107
OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MEMBERIKAN PEMBINAAN BAGI NARAPIDANA SEBAGAI UPAYA MENCEGAH TERJADINYA RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB MEULABOH Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat Memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar sasrjana sosial SKRIPSI OLEH: MUHAMMAD YUNUS NIM. 09C20201122 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH-ACEH BARAT TAHUN 2014

OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM

MEMBERIKAN PEMBINAAN BAGI NARAPIDANA SEBAGAI

UPAYA MENCEGAH TERJADINYA RESIDIVIS DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS IIB MEULABOH

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat

Memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar sasrjana sosial

SKRIPSI

OLEH:

MUHAMMAD YUNUS

NIM. 09C20201122

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

MEULABOH-ACEH BARAT

TAHUN 2014

Page 2: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

i

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam

Memberikan Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya

Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.

Nama Mahasiswa : Muhammad Yunus

NIM : 09C20201122

Program Studi : Ilmu Administrasi Negara

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Ketua,

Sudarman, S.Ag. M.Ag.

NIDN: 01-2504-7601

Anggota,

Saiful Asra, M.Soc.Sc.

NIDN: 01-1305-8201

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Ilmu Administrasi Negara,

Saiful Asra, M.Soc.Sc.

NIDN: 01-1305-8201

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Sudarman, S.Ag., M.Ag.

NIDN: 01-2504-7601

Tanggal Lulus: 07 Juni 2014

Page 3: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI

Skripsi dengan Judul Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan

Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Atas nama Muhammad Yunus,

NIM 09C20201122 telah dipertahankan di depan sidang dewan penguji pada

tanggal, 07 Juni 2014 dan telah direvisi.

KOMISI PENGUJI

1. Sudarman, S.Ag., M.Ag. : ……………………

NIDN: 01-2504-7601 Ketua

2. Saiful Asra, M.Soc.Sc. : …………………….

NIDN: 01-1305-8201 Anggota

3. Muhammad Idris M.Pd : …………………….

NIDN: 0123037902 Anggota

4. Hilda Syahfitir Srg, SE : …………………….

NIDN: 0122088102 Anggota

Alue Peunyareng, 07 Juni 2014

Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Saiful Asra, M.Soc.Sc. NIDN: 01-1305-8201

Page 4: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : MUHAMMAD YUNUS

NIM : 09C20201122

Program Studi : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Teuku Umar Meulaboh

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini benar dibuat oleh penulis sendiri dan

orisinil, serta belum pernah digunakan oleh orang lain untuk memperoleh gelar

sarjana akademik di suatu perguruan tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis disebutkan

dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam skripsi ini baik semua atau sebagian isinya terdapa

unsur-unsur plagiat saya akan bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik

yang saya peroleh dapat dicabut/dibatalkan serta dapat diproses sesuai dengan

peraturan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dan ditandatangani dalam keadaan sadar

tanpa tekanan/paksaan dari siapapun.

Meulaboh, 07 Juni 2014

Yang membuat pernyataan,

Muhammad Yunus

NIM. 09C20201122

Page 5: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

iv

RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Yunus

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Tempat/Tgl Lahir : Trieng Judo/13 Juli 1979

Agama : Islam

Status : Menikah

Nama Istri : Rini Anggreyani, Ama.Pd.

Nama Anak : 1. Khalis Maula Azis

2. Khalas Muazzam

Ayah : Alm. Ibrahim

Ibu : Hendon

Alamat : Jl. Nasional, Lr. Kuini No. 14, Gampong Ujong Baroe,

Kecamatan Johan Pahlawan.

Pendidikan formal

1. SD : 1985 s/d 1991 (SD Trieng Judo Pidie)

2. SMP : 1991 s/d 1994 (SMP Tiro)

3. SMEA : 1994 s/d 1997 (SMEA Negeri Sigli)

Pengalaman Organisasi

1. Ketua III Bagian Keamanan, Organiasasi Kepemudaan INSAN DAMAI,

Kajhu, Aceh Besar.

2. Ketua Komplek Perumahan Pola Keumala Kajhu, Aceh Besar.

3. Pengurus Satgas SAR Meulaboh Rescuer, Aceh Barat.

4. Pengurus Wilayah RAPI Meulaboh, Aceh Barat.

Page 6: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dan seandainya semua pohon yang adadi bumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka

belum akan habis kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Lukman: 27)

Segenap tinta ini adalah wujud dari keagungan dan kasih sayang Allah. Setiap detik waktu menyelesaikan karya tulis ini merupakan hasil

getaran do’a kedua orang tua, istri dan anak-anak tercinta, saudara, dan orang-orang terkasih yang mengalir tiada henti.

SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK: Yang terkasih Ayahanda Alm. Ibrahim yang mesti tak dapat lagi

bertemu muka dan meliha kebahagian anaknya, namun dalam do’a semoga Ayahanda diberikan tempat yang agung di sisi Allah. Kepada

Ibunda Hendon yang telah melahirkan, membesarkan, membimbing, dan mendo’akan ananda sehingga dapat mencapai cita-cita ananda.

Yang tersayang, penyemangat dikala berjuang, penghibur di kala sedih, istriku yang tercinta Rini Anggreyani dan kedua buah hati kami, Khalis Maula Azis dan Khalas Muazzam. Terima kasih atas segala dukungan dan do’a yang diberikan kepada Abah. Segenap cinnta dan kasih Abah

terpulang kepada kalian bertiga.

Terima kasih kepada seluruh Dosen dan Staf Akademik FISIP Universitas Teuku Umar Meulaboh, yang telah menjadi bagian dari

keluarga baru penulis.Bersama Bapak dan Ibu semua, dimensi akademis penulis dapat terasah dengan baik. Maafkan segala kesahalan yang

pernah penulis lakukan baik sengaja maupun tidak sengaja yang menyinggung hati dan perasaan Dosen dan Staf Akademik.

Kepada teman-teman Ilmu Administrasi Negara Angkatan 2009, terima kasih sudah menerima penulis menjadi bagian dari keluarga kalian.

Terima kasih atas pertemanan dan pengalaman yang kalian berikan. Semoga persahabatan kita berlanjut hingga maut memisahkan.

“Do the best everytimi anda everywhere”

MUHAMMAD YUNUS

Page 7: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

vi

ABSTRAK

MUHAMMAS YUNUS (09C20201122). Optimalisasi Lembaga

Pemasyarakatan Dalam Memberikan Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai

Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB

Meulaboh. (Pembimbing I Sudarman, S.Ag., M.Ag. dan Pembimbing II

Saiful Asra, M.Soc. Sc).

Pembinaan yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan seperti pelatihan kerja

atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, minat dan

keinginan narapidana, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi

di luar lembaga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara

pelaksanaan pembinaan narapidana, hambatan yang dihadapi, serta upaya untuk

mengatasi hambatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

klas IIB. Metode yang dipakai adalah kualitatif dengan pendekatan Yuridis

Sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara pelaksanaan pembinaan

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, yaitu, melalui

aktivitas pembinaan narapidana dan ditunjang oleh sarana dan prasarana.

Hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh adalah

etnis yang berbeda, kurangnya jumlah petugas keamanan, tidak memadai sarana

dan prasarana, sarana fisik bangunan Lembaga Pemasyarakatan yang belum

rampung, kurangnya minat warga binaan khususnya bagi narapidana residivis.

Upaya untuk mengatasi hambatan sehingga terjadinya residivis dengan

menggunakan metode pendekatan humanistik (manusiawi).

Kata Kunci: Pembinaan Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan, Meulaboh Aceh

Barat

Page 8: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.

Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis telah dapat menyusun skripsi

dengan judul Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan

Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis

di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Selama penyusunan skripsi

ini penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang

menginginkan agar penulisan skripsi ini dapat mendekati kesempurnaan. Oleh

karena itu, penulis ingin berterima kasih kepada:

1. Drs. Alfian Ibrahim, MS., Rektor Universitas Teuku Umar Meulaboh.

2. Sudarman, S.Ag., M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Teuku Umar dan Pembimbing I yang telah mengarahkan

dan membina sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Saiful Asra, M.Soc. Sc. Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara

dan Pembimbing II, yang telah membina dan mengarahkan agar skripsi

ini dapat segera diselesaikan.

4. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Alm. Ibrahim dan Hendon, yang

telah dengan sabar membesarkan dan mendoakan penulis sampai saat

sekarang ini.

5. Kepada istri tercinta, Rini Anggreyani, Ama.Pd., yang selalu

mendampingi dalam susah dan senang dalam mencapai cita-cita. Serta

kedua buah hati tersayang, Khalis Maula Azis dan Khalas Muazzam

dimana kasih Abah berpulang kepada mereka berdua.

Page 9: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

viii

6. Kepala Lapas Kelas IIB Meulaboh, Sulitiyono, Bc.IP. yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi serta

memberikan akses dalam penelitian.

7. Said Hidayat (Ka. Subsie Registrasi Lapas Klas IIB Meulaboh), Banta

Sidi (Kasie Binadik Lapas Klas IIB Meulaboh), Jasman (Ka. Subsie

Bimker Lapas Klas IIB Meulaboh), serta rekan-rekan di Lapas Klas IIB

Meulaboh yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih

atas bantuan dan dukungan yang selama ini diberikan.

8. Kepada informan dalam penelitian ini, yang telah membantu

memberikan data yang sebenar-benarnya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

9. Kepada civitas akademik FISIP UTU terima kasih telah menjadi teman

dan sahabat baru bagi penulis.

10. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatukarena keterbatasan ruang dan terima kasih telah membantu

terselesaikannya skripsi ini tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan,

oleh karenga itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat

penulis harapkan.

Meulaboh, 07 Juni 2014

Penulis

MUHAMMAD YUNUS

Page 10: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI .......................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii

LEMBAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... iv

LEMBAR PERSEMBAHAN ........................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 8

1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8

1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 8

1.5. Sistematika Penulisan ......................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 12

2.1. Kajian Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan ........................... 12

2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Kepenjaraan di Indonesia........... 12

2.1.2. Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Pemasyarakatan ........ 18

2.2. Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana ........... 23

2.3. Konsep Pembinaan .............................................................................. 26

2.4. Macam-Macam Pembinaan ................................................................ 30

2.5. Tahap-Tahap Pembinaan Narapidana ................................................ 31

2.6. Kajian Umum Tentang Residivis ....................................................... 34

2.6.1. Pengertian Residivis ................................................................. 34

2.6.2. Residivis Dalam KUHP ........................................................... 37

2.7. Recidive Sebagai Dasar Pemberatan Pidana...................................... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 46

3.1. Metode Penelitian................................................................................ 46

3.2. Lokasi Penelitian ................................................................................. 46

3.3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ................................... 47

3.3.1. Sumber Data .............................................................................. 47

3.3.2. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 48

3.4. Instrumen Penelitian ........................................................................... 51

3.5. Teknik Penentuan Informan ............................................................... 51

3.6. Teknik Analisis Data........................................................................... 53

3.7. Uji Kredibilitas Data ........................................................................... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 58

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 58

4.1.1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Meulaboh ....... 58

4.1.2. Letak Geografis dan Kondisi Fisik Bangunan ........................ 59

4.1.3. Struktur Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh ......... 62

4.1.4. Tugas dan Fungsi Pegawai Lembaga Pemasyarakatan .......... 64

4.1.5. Tim Pengamat Pemasyarakatan ............................................... 67

Page 11: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

x

4.1.6. Petugas Pemasyarakatan .......................................................... 68

4.1.7. Keadaan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan........................ 69

4.2. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana.................................................. 71

4.2.1. Tahap-tahap Pembinaan ........................................................... 71

4.2.2. Aktivitas Pembinaan Narapidana ............................................ 77

4.2.3. Sarana dan Prasarana Penunjang Pembinaan .......................... 82

4.3. Hambatan Dalam Membina Narapidana Residivis ........................... 86

4.4. Upaya Mengatasi Hambatan............................................................... 91

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 94

5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 94

5.2. Saran .................................................................................................... 95

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 96

LAMPIRAN ........................................................................................................ 97

Page 12: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ketika berbicara tentang kejahatan, maka kata yang pertama muncul adalah

pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan ini biasa disebut dengan penjahat, kriminal,

atau lebih buruk lagi, sampah masyarakat, dan masih banyak lagi. Maka tidaklah

mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada

tindakan penghukuman terhadap pelaku. Dengan memberikan hukuman kepada

pelaku masih dianggap sebagai obat manjur untuk menyembuhkan baik luka atau

derita korban maupun kelainan perilaku yang dinggap oleh pelaku kejahatan.

Dimana hukuman yang dimaksud yaitu merupakan suatu sanksi pidana

perampasan kemerdekaan sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera

terhadap pelaku kejahatan tersebut.

Dengan pemberlakuan undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang

narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika, kemudian diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah

memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat

memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan

dan/atau perawatan apabila pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan

tindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009

tentang Penempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi Dan Rehabilitasi bahwa

masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkoba

sebagaimana tersebut diatas sebagai masa menjalani pidana.

Page 13: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

2

Sanksi pidana yang berupa perampasan kemerdekaan dalam perundang

undangan di Indonesia dibedakan jenisnya yaitu pidana penjara, pidana kurungan,

dan pidana tutupan (pasal 10 KUHP dan Undang-undang No. 20 Tahun 1946)

yang penempatannya menjadi satu dalam lembaga pemasyarakatan.

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kekuasaan bergerak

dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam

sebuah penjara dengan mewajibkan orang untuk mentaati semua peraturan dari

tata tertib yang berlaku di dalam penjara yang dikaitkan dengan suatu tindakan

tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

Pada awalnya rumah penjara sebagai tempat pelaksanaan pidana penjara

yang saat itu dibagi dalam beberapa bentuk antara lain:

1. Tuchtuis adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya

berat.

2. Rasphuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan

pelajaran tentang bagaimana caranya melicinkan permukaan benda-

benda dari kayu dengan mempergunakan ampelas.

Menurut DR. Sahardjo, SH. yang ketika itu menjabat sebagai Menteri

Kehakiman Republik Indonesia mengatakan bahwa tujuan pidana penjara adalah

“Pemasyarakatan” sehingga membuat sebutan yang tadinya “Rumah Penjara”

otomatis diganti “Lembaga Pemasyarakatan”.

Lahirnya Undang-undang No. 12 Tahun 1995 penggantian istilah “Penjara”

menjadi “LembagaPemasyarakatan” tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa

pemberian maupun pengayoman warga binaan tidak hanya terfokus pada itikad

menghukum (FunitifIntend) saja melainkan suatu berorientasi pada tindakan-

Page 14: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

3

tindakan yang lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi dari warga binaan

itu.

Membicarakan kejahatan dapat dikatakan sebagai gejolak sosial yang tidak

berdiri sendiri, tetapi terkait juga dengan masalah budaya dan politik. Oleh karena

itu kejahatan tidak mungkin dibasmi secara tuntas, akan tetapi dapat dilakukan

pengendalian agar kejahatan tidak merajalela. Narapidana bukan hanya sebagai

objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya, yang

sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan dapat dikenai pidana, sehingga

yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana

berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau

kewajiban-kewajiban sosial lain.

Untuk dapat menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut diatas, merupakan

tugas utama dari pelaksana Undang-Undang antara lain yaitu, kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan serta lembaga-lembaga lain

yang terkait. Peranan petugas negara dibidang hukum mempunyai mata rantai dari

tujuan perlengkapan negara mulai dari melakukan penyidikan perkara, penuntutan

perkara, mengadili terdakwa dan memasukkan terpidana ke Lembaga

Pemasyarakatan sampai mengeluarkan kembali kemasyarakat dengan sistem

pemasyarakatan.

Walaupun telah ada gagasan untuk menjadikan tujuan dari pidana penjara

itu suatu pemasyarakatan dan sebutan “rumah penjara” telah berganti menjadi

“Lembaga Pemasyarakatan” akan tetapi di dalam prakteknya ternyata gagasan

pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara tidak didukung dengan sarana yang

Page 15: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

4

diperlukan dan bahkan perangkat peraturan yang merupakan landasan operasional

dari Lembaga Pemasyarakatan untuk mengayomi serta memasyarakatkan para

warga binaan pada saat itu masih mempergunakan perangkat peraturan

peninggalan kolonial Belanda, seperti, (1) Gestichten Reglement (Staatsblad

Tahun 1917 Nomor 708); (2) Dwang opvoeding (DOR Staatsblad 1917 Nomor

741); (3) Ordonansi Voorwaardelijke Huvijdsteling (VI) Staatsblad 1917 Nomor

749; dan (4) Voorwaardelijke Veroordeling (VV) Staatsblad 1917 No. 487.

Ke empat perangkat hukum di atas jelas merupakan peninggalan kolonial

Belanda dan sudah tidak berlaku lagi karena sekarang menggunakan Undang-

undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya

tidak ada bedanya dengan penjara. Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 2 Uundang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan dinyatakan bahwa Sistem pemasyarakatan diselenggarakan

dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia

seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak

pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan

dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik

dan bertanggung jawab.

Hal Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah

bersatunya kembali warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai

warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan

warga binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut

Page 16: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

5

membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam

pembangunan.

Demikian halnya dengan kehadiran Lembaga Pemasyarakatan klas IIB

Meulaboh yang merupakan salah satu unit pelaksanaan dalam mengayomi serta

memasyarakatkan warga binaan yang berkedudukan di Kota Meulaboh kab. Aceh

Barat dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Meulaboh yang sangat diharapkan

peran sertanya di dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan yang

merupakan salah satu sumber daya manusia sesuai dengan program pemerintah,

karena pada kenyataannya sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi penjara di

Indonesia sangat tidak manusiawi, seperti jumlah narapidana yang melebihi

kapasitas adalah pemandangan umum di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan

mengapa banyak narapidana yang tidak mendapatkan sejumlah hak secara

proposional. Seperti tempat tidur yang layak, air bersih, makanan yang layak, hak

untuk informasi dan hiburan, ibadah, kesehatan, pendidikan dan pelatihan.

Sebenarnya pembinaan tidak bisa berjalan dengan efektif, dikarenakan

kondisi Lapas dan Rutan yang sudah tidak sehat lagi, serta outputnya yang tidak

sesuai dengan harapan dari pembinaan itu sendiri. Lapas seharusnya berisi banyak

pembinaan yang memberikan penyuluhan, agar orang tersebut tidak melakukan

hal yang sama (Residivis), tetapi seperti contoh kasus Roy Marten, membuktikan

bahwa sebenarnya pembinaan di dalam penjara belumlah efektif, itu hanya

sebagian kecil dari banyaknya kasus-kasus khususnya narkotika yang berulang

(Residivis).

Melihat realitas seperti itu, penjara memang tidak lebih dari sekumpulan

orang-orang jahat (melanggar hukum pidana), yang berkumpul dari yang klas teri

Page 17: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

6

sampai klas kakap, dikumpulkan menjadi satu, lalu mereka bertukar pikiran, lalu

menjadi penjahat yang lebih tinggi klasnya sehingga tidak menutup kemungkinan

narapidana tersebut bila sudah keluar dari lembaga pemasyarakatan bukannya

menjadi lebih baik akan tetapi sebaliknya dia akan mengulangi kembali perbuatan

jahatnya tersebut yang kemudian menjadi penjahat kambuhan (Residivis). Selain

itu hal tersebut juga disebabkan karena tidak dapat dipisahkan lagi, mana penjahat

yang harus dibina sangat keras (Supermaximum security), seperti kejahatan klas

kakap, dengan pembinaan yang sangat lunak, sehingga tidak mustahil mereka

akan bertukar pikiran antara narapidana yang satu dengan narapidana yang

lainnya, karena jumlah sipir yang tidak seimbang dengan jumlah narapidananya.

Pembinaan yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan seperti pelatihan

kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, minat

dan keinginan narapidana, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan

kondisi di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya

pemberian keterampilan justru menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif,

dengan biaya produksi yang tinggi dan hasil yang tidak maksimal. Bahkan ada

tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan, sebab orang

justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga

Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang

bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis.

Maka, tidak terlalu mengherankan bila hal tersebut menyebabkan

kebanyakan bekas narapidana menemui kesulitan untuk berintegrasi kembali ke

dalam masyarakat. Selain itu, tentu saja persoalan stigma negatif yang menempel

pada “label” bekas narapidana menyebabkan banyak perusahaan atau majikan

Page 18: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

7

tidak mau menerima “eks napi” sebagai pegawainya. Apabila mantan napi tidak

diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus

kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi

kembali tindakan pelanggaran hukumnya. Sebab manusia adalah mahluk yang

diciptakan oleh Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan

termasuk pelanggaran hukum pidana.

Mereka sudah beranggapan penjara ini sebagai tempat peristirahatan

beberapa bulan ketika tertangkap melakukan aksinya. Di Rutan atau Lembaga

Pemasyarakatan narapidana tidak menerima pembinaan yang memadai yang

mengarah mengembalikan narapidana tersebut kepada masyarakat, sehingga

ketika narapidana tersebut bebas dari penjara, tanpa bekal apa-apa, setelah di luar

Lembaga Pemasyarakatan mantan narapidana tersebut harus bisa mencari biaya

untuk makan, sedangkan uang di kantong tidak ada, bekal kerja juga tidak ada,

tetapi bekal gelar narapidana sudah dikantongi.

Umumnya di masyarakat agak disegani atau ditakuti bila seseorang baru

saja lepas dari penjara, orang tersebut pantas menyandang gelar preman. Sehingga

untuk mencari pekerjaan sulit, apalagi bila pekerjaan itu membutuhkan syarat ada

SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) dari kepolisian, akhirnya dengan

terpaksa yang mantan narapidana tersebut dapat mengulangi kejahatannya.

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan kajian terhadap masalah

Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan Pembinaan

Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.

Page 19: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

8

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

a. Bagaimana cara pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh?

b. Apa saja hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB

Meulaboh dalam melakukan pembinaan narapidana dan bagaimana

upaya untuk mengatasi hambatan tersebut agar terjadinya recidive dapat

ditekan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan pembinaan narapidana

di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.

b. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi dan upaya untuk mengatasi

hambatan tersebut agar terjadinya residivis dapat ditekan.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan pengetahuan Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik pada umumnya dan pada khususnya Ilmu Administrasi Negara yang

berkaitan dengan optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan dalam memberikan

pembinaan bagi narapidana sebagai upaya mencegah terjadinya residivis.

Page 20: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

9

1.4.2. Manfaat Praktis

a. Bagi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.

1. Agar lebih optimal dalam memberikan pembinaan bagi warga

binaan khususnya narapidana residivis;

2. Agar petugas pembinaan dapat mengetahui usaha-usaha apa

yang harus ditempuh demi berhasilnya pengayoman bagi warga

binaan agar terjadinya residivice dapat ditekan.

b. Narapidana Residivis

1. Agar dapat memanfaatkan pembinaan yang diberikan oleh

petugas pembinaan Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh

sehingga tidak menjadi penjahat kambuhan lagi.

c. Bagi Masyarakat

1. Untuk menunjukkan bahwa seseorang mantan narapidana tidak

sepenuhnya tetap memiliki sifat jahat karena sebelumnya mantan

narapidana tersebut telah diberikan pembinaan oleh Lapas

sehingga hasil dari pembinaan tersebut diharapkan dapat

bermanfaat bagi masyarakat.

2. Sebagai bahan pertimbangan untuk menerima kembali seorang

mantan narapidana sehingga diharapkan dapat mengembalikan

status dan haknya sebagai warga sipil, bukan sebagai mantan

narapidana yang selalu dinilai sebagai seorang penjahat yang

hanya meresahkan masyarakat.

Page 21: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

10

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang isi pembahasan

dalam penulisan ini, maka secara global disistematisir sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan pengantar dari keseluruhan penulisan yang memuat Latar

Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Memuat uraian secara konsepsional mengenai tinjauan umum tentang

Pengertian Lembaga Permasyarakatan, Pengertian Narapidana,

Pembinaan Narapidana, Pengertian Residivis, dan Macam-macam

Residivis.

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian membahas tentang jenis pendekatan, alasan

pemilihan lokasi, populasi dan sampel, tehnik pengumpulan data,

tehnik analisis data.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pokok pembahasan dari permasalahan yang

diangkat dalam penelitian ini, yang meliputi gambaran umum

Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, pelaksanaan pembinaan

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, hambatan

yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh dalam

melakukan pembinaan narapidana residivis dan upaya yang dilakukan

Page 22: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

11

untuk mengatasi hambatan tersebut agar terjadinya recidive dapat

ditekan.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab akhir dari keseluruhan penulisan ini yang

berisi kesimpulan yang merupakan hasil dari kegiatan penelitian

mengenai permasalahan yang diangkat dengan menggunakan metode-

metode yang telah disebutkan. Bab ini juga menyertakan saran-saran

yang mungkin diperlukan bagi penelitian.

Page 23: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan

2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Kepenjaraan di Indonesia

Pada awalnya tidak dikenal sistem pidana penjara di Indonesia. Sistem

pidana penjara baru dikenal pada zaman penjajahan. Pada zaman VOC pun belum

dikenal penjara yang seperti sekarang ini, yang ada ialah rumah tahanan yang

diperuntukkan bagi wanita tuna susila, pengangguran atau gelandangan pemabuk

dan sebagainya. Diberikan pula pekerjaan dan pendidikan agama, tetapi ini hanya

ada di Batavia terkenal dengan sebutan spinhuis dan rasphuis. Ada 3 macam

tempat tahanan demikian yaitu:

1. Bui yang terdapat di pinggir kota;

2. Tempat perantaian (kettingkwartier);

3. Tempat menampung wanita bangsa Belanda yang melakukan mukah

(overspel).

Perbaikan mulai dilakukan pada zaman Inggris (Raffles). Bui-bui yang kecil

dan sempit diperbaiki dan didirikan bui dimana ada pengadilan. Perbaikan

diteruskan oleh Belanda setelah berkuasa kembali, diadakan klasifikasi:

1. Kerja paksa dengan sistem rantai;

2. Kerja paksa dengan upah.

Perkembangan kepenjaraan selanjutnya pada permulaan zaman Hindia

Belanda dimulai dengan sistem diskriminasi, yaitu dengan dikeluarkannya

peraturan umum untuk golongan bangsa Indonesia (Bumiputera) yang dipidana

Page 24: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

13

kerja paksa (Stbld 1826 No.16), sedangkan untuk golongan bangsa Eropa

(Belanda) berlaku penjara. Ada 2 macam pidana kerja paksa:

1. Kerja paksa dimana terpidana dirantai;

2. Kerja paksa biasa dan mendapat makanan tanpa upah.

Pada masa itu penjara disebut bui sesuai dengan keadaannya sebagai tempat

penyekapan, tempat menahan orang-orang yang disangka melakukan kejahatan,

orang-orang yang disandera, penjudi, pemabuk, gelandangan dan penjahat-

penjahat lain. Karena pada saat itu keadaan bui masih sangat buruk dan

menyedihkan, maka dibentuklah panitia untuk meneliti dan membuat rencana

perbaikan.

Pada tahun 1846 setelah bekerja selama 5 tahun panitia ini mengajukan

rencana perbaikan yang tidak pernah dilaksanakan. Diskriminasi perlakuan antara

orang pribumi dan orang Eropa (Belanda) sangat menyolok. Perawatan jauh lebih

baik dan pekerjaan lebih ringan bagi orang Eropa, begitu pula soal makanan,

kondisi kamar penjara dan fasilitasnya jauh lebih baik dari orang pribumi. Pada

tahun 1865 Stoet Van Beele berusaha memperbaiki keadaan penjara dengan

mengutus residen Riau untuk meninjau sistem pejara di Singapura.

Dikeluarkanlah peraturan baru yaitu Stbld 1871 No.28 dengan suatu sistem

klasifikasi.

Sistem pengelolaan penjara diperbaiki juga dengan administrasi yang lebih

rapi dengan disiplin yang lebih ketat. Pada tahun 1871 itu dirancang pula suatu

ordonansi yang berisi perbaikan menyeluruh terhadap sistem penjara, namun

rancangan ini tidak pernah terwujud. Antara tahun 1907-1961 dibentuk kantor

kepenjaraan (Gestichten Reglement) yang tercantum dalam Stbld 1917 No.708,

Page 25: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

14

mulai berlaku 1 januari 1918. Reglemen inilah yang menjadi dasar peraturan

perlakuan terhadap narapidana dan cara pengelolaan penjara. Reglemen ini

didasarkan pada pasal 29 KUHP (Wvs) yang terdiri dari kurang lebih 114 pasal.

Dalam periode antara perang dunia kedua (1918-1942), pada umumnya di

Jawa dan Madura ada 3 jenis penjara:

1. Penjara pusat yang disebut Centrale Gevangenis Strafgevangenis.

Penjara pusat ini menampung terpidana yang agak berat (lebih dari 1

tahun) disitu terdapat perusahaan yang tergolong besar dan sedang serta

perbengkelan;

2. Penjara negeri yang disebut Landgevangenis. Penjara ini berfungsi

menampung narapidana yang tergolong ringan (di bawah 1 tahun)

pekerjaan yang dilakukan ialah kerajinan dan pekerjaan ringan yang lain

serta bengkel-bengkel kecil;

3. Rumah Tahanan yang disebut Huis van bewaring. Tempat ini

menampung para tahanan terpidana kurungan dan terpidana penjara

yang ringan, disini tidak ada pekerjaan yang pasti.

Bagi narapidana anak-anak, pada tahun 1921 telah didirikan ruangan khusus

untuk yang berumur dibawah 19 tahun, kemudian didirikan di Tanggerang penjara

anak-anak untuk yang berumur di bawah 20 tahun dan disusul di Pamekasan dan

Ambarawa pada tahun 1927.

Pada zaman pendudukan Jepang hampir tidak ada perubahan sistem

kepenjaraan. Hanya pekerjaan narapidana banyak dimanfaatkan untuk

kepentingan militer Jepang. Pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sendiri

dipenjara dan untuk kebutuhan tentara Jepang ditingkatkan, seperti bertani,

Page 26: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

15

menangkap ikan di laut, termasuk juga narapidana wanita dan anak-anak.

Keadaan narapidana sangat menyedihkan, kurang makan, tetapi bekerja keras.

Pekerjaan kerajinan juga ditingkatkan terutama untuk kepentingan tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka sistem pemenjaraan ada dua macam, yang satu

didaerah Republik dan yang lain berada didaerah yang diduduki Belanda.

Keadaan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelum perang. Penjara dikelola

sepenuhnya sesuai dengan Reglemen Kepenjaraan Tahun 1917 Nomor 798, usaha

kearah sistem prevensi umum maupun khusus menjadi sebuah tujuan. Untuk

prevensi khusus terpidana di penjara agar tidak melakukan kejahatan (detterent)

dan untuk prevensi umum agar masyarakat takut untuk berbuat kejahatan.

Narapidana ditempatkan disamping sel-sel yang terbatas jumlahnya, juga di

bangsal-bangsal yang penuh sesak berbagai tipe penjahat sehingga perkelahian

dan pemerasan antar narapidana banyak terjadi. Ada golongan “jagoan” yang

menjadi “raja” di dalam penjara yang sering memeras sesamanya baik fisik

maupun pasaran memesan uang, barang atau makanan kepada keluarga

narapidana.

Munculnya ide sistem Pemasyarakatan untuk pertama kalinya dicetuskan

oleh Dr. Sahardjo, S.H sebagai menteri kehakiman, sewaktu penerimaan gelar

doktor honoris causa dari universitas Indonesia, pada tanggal 5 juli 1963. Menurut

Sahardjo tujuan pidana penjara itu adalah disamping menimbulkan rasa derita

pada terpidana dihilangkannya kemudahan bergerak namun juga bertujuan untuk

membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya narapidana tersebut

menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna, karena inti

dari tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Sehingga di Indonesia saat ini

Page 27: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

16

bentuk dan namanya tidak rumah penjara lagi melainkan Lembaga

Pemasyarakatan, menurut almarhum DR. Sahardjo, SH. yang ketika itu menjabat

sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia mengatakan bahwa tujuan pidana

penjara adalah “Pemasyarakatan” sehingga membuat sebutan yang tadinya

“Rumah Penjara” otomatis diganti “Lembaga Pemasyarakatan”.

Dengan penggantian istilah “Penjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan”

tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa pemberian maupun pengayoman

warga binaan tidak hanya terfokus pada itikad menghukum (Funitif Intend) saja

melainkan suatu berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi dan

disesuaikan dengan kondisi dari warga binaan itu. Walau istilah Pemasyarakatan

sudah muncul pada tanggal 5 Juli 1963, namun prinsip-prinsip mengenai

Pemasyarakatan itu baru dilembagakan setelah berlangsungnya konfrensi Bina

Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung (Jawa Barat) tanggal 27 april

1964 dan dari hasil konfrensi tersebut dapat disimpulkan bahwa: Tujuan dari

pidana penjara bukanlah hanya untuk melindungi masyarakat semata-mata,

melainkan harus pula berusaha membina si pelanggar hukum, dimana pelanggar

hukum tidak lagi disebut sebagai penjahat dimana seorang yang tersesat akan

selalu bertobat dan ada harapan dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari

sistem pengayoman yang diterapkan kepadanya.

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadappara

pelanggar hukum dan sebagai suatu keadilan yang bertujuan untuk

mencapaireintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan

Pemasyarakatan dengan masyarakat. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin

mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang

Page 28: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

17

dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi

manusia yang menyadari kesalahannya.

Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai

dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU. No. 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Pemasyarakatan itu menguatkan

usahausaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan

tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal tersebut sudah diatur

didalam pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

disebutkan bahwa:

1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga

Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara

pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam

tata peradilan pidana;

2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas

serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan

Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang

dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung

jawab;

Page 29: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

18

3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah

tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik

Pemasyarakatan.

Sedangkan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka

membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana

sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan

bertanggung jawab.

Dengan dilaksanakannya pidana penjara berdasarkan sistem

pemasyarakatan, maka posisi sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia,

disamping mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat (reintegrasi sehat)

mengandung pula pengertian yang lebih luas yaitu juga berfungsi pencegahan

terhadap kejahatan. Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan.

Sehingga sistem pemasyarakatan tersebut masih tetap berjalan dan terus

mengalami perubahan-perubahan sampai dengan sekarang namun perkembangan

tersebut harus tetap sesuai dengan visi dan misi lembaga pemasyarakatan itu

sendiri yaitu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat.

2.1.2. Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Pemasyarakatan

Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan

pengertian lembaga pemasyarakatan diatur pada pasal 1 angka 3 yaitu : “Lembaga

Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan". Jadi,

Page 30: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

19

dapat disimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat bagi

orang yang dihukum untuk dibina selama menjalani masa hukumannya.

Pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian, menurut

Sahardjo ialah:

a. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia;

b. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup

diluar masyarakat;

c. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi perlu

diusahakannya supaya narapidana mempunyai mata pencaharian.

Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 ketentuan pasal-pasal

yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan diatur pada pasal 1 angka 2, pasal

2, dan pasal 5 yaitu, Pasal 1 angka 2

“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas,

serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan

Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina,

dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan

masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup

secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Pasal 2

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga

Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari

kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga

dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan

dalam pembangunan,dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang

baik dan bertanggung jawab.”

Pasal 5

Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :

a) Pengayoman;

b) persamaan perlakuan dan pelayanan;

c) Pendidikan;

Page 31: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

20

d) Pembimbingan;

e) penghormatan harkat dan martabat manusia;

f) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;

g) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-

orang tertentu.

Teknik penyelenggaraan sistem pemasyarakatan secara penuh hanya dapat

dilaksanakan dalam lembaga-lembaga yang penghuninya sebagian besar

dipidanakan 1 tahun keatas, usaha ini dilaksanakan terus menerus bertahap-tahap

secara progressif terhadap tiap narapidana yang bersangkutan dari saat masuk

sebagai narapidana hingga sampai bebasnya. Bila dilihat secara umum tahap-

tahap pelaksanaan sistem pemasyarakatan dimulai dengan menerima narapidana

dan menyelesaikan pencatatannya secara administrasi, yang disusul dengan

observasi atau identifikasi mengenai pribadinya secara lengkap oleh suatu dewan

pemasyarakatan, setelah selesai kemudian ditentukan bentuk dan cara perlakuan

(treatment) yang akan ditempuh, penempatannya untuk tinggal, pekerjaan yang

diberikan, pendidikan-pendidikan atau pelajaran-pelajaran yang akan

ditempuhnya, disamping diberikan keterangan-keterangan tentang hak dan

kewajibannya serta tata cara hidup dalam lembaga.

Tahap-tahap tersebut juga dijelaskan dalam Undang-Undang No.12 Tahun

1995 yang diatur dalam pasal 10, pasal 11, dan pasal 12 yaitu:

Pasal 10

(1) Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status

Terpidana menjadi Narapidana.

(3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan

pembebasan Narapidana di LAPAS.

Pasal 11

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi:

a. Pencatatan:

Page 32: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

21

1. putusan pengadilan;

2. jati diri;

3. barang dan uang yang dibawa.

b. Pemeriksaan kesehatan

c. Pembuatan pasfoto

d. Pengambilan sidik jari

e. Pembuatan berita acara serah terima Terpidana.

Pasal 12

(1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan

penggolongan atas dasar :

a. Umur

b. jenis kelamin

c. lama pidana yang dijatuhkan

d. jenis kejahatan

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan

pembinaan.

(2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS

Wanita.

Selanjutnya setelah berjalan beberapa lama pertemuan dewan

pemasyarakatan diadakan lagi dengan mengikutsertakan narapidana yang

bersangkutan, dan dievaluasi keadaannya maju atau mundur tingkah lakunya.

Perlakuan selanjutnya ditentukan oleh dewan sesuai dengan kemajuannya dan

kemundurannya, setelah diadakan koreksi-koreksi seperlunya. Kegiatan tersebut

terus dilakukan secara berkala sehingga narapidana mengalami kemajuan dalam

sifatnya.

Dalam rangka mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke

masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai

bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi

tenaga yang terampil, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit,

pendidikan, dan lain-lain. Dalam menjalani hukuman ini diharapkan narapidana

dapat interaksi sosial yang harmonis antara mantan narapidana dengan masyarakat

setelah bebas.

Page 33: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

22

Kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar untuk

menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar

warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi

tindak pidana yang pernah dilakukan. Prinsip-prinsip pokok yang menyangkut

dasar perlakuan terhadap warga binaan dan anak didik yang dikenal dengan nama

Sepuluh (10) Prinsip Pemasyarakatan :

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan

peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara;

3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat;

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat

daripada sebelum dijatuhi pidana;

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak

didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari

masyarakat;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh

diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan

negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan

pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan

produksi;

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak

didik harus berdasarkan Pancasila;

8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah

manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia;

Page 34: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

23

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan

sebagai salah satu derita yang dialaminya;

10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi

rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.

Dengan demikian jika warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelak

bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan

lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan

tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan

reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada didalam Lapas.

2.2. Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana

Para warga binaan harus dididik, diasuh dibimbing dan diarahkan pada

tujuan yang bermanfaat baik untuk diri sendiri dan keluarganya maupun bagi

masyarakat setelah pada waktunya dapat kembali kemasyarakat. Adapun warga

binaan pemasyarakatan yaitu terdiri atas :

1. Narapidana;

2. Orang-orang yang ditahan untuk sementara;

3. Orang-orang yang disandera;

4. Orang-orang lain yang dimasukkan dengan perintah walaupun tidak

menjalani pidana.

Dari kriteria warga binaan pemasyarakatan tersebut maka terhadap warga

binaan khususnya dilakukan penggolongan dalam beberapa klas yang menurut

pasal 50 Reglement penjara, bahwa orang hukuman tersebut dapat dibagi dengan

4 klas yaitu:

Page 35: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

24

a) Klas I ialah narapidana yang telah dijatuhi pidana penjara seumur

hidup, akan tetapi sulit untuk dapat dikuasai atas sifat-sifatnya yang

bukan hanya bagi pegawai penjara;

b) Klas II ialah narapidana yang dihukum penjara sementara yang lebih

dari tiga bulan penjara yakni apalagi narapidana yang dipandang tidak

perlu untuk dimasukkan ke dalam golongan klas I;

c) Klas III ialah narapidana yang semula termasuk golongan klas II yang

karena selama 6 (enam) bulan berturut-turut telah menunjukkan

kelakuan yang baik, hingga perlu dipidanakan kegolongan klas III;

d) Klas IV ialah narapidana yang telah dijatuhi pidana penjara kurang dari

tiga bulan, mereka ini tidak boleh ditempatkan dalam satu bangunan

yang sama dimana lain-lain warga binaan telah ditempatkan seperti

tersebut di atas.

Selain itu macam-macam warga binaan pemasyarakatan menurut Undang-

undang Nomor 12 Tahun 1995 diatur pada pasal 1 point ke 5, yaitu “Warga

Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan

Klien Pemasyarakatan”.

Penggolongan warga binaan yang diatur di dalam pasal 1 angka 5 tersebut

dibagi lagi dalam beberpa golongan warga binaan pemasyarakatan, yaitu:

1. Narapidana

a. Narapidana Laki-laki;

b. Narapidana Wanita.

2. Anak didik pemasyarakatan

Page 36: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

25

a. Anak Pidana anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani

pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan

belas) tahun;

b. Anak negara anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan

pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling

lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak sipil anak yang atas permintaan orang tua atau walinya

memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak

paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

3. Klien pemasyarakatan

a. Terpidana bersyarat;

b. Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan

pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;

c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya

diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;

d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di

lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk,

bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;

e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya

dikembalikan kepada orang tua atau walinya.

Sesuai UU No.12 Tahun 1995, pasal 1 angka ke 7 bahwa narapidana adalah

terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga

Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-

hak narapidana yang tetap dili ndungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.

Page 37: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

26

Dr.Sahardjo dalam pidato penganugerahan gelar doctor honoris causa dalam

ilmu hukum, pada tahun 1963 oleh universitas Indonesia, telah menggunakan

istilah nara-pidana bagi mereka yang telah dijatuhi pidana ”kehilangan

kemerdekaan”. Menurut Drs. Ac Sanoesi HAS istilah nara-pidana adalah sebagai

pengganti istilah orang hukuman atau orang yang terkena hukuman, dengan kata

lain istilah narapidana adalah untuk mereka yang telah divonis hakim dan telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pengertian pembinaan narapidana menurut PP No 31 Tahun 1999 diatur

dalam pasal 1 ayat 1, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional,

kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Adanya model pembinaan bagi narapidana didalam Lembaga

Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih

banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan

setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas).

Sedangkan menurut Bahroedin Soerjobroto pada prinsipnya pembinaan

narapidana adalah suatu proses pembinaan untuk mengembalikan kesatuan hidup

dari terpidana. Jadi, istilah lembaga pemasyarakatan dapat disamakan dengan

resosialisasi dengan pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan dalam tata

budaya Iandonesia, dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat

Indonesia.

2.3. Konsep Pembinaan

Sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali Warga Binaan

Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga Negara yang baik dan

Page 38: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

27

bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat

nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan

bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.

Dalam konteks tersebut diatas sistem pembinaan narapidana dengan

orientasi yang berbasis di masyarakat (Community - Based corrections) menjadi

pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan. Community – Based

corrections merupakan suatu metode baru yang digunakan untuk

mengintegrasikan narapidana kembali ke kehidupan masyarakat. Semua aktifitas

yang mengarah ke usaha penyatuan komunitas untuk mengintegrasikan

narapidana ke masyarakat. Melalui metode Community-based corrections

memungkinkan Warga Binaan Pemasyarkatan membina hubungan lebih baik,

sehingga dapat mengembangkan hubungan baru yang lebih positif.

Tujuan utama Community-based corrections ini adalah untuk

mempermudah narapidana berinteraksi kembali dengan masyarakat. Untuk

mencapai tujuan tersebut maka penerapan Community-based corrections perlu

didasarkan pada standar kriteria sebagai berikut:

a) Lokasi pembinaan yang memberikan kesempatan bagi narapidana untuk

berinteraksi dengan masyarakat;

b) Lingkungan yang memiliki standar pengawasan yang minimal;

c) Program pembinaan seperti pendidikan, pelatihan, konseling dan

hubungan yang didasarkan kepada masyarakat;

d) Diberikan kesempatan untuk menjalankan peran sebagai warga

masyarakat, anggota keluarga, siswa, pekerja dan lain lain;

e) Diberikan kesempatan untuk menumbuhkan dan mengembangkan diri.

Page 39: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

28

Menurut Kartasasmita, penerapan Community-based corrections dapat

dilakukan dengan memberdayakan warga binaan pemasyarakatan melalui 3 upaya

sebagai berikut:

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi

masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah

pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi

yang dapat dikembangkan;

2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat

(empowering) dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif

selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi

langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan

(input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities)

yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

3. Memberdayakan mengandung pola melindungi, dalam proses

pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah

karena kurang berdaya menghadapi yang kuat.

Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka sebagai implementasi dari

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No: M.03.pr.0703

Tahun 2003 Tanggal 16 April 2003 perihal pembentukan LAPAS Terbuka

Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram dan Waikabubak,

merupakan pengejawantahan dari konsep Community-based corrections.

Lembaga Pemasyarakatan Terbuka merupakan suatu sistem pembinaan dengan

pengawasan minimum (Minimum Security) yang penghuninya telah memasuki

tahap asimilasi dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dimana

Page 40: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

29

diantaranya telah menjalani setengah dari masa pidananya dan sistem pembinaan

serta bimbingan yang dilaksanakan mencerminkan situasi dan kondisi yang ada

pada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menciptakan

kesiapan narapidana kembali ke tengah masyarakat.

Dengan sistem pembinaan yang berorientasi kepada masyarakat maka

LAPAS Terbuka seharusnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Tidak ada sarana dan prasarana yang nyata-nyata berfungsi pencegah

pelarian (seperti tembok yang tebal dan tinggi, sel yang kokoh dengan

jeruji yang kuat dan pengamanan yang maksimal);

2. Bersifat terbuka dalam arti bahwa sistem pembinaan didasarkan atas

tertib diri dan atas rasa tanggung jawab Narapidana terhadap kelompok

dimana narapidana tersebut tergolong;

3. Berada di tengah-tengah masyarakat atau di alam terbuka.

Di dalam melaksanaan suatu pembinaan, secara ilmu pengetahuan dikenal

dengan teori Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial yang bertujuan untuk

mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Program kebijakan itu meliputi:

a. Asimilasi

Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang

salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada

narapidana.

Page 41: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

30

b. Reintegrasi Sosial

Dalam reintegrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program

pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

c. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa

syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua

pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-

kurangnya adalah selama sembilan bulan;

d. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang

telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga

itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.

2.4. Macam-Macam Pembinaan

Bentuk-bentuk pembinaan yang diberikan kepada warga binaan saat ini,

yaitu:

a. Pembinaan Mental, yaitu, pembinaan ini merupakan dasar untuk

menempa seseorang yang telah sempat terjerumus terhadap perbuatan

jahat, sebab pada umumnya orang menjadi jahat itu karena mentalnya

sudah turun (retardasi mental), sehingga untuk memulihkan kembali

mental seseorang seperti sedia kala sebelum dia terjerumus, maka

pembinaan mental harus benar-benar diberikan sesuai dengan porsinya.

b. Pembinaan Sosial, yaitu, pembinaan sosial ini diberikan kepada warga

binaan dalam kaitannya warga binaan yang sudah sempat disingkirkan

dari kelompoknya sehingga diupayakan bagaimana memulihkan

kembali kesatuan hubungan antara warga binaan dengan masyarakat

sekitarnya.

Page 42: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

31

c. Pembinaan Keterampilan, yaitu, dalam pembinaan ini diupayakan untuk

memberikan berbagai bentuk pengetahuan mengenai keterampilan

misalnya bentuk pengetahuan mengenai keterampilan berupa pendidikan

menjahit, pertukangan, bercocok tanam dan lain sebagainya.

Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program

pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

1. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa

syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua

pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-

kurangnya adalah selama sembilan bulan;

2. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang

telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga

itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.

2.5. Tahap-Tahap Pembinaan Narapidana

Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses

pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan

rohani maupun jasmani. Untuk mereka yang telah divonis hakim dan telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, yang kemudian disebut narapidana,

penempatannya di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Terhadap narapidana,

diberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional,

kesehatan jasmani dan rohani warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang

dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu:

Page 43: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

32

a. Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan

untuk menentukan perancanaan pelaksanaan program pembinaan

kepribadian dan kemandirian. Waktunya dimulai pada saat yang

bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 dari masa

pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam Lapas dan

pengawasannya maksimum (maximum security);

b. Kegiatan lanjutan dari program pembinaan kepribadian dan kemandirian

sampai dengan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program

asimilasi yang pelaksanaannya terdiri atas dua bagian;

c. Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang

dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang bersangkutan.

Menyadari bahwa pembinaan warga binaan berdasarkan sistem

pemasyarakatan merupakan kegiatan interaktif antara komponen narapidana,

petugas dan masyarakat, maka peran serta masyarakat merupakan salah satu hal

yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta masyarakat dalam pembinaan, tujuan

sistem pemasyarakatan melalui upaya reintegrasi warga binaan tidak akan tercapai

bagaimanapun baiknya kualitas program-program pembinaan yang diterapkan.

Bentuk-bentuk kemitraan yang dilakukan sebagai sarana kegiatan pembinaan,

antara lain peran serta masyarakat harus dipandang sebagai aspek integral dari

upaya pembinaan, sehingga dukungan masyarakat sangat diperlukan dalam

mencapai tujuan yang diinginkan dalam pembinaan warga binaan. Salah satu

bentuk peran serta masyarakat ini diwujudkan melalui program kemitraan dalam

bentuk berbagai kerjasama antara lapas atau bapas dengan masyarakat, baik

perorangan maupun kelompok.

Page 44: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

33

Pembinaan pada tahap ini terdapat narapidana yang memenuhi syarat

diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya

dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (bapas) yang kemudian

disebut pembimbingan klien pemasyarakatan.

Tahap-tahap pembinaan tersebut sudah diatur di dalam pasal 7 dan pasal 9

PP No. 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan

pemasyarakatan yaitu:

Pasal 7

(1) Pembinaan Narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap

pembinaan.

(2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3

(tiga) tahap, yaitu: (a) tahap awal; (b) Tahap lanjutan; dan (c) tahap

akhir.

(3) Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain ditetapkan melalui

sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan data dari Pembina

Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing

Kemasyarakatan, dan Wali Narapidana.

(4) Data sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan hasil

pengamatan, penilaian, dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan.

(5) Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian, dan pelaporan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Menteri.

Pasal 9

(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)

huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus

sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana.

(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat

(2) huruf b meliputi:

a. Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal

sampai dengan 1/2 (satu per dua) dari masa pidana;

b. Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan

pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)

huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan

berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan.

Page 45: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

34

Dari penjelasan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap

pembinaan narapidana menurut PP No.31 Tahun 1999 dibagi dalam tiga tahap,

yaitu:

1. Pembinaan Tahap Awal (Pasal 9 (1) PP 31/99) Pembinaan ini dilakukan

baik bagi Tahanan maupun bagi narapidana. Pembinaan pada tahap ini

terdapat narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang

bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan diluar

Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (bapas) yang kemudian disebut

pembimbingan klien pemasyarakatan.

2. Pembinaan Tahap Lanjutan (Pasal 9 (2) a PP 31/99) Waktunya dimulai

sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidananya.

Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam lapas dan

pengawasannya sudah memasuki tahap medium security.

3. Pembebasan tahap akhir (Pasal 9 (3) PP 31/99) Pada tahap ini dimulai

sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa

pidananya. Pada tahap ini pengawasan kepada narapidana memasuki

tahap minimum security. Dalam tahap lanjutan ini, narapidana sudah

memasuki tahap asimilasi. Selanjutnya, napi dapat diberikan cuti

menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dengan pengawasan

minimum security.

2.6. Kajian Umum Tentang Residivis

2.6.1 Pengertian Residivis

Berkaitan dengan penjatuhan pidana, dalam kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) diatur mengenai ketentuan-ketentuan yang dapat menghapus,

Page 46: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

35

meringankan, dan memperberat pidana (hukuman). Hal yang dapat meringankan

pidana antara lain percobaan (pasal 53 KUHP) dan pembantuan (pasal 55 KUHP).

Sedangkan hal-hal yang dapat menghapus pidana adalah pertumbuhan jiwa yang

tidak sempurna atau terganggu karena sakit, daya paksa atau overmatch (pasal 48

KUHP), pembelaan terpaksa (pasal 51 KUHP), melaksanakan Undang-undang

(pasal 50 KUHP) dan melaksanakan perintah jabatan (pasal 51 KUHP).

Sedangkan yang dapat memperberat pidana antara lain pengulangan

kejahatan (recidive) yang diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP,

perbarengan (concorsus) yang diatur dalam pasal 63 KUHP dan tindak pidana

yang dilakukan oleh pejabat atau tindak pidana dengan menggunakan bendera

kebangsaan yang diatur dalam pasal 52 KUHP. Dalam hal ini penulis akan

membahas mengenai residivis (pengulangan) sebab sesuai dengan tujuan

penelitian yang dilakukan.

Residivis adalah berasal dari bahasa prancis yang diambil dua kata latin,

yaitu re dan cado, re berarti lagi dan cado berarti jatuh. Recidive berarti suatu

tendensi berulang kali dihukum karena berulangkali melakukan kejahatan, dan

mengenai orangnya disebut residivis. Oleh karena itu mengenai recidive adalah

berbicara tentang hukuman yang berulang kali sebagai akibat perbuatan yang

sama atau serupa.

Sedangkan pengertian recidive menurut Wirjono Prodjodikoro adalah

seorang yang sudah dijatuhi hukuman perihal suatu kejahatan, dan kemudian,

setelah selesai menjalani hukuman, melakukan suatu kejahatan lagi, yang

berakibat bahwa hukuman yang akan dijatuhkan kemudian, malahan diperberat,

yaitu dapat melebihi maximum.

Page 47: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

36

Dalam hukum pidana, recidive dapat diartikan seseorang melakukan

beberapa tindak pidana dan diantara tindak pidana itu telah mendapatkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pengertian recidive menurut Moch. Anwar, adalah dalam hal seseorang

telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak

pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan-perbuatan mana satu atau lebih

telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.

Ada 2 arti pengulangan atau recidive, yang satu menurut masyarakat

(sosial), dan yang lainnya dalam arti hukum pidana. Menurut arti yang pertama,

masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya

yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa

memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi dalam arti hukum pidana, yang

merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya

melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang

ditetapkan undang-undang.

Dengan adanya residivis dapat menjadi salah satu bukti yang menunjukkan

bahwa seseorang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di

Lembaga Pemasyarakatan hal ini juga yang menjadi salah satu faktor dominan

munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa

disebut dengan residivis tersebut.

Penjara yang telah melakukan segala usaha untuk merehabilitasi penjahat

tidaklah lebih berhasil dari pada penjara yang membiarkan penghuninya

“melapuk”. Sedangkan David Rothman mengatakan bahwa rehabilitasi adalah

kebohongan yang diagung-agungkan. Pernyataan Rothman ini muncul setelah

Page 48: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

37

melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari

cara hidup yang wajar sehingga tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah

dibebaskan dari penjara dan juga pada kenyataan adanya kekerasan dalam penjara

yang merendahkan martabat manusia di penjara.

Pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan

"pelayanan" yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku

kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam

institusi penjara, Restorative justice adalah salah satu bentuk proses pembinaan

dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu

bersamasama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa

yang akan datang.

2.6.2. Residivis Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikenal ada beberapa sistem

kambuhan atau recidive. Sebagai sistem pokok, ada 2 (dua) sistem yaitu :

1. Kambuhan Umum (General Recidive)

Menurut sistem kambuhan umum, terjadi suatu kambuhan apabila

seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang

dilakukan itu, telah dijatuhi pidana kemudian melakukan tindak pidana

lagi, baik tindak pidana yang sama, sejenis maupun tindak pidana

lainnya.

2. Kambuhan Khusus (Special Recidive) Sebaliknya kambuhan khusus

terjadi apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas

tindak pidana yang dilakukan itu telah dijatuhi pidana, kemudian

melakukan tindak pidana yang sama.

Page 49: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

38

Disamping kedua sistem tersebut terdapat sistem kambuhan tengah

(Tussenstelsel) yaitu, kambuhan yang terjadi apabila seseorang telah melakukan

tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan telah dijatuhi pidana

kemudian melakukan tindak pidana yang termasuk kelompok tindak pidana yang

karena sifatnya dianggap sama.

Undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum

(General Recidive) yang artinya menentukan pengulangan berlaku untuk dan

terhadap semua tindak pidana. Mengenai pengulangan ini KUHP mengatur,

Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-indak pidana tertentu

dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan

hanya terbatas pada tindak pidana tertentu yang disebutkan di dalam pasal 486,

487, 488 KUHP, dan kedua di luar kelompok kejahatan dalam pasal 386, 387, dan

388 itu, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang

dapat terjadi pengulangan, misalnya pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495ayat (2),

501 ayat (2), 512 ayat (3) KUHP. Pada tindak pidana lain yang tidak masuk pada

yang diterangkan pada butir 1 dan 2 tersebut diatas, tidak dapat terjadi

pengulangan. Oleh karena tidak mengenal general recidive inilah, maka

pengaturannya tidak dimuat dalam buku I (pertama), melainkan dikelompokkan

pada ketiga pasal tersebut dalam buku II (kedua) dan pasal-pasal tertentu lainnya

dalam buku II (kejahatan) maupun buku ke III (pelanggaran).

Pada prinsipnya KUHP Indonesia menganut sistem kambuhan tengah

(Tussenstelsel), akan tetapi dalam KUHP terdapat pula beberapa tindak pidana

yang menganut sistem kambuhan khusus (Speciale Recidive). Ketentuan-

Page 50: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

39

ketentuan yang mengatur sistem kambuhan tengah (Tussenstenlsel) terdapat pada

pasal 486, 487, 488 KUHP, yaitu:

Pasal 486 KUHP, Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 127, 204 ayat

pertama, 244 248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat

pertama, kedua, dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditunjuk

kepada ayat kedua dan ketiga pasal 465, pasal 369, 372, 374, 375, 378, 389, 381-

383, 385- 388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466,

489 dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan

menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua sepanjang di

situ ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga,

jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak

menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan

kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal

itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari

pasal 140-143, 145 dan 149, Kitab Undangundang Hukum Pidana Tentara, atau

sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan (kwijtgescholeden)

atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana

tersebut belum daluwarsa.

Pasal tersebut mengatur tentang recidive atau kambuhan tindak pidana

terhadap harta kekayaan, kelompok tindak pidana kejahatan yang sejenis yang

tercantum dalam pasal 486 KUHP ini adalah: (1) Dalam keadaan perang

melakukan tipu muslihat penyerahan barang (pasal 127 KUHP); (2) Menedarkan

barang yang membahayakan nyawa dan kesehatan orang (pasal 204 ayat 1

KUHP); (3) Pemalsuan uang (pasal 224-248 KUHP); (4) Pemalsuan merk (pasal

Page 51: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

40

253-260 bis); (5) Pemalsuan surat (pasal 263, 264, 266, 268, 274 KUHP); (6)

Pencurian (pasal 263, 264, 266, 268, 274 KUHP); (7) Pemerasan dan

pengancaman (pasal 368, 369 KUHP); (8) Merugikan piutang (pasal 299, 400,

402 KUHP); (9) Penipuan (pasal 378, 380, 381, 385, 388 KUHP); (10)

Penggelapan (pasal 372, 374, 375 KUHP); (11) Tindak pidana kejahatan

pelayaran (pasal 452, 466 KUHP); (12) Penadahan (pasal 480, 481 KUHP).

Pasal 487 KUHP. Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 130 ayat

pertama, 131, 133, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347,

348, 351, 353-355, 438-443, 459 dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu

tertentu yang dijatuhkan menurut pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal

140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang

bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani

untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik

karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun

karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam pasal 106 ayat kedua dan

ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang

dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau

mati, pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 KUHP Tentara, atau sejak

pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu

melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.

Pasal tersebut mengatur tentang recidive atas tindak pidana terhadap tubuh

atau nyawa manusia, kelompok tindak pidana yang dianggap sejenis dalam pasal

487 KUHP, adalah: (1) Penyerangan terhadap presiden (pasal 131 KUHP); (2)

Penyerangan terhadap kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 1 dan141 KUHP);

Page 52: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

41

(3) Bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang (pasal 170

KUHP); (4) Melawan pejabat dengan kekerasan (pasal 213 dan 214 KUHP); (5)

Kejahatan terhadap nyawa (pasal 338, 341, 342, 344, 347, 348 KUHP); (6)

Penganiayaan (pasal 153, 351, 355 KUHP); (7) Pembajakan (pasal 438-443

KUHP); (8) Karena kelalaian menyebabkan orang mati atau luka berat (pasal 359

dan 360 KUHP); (9) Kejahatan terhadap keamanan negara (pasal 359 dan 360

KUHP).

Pasal 488 KUHP. Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144,

207, 208, 310-321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah

ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk

seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah

satu kejahatan diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama

sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan

menjalani pidana tersebut belum daluwarsa.

Pasal tersebut mengatur kambuhan atas tindak pidana kejahatan terhadap

kehormatan orang. Kelompok tindak pidana yang dianggap sejenis dalam pasal

488 KUHP adalah:

1. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (pasal 134-138

KUHP);

2. Penghinaan terhadap kepala negara sahabat (pasal 141-144 KUHP);

3. Penghinaan terhadap penguasa umum (pasal 207 dan 208 KUHP);

4. Penghinaan (pasal 310-321 KUHP);

5. Tindak pidana pers (pasal 483 dan 484 KUHP)

Page 53: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

42

Dalam pasal 486, 487, 488 KUHP tersebut diatas ditentukan juga

syaratsyarat terjadinya residivis, yaitu:

1. Tindak pidana yang dilakukan harus sejenis;

2. Tindak pidana yang kemudian dilakukan dalam kurun waktu lima tahun

sejak terpidana menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang

dijatuhkan kepadanya atas tindak pidana terdahulu.

Sedangkan ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem kambuhan (recidive)

khusus terdapat baik dalam kejahatan maupun dalam pelanggaran.

a. Kambuhan khusus dalam kejahatan diatur dalam :

1. Pasal 137 ayat 2 KUHP

Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan

pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak

adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam

itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Pasal tersebut merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur

dalam pasal 137 ayat 1 KUHP.

2. Pasal 157 ayat 2 KUHP

Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut pada waktu

menjalankan pencarian, dan pada saat itu belum lewat lima tahun

sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan

semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian

tersebut.

Pasal tersebut merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur

dalam pasal 157 ayat 1 KUHP.

Page 54: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

43

3. Pasal 161 bis. ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau

residivis yang diatur dalam pasal 161 bis. ayat 1 KUHP.

b. Kambuhan khusus dalam pelanggaran antara lain adalah :

1. Pasal 489 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau

recidive yang diatur dalam pasal 489 ayat 1 KUHP;

2. Pasal 492 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau

recidive yang diatur dalam pasal 492 ayat 1 KUHP;

3. Pasal 501 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive

yang diatur dalam pasal 501 ayat 1 KUHP;

4. Pasal 512 ayat 3 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau

recidive yang diatur dalam pasal 512 ayat 1 dan 2 KUHP;

5. Pasal 536 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau

recidive yang diatur dalam pasal 536 ayat 1 KUHP;

6. Pasal 540 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau

recidive yang diatur dalam pasal 540 ayat 1 KUHP;

7. Pasal 541 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau

recidive yang diatur dalam pasal 541 ayat 1 KUHP;

8. Pasal 544 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau

recidive yang diatur dalam pasal 544 ayat 1 KUHP;

9. Pasal 545 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau

recidive yang diatur dalam pasal 545 ayat 1KUHP;

10. Kambuhan khusus juga terdapat dalam pasal 549 ayat 3 KUHP.

Page 55: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

44

2.7. Recidive Sebagai Dasar Pemberatan Pidana

Alasan hukum dari pengulangan sebagai dasar pemberatan hukum ini adalah

bahwa seseorang yang telah dijatuhi hukuman dan mengulang kembali melakukan

kejahatan, membuktikan, bahwa telah memiliki tabiat yang jahat dan karenanya

dianggap sangat berbahaya bagi keamanan dan ketertiban masyarakat.

Adapun rasio dasar pemberatan pada pengulangan ini adalah terletak pada 3

(tiga) faktor, ialah:

1. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana;

2. Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena

tindak pidana yang pertama;

3. Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan.

Pemberatan pada recidive atau pengulangan dianggap penting karena

penjatuhan pidana karena melakukan tindak pidana dianggap sebagai suatu

peringatan dari negara atas perbuatan yang dilakukannya. Melakukan tindak

pidana yang kedua kalinya dianggap tidak mengindahkan peringatan dari negara.

Sehingga wajar apabila recidive atau pengulangan pemidanaannya diperberat.

Pada dasarnya di dalam ilmu hukum pidana recidive dibedakan menjadi 2

(dua) macam, yaitu:

1. Accidentele recidive atau kambuhan kebetulan. Kambuhan kebetulan

maksudnya pembuat melakukan tindak pidana yang kedua kalinya itu

disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena sifat atau perangainya yang

buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia tidak mampu

mengatasinya, misalnya karena akibat dari kehilangan pekerjaan dari

sebab masuk Lembaga Pemasyarakatan karena mencuri uang

Page 56: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

45

majikannya, setelah keluar Lapas kemudian mencuri sepotong roti

karena kelaparan, dalam hal seperti ini sepatutnya tidak dijadikan alasan

pemberat pidana.

2. Habituale recidive atau kambuhan kebiasaan. Kambuhan karena

kebiasaan, menunjukkan perangai yang buruk. Tidak jarang narapidana

yang setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak menjadikan

perangai yang lebih baik, justru pengaruh pergaulan didalam Lapas

menambah sifat buruknya, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan

disini memang wajar pidananya diperberat.

Perbedaan recidive ini mempunyai arti penting sebagai bahan pertimbangan

bagi hakim dalam menjatuhkan pidana dalam peristiwa konkret, Habitule

Recidive tentu lebih berat dari pada Accidentele Recidive. Namun KUHP yang

berlaku di Indonesia tidak membedakan antara 2 (dua) jenis pengulangan tersebut.

Page 57: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

46

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis

Sosiologis (Sociologys Legal Research). Secara yuridis dengan mengkaji

peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan optimalisasi sistem

pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai upaya mencegah terjadinya

residivis, antara lain pasal-pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan. Secara sosiologi dengan cara melihat kenyataan

yang ada di lapangan berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dipandang

dari sudut penerapan hukum.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB

Meulaboh, yang terletak di daerah gampong Paya Peunaga kecamatan Meureubo

kabupaten Aceh Barat, karena Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh

merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang menampung dua kabupaten

yaitu Aceh Barat dan Nagan Raya yang sering menerima pelaku-pelaku kejahatan

kambuhan (residivis). Hal ini terbukti dari hasil pra survey yang penulis lakukan

di Lembaga Pemsyarakatan klas IIB Meulaboh bahwa jumlah residivis yang

masuk per Agustus tahun 2013 baik yang masih berstatus tahanan maupun yang

sudah berstatus narapidana yaitu sebanyak 29 orang residivis.

Page 58: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

47

3.3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

3.3.1. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder.

a. Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari lapangan yang

diperoleh melalui:

1. Observasi, yaitu suatu teknik dengan mengamati langsung serta

mencatat hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti

(Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, 2004: h.76-77); Pada

penelitian kualitatif, observasi merupakan salah satu

mengumpulkan data yang populer. Untuk terlaksananya observasi

dengan baik perlu disusun instrumen, yaitu pedoman observasi.

Pedoman tersebut biasanya dalam bentuk daftar cek (chek list) atau

daftar isian. Adapaun aspek yang diobservasi meliputi

keperilakuan, keadaan fisik, pertumbuhan dan perkembangan

subjek tertentu dan sebagainya (Danim, 2002: h.140).

2. Wawancara, teknik pengumpulan data dengan sebuah percakapan

antara dua orang atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh

peneliti kepada subjek atau sekelompok subjek penelitian untuk

dijawab (Danim, 2002: h.130). Instrumen yang digunakan dalam

melakukan wawancara yaitu pedoman wawancara. Wawancara

biasanya dilakukan kepada sejumlah responden/informan yang

jumlahnya relatif terbatas dan memungkinkan bagi peneliti untuk

Page 59: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

48

mengadakan kontak langsung secara berulang-ulang sesuai dengan

keperluan.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh baik yang belum diolah

maupun telah diolah, baik dalam bentuk angka maupun uraian. Dalam

penelitian ini data-data sekunder yang diperlukan antara lain literatur

yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, artikel,

makalah, peraturan-peraturan, struktur organisasi, jadwal, waktu,

petunjuk pelaksana, petunjuk teknis dan lain-lain yang memiliki

relevansi dengan masalah yang diteliti.

3.3.2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Observasi, yaitu suatu teknik dengan mengamati langsung serta

mencatat hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Chalid

Narbuko dan Abu Achmadi, 2004. h:76-77). Pada penelitian kualitatif,

observasi merupakan salah satu mengumpulkan data yang populer.

Untuk terlaksananya observasi dengan baik perlu disusun instrumen,

yaitu pedoman observasi. Pedoman tersebut biasanya dalam bentuk

daftar cek (chek list) atau daftar isian. Adapaun aspek yang diobservasi

meliputi keperilakuan, keadaan fisik, pertumbuhan dan perkembangan

subjek tertentu dan sebagainya. (Danim, 2002. h:140). Dalam hal ini,

pengamatan dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:

Page 60: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

49

a. Pengamat berperan serta, yaitu seorang pengamat melakukan dua

peran sekaligus sebagai pengamat dan menjadi anggota resmi dari

objek atau kelompok yang diamati.

b. Pengamatan tanpa berperan serta, yaitu seorang pengamat hanya

berfungsi untuk melakukan pengamatan saja, tanpa ikut menjadi

anggota dari objek yang diteliti.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode observasi langsung

yaitu pada pihak pegawai Lembaga Pemasyarakatan bagian pembinaan.

Pengamatan dilakukan sendiri secara langsung ditempat yang menjadi objek

penelitian, sedangkan objek yang diamati adalah bagaimana proses pembinaan

nara pidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.

2. Wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,

2002. h:135). Ada bermacam-macam cara pembagian jenis wawancara

yang dikemukakan dalam kepustakaan, diantaranya dikemukakan oleh

Patton (dalam Moleong, 2002:h:197) dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan dua model wawancara yaitu :

a. Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, yaitu jenis

wawancara yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1) Pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok

yang dinyatakan dalam proses wawancara.

Page 61: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

50

2) Penyusunan pokok-pokok itu dilakukan sebelum wawancara

dilakukan.

3) Pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara

berurutan.

4) Penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara dalam

hal tertentu tidak perlu dilakukan sebelumnya.

5) Petunjuk wawancara hanya berisi petunjuk secara garis besar

tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-

pokok yang direncanakan dapat tercakup seluruhnya.

b. Wawancara baku terbuka, yaitu jenis wawancara yang

menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan,

kata-katanya dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap

responden.

3. Dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah teknik mengumpulkan data

melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga

buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-

lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dokumen dalam

penelitian ini digunakan sebagai sumber data karena dalam banyak hal

dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji,

menafsir, bahkan untuk meramalkan (Moleong, 2002. h:191).

Pada dasarnya proses studi dokumentasi bukan merupakan kegiatan yang

berdiri sendiri, akan tetapi seringkali bersamaan dengan penggunaan teknik

pengumpulan data yang lainnya. Disaat kita mempelajari dokumentasi pasti

diawali dengan wawancara terutama yang menyangkut pembicaraan yang ada

Page 62: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

51

kaitannya dengan dokumen yang akan dipelajari. Teknik dokumentasi dalam

penelitian ini digunakan hanya sebagai pelengkap dari teknik pengumpulan data

lainnya.

3.4. Instrumen Penelitian

Penelitian yang menggunakan metode kualitatif adalah suatu metode

penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alami, maka

peneliti adalah sebagai instrumen kunci (Moleong, 2002:h:4). Peneliti merupakan

instrumen kunci utama, karena peneliti sendirilah yang menentukan keseluruhan

skenario penelitian serta langsung turun ke lapangan melakukan pengamatan dan

wawancara dengan informan.

Penggunaan peneliti sebagai instrumen penelitian dimaksudkan untuk

mendapatkan data-data yang valid dan realible. Namun, untuk membantu

kelancaran dalam melaksanakannya, peneliti juga didukung oleh instrumen

pembantu sebagai panduan wawancara. Oleh karena itu, sebelum turun ke

lapangan maka peneliti akan membuat terlebih dahulu panduan wawancara untuk

memudahkan pelaksanaan penelitian di lapangan. Alat bantu yang digunakan

dalam pengumpulan data yaitu dokumen, laporan-laporan dan lain sebagainya.

3.5. Teknik Penentuan Informan

Informan adalah sebagian dari seluruh individu yang menjadi objek

penelitian, yang bertujuan untuk memperoleh keterangan mengenai objek

penelitian dengan cara mengamati hanya sebagian dari populasi, suatu reduksi

terhadap jumlah objek penelitian (Mardalis, 2003:h:56). Penelitian yang dilakukan

oleh penulis tidak melakukan analisa terhadap populasi, karena semua responden

Page 63: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

52

yang penulis wawancarai merupakan informan yang dianggap mengetahui secara

menyuluruh tentang permasalahan penelitian ini. Penulis langsung menentukan

siapa saja orang-orang yang dianggap sebagai informan.

Dalam melakukan teknik pengambilan informan penulis menggunakan

metode non probability sampling di mana dalam teknik ini jumlah atau ukuran

informan disesuaikan dengan masalah dan tujuan dari penelitian ini. Spesifikasi

metode non probability sampling yang dipakai penulis adalah purposive sampling,

yakni teknik penentuan sampel (informan) secara sengaja dengan pertimbangan

tertentu (Sugiyono, 2006. h:96).

Maksudnya, peneliti menentukan sendiri informan yang akan di ambil

karena ada pertimbangan tertentu. Jadi, informan yang diambil tidak secara acak,

tetapi ditentukan sendiri oleh peneliti. Adapun yang menjadi informan dalam

penelitian ini penulis bagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu dari pihak pegawai

Lembaga Pemasyarakatan dan beberapa narapidana kambuhan (residivil)

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.

Informan dari pihak pegawai Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari: kepala

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh, Kepala Seksi Pembinaan dan

Pendidikan (BINARDIK) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh, Kepala

Sub Seksi Bimbingan Kerja (BIMKER) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Meulaboh, dan Kepala Sub Seksi Registerasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Meulaboh.

Sedangkan dari pihak narapidana peneliti memilih lima orang narapidana

kambuhan (residivis) di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Dalam

penelitian kualitatif, jumlah sampel tidak dapat ditentukan lebih dahulu, namum

Page 64: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

53

jumlah sampel tersebut akan muncul di lapangan saat penelitian dilakukan, yaitu

pada saat peneliti telah menemukan para informan telah memberikan jawab yang

sama tentang masalah penelitian atau telah mencapai titik jenuh dan telah dapat

diambil sebuah kesimpulan sehingga penarikan sampel dapat dihentikan.

3.6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data

kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema

dan dapat dirumuskan hipotesis kerja (Moleong, 2002. h:103). Analisa data

menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana pembahasan penelitian serta

hasilnya diuraikan melalui kata-kata berdasarkan data empiris yang diperoleh.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kualitatif, maka

analisis data yang digunakan non statistik.

Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung secara interaktif,

dimana pada setiap tahapan kegiatan tidak berjalan sendiri-sendiri. Meskipun

tahap penelitian dilakukan sesuai dengan kegiatan yang direncanakan, akan tetapi

kegiatan ini tetap harus dilakukan secara berulang antara kegiatan pengumpulan

data, reduksi data, penyajian data serat verifikasi atau penarikan suatu kesimpulan.

Untuk menganalisa data dalam penelitian ini, digunakan langkah-langkah atau

alur yang terjadi bersamaan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data

dan penarikan kesimpulan atau balur verifikasi data (Miles, 2007. h:15-19).

Reduksi data, adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan data kasar yang muncul dari catatan-catatan yang

tertulis di lapangan (Miles dan Huberman, 2007:h:17). Reduksi data ini bertujuan

untuk menganalisis data yang lebih mengarahkan, membuang yang tidak perlu

Page 65: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

54

dan mengorganisasikan data agar diperoleh kesimpulan yang dapat ditarik atau

verifikasi. Dalam penelitian ini, proses reduksi data dilakukan dengan

mengumpulkan data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian

dipilih dan dikelompokkan berdasarkan kemiripan data.

Penyajian data, adalah pengumpulan informasi tersusun yang memberikan

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles dan

Huberman, 1992. h:18). Dalam hal ini, data yang telah dikategorikan tersebut

kemudian diorganisasikan sebagai bahan penyajian data. Data tersebut disajikan

secara deskriptif yang didasarkan pada aspek yang diteliti.

Verifikasi data dan penarikan kesimpulan. Verifikasi data adalah sebagian

dari suatu kegiatan utuh, artinya makna-makna yang muncul dari data telah

disajikan dan diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya (Miles dan

Huberman, 1992. h:19). Penarikan kesimpulan berdasarkan pada pemahaman

terhadap data yang disajikan dan dibuat dalam pernyataan singkat dan mudah

dipahami dengan mengacu pada pokok permasalahan yang diteliti.

3.7. Uji Kredibilitas Data

Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian

kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan

ketentuan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat dan

member check. Digunakannya uji ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang

lebih mendalam mengenai subyek penelitian (Sugiyono, 2008:h:270). Adapun

pengujian kredibilitas data adalah sebagai berikut :

1. Perpanjangan Pengamatan. Perpanjangan pengamatan perlu dilakukan

karena berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, dirasakan data

Page 66: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

55

yang diperoleh masih kurang memadai. Menurut Moleong (2001.

h:327) perpanjangan pengamatan berarti peneliti tinggal di lapangan

penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai.

2. Peningkatan ketekunan, berarti melakukan pengamatan secara lebih

mendalam untuk memperoleh kepastian data. Meningkatkan ketekunan

dilakukan dengan membaca berbagai referensi baik buku maupun

dokumen yang terkait dengan temuan yang diteliti sehingga berguna

untuk memeriksa data apakah benar dan bisa dipercaya atau tidak.

3. Triangulasi. Analisa triangulasi merupakan suatu metode analisis untuk

mengatasi masalah akibat dari kajian mengandalkan suatu teori saja,

satu macam data atau satu metode penelitian saja (Sugiono, 2007.

h:225). Triangulasi dapat diartikan sebagai pengecekan data dari

berbagai sumber dengan berbagai cara. Menurut (Sugiono, 2008:h:273-

274), terdapat minimal 3 (tiga) macam triangulasi, yaitu :

a. Triangulasi sumber data. Pada triangulasi ini, data di cek

kredibilitasnya dari berbagai sumber data yang berbeda dengan

teknik yang sama, misalnya mengecek sumber data antara

bawahan, atasan dan teman.

b. Triangulasi teknik pengumpulan data. Data di cek kredibilitasnya

dengan menggunakan berbagai teknik yang berbeda dengan sumber

data yang sama.

c. Triangulasi waktu pengumpulan data. Data di cek kredibilitasnya

dengan waktu yang berbeda-beda namun dengan sumber data dan

teknik yang sama. Triangulasi menjadikan data yang diperoleh

Page 67: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

56

dalam penelitian menjadi lebih konsisten, tuntas dan pasti serta

meningkatkan kekuatan data (Sugiyono, 2008:h:241)

4. Pemeriksaan teman sejawat. Dilakukan dengan mendiskusikan data

hasil temuan dengan rekan-rekan sesama mahasiswa maupun teman

yang bukan mahasiswa. Melalui diskusi ini diharapkan akan ada saran

atau masukan yang berguna untuk proses penelitian.

5. Analisis kasus negatif. Menurut Sugiyono (2008. h:275) melakukan

analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau

bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan.

6. Member Check. Dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil penelitian

kepada sumber-sumber yang telah memberikan data untuk mengecek

kebenaran data dan interprestasinya. Menurut Moleong (2002. h:336)

pengecekan dilakukan dengan jalan:

a. Penilaian dilakukan oleh responden;

b. Mengkoreksi kekeliruan;

c. Menyediakan tambahan informasi;

d. Memasukkan responden dalam kancah penelitian, menciptakan

kesempatan untuk mengikhtisarkan sebagai langkah awal analisa

data;

e. Menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan.

Pengujian kredibilitas (credibility) bertujuan untuk menilai kebenaran dari

temuan penelitian kualitatif. Kredibilitas ditunjukkkan ketika partisipan

mengungkapkan bahwa transkrip penelitian memang benar-benar sebagai

Page 68: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

57

pengalaman dirinya sendiri. Dalam hal ini peneliti akan memberikan data yang

telah ditranskripkan untuk dibaca ulang oleh partisipan/informan.

Page 69: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

58

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penulis akan mengemukakan beberapa hal tentang gambaran umum

Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, diantaranya:

4.1.1. Sejarah Singkat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh

Berdasarkan catatan historis Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh

didirikan pada jaman penjajahan Belanda , bertempat di kelurahan Suak Indra Puri

kecamatan Johan Pahlawan pada waktu itu masih bernama penjara karena

merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, dimana maksud dan

tujuannya adalah tempat untuk memenjarakan orang-orang yang melanggar

terhadap peraturan kolonial Belanda. Nama ini berlaku sampai Tahun 1964 dan

setelah itu berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan, perubahan ini terjadi

setelah diadakannya kongres di Bandung, yang menghasilkan Instruksi Kepala

Direktorat Pemasyarakatan Nomor J. H. G. 8/506 tanggal 17 juni 1964.

Dalam sejarahnya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh merupakan

tempat tahanan karena pada waktu itu belum dikenal adanya lembaga

pemasyarakatan yang kemudian pada zaman kolonial Belanda digunakan untuk

mendidik para narapidana yang melakukan tindak pidana. Namun dalam

perkembangannya lembaga tersebut lebih difungsikan untuk menahan para

pejuang yang menurut pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai penjahat.

Pada tahun 1945, tepatnya setelah hari kemerdekaan bangsa Indonesia

terjadi perubahan kekuasaan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Republik

Page 70: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

59

Indonesia yang didalamnya terjadi juga pengalihan aset-aset dan gedung-gedung

yang semula dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda secara bertahap dialihkan

ke pemerintah Republik Indonesia termasuk salah satunya Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Sampai saat ini Lembaga Pemasyarakatan

tersebut tetap digunakan untuk mendidik para narapidana yang melakukan tindak

pidana sehingga memahami akan perbuatannya yang melanggar perundang-

undangan.

4.1.2. Letak Geografis dan Kondisi Fisik Bangunan

Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh terletak dikawasan gampong

Paya Peunaga Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat, yang dibangun oleh

BRR pada tahun 2006 setelah bangunan lama di Suak Indrapuri hancur oleh

Gempa dan Tsunami pada tanggal 26 desember 2004. Bangunan baru ini

dibangun diatas tanah seluas ± 4 hektar dengan daya tampung atau kapasitas

sebesar kurang lebih 500 orang, sedangkan pada saat penelitian tepatnya 19

September 2013, jumlah narapidana yang menjalani masa pidana di Lembaga

Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh sudah mencapai 298 orang. (hasil

wawancara bagian Registrasi Lembaga Pemasyarakatan pada tanggal 19

September 2013). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh begitu cepat meningkat, sehingga

membutuhkan pembinaan dan pengawasan yang ketat.

Dalam rangka menjaga dan meningkatkan keamanan, bangunan Lembaga

Pemasyrakatan ini dibatasi oleh 4 (empat) buah menara pantau dengan dikelilingi

dinding dalam setinggi 7 meter dan diatas dinding tersebut terdapat kawat berduri,

jarak diding luar dengan dinding dalam (blok penghuni) berjarak kurang lebih 10

Page 71: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

60

meter, jarak antar dinding tersebut dimanfaatkan sebagai areal pertanian. Menara

pantau disebut juga sebagai pos atas berdiri disetiap sudut bangunan.

Lembaga Pemasyarakatan diklasifikasikan dalam 3 (tiga) klas yaitu:

1) Lembaga Pemasyarakatan klas IA;

2) Lembaga Pemasyarakatan klas IIA;

3) Lemabaga Pemasyarakatan klas IIB.

Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas tempat kedudukan, dan

kegiatan kerja. Lembaga Pemasyarakatan klas IA berkapasitas 1000 orang keatas,

klas IIA kapasitasnya 500-1000 dan klas IIB kapasitas kurang lebih 500-1 orang,

jadi berdasarkan hal diatas, Lembaga Pemasyarakatan Meulaboh tergolong klas

IIB, karena secara terperinci jumlah narapidana yang menempati Lembaga

Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh pada bulan Agustus 2013 sudah mencapai 298

orang.

Di dalam Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, juga terdapat

bangunan dan beberapa sarana yang merupakan faktor penunjang dalam proses

pembinaan terhadap warga binaan (Narapidana), diantaranya:

a. Perkantoran;

b. Klinik;

c. Dapur;

d. Ruang sarana kerja (ruang binker)

e. Bangunan Ibadah (Masjid);

f. Sarana olahraga, antara lain : lapangan badminton, lapangan Volley-

ball, lapangan sepak bola, (namun hanya setengah lapangan saja), tenis

meja;

Page 72: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

61

g. Blok-blok hunian warga binaan.

Untuk merealisasikan apa yang merupakan hak dari narapidana, dalam

kaitannya dengan tempat tinggal yang layak, maka di Lembaga Pemasyarakatan

klas IIB Meulaboh menyediakan 3 (tiga) Blok dengan 90 buah kamar dan 10

buah sel isolasi sebagai tempat tinggal, dengan klasifikasi penghuninya sebagai

berikut:

1. Blok A dipergunakan untuk tahanan dan narapidana laki-laki. Untuk

blok A terdapat 30 kamar dan 10 Sel isolasi.

2. Sel Isolasi didalam Blok A , dipergunakan untuk tahanan dan

narapidana yang melanggar tata tertib.

3. Blok B dipergunakan untuk tahanan dan narapidana anak (wisma anak),

terdapat 30 kamar.

4. Blok C dipergunakan untuk narapidana dan tahanan wanita, blok ini

terdapat 30 kamar.

Fasilitas-fasilitas lain diantaranya; rruang ruang perpustakaan dan kantin.

Menurut Banta Saidi, SE. dalam sistem pemasyarakatan, warga binaan

(narapidana), harus tetap mendapatkan hak-haknya yang tentunya diatur sesuai

dengan undang-undang yakni hak keperdataan (makan, tempat tidur, rekreasi, dll).

Pelaksanaan sistem pembinaan harus berdasarkan nilai-nilai luhur yang

terkandung dalam pancasila. (hasil wawancara dengan Kasi Binadik rasi

Lembaga Pemasyarakatan pada tanggal 30 September 2013).

Selama dalam pelaksanaan tehnik pemasyarakatan, Lembaga

Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh yang menampung, merawat, dan membina

narapidana atau peserta didik di dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan sistem

Page 73: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

62

pemasyarakatan, yaitu suatu sistem pembinaan narapidana yang mengacu pada

falsafah Pancasila dimana selain mereka diperlakukan sebagai individu juga

diperlakukan sebagai anggota masyarakat. Artinya di dalam pembinaan para

narapidana tersebut tidak bisa dipisahkan hubungannya dengan masyarakat dan

tidak lepas dari tanggung jawab mereka terhadap pembinaan yang dilakukan.

4.1.3. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh merupakan unit pelaksanaan

teknis pemasyarakatan yang menampung, merawat, membina warga binaan

(narapidana) pada umumnya dan narapidana recidive pada khususnya. Agar dapat

melaksanakan tugas-tugas tersebut maka petugas pemasyarakatan selayaknya

harus memahami mekanisme kerja sesuai dengan bidangnya masing-masing,

sehingga dapat menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Penulis

akan memberikan gambaran tentang struktur Lembaga Pemasyarakatan klas IIB

Meulaboh melalui bagan berikut ini:

Page 74: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

63

Bagan 1. Struktur Organisasi

Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Meulaboh

Sumber: Data Sekunder Penelitian, 2013

K A L A P A S

KA. SUBAG T.U

KA. KPLP

KA.URS. UMUM

KA.URS.KEPEG/

KEUANGAN

KASI ADM.

KEAMANAN DAN

TATA TERTIB

KASI BIMB.

NAPI/ANDIK &

KEGIATAN KERJA

PETUGAS

PENGAMANAN

KASUBSI

KEAMANAN

KASUBSI REG.

BIM. PAS

KASUBSI

PELAPORAN &

TATA TERTIB

KASUBSI

PERAWATAN NAPI

KASUBSI

KEGIATAN KERJA

Page 75: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

64

4.1.4. Tugas dan Fungsi Pegawai Lembaga Pemasyarakatan

1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan

Bertugas memimpin secara keseluruhan terhadap bagian atau seksi yang ada

dalam lingkup organisasi Lembaga Pemasyarakatan dan bertanggung jawab

terhadap kegiatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB

Meulaboh.

2. Kepala Bagian Tata Usaha

Bertugas mengkoordinasi pelaksanaan tugas Tata Usaha meliputi bidang

kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan kerumah tanggaan sesuai ketentuan

dan peraturan yang berlaku dalam rangka pelayanan administratif dan fasilitatif

Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh. Seksi Tata Usaha terdiri atas :

a. Kepala Urusan Kepegawaian dan Keuangan.

Bertugas melakukan urusan kepegawaian dan bertugas melakukan

urusan keuangan.

b. Kepala Urusan Umum.

Bertugas melaksanakan urusan tata persuratan, perlengkapandan

kerumah tanggan Lembaga Pemasyarakatan untuk memberikan

pelayanan administratif dan fasilitatif.

3. Kepala Seksi Bimbingan /Pendidikan dan Kegiatan Kerja.

Bertugas memberi bimbingan pada narapidana/anak didik melalui dasar

pembinaan Pemasyarakatan dan mempersiapkan narapidana/anak didik agar dapat

kembali kemasyarakat dengan baik serta menentukan program pembinaan sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

Page 76: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

65

a. Kepala Sub. Seksi Registrasi

Bertugas melakukan pendataan/pencatatan narapidana/anak didik

dengan mencatat kedalam buku register serta membuat statistik dan

dokumentasi narapidana/anak didik sesuai ketentuan yang berlaku, agar

memudahkan pencatatan data dalam rangka pelaksanaan tugas

pemasyarakatan.

b. Kepala Sub. Seksi Perawatan Narapidana

Bertugas menyelenggarakan bimbingan dan pembinaan dibidang pisik,

mental dan rohani serta meningkatkan pengetahuan asimilasi dan

perawatan narapidana/anak didik sesuai peraturan maupun petunjuk

yang berlaku dalam rangka pelaksanaan sebagian tugas

pemasyarakatan.

c. Kepala Sub. Seksi Kegiatan Kerja

Bertugas memberikan petunjuk dan membimbing kerja dalam rangka

memberikan ketrampilan kepada narapidana/anakn didik dalam

lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

4. Kepala Seksi administrasi Keamanan dan Tata Tertib

Bertugas mengkoordinasikan kegiatan Keamanan dan Tata tertib dengan

mengatur jadwal petugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas

pengamanan sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam rangka

terciptanya suasana aman dan tertib dilingkungan LembagaPemasyarakatan.

Bidang administrasi keamanan tata tertib terdiri atas:

Page 77: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

66

a. Kepala Sub. Seksi keamanan

Bertugas menyelenggarakan tugas pengamanan dan ketertiban dengan

mengatur/membuat jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan

pembagian tugas pengamanan sesuai peraturan dan petunjuk yang

berlaku, agar tercipta suasana aman dan tertib dilingkungan Lembaga

Pemasyarakatan.

b. Kepala Sub. Seksi Pelaporan dan tata tertib

Bertugas melakukan tugas pelaporan Keamanan dan Tata Tertib secara

berkala berdasarkan laporan harian acara yang dibuat pleh satuan

pengamanan yang bertugas, dalam rangka menegakkan keamanan dan

ketertiban Lembaga Pemasyarakatan sesuai peraturan yang berlaku.

c. Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (Ka. KPLP)

Bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan tugas pengamanan dan

ketertiban sesuai jadwal tugas agar tercapai suasana aman dan tertib ban

dilingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

4.1.5. Tim Pengamat Pemasyarakatan

Menurut Banta Sidi, SE. Tim pengamat pemasyarakatan terdiri dari pejabat-

pejabat Lembaga Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, atau pejabat terkait

lainnya: (wawancara dengan Banta Sidi,SE Kasi Binadik rasi Lembaga

Pemasyarakatan pada tanggal 3 Oktober 2013).

1. Tim pengamat pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan bertugas

memberikan saran serta pertimbangan kepada kepala Lembaga

Pemasyarakatan mengenai:

Page 78: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

67

a. Bentuk dan program pembinaan narapiadana atau anak didik

pemasyarakatan;

b. Penilaian atau evaluasi terhadap pelaksanaan terhadap program

pembinaan narapidana atau anak didik pemasyarakatan;

c. Menerima keluhan dari narapidana atau anak didik

pemasyarakatan;

d. Pelanggaran ketertiban oleh narapidana atau anak didik

pemasyarakatan agar diambil tindakan tepat dan masalah lain yang

muncul dalam proses pembinaan narapidana atau anak didik

pemasyarakatan.

2. Dalam pelaksanaan tugasnya tim pengamat pemasyarakatan berperan

dalam hal:

a. Membuat perencanaan persidangan;

b. Melakukan tertib administrasi persidangan, inventarisasi dan

dokumentasi;

c. Membuat rekomendasi dan risalah sidang tim pengamat

pemasyarakatan kepada kepala lembaga pemasyarakatan;

d. Memantau pelaksanaan pembinaan narapidana/anak didik

pemasyarakatan.

3. Wali narapidana atau anak didik pemasyarakatan adalah petugas

pemasyarakatan yang mengamati, menangani dan mendampingi secara

langsung dan khusus dalam hal pembinaan narapidana atau anak didik

pemasyarakatan.

Page 79: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

68

4.1.6. Petugas Pemasyarakatan

Dalam melaksanakan proses pembinaan narapidana, pegawai atau petugas

pemasyarakatan merupakan salah satu unsur penting. Pegawai tersebut harus

memiliki kemampuan, khususnya dibidang kemasyarakatan dan didukung oleh

tingkat pendidikian yang dimiliki oleh masing-masing petugas tersebut. Hal ini

berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan narapidana berdasarkan tujuan

dari sisten pemasyarakatan.

Berikut penulis, memberikan gambaran tentang keadaan petugas di

Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, berdasarkan:

Tabel 1 Petugas Berdasarkan Golongan dan Pendidikan

No Pangkat Gol

Jenis

kelamin Pendidikan

L P SMP SMU D-III S1 S2

1 Pembina Tk I IV/b - - - - - - -

2 Pembina IV/a 1 - - - 1 - -

3 Penata Tk I III/d 3 1 - - - 4 -

4 Penata III/c 2 - - - - 2 -

5 Penata Muda Tk I III/b 12 2 - 5 - 9 -

6 . Penata Muda III/a 1 - - - - 1 -

7 Pengatur Tk I II/d 2 2 - 2 1 1 -

8 Pengatur II/c 4 1 - 4 - 1 -

9 Pengatur Muda Tk I II/b 6 1 - 7 - - -

10 Pengatur Muda II/a 6 1 - 7 - - -

Jumlah 37 8 - 25 2 18 -

Sumber: hasil penelitian, 2013.

Page 80: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

69

Sehingga dapat peneliti simpulkan bahwa tingkat pendidikan pegawai

Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh yang paling banyak adalah SMU

dan Sederajat dan Sarjana sedangkan pendidikan yang paling sedikit adalah D-III

hanya satu orang. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pendidikan yang

dimiliki pegawai Lembaga Pemasyarakatan seharusnya dapat lebih optimal lagi

dalam memberikan pembinaan kepada warga binaan Lembaga Pemasyarakatan

klas IIB Meulaboh, bukan sebaliknya yaitu seperti yang terjadi pada saat sekarang

ini bahwa pembinaan yang diberikan lebih cenderung memakai cara kekerasan

bukan pemasyarakatan.

4.1.7. Keadaan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan

Menurut Banta Sidi, SE tidak semua yang menempati Lembaga

Pemasyaraktan adalah narapidana, tetapi ada juga yang berstatus sebagai tahanan,

yang dimaksud dengan tahanan adalah terdakwa yang dititipkan di Lembaga

Pemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

dalam proses persidangan di pengadilan. (wawancara dengan Banta Sidi, SE Kasi

Binadik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 21 Oktober

2013).

Khusus narapidana residivis sendiri yang ada di Lembaga Pemasyarakatan

klas IIB B Meulaboh jumlahnya per agustus tahun 2013 saja sudah mencapai 10

orang recidive baik yang sudah berstatus tahanan maupun yang berstatus

narapidana, berbeda dengan jumlah narapidana recidive yang diterima Lembaga

Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh pada tahun 2011 yang menerima 19

narapidana recidive. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadinya penurunan

angka jumlah narapidana recidive yang diterima antara tahun 2011 dan tahun

Page 81: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

70

2012, walaupun penurunannya tidak begitu banyak setidaknya hal tersebut

menunjukkan bahwa lembaga pemasyarakatan klas IIB Meulaboh sudah berhasil

dan melaksanakan secara optimal dalam memberikan pembinaan bagi warga

binaannya khususnya residivis. (hasil wawancara pada bagian Registrasi

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 4 Nopember 2013).

“…bila tetap terjadinya residivis itu bukanlah suatu hal yang dapat

menunjukkan berhasil atau tidaknya pembinaan yang diberikan, karena hal

tersebut juga harus didukung oleh tindakan yang harus dilakukan oleh

masyarakat umum dan kesadaran diri narapidana itu sendiri. Sehingga dapat

disimpulkan, bahwa terjadinya kembali residivis itu lebih banyak karena

faktor diri narapidana itu sendiri dan faktor masyarakat sekitarnya.” (hasil

wawancara dengan Kasi Binadik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Meulaboh tanggal 19 Nopember 2013).

Berikut ini penulis akan memberikan latar belakang 5 (lima) orang khusus

narapidana recidive yang berdasarkan tindak kejahatan yang dilakukan, lamanya

hukuman, banyaknya pengulangan tindak pidana yang dilakukan, pekerjaan

sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan, pendidikan terakhir, serta faktor-faktor

yang menyebabkan narapidana recidive tersebut mengulangi lagi perbuatan

pidananya, yaitu: (hasil wawancara dengan narapidana residivis di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 25 Nopember 2013).

Dari hasil wawancara tersebut peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa

dilihat dari faktor penyebabnya seorang bekas narapidana melakukan kembali

perbuatannya yaitu karena faktor ekonomi dan kejiwaan (mental) narapidana

tersebut, namun bila dilihat dari segi pendidikan bahwa faktor penyebab seorang

bekas narapidana dapat melakukan kembali kejahatannya dapat juga karena

rendahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki narapidana recidive tersebut. Hal ini

dapat dilihat pada tabel di atas bahwa residivis yang paling sering mengulangi

kejahatannya yaitu berpendidikan SD, sehingga faktor intelektual juga dapat

Page 82: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

71

menjadi penyebab terjadinya seorang bekas narapidana mengulangi kembali

kejahatannya sehingga menjadi residivis.

4.2. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIB Meulaboh

4.2.1. Tahap-tahap Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Meulaboh

Pembinaan yang dilakukan harus berdasarkan pada Pancasila dan konsep

pemasyarakatan. Pada hakikatnya proses pembinaan narapidana dimulai sejak

narapidana tersebut masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai berakhirnya masa

pidana (bebas). Tahap-tahap yang harus dilalui dalam proses pembinaan

narapidana adalah admisi dan orientasi atau pengenalan, tahap pembinaan, tahap

asimilasi, dan tahap integrasi dengan lingkungan masyarakat.(wawancara dengan

bagian bimbingan kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 25

Nopember 2013).

Tahap-tahap dari pembinaan tersebut yaitu:

a. Tahap admisi dan orientasi atau pengenalan

Tahap ini lebih dikenal dengan istilah Mapenaling (masa pengenalan

lingkungan). Setiap narapidana yang masuk ke dalam Lembaga

Pemasyarakatan diberi pengarahan tentang situasi di dalam Lembaga

Pemasyarakatan, blok mana yang harus ditempati oleh narapidana

tersebut, hak dan kewajibannya, dan peraturan-peraturan yang

ditetapkan di Lembaga Pemasyarakatan. Tujuannya adalah agar dapat

memperbaiki tingkah laku narapidana dan mengarahkannya ke jalan

yang benar.

Page 83: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

72

Pada tahap ini narapidana akan diteliti tentang segala hal ikhwal perihal

dirinya, termasuk sebab-sebab melakukan tindak pidana, tempat tinggal

narapidana, situasi ekonominya, latar belakang pendidikan, dan

sebagainya. Untuk keperluan admisi dan orientasi narapidana

ditempatkan di blok khusus (karantina), maksudnya disamping untuk

keperluan pembinaan dan juga untuk keperluan pemeriksaan kesehatan

apakah ada penyakit yang menular atau tidak.

Admisi dan orientasi merupakan tahap yang kritis bagi narapidana yang

baru masuk ke lembaga pemsyarakatan, karena dari dunia luar yang

bebas dan luas memasuki situasi Lembaga Pemasyarakatan yang sempit

dan terkekang. Pada tahap ini dilakukan dengan pengawasan yang

sangat ketat (maximum security). Narapidana akan merasakan hilangnya

kebebasan, pelayanan, dan lain-lain. Sangat diharapkan agar narapidana

dapat menyesuaikan diri dalam masa transisi tersebut, sehingga dapat

hidup secara normal di Lembaga Pemasyarakatan.

Pada tahap ini juga ditunjuk seorang petugas untuk menjadi wali dari

narapidana dan bertindak sebagai pendamping, sehingga apabila

narapidana mengalami kesulitan atau masalah dapat disampaikan ke

walinya untuk mendapat pengarahan atau jalan keluar dari masalah

tersebut. Tahap ini dilakukan sejak awal masuk sampai 1/3 dari masa

pidana.

b. Tahap pembinaan

Tahap pembinaan merupakan kelanjutan dari tahap admisi dan

orientasi. Tahap ini dilakukan apabila narapidana telah menjalani 1/3

Page 84: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

73

masa pidana sampai 1/2 masa pidananya dengan medium security.

Bentukbentuk pembinaan diantaranya, pembinaan kepribadian (mental

dan spiritual) serta pembinaan kemandirian. Untuk kepentingan

pembinaan narapidana akan didata mengenai bakat dan minatnya

masing-masing dan juga jenjang pendidikan yang pernah ditempuh.

c. Tahap asimilasi

Pembinaan narapidana pada tahap ini dapat dimulai dari 1/2 masa

pidana sampai 2/3 dari masa pidananya dan menurut penilaian team

pembinaan pemasyarakatan sudah memiliki kemajuan fisik, mental,

dan keterampilan. Pada tahap ini pengawasan terhadap narapidana

relatif berkurang (minimum security).

Asimilasi secara harafiah adalah diperdayakan. Asimilasi

diklasifikasikan menjadi 2 bentuk yakni asimilasi di dalam lembaga

pemasyarakatan, dan asimilasi luar Lembaga Pemasyarakatan.

Narapidana yang menjalani asimilasi di dalam Lembaga

Pemasyaraktan, diantaranya narapidana yang bekerja di kantor-kantor

di dalam Lembaga Pemasyarakatan, dan narapidana yang mengajar di

Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk asimilasi di luar

kegiatannya dapat berupa kerja pada salah satu pabrik, kerja bakti

bersama masyarakat, kerja sendiri, dan lain-lain. Dari tahun 2011

sampai saat ini kegiatan asimilasi luar diantaranya bekerja di kebun

pertanian milik Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh dan

bekerja di sekitar Lembaga Pemasyarakatan seperti menjaga parkiran di

halaman depan Lembaga Pemsyarakatan klas IIB Meulaboh.

Page 85: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

74

Pada tahap ini program pembinaan diperluas, bukan saja di dalam

lingkungan lembaga pemasyarakatan, tetapi juga membaurkan

narapidana dengan masyarakat tertentu. Program ini dilaksanakan

secara bertahap, mulai dari kegiatan yang sempit lingkungannya dan

mengarah pada kegiatan masyarakat yang lebih luas sesuai dengan

bakat dan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing narapidana.

Dalam melaksanakan setiap program kegiatan asimilasi, petugas atau

pembina pemasyarakatan harus selektif dan kegiatan tersebut harus

direncanakan secara matang dan terpadu. Hal ini bertujuan agar

mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada narapidana dan

merugikan masyarakat dimana narapidana tersebut diasimilasikan.

d. Tahap integrasi dengan lingkungan masyarakat

Tahap ini adalah tahap akhir pada proses pembinaan narapidana dan

dikenal dengan istilah integrasi. Apabila proses pembinaan dari tahap

admisi dan orientasi atau pengenalan, pembinaan, asimilasi dapat

berjalan dengan lancar dan baik serta masa pidana yang sebenarnya

telah dijalani 2/3 atau sedikitnya 9 bulan, maka kepada narapidana

tersebut diberikan pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.

Dalam tahap ini proses pembinaannya dilaksanakan di masyarakat luas

sedangkan pengawasannya semakin berkurang sehingga narapidana

akhirnya dapat hidup dengan masyarakat.

Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas

dilaksanakan di bawah pengawasan langsung oleh Balai

Pemasyarakatan bukan lagi pihak Lembaga Pemasyarakatan.

Page 86: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

75

Narapidana dapat menjalani sisa dari masa pidana atau 2/3 di rumah

dan masa percobaan selama 1 (satu) tahun, selain itu narapidana yang

bersangkutan harus wajib melaporkan diri ke Balai Pemasyarakatan.

Jika pada tahap integrasi tersebut narapidana kembali melakukan tindak

pidana, maka narapidana tersebut harus kembali menjalani sisa masa

pidananya itu di dalam lembaga pemasyarakatan, ditambah lagi dengan

sanksi pidana yang baru dilakukan tersebut.

Tahap-tahap pembinaan tersebut diatas secara umum dapat dikatakan

sebagai tahap pembinaan standart yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan

klas IIB Meulaboh dalam membina warga binaan, kecuali bagi narapidana khusus

tindak pidana narkoba selain mendapatkan pembinaan-pembinaan tersebut juga

mendapatkan pembinaan yang disebut dengan hypnotherapy yang bertujuan untuk

menghilangkan rasa keinginan narapidana untuk menggunakan narkoba lagi.

Namun berbeda lagi dengan narapidana recidive, dari hasil penelitian yang

penulis lakukan diketahui bahwa khusus untuk narapidana recidive sendiri pada

umumnya mendapatkan pembinaan yang sama dengan narapidana lainnya, tetapi

perbedaannya hanya terletak pada saat pelaksanaan baik pembinaan asimilasi

maupun pembinaan integrasi. Perbedaan tersebut yaitu bila narapidana recidive

untuk mendapatkan pembinaan asimilasi dirasakan masih sangat sulit. Hal

tersebut disebabkan oleh karena status narapidana recidive itu sendiri yang

menyebabkan pihak Lembaga Pemasyarakatan harus lebih ekstra lagi dalam

memberikan pembinaan. Padahal disisi lain pembinaan asimilasi tersebut

merupakan salah satu hak bagi warga binaan untuk mendapatkannya. (wawancara

Page 87: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

76

dengan Banta Sidi,SE Kasi Binadik Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh

tanggal 2 Desember 2013).

Mengenai hak asimilasi tersebut, penulis mendapatkan informasi yang

diberikan oleh salah satu narapidana recidive yang ada di Lembaga

Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh. Narapidana recidive tersebut mengatakan

bahwa untuk mendapatkan asimilasi itu dirasakan sangat sulit sekali, selain

statusnya sebagai residivis hal lain yang menyebabkan susahnya mendapatkan hak

asimilasi yaitu adanya pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai Lembaga

Pemasyarakatan kepada narapidana yang mengajukan permohonan hak tersebut.

Sulitnya narapidana recidive untuk mendapatkan haknya juga terjadi pada hak

untuk mendapatkan pembinaan integrasi, dimana pembinaan tersebut sangat

berpengaruh sekali pada mental para narapidana karena pembinaan tersebut

berperan sangat penting bagi narapidana untuk dapat merasakan secara langsung

dekat dengan masyarakat maupun dengan keluarganya agar tidak selalu merasa

kalau statusnya sudah menjadi narapidana maka semua orang pasti sudah tidak

mau lagi menerimanya dan sulit untuk dipercaya lagi sehingga membawa dampak

yang kurang baik seperti adanya kemungkinan bahwa karena narapidana tersebut

sudah merasa seperti yang disebutkan diatas dan kemudian mengulangi kembali

perbuatannya, pada akhirnya memiliki status sebagai residivis.

Hal ini bukan hanya terjadi pada narapidana recidive saja namun berlaku

juga bagi narapidana-narapidana lainnya. Jadi, walaupun ada narapidana recidive

yang mendapatkan hak asimilasi maupun hak integrasi itu pun pasti narapidana

yang tingkat ekonominya menengah keatas yang sanggup memenuhi nominal

Page 88: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

77

pungutan liar yang ditawarkan tersebut. (hasil wawancara dengan salah satu

narapidana residivis tanggal 2 Desember .

4.2.2. Aktivitas Pembinaan Narapidana

Aktifitas pembinaan narapidana yang dilakukan di dalam Lembaga

Pemasyarakatan sangatlah jauh dari apa yang dipikirkan oleh masyarakat yang

ada di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, pada saat

penulis memasuki daerah blok-blok narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas

IIB Meulaboh sekilas pembinaan yang dilakukan oleh pegawai Lembaga

Pemasyarakatan sangat berjalan dengan baik dan sesuai dengan pedoman

pembinaan baik yang diatur di dalam undang-undang, peraturan pemerintah,

maupun yang diatur di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri.

Bila melihat pembinaan yang sesungguhnya, yaitu berdasarkan ketentuan

pasal 6 Undang-undang Nomor12 Tahun 1995, dinyatakan bahwa pembinaan

warga binaan pemasyarakatan (narapidana) dilakukan di Lembaga

Pemasyarakatan. Ada dua proses pembinaan yang dilakukan di Lembaga

Pemasyarakatan, diantaranya secara internal (di dalam Lembaga Pemasyarakatan)

dan secara eksternal (di luar Lembaga Pemasyarakatan).

a. Pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (internal).

Pembinaan yang diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan klas

IIB Meulaboh mencakup pembinaan kepribadian (mental dan spiritual)

serta pembinaan kemandirian. Adapun target yang hendak dicapai

melalui pembinaan yang diterapkan disini adalah agar narapidana

menyadari kesalahan yang telah dilakukannya (insaf) serta berhasil

Page 89: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

78

menata masa depan dan ketika selesai menjalani masa pidananya dapat

berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dua pola pembinaan tersebut merupakan realisasi dari pasal 14 dan15

Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

1. Pembinaan kepribadian mencakup:

a) Pendidikan mental

b) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Bentuk dari

pembinaan tersebut adalah melalui penyuluhan-penyuluhan

dengan maksud agar narapidana kembali menjadi warga

negara yang berbakti kepada bangsa dan negara.

2. Pembinaan kesadaran hukum. Bentuk pembinaan ini dimaksudkan

agar narapidana tidak mengulangi perbuatannya sehingga

keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat kembali tercipta.

3. Pembinaan kemampuan intelektual. Program pendidikan dan

pembelajaran yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB

Meulaboh meliputi kegiatan belajar paket B untuk SLTP, dan

paket C untuk SMU.

Dalam hal ini Lembaga Pemasyarakat klas IIB Meulaboh bekerja sama

dengan dinas pendidikan.

1. Pembinaan spiritual (rohani). Pembinaan spiritual dilaksanakan

terhadap narapidana tujuannya adalah agar menggugah hati

narapidana bahwa tindakan yang dilakukannya adalah merupakan

perbuatan dosa. Untuk merealisasikan pembinaan tersebut, maka

Page 90: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

79

Lembaga Pemasyarakatan bekerja sama dengan Departemen

Agama.

2. Pembinaan Jasmani. Bentuk pembinaan jasmani dilaksanakan

melalui beberapa olah raga volley-ball dan senam pagi pada setiap

pagi kecuali hari jumat dan minggu.

3. Pembinaan kemandirian mencakup:

a) Pendidikan Keterampilan. Setiap narapidana yang masuk ke

Lembaga Pemasyarakatan didata mengenai bakat dan

kemampuan yang dimilikinya. Hal tersebut bertujuan agar

pada tahap asimilasi narapidana yang bersangkutan dapat

bekerja sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimilikinya.

Contoh: narapidana yang bisa mengoprasikan komputer dapat

bekerja dikantor (membantu pegawai lembaga

pemasyarakatan).

b) Bimbingan Kerja. Menurut Jasman tujuan pembinaan

kemandirian adalah sebagai bekal bagi narapidana agar bisa

hidup mandiri (minimal bisa menghidupi dirinya sendiri dan

keluarga) dan mampu menciptakan lapangan kerja ketika

selesai menjalani masa pidananya.(wawancara dengan Ka

Subsi Bimbingan Kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Meulaboh tanggal 7 Desember 2013).

Narapidana juga dapat diarahkan dalam jenis kegiatan kerja tertentu,

antara lain:

1) Bimbingan kerja di kerajinan kayu (membuat kursi dan meja);

Page 91: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

80

2) Kerajinan las (membuat tempat parkir,dan meja dari plat besi);

3) Di bidang pertanian, tanaman yang ditanam adalah cabe, kacang

tanah, jagung, kacang panjang dan lain-lain. Lembaga

pemasyarakatan klas IIB Meulaboh menyediakan lahan khusus

untuk perkebunan, yakni di belakang gedung bangunan.

4) Di bidang peternakan, hewan ternak yang di pelihara adalah

kambing, ayam dan bebek.

b. Pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan (eksternal)

Pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan bertujuan agar narapidana

lebih mendekatkan diri dengan masyarakat dan merupakan realisasi dari

salah satu prinsip pemasyarakatan yakni selama kehilangan

kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat

dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Bentuk pembinaan ini

merupakan pendidikan sosial kemasyarakatan yang diadakan bagi

narapidana. Pembinaan secara eksternal yang dilakukan di Lembaga

Pemasyarakatan disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan narapidana

yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka

ke dalam kehidupan masyarakat.

Ada pun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh narapidana yang

menjalani pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan adalah:

a. Syarat-syarat pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan

1) Narapidana yang bersangkutan telah memperlihatkan

kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang telah

dilakukannya.

Page 92: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

81

2) Narapidana telah memperlihatkan perkembangan budi pekerti

dan moral yang positif.

3) Narapidana telah mengikuti program pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan dengan tertib.

4) Masyarakat sudah dapat menerima program kegiatan

pembinaan narapidana yang bersangkutan.

5) Selama menjalani masa pidananya narapidana tidak pernah

mendapat sanksi Indisipliner (daftar “F”) sekurang-kurangnya

dalam waktu 1 tahun terakhir.

b. Pembinaan secara eksternal yang dilakukan di Lembaga

Pemasyarakatan disebut asimilasi. Bentuk-bentuk dari asimilasi,

yaitu Cuti Mengunjungi Keluarga, selama 2 hari atau 2 x 24 jam,

sebanyak dua kali dalam setahun bagi narapidana yang masa

pidananya tiga sampai lima tahun. Sebanyak 3 kali dalam setahun

bagi narapidana yang masa pidananya lima tahun keatas.

c. Pembinaan secara eksternal juga dilakukan oleh Balai

Pemasyarakatan yang disebut integrasi. Bentuk-bentuk dari

integrasi, diantaranya Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang

Bebas.

d. Narapidana yang tidak diijinkan untuk mengikuti pembinaan di luar

Lembaga Pemasyarakatan, diantaranya:

1) Narapidana recidive

2) Narapidana yang terancam jiwanya (dari pihak korban)

3) Narapidana WNA (warga negara asing).

Page 93: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

82

Agar mencapai pembinaan yang baik, partisipasi bukan hanya datang dari

petugas melainkan dari masyarakat dan narapidana itu sendiri. Di dalam

pembinaan petugas atau pembina pemasyarakatan harus bertindak berdasarkan

prinsip-prinsip pemasyarakatan. Seorang petugas pemasyarakatan dapat dianggap

berpartisipasi jika sanggup menunjukan sikap, tindakan, dan kebijaksanaannya

dalam mencerminkan pengayoman baik terhadap narapidana maupun masyarakat.

Pernyataan yang diberikan oleh kepala bagian pembinaan tersebut sangat

betolak belakang dengan pernyataan yang diberikan oleh salah seorang narapidana

recidive yang mengatakan bahwa sebenarnya untuk pembinaan yang dilakukan di

dalam Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh memang sudah sesuai dengan

program yang ada, sedangkan untuk pembinaan yang dilakukan di luar Lembaga

Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh khusus narapidana recidive haknya tersebut

dibatasi hanya karena statusnya yang sebagai residivis. Namun dari semua

pembinaan yang diberikan baik internal maupun eksternal bagaimanapun status

narapidananya tetap saja harus menyiapkan sejumlah uang untuk mendapatkan

haknya tersebut. (wawancara dengan Kasubsi Registrasi Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 9 Desember 2013)

4.2.3. Sarana dan Prasarana Penunjang Pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.

Sarana dan prasarana bukan hanya sebagai penunjang pembinaan-

pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Meulaboh, tetapi juga

untuk mengantisipasi meningkatnya seorang narapidana menjadi recidive dan

sebagai sarana bila para narapidana mengalami kejenuhan diwaktu menjalani

pidana. Sarana dan prasarana yang dimaksud antara lain:

Page 94: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

83

a. Sarana dan prasarana pembinaan agama.

Mesjid adalah salah satu hal yang dianggap penting dalam mengatasi

terjadinya recidve karena dengan meyakini kepercayaan dari agama

masing-masing maka akan mendapatkan hikmah yaitu ketenangan hati.

Di mesjid yang letaknya di dalam Lembaga Pemasyarakatan ini,

merupakan tempat pembinaan agama bagi narapidana yang beragama

Islam, yang dilaksanakan dalam bentuk sholat berjama’ah, ceramah

keagamaan, istiqosah, membaca surat yasin, dan mengaji bersama.

Pembinaan mental narapidana ditujukan untuk meningkatkan mental

narapidana sehingga dapat mempunyai mental yang lebih baik setelah

dilaksanakan pembinaan. Dalam pembinaan mental selama penulis

melakukan pengamatan dilapangan, dijumpai bahwa para narapidana

diberi ceramah agama yang dilakukan oleh tokoh agama baik dari

dalam maupun dari luar Lembaga Pemasyarakatan.

Hal ini dilakukan untuk memberikan pembekalan yang lebih mendalam

agar para narapidana dapat memahami bahwa perbuatannya dapat

merusak mental. Khusus bagi narapidana recidive selain mendapat

pembinaan mental, juga mendapatkan pembinaan keterampilan,

kerajinan, dan pendidikan yang ditujukan agar narapidana recidive

dapat mengatasi kejenuhan dan memiliki keahlian yang sebagai modal

setelah bebas nanti sehingga tidak mengulangi kembali perbuatan

jahatnya.

Page 95: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

84

b. Sarana dan prasarana pembinaan olahraga

Untuk menunjang berlangsungnya kegiatan pembinaan olahraga, maka

diperlukan sarana dan prasarana olahraga. Hal ini dikarenakan olahraga

adalah salah satu pilihan yang sangat bagus apabila digunakan untuk

mengisi waktu luang, atau untuk menghilangkan kejenuhan.

Sarana dan prasarana olahraga di Lembaga Pemasyarakatan antara lain,

lapangan sepak bola, lapangan volly, lapangan bulu tangkis. Pembinaan

dalam bidang olahraga ditujukan supaya para narapidana dapat mengisi

waktu luangnya dengan melakukan kegiatan yang berguna dan

bermanfaat, yaitu untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh.

c. Sarana dan prasarana pembinaan kesehatan

Usaha Lembaga Pemasyarakatan untuk memperhatikan kesehatan

narapidana dengan membuka klinik yang bisa melayani narapidana dan

tahanan yang sakit, klinik didalam lembaga pemasyarakatan digunakan

sebagai tempat perawatan bagi narapidana yang sedang sakit. Tetapi

apabila ada narapidana yang sakit parah dan klinik didalam Lembaga

Pemasyarakatan sudah tidak sanggup lagi untuk mengobati narapidana

tersebut, maka narapidana tersebut akan dibawa kerumah sakit Cut

Nyak Dhien (RSUCND) Meulaboh.

d. Sarana dan prasarana pembinaan keterampilan

Sarana dan prasarana pembinaan keterampilan di Lembaga

Pemasyarakatan yaitu dengan sudah tersedianya alat-alat seperti: mesin

jahit, alat-alat las, ruang kerja beserta peralatan kerja seperti mesin

Page 96: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

85

gergaji, mesin bor dan lain-lain. Di Lembaga Pemasyarakatan juga

menyediakan prasarana pertanian dalam bentuk lahan pertanian.

e. Sarana dan prasarana pembinaan sosialisasi

Sarana dan prasarana pembinaan sosialisasi di Lembaga

Pemasyarakatan yaitu dengan sudah tersedianya ruang kunjungan atau

tempat pertemuan. Ruang kunjungan sebagai tempat narapidana atau

tahanan untuk menerima kunjungan dari saudara atau keluarga, teman,

dan orang-orang luar yang mempunyai kepentingan dengan narapidana

atau tahanan tersebut.

Dari pembahasan tentang pelaksanaan pembinaan yang dilakukan Lembaga

Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh tersebut, secara umum sudah sesuai dengan

pedoman pembinaan yang ada pada Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.

Namun disini penulis akan memberikan sedikit gambaran tentang pembinaan

yang diberikan Lembaga Pemasyarakatan klas II B Meulaboh menurut narapidana

recidive khususnya, yaitu: (wawancara dengan salah satu narapidana residivis

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 10 Desember 2013).

a. Recidive pasal 365 mengatakan bahwa, pembinaan yang diberikan

sebenarnya sangat bermanfaat sekali bagi warga binaan, tetapi bila

pembinaan tersebut diberikan sesuai dengan tujuannya. Namun yang

saya alami sungguh berbeda dan menyakitkan.

b. Recidive pasal 363 mengatakan bahwa, satu kata yang hanya dapat saya

katakan bahwa pembinaan yang diberikan sangat tidak memadai. Baik

lahir maupun batin.

Page 97: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

86

c. Recidive pasal 378 mengatakan bahwa, tidak semua pembinaan yang

dapat saya terima. Ada beberapa pembinaan yang tidak saya terima

disini seperti hak asimilas, selain itu terlalu banyak aturan dan terlalu

ketat.

d. Recidive pasal 363 mengatakan bahwa, yang dibutuhkan para

narapidana disini bukanlah pembinaan tetapi hanyalah uang.Karena

pembinaan yang baik baru didapatkan seorang napi bila ada uang untuk

memenuhi pungutan liar yang ditawarkan pegawai Lembaga

Pemasyarakatan.

Bila dilihat dari pengakuan narapidana recidive tersebut, penulis dapat

menyimpulkan bahwa pembinaan yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan

klas IIB Meulaboh tidak benar-benar tersampaikan dengan baik seluruhnya

kepada narapidana (warga binaan). Hal ini disebabkan karena adanya perbuatan

oknum-oknum pegawai Lembaga Pemasyarakatan klas II B Meulaboh yang hanya

memikirkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan di luar penghasilannya

sebagai pegawai Lembaga Pemasyarakatan, yang kemudian tidak lagi memikirkan

hak-hak narapidana untuk mendapatkan pembinaan yang sesuai dengan pedoman

pemasyarakatan dan berlandaskan Pancasila.

4.3. Hambatan Dalam Membina Narapidana Residivis

Dalam melaksanakan proses pembinaan terhadap narapidana khususnya

residivis terdapat hambatan atau kendala yang harus diatasi oleh petugas atau

pembina pemasyarakatan. Hambatan atau kendala dalam pembinaan narapidana

adalah sebagai berikut: (wawancara dengan Banta Sidi,SE Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 10 Desember 2013).

Page 98: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

87

Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Lembaga Pemasyarakatan Klas

IIB , yang menampung dan membina narapidana yang berasal dari berbagai latar

belakang budaya dan etnis yang berbeda, yang menjadi persoalannya adalah setiap

narapidana masih terpola dengan adat dan kebudayaan yang dimilikinya, baik

dalam berbahasa, berfikir, dan bertingkah-laku. Hal ini bukanlah suatu persoalan

yang mudah bagi petugas atau pembina pemasyarakatan dalam membina dan

mengarahkan narapidana.

Sarana fisik bangunan Lembaga Pemasyarakatan dewasa ini merupakan

bangunan baru yang dibangun oleh BRR sampai dengan saat ini belum rampung

100 % ini salah satu hambatan utama dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan

di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Dengan kondisi fisik Bangunan

yang belum rampung sangat rentan bagi narapidana untuk melarikan diri, waktu

yang semestinya digunakan untuk pelatihan ketrampilan akan tetapi menjadi

kesempatan untuk melarikan diri. Masyarakat masih tetap berasumsi bahwa tidak

ada perbedaan antara penjara dengan Lembaga Pemasyarakatan dalam mendidik

dan membina narapidana.

Dalam pelaksanaan pembinaan tentunya petugas pemasyarakatan

mengalami kesulitan, karena kurangnya jumlah tenaga petugas atau pembina

pemasyarakatan, jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan warga binaan.

Disamping itu keamanan dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan harus tetap

diciptakan, alagi dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh

yang masih belum rampung seratus persen tentu sangat besar peluang warga

binaan untuk melarikan diri. Oleh karena itu kurangnya jumlah petugas keamanan

Page 99: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

88

dan bangunan belum rampung merupakan suatu kendala dalam mengatasi jumlah

penghuni yang melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan tersebut.

Sebenarnya hambatan yang sampai saat ini dirasakan masih sulit untuk

diatasi adalah masih kurangnya minat warga binaan khususnya bagi narapidana

residivis untuk mengikuti setiap pembinaan yang diberikan khususnya dalam

pembinaan pendidikan (intelektual), dimana pembinaan tersebut sangat penting

dan berguna bila warga binaan bebas nanti. Hal ini dapat dilihat dari fakta yang

terjadi dan hasil penelitian bahwa masih banyaknya narapidana residivis di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh, bahkan ada beberapa narapidana

yang sudah menjadi residivis lebih dari 3x (tiga) kali.

Dari informasi yang didapat dari salah seorang narapidana yang sudah 3

(tiga) kali menjadi residivis pada kasus pencurian kendaraan bermotor yang

bernama Roma Farma mengatakan bahwa, faktor utama yang menyebabkan

narapidana menjadi seorang residivis bukanlah terletak pada kesalahan dari

serangkaian pembinaan yang sudah diberikan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Meulaboh, tetapi karena faktor lingkungan dan belum ada pekerjaan tetap setelah

keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terkadang masih adanya sedikit

kekurangan dalam pelaksanaan pembinaan tersebut namun kekurangan tersebut

hanya sebatas fasilitas saja dan masih bisa diatasi sedikit demi sedikit.

Tetapi faktor utama yang menyebabkan terjadinya residivis adalah dari diri

narapidana itu sendiri, karena dari seluruh residivis yang ada beralasan melakukan

residivis 70% karena masalah ekonomi sedangkan sisanya 30% mengenai

berbagai macam alasan seperti, kurangnya perhatian dari keluarga, tidak adanya

modal setelah bebas, mengalami depresi atau tekanan batin dari lingkungan

Page 100: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

89

sekitar, karena faktor pergaulan, dan karena memang bawaan sifat narapidana itu

sendiri.

Adapun hambatan-hambatan yang terjadi di beberapa bidang pembinaan

adalah sebagai berikut:

a. Hambatan dibidang pembinaan intelektual.

Salah satu faktor penyebab timbulnya kejahatan adalah rendahnya

sumber daya manusia. Faktanya, sebagian besar narapidana masih

berpendidikan rendah, bahkan masih ada yang tergolong buta huruf.

Untuk itu program pendidikan mendapat prioritas dalam pembinaan

yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan. Adapun hambatan yang

dialami di bidang pembinaan intelektual, diantaranya:

1) Kurangnya fasilitas dalam proses belajar mengajar (buku dan alat-

alat tulis).

2) Kurangnya tenaga profesional (guru) yang mengajar di lembaga

pemasyarakatan.

3) Belum tersedianya dana atau bantuan dari pemerintah khususnya

perlengkapan perpustakaan yang sebagai salah satu sarana dalam

membangkitkan minat baca dan meningkatkan pengetahuan warga

binaan lembaga pemasyarakatan.

4) Perpustakaan masih menyediakan sumber bacaan dalam jumlah

yang terbatas.

Hambatan-hambatan tersebut dapat mengakibatkan turunnya minat atau

kemauan dari narapidana untuk mengenyam pendidikan dan

pembelajaran di Lembaga Pemasyarakatan, namun dari pengakuan

Page 101: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

90

salah satu warga binaan yang saya wawancara mengatakan bahwa ada

satu lagi faktor lain yang menyebabkan kurangnya minat warga binaan

untuk mengikuti pendidikan tersebut yaitu kurangnya sosialisasi

petugas pembinaan dalam menjelaskan tujuan dan manfaat diadakannya

program pendidikan tersebut kepada warga binaan sehingga warga

binaan merasa yakin bahwa dengan mengikuti pendidikan tersebut

dapat memberikan manfaat untuk dirinya dan masa depannya setelah

bebas nanti.

b. Hambatan di bidang keterampilan.

Banyak narapidana yang masuk ke Lembaga Pemasyarakatan,

tergolong tidak memiliki keterampilan khusus. Dalam hal ini Lembaga

Pemasyarakatan berkewajiban untuk mendidik narapidana agar menjadi

manusia yang terampil, namun dalam prosesnya dirasakan masih

kurangnya peralatan dan bahan-bahan serta tenaga pengajar yang

diperlukan dalam mendidik keterampilan narapidana, selain itu tidak

semua warga binaan dapat mengikuti pendidikan keterampilan tersebut

karena hanya warga binaan yang memiliki minat dan bakat dasar dalam

membuat keterampilan saja yang bisa mengikuti program tersebut.

Sehingga program tersebut tidak dapat dijalan kan secara merata kepada

warga binaan Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.

c. Hambatan asimilasi.

Masih adanya pandangan negatif masyarakat terhadap narapidana

sehingga, menimbulkan rasa rendah diri pada narapidana dalam

berinteraksi dengan masyarakat. Berbagai upaya harus ditempuh oleh

Page 102: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

91

petugas atau pembina pemasyarakatan, agar mengembalikan citra

narapidana sebagai manusia seutuhnya di tengah masyarakat.

Sikap masyarakat yang seolah memberikan label negatif sangat

diarasakan oleh para narapidana khususnya residivis sebagai sebuah

hinaan yang luar biasa. Seakan tidak ada lagi kesempatan untuk

memperbaiki citra diri dan kondisi yang demikian ini berpengaruh besar

terhadap kemungkinan kembalinya narapidana mengulangi kembali

perbuatannya sehingga menjadi seorang residivis. Masyarakat tetap

menganggap bekas narapidana bukan lebih baik, malah sebaliknya. Hal

ini terlihat manakala terjadi suatu tindak pidana, maka yang lebih

dicurigai sebagai pelaku adalah bekas narapidana. Penolakan terhadap

bekas narapidana memberikan kesan bahwa masyarakat ternyata tidak

mampu kurang respon untuk membina bekas narapidana. Seharusnya

sikap positif masyarakat terhadap mantan narapidana perlu ditingkatkan

agar mantan narapidana dapat hidup bermasyarakat dengan baik.

4.4. Upaya Mengatasi Hambatan Agar Terjadinya Recidive Dapat Ditekan

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, adapun cara yang ditempuh

oleh petugas atau pembina pemasyarakatan dalam mengatasi hambatan atau

kendala yang muncul dalam proses pembinaan, adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengatasi keanekaragaman etnis atau budaya di kalangan

narapidana maka, petugas pemasyarakatan dalam membina atau

mendidik narapidana menggunakan metode pendekatan humanistik

(manusiawi). Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan secara

kekeluargaan. Tujuannya agar tidak ada jurang pemisah antara petugas

Page 103: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

92

atau pembina dengan yang dibina (narapidana), sehingga proses

pembinaan dapat berjalan dengan baik.

b. Untuk mengatasi kurangnya jumlah petugas keamanan yang ada di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh, pihak lembaga akan

berusaha untuk menambah petugas penjaga keamanan yang ada di

Lembaga Pemasyarakatan.

c. Cara untuk mengatasi hambatan di bidang pembinaan intelektual

(pendidikan dan pembelajaran) adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengatasi kekurangan jumlah guru (teungku) di Lembaga

Pemasyarakatan maka, petugas Lembaga Pemasyarakatan di bantu

oleh narapidana yang sebelumnya berprofesi sebagai guru atau

teungku.

2) Terus berupaya meminta bantuan kepada pemerintah dan

masyarakat untuk melengkapi perlengkapan perpustakaan di

Lembaga Pemasyarakat.

d. Di bidang keterampilan, pihak Lembaga Pemasyarakatan akan bekerja

sama dengan BLK (Balai Latihan Kerja). Tenaga pelatih atau instruktur

didatangkan dari pihak balai latihan kerja provinsi, termasuk semua

peralatan yang diperlukan untuk pendidikan keterampilan tersebut.

Penyelenggaraan untuk masing-masing keterampilan berlangsung

selama 2 (dua) bulan.

e. Sedangkan untuk mengatasi hambatan masyarakat di luar Lembaga

Pemasyarakatan yang berhubungan dengan pembinaan asimilasi,

masyarakat di luar Lembaga Pemasyarakatan terlalu mempunyai

Page 104: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

93

pikiran negatif terhadap mantan narapidana khususnya narapidana

recidive. Sehingga upaya yang dilakukan adalah pada waktu kembali

kemasyarakat sebaiknya narapidana berperan aktif dalam kegiatan

keagamaan, misalnya bagi yang beragama Islam harus mengikuti sholat

berjema’ah dimesjid. Selanjutnya adalah berperan aktif pada kegiatan

sosial di daerahnya seperti, selalu berperan aktif dalam kegiatan gotong

royong yang ditujukan untuk membersihkan lingkungan. Kemudian

dalam bersosialisasi dengan masyarakat tunjukkan bahwa diri anda

sudah berubah, bersikap sopan dan harus bikin suasana menjadi ceria.

Namun upaya-upaya tersebut tetap tidak akan berhasil bila tidak adanya

peran dari masyarakat dan diri narapidana itu sendiri, agar terwujudnya peran

masyarakat maka, pihak Lembaga Pemasyarakatan juga memberikan kesempatan

kepada masyarakat untuk berkunjung ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Tujuannya adalah supaya masyarakat dapat mengetahui tentang rutinitas dari

narapidana dan memberikan kritik dan saran terhadap pelaksanaan pembinaan

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Masyarakat juga harus mendukung

setiap pelaksanaan program pembinaan eksternal lembaga pemasyarakatan.

Page 105: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

94

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dari semua uraian yang telah penulis kemukakan dalam bab-bab yang

mengenai “Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan

Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis

(Studi di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh)”, ada beberapa hal yang

dapat penulis tarik sebagai kesimpulan. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Cara pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

klas IIB Meulaboh adalah dengan cara melalui, tahap-tahap pembinaan

Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, aktivitas pembinaan

narapidana, serta sarana dan prasarana dalam menunjang pembinaan-

pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB

Meulaboh.

2. Hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh

dalam melakukan pembinaan narapidana recidive adalah dilihat dari segi

fasilitas dan kwantitas: etnis yang berbeda, kurangnya jumlah petugas

keamanan, tidak memadai sarana dan prasarana, saarana fisik bangunan

Lembaga Pemasyarakatan yang belum rampung serta masih kurangnya

minat warga binaan khususnya bagi narapidana residivis. Sedangkan

dilihat dari segi pelaksanaan pembinaan hambatan yang dihadapi yaitu,

dibidang pembinaan intelektual, di bidang keterampilan, di bidang

bimbingan kerja, dan dalam pemberian asimilasi. Upaya untuk mengatasi

Page 106: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

95

hambatan sehingga terjadinya recidive dapat ditekan adalah untuk

mengatasi keanekaragaman etnis atau budaya dengan menggunakan

metode pendekatan humanistik (manusiawi), untuk mengatasi kurangnya

jumlah petugas keamanan dengan berusaha untuk menambah petugas

penjaga keamanan, untuk mengatasi hambatan pada pembinaan

intelektual dengan cara meminta bantuan dari instansi pemerintah maupun

swasta serta masyarakat, dibidang keterampilan pihak Lembaga

Pemasyarakatan akan bekerja sama dengan BLK (Balai Latihan Kerja),

dibidang bimbingan kerja petugas pemasyarakatan akan mengadakan

pameran hasil kerja atau karya dari narapidana, pada pelaksanaan

asimilasi baik Lembaga Pemasyarakatan, masyarakat, maupun narapidana

harus berperan aktif bekerja sama agar tujuan dari pemasyarakatan dapat

tercapai.

5.2. Saran

Adapun saran yang dikemukakan penulis sehubungan dengan tema yang

penulis angkat sebagaimana tersebut diatas adalah sebagai berikut:

1. Falsafah pancasila harus benar-benar dijunjung tinggi dalam

melaksanakan sistem pemasyarakatan, untuk menghindari pembinaan-

pembinaan yang melanggar hak asasi manusia.

2. Pembinaan sebaiknya lebih difokuskan pada narapidana recidive agar

para residivis tersebut dapat benar-benar menyadari bahwa perbuatannya

itu dapat merugikan orang lain, dengan dibantu sikap positif masyarakat

terhadap mantan narapidana agar mantan narapidana dapat hidup

bermasyarakat dengan baik dan tidak mengulangi perbuatannya.

Page 107: OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …repository.utu.ac.id/449/1/I-V.pdftindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba

96

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Hamzah, Andi. 1983. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia; Dari Retribusi

ke Reformasi. Jakarta: PT Pradana Paramita.

Atmasasmita, Ramli. 1982. Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam

Kerriteks Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.

Bawengan, Gerson W. 1979. Hukum Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta:

PT. Pradana Pramita.

Lamintang P.A.F. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico.

Rubai, Masruchin. 2001. Asas-asas Hukum Pidana. Malang: UM Press.

Anwar, Mochammad. 1986. Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama

KUHP. Bandung: Penerbit Alumni.

Petrus & Irwan Panjaitan. 1995. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif

Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Soemitrom, Ronny Hanitidjo. 1983. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Graha

Indonesia.

Sahardjo, 1964. Pohon Beringin Pengayoman, Rumah Pengayoman Sukamiskin,

Bandung.

Prodjodikoro, Sirjono. 2001. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Eresco,

Jakarta-Bandung.

Soedjono D. 1972. Usaha Pembaharuan Sistem Kepenjaraan dan Pembinaan

Narapidana (Dasar-Dasar Penologi). Bandung: Penerbit Alumni.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Penerbit Alumni,

Bandung.

_______. 1990. Hukum Pidana. Semarang: Yayasan Sudarto dan FH UNDIP.

Tim Analisa Jabatan. 1991. Uraian Jabatan Struktural. Jakarta: Penerbit

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Perundang-undangan:

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.

Staatsblad Reglemen Penjara 708 Tahun 1917.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan.

Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara.

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.