi karena bak memiliki volume yang cukup besar. Ukuran yang besar

menyebabkan responden malas dan jarang membersihkan. Pengurasan dilakukan minimal

seminggu sekali untuk mengurangi kesempatan nyamuk bertahan hidup dalam waktu

beberapa bulan (Depkes RI, 2005). Perkembangan jentik membutuhkan asupan makanan.

Mikroorganisme yang tumbuh pada dinding tempat penampungan air merupakan sumber

makanan bagi jentik. Kegiatan menguras juga dapat mengurangi asupan makanan bagi

jentik (Hadi, 2006).

Hal ini baik untuk pertumbuhan jentik karena terdapat mikro-organisma sebagai

asupan makanan jentik (Hadi, 2006). Responden tidak mengubur barang bekas karena masih

menyimpan dan menggunakan kembali. Penyebab laiannya karena tidak adanya lahan

kosong untuk membuangnya. Responden yang mengubur kontainer berisiko terhadap

jentik, karena penguburan tidak dilakukan secara tepat (masih terdapat lubang pada tanah)

sehingga dapat menampung air hujan yang menyebabkan pembiakan jentik nyamuk

(Mubarokah, 2012).

Penelitian Dewi, dkk (2013) didapatkan bahwa ada hubungan antara menguras

tempat dengan keberadaan larva Aedes Aegypti. Menguras tempat penampungan air

minimal seminggu sekali dapat mengurangi tempat berkembang biaknya larva Aedes

Aegypti. Karena dalam siklus hidup nyamuk diketahui bahwa larva Aedes Aegypti dapat

Page 27: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

berkembang biak selama 6-8 hari (Sulina, 2012). Oleh karena itu, pelaksanaan menguras TPA

seminggu sekali berpengaruh dalam kemungkinan terjadinya DBD.

2.4.3 Hubungan Mengubur dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti

Menurut Soeroso (2000) kaleng bekas, ban bekas, botol bekas dapat memberikan

kontribusi yang cukup besar terhadap bertambahnya larva Aedes Aegypti yang otomatis

membuka peluang terhadap kejadian DBD. Ban mobil bekas merupakan tempat

perkembang biakan utama Aedes Aegypti daerah perkotaan. Ban, botol, plastik, dan barang-

barang lain yang dapat menampung air merupakan sarana yang memungkinkan untuk

tempat perkembang biakan nyamuk. Semakin banyak barang bekas yang dapat menampung

air, maka semakin banyak pula tempat bagi nyamuk untuk bertelur dan berkembang biak,

sehingga makin meningkat pula risiko kejadian DBD.

Masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pancana masih ditemukan warga yang tidak

mengubur barang bekas dikarenakan mereka masih menyimpan barang bekas tersebut di

lingkungan permukiman dengan alasan akan dipergunakan kembali dan tidak ada lahan

kosong untuk mengubur maupun membakarnya. Jika hal ini dibiarkan maka keberadaan

barang-barang bekas di rumah maupun disekitarnya dapat menajdi tempat perkembang

biakan jentik nyamuk Aedes Aegypti karena barang bekas tersebut dapat menjadi wadah

tergenangnya air. Sebagaimana nyamuk Aedes Aegypti sangat me- nyukai keadaan air yang

bersih dan tidak bersentu- han langsung dengan tanah. Hasil penelitian ini se- jalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Wati (2009) menunjukkan terdapat hubungan antara

mengubur barang bekas dengan keberadaan larva Aedes Aegypti di Tempat penampungan

air dengan kejadian DBD.

2.4.4 Hubungan Suhu dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti

Page 28: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Menurut Michael (2006) dalam Kemenkes RI (2010), perubahan iklim dapat

menyebabkan perubahan suhu, kelembaban, curah hujan, arah udara sehingga berpengaruh

terhadap ekosistem daratan dan lautan serta kesehatan terutama pada perkembangbiakan

vektor penyakit seperti nyamuk Aedes dan lainnya. Hampir sama dengan pernyataan

Achmadi (2011), bahwa suhu lingkungan dan kelembaban akan mempengaruhi bionomik

nyamuk, seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur dan lain

sebagainya.

Menurut KEPMENKES 829 Tahun 1999, nyamuk pada umumnya akan meletakkan

telurnya pada kelembaban sekitar 40% sampai 70%. Toleransi terhadap suhu tergantung

pada spesies nyamuk, suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk Aedes Aegypti berkisar

antara 18°C sampai 30°C dan pertumbuhan akan terhenti pada suhu kurang dari 10°C atau

di atas 40°C (KEPMENKES RI, 1999).

Hasil penelitian Ririh (2005) menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna

antara suhu udara dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti di Kelurahan

Wonokusumo. Sedangkan penelitian Nugrahaningsih (2010), menunjukkan ada hubungan

antara kelembaban udara dengan keberadaan jentik nyamuk penular DBD di wilayah kerja

Puskesmas Kuta Utara. Penelitian Ririh (2005) menunjukkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara kelembaban udara dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti di

Kelurahan Wonokusumo.

2.4.5 Hubungan Kelembaban dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Herdianti (2017) selama 30 hari

menunjukkan bahwa kelembaban yang optimal bagi keberadaan jentik nyamuk Aedes

Aegypti yaitu ditemukan pada 18 hari (60%) sedangkan kelembaban yang tidak optimal bagi

keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti ditemukan pada 12 hari (40%). Selanjutnya dari

Page 29: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

hasil analisis linear anova antara kelembaban dengan keberadaan jentik Aedes Aegypti

diperoleh nilai r=0,609, dengan kata lain hasil tersebut adalah hubungan kelembaban

dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti menunjukkan hubungan yang kuat. Nilai

koefisien determinasi 0,371 (37,1%) atinya persamaan garis regresi yang diperoleh

dapat menerangkan variasi kelembaban.

Hasil uji statistik didapatkan p- value = 0,000 < alpha (0,05). Maka Ho ditolak, dengan

kata lain ada hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan keberadaan jentik

nyamuk Aedes Aegypti di RT 45 Kelurahan Kenali Besar. Menurut Kurtubi Kelembaban udara

adalah banyak sedikit-nya uap air di udara. Uap air diudara berasal dari penguapan di

permukaan bumi, air laut, dan air pada tumbuh-tumbuhan. Kandungan uap air diudara

berubah- ubah, berantung pada temperaturnya. Kelembaban mempengaruhi distribusi

dan lama hidup nyamuk6. Untuk mengukur kelembaban udara digunakan hygrometer, yang

dilengkapi dengan jarum penunjuk angka relatif kelembaban (Widiyanto, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ririh (2005) menunjukkan terdapat

hubungan antara kelembaban udara, jenis kontainer, pengetahuan dan sikap terhadap

keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti di Kelurahan Wonokusumo, Kecamatan

Semampir, Kota Surabaya. Penelitian Suyasa (2008), menunjukkan ada hubungan antara

kepadatan penghuni, keberadaan tempat ibadah, keberadaan pot tanaman hias, saluran air

hujan, mobilitas penduduk, keberadaan kontainer, tindakan dan kebiasaan menggantung

pakaian dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti di Wilayah Kerja Puskesmas I

Denpasar Selatan.

KEPMENKES RI 829 Tahun 1999 menyatakan bahwa kelembaban udara yang berkisar

40% - 70% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan

hidup embrio. Kelembaban optimal vektor adalah 70% -80% (Yudhastuti, 2007). Hal ini

Page 30: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

sejalan dengan penelitian Ika dan Zainal yang menyatakan bahwa ada hubungan antara

kelembaban dengan keberadaan larva Aedes Aegypti dengan nilai p-value = 0,000. Dari hasil

tersebut dapat dikatakan bahwa kelembaban yang optimal untuk menjamin keberadaan

larva dalam sebuah lingkungan jika dibandingkan dengan kelembaban tidak optimal

(Novitasari, 2013). Penelitian Asrinti, dkk juga menyatakan bahwa ada hubungan

kelembaban dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti dengan nilai p- value =

0,0145.

Untuk mengurangi risiko keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti yang dipengaruhi

oleh kelembaban dapat dilakukan dengan membuat ventilasi pada setiap ruangan dirumah

dan menyesuaikannya dengan luas ruangan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat

untuk selalu melakukan upaya pencegahan agar tidak ditemukannya tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti.

2.4 Kerangka Teori

Berdasarkan teori yang dikemukakan dalam tinjauan pustaka maka dapat disimpulkan

kerangka teoritis dalam penelitian ini sebagai berikut:

Page 31: Nyamuk Aedes Aegypti - UNMUHA

Gambar 2.1 Kerangka teori

Achmady (2011)

1. Pengetahuan2. Praktek menguras tempat

penampungan air

WHO (2009)

1. Praktek mengubur barangbarang bekas

2.SikapKeberadaan Jentik

Nyamuk AedesAegepty

Arsin (2004)

1. Suhu Dan Kelembaban2. Lingkungan

Nugrahaningsih (2010)

1. Praktek menutup tempatPenampungan Air

2. Prilaku