Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
165
PEMANFAATAN FITUR METAFORA
DALAM TEKS PIDATO POLITIK SHINZO ABE
SEBAGAI PERDANA MENTERI JEPANG KE-96:
ANALISIS WACANA KRITIS
(UTILIZATION OF METAPHOR FEATURE IN SHINZO ABE'S POLITICAL
SPEECH AS THE 96TH PRIME MINISTER:
A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS)
Hadi HidayatProgram Magister, Konsentrasi Linguistik Bahasa Jepang
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung–Sumedang Km 21 Jatinangor, Sumedang
Ponsel: 085255655514
Pos-el: [email protected]
Tanggal naskah masuk: 18 Juni 2014
Tanggal revisi terakhir: 3 November 2014
Abstract
THIS writing analyzes language feature of metaphor and power in Shinzo Abe's
political speech text conveyed in his inauguration ceremony as the 96th Japan
Prime Minister. A certain choice of metaphor signifies a certain ideology. The
writing aims at describing such usage in Shinzo Abe's political speech. The method
used in this research is based on Critical Discourse Analysis of Fairclough's
(1992:194–197). The focus point of Fairclough's theory is language as an
exercise of power. The result shows that Shinzo Abe has distributed his power
through the usage of metaphor feature. The perceptible exercise of power is within
the power in Japanese identity labeling and the power in controlling the society's
view and behavior. Moreover, Shinzo Abe utilize metaphor to concretize abstract
concepts by describing it into another concept for the audience to understand it
more easily.
Key words: metaphor, political speech, critical discourse analysis
Abstrak
TULISAN ini menganalisis fitur kebahasaan metafora dalam hubungannya dengan
kekuasaan dalam teks pidato politik Shinzo Abe yang dibacakan saat peresmiannya
sebagai Perdana Menteri Jepang ke-96. Pilihan terhadap metafora tertentu mengandung
signifikansi ideologis tertentu. Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan
penggunaan metafora dalam teks pidato Shinzo Abe. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan analisis wacana kritis Fairclough (1992:194–197). Titik fokus
perhatian Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa melalui penggunaan fitur metafora, Shinzo Abe telah
menyalurkan kekuasaannya. Praktik kekuasaan yang tampak adalah kekuasaan dalam
pelabelan identitas Jepang serta kekuasaan dalam mengendalikan pandangan dan
perilaku masyarakat. Selain itu, metafora juga dimanfaatkan oleh Shinzo Abe untuk
mengonkretkan konsep yang abstrak dengan cara mendeskripsikannya dengan suatu
hal yang lain agar mudah dipahami oleh pengonsumsi teks.
Kata kunci: metafora, pidato politik, analisis wacana kritis
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
166
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Secara etimologis, politik berasal dari kata
Yunani polis yang berarti kota atau negara kota.
Selanjutnya, arti itu berkembang menjadi polites
yang berarti warga negara, politea yang berarti
semua yang berhubungan dengan negara, politika
yang berarti pemerintahan negara, dan politicos
yang berarti kewarganegaraan. Jika ditinjau dari
asal kata tersebut, pengertian politik secara umum
dapat dikatakan bahwa politik adalah hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan
atau negara. Namun, di zaman ini masalah politik
adalah jauh lebih luas daripada sekadar politik
pemerintahan. Baik disadari maupun tidak, seluruh
sendi kehidupan manusia berkaitan dengan politik.
Pada kenyataannya semua persoalan yang
dihadapi oleh manusia merupakan masalah politik.
Politik berkenaan dengan kekuasaan dalam
arti luas, yakni kekuasaan untuk membuat
keputusan, mengendalikan sumber daya,
mengendalikan perilaku orang lain, dan sering kali
juga mengendalikan nilai yang dianut orang lain.
Bahkan, keputusan-keputusan biasa yang dibuat
dalam kehidupan sehari-hari pun bisa dipandang
dari sudut politik. Dalam usaha merealisasikan
kekuasaan ataupun penegakan terhadap
keyakinan-keyakinan politik kepada orang lain
dapat dilakukan lewat berbagai cara. Cara yang
paling mudah dipahami adalah mencari kekuasaan
lewat kekerasan. Perang termasuk jenis pencarian
kekuasaan lewat kekerasan. Dalam negara
demokrasi, kekerasan diterapkan lewat sistem
hukum, misalnya ada aturan yang mengatur syarat
usia seorang perempuan yang bisa dinikahi,
tentang di mana kendaraan boleh atau tidak boleh
diparkir, tentang di mana orang boleh dan tidak
boleh merokok. Jika aturan-aturan ini dilanggar,
pelanggarnya bisa dikenai denda, bahkan bisa
dipenjarakan.
Namun, ada cara lain yang tidak kalah efektif
untuk mendapatkan kekuasaan, yaitu dengan
mengajak orang patuh secara sukarela. Dengan
kata lain, melaksanakan kekuasaan lewat
penciptaan persetujuan atau setidaknya
menciptakan kerelaan untuk membiarkan
kekuasaan itu berjalan. Apabila hal tersebut dapat
direalisasikan, tentu saja akan lebih efektif
daripada harus terus-menerus memberikan denda
ataupun memenjarakan orang-orang yang
melanggar hukum atau kebijakan-kebijakan yang
ditetapkan oleh penguasa. Agar ini bisa tercapai,
perlu ada ideologi, yaitu sesuatu yang membuat
keyakinan-keyakinan yang ingin ditanamkan
penguasa kepada warganya menjadi terasa wajar
dan masuk akal. Kata ideologi digunakan dalam
makna yang lebih luas, yaitu untuk menyebut
keyakinan-keyakinan yang dirasakan logis dan
wajar oleh orang-orang yang menganutnya.
Untuk menerapkan suatu konsep ideologi
dibutuhkan sebuah alat komunikasi. Terdapat
berbagai alat komunikasi dalam kehidupan
manusia. Berkomunikasi dapat dilakukan dengan
ekspresi wajah, sikap, sentuhan, gambar-gambar,
tanda-tanda visual, musik dan tarian, lambang-
lambang matematika dan lambang-lambang
ilmiah, serta yang paling penting dan paling
menentukan peradaban manusia, yaitu dengan
kata-kata (bahasa). Bahasa bukan lagi sekadar
sebuah sistem tanda bunyi, bukan saja sebagai
alat komunikasi untuk bekerja sama, dan bukan
sekadar mengidentifikasi diri, melainkan bahasa
juga menjalankan fungsi-fungsi regulatif yang
sangat kompleks.
Wacana politik dilandaskan pada satu prinsip
bahwa persepsi orang terhadap masalah-masalah
atau konsep tertentu bisa dipengaruhi oleh
bahasa. Wacana-wacana politik adalah pidato
politik, debat politik, iklan politik, dan manivesto
politik. Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh
penghasil teks adalah mengajak para pengonsumsi
teks untuk percaya akan kebenaran dari klaim-
klaim si pewacana. Harus disadari bahwa wacana
yang melibatkan orang banyak selalu ditata atau
disusun sedemikian rupa yang di dalamnya
terdapat muatan-muatan ideologis yang
tersembunyi di dalam struktur-struktur
kebahasaan. Salah satu fitur kebahasaan yang
sering dimanfaatkan oleh penghasil teks adalah
metafora. Metafora adalah pemakaian kata atau
ungkapan kebahasaan bukan dengan arti yang
sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang
berdasarkan kesamaan atau perbandingan.
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
167
Metafora merupakan kreasi bahasa. Daya kreatif
itu sering dimanfaatkan oleh pengarang untuk
mengekspresikan maksud, gagasan, perasaan,
atau imajinasinya. Tuturan metaforis dapat
menciptakan gambaran mental yang mudah
dipahami pengonsumsi teks.
Dalam dunia politik, analisis terhadap
metafora merupakan langkah awal memahami
bahasa politik. Penggunaan metafora dapat
mempengaruhi persepsi masyarakat tentang
dunia. Metafora menjadi salah satu fitur
kebahasaan yang intensif didayagunakan dalam
bahasa politik oleh para elite politik di berbagai
belahan dunia. Metafora sering digunakan untuk
mengonkretkan konsep abstrak, menyembunyikan
atau mengaburkan maksud, dan menguatkan
pesan ideologi tertentu yang ingin diperjuangkan
oleh elite politik.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti
bermaksud untuk menganalisis penggunaan fitur
metafora yang berkaitan dengan politik, termasuk
kekuasaan dan ideologi pada teks pidato politik
Shinzo Abe setelah pelantikan secara resmi
sebagai Perdana Menteri Jepang yang ke-96.
1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
dikemukakan di atas, rumusan masalah penelitian
ini adalah bagaimanakah penggunaan metafora
dalam teks pidato politik Shinzo Abe berkaitan
dengan politik, termasuk kekuasaan dan ideologi.
1.3 Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah, penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan
metafora dalam teks pidato politik Shinzo Abe
berkaitan dengan politik, termasuk kekuasaan dan
ideologi.
1.4 Metode
Teks pidato yang dijadikan sebagai sumber
data penelitian ini pertama-tama diberi nomor
pada setiap kalimat. Kalimat dalam artian
konstruksi gramatikal terdiri atas satu atau lebih
klausa yang ditata menurut pola tertentu dan dapat
berdiri sendiri sebagai satu kesatuan. Keseluruhan
kalimat dalam teks pidato berjumlah 103 buah
kalimat. Pada tahap pengumpulan data, metode
yang digunakan adalah metode simak. Metode
simak adalah metode untuk memperoleh data
dengan cara menyimak penggunaan bahasa yang
tidak hanya berkaitan dengan penggunaan secara
lisan, tetapi juga bahasa secara tertulis (Mahsun,
2001:92). Selanjutnya, digunakan teknik catat.
Data yang mengandung metafora dikeluarkan dari
teks, kemudian dicatat pada kartu data, yang
segera dilanjutkan dengan klasifikasi. Secara
keseluruhan terdapat 21 kalimat yang
mengandung metafora. Kemudian, pada tahap
analisis data digunakan metode deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
dilakukan dengan cara mendekati, mengamati,
menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena
secara sistematis, faktual, akurat mengenai data
serta sifat dan hubungan fenomena yang diteliti.
Fenomena yang dimaksud berkaitan dengan
kekuasaan dan ideologi dari pemanfaatan fitur
metafora dalam teks pidato Shinzo Abe saat
konferensi pers setelah pelantikan secara resmi
sebagai Perdana Menteri Jepang yang ke-96
dalam sidang parlemen Diet ke-183 pada tanggal
28 Januari 2013. Teks pidato diperoleh dari laman
resmi Parlemen Jepang dengan alamat
www.kantei.go.jp.
2. Kerangka TeoriKerangka teori yang digunakan dalam kajian
ini adalah analisis wacana kritis model Fairclough.
Titik fokus perhatian Fairclough adalah melihat
bahasa sebagai praktik kekuasaan. Dalam
pandangan kritis teks dibangun dari sejumlah
peranti linguistik yang di dalamnya terdapat
kekuasaan dan ideologi. Salah satu peranti
linguistik dalam analisis wacana kritis model
Fairclough (1992:194–197) yang dimanfaatkan
untuk melihat praktik kekuasaan dan ideologi dari
penghasil teks adalah metafora. Metafora berasal
dari bahasa Yunani metaphora yang berarti
‘memindahkan’, yaitu dari meta ‘di atas’ dan
pherein ‘membawa’. Metafora merujuk pada
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
168
proses linguistik, yaitu aspek tertentu dari suatu
objek dibawa atau dipindahkan pada objek lain.
Dengan demikian, objek kedua diujarkan seolah-
olah seperti objek yang pertama. Momiyama
(2010:35) menyatakan bahwa
Metafaa to wa, futatsu no jibutsu. gainen
no nan raka no [ruijisei (similarity)] ni
mototzuite, honrai wa ippou no jibutsu.
gainen wo arawasu keishiki wo mochiite,
tahou no jibutsu. gainen wo arawasu to
iu hiyu desu. Pointo wa ruijisei ni
mototzuku to iu koto desu.
‘metafora adalah gaya bahasa yang
berdasarkan pada kemiripan dua hal, dari
yang menggambarkan konsep sebenarnya,
lalu konsep perumpamaannya. Pada intinya
berdasarkan pada kemiripan’.
Di dalam berpikir dan menciptakan
metafora, manusia tidak dapat melepaskan diri
dari lingkungannya karena selalu mengadakan
interaksi dengan lingkungannya itu. Menurut
Fairclough, pilihan pada metafora merupakan
kunci bagaimana realitas ditampilkan dan
dibedakan dengan yang lain. Metafora bukan
hanya persoalan keindahan literer karena bisa
menentukan apakah realitas itu dimaknai dan
dikategorikan sebagai positif atau negatif.
Meskipun metafora hanyalah salah satu aspek
wacana politik, memahami metafora adalah
langkah awal memahami bahasa politik secara
keseluruhan. Darma (2009:91) menyatakan
bahwa dalam menjalankan aktivitas politik, faktor
kebahasaan memegang peranan penting. Hal
senada dikemukakan oleh Hayashi dan Hayashi
(1997:42) bahwa kini bahasa telah digunakan
untuk mengubah, mengawal masyarakat, dan
mewujudkan kuasa sosial. Jadi, dapat dipahami
bahwa, baik verbal maupun nonverbal, bahasa
bukan lagi sekadar berperan sebagai alat
komunikasi, melainkan telah menjadi media untuk
mengonstruksi kehidupan manusia.
3. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan terhadap teks pidato politik Shinzo Abe
saat konferensi pers setelah penunjukan dirinya
sebagai Perdana Menteri Jepang yang ke-96
terdapat penggunaan metafora yang berkaitan
dengan politik, termasuk kekuasaan dan ideologi
sebagai berikut.
Shikashinagara, sekai no saizensen de
katsuyakusuru, nan no tsumi mo nai
nihon ga gisei to natta koto wa, tsuukon
no kiwami desu.
‘Namun, hal yang sangat disesalkan bahwa
orang Jepang yang tidak bersalah, yang
bergerak di garis terdepan di seluruh dunia
telah menjadi korban.’
Kalimat (3) di atas berkaitan dengan fungsi
afektif dari bahasa terkait dengan siapa yang boleh/
berhak mengatakan apa, hal ini erat sekali
kaitannya dengan kekuasaan dan status sosial.
Kalimat tersebut berhubungan dengan aksi teroris
yang terjadi di kilang gas Amenas, Aljazair, yang
menelan korban 10 orang warga Jepang. Pada
kalimat (3) tersebut terdapat frasa nomina sekai
no saizensen ‘garis terdepan di dunia’ yang
merupakan bentuk metafora. Frasa nominal
tersebut terdiri dari nomina sekai ‘dunia’ (Matsura,
2005: 875), nomina saizensen ‘garis terdepan/
paling depan’ (Matsura, 2005: 837) dan partikel
no dipakai di antara dua nomina yang menunjukkan
bahwa nomina yang pertama memodifikasi nomina
yang kedua (Chino, 2006:58). Frasa nominal sekai
no saizensen adalah konsep konkret karena tidak
ada garis yang tampak dan dapat dilihat secara
konkret di dunia.
Konsep ini mengacu pada peran dan
konstruktif Jepang dalam mengupayakan
perdamaian dan keamanan internasional yang
merupakan penyumbang dana kedua terbesar di
PBB setelah AS. Selain itu, pula beberapa tahun
belakangan Jepang melakukan kerja sama dengan
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
169
negara berkembang dengan menawarkan bantuan
ekonomi, khususnya di Afrika dan Asia. Dengan
demikian, keputusan Shinzo Abe selaku
pewacana dengan mengklaim posisi Jepang
sebagai negara yang terdepan di dunia didasarkan
pada acuan-acuan tersebut. Hal ini menciptakan
dinamika kekuasaan atau dominasi Jepang
sehingga menguatkan perbedaan Jepang di antara
negara-negara lainnya di dunia.
Defure to endaka no doronuma kara
nukedasezu, gojucchouen tomo iwareru
bakudai na kokumin no shotoku sangyou
no kyou souryoku ga ushinaware,
doredake majime ni hataraitemo kurashi
ga yokunaranai, nihonkeizai no kiki.
‘Krisis ekonomi Jepang yang tidak dapat
melepaskan diri dari rawa deflasi dan
kenaikan nilai Yen telah menimbulkan
kehilangan pendapatan nasional yang luar
biasa besarnya yang bisa dikatakan
mencapai 50 triliun dan telah kehilangan daya
saing industri, serta seberapa tekun
seseorang bekerja pun tidak akan
membawa kehidupan yang lebih baik.’
Dalam kalimat (14) di atas, kata doronuma
mengindikasikan ‘posisi, lahan, tempat dan
dekapan, yaitu deflasi dan kenaikan nilai Yen’.
Dalam kamus bahasa Jepang-Indonesia
diungkapkan bahwa makna dasar nomina
doronuma adalah ‘rawa penuh lumpur’ (Matsura,
2005: 155). Terlihat bahwa makna kontekstual
berbeda dengan makna dasar dan makna
kontekstual tersebut dapat dipahami melalui
perbandingannya dengan makna dasar. Pilihan
terhadap metafora tertentu mengandung
signifikansi ideologis tertentu. Dalam teks Shinzo
Abe ini digunakan kata doronuma yang memiliki
kesan ‘kotor’, ‘menjijikkan’, ‘merugikan’ dan
sebagainya. Dalam hal ini kata doronuma
menciptakan kesan yang negatif. Shinzo Abe
mencoba memberi sugesti kepada khalayak
bahwa kondisi ekonomi Jepang sangat merugikan
negara. Penggunaan metafora memberikan sugesti
yang lebih kuat dalam sebuah ungkapan. Secara
tidak langsung, ungkapan ini juga dapat dipahami
sebagai sebuah sindiran terhadap lawan
politiknya. Seperti diketahui, sejak 2008 Jepang
mengalami kemerosotan ekonomi yang
menimbulkan deflasi dan kenaikan nilai mata uang
Yen. Roda pemerintahan pada masa itu dikuasai
oleh partai yang menjadi oposisinya dalam
pemerintahannya sekarang. Dengan demikian,
penggunaan kata doronuma ini berkenaan dengan
kekuasaan dalam mengendalikan pandangan
masyarakat terhadap pemerintahan sebelumnya.
Koremade no gyousei no tatewari wo
haishi, fukkouchou ga wansutoppu de
youbou wo suiage, genbashugi wo
tsuranukimasu.
‘Kami akan menyingkirkan struktur
administrasi vertikal-segmentasi yang telah
diterapkan sampai saat ini dan Badan
Rekonstruksi akan mengambil semua
tindakan dengan ‘one stop’.
Dalam kalimat (74) terdapat kata yang
dicetak tebal, yakni suiage yang merupakan
metafora. Kata suiage berasal dari bentuk
suiageru secara harfiah berarti ‘menyedot;
mengisap’ (Nelson, 2006:244). Menyedot atau
mengisap adalah kata kerja transitif yang
membutuhkan objek. Objek untuk kata
menyedot atau mengisap adalah benda nyata
yang memiliki wujud, tetapi dalam kalimat di atas
nomina youbou ‘tuntutan’ adalah sesuatu yang
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
170
abstrak yang tidak dapat digambarkan wujudnya.
Jadi, nomina youbou dibandingkan dengan wujud
konkret yang dapat diisap atau disedot, seperti
asap atau debu. Bagian lain kalimat diekspresikan
secara harfiah. Dengan cara ini pengonsumsi teks
diminta untuk membayangkan bahwa
fukkouchou ‘Badan Rekonstruksi’ ini seperti
pompa pengisap yang mampu mengisap segala
tuntutan masyarakat. Hal ini memiliki fungsi
ideologi karena pengonsumsi teks akan langsung
bereaksi terhadap ide atau gagasan didirikannya
institusi baru oleh Shinzo Abe, yakni Badan
Rekonstruksi. Penggunaan metafora ini berkenaan
dengan kekuasaan dalam mengendalikan perilaku
masyarakat, ungkapan itu memberi gambaran
mental yang mudah dipahami masyarakat dan
kemungkinan besar akan diterima apa adanya
tanpa harus diperdebatkan lagi.
Minasan. Imakoso, gaku ni aseshite
hatarakeba kanarazu mukuware, mirai
ni yume to kibou wo daku koto ga dekiru,
mattou shakai wo kizuiteikou dewa
arimasenka.
‘Hadirin sekalian. Sekarang mari kita bangun
masyarakat yang mapan di mana jika
bekerja keras akan mendapat imbalan yang
layak dan bisa merangkul cita-cita dan
harapan untuk masa depan.’
Kalimat (19) di atas merupakan pernyataan
yang berbentuk metafora. Pertama, klausa
imakoso….mattou shakai wo kizuiteikou
‘sekarang….(mari) kita bangun masyarakat yang
mapan’. Frasa nominal mattou shakai ‘masyarakat
yang mapan’ bukanlah sesuatu yang konkret,
melainkan sesuatu yang abstrak yang digunakan
untuk mempermudah pemikiran terhadap variabel-
variabel yang menentukan masyarakat dianggap
mapan. Kedua, mirai ni yume to kibou wo daku
koto ga dekiru ‘bisa merangkul cita-cita dan
harapan untuk masa depan’. Frasa verba daku koto
ga dekiru ‘bisa merangkul’ terdiri atas verba daku
‘memeluk, mendekap, merangkul’ merupakan kata
kerja transitif yang membutuhkan objek langsung.
Objek biasanya adalah sesuatu yang konkret,
sedangkan objek pada kalimat tersebut merupakan
sebuah konsep abstrak yang tidak memiliki wujud,
yakni mirai ni yume to kibou ‘cita-cita dan harapan
untuk masa depan’. Contoh objek verba daku
adalah kodomo ‘anak’ atau ningyou ‘boneka’.
Ketiga, konsep bekerja keras digambarkan dengan
penggunaan frasa gaku ni aseshite hataraku.
Secara harfiah frasa tersebut berarti ‘bekerja dengan
keringat yang mengalir di dahi’. Oleh karena itu,
secara keseluruhan dimanfaatkan fitur metafora
dalam kalimat (19) di atas untuk mengonkretkan
konsep yang abstrak. Dengan cara ini bisa
diciptakan gambaran mental yang mudah dipahami
oleh pengonsumsi teks karena memiliki kaitan
dengan pengalaman pribadi mereka sehingga ada
kemungkinan besar gagasan-gasasan pada kalimat
(19) tersebut diterima tanpa perlu diperdebatkan lagi,
termasuk langkah-langkah yang akan dilakukan oleh
pemerintah untuk mecapai hal tersebut.
Ima wo kenmei ni ikiru hitobito no egao
wo torimodosu.
‘Mengembalikan kebahagiaan orang-orang
yang mati-matian untuk hidup saat ini.’
Unsur pembentuk kalimat (70) di atas
sebagian besar berbentuk metafora. Frasa ima
wo kenmei ni ikiru hitobito no egao wo
torimodosu dalam pengertian satu per satu kata,
yakni kata egao berarti ‘muka yang tersenyum/
berseri’ (Nelson, 2006:682) yang diikuti oleh
partikel wo yang menunjukkan objek langsung
suatu perbuatan; kata kenmei berarti
‘kesungguhan’ (Nelson, 2006:411) yang dibubuhi
oleh partikel ni yang diartikan menjadi ‘dengan’,
dan kata ikiru ‘hidup’ (Nelson, 2006:616), kata
ima berarti ‘sekarang/ saat ini’ (Nelson,
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
171
2006:127) yang diikuti oleh partikel wo yang
merupakan partikel kasus yang berkolerasi
dengan waktu yang ditandai dengan nomina yang
berwujud waktu. Nomina ima bervalensi dengan
verba ikiru, kemudian bervalensi dengan partikel
wo yang bermakna waktu yang dilalui, serta kata
hitobito berarti ‘setiap/ semua orang’ (Nelson,
2006:122). Verba majemuk torimodosu berarti
‘mengambil, mendapat, menangkap, memper-
oleh, menebus lagi’ (Nelson, 2006:732).
Frasa ima wo kenmei ni ikiru hitobito no
egao wo torimodosu ini merupakan gaya bahasa
metafora, yakni sebuah representasi yang tidak
benar secara harfiah. Frasa ini merepresentasikan
usaha untuk mengembalikan harapan untuk hidup
dan kebahagiaan orang-orang di daerah bencana
yang sangat memprihatinkan. Kata egao mengacu
pada ‘kebahagiaan’, konsep ‘kebahagiaan’
bukanlah hal yang konkret, melainkan konsep
abstrak yang salah satunya dapat diidentifikasi
melalui raut wajah tersenyum seseorang. Kata
egao ‘wajah tersenyum’ ini bukanlah seperti
ketika seseorang mengembalikan dompet orang
lain yang dia temukan di jalan, misalnya. Frasa
semacam ini sangat berguna karena dengan frasa
ini, sebuah gambaran yang kompleks bisa
disajikan secara sederhana. Secara tidak langsung
pula Shinzo Abe berusaha untuk membangun citra
dirinya sebagai pemimpin yang peka dan peduli
terhadap rakyat, terutama terhadap orang-orang
di daerah bencana. Hal ini berkaitan dengan
Daftar Pustaka
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press.
Hayashi, T. dan Hayashi, R. 1997. “Ideology and Power of English in Japanese Text”. Abstract Fourth
International Conference on World Englishes: Language, Educational, and Power. Departement
of English Language and Literature, National University of Singapore for IAWA. Singapore.
19–21 December.
Mahsun, M.S. 2001. Metode Penelitian Bahasa (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Pers.
Momiyama, Yosuke. 2010. Ninchi Gengogaku Nyuumon. Tokyo: Kenkyuusha.
Naoko, Chino. 1991. All About Particles. Tokyo: Kodansha International Ltd.
Daftar Kamus
Kenji, Matsura. 2005. Kamus Bahasa Jepang Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nelson, Andrew. 2006. Kamus Kanji Modern. Bekasi: PT Kesaint Blanc.
kekuasaan dalam mengendalikan pandangan
masyarakat terhadap pribadi Shinzo Abe.
4. Penutup
4.1 Simpulan
Berdasarkan analisis dan deskripsi data yang
telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan fitur metafora didayagunakan dalam
mengonstruksi kekuasaan dan ideologi Shinzo Abe
pada pidato politiknya. Praktik kekuasaan yang
tampak adalah kekuasaan dalam pelabelan identitas
Jepang serta kekuasaan dalam mengendalikan
pandangan dan perilaku masyarakat. Selain itu,
metafora juga dimanfaatkan oleh Shinzo Abe untuk
mengonkretkan konsep yang abstrak dengan cara
mendeskripsikannya dengan suatu hal yang lain agar
mudah dipahami oleh pengonsumsi teks.
4.2 Saran
Penelitian ini hanya mengkaji satu teks pidato
politik Shinzo Abe. Oleh karena itu, alangkah lebih
baiknya kalau dikaji pula naskah pidato politik
Shinzo Abe dengan tema pidato yang berbeda
yang memanfaatkan metafora sebagai fitur
kebahasaan dalam menyalurkan kekuasaan dan
ideologinya. Dengan demikian, akan ditemukan
kekhasan kajian intertekstual secara menyeluruh
tentang bahasa politik yang dipakai oleh Shinzo
Abe dalam membangun citra politik dengan
rakyatnya.
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
172
Lampiran 1
Tabel Klasifikasi Metafora
Data
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
173
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
174
Lampiran 2
Teks Pidato
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
175
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
176
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
177
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
178