73
1 PENGENDALIAN HAYATI PATOGEN TANAMAN: PELUANG DAN TANTANGAN DALAM MENUNJANG KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 28 Pebruari 2009 Oleh: Loekas Soesanto

ORASI ILMIAH LOEKAS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ilmiah

Citation preview

1

PENGENDALIAN HAYATI PATOGEN TANAMAN: PELUANG DAN TANTANGAN

DALAM MENUNJANG KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru BesarPada Fakultas Pertanian

Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto, 28 Pebruari 2009

Oleh:Loekas Soesanto

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO2009

2

Yang terhormat,

Rektor selaku Ketua Senat beserta para Guru Besar dan anggota senat Universitas Jenderal

Soedirman,

Para Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas, Ketua dan Sekretaris Lembaga, Direktur dan

Asisten Direktur Pascasarjana, Ketua Unit Pelaksana Teknis, dan Ketua Jurusan di

lingkungan Universitas Jenderal Soedirman,

Segenap para Dosen, Mahasiswa, Karyawan, dan alumni Universitas Jenderal Soedirman,

Para tamu undangan dan hadirin yang terhormat, serta sanak saudara dan keluarga yang

berbahagia.

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,

Puji dan syukur yang pertama dan yang utama selalu saya panjatkan ke hadirat Tuhan

Yang Mahakasih dan Mahakuasa atas segala rahmat, berkat, anugerah, dan kasih sayangNya

kepada kita semua, sehingga kita dapat berkumpul di Gedung Soemardjito Universitas

Jenderal Soedirman dalam keadaan sehat wal’afiat, untuk mengikuti acara pengukuhan saya

sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Pada saat yang

berbahagia ini, saya benar-benar merasakan kehormatan atas diberinya kesempatan untuk

menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar pertama dalam bidang Ilmu Penyakit Tanaman

Penting pada Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, dengan judul:

PENGENDALIAN HAYATI PATOGEN TANAMAN: PELUANG DAN TANTANGAN DALAM MENUNJANG KETAHANAN PANGAN

BERKELANJUTAN

Pada pidato ini, saya akan mengemukakan peran ilmu penyakit tumbuhan dalam

menopang ketahanan pengan, kerugian yang diakibatkannya, pengantar ke arah pengendalian

hayati, peluang dan sekaligus tantangan yang ada dalam penerapan pengendalian hayati

terhadap patogen tanaman, yang penting perannya di dalam menunjang ketahanan pangan

secara berkelanjutan.

3

PERAN ILMU PENYAKIT TANAMAN DALAM MENOPANG KETAHANAN PANGAN

Hadirin yang saya hormati,

Penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas di dalam produksi tanaman

pertanian. Akhir-akhir ini, bidang pertanian menjadi sangat penting karena merupakan sumber

salah satu bahan baku untuk BBM etanol. Penyakit tanaman selalu ada di setiap musim tanam

dan di setiap tanaman yang ditanam. Belum pernah terdengar berita sampai saat ini bahwa

tanaman yang ditanam baik oleh petani atau pekebun terbebas dari penyakit tanaman. Hal ini

diakui baik oleh para petani yang handal dalam dunia pertaniannya di pedesaan, pekebun yang

ahli dalam mengolah lahan pekarangannya, maupun praktisi pertanian yang mengelola

perkebunannya. Bahkan boleh dikatakan, selama kita masih memerlukan sandang, pangan,

maupun papan, masalah penyakit tanaman, yang menimbulkan banyak masalah dan kerugian,

selalu ada. Hal inilah yang menjadikan alasan sampai saat ini dunia pertanian, terutama

kaitannya dengan masalah penyakit (dan hama) tanaman, masih memberikan peluang

kesempatan kerja bagi para lulusan dan alumni Fakultas Pertanian, terutama yang menekuni

bidang penyakit (dan hama) tanaman.

Penyakit tanaman sering disalah-artikan sama dengan hama tanaman, yang pada

kenyataannya sangat jelas mempunyai perbedaan antar-keduanya. Bahkan para petani sering

menyebut kerusakan karena patogen atau penyebab penyakit tanaman disebabkan oleh hama

tanaman. Hal ini sangat keliru dan perlu diluruskan karena kondisi ini akan berkaitan erat

dengan cara pengendalian yang akan diterapkan. Penyakit tanaman sangat berbeda dengan

hama tanaman terutama dalam dua hal, yaitu bentuk kerusakan dan penyebab kerusakannya.

Bentuk kerusakan tanaman karena penyakit tanaman berupa berubahnya warna dan sifat

fisiologi tanaman, misalnya daun tanaman menjadi berbintik coklat atau kuning, tanaman

nampak layu, dan biji yang dimakan terasa pahit; sedangkan kerusakan karena hama

umumnya berupa berubahnya volume tanaman, misalnya daun berukuran tidak utuh karena

hilang sebagian atau seluruhnya akibat digigit hama belalang atau ulat. Selain itu, penyebab

penyakit tanaman, misalnya jamur, bakteri, dan virus, umumnya tidak dapat dilihat dengan

mata telanjang dan harus dengan bantuan alat, seperti mikroskop; sedangkan penyebab hama

tanaman dapat dilihat dengan mata telanjang, misalnya ulat, keong, afid, dan belalang.

4

Hadirin yang saya hormati,

Berbicara tentang ketahanan pangan tidaklah sama dengan berbicara tentang

swasembada beras, dan ketersediaan pangan tidak identik dengan ketersediaan beras,

meskipun ”soko guru” ketahanan pangan masih bertumpu pada swasembada beras (Adnyana,

2006). Meskipun demikian, pada umumnya telah terjadi peningkatan produksi beberapa bahan

pangan buah penting di Indonesia, tetapi di lain pihak terjadi penurunan produksi kedelai dan

gula, sehingga masih tingginya nilai ekspor kedua komoditas tersebut (BPS, 2008). Meskipun

komoditas sawit meningkat, namun harga minyak goreng sawit dunia mengalami kemerosotan

yang tajam di penghujung tahun 2008. Hal ini menyebabkan dampak negatif terhadap banyak

hal, seperti penghentian produksi, pemutusan tenaga kerja, penurunan devisa negara, dan

penghentian perluasan lahan sawit (Harian Bisnis Indonesia, 2008; Kompas, 2008; Sadiman,

2008).

Pencapaian ketahanan pangan yang kuat tidak lepas dari upaya pengembangan varietas

unggul baru secara besar-besaran, yang dikenal dengan ”revolusi hijau”. Namun, sejarah

membuktikan bahwa penggunaan varietas unggul juga tidak dapat berlanjut dalam jangka

waktu lama. Selain hal ini disebabkan oleh adanya cekaman abiotik, juga yang paling penting

adalah adanya cekaman biotik, yaitu adanya serangan hama dan patogen tanaman sekunder,

yang sebelumnya tidak pernah terpikir ketika para pemulia tanaman meracik varietas unggul,

meskipun ketahanan varietas tersebut terhadap hama atau patogen utama telah dikembangkan,

sehingga ketahanan yang dimiliki oleh suatu varietas tanaman dapat patah. Selain itu, gen

pada varietas unggul umumnya tidak dikaitkan dengan ketahanannya terhadap hama atau

patogen tanaman, namun semuanya dikaitkan dengan produksi.

Oleh karenanya, konsep revolusi hijau menjadi kurang berhasil untuk mewujudkan

swasembada pangan yang berkelanjutan. Akibat dari hal itu, menurut Ghose (2004 dalam

Adnyana, 2006), muncullah istilah ”revolusi hijau lestari”, dengan sasaran lebih luas, yang

mencakup 1) ke seluruh aspek agroekosistem mulai dari hulu, petani, sampai kepada

konsumen akhir, 2) pemanfaatan kemajuan informasi teknologi dan bioteknologi, 3) sistem

irigasi yang efisien, pestisida yang ramah lingkungan, dan pertanian yang sahih, dan 4)

pemasaran, agroindustri, dan pengembangan infrastruktur pedesaan. Jadi, pengembangan dan

pemanfaatan pestisida yang ramah lingkungan merupakan salah satu cakupan revolusi hijau

lestari, yang menunjang kepada tercapainya ketahanan pangan yang kokoh.

5

Cekaman biotik tetap menjadi salah satu kendala utama dalam dunia pertanian.

Masalah penyakit (dan hama) tanaman sampai kapan pun akan tetap menjadi masalah penting,

khususnya apabila didukung oleh lingkungan yang sesuai dan penggunaan tanaman yang

rentan. Konsep segitiga penyakit, yaitu patogen yang virulen dan agresif, tanaman yang

rentan, dan lingkungan yang sesuai dan mendukung, sangat menentukan berhasilnya

pertumbuhan tanaman dan selamatnya produk tanaman sampai ke konsumen, yang akhirnya

bermuara pada ketahanan pangan nasional.

Salah satu faktor yang memengaruhi penurunan produksi komoditas tanaman pangan,

dan juga komoditas tanaman perkebunan, hortikultura, dan kehutanan, adalah penyakit

tanaman. Keberadaan penyakit tanaman di lahan pertanian dan perkebunan, bahkan di areal

kehutanan, selalu menimbulkan masalah dan menjadi kendala dalam upaya meningkatkan

produksi tanaman. Penyakit tanaman akan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan

optimum, yang berakibat pada produksi karena tidak adanya pasokan fotosintat yang cukup.

Kondisi ini apabila tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius akan

menyebabkan terganggunya keberlanjutan produksi tanaman, yang akhirnya dapat

mengganggu ketahanan pangan. Oleh karenanya, faktor pembatas penyakit tanaman tersebut

perlu dikenali lebih baik, yang kemudian perlu diambil beberapa tindakan untuk

mengendalikan atau mengelolanya, bukan memberantasnya.

KERUGIAN AKIBAT PENYAKIT TANAMAN

Keseimbangan ekosistem di lahan pertanian, perkebunan atau kehutanan perlu dijaga,

bukannya menghilangkan atau memusnahkan salah satu pendukung ekosistem di lahan

pertanian, perkebunan, atau kehutanan tersebut. Pemusnahan atau pemberantasan yang

dilakukan akan menyebabkan timbulnya masalah lain, yang dapat mengakibatkan lebih

parahnya kerusakan yang diakibatkannya dan lebih besarnya kerugian yang ditimbulkannya.

Penghilangan komponen ekosistem di lahan tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan bahan

kimia sintetis yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pengendalian atau pengelolaan

penyakit tanaman merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan upaya menjaga atau

mewujudkan keseimbangan ekosistem di lahan tersebut. Keseimbangan ekosistem yang

terjaga dengan baik akan mendukung pertumbuhan tanaman dan memengaruhi produksi

tanaman, yang nantinya akan mampu mempertahankan ketahanan pangan.

6

Penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi

tanaman, baik tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura, maupun tanaman

hutan, yang perlu dikenali dan dikelola dengan bijak (Soesanto, 1997; Pujiarto et al., 2001;

Soesanto, 2005; Soesanto et al., 2005). Penyakit tanaman sejak dahulu kala telah banyak

ditulis dan dibicarakan, khususnya dalam hal akibat yang ditimbulkannya. Seperti diketahui,

penyakit tanaman dapat menimbulkan beragam kerugian, baik di tingkat tanaman, petani

(lokal), regional, nasional, dan bahkan dunia. Beberapa kerugian akibat penyakit tanaman

yang sempat dicatat (Stakman and Harrar, 1957; Mehrotra, 1983; Agrios, 1997; Bohmont,

1997), di antaranya 1) penurunan kuantitas produk tanaman, 2) penurunan kualitas produk

tanaman, 3) pembatasan jenis tanaman dan industri di wilayah tersebut, 4) kegagalan panen, 5)

penurunan pendapatan petani, 6) terjadinya kelaparan, kematian, dan perpindahan penduduk,

dan 7) pengubah kebijakan pemerintah.

1. Penurunan kuantitas produk tanaman. Tanaman pertanian yang dibudidayakan

yang terkena penyakit tanaman akan tumbuh merana dan terhambat. Hal ini karena

patogen tanaman menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia tanaman, yang ditandai

dengan perubahan warna, bentuk, bahkan fungsi jaringan tanaman akibat terhambatnya

pasokan air dan hara dari akar ke bagian tanaman di atasnya. Adanya perubahan tersebut

menyebabkan produksi fotosintat menjadi berkurang, yang akan berpengaruh pada

berkurangnya hasil metabolismen tanaman yang disimpan baik pada buah, biji, bunga, atau

umbi dan ubi. Hal ini akan mengurangi hasil tanaman yang akhirnya terjadi penurunan

produksi tanaman. Kehilangan jumlah atau kuantitas produk tanaman beragam, dari rendah

sampai tinggi (100%) dan kehilangan ini tidak saja terjadi ketika tanaman di lapangan,

tetapi juga ketika di penyimpanan dan bahkan sampai ke konsumen. Misalnya, patogen

karat yang menyerang pertanaman kopi, telah menurunkan produksi biji kopi. Penurunan

kuantitas produksi tanaman berkaitan erat dengan pengurangan luas tanam. Misalnya, pada

daerah sentra pisang, seperti di Propinsi Lampung, luas wilayah tanaman pisang berkurang

dari sekitar 500 hektar menjadi 150 hektar akibat serangan jamur patogen Fusarium sp.

(Kompas, 2003). Bahkan dilaporkan bahwa patogen layu Fusarium juga telah menyerang

tanaman pisang kultivar Barangan di beberapa kabupaten di Kalimantan Timur, sehingga

dari luasan tanam tanaman pisang seluas 30.000 hektar, areal tanam yang terserang

mencapai 11.000 hektar atau lebih dari 30% (Kompas, 2007). Akibat dari berkurangnya

7

luas tanam tersebut adalah menurunnya produksi pisang per satuan luas. Di samping itu,

secara langsung patogen tanaman mengakibatkan rusaknya produk tanaman, yang

berlanjut kepada penurunan produksi.

2. Penurunan kualitas produk tanaman. Kehilangan tanaman akibat adanya penyakit

tanaman dapat berakibat pada penurunan kualitas produk tanaman yang dihasilkan.

Adanya noda atau bercak pada produk tanaman dapat mengurangi manfaat kualitas produk

sehingga menurunkan daya jual dan akhirnya akan memengaruhi pendapatan petani.

Bebuahan yang memar atau rusak selama dalam pengangkutan atau penyimpanan, serta

sesayuran yang rusak akibat penyimpanan tidak sesuai, akan menurunkan nilai jualnya,

sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani buah dan sayur (Soesanto, 2006b).

Bahkan pemanenan buah yang tidak tepat umur panen akan memengaruhi keparahan

penyakit, karena pengaruh dari kandungan etilen di dalam buah (Soesanto et al., 1989).

Selain itu, pada produk bebijian, adanya penyakit benih akan mengubah susunan hara di

dalam benih, khususnya pada benih yang banyak mengandung lemak, protein, dan hara

lain untuk manusia dan hewan (FAO, 1983; 1990). Akibatnya, pada benih tersebut patogen

tanaman akan menghasilkan toksin, yang berbahaya bagi konsumen, selain mengurangi

manfaat biji baik sebagai benih maupun sebagai bahan makanan. Oleh karenanya,

penurunan kualitas produk tanaman tidak saja karena kenampakan produk yang cacat,

tetapi juga adanya perubahan di dalam produk. Menurut Agarwal dan Sinclair (1987),

perubahan dan kerusakan biokimia dalam kualitas hara biji merupakan salah satu

kehilangan akibat patogen tular-benih. Beberapa jamur yang dapat menurunkan kualitas

hara biji kedelai, adalah Phomopsis sp., Aspergillus flavus, Botryodiplodia sp., dan

Cladosporium herbarum. Hal ini sering tidak disadari oleh manusia dengan tetap

mengonsumsi biji yang sudah berubah bentuk dan warnanya akibat patogen tanaman.

Jamur patogen benih dapat menghasilkan senyawa beracun, yang dikenal dengan

mikotoksin. Manusia atau hewan yang mengonsumsinya akan dapat sakit baik di bagian

dalam tubuh, berkaitan dengan sistem syaraf, atau lainnya dan bahkan dapat mengalami

kematian. FAO (1990) melaporkan bahwa beragam jaringan dan bagian tubuh, seperti

sistem hati, ginjal, syaraf, dan gastro-intestinal dapat dipengaruhi oleh mikotoksin. Bahkan

mikotoksin dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, berperan dalam mutagen,

karsinogen, dan teratogen. Beberapa jamur yang dapat menghasilkan mikotoksin, di

8

antaranya Aspergillus flavus, A. parasiticus, A. ochraceus, A. clavatus, A. versicolor,

Claviceps purpurea, C. fusiformis, Fusarium graminearum, Penicillium citrinin, P.

expansum, P. cyclopium, dan P. viridicatum.

3. Pembatasan jenis tanaman dan industri di wilayah tersebut. Penyakit tanaman

dapat membatasi jenis tanaman yang tumbuh pada wilayah geografi yang luas. Hal ini

karena tanah di wilayah tersebut mengandung begitu banyak inokulum atau bahan

penyakit tanaman, yang menyebabkan penyakit tanaman selalu muncul di setiap musim

tanam. Oleh karenanya, jenis tanaman tertentu tidak akan dapat ditanam lagi di daerah

tersebut dan diganti dengan jenis tanaman lainnya. Sebagai contoh, kondisi tanah yang

tercemar patogen tanaman yang terjadi di Kalimantan Timur, yaitu arealnya sudah

terkontaminan jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense, yang tidak dapat lagi ditanami

pisang jenis ambon (Kompas, 2007), yang akan diganti dengan tanaman pisang kultivar

kepok nir-jantung (budless kepok, Musa balbisiana) (Witjaksono, 2008. Komunikasi

Pribadi). Selain itu, penyakit tanaman juga menentukan jenis industri berbasis pertanian di

wilayah tersebut dan juga aras tenaga kerjanya, dengan cara memengaruhi jumlah dan

jenis produk pertanian yang tersedia bagi pengalengan atau pemrosesan lokal. Industri

berbasis pertanian atau dikenal dengan agroindustri akan tergantung pada pasokan produk

pertanian yang ada. Apabila sudah tidak ada lagi produk yang mendukungnya, maka

industri tersebut akan tutup atau beralih ke industri lain. Hal ini dialami oleh industri

keripik pisang di Lampung; akibat makin sukarnya mencari bahan baku pisang, karena

adanya penyakit layu Fusarium (Kompas, 2003). Di samping itu, adanya penyakit tanaman

akan menciptakan industri baru yang ditujukan untuk mengendalikan penyakit tanaman,

misalnya industri kimia, mesin, atau lainnya.

4. Kegagalan panen. Penyakit tanaman tidak saja dapat menurunkan produksi tanaman,

tetapi juga dapat menggagalkan panen karena tanaman mati. Sekitar 90% tanaman pangan

dunia dimulai dari biji, artinya, biji merupakan bagian tanaman terpenting untuk

mengawali pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kehilangan tanaman di beberapa

negara pertanian adalah beragam, dari sebesar 30% sampai mencapai 100% (Agarwal and

Sinclair, 1987; Maude, 1996). Kematian tanaman akibat penyakit tanaman dapat terjadi

sejak dari biji mulai berkecambah, pembibitan, tanaman muda, atau tanaman tua

(berproduksi). Patogen tanaman dapat menyerang di setiap bagian kehidupan tanaman, dan

9

di setiap bagian tanaman, yaitu mulai dari akar sampai buah atau biji. Serangan patogen

tanaman sangat beragam ganasnya tergantung dari berbagai faktor yang memengaruhinya,

terutama kelembapan udara yang tinggi dan tersedianya hara bagi patogen tanaman

tersebut.

5. Penurunan pendapatan petani. Penyakit tanaman ternyata juga dapat menyebabkan

pendapatan petani menurun. Penurunan pendapatan ini dapat pula disebabkan

bertambahnya biaya produksi dan pascaproduksi, yang dapat berasal dari biaya pembelian

saprodi, pembuatan gudang simpanan, pembuatan fasilitas pengeringan, pengemasan, dan

bahkan pemasaran produk pertanian karena keterbatasan waktu yang ada antara waktu

panen, perlakuan pascapanen, pengangkutan, sampai ke konsumen. Biaya lainnya sering

tidak dapat diprakirakan karena penyebaran penyakit tanaman yang beragam dan

penanganan penyakit tanaman yang lebih intensif. Sebagai contoh adalah serangan jamur

patogen penyakit layu Fusarium pada pisang kultivar Cavendish di Lampung, yang telah

menghentikan ekspor pisang kultivar Cavendish di tahun 2002 (Kompas, 2003). Hal

tersebut berpengaruh terhadap pendapatan petani atau pekebun pisang, dan bahkan

perusahaan yang bergerak di bidang budidaya tanaman pisang. Selain itu, keberadaan

patogen sering tidak diketahui, mengingat penyebab penyakitnya berupa mikroba yang

kasat mata. Hal ini sering menyebabkan kerugian bagi petani ketika produk tanamannya,

yang ketika dipanen nampak mulus tanpa cacat, tetapi setelah dipasarkan nampak gejala,

yang menyebabkan hasil panennya tidak laku dijual. Kondisi ini, misalnya, dialami sebuah

perusahaan pisang di Lampung, ketika mengekspor pisang kultivar Cavendish ke Jepang

harus mengalami kerugian sangat besar karena buah pisang sebanyak satu kontainer harus

dimusnahkan oleh pihak karantina Jepang. Hal ini karena pada buah pisang yang nampak

segar dan sehat ketika dibawa dari Lampung, ternyata membawa bakteri patogen penyakit

darah, salah satu penyakit yang sangat berbahaya bagi tanaman pisang (Ir. R.A. Wardhana,

Komunikasi pribadi, 2007). Berapa kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan

swasta tersebut dengan adanya kejadian itu?

6. Terjadinya kelaparan, kematian, dan perpindahan penduduk. Penyakit tanaman

juga dapat menyebabkan terjadinya bencana kelaparan dan kematian manusia, serta

terjadinya perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain. Hal ini dikarenakan

kegagalan panen produk pertanian, khususnya produk pangan, akibat serangan patogen

10

tanaman. Kasus terkenal dalam dunia penyakit tanaman adalah ketika penyakit lanas pada

kentang, yang disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans, melanda di Irlandia pada

masa waktu 1840 sampai 1847, yang menyebabkan kegagalan panen kentang, sebagai

makanan utama mereka. Kejadian ini termasuk juga melanda di banyak negara

pengonsumsi kentang di Eropa, Amerika, dan Kanada (Mehrotra, 1983). Kondisi ini

menyebabkan bencana kelaparan yang hebat dan bahkan kematian dari sepertiga

penduduknya, sedangkan lainnya bermigrasi ke negara lain. Banyak kasus kegagalan

panen akibat serangan patogen tanaman pada tanaman pangan di beberapa negara, yang

menyebabkan kelaparan dan juga kematian umat manusia, selain hewan.

7. Pengubah kebijakan pemerintah. Penyakit tanaman juga mampu membuat

pemerintah mengubah kebijakannya dalam bidang pertanian. Hal ini terkait erat dengan

besarnya kerugian yang diakibatkan oleh serangan patogen tanaman pada jenis tanaman

tertentu. Keadaan ini dulu sekitar tahun 1880-an pernah terjadi di negara kita, dengan

adanya serangan patogen karat pada tanaman kopi, yang waktu pertama kali ditanam

adalah jenis kopi Arabica; dengan adanya penyakti karat kopi tersebut, pemerintah

mengubah kebijakan penanaman kopi Arabica, diganti dengan kopi Liberia, dan akhirnya

dengan kopi Robusta (Semangun, 1988). Perubahan kebijakan ini tentunya diikuti dengan

berubahnya segala sesuatu yang berkaitan dengan perkopian, dan tidak sedikit dana yang

dikeluarkan untuk mengubah kebijakan tersebut. Hal terbaru yaitu dengan adanya penyakit

layu pada tanaman pisang di Kalimantan, yang terutama disebabkan oleh jamur patogen

Fusarium oxysporum f.sp. cubense, hampir semua tanaman pisang jenis Barangan mati di

sepanjang lintas trans-Kalimantan. Pemerintah setempat mengubah penanaman pisang

jenis Barangan dengan jenis Musa balbisiana dalam jumlah besar (saat ini sedang

memesan bibitnya sebanyak lebih kurang 50.000 bibit ke LIPI), yang membutuhkan dana

besar. Belum termasuk biaya lainnya yang harus dikeluarkan pemerintah daerah dan

pekebun pisang.

PERAN FUNGISIDA SINTETIS

Hadirin yang saya hormati,

Berdasarkan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh adanya penyakit tanaman dan

masih belum dapat diselesaikan permasalahan penyakit tanaman di lapangan, maka penyakit

11

tanaman saat ini masih tetap menjadi pusat perhatian bagi mereka yang berkecimpung dalam

dunia pertanian. Apabila hal ini terus berlanjut dan belum ada cara tepat untuk mengendalikan

patogen tanaman, maka dapat dipastikan pertumbuhan tanaman tidak akan dapat selamat dan

produk yang dihasilkan tidak optimum atau sesuai dengan sasaran dan tujuan. Kerugian yang

dapat ditimbulkan oleh penyakit tanaman tersebut dapat berakibat lebih luas dan berdampak

negatif pada keberlanjutan tanaman, yang sangat terkait erat dengan keberlangsungan

ketahanan pangan.

Upaya untuk mengendalikan penyakit tanaman telah banyak dilakukan dan akan terus

diupayakan, meskipun sampai saat ini masih belum dapat memecahkan masalah tersebut. Cara

yang paling umum dilakukan untuk mengendalikan penyakit tanaman, adalah dengan bahan

kimia, karena hasilnya dapat langsung dilihat dan cepat dirasakan. Akan tetapi, tidak

selamanya bahan kimia dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman. Banyak

berita tentang ketidak-mampuan bahan kimia di dalam mengatasi masalah penyakit tanaman,

sehingga petani harus menggunakannya dengan cara yang tidak bijaksana, misalnya dengan

tidak memperhatikan dosis anjuran, menyampur lebih dari satu macam bahan kimia, dan cara

memberikannya tidak disemprotkan, tetapi disiramkan ke tanaman atau ke tanah. Hal tersebut

dilakukan karena para petani kita sudah tidak sabar lagi di dalam mengatasi masalah penyakit

tanaman, di samping karena ketidak-tahuan petani akan akibat negatif yang ditanggung baik

oleh petani dan keluarganya, lingkungan, maupun oleh konsumen.

Ada beberapa bahan kimia yang telah dilarang digunakan lagi untuk mengendalikan

penyakit tanaman (Hassan, 1998). Hal ini karena penggunaan bahan kimia dapat berakibat

negatif (Oudejans, 1985; Untung, 1996; Gamliel et al., 1997), di antaranya menimbulkan

ketahanan pada patogen tanaman yang menyebabkan bahan kimia tidak mempan digunakan,

terbunuhnya mikroba bukan sasaran dan munculnya patogen sekunder yang lebih berbahaya,

menambah biaya produksi karena semakin mahalnya harga bahan kimia, menyebabkan polusi

lingkungan terutama air tanah dan tanah, memengaruhi kesehatan petani dan keluarganya

terutama bila yang berhadapan langsung di lapangan adalah ibu yang sedang hamil atau

menyusui, dan memengaruhi kesehatan konsumen yang mengonsumsi produk pertanian

tercemar bahan kimia tersebut.

Oleh karena itu, untuk mencegah atau menghindari dampak negatif tersebut, perlu

diupayakan pengembangan dan pemanfaatan pestisida yang ramah lingkungan, yang

12

merupakan salah satu cakupan ”revolusi hijau lestari”, untuk menunjang tercapainya

ketahanan pangan yang kokoh kuat (Ghose, 2004 dalam Adnyana, 2006). Pestisida yang

ramah lingkungan akhir-akhir ini telah banyak dibicarakan, dikembangkan, dan digunakan

dalam dunia pertanian. Misalnya, pengembangan pestisida nabati yang berasal dari bahan

tanaman dan tumbuhan, meskipun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut dan

mendalam.

Selain itu, pemanfaatan mikroba berguna untuk mengendalikan mikroba patogen

tanaman dan hama tanaman juga telah banyak dikembangkan; bahkan sudah ada yang

dipasarkan secara komersial, misalnya pengendalian hama tanaman dengan menggunakan

insektisida hayati berbahan aktif bakteri Bacillus turingiensis. Hal inilah yang dikenal dengan

istilah pengendalian hayati. Istilah pengendalian hayati, secara umum, adalah pengendalian

patogen tanaman dengan menggunakan agensia hidup selain manusia, dan bukan dengan

agensia kimia sintetis, atau meminjam istilah iklan ”jeruk makan jeruk”, maka di dalam

pengendalian hayati, mikroba patogen dihadapi dengan mikroba berguna atau antagonis.

Sebelum lebih jauh membicarakan pengendalian hayati, maka terlebih dahulu saya

akan menyampaikan pemikiran saya tentang peristilahan. Istilah ”agensia” merupakan istilah

yang sengaja saya usulkan untuk digunakan sebagai pengganti istilah ”agens”, yang

berkonotasi majemuk dengan adanya huruf akhir ”s” pada kata ”agens”, meskipun istilah

agens tersebut telah dimasukkan ke dalam kamus Bahasa Indonesia. Pada hal, dalam Bahasa

Indonesia sendiri, kita tidak mengenal kata berakhiran huruf ”s” yang menunjukkan kata

tersebut sebagai kata majemuk (plural), seperti yang dijumpai dalam Bahasa Inggris.

PENGERTIAN PENGENDALIAN HAYATI

Pengertian pengendalian hayati, seperti dikemukakan oleh K.F. Baker dan R.J. Cook,

dalam bukunya berjudul “Biological Control of Plant Pathogens” yang terbit pada tahun 1974

dan buku keduanya berjudul “ The Nature and Practice of Biological Control of Plant

Pathogens” yang terbit pada tahun 1983, diberikan definisi dalam arti luas. Di dalam definisi

tersebut, pengendalian hayati termasuk penggunaan macam organisme untuk mengendalikan

patogen dan penggunaan tanaman tingkat tinggi sebagai salah satu cara terbaik dan paling

efektif dalam pengendalian hayati.

13

Definisi yang luas itu sampai kini masih dapat diterima para ahli patologi tanaman,

meskipun masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Akan tetapi, pengaruh pengendalian

hayati pada definisi yang luas itu juga termasuk tindakan budidaya yang berhasil dan

pemuliaan tanaman untuk ketahanan tanaman inang. Penggunaan tanaman inang tahan dalam

pengendalian hayati bukan merupakan sesuatu yang aneh bagi para ahli patologi tanaman.

Misalnya, jika gen yang mengatur produksi senyawa penghambat patogen tanaman dibawa

dan dinampakkan dalam sel bakteri pengoloni akar, dan bakteri tersebut saat diterapkan

sebagai perlakuan benih, mampu mengoloni dan melindungi akar tanaman, maka kondisi ini

dikenal dengan pengendalian hayati (Garret, 1965; Cook, 1985).

Begitu pula, jika gen tersebut kemudian dipindah secara rekayasa genetika ke genom

tanaman inang dan kemudian gen tersebut ternyata mampu menampakkan kegiatannya dengan

menghasilkan senyawa penghambat, yang dilepas melalui eksudat akar, maka keadaan ini juga

dikenal dengan pengendalian hayati. Baik gen tersebut berada di dalam mikroba maupun di

dalam sel tanaman, dapat disebut sebagai pengendalian hayati.

Oleh karena itu, pengendalian hayati, menurut Cook (1985), dapat didefinisikan

sebagai “semua kondisi atau praktik yang berpengaruh terhadap penurunan daya tahan

atau kegiatan patogen tanaman melalui interaksi dengan agensia organisme hidup lainnya

(selain manusia), yang menghasilkan penurunan keberadaan penyakit yang disebabkan

oleh patogen”. Definisi resmi tersebut lebih menyeluruh karena menggabungkan pengertian

pengendalian hayati yang terjadi secara alami dan yang dibuat, yang melibatkan baik mikroba

maupun makroba lain selain tanaman sakit atau rusak. Meskipun manusia tidak termasuk

dalam pengendalian hayati, namun elemen tindakan budidaya, pemilihan dan pemuliaan

tanaman tahan penyakit, yang kesemuanya dilakukan oleh manusia, termasuk ke dalam

komponen pengendalian hayati.

Pengendalian hayati tidak seharusnya dikenal sebagai sebuah ilmu yang terutama

hanya didasarkan pada disiplin ekologi, taksonomi, dan mikrobiologi tanah saja. Pengendalian

hayati juga didasarkan pada disiplin genetika tanaman dan mikroba, biologi molekul, sitologi,

biokimia, fisiologi tanaman, dan banyak lainnya. Jadi, disiplin ilmu yang mendasari

pengendalian hayati harus lengkap, menyeluruh dan terpadu, yang nantinya dapat melengkapi

pengertian pengendalian hayati. Pengendalian hayati dapat didekati dengan manipulasi

14

genetika, baik pada tanaman, antagonis, maupun patogennya sendiri, dan langsung pada

tingkat ekosistem, populasi, atau individu.

Pengendalian hayati yang didefinisikan secara luas dapat terjadi jauh dari tanaman,

atau terjadi pada tanaman, atau bahkan berlangsung di dalam tanaman. Hal ini sering terjadi

dan erat kaitannya dengan hubungan antara tanaman dan patogennya. Pengendalian hayati

sekarang ini telah menjadi batu penjuru dari upaya pengelolaan penyakit tanaman yang ramah

lingkungan dan menghasilkan produk tanaman yang sehat dan aman (Soesanto, 2008).

Produk tanaman yang sehat sesuai dengan usulan tim landmark pangan Kementrian

Riset dan Teknologi, yaitu agar Indonesia dapat menjadi salah satu dapur pangan sehat di

dunia (Adnyana, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan lebih majunya

beberapa negara di Asia di dalam menyikapi revolusi hijau lestari. Misalnya, India telah

mengadopsi revolusi hijau lestari dengan sasaran sebagai pabrik pangan dunia. Thailand

dengan sasaran sebagai dapur pangan dunia mulai 2010, dan Malaysia dengan sasaran sebagai

pusat pengembangan makanan halal dunia.

Oleh karena itu, produk tanaman yang sehat dan aman menjadi sasaran kita semua

serta produk tanaman yang sehat dan aman tidak dihasilkan dari penggunaan bahan kimia

yang terus menerus dan tidak bijaksana di dunia pertanian, seperti pemakaian pestisida dan

pupuk kimia sintetis. Khususnya dengan penggunaan pestisida kimia, banyak dampak negatif

yang dapat timbul (Bohmont, 1997; Beaumont, 1998), seperti yang telah dijelaskan di muka,

sehingga pengendalian hayati dengan menggunakan mikroba berguna dan agensia hidup

merupakan jawaban dari permasalahan tersebut. Jadi jelaslah bahwa pengendalian hayati

berperan penting di dalam ketahanan pangan yang berlanjut karena dapat mencegah dan

mengurangi dampak negatif tersebut serta dapat mendukung produk tanaman yang sehat dan

aman.

SEJARAH PENGENDALIAN HAYATI

Hadirin yang saya hormati,

Sejarah pengendalian hayati dimulai sejak Atkinson menemukan adanya keragaman

keparahan penyakit layu Fusarium di tahun 1892, dan keragaman tersebut ternyata

dipengaruhi oleh jenis tanah (Garret, 1965). Penelitian ke arah tersebut terus berlanjut,

misalnya di awal tahun 1908, Potter menjumpai adanya penghambatan patogen tanaman oleh

15

penumpukan hasil metabolitnya, kemudian tahun 1926, Sanford membuktikan bahwa pupuk

hijau ternyata dapat digunakan untuk mengatasi penyakit kudis kentang. Pada tahun 1927,

Millard dan Taylor menemukan bahwa penyakit kudis kentang (Streptomyces scabies) dapat

dikendalikan dengan inokulasi S. praecox. G.B. Sanford dan W.C. Broadcast membuktikan

keberadaan patogen Ophiobolus graminis dapat ditekan oleh kegiatan antagonis jamur dan

bakteri, yang kemudian menerbitkan hasil penelitiannya tentang pengendalian hayati jamur

penyebab “take-all” pada gandum, dalam Phytopathology tahun 1926; untuk pertama kalinya

digunakan istilah “pengendalian hayati” dalam patologi tanaman. Pengaruh artikel Sanford

dan Broadcast sangat besar pada dunia patologi tanaman, yaitu mulai berkembangnya cara

pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan mikroba antagonis. Penelitian ke arah

pengendalian hayati patogen tanaman, terutama yang bersifat tular-tanah, mulai berkembang.

Pada tahun 1930, Fawcett, presiden Perhimpunan Fitopatologi Amerika, mempertajam

adanya agensia pengendali hayati, yang disampaikan dalam pidatonya berjudul “the

importance of investigations on the effect of known mixtures of organisms”. Di dalam waktu

singkat, setelah pidato tersebut, seorang mahasiswa Fawcett, R. Weindling, menerbitkan seri

artikel pertamanya tentang parasitisme Trichoderma viride terhadap jamur tanah lainnya.

Sejak saat itulah, perhatian dunia terhadap pengendalian hayati makin terbuka lebar dan makin

banyak penelitian bermunculan, khususnya ke arah produksi antibiotika di dalam tanah.

Penelitian tentang agensia pengendali hayati patogen tanaman terus berkembang dan

berlanjut. Temuan demi temuan kaitannya tentang manfaat pengendalian hayati terus

bermunculan, termasuk ke arah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh agensia pengendali

hayati. Jenis mikroba tanah yang berguna untuk mengendalikan patogen tanaman terus

ditemukan dan teridentifikasi, misalnya penemuan toksin gliotoksin dan viridin yang

dihasilkan oleh jamur Trichoderma viridae oleh masing-masing Wright pada tahun 1956 serta

oleh Brian dan McGowan tahun 1945.

Penelitian ke arah antibiotika yang dihasilkan oleh agensia pengendali hayati di dalam

tanah, merupakan topik yang selalu menarik perhatian ilmuwan untuk menelitinya. Sampai

sekarang ini, penelitian ke arah pengendalian hayati tetap banyak dan telah berhasil

mengungkat beragam agensia pengendali hayati beserta mekanismenya baik secara

konvensional maupun secara bioteknologi. Bahkan pengembangan penelitian tentang

16

antibiotika yang dihasilkan oleh bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens, yaitu 2,4-

diasetilfloroglusinol, telah sampai pada produksi antibiotika dalam skala industri.

Berdasarkan data pengalaman penelitian tentang pengendalian hayati yang telah saya

uraikan dan pemanfaatan di dunia pertanian untuk mengendalikan penyakit tanaman, nampak

jelas adanya peluang dan sekaligus tantangan dalam menggunakan agensia pengendali hayati

untuk memecahkan masalah penyakit tanaman di masa yang akan datang. Pengetahuan akan

peluang dan sekaligus tantangan tersebut diperlukan untuk memperkirakan tingkat

keberhasilan penggunaan agensia pengendali hayati tersebut, khususnya dalam memenuhi

salah satu syarat revolusi hijau lestari, untuk menunjang dan memperkokoh ketahanan pangan

secara sinambung dan berkelanjutan.

PELUANG PENGENDALIAN HAYATI PATOGEN TANAMAN

Telah saya uraikan bahwa banyak kasus penyakit tanaman yang belum dapat

diselesaikan sampai sekarang, selalu ada di setiap musim tanam, serta dijumpai di semua jenis

tanaman. Kerugian yang ditimbulkan oleh adanya penyakit tanaman juga beragam dan

memengaruhi semua aspek kehidupan manusia; sedangkan pengendalian dengan pestisida

kimia sintetis belum dapat berhasil memecahkan masalah penyakti tanaman. Oleh karena itu,

munculnya pengendalian hayati perlu disambut dengan baik dan perlu dimasyarakatkan, untuk

mendukung keseimbangan ekosistem pertanian dan dalam menunjang ketahanan pangan

nasional yang berkelanjutan. Dorongan untuk menerapkan pengendalian hayati, sebagai salah

satu cara untuk mengendalikan patogen tanaman, berasal dari peluang yang ada dan sekaligus

tantangan di dalam pengembangan cara tersebut.

Beberapa peluang yang diketahui dari penggunaan agensia pengendali hayati untuk

mengatasi masalah penyakit tanaman, menurut Greathead (1995) dan Soesanto (2008), yaitu

1) kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang sehat dan aman, 2) ketidak-

mampuan fungisida sintetis, 3) kepedulian akan keseimbangan ekologi dan keamanan

lingkungan, 4) kesadaran petani dan keluarganya akan masalah kesehatan, 5) biaya eksplorasi

agensia hayati yang rendah, 6) bertambahnya biaya produksi pertanian, 7) waktu penyiapan

agensia hayati yang singkat, 8) ketersediaan agensia hayati melimpah di alam, dan 9) produksi

metabolit sekunder.

17

1. Kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang sehat dan aman

Masyarakat dunia saat ini sudah menyadari akan bahaya residu pestisida dan bahan

kimia sintetis lainnya di dalam produk pertanian yang dikonsumsi. Kesadaran ini

menyebabkan mereka berlomba untuk menyediakan produk pertanian yang sehat dan

aman tersebut, baik yang diimport maupun yang dibudidayakan sendiri. Kondisi ini

berdampak positif bagi kesehatan umat manusia, tetapi di sisi lain juga berdampak negatif

bagi produsen atau pengekspor produk pertanian, terutama dari negara agraris, seperti

Indonesia, yang belum mempertimbangkan masalah mutu produk dibandingkan dengan

kuantitas produk pertanian. Banyak produk pertanian dari Indonesia yang ditolak oleh

negara pengimpor ketika didapati residu bahan kimia di dalam produk tersebut. Apalagi

dengan diterapkannya SPS (Sanitary and Phytosanitary) dan perdagangan bebas dunia

atau Asia, serta pembakuan kualitas produk pertanian, maka akan sangat sukar bagi

produk pertanian Indonesia untuk dapat bersaing di tingkat regional atau internasional, jika

masih mendasarkan pertanamannya dengan bahan kimia sintetis. Oleh sebab itu, untuk

mengurangi dampak negatif tersebut, petani seharusnya sudah mulai bangkit untuk

bertanam tanaman secara sehat atau organik, meskipun produk organik masih belum

mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Di dalam menunjang ke arah produksi

pertanian yang sehat dan aman tersebut, pengendalian hayati merupakan salah satu

pemecahannya dan sangat mendukung ke arah tersebut. Hal ini karena apabila

dibandingkan dengan penggunaan agensia kimia sintetis, agensia pengendali hayati jelas

tidak beracun terhadap manusia atau hewan, khususnya apabila diterapkan pada saat panen

atau pascapanen, karena metabolit sekunder yang dihasilkan oleh agensia hayati akan

mudah terurai oleh alam. Selain itu, metabolit sekunder yang dihasilkan tidak sesuai untuk

manusia dan hewan. Produk pertanian juga tidak menyimpan residu agensia pengendali

hayati di dalamnya, sehingga produk tersebut aman untuk dikonsumsi. Hal ini selaras

dengan makin gencarnya konsumen dunia yang membutuhkan dan mengonsumsi produk

pertanian yang sehat.

2. Ketidak-mampuan fungisida kimia sintetis

Penggunaan fungisida kimia sintetis untuk mengendalikan penyakit tanaman tidak

selamanya dapat diandalkan, misalnya oleh petani bawang merah, kentang, cabai, atau

pekebun pisang. Hal ini ditunjukkan dengan makin meningkatnya penggunaan fungisida

18

tersebut, baik dalam konsentrasi atau keseringannya. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi

kalau para petani di dalam menggunakan fungisida kimia sintetis tidak dilakukan dengan

jalan menyemprotkan fungisida ke tanaman mereka, tetapi justru menyiramkannya ke

tanaman dan sekaligus ke tanah, apalagi kalau cuaca mendukung terhadap perkembangan

penyakit, seperti pada saat musim hujan; bukan dengan satu jenis fungisida, tetapi

menyampur beberapa jenis fungisida. Semua itu ditujukan untuk mengendalikan penyakit

tanaman dengan cepat agar hasil panen dapat meningkat. Akan tetapi, hasilnya ternyata

tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penyakit tetap ada di pertanaman, bahkan dapat

lebih parah lagi kerusakan yang ditimbulkannya. Hal ini kemungkinan karena jamur

patogen telah mengalami mutasi dan mampu beradaptasi dengan fungisida tersebut, ikut

matinya mikroba tanah yang berguna, atau jamur patogen mampu membentuk struktur

istirahat. Di sisi lain, ketidak-mampuan fungisida kimia sintetis untuk menjangkau letak

mikroba patogen di dalam tanah. Keberadaan mikroba tanah sangat beragam, bahkan

dapat mencapai kedalaman di bawah 50 cm di dalam tanah, misalnya untuk jamur patogen

Fusarium sp. (Domsch et al., 1993). Oleh karena itu, kehadiran agensia pengendali hayati

ternyata memberikan angin segar kepada para petani. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa

penelitian yang telah dilakukan, yang kesemuanya menunjukkan kemampuan agensia

pengendali hayati dalam mengatasi masalah patogen tanaman, yang sebelumnya sukar

dikendalikan dengan fungisida kimia sintetis. Misalnya, penggunaan bakteri antagonis

Pseudomonas fluorescens P60 mampu menurunkan kepadatan populasi jamur Fusarium

oxysporum, penyebab penyakit moler pada bawang merah, di dalam tanah sampai sebesar

80,67% (Santoso et al., 2007), menurunkan intensitas penyakit busuk pangkal batang pada

kacang tanah lebih dari 50% (Soesanto, 2004), dan kepadatan populasi sklerotium akhir

sebesar 86,3% (Soesanto et al., 2003a, 2003b); Trichoderma harzianum mampu

menurunkan intensitas penyakit layu Fusarium pada gladiol sebesar 56,83% (Soesanto et

al., 2008), dan gabungan Gliocladium sp. dan Pseudomonas fluorescens P60 mampu

menurunkan kepadatan populasi Fusarium oxysporum pada lahan cabai sebesar 88,07%

(Maqqon et al., 2006). Agensia pengendali hayati juga dapat digunakan untuk mengatasi

jamur patogen yang membentuk struktur istirahat. Hal ini mengingat bahwa keberadaan

struktur istirahat pada patogen dapat menjadi salah satu kendala dalam keberhasilan

penerapan semua agensia pengendali patogen tanaman. Hasil penelitian Soesanto et al.

19

(2003) menunjukkan bahwa bakteri antagonis P. fluorescens P60 mampu menekan

perkecambahan sklerotium in vitro sampai sebesar 92% dengan lama perendaman

sklerotium paling efektif 10 menit (Gambar 1). Hasil penelitian ini memberikan peluang

dan harapan bahwa bakteri angatonis Pseudomonas fluorescens P60 mampu mengatasi

jamur patogen yang membentuk struktur istirahat, meski baru secara in vitro. Penggunaan

di lapang masih perlu pemikiran dan penelitian lebih lanjut. Agensia hayati juga dapat

dipakai sebagai bahan untuk menyehatkan atau bio-remediation atas lahan pertanian yang

sudah tercemar atau terkontaminan oleh patogen tanaman, yang ditandai oleh selalu

munculnya penyakit tanaman di setiap musim tanam (Hidayanto, 2006).

Gambar 1. Pengaruh lama perendaman sklerotium Sclerotium rolfsii di dalam larutan

bakteri Pseudomonas fluorescens P60 konsentrasi 106 upk ml-1 larutan terhadap perkecambahan sklerotium. Keterangan: Notasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut DMRT 5% (Soesanto et al., 2003).

3. Kepedulian akan keseimbangan ekologi dan keamanan lingkungan

Masalah lingkungan hidup menjadi penting dewasa ini ketika pemerintah dan

masyarakat menyadari bahwa salah satu penyebab terjadinya atau timbulnya bencana yang

menimpa negeri ini adalah oleh ulah manusia itu sendiri. Di dunia pertanian juga

20

memungkinkan timbulnya bencana, terutama yang disebabkan oleh penggunaan bahan

kimia, baik pestisida maupun pupuk atau hormon, yang tidak bijaksana atau yang terus

menerus. Hal ini akan menyebabkan berubahnya sifat hayati di dalam tanah, terutama

karena musnahnya mikroba berguna di dalam tanah akibat penggunaan bahan kimia

tersebut. Sudah bukan rahasia lagi, kalau pemakaian bahan kimia banyak menimbulkan

pencemaran, baik tanah, udara, maupun air, yang menyebabkan kerusakan ekologi

khususnya di dalam tanah, salah satunya adalah terbunuhnya mikroba berguna di dalam

tanah, yang berguna untuk mengendalikan mikroba patogen tanaman (Hassan, 1998). Hal

ini pula yang menyebabkan banyaknya patogen tular-tanah yang sukar dikendalikan, selain

karena faktor genetika yaitu terjadinya mutasi akibat bahan kimia tersebut. Selain itu,

agensia pengendali hayati yang diterapkan kepada bukan sasaran tidak akan menjadi

kontaminan bagi organisme bukan sasaran, baik tanaman atau mikroba berguna. Hal ini

karena agensia pengendali hayati mempunyai relung ekologi sendiri dan yang berbeda

dengan relung ekologi mikroba atau organisme lain, sehingga agensia pengendali hayati

memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan ekologi barunya. Apabila agensia pengendali

hayati tidak mampu bertahan hidup dalam ekologi barunya, atau diterapkan pada ekologi

yang berbeda dengan rentang keragamannya yang lebar, maka agensia pengendali hayati

akan mati, yang menyebabkan pengendalian hayati tidak berhasil diterapkan di suatu

wilayah. Hal ini yang menyebabkan agensia pengendali hayati sukar untuk menjadi

kontaminan organisme atau mikroba berguna lainnya. Oleh karenanya, pengendalian

hayati hadir untuk mengurangi dampak negatif tersebut dan untuk menjaga kelestarian

ekologi di dalam tanah, serta untuk menjaga lingkungan tetap aman (Ayob and Mustaffa,

1998; Soesanto, 2000). Peluang inilah yang perlu disambut dengan mengurangi

penggunaan pestisida atau bahan kimia sintetis, dan mulai menggiatkan penggunaan

agensia hayati, khususnya untuk mengendalikan patogen tanaman, sehingga keberlanjutan

proses produksi tanaman dapat terjaga dengan baik.

4. Kesadaran petani dan keluarganya akan masalah kesehatan

Para petani sudah berpengalaman di dalam mengelola kebun dan tanamannya,

khususnya di dalam menghadapi permasalahan penyakit tanaman, yaitu selalu dengan

menggunakan fungisida kimia sintetis, dengan pertimbangan cepat diketahui hasilnya dan

21

mudah penggunaannya. Akan tetapi, mereka tidak menyadari bahwa bahaya sedang

mengancam kesehatan mereka dan juga keluarganya yang membantu di lahan. Hal ini

karena di dalam penerapan fungisida untuk pertanamannya, mereka tidak sama sekali

menggunakan pengaman tubuh dan juga tidak menggunakannya dengan bijaksana. Telah

dikemukakan bahwa petani kentang dan bawang merah, misalnya, menerapkan fungisida

kimia dengan cara disiram ke tanaman, tidak disemprotkan. Kasus pencemaran bahan

kimia dalam darah petani sudah banyak dikemukakan, belum lagi kasus lainnya yang

menimpa ibu hamil dan ibu menyusui yang sehari-hari bekerja di lahan pertanamannya

(Beaumont, 1998). Penerapan agensia pengendali hayati di tanaman tidak menyebabkan

keracunan bagi pekerja, meskipun mereka tidak dilengkapi dengan peralatan

penyemprotan yang lengkap. Oleh karena itu, kehadiran agensia pengendali hayati akan

mengurangi dampak tersebut dan sekaligus menyegah kerugian yang lebih parah.

5. Biaya eksplorasi agensia hayati yang rendah

Biaya untuk mendapatkan satu agensia pengendali hayati atau proses sejak isolasi

sampai ke formulasi agensia pengendali hayati sangat rendah, bila dibandingkan dengan

biaya yang diperlukan untuk mendapatkan satu senyawa kimia sintetis. Penelitian yang

dilakukan terhadap agensia pengendali hayati tidak memerlukan biaya tinggi, jika

dibandingkan dengan kimia sintetis. Begitu pula dalam penerapannya di lapang tidak

memerlukan perijinan yang ketat, yang membutuhkan biaya banyak, jika dibandingkan

dengan penerapan agensia kimia sintetis untuk mengendalikan patogen tanaman. Agensia

kimia sintetis sebelum dipasarkan harus mengalami serangkaian pengujian yang

memerlukan waktu lama, untuk menjamin kalau nantinya agensia tersebut tidak

berdampak negatif terhadap lingkungan hidup (Bohmont, 1997; Dohmen, 1998). Keadaan

ini jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit (Lisansky, 1984 dan Payne & Lynch. 1988

dalam Hokkanen et al., 1993). Pada Tabel 1 ditunjukkan perbedaan antara agensia kimia

sintetis, agensia hayati, parasit dan predator, terutama pada ruas pembiayaannya. Pada

tabel tersebut nampak bahwa biaya penelitian dan pengembangan untuk agensia kimia

jauh lebih besar, yaitu hampir 3 kali lipat daripada biaya untuk penelitian dan

pengembangan agensia pengendali hayati. Apabila dipertimbangkan penelitian dan upaya

pencegahan dampak negatif yang akan muncul akibat penggunaan agensia kimia sintetis,

maka biaya yang harus disediakan akan semakin besar. Oleh karena itulah, upaya untuk

22

Tabel 1. Perbandingan beberapa sifat pendekatan pengendalian secara kimia dan hayati untuk mengendalikan hama, patogen, dan gulma

No. Sifat Kimia Mikroba Parasit dan PredatorA.

B.

C.

Pengembang an Metode

Penemuan

Biaya R & DUkuran pasar yang diperlukan agar untungHak Paten

Penggunaan Metode

Kepercayaan

MembunuhKecepatanKisaranKetahanan

Keamanan Metode

Toksikologi

Kerusakan lingkungan

Residu

Pemilihan 15.000 senyawa ditemukan kemudian tentukan sasaran yang akan dikendalikan

12.000.00030.000.000/th utk mengganti modal, terbatas pada tanaman utamaTeratur baik

Biasanya dipercaya

Sampai 100%Biasanya cepatUmumnya luasSering muncul

Mahal ujinya, kadang beracun terhadap penggunaBeragam contoh, sangat terkenal, mudah untuk dibatalkan

Waktu antara sebelum dipanen

Sering mudah dijumpai

400.000< 600.000/th dapat untung

Menjadi teratur

Beragam, biasanya dipercayaBiasanya 90-95%Kadang lambatUmumnya sempitMungkin muncul

Relatif murah ujinya, biasanya tidak beracunBelum diketahui, tetapi kadang mungkin merusak, mudah untuk dibatalkanTanaman dipanen langsung

Sering mudah dijumpai

BeragamBeragam, bahkan pasar kecil dapat menguntungkan

Tidak mungkin, kecuali untuk metode pengiriman

Beragam, biasanya dipercayaBiasanya 90-95%Kadang lambatUmumnya sempitTidak ada kejadian

Tidak ada kaitannya

Belum diketahui, tetapi kadang mungkin merusak, mudah untuk dibatalkanTidak dapat diterapkan

Sumber: Lisansky (1984) dan Payne & Lynch (1988) dalam Hokkanen et al. (1993).

menggunakan mikroba antagonis merupakan cara yang lebih murah dan aman terhadap

lingkungan, jika dibandingkan dengan agensia kimia sintetis.

6. Bertambahnya biaya produksi pertanian

23

Biaya produksi pertanian cukup tinggi, terutama jika dikaitkan dengan biaya yang

dikeluarkan untuk pembelian saprodi, misalnya untuk pembelian pupuk dan pestisida.

Meskipun harga pestisida (fungisida) dapat terjangkau oleh petani, tetapi bila diterapkan

dalam luasan tanaman yang cukup luas, hal ini tetap akan menambah biaya yang harus

dikeluarkan. Apabila muncul penyakit tanaman pada tanaman mereka, petani akan

segeramelakukan tindakan pengendalian dengan memakai fungisida kimia. Apalagi kalau

tanaman yang dibudidayakan mempunyai nilai ekonomi tinggi dan ditanam dalam musim

hujan, pengeluaran untuk fungisida kimia akan jauh lebih besar. Hal ini akan semakin

meningkatkan biaya produksi yang harus dikeluarkan dan menurunkan pendapatan petani.

Apabila tanaman diperlakukan dengan agensia hayati untuk mencegah timbulnya penyakit

tanaman, baik diberikan sejak pesemaian, pembibitan, awal tanam, atau awal berbunga,

maka masalah penyakit tanaman akan dapat dikurangi atau dicegah, khususnya bila

diberikan pada tanaman yang ditanam pada tanah yang sudah tercemar oleh patogen

tanaman.

7. Waktu penyiapan agensia hayati yang singkat

Waktu yang singkat ini tidak ditujukan untuk proses yang terjadi sejak agensia

pengendali hayati diterapkan untuk mengendalikan patogen tanaman. Akan tetapi, waktu

yang ditujukan untuk menyiapkan dan bahkan mendapatkan agensia pengendali hayati

relatif singkat, jika dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk memperoleh

senyawa kimia pengendali patogen tanaman (Tabel 1). Senyawa kimia membutuhkan

waktu lama dan panjang sejak penemuan sampai pengujiannya, dan bahkan sampai ke

pemasaran. Akan tetapi, agensia pengendali hayati sebaliknya, hanya membutuhkan waktu

singkat untuk dapat menemukan dan menerapkannya di lapang (Ayob and Mustaffa,

1998). Bahkan, begitu mendapatkan calon agensia hayati dari hasil isolasi dan setelah

melalui uji laboratorium, calon agensia hayati tersebut dapat langsung digunakan di lahan

pertanian untuk mengendalikan penyakit tanaman. Jadi, hanya membutuhkan waktu dalam

hitungan hari saja. Selain itu, waktu yang singkat untuk agensia pengendali hayati juga

ditujukan untuk pendaftaran dan pengujian di lapang sebelum agensia diformula untuk

pemasaran, bila dibandingkan dengan waktu yang diperlukan bagi agensia kimia sintetis,

yang membutuhkan waktu panjang dan rumit, sejak masih dalam bentuk kode rumus kimia

24

sampai dihasilkannya pestisida berformula, bahkan sampai kepada pendaftaran di Komisi

Pestisida sebelum dilepas ke pasar.

8. Ketersediaan agensia hayati melimpah di alam

Keberadaan agensia hayati atau antagonis di alam sangat banyak dan tersebar di

banyak wilayah. Masing-masing daerah mempunyai kekhususan agensia hayati sendiri.

Hal ini dibuktikan dengan sudah banyaknya peneliti yang bekerja dengan agensia hayati

atau antagonis untuk mengendalikan penyakit tanaman di daerahnya. Hasilnya beragam

karena bekerja dengan makhluk hidup, yaitu mikroba, sehingga membutuhkan kondisi

ekologi dan iklim tersendiri. Hampir di setiap daerah ditemukan agensia pengendali hayati

yang umumnya berdampak positif untuk daerah setempat. Ketersediaan di alam yang

melimpah dan menyebar ini perlu digagas terbentuknya suatu Bank Agensia Hayati atau

Pusat Penyimpanan Agensia Hayati secara nasional, yang bertujuan untuk menyimpan

dan melestarikan agensia hayati tersebut. Selain itu, juga bertugas untuk mendata sebaran

agensia hayati sejenis, menganalisis metabolit sekunder yang dihasilkannya,

memasyarakatkan penggunaan agensia hayati, dan membangun jejaring antar-peneliti

agensia hayati dengan saling tukar informasi dan tukar agensia hayati untuk diuji-cobakan

secara multilokasi. Hal ini nampaknya masih jauh dari pemikiran kita semua, khususnya

lembaga pemerintah yang berwewenang menjaga plasma nutfah khas Indonesia.

9. Produksi metabolit sekunder

Metabolit sekunder umumnya dihasilkan oleh sebagian besar antagonis dan merupakan

“senjata” yang digunakan untuk mengendalikan patogen tanaman. Mekanisme

penghambatan yang terjadi oleh adanya antagonis tersebut juga ditentukan oleh macam

metabolit sekunder yang dihasilkan dan yang berperan. Semakin banyak macam dan

jumlah metabolit sekunder yang dihasilkan atau yang berperan, semakin efektif antagonis

tersebut di dalam mengendalikan patogen tanaman. Beberapa macam metabolit sekunder

yang dihasilkan oleh antagonis, di antaranya antibiotika, toksin, enzim, siderofor, dan

plant growth promoting rhizobacteria or rhizofungi (PGPR). Misalnya, jamur antagonis

dari genus Trichoderma dan Gliocladium mampu menghasilkan beberapa metabolit

sekunder, antara lain asam ferulat, asam 2-hidroksimalonat, asam glikoladat, trikodermen,

trikodermol, dan masih banyak lagi yang lain (Sivasithamparam and Ghisalberti, 1998;

Elad and Kapat, 1999). Pada bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens, metabolit

25

sekunder yang dihasilkan di antaranya asam fenazin-1-karboksilat dan 2,4-

diasetilfloroglusinol (Raaijmakers et al., 1997; Duffy and Defago, 1999), polisakarida

(Nakata et al., 2000), dan masih banyak lainnya (Oberhansli, 1991; Dowling and O’Gara,

1994; Maurhofer, 1994). Antibiotika 2,4-diasetilfloroglusinol telah terbukti dapat

menghambat pertumbuhan dan perkembangan jamur patogen Fusarium oxysporum

(Soesanto et al., 2004). Kemampuan agensia hayati di dalam menghasilkan metabolit

sekunder tersebut dapat terus dikembangkan di kemudian hari, untuk dapat diproduksi

dalam skala industri, baik yang berguna di bidang pertanian maupun di bidang industri,

misalnya pada industri tekstil, plastik, kertas, dan makanan (Gandjar, 2006).

Dengan mengetahui peluang yang ada, maka kita akan dapat merencanakan tindakan

dan kegiatan yang berkaitan dengan pengendalian hayati patogen tanaman di masa yang akan

datang. Selain itu, adanya peluang akan menumbuhkan dan memberikan semangat baru untuk

terus memikirkan dan menggali metode baru pengendalian patogen tanaman secara hayati,

sehingga produksi pertanian kita selain akan meningkat, juga menjadi aman dan sehat, yang

akan mendukung ke arah ketahanan pangan kita secara berlanjut.

TANTANGAN PENGENDALIAN HAYATI PATOGEN TANAMAN

Selain peluang yang ada tersebut dalam pemanfaatan agensia pengendali hayati untuk

mengendalikan patogen tanaman, juga perlu diketahui beberapa tantangan dan yang dapat

menjadi kendala dalam pemanfaatan pengendalian hayati patogen tanaman, bila tidak segera

dipertimbangkan dan dihadapi untuk dicari pemecahannya. Banyak informasi tentang

kegagalan pengendalian hayati di beberapa daerah, sedangkan bila diterapkan di daerah

tertentu mampu menunjukkan perannya di dalam mengendalikan patogen tanaman. Kondisi

ini timbul karena pada umumnya mereka tidak atau kurang mempertimbangkan adanya

tantangan di dalam mengerjakan dan menerapkan pengendalian hayati terhadap patogen

tanaman.

Beberapa tantangan yang ada dalam bekerja dengan pengendali hayati, di antaranya 1)

masa hidup agensia hayati yang terbatas, 2) agensia hayati dapat berubah fungsi, 3) adanya

perbedaan kepentingan, 4) terjadinya pencemaran lingkungan, dan 5) terbatasnya penyebaran

agensia hayati.

26

1. Masa hidup agensia hayati yang terbatas

Agensia pengendali hayati yang diterapkan pada produk pertanian mempunyai masa hidup

terbatas. Hal ini khususnya terjadi jika kondisi lingkungan ruang simpan produk tanaman

tidak sesuai untuk kehidupan agensia pengendali hayati. Apabila agensia pengendali

hayati disimpan dalam kondisi yang tidak sesuai, atau produk pertanian yang disemprot

dengan agensia tersebut berada dalam kondisi mikro-iklim yang tidak sesuai, maka

agensia tidak akan bertahan lama dan lebih cepat mati. Selain itu, penyimpanan agensia

hayati di laboratorium khususnya membutuhkan penanganan khusus agar kegigasan

agensia pengendali hayati dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama. Masing-masing

agensia pengendali hayati mempunyai medium penyimpanan yang tidak sama (Soesanto,

2006a).

2. Agensia hayati dapat berubah fungsi

Penggunaan agensia pengendali hayati yang belum dipersiapkan dengan baik dan

benar akan dapat mengubah fungsinya sebagai agensia pengendali hayati menjadi patogen

tanaman. Hal ini khususnya terjadi dengan agensia pengendali hayati dari kelompok

bakteri, yang dapat berubah karena terjadi mutasi akibat kondisi ekstrem di daerah tropika,

misalnya adanya radiasi sinar ultraungu yang sangat tinggi. Apalagi agensia pengendali

hayati tersebut sengaja diperkenalkan ke lingkungan tropika baru dari lingkungan yang

berbeda. Oleh karenanya, sebaiknya suatu bakteri antagonis sebelum dilepas ke lapang

harus distabilkan terlebih dahulu. Selain itu, perubahan fungsi tersebut timbul karena

agensia pengendali hayati sebelumnya tidak atau kurang diuji terlebih dahulu

kemampuannya, bukan hanya terhadap patogen tanaman, tetapi penting juga pengujian

terhadap tanaman inangnya. Apakah agensia hayati tersebut menimbulkan masalah atau

menjadi patogen terhadap tanaman uji atau tidak. Pengujian agensia hayati terhadap

tanaman inang patogen tanaman jarang dilakukan, meskipun hal ini akan memengaruhi

kinerja dan kemampuan agensia hayati di dalam mengendalikan patogen tanaman.

3. Adanya perbedaan kepentingan

Penggunaan agensia pengendali hayati dapat berubah fungsi akibat adanya perbedaan

kepentingan. Hal ini erat kaitannya dengan status dari sasaran agensia pengendali hayati.

Kepentingan yang berbeda ini akan menyebabkan perbedaan pengambilan keputusan.

Keputusan yang diambil menjadi tidak tepat, artinya tidak lagi mempertimbangkan pada

27

segi keamanan hayatai dari agensia pengendali hayati lagi, tetapi sudah berubah terpusat

kepada patogen yang telah diputuskan untuk dikendalikan tersebut. Hal ini akan sangat

berbahaya, jika dipertalikan dengan agensia pengendali hayati baru yang diperkenalkan ke

lingkungan baru. Masalah ini seharusnya didiskusikan sebelumnya untuk membuktikan

program pengendalian hayati dapat tepat sasaran, dengan mendasarkan kepada keuntungan

terbesar yang dapat diperoleh dan adanya jaminan keamanan hayati dengan penggunaan

agensia pengendali hayati. Perubahan akibat perbedaan kepentingan ini akan sangat nyata

dengan adanya perbedaan kepentingan politik, karena sekarang ini di negara kita, bidang

pertanian menjadi mungkin untuk dikaitkan dengan kepentingan politik.

4. Terjadinya pencemaran lingkungan

Secara normal, agensia pengendali hayati tidak menyebabkan pencemaran terhadap

lingkungan. Akan tetapi, pencemaran agensia pengendali hayati dapat terjadi jika tidak

hati-hati dalam menyiapkannya dan menetapkan berapa banyak agensia pengendali hayati

yang akan dilepas dan diterapkan dalam lingkungan. Misalnya, di dalam penyiapan atau

bekerja dengan Trichoderma spp. yang tidak hati-hati, akan menyebabkan pencemaran

ruang laboratorium. Konidium jamur mudah diterbangkan angin ketika pengerjaannya

tidak dilakukan dengan baik dan akan mudah mengontaminan medium yang lain, yang

sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini menyebabkan terganggunya

pekerjaan lainnya di laboratorium. Selain itu, pencemaran yang diakibatkan oleh agensia

pengendali hayati dapat menyebabkan alergi bagi pekerja. Kekebalan tubuh kita masing-

masing berbeda dalam tanggap terhadap keberadaan spora atau konidium jamur di udara.

Sementara itu, agensia pengendali hayati, seperti Trichoderma spp., dapat menjadi

kontaminan tidak hanya pada pekerjaan laboratorium, tetapi juga pada pekerjaan lainnya,

misalnya pada budidaya cendawan merang. Agensia pengendali hayati yang akan dikirim

dari luar wilayah harus benar-benar terbebas dari musuh alaminya, yang akan membatasi

keefektifannya; juga terbebas dari kontaminan dengan patogen tanaman dan hewan; bahan

pemformula agensia pengendali hayati harus bebas dari organisme pengontaminan. Oleh

karenanya, perlu perhatian serius dari berbagai pihak jika akan menggunakan agensia

pengendali hayati baru, agar masalah pencemaran dapat dicegah atau dibatasi. Apabila

dijumpai masalah tersebut pada agensia pengendali hayati yang akan dikirim atau

28

dicurigai bahan agensia pengendali hayati, maka sebaiknya bahan tersebut segera

dimusnahkan.

5. Terbatas penyebarannya

Meskipun penyebaran agensia pengendali hayati tidak dibatasi oleh pembatas politik,

penyebaran agensia pengendali hayati tidak seluas penyebaran agensia kimia sintetis. Hal

ini menyangkut sifat agensia pengendali hayati yang berupa mahluk hidup, yang harus

menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Akibatnya, agensia pengendali hayati yang

dihasilkan di suatu tempat atau daerah, kadang tidak berfungsi bila diterapkan pada

tanaman di daerah atau tempat lain. Selain itu, bagi daerah pengimpor agensia pengendali

hayati dari luar, sebaiknya mempertimbangkan hal ini, dan bila mungkin memberitahukan

daerah tetangga atau organisasi regional yang bertanggung jawab atas hal ini. Semuanya

ini bermaksud untuk memberikan kesempatan kepada daerah tetangga agar bersiap diri

apabila terjadi atau timbul masalah baru akibat penerapan agensia pengendali hayati baru

tersebut.

Adanya tantangan tersebut tidak akan menyurutkan langkah untuk terus bekerja dan

terus bertahan dalam komitmen untuk mengendalikan petogan tanaman yang raman dan aman

bagi lingkungan, yaitu dengan menggunakan agensia pengendali hayati, mengingat prospek ke

depan yang lebih baik dan menguntungkan. Sebaliknya, dengan adanya tantangan tersebut,

kita akan makin berupaya untuk mengatasinya melalui serangkaian penelitian, dengan

memanfaatkan peluang yang ada, sehingga diharapkan nantinya dapat makin memperkecil

tantangan tersebut. Semua ini dimaksudkan untuk memberikan pemikiran dan wawasan yang

luas akan pengendalian hayati, sehingga pengendalian hayati dapat semakin berperan di dalam

mengendalikan salah satu faktor pembatas budidaya tanaman, yaitu penyakit tanaman.

Penyakit tanaman yang dapat dikendalikan dengan biofungisida yang ramah lingkungan akan

dapat meningkatkan hasil pertanian, dan akhirnya akan bermuara kepada ketahanan pangan

yang berkelanjutan.

KESIMPULAN

Hadirin yang saya hormati,

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang ingin saya tekankan sebagai intisari

pidato saya, yaitu:

29

1. Penyakit tanaman, yang berbeda dengan hama tanaman, sangat berpengaruh terhadap

penurunan kuantitas maupun kualitas produksi tanaman serta lingkungan dan konsumen,

sehingga berperan penting di dalam mendukung ketahanan pangan.

2. Ketahanan pangan yang berkelanjutan dapat ditopang dengan penggunaan agensia

hayati sesuai kondisi setempat untuk mengendalikan penyakit tanaman dan mengurangi

dampak negatif penggunaan fungisida sintetis.

3. Ada peluang yang besar untuk lebih menerapkan agensia hayati dalam mengendalikan

penyakit tanaman dibandingkan dengan tantangan yang ada.

4. Perlu dibentuknya Bank Agensia Hayati atau Pusat Penyimpanan Agensia Hayati

Nasional untuk menyimpan, mengelola, dan melestarikan plasma nutfah agensia hayati

yang berpotensi serta membangun jejaring agensia hayati.

5. Istilah agensia perlu digunakan untuk menggantikan istilah agens yang berkonotasi

jamak.

Akhirnya, perkenankan saya menyarankan kepada para pengambil keputusan yang

berkaitan dengan bidang pertanian, untuk mulai menggiatkan penggunaan agensia hayati dan

memasyarakatkan penggunaan agensia hayati kepada petani dan pebisnis pertanian. Dampak

dari kebijakan ini adalah pengurangan penggunaan fungisida sintetis untuk menjaga

kelangsungan hidup tanaman. Selain itu, perlu dibentuk kerjasama antara perguruan tinggi,

dinas terkait, dan masyarakat luas atau pemangku kepentingan untuk meng-eksplorasi agensia

hayati.

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebelum saya mengakhiri pidato pengukuhan saya ini, sekali lagi dengan tiada henti-

hentinya saya mengucapkan puji syukur yang tiada terhingga kepada Tuhan yang Mahakasih,

yang telah menuntun dan menyertai saya selama saya mengabdi di Fakultas Pertanian

Universitas Jenderal Soedirman, serta menganugerahi saya jabatan Guru Besar. Semua ini

bukan karena kemampuan dan kepandaian saya, yang tiada artinya bila dibandingkan dengan

penyertaan Tuhan selama ini. Anugerah Guru Besar ini menjadi suatu batu ujian baru bagi

saya untuk terus tetap berjalan di dalam kebenaran ilmiah dan juga untuk lebih mensyukurinya

dalam bentuk pengabdian kepada nusa, bangsa, dan negara tercinta, Indonesia.

30

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mengucapkan terima kasih kepada

Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional, atas kepercayaan yang

diberikan kepada diri saya untuk menjabat Guru Besar dalam bidang Ilmu Penyakit Tanaman

Penting per 1 Juni 2008 melalui SK No. 37629/A4.5/KP/2008. Ungkapan terima kasih juga

saya sampaikan kepada Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Ketua dan Anggota Senat

Universitas Jenderal Soedirman, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Hama dan Penyakit

Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, yang telah membantu, menilai,

menyetujui, serta mendukung saya untuk menduduki jabatan Guru Besar.

Ungkapan terima kasih dan rasa hormat yang tulus saya sampaikan kepada Bapak dan

Ibu Guru saya, yang telah mendidik dan mengajar saya di TK, SD, dan SMP Kristen Sokaraja,

serta di SMA Negeri I Purwokerto, yang telah memberikan bekal dasar kepada saya,

memantapkan pengetahuan dasar saya, membukakan pintu gerbang ilmu pengetahuan bagi

saya, dan menyiapkan pribadi saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih

tinggi.

Rasa terima kasih yang tulus saya haturkan kepada Ir. Darsam (almarhum) dan Ir.

Sedijono Donowidjojo (almarhum) sebagai pembimbing skripsi saya, yang telah mendorong

saya untuk menekuni bidang Ilmu Penyakit Tumbuhan serta yang telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk mengabdikan ilmu saya di Jurusan Hama dan Penyakit

Tumbuhan pada Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman sampai sekarang ini.

Meskipun beliau berdua telah tiada dan tidak dapat menyaksikan peristiwa penting ini, namun

perhatian dan pengorbanan beliau berdua akan tetap saya kenang sepanjang hayat.

Ungkapan rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada Tim Manajemen Program

Doktor (TMPD) Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia atas beasiswa yang diberikan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan

ke jenjang Magister Sains atau S2 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1986.

Rasa terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Nursamsi Pusposendjojo dan

Prof. Dr. Ir. Tranggono (almarhum), selaku pembimbing tesis saya, yang telah membimbing,

menggembleng, dan membentuk saya untuk menekuni Bidang Ilmu Penyakit Pascapanen serta

untuk mampu menjadi teladan dalam segala hal secara profesional. Terima kasih pula saya

sampaikan kepada semua dosen S2 saya, secara khusus kepada Prof. Dr. Ir. Harjono

31

Semangun, yang telah membekali saya dan meng-inspirasi saya untuk terus belajar menuntut

ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, dan bahkan ke luar negeri (Belanda).

Terima kasih pula saya sampaikan kepada para senior saya dan penghargaan kepada

seluruh sivitas akademika Fakultas Pertanian, khususnya para staf dosen, laboran, dan tenaga

administrasi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, yang tidak dapat saya sebutkan satu per

satu, atas semua bantuan, pengertian, dan kerjasamanya yang baik selama ini, sehingga

mampu menumbuhkan suasana akademik dan kerja yang kondusif. Selain itu, ucapan terima

kasih saya sampaikan kepada para mahasiswa dan alumni Jurusan Hama dan Penyakit

Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan

inspirasi dan ide bagi saya untuk menulis buku dan menerbitkannya, sehingga buku tersebut

dapat digunakan untuk pembelajaran mereka.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bank Pembangunan Asia melalui LOAN-

nya kepada Universitas Jenderal Soedirman, yang telah memberikan beasiswa kepada saya

untuk dapat mengikuti Program Doktor di Universitas Wageningen, Wageningen, Belanda.

Kepada Prof. Dr. Mike J. Jeger, saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas

perkenannya menjadi promotor saya. Juga kepada Dr. Aad J. Termorshuizen, sebagai

pembimbing harian saya, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing dan

menuntun saya selama mengikuti Program Doktor, sehingga saya mampu menyelesaikannya.

Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. (Em.) Dr. Ivan Buddenhagen, dari

Universitas California, USA, atas kepercayaan yang telah diberikan kepada saya untuk dapat

mengabdikan ilmu dan kemampuan saya di bidang penyakit layu Fusarium pada tanaman

pisang, serta kesempatan yang diberikan kepada saya untuk dapat mengikuti pelatihan di

Australia dan menghadiri Workshop on Fusarium tingkat dunia di Malaysia. Terima kasih

pula saya sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Herastuti Sri Rukmini, M.S. dan Prof. Dr. Ir. F.M.

Suhartati, M.S., yang telah berkenan membaca dan memberikan masukan berharga terhadap

naskah pidato ilmiah saya ini.

Ungkapan terima kasih dan rasa hormat yang tiada terhingga saya sampaikan kepada

kedua orangtua saya, almarhum ayahnda Agus Salim dan almarhumah ibunda Susana Wijaya,

yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik dengan penuh kasih dan pengorbanan yang

dalam, serta senantiasa mendoakan saya dan ke-5 adik saya, sehingga kami semua dapat

tumbuh menjadi seperti sekarang ini. Terima kasih pula saya sampaikan kepada semua adik

32

saya, yaitu Drs. Johanes Sardjono, Daniel Budianto, Elisa Edi Santoso, B.A., Handayani, dan

Agus Wijaya, S.E. beserta keluarga mereka masing-masing, atas segala perhatian, dukungan,

kasih sayang, dan doa yang telah diberikan kepada saya, sehingga saya dapat melanjutkan

tugas dan tanggung jawab saya untuk terus mengabdi di bidang pendidikan. Kepada Ibunda

Sri Rahayu beserta keluarga dan Ibunda Imam Soetoro beserta keluarga, saya juga

menyampaikan terima kasih atas semua perhatian dan dorongan yang telah diberikan kepada

saya. Juga terima kasih saya sampaikan kepada adik M. Zaenudin dan seluruh sanak keluarga

serta rekan-rekan seperjuangan dan sekerja, atas perhatian dan bantuannya selama ini.

Akhirnya, terima kasih saya haturkan kepada semua hadirin yang dengan penuh

kesabaran dan perhatian telah mengikuti pidato pengukuhan ini. Tiada gading yang tak retak.

Saya menyadari bahwa masih banyak hal yang kurang di dalam pidato pengukuhan saya ini.

Oleh karena itu, perkenankanlah saya dengan segala kerendahan hati mohon maaf yang tulus

apabila ada ungkapan, tutur kata, atau tingkah laku yang kurang berkenan di hati para hadirin.

Kiranya apa yang sudah saya sampaikan dapat 1) membuka wawasan dan pemikiran baru akan

pentingnya menjaga kelestarian lingkungan pertanian agar keberlanjutan tanaman dapat

terwujud, 2) menjaga keamanan dan kesehatan produk pertanian yang dipasarkan agar kita

mampu bersaing dengan produk pertanian dari negara lain di pasar global, dan 3) menjamin

kesehatan para konsumen yang memanfaatkan produk pertanian tersebut, dengan menerapkan

tindakan pengendalian patogen tanaman secara hayati, yang ramah dan aman tersebut.

Terwujudnya harapan ini membutuhkan peran serta kita semua, baik peneliti atau perguruan

tinggi, dinas terkait, kebijakan pemerintah dalam hal peraturan, maupun kepedulian kita serta

petani itu sendiri.

Demikian pidato pengukuhan ini saya sampaikan. Atas segala perhatiannya, sekali lagi

saya mengucapkan terima kasih.

Pustaka AcuanAdnyana, M.O. 2006. Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan terlanjutkan dalam

era perdagangan bebas. Hal. 109-146. Dalam: Tim Redaksi Buku Kompas (Eds.), Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Agarwal, V.K. and J.B. Sinclair. 1987. Principles of Seed Pathology, vol. I. CRC Press, Boca Raton, Florida.

Agrios, G.N. 1997. Plant Pathology, 4th ed. Academic Press, New York.

33

Ayob, Z. and N. Mustaffa. 1998. Pesticides and natural enemies: Malaysia perspective. Pp. 37-45. In: P.T. Haskell and P. McEwen (Eds.), Ecotoxicology Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic Publ.,, Dordrecht.

Baker, K.F. and R.J. Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. APS, St. Paul, Minnesota. Pp. 35-50.

Beaumont, P. 1998. Risk assessment and management: is it working? An NGO perspective. Pp. 257-266. In: P.T. Haskell and P. McEwen (Eds.), Ecotoxicology Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic Publ.,, Dordrecht.

Bohmont, B.L. 1997. The Standard Pesticide User’s Guide, 4th ed. Prentice Hall, New Jersey.BPS. 2008. Production of fruits in Indonesia. (On-line).

http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/table8.shtml diakses 7 Januari 2009.Cook, R.J. 1985. Biological control of plant pathogens: Theory to application. (Presidential

Address of 76th Annual Meeting). Phytopathology 75(1):25-29.Cook, R.J. and K.F. Baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant

Pathogens. APS, St. Paul, Minnesota.Dohmen, G.P. 1998. Testing side-effects of pesticides on carabid beetles: a standardized

method for testing ground-dwelling predators in the laboratory for registration purposes. Pp. 98-106. In: P.T. Haskell and P. McEwen (Eds.), Ecotoxicology Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic Publ.,, Dordrecht.

Domsch, K.H., W. Gams, and T-H. Anderson. 1993. Compendium of Soil Fungi, Vol. I. IHW-Verlag, Eching.

Dowling, D.N. and F. O’Gara. 1994. Metabolites of Pseudomonas involved in the biocontrol of plant disease. Tibtech 121:133-141.

Duffy, B.K. and G. Defago. 1999. Environmental factors modulating antibiotic and siderophore biosynthesis by Pseudomonas fluorescens biocontrol strains. App. Env. Microbiol. 65(6):2429-2438.

Elad, Y. and A. Kapat. 1999. The role of Trichoderma harzianum protease in the biocontrol of Botrytis cinerea. Europ. J. Plant Pathol. 105:177-189.

FAO. 1983. Post-harvest Losses in Quality of Food Grains. FAO Food and Nutrition Paper No. 29. FAO, Rome.

FAO. 1990. Control of aflatoxin in Asia. FAO Regional Workshop on Control of Aflatoxin in Asia, Chiang Mai 2 February, Thailand.

Gamliel, A., A. Grinstein, Y. Peretz, I. Klein, A. Nachmiaz, L. Tsror, I. Livescu, and J. Katan. 1997. Reduced dosage of methyl bromide for controlling Verticillium wilt of potato in experimental and commercial plots. Plant Disease 81:469-474.

Gandjar, I. 2006. Fungi dan industri. Hal. 125-141. Dalam: I. Gandjar, W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari (Eds.), Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Garret, S.D. 1965. Toward biological control of soil-borne plant pathogens. Pp. 4-17. In: K.F. Baker and W.C. Snyder (Eds.), Ecology of Soil-borne Plant pathogens, Prelude to Biological Control. University of California Press, Berkeley.

Greathead, D.J. 1995. Benefits and risks of classical biological control. Pp. 53-63. In: H.M.T. Hokkanen and J.M. Lynch (Eds.), Biological Control: Benefits and Risks. Cambridge University Press, Cambridge.

Harian Bisnis Indonesia. 24 Oktober 2008. Uni Eropa tekan harga minyak sawit dunia. (On-line). http://panduankelapasawit.blogspot.com/2008/10/uni-eropa-tekan-harga-minyak-sawit.html diakses 16 Januari 2009.

34

Hassan, S.A. 1998. The initiative of the IOBC/WPRS working group on pesticides and beneficial organisms. Pp. 22-27. In: P.T. Haskell and P. McEwen (Eds.), Ecotoxicology Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic Publ., Dordrecht.

Hidayanto, T. 2006. Potensi beberapa agensia hayati dalam upaya penyehatan tanah pada tanaman cabai in planta. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 58 hal. (Tidak dipublikasikan).

Hokkanen, H.M.T., J.M. Lynch, and J. Robinson. 1995. Preface: Overview of benefits and risks of biological control introductions. Pp. xvii-xxii. In: H.M.T. Hokkanen and J.M. Lynch (Eds.), Biological Control: Benefits and Risks. Cambridge University Press, Cambridge.

Kompas. 27 Mei 2003. Ekspor pisang Cavendish terhenti sejak 2002. (On-line). http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/27/ekonomi/335077.htm diakses 12 Januari 2008.

Kompas. 16 Februari 2007. Layu Fusarium serang 11.000 hektar di Kaltim. (On-line). http://www.kompas.com/ver1/Nusantara/0702/16/135927.htm diakses 12 Januari 2008.

Kompas. 17 Desember 2008. Harga CPO dunia cenderung turun, panen melimpah dan permintaan merosot. (On-line). http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0512/17/ekonomi/2296289.htm diakses 16 Januari 2009.

Maqqon, M., Kustantinah, dan L. Soesanto. 2006. Penekanan hayati penyakit layu Fusarium tanaman cabai merah. Agrosains 8(1):50-56.

Maurhofer, M., C. Hase, P. Meuwly, J.-P. Metraux, and G. Defago. 1994. Induction of systemic resistance of tobacco to tobacco necrosis virus by the root-colonizing Pseudomonas fluorescens strain CHA0: influence of the gacA gene and of pyoverdine production. Phytopathol. 84:139-146.

Maude, R.B. 1996. Seedborne Diseases and Their Control, Principles and Practice. CAB International, Wallingford.

Mehrotra, R.S. 1983. Plant Pathology. Tata McGraw-Hill Publ. Co. Ltd., New Delhi.Nakata, K., N. Harada, K. Sumitomo, and K. Yoneda. 2000. Enhancement of plant stem

growth by flocculation of the antibiotic-producing bacterium, Pseudomonas fluorescens S272, on the roots. Biosci. Biotechnol. Biochem. 64(3)459-465.

Oberhansli, T., G. Defago, and D. Haas. 1991. Indole-3-acetic acid (IAA) synthesis in the biocontrol strain CHA0 of Pseudomonas fluorescens: role of tryptophan side chain oxidase. J. Gen. Microbiol. 137:2273-2279.

Oudejans, J.H. 1985. Agro-Pesticides: Properties and Functions in Integrated Crop Protection. UN ESCAP, Bangkok. Pp. 1-28.

Pujiarto, D., L. Soesanto, dan Totok A.D.H. 2001. Pearl millet (Pennisetum typhoideum Rich.): Jamur-jamur isolat tular-benihnya. Jurnal Pembangunan Pedesaan 1(2):70-76.

Raaijmakers, J.M., D.M. Weller, and L.S. Thomashow. 1997. Frequency of antibiotic-producing Pseudomonas spp. in natural environments. App. Env. Microbiol. 63(3):881-887.

Sadiman, B. 17 September 2008. Permintaan ekspor sawit terus turun. (On-line). http://www.inaplas.org/index.php?option=com_content&view=article&id=393%3Apermintaan-ekspor-sawit-terus-turun&catid=6%3Aagro-bisnis&Itemid=14&lang=en diakses 16 Januari 2009.

35

Santoso, S.E., L. Soesanto, dan T.A.D. Haryanto. 2007. Penekanan hayati penyakit moler pada bawang merah dengan Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, dan Pseudomonas fluorescens P60. Jurnal HPT Tropika 7(1):53-61.

Semangun, H. 1988. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sivasithamparam, K. and E.L. Ghisalberti. 1998. Secondary metabolism in Trichoderma and Gliocladium. Pp. 139-191. In: C.F. Kubicek and G.E. Harman (Eds.), Trichoderma and Gliocladium Vol. 1. Taylor & Francis, Ltd., London.

Soesanto, L. 1997. Formation of microsclerotium of Verticillium dahliae. Book of Abstracts of 7th International Verticillium Symposium, Cape Sounion, Athens, 6-10 October 1997.

Soesanto, L. 2000. Pemanfaatan agensia hayati dalam mewujudkan keseimbangan agroekosistem. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional & Rakorwil II HMPTI, Himasita Fak. Pertanian Unsoed, Purwokerto, 23 September 2000.

Soesanto, L., R. Hidayat, dan D.S. Utami. 2003a. Prospek pemanfaatan Pseudomonas fluorescens P60 untuk pengendalian penyakit busuk batang pada kacang tanah. J. Fitopatologi Indonesia 7(1):1-6.

Soesanto, L., E. Pramono, D.S. Utami, dan A. Riswanto. 2003b. Potensi Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati Sclerotium rolfsii Sacc. Pada tanaman kedelai. Prosiding Kongres XVII dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bandung, 6-8 Agustus 2003.

Soesanto, L. 2004. Kemampuan Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati penyakit busuk batang kacang tanah in vivo. Eugenia 10(1):8-17.

Soesanto, L., E. Mugiastuti, dan W. Prihartono. 2004. Uji ketoksinan antibiotika 2,4-diacetylphloroglucinol terhadap sembilan isolat Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. zingiberi Trujillo. Eugenia 10(4):267-274.

Soesanto, L. 2005. Isolation and identification of main pathogenic and antagonistic fungi on diseased ginseng crop. Presented in The 1st International Conference of Crops Security, Unibraw, Malang, 20-22 September 2005.

Soesanto, L., Y.P. Dewi, dan N. Prihatiningsih. 2005. Pengenalan dini penyakit busuk rimpang jahe. J. Penelitian Pertanian Agrin 8(2):76-83.

Soesanto, L. 2006a. Penyakit Fusarium pada Tanaman Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional II dan Workshop Fusarium, Universitas Andalas, Padang, 14-16 Agustus 2006.

Soesanto, L. 2006b. Penyakit Pascapanen, Sebuah Pengantar. Kanisius, Yogyakarta.Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman, Suplemen ke Gulma

dan Nematoda. RajaGrafindo Persada, Jakarta.Soesanto, L., Rokhlani, dan N. Prihatiningsih. 2008. Penekanan beberapa mikroorganisme

antagonis terhadap penyakit layu Fusarium Gladiol. Agrivita 30(1):75-83.Stakman, E.C. and J.G. Harrar. 1957. Principles of Plant Pathology. The Ronald Press Co.,

New York.Untung. K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

36

RIWAYAT HIDUP

Nama : Prof. Ir. Loekas Soesanto, M.S., Ph.D.Nomor Induk Pegawai : 131474221Jabatan Baru : Guru Besar dalam Ilmu Penyakit Tanaman PentingPangkat/Golongan : Pembina Tk. I/IVbUnit Kerja : Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,

Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal SoedirmanTempat/Tanggal Lahir : Pati, 26 Juni 1960Alamat Kantor : Jl. dr. Suparno, Karangwangkal, Purwokerto 53123

Telp./Faks. 0281-638791Alamat Rumah : Sokaraja Kidul RT 04/02, Sokaraja 53181

Telp. 0281-694415 E-mail: [email protected]

Riwayat Pendidikan1. TK Kristen Sokaraja, 19662. SD Kristen Sokaraja, 19723. SMP Kristen Sokaraja, 19754. SMA Negeri I Purwokerto, 19795. Pendidikan Tinggi:

a. S1 (Ir.): Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 1985. Judul skripsi: Pengujian efikasi beberapa fungisida terhadap penyakit busuk pelepah daun (Rhizoctonia solani Kuhn) pada tanaman padi (Oryza sativa L.) varietas IR-36.

b. S2 (M.S.): Program Ilmu-Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989. Judul tesis: Pengaruh umur petik buah apel terhadap perkembangan penyakit antraknosa.

c. S3 (Ph.D.): Department of Plant Science, Wageningen University, Wageningen, Belanda, 2000. Judul disertasi: Ecology and Biological Control of Verticillum dahliae.

Riwayat Pendidikan Lain1. Penataran Rekonstruksi Kuliah Angkatan VI, Unsoed, 3-25 Juli 1989.2. Seminar Pengelolaan Hama dan Penyakit dalam Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas

Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, 7 Januari 1991.3. Penataran Calon Penerjemah Buku Universitas Jenderal Soedirman, Baturraden,

Purwokerto, 10-20 Juli 1991.4. Penataran Calon Penerjemah Buku Ajar Perguruan Tinggi, Denpasar, 16 Nopember –

3 Desember 1991.5. Workshop on Plant Protection, Fakultas Pertanian Unsoed, 27 Januari – 14 Pebruari

1992.6. Training on Biological Control of Plant Pests and Diseases, Fakultas Pertanian,

Unsoed, 17 – 22 Pebruari 1992.7. Kursus Bahasa Inggris Tingkat EAP I, UPT Pusat Bahasa, ITB, Bandung, 4 Januari –

20 Maret 1993.

37

8. Seminar Nasional Menggali Potensi Daerah Guna Meningkatkan Proses Pembangunan di Wilayah Banyumas, Purwokerto, 8 Mei 1993.

9. Workshop on Applied Plant Protection, Fakultas pertanian, Unsoed, 28 Juni – 16 Juli 1993.

10. Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Botanis, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, 1-2 Desember 1993.

11. Kursus Bahasa Inggris di ITB Language Center, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Januari – Juni 1995.

12. Summer School on Soil Physical Factors and Biotic Interactions, Wageningen, 1996.13. Summer school on Scale Specific Crop Protection for Smart Farming, Wageningen,

1997.14. Lokakarya Daerah Pembangunan Pangan, Gizi, dan Kesehatan Masyarakat, Unsoed,

26-27 September 2000.15. Seminar Pengembangan Sistem Usahatani Terpadu di Kawasan Lahan Beririgasi,

Purwokerto, 22 Nopember 2000.16. Semiloknas Pengelolaan dan Penyuntingan Jurnal Ilmiah di Perguruan Tinggi

Angkatan IX, Batu, Malang, 2000.17. Pelatihan Quality Assurance (QA) and Total Quality Management (TQM), Unsoed,

Purwokerto, 31 Januari 2001.18. Seminar Nasional XIX dan Pokjanas TOI, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat, Bogor, 4-5 April 2001.19. Workshop on Plant Quarantine, Jakarta, 28 April 2001.20. Pelatihan Diagnosis Penyakit Tanaman, Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran”, Yogyakarta, 2002.21. Lokakarya Penyusunan Panduan Penulisan Usulan, Laporan Penelitian, dan Artikel

Ilmiah, Unsoed, 15-16 April 2002.22. Pelatihan AMAI (Audit Manajemen Akademik Internal), Pusat P3, Universitas

Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2005.23. Training Course on Management of Postharvest Diseases on Perishable Commodities,

SEAMEO Biotrop, Bogor, 5-10 Desember 2005.24. Training on Identification of Fusarium oxysporum f.sp. cubense by using VCG and

PCR, Dept. of Primary Industry and Fisheries, Brisbane, Australia, 12-25 Maret 2007.25. Pelatihan Penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pusat P3 Universitas

Jenderal Soedirman, Purwokerto, 29-30 Maret dan 4 April 2007.26. Pelatihan Analisis Protein dan Asam Amino di Coastal Bioenvironment Center,

Karatsu, Saga University, Jepang, 4-24 Nopember 2007.27. Penataran dan Lokakarya Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Unsoed, 10 Mei

2008.28. International Fusarium Laboratory Workshop at Universiti Sains Malaysia (USM),

Penang, Malaysia, 22-27 Juni 2008.29. Workshop Pengembangan Kerjasama LPM Unsoed dengan Yayasan Damandiri dan

Pemkab 7 (Tujuh) Kabupaten, Unsoed, Purwokerto, 8 Januari 2008.

Riwayat Pekerjaan1. Penata Muda/Asisten Ahli Madya/IIIa, t.m.t. 31 September 19862. Penata Muda Tk. I/Asisten Ahli/IIIb, t.m.t. 01 Oktober 19873. Penata/Lektor Muda/IIIc, t.m.t. 01 Oktober 1990

38

4. Penata Tk. I/Lektor Madya/IIId, t.m.t. 01 Oktober 19945. Pembina/Lektor/IVa, t.m.t. 01 April 20046. Pembina Tk. I/Lektor Kepala/IVb, t.m.t. 01 April 20067. Pembina Tk. I/Guru Besar/IVb, t.m.t. 01 Juni 2008

Riwayat Jabatan1. Sekretaris Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas

Jenderal Soedirman (1992-1995).2. Ketua Komda PFI Jateng dan DIY Bagian Selatan (1993-1995).3. Konsultan pada PT. Selektani, Brastagi, Medan dan PT. Sakatani Semillas Indonesia,

Batu, Malang (2001-2002).4. Staf Ahli Lembaga Penelitian Universitas Jenderal Soedirman (2001-sekarang).5. Ketua PFI Komisariat Daerah Purwokerto (2003-sekarang)6. Kepala Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal

Soedirman (2003-2006)7. Koordinator PERMI Purwokerto untuk Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal

Soedirman (2003-sekarang)8. Kepala Pusat Layanan Informasi Ilmiah (d.h. Perpustakaan), Fakultas Pertanian,

Universitas Jenderal Soedirman (2004-sekarang)9. Ketua Proyek SP4 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,

Universitas Jenderal Soedirman (2004-2005)10. Ketua Program Studi Ilmu Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian, Universitas

Jenderal Soedirman (2006-sekarang)11. Konsultan PT National Tropical Fruit, Lampung (2006-2008)12. Anggota Senat Universitas Jenderal Soedirman (2008-sekarang)

Organisasi Profesi1. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI)2. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI)

Penulisan Buku1. Soesanto, L. 1996. Kamus Istilah Fitopatologi. Kanisius, Yogyakarta. 120 hal. ISBN.

979-497-671-7.2. Soesanto, L. 2000. Ecology and Biological Control of Verticillium dahliae. Univ.

Wageningen, Wageningen. 120p. ISBN. 90-5808-192-3.3. Soesanto, L. 2002. Buku Ajar Hama dan Penyakit Tanaman Pangan. Fakultas

Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 4. Soesanto, L. (Editor). 2004. Prosiding Simposium Nasional I tentang Fusarium. PFI

Komda Purwokerto dan Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. 326 hal. ISBN. 979-99046-0-9.

5. Kustantinah, E. Pramono, dan L. Soesanto. 2004. Buku Ajar Penyakit Penting Tanaman Utama. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.

6. Soesanto, L. dan Tarjoko. 2005. Buku Ajar Hama dan Penyakit Pascapanen. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. 315 hal.

7. Soesanto, L. 2006. Ilmu Penyakit Pascapanen: Sebuah Pengantar. Kanisius, Yogyakarta. 262 hal. ISBN. 979-21-1255-3.

39

8. Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman (Suplemen ke Gulma dan Nematoda). RajaGrafindo Persada, Jakarta. 573 hal. ISBN 978-979-769-170-7.

9. Kusnaman, D., G.H. Soemartono, Herminanto, dan L. Soesanto. 2008. SOP Budidaya Pepaya. Koperasi Mitra Tani dan HPSP, Jakarta. 40 hal.

Pengalaman Penelitian1. Anggota Tim Peneliti: Pengaruh berbagai hormon tumbuh terhadap perkembangan

berbagai isolat Helminthosporium oryzae v.B. de Haan. Didanai SPP/DPP TA 1990.2. Anggota Tim Peneliti: Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap perkembangan

penyakit becak coklat (Helminthosporium oryzae v.B. de Haan) pada berbagai varietas tanaman padi. Didanai SPP/DPP TA 1990/1991.

3. Anggota Tim Peneliti: Uji ketahanan beberapa varietas padi gogo terhadap penyakit hawar pelepah daun (Rhizoctonia solani Kuhn) dan becak daun coklat (Helminthosporium oryzae v.B. de Haan). Didanai mandiri TA 1991.

4. Anggota Tim Peneliti: Pengendalian Sclerotium rolfsii pada kacang tanah dengan Bacillus subtilis BS-2. Didanai SPP/DPP Kompetitif TA 1992.

5. Ketua Tim Peneliti: Uji patogenitas tiga jamur entomopatogenik terhadap ulat jantung kubis (Crocidolomia binotalis Zeller). Didanai SPP/DPP Kompetitif TA 1992.

6. Ketua Tim Peneliti: Identifikasi jamur tular-benih pada benih hampa sepuluh varietas padi gogo. Didanai mandiri TA 1993.

7. Ketua Tim Peneliti: Uji ketahanan varietas dan galur kedelai terhadap penyakit karat daun. Didanai mandiri, TA 1994.

8. Anggota Tim Peneliti: Uji ketahanan beberapa galur dan varietas padi sawah pada fase generatif terhadap penyakit hawar pelepah daun (Rhizoctonia solani Kuhn) dan becan daun coklat (Helminthosporium oryzae v.B. de Haan). Didanai mandiri, TA 1994.

9. Ketua Tim Peneliti: Antibiotika 2,4-diacetylphloroglucinol: Pengaruhnya terhadap Rhizoctonia solani Kuhn dan Sclerotium rolfsii Sacc. in vitro. Didanai SPP/DPP Unsoed TA 2000/2001.

10. Ketua Tim Peneliti: Uji Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati terhadap jamur Sclerotium rolfsii Sacc. pada tanaman kedelai. Didanai SPP/DPP Fakultas Pertanian Unsoed TA 2001/2002.

11. Ketua Tim Peneliti: Uji Penerapan Agensia Hayati Pseudomonas fluorescens P60 in vivo Terhadap Penyakit Busuk Pangkal Batang Kacang Tanah. Didanai SPP/DPP Unsoed TA 2002/2003.

12. Ketua Tim Peneliti: Kajian geofitopatologis penyakit busuk rimpang tanaman jahe di wilayah Jawa Tengah. Didanai ARMP II TA 2002/2003.

13. Anggota Tim Peneliti: Perakitan Varietas Unggul Padi Gogo Berdaya Hasil Tinggi dan Aromatis untuk Meningkatkan Produksi dan Nilai Ekonomi Padi Gogo. Didanai HB X TA 2002/2003.

14. Anggota Tim Peneliti: Perakitan varietas unggul padi efisien hara nitrogen dalam upaya penghematan penggunaan pupuk buatan. Didanai HB XII TA 2002/2003.

15. Ketua Tim Peneliti: Pengendalian Penyakit Busuk Rimpang Jahe. Didanai ARMP II TA 2003/2004.

16. Anggota Tim Peneliti: Uji daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit karat delapan genotype kedelai. Didanai SPP/DPP Unsoed TA 2004/2005.

40

17. Anggota Tim Peneliti: Pola Penyebaran Penyakit Layu Bakteri oleh Ralstonia solanacearum Pada Beberapa Tanaman Famili Solanaceae. Didanai PKPP Unsoed TA 2005/2006.

18. Anggota Tim Peneliti: Uji Daya Hasil Dan Ketahanan Terhadap Hama Dan Penyakit Utama Galur Padi Gogo Beraroma. Didanai TPSDP Unsoed TA 2006/2007.

19. Ketua Tim Peneliti: Keefektifan Beberapa Jamur Antagonis Sebagai Pengimbas Ketahanan Tanaman Pisang Terhadap Penyakit Layu Fusarium. Didanai DIPA Fakultas Pertanian Unsoed TA 2008/2009.

20. Ketua Tim Peneliti: Penjaringan Mikroba Tanah Pada Lahan Kentang di Kecamatan Karangreja, Purbalingga. Didanai FIECSA TA 2008/2009.

Pengalaman Pengabdian pada Masyarakat1. Anggota Tim Penyuluh: Penyakit-Penyakit Virus Pada Tanaman Padi dan Cara

Penanggulangannya, di Desa Karangcegak, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Dati II Banyumas, 26 Juni 1986.

2. Anggota Tim Penyuluh: Penyakit-Penyakit Penting Pada Tanaman Cengkeh dan Penanggulangannya, di Desa Kemranggen, Kecamatan Susukan, Kabupaten Dati II Banyumas, 9 Maret 1987.

3. Anggota Tim Penyuluh: Penyakit-Penyakit Penting Pada Pepaya dan Cara Pengendaliannya, di Desa Sawangan, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Dati II Banyumas, 13 Juli 1992.

4. Anggota Panitia: Workshop on Applied Plant Protection, Fakultas Pertanian Unsoed, 22 Juni 1993.

5. Anggota Panitia: Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Yogyakarta, 6-8 September 1993.

6. Anggota Tim Penyuluh: Bimbingan Pengembangan Usahatani Kelapa, Melinjo, Buah-buahan, dan Peningkatan Pertanian Tegalan di Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Dati II Banyumas. 4 Oktober 1994.

7. Anggota Tim Penyuluh: Pengendalian hama dan penyakit tanaman tahunan yang berwawasan lingkungan di Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. Anggaran Rutin Unsoed TA 2000.

8. Narasumber: Pelatihan Pemuliaan Sederhana dan Penangkaran Benih Palawija/Bibit Hortikultura, Fakultas Pertanian, Unsoed, 28-31 Agustus 2000.

9. Narasumber: Diklat Karya Tulis Ilmiah Tingkat Karesidenan Banyumas, Himproagro, Fakultas Pertanian Unsoed, 21-22 Oktober 2000.

10. Narasumber: Kajian Rutin Unit Klinik Tani. Fakultas Pertanian Unsoed, 20 Maret 2002.

11. Narasumber: Diklat Karya Tulis Ilmiah Himasita, Fakultas Pertanian Unsoed, 30 Maret 2002.

12. Narasumber: BTP Unit Klinik Tani. Fakultas Pertanian Unsoed, 9 Nopember 2002.13. Narasumber: Pelatihan Organisasi Unit Klinik Tani, Fakultas Pertanian Unsoed, 12

Oktober 2002.14. Narasumber: LKMM dan Keakraban Himasita. Himasista Fakultas Pertanian Unsoed,

14 September 2002.15. Narasumber: Proses Aktualisasi Dinamika Individu. BEM Fakultas Pertanian Unsoed,

7-8 September 2002.

41

16. Narasumber: Penataran Calon Penulis Buku Ajar Perguruan Tinggi. DP3M SDM Dikti, Baturaden, Purwokerto, 11-21 Desember 2002.

17. Anggota Tim Penyuluh: Penyuluhan Hama dan Penyakit Tanaman Pertanian di Desa Prupuk Selatan, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Didanai SPP/DPP Unsoed, 2003.

18. Narasumber: Training Pengembangan Potensi. Himasae Fakultas Pertanian Unsoed, 21-23 Maret 2003.

19. Narasumber: Pelatihan Karya Tulis Ilmiah. Himasita Fakultas Pertanian Unsoed, 19 April 2003.

20. Narasumber: Penataran Kiat Menyusun Buku Ajar Perguruan Tinggi – DP3M SDM Dikti. Cisarua, Bogor,. 7-17 Juli 2003.

21. Pendamping: Pelatihan Penulisan Bahan Ajar Jarak Jauh Cetak dan On-line Angkatan II. Unsoed Purwokerto, 14-24 Juli 2003.

22. Narasumber: Pengenalan Kehidupan Kampus. Fakultas Pertanian Unsoed, 7 September 2003.

23. Narasumber: Training Managerial Keorganisasian. Himasela Fakultas Pertanian Unsoed, 19 Oktober 2003.

24. Narasumber: Pelatihan Pembuatan Bahan Ajar.PS Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Unsoed, 15 Nopember 2003.

25. Narasumber: Diklat Karya Tulis Ilmiah HIMASITA, Fakultas Pertanian Unsoed, 17 April 2004.

26. Narasumber: Pelatihan Penulisan Bahan Ajar, Jurusan HPT Fakultas Pertanian Unsoed, 24 April 2004.

27. Pendamping: Pelatihan Penguatan Kompetensi Pembimbing Akademik Perguruan Tinggi. Cisarua, Bogor, 9-19 Mei 2004.

28. Narasumber: Penataran Kiat Menyusun Buku Ajar Perguruan Tinggi – DP3M SDM Dikti, Cisarua, Bogor, 2-12 Juni 2004.

29. Narasumber: Penataran Kiat Menyusun Buku Ajar Perguruan Tinggi – DP3M SDM Dikti, Cisarua, Bogor, 27 Sept – 6 Okt 2004.

30. Konsultan: Penanganan penyakit ginseng CV Medical. Wonosobo, 2004/2005.31. Konsultan: Konsultasi PT. NTF dan PT. GGPC Lampung Tengah: Penyakit Pisang dan

Nenas. Terbanggi Besar, Lmpung Tengah, 1-3 Maret 2005.32. Narasumber: Pelatihan Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Himproagro. Fakultas Pertanian

Unsoed, 13 Maret 2005.33. Narasumber: Pelatihan Penulisan Proposal dan Jurnal Penelitian Dosen. Jurusan THP

Fakultas Pertanian, 2 April 2005.34. Narasumber: TA Mentoring Buku Ajar – FMIPA Unlam, Kalimantan Selatan, 8-11

Agustus 2005.35. Narasumber: Pelatihan Isolasi dan Identifikasi OPT. Jurusan HPT Fakultas Pertanian

Unsoed, 28 September 2005.36. Narasumber: Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah. Fakultas Peternakan Undip

Semarang, 30 September 2005.37. Konsultan: Penanganan penyakit layu Fusarium pada pohon beringin di PT Agro

Spice. Klaten, Juli-Oktober 2005.38. Narasumber: Pelatihan Penulisan Karya Tulis Mahasiswa, BEM Fakultas Pertanian

Unsoed, 28 Desember 2005.39. Narasumber: Bedah Buku “Penyakit Pascapanen: Sebuah Pengantar”, Fakultas

Pertanian Unsoed, 19 Desember 2006.

42

40. Narasumber: General Study Peranan Identifikasi Fusarium dalam Membantu Memecahkan Permasalahan Penyakit Layu Fusarium, Fakultas Pertanian Unsoed, 9 Mei 2007.

41. Moderator: Studium Generale Manajemen Penyakit Layu Fusarium Pisang oleh Prof. Ivan. Buddenhagen, Purwokerto, 17 Oktober 2007.

42. Narasumber: Pelatihan Karya Tulis Mahasiswa, Unit Klinik Tani, Fakultas Pertanian Unsoed, 7 Januari 2008.

43. Anggota Tim Perumus: Lokakarya Revisi Kurikulum Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Magister Pertanian Unsoed, 12-13 Mei 2008.

44. Narasumber: Pendidikan dan Pelatihan Karya Tulis Ilmiah, Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknik Unsoed, 17 Mei 2008.

45. Narasumber: Bedah Buku ”Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman” di Fakultas Pertanian, Unsoed, 3 Juni 2008

46. Pembimbing Lapangan: Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Percepatan Penuntasan Buta Aksara (KKN-PBA) Tahun Akademik 2008/2009 Semester Gasal di Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, 21 Juli – 3 September 2008.

47. Narasumber: Bedah Buku “Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman” di Fakultas Pertanian UNS Solo, 18 Desember 2008.

48. Narasumber: Pelatihan Penulisan Buku. Jurusan Sosiologi, FISIP, Unsoed, Baturaden Purwokerto, 20-21 Desember 2008.

49. Anggota: Tim Audit Mutu Akademik Internal Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. TA 2007-sekarang.

Publikasi Ilmiah1. Soesanto, L., N. Pusposendjojo, dan Tranggono. 1989. Etilen: Pengaruhnya terhadap

perkembangan penyakit antraknosa pada apel. Berkala Penelitian Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada 2(3B):733-738.

2. Soesanto, L. 2 Mei 1993. Penyakit tanaman jagung: Kemarau tiba, bulai mengancam. Wawasan. Hal. XIII.

3. Soesanto, L. 1993. Cabai besar: Penyakit dan usaha pengendaliannya. Agrica VIII(10):29-30.

4. Soesanto, L. 1997. Formation of microsclerotium of Verticillium dahliae. Book of Abstracts of 7th International Verticillium Symposium, Cape Sounion, Athens, 6-10 October 1997.

5. Soesanto, L. 2000. Patogen tular-benih: Peranannya dalam penentuan mutu benih. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pemuliaan Sederhana dan Penangkar Benih Palawija/Bibit Hortikultura, Fak. Pertanian, Unsoed, Purwokerto, 28-31 Agustus 2000.

6. Soesanto, L. 2000. Pemanfaatan agensia hayati dalam mewujudkan keseimbangan agroekosistem. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional & Rakorwil II HMPTI, Himasita Fak. Pertanian Unsoed, Purwokerto, 23 September 2000.

7. Widyatmoko, A., L. Soesanto, Kustantinah, dan S. Budiyono. 2001. Potensi antagonis Gliocladium sp. Terhadap penekanan penyakit layu Fusarium (Fusarium oxysporum Schlecht.) pada tanaman cabai (Capsicum annuum). Jurnal Pembangunan Pedesaan 1(3):29-36.

8. Pujiarto, D., L. Soesanto, dan Totok A.D.H. 2001. Pearl millet (Pennisetum typhoideum Rich.): Jamur-jamur isolat tular-benihnya. Jurnal Pembangunan Pedesaan 1(2):70-76.

43

9. Soesanto, L. and A.J. Termorshuizen. 2001. Effect of temperature on the formation of microsclerotium of Verticillium dahliae. J. Phytopathology 149:685-691.

10. Soesanto, L. 2001. Kajian Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati jamur Verticillium dahliae Kleb. J. Penelitian Pertanian Agrin 5(10):33-40.

11. Soesanto, L. 2001. Potensi Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati jamur-jamur tular-tanah. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Nasional PFI, Bogor, 22-24 Agustus 2001. Hal. 183-186.

12. Mawarni, T., L. Soesanto, dan D.S. Utami. 2002. Tanggapan beberapa varietas terung terhadap penyakit layu bakteri dan pengendalian hayatinya dengan Pseudomonas fluorescens. Jurnal Pembangunan Pedesaan 2(2):1-8.

13. Soesanto, L. and A.J. Termorshuizen. 2002. Recovery of microsclerotia of Verticillium dahliae from soil as subjected to various treatments. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 8(1):1-11.

14. Soesanto, L. and A.J. Termorshuizen. 2002. Arabidopsis thaliana (L.) Heyhn. Sebagai tanaman uji hayati untuk Verticillium dahliae. Tropika 10(2):152-161.

15. Soesanto, L. dan A.J. Termorshuizen. 2002. Pembentukan mikrosklerotium Verticillium dahliae Kleb. pada berbagai suhu. Eugenia 8(4):223-233.

16. Soesanto, L. 2002. Ecology and biological control of Verticillium dahliae. Jagad 1(1):20-24.

17. Soesanto, L. 2002. Pemanfaatan agensia hayati dalam mewujudkan keseimbangan ekosistem pertanian. Jagad 1(1):41-47.

18. Soesanto, L. 2002. Teknik pewarnaan jamur Talaromyces flavus. (Poster). Buku Acara dan Kumpulan Abstrak Seminar Nasional Biologi XVII, Perhimpunan Biologi Indonesia, Padang, 22-24 Juli 2002. Hal. P-11.

19. Soesanto, L., E. Pramono, D.S. Utami, dan A. Riswanto. 2003. Potensi Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati Sclerotium rolfsii Sacc. Pada tanaman kedelai. Prosiding Kongres XVII dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bandung, 6-8 Agustus 2003.

20. Soesanto, L. dan A.J. Termorshuizen. 2003. Penerapan Talaromyces flavus di permukaan tanah untuk mengendalikan Verticillium dahliae. Agrista 7(1):87-95.

21. Soesanto, L., R. Hidayat, dan D.S. Utami. 2003. Prospek pemanfaatan Pseudomonas fluorescens P60 untuk pengendalian penyakit busuk batang pada kacang tanah. J. Fitopatologi Indonesia 7(1):1-6.

22. Soesanto, L., Soedharmono, N. Prihatiningsih, A. Manan, E. Iriani, dan J. Pramono. 2003. Penyakit busuk rimpang jahe di sentra produksi jahe Jawa Tengah: 1. Identifikasi dan sebaran. Tropika 11(2):178-185.

23. Soesanto, L. and A.J. Termorshuizen. 2004. Pengendalian hayati Verticillium dahliae pada Arabidopsis thaliana dan terung dengan penggabungan Pseudomonas fluorescens dan Talaromyces flavus. Agroland 11(1):1-10.

24. Soesanto, L. 2004. Kemampuan Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati penyakit busuk batang kacang tanah in vivo. Eugenia 10(1):8-17.

25. Soesanto, L., E. Mugiastuti, dan W. Prihartono. 2004. Uji ketoksinan antibiotika 2,4-diacetylphloroglucinol terhadap sembilan isolat Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. zingiberi Trujillo. Eugenia 10(4):267-274.

26. Winarni, W., E. Pramono, Soedarmono, dan L. Soesanto. 2004. Uji kepatogenan beberapa isolat Fusarium oxysporum f.sp. zingiberi pada tanaman jahe Gajah. Hal. 128-

44

136. Dalam: L. Soesanto (Ed.), Prosiding Simposium Nasional I tentang Fusarium, Purwokerto, 26-27 Agustus 2004.

27. Rustati, R., L. Soesanto, dan M. Wachjadi. 2004. Pengendalian Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. zingiberi Trujillo pada tanaman jahe dengan disinvestasi tanah secara hayati. Hal. 259-267. Dalam: L. Soesanto (Ed.), Prosiding Simposium Nasional I tentang Fusarium, Purwokerto, 26-27 Agustus 2004.

28. Amalia, R., H.A. Djatmiko, dan L. Soesanto. 2004. Potensi beberapa antagonis dalam menekan Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. zingiberi Trujillo pada tanaman jahe. Hal. 301-312. Dalam: L. Soesanto (Ed.), Prosiding Simposium Nasional I tentang Fusarium, Purwokerto, 26-27 Agustus 2004.

29. Soesanto, L., Soedharmono, N. Prihatiningsih, A. Manan, E. Iriani, dan J. Pramono. 2005. Penyakit busuk rimpang jahe di sentra produksi jahe Jawa Tengah: 2. Intensitas dan pola sebaran penyakit. Agrosains 7(1):27-33.

30. Soesanto, L., Y.P. Dewi, dan N. Prihatiningsih. 2005. Pengenalan dini penyakit busuk rimpang jahe. J. Penelitian Pertanian Agrin 8(2):76-83.

31. Susilo, P., L. Soesanto, dan M. Wachjadi. 2005. Pengaruh penggunaan fungisida sintetis dan Trichoderma sp. secara tunggal atau gabungan terhadap penyakit hawar pelepah daun padi. Jurnal Pembangunan Pedesaan 5(1):34-41.

32. Soesanto, L. 2005. Isolation and identification of main pathogenic and antagonistic fungi on diseased ginseng crop. Presented in The 1st International Conference of Crops Security, Unibraw, Malang, 20-22 September 2005.

33. Waluyo, K.A., L. Soesanto, dan H.A. Djatmiko. 2005. Keefektifan tebukonazol dan Trichoderma harzianum tunggal atau gabungan terhadap tiga penyakit penting karena jamur pada padi sawah. Tropika 13(2):128-136.

34. Soesanto, L., Soedharmono, N. Prihatiningsih, A. Manan, E. Iriani, dan J. Pramono. 2005. Potensi agensia hayati dan nabati dalam mengendalikan penyakit busuk rimpang jahe. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 5(1):50-57.

35. Totok Agung D.H., Sunarto, Suwarto, Darjanto, dan L. Soesanto. 2005. Perakitan varietas unggul padi gogo berdaya hasil tinggi dan aromatik untuk meningkatkan produksi dan nilai ekonomi padi gogo. Agroland 12(3):298-303.

36. Maryani, A.D., L. Soesanto, dan T.A.D. Haryanto. 2005. Kajian ketahanan terhadap penyakit trotol dan struktur anatomi daun dari lima kultivar bawang merah (Allium ascalonicum L.). Tropika 13(2):113-121.

37. Sunarto dan L. Soesanto. 2005. Uji daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit karat delapan genotip kedelai. Agrin 9(1):58-65.

38. Angkat, S.E., L. Soesanto, dan E. Pramono. 2006. Pengaruh macam dan waktu aplikasi pestisida nabati terhadap perkembangan penyakit antraknosa pada pisang lepas panen. J. Pembangunan Pertanian 6(1):22-42.

39. Prabowo, A.K.E., N. Prihatiningsih, dan L. Soesanto. 2006. Potensi Trichoderma harzianum dalam mengendalikan sembilan isolat Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. zingiberi Trujillo pada kencur. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 8(2):76-84.

40. Maqqon, M., Kustantinah, dan L. Soesanto. 2006. Penekanan hayati penyakit layu Fusarium tanaman cabai merah. Agrosains 8(1):50-56.

41. Soesanto, L. 2006. Penyakit Fusarium pada Tanaman Pangan. Makalah Utama pada Seminar Nasional II dan Workshop Fusarium, Universitas Andalas, Padang, 14-16 Agustus 2006.

45

42. Sumiati, A., L. Soesanto, E. Mugiastuti, dan Y. Suryadi. 2007. Deteksi Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada benih beberapa galur dan varietas padi menggunakan antibodi poliklon dengan teknik NCM-ELISA. J. Agroland 14(2):96-100.

43. Santoso, S.E., L. Soesanto, dan T.A.D. Haryanto. 2007. Penekanan hayati penyakit moler pada bawang merah dengan Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, dan Pseudomonas fluorescens P60. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 7(1):53-61.

44. Musa, A.S., M. Wachjadi, dan L. Soesanto. 2007. Potensi beberapa pestisida nabati dalam upaya penyehatan tanah tanaman cabai in planta. Tropika 15(1):1-7.

45. Soesanto, L., Rokhlani, dan N. Prihatiningsih. 2008. Penekanan beberapa mikroorganisme antagonis terhadap penyakit layu Fusarium Gladiol. Agrivita 30(1):75-83.

Penghargaan1. 20 Besar Lomba Cipta Lagu Anak-Anak Tingkat Nasional, 1987.2. Dosen Teladan I Tingkat Fakultas Pertanian Unsoed, 2002.3. Dosen Teladan I Tingkat Universitas Jenderal Soedirman, 2002.4. Dosen Berprestasi II Tingkat Universitas Jenderal Soedirman, 2003.5. Satya Lancana Karya Satya XX Tahun, 2 Mei 2008.6. Hibah Insentif Penulisan Buku Ajar dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, 9 Oktober 2008.

46