ORASI ILMIAH LOEKAS

Embed Size (px)

Citation preview

ORASI ILMIAH:

Yang terhormat,Rektor selaku Ketua Senat beserta para Guru Besar dan anggota senat Universitas Jenderal Soedirman,

Para Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas, Ketua dan Sekretaris Lembaga, Direktur dan Asisten Direktur Pascasarjana, Ketua Unit Pelaksana Teknis, dan Ketua Jurusan di lingkungan Universitas Jenderal Soedirman,

Segenap para Dosen, Mahasiswa, Karyawan, dan alumni Universitas Jenderal Soedirman,

Para tamu undangan dan hadirin yang terhormat, serta sanak saudara dan keluarga yang berbahagia.

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,

Puji dan syukur yang pertama dan yang utama selalu saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakasih dan Mahakuasa atas segala rahmat, berkat, anugerah, dan kasih sayangNya kepada kita semua, sehingga kita dapat berkumpul di Gedung Soemardjito Universitas Jenderal Soedirman dalam keadaan sehat walafiat, untuk mengikuti acara pengukuhan saya sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Pada saat yang berbahagia ini, saya benar-benar merasakan kehormatan atas diberinya kesempatan untuk menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar pertama dalam bidang Ilmu Penyakit Tanaman Penting pada Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, dengan judul:

PENGENDALIAN HAYATI PATOGEN TANAMAN: PELUANG DAN TANTANGAN DALAM MENUNJANG KETAHANAN PANGAN BERKELANJUTAN

Pada pidato ini, saya akan mengemukakan peran ilmu penyakit tumbuhan dalam menopang ketahanan pengan, kerugian yang diakibatkannya, pengantar ke arah pengendalian hayati, peluang dan sekaligus tantangan yang ada dalam penerapan pengendalian hayati terhadap patogen tanaman, yang penting perannya di dalam menunjang ketahanan pangan secara berkelanjutan.

PERAN ILMU PENYAKIT TANAMAN DALAM MENOPANG KETAHANAN PANGAN

Hadirin yang saya hormati,

Penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas di dalam produksi tanaman pertanian. Akhir-akhir ini, bidang pertanian menjadi sangat penting karena merupakan sumber salah satu bahan baku untuk BBM etanol. Penyakit tanaman selalu ada di setiap musim tanam dan di setiap tanaman yang ditanam. Belum pernah terdengar berita sampai saat ini bahwa tanaman yang ditanam baik oleh petani atau pekebun terbebas dari penyakit tanaman. Hal ini diakui baik oleh para petani yang handal dalam dunia pertaniannya di pedesaan, pekebun yang ahli dalam mengolah lahan pekarangannya, maupun praktisi pertanian yang mengelola perkebunannya. Bahkan boleh dikatakan, selama kita masih memerlukan sandang, pangan, maupun papan, masalah penyakit tanaman, yang menimbulkan banyak masalah dan kerugian, selalu ada. Hal inilah yang menjadikan alasan sampai saat ini dunia pertanian, terutama kaitannya dengan masalah penyakit (dan hama) tanaman, masih memberikan peluang kesempatan kerja bagi para lulusan dan alumni Fakultas Pertanian, terutama yang menekuni bidang penyakit (dan hama) tanaman.

Penyakit tanaman sering disalah-artikan sama dengan hama tanaman, yang pada kenyataannya sangat jelas mempunyai perbedaan antar-keduanya. Bahkan para petani sering menyebut kerusakan karena patogen atau penyebab penyakit tanaman disebabkan oleh hama tanaman. Hal ini sangat keliru dan perlu diluruskan karena kondisi ini akan berkaitan erat dengan cara pengendalian yang akan diterapkan. Penyakit tanaman sangat berbeda dengan hama tanaman terutama dalam dua hal, yaitu bentuk kerusakan dan penyebab kerusakannya. Bentuk kerusakan tanaman karena penyakit tanaman berupa berubahnya warna dan sifat fisiologi tanaman, misalnya daun tanaman menjadi berbintik coklat atau kuning, tanaman nampak layu, dan biji yang dimakan terasa pahit; sedangkan kerusakan karena hama umumnya berupa berubahnya volume tanaman, misalnya daun berukuran tidak utuh karena hilang sebagian atau seluruhnya akibat digigit hama belalang atau ulat. Selain itu, penyebab penyakit tanaman, misalnya jamur, bakteri, dan virus, umumnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan harus dengan bantuan alat, seperti mikroskop; sedangkan penyebab hama tanaman dapat dilihat dengan mata telanjang, misalnya ulat, keong, afid, dan belalang.

Hadirin yang saya hormati,

Berbicara tentang ketahanan pangan tidaklah sama dengan berbicara tentang swasembada beras, dan ketersediaan pangan tidak identik dengan ketersediaan beras, meskipun soko guru ketahanan pangan masih bertumpu pada swasembada beras (Adnyana, 2006). Meskipun demikian, pada umumnya telah terjadi peningkatan produksi beberapa bahan pangan buah penting di Indonesia, tetapi di lain pihak terjadi penurunan produksi kedelai dan gula, sehingga masih tingginya nilai ekspor kedua komoditas tersebut (BPS, 2008). Meskipun komoditas sawit meningkat, namun harga minyak goreng sawit dunia mengalami kemerosotan yang tajam di penghujung tahun 2008. Hal ini menyebabkan dampak negatif terhadap banyak hal, seperti penghentian produksi, pemutusan tenaga kerja, penurunan devisa negara, dan penghentian perluasan lahan sawit (Harian Bisnis Indonesia, 2008; Kompas, 2008; Sadiman, 2008).

Pencapaian ketahanan pangan yang kuat tidak lepas dari upaya pengembangan varietas unggul baru secara besar-besaran, yang dikenal dengan revolusi hijau. Namun, sejarah membuktikan bahwa penggunaan varietas unggul juga tidak dapat berlanjut dalam jangka waktu lama. Selain hal ini disebabkan oleh adanya cekaman abiotik, juga yang paling penting adalah adanya cekaman biotik, yaitu adanya serangan hama dan patogen tanaman sekunder, yang sebelumnya tidak pernah terpikir ketika para pemulia tanaman meracik varietas unggul, meskipun ketahanan varietas tersebut terhadap hama atau patogen utama telah dikembangkan, sehingga ketahanan yang dimiliki oleh suatu varietas tanaman dapat patah. Selain itu, gen pada varietas unggul umumnya tidak dikaitkan dengan ketahanannya terhadap hama atau patogen tanaman, namun semuanya dikaitkan dengan produksi.

Oleh karenanya, konsep revolusi hijau menjadi kurang berhasil untuk mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan. Akibat dari hal itu, menurut Ghose (2004 dalam Adnyana, 2006), muncullah istilah revolusi hijau lestari, dengan sasaran lebih luas, yang mencakup 1) ke seluruh aspek agroekosistem mulai dari hulu, petani, sampai kepada konsumen akhir, 2) pemanfaatan kemajuan informasi teknologi dan bioteknologi, 3) sistem irigasi yang efisien, pestisida yang ramah lingkungan, dan pertanian yang sahih, dan 4) pemasaran, agroindustri, dan pengembangan infrastruktur pedesaan. Jadi, pengembangan dan pemanfaatan pestisida yang ramah lingkungan merupakan salah satu cakupan revolusi hijau lestari, yang menunjang kepada tercapainya ketahanan pangan yang kokoh.

Cekaman biotik tetap menjadi salah satu kendala utama dalam dunia pertanian. Masalah penyakit (dan hama) tanaman sampai kapan pun akan tetap menjadi masalah penting, khususnya apabila didukung oleh lingkungan yang sesuai dan penggunaan tanaman yang rentan. Konsep segitiga penyakit, yaitu patogen yang virulen dan agresif, tanaman yang rentan, dan lingkungan yang sesuai dan mendukung, sangat menentukan berhasilnya pertumbuhan tanaman dan selamatnya produk tanaman sampai ke konsumen, yang akhirnya bermuara pada ketahanan pangan nasional.

Salah satu faktor yang memengaruhi penurunan produksi komoditas tanaman pangan, dan juga komoditas tanaman perkebunan, hortikultura, dan kehutanan, adalah penyakit tanaman. Keberadaan penyakit tanaman di lahan pertanian dan perkebunan, bahkan di areal kehutanan, selalu menimbulkan masalah dan menjadi kendala dalam upaya meningkatkan produksi tanaman. Penyakit tanaman akan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan optimum, yang berakibat pada produksi karena tidak adanya pasokan fotosintat yang cukup. Kondisi ini apabila tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius akan menyebabkan terganggunya keberlanjutan produksi tanaman, yang akhirnya dapat mengganggu ketahanan pangan. Oleh karenanya, faktor pembatas penyakit tanaman tersebut perlu dikenali lebih baik, yang kemudian perlu diambil beberapa tindakan untuk mengendalikan atau mengelolanya, bukan memberantasnya.

KERUGIAN AKIBAT PENYAKIT TANAMAN

Keseimbangan ekosistem di lahan pertanian, perkebunan atau kehutanan perlu dijaga, bukannya menghilangkan atau memusnahkan salah satu pendukung ekosistem di lahan pertanian, perkebunan, atau kehutanan tersebut. Pemusnahan atau pemberantasan yang dilakukan akan menyebabkan timbulnya masalah lain, yang dapat mengakibatkan lebih parahnya kerusakan yang diakibatkannya dan lebih besarnya kerugian yang ditimbulkannya. Penghilangan komponen ekosistem di lahan tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan bahan kimia sintetis yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, pengendalian atau pengelolaan penyakit tanaman merupakan istilah yang tepat untuk menggambarkan upaya menjaga atau mewujudkan keseimbangan ekosistem di lahan tersebut. Keseimbangan ekosistem yang terjaga dengan baik akan mendukung pertumbuhan tanaman dan memengaruhi produksi tanaman, yang nantinya akan mampu mempertahankan ketahanan pangan.

Penyakit tanaman merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi tanaman, baik tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura, maupun tanaman hutan, yang perlu dikenali dan dikelola dengan bijak (Soesanto, 1997; Pujiarto et al., 2001; Soesanto, 2005; Soesanto et al., 2005). Penyakit tanaman sejak dahulu kala telah banyak ditulis dan dibicarakan, khususnya dalam hal akibat yang ditimbulkannya. Seperti diketahui, penyakit tanaman dapat menimbulkan beragam kerugian, baik di tingkat tanaman, petani (lokal), regional, nasional, dan bahkan dunia. Beberapa kerugian akibat penyakit tanaman yang sempat dicatat (Stakman and Harrar, 1957; Mehrotra, 1983; Agrios, 1997; Bohmont, 1997), di antaranya 1) penurunan kuantitas produk tanaman, 2) penurunan kualitas produk tanaman, 3) pembatasan jenis tanaman dan industri di wilayah tersebut, 4) kegagalan panen, 5) penurunan pendapatan petani, 6) terjadinya kelaparan, kematian, dan perpindahan penduduk, dan 7) pengubah kebijakan pemerintah.

1. Penurunan kuantitas produk tanaman. Tanaman pertanian yang dibudidayakan yang terkena penyakit tanaman akan tumbuh merana dan terhambat. Hal ini karena patogen tanaman menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia tanaman, yang ditandai dengan perubahan warna, bentuk, bahkan fungsi jaringan tanaman akibat terhambatnya pasokan air dan hara dari akar ke bagian tanaman di atasnya. Adanya perubahan tersebut menyebabkan produksi fotosintat menjadi berkurang, yang akan berpengaruh pada berkurangnya hasil metabolismen tanaman yang disimpan baik pada buah, biji, bunga, atau umbi dan ubi. Hal ini akan mengurangi hasil tanaman yang akhirnya terjadi penurunan produksi tanaman. Kehilangan jumlah atau kuantitas produk tanaman beragam, dari rendah sampai tinggi (100%) dan kehilangan ini tidak saja terjadi ketika tanaman di lapangan, tetapi juga ketika di penyimpanan dan bahkan sampai ke konsumen. Misalnya, patogen karat yang menyerang pertanaman kopi, telah menurunkan produksi biji kopi. Penurunan kuantitas produksi tanaman berkaitan erat dengan pengurangan luas tanam. Misalnya, pada daerah sentra pisang, seperti di Propinsi Lampung, luas wilayah tanaman pisang berkurang dari sekitar 500 hektar menjadi 150 hektar akibat serangan jamur patogen Fusarium sp. (Kompas, 2003). Bahkan dilaporkan bahwa patogen layu Fusarium juga telah menyerang tanaman pisang kultivar Barangan di beberapa kabupaten di Kalimantan Timur, sehingga dari luasan tanam tanaman pisang seluas 30.000 hektar, areal tanam yang terserang mencapai 11.000 hektar atau lebih dari 30% (Kompas, 2007). Akibat dari berkurangnya luas tanam tersebut adalah menurunnya produksi pisang per satuan luas. Di samping itu, secara langsung patogen tanaman mengakibatkan rusaknya produk tanaman, yang berlanjut kepada penurunan produksi.

2. Penurunan kualitas produk tanaman. Kehilangan tanaman akibat adanya penyakit tanaman dapat berakibat pada penurunan kualitas produk tanaman yang dihasilkan. Adanya noda atau bercak pada produk tanaman dapat mengurangi manfaat kualitas produk sehingga menurunkan daya jual dan akhirnya akan memengaruhi pendapatan petani. Bebuahan yang memar atau rusak selama dalam pengangkutan atau penyimpanan, serta sesayuran yang rusak akibat penyimpanan tidak sesuai, akan menurunkan nilai jualnya, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani buah dan sayur (Soesanto, 2006b). Bahkan pemanenan buah yang tidak tepat umur panen akan memengaruhi keparahan penyakit, karena pengaruh dari kandungan etilen di dalam buah (Soesanto et al., 1989). Selain itu, pada produk bebijian, adanya penyakit benih akan mengubah susunan hara di dalam benih, khususnya pada benih yang banyak mengandung lemak, protein, dan hara lain untuk manusia dan hewan (FAO, 1983; 1990). Akibatnya, pada benih tersebut patogen tanaman akan menghasilkan toksin, yang berbahaya bagi konsumen, selain mengurangi manfaat biji baik sebagai benih maupun sebagai bahan makanan. Oleh karenanya, penurunan kualitas produk tanaman tidak saja karena kenampakan produk yang cacat, tetapi juga adanya perubahan di dalam produk. Menurut Agarwal dan Sinclair (1987), perubahan dan kerusakan biokimia dalam kualitas hara biji merupakan salah satu kehilangan akibat patogen tular-benih. Beberapa jamur yang dapat menurunkan kualitas hara biji kedelai, adalah Phomopsis sp., Aspergillus flavus, Botryodiplodia sp., dan Cladosporium herbarum. Hal ini sering tidak disadari oleh manusia dengan tetap mengonsumsi biji yang sudah berubah bentuk dan warnanya akibat patogen tanaman. Jamur patogen benih dapat menghasilkan senyawa beracun, yang dikenal dengan mikotoksin. Manusia atau hewan yang mengonsumsinya akan dapat sakit baik di bagian dalam tubuh, berkaitan dengan sistem syaraf, atau lainnya dan bahkan dapat mengalami kematian. FAO (1990) melaporkan bahwa beragam jaringan dan bagian tubuh, seperti sistem hati, ginjal, syaraf, dan gastro-intestinal dapat dipengaruhi oleh mikotoksin. Bahkan mikotoksin dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, berperan dalam mutagen, karsinogen, dan teratogen. Beberapa jamur yang dapat menghasilkan mikotoksin, di antaranya Aspergillus flavus, A. parasiticus, A. ochraceus, A. clavatus, A. versicolor, Claviceps purpurea, C. fusiformis, Fusarium graminearum, Penicillium citrinin, P. expansum, P. cyclopium, dan P. viridicatum.

3. Pembatasan jenis tanaman dan industri di wilayah tersebut. Penyakit tanaman dapat membatasi jenis tanaman yang tumbuh pada wilayah geografi yang luas. Hal ini karena tanah di wilayah tersebut mengandung begitu banyak inokulum atau bahan penyakit tanaman, yang menyebabkan penyakit tanaman selalu muncul di setiap musim tanam. Oleh karenanya, jenis tanaman tertentu tidak akan dapat ditanam lagi di daerah tersebut dan diganti dengan jenis tanaman lainnya. Sebagai contoh, kondisi tanah yang tercemar patogen tanaman yang terjadi di Kalimantan Timur, yaitu arealnya sudah terkontaminan jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense, yang tidak dapat lagi ditanami pisang jenis ambon (Kompas, 2007), yang akan diganti dengan tanaman pisang kultivar kepok nir-jantung (budless kepok, Musa balbisiana) (Witjaksono, 2008. Komunikasi Pribadi). Selain itu, penyakit tanaman juga menentukan jenis industri berbasis pertanian di wilayah tersebut dan juga aras tenaga kerjanya, dengan cara memengaruhi jumlah dan jenis produk pertanian yang tersedia bagi pengalengan atau pemrosesan lokal. Industri berbasis pertanian atau dikenal dengan agroindustri akan tergantung pada pasokan produk pertanian yang ada. Apabila sudah tidak ada lagi produk yang mendukungnya, maka industri tersebut akan tutup atau beralih ke industri lain. Hal ini dialami oleh industri keripik pisang di Lampung; akibat makin sukarnya mencari bahan baku pisang, karena adanya penyakit layu Fusarium (Kompas, 2003). Di samping itu, adanya penyakit tanaman akan menciptakan industri baru yang ditujukan untuk mengendalikan penyakit tanaman, misalnya industri kimia, mesin, atau lainnya.

4. Kegagalan panen. Penyakit tanaman tidak saja dapat menurunkan produksi tanaman, tetapi juga dapat menggagalkan panen karena tanaman mati. Sekitar 90% tanaman pangan dunia dimulai dari biji, artinya, biji merupakan bagian tanaman terpenting untuk mengawali pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kehilangan tanaman di beberapa negara pertanian adalah beragam, dari sebesar 30% sampai mencapai 100% (Agarwal and Sinclair, 1987; Maude, 1996). Kematian tanaman akibat penyakit tanaman dapat terjadi sejak dari biji mulai berkecambah, pembibitan, tanaman muda, atau tanaman tua (berproduksi). Patogen tanaman dapat menyerang di setiap bagian kehidupan tanaman, dan di setiap bagian tanaman, yaitu mulai dari akar sampai buah atau biji. Serangan patogen tanaman sangat beragam ganasnya tergantung dari berbagai faktor yang memengaruhinya, terutama kelembapan udara yang tinggi dan tersedianya hara bagi patogen tanaman tersebut.

5. Penurunan pendapatan petani. Penyakit tanaman ternyata juga dapat menyebabkan pendapatan petani menurun. Penurunan pendapatan ini dapat pula disebabkan bertambahnya biaya produksi dan pascaproduksi, yang dapat berasal dari biaya pembelian saprodi, pembuatan gudang simpanan, pembuatan fasilitas pengeringan, pengemasan, dan bahkan pemasaran produk pertanian karena keterbatasan waktu yang ada antara waktu panen, perlakuan pascapanen, pengangkutan, sampai ke konsumen. Biaya lainnya sering tidak dapat diprakirakan karena penyebaran penyakit tanaman yang beragam dan penanganan penyakit tanaman yang lebih intensif. Sebagai contoh adalah serangan jamur patogen penyakit layu Fusarium pada pisang kultivar Cavendish di Lampung, yang telah menghentikan ekspor pisang kultivar Cavendish di tahun 2002 (Kompas, 2003). Hal tersebut berpengaruh terhadap pendapatan petani atau pekebun pisang, dan bahkan perusahaan yang bergerak di bidang budidaya tanaman pisang. Selain itu, keberadaan patogen sering tidak diketahui, mengingat penyebab penyakitnya berupa mikroba yang kasat mata. Hal ini sering menyebabkan kerugian bagi petani ketika produk tanamannya, yang ketika dipanen nampak mulus tanpa cacat, tetapi setelah dipasarkan nampak gejala, yang menyebabkan hasil panennya tidak laku dijual. Kondisi ini, misalnya, dialami sebuah perusahaan pisang di Lampung, ketika mengekspor pisang kultivar Cavendish ke Jepang harus mengalami kerugian sangat besar karena buah pisang sebanyak satu kontainer harus dimusnahkan oleh pihak karantina Jepang. Hal ini karena pada buah pisang yang nampak segar dan sehat ketika dibawa dari Lampung, ternyata membawa bakteri patogen penyakit darah, salah satu penyakit yang sangat berbahaya bagi tanaman pisang (Ir. R.A. Wardhana, Komunikasi pribadi, 2007). Berapa kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan swasta tersebut dengan adanya kejadian itu?

6. Terjadinya kelaparan, kematian, dan perpindahan penduduk. Penyakit tanaman juga dapat menyebabkan terjadinya bencana kelaparan dan kematian manusia, serta terjadinya perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain. Hal ini dikarenakan kegagalan panen produk pertanian, khususnya produk pangan, akibat serangan patogen tanaman. Kasus terkenal dalam dunia penyakit tanaman adalah ketika penyakit lanas pada kentang, yang disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans, melanda di Irlandia pada masa waktu 1840 sampai 1847, yang menyebabkan kegagalan panen kentang, sebagai makanan utama mereka. Kejadian ini termasuk juga melanda di banyak negara pengonsumsi kentang di Eropa, Amerika, dan Kanada (Mehrotra, 1983). Kondisi ini menyebabkan bencana kelaparan yang hebat dan bahkan kematian dari sepertiga penduduknya, sedangkan lainnya bermigrasi ke negara lain. Banyak kasus kegagalan panen akibat serangan patogen tanaman pada tanaman pangan di beberapa negara, yang menyebabkan kelaparan dan juga kematian umat manusia, selain hewan.

7. Pengubah kebijakan pemerintah. Penyakit tanaman juga mampu membuat pemerintah mengubah kebijakannya dalam bidang pertanian. Hal ini terkait erat dengan besarnya kerugian yang diakibatkan oleh serangan patogen tanaman pada jenis tanaman tertentu. Keadaan ini dulu sekitar tahun 1880-an pernah terjadi di negara kita, dengan adanya serangan patogen karat pada tanaman kopi, yang waktu pertama kali ditanam adalah jenis kopi Arabica; dengan adanya penyakti karat kopi tersebut, pemerintah mengubah kebijakan penanaman kopi Arabica, diganti dengan kopi Liberia, dan akhirnya dengan kopi Robusta (Semangun, 1988). Perubahan kebijakan ini tentunya diikuti dengan berubahnya segala sesuatu yang berkaitan dengan perkopian, dan tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk mengubah kebijakan tersebut. Hal terbaru yaitu dengan adanya penyakit layu pada tanaman pisang di Kalimantan, yang terutama disebabkan oleh jamur patogen Fusarium oxysporum f.sp. cubense, hampir semua tanaman pisang jenis Barangan mati di sepanjang lintas trans-Kalimantan. Pemerintah setempat mengubah penanaman pisang jenis Barangan dengan jenis Musa balbisiana dalam jumlah besar (saat ini sedang memesan bibitnya sebanyak lebih kurang 50.000 bibit ke LIPI), yang membutuhkan dana besar. Belum termasuk biaya lainnya yang harus dikeluarkan pemerintah daerah dan pekebun pisang.

PERAN FUNGISIDA SINTETIS

Hadirin yang saya hormati,

Berdasarkan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh adanya penyakit tanaman dan masih belum dapat diselesaikan permasalahan penyakit tanaman di lapangan, maka penyakit tanaman saat ini masih tetap menjadi pusat perhatian bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pertanian. Apabila hal ini terus berlanjut dan belum ada cara tepat untuk mengendalikan patogen tanaman, maka dapat dipastikan pertumbuhan tanaman tidak akan dapat selamat dan produk yang dihasilkan tidak optimum atau sesuai dengan sasaran dan tujuan. Kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyakit tanaman tersebut dapat berakibat lebih luas dan berdampak negatif pada keberlanjutan tanaman, yang sangat terkait erat dengan keberlangsungan ketahanan pangan.

Upaya untuk mengendalikan penyakit tanaman telah banyak dilakukan dan akan terus diupayakan, meskipun sampai saat ini masih belum dapat memecahkan masalah tersebut. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengendalikan penyakit tanaman, adalah dengan bahan kimia, karena hasilnya dapat langsung dilihat dan cepat dirasakan. Akan tetapi, tidak selamanya bahan kimia dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman. Banyak berita tentang ketidak-mampuan bahan kimia di dalam mengatasi masalah penyakit tanaman, sehingga petani harus menggunakannya dengan cara yang tidak bijaksana, misalnya dengan tidak memperhatikan dosis anjuran, menyampur lebih dari satu macam bahan kimia, dan cara memberikannya tidak disemprotkan, tetapi disiramkan ke tanaman atau ke tanah. Hal tersebut dilakukan karena para petani kita sudah tidak sabar lagi di dalam mengatasi masalah penyakit tanaman, di samping karena ketidak-tahuan petani akan akibat negatif yang ditanggung baik oleh petani dan keluarganya, lingkungan, maupun oleh konsumen.

Ada beberapa bahan kimia yang telah dilarang digunakan lagi untuk mengendalikan penyakit tanaman (Hassan, 1998). Hal ini karena penggunaan bahan kimia dapat berakibat negatif (Oudejans, 1985; Untung, 1996; Gamliel et al., 1997), di antaranya menimbulkan ketahanan pada patogen tanaman yang menyebabkan bahan kimia tidak mempan digunakan, terbunuhnya mikroba bukan sasaran dan munculnya patogen sekunder yang lebih berbahaya, menambah biaya produksi karena semakin mahalnya harga bahan kimia, menyebabkan polusi lingkungan terutama air tanah dan tanah, memengaruhi kesehatan petani dan keluarganya terutama bila yang berhadapan langsung di lapangan adalah ibu yang sedang hamil atau menyusui, dan memengaruhi kesehatan konsumen yang mengonsumsi produk pertanian tercemar bahan kimia tersebut.

Oleh karena itu, untuk mencegah atau menghindari dampak negatif tersebut, perlu diupayakan pengembangan dan pemanfaatan pestisida yang ramah lingkungan, yang merupakan salah satu cakupan revolusi hijau lestari, untuk menunjang tercapainya ketahanan pangan yang kokoh kuat (Ghose, 2004 dalam Adnyana, 2006). Pestisida yang ramah lingkungan akhir-akhir ini telah banyak dibicarakan, dikembangkan, dan digunakan dalam dunia pertanian. Misalnya, pengembangan pestisida nabati yang berasal dari bahan tanaman dan tumbuhan, meskipun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam.

Selain itu, pemanfaatan mikroba berguna untuk mengendalikan mikroba patogen tanaman dan hama tanaman juga telah banyak dikembangkan; bahkan sudah ada yang dipasarkan secara komersial, misalnya pengendalian hama tanaman dengan menggunakan insektisida hayati berbahan aktif bakteri Bacillus turingiensis. Hal inilah yang dikenal dengan istilah pengendalian hayati. Istilah pengendalian hayati, secara umum, adalah pengendalian patogen tanaman dengan menggunakan agensia hidup selain manusia, dan bukan dengan agensia kimia sintetis, atau meminjam istilah iklan jeruk makan jeruk, maka di dalam pengendalian hayati, mikroba patogen dihadapi dengan mikroba berguna atau antagonis.

Sebelum lebih jauh membicarakan pengendalian hayati, maka terlebih dahulu saya akan menyampaikan pemikiran saya tentang peristilahan. Istilah agensia merupakan istilah yang sengaja saya usulkan untuk digunakan sebagai pengganti istilah agens, yang berkonotasi majemuk dengan adanya huruf akhir s pada kata agens, meskipun istilah agens tersebut telah dimasukkan ke dalam kamus Bahasa Indonesia. Pada hal, dalam Bahasa Indonesia sendiri, kita tidak mengenal kata berakhiran huruf s yang menunjukkan kata tersebut sebagai kata majemuk (plural), seperti yang dijumpai dalam Bahasa Inggris.

PENGERTIAN PENGENDALIAN HAYATI

Pengertian pengendalian hayati, seperti dikemukakan oleh K.F. Baker dan R.J. Cook, dalam bukunya berjudul Biological Control of Plant Pathogens yang terbit pada tahun 1974 dan buku keduanya berjudul The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens yang terbit pada tahun 1983, diberikan definisi dalam arti luas. Di dalam definisi tersebut, pengendalian hayati termasuk penggunaan macam organisme untuk mengendalikan patogen dan penggunaan tanaman tingkat tinggi sebagai salah satu cara terbaik dan paling efektif dalam pengendalian hayati.

Definisi yang luas itu sampai kini masih dapat diterima para ahli patologi tanaman, meskipun masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Akan tetapi, pengaruh pengendalian hayati pada definisi yang luas itu juga termasuk tindakan budidaya yang berhasil dan pemuliaan tanaman untuk ketahanan tanaman inang. Penggunaan tanaman inang tahan dalam pengendalian hayati bukan merupakan sesuatu yang aneh bagi para ahli patologi tanaman. Misalnya, jika gen yang mengatur produksi senyawa penghambat patogen tanaman dibawa dan dinampakkan dalam sel bakteri pengoloni akar, dan bakteri tersebut saat diterapkan sebagai perlakuan benih, mampu mengoloni dan melindungi akar tanaman, maka kondisi ini dikenal dengan pengendalian hayati (Garret, 1965; Cook, 1985).

Begitu pula, jika gen tersebut kemudian dipindah secara rekayasa genetika ke genom tanaman inang dan kemudian gen tersebut ternyata mampu menampakkan kegiatannya dengan menghasilkan senyawa penghambat, yang dilepas melalui eksudat akar, maka keadaan ini juga dikenal dengan pengendalian hayati. Baik gen tersebut berada di dalam mikroba maupun di dalam sel tanaman, dapat disebut sebagai pengendalian hayati.

Oleh karena itu, pengendalian hayati, menurut Cook (1985), dapat didefinisikan sebagai semua kondisi atau praktik yang berpengaruh terhadap penurunan daya tahan atau kegiatan patogen tanaman melalui interaksi dengan agensia organisme hidup lainnya (selain manusia), yang menghasilkan penurunan keberadaan penyakit yang disebabkan oleh patogen. Definisi resmi tersebut lebih menyeluruh karena menggabungkan pengertian pengendalian hayati yang terjadi secara alami dan yang dibuat, yang melibatkan baik mikroba maupun makroba lain selain tanaman sakit atau rusak. Meskipun manusia tidak termasuk dalam pengendalian hayati, namun elemen tindakan budidaya, pemilihan dan pemuliaan tanaman tahan penyakit, yang kesemuanya dilakukan oleh manusia, termasuk ke dalam komponen pengendalian hayati.

Pengendalian hayati tidak seharusnya dikenal sebagai sebuah ilmu yang terutama hanya didasarkan pada disiplin ekologi, taksonomi, dan mikrobiologi tanah saja. Pengendalian hayati juga didasarkan pada disiplin genetika tanaman dan mikroba, biologi molekul, sitologi, biokimia, fisiologi tanaman, dan banyak lainnya. Jadi, disiplin ilmu yang mendasari pengendalian hayati harus lengkap, menyeluruh dan terpadu, yang nantinya dapat melengkapi pengertian pengendalian hayati. Pengendalian hayati dapat didekati dengan manipulasi genetika, baik pada tanaman, antagonis, maupun patogennya sendiri, dan langsung pada tingkat ekosistem, populasi, atau individu.

Pengendalian hayati yang didefinisikan secara luas dapat terjadi jauh dari tanaman, atau terjadi pada tanaman, atau bahkan berlangsung di dalam tanaman. Hal ini sering terjadi dan erat kaitannya dengan hubungan antara tanaman dan patogennya. Pengendalian hayati sekarang ini telah menjadi batu penjuru dari upaya pengelolaan penyakit tanaman yang ramah lingkungan dan menghasilkan produk tanaman yang sehat dan aman (Soesanto, 2008).

Produk tanaman yang sehat sesuai dengan usulan tim landmark pangan Kementrian Riset dan Teknologi, yaitu agar Indonesia dapat menjadi salah satu dapur pangan sehat di dunia (Adnyana, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan lebih majunya beberapa negara di Asia di dalam menyikapi revolusi hijau lestari. Misalnya, India telah mengadopsi revolusi hijau lestari dengan sasaran sebagai pabrik pangan dunia. Thailand dengan sasaran sebagai dapur pangan dunia mulai 2010, dan Malaysia dengan sasaran sebagai pusat pengembangan makanan halal dunia.

Oleh karena itu, produk tanaman yang sehat dan aman menjadi sasaran kita semua serta produk tanaman yang sehat dan aman tidak dihasilkan dari penggunaan bahan kimia yang terus menerus dan tidak bijaksana di dunia pertanian, seperti pemakaian pestisida dan pupuk kimia sintetis. Khususnya dengan penggunaan pestisida kimia, banyak dampak negatif yang dapat timbul (Bohmont, 1997; Beaumont, 1998), seperti yang telah dijelaskan di muka, sehingga pengendalian hayati dengan menggunakan mikroba berguna dan agensia hidup merupakan jawaban dari permasalahan tersebut. Jadi jelaslah bahwa pengendalian hayati berperan penting di dalam ketahanan pangan yang berlanjut karena dapat mencegah dan mengurangi dampak negatif tersebut serta dapat mendukung produk tanaman yang sehat dan aman.

SEJARAH PENGENDALIAN HAYATI

Hadirin yang saya hormati,

Sejarah pengendalian hayati dimulai sejak Atkinson menemukan adanya keragaman keparahan penyakit layu Fusarium di tahun 1892, dan keragaman tersebut ternyata dipengaruhi oleh jenis tanah (Garret, 1965). Penelitian ke arah tersebut terus berlanjut, misalnya di awal tahun 1908, Potter menjumpai adanya penghambatan patogen tanaman oleh penumpukan hasil metabolitnya, kemudian tahun 1926, Sanford membuktikan bahwa pupuk hijau ternyata dapat digunakan untuk mengatasi penyakit kudis kentang. Pada tahun 1927, Millard dan Taylor menemukan bahwa penyakit kudis kentang (Streptomyces scabies) dapat dikendalikan dengan inokulasi S. praecox. G.B. Sanford dan W.C. Broadcast membuktikan keberadaan patogen Ophiobolus graminis dapat ditekan oleh kegiatan antagonis jamur dan bakteri, yang kemudian menerbitkan hasil penelitiannya tentang pengendalian hayati jamur penyebab take-all pada gandum, dalam Phytopathology tahun 1926; untuk pertama kalinya digunakan istilah pengendalian hayati dalam patologi tanaman. Pengaruh artikel Sanford dan Broadcast sangat besar pada dunia patologi tanaman, yaitu mulai berkembangnya cara pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan mikroba antagonis. Penelitian ke arah pengendalian hayati patogen tanaman, terutama yang bersifat tular-tanah, mulai berkembang.

Pada tahun 1930, Fawcett, presiden Perhimpunan Fitopatologi Amerika, mempertajam adanya agensia pengendali hayati, yang disampaikan dalam pidatonya berjudul the importance of investigations on the effect of known mixtures of organisms. Di dalam waktu singkat, setelah pidato tersebut, seorang mahasiswa Fawcett, R. Weindling, menerbitkan seri artikel pertamanya tentang parasitisme Trichoderma viride terhadap jamur tanah lainnya. Sejak saat itulah, perhatian dunia terhadap pengendalian hayati makin terbuka lebar dan makin banyak penelitian bermunculan, khususnya ke arah produksi antibiotika di dalam tanah.

Penelitian tentang agensia pengendali hayati patogen tanaman terus berkembang dan berlanjut. Temuan demi temuan kaitannya tentang manfaat pengendalian hayati terus bermunculan, termasuk ke arah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh agensia pengendali hayati. Jenis mikroba tanah yang berguna untuk mengendalikan patogen tanaman terus ditemukan dan teridentifikasi, misalnya penemuan toksin gliotoksin dan viridin yang dihasilkan oleh jamur Trichoderma viridae oleh masing-masing Wright pada tahun 1956 serta oleh Brian dan McGowan tahun 1945.

Penelitian ke arah antibiotika yang dihasilkan oleh agensia pengendali hayati di dalam tanah, merupakan topik yang selalu menarik perhatian ilmuwan untuk menelitinya. Sampai sekarang ini, penelitian ke arah pengendalian hayati tetap banyak dan telah berhasil mengungkat beragam agensia pengendali hayati beserta mekanismenya baik secara konvensional maupun secara bioteknologi. Bahkan pengembangan penelitian tentang antibiotika yang dihasilkan oleh bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens, yaitu 2,4-diasetilfloroglusinol, telah sampai pada produksi antibiotika dalam skala industri.

Berdasarkan data pengalaman penelitian tentang pengendalian hayati yang telah saya uraikan dan pemanfaatan di dunia pertanian untuk mengendalikan penyakit tanaman, nampak jelas adanya peluang dan sekaligus tantangan dalam menggunakan agensia pengendali hayati untuk memecahkan masalah penyakit tanaman di masa yang akan datang. Pengetahuan akan peluang dan sekaligus tantangan tersebut diperlukan untuk memperkirakan tingkat keberhasilan penggunaan agensia pengendali hayati tersebut, khususnya dalam memenuhi salah satu syarat revolusi hijau lestari, untuk menunjang dan memperkokoh ketahanan pangan secara sinambung dan berkelanjutan.

PELUANG PENGENDALIAN HAYATI PATOGEN TANAMAN

Telah saya uraikan bahwa banyak kasus penyakit tanaman yang belum dapat diselesaikan sampai sekarang, selalu ada di setiap musim tanam, serta dijumpai di semua jenis tanaman. Kerugian yang ditimbulkan oleh adanya penyakit tanaman juga beragam dan memengaruhi semua aspek kehidupan manusia; sedangkan pengendalian dengan pestisida kimia sintetis belum dapat berhasil memecahkan masalah penyakti tanaman. Oleh karena itu, munculnya pengendalian hayati perlu disambut dengan baik dan perlu dimasyarakatkan, untuk mendukung keseimbangan ekosistem pertanian dan dalam menunjang ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan. Dorongan untuk menerapkan pengendalian hayati, sebagai salah satu cara untuk mengendalikan patogen tanaman, berasal dari peluang yang ada dan sekaligus tantangan di dalam pengembangan cara tersebut.

Beberapa peluang yang diketahui dari penggunaan agensia pengendali hayati untuk mengatasi masalah penyakit tanaman, menurut Greathead (1995) dan Soesanto (2008), yaitu 1) kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang sehat dan aman, 2) ketidak-mampuan fungisida sintetis, 3) kepedulian akan keseimbangan ekologi dan keamanan lingkungan, 4) kesadaran petani dan keluarganya akan masalah kesehatan, 5) biaya eksplorasi agensia hayati yang rendah, 6) bertambahnya biaya produksi pertanian, 7) waktu penyiapan agensia hayati yang singkat, 8) ketersediaan agensia hayati melimpah di alam, dan 9) produksi metabolit sekunder.

1. Kesadaran masyarakat dunia akan produk pertanian yang sehat dan aman

Masyarakat dunia saat ini sudah menyadari akan bahaya residu pestisida dan bahan kimia sintetis lainnya di dalam produk pertanian yang dikonsumsi. Kesadaran ini menyebabkan mereka berlomba untuk menyediakan produk pertanian yang sehat dan aman tersebut, baik yang diimport maupun yang dibudidayakan sendiri. Kondisi ini berdampak positif bagi kesehatan umat manusia, tetapi di sisi lain juga berdampak negatif bagi produsen atau pengekspor produk pertanian, terutama dari negara agraris, seperti Indonesia, yang belum mempertimbangkan masalah mutu produk dibandingkan dengan kuantitas produk pertanian. Banyak produk pertanian dari Indonesia yang ditolak oleh negara pengimpor ketika didapati residu bahan kimia di dalam produk tersebut. Apalagi dengan diterapkannya SPS (Sanitary and Phytosanitary) dan perdagangan bebas dunia atau Asia, serta pembakuan kualitas produk pertanian, maka akan sangat sukar bagi produk pertanian Indonesia untuk dapat bersaing di tingkat regional atau internasional, jika masih mendasarkan pertanamannya dengan bahan kimia sintetis. Oleh sebab itu, untuk mengurangi dampak negatif tersebut, petani seharusnya sudah mulai bangkit untuk bertanam tanaman secara sehat atau organik, meskipun produk organik masih belum mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Di dalam menunjang ke arah produksi pertanian yang sehat dan aman tersebut, pengendalian hayati merupakan salah satu pemecahannya dan sangat mendukung ke arah tersebut. Hal ini karena apabila dibandingkan dengan penggunaan agensia kimia sintetis, agensia pengendali hayati jelas tidak beracun terhadap manusia atau hewan, khususnya apabila diterapkan pada saat panen atau pascapanen, karena metabolit sekunder yang dihasilkan oleh agensia hayati akan mudah terurai oleh alam. Selain itu, metabolit sekunder yang dihasilkan tidak sesuai untuk manusia dan hewan. Produk pertanian juga tidak menyimpan residu agensia pengendali hayati di dalamnya, sehingga produk tersebut aman untuk dikonsumsi. Hal ini selaras dengan makin gencarnya konsumen dunia yang membutuhkan dan mengonsumsi produk pertanian yang sehat.

2. Ketidak-mampuan fungisida kimia sintetis

Penggunaan fungisida kimia sintetis untuk mengendalikan penyakit tanaman tidak selamanya dapat diandalkan, misalnya oleh petani bawang merah, kentang, cabai, atau pekebun pisang. Hal ini ditunjukkan dengan makin meningkatnya penggunaan fungisida tersebut, baik dalam konsentrasi atau keseringannya. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi kalau para petani di dalam menggunakan fungisida kimia sintetis tidak dilakukan dengan jalan menyemprotkan fungisida ke tanaman mereka, tetapi justru menyiramkannya ke tanaman dan sekaligus ke tanah, apalagi kalau cuaca mendukung terhadap perkembangan penyakit, seperti pada saat musim hujan; bukan dengan satu jenis fungisida, tetapi menyampur beberapa jenis fungisida. Semua itu ditujukan untuk mengendalikan penyakit tanaman dengan cepat agar hasil panen dapat meningkat. Akan tetapi, hasilnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penyakit tetap ada di pertanaman, bahkan dapat lebih parah lagi kerusakan yang ditimbulkannya. Hal ini kemungkinan karena jamur patogen telah mengalami mutasi dan mampu beradaptasi dengan fungisida tersebut, ikut matinya mikroba tanah yang berguna, atau jamur patogen mampu membentuk struktur istirahat. Di sisi lain, ketidak-mampuan fungisida kimia sintetis untuk menjangkau letak mikroba patogen di dalam tanah. Keberadaan mikroba tanah sangat beragam, bahkan dapat mencapai kedalaman di bawah 50 cm di dalam tanah, misalnya untuk jamur patogen Fusarium sp. (Domsch et al., 1993). Oleh karena itu, kehadiran agensia pengendali hayati ternyata memberikan angin segar kepada para petani. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan, yang kesemuanya menunjukkan kemampuan agensia pengendali hayati dalam mengatasi masalah patogen tanaman, yang sebelumnya sukar dikendalikan dengan fungisida kimia sintetis. Misalnya, penggunaan bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens P60 mampu menurunkan kepadatan populasi jamur Fusarium oxysporum, penyebab penyakit moler pada bawang merah, di dalam tanah sampai sebesar 80,67% (Santoso et al., 2007), menurunkan intensitas penyakit busuk pangkal batang pada kacang tanah lebih dari 50% (Soesanto, 2004), dan kepadatan populasi sklerotium akhir sebesar 86,3% (Soesanto et al., 2003a, 2003b); Trichoderma harzianum mampu menurunkan intensitas penyakit layu Fusarium pada gladiol sebesar 56,83% (Soesanto et al., 2008), dan gabungan Gliocladium sp. dan Pseudomonas fluorescens P60 mampu menurunkan kepadatan populasi Fusarium oxysporum pada lahan cabai sebesar 88,07% (Maqqon et al., 2006). Agensia pengendali hayati juga dapat digunakan untuk mengatasi jamur patogen yang membentuk struktur istirahat. Hal ini mengingat bahwa keberadaan struktur istirahat pada patogen dapat menjadi salah satu kendala dalam keberhasilan penerapan semua agensia pengendali patogen tanaman. Hasil penelitian Soesanto et al. (2003) menunjukkan bahwa bakteri antagonis P. fluorescens P60 mampu menekan perkecambahan sklerotium in vitro sampai sebesar 92% dengan lama perendaman sklerotium paling efektif 10 menit (Gambar 1). Hasil penelitian ini memberikan peluang dan harapan bahwa bakteri angatonis Pseudomonas fluorescens P60 mampu mengatasi jamur patogen yang membentuk struktur istirahat, meski baru secara in vitro. Penggunaan di lapang masih perlu pemikiran dan penelitian lebih lanjut. Agensia hayati juga dapat dipakai sebagai bahan untuk menyehatkan atau bio-remediation atas lahan pertanian yang sudah tercemar atau terkontaminan oleh patogen tanaman, yang ditandai oleh selalu munculnya penyakit tanaman di setiap musim tanam (Hidayanto, 2006).

Gambar 1. Pengaruh lama perendaman sklerotium Sclerotium rolfsii di dalam larutan bakteri Pseudomonas fluorescens P60 konsentrasi 106 upk ml-1 larutan terhadap perkecambahan sklerotium. Keterangan: Notasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut DMRT 5% (Soesanto et al., 2003).

3. Kepedulian akan keseimbangan ekologi dan keamanan lingkungan

Masalah lingkungan hidup menjadi penting dewasa ini ketika pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa salah satu penyebab terjadinya atau timbulnya bencana yang menimpa negeri ini adalah oleh ulah manusia itu sendiri. Di dunia pertanian juga memungkinkan timbulnya bencana, terutama yang disebabkan oleh penggunaan bahan kimia, baik pestisida maupun pupuk atau hormon, yang tidak bijaksana atau yang terus menerus. Hal ini akan menyebabkan berubahnya sifat hayati di dalam tanah, terutama karena musnahnya mikroba berguna di dalam tanah akibat penggunaan bahan kimia tersebut. Sudah bukan rahasia lagi, kalau pemakaian bahan kimia banyak menimbulkan pencemaran, baik tanah, udara, maupun air, yang menyebabkan kerusakan ekologi khususnya di dalam tanah, salah satunya adalah terbunuhnya mikroba berguna di dalam tanah, yang berguna untuk mengendalikan mikroba patogen tanaman (Hassan, 1998). Hal ini pula yang menyebabkan banyaknya patogen tular-tanah yang sukar dikendalikan, selain karena faktor genetika yaitu terjadinya mutasi akibat bahan kimia tersebut. Selain itu, agensia pengendali hayati yang diterapkan kepada bukan sasaran tidak akan menjadi kontaminan bagi organisme bukan sasaran, baik tanaman atau mikroba berguna. Hal ini karena agensia pengendali hayati mempunyai relung ekologi sendiri dan yang berbeda dengan relung ekologi mikroba atau organisme lain, sehingga agensia pengendali hayati memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan ekologi barunya. Apabila agensia pengendali hayati tidak mampu bertahan hidup dalam ekologi barunya, atau diterapkan pada ekologi yang berbeda dengan rentang keragamannya yang lebar, maka agensia pengendali hayati akan mati, yang menyebabkan pengendalian hayati tidak berhasil diterapkan di suatu wilayah. Hal ini yang menyebabkan agensia pengendali hayati sukar untuk menjadi kontaminan organisme atau mikroba berguna lainnya. Oleh karenanya, pengendalian hayati hadir untuk mengurangi dampak negatif tersebut dan untuk menjaga kelestarian ekologi di dalam tanah, serta untuk menjaga lingkungan tetap aman (Ayob and Mustaffa, 1998; Soesanto, 2000). Peluang inilah yang perlu disambut dengan mengurangi penggunaan pestisida atau bahan kimia sintetis, dan mulai menggiatkan penggunaan agensia hayati, khususnya untuk mengendalikan patogen tanaman, sehingga keberlanjutan proses produksi tanaman dapat terjaga dengan baik.

4. Kesadaran petani dan keluarganya akan masalah kesehatan

Para petani sudah berpengalaman di dalam mengelola kebun dan tanamannya, khususnya di dalam menghadapi permasalahan penyakit tanaman, yaitu selalu dengan menggunakan fungisida kimia sintetis, dengan pertimbangan cepat diketahui hasilnya dan mudah penggunaannya. Akan tetapi, mereka tidak menyadari bahwa bahaya sedang mengancam kesehatan mereka dan juga keluarganya yang membantu di lahan. Hal ini karena di dalam penerapan fungisida untuk pertanamannya, mereka tidak sama sekali menggunakan pengaman tubuh dan juga tidak menggunakannya dengan bijaksana. Telah dikemukakan bahwa petani kentang dan bawang merah, misalnya, menerapkan fungisida kimia dengan cara disiram ke tanaman, tidak disemprotkan. Kasus pencemaran bahan kimia dalam darah petani sudah banyak dikemukakan, belum lagi kasus lainnya yang menimpa ibu hamil dan ibu menyusui yang sehari-hari bekerja di lahan pertanamannya (Beaumont, 1998). Penerapan agensia pengendali hayati di tanaman tidak menyebabkan keracunan bagi pekerja, meskipun mereka tidak dilengkapi dengan peralatan penyemprotan yang lengkap. Oleh karena itu, kehadiran agensia pengendali hayati akan mengurangi dampak tersebut dan sekaligus menyegah kerugian yang lebih parah.5. Biaya eksplorasi agensia hayati yang rendah

Biaya untuk mendapatkan satu agensia pengendali hayati atau proses sejak isolasi sampai ke formulasi agensia pengendali hayati sangat rendah, bila dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk mendapatkan satu senyawa kimia sintetis. Penelitian yang dilakukan terhadap agensia pengendali hayati tidak memerlukan biaya tinggi, jika dibandingkan dengan kimia sintetis. Begitu pula dalam penerapannya di lapang tidak memerlukan perijinan yang ketat, yang membutuhkan biaya banyak, jika dibandingkan dengan penerapan agensia kimia sintetis untuk mengendalikan patogen tanaman. Agensia kimia sintetis sebelum dipasarkan harus mengalami serangkaian pengujian yang memerlukan waktu lama, untuk menjamin kalau nantinya agensia tersebut tidak berdampak negatif terhadap lingkungan hidup (Bohmont, 1997; Dohmen, 1998). Keadaan ini jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit (Lisansky, 1984 dan Payne & Lynch. 1988 dalam Hokkanen et al., 1993). Pada Tabel 1 ditunjukkan perbedaan antara agensia kimia sintetis, agensia hayati, parasit dan predator, terutama pada ruas pembiayaannya. Pada tabel tersebut nampak bahwa biaya penelitian dan pengembangan untuk agensia kimia jauh lebih besar, yaitu hampir 3 kali lipat daripada biaya untuk penelitian dan pengembangan agensia pengendali hayati. Apabila dipertimbangkan penelitian dan upaya pencegahan dampak negatif yang akan muncul akibat penggunaan agensia kimia sintetis, maka biaya yang harus disediakan akan semakin besar. Oleh karena itulah, upaya untukTabel 1. Perbandingan beberapa sifat pendekatan pengendalian secara kimia dan hayati untuk mengendalikan hama, patogen, dan gulma

No.SifatKimiaMikrobaParasit dan Predator

A.

B.

C.

Pengembang an Metode

Penemuan

Biaya R & D

Ukuran pasar yang diperlukan agar untung

Hak Paten

Penggunaan Metode

Kepercayaan

Membunuh

Kecepatan

Kisaran

Ketahanan

Keamanan Metode

Toksikologi

Kerusakan lingkungan

Residu

Pemilihan 15.000 senyawa ditemukan kemudian tentukan sasaran yang akan dikendalikan

(12.000.000

(30.000.000/th utk mengganti modal, terbatas pada tanaman utama

Teratur baik

Biasanya dipercaya

Sampai 100%

Biasanya cepat

Umumnya luas

Sering muncul

Mahal ujinya, kadang beracun terhadap pengguna

Beragam contoh, sangat terkenal, mudah untuk dibatalkan

Waktu antara sebelum dipanenSering mudah dijumpai

(400.000

< (600.000/th dapat untung

Menjadi teratur

Beragam, biasanya dipercaya

Biasanya 90-95%

Kadang lambat

Umumnya sempit

Mungkin muncul

Relatif murah ujinya, biasanya tidak beracun

Belum diketahui, tetapi kadang mungkin merusak, mudah untuk dibatalkan

Tanaman dipanen langsungSering mudah dijumpai

Beragam

Beragam, bahkan pasar kecil dapat menguntungkan

Tidak mungkin, kecuali untuk metode pengiriman

Beragam, biasanya dipercaya

Biasanya 90-95%

Kadang lambat

Umumnya sempit

Tidak ada kejadian

Tidak ada kaitannya

Belum diketahui, tetapi kadang mungkin merusak, mudah untuk dibatalkan

Tidak dapat diterapkan

Sumber: Lisansky (1984) dan Payne & Lynch (1988) dalam Hokkanen et al. (1993).

menggunakan mikroba antagonis merupakan cara yang lebih murah dan aman terhadap lingkungan, jika dibandingkan dengan agensia kimia sintetis.

6. Bertambahnya biaya produksi pertanian

Biaya produksi pertanian cukup tinggi, terutama jika dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian saprodi, misalnya untuk pembelian pupuk dan pestisida. Meskipun harga pestisida (fungisida) dapat terjangkau oleh petani, tetapi bila diterapkan dalam luasan tanaman yang cukup luas, hal ini tetap akan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Apabila muncul penyakit tanaman pada tanaman mereka, petani akan segeramelakukan tindakan pengendalian dengan memakai fungisida kimia. Apalagi kalau tanaman yang dibudidayakan mempunyai nilai ekonomi tinggi dan ditanam dalam musim hujan, pengeluaran untuk fungisida kimia akan jauh lebih besar. Hal ini akan semakin meningkatkan biaya produksi yang harus dikeluarkan dan menurunkan pendapatan petani. Apabila tanaman diperlakukan dengan agensia hayati untuk mencegah timbulnya penyakit tanaman, baik diberikan sejak pesemaian, pembibitan, awal tanam, atau awal berbunga, maka masalah penyakit tanaman akan dapat dikurangi atau dicegah, khususnya bila diberikan pada tanaman yang ditanam pada tanah yang sudah tercemar oleh patogen tanaman.

7. Waktu penyiapan agensia hayati yang singkat

Waktu yang singkat ini tidak ditujukan untuk proses yang terjadi sejak agensia pengendali hayati diterapkan untuk mengendalikan patogen tanaman. Akan tetapi, waktu yang ditujukan untuk menyiapkan dan bahkan mendapatkan agensia pengendali hayati relatif singkat, jika dibandingkan dengan waktu yang diperlukan untuk memperoleh senyawa kimia pengendali patogen tanaman (Tabel 1). Senyawa kimia membutuhkan waktu lama dan panjang sejak penemuan sampai pengujiannya, dan bahkan sampai ke pemasaran. Akan tetapi, agensia pengendali hayati sebaliknya, hanya membutuhkan waktu singkat untuk dapat menemukan dan menerapkannya di lapang (Ayob and Mustaffa, 1998). Bahkan, begitu mendapatkan calon agensia hayati dari hasil isolasi dan setelah melalui uji laboratorium, calon agensia hayati tersebut dapat langsung digunakan di lahan pertanian untuk mengendalikan penyakit tanaman. Jadi, hanya membutuhkan waktu dalam hitungan hari saja. Selain itu, waktu yang singkat untuk agensia pengendali hayati juga ditujukan untuk pendaftaran dan pengujian di lapang sebelum agensia diformula untuk pemasaran, bila dibandingkan dengan waktu yang diperlukan bagi agensia kimia sintetis, yang membutuhkan waktu panjang dan rumit, sejak masih dalam bentuk kode rumus kimia sampai dihasilkannya pestisida berformula, bahkan sampai kepada pendaftaran di Komisi Pestisida sebelum dilepas ke pasar.

8. Ketersediaan agensia hayati melimpah di alam

Keberadaan agensia hayati atau antagonis di alam sangat banyak dan tersebar di banyak wilayah. Masing-masing daerah mempunyai kekhususan agensia hayati sendiri. Hal ini dibuktikan dengan sudah banyaknya peneliti yang bekerja dengan agensia hayati atau antagonis untuk mengendalikan penyakit tanaman di daerahnya. Hasilnya beragam karena bekerja dengan makhluk hidup, yaitu mikroba, sehingga membutuhkan kondisi ekologi dan iklim tersendiri. Hampir di setiap daerah ditemukan agensia pengendali hayati yang umumnya berdampak positif untuk daerah setempat. Ketersediaan di alam yang melimpah dan menyebar ini perlu digagas terbentuknya suatu Bank Agensia Hayati atau Pusat Penyimpanan Agensia Hayati secara nasional, yang bertujuan untuk menyimpan dan melestarikan agensia hayati tersebut. Selain itu, juga bertugas untuk mendata sebaran agensia hayati sejenis, menganalisis metabolit sekunder yang dihasilkannya, memasyarakatkan penggunaan agensia hayati, dan membangun jejaring antar-peneliti agensia hayati dengan saling tukar informasi dan tukar agensia hayati untuk diuji-cobakan secara multilokasi. Hal ini nampaknya masih jauh dari pemikiran kita semua, khususnya lembaga pemerintah yang berwewenang menjaga plasma nutfah khas Indonesia.

9. Produksi metabolit sekunder

Metabolit sekunder umumnya dihasilkan oleh sebagian besar antagonis dan merupakan senjata yang digunakan untuk mengendalikan patogen tanaman. Mekanisme penghambatan yang terjadi oleh adanya antagonis tersebut juga ditentukan oleh macam metabolit sekunder yang dihasilkan dan yang berperan. Semakin banyak macam dan jumlah metabolit sekunder yang dihasilkan atau yang berperan, semakin efektif antagonis tersebut di dalam mengendalikan patogen tanaman. Beberapa macam metabolit sekunder yang dihasilkan oleh antagonis, di antaranya antibiotika, toksin, enzim, siderofor, dan plant growth promoting rhizobacteria or rhizofungi (PGPR). Misalnya, jamur antagonis dari genus Trichoderma dan Gliocladium mampu menghasilkan beberapa metabolit sekunder, antara lain asam ferulat, asam 2-hidroksimalonat, asam glikoladat, trikodermen, trikodermol, dan masih banyak lagi yang lain (Sivasithamparam and Ghisalberti, 1998; Elad and Kapat, 1999). Pada bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens, metabolit sekunder yang dihasilkan di antaranya asam fenazin-1-karboksilat dan 2,4-diasetilfloroglusinol (Raaijmakers et al., 1997; Duffy and Defago, 1999), polisakarida (Nakata et al., 2000), dan masih banyak lainnya (Oberhansli, 1991; Dowling and OGara, 1994; Maurhofer, 1994). Antibiotika 2,4-diasetilfloroglusinol telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan jamur patogen Fusarium oxysporum (Soesanto et al., 2004). Kemampuan agensia hayati di dalam menghasilkan metabolit sekunder tersebut dapat terus dikembangkan di kemudian hari, untuk dapat diproduksi dalam skala industri, baik yang berguna di bidang pertanian maupun di bidang industri, misalnya pada industri tekstil, plastik, kertas, dan makanan (Gandjar, 2006).

Dengan mengetahui peluang yang ada, maka kita akan dapat merencanakan tindakan dan kegiatan yang berkaitan dengan pengendalian hayati patogen tanaman di masa yang akan datang. Selain itu, adanya peluang akan menumbuhkan dan memberikan semangat baru untuk terus memikirkan dan menggali metode baru pengendalian patogen tanaman secara hayati, sehingga produksi pertanian kita selain akan meningkat, juga menjadi aman dan sehat, yang akan mendukung ke arah ketahanan pangan kita secara berlanjut.

TANTANGAN PENGENDALIAN HAYATI PATOGEN TANAMAN

Selain peluang yang ada tersebut dalam pemanfaatan agensia pengendali hayati untuk mengendalikan patogen tanaman, juga perlu diketahui beberapa tantangan dan yang dapat menjadi kendala dalam pemanfaatan pengendalian hayati patogen tanaman, bila tidak segera dipertimbangkan dan dihadapi untuk dicari pemecahannya. Banyak informasi tentang kegagalan pengendalian hayati di beberapa daerah, sedangkan bila diterapkan di daerah tertentu mampu menunjukkan perannya di dalam mengendalikan patogen tanaman. Kondisi ini timbul karena pada umumnya mereka tidak atau kurang mempertimbangkan adanya tantangan di dalam mengerjakan dan menerapkan pengendalian hayati terhadap patogen tanaman.

Beberapa tantangan yang ada dalam bekerja dengan pengendali hayati, di antaranya 1) masa hidup agensia hayati yang terbatas, 2) agensia hayati dapat berubah fungsi, 3) adanya perbedaan kepentingan, 4) terjadinya pencemaran lingkungan, dan 5) terbatasnya penyebaran agensia hayati.

1. Masa hidup agensia hayati yang terbatas

Agensia pengendali hayati yang diterapkan pada produk pertanian mempunyai masa hidup terbatas. Hal ini khususnya terjadi jika kondisi lingkungan ruang simpan produk tanaman tidak sesuai untuk kehidupan agensia pengendali hayati. Apabila agensia pengendali hayati disimpan dalam kondisi yang tidak sesuai, atau produk pertanian yang disemprot dengan agensia tersebut berada dalam kondisi mikro-iklim yang tidak sesuai, maka agensia tidak akan bertahan lama dan lebih cepat mati. Selain itu, penyimpanan agensia hayati di laboratorium khususnya membutuhkan penanganan khusus agar kegigasan agensia pengendali hayati dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama. Masing-masing agensia pengendali hayati mempunyai medium penyimpanan yang tidak sama (Soesanto, 2006a).

2. Agensia hayati dapat berubah fungsi

Penggunaan agensia pengendali hayati yang belum dipersiapkan dengan baik dan benar akan dapat mengubah fungsinya sebagai agensia pengendali hayati menjadi patogen tanaman. Hal ini khususnya terjadi dengan agensia pengendali hayati dari kelompok bakteri, yang dapat berubah karena terjadi mutasi akibat kondisi ekstrem di daerah tropika, misalnya adanya radiasi sinar ultraungu yang sangat tinggi. Apalagi agensia pengendali hayati tersebut sengaja diperkenalkan ke lingkungan tropika baru dari lingkungan yang berbeda. Oleh karenanya, sebaiknya suatu bakteri antagonis sebelum dilepas ke lapang harus distabilkan terlebih dahulu. Selain itu, perubahan fungsi tersebut timbul karena agensia pengendali hayati sebelumnya tidak atau kurang diuji terlebih dahulu kemampuannya, bukan hanya terhadap patogen tanaman, tetapi penting juga pengujian terhadap tanaman inangnya. Apakah agensia hayati tersebut menimbulkan masalah atau menjadi patogen terhadap tanaman uji atau tidak. Pengujian agensia hayati terhadap tanaman inang patogen tanaman jarang dilakukan, meskipun hal ini akan memengaruhi kinerja dan kemampuan agensia hayati di dalam mengendalikan patogen tanaman.

3. Adanya perbedaan kepentingan

Penggunaan agensia pengendali hayati dapat berubah fungsi akibat adanya perbedaan kepentingan. Hal ini erat kaitannya dengan status dari sasaran agensia pengendali hayati. Kepentingan yang berbeda ini akan menyebabkan perbedaan pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil menjadi tidak tepat, artinya tidak lagi mempertimbangkan pada segi keamanan hayatai dari agensia pengendali hayati lagi, tetapi sudah berubah terpusat kepada patogen yang telah diputuskan untuk dikendalikan tersebut. Hal ini akan sangat berbahaya, jika dipertalikan dengan agensia pengendali hayati baru yang diperkenalkan ke lingkungan baru. Masalah ini seharusnya didiskusikan sebelumnya untuk membuktikan program pengendalian hayati dapat tepat sasaran, dengan mendasarkan kepada keuntungan terbesar yang dapat diperoleh dan adanya jaminan keamanan hayati dengan penggunaan agensia pengendali hayati. Perubahan akibat perbedaan kepentingan ini akan sangat nyata dengan adanya perbedaan kepentingan politik, karena sekarang ini di negara kita, bidang pertanian menjadi mungkin untuk dikaitkan dengan kepentingan politik.

4. Terjadinya pencemaran lingkungan

Secara normal, agensia pengendali hayati tidak menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. Akan tetapi, pencemaran agensia pengendali hayati dapat terjadi jika tidak hati-hati dalam menyiapkannya dan menetapkan berapa banyak agensia pengendali hayati yang akan dilepas dan diterapkan dalam lingkungan. Misalnya, di dalam penyiapan atau bekerja dengan Trichoderma spp. yang tidak hati-hati, akan menyebabkan pencemaran ruang laboratorium. Konidium jamur mudah diterbangkan angin ketika pengerjaannya tidak dilakukan dengan baik dan akan mudah mengontaminan medium yang lain, yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini menyebabkan terganggunya pekerjaan lainnya di laboratorium. Selain itu, pencemaran yang diakibatkan oleh agensia pengendali hayati dapat menyebabkan alergi bagi pekerja. Kekebalan tubuh kita masing-masing berbeda dalam tanggap terhadap keberadaan spora atau konidium jamur di udara. Sementara itu, agensia pengendali hayati, seperti Trichoderma spp., dapat menjadi kontaminan tidak hanya pada pekerjaan laboratorium, tetapi juga pada pekerjaan lainnya, misalnya pada budidaya cendawan merang. Agensia pengendali hayati yang akan dikirim dari luar wilayah harus benar-benar terbebas dari musuh alaminya, yang akan membatasi keefektifannya; juga terbebas dari kontaminan dengan patogen tanaman dan hewan; bahan pemformula agensia pengendali hayati harus bebas dari organisme pengontaminan. Oleh karenanya, perlu perhatian serius dari berbagai pihak jika akan menggunakan agensia pengendali hayati baru, agar masalah pencemaran dapat dicegah atau dibatasi. Apabila dijumpai masalah tersebut pada agensia pengendali hayati yang akan dikirim atau dicurigai bahan agensia pengendali hayati, maka sebaiknya bahan tersebut segera dimusnahkan.

5. Terbatas penyebarannya

Meskipun penyebaran agensia pengendali hayati tidak dibatasi oleh pembatas politik, penyebaran agensia pengendali hayati tidak seluas penyebaran agensia kimia sintetis. Hal ini menyangkut sifat agensia pengendali hayati yang berupa mahluk hidup, yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Akibatnya, agensia pengendali hayati yang dihasilkan di suatu tempat atau daerah, kadang tidak berfungsi bila diterapkan pada tanaman di daerah atau tempat lain. Selain itu, bagi daerah pengimpor agensia pengendali hayati dari luar, sebaiknya mempertimbangkan hal ini, dan bila mungkin memberitahukan daerah tetangga atau organisasi regional yang bertanggung jawab atas hal ini. Semuanya ini bermaksud untuk memberikan kesempatan kepada daerah tetangga agar bersiap diri apabila terjadi atau timbul masalah baru akibat penerapan agensia pengendali hayati baru tersebut.

Adanya tantangan tersebut tidak akan menyurutkan langkah untuk terus bekerja dan terus bertahan dalam komitmen untuk mengendalikan petogan tanaman yang raman dan aman bagi lingkungan, yaitu dengan menggunakan agensia pengendali hayati, mengingat prospek ke depan yang lebih baik dan menguntungkan. Sebaliknya, dengan adanya tantangan tersebut, kita akan makin berupaya untuk mengatasinya melalui serangkaian penelitian, dengan memanfaatkan peluang yang ada, sehingga diharapkan nantinya dapat makin memperkecil tantangan tersebut. Semua ini dimaksudkan untuk memberikan pemikiran dan wawasan yang luas akan pengendalian hayati, sehingga pengendalian hayati dapat semakin berperan di dalam mengendalikan salah satu faktor pembatas budidaya tanaman, yaitu penyakit tanaman. Penyakit tanaman yang dapat dikendalikan dengan biofungisida yang ramah lingkungan akan dapat meningkatkan hasil pertanian, dan akhirnya akan bermuara kepada ketahanan pangan yang berkelanjutan.

KESIMPULAN

Hadirin yang saya hormati,

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang ingin saya tekankan sebagai intisari pidato saya, yaitu:

1. Penyakit tanaman, yang berbeda dengan hama tanaman, sangat berpengaruh terhadap penurunan kuantitas maupun kualitas produksi tanaman serta lingkungan dan konsumen, sehingga berperan penting di dalam mendukung ketahanan pangan.

2. Ketahanan pangan yang berkelanjutan dapat ditopang dengan penggunaan agensia hayati sesuai kondisi setempat untuk mengendalikan penyakit tanaman dan mengurangi dampak negatif penggunaan fungisida sintetis.

3. Ada peluang yang besar untuk lebih menerapkan agensia hayati dalam mengendalikan penyakit tanaman dibandingkan dengan tantangan yang ada.

4. Perlu dibentuknya Bank Agensia Hayati atau Pusat Penyimpanan Agensia Hayati Nasional untuk menyimpan, mengelola, dan melestarikan plasma nutfah agensia hayati yang berpotensi serta membangun jejaring agensia hayati.

5. Istilah agensia perlu digunakan untuk menggantikan istilah agens yang berkonotasi jamak.

Akhirnya, perkenankan saya menyarankan kepada para pengambil keputusan yang berkaitan dengan bidang pertanian, untuk mulai menggiatkan penggunaan agensia hayati dan memasyarakatkan penggunaan agensia hayati kepada petani dan pebisnis pertanian. Dampak dari kebijakan ini adalah pengurangan penggunaan fungisida sintetis untuk menjaga kelangsungan hidup tanaman. Selain itu, perlu dibentuk kerjasama antara perguruan tinggi, dinas terkait, dan masyarakat luas atau pemangku kepentingan untuk meng-eksplorasi agensia hayati.

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebelum saya mengakhiri pidato pengukuhan saya ini, sekali lagi dengan tiada henti-hentinya saya mengucapkan puji syukur yang tiada terhingga kepada Tuhan yang Mahakasih, yang telah menuntun dan menyertai saya selama saya mengabdi di Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, serta menganugerahi saya jabatan Guru Besar. Semua ini bukan karena kemampuan dan kepandaian saya, yang tiada artinya bila dibandingkan dengan penyertaan Tuhan selama ini. Anugerah Guru Besar ini menjadi suatu batu ujian baru bagi saya untuk terus tetap berjalan di dalam kebenaran ilmiah dan juga untuk lebih mensyukurinya dalam bentuk pengabdian kepada nusa, bangsa, dan negara tercinta, Indonesia.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional, atas kepercayaan yang diberikan kepada diri saya untuk menjabat Guru Besar dalam bidang Ilmu Penyakit Tanaman Penting per 1 Juni 2008 melalui SK No. 37629/A4.5/KP/2008. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Ketua dan Anggota Senat Universitas Jenderal Soedirman, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, yang telah membantu, menilai, menyetujui, serta mendukung saya untuk menduduki jabatan Guru Besar.

Ungkapan terima kasih dan rasa hormat yang tulus saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu Guru saya, yang telah mendidik dan mengajar saya di TK, SD, dan SMP Kristen Sokaraja, serta di SMA Negeri I Purwokerto, yang telah memberikan bekal dasar kepada saya, memantapkan pengetahuan dasar saya, membukakan pintu gerbang ilmu pengetahuan bagi saya, dan menyiapkan pribadi saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Rasa terima kasih yang tulus saya haturkan kepada Ir. Darsam (almarhum) dan Ir. Sedijono Donowidjojo (almarhum) sebagai pembimbing skripsi saya, yang telah mendorong saya untuk menekuni bidang Ilmu Penyakit Tumbuhan serta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengabdikan ilmu saya di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan pada Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman sampai sekarang ini. Meskipun beliau berdua telah tiada dan tidak dapat menyaksikan peristiwa penting ini, namun perhatian dan pengorbanan beliau berdua akan tetap saya kenang sepanjang hayat.

Ungkapan rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas beasiswa yang diberikan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Sains atau S2 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1986. Rasa terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Nursamsi Pusposendjojo dan Prof. Dr. Ir. Tranggono (almarhum), selaku pembimbing tesis saya, yang telah membimbing, menggembleng, dan membentuk saya untuk menekuni Bidang Ilmu Penyakit Pascapanen serta untuk mampu menjadi teladan dalam segala hal secara profesional. Terima kasih pula saya sampaikan kepada semua dosen S2 saya, secara khusus kepada Prof. Dr. Ir. Harjono Semangun, yang telah membekali saya dan meng-inspirasi saya untuk terus belajar menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, dan bahkan ke luar negeri (Belanda).

Terima kasih pula saya sampaikan kepada para senior saya dan penghargaan kepada seluruh sivitas akademika Fakultas Pertanian, khususnya para staf dosen, laboran, dan tenaga administrasi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, atas semua bantuan, pengertian, dan kerjasamanya yang baik selama ini, sehingga mampu menumbuhkan suasana akademik dan kerja yang kondusif. Selain itu, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada para mahasiswa dan alumni Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan inspirasi dan ide bagi saya untuk menulis buku dan menerbitkannya, sehingga buku tersebut dapat digunakan untuk pembelajaran mereka.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bank Pembangunan Asia melalui LOAN-nya kepada Universitas Jenderal Soedirman, yang telah memberikan beasiswa kepada saya untuk dapat mengikuti Program Doktor di Universitas Wageningen, Wageningen, Belanda. Kepada Prof. Dr. Mike J. Jeger, saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas perkenannya menjadi promotor saya. Juga kepada Dr. Aad J. Termorshuizen, sebagai pembimbing harian saya, yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing dan menuntun saya selama mengikuti Program Doktor, sehingga saya mampu menyelesaikannya. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. (Em.) Dr. Ivan Buddenhagen, dari Universitas California, USA, atas kepercayaan yang telah diberikan kepada saya untuk dapat mengabdikan ilmu dan kemampuan saya di bidang penyakit layu Fusarium pada tanaman pisang, serta kesempatan yang diberikan kepada saya untuk dapat mengikuti pelatihan di Australia dan menghadiri Workshop on Fusarium tingkat dunia di Malaysia. Terima kasih pula saya sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Herastuti Sri Rukmini, M.S. dan Prof. Dr. Ir. F.M. Suhartati, M.S., yang telah berkenan membaca dan memberikan masukan berharga terhadap naskah pidato ilmiah saya ini.

Ungkapan terima kasih dan rasa hormat yang tiada terhingga saya sampaikan kepada kedua orangtua saya, almarhum ayahnda Agus Salim dan almarhumah ibunda Susana Wijaya, yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik dengan penuh kasih dan pengorbanan yang dalam, serta senantiasa mendoakan saya dan ke-5 adik saya, sehingga kami semua dapat tumbuh menjadi seperti sekarang ini. Terima kasih pula saya sampaikan kepada semua adik saya, yaitu Drs. Johanes Sardjono, Daniel Budianto, Elisa Edi Santoso, B.A., Handayani, dan Agus Wijaya, S.E. beserta keluarga mereka masing-masing, atas segala perhatian, dukungan, kasih sayang, dan doa yang telah diberikan kepada saya, sehingga saya dapat melanjutkan tugas dan tanggung jawab saya untuk terus mengabdi di bidang pendidikan. Kepada Ibunda Sri Rahayu beserta keluarga dan Ibunda Imam Soetoro beserta keluarga, saya juga menyampaikan terima kasih atas semua perhatian dan dorongan yang telah diberikan kepada saya. Juga terima kasih saya sampaikan kepada adik M. Zaenudin dan seluruh sanak keluarga serta rekan-rekan seperjuangan dan sekerja, atas perhatian dan bantuannya selama ini.

Akhirnya, terima kasih saya haturkan kepada semua hadirin yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah mengikuti pidato pengukuhan ini. Tiada gading yang tak retak. Saya menyadari bahwa masih banyak hal yang kurang di dalam pidato pengukuhan saya ini. Oleh karena itu, perkenankanlah saya dengan segala kerendahan hati mohon maaf yang tulus apabila ada ungkapan, tutur kata, atau tingkah laku yang kurang berkenan di hati para hadirin. Kiranya apa yang sudah saya sampaikan dapat 1) membuka wawasan dan pemikiran baru akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan pertanian agar keberlanjutan tanaman dapat terwujud, 2) menjaga keamanan dan kesehatan produk pertanian yang dipasarkan agar kita mampu bersaing dengan produk pertanian dari negara lain di pasar global, dan 3) menjamin kesehatan para konsumen yang memanfaatkan produk pertanian tersebut, dengan menerapkan tindakan pengendalian patogen tanaman secara hayati, yang ramah dan aman tersebut. Terwujudnya harapan ini membutuhkan peran serta kita semua, baik peneliti atau perguruan tinggi, dinas terkait, kebijakan pemerintah dalam hal peraturan, maupun kepedulian kita serta petani itu sendiri.

Demikian pidato pengukuhan ini saya sampaikan. Atas segala perhatiannya, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih.

Pustaka Acuan

Adnyana, M.O. 2006. Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan terlanjutkan dalam era perdagangan bebas. Hal. 109-146. Dalam: Tim Redaksi Buku Kompas (Eds.), Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Agarwal, V.K. and J.B. Sinclair. 1987. Principles of Seed Pathology, vol. I. CRC Press, Boca Raton, Florida.

Agrios, G.N. 1997. Plant Pathology, 4th ed. Academic Press, New York.

Ayob, Z. and N. Mustaffa. 1998. Pesticides and natural enemies: Malaysia perspective. Pp. 37-45. In: P.T. Haskell and P. McEwen (Eds.), Ecotoxicology Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic Publ.,, Dordrecht.

Baker, K.F. and R.J. Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. APS, St. Paul, Minnesota. Pp. 35-50.

Beaumont, P. 1998. Risk assessment and management: is it working? An NGO perspective. Pp. 257-266. In: P.T. Haskell and P. McEwen (Eds.), Ecotoxicology Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic Publ.,, Dordrecht.

Bohmont, B.L. 1997. The Standard Pesticide Users Guide, 4th ed. Prentice Hall, New Jersey.

BPS. 2008. Production of fruits in Indonesia. (On-line). http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/table8.shtml diakses 7 Januari 2009.

Cook, R.J. 1985. Biological control of plant pathogens: Theory to application. (Presidential Address of 76th Annual Meeting). Phytopathology 75(1):25-29.

Cook, R.J. and K.F. Baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. APS, St. Paul, Minnesota.

Dohmen, G.P. 1998. Testing side-effects of pesticides on carabid beetles: a standardized method for testing ground-dwelling predators in the laboratory for registration purposes. Pp. 98-106. In: P.T. Haskell and P. McEwen (Eds.), Ecotoxicology Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic Publ.,, Dordrecht.

Domsch, K.H., W. Gams, and T-H. Anderson. 1993. Compendium of Soil Fungi, Vol. I. IHW-Verlag, Eching.

Dowling, D.N. and F. OGara. 1994. Metabolites of Pseudomonas involved in the biocontrol of plant disease. Tibtech 121:133-141.

Duffy, B.K. and G. Defago. 1999. Environmental factors modulating antibiotic and siderophore biosynthesis by Pseudomonas fluorescens biocontrol strains. App. Env. Microbiol. 65(6):2429-2438.

Elad, Y. and A. Kapat. 1999. The role of Trichoderma harzianum protease in the biocontrol of Botrytis cinerea. Europ. J. Plant Pathol. 105:177-189.

FAO. 1983. Post-harvest Losses in Quality of Food Grains. FAO Food and Nutrition Paper No. 29. FAO, Rome.

FAO. 1990. Control of aflatoxin in Asia. FAO Regional Workshop on Control of Aflatoxin in Asia, Chiang Mai 2 February, Thailand.

Gamliel, A., A. Grinstein, Y. Peretz, I. Klein, A. Nachmiaz, L. Tsror, I. Livescu, and J. Katan. 1997. Reduced dosage of methyl bromide for controlling Verticillium wilt of potato in experimental and commercial plots. Plant Disease 81:469-474.

Gandjar, I. 2006. Fungi dan industri. Hal. 125-141. Dalam: I. Gandjar, W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari (Eds.), Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Garret, S.D. 1965. Toward biological control of soil-borne plant pathogens. Pp. 4-17. In: K.F. Baker and W.C. Snyder (Eds.), Ecology of Soil-borne Plant pathogens, Prelude to Biological Control. University of California Press, Berkeley.

Greathead, D.J. 1995. Benefits and risks of classical biological control. Pp. 53-63. In: H.M.T. Hokkanen and J.M. Lynch (Eds.), Biological Control: Benefits and Risks. Cambridge University Press, Cambridge.

Harian Bisnis Indonesia. 24 Oktober 2008. Uni Eropa tekan harga minyak sawit dunia. (On-line). http://panduankelapasawit.blogspot.com/2008/10/uni-eropa-tekan-harga-minyak-sawit.html diakses 16 Januari 2009.

Hassan, S.A. 1998. The initiative of the IOBC/WPRS working group on pesticides and beneficial organisms. Pp. 22-27. In: P.T. Haskell and P. McEwen (Eds.), Ecotoxicology Pesticides and Beneficial Organisms. Kluwer Academic Publ., Dordrecht.

Hidayanto, T. 2006. Potensi beberapa agensia hayati dalam upaya penyehatan tanah pada tanaman cabai in planta. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 58 hal. (Tidak dipublikasikan).

Hokkanen, H.M.T., J.M. Lynch, and J. Robinson. 1995. Preface: Overview of benefits and risks of biological control introductions. Pp. xvii-xxii. In: H.M.T. Hokkanen and J.M. Lynch (Eds.), Biological Control: Benefits and Risks. Cambridge University Press, Cambridge.

Kompas. 27 Mei 2003. Ekspor pisang Cavendish terhenti sejak 2002. (On-line). http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/27/ekonomi/335077.htm diakses 12 Januari 2008.

Kompas. 16 Februari 2007. Layu Fusarium serang 11.000 hektar di Kaltim. (On-line). http://www.kompas.com/ver1/Nusantara/0702/16/135927.htm diakses 12 Januari 2008.

Kompas. 17 Desember 2008. Harga CPO dunia cenderung turun, panen melimpah dan permintaan merosot. (On-line). http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0512/17/ekonomi/2296289.htm diakses 16 Januari 2009.

Maqqon, M., Kustantinah, dan L. Soesanto. 2006. Penekanan hayati penyakit layu Fusarium tanaman cabai merah. Agrosains 8(1):50-56.

Maurhofer, M., C. Hase, P. Meuwly, J.-P. Metraux, and G. Defago. 1994. Induction of systemic resistance of tobacco to tobacco necrosis virus by the root-colonizing Pseudomonas fluorescens strain CHA0: influence of the gacA gene and of pyoverdine production. Phytopathol. 84:139-146.

Maude, R.B. 1996. Seedborne Diseases and Their Control, Principles and Practice. CAB International, Wallingford.

Mehrotra, R.S. 1983. Plant Pathology. Tata McGraw-Hill Publ. Co. Ltd., New Delhi.

Nakata, K., N. Harada, K. Sumitomo, and K. Yoneda. 2000. Enhancement of plant stem growth by flocculation of the antibiotic-producing bacterium, Pseudomonas fluorescens S272, on the roots. Biosci. Biotechnol. Biochem. 64(3)459-465.

Oberhansli, T., G. Defago, and D. Haas. 1991. Indole-3-acetic acid (IAA) synthesis in the biocontrol strain CHA0 of Pseudomonas fluorescens: role of tryptophan side chain oxidase. J. Gen. Microbiol. 137:2273-2279.

Oudejans, J.H. 1985. Agro-Pesticides: Properties and Functions in Integrated Crop Protection. UN ESCAP, Bangkok. Pp. 1-28.

Pujiarto, D., L. Soesanto, dan Totok A.D.H. 2001. Pearl millet (Pennisetum typhoideum Rich.): Jamur-jamur isolat tular-benihnya. Jurnal Pembangunan Pedesaan 1(2):70-76.

Raaijmakers, J.M., D.M. Weller, and L.S. Thomashow. 1997. Frequency of antibiotic-producing Pseudomonas spp. in natural environments. App. Env. Microbiol. 63(3):881-887.

Sadiman, B. 17 September 2008. Permintaan ekspor sawit terus turun. (On-line). http://www.inaplas.org/index.php?option=com_content&view=article&id=393%3Apermintaan-ekspor-sawit-terus-turun&catid=6%3Aagro-bisnis&Itemid=14&lang=en diakses 16 Januari 2009.

Santoso, S.E., L. Soesanto, dan T.A.D. Haryanto. 2007. Penekanan hayati penyakit moler pada bawang merah dengan Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, dan Pseudomonas fluorescens P60. Jurnal HPT Tropika 7(1):53-61.

Semangun, H. 1988. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sivasithamparam, K. and E.L. Ghisalberti. 1998. Secondary metabolism in Trichoderma and Gliocladium. Pp. 139-191. In: C.F. Kubicek and G.E. Harman (Eds.), Trichoderma and Gliocladium Vol. 1. Taylor & Francis, Ltd., London.

Soesanto, L. 1997. Formation of microsclerotium of Verticillium dahliae. Book of Abstracts of 7th International Verticillium Symposium, Cape Sounion, Athens, 6-10 October 1997.

Soesanto, L. 2000. Pemanfaatan agensia hayati dalam mewujudkan keseimbangan agroekosistem. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional & Rakorwil II HMPTI, Himasita Fak. Pertanian Unsoed, Purwokerto, 23 September 2000.

Soesanto, L., R. Hidayat, dan D.S. Utami. 2003a. Prospek pemanfaatan Pseudomonas fluorescens P60 untuk pengendalian penyakit busuk batang pada kacang tanah. J. Fitopatologi Indonesia 7(1):1-6.

Soesanto, L., E. Pramono, D.S. Utami, dan A. Riswanto. 2003b. Potensi Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati Sclerotium rolfsii Sacc. Pada tanaman kedelai. Prosiding Kongres XVII dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bandung, 6-8 Agustus 2003.

Soesanto, L. 2004. Kemampuan Pseudomonas fluorescens P60 sebagai agensia pengendali hayati penyakit busuk batang kacang tanah in vivo. Eugenia 10(1):8-17.

Soesanto, L., E. Mugiastuti, dan W. Prihartono. 2004. Uji ketoksinan antibiotika 2,4-diacetylphloroglucinol terhadap sembilan isolat Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. zingiberi Trujillo. Eugenia 10(4):267-274.

Soesanto, L. 2005. Isolation and identification of main pathogenic and antagonistic fungi on diseased ginseng crop. Presented in The 1st International Conference of Crops Security, Unibraw, Malang, 20-22 September 2005.

Soesanto, L., Y.P. Dewi, dan N. Prihatiningsih. 2005. Pengenalan dini penyakit busuk rimpang jahe. J. Penelitian Pertanian Agrin 8(2):76-83.

Soesanto, L. 2006a. Penyakit Fusarium pada Tanaman Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional II dan Workshop Fusarium, Universitas Andalas, Padang, 14-16 Agustus 2006.

Soesanto, L. 2006b. Penyakit Pascapanen, Sebuah Pengantar. Kanisius, Yogyakarta.

Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman, Suplemen ke Gulma dan Nematoda. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soesanto, L., Rokhlani, dan N. Prihatiningsih. 2008. Penekanan beberapa mikroorganisme antagonis terhadap penyakit layu Fusarium Gladiol. Agrivita 30(1):75-83.

Stakman, E.C. and J.G. Harrar. 1957. Principles of Plant Pathology. The Ronald Press Co., New York.

Untung. K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Prof. Ir. Loekas Soesanto, M.S., Ph.D.

Nomor Induk Pegawai: 131474221

Jabatan Baru

: Guru Besar dalam Ilmu Penyakit Tanaman Penting

Pangkat/Golongan

: Pembina Tk. I/IVb

Unit Kerja

: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,

Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman

Tempat/Tanggal Lahir: Pati, 26 Juni 1960

Alamat Kantor

: Jl. dr. Suparno, Karangwangkal, Purwokerto 53123

Telp./Faks. 0281-638791

Alamat Rumah

: Sokaraja Kidul RT 04/02, Sokaraja 53181

Telp. 0281-694415

E-mail: [email protected] Pendidikan

1. TK Kristen Sokaraja, 1966

2. SD Kristen Sokaraja, 1972

3. SMP Kristen Sokaraja, 1975

4. SMA Negeri I Purwokerto, 1979

5. Pendidikan Tinggi:

a. S1 (Ir.): Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 1985. Judul skripsi: Pengujian efikasi beberapa fungisida terhadap penyakit busuk pelepah daun (Rhizoctonia solani Kuhn) pada tanaman padi (Oryza sativa L.) varietas IR-36.

b. S2 (M.S.): Program Ilmu-Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989. Judul tesis: Pengaruh umur petik buah apel terhadap perkembangan penyakit antraknosa.

c. S3 (Ph.D.): Department of Plant Science, Wageningen University, Wageningen, Belanda, 2000. Judul disertasi: Ecology and Biological Control of Verticillum dahliae.

Riwayat Pendidikan Lain

1. Penataran Rekonstruksi Kuliah Angkatan VI, Unsoed, 3-25 Juli 1989.

2. Seminar Pengelolaan Hama dan Penyakit dalam Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, 7 Januari 1991.

3. Penataran Calon Penerjemah Buku Universitas Jenderal Soedirman, Baturraden, Purwokerto, 10-20 Juli 1991.4. Penataran Calon Penerjemah Buku Ajar Perguruan Tinggi, Denpasar, 16 Nopember 3 Desember 1991.5. Workshop on Plant Protection, Fakultas Pertanian Unsoed, 27 Januari 14 Pebruari 1992.6. Training on Biological Control of Plant Pests and Diseases, Fakultas Pertanian, Unsoed, 17 22 Pebruari 1992.7. Kursus Bahasa Inggris Tingkat EAP I, UPT Pusat Bahasa, ITB, Bandung, 4 Januari 20 Maret 1993.8. Seminar Nasional Menggali Potensi Daerah Guna Meningkatkan Proses Pembangunan di Wilayah Banyumas, Purwokerto, 8 Mei 1993.9. Workshop on Applied Plant Protection, Fakultas pertanian, Unsoed, 28 Juni 16 Juli 1993.10. Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Botanis, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, 1-2 Desember 1993.

11. Kursus Bahasa Inggris di ITB Language Center, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Januari Juni 1995.

12. Summer School on Soil Physical Factors and Biotic Interactions, Wageningen, 1996.13. Summer school on Scale Specific Crop Protection for Smart Farming, Wageningen, 1997.14. Lokakarya Daerah Pembangunan Pangan, Gizi, dan Kesehatan Masyarakat, Unsoed, 26-27 September 2000.15. Seminar Pengembangan Sistem Usahatani Terpadu di Kawasan Lahan Beririgasi, Purwokerto, 22 Nopember 2000.16. Semiloknas Pengelolaan dan Penyuntingan Jurnal Ilmiah di Perguruan Tinggi Angkatan IX, Batu, Malang, 2000.17. Pelatihan Quality Assurance (QA) and Total Quality Management (TQM), Unsoed, Purwokerto, 31 Januari 2001.18. Seminar Nasional XIX dan Pokjanas TOI, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, 4-5 April 2001.19. Workshop on Plant Quarantine, Jakarta, 28 April 2001.20. Pelatihan Diagnosis Penyakit Tanaman, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, 2002.21. Lokakarya Penyusunan Panduan Penulisan Usulan, Laporan Penelitian, dan Artikel Ilmiah, Unsoed, 15-16 April 2002.22. Pelatihan AMAI (Audit Manajemen Akademik Internal), Pusat P3, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2005.23. Training Course on Management of Postharvest Diseases on Perishable Commodities, SEAMEO Biotrop, Bogor, 5-10 Desember 2005.24. Training on Identification of Fusarium oxysporum f.sp. cubense by using VCG and PCR, Dept. of Primary Industry and Fisheries, Brisbane, Australia, 12-25 Maret 2007.25. Pelatihan Penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pusat P3 Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 29-30 Maret dan 4 April 2007.26. Pelatihan Analisis Protein dan Asam Amino di Coastal Bioenvironment Center, Karatsu, Saga University, Jepang, 4-24 Nopember 2007.27. Penataran dan Lokakarya Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Unsoed, 10 Mei 2008.

28. International Fusarium Laboratory Workshop at Universiti Sains Malaysia (USM), Penang, Malaysia, 22-27 Juni 2008.29. Workshop Pengembangan Kerjasama LPM Unsoed dengan Yayasan Damandiri dan Pemkab 7 (Tujuh) Kabupaten, Unsoed, Purwokerto, 8 Januari 2008.Riwayat Pekerjaan

1. Penata Muda/Asisten Ahli Madya/IIIa, t.m.t. 31 September 1986

2. Penata Muda Tk. I/Asisten Ahli/IIIb, t.m.t. 01 Oktober 1987

3. Penata/Lektor Muda/IIIc, t.m.t. 01 Oktober 1990

4. Penata Tk. I/Lektor Madya/IIId, t.m.t. 01 Oktober 1994

5. Pembina/Lektor/IVa, t.m.t. 01 April 2004

6. Pembina Tk. I/Lektor Kepala/IVb, t.m.t. 01 April 2006

7. Pembina Tk. I/Guru Besar/IVb, t.m.t. 01 Juni 2008

Riwayat Jabatan

1. Sekretaris Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman (1992-1995).

2. Ketua Komda PFI Jateng dan DIY Bagian Selatan (1993-1995).

3. Konsultan pada PT. Selektani, Brastagi, Medan dan PT. Sakatani Semillas Indonesia, Batu, Malang (2001-2002).

4. Staf Ahli Lembaga Penelitian Universitas Jenderal Soedirman (2001-sekarang).

5. Ketua PFI Komisariat Daerah Purwokerto (2003-sekarang)

6. Kepala Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman (2003-2006)

7. Koordinator PERMI Purwokerto untuk Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman (2003-sekarang)

8. Kepala Pusat Layanan Informasi Ilmiah (d.h. Perpustakaan), Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman (2004-sekarang)

9. Ketua Proyek SP4 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman (2004-2005)

10. Ketua Program Studi Ilmu Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman (2006-sekarang)

11. Konsultan PT National Tropical Fruit, Lampung (2006-2008)

12. Anggota Senat Universitas Jenderal Soedirman (2008-sekarang)

Organisasi Profesi

1. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI)

2. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI)

Penulisan Buku

1. Soesanto, L. 1996. Kamus Istilah Fitopatologi. Kanisius, Yogyakarta. 120 hal. ISBN. 979-497-671-7.

2. Soesanto, L. 2000. Ecology and Biological Control of Verticillium dahliae. Univ. Wageningen, Wageningen. 120p. ISBN. 90-5808-192-3.3. Soesanto, L. 2002. Buku Ajar Hama dan Penyakit Tanaman Pangan. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

4. Soesanto, L. (Editor). 2004. Prosiding Simposium Nasional I tentang Fusarium. PFI Komda Purwokerto dan Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. 32