64
PASIEN DENGAN KERACUNAN TOKSIN AKUT (Gary E. Hill, MD, FCCM*, Babatunde Ogunnaike, MD, Dawood Nasir, MD) Kata kunci : toksin, anestesi, toksisitas, efek obat-obatan, keracunan, venom hewan reptile Toksisitas organ yang diakibatkan oleh racun atau terapi obat-obatan banyak ragamnya dan pada banyak kasus tidak nampak secara klinis. Secara umum, keadaan yang biasa ditemukan yang diakibatkan oleh farmakologis obat/toksin dapat dikategorikan melalui mekanisme bersama pada cedera organ. Diskusi berikut ini mengenai cedera yang diinduksi oleh toksin/obat-obatan dibagi menjadi 7 kategori berdasarkan patofisiologis bersama dari efek toksin atau dari pemberian zat obat-obatan yang ditemukan oleh pemeriksa: (1) Interval gelombang QT yang memanjangdan channelopathie yang diinduksi oleh obat-obatan; (2) methemoglobinemia yang didapat; (3) obat-obat yang menyebabkan sindrom hipertermia, cedera yang diinduksi oleh alkohol (ethanol) dan cedera yang diakibatkan oleh penyalahgunaan obat; (4) toksisitas obat-obatan pada pasien dengan nyeri kronik dan pasien yang mengalami toksisitas akibat konsumsi DMP (dextromethorphan); (5) keracunan yang menyebabkan asidosis metabolik termasuk akibat karbon monoksida; (6) keracunan militer/teroris yakni

Pasien Dengan Keracunan Toksin Akut Revised

Embed Size (px)

Citation preview

PASIEN DENGAN KERACUNAN TOKSIN AKUT

(Gary E. Hill, MD, FCCM*, Babatunde Ogunnaike, MD, Dawood Nasir, MD)

Kata kunci : toksin, anestesi, toksisitas, efek obat-obatan, keracunan, venom hewan

reptile

Toksisitas organ yang diakibatkan oleh racun atau terapi obat-obatan banyak

ragamnya dan pada banyak kasus tidak nampak secara klinis. Secara umum, keadaan yang

biasa ditemukan yang diakibatkan oleh farmakologis obat/toksin dapat dikategorikan

melalui mekanisme bersama pada cedera organ. Diskusi berikut ini mengenai cedera yang

diinduksi oleh toksin/obat-obatan dibagi menjadi 7 kategori berdasarkan patofisiologis

bersama dari efek toksin atau dari pemberian zat obat-obatan yang ditemukan oleh

pemeriksa: (1) Interval gelombang QT yang memanjangdan channelopathie yang diinduksi

oleh obat-obatan; (2) methemoglobinemia yang didapat; (3) obat-obat yang menyebabkan

sindrom hipertermia, cedera yang diinduksi oleh alkohol (ethanol) dan cedera yang

diakibatkan oleh penyalahgunaan obat; (4) toksisitas obat-obatan pada pasien dengan nyeri

kronik dan pasien yang mengalami toksisitas akibat konsumsi DMP (dextromethorphan);

(5) keracunan yang menyebabkan asidosis metabolik termasuk akibat karbon monoksida;

(6) keracunan militer/teroris yakni termasuk botulism dan Botox, dan (7) keracunan akibat

gigitan/bisa serangga atau hewan reptile.

Interval gelombang QT yang memanjang dan Channelopathies yang diinduksi akibat

konsumsi obat-obatan

Seorang laki-laki berusia 34 tahun dijadwalkan menjalani tindakan pembedahan

elektif dan saat itu sedang menjalani terapi methadone karena kecanduan heroin. Pada hari

jadwal operasi dilakukan, kadar potassium (Kalium) adalah 3.0 mEq/L dan gambaran

elektrokardiografi (EKG) menunjukkan interval gelombang QT adalah 500 ms (dikoreksi

dengan rumus Bazett : QTc = QT/√RR) yang disertai gelombang U yang nyata. Apa yang

dapat anda lakukan selanjutnya?

Aksi potensial jantung (AP) dihasilkan dari aliran pertukaran ion-ion yang melewati

membran sel menuju ke gerbang/channel ion yang spesifik. Fase depolarisasi O muncul

dengan masuknya Natrium yang masuk dan dengan masuknya ion ini bertanggungjawab

menyebabkan timbulnya gelombang R yang tajam pada permukaan EKG (Gambar 1).

Dengan demikian, obat-obatan yang secara primer/kerja utamanya menghambat gerbang

Natrium (lidokain) dapat menyatukan atau menyebabkan pemanjangan gelombang

kompleks QRS. Gelombang T secara tajam turun diakibatkan oleh repolarisasi ventrikuler,

yang menyebabkan keluarnya ion kalium didalam (fase 3 repolarisasi). Seperti yang terlihat

dalam gambar 1, faktor utama dalam total durasi keseluruhan aksi potensial (APD) (onset

dari fase 0 hingga akhir fase 3) adalah durasi repolarisasi fase 3.1 APD ditentukan secara

klinis dengan mengukur interval gelombang QT, yang sebaliknya merupakan ukuran

kecepatan konduksi. Ketika kecepatan konduksi menjadi melambat, (gelombang QT

memanjang) seperti pada keadaan akibat efek obat-obatan atau efek perubahan elektrolit,

hal ini akan menyebabkan kondisi fisiologis menyebabkan munculnya keadaan aritmia.

Keterangan Gambar 1. Hubungan fase-fase aksi potensial Jantung pada gambaran EKG.

Fase 0 (masuknya natrium) menyebabkan naiknya gelombang R, fase 3 repolarisasi

menyebabkan naiknya gelombang T. Blokade gerbang natrium akan menyatukan kompleks

gelombang QRS dan menyebabkan pemanjangan gelombang tersebut; blockade gerbang

kalium akan memanjangkan fase 3 repolarisasi dan menyebabkan interval gelombang QT

memanjang.

Gerbang/channel kalium primer yang bertanggungjawab untuk fase 3 repolarisasi

adalah gerbang kalium cepat dan gerbang kalium lambat yang menjadi pengoreksi; gerbang

yang terakhir ini dikode oleh gen human ether-a-go-go (HERG) dan hampir secara khusus

menjadi gerbang yang paling sering berikatan dan dihambat oleh zat obat-obatan yang

didiskusikan dalam topik ini, sehingga dengan demikian interval gelombang QTc

memanjang. Fase selanjutnya segera setelah fase 3 repolarisasi dan sebelum dimulai onset

aksi potensial yang baru, masuknya sejumlah kecil ion kalsium normal terjadi dan disebut

sebagai early after depolarizations (EAD). Jika kecepatan konduksi melambat, (QTc yang

memanjang), EAD ini dapat menghasilkan gelombang depolarisasi positif pada akhir fase

3, yang akan menciptakan sebuah gelombang U pada gambaran EKG. Jika gelombang U

mendapatkan depolarisasi yang cukup untuk dapat mencapai kadar ambang batas, sebuah

gelombang R baru akan muncul, menciptakan gelombang R dalam periode gelombang T,

sehingga demikan akan mencetuskan ventrikuler aritmia re-entry. Mekanisme ini diyakini

bertanggungjawab dalam perkembangan terjadinya ventrikuler takikardia polimorfik yang

unik yang biasanya dikenal sebagai torsades de pointes (TdP).

TdP pertama kali dideskripsikan pada tahun 1964 pada pasien yang mendapatkan

terapi obat anti-aritmia kelas 1A, quinidine. Perkembangan secara terus menerus dalam

daftar obat-obatan yang dilaporkan menghambat HERG gerbang kalium dan menyebabkan

pemanjangan QTc dan secara potensial menciptakan jenis aritmia TdP (Tabel 1).

Tabel 1. Obat-obatan yang diketahui menyebabkan pemanjangan interval gelombang

QT dan berpotensial menyebabkan TdP (Torsades de pointes)

Kategori Obat-obatan

Anti-aritmia Kelas Vaughn-Williams

1A Disopyramide, procainamide, quinidine

1C Encainide, flecainide

III Amiodarone (TdP jarang), dofetilide, ibutilide, sotalol

Obat penghambat gerbang Kalsium/ Calcium channel–blocker

Diltiazem, verapamil

Obat Psikiatri Amitriptyline, chlorpromaxine, desipramine, fluxetine,

haloperidol, imipramine, lithium, pimozide,

paraxetine, sertraline, thioridazine, ziprasidoneAntihistamin Astemizole, diphenhydramine, hydroxyzine,

TerfenadineAntiinfeksi Amantadine, ciprofloxacin, chloroquine,

clarithromycin, erythromycin, fluconazole,

grepafloxacin, itraconazole, ketoconazole,

pentamidine, quinineAntiretroviral Amprenavir, indinavir, ritonavirObat-obat anestesi Zat Inhalan (sevo- and desflurane), methadone,

droperidol, ondansetron, cocaine, all LAs (kecuali lidocaine), hypokalemia khususunya onset akut (hyperventilasi, infus cairan bikarbonat, insulin, epinephrine), vasopressin, organofosfat

Obat-obatan yang secara spesifik yang digunakan oleh ahli anestesi, yakni kokain,

droperidol, sevoflurane, haloperidol, ondansetron, methadone, dan semua jenis anestesi

lokal (dengan pengecualian lidokain, yang tidak bekerja menghambat gerbang kalium).

Penghambatan/blockade gerbang kalium (perpanjangan fase 3 depolarisasi dan begitupula

APD) adalah hal penting untuk secara signifikan memperpanjang interval QTc dan secara

potensial menyebabkan TdP.3 Hipokalemia ekstraseluler juga memperpanjang interval

QTc dengan mekanisme hiperpolarisasi potensial istirahat membran, sehingga dengan

demikian membutuhkan periode fase 3 repolarisasi yang lebih lama, dan dengan demikian

memperpanjang APD dan QTc (gambar 2). Hipokalemia akan memberikan potensial

terjadinya perpanjangan QTc yang diinduksi oleh penggunaan obat-obatan dan

meningkatkan insidens TdP.4 Selain itu, diperkirakan 1 dari 10.000 individu adalah carrier

untuk gen sindrom gelombang QT panjang (LQTS kongenital) dan pemeriksaan EKG rutin

dapat menunjukkan interval QT yang normal pada individu-individu ini. LQTS Kongenital

dapat dikaburkan oleh adanya sinergisme saat pemberian obat pertama kali yang kerjanya

menghambat gerbang natrium; sebagai contoh, onset TdP dan kematian mendadak pada

pengguna kokain untuk bersenang-senang (penggunaan pertama kali). Pemanjangan

interval QT saat ini menjadi penyebab paling umum pada keadaan ketergantungan obat-

obatan yang dipasarkan dan telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA)

Amerika Serikat. Obat-obatan yang berhubungan dengan pemanjangan QT yakni seperti

anti-psikotik (lithium, haloperidol dan chlorpromazine), anti-histamin (difenhidramin dan

astemizole), dan obat-obatan anti-infeksi (eritromisin, klarithromisin, kloroquin). Efek

obat-obatan ini terhadap gerbang HERG adalah sinergis, dan terhadap gangguan

keseimbangan elektrolit (hipokalemia, megnesemia) dapat menyebabkan jenis aritmia TdP

yang fatal. Meskipun tidak ada kepastian yang telah didefinisikan sebelumnya, pendekatan

pada interval gelombang QTc yang lebih besar dari 500 ms merupakan peringatan keras

bahwa kejadian TdP dapat terjadi. 3

Keterangan gambar 2. Persamaan Nernst menunjukkan bahwa rasio Kalium ekstraselluler

(Ko) terhadap kalium intraselluler (Ki) merupakan penentu utama pada potensial membran

dalam keadaan istirahat (E). Reduksi kronik Ko oleh diuretik thiazid atau reduksi cepat Ko

oleh peningkatan Ki secara simultan (hiperventilasi, pemberian infus insulin, epinefrin, atau

bikarbonat) akan menyebabkan E hiperpolarisasi (menjadi lebih negatif) dan ini

membutuhkan fase 3 repolarisasi yang lebih lama untuk kembali ke potensial membran

istirahat dasar/basal. Proses ini akan menyebabkan durasi AP memanjang dan dengan kata

lain menyebabkan pemanjangan interval gelombang QT.

Kokain

Dikarenakan sebagian besar persentase penduduk Amerika berusia 12 tahun atau

lebih (14% dari jumlah keseluruhan populasi di Amerika Serikat)pernah menggunakan

kokain setidaknya sekali, nampaknya dokter dibutuhkan untuk mampu memberi perawatan

kesehatan pada pasien yang positif pengguna kokain. Kokain dapat menyebakan spasme

koroner, meningkatkan atherosclerosis, meningkatkan kadar katekolamin plasma (dengan

pengambilan kembali proses inhibisi norepinefrin), iskemia miokardial, dan diseksi aorta,

sehingga dilaporkan bahwa 43% pengguna kokain mengalami aritmia dalam 12 jam setelah

mengkonsumsi kokain dan hal ini tidak mengherankan. Meskipun lebih dari 80%

penyalahguna kokain menunjukkan gambaran EKG yang abnormal, temuan spesifik

pemeriksaan EKG untuk iskemia atau infark jantung jarang didapatkan (2%-6%). Frekuensi

yang meningkat yang dilaporkan yakni pemanjangan QTc dan TdP dijelaskan melalui efek

kokain dalam penghambatan gerbang natrium dan kalium (HERG). Pentingnya

channelopathy yang diinduksi oleh kokain ini diperlihatkan melalui pemendekan

(peningkatan) interval QTc setelah pemberian ion natrium (natrium bikarbonat), yang

dengan demikian berperan antagonis terhadap blockade gerbang natrium yang diinduksi

oleh kokain. Perbandingan farmakologis yang serupa perlu diberikan ion kalsium pada

pasien yang over-dosis mengkonsumsi obat-obatan yang bekerja menghambat gerbang

kalsium. Blokade gerbang kalium dan natrium yang disebabkan oleh kokain hampir serupa

dengan efek obat flecainide anti-aritmia Vaughn-Williams kelas 1c, dimana sebagian besar

tidak lagi digunakan dikarenakan dapat menyebabkan TdP.7 Kokain dapat mengaburkan

kelompok pasien seperti ini yang tidak dikenali gejalanya dan mengaburkan pada pasien

dengan LQTS kongenital yakni dengan menyebabkan TdP dan aritmia pada kelompok

pasien ini. Hal ini mungkin menjelaskan kematian mendadak yang dialami pada pengguna

kokain pertama kali saat bersenang-senang.

Manajemen klinis pasien dengan positif kokain, selain dengan menghindari obat-

obatan yang menghambat reseptor β (yang umumnya diketahui, termasuk labetolol), akan

bijaksana pula untuk menghindari obat-obatan yang diketahui dapat menyebabkan

pemanjangan APD dan juga QTc (akan dibahas nanti). Dikarenakan propofol, midazolam,

opioid sintetis (fentanil, sufentanil), obat-obatan penghambat neuro-muskular, dan nitrat

oksida telah dilaporkan tidak memiliki efek pada APD, olehnya dokter diperbolehkan

menggunakan dengan pilihan obat yang beralasan tepat dan penggunaan teknik regional

menggunakan lidokain.

Methadone

Methadone saat ini merupakan obat yang paling umum dikaitkan dengan kejadian

TdP di Rumah Sakit Parkland, Dallas, Texas. Sebuah penelitian terbaru memperlihatkan

lebih dari 16% pasien yang mendapatkan methadone mengalami pemanjangan QTc yang

signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol sejumlah 0%, dengan hampir 4% pasien

yang mendapatkan methadone mengalami TdP. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa

hipokalemia adalah faktor resiko signifikan yang sinergis untuk terjadinya TdP. 8

Zat Anestesi Lokal (kecuali Lidokain)

Bupivacaine, ropivacaine, dan mepivacaine berikatan dan menghambat gerbang

kalium dan dengan demikian menyebabkan pemanjangan APD dan durasi interval QTc

pada EKG.9 Dilaporkan sinergisme banyaknya blockade gerbang kalium antara gerbang

mutan kalium (LQTS kongenital) dan zat anestesi lokal (LAs) menunjukkan bahwa anestesi

regional dengan jenis LAs yang sebelumnya telah disebutkan sebaiknya diberikan dengan

pendekatan yang berhati-hati untuk semua pasien yang interval QTc 450 hingga 500 ms.

Zat LAs yang disebutkan sebelumnya sebaiknya diberikan hati-hati pada pasien jika

diketahui pasien mendapatkan obat-obatan yang bekerja memperpanjang QTc. Jika teknik

regional dengan salah satu jenis LAs ini diberikan, pemantauan EKG secara terus-menerus

setelah injeksi zat anestesi hingga berakhirnya blok regional harus dilakukan, agar

keamanan pasien terjaga.

Sevo- dan Desflurane

Zat-zat inhalan ini diketahui menghambat gerbang kalium dan dengan demikian

memperpanjang APD jantung dan interval QTc.10 Sevoflurane telah ditunjukkan bersinergis

dengan obat-obatan anti-aritmia kelas 3 sotalol dan dofetilide pada APD yang memanjang,

dan dibutuhkan kewaspadaan dokter terhadap keadaan riwayat pengobatan pasien

sebelumnya dan efek-efek obat-obatan tersebut pada QTc pasien yang mendapatkan zat

anestesi inhalasi.

Anti-emetik

Droperidol menyebabkan perpanjangan APD dan QTc yang bergantung pada

dosisnya, melalui mekanisme penghambatan gerbang kalium HERG.11 Ondansetron

dilaporkan memiliki efek yang serupa. Meskipun kecil kemungkinan terjadinya aritmia

setelah pemberian obat dosis rendah (1,25 mg atau kurang) perlu diingat bahwa: semua

obat-obatan yang bekerja memblokir gerbang HERG adalah sinergis. Dengan demikian,

pada pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obatan yang diketahui memiliki efek

memperpanjang QTc, bahkan pada EKG pre-operatif memperlihatkan QTc kurang dari 500

ms, dan penting bagi dokter untuk menghindari pemberian droperidol dan ondansetron dan

menggunakan obat anti-emetik lain yang diketahui tidak memiliki efek terhadap QTc

(seperti deksametason) pada pasien dengan QTc yang lebih besar dari 45 ms.

Sebagai kesimpulan, pembedahan dalam kasus yang digambarkan pada di awal

bahasan ini sebaiknya dibatalkan, keadaan hipokalemia dikoreksi, dan pemberian dosis

methadone dievaluasi kembali. Pendekatan QTc 500 ms atau lebih merupakan ambang

batas maksimal untuk kemungkinan terjadinya TdP dan sebaiknya tidak diabaikan. Jika

tindakan operasi sangat mendesak, obat-obatan yang telah dijelaskan dapat memanjangkan

QTc sebaiknya dihindari, dengan hiperventilasi (yang mengakibatkan hipokalemia

ekstraseluler yang cepat, lihat gambar 2); kadar kalium plasma sebaiknya ditingkatkan

dengan pemberian suplemen kalium intravena (iv). Jika teknik anestesi regional dipilih,

lidokain sebaiknya menjadi jenis zat anestesi pilihan.

METHEMOGLOBINEMIA YANG DIDAPAT

Seorang laki-laki berusia 66 tahun perlu dengan kegawatdaruratan untuk segera

dilakukan tindakan laparatomi eksplorasi akibat adanya udara bebas intra-abdomen.

Riwayat konsumsi obat-obatan yakni isosorbid dinitrate untuk penyakit jantung iskemik.

Istrinya juga mengkonfirmasi penggunaan semprot topikal Lanacane (20% benzocaine)

(dibeli di apotik bebas) untuk nyeri akibat terik matahari dan digunakan intra-oral untuk

nyeri ulserasi di mucosal yang diakibatkan oleh gigi yang tidak beraturan. Di ruang gawat

darurat, dicatat saturasi oksigen terbaca di angka 85% hingga 86% meskipun konsentrasi

oksigen yang dihirup tinggi. analisis gas darah (arterial blood gas/ABG) memperlihatkan

PO2 94%. Apa yang harus dilakukan selanjutnya?

Methemoglobine (MHgb) adalah bentuk zat besi molekul hemoglobin yang telah

teroksidasi (Fe3+) dan dalam keadaan ini tidak dapat berikatan dan tidak dapat

mengtransportasikan oksigen. Selain itu, kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kiri,

sehingga dengan demikian menurunkan perpindahan O2 perifer.12 Kerja sitokrom b5

reduktase methemoglobin juga tergantung pada nikotin adenine dinukleotide fosfatase

diaphorase yang terreduksi (methylen blue meningkatkan aktivitas enzim ini dan secara

umum dipahami bahwa enzim ini mereduksi methylene blue menjadi leukomethylene blue;

leukomethylene blue kemudian mereduksi MHgb menjadi Hgb). 13

Kelas obat-obatan yang paling umum digunakan secara klinis yang dapat

menyebabkan terbentuknya MHgb adalah LAs, yang dipertimbangkan beraksi sebagai

oksidizer tidak langsung; dimana metabolisme in vivo Las menghasilkan metabolit amino

yang merupakan oksidizer actual.14 LAs yang diketahui dapat menyebabkan MHgb adalah

lidokain (jarang dan nampaknya tidak pernah), mepivacaine, tetracaine, prilocaine, dan

benzodiazepine (paling sering). Semprot benzodiazepine intraoral selama fase inhalasi

memperlihatkan absorpsi transmukosal jalan nafis yang cepat dan memberikan hasil

pengukurang MHgb yang tingginya dapat mencapai 60%.

Methemoglobinemia didiagnosis dengan kadar MHgb yang lebih besar dari 2% atau

uji Kronenberg, dimana uji ini merupakan evaluasi sederhana visual yang dilakukan dengan

menurunkan darah kadar normal (sebagai kontras visual atau kontrol) dan darah yang

mengandung MHgb. Kegagalan darah dengan MHgb untuk berubah menjadi warna coklat

khas diikuti oleh paparan udara ruangan atau paparan terhadap O2 menjadi warna yang

sesuai dengan warna darah normal kontrol dapat memberikan kesan sebagai warna hitam,

abu-abu, coklat/brownish, ungu, atau pucat. Warna darah dideskripsikan sebagai warna

coklat/brownish, hitam, burgundy, merah, sianotik, atau biru/ungu. Saturasi oksigen diukur

dengan oksimetri dual standar (2 panjang gelombang) yang dilaporkan bervariasi antara

50% dan 94%, dengan nilai tengah 85%. Penemuan penting dan petunjuk untuk penegakan

diagnosis yang tepat adalah menemukan tidak adanya hubungan antara pengukuran saturasi

oksigen dengan oksimetri secara simultan (SpO2 yang diharapkan/hubungan PO2 arterial)

yang kurang dari 90% ketika diukur langsung (dengan menggunakan elektroda Clark

standar) dan PaO2 arterial adalah lebih besar dari 70 mmHg. Disosiasi kurva

oksihemoglobin yang normal akan berpasangan dengan SpO2 sebesar 90% dan PO2

arterial sebesar 60 mmHg.

Temuan umum untuk penggunaan yang bersamaan dengan obat-obatan iksidizer

lainnya seperti terapi nitrat, trimetoprim-sulfamethoxazole (bactrim), dapsone,

fenazaporydine, dan fenacetin.14 Komplikasi yang dilaporkan pada MHgb yakni seperti

infark miokardium (dengan terdapat pula kasus tanpa gelombang infark Q yang disertai

peningkatan enzim jantung), koma, kejang-kejang, kegagalan pernafasan/sistem respirasi,

syok, dan cedera otak hipoksia. Kebanyakan pasien dengan kadar MHgb lebih dari 8%

menunjukkan gejala klinis. Oksimeter standar (panjang gelombang ganda/dual) dapat

menyebabkan tidak dipedulikannya derajat hipoksemia sistemik, sedangkan oksimeter CO

dengan multipel panjang gelombang cahaya (umumnya 8) mampu memberikan estimasi

yang akurat terhadap kadar SpO2 dan %MHgb.

Prilocaine dimetabolisme menjadi ortho-toluidine, yang bertanggungjawab untuk

proses oksidasi Hgb menjadi MHgb. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan lebih rentan

mengalami oksidasi dikarenakan kadar enzim NADH-nya yang lebih rendah, sehingga

dengan demikian prilocaine sebaiknya dihindari penggunannya untuk kelompok pasien usia

ini. Dikarenakan tidak ada perbedaan dosis benzocaine yang ada antara dosis terapeutik dan

dosis toksik, dan dikarenakan kesulitan untuk memprediksi pasien mana yang akan

berkembang MHgb secara signifikan setelah paparan, disarankan bahwa penggunaan klinis

benzocaine dibatasi atau tidak lagi digunakan.18 Tahun 2006, the Veteran Affairs Central

Pharmacy merekomendasikan penggunaan lidokain untuk digunakan sebagai zat anestesi

topikal untuk prosedur pada jalan nafas dan spray topikal yang mengandung benzocaine

sebaiknya tidak lagi digunakan dan harus disingkirkan dari tempat penyimpanan farmasi

rumah sakit.

Kasus yang dijelaskan pada permulaan pokok bahasan ini memperlihatkan kadar

MHgb 18% dan secara sukses diobati dengan pemberian methylene blue (1 mg/kgBB)19 dan

dianjurkan peningkatan pembacaan dan penggunaan oksimetri (dalam 60 menit) (dengan 2

panjang gelombang standar) yang terbaca pada kadar 96% hingga 97%. Sisa dari rangkaian

rumah sakit yang tidak diperkirakan terjadi setelah kolostomi untuk divertikulum kolon

yang telah perforasi.

Obat-obat Penyebab Sindrom Hipertermia, Cedera yang diinduksi alkohol (Ethanol)

dan Cedera Akibat Penyalahgunaan Obat-obatan Herbal

Perempuan 25 tahun datang ke perawatan akibat pingsan di tempat hiburan malam.

Dari riwayat rekam medisnya diketahui pasien pernah menggunakan Zoloft (sertraline) dan

St.John’s wort untuk depresi. Pasien mengaku telah mengkonsumsi ecstasy (3,4-

methylenedioxymethamphetamine [MDMA]) dan kokain. Pasien agresif, disorienteasi,

tidak dapat diajak kerjasama, mengalami kekakuan pada lengan dan tungkai, dan dengan

tanda vital sebagai berikut: tekanan darah 185/105, frekuensi jantung 135, dan suhu tubuh

39,9°C. EKG menunjukkan adanya sinus takikardi dengan interval QTc yang normal dan

segmen ST isoelektrik. Apa yang akan dilakukan kemudian?

Sindrom hipertermia yang diinduksi oleh bahan toksik harus dipertimbangkan

sebagai differential diagnosis pada pasien yang datang dengan kekakuan otot dan

demam.Sangat penting bagi para klinisi untuk mengetahui penyebab yang mendasari

terjadinya sindrom hipertermia yang diinduksi olah obat-obatan (bahan toksik) sebab

penatalaksanaan yang sesuai bervariasi berdasarkan penyebabnya.

Norepinefrin, dopamine, dan serotonin merupakan neurotransmitter yang

mempengaruhi control hipotalamus terhadap suhu tubuh. Obat atau bahan toksin yang

dapat mempengaruhi konsentrasi neurotransmitter juga akan mempengaruhi regulasi suhu

tubuh. Kokain, amfetamin, metamfetamin, dan MDMA juga diketahui dapat menimbulkan

sindrom serotonin (SS), khususnya jika dikombinasikan dengan obat antidepresan. Saat ini,

dengan peningkatan penggunaan SSRIs (selective serotonin reuptake inhibitors) sebagai

anti depresan dan peningkatan penggunaan obat-obat illegal (utamanya MDMA), angka

kejadian sindrom serotonin juga dilaporkn semakin meningkat. Sebuah laporan kasus

paling awal sindrom serotonin (1955) berhubungan dengan kombinasi antara meperidine

(Demerol) dan iproniazid yang merupakan golongan monoamine oxidase inhibitor (MAOI).

Salah satu laporan kasus yang paling dikenal yaitu kasus sindrom serotonin yang terjadi

pada tahun 1984 ketika Libby Zion usia 18 tahun meninggal akibat sindrom serotonin yang

timbul akibat kombinasi meperidin dan phenelzine (golongan MAOI).

Kebanyakan pasien yang mengalami sindrom serotonin datang dengan kombinasi

keluhan seperti status mental yang terganggu (koma, bingung, agitasi, kejang), aktivitas

neuromuscular yang abnormal (rigid, myoklonik), dan keadaan otonom yang tidak stabil

(demam, diaphoresis, takikardi, hipertensi). Jika sindrom serotonin disertai rhabdomyolisis,

asidosis metabolik, koagulopati, dan peningkatan suhu tubuh yang bermakna (>43°C),

angka mortalitis akan meningkat secara signifikan. Banyak obat-obatan seperti golongan

MAOI, amfetamin, MDMA, kokain, antidepresan trisiklik, SSRI, tramadol, meperidin,

lithium, L-dopadan lysergic acid diethylamide (LSD), dapat meningkatkan kadar serotonin

yang dapat mengarah ke sindrom serotonin. Peningkatan suhu lingkungan (puncak angka

kejadian sindrom serotonin yaitu pada musim panas) dan aktivitas motorik (pesta sepanjang

malam) akan meningkatkan risiko terjadinya sindrom serotonin setelah penggunaan obat-

obatan yang dapat meningkatkan kadar serotonin otak. Selain itu, diketahui bahwa terjadi

peningkatan kadar katekolamin dalam plasma (utamanya norepinefrin, yang disertai dengan

timbulnya efek kardiovaskular) setelah ingesti MDMA, amfetamin dan kokain.

Terapi untuk sindrom serotonin meliputi external cooling, kombinasi alfa dan beta

bloker (carvedilol), atau calcium channel blocker untuk mengatasi gejala-gejala simpatetik

(hipertensi dan takikardi), dan benzodiazepine (midazolam) serta propofol (pemberian

menggunakan infus) untuk mengandalikan gejala-gejala sistem saraf pusat.

Neuroleptic malignant syndrome (NMS) mungkin akan sulit dibedakan secara klinis

dengan sindrom serotonin (SS). NMS normalnya terlihat setelah penggunaan neuroleptik

potensi tinggi, seperti haloperidol, namun juga tercatat kasus NMS yang timbul akibat

penggunaan metaclorpramide (Reglan), promethazine, dan terapi antiparkinson. Dantrolene

(penggunaan tunggal maupun kombinasi dengan bromokriptin) merupakan terapi yang

direkomendasikan untuk penangan NMS.

Hipertermia malignan (malignant hyperthermia – MH) yang merupakan sindrom

yang dikenal baik di bidang anestesi, juga ditandai dengan gejala simpatetik akibat

peningkatan kadar katekolamin plasma yang signifikan. Penggunaan alfa bloker diketahui

meningkatkan angka survival MH pada hewan percobaan.

Cedera yang diinduksi Alkohol (Ethanol)

Penyalahgunaan alkohol dapat menimbulkan berbagai cedera dan kerusakan seperti

strok, kardiomiopati, aritmia, perdarahn intraserebral dan perdarahan subarachnoid (efek

sekunder akibat hipertensi), aterosklerosis, diseksi aorta, infark miokard, dan hipertensi, di

mana penggunaan alcohol dalam jumlah sedikit dilaporkan daoat mengurangi komplikasi-

komplikasi ini. Saat ini, penyalahgunaan alkohol merupakan penyebab utama

kardiomiopati non-iskemik; 11% dari pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit

diduga akibat efek sekunder dari konsumsi alcohol. Hampir 30% kasus baru atrium fibrilasi

diketahui akibat konsumsi alkohol.

Cedera Akibat Obat Herbal

Diperkirakan sekitar 42% populasi menggunakan suplemen alternatif. Pada tahun

1994, legislatif mengkategorikan suplemen diet sebagai makanan, sehingga untuk membeli

suplemen tidak diperlukan resep dan meningkatkan konsumsi populasi umum akan obat

herbal. Meskipun ada berbagai jenis obat herbal, namun pembahasan artikel ini dibatasi

mengenai ephedra dan St.John’s wort.

Ephedra

Ephedra masih tersebar dengan luas meskipun FDA telah memberi peringatan

dan membatasi penjualan suplemen diet yang mengandung ephedra. Meskipun ephedra

telah digunakan selama kurang lebih 5000 tahun dalam pengobatan China, di Amerika

Serikat ephedra digunakan untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan energy.

Meskipun pada tahun 1887, efedrin diketahui diisolasi dari ephedra, saat ini ephedra

juga dikatahui terkandung dalam pseudoefedrin, norefedrin, metilpseudoefedrin, dan

norpseudoefedrin (semua alkaloid simpatomimetik). Ephedra juga biasa

dikombinasikan dengan kafein, membentuk produk yang memiliki efek agonis

signifikan pada reseptor alfa dan beta adrenergik serta efek agonis tidak langsung

dengan memicu pelepasan norepinefrin. Karena beragamnya konsentrasi alkaloid

efedrin dalam suplemen, maka bervariasi pula efek kardiovaskular yang timbul setelah

ingesti. Di Dallas, ephedra dikenal juga sebagai TX, sebuah ekstasi herbal. Efek

euphoria dan stimulan ephedra lebih sedikit namun serupa dengan efek yang

ditimbulkan amfetamin. Anxietas, aritmia, palpitasi, sakit kepala, perdarahan

intracranial, hipertensi, kejang, strok, infark miokard, hipertermia, dan kematian

merupakan kejadian-kejadian yang dilaporkan timbul akibat penggunaan ephedra.

Infark miokard terjadi akibat vasospasme arteri coroner setelah ingesti ephedra pada

pasien dengan arteri coroner yang normal.

St.John’s wort

Konsentrasi unsur aktif St.John’s wort, hypericin dan hyperforin, bervariasi

antara tanaman yang satu dengan tanaman yang lain, namun konsentrasinya dalam

preparat komersial telah disesuaikan dengan standar yaitu berkisar antara 0,2% - 0,5%

pada produk awal dan 3% pada produk terkini. Hypericin dikenal sebagai MAOI,

menghambat katekol-O-metiltransferase serta berperan dalam reuptake serotonin,

dopamin, dan norepinefrin (yang meningkatkan kadar monoamin), sehingga sering

digunakan dalam penatalaksanaan depresi dan anxietas.

St.John’s wort merupakan penginduksi enzim hati sitokrom P450, yang

mempengaruhi metabolisme dari berbagai obat yang diberikan bersamanya. Terjadi

peningkatan klirens midazolam dan alprazolam. Penelitian menunjukkan kurangnya

insidens akan efek samping wort, termasuk tidak ada efek terhadap interval QTc.

Masalah mengenai St.John’s wort yaitu seringnya timbul laporan mengenai

interkasi antara obat herbal ini dengan obat-obat yang diresepkan. Sindrom serotonin

telah dilaporkan dapat terjadi dengan penggunaan obat herbal ini bersamaan dengan

obat-obat serotonergik lain, seperti yang telah dibahas dalam kasus sebelumnya. Selain

itu, penurunan kadar digoksin, verapamil, warfarin, methadone, siklosporin, teofilin,

amitriptilin, midazolam, alprazolam, omeprazole, dan simvastatin dalam plasma

dilaporkan terjadi pada pemberian yang bersamaan dengan hypericum.

Toksisitas Obat terhadap Pasien dengan Nyeri Kronik dan Toksisitas DMP

Laki-laki 60 tahun datang ke klinik manajemen nyeri kronik untuk kontrol low back

pain yang tidak berhasil ditangani dengan laminektomi 3 lumbal, yang juga disertai terapi

bone fusion dan pemasangan hardware. Paisen memiliki riwayat penggunaan obat-obat IV,

alcohol dan hepatitis C positif. Pasien mengaku mengkonsumsi 6-9 Lorcet (Tabel 2) secara

rutin tiap 24 jam. Keluhannya saat ini yaitunyeri epigastrium postprandial, nyeri tekan perut

kuadran kanan atas, anoreksia, nausea, vomit, dan penurunan berat badan. Pemeriksaan

laboratorium menunjukkan AST 324 IU/L (normal 10-50 IU/L) dan ALT 190 IU/L (normal

10-50 IU/L). Apa yang dilakukan kemudian?

Tabel 2Obat kombinasi mengandung asetaminofen (AMP) yang sering digunakan. Rekomendasi terbaru batas maksimum dosis AMP/24 jam < 4 gr

Nama Obat Hydrocodone (mg) AMP (mg) Kodein (mg)Lorcet 10 650Lortab (Vicodin) 5 500Lortab 7.5 7.5 500Lortab 10 10 500Norco 5 325Norco 7.5 325Norco 10 325Tylenol #3 - 300 30Tylox 5 mg (oxycodone) 500Percocet 5 mg (oxycodone) 325

Percocet 10 mg (oxycodone) 650

Toksisitas Asetaminofen

Pernyataan yang tepat mengenai asetaminofen (asetil-para-aminofenol) [APAP],

atau untuk diskusi ini yaitu hepatoksisitas yang merupakan kunci dalam mencegah

morbiditas dan mortalitas. Dengan pemberian dosis yang tepat, 90% AMP dikonjugasi

dengan glukorinad menjadi bentuk metabolit non toksik. Kurang lebih 5% AMP

dimetabolisme oleh enzim oksidase sitokrom hepatis p450 menjadi metabolit toksik, N-

asetil-p-nezoquinoneimin (NAPQI). Dalam dosis yang normal, NAPQI di detoksifikasi

dengan cepat oleh glutation (GSH) menjadi metabolit non toksik. Overdosis AMP kronis

akhirnya menyebabkan konjugasi yang berlebihan, dan peningkatan kadar NAPQI

bersamaan dengan deplesi dengan GSH yang pada akhirnya menyebabkan nekrosis hepar.

Karena alkohol (ethanol) menginduksi sistem enzim p450, maka hepar akan meningkatkan

kemampuan metabolisme AMP menjadi NAPQI. Pecandu alkohol kronis juga akan

memiliki kadar plasma GSH yang rendah dibandingkan dengan orang yang bukan pecanda

alkohol, telah dilaporkan peningkatan risiko yang signifikan mengenai kejadian nekrosis

hepar oleh pecandu alkohol yang juga mengkonsumsi AMP secara kronis. GSH merupakan

zat yang esensial yang berperan dalam detoksifikasi NAPQI dan GSH yang telah tersimpan

dalam tubuh selain itu malnutrisi dan anoreksia nervosa juga dilaporkan menyebabkan

deplesi NAPQI dan GSH. Pengobatan Rumack-Mattherw dengan menggunakan nomogram

N-asetilsistein (NAC) sangat berguna dalam menuntun pengobatan toksisitas AMP akut

saja, tetapi tidak untuk pengobatan toksisitas subakut atau kronis yang diderita oleh pasien

dengan nyeri kronis.

Konsumsi AMP yang bersifat subakut (kronis) akan menyebabkan menigkatknya

risiko hepatotoksisitas pada orang yang menjalani dosis suprateraupetik AMP. Konsentrasi

serum AMP, AST, dan ALT sebaiknya di ukur pada tiap pasien dengan risiko tinggi

kejadian hepatotoksisitas ( hepatitis, malnutrisi, alkoholisme, dan sebagainya) yang telah

mengkonsumsi AMP 4 gram perhari. Pasien yang telah ditemukan tingginya kadar AMP

atau AST dan ALT sebaiknya diterapi dengan NAC oral. Studi yang telah dilakukan,

menunjukkan bahwa tidak ada pasien dengan konsumsi AMP kronis yang memiliki kadar

AST kurang dari 50 IU yang berpotensi berkembang menjadi hepatotoksisitas, dimana 15%

diantara yang memiliki kadar AST lebih besar dari 50IU telah menderita hepatotoksisitas.

Oleh karena itu pasien yang berpotensi menderita hepatotoksisitas diterapi dengan

menggunakan NAC oral sebagai pengganti terapi analgesik oral.

Hepatotoksisitas yang disebabkan oleh konsumsi AMP dipercaya dapat diterapi

dengan menggunakan NAC. Karena NAC merupakan prekursor terhadap peningkatan

sintesis GSH. NAPQI akan lebih terikat pada kelompok thiol GSH daripada pada hepatosit.

Saat NAPQI telah terikat pada kelompok thiol GSH maka akan memproduksi sistein dan

asam merkapturik terkonjugasi yang tidak reaktif dengan hepatosit. Protokol telah

menetapkan konsumsi NAC oral selama 72 jam menjadi terapi standar pada toksisitas AMP

kronis.

Fentanil Tempel dan Lolipop

Penggunaan fentanil transdermal dam fentanil lolipop secara terus menerus telah

meningkat beberapa tahun terakhir baik secara legal maupun ilegal. Fentanil transdermal

tempel telah didesain untuk melepaskan fentanil sebesar 12.5, 25, 50, 75 atau 100g/jam

dan memberikan hasil yang hampir sama dengan pemberian fentanil intravena secara terus

menerus. Penggunaan fentanil tempel yang disarankan yaitu selama 72 jam lalu diganti

untuk penggunaan lanjut, kadar fentanil yang terkandung dalam tiap fentanil tempel adalah

sebesar 2800g dalam fentanil tempel 10mg. Karena meningkatnya penggunaan fentanil,

maka penggunaan fentanil tempel pun berkembang menjadi sediaan isap, oral, bahkan

dalam sediaan ekstrak dan injeksi serta fentanil seduh dalam air panas (teh fentanil).

Penyalahgunaan ekstrak fentanil dengan dosis yang tidak sesuai telah menyebabkan

beberapa kematian karena kelebihan dosis.

Fentanil lolipop (Actiq) bergantung terhadap penyerapan transmukosa dan

digunakan pada nyeri primer pada penderita kanker. Penyalahgunaan terhadap pemberian

fentanil pada beberapa klinisi menimbulkan gejala yang telah diketahui sebagai intoksikasi

opioid (CNS dam depresi pernapasan, miosis) telah dapat diterapi dengan pengobatan

suportif dan manajemen jalan napas.

DMP

DMP merupakan isomer dekstrorotator dari levorfanol, yang merupakan analog dari

kodein, dan secara umum digunakan sebagai terapi supresi pada batuk. DMP tersedia

secara luas dalam berbagai sediaan obat batuk ataupun obat flu, DMP ditemukan dalam

Robitussin dan Coricidin. Walaupun pada awalnya DMP digolongkan sebagai sebagai

opioid, DMP dipercaya dapat menghilangkan potensi penyalahgunaan ataupun

ketergantungan. DMP tidak menimbulkan efek samping khas dari opioid seperti depresi

pernapasan, miosis, atau analgesia karena DMP tidak terikat ataupun menstimulus reseptor

opioid k atau . Karena metabolit aktif dasarnya adalah dekstorfan, yang terikat dan

menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) seperti halnya efek farmakologis dari

ketamin. Penyalahgunaan DMP akan menimbulkan gejala mirip penisilidan (PCP) yang

telah diketahui antara lain halusinasi, euforia, paranoid, disorientasi tempat dan waktu, serta

psikosis akut. Sebagai tambahan, DMP merupakan penghambat reabsorbsi dari serotonin

yang berperan dalam efek awal serotonergik sentral. Benzodiazepin, seperti midazolam

efektif dalam mencegah atau mengobati efek CNS pada PCP, dan oleh karena itu DMP

sebaiknya menjadi pilihan obat dalam terapi penyalahgunaan DMP.

Keracunan yang Menyebabkan Asidosis Metabolik termasuk Karbon Monoksida

Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dengan berat badan 16 kg, masuk Unit

Gawat Darurat karena kebakaran di rumahnya yang disebabkan oleh pemanas elektrik gas

metan, saat kejadian anak tersebut dikeluarkan oleh petugas pemadam kebakaran melalui

jendela rumah. Saat tiba di UGD pasien tampak somnolen dengan bantuan pernapasan

menggunakan oksigen melalui face mask, saturasi oksigen yang terbaca sebesar 97%.

Beberapa saat setelah masuk UGD pasien mengalami kejang dan telah terpasang

endotrakeal tube. Analisa gas darah menunjukkan PO2 sebesar 97 mmHg, dan pCO2 sebesar

33 mmHg, pH sebesar 7.19 dengan defisit dasar 13 mmol, HCO3- sebesar 12mmol/L dan

laktat sebesar 7 mmol/L. Siperkirakan 18% permukaan tubuh terbakar dengan lokasi

terbanyak di area ekstremitas bawah. Apa yang selanjutnya Anda lakukan?

Toksin yang diinduksi oleh asidosis metabolik yaitu (pH <7.40, reduksi HCO3- dan

timbulnya defisit dasar dapat meningkatkan produksi asam. Meningkatnya produksi asam

mungkin disebabkan oleh toksin yang bersifat asam atau mengandung metabolit asam.

Sehingga menimbulkan badan keton atau gangguan produksi maupun konsumsi dari

adenosin tri pospat (ATP). Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini sangat penting

termasuk pemeriksaan kuantitatif pada penggunaan obat-obatan seperti asetaminofen,

aspirin, karboksihemoglobin (CO-HgB), ethylen glisol, dan metanol, analisa gas darah,

studi panel metabolik, dam EKG 12 lead. Sebagai tambahan, pasien mungkin akan

menunjukkan gambaran klinis sebagai sindrom toksik yang disebabkan oleh obat-obatan

anti kolinergik atau kolinergik, opioid, dan obat-obatan simptomatis. Pemeriksaan serum

rutin dan urin rutin jarang membantu, karena munculnya gejala hanya karena disebabkan

pemakaian obat tersebut, bukan disebabkan oleh kondisi klinis dasar pasien.

Teknik klinis yang berperan dalam mengevaluasi asidosis yang diinduksi oleh

toksin yaitu pengukuran gap anion (AG). Banyak toksin yang dihubungkan dengan

peningkatan kadar AG pada kondisi asidosis matabolik yang disebabkan oleh keracunan

pada beberapa toksin seperti pada tabel 3. AG diukur berdasarkan formula AG=[Na+]-[Cl-]

+[HCO3-]. Kadar AG yang normal dilaporkan antara 7 dan 12 mEq/L berdasarkan sumber

yang telah ditetapkan. Kadar AG yang lebih besar daripada 12 (±4 mEq/L) akan

menyebabkan kondisi medis seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.

Tabel 3: Kondisi medis, toksin, dan obat-obatan yang meningkatakan AG pada

asidosis metabolic

Kondisi medis Toksin atau obat-obatan

Uremia Etylen glysol

Ketoasidosis diabetik, ketoasidosis alkoholik Salisilat

Laktat asidosis dan syok Asetaminofen

Karbon Monoksida Amfetamin

Kokain

Sianida (termasuk nitroprusida)

Asam valproat

Propofol

Asidosis yang Disebabkan Oleh Toksin yang Bersifat Asam atau Memiliki Metabolit

Asam (Meningkatkan Produksi Asam)

Kadar alkohol pada benzyl alkohol, etanol, etilen glisol, dan metanol tidak

menyebabkan pembentukan asam sampai dimetabolisme lebih lanjut. Etilen glisol

dimetabolisme menjadi asam glisolik, metanol menjadi asam formik, dan etanol menjadi

asam asetat. Benzil alkohol merupakan pengawet yang sering digunakan dalam terapi IV.

Salisilat merupakan asam lemah yang mungkin menyebabkan peningkatan metabolisme

asidosis melalui beberapa mekanisme, termasuk pelepasan fosforilasi oksidatif, gangguan

pada ginjal yang berpotensi menjadi gagal ginjal dan retensi asam, dan menyebabkan

peningkatan badan keton.

Asidosis yang disebabkan oleh Gangguan Produksi dan Konsumsi ATP

Asidosis metabolik yang disebabkan oleh gangguan produksi dan konsumsi energi

seluler. Asetaminofen dipercaya dapat menghambat fosforilasi oksidatif yang

menyebabkan asidosis metabolik AG. Pasien dengan positif mengidap Human

Immunodeficiency Virus (HIV) yang telah mengkonsumsi anti retroviral dapat menderita

asidosis metabolik yang disebabkan oleh pelepasan fosforilasi oksidatif oleh mitokondria

polimerase. Peningkatan asidosis metabolik AG juga diketahui akibat toksisitas asam

valproat. Penggunaan klinis biguanid fenformin juga dikurangi karena berisiko

menyebabkan asidosis metabolik. Namun biguanid jenis lain seperti metformin, tidak

dianggap secara langsung menyebabkan asidosis metabolik, tetapi penggunaan metformin

secara sengaja yang berlebihan dapat menyebabkan asidosis metabolik AG yang

disebabkan oleh hambatan pengangkutan rantai elektron.

Beberapa keracunan mitokondrial dapat disebabkan oleh asidosis metabolik yang

berat, termasuk karbon monoksida, sianida (termasuk nitroprusida yang didapatkan dari ion

sianida), asam formik yang terbentuk dari metabolisme konsumsi alkohol, dan salisilat.

Toksin ini menghambat pengangkutan rantai elektron, menghambat produksi energi

anaerob dan dapat menyebabkam peningkatan asidosis metabolik AG.

Asidosis yang Disebabkan Peningkatan Produksi Asam

Diabetes yang tidak terkontrol, puasa serta olahraga lama, dan konsumsi alkohol

akut dapat menginduksi produksi badan keton (asetoasetat, aseton, β-hidroksibutirat)

menyebabkan asidosis metabolik AG.

Munculnya laktat merupakan indikator dasar dari metabolisme anaerob. Tidak

adanya peningkatan produksi ion H+ terjadi saat metabolisme anaerob……..

Penatalaksanaan Asidosis Metabolik

Menegakkan diagnosis dan memberi tatalaksana secara tepat terhadap penyebab

yang mendasari asidosis metabolik AG merupakan hal yang sangat penting. Mengatasi

asidosis metabolik dengan menggunakan buffer (larutan penyangga) seperti natrium

bikarbonat dapat menimbulkan efek samping karena hal tersebut dapat mengeksarsebasi

asidosis. Terapi natrium bikarbonate dapat mengakibatkan peningkatan sintesis karbon

dioksida, yang mana hal tersebut dapat terlihat dari penurunan pH, sehingga hal in justru

mengeksarsebaso asidosis. Saat ini, natrium bikarbonat hanya dianggap sebagai sebagai

donor ion natrium, yang mana zat tersebut berguna sebagai antagonis untuk berbagai

keadaan yang ditimbulkan oleh obat-obatan pemblokade kanal natrium, seperti intoksikasi

kokain, overdosis antidepresan trisiklik, atau toksisitas LA. Pasien yang juga bisa

memperoleh manfaat dari penggunaan terapi bikarbonat adalah mereka yang mengalami

keracunan zat atau obat-obatan yang proses eliminasinya dapat ditingkatkan melalui proses

alkalinisasi (salisilat).

Keracunan Karbon Monoksida

Karbon monoksida (CO) merupakan penyebab utama kematian yang ditimbulkan

oleh keracunan di Amerika Serikat. Para perokok diperkirakan terpapar oleh CO sebanyak

400 hingga 500 ppm ketika sedang aktif merokok. Paparan terhadap 70 ppm CO dapat

meningkatkan kadar CO-Hgb hingga 10% (4 jam). CO berikatan pada Hgb dengan afinitas

sekitar 200 kali lebih kuat dari O2, sehingga terjadi pergeseran kurva disosiasi

oksihemoglobin ke arah kiri. CO tidak saja berikatan dengan Hgbm namun juga dapat

berikatan dengan protein lain yang mengandung heme, seperti sitokrom (menganggu

metabolisme oksidatif), myoglobin (toksisitas otot jantung dan rangka), dan guanylyl

cyclase (peningkatan kadar nitrit oksida [NO]). Peningkatan kadar NO dalam otak

dipercaya memainkan peranan penting dalam cedera neurologis yang diakibatkan oleh

keracunan CO.

Efek farmakologis CO dapat menimbulkan berbagai konsekuensi pada SSP (nyeri

kepala, kebingungan, kejang, dan koma), jantung (disritmia, iskemia, infark, asistol), dan

otot rangka (rhabdomyolisis, dan gagal ginjal akut).

Perburukan fungsi neurologis yang tertunda (2-40 hari pasca-keracunan) setelah

pemulihan dari keracunan CO juga dapat terjadi pada pasien. Perburukan yang tertunda ini

lebih sering ditemukan pada pasien yang mengalami gejala koma yang diakibatkan oleh

CO.

Untuk orang yang bukan perokok normalnya memiliki kadar CO-Hgb sekitar 1-3%,

sedangkan pada perokok, kadarnya dapat mencapai 10%. Kadar CO-Hgb yang rendah

(<15%) dapat menimbulkan gejala ringan (mual dan nyeri kepala), sedangkan kadar sekitar

60-70% dapat berakibat fatal. Kadar CO-Hgb harus diukur dengan menggunakan

oksimeter-CO, yang dapat secara akurat mengukur kadar CO-Hgb dan kadar hemoglobin

abnormal lainnya (MHgb). Barker dan Tremper menunjukkan bahwa SpO2 yang diukur

dengan menggunakan oksimeter denyut standar (2 panjang gelombang) secara konsisten

mengukur saturasi O2 secara berlebihan meskipun di situ ada CO-Hgb. Dari penelitian

mereka diketahui bahwa ketika kadar CO-Hgb mencapai 70% (biasanya fatal pada

manusia), sebuah oksimeter denyut SpO2 membaca saturasi O2 sebesar 90%, padahal kadar

oksihemoglobin yang sebenarnya hanya sebesar 30%. Hal ini menunjukkan bahwa

penurunan kadar oksihemoglobin berbanding lurus dengan peningkatan kadar CO-Hgb

sehingga hal ini menekankan pentingnya peranan pemantauan dengan menggunakan CO-

oksimeter (panjang gelombang multipel).

Tingkat keparahan asidosis metabolik berkorelasi dengan durasi paparan, ekspresi

gejala klinis, dan luaran efek samping yang menyertai intoksikasi CO. Kadar laktat

merupakan marker/penanda yang baik untuk mengetahui keracunan CO berat karena

merefleksikan derajat metabolisme anaerobik.

Penatalaksanaan keracunan CO diawali dengan manajemen jalan napas,

suplementasi oksigen dan dukungan kardiovaskuler. Terapi oksigen hiperbarik berperan

dalam mencegah luaran yang membahayakan pada sistem neurologis, namun terapi ini

memiliki beberapa komplikasi. Oksigen hiperbarik dapat mengurangi waktu paruh CO-

Hgb: waktu paruh CO-Hgb adalah 320 menit pada suhu udara (21% O2), pada pemberian

oksigen 100% di suhu ruangan maka waktu paruhnya menjadi 40-80 menit, sedangkan

pada pemberian oksigen 100% di tekanan 2.5-3 atmosfer maka waktu paruh CO-Hgb hanya

20 menit. Selain menurunkan kadar CO-Hgb, oksigen hiperbarik juga dapat mengurangi

CO yang berikatan pada berbagai protein heme (sitokrom, myoglobin, dan sebagainya).

Ada beberapa laporan yang menyebutkan penurunan insidensi sindrom neurologis pasca-

keracunan CO ketika terapi oksigen hiperbarik digunakan.

Kadar CO-Hgb yang tinggi (36%) juga dapat ditemukan pada penggunaan anestesia

desfluran yang memakai absorban CO2 yang telah terdehidrasi (Baralyme). Absorban

karbon dioksida yang mengandung hidroksida alkali kuat (KOH, NaOH) dipercaya

bertanggung jawab dalam degradasi agen anestetik inhalasi. Eliminasi absorban alkali kuat

dapat membuat absorben CO menjadi lebih aman karena hal tersebut dapat mengurangi

produksi CO pada pemakaian agen anestetik seperti desflurane dan isoflurane. CO juga

dapat terbentuk saat penggunaan sevoflurane, terutama jika absorben yang dipakai adalah

Baralyme. Karena penelitian lebih lanjut mengenai absorben bebas NaOH dan KOH yang

terbaru belum ada, maka sebaiknya kurangi penggunaan absorben CO yang telah dehidrasi

dengan cara secara rutin merawat mesin anestesia, terutama di ruang operasi yang memiliki

tingkat paparan CO yang tinggi, seperti di ruang operasi luka bakar.

Pasien yang kami uraikan pada awal artikel ini memiliki kadar CO-Hgb yang

mencapai 27%. Pasien tersebut diterapi dengan menggunakan ventilasi mekanik dan

oksigen inspirasi dosis tinggi, sehingga dalam 12 jam kadar CO-Hgb pasien tersebut

mengalami penurunan hingga kurang dari 5%, oleh karena itu pasien dapat dilepaskan dari

ventilasi mekanik dan diekstubasi tanpa masalah.

Racun Militer/Teroris, Termasuk Botulisme dan Botox

Seorang anak laki-laki, usia 12 tahun, dijadwalkan menjalani operasi elektif yang

membutuhkan anestesia umum. Pasien memiliki riwayat serebral palsi spastik dan diterapi

untuk mengatasi spastisitas dengan injeksi toksin botulinum tipe A (Botox) selama 4 sesi

(terakhir dilakukan 2 minggu yang lalu) dalam 18 bulan terakhir. Bagaimana cara

memberikan anestesi pada pasien seperti itu? Jika dibutuhkan neuromuskuler bloker

(NMB), maka obat apa yang harus digunakan dan respon normal seperti apa yang akan

terlihat? Apakah pemantauan NMB penting dilakukan pada pasien seperti ini? Di bagian

tubuh manakah efek NMB yang harus dipantau: di kelopak mata (orbicularis oculi) atau di

tangan (adductor pollicis), dan apakah hal tersebut memiliki makna klinis? Apa yang akan

Anda lakukan?

Saat ini semakin banyak organisasi teroris yang membuat senjata untuk mencederai

banyak orang sehingga para dokter harus memiliki menyadari pentingnya penatalaksanaan

untuk kasus-kasus seperti itu. Penggunaan gas mustard dan obat pelumpuh saraf oleh

militer Irak selama perang Iran-Iraq dan kemampuan mereka dalam memproduksi Bacillus

anthracis, rotavirus, aflatoxin, mycotoxin, dan toxn botulinum selama Perang Teluk telah

menimbulkan bahaya baru untuk masyarakat moderen.

Penatalaksanaan awal untuk korban senjata kimiawi dan biologis (CBW) antara lain

prosedur dekontaminasi (pembersihan atau netralisasi CBW) untuk membatasi paparan

lebih lanjut, dengan cara pengguyuran dan penggunaan agen kimiawi (sabun, larutan

hipoklorit). Staf medis terlatih harus menggunakan alat pelindung, seperti masker, peralatan

untuk memurnikan udara, serta baju dan sepatu bot anti-bahan kimiawi.

Bahan Kimiawi

Agen pelumpuh saraf (sarin, tabun, soman, XV) memiliki sifat beracun, tak berbau,

tak berwarna, dan tak berasa. Semua agen tersebut masih satu golongan dengan insektisida

organofosfat dan menimbulkan inhibisi ireversibel pada acethylcholinesterase (AChE).

Keracunan insektisida organofosfat (malathion) telah menimbulkan ratusan ribu korban

jiwa di seluruh dunia tiap tahunnya. Sindrom krisis kolinergik yang ditimbulkan oleh

overdosis sistemik acetylcholine (ACH) akibat inhibisi AChE memiliki manifestasi berupa

salivasi, bronkospasme, paralisis otot rangka, bradikardia, dan gagal napas. Penggunaan

succinylcholine untuk blokade neuromuskuler akan mengakibatkan paralisis yang

berkepanjangan karena adanya inhibisi pada cholinesterase plasma. Fase pertama krisis

kolinergik ditandai oleh blok depolarisasi pada sambungan neuromuskuler, sedangkan fase

kedua kelemahan otot disebabkan oleh blokade non-depolarisasi (fase 2), semua hal

tersebut karena overdosis ACH pada sambungan neuromuskuler. Pyridostigmine

direkomendasikan sebagai terapi awal karena inhibisi AChE bersifat kompetitif dan

reversibel. Atropine dan oximes (pralidoxime, yang me-reaktivasi AChE) merupakan terapi

yang efektif untuk kasus yang paparannya masih baru. Atropine jauh lebih efektif dari

glycopyrolate, karena waktu paruhnya lebih singkat dan tidak melewati sawar darah otak.

Agen pelepuh (mustard, seperti gas mustard dan nitrogen mustard serta lewisite)

merupakan suatu cairan yang dapat menimbulkan luka bakar dan lepuh, sehingga

mengakibatkan gagal napas, kebutaan, pansitopenia, dan kanker. Gas mustard memiliki

aroma seperti mustard atau bawang dan dapat dilepaskan ke atmosfer melalui ledakan

aerosol. Setelah periode laten selama 4-12 jam, eritema kulit dapat timbul pada area yang

telah terpapar, lalu diikuti oleh edema dan luka bakar derajat satu. Pada paparan dosis

tinggi, kulit mengalami nekrosis, sehingga diperlukan terapi yang sama seperit luka bakar

(ganti cairan, debridemen). Gejala okuler juga sering ditemukan (nyeri, pandangan kabur)

dan dapat berakibat kebutaan permanen.inhalasi gas mustard dapat menyebabkan

trakeobronkitis, batuk, bronkospasme, perdarahan paru-paru, infeksi sekunder paru-paru,

dan gagal napas yang membutuhkan tindakan intubasi dan ventilasi mekanik.

Agen pencekik (chlorine, phogene, chloropicrin) merupakan cairan volatil yang

dapat menyebabkan edema paru-paru fulminan. Chlorine dan phosgene digunakan secara

luas dalam pembuatan plastik, sehingga keracunan pada dua zat tersebut lebih sering terjadi

dalam kecelakaan industri. Phosgene, yang memiliki aroma seperti jerami yang baru saja

disiangi, terhidrolisis menjadi CO2 dan asam hidroklorida, hal ini yang membuat zat

tersebut dapat mengakibatkan cedera paru-paru berat (edema paru-paru) jika sudah

terinhalasi. Penatalaksanaan untuk keracunan zat tersebut adalah kortikosteroid (inhalasi

atau IV), inhalasi β2 agonist, antibiotik profilaktik (untuk infeksi bakterial sekunder),

inhibitor leukotriene.

Hidrogen sianida dan sianogen chlorida dapat menghambat sistem oksidase

sitokrom, sehingga menyebabkan asidosis metabolik dan hipoksia jaringan yang

mengakibatkan kejang serta gagal napas dan gagal jantung. Hidrogen sianida memiliki

aroma seperti almond. Zat ini tidak berwarna dan sangat fatal. Sianida mengikat ion besi

trivalen yang ada pada sitokrom oksidase, sehingga terjadi gangguan konsumsi O2. Analisis

ABG menunjukkan peningkatan asidosis metabolik laktat (AG) dan penurunan gradien

oksigen antara darah di vena campuran dan darah di arterial, suatu ciri khas yang hanya

ditemukan pada keracunan sianida. Terapi untuk keracunan ini adalah natrium thiosulfate,

natrium nitrat, dan hydroxycobalamine.

Agen Biologis

Semua agen biologis memiliki karakteristik yang sama: jika dilepaskan di suatu

populasi yang tak terlindungi dan imunitasnya rendah, maka dapat menimbulkan banyak

korban jiwa. Senjata biologis bisa berupa virus (variola), ricketsiae (demam Q, demam

Rocky Mountain) dan bakteri (anthrax), Yersinia pestis, dan Francisella tularensis

(tularemia). Y pestis merupakan suatu coccobacillus gram negatif anaerobik, yang

ditularkan pada manusia melalui kotoran tikus atau infeksi droplet atara manusia-ke-

manusia. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa pneumonia, demam, hemoptisis, sepsis,

dan gagal organ yang membutuhkan dukungan ventilasi. Streptomycin, gentamicin, dan

chloramphenicol merupakan terapi yang efektif untuk Y pestis, sedangkan kemoprofilaksis

untuk organisme ini adalah tetracycline atau doxycycline.

B antracis merupakan suatu basil gram positif aerobik yang membentuk spora. Pada

umumnya menyerang kerbau, sapi, domba, kambing, dan kuda. Lima puluh kilogram

aeorosol B anthracis jika dilepaskan pada setengah juta populasi manusia, maka akan

membunuh 20% populasi. Gambaran klinis yang sering ditemukan antara lain anthrax

kutaneus, sedangkan inhalasi spora anthrax dapat mengakibatkan penyakit yang

mematikan. Spora anthrax yang baru-baru ini dikirimkan melalui sistem persuratan

Amerika Serikat dapat menimbulkan penyakit kutaneus dan inhalasi. Bentuk inhalasi

penyakit ini dawali oleh batuk dan demam lalu berkembang menjadi mediastinis nekrosis

dan gagal organ yang sifatnya refrakter serta berakibat fatal. Pemeriksaan ELISA dapat

secara cepat mendeteksi toksin anthrax, sedangkan pewarnaan Gram dan kultur darah

hanya digunakan untuk mengoreksi diagnosis. Ciprofloxacin dan doxycycline dapat

digunakan sebagai kemoprofilaksis.

Saxitoxin, ricin, dan toksin botulinum merupakan zat kimiawi yang paling beracun

saat ini. Clostridium botulinum dapat menghasilkan beberapa neurotoksin yang hampir

semuanya beracun. Neurotoksin A (Botox) dapat mengikat reseptor ACH, menghambat

pelepasan ACH secara permanen, dan membutuhkan pembentukan end-plate baru agar

fungsi neuromuskuler dapat kembali normal. Setelah terpapar toksin botulinum, maka dapat

terjadi palsi bulbar (disartria, disfagia, diplopia, ptosis) yang kemudian akan diikuti oleh

kelemahan desendens yang berakhir pada gagal pernapasan, sehingga pasien membutuhkan

ventilasi mekanik.

Ricin berasal dari biji jarak dan merupakan produk sisa minyak jarak. Inhalasi zat

ini dalam dosis tinggi dapat berakibat fatal, dan tidak ada terapi definitif untuk

mengatasinya. Saxitoxin dihasilkan oleh flagelata laut. Zat ini lebih banyak ditemukan pada

kerang laut dan bertanggung jawab dalam keracunan paralitik yang diakibatkan oleh

kerang. Saxitoxin merupakan suatu pemblok kanal natrium yang poten, oleh karena itu

racun ini dapat mengakibatkan kegagalan umum pada sistem kardiorespirasi.

Manusia yang baru saja mendapatkan terapi Botox (seperti pada kasus kami) bisa

saja memiliki respon yang tidak khas terhadap NMB. Fiacchino dkk menjelaskan bahwa

orang yang menggunakan botox dalam jangka waktu yang lama, memiliki resistensi

terhadap NMB nondepolarisasi (vecuronium), hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh

peningkatan kemampuan reseptor ACH setelah terinduksi oleh Botox, hal yang juga dapat

ditemukan pada cedera luka bakar. Ada sebuah laporan yang menyebutkan tentang

myasthenia gravis akut setelah injeksi Botox. Laporan ini menyebutkan adanya efek bifasik

Botox; zat tersebut hanya menimbulkan efek blokade neuromuskuler sistemik parsial,

sehingga peningkatan sensitivitas NMB non-depolarisasi dapat terjadi dalam beberapa hari

setelah terapi Botox dilakukan. Bagian tubuh yang harus dipantau selama pemberian NMB

pada pasien yang mendapatkan terapi Botox adalah adductor pollicis. Pemantauan efek

NMB pada adductor pollicis lebih akurat dalam menunjukkan pemulihan fungsi diafragma

bila dibandingkan dengan pemantauan pada otot orbicularis oculi.

Bisa Ular dan Keracunan Akibat Gigitan

Seorang anak laki-laki, usia 8 tahun, dengan berat 30 kg, datang ke unit gawat

darurat setelah tergigit oleh ular Agkistrodon contortix pada kaki kanannya (tampak luka

bekas gigitan). Kaki pasien tampak edema, yang mengindikasikan keracunan berat. Terapi

antivenin diberikan (setelah skin test), namun pasien tidak mendapatkan dosis penuh karena

adanya urtikaria, bronkospasme, dan wheezing. Setelah mendapatkan antihistamine dan

epinephrine, pasien tampak mengalami sindrom kompartemen anterior, hal ini

dikonformasi melalui pengukuran tekanan kompartemen yang melebihi 40 mmHg. Pasien

saat ini dijadwalkan untuk menjalani fasiotomi darurat. Apa pemeriksaan laboratorium

yang harus dilakukan pada pasien ini? Perlukah dilakukan pemeriksaan pembekuan darah?

Apakah kondisi pasien ini dapat mempengaruhi pemilihan jenis NMB? Seperti apakah

respon NMB yang akan ditemukan pada pasien ini? Dapatkah anestesia regional (spinal

atau epidural) dilakukan pada pasien ini?

Keracunan Hewan Laut

Keracunan hewan invertebrata dapat disebabkan oleh ubur-ubur, anemon, dan

hydrozoa. Hydrozoa yang paling berbahaya adalah Portugese man-of-war yang dapat

ditemukan di Samudera Atlantik dan Teluk Meksiko. Organisme ini dapat menyebabkan

keracunan yang fatal. Di Australia, ubur-ubur Carukia barnesi dapat menyebabkan

keracunan berat dan bahkan fatal. Gejala keracunannya dapat berupa keram otot dan nyeri

kepala, yang berkembang menjadi hipertensi, edema pulmoner dan serebral, serta gagal

jantung. Racun ubur-ubur bersifat antigenik, sehingga dapat menyebabkan beberapa reaksi

seperti kemerahan, nekrosis kulit, toksisitas jantung dan saraf, serta hemolisis. Kematian

dapat diakibatkan oleh anafilaksis. Selain itu dapat juga ditemukan gejala berupa mual,

muntah, nyeri kepala, kebingungan, kejang, spasme otot, angioedema, dan bronkospasme

berat. Terapi yang diberikan dapat berupa pemberian asam cuka 5% pada lokasi gigitan,

dan sebaiknya jangan diberikan alkohol isopropil karena dapat mengakibatkan pelepasan

nematokista. Magnesium sulfat IV dapat mengurangi rasa nyeri dan respon simpatetik,

begitu juga dengan pengguyuran dengan menggunakan air hangat (43-45 C), yang mana⁰

hal ini dapat me-non-aktif-kan racun.

Landak laut juga dapat menyebabkan keracunan. Terapi yang dapat diberikan

hampir sama dengan terapi untuk keracunan ubur-ubur.

Keracunan vertebrata dapat ditimbulkan oleh ikan pari, ikan singa, dan ikan batu.

Keracunan yang disebabkan oleh ikan pari merupakan yang paling sering ditemukan.

Meskipun dapat menimbulkan disaritmia, kejang, dan koma, cedera yang dianggap paling

fatal adalah luka tusuk pada abdomen dan thoraks. Irigasi luka yang diikuti dengan

pengguyuran menggunakan air panas (dapat menyebabkan degradasi racun) merupakan

terapi yang adekuat. Keracunan oleh ikan singa dapat menimbulkan gejala nyeri lokal dan

pembengkakan. Terapinya hampir sama dengan terapi untuk ikan pari. Antivenom hanya

tersedia untuk keracunan ikan batu.

Bisa Ular

Ada dua jenis ular beracun di Amerika Utara: crotalid dan elapid.

Crotalid (ular derik, cottonmouth, copperhead) merupakan yang paling sering

menimbulkan keracunan. Gejala gigitan oleh crotalid sangat beragam, mulai dari dari yang

asimptomatik hingga kolaps kardiovaskuler dan kematian. Kerusakan jaringan pada lokasi

gigitan merupakan komplikasi yang sering timbul setelah tergigit oleh ular beracun. Toksin

hemoragik dapat menimbulkan kerusakan endotel kapiler, sehingga eritrosit mengalami

ekstravasasi yang menyebabkan edema dan perdarahan. Racun metalloproteinase dapat

melepaskan faktor pro-TNF, sehingga hal ini akan menginisiasi respon inflamasi yang

agresif. Respon inflamasi yang agresif dapat membuat diagnosis sindrom kompartemen

sulit dilakukan, sehingga pengukuran yang objektif seperti penentuan tekanan

kompartemen sangat diperlukan untuk diagnosis. Koagulopati klinis dapat ditemukan pada

50% luka gigitan. Bisa ular dapat menyebabkan lisis fibrinogen dan fibrin sehingga dapat

berakibat pada perluasan thrombosis dan thrombositopenia. Sehingga anestesia regional

harus hati-hati diberikan pada pasien luka gigitan ular. Blokade neuromuskuler sekunder

dapat terjadi pada keracunan yang disebabkan oleh gigitan ular derik Mojave dan hal ini

dapat memperkuat efek NMB.

Terapi untuk keracunan ular sangat bergantung pada derajat kerusakan jaringan.

Jika terjadi edema ekstremitas, maka harus dilakukan pengukuran tekanan kompartemen

sebelum melakukan fasiotomi (>30 mmHg). Antivenom meripakan terapi pilihan untuk

koagulopati yang disebabkan oleh gigitan crotalid. Dua produk antivenom yang ada saat ini

adalah : antivenom polivalen yang berasal dari equine (kuda) dan fragmen imunoglobulin

Fab yang berasal dari ovine (domba). Hipersensitivitas terhadap produk kuda membuat

produk domba lebih banyak dipakai. Padda dan Bowen melaporkan sebuah kasus mengenai

pemanjangan durasi dan onset kerja NMB (vecuronium) pasien pasca-gigitan ular.

Sehingga, untuk pasien yang tergigit oleh ular, kita harus berhati-hati menggunakan NMB.

Ringkasan

Ada banyak pendekatan terapi untuk mengatasi patologi keracunan. Meskipun

gejala tiap keracunan berbeda-beda, namun semua kelainan itu memiliki mekanisme cedera

dan patofisiologi yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wong KC, Schafer PG, Schultz JR. Hypokalemia and anesthetic implications.

Anesth Analg 1993;77:1238–60.

2. Maruyama T, Ohe T, Kurita T, et al. Physiological and pathological responses of

TU wave to class Ia antiarrhythmic drugs. Eur Heart J 1995;16:667–73.

3. Elming H, Brendorp B, Kober L, et al. QTc interval in the assessment of cardiac

risk. Card Electrophysiol Rev 2002;6:289–94.

4. Haddad PM, Anderson IM. Antipsychotic-related QTc prolongation, torsade de

pointes and sudden death. Drugs 2002;62:1649–71.

5. McCord J, Jneid H, Hollander JE, et al. Management of cocaine-associated chest

pain and myocardial infarction. Circulation 2008;117:1897–907.

6. Beckman KJ, Parker RB, Hariman RJ, et al. Hemodynamic and electrophysiological

actions of cocaine. Circulation 1991;83:1799–807.

7. Bauman JL, Grawe JJ, Winecoff AP, et al. Cocaine-related sudden cardiac death:

a hypothesis correlating basic science and clinical observations. J Clin Pharmacol

1994;34:902–11.

8. Ehret GB, Voide C, Gex-Fabry M, et al. Drug-induced long QT syndrome in

injection drug users receiving methadone. Arch Intern Med 2006;166: 1280–7.

9. Siebrands CC, Binder S, Eckhoff U, et al. Long QT 1 mutation KCNQ1 increases

local anesthetic sensitivity of the slowly activating delayed rectifier potassium

current. Anesthesiology 2006;105:511–20.

10. Park WK, Kim MH, Ahn DS, et al. Myocardial depressant effects of desflurane.

Anesthesiology 2007;106:956–66.

11. Lischke V, Behne M, Doelken P, et al. Droperidol causes a dose-dependent

prolongation of the QT interval. Anesth Analg 1994;79:983–6.

12. Darling RC, Roughton FJW. The effect of methemoglobin on the equilibrium

between oxygen and hemoglobin. Am J Physiol 1942;137:56–68.

13. Bloom JC, Brandt JT. Toxic responses of the blood. In: Klaassen CD, editor.

Casarett and Doull’s toxicology: the basic science of poisons online. 6th edition.

New York: McGraw-Hill; 2001. p. 389–417, chapter 11.

14. Guay J. Methemoglobinemia related to local anesthetics: a summary of 242

episodes. Anesth Analg 2009;108:837–45.

15. Annabi EH, Barker SJ. Severe methemoglobinemia detected by pulse oximetry.

Anesth Analg 2009;108:898–9.

16. Harley JD, Celermajer JM. Neonatal methemoglobin anemia and the ‘‘red-brown’’

screening test. Lancet 1970;296:1223–5.

17. Barker SJ, Tremper KK. Effects of methemoglobinemia on pulse oximetry and

mixed venous oximetry. Anesthesiology 1989;70:112–7. FDA MedWatch-Public

Health Advisory Bulletin re: benzocaine spray and methemoglobinemia, February

13, 2006.

18. Steele CW, Spink WW. Methylene blue in the treatment of poisonings associated

with methemoglobinemia. N Engl J Med 1933;208:1152–3.

19. Bodner RA, Lynch T, Lewis L, et al. Serotonin syndrome. Neurology 1995;45:

219–23. Asch DA, Parker RM. The Libby Zion case. One step forward or two steps

backward. N Engl J Med 1988;318:771–5.

20. Mills KC. Serotonin syndrome. A clinical update. Crit Care Clin 1997;13:763–83.

Miller DB, O’Callaghan JP. Elevated environmental temperature and

methamphetamine neurotoxicity. Environ Res 2003;92:48–53.

21. Sprague JE, Moze P, Caden D, et al. Carvedilol reverses hyperthermia and

attenuates

rhabdomyolysis induced by 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA,

Ecstasy) in an animal model. Crit Care Med 2005;33:1311–6.

22. Friedman LS, Weinrauch LA, D’Elia JP. Metoclopramide-induced neuroleptic

malignant syndrome. Arch Intern Med 1987;147:1495–7.

23. Andersson B, Waagstein F. Spectrum and outcome of congestive heart failure in

a hospitalized population. Am Heart J 1993;126(3 Pt 1):632–40.

24. Koskinen P, Kupari M, Leinonen H, et al. Alcohol and new onset atrial fibrillation:

a case-control study of a current series. Br Heart J 1987;57:468–73.

25. Gurley BJ, Wang P, Gardner SF. Ephedrine-type alkaloid content of nutritional

supplements containing Ephedra sinica (ma-huang) as determined by high

performance liquid chromatography. J Pharm Sci 1998;87:1547–53.

26. Haller CA, Benowitz NL. Adverse cardiovascular and central nervous system

events associated with dietary supplements containing ephedra alkaloids.

N Engl J Med 2000;343:1833–8.

27. Vormfelde SV, Poser W. Hyperforin in extracts of St. John’s wort (Hypericum

perforatum) for depression. Arch Intern Med 2000;160:2548–9.

28. Rumack BH. Acetaminophen hepatotoxicity: the first 35 years. J Toxicol Clin

Toxicol 2002;40:3–20. Daly FF, O’Malley GF, Heard K, et al. Prospective

evaluation of repeated supratherapeutic acetaminophen (paracetamol) ingestion.

Ann Emerg Med 2004;44: 393–8.

29. Bajt ML, Knight TR, Lemasters JJ, et al. Acetaminophen-induced oxidant stress

and cell injury in cultured mouse hepatocytes: protection by N-acetyl cysteine.

Toxicol Sci 2004;80:343–9.

30. Taylor SE. Acetaminophen intoxication and length of treatment: how long is long

enough? A comment. Pharmacotherapy 2004;24:694–6 [discussion: 696].

31. Purucker M, Swann W. Potential for duragesic patch abuse. Ann Emerg Med

2000;35:314.

32. Barrueto FJ. The fentanyl tea bag. Vet Hum Toxicol 2004;46:30–1.

33. Reeves MD, Ginifer CJ. Fatal intravenous misuse of transdermal fentanyl. Med J

Aust 2002;177:552–3.

34. Bern JL, Peck R. Dextromethorphan: an overview of safety issues. Drug Saf 1992;

7:190–9.

35. Price L, Lebel J. Dextromethorphan-induced psychosis. Am J Psychiatry 2000;

157:304.

36. Salem MM, Mujais SK. Gaps in the anion gap. Arch Intern Med 1992;152:1625–9.

37. Brenner BE. Clinical significance of the elevated anion gap. Am J Med 1985;79:

289–96. Ishihara K, Szerlip HM. Anion gap acidosis. Semin Nephrol 1998;18:83–

97.

38. Gabow PA, Clay K, Sullivan JB, et al. Organic acids in ethylene glycol intoxication.

Ann Intern Med 1986;105:16–20.

39. Alberti KG, Cohen RD, Woods HF. Lactic acidosis and hyperlactataemia. Lancet

1974;2:1519–60.

40. Salpeter SR, Greyber E, Pasternak GA, et al. Risk of fatal and nonfatal lactic

acidosis with metformin use in type 2 diabetes mellitus: systematic review and

meta-analysis. Arch Intern Med 2003;163:2594–602.

41. Stacpoole PW. Lactic acidosis. Endocrinol Metab Clin North Am 1993;22:221–45.

42. Gabow PA, Kaehny WD, Fennessey PV, et al. Diagnostic importance of an

increased serum anion gap. N Engl J Med 1980;303:854–8.

43. Adrogue HJ, Rashad MN, Gorin AB, et al. Assessing acid-base status in circulatory

failure. N Engl J Med 1989;320:1312–6.

44. Brown SD, Piantadosi CA. Reversal of carbon monoxide-cytochrome c oxidase

binding by hyperbaric oxygen in vivo. Adv Exp Med Biol 1989;248:747–54.

45. Barker SJ, Tremper KK. The effect of carbon monoxide inhalation on pulse

oximetry and transcutaneous pO2. Anesthesiology 1987;66:677–9.

46. Jay GD, McKindley DS. Alterations in pharmacokinetics of carboxyhemoglobin

produced by oxygen under pressure. Undersea Hyperb Med 1997;24:165–73.

47. Berry PD, Sessler DI, Larson MD. Severe carbon monoxide poisoning

duringdesflurane anesthesia. Anesthesiology 1999;90:613–6.

48. Kharasch ED, Powers KM, Artru AA. Comparison of Amsorb, Soda lime and

Baralyme. Degradation of volatile anesthetics and formation of carbon monoxide

and compound A in swine in vivo. Anesthesiology 2002;96:173–82.

49. Holak EJ, Mei DA, Dunning MB, et al. Carbon monoxide production from

sevoflurane breakdown: modeling of exposures under clinical conditions. Anesth

Analg 2003;96:757–64.

50. Karalliedde L. Organophosphorus poisoning and anaesthesia. Anaesthesia

1999;54:1073–88.

51. Borak MD, Sidell FR. Agents of chemical warfare: sulfur mustard. Ann Emerg

Med 1992;21:303–8.

52. Brennan RJ, Waeckerle JF, Sharp TW, et al. Chemical warfare agents: emergency

medical and emergency public health issues. Ann Emerg Med 1999;34:191–204.

53. Baskin SI, Brewer TG. Cyanide poisoning. In: Zajtchuk R, editor. Textbook of

military medicine: medical aspects of chemical and biological warfare. Washington,

DC: US Department of the Army; 1997. p. 271–86.

54. Kaufmann AF, Meltzer MI, Schmid GP. The economic impact of a bioterrorist

attack: are prevention and past attack programs justifiable? Emerg Infect Dis

1997;3:83–94.

55. Moles TM, Baker DJ. Clinical analogies for the management of toxic trauma.

Resuscitation 1999;42:125–31.

56. Pasricha PJ, Ravich WJ, Kalloo AN. Effects of intrasphincteric botulinum toxin on

the lower esophageal sphincter in piglets. Gastroenterology 1993;105:1045–9.

57. Fiacchino F, Grandi L, Soliveri P, et al. Sensitivity to vecuronium after botulinum

toxin administration. J Neurosurg Anesthesiol 1997;9:149–53.

58. Ergbuth F, Claus D, Engelhardt A, et al. Systemic effects of local botulinum toxin

injections unmasks subclinical Lambert-Eaton myasthenic syndrome. J Neurol

Neurosurg Psychiatr 1993;56:1235–6.

59. Viby-Mogensen J, Engbaek J, Eriksson LI, et al. Good clinical research practice

in pharmacodynamic studies of neuromuscular blocking agents. Acta Anaesthesiol

Scand 1996;40:59–74.

60. Flecker H. ‘‘Irukandji’’ stings to north Queensland bathers without production of

wheals but with severe general symptoms. Med J Aust 1952;2:89–91.

61. Nomura JT, Sato RL, Ahern RM, et al. A randomized paired comparison trial of

cutaneous treatments for acute jellyfish (Carybdea alata) stings. Am J Emerg

Med 2002;20:624–6.

62. Corkeron MA. Magnesium infusion to treat Irukandji syndrome. Med J Aust 2003;

178:411–2.

63. Auerbach PS. Envenomation by aquatic invertebrates. In: Auerback PS, editor.

Wilderness medicine. 4th edition. St. Louis (MO): Mosby; 2001. p. 1488–95.

64. Kizer KW, McKinney HE, Auerbach PS. Scorpaenidae envenomation: a five-year

poison center experience. JAMA 1985;253:807–10.

65. Watson WA, Litovitz TL, Klein-Schwartz W, et al. 2003 annual report of the

American Association of Poison Control Centers Toxic Exposure Surveillance

System. Am J Emerg Med 2004;22:335–404.

66. Laing GD, Clissa PB, Theakston RD, et al. Inflammatory pathogenesis of snake

venom metalloproteinase-induced skin necrosis. Eur J Immunol 2003;33:

3458–63.

67. Cruz NS, Alvarez RG. Rattlesnake bite complications in 19 children. Pediatr

Emerg Care 1994;10:30–3.

68. Valdes JJ, Thompson RRG, Wolff VL, et al. Inhibition of calcium channel

dihydropyridine receptor binding by purified Mojave toxin. Neurotoxicol Teratol

1989;11: 129–33.

69. Mars M, Hadley GP, Aitchison JM. Direct intracompartmental pressure

measurement in the management of snakebites in children. S Afr Med J

1991;80:227–8.

70. Padda GS, Bowen CH. Anesthetic implication of snake-bite envenomation.

Anesth Analg 1995;81:649–51.