Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBACAAN AL-FĀTIḤAH AMPAT DALAM TRADISI MANDI
HAMIL TUJUH BULAN DI DESA KERAYA, KEC. KUMAI, KAB.
KOTAWARINGIN BARAT, KALIMANTAN TENGAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Nunuk Rima Aini
NIM 11140340000001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M / 1441 H
ii
PEMBACAAN AL-FĀTIḤAH AMPAT DALAM TRADISI MANDI
HAMIL TUJUH BULAN DI DESA KERAYA, KEC. KUMAI, KAB.
KOTAWARINGIN BARAT, KALIMANTAN TENGAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Nunuk Rima Aini
NIM 11140340000001
Pembimbing
Dasrizal, MIS
19850724 201503 1 003
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M / 1441 H
iii
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul PEMBACAAN AL-FĀTIḤAH AMPAT
DALAM TRADISI MANDI HAMIL TUJUH BULAN DI DESA
KERAYA, KEC. KUMAI, KAB. KOTAWARINGIN BARAT,
KALIMANTAN TENGAH telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 31 Maret 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada
Program Studi Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir.
Sidang Munaqasyah
Jakarta, 29 Juli 2020
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Eva Nugraha, M.Ag Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH
dcNIP. 19710217199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Moh. Anwar Syarifuddin, MA Dr. M. Suryadinata, M.Ag
NIP. 19720518 199803 1 003 NIP. 19600908 198903 1 005
Pembimbing,
Dasrizal, MIS
NIP. 19850724 201503 1 003
iv
v
ABSTRAK
Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat dalam Tradisi Mandi Hamil Tujuh
Bulan di Desa Keraya, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin
Barat, Kalimantan Tengah
Skripsi ini membahas tentang pembacaan surah-surah tertentu dalam
al-Qur’an, yakni surah al-Fātiḥah, surah al-’Ikhlāṣ, surah al-Falaq, dan
surah al-Nās dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan di Desa Keraya,
Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Susunan surah-surah tersebut biasa disebut dengan “al-Fātiḥah Ampat”
oleh masyarakat Keraya. Jika dilihat dari segi makna teks surah-surah
tersebut, tidak ada satu pun ayat yang berhubungan langsung dengan
kehamilan. Akan tetapi, masyarakat Keraya merasa harus membacakan
surah-surah yang terkumpul dalam al-Fātiḥah Ampat tersebut pada tradisi
mandi hamil tujuh bulan yang biasa mereka lakukan. Fenomena tersebut
menunjukkan adanya living Qur’an atau “al-Qur’an yang hidup” di
masyarakat.
Penelitian ini berbicara tentang dua masalah. Pertama, bagaimana
praktik pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi mandi hamil tujuh
bulan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Keraya? Bagaimana
pemahaman masyarakat Desa Keraya terhadap pembacaan al-Fātiḥah
Ampat dalam tradisi tersebut? Penelitian ini merupakan penelitian empirik,
field research, dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dan metode
deskriptif untuk menganalisis data. Metode pengumpulan data yang
penulis gunakan adalah observasi, wawancara, dan penelitian dokumen
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Pertama, al-Fātiḥah Ampat
dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan dibacakan pada awal acara secara
bersama-sama dengan dipandu oleh pemimpin bacaan, kemudian diikuti
oleh para masyarakat yang hadir terutama bapak-bapak. Kedua,
pembacaan al-Fātiḥah Ampat tersebut bertujuan untuk memohon
keselamatan dan perlindungan bagi ibu dan anak yang dikandung,
menjaga tradisi dan warisan orang terdahulu, bentuk pujian kepada Allah,
serta sebagai pengawal do’a. Ketiga, pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam
tradisi tersebut tidak lepas dari pengetahuan masyarakat Keraya atas
keutamaan-keutamaan serta makna umum yang terkandung di dalamnya,
sehingga al-Fātiḥah Ampat dibacakan dalam tradisi tersebut.
Kata kunci: Living Qur’an, al-Fātiḥah Ampat, tradisi mandi hamil
tujuh bulan
vi
KATA PENGANTAR
Ungkapan syukur tiada henti penulis panjatkan kepada Allah SWT.
dengan mengucap “al-ḥamdu lillāhi Rabbi al-‘ālamīn” atas segala Kuasa
yang telah diberikan-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penelitian ini. Tanpa ridho-Nya, penulis tidak akan mampu
mengayuhkan semangat untuk sampai pada tujuan akhir dari penelitian ini.
Shalawat dan salam yang tak pernah luput teruntuk baginda seluruh
alam, yakni Rasulullah Saw., beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya beliau dan merekalah yang sangat berjasa dalam
menyampaikan pesa-pesan Allah SWT., hingga akhirnya pesan itu sampai
kepada kita semua, umat akhir zaman.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari bahwa banyak
pihak yang terlibat, baik sosok kerabat, dan orang-orang spesial dari
berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak
membantu penulis, hingga penelitian ini selesai. Maka pada kesempatan
ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya, kepada:
1. Kepada Yth. Segenap civitas Akademia UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Prof. Dr. Amany Burhanudin Lubis, Lc., MA., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, MA., selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir dan bapak Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH., selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, serta Civitas Akademik Fakultas
Ushuluddin.
vii
4. Bapak Dr. Abdul Muqsith Ghozali, MA., selaku dosen Penasehat
Akademik yang senantiasa memberikan arahan kepada penulis.
5. Bapak Dasrizal, MIS., selaku dosen pembimbing skripsi penulis.
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesabaran beliau dalam
meluangkan waktunya dan membimbing penulis hingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Dosen Jurusan Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan
dan memberikan berbagai wawasan, ilmu serta pegalaman kepada
penulis selama studi di kampus tercinta ini.
7. Teruntuk kedua orang tuaku yang terkasih dan tersayang. Terima kasih
yang tak terhingga kepada Ayahanda Abdul Mu’in dan Ibunda Nor
Aidin yang tidak pernah lelah memberikan semangat kepada penulis.
Tanpa do’a dan dukungan penuh dari keduanya, penulis tidak akan
mampu sampai pada titik ini dan menyelesaikan penelitian ini.
Teruntuk Aba’ku tersayang, Deby Irawan, S.Pd,I., M.Pd., terima kasih
sudah berkenan menjadi teman diskusi, mendengarkan keluh kesah
penulis, serta memberikan solusi atas masalah-masalah yang penulis
hadapi selama penelitian ini berlangsung. Teruntuk Tetehku tersayang,
Lestiyani Sunarto, S.Pd., M.Pd., terima kasih untuk semangat yang tak
pernah putus, yang telah diberikan kepada penulis. Semoga penulis
bisa mengikuti jejak pendidikan Teteh dan Aba’. Untuk Adingku
tersayang, Nurma Elma Lia Aini, terima kasih untuk do’a dan
semangat yang telah diberikan, semoga Dede di ujian akhir nanti
menjadi siswa lulusan terbaik. Untuk Acil Imay dan Dede Aisyah,
terimaksih atas waktu dan kesabaran yang telah diberikan selama
menemani penulis berpanas-panasan dan kesana kemari melaksanakan
viii
proses wawancara dengan informan-informan yang ada di Desa
Keraya.
8. Semua informan, perangkat desa, dan semua masyarakat Desa Keraya,
Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan
Tengah yang telah menerima penulis untuk melakukan penelitian dan
meluangkan banyak waktu untuk memberikan banyak informasi
kepada penulis.
9. Kepada sahabat-sahabat tercinta seperantauan, Trisdayanti, dan Tina
Hidayatullastri, S.Pd., terima kasih untuk waktu, cinta, motivasi, dan
do’anya untuk penulis, terima kasih sudah mau menampung dan
menghibur segala keluh kesah penulis selama penelitian ini
berlangsung. Kepada sahabat dan teman-teman seperjuangan ilmu al-
Qur’an dan tafsir, terkhusus kepada Makhliyatul Haq, S.Ag., Izzah
Umniyyati, Isnaeni Raedah, Siti Ja’ronah, Muhlis Syaroh, Cucu
Nurhayati, Nur Faidah Mahmudah, Zulfa Nur lathifa, dan Rizka
Safrina Putri. Terima kasih untuk kesediaannya membantu penulis,
menjadi teman diskusi, dan juga mendengarkan keluh kesah penulis
selama proses penulisan skripsi ini berlangsung. Kepada sahabat
seperjuangan MA Al-Falah Bandung, terkhusus Siti Unsiatun
Na’imah, Deva Zam-zamiyatul Musyarofah, Maria Ulfah, dan Astriva
Deyane Putri. Terima kasih atas silaturahmi yang masih terjalin dan
sudah berkenan untuk menjadi teman diskusi selama penulisan skripsi
ini berlangung.
10. Kepada sahabat-sahabat Himpunan Qari dan Qari’ah Mahasiswa
(HIQMA), terkhusus kepada Isna Wirahmadayanti, Amelia
Khairunnisa, Rifa Atul Mahmuda, Fachruroji, Fatma Hidayah, Siti
Mudrikah, dan Zahro Nur Amalia. Terima kasih untuk dukungan,
semangat, dan cinta yang telah diberikan kepada penulis selama
ix
perjalanan penulis di HIQMA dan selama proses penulisan skripsi ini
berlangsung. Tetap semangat menebarkan nilai-nilai al-Qur’an.
11. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada guru sekaligus kakak, Mastia Lestaluhu, S.Sy, M.Ag., yang
telah memberikan tantangan agar mampu melakukan penelitian
terhadap suatu hal yang belum pernah penulis lakukan dan kuasai.
Tantangan yang kakak berikan menjadi motivasi tersendiri bagi
penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Terakhir semoga
penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi khazanah keilmuan bagi
yang membacanya.
Tangerang, 14 Februari 2020
Nunuk Rima Aini
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan 0543 b/U/1987,
Tanggal 22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Keterangan
alif tidak dilambangkan ا
ba’ b be ب
ta’ t te ت
sa’ ṡ es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
ha’ ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
kha’ kh ka dan ha خ
dal d de د
zal ż zet (dengan titik di atas) ذ
ra’ r er ر
zai z zet ز
sin s es س
syin sy es dan ye ش
sad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
dad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ta’ ṭ te (dengan titik di bawah) ط
xi
za’ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع
gain gh ge dan ha غ
fa f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wawu w we و
ha’ h ha ه
hamzah ’ apostrof ء
ya y ye ي
Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap
ditulis muta‘aqqidin متعقدين
ditulis ‘iddah عدة
B. Ta’ Marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
ditulis hibbah هبة
ditulis jizyah جزية
xii
(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab yang
sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan
sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu
terpisah, maka ditulis dengan h.
ditulis كرامة الأولياءkarāmah al-
auliyā
2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan
ḍammah, ditulis t
ditulis zakātul fitri زكاة الفطر
C. Vokal Pendek
Kasrah ditulis i
_____ Fathah ditulis a
ḍammah ditulis u ___ۥ__
D. Vokal Panjang
fathah + alif ditulis ā
ditulis jāhiliyah جا هلية
fathah + ya’ mati ditulis ā
ditulis yas` ā يسعى
kasrah + ya’ mati ditulis ī
ditulis karīm كريم
ḍammah + wawu mati ditulis ū
E. Vokal Rangkap
fathah + ya’ mati ditulis Ai
xiii
ditulis bainakum بينكم
fathah + wawu mati ditulis au
ditulis qaulun قول
F. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan
dengan Apostrof
ditulis a’antum أأنتم
ditulis u‘iddat أعد ت
ditulis la’in syakartum لئن شكرتم
G. Kata Sandang Alif + Lam
a. Bila diikuti huruf Qamariyyah
ditulis al-Qur’ān القرأن
ditulis al-qiyās القياس
b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya serta menghilangkan huruf l (el)-
nya
’ditulis as-samā السماء
ditulis asy-syams الشمس
H. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis penulisannya
ditulis żawī al-furūd ذوي الفوض
xiv
ditulis ahl as-sunnah أهل السنة
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................. iii
SURAT PERNYATAAN .................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................... x
DAFTAR ISI ..................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ............................................................................. xviii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ......................................................... 6
F. Metodologi Penelitian ................................................................ 14
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 17
BAB II TINJAUAN UMUM PEMBACAAN AL-QUR’AN DALAM
MASA KEHAMILAN ...................................................................... 21
A. Fungsi Al-Qur’an sebagai Dzikir dan Do’a Keselamatan ............ 21
B. Surah-surah Tertentu yang Dibaca pada Masa kehamilan ........... 25
C. Bacaan yang Menyertai Upacara Mandi Tujuh Bulan
Kehaliman .................................................................................. 55
BAB III GAMBARAN UMUM DESA KERAYA ........................... 61
xvi
A. Sejarah Desa Keraya .................................................................. 61
B. Letak Geografis Desa Keraya..................................................... 62
C. Demografi Desa Keraya ............................................................. 63
1. Keadaan Demografis ........................................................... 63
2. Kondisi Pendidikan Masyarakat ........................................... 64
3. Struktur Pemerintahan dan Kelembagaan ............................. 66
4. Sarana dan Prasarana............................................................ 69
5. Sosial Budaya Masyarakat ................................................... 69
6. Ekonomi Masyarakat ........................................................... 75
7. Agama Masyarakat .............................................................. 76
BAB IV PEMBACAAN AL-FĀTIḤAH AMPAT DALAM TRADISI
MANDI HAMIL TUJUH BULAN DI DESA KERAYA ................ 81
A. Tradisi Mandi Hamil Tujuh Bulan di Desa Keraya ..................... 81
1. Sejarah Mandi Hamil Tujuh Bulan ....................................... 81
2. Tata Cara Pelakasanaan Mandi Hamil Tujuh Bulan .............. 83
3. Perlengkapan Mandi Hamil Tujuh Bulan .............................. 96
4. Motivasi Pelaksanaan Mandi Hamil Tujuh Bulan ................. 103
B. Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat dalam Tradisi Mandi Hamil Tujuh
Bulan di Desa Keraya ................................................................ 104
1. Prosesi Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat .................................. 105
2. Motivasi Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat ............................... 106
3. Manfaat Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat ................................ 109
C. Pemahaman Masyarakat Desa Keraya terhadap Pembacaan Al-
Fātiḥah Ampat dalam Tradisi Mandi Hamil Tujuh Bulan ........... 111
1. Surah Al-Fātiḥah .................................................................. 111
2. Surah Al-’Ikhlāṣ ................................................................... 114
3. Surah Al-Falaq dan Surah Al-Nās (Al-Mu‘awwiżatain) ........ 115
BAB V PENUTUP ............................................................................ 119
xvii
A. Kesimpulan ................................................................................ 119
B. Saran .......................................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 123
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................ 129
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ...................... 63
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan RT ....................................... 64
Tabel 3.3 Tingkat Pendidikan Masyarakat .......................................... 65
Tabel 3.4 Lembaga Pendidikan Desa Keraya ...................................... 66
Tabel 3.5 Sarana dan Prasarana Desa Keraya ....................................... 69
Tabel 3.6 Pekerjaan Masyarakat Desa Keraya ...................................... 75
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Lembar Rangkaian Do’a Barzanji ..................................... 88
Gambar 4.2 Sampul dan Daftar Isi Majmū’ah Maulūd
Syaraf al-Anām ............................................................................. 89
Gambar 4.3 Lembar Do’a Halarat dan Do’a Arwah Rasul ................... 95
Gambar 4.4 Tujuh Orang Anak Membawa Gelas Berisi Beras
dan Lilin ....................................................................................... 100
Gambar 4.5 Empat Puluh Macam Kue-kuean dalam Talam Besar ........ 102
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Surat Izin Penelitian ......................................................... 129
Lampiran 2: Panduan Wawancara ........................................................ 130
Lampiran 3: Daftar Informan ............................................................... 135
Lampiran 4: Dokumentasi ................................................................... 138
Lampiran 5: Transkip Wawancara ....................................................... 141
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi landasan dan
pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan. Pada umumnya,
umat Islam telah melakukan praktik penerimaan terhadap al-Qur’an
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk membaca, memahami
dan mengamalkan, bahkan dalam bentuk penerimaan sosio-kultural.
Mereka meyakini bahwa interaksi yang maksimal dengan al-Qur’an
akan memberikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.1
Fenomena interaksi terhadap al-Qur’an oleh masyarakat muslim
dalam ruang sosial sangat dinamis dan variatif. Hal ini dipengaruhi
oleh cara berfikir, kognisi sosial, dan lingkungan kehidupan mereka.
Berbagai bentuk praktik penerimaan oleh masyarakat dalam
berinteraksi dengan al-Qur’an itulah yang disebut dengan living
Qur’an (al-Qur’an yang hidup) di tengah kehidupan masyarakat
Muslim.2
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya Islam,
dikenal memiliki beragam tradisi dan ritual yang berkembang.
Sebelum Islam datang, masyarakat Indonesia telah terlebih dahulu
memiliki beragam kebudayaan lokal dan kepercayaan.3 Sehingga,
ketika Islam datang, Indonesia menjadi negara yang semakin
1Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press
Yogyakarta, 2015), 103.
2Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, 104.
3Siti Mas’ulah, “Tradisi Pembacaan Tujuh Surat Pilihan dalam Ritual Mitoni / Tujuh
Bulanan (Kajian Living Qur’an di Padukuhan Sembego, Kec. Depok, Kab. Sleman)”
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), 2.
2
puralistik.4 Sejak saat itulah, Islam dituntut untuk beradaptasi dengan
budaya lokal yang telah lebih dulu ada di Indonesia, dengan cara
penyebaran yang damai.5 Percampuran nilai-nilai Islam ke dalam
budaya lokal menciptakan lahirnya budaya baru yang mengandung
unsur keislaman namun tidak menghilangkan corak budaya itu
sendiri.6
Secara umum, aktivitas masyarakat muslim yang sudah lazim
dilakukan adalah membaca al-Qur’an. Hal tersebut merupakan bentuk
penerimaan teradap hadirnya al-Qur’an dalam kehidupan mereka.
Praktik pembacaan al-Qur’an tidak hanya dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan dimasukkan ke dalam tradisi budaya lokal mereka.
Salah satu bukti dari interaksi antara budaya lokal dengan Islam ada
pada tradisi upacara mandi hamil tujuh bulan atau mitoni. Tradisi
tersebut merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan
yang dilakukan ketika kehamilan seorang ibu sudah mencapai usia
tujuh bulan atau lebih, dengan tujuan agar ibu dan anak diberikan
keselamatan dan perlindungan. Tradisi ini biasa dilakukan oleh
sebagian orang Jawa, Sunda, Minang, Dayak dan lain sebagainya.7 Di
daerah Jawa, keberadaan tradisi tersebut sudah ada pada zaman
kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Prabu Jayabaya.8 Sedangkan di
4Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia,
2001), 39
5Azhar Arsyad, Islam Masuk dan Berkembang di Nusantara Secara Damai. Dalam
menjadi Indonesia. 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, cet. I (Jakarta Selatan:
Mizan, 2006), 78.
6Muhammad Fauzan Nasir, “Pembacaan Tujuh Surat Pilihan Al-Qur’an Dalam Tradisi
Mitoni” (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negri Surakarta, 2016), 4.
7Hasbi Ashidiqi, “Hukum Islam Acara Tujuh Bulanan, 2017,” Diakses, 23 Oktober,
2019,
https://www.kompasiana.com/hasbi_asshidiqi/58e17cbedb22bd29131b45fb/hukum-islam-acara-7-bulanan
8Iswah Adriana. “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban (Perpaduan Antara Tradisi Jawa dan
Ritualitas Masyarakat Muslim)” Jurnal Karsa, vol.19, no.2, (2011): 242.
3
daerah Kalimantan, keberadaan tradisi tersebut memungkinkan sudah
ada sebelum Islam masuk ke Indonesia.9
Pada rangkaian pelaksanaan tradisi mandi hamil tujuh bulan
ditemukan beberapa nilai-nilai Islam seperti pembacaan surah-surah
pilihan dari al-Qur’an yaitu surah Yāsīn, Maryam, Yūsuf, dan surah
pilihan lainnya.10
Sebagian masyarakat di Indonesia masih melaksanakan tradisi ini,
akan tetapi dengan tata cara pelaksanaan yang berbeda dengan tradisi
Jawa.11 Misalnya, di daerah Kalimantan, khususnya Kalimantan
Tengah, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kecamatan Kumai.
Berdasarkan riset pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, tradisi
memandikan orang hamil ketika berusia tujuh bulan di daerah tersebut
dikenal dengan sebutan Bamandi-mandi tujuh bulanan, atau mandi-
mandi beranak.12 Tradisi ini merupakan salah satu dari tradisi
masyarakat Banjar yang memiliki perbedaan dalam hal pelaksanaan
dengan tradisi mitoni yang ada di daerah Jawa.
Salah satu desa di Kecamatan Kumai yang masih melaksanakan
tradisi bamandi-mandi tujuh bulanan adalah Desa Keraya.
Berdasarkan riset pendahuluan yang penulis lakukan, dalam
pelaksanaan tradisi tersebut terdapat pembacaan ayat-ayat al-Qur’an,
yakni surah al-Fātiḥah, al-’Ikhlāṣ, al-Falaq, al-Nās, bahkan terkadang
ditambahkan dengan surah al-Baqarah ayat 1-5, diikuti al-Baqarah
ayat 255 (ayat Kursi) serta pembacaan barzanji. Susunan surah al-
9Ahmad Rafiq. “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place
of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community.” (Disertasi S3., Universitas Temple
Amerika Serikat, 2014), 73.
10Siti Mas’ulah, “Tradisi Pembacaan Tujuh Surat Pilihan,” 143-144.
11Hasbi Ashidiqi, “Hukum Islam Acara Tujuh Bulanan, 2017,” Diakses, 23 Oktober,
2019.
12Ahmad Rafiq. “The Reception of the Qur’an in Indonesia,” 72.
4
Fātiḥah, al-’Ikhlāṣ, al-Falaq, dan al-Nās ini biasa disebut dengan “al-
Fātiḥah Ampat” oleh masyarakat desa setempat.
Masyarakat Keraya merasa harus membacakan surah-surah yang
terkumpul dalam al-Fātiḥah Ampat tersebut pada tradisi mandi hamil
tujuh bulan, meskipun makna dari surah-surah ini tidak berhubungan
langsung dengan kehamilan. Fenomena ini menunjukkan adanya living
Qur’an atau “Al-Qur’an yang hidup” di masyarakat. Dengan kata lain,
al-Qur’an difungsikan dalam kehidupan praksis di luar kondisi
tekstualnya, yakni praktik pemaknaan al-Qur’an tidak berdasarkan
pada makna tekstualnya, melainkan mengacu pada keutamaan al-
Qur’an itu sendiri.13
Hal tersebut menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai bagaimana
pemahaman masyarakat Keraya terhadap pembacaan al-Qur’an yang
terkumpul dalam “al-Fātiḥah Ampat” pada tradisi mandi hamil tujuh
bulan tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik melakukan
penelitian dengan judul “Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat dalam
Tradisi Mandi Hamil Tujuh Bulan di Desa Keraya, Kecamatan
Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa masalah
yang dapat diidentifikasi atau dikaji lebih lanjut dalam penelitian
skripsi dengan judul “Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat dalam Tradisi
Mandi Hamil Tujuh Bulan di Desa Keraya, Kecamatan Kumai,
Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Beberapa
permasalahannya meliputi:
13M. Mansur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an,” Dalam
Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ed. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta:
Teras, 2007), 5.
5
1. Interaksi masyarakat Keraya dengan al-Qur’an. Hal tersebut perlu
dikaji lebih dalam untuk mengetahui bagaimana al-Qur’an menjadi
bagian kehidupan sehari-hari masyarakat setempat dari buaian
hingga liang lahat.
2. Praktik pembacaan al-Fātiḥah Ampat yang biasa dilakukan di
dalam tradisi tersebut.
3. Pemahaman masyarakat terhadap makna ayat al-Qur’an yang
dibacakan dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan, hal ini perlu
dikaji guna mengetahui lebih dalam hubungan antara pembacaan
al-Fātiḥah Ampat dengan tujuan dari dilaksanakannya tradisi
tersebut, agar dapat diketahui pula bahwa pembacaan al-Fātiḥah
Ampat dalam tradisi ini tidak hanya sebagai formalitas semata.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis perlu
membatasi masalah dalam penulisan skripsi ini. Penelitian ini
hanya fokus pada:
a. Menganalisis praktik pembacaan al-Fātiḥah Ampat yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Keraya dalam tradisi mandi
hamil tujuh bulan.
b. Mengidentifikasi pemahaman masyarakat terhadap pembacaan
al-Fātiḥah Ampat yang dilaksanakan dalam tradisi tersebut.
2. Perumusan Masalah
a. Bagaimana praktik pembacaan al-Fātiḥah Ampat yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Keraya dalam tradisi mandi
hamil tujuh bulan?
b. Bagaimana pemahaman masyarakat Desa Keraya terhadap
pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi tersebut?
6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana praktik pembacaan al-Fātiḥah Ampat
dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan yang dilaksanakan oleh
masyarakat Desa Keraya, Kecamatan Kumai, Kabupaten
Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
2. Mengetahui pemahaman masyarakat terhadap pembacaan al-
Fātiḥah Ampat yang dilakukan dalam tradisi tersebut.
3. Memenuhi persyaratan untuk mendapatkan gelar S.Ag.
Sedangkan, manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Memperkaya khazanah keilmuan dan pemikiran keislaman dalam
bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir khususnya studi living Qur’an.
2. Menambah wawasan, pemikiran dan dorongan kepada penulis,
para akademisi, dan masyarakat luas tentang pentingnya upaya
menghidupkan al-Qur’an dengan cara membacakannya dalam
kehidupan sehari-hari, dan lain sebagainya.
3. Meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap al-Qur’an serta
mengapresiasinya dengan selalu melibatkan al-Qur’an dalam
segala urusannya.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Setelah penulis menelaah beberapa literatur, terdapat beberapa
penelitian yang terkait dengan penelitian yang penulis lakukan.
Berikut ini adalah penelitian yang berkaitan dengan pembacaan al-
Qur’an dalam suatu tradisi dan penelitian yang berkaitan dengan
tradisi mandi hamil tujuh bulan:
Pertama, skripsi karya Muḥammad Zainuddin, yang berjudul
“Upacara Mandi Hamil Tujuh Bulan di Desa Tabunganen Muara
7
Kecamatan Tabunganen Kabupaten Barito Kuala”. Penelitian ini
mengangkat permasalahan tentang pelaksanaan mandi hamil tujuh
bulan di desa Tabunganen Muara, dan landasan masyarakat dalam
meyakini manfaat dilaksanakannya upacara. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, dapat diketahui pelaksanaan mandi hamil tujuh
bulan terdiri dari tiga prosesi upacara, yaitu mandi-mandi, batumbang,
dan selamatan. Adapun landasan masyarakat dan manfaat
melaksanakan upacara tersebut adalah didominasi oleh pewarisan
budaya sebagian aturan adat di wilayahnya, dengan tujuan sebagai
bentuk do’a agar anak diberikan keberkahan dalam hidup dan agar ibu
yang mengandung diberikan keselamatan.14
Penelitian tersebut terdapat perbedaan fokus pembahasan dengan
penelitian yang akan penulis angkat dalam skripsi ini. Penelitian yang
dilakukan oleh Muḥammad Zainuddin hanya berfokus pada bagaimana
tradisi dilaksanakan serta manfaat dari pelaksanaan tradisi tersebut.
Sedangkan fokus penelitian ini sendiri selain membahas pelaksanaan
dan manfaat tradisi tersebut, juga pemahaman masyarakat terhadap
pembacaan al-Qur’an dalam tradisi tersebut. Selain itu, tempat
penelitian keduanya juga berbeda.
Kedua, penelitian karya Iwan Zuhri yang berjudul “Nilai-nilai
Pendidikan Islam dalam Tradisi Mitoni di Padukuhan Pati Kelurahan
Genjahan Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul”. Penelitian
ini mengangkat permasalahan tentang motivasi atau dasar
dilaksanakannya ritual mitoni, serta unsur pendidikan Islam yang ada
di dalamnya (ritual mandi tujuh bulan di daerah Jawa). Berdasarkan
hasil penelitiannya, diketahui bahwa dasar dilaksanakannya mitoni
14Muhammad Zainuddin, “Upacara Mandi Hamil Tujuh Bulan Di Desa Tabunganen
Muara Kecamatan Tabunganen Kabupaten Barito Kuala” (Skripsi S1., Institut Agama
Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2017), v.
8
adalah tradisi budaya Jawa yang terkait dengan upacara selamatan
pada usia kandungan tujuh bulan, dan unsur pendidikan Islam yang
ada pada ritual mitoni tersebut adalah iman, ihsan, taqwa, ikhlas,
syukur, silaturahim dan shodaqoh.15
Pada penelitian yang penulis lakukan terdapat kesamaan dengan
penelitian karya Iwan Zuhri yaitu membahas mengenai mandi hamil
tujuh bulan, perbedaannya terletak pada pembacaan al-Qur’an dalam
tradisi tersebut, sedangkan penelitian karya Iwan Zuhri fokus pada
pendidikan Islam yang terkandung di dalam tradisi tersebut. Selain itu,
tempat penelitian keduanya dilakukan juga berbeda.
Ketiga, penelitian karya Muchibbah Sektioningsih yang berjudul
“Adopsi Ajaran Islam dalam Ritual Mitoni di Desa Ngagel Kecamatan
Dukuhseti Kabupaten Pati”. Penelitian ini membahas tentang ajaran
Islam yang terkandung dalam ritual mitoni di Desa Ngagel.
Berdasarkan hasil penelitiannya, diketahui bahwa ritual mitoni (ritual
mandi tujuh bulan di daerah Jawa) masih mengadopsi ajaran Islam,
seperti pembacaan do’a dengan menggunakan do’a dalam agama
Islam, shodaqoh, dan bersyukur.16
Ada perbedaan dalam penelitian karya Muchibbah Sektioningsih
dengan penelitian yang akan penulis lakukan, yaitu: lebih fokus
terhadap pembacaan al-Qur’an dalam tradisi tersebut, sedangkan
penelitian karya Muchibbah Sektioningsih fokus kepada membahas
mengenai ajaran Islam yang terkandung dalam tradisi tersebut. Selain
itu, tempat penelitian dilakukan juga berbeda.
15Iwan Zuhri, “Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Mitoni di Padukuhan Pati
Kalurahan Genjahan Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul” (Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), ix.
16Muchibbah Sektioningsih, “Adopsi Ajaran Islam Dalam Ritual Mitoni Di Desa
Ngagel Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Kalijaga Yogyakarta, 2009), vii.
9
Keempat, penelitian karya Ujang Yana yang berjudul “Pembacaan
Tiga Surat Al-Qur’an dalam Tradisi Tujuh Bulanan (di Masyarakat
Selandaka, Sumpiuh, Banyuwangi)”. Penelitian ini membahas tentang
pembacaan tiga surah, yaitu Yūsuf, Maryam, dan Luqmān, serta
pemahaman masyarakat dalam tradisi tujuh bulanan di Selandaka.
Berdasarkan hasil penelitiannya, diketahui bahwa pembacaan tiga
surah tersebut dalam tradisi tujuh bulanan umumnya disepakati
terlebih dahulu sebelum prosesi tradisi tersebut dimulai. Biasanya
kesepakatan ditentukan oleh tuan rumah, namun juga bisa diserahkan
kepada pemimpin pembacaan surah al-Qur’an. Tradisi ini juga
dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. atas
karunia-Nya berupa kehamilan yang memasuki usia tujuh bulan, selain
itu menjadi bentuk permohonan do’a kepada Allah agar ibu yang
mengandung diberikan kesehatan dan keselamatan ketika
melahirkan.17
Pada penelitian ini terdapat kesamaan dengan penelitian yang
penulis lakukan, yakni sama-sama membahas mengenai pembacaan al-
Qur’an dalam tradisi tujuh bulanan, hanya saja perbedaannya terletak
pada surah yang dibacakan, serta tempat penelitian.
Kelima, penelitian karya Siti Mas’ulah yang berjudul “Tradisi
Pembacaan Tujuh Surah Pilihan dalam Ritual Mitoni / Tujuh Bulanan
(Kajian Living Qur’an di Padukuhan Sembego, Kec. Depok, Kab.
Sleman)”. Penelitian ini membahas masalah tentang prosesi
pembacaan tujuh surah pilihan dalam ritual mitoni yang dilakukan oleh
masyarakat Sembego, dan makna sosiokultural tradisi pembacaan
tujuh surah pilihan dalam ritual mitoni yang dilakukan oleh
17Ujang Yana, “Pembacaan Tiga Surat Al-Qur’an dalam Tradisi Tujuh Bulanan (Di
Masyarakat Selandaka, Sumpiuh, Banyuwangi” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), xi.
10
masyarakat Sembego. Berdasarkan hasil penelitannya, dapat diketahui
bahwa prosesi pembacaan tujuh surah pilihan diawali dengan
pembagian ragam surah pilihan pada para partisipan, kemudian
dilanjutkan dengan pembacaan surah al-Fātiḥah sebagai wasilah atau
hadoroh. Kemudian para partisipan mulai membaca surah pilihan yang
telah ditentukan. Adapun makna sosiokulturalnya dapat disimpulkan
bahwa praktik tersebut merupakan warisan turun menurun tanpa
melalui pembelajaran secara struktural.18
Pada penelitian ini terdapat kesamaan dengan penelitian yang
penulis lakukan, yakni sama-sama membahas mengenai pembacaan al-
Qur’an dalam tradisi tujuh bulanan, hanya saja perbedaannya terletak
pada surah yang dibacakan, serta tempat penelitian.
Keenam, penelitian karya Bahriah yang berjudul “Pembacaan Surah
Yāsīn dalam Tradisi Batajak Tihang Rumah di Kecamatan Daha Utara
Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Studi Living al-Qur’an)”. Penelitian
ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yaitu bagaimana
praktik pembacaan surah Yāsīn dalam tradisi batajak tihang rumah di
Kecamatan Daha Utara Kabupaten Hulu Sungai Selatan, kemudian
bagaimana motivasi dan tujuan masyarakat melakukan pembacaan
surah Yāsīn dalam tradisi batajak tihang rumah di Kecamatan Daha
Utara Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Berdasarkan hasil penelitiannya, pembacaan surah Yāsīn dalam
tradisi batajak tihang rumah di Kecamatan Daha Utara tidak memiliki
cara khusus. Surah Yāsīn dibaca seperti biasa ayat demi ayat dari awal
sampai akhir, hanya saja pada ayat ke-58 dibaca sebanyak tiga kali.
Adapun motivasi pelaksananannya adalah karena banyaknya
18Siti Mas’ulah, “Tradisi Pembacaan Tujuh Surat Pilihan dalam Ritual Mitoni / Tujuh
Bulanan (Kajian Living Qur’an di Padukuhan Sembego, Kec. Depok, Kab. Sleman)”
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), xv.
11
keutamaan-keutamaan yang terkandung dalam surah Yāsīn, karena
surah Yāsīn merupakan jantungnya al-Qur’an, dan al-Qur’an
merupakan mukjizat Nabi Muḥammad yang masih dapat dirasakan
umat Islam di dunia hingga saat ini. Tujuan keagamaannya adalah agar
rumah yang dibangun mendapat keberkahan dan keselamatan dari
Allah khususunya untuk rumah tersebut. Adapun motivasi sosial dari
pelaksanaan ini adalah melestarikan tradisi para pendahulu. Tujuannya
adalah untuk menjalin silaturrahmi dengan masyarakat dan keluarga,
berbagi jamuan kepada sesama sebagai bentuk rasa syukur, serta
menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an.19
Seperti penelitian kelima yang telah penulis paparkan, dalam
penelitian ini terdapat kemiripan dengan penelitian yang penulis
lakukan, yakni sama-sama membahas mengenai pembacaan al-Qur’an
dalam suatu tradisi, hanya saja perbedaannya terletak pada surah yang
dibacakan, tradisi yang akan diteliti, serta tempat penelitian.
Ketujuh, skripsi yang ditulis oleh Muḥammad Fauzan Nasir yang
berjudul “Pembacaan Tujuh Surah Pilihan Al-Qur’an dalam Tradisi
Mitoni (Kajian Living Al-Quran di Dusun Sumberjo, Desa Troso,
Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten)”. Penelitian ini
mengangkat dua masalah. Pertama, mengenai praktik pembacaan
tujuh surah pilihan al-Qur'an yang menjadi bagian integral dalam
tradisi mitoni di dusun Sumberjo. Kedua, mengenai fungsi dari
pembacaan tujuh surah pilihan al-Qur’an dalam tradisi mitoni di dusun
Sumberjo.
Berdasarkan hasil penelitiannya, dapat diketahui bahwa upacara
mitoni merupakan upacara selamatan kandungan yang berusia tujuh
19Bahriah, “Pembacaan Surah Yasin dalam Tradisi Batajak Tihang Rumah di
Kecamatan Daha Utara Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Studi Living al-Qur’an)”
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2018).
12
bulan di dusu Sumberjo. Dalam pelaksanaannya dibacakan surah surah
pilihan dalam al-Qur’an. Ada tujuh surah yang dibacakan pada saat
upacara mitoni berlangsung, yakni surah Yūsuf, Maryam, Luqmān,
Sajadah, al-Wāqi’ah, al-Raḥmān, dan Muḥammad. Ada tiga fungsi
yang ditemukan dalam resepsi pembacaan tujuh surah pilihan pada
saat upacara mitoni, yaitu al-Qur’an dipandang sebagai kitab suci,
sebagai obat dan sebagai sarana perlindungan. Pembacaan tujuh surah
dalam tradisi mitoni merupakan praktek keberagamaan masyarakat
Sumberjo dalam meresepsi al-Qur’an sebagai bagian dalam kehidupan
mereka.20
Pada Penelitian yang telah penulis paparkan di atas, terdapat
kesamaan dengan penelitian yang penulis angkat, yakni sama-sama
membahas mengenai pembacaan al-Qur’an dalam tradisi tujuh
bulanan, hanya saja perbedaannya terletak pada surah yang dibacakan,
dan tempat penelitian berlangsung.
Kedelapan, artikel jurnal yang ditulis oleh Iswah Adriana berjudul
“Neloni, Mitoni atau Tingkeban: Perpaduan antara Tradisi Jawa dan
Ritualitas Masyarakat Muslim”, yang diterbitkan oleh Jurnal Karsa,
vol. 19, no. 2 pada tahun 2011. Jurnal ini memberikan informasi
mengenai perpaduan antara tradisi Jawa, neloni, mitoni atau tingkeban
dengan ritualitas masyarakat muslim. Selaini itu, di dalamnya juga
dibahas mengenai status keberadaan dan hukum melaksanakan tradisi
tersebut dalam Islam.
Pada kesimpulan artikel jurnal ini, disebutkan bahwa istilah tradisi
tersebut tidak ditemukan dalam Islam, kecuali istilah walīmat al-haml.
20Muhammad Fauzan Nasir, “Pembacaan Tujuh Surah Pilihan Al-Qur’an Dalam
Tradisi Mitoni (Kajian Living Al-Quran di Dusun Sumberjo, Desa Troso, Kecamatan
Karanganom, Kabupaten Klaten)” (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Surakarta,
2016), xvi.
13
Tradisi tersebut masih dibenarkan dalam Islam selama masih berdasar
pada nilai-nilai agama Islam, seperti pembacaan al-Qur’an, pembacaan
do’a dan sebagainya. Namun, apabila tradisi itu dilaksanakan tanpa
menyandarkannya pada nilai-nilai Islam, atau terjadi benturan terhadap
aturan syari’at dalam pelaksanaannya, maka jelas hal itu tidak
dibenarkan dalam Islam. Pada saat ini, sebagian masyarakat
muslimmengemas tradisi itu dengan bentuk lama, namun tampilan
baru, yaitu memadukan tradisi Jawa dengan konsepsi Islam tentang
kehamilan, sehingga tradisi tersebut tidka lagi kental dengan tradisi
kejawen-nya, akan tetapi sudah terwarnai dengan nilai-nilai Islam.21
Terdapat kesamaan antara penelitian yang akan penulis lakukan
dengan penelitian di atas, yaitu membahas tentang nilai-nilai Islam
yang menjadi bagian dari tradisi tersebut. Sedangkan, perbedaannya
terletak pada tempat wilayah penelitian, karena penulis tidak meneliti
tradisi tersebut di daerah Jawa, melainkan di daerah Kalimantan.
Selain itu, penulis lebih fokus pada pembahasan mengenai pemahaman
masyarakat daerah terkait terhadap surah-surah yang dibacakan dalam
tradisi tersebut.
Kesembilan, artikel jurnal yang ditulis oleh Syahrur Rahman
berjudul “LIVING QUR’AN: Studi Kasus Pembacaan al-Ma’tsurat di
Pesantren Khalid Bin Walid Pasir Pengaraian Kab. Rokan Hulu”, yang
diterbitkan oleh Jurnal Syahadah Vol. IV No. 2. Pada tahun 2016.
Jurnal ini merupakan sebuah laporan penelitian lapangan tentang al-
Quran yang ‘hidup’ di Pesantren Khalid Bin Walid. Khususnya ayat
al-Quran yang termuat dalam al-Ma’tsurat yang dibacakan secara rutin
oleh santri setiap pagi dan sore. Penelitian ini tidak mengkaji ayat al-
21Iswah Adriana. “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban (Perpaduan Antara Tradisi Jawa
dan Ritualitas Masyarakat Muslim)” Jurnal Karsa, vol.19, no.2, (2011): 246-247.
14
Quran sebagai teks yang harus difahami dengan menggunakan
beberapa disiplin keilmuan, akan tetapi penelitian ini menggunakan
pendekatan metode living Qur’an. Pendekatan ini dikhususkan untuk
mengkaji bentuk interaksi umat muslimterhadap al-Quran pada aspek
penerapan teks al-Quran dalam kehidupan sehari-hari.22
Artikel jurnal tersebut memiliki kesamaan pembahasanan dengan
penelitian yang penulis angkat, yaitu terletak pada pembacaan al-
Qur’an yang menggunakan pendekatan metode living Qur’an dalam
penelitiannya. Sedangkan perbedaannya terletak pada objek dan
tempat penelitian.
Berdasarkan semua penelitian yang telah penulis paparkan di atas,
dapat diketahui bahwa belum ada yang membahas atau meneliti
mengenai pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi mandi hamil
tujuh bulan di Desa Keraya, Kecamatan Kumai, Kabupaten
Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan merupakan salah satu bentuk dari
penelitian living Qur’an. Living Qur’an adalah salah satu studi al-
Qur’an yang mengkaji tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan
kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Qur’an dalam kehidupan
masyarakat muslim.23 Penelitian ini merupakan penelitian empirik,
field research, dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dan
metode deskriptif untuk menganalisis data. Proses pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan 3 metode, yaitu observasi,
interview (wawancara) serta penelitian dokumen. Adapun yang
22Syahrul Rahman, “LIVING QURAN: Studi Kasus Pembacaan al-Ma’tsurat di
Pesantren Khalid Bin Walid Pasir Pengaraian Kab. Rokan Hulu” Jurnal Syahadah,
vol.IV no.2, (Oktober 2016): 49.
23M. Mansur, Living Qur`an dalam Lintasan Sejarah Studi Qur’an (Yogyakarta: Th
Press. 2007), 8.
15
menjadi subjek penelitian ini adalah masyarakat Desa Keraya,
Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan
Tengah.
1. Jenis Penelitian
Seperti yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini merupakan
penelitian empirik, field research, dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, dan metode deskriptif untuk menganalisis
data. Menurut Sulistyo Basuki penelitian kualitatif merupakan
penelitian yang bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya
mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti,
sehingga berkaitan dengan persepsi, ide, pendapat atau
kepercayaan, yang tidak dapat diukur dengan angka.24
Bahkan Moleong menegaskan, bahwa penelitian kualitatif
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subyek penelitian.25 Sedangkan metode deskriptif adalah suatu
metode penulisan yang bertujuan untuk menggambarkan secara
tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu
antara antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat,
selanjutnya data-data itu akan dianalisis.26 Dalam hal ini, berarti
data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan
bukan angka-angka. Data tersebut mungkin akan didapatkan dari
naskah transkip hasil wawancara, catatan lapangan, foto,
videotape, dokumen pribadi, catatan-catatan, dan dokumen resmi
lainnya.27
24Sulistyo Basuki, Metode Penelitian (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006), 78.
25Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2016), 7.
26Koentjaraningrat, Metode-metode Penulisan Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1989),
29.
27Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 11.
16
2. Metode Pengumpulan Data
a. Observasi
Pada pengumpulan data ini, penulis menggunakan teknik
observasi atau pengamatan bebas. Dalam pengamatan bebas,
peneliti berfungsi semata-mata sebagai pengamat guna
memperoleh informasi terkait dengan fenomena yang diteliti
dari berbagai data yang ada di luar pelaksanaan kegiatan.
b. Interview (wawancara)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan pihak yang
diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang
diajukan.28
Pada proses wawancara ini peneliti menggunakan teknik
kombinasi antara purposive dan bergulir (bola salju).29 Teknik
purposive ini digunakan karena peneliti sendiri memiliki
informasi awal mengenai informan-informan yang dianggap
mengetahui seluk beluk fenomena yang terjadi. Akan tetapi
tidak dapat dipungkiri bahwa informan tersebut merujuk orang
lain sebagai informan lanjutan yang dianggap dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
permasalahan-permasalahan yang diangkat. Oleh karena itu
teknik bergulir juga perlu digunakan. Penggunaan kedua teknik
tersebut diharapkan dapat memperoleh data yang lebih
kompherensif terkait dengan fenomena yang dikaji.
28Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 186.
29Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), 227.
17
c. Penelitian dokumen
Teknik lain yang berkaitan dengan sumber data selain
observasi dan wawancara adalah penelitian dokumen.
Penelitian ini mencakup penelitian dokumen-dokumen dari
lembaga negara, seperti dokumen dari kantor kelurahan atau
desa, dan dokumen pribadi. Hal ini dilakukan untuk menambah
dan menguatkan informasi serta data-data yang diperoleh dari
kedua teknik pengumpulan data sebelumnya, yaitu observasi
dan wawancara.
3. Subjek penelitian dan Sumber Data
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa
Keraya, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat,
Kalimantan Tengah, khusususnya sesepuh desa, pemimpin bacaan
dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan, partisipan, serta pelaksana
tradisi tersebut. Pada penelitian ini, sumber data yang diambil
berupa data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang
diperoleh dari hasil wawancara antara penulis dengan informan
tertentu mengenai pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi
mandi hamil tujuh bulan, serta hasil observasi penulis terhadap
tradisi tersebut. Sedangkan data sekunder merupakan sumber data
kedua atau tambahan, yakni berupa sumber tertulis. Dengan kata
lain, data yang diperoleh dalam bentuk dokumen-dokumen yang
telah ada yang dapat mendukung data primer. Misalnya: buku,
artikel jurnal, ensiklopedi, dan dokumen lain yang dapat
menunjang penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Pada penulisan kajian ini, penulis akan membagi dalam beberapa
bab pokok yang meliputi:
18
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berfungsi untuk
memaparkan argumentasi mengenai pentingnya penelitian serta alur
penyelesaian penelitian. Bagian ini mencakup latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metodologi penelitian,
dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tinjauan umum mengenai pembacaan al-Qur’an
pada masa kehamilan sebagai landasan teori yang digunakan untuk
menganalisis data yang didapatkan dalam penelitian ini. Hal ini
meliputi pembahasan mengenai fungsi al-Qur’an sebagai dzikir dan
do’a, surah-surah tertentu yang dibaca pada masa kehamilan, serta
bacaan yang menyertai upacara mandi tujuh bulan kehamilan.
Bab ketiga, berisi tentang gambaran umum wilayah penelitian,
yang teridiri dari sejarah wilayah penelitian, keadaan geografis
wilayah penelitian, dan demografi wilayah penelitian. Demogafi
wilayah penelitian ini meliputi keadaan demografis, kondisi
pendidikan masyarakat, struktur pemerintahan dan kelembagaan,
sarana dan prasarana, sosial budaya masyarakat, ekonomi masyarakat,
serta agama masyarakat.
Bab keempat merupakan hasil penelitian yakni penjabaran jawaban
dari rumusan masalah yang ada pada bab pertama. Bab ini diawali
dengan pembahasan mengenai tradisi mandi hamil tujuh bulan di Desa
Keraya, yang meliputi sejarah, tata cara pelaksanaan, perlengkapan,
dan motivasi pelaksanaan tradisi. Setelah itu, penulis akan menyajikan
pembahasan mengenai praktik pembacaan al-Fātiḥah Ampat, serta
pemahaman masyarakat Keraya terhadap pembacaan al-Fātiḥah
Ampat dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan di desa tersebut.
19
Bab kelima adalah penutup. Pada bagian ini penulis akan
memberikan kesimpulan sebagai ringkasan dari semua pembahsan
serta saran dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
20
21
BAB II
TINJAUAN UMUM PEMBACAAN AL-QUR’AN DALAM MASA
KEHAMILAN
A. Fungsi Al-Qur’an sebagai Dzikir dan Do’a Keselamatan
Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT. yang memiliki banyak
nama. Adapun nama-nama al-Qur’an yang umum dikenal, di antaranya
adalah al-Kitāb (tulisan yang ditulis) yang tertera dalam surah al-
Furqān ayat 1, al-Furqān (pembeda) yang tertera dalam surah al-
Syu‘arā’ ayat 192-193, al-Dzikr (pengingat) tertera dalam surah al-Hijr
ayat 9 dan al-Syifā’ (obat) yang tertera dalam surah al-Dukhān ayat 1-
3.1
Salah satu nama lain dari al-Qur’an yang telah disebutkan di atas
adalah al-Dzikr yang memiliki arti pengingat. Sebagaimana yang
tertera dalam firman Allah surah al-Hijr ayat 9:
فظون ٩إنا نحن ن زلنا ٱلذ كر وإنا لهۥ لح “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an
(Peringatan), dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”.2 (Q.S. Al-Hijr: 9)
Pengertian dzikir secara bahasa adalah mengingat, sedangkan
secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian
kepada Allah. Secara etimologi dzikir berasal dari akar kata dzakara
,yang berarti menyebut, mensucikan, menggabungkan, menjaga (ذكر)
mengerti, mempelajari, memberi dan nasihat. Oleh karena itu, dzikir
juga dapat diartikan mensucikan dan mengagungkan, juga dapat
1Anshori, Ulumul Qur’an Kaidah-Kaidah Memahami Firma Tuhan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014), 26-27.
2Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, (Bandung: Sygma, 2014),
263.
22
diartikan menyebut dan mengucapkan nama Allah SWT. atau menjaga
dalam ingatan (mengingat).3
Quraish Shihab menjelaskan makna dzikir dalam tafsir surah al-
Baqarah ayat 152 dengan pengertian amat luas, yakni menyebut atau
mengingat Allah baik dengan lisan, hati, pikiran, dan anggota badan.
Pengertian tersebut juga diungkapkan oleh an-Nawawi dalam kitab Al-
Adzkar bahwa dzikir itu tidak hanya sebatas membaca tasbih, tahmid,
tahlil, takbir, asma’ul husna, dan lain sebagainya. Akan tetapi, semua
aktivitas amal perbuatan ketaatan pada dasarnya juga disebut dengan
dzikir kepada Allah SWT.4
Para ulama bidang olah jiwa mengingatkan bahwa dzikir kepada
Allah secara garis besar dapat dipahami dalam pengertian sempit dan
luas. Arti sempit tersebut adalah yang dilakukan hanya di lidah saja,
yakni menyebut-nyebut Allah atau apa yang berkaitan dengan-Nya,
seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan lain-lain. Selain itu, makna
lain dari pengertian sempit ini adalah pengucapan lidah disertai dengan
kehadiran hati, yakni membaca kalimat-kalimat tersebut dengan
disertai kesadaran hati tentang kebesaran Allah yang dilukiskan atau
dikandung oleh lafadz yang dibacakan.5
Sedangkan pengertian dzikir dalam arti luas adalah kesadaran akan
kehadiran Allah di mana saja dan kapan saja, serta kesadaran akan
kebersamaan-Nya dengan makhluk. Dzikir dalam tingkat inilah yang
menjadi pendorong seorang muslim melaksanakan tuntunan-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.6
3Fadhli Ramadhan, Dzikir Pagi dan Petang (Yogyakarta: Fillah Books, 2019), 1.
4Abdul Hafidz dan Rusydi, “Konsep Dzikir dan Do’a Perspektif Al-Qur’an”. Islamic
Akademika: Jurnal Pendidikan & Keislaman, vol.6, no.1 (Juni 2019): 63.
5M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir dan Do’a, (Tangerang:
Lentera Hati, 2006), 11-12.
6M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir dan Do’a, 14.
23
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
dzikir adalah menyebut atau mengingat kebesaran Allah SWT. baik
dengan lisan, pikiran, dan anggota badan dengan penuh kesadaran hati.
Perintah berdzikir kepada Allah banyak disampaikan dalam al-
Qur’an. Selain itu, Rasulullah Saw. juga memerintahkan agar selalu
berdzikir kepada Allah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-
Tirmidzī, Ibnu Mājah, dan Ibnu Hibbān melalui ‘Abdullāh bin Busr
sebagai berikut:
ل ي زال لسانك رطبا من ذكر الله.
“Hendaklah lidahmu selalu basah dengan berdzikir kepada Allah”. Al-Qur’an dinamai dengan al-Dzikr karena di dalamnya terdapat
banyak nasihat dan pelajaran atau kisah-kisah umat terdahulu yang
dapat dijadikan peringatan atau pengingat bagi hamba-Nya yang mau
mengingat-Nya. Ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan kisah-kisah
umat terdahulu, mengandung banyak pelajaran bagi umat manusia
masa kini. Sifat enggan mengakui kebenaran al-Qur’an yang
diturunkan kepada Rasulullah selalu berujung pada adzab dan siksaan.
Sementara, keimanan dan ketaqwaan seseorang pada Allah SWT.
selalu berbuah kebaikan dan kenikmatan.
Al-Qur’an sebagai al-Dzikr (pengingat) juga seringkali dibacakan
secara rutin oleh sekelompok pembaca al-Qur’an. Pembacaan ini
biasanya difungsikan sebagai dzikir rutin yang dilakukan baik pada
pagi hari maupun petang dengan mengaharapkan berkah dari tilawah
al-Qur’an tersebut. Ayat-ayat dan surah-surah tertentu yang dibacakan
seperti surah al-Fātiḥah, surah al-Baqarah ayat 1-5, ayat 255, ayat 256-
257, ayat 284-286, serta surah al-’Ikhlāṣ, surah al-Falaq dan juga surah
al-Nās. Ayat-ayat dan surah tersebut sering dibacakan dalam berbagai
variasi dzikir dan wirid seperti dzikir al-Ma’tsurat yang dicetuskan
24
oleh Hasan al-Banna, Ratib al-Haddad, Ratib al-‘Athas dan lain
sebagainya. Dzikir dan wirid tersebut dirangkai dengan do’a-do’a
memohon perlindungan diri kepada Allah SWT. di pagi hari dan
petang, maupun malam hari. Berdzikir dan berdo’a pada pagi hari dan
petang sangat dianjurkan dan merupakan dua waktu yang penuh
berkah dan kemuliaan, karena Allah SWT. mengisyaratkan dalam al-
Qur’an surah al-Ahzāb sebagai berikut:
١٤وسب حوه بكرة وأصيل ١٤أي ها ٱلذين ءامنوا ٱذكروا ٱلله ذكرا كثيرا ي “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut
nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah
kepada-Nya diwaktu pagi dan petang”.7 (Q.S. Al-Aḥzāb: 41-42)
Dzikir dan do’a merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berpisah
atau dipisahkan. Dzikir merupakan salah satu cara mendekatan diri
kepada Allah mengandung do’a, demikian pula do’a adalah dzikir.
Ketika seseorang berdo’a dengan tulus, ia mengingat Allah SWT.,
tanpa itu ia tidak dinilai sebagai berdo’a. Sebaliknya, ketika seseorang
berdzikir dan merenungkan kebesaran Allah, ia merasa sangat kecil di
hadapan-Nya, dan merasa membutuhkan bantuan-Nya. Maka ketika
itu, meskipun ia tidak mengajukan permohonan, Allah SWT. yang
Maha Mengetahui kebutuhannya, akan memenuhi kebutuhan dan
keinginan yang diharapkannya meskipun tidak dicetuskan dengan
kata-kata.8
Al-Dzikir juga berarti al-Syarāf (kemuliaan) sebagaimana terdapat
dalam firman Allah SWT. surah al-Zukhruf sebagai berikut:
١١ئ لون وإنهۥ لذكر لك ولقومك وسوف تس
7Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 424.
8M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir dan Do’a, 8.
25
“Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu
kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan
diminta pertanggungan jawab”.9 (Q.S. Al-Zukhruf: 44)
Al-Qur’an memberikan kemuliaan bagi para pembacanya, bahkan
saat pembacanya tidak mengetahui makna dari ayat-ayat al-Qur’an
yang dibacakannya. Karena membaca al-Qur’an bernilai ibadah,
sehingga pelakunya layak diberikan kemuliaan oleh Allah SWT. karena
sudah melaksanakan ibadah dan berhak atas balasan kemuliaan
tersebut.
Selain memberikan kemuliaan, al-Qur’an sebagai dzikir juga
mampu memberikan ketenangan dan ketentraman hati bagi para
pembacanya. Karena membacanya berarti mengingat-Nya, dan hanya
dengan mengingat Allah, maka hati akan menjadi tentram.
Sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT. dalam surah al-Ra‘d
ayat 28:
٤٢وا وتطمئن ق لوب هم بذكر ٱلله أل بذكر ٱلله تطمئن ٱلقلوب ٱلذين ءامن
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.10 (Q.S. Al-Ra‘d: 28)
B. Surah-surah Tertentu yang Dibaca pada Masa kehamilan
Setiap orang tua tentunya menginginkan keturunan yang baik serta
keshalehan akhlak lahir dan batin. Maka dari itu, untuk
mewujudkannya, dianjurkan kepada setiap perempuan muslimah yang
sedang mengandung untuk membacakan ayat-ayat al-Qur’an
seluruhnya maupun sebagian. Pada umumnya, surah-surah yang
dibacakan pada masa kehamilan adalah surah Yūsuf, Maryam dan
9Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 493.
10Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 253.
26
Luqmān. Tujuan dari membaca surah-surah tersebut, selain untuk
ibadah adalah untuk memohon keberkahan dari Allah SWT. atas
bacaan al-Qur’an, sehingga Allah memberikan kessempurnaan jasad,
keimanan yang kokoh, dan keshalehan akhlak lahir dan batin, seperti
para tokoh yang dikisahkan dalam surah-surah yang dibacakan
tersebut.11
Menurut Ummu ‘Abdillāh Naurah binti ‘Abdirrahmān, dalam
bukunya Wirid Ibu Hamil, ayat-ayat al-Qur’an yang dianjurkan untuk
dibaca oleh ibu yang sedang mengandung adalah sebagai berikut:12
1. Surah Al-Fātiḥah
ن ٱلرحيم لمين ٤بسم ٱلله ٱلرحم ن ٱلرحيم ٤ٱلحمد لله رب ٱلع ٣ٱلرحمين لك ي وم ٱلد ٦ ٱهدنا ٱلص رط ٱلمستقيم ٥إياك ن عبد وإياك نستعين ١م
عمت عليهم غير ٱلمغضوب عليهم ول ٱلضا ل ين ٧صرط ٱلذين أن “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari
Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya
kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami
jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”13 (Q.S. Al-
Fātiḥah: 1-7)14
Al-Fātiḥah termasuk ke dalam surah makkiyah yakni surah yang
diturunkan di Mekkah sebelum Nabi Saw. berhijrah. Jumlah
ayatnya disepakati sebanyak tujuh ayat. Al-Fātiḥah dinamai
sebagai Ummul Kitāb, karena ia merupakan induk semua ayat al-
11K. Akbar Saman, Do’a dan Dzikir untuk Ibu Hamil, (Bandung: Ruang Kata, 2012),
35.
12Ummu ‘Abdillāh Naurah binti ‘Abdirrahmān, Wirid Ibu Hamil, terj. Salafuddin Abu
Sayyid (Solo: Pustaka Arafah, 2005), 17-31.
13Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 1.
14Dibaca sebanyak tujuh kali.
27
Qur’an. Al-Fātiḥah juga disebut sebagai Sab’ul Matsānī, yang
berarti tujuh ayat yang diulang-ulang. Nama-nama tesebut
disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhārī (4474)
sebagai berikut:
و سلم: الحمد لله رب صلى الله عليه عن أبي هري رة ، قال: قال رسول الله بع المثاني، و القرآن العظيم.العالمين أم القرآن، وأم الكتاب، والس
“Dari Abī Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Al-
ḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn” (Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam (surah al-Fātiḥah) adalah Ummul Qur’an, Ummul
Kitāb, Sab’ul Matsānī (Tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang),
dan Al-Qur’anul ‘Azhīm.”15
Surah yang mulia ini mencakup pujian kepada Allah SWT.
yang berisi pengagungan dan pujian kepada-Nya melalui
penyebutan nama-nama-Nya yang indah dan melekat dengan sifat-
sifat-Nya yang tinggi; melalui penyebutan hari akhirat, yaitu hari
pembalasan, dengan membimbing hamba-hamba-Nya dalam
memohon dan merendahkan diri di hadapan-Nya, serta
pengikhlasan beribadah hanya untuk-Nya, mengesakan ketuhanan-
Nya, dan membersihkan-Nya dari segala sesuatu yang menyerupai-
Nya.16
Allah SWT. memerintahkan agar mengawali membaca al-
Qur’an dengan basmalah. Allah SWT. juga mengajarkan manusia
untuk memulai setiap kegiatannya dengan mengucapkan basmalah
yang mengandung makna permintaan pertolongan agar kegiatan
yang ia lakukan diridhoi oleh Allah SWT. Karena tanpa ridho-Nya,
15Muḥammad Nashiruddīn Al-Bānī, Derajat Hadis-hadis dalam Tafsir Ibnu Katsir,
terj. ATC Mumtaz Arabia, jil. 1 (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2007), 39.
16Muḥammad Nasib Al-Rifā’I, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
terj. Syihabuddin, jil. 1 (Jakarta: Gema Insani, 1999), 65.
28
kita tidak ada daya dan upaya.17 Membaca basmalah juga
dianjurkan ketika bagian tubuh terasa sakit. Sebagaimana
disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
(2202) sebagai berikut:
ثني أبو الطاهر، وحرملة بن يحيى، قال: أخب رنا ابن وهب، أخب رني يونس، حدن عثمان بن أبي العا عن ابن شهاب، أخب رني نافع بن جب ير بن مطعم، ع
، أنه شكا إلى رسول ده في جسده الله صلى الله عليه و الث قفي سلم وجعا ي من م: ضع يدك على الذي تألم منذ أسلم ف قال له رسول الله صلى الله عليه وسل
جد الله وقدرته من شر ما أ ب جسدك، وقل باسم الله ثلثا، وقل سبع مرات أعوذ وأحاذر.
“Telah menceritakan kepadaku Abū At-Thāhir, dan Harmalah
bin Yaḥya berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibnu
Wahab, telah mengabarkan kepadaku Yūnus, dari Ibnu Syihāb,
telah mengabarkan kepadaku Nāfi’ bin Jubair bin Muth‘im, dari
‘Utsmān bin Abī al-‘Ash al-Tsaqafi, bahwa dia mengadukan
kepada Rasulullah Saw. suatu penyakit yang dideritanya sejak
ia masuk Islam. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:
“Letakkan tanganmu pada bagian tubuhmu yang terasa sakit,
lalu ucapkan bismillah tiga kali. Setelah itu ucapkan tujuh
kalimat: (Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari
segala kejahatan yang saya dapatkan dan saya waspadai)”.18
Selain membaca basmalah, membaca Ummul Kitab yakni surah
al-Fātiḥah secara utuh dapat pula untuk meruqyah orang yang
sedang sakit. Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhārī (5007) sebagai berikut:
ث نا هشا ث نا وهب، حد د بن المث نى، حد ثني محم ، عن معبد، م، عن محمد حد، قال: كنا في مسير لنا ف ن زل اءت جارية، ف قالت:عن أبي سعيد الخدري نا، ف
17M. Quraish Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-
Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2012), 3-5..
18Abu al-Husain Muslim bin al-Ḥajjāj bin Muslim al-Qusayrī al-Naisabūrī, al-Jāmi‘
al- Shaḥīh li Muslim, juz 4(Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-Arabi), 2202.
29
اق؟ ف قام معها رجل ما كنا إن سي د الحي سليم، وإن ن فرنا غيب، ف هل منكم ر ية، ف رقاه ف ب رأ، فأمر له بثلثين ش نأب نه بر ا رجع ق لن ق ا له: اة، وسقانا لب نا، ف لم
ية أو كنت ت رقي؟ قال: ل، ما رق يت إ ل بأم الكتاب، ق لنا: ل أكنت تحسن رق ئا حتى نأت ا قدمن ي أو نسأل النبي صلى اللتحدثوا شي ا المدينة ه عليه وسلم، ف لم
ية؟ اقسمو ذكرناه للنبي صلى الله عليه وسلم ف قال: "وما ك ا ان يدريه أن ها رق واضربوا لي بسهم"
“Telah menceritakan kepadaku Muḥammad bin al-Mutsannā’,
menceritakan kepada kami Wahab, menceritakan kepada kami
Hisyām, dari Muḥammad, dari Ma‘bad, dari Abu Sa‘īd al-
Khudrī yang menceritakan bahwa ketika kami berada dalam
suatu perjalanan, tiba-tiba datanglah seorang budak perempuan
muda, lalu ia berkata, “Sesunggunya pemimpin kabilah terkena
sengatan binatang beracun, sedangkan kaum lelaki kami sedang
tidak ada di tempat. Adakah di antara kalian yang dapat
meruqyah?” Maka bangkitlah seorang laki-laki dari kalangaan
kami bersamanya, padahal kami sebelumnya tidak pernah
memperhatikan bahwa dia dapat meruqyah (pengobatan dengan
jampi). Kemudian lelaki itu meruqyahnya, dan ternyata
pemimpin kabilah sembuh, maka pemimpin kabilah
memerintahkan agar memberinya upah berupa tiga puluh ekor
kambing dan memberi kami minum laban. Ketika lelaki itu
kembali, kami bertanya kepadanya, “Apakah kamu dapat
meniqyah atau kamu pandai meruqyah?” Ia menjawab, “Tidak,
aku hanya meruqyah dengan membaca Ummul Kitab”. Kami
berkata, “Janganlah kalian membicarakan sesuatu pun sebelum
kita sampai dan bertanya kepada Rasulullah”. Ketika tiba di
Madinah, kami menceritakan hal itu kepada Nabi Saw., dan
beliau menjawab, “Siapakah yang memberitahukan kepadanya
bahwa al-Fātiḥah adalah ruqyah? Bagi-bagikanlah dan
berikanlah kepadaku satu bagian darinya!...”.19
Keutamaan surah al-Fātiḥah lainnya yakni apabila surah ini
tidak dibacakan dalam salat, maka tidak sah salatnya seseorang
tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadis
19Muḥammad bin Ismā‘īl bin Ibrāḥīm al-Ja‘fī al-Bukhārī, al-Jāmi‘ al-Shaḥīh al-
Bukhārī, Juz 6(Dār. Thauq al-Najāh, 1422 H), 5007.
30
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhārī (756) dan Muslim (394)
sebagai berikut:
عن محمود بن الربيع عن عبادة بن الصا مت قال: رسول لله صلى الله عليه .فاتحة الكتاب و سلم: ل صلة لمن لم ي قرأ ب
“Dari Maḥmūd bin al-Rabī‘ dari ‘Ubādah bin al-Shāmit, dia
berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak (sah) salat bagi
orang yang tidak membaca Fātiḥatul Kitab (Al-Fātiḥah).”20
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui surah al-
Fātiḥah sangat dianjurkan untuk dibacakan oleh ibu yang
sedang mengandung, karena selain agar diridhoi dalam
melakukan segala sesuatu, surah ini juga dapat menjadi salah
satu upaya untuk menyembuhkan rasa sakit pada tubuh. Hal ini
berkenaan dengan kesehatan dan keselamatan ibu hamil selama
mengandung sampai dengan melahirkan.
2. Surah Al-Ikhlāṣ
٣لم يلد ولم يولد ٤ٱلله ٱلصمد ٤قل هو ٱلله أحد ١ولم يكن لهۥ كفوا أحد
“Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun
yang setara dengan Dia”.21 (Q.S. Al-’Ikhlāṣ: 1-4)22
Surah al-’Ikhlāṣ termasuk surah makkiyah atau diturunkan di
Mekkah sebelum Nabi Saw. hijrah ke Madinah. Surah ini memiliki
sekitar dua puluh nama di antaranya al-Tafrid yang berarti
pengesaan Allah SWT. al-Tajrid yang berarti penafian segala
sekutu bagi-Nya, al-Najat yang berarti keselamatan, yakni di dunia
20Muḥammad Nashiruddīn Al-Bānī, Derajat Hadis-hadis dalam Tafsir Ibnu Katsir,
terj. ATC Mumtaz Arabia, jil. 1, 47.
21Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 605.
22Dibaca sebanyak 3 kali.
31
dan akhirat, al-Ma’rifat yang berarti pengetahuan Allah SWT. al-
Jamal yang berarti keindahan Ilahi, al-Mudzakkirah yang berarti
pemberi peringatan, al-Shamad yang berarti tumpuan harapan, al-
Aman yang berarti keamanan, dan masih banyak yang lainnya.
Tetapi yang paling populer adalah surah al-’Ikhlāṣ.23 Surah ini
menghapus segala pandangan yang tidak benar tentang Allah
SWT., sehingga diyakini bahwa Allah Maha Suci dari segala
sesuatu yang mengeruhkan keesaan-Nya.
Pesan moral yang dapat diambil dari surah al-Ikhlāṣ adalah
letakkan Allah pada proporsi yang sebenarnya yakni sebagai yang
Esa, baik aqidah maupun pengabdian kepada-Nya. Jadikan Dia
sebagai satu-satunya Penentu yang karenanya manusia perlu
mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Pertuhankan Dia setulus-tulusnya, dan jangan pernah
memposisikan apa pun setara dengan-Nya, karena itu murnikan
penyembahan dan pengabdian hanya untuk-Nya.24
Surah al-Ikhlāṣ memiliki banyak keutamaan. Salah satu
keutamaan yang dimiliki surah al-Ikhlāṣ adalah kesetaraannya
dengan sepertiga al-Qur’an. Banyak hadis yang diriwayatkan oleh
para muḥaddiṡīn yang menyebutkan tentang kesetaraan surah al-
Ikhlāṣ dengan sepertiga al-Qur’an. Salah satu hadis yang
membahas tentang keutamaan tersebut diriwayatkan oleh Imam
Bukhārī (7374) sebagai berikut:
ثني مالك عن عبد الرحمن بن عبد ا لله بن عبد الرحمن عن عن إسماعيل حدا أص عيد أن رجل سمع رجل ي قرأ: قل ه أبيه عن أبي س ب و الله أحد ي رد دها ف لم
23M. Quraish Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-
Qur’an, 7-8.
24Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir: Mengerti Jalan-jalan yang
Membahagiakan di Dunia dan Akhirat (Tangerang: Lentera Hati, 2018), 382.
32
ي ها ف قال رسول الله : والذ جاء إلى رسول الله فذكر ذلك له وكأن الرجل ي ت قال ن فسي بيده إن ها لت عدل ث لث القرآن.
“Dari Ismā‘īl, Mālik menceritakan kepadaku dari
‘Abdurrahmān bin ‘Abdullāh bin ‘Abdurrahmān, dari
bapaknya, dari Abū Sa‘īd, bahwa sesungguhnya seseorang
mendengar orang lain membaca (surah al-’Ikhlāṣ), Katakan:
Dia adalah Allah yang Maha Esa (Ahad). Esok paginya ia
memberitahukannya kepada Nabi Saw. bahwa seakan-akan
orang itu tidak cukup membaca (al-Qur’an). Mendengar itu,
Nabi Saw. bersabda: “Demi Dzat yang menggenggam jiwaku,
surah ini setara dengan sepertiga al-Qur’an.”25
Makna sepertiga di dalam hadis tersebut tidak dilihat dari segi
banyaknya bacaan dalam al-Qur’an yang dapat menimbulkan
pemahaman jika membacanya sebanyak tiga kali maka sama
dengan mengkhatamkan al-Qur’an. Namun, maksud sepertiga di
dalam hadis ini adalah isi kandungan dari surah itu sendiri.
Menurut Rasulullah Saw. surah al-Ikhlāṣ itu sama dengan sepertiga
kandungan al-Qur’an. Kandungan al-Qur’an tersebut meliputi
Islam, Iman, dan Ihsan. Dengan kata lain, al-Qur’an itu memuat:
keislaman, keimanan, dan keihsanan. Keislaman merupakan
segenap tata cara untuk hidup pasrah kepada Allah. Keimanan
merupakan keyakinan yang benar yang melandasi keislaman.
Sedangkan, keihsanan merupakan sikap dan tata cara hidup yang
tulus. Surah al-Ikhlāṣ mengandung makna keimanan yang
melandasi keislaman, yakni ketauhidan atau keyakinan bahwa
Allah SWT. adalah satu-satunya Tuhan yang patut disembah.
Berdasarkan isi kandungan surah tersebut, maka tidak heran jika
25Muḥammad Nashiruddīn Al-Bānī, Derajat Hadis-hadis dalam Tafsir Ibnu Katsir,
terj. ATC Mumtaz Arabia, jil. 3 (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2008), 805.
33
Rasulullah menyetarakan surah al-Ikhlāṣ dengan sepertiga
kandungan al-Qur’an.26
Rasulullah apabila hendak tidur pada malam hari, maka beliau
akan membacakan surah al-Ikhlāṣ dan dua surah lainnya yakni
surah al-Falaq dan surah al-Nās. Sebagaimana disebutkan di dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhārī (5017):
ث نا المفضل عن عقيل عن ابن ش عن بة حد ن هاب عن عروة عن عائشة أ ق ت ي لة جمع كفيه ث النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا أوى إلى فراش م ن فث ه كل لي
لناس الفل و قل أعوذ برب ال هو الله أحد و قل أعوذ برب فيهما ف قرأ فيهما ق ن ى رأسه ووجهه وما أق بل م ثم يمس بهما ما استطاع من جسده ي بدأ بهما عل
جسده ي فعل ذلك ثلث مرات.“Dari Qutaibah, al-Mufaḍḍal menceritakan kepada kami dari
‘Uqail, dari Syihāb, dari ‘Urwah, dari ‘Āisyah, bahwa apabila
Nabi Saw. hendak tidur pada setiap malam hari, beliau
merapatkan kedua telapak tangan beliau kemudian
meniupkannya, lalu membaca surah al-Ikhlāṣ, al-Falaq dan al-
Nās. Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan
beliau sebisa mungkin ke seluruh tubuh, mulai dengan
mengusap kepala dan wajah dengan kedua telapak tangan
beliau, lalu mengusap bagian depan tubuh beliau. Beliau
melakukan hal itu sebanyak tiga kali.”27
Rasulullah Saw. juga menganjurkan membaca surah al-Ikhlāṣ
dan al-mu’awwiżatain (al-Falaq dan al-Nās) pada pagi hari dan
petang sebanyak tiga kali. Apabila amalan tersebut dilakukan maka
niscaya akan mencukupi dari segala sesuatu. Sebagaimana
disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzī
(3575) sebagai berikut:
26Achmad Chodjim, Al-Ikhlas: Bersihkan Iman dengan Surah kemurnian (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2008), 33-34.
27Muḥammad Nashiruddīn Al-Bānī, Derajat Hadis-hadis dalam Tafsir Ibnu Katsir,
terj. ATC Mumtaz Arabia, jil. 3, 813.
34
د بن إسماعي ث نا محم ث نا عبد بن حميد، قال: حد ل بن أبي فديك، قال: حدث نا ابن أبي ذئب، عن أبي سعيد الب راد ، بن عبد الله بن خب يب ، عن معاذ حد
لة مطيرة وظلمة شديدة ه نطلب رسول الله صلى الل عن أبيه، قال: خرجنا في لي ئا،عليه وسلم يصل ي لنا، قال: فأدركته، ف قال: قل ف ف لم ثم قال: قل، لم أقل شي
ئا، قال: قل، ف قلت، ما أقول؟ قال: قل: قل هو ا لله أحد، والمعو ذت ين أقل شي ء.حين تمسي وتصب ثلث مرات تكفيك من كل شي
“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdu bin Humaid, berkata:
Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Ismā‘īl bin
Abī Fudaik, berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abī
Dzi’b, dari Abī Sa‘īd Al-Barrādi, dari Mu‘ādz bin ‘Abdullāh
bin Khubaib, dari ayahnya, berkata: “Kami pergi pada malam
yang hujan dan sangat gelap, mencari Utusan Allah, sehingga ia
bisa memimpin kami dalam shalat”. Dia berkata: “Jadi saya
bertemu dengannya dan dia berkata: “Bicaralah” tetapi saya
tidak mengatakan apa-apa. Lalu dia berkata, “Bicaralah” Tetapi
saya tidak mengatakan apa-apa. DIa berkata, “Bicaralah” Jadi
saya berkata, “Apa yang harus saya katakan?” Dia berkata:
“Ucapkanlah Qul Huwallahu ahad (surah al-Ikhlāṣ) dan al-
mu’awwiżatain (al-Falaq dan al-Nās) ketika petang dan pagi
sebanyak tiga kali niscaya hal itu mencukupimu dari segala
sesuatu”.28
Berdasarkan pemaparan di atas, maka surah ini juga sangat
dianjurkan untuk dibacakan oleh ibu yang sedang mengandung.
Selain akan mendapatkan keberkahan dari pembacaan surah yang
setara dengan sepertiga al-Qur’an ini, ibu hamil juga akan dicukupi
segala kebutuhannya oleh Allah SWT., termasuk kebutuhan akan
keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT. selama
mengandung sampai dengan melahirkan.
28Abū ‘Isā Muhammad bin ‘Isā Ibn Saurah bin Mūsā bin Ḍahhak al-Sulamī al-
Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, juz 5 (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1998), 3575.
35
3. Al-mu’awwiżatain (Al-Falaq dan Al-Nās)
Surah al-Falaq dan surah al-Nās dinamai dengan surah al-
Mu‘awwiżatain, yang berarti dua perlindungan. Nama ini diambil
dari awal kedua surah tersebut yang menggunakan kata ’aūdżu
yang berarti “Aku berlindung”, sehingga al-Mu‘awwiżatain berarti
dua surah yang menuntun pembacanya ke tempat pelindungan,
atau memasukkannya ke dalam area yang terlindungi.29
a. Surah Al-Falaq
٣ومن شر غاس إذا وقب ٤من شر ما خل ٤قل أعوذ برب ٱلفل ثت في ٱلعقد ومن شر ٱلن ٥ومن شر حاسد إذا حسد ١ف
“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang
Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari
kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari
kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus
pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia
dengki”.30 (Q.S. Al-Falaq: 1-5)31
Surah al-Falaq menurut mayoritas para ulama merupakan
surah yang diturunkan di Mekkah, yakni turun sebelum Nabi
Saw. hijrah ke Madinah. Surah ini dinamai oleh Nabi Saw.
dengan surah Qul ‘Aūżu bi Rabb al-Falaq. Ada juga yang
mempersingkat namanya menjadi surah al-Falaq.
Intisari makna dari surah al-Falaq adalah sebagai berikut:
Pertama, Allah menganjurkan kita untuk memohon
perlindungan hanya kepada-Nya dari segala macam kejahatan.
Kedua, kejahatan yang mengganggu manusia biasanya terjadi
29M. Quraish Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-
Qur’an, 795.
30Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 605.
31Dibaca sebanyak tiga kali.
36
pada waktu malam hari dan menjelang subuh. Ketiga, bentuk-
bentuk kejahatan yang mungkin terjadi dan dapat
membahayakan manusia, misalnya: kejahatan tukang sihir dan
orang-orang yang berhati dengki. Keempat ada di antara
manusia yang mempunyai niat dan dengki untuk mencelakakan
orang lain pada waktu gelap dan saat malam kelam.32
Pesan moral yang dapat diambil dari surah al-Falaq adalah
manusia lemah berhadapan dengan makhluk-makhluk jahat
yang tersembunyi seperti setan, sihir, dan kedengkian. Maka,
manusia perlu berhati-hati jangan sampai terjebak olehnya.
Untuk menghadapinya, kita perlu pula meminta perlindungan
Allah SWT.33
b. Surah Al-Nās
من شر ٱلوسواس ٣ٱلناس إله ٤ملك ٱلناس ٤قل أعوذ برب ٱلناس نة وٱلناس ٥ٱلذي ي وسوس في صدور ٱلناس ١ٱلخناس ٦من ٱل
“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang
memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia.
Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang
biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam
dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia”.34 (Q.S. Al-
Nās: 1-6)35
Surah ini serangkai dengan surah sebelumnya yaitu al-Falaq
yang disebut dengan al-Mu‘awwiżatain. Surah ini diturunkan
di Mekkah setelah surah al-Falaq, dan namanya yang populer
adalah surah al-Nās. Sebagaimana surah al-Falaq, surah ini
32T.H. Thalhas, Tafsir Pase: Kajian Surah Al-Fatihah dan Surah-surah dalam Juz
‘Amma: Paradigma Baru (Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, 2001), 64.
33Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir, 389.
34Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 605.
35Dibaca sebanyak tiga kali.
37
merupakan surah yang berisi tentang pengajaran untuk
menyandarkan diri dan memohon perlindungan kepada Allah
SWT. Terutama dalam menghadapi kejahatan jin dan setan,
yang sering merayu dan menjerumuskan dalam kedurhakaan,
agar pembaca atau pemohonnya selalu berada dalam
pengawasan dan pemeliharaan Allah SWT.36
Pesan moral yang dapat diambil dalam surah al-Nās ini
adalah hadirkanlah secara terus menerus Allah dalam jiwa
supaya terhindar dari jebakan musuh yang tidak terlihat dan
selalu mengancam yaitu setan dan perilaku manusia yang
berwatak setan.37
Rasulullah Saw. pernah memberitahukan tentang bacaan yang
paling utama ketika akan meminta perlindungan. Bacaan tersebut
adalah dua surah perlindungan yakni surah al-Falaq dan surah al-
Nās. Sebagaimana yang tertera dalam hadis sebagai berikut:
ث نا أب ث نا الوليد قال حد ى رو الوزاعي عن يحي و عم عن محمود بن خالد قال حدد بن إب راهيم بن الحارث عن س أبي عبد الله عن ابن عاب بن أبي كثير عن محمهن ي أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ل ه: يا ابن عابس أل أخب رك الول لله، قال: قل أعوذ برب بأفضل ما ي ت عوذ به المت عو ذون؟ قال: ب لى يا رس الفل و قل أعوذ برب الناس هات ين السورت ين.
“Dari Maḥmūd bin Khālid, Al-Walīd menceritakan kepada
kami, Abū ‘Amr Al-Auza‘I menceritakan kepada kami dari
Yahya bin Abī Katsīr, dari Muḥammad bin Ibrāhīm bin Al-
Hārits Abū ‘‘Abdullāh , dari Ibnu ‘Abīs Al-Juhannī, bahwa
Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: “Hai Ibnu ‘Abīs! Maukah
aku tunjukkan kepadamu (atau maukah aku beritahukan
kepadamu) tentang bacaan yang paling utama dibaca oleh
36M. Quraish Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-
Qur’an, 801.
37Salman Harun, Secangkir Tafsir Juz Terakhir, 400.
38
orang-orang yang memohon perlindungan?” Ibnu ‘Abīs
menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda:
“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai
Subuh”, dan Katakanlah “Aku berlindung kepada Tuhan (yang
memelihara dan menguasai) manusia, itulah dua surah
perlindungan.”38
Suatu riwayat juga menyebutkan apabila Rasulullah Saw.
sedang sakit, maka beliau membaca al-Mu‘awwiżatain (surah al-
Falaq dan al-Nās) atas dirinya. Berikut ini adalah hadis yang
menjelaskan mengenai hal tersebut, yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhārī (5016) sebagai berikut:
ث نا عبد الله بن يوسف، أخب رنا مالك، عن ابن ش هاب، عن عروة، عن حدها: يه وسلم كان إذا اشتكى رسول الله صلى الله عل أن »عائشة رضي الله عن
ا اشتد و فث، ف لم رأ عليه وأمس ي قرأ على ن فسه بالمعو ذات وي ن بيده جعه كنت أق رجاء ب ركتها.
“Telah menceritakan kepada kami ‘‘Abdullāh bin Yūsuf, telah
mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihāb, dari
‘Urwah, dari ‘Aisyah r.a. bahwa apabila Rasulullah Saw. sakit,
beliau membaca al-Mu‘awwiżatain (surah al-Falaq dan al-Nās)
atas dirinya, lalu meniupkannya. Ketika sakitnya semakin
parah, aku membacakan untuk beliau al-Mu‘awwiżatain dan
aku sapukan tangan beliau ke tubuhnya untuk mengharapkan
keberkahannya”.39
Hikmah yang dapat diambil dari kedua surah di atas, yaitu
manusia lemah berhadapan dengan makhluk-makhluk jahat yang
tersembunyi seperti setan, sihir, dan kedengkian. Maka, manusia
perlu berhati-hati jangan sampai terjebak olehnya. Untuk
menghadapinya, kita perlu pula meminta perlindungan Allah SWT.
38Muḥammad Nashiruddīn Al-Bānī, Derajat Hadis-hadis dalam Tafsir Ibnu Katsir,
terj. ATC Mumtaz Arabia, jil. 3, 817.
39Muḥammad bin Ismā‘īl bin Ibrāḥīm al-Ja‘fī al-Bukhārī, Jāmi‘ al-Shaḥīh al-Bukhārī,
Juz 6, 5016.
39
Hadirkanlah secara terus menerus Allah dalam jiwa supaya
terhindar dari jebakan musuh yang tidak terlihat dan selalu
mengancam yaitu setan dan perilaku manusia yang berwatak setan.
Maka dari itu, alangkah baiknya jika ibu yang sedang
mengandung membacakan kedua surah tersebut, agar diberikan
perlindungan oleh Allah SWT. dari segala makhluk-makhluk jahat,
seperti setan bahkan perilaku buruk manusia yang tidak pernah
terduga akan mengancam keselamatan ibu dan bayi yang
dikandung.
4. Surah Al-Baqarah
Surah al-Baqarah merupakan surah ke-2 dalam al-Qur’an.
Surah ini terdiri dari 286 ayat dan termasuk golongan surah
Madaniyah. Surah ini juga merupakan surah dengan jumlah ayat
terbanyak dalam al-Qur’an. Terdapat beberapa ayat dalam surah
ini yang memiliki keutamaan dan sering dibacakan ketika berdzikir
dan berdo’a, yaitu al-Baqarah ayat 255 (Ayat Kursi), al-Baqarah
ayat 285-286, dan al-Baqarah ayat 1-5.
a. Al-Baqarah ayat 255 (Ayat Kursi)
ت و لهۥ ما في ٱلسمخذهۥ سنة ول ن وم
ٱلله ل إله إل هو ٱلحي ٱلقيوم ل تأ
ذي يشفع عندهۥ إل بإذنهۦ ي علم ما ب ين أيديهم وما وما في ٱلرض من ذا ٱل ت و ول يحيطون بشيء م ن علمهۦ إل بما شا ء وسع كرسيه ٱلسم
خلفهم وهو ٱلعلي ٱل
٤٥٥عظيم وٱلرض ول ي ئ ودهۥ حفظهما“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus
mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak
tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.
Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-
Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka
dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui
40
apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-
Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah
tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar”.40 (Q.S. Al-Baqarah: 255)41
Ayat Kursi memiliki banyak keutamaan, salah satunya
adalah apabila ayat Kursi dibacakan ketika hendak tidur,
maka Allah akan menjaga agar tidak didekati oleh setan
hingga pagi. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhārī
(0505) sebagai berikut:
د ب ث نا عوف، عن محم ثم: حد رة ن سيرين، عن أبي هري وقال عثمان بن الهي لني رسول الله صلى الله اة ه وسلم بحفظ زك علي رضي الله عنه، قال: وك
عل يحثو من الطعام فأخذ إلى ته، ف قلت: لرف عنك رمضان، فأتاني آت، ف، ف قال: إذا أويت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، ف قص الحديث
رأ آي ، لن ي زال معك من الله ح فراشك فاق ان افظ، ول ي قربك شيط ة الكرسي م: صدقك وهو كذوب، ذاك حتى تصب ، وقال النبي صلى الله عليه وسل
شيطان.“Dan berkata ‘Utsmān bin Al-Haitsam: Telah
memberitahukan kepadaku ‘Auf, dari Muḥammad bin Sīrīn,
dari Abī Hurairah, berkata: “Rasulullah pernah menugaskan
kepadaku untuk menjaga harta zakat di bulan Ramadhan,
Lalu pada suatu hari ada seseorang yang menyusup hendak
mengambil makanan, maka aku pun menyergapnya seraya
berkata, “Aku benar-benar akan menyerahkanmu kepada
Rasulullah Saw”. Lalu ia bercerita dan berkata, “Jika kamu
hendak beranjak ke tempat tidur maka bacalah ayat kursi,
niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan syetan tidak
akan mendekatimu hingga pagi”. Maka Nabi Saw. pun
40Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 43.
41Dibaca sebanyak tiga atau tujuh kali untuk mengusir jin dan setan.
41
bersabda: “Ia telah berkata benar padamu, padahal ia adalah
pendusta. Si penyusup tadi sebenarnya adalah syetan”.42
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda bahwa siapa saja
yang membaca ayat Kursi setiap kali usai melaksanakan salat,
maka tidak ada sesuatu yang bisa menghalanginya untuk
masuk surga sampai ia meninggal. Sabda Rasulullah Saw.
tersebut tertera dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-
Nasā’ī (9848) sebagai berikut:
ث نا م د بن حمير قال: حد ث نا محم د بن زياد حد ، عن أبي أمامة قال: حمة الكرسي في دبر كل صل قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من ق رأ آية نة إل أن يموت. مكتوبة لم يمن عه من دخول ال
“Telah memberitahukan kepada kami Muḥammad bin
Himyar, ia berkata: Telah memberitahukan kepada kami
Muḥammad bin Ziyād, dari Abī Umāmah, ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa yang membaca
ayat Kursi setiap kali usai melaksanakan salat, maka tidak
ada sesuatu yang bisa menghalanginya untuk masuk surga
hingga ia wafat”.43
b. Al-Baqarah ayat 285-286
كل ءامن بٱلله ومل ئكتهۦ ءامن ٱلرسول بما أنزل إليه من رب هۦ وٱلمؤمنون
سلهۦ وقالوا سمعنا وأطعنا غفرانك رب نا وكتبهۦ ورسلهۦ ل ن فر ق ب ين أحد م ن ر ها ٤٢٥وإليك ٱلمصير ل يكل ف ٱلله ن فسا إل وسعها لها ما كسبت وعلي
نا رب نا رب نا ل ت ؤاخذنا إن نسينا أو أخطأ
نا إصرا ما ٱكتسبت ول تحمل علي
42Muḥammad bin Ismā‘īl bin Ibrāḥīm al-Ja‘fī al-Bukhārī, Jāmi‘ al-Shaḥīh al-Bukhārī,
Juz 6, 5010.
43Aḥmad bin Syu’aib bin ‘Alī bin Sinān bin Bakr bin Dīnār Abū ‘Abdillah, Sunan al-
Kubra, juz 9 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), 9848.
42
لنا ما ل طاقة لنا بهۦ وٱعف رب نا ول تحم كما حملتهۥ على ٱلذين من ق بلنا
فرين نا فٱنصرنا على ٱلقوم ٱلك ٤٢٦عنا وٱغفر لنا وٱرحمنا أنت مولى “Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan
kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang
beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.
(Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-
Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami
taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami
dan kepada Engkaulah tempat kembali”. Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan
kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah
kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami,
maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.44 (Q.S. Al-
Baqarah: 285-286)45
Terdapat satu hadis yang menerangkan keutamaan dua ayat
terakhir dari surah al-Baqarah ini. Hadis tersebut diriwayatkan
oleh Imam Bukhārī (5009) sebagai berikut:
ث نا سفيان، عن منصور، عن ث نا أبو ن عيم، حد ن إب راهيم، عن عبد الرحم وحده النبي صلى الله علي بن يزيد، عن أبي مسعود رضي الله عنه، قال: قال
لة كفتاه. ن آخر سورة الب قرة فيوسلم: من ق رأ بالي ت ين م لي
44Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 50.
45Dibacakan sebanyak satu kali.
43
“Telah memberitahukan kepada kami Abū Nu‘aim, telah
memberitahukan kepada kami Sufyān, dari Manṣūr, dari
Ibrāhīm, dari ‘Abdurrahmān bin Yazīd, dari Abī Mas‘ūd
r.a., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa
yang membaca dua ayat terakhir dari surah al-Baqarah
dalam satu malam, maka keduanya sudah cukup baginya”.46
c. Al-Baqarah ayat 1-5
لك ٱلكتب ل ريب فيه هدى ل لمتقين ٤ال م ٱلذين ي ؤمنون بٱلغيب ٤ذهم ينفقون ويقيم ن ا رزق وٱلذين ي ؤمنون بما أنزل إليك وما ٣ون ٱلصلوة ومم
أول ئك على هدى م ن رب هم وأول ئك ١أنزل من ق بلك وبٱل خرة هم يوقنون ٥هم ٱلمفلحون
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman
kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu
dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka
itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka,
dan merekalah orang-orang yang beruntung”.47 (Q.S. Al-
Baqarah: 1-5)48
Rasulullah Saw. pernah bersabda mengenai keutamaan
surah al-Baqarah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim (202) sebagai berikut:
ث نا ي عقوب وهو اب بة بن سعيد، حد ث نا ق ت ي حمن القاري، عن ن عبد الر حدال: لى الله عليه وسلم، ق سهيل، عن أبيه، عن أبي هري رة، أن رسول الله ص
46Muḥammad bin Ismā‘īl bin Ibrāḥīm al-Ja‘fī al-Bukhārī, Jāmi‘ al-Shaḥīh al-Bukhārī,
Juz 6, 5009.
47Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 3.
48Dibacakan sebanyak satu kali.
44
علوا ب يوتكم مقابر، إن الشيطان ي نفر من ورة الب يت الذي ت قرأ فيه س ل ت.الب قرة
“Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa‘īd,
telah memberitahukan kepada kami Ya‘qūb dan ia adalah
anak dari ‘Abdurrahmān al-Qārī, dari Suhail, dari ayahnya,
dari Abu Hurairah, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw.
bersabda: “Jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan.
Sebab, setan akan lari dari rumah yang di dalamnya
dibacakan surah al-Baqarah”.49
Selain hadis di atas, Rasulullah Saw. juga pernah bersabda
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Dārimī (3426)
sebagai berikut:
اد، عن عاصم، عن أخب رنا ع ث نا حم ، عن ابن مرو بن عاصم، حد عبي الش، من ق رأ أربع آيات من أول سورة الب ق »مسعود، قال: رة، وآية الكرسي
، وثلثا من آخر سورة ه قرة، لم ي قربه ول أهل الب وآي تان ب عد آية الكرسي نون إل أفاق.ي ومئذ شيطان، ول شيء يكرهه، ول ي قرأن على م
“Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Āṣim, telah
memberitahukan kepada kami Hammad, dari ‘Āṣim, dari al-
Sya‘bī, dari Ibnu Mas‘ūd, ia berkata: “Barang siapa yang
membaca empat ayat dari bagian pertama surah al-Baqarah,
ayat Kursi, dua ayat setelah ayat Kursi, dan tiga ayat
terakhir surah al-Baqarah, maka ia dan keluarganya pada
hari itu tidak akan bisa didekati oleh setan maupun
sesuatuyang dibencinya. Tidaklah ayat tersebut dibacakan
kepada orang yang kemasukan jin, melainkan ia akan
siuman”.50
Berdasarkan banyaknya keutamaan beberapa ayat dari surah al-
Baqarah tersebut, maka sangat dianjurkan pula bagi ibu yang
49Abu al-Husain Muslim bin al-Ḥajjāj bin Muslim al-Qusayrī al-Naisabūrī, Jāmi‘ al-
Shaḥīh li Muslim, juz 0, 212.
50‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Faḍl bin Bahrām bin ‘Abdul Shamad al-Dārimī al-
Tamīmī, Sunan al-Dārimī, juz 4 (Riyadh: Dar al-Mughnī, 2000), 3426.
45
sedang mengandung untuk membacakan ayat-ayat tersebut. Hal ini
tidak lain juga bertujuan untuk mendapatkan keselamatan dan
perlindungan dari Allah SWT. dari setan-setan yang suka
mengganggu selama masa kehamilan hingga melahirkan.
Selain rangkaian ayat dan surah di atas, terdapat pula rangkaian
ayat dan surah yang juga dianjurkan untuk dibacakan secara berurutan
oleh ibu yang sedang mengandung setelah membacakan beberapa ayat
dan surah yang telah disebutkan:51
1. Surah al-Hasyr ayat 22-24 (Dibaca sebanyak satu kali)
2. Surah Tāhā ayat 111 (Dibaca sebanyak satu kali)
3. Surah al-Anbiyā’ ayat 69 (Dibaca sebanyak tiga kali)
4. Surah al-An‘ām ayat 17 (Dibaca sebanyak tiga kali)
5. Surah al-Isrā’ ayat 82 (Dibaca sebanyak tiga kali)
6. Surah al-Taubah ayat 14 (Dibaca sebanyak tiga kali)
7. Surah Yūnus ayat 57 (Dibaca sebanyak tiga kali)
8. Surah al-Naḥl ayat 69 (Dibaca sebanyak tiga kali)
9. Surah al-Syu‘arā’ ayat 80 (Dibaca sebanyak tiga kali)
10. Surah Fuṣilat ayat 44 (Dibaca sebanyak tiga kali)
11. Surah al-Qalam ayat 51 (Dibaca sebanyak tiga kali)
12. Surah Yāsīn ayat 9 (Dibaca sebanyak tiga kali)
13. Surah al-Zalzalah ayat 1-8 (Dibaca sebanyak satu, tiga, atau tujuh
kali)
14. Surah al-Insyiqāq ayat 1-4
15. Surah al-A‘rāf ayat 54-56 (Dibaca sebanyak satu kali)
16. Surah Yūnus ayat 3 (Dibaca sebanyak satu kali)
17. Surah al-Kāfirūn
18. Surah al-Naṣr (Dibaca sebanyak satu kali)
51Ummu ‘Abdillāh Naurah binti ‘Abdirrahmān, Wirid Ibu Hamil, 32-71.
46
19. Surah al-Nāzi‘āt ayat 46 (Dibaca sebanyak tiga kali)
20. Surah al-Ahqāf ayat 35 (Dibaca sebanyak tiga kali)
21. Surah al-Anbiyā’ ayat 83 (Dibaca sebanyak tiga kali)
22. Surah al-Anbiyā’ ayat 87 (Dibaca sebanyak tiga kali)
23. Surah Ghāfir ayat 44 (Dibaca sebanyak tiga kali)
24. Surah al-Qamar ayat 10 (Dibaca sebanyak tiga kali)
25. Surah Hūd ayat 88 (Dibaca sebanyak tiga kali)
26. Surah Āli ‘Imrān ayat 173 (Dibaca sebanyak tiga kali)
27. Surah al-Taubah ayat 129 (Dibaca sebanyak tujuh kali)
28. Surah al-Thalāq ayat 3 (Dibaca sebanyak tiga kali)
29. Surah Ghāfir ayat 1-3 (Dibaca sebanyak satu kali)
30. Surah Nūh ayat 10-12 (Dibaca sebanyak satu kali)
31. Surah al-Fajr ayat 27-30 (Dibaca sebanyak satu kali)
32. Surah al-Shāffāt ayat 1-10
33. Surah Maryam (Dibaca sebanyak satu kali)
34. Surah Qāf (Dibaca sebanyak satu kali)
35. Surah al-Fatḥ (Dibaca sebanyak satu kali)
36. Surah Yāsīn (Dibaca sebanyak satu kali)
37. Surah al-Mulk (Dibaca sebanyak satu kali)
Sedangkan menurut Akbar Saman dalam bukunya Do’a dan Wirid
untuk Ibu Hamil terdapat pula beberapa surah yang juga dianjurkan
dibacakan oleh ibu yang sedang mengandung sebagai suplemen
pembentuk karakter anak sebagai berikut:52
1. Surah Yūsuf
Surah Yūsuf merupakan surah ke-12 dalam al-Qur’an. Surah ini
terdiri dari 111 ayat dan termasuk dalam golongan surah
Makkiyah. Surah ini dinamakan dengan surah Yūsuf karena isinya
52K. Akbar Saman, Do’a dan Dzikir untuk Ibu Hamil, 36-49.
47
menggambarkan riwayat kehidupan Nabi Yūsuf yang patuh
terhadap orang tua, sabar, jujur, istiqomah dalam kebenaran. Allah
SWT. mengabadikan kisahnya dalam al-Qur’an, karena sifatnya
yang sangat terpuji.
Seorang ibu yang sedang hamil dianjurkan untuk membacakan
surah ini. Selain untuk ibadah, diharapkan anak yang dikandung
akan mendapatkan keberkahan dan mewarisi sifat-sifat mulia dari
Nabi Yūsuf hingga kesempurnaan jasad yang dimilikinya.
2. Surah Maryam
Surah Maryam merupakan surah ke-19 dalam al-Qur’an yang
terdiri dari 98 ayat dan termasuk dalam golongan surah Makkiyah.
Seperti surah Yūsuf, surah ini juga menggambarkan riwayat
kehidupan tokoh yang dijadikan nama surah tersebut, yakni Siti
Maryam. Surah ini mengisahkan perjuangan Siti Maryam ketika
menjalani masa kehamilan serta keteguhan imannya yang
memberikan banyak pelajaran yang luar biasa. Selain kisah Siti
Maryam, surah ini juga menceritakan tentang dikabulkannya do’a
Nabi Zakaria ketika memohon diberikan seorang keturunan untuk
melanjutkan perjuangannya.
Seorang wanita yang sedang mengandung dianjurkan untuk
membacakan surah ini. Selain membacanya, dianjurkan pula untuk
memahami makna dari surah tersebut. Dengan memahami isi dari
surah ini maka akan membangun rasa percaya diri menghadapi
kehamilan yang kita ketahui tidak selalu berjalan lancar. Pada
48
surah ini terdapat pula do’a bagi ibu hamil untuk anaknya agar
kelak menjadi anak yang berbakti sebagai berikut:53
لديه ولم يكن جبارا عصيا ا بو ٤١وب ر“Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan
bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka”.54 (Q.S.
Maryam: 14)
3. Surah Luqmān
Surah Luqmān merupakan surah ke-31 dalam al-Qur’an. Surah
ini terdiri dari 34 ayat dan termasuk surah yang diturunkan di
Mekkah (Makkiyah). Surah ini menceritakan tentang riwayat
kehidupan Luqmān yang mendapatkan nikmat dan ilmu dari Allah
SWT., sehingga ia tidak pernah berhenti bersyukur kepada-Nya.
Selain itu, juga terdapat kisah mengenai nasihatnya kepada anak-
anaknya.
Seorang ibu yang sedang mengandung sangat dianjurkan
membaca serta memahami surah ini, agar kelak menjadi orang tua
yang mampu mendidik anak-anaknya seperti pendidikan yang
diberikan oleh Luqmān kepada anaknya, yaitu taat kepada kedua
orang tua dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh
Allah SWT.
4. Surah Yāsīn
Surah Yāsīn merupakan surah ke-36 dalam al-Qur’an yang
terdiri dari 83 ayat dan diturunkan di kota Mekkah. Surah ini
dinamai pula oleh Nabi Saw. dengan Qalbu al-Qur’an yang berarti
53Silmi Adawiyya, “Pentingnya Membaca Surat Maryam Bagi Ibu Hamil, 2019,”
Diakses, 02 Juni, 2020, https://tebuireng.online/pentingnya-membaca-surat-maryam-bagi-ibu-hamil/
54Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 307.
49
hatinya al-Qur’an. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Dārimī (3459) sebagai berikut:
ث نا حميد بن عبد الر د بن سعيد، حد ث نا محم من، عن الحسن بن صال ، ح حدعن أنس، قال: قال عن هارون أبي محمد، عن مقاتل بن حيان، عن ق تادة،
با، وإن ق لب القرآن يس...رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن لكل شيء ق ل
“Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Sa‘īd, telah
menceritakan kepada kami Humaid bin ‘Abdurrahmān, dari al-
Hasan bin Shāliḥ, dari Hārūn Abī Muḥammad, dari Muqātil bin
Hayyān, dari Qatādah, dari Anas, ia berkata: “Sesungguhnya
segala sesuatu memiliki hati. Dan hatinya al-Qur’an adalah
(surah) Yāsīn”.55
Surah Yāsīn juga memiliki keutamaan apabila dibacakan
sebanyak 1 kali, maka akan mendapatkan pahala setara dengan
membaca al-Qur’an sebanyak 10 kali. Sebagaimana disebutkan
dalam hadis riwayat Imam al-Tirmidzī (2887) sebagai berikut:
ث نا حم بة، وسفيان بن وكيع، قال: حد ث نا ق ت ي ، يد بن عبد الرحمن الرؤاسي حدن حيان، عن ق تادة، عن الحسن بن صال ، عن هارون أبي محمد، عن مقاتل ب
لكل شيء ق لبا، وق لب ن أنس، قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: إن ع ة القرآن عشر مرات.القرآن يس، ومن ق رأ يس كتب الله له بقراءتها قراء
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, dan Sufyān bin
Wakī‘, ia berkata: Telah memberitahukan kepada kami Humaid
bin ‘Abdurrahmān al-Ru’āsī, dari al-Hasan bin Shāliḥ, dari
Hārun Abī Muḥammad, dari Muqāthil bin Hayyān, dari
Qatādah, dari Anas, ia berkata: Rasulullah Saw. pernah
bersabda: “Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati. Dan
hatinya al-Qur’an adalah (surah) Yaa Siin, dan barang siapa
55‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Faḍl bin Bahrām bin ‘Abdul Shamad al-Dārimī al-
Tamīmī, Sunan al-Dārimī, juz 4, 3459.
50
yang membaca surah Yāsīn 1 kali, akan mendapatkan pahala 10
kali membaca al-Qur’an”.56
Surah ini juga memiliki keutamaan apabila dibacakan ketika
pagi hari, maka Allah SWT. akan memberikan kesenangan baginya
hingga sore hari. Apabila dibacakan pada malam hari, maka Allah
SWT. akan memberikan kesenangan hingga pagi hari.
Sebagaimana tertera dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-
Dārimī (3462) sebagai berikut:
ث نا ر ث نا عبد الوهاب، حد ث نا عمرو بن زرارة، حد ، حد اني د الحم اشد أبو محمين يصب ، أعطي عن شهر بن حوشب، قال: قال ابن عباس: من ق رأ يس ح
لته حتى ي من ق رأها في صدر ليله، أ يسر ي ومه حتى يمسي، و صب .عطي يسر لي “Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Zurārah, telah
menceritakan kepada kami Abdul Wahāb, telah menceritakan
kepada kami Rāsyid Abu Muḥammad al-Himmānī, dari Syahr
bin Hawsyab, ia berkata: Ibnu ‘Abbās berkata: “Barang siapa
yang membaca surah Yāsīn ketika pagi hari, maka Allah SWT.
akan memberikan kesenangan hingga sore harinya. Orang yang
membaca surah Yāsīn pada malam hari, maka Allah SWT. akan
memberikan kesenangan hingga pagi hari”.57
Selain memberikan kesenangan, Allah SWT. juga akan
mencukupi segala kebutuhan orang yang membaca surah Yāsīn
pada siang hari. Seperti yang tertera pada hadis yang juga
diriwayatkan oleh Imam al-Dārimī (3461) sebagai berikut:
ث نا ثني زياد حد ثني أبي، حد اع، حد د بن الوليد بن ش ثمة، عن محم بن خي سلم الله صلى الله عليه و جحادة، عن عطاء بن أبي رباح، قال: ب لغني أن رسول
ه.قال: من ق رأ يس في صدر الن هار ، قضيت حوائ 56Abū ‘Isā Muhammad bin ‘Isā Ibn Saurah bin Mūsā bin Ḍahhak al-Sulamī al-
Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, juz 0, 2887.
57‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Faḍl bin Bahrām bin ‘Abdul Shamad al-Dārimī al-
Tamīmī, Sunan al-Dārimī, juz 4, 3462.
51
“Telah menceritakan kepada kami al-Walīd bin Syuja’, telah
menceritakan kepadaku Ayahku, telah menceritakan kepadaku
Ziyād bin Khaitsamah, dari Muḥammad bin Juhādah, dari
‘Athā’ bin Abī Rabāh, ia berkata: Telah disampaikan kepadaku,
bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa
yang membaca surah Yāsīn pada siang hari, maka Allah akan
mencukupi segala kebutuhannya”.58
Melihat keutamaan-keutamaan dari surah Yāsīn tersebut, maka
hendaknya ibu yang sedang mengandung senantiasa pula
membacakan surah ini, karena keutamaan-keutamaan dari surah
tersebut sangat bermanfaat bagi ibu yang sedang mengandung,
seperti Allah akan memberikan kesenangan bahkan mencukupi
segala kebutuhannya.
5. Surah Al-Raḥmān
Surah al-Raḥmān merupakan surah ke-55 dalam al-Qur’an yang
terdiri dari 78 ayat. Nama surah ini diambil dari kata al-Raḥmān
yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Al-Raḥman adalah salah
satu dari nama Allah SWT. yang berarti “Yang Maha Pemurah”.
Sebagian besar surah ini menerangkan kemurahan Allah SWT.
kepada hambanya, yaitu dengan memberikan kenikmatan yang tak
terhingga di dunia maupun di akhirat. Rasulullah Saw. pernah
membacakan surah ini kepada golongan jin. Sebagaimana yang
telah disebutkan dalam hadis riwayat Imam al-Tirmidzī (3291)
sebagai berikut:
ث نا ال ث نا عبد الرحمن بن واقد أبو مسلم قال: حد بن وليد بن مسلم، عن زهير حدد بن المنكدر، عن جابر قال: خرج رسول ه علي الله صلى الله محمد، عن محم
ولها إلى آخرها فسكتوا، وسلم على أصحابه، ف قرأ عليهم سورة الرحمن من أ
58‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Faḍl bin Bahrām bin ‘Abdul Shamad al-Dārimī al-
Tamīmī, Sunan al-Dārimī, juz 4, 3461.
52
ن فكانوا أحس لة ال ن لي ن مردودا منكم، كنت ف قال: " لقد ق رأت ها على البان كلما أت يت على ق [ قالوا: ل 31 { االرحمن: وله }فبأي آلء رب كما تكذ
ب ف لك الحمد. بشيء من نعمك رب نا نكذ “Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmān bin Wāqid
Abu Muslim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami al-
Walīd bin Muslim, dari Zuhair bin Muḥammad, dari
Muḥammad bin al-Munkadir, dari Jābir, ia berkata: Rasulullah
Saw. keluar menemui para sahabatnya dan membacakan kepada
mereka surah al-Raḥmān dari awal hingga akhir, kemudian
mereka terdiam. Lalu beliau berkata: “Sungguh aku telah
membacakannya kepada jin pada malam kedatangan jin dan
mereka lebih baik jawabannya daripada kalian. Aku setiap kali
membaca Firman-Nya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu dustakan?” (Qs. Al-Raḥmān ayat 16 dan
seterusnya), Mereka mengatakan: “Tidak, kami tidak
mendustakan sedikitpun kenikmatan-Mu wahai Tuhan kami.
Segala puji bagi-Mu”.59
Surah ini juga sangat dianjurkan untuk dibacakan oleh
perempuan yang sedang mengandung, agar selama masa
kehamilan mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. dan
dijauhkan dari makhluk yang hasud dari bangsa jin.
6. Surah Al-Wāqi‘ah
Surah al-Wāqi‘ah adalah surah ke-56 dalam al-Qur’an. Surah
ini terdapat dalam juz ke-27 dan terdiri dari 96. Nama surah ini
diambil dari ayat pertama yakni al-Wāqi‘ah yang berarti hari
kiamat. Isi dari surah ini menceritakan tentang bagaimana hari
kiamat akan terjadi, serta balasan bagi orang-orang yang beriman
dan juga orang-orang kafir.
59Abū ‘Isā Muhammad bin ‘Isā Ibn Saurah bin Mūsā bin Ḍahhak al-Sulamī al-
Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, juz 0, 3291.
53
Terdapat satu hadis yang menerangkan keutamaan dari
membacakan surah al-Wāqi‘ah yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi
(2396) sebagai berikut:
ه وسلم: " من ق رأ سورة بن مسعود، قال: سمعت رسول الله صلى الله علي عن الة لم تصبه فاقة. الواقعة في كل لي
“Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda: “Barang siapa membaca surat al-Wāqi‘ah setiap
malam, maka ia tidak akan mengalami kefaqiran”.60
Kaum muslimin yang mengetahui surah al-Wāqi‘ah berkaitan
dengan rezeki, mereka senantiasa membacakannya untuk
menghindari kefaqiran. Namun, kandungan hadis di atas adalah
jika seseorang membacakan surah ini secara rutin maka tidak akan
mengalami faqir hati, bukan faqir materi. Al-Manawi, dalam Faid al-
Qadīr menjelaskan bahwa Allah SWT. memberikan rizki berupa
qanaah atau kekuatan yang menguatkan mereka untuk selalu
beribadah kepada-Nya dan kekuatan untuk belajar ilmu
pengetahuan sebagai sarana memperbaiki kualitas diri.61 Jika ada
seseorang yang memperoleh rezeki, disertai dengan ikhtiar
membaca surah al-Wāqi‘ah, maka itu merupakan anugerah dalam
hidupnya yang dikarenakan sifat qanaah dan ketenangan sebagai
manfaat dari membaca surah al-Wāqi‘ah dan usaha yang telah
dilakukannya sehingga Allah SWT. memberikan rezeki yang luas
kepadanya.62
60Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, dalam Mausu’ah Hadis Maktabah al-Syamilah jilid 6,
14.
61Surahmat, “Kritik Pemahaman Hadis Nabi Tentang Keutamaan Surat Al-Waqi’ah”.
Inovatif, vol.1, no.1 (2015): 79.
62Surahmat, “Kritik Pemahaman Hadis Nabi Tentang Keutamaan Surat Al-Waqi’ah”,
79.
54
Ketika seseorang membaca surah al-Wāqi‘ah, menurut
Muḥammad Makhdlori dapat merubah keadaan jiwa yang sedang
gelisah menjadi tenang, keadaan hati yang pesimis menjadi
optimis, pikiran yang kacau menjadi tertata. Inilah unsur terpenting
yang seharusnya diterapkan dalam jiwa seseorang. Setelah
seseorang merutinkan membaca surah al-Wāqi‘ah, maka secara
tiba-tiba Allah SWT. akan menurunkan uang dari langit, bukan
demikian realitas dari keajaiban surat al-Wāqi‘ah, tetapi
perwujudan ilmiah yang dihasilkan dari energi batin dalam diri
seorang yang terbiasa membacanya, karena ayat-ayat yang dibaca
bisa menghilangkan negative thinking sehingga dapat
menumbuhkan rasa optimisme yang diawali dari ketenangan batin
seseorang. Berawal dari keadaan hati yang tenang, yang
merupakan unsur pokok dari segala mekanisme indra dalam tubuh
seseorang, maka dapat merangsang sistem saraf otak sehingga
seseorang dapat bekerja secara maksimal.63
Berdasarkan pemaparan di atas, maka sangat dianjurkan kepada
ibu yang sedang mengandung untuk membacakan surah al-
Wāqi‘ah, karena Allah akan menjadikannya tidak faqir hati yang
menumbuhkan rasa ketenangan dan menghilangkan rasa
kegelisahan, hingga muncul rasa optimisme dalam diri. Hal ini
sangat dibutuhkan oleh ibu selama mengandung hingga melahirkan
untuk menghalau rasa takut akan hal yang membuatnya gelisah
terutama ketika melahirkan.
63Muhammad Makhdlori, Bacalah Surat Al-Waqi’ah Maka Engkau Akan Kaya
(Yogyakarta: Diva Press, 2008), 162.
55
7. Surah Al-Insyirah
Surah al-Insyirah adalah surah ke-94 dalam al-Qur’an yang
terdiri dari 8 ayat dan diruturunkan di Mekkah setelah surah al-
Dhuha. Surah ini menceritakan tentang penegasan nikmat-nikmat
Allah SWT. yang diberikan kepada Nabi Saw. dan umatnya, serta
pernyataan Allah tentang setiap kesukaran pasti ada kemudahan,
oleh sebab itu diperintahkan kepada Nabi Saw. dan umatnya untuk
senantiasa melakukan amal shaleh dan bertawakkal kepada-Nya.64
Surah al-Insyirah mengandung unsur penenang jiwa, serta
memberikan tuntunan agar seseorang bisa menenangkan hati
dirinya sendiri dalam menghadapi persoalan hidup. Surah ini juga
menganjurkan untuk selalu berdzikir mengingat Allah SWT.,
karena dengan mengingat-Nya seseorang akan merasa ketenangan
dalam jiwanya, sehingga tidak merasakan kegelisahan dalam
menghadapi berbagai masalah.65
Maka dari itu, surah ini sangat dianjurkan dibacakan pula serta
dipahami maknanya oleh ibu yang mengandung, agar perasaan
cemas akan masalah-masalah yang akan datang ketika
mengandung dan melahirkan berganti dengan ketenangan hati.
C. Bacaan yang Menyertai Upacara Mandi Tujuh Bulan Kehamilan
Kelahiran anak pertama selalu menjadi hal yang mendebarkan dan
penuh harap. Di Indonesia, terdapat berbagai tradisi prosesi adat yang
dilakukan guna menyambut dan mendo’akan calon bayi yang
dikandung oleh ibunya. Salah satunya adalah upacara atau tradisi
memandikan orang hamil yang biasa disebut dengan mitoni. Mitoni
64Ichda Nauvilla, “Surah Al-Insyirah dan Pemecah Masalah” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), 38.
65Ichda Nauvilla, “Surah Al-Insyirah dan Pemecah Masalah” 77-78.
56
merupakan budaya Jawa yang berasal dari kata pitu berarti tujuh, hal
ini dimaksudkan bahwa ritual tersebut dilaksanakan pada saat bayi
menginjak usia tujuh bulan dalam kandungan.66
Sejarah mitoni tidak terlepas dari masa pemerintahan Prabu
Jayabaya. Iswah Adriana menyebutkan di dalam jurnalnya bahwa
tradisi ini berawal pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, yang pada
saat itu ada sepasang suami istri bernama Niken Satingkeb dan Sadiya.
Mereka melahirkan anak sembilan kali namun tidak ada satu pun yang
hidup. Kemudian keduanya memutuskan untuk menghadap dan
meminta pertolongan kepada raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka
(Jayabaya). Mendengar keluh kesah keduanya, sang raja yang arif dan
bijaksana terharu, lalu beliau memberikan petuah agar Nyai Satingkeb
mandi menggunakan tempurung atau bathok kelapa setiap hari Rabu
dan Sabtu pada pukul 17.00.67
Setelah mandi, ia dianjurkan memakai pakaian yang serba bersih.
Kemudian dijatuhkan dua butir kelapa gading melalui jarak antara
perut dan pakaian. Kelapa gading tersebut diukir dengan gambar Sang
Hyang Wisnu dan Dewi Sri atau Arjuna dan Sumbadara. Hal tersebut
dilakukan agar jika kelak anaknya lahir, ia mempunyai paras elok atau
cantik seperti yang dimaksud dalam gambar itu. Selanjutnya, ia harus
melilitkan daun tebu wulung pada perutnya yang kemudian dipotong
dengan keris. Segala nasihat dan anjuran sang raja itu dijalankannya
dengan cermat, dan ternyata apa yang mereka minta dikabulkan.
Semenjak itu, ketika ada seorang perempuan yang sedang
mengandung, maka keluarganya akan melaksanakan upacara tersebut,
66Iswah Adriana. “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban (Perpaduan Antara Tradisi Jawa
dan Ritualitas Masyarakat Muslim)” Jurnal Karsa, vol.19, no.2, (2011): 239.
67Iswah Adriana. “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban, 242.
57
hingga tradisi ini menjadi tradisi yang wajib dilaksanakan bagi
masyarakat Jawa, dan diwariskan secara turun-temurun .68
Terdapat beberapa daerah di Indonesia yang masih melaksanakan
tradisi memandikan orang hamil, seperti di daerah Jawa, Sumatra dan
Kalimantan. Masyarakat daerah ini meyakini bahwa tradisi tersebut
dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap mencapai usia tujuh
bulan atau lebih, dengan harapan agar ibu yang mengandung dan anak
yang dikandung selalu dilindungi oleh Allah SWT.69 Tradisi ini
memiliki nama yang berbeda-beda di setiap daerah. Misalnya, di
daerah Jawa tradisi tersebut dinamai dengan mitoni, sedangkan di
Kalimantan tradisi tersebut dinamai dengan bemandi-mandi tujuh
bulananan.
Tidak hanya namanya saja yang berbeda, akan tetapi tata cara
pelaksanaan tradisi ini pun juga berbeda-beda. Bahkan, sebagian umat
Islam di Indonesia melaksanakan tradisi ini dengan tata cara
pelaksanaan yang berbeda dengan tradisi Jawa. Pada saat ini,
perbedaan tersebut juga terlihat dari adanya unsur-unsur ke-Islaman
seperti pembacaan al-Qur’an pada tradisi tersebut. Keluarga yang
memiliki ibu dalam masa kehamilan tujuh bulan mengundang
tetangga-tetangganya guna dimintai pertolongan untuk membacakan
beberapa surah tertentu dari al-Qur’an. Jumlah surah yang dibacakan
pun beragam menyesuaikan kebiasaan yang ada di daerah masing-
masing. Misalnya di daerah Klaten, terdapat tujuh surah pilihan yang
dibacakan, yaitu surah Yūsuf, Maryam, Luqmān, Sajadah, al-Wāqi‘ah,
68Iswah Adriana. “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban, 243.
69Hasbi Asshidiqi, “Hukum Islam Acara Tujuh Bulanan, 2017,” Diakses, 23 Oktober,
2019,
https://www.kompasiana.com/hasbi_asshidiqi/58e17cbedb22bd29131b45fb/hukum-islam-acara-7-bulanan
58
al-Raḥmān, dan Muḥammad.70 Sedangkan, di Banyumas terdapat tiga
surah pilihan yang dibacakan, yaitu surah Yūsuf, Maryam, dan
Luqmān.71 Bahkan, di dareah Kabupaten Sleman, terdapat sepuluh
surah pilihan yang dibacakan dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan,
yaitu surah Yūsuf, Maryam, al-Wāqi’ah, al-Raḥmān, Muḥammad,
Luqmān, al-Mulk, Tāhā, al-Nūr dan Yāsin. Praktik pembacaan surah-
surah pilihan tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan bagian
yang berbeda-beda dan diakhiri dengan pembacaan do’a oleh
imamnya.72
Pembacaan surah-surah pilihan pada upacara mandi hamil tujuh
bulan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Hal
tersebut sangat ditentukan oleh tiga faktor, yaitu:
1. Adanya permintaan dari penyelenggara upacara mandi hamil tujuh
bulan atau kerabatnya untuk membacakan surah-surah tertentu
dalam upacara tersebut.
2. Ketentuan dari orang yang dipercaya oleh penyelenggara upacara
mandi hamil tujuh bulan untuk mengatur pembacaan surah-surah
pilihan dalam upacara tersebut.
3. Ketentuan pemimpin pembacaan surah-surah pilihan jika tuan
rumah tidak menentukan ragam surah yang akan dibaca pada saat
70Muhammad Fauzan Nasir, “Pembacaan Tujuh Surah Pilihan Al-Qur’an Dalam
Tradisi Mitoni (Kajian Living Al-Quran di Dusun Sumberjo, Desa Troso, Kecamatan
Karanganom, Kabupaten Klaten)” (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Surakarta,
2016), xvi.
71Ujang Yana, “Pembacaan Tiga Surat Al-Qur’an dalam Tradisi Tujuh Bulanan (Di
Masyarakat Selandaka, Sumpiuh, Banyuwangi” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), xi.
72Siti Mas’ulah, “Tradisi Pembacaan Tujuh Surat Pilihan dalam Ritual Mitoni/ Tujuh
Bulanan (Kajian Living Qur’an di Padukuhan Sembego, Kec. Depok, Kab. Sleman)”
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), 143-144.
59
upacara mandi hamil tujuh bulan dan tidak menunjuk orang lain
untuk menentukan ragam surah yang dibaca.73
73Siti Mas’ulah, “Tradisi Pembacaan Tujuh Surat Pilihan,” 143.
60
61
BAB III
GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN
A. Sejarah Desa Keraya
Pada awalnya, Desa Keraya merupakan bagian dari Desa Sabuai
yang terletak di sebelah barat Desa Keraya. Kemudian diresmikan
menjadi sebuah desa hasil pemekaran dari desa Sabuai pada tanggal 26
April 1966. Desa ini telah ditempati oleh penduduk sekitar tahun 1936.
Penamaan desa ini diambil dari sebatang pohon beringin “Kariwaya”
yang tumbuh kokoh dan menjulang tinggi di atas bukit. Menurut
perkiraan masyarakat Keraya, pohon tersebut mulai tumbuh sekitar
tahun 1942. Pohon ini dijadikan sebagai tanda pengenal bagi orang
atau nelayan yang berlayar menuju desa ini. Kata pohon “Kariwaya”
kemudian disederhanakan menjadi Keraya, hingga terbentuklah nama
Desa Keraya. Kepala desa pertama pada saat itu adalah Zamail Zain
(1966-1983) yang memimpin selama sembilan belas tahun.
Pada tahun 1983, Mukharin Taher dilantik sebagai pejabat
sementara menggantikan Zamail Zain karena mengundurkan diri dari
jabatannya. Kemudian dilaksanakan pemilihan kepala Desa Keraya
yang baru dan pada tanggal 3 April 1986 Haderi terpilih menjadi
Kepala Desa Keraya yang menjabat selama enam belas tahun (1986-
2003). Banyak prestasi dan kemajuan yang diraih seiring dengan
perkembangan Desa Keraya dari Desa Swakarsa menjadi Desa
Swadaya, akses menuju desa pesisir (Keraya) sudah bisa ditempuh
dengan transportasi darat selain laut atau sungai, serta adanya listrik
interkoneksi jaringan Kumai pesisir. Pada periode ini pula, Lembaga
Musyawarah Desa tersebut dirubah menjadi Badan Perwakilan Desa.
Pada 20 Januari 2003, Ahmadi resmi dilantik menjadi Kepala Desa
Keraya periode 2003-2008, dengan melaksanakan kegiatan di berbagai
62
bidang pembangunan fisik maupun di bidang kemasyarakatan,
pelayanan, pemerintahan, pemekaran rukun tetangga, penetapan tanah
kas desa, serta awal pelaksanaan kegiatan Alokasi Dana Desa (ADD),
pendidikan gratis dan terserapnya kegiatan PKPS BBM untuk
infrastruktur desa, Pencanangan Program Mamangun Tuntang
Magawa (PM2L) provinsi Kalimantan Tengah. Pada periode ini,
Badan Perwakilan Desa berubah menjadi Badan Permusyawaratan
Desa. Kemudian pada tanggal 4 April 2008, Suharmalik terpilih
menjadi Kepala Desa Keraya selama 2 periode 2008-2014 dan 2014
hingga sekarang.1
B. Letak Geografis Desa Keraya
Desa Keraya merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan
Kumai, kabupaten Kotawaringin Barat, provinsi Kalimantan Tengah.
Desa ini adalah desa pesisir pantai yang langsung berhadapan dengan
laut sebelah selatan kota Pangkalan Bun. Posisinya terletak pada 02°
59’ 41” lintang selatan, 03° 22’ 12” bujur timur, 198 Azimut dari kota
Pangkalan Bun. Jarak udara 34, 47 km dari kota Pangkalan Bun, jarak
ke kecamatan Kumai 50 km, dan jarak ke kabupaten 65 km.
Secara geografis Desa Keraya merupakan wilayah yang memiliki
luas 7.800 Ha serta berada pada ketinggian 3-10 meter di atas
permukaan laut. Kategori wilayah ini adalah dataran rendah dan
perbukitan yang berbatasan dengan laut maupun desa yang lain.
Sebelah utara berbatasan dengan desa Pasir Panjang, sebelah selatan
berbatasan dengan laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Sebuai
Timur, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Teluk Bogam.
1Pemerintah Desa Keraya, “Profil Desa Keraya” 2018, 1-2.
63
Sebagian besar masyarakat desa tersebut berprofesi sebagai nelayan,
disebabkan letak desa yang berada di pesisir pantai.2
C. Demografis Desa Keraya
1. Keadaan Demografis
Jumlah penduduk Desa Keraya dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini disebabkan angka kelahiran yang tiap
tahunnya meningkat.
Berdasarkan data yang diterima oleh penulis, jumlah penduduk
Desa Keraya secara keseluruhan mencapai kurang lebih 616 jiwa
dengan jumlah penduduk laki-laki 315 jiwa dan jumlah penduduk
perempuan 301 jiwa yang terdiri dari 5 rukun tetangga dan 186
kepala keluarga. Adapun perincian jumlah penduduk berdasarkan
rukun tetangga yaitu: RT 01 berjumlah 127 jiwa, RT 02 berjumlah
117 jiwa, RT 03 berjumlah 139 jiwa, RT 04 berjumlah 140 jiwa,
dan RT 05 berjumlah 93 jiwa. Jumlah penduduk desa Keraya
berdasarkan jenis kelamin dan rukun tetangga dapat dilihat pada
tabel berikut:3
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah
1. Laki-laki 315
2. Perempuan 301
2Pemerintah Desa Keraya, “Profil Desa Keraya,” 1-22.
3Pemerintah Desa Keraya, “Profil Desa Keraya,” 3-5.
64
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan RT
No Rukun Tetangga Jumlah
1. RT 01 127
2. RT 02 117
3. RT 03 139
4. RT 04 140
5. RT 05 93
2. Kondisi Pendidikan Masyarakat
Pada tahun 90-an masyarakat Desa Keraya terkait pendidikan
formal masih kurang. Hal ini terlihat dari beberapa warga yang
beranggapan bahwa yang mampu mengenyam pendidikan hingga
ke perguruan tinggi hanyalah orang-orang kaya. Asumsi ini
dikarenakan rendahnya pendapatan atau penghasilan dari pekerjaan
mereka sebagai nelayan. Selain itu, masyarakat juga mengeluhkan
jauhnya jarak sekolah dengan rumah mereka, dan sulitnya
transportasi. Fenomena ini mengakibatkan banyak anak-anak muda
yang tidak melanjutkan sekolahnya setelah tamat SD maupun
SMP. Mereka cenderung lebih memilih untuk membantu orang
tuanya bekerja, seperti pergi ke laut untuk mencari ikan dan lain-
lain.
Mulai pada tahun 2000-an, masyarakat Desa Keraya mulai
megalami berbagai macam perubahan, termasuk dalam pendidikan.
Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan semakin tumbuh dan
meningkat, karena menurut mereka pendidikan merupakan suatu
kebutuhan dalam mencari bekal kehidupan. Hal tersebut terlihat
dari banyaknya masyarakat yang mulai menyekolahkan anaknya
65
ke lembaga pendidikan, mulai dari usia dini (PAUD), Taman
Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan
tidak sedikit yang melanjutkan ke perguruan tinggi.
Adapun tingkat pendidikan masyarakat Desa Keraya dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.3
Tingkat Pendidikan Masyarakat
No Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin
Laki-
laki Perempuan Jumlah
1. Tidak Tamat SD - - -
2. Tidak Sekolah - - 166
3. SD - - 174
4. SLTP/Sederajat 40 46 86
5. SLTA/Sederajat 60 78 138
6. Diploma 3 5 8
7. Sarjana S1 9 13 22
8. Sarjana S2 2 - 2
9. Pendidikan
Keterampilan 7 6 13
Berdasarkan tabel di atas, mayoritas pendidikan masyarakat
Desa Keraya adalah Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah penduduk
174 jiwa.4
Untuk menunjang pendidikan agar lebih maju maka disediakan
sarana pendidikan formal maupun non formal di Desa Keraya
4Pemerintah Desa Keraya, “Profil Desa Keraya,” 5.
66
yaitu, PAUD, TK, TK TPA, SD Negeri, dan MTS Swasta. Berikut
adalah jumlah lembaga pendidikan formal dan non formal yang
ada di Desa Keraya pada tahun 2019.5
Tabel 3.4
Lembaga Pendidikan Desa Keraya
No Lembaga Pendidikan Jumlah
1. PAUD 1
2. TK 1
3. TK TPA 1
4. SD 1
5. MTs 1
3. Struktur Pemerintahan dan Kelembagaan
Struktur pemerintahan Desa Keraya dibentuk sesuai dengan
peraturan daerah Kabupaten Kotawaringin Barat nomor 3 tahun
2007 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa. Pemerintahan Desa Keraya memiliki jumlah
aparat pemerintahan desa sebanyak 15 orang, yang terdiri dari
Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Urusan, Staf Administrasi,
Staf Keuangan, dan Ketua RT. Di desa keraya terdapat beberapa
kelembagaan, diantaranya: BPD, LKMD, PKK, Hansip, dan
Karang Taruna.
a. Badan Permusyawaratan Desa
Sesuai dengan ditetapkannya undang-undang nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara RI
tahun 2004 nomor 125, tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4437) bahwa Badan Permusawaratan Desa berfungsi
5Pemerintah Desa Keraya, “Profil Desa Keraya,” 22.
67
menetapkan peraturan desa, dan mengadakan musyawarah
rembuk desa yang akan dituangkan dalam Peraturan Desa dan
Keputusan Desa. Badan Permusyawaratan Desa pada tahun
2018, terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan anggota.
b. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
Sesuai dengan keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 24
tahun 1980 tentang susunan organisasi kerja Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Peraturan
Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat nomor 26
tahun 2007 tentang Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
berkedudukan di desa maupun kelurahan merupakan Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa yang memberdayakan masyarakat
bersifat lokal dan secara organisasi berdiri sendiri serta
merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Lembaga ini berfungsi dalam bidang perencanaan
pembangunan, menggerakkan partisipasi masyarakat secara
aktif dan positif untuk melaksanakan pembangunan secara
terpadu baik berasal dari kegiatan pemerintah maupun swadaya
gotong royong masyarakat dan menumbuh kembangkan
kondisi dinamis masyarakat dalam rangka pembangunan desa.
c. Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa PKK bukan lagi
merupakan seksi atau bagian dari LKMD, namun sudah
menjadi lembaga yang berdiri sendiri dan membantu
pemerintah desa.
Adapun pencapaian hasil dari seluruh kegiatan yang telah
dilaksanakan oleh PKK berdasarkan data kelembagaan desa
tahun 2018 diantaranya adalah semakin meningkatnya
68
kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesejahteraan
keluarga melalui berbagai macam kegiatan seperti imunisasi
yang dilaksanakan pada posyandu bulanan, dan semakin
tingginya kesadaran masyarakat betapa pentingnya tenaga
kesehatan yang berada di desa melalui pustu yang ada, serta
semakin berkembangnya kegiatan PKK.
d. Pertahanan Sipil
Pertahanan sipil (hansip) di Desa Keraya berjumlah 5
personil berdasarkan surat keputusan Kepala Desa Keraya
Nomor: 300/KRY-KADE/2008. Adapun pos penjagaan
berjumlah 3 unit. Pada tahun 2017 anggota Hansip menerima
uang operasional dari desa. Dana yang diterima tersebut
digunakan untuk pemeliharaan pos-pos Hansip yang ada di
desa Keraya berupa:
Pembersihan lokasi Pos
Pengecatan Pos
Kegiatan keamanan desa.
e. Karang Taruna
Karang Taruna di desa ini adalah sebuah lembaga yang
ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Desa Keraya Nomor:
10/KPTS-KD/VII/2015 dengan nama Karang Taruna
“KALIMAS”. Pengurus Karang Taruna berjumlah 10 orang,
yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara
dan Seksi-seksi, seperti Seksi Agama, Seksi Prasarana, Seksi
Pendidikan, Seksi Pemuda dan Olahraga.6
6Pemerintah Desa Keraya, “Profil Desa Keraya,” 75-79.
69
4. Sarana dan Prasarana
Berdasarkan pada data Desa Keraya tahun 2018, berikut adalah
sarana dan prasarana yang terdapat di desa tersebut:7
Tabel 3.5
Sarana dan Prasarana Desa Keraya
No Sarana dan Prasarana Jumlah
1. Balai Desa 1 Unit
2. Pustu 1 Unit
3. Sekolah 3 Unit
4. Jalan Desa 4 Km
5. Rumah Ibadah 2 Unit
6. Posyandu 1 Unit
7. Kantor Desa 1 Unit
8. Gedung Serba Guna 1 Unit
9. Kantor PKK, BPD dll 1 Unit
10 BumDes 1 Unit
5. Sosial Budaya Masyarakat
Manusia diciptakan dengan berbagai macam perbedaan, yang
mana perbedaan itu merupakan rahmat dari Allah SWT. Perbedaan
itu dapat meliputi agama, bahasa, warna kulit, dan lain sebagainya.
Sejatinya manusia pasti membutuhkan satu sama lain dalam
menjalani hidup, karena manusia merupakan makhluk sosial yang
tidak dapat hidup sendiri serta menjalani aktifitasnya sendiri.
Di Desa Keraya, tradisi hubungan sosial antar individu
tercermin melalui gotong royong yang masih terjalin. Sifat dari
gotong royong itu sendiri merupakan ciri khas dari kehidupan
7Pemerintah Desa Keraya, “Profil Desa Keraya,” 5.
70
masyarakat desa. Kegiatan-kegiatan gotong royong dalam berbagai
kesempatan sering dilakukan oleh masyarakat setempat. Salah satu
contohnya pada kegiatan pembersihan lingkungan masjid.
Masyarakat Desa Keraya seluruhnya beragama Islam, maka
wajar apabila tradisi dan budaya di desa tersebut banyak yang
bercorak Islam. Masyarakat Desa Keraya mayoritas bersuku Bugis
dan Melayu. Akan tetapi tradisi yang masih kental dilakukan oleh
masyarakat desa tersebut adalah tradisi-tradisi suku Banjar.
Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya kerajaan Kutaringin di
Kotawaringin Barat yang konon katanya merupakan pecahan dari
kerajaan yang ada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Oleh
karena itu, banyak tradisi dan budaya desa tersebut yang masih
kental dengan budaya-budaya Banjar. Hal tersebut terlihat dari
beberapa tradisi dan budaya yang ada di Desa Keraya.8
Adapun ritual yang masih dilestarikan oleh masyrakat Desa
Keraya adalah sebagai berikut:
a. Upacara Pernikahan
Upacara pernikahan adalah upacara ijab qabul yang
dilakukan untuk menyatukan dan meresmikan ikatan antara
dua orang, laki-laki dan perempuan secara norma agama dan
norma hukum. Sebelum pernikahan berlangsung terlebih
dahulu diadakan tukar cincin atau lamaran yang dilakukan oleh
calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan.
Kemudian setelah lamaran tersebut dilanjut dengan pernikahan.
Pada hari pernikahan tepatnya sebelum ijab qabul
berlangsung, keluarga calon pengantin laki-laki beantar-antar
8Deby Irawan (Penduduk Desa Keraya) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya,
25 Desember 2019, Kalimantan Tengah.
71
atau membawa barang-barang tertentu yang akan diserahkan
kepada calon pengantin perempuan. Setelah beantar-antar
selesai dilaksanakan kedua calon pengantin memasuki prosesi
ijab qabul.
Setelah sudah sah menjadi suami istri, keduanya harus
melakukan kegiatan batamat atau mengkhatamkan al-Qur’an.
Apabila salah satu dari calon pengantin tersebut tidak dapat
membaca al-Qur’an, maka dapat digantikan atau diwakili oleh
keluarganya yang mampu membacakan al-Qur’an dengan baik.
Adapun surah yang dibacakan adalah diawali dengan surah al-
Fātiḥah lalu dilanjutkan dengan membacakan surah al-Dhuḥā
sampai dengan surah al-Nās. Pembacaan al-Qur’an tersebut
dilakukan secara murottal dan dibacakan secara bergantian
oleh kedua calon pengantin. Setelah pembacaan al-Qur’an
selesai, maka dilanjutkan dengan membaca do’a khatmil
Qur’an secara bersama-sama. Setelah batamat selesai,
dilanjutkan dengan pembacaan do’a oleh penghulu dan warga
yang hadir agar kedua pengantin dijadikan keluarga yang
sakīnah, mawaddah, wa raḥmah.9
b. Upacara Kehamilan
Upacara kehamilan ini adalah upacara memandikan ibu
yang sedang mengandung anak pertama ketika usia
kehamilannya mencapai tujuh bulan beserta suaminya. Upacara
ini dilaksanakan di rumah pengantin perempuan tepatnya di
halaman atau di samping rumahnya. Adapun rangkaian
kegiatan yang dilakukan dalam upacara ini adalah pembacaan
9Nor Aidin (Ketua pengajian desa pesisir) diwawancari oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 26 Desember 2019, Kalimantan Tengah.
72
al-Qur’an, pembacaan barzanji, bemandi mandi (memandikan
kedua pengantin), bebari-bari, serta pembacaan do’a. Upacara
ini dihadiri oleh keluarga, tetangga, para sesepuh dan tokoh-
tokoh agama.
Upacara memandikan ibu hamil juga dilakukan ketika ibu
mengandung anak yang ketiga dalam usia tujuh bulan yang
disebut dengan mandi baya’. Pada proses pelaksanannya tidak
ada pembacaan barzanji, hanya bemandi-mandi, bebari-bari,
dan pembacaan do’a. Upacara mandi baya’ tidak seramai
upacara mandi hamil tujuh bulan anak pertama karena yang
menghadiri hanya sanak saudara dan bidan kampung.10
Selama Ibu mengandung dianjurkan untuk membaca surah
Yūsuf dan surah Maryam. Masyarakat desa tersebut meyakini
bahwa apabila si calon Ibu menginginkan anak laki-laki maka
rajin-rajinlah membaca Yūsuf. Apabila menginginkan anak
perempuan maka rajin-rajinlah membaca surah Maryam. Selain
harapan agar terpenuhi keinginan di atas, pembacaan kedua
surah tersebut juga ditujukan agar bayi yang ada di dalam
kandungan kelak menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
Pembacaan kedua surah tersebut dibacakan secara individu
oleh Ibu yang mengandung atau Ayah dari anak tersebut.
c. Upacara Kelahiran Anak
Upacara ini dilakukan ketika anak sudah berumur tiga hari
atau ada pula yang melakukan ketika sudah berumur tujuh hari.
Di dalam upacara ini diadakan pembacaan al-Qur’an yang
dikhususkan untuk anak tersebut selama tiga hari atau tujuh
10Sanariyah (Bidan kampung Desa Keraya), diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 23 Oktober 2019, Kalimantan Tengah.
73
hari berturut-turut. Apabila anak yang dilahirkan laki-laki maka
dibacakan surah Yūsuf dan apabila anak yang dilahirkan
perempuan maka dibacakan surah Maryam. Pembacaan al-
Qur’an tersebut dilakukan oleh beberapa orang yang diundang
oleh orang tua dari anak tersebut di rumahnya. Melalui
pembacaan kedua surah pilihan tersebut diharapkan si anak
menjadi anak yang sholeh dan sholehah, serta memiliki akhlak
seperti Nabi Yūsuf dan Siti Maryam.
Setelah usia anak memasuki tujuh hari maka dilakukan
upacara tasmiyahan atau begunting. Tasmiyahan adalah
upacara pemberian nama kepada anak yang baru lahir. Dalam
pelaksanaannya tasmiyahan terkadang dilakukan bersamaan
dengan aqiqahan, begitu pula juga sebaliknya. Aqiqahan
biasanya akan dilakukan ketika keluarga anak tersebut sudah
mampu.
Terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan dalam upacara
tasmiyahan, seperti pembacaan al-Qur’an surah Āli `Imrān
yang di dalamnya menceritakan kisah keluarga Imran, dan
pembacaan barzanji, serta menggunting sedikit bagian dari
rambut bayi yang baru lahir. Setelah itu terdapat pembacaan
do’a selamat di akhir upacara.11
d. Upacara Khitanan atau Besunat
Istilah khitanan dikenal oleh masyarakat Keraya dengan
besunat. Pada saat khitanan biasanya terdapat kegiatan batamat
atau khataman al-Qur’an yang akan dibacakan oleh anak yang
akan dikhitan. Adapun surah yang dibacakan biasanya dimulai
11Minah (Penduduk Desa Keraya), diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 05
Oktober 2019, Kalimantan Tengah.
74
dari surah al-Dhuḥā sampai dengan surah al-Nās. Setelah
batamat selesai, pemimpin do’a akan membacakan do’a
selamat. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya dilaksanakan
pada pagi hari sebelum anak tersebut dikhitan.
Pada sore harinya anak tersebut baru dikhitan dan upacara
tersebut dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, serta tokoh
agama yang memimpin acara tersebut.
e. Upacara Penguburan Jenazah
Penguburan jenazah ini dilakukan seperti yang sudah
diajarkan oleh agama. Setelah penguburan jenazah sudah
dilakukan, dilanjutkan dengan khataman al-Qur’an pada hari
pertama, kedua, dan ketiga setelah jenazah tersebut
dikuburkan. Lalu ketika kematian sudah mencapai 7 hari, 40
hari, dan 100 hari akan dilakukan tahlilan dan pembacaan
surah Yāsin oleh warga yang hadir, serta pembacaan do’a yang
dihadiahkan untuk orang yang diperingati hari wafatnya
tersebut.
f. Upacara Batajak Rumah
Upacara ini adalah kegiatan selamatan yang dilakukan
ketika akan membangun rumah. Pada pelaksanaannya terdapat
pembacaan shalawat nariyah sebanyak 21 kali, pembacaan
surah Yāsin, pembacaan do’a selamat, dan tampung tawar.
Tampung tawar adalah kegiatan memukulkan daun-daunan
yang diikat menjadi satu dan dicelupkan ke dalam cairan
kuning ke sudut-sudut rumah, yang dilakukan oleh pemimpin
agar rumah yang akan dibangun tersebut terhindar dari
gangguan makhluk halus.12
12Nor Aidin, Wawancara.
75
6. Ekonomi Masyarakat
Desa Keraya dilihat dari tipologi dan letaknya berada di daerah
pantai atau pesisir dan berbukit, sebagian besar tanahnya berpasir
yang menjadikan daerah tersebut tidak cocok untuk pertanian atau
tidak memiliki lahan pertanian. Oleh karena itu mayoritas
penduduk Desa Keraya bekerja sebagai nelayan perikanan. Namun
sebagian penduduk Desa Keraya memiliki lahan pertanian dan
bertani di desa tetangga yaitu Desa Sebuai.
Selain bertani dan menjadi nelayan, masyarakat Desa Keraya
memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam. Berikut ini
adalah tabel pekerjaan masyarakat Desa Keraya berdasarkan data
desa tahun 2018.
Tabel 3.6
Pekerjaan Masyarakat Desa Keraya
No Jenis Pekerjaan Laki-
laki Perempuan Jumlah
1 Petani 19 21 40
2 Nelayan 80 0 80
3 Wiraswasta 10 6 16
4 Karyawan Swasta 21 2 23
5 PNS 5 7 12
6 Pelajar 74 62 136
7 Lain-lain - - 276
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa masyarakat
Desa Keraya yang bekerja sebagai nelayan adalah sebanyak 80
orang, petani sebanyak 40 orang, wiraswata sebanyak 16 orang,
76
karyawan swasta sebanyak 23 orang, PNS sebanyak 12 orang, dan
136 orang yang masih berstatus sebagai pelajar.13
7. Agama Masyarakat
Berdasarkan data penduduk Desa Keraya tahun 2018 dapat
diketahui bahwa seluruh masyarakat desa tersebut menganut
agama Islam. Sebagai umat Muslim, masyarakat setempat sering
melakukan berbagai kegiatan keagamaan. Adapun kegiatan
keagamaan yang masih dilaksanakan oleh masyarakat setempat
hingga saat ini adalah sebagai berikut:
a. Mingguan
Pembacaan Shalawat oleh Bapak-bapak
Kegiatan pembacaan shalawat ini dilaksanakan oleh
bapak-bapak pada malam Kamis dan malam Jum’at di
setiap RT secara bergiliran. Kegiatan yang dilakukan
adalah membaca barzanji dan shalawat habsyi.
Pengajian Kitab Fiqih
Kegiatan ini dilaksanakan oleh bapak-bapak pada setiap
hari Jum’at tepatnya setelah sholat Jum’at dilaksanakan di
masjid Nurul Iman Desa Keraya. Adapun kitab yang dikaji
adalah kitab fiqih Fatḥul Mu’īn.14
Pembacaan Shalawat oleh Ibu-ibu
Kegiatan ini dilaksanakan oleh ibu-ibu Desa Keraya
pada hari Jum’at siang di rumah-rumah warga secara
13Pemerintah Desa Keraya, “Profil Desa Keraya,” 4.
14Abdul Mu’in (Penduduk Desa Keraya) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 25 Desember 2019, Kalimantan Tengah.
77
bergiliran. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah
membaca barzanji dan shalawat habsyi.15
b. Bulanan
Pengajian Rutin oleh Ibu-ibu
Desa Keraya memiliki dua kelompok pengajian, yaitu
pengajin Al-Hidayah, dan pengajian Baitul Muslimat.
Pengajian ini dilaksanakan bersamaan dengan ibu-ibu dari
desa-desa tetangga. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam
pengajian tersebut ialah, barzanjian, shalawat habsyi dan
tausyiah.
Pelatihan Terbangan atau Maulid Habsyi
Pelatihan terbangan atau maulid habsyi ini adalah
kegiatan pelatihan memukul alat musik yang disebut
dengan terbangan untuk mengiringi lantunan sholawat.
Tidak hanya pukulan saja yang dilatih, akan tetapi gerakan
pemukul serta pelantunan sholawat pun dilatih dalam
kegiatan ini.
Desa Keraya sudah membentuk satu kelompok
terbangan atau maulid habsyi yang bernama Nurul Iman.
Anggota kelompok tersebut terdiri dari ibu-ibu dan remaja
yang ada di Desa Keraya.16
c. Tahunan
Melaksanakan FASI (Festival Anak Sholeh Indonesia)
Kegiatan Festival Anak Sholeh Indonesia biasanya
dilaksanakan pada bulan Ramadhan untuk memperingati
Nuzulul Qur’an atau turunnya al-Qur’an. Kegiatan ini
15Nor Aidin, Wawancara.
16Nor Aidin, Wawancara.
78
diikuti oleh semua anak-anak yang ada di Desa Keraya.
Adapun cabang yang diperlombakan juga beragam dan
bernuansa ke-Islaman, seperti lomba Tilawatil Qur’an,
lomba Tartil, lomba Menghafal Juz ‘Amma, lomba Adzan,
lomba Sholat Berjama’ah, lomba Da’i Da’iah, lomba
Mewarnai, dan lomba Nasyid.
Kegiatan ini dilakukan agar anak-anak dapat mengasah
bakat yang dimilikinya dan terus berkembang serta
meningkatkan rasa percaya diri melalui adanya Festival
Anak Sholeh Indonesia di Desa Keraya tersebut.17
Melaksanakan Khataman Al-Qur’an pada Bulan
Ramadhan.
Kegiatan ini dilakukan tepat pada hari diturunkannya al-
Qur’an atau Nuzulul Qur’an yang melibatkan seluruh
warga desa tersebut. Sebelum khataman al-Qur’an
dilaksanakan, pengurus masjid terlebih dahulu membagikan
juz yang akan dibacakan kepada setiap warga yang hadir.
Setelah al-Qur’an selesai dikhatamkan, semua warga
membacakan do’a khatam al-Qur’an bersama-sama yang
dipimpin oleh pemimpin bacaan.
Melaksanakan Kegiatan Isra’ Mi’raj.
Isra’ Mi’raj dilaksanakan pada bulan Rajab untuk
memperingati perjalanan yang dilakukan oleh Rasulullah
Saw. pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil
‘Aqsha. Kegiatan ini diperingati dengan mengadakan
pengajian atau tausyiah yang disampaikan oleh Ustadz atau
Ustadzah yang dipercaya untuk memberikan tausyiah atau
17Deby Irawan, Wawancara.
79
ceramah agama. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan satu
tahun sekali dan bertempat di masjid Nurul Iman Desa
Keraya yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Desa
Keraya.
Melaksanakan Kegiatan Maulid Nabi.
Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Rabi’ul Awal
antara pertengahan sampai dengan akhir bulan. Seperti
pada umumnya kegiatan ini dilakukan untuk memperingati
kelahiran Rasulullah Saw. yang diisi dengan pembacaan
barzanji¸ shalawat habsyi, dan tausyiah atau ceramah
agama. Kegiatan ini diadakan setiap satu tahun sekali dan
bertempat di masjid Nurul Iman serta dihadiri oleh seluruh
masyarakat Desa Keraya.
Melaksanakan Kegiatan Muharraman atau Menyambut
Tahun Baru Islam.
Ketika tahun baru Islam tiba, masyarakat Desa Keraya
merayakannya dengan mengadakan pawai obor berkeliling
desa. Kegiatan ini diikuti oleh banyak warga bahkan anak-
anak kecil sangat antusias mengikuti pawai tersebut. Pada
hari tahun baru Islam tersebut para Ibu membuat berbagai
macam ketupat, seperti ketupat tolak bala, dan lain
sebagainya.
Melaksanakan Kegiatan Perayaan Hari Besar Islam (PHBI)
Perayaan Hari Besar Islam tentunya dilaksanakan pada
hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat mengadakan
pawai obor berkeliling desa seperti yang dilakukan pada
perayaan tahun baru Islam sambil mengumandangkan
takbir kemenangan dan pemukulan bedug. Kegiatan ini
80
dilakukan pada malam hari dan diikuti oleh seluruh warga
desa.18
18Abdul Mu’in, Wawancara.
81
BAB IV
PEMBACAAN AL-FĀTIḤAH AMPAT DALAM TRADISI MANDI
HAMIL TUJUH BULAN DI DESA KERAYA
A. Tradisi Mandi Hamil Tujuh Bulan Desa Keraya
Desa Keraya merupakan desa yang mayoritas penduduknya
bersuku Bugis dan Melayu. Akan tetapi bahasa yang digunakan di
desa tersebut adalah bahasa campuran dari suku Banjar, Melayu, dan
Jawa. Sedangkan, tradisi yang masih melekat dalam kehidupan
masyarakat desa tersebut adalah tradisi dari suku Banjar, seperti
selamatan, batajak rumah, bamandi-mandi tujuh bulanan, dan tradisi
lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kerajaan Kutaringin di
Kotawaringin Barat yang konon merupakan pecahan dari kerajaaan
Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sehingga memungkinkan tradisi-
tradisi Banjar masuk dan menyebar di daerah Kotawaringin Barat dan
masih dilestarikan hingga saat ini.
Salah satu tradisi yang masih melekat dan dilestarikan oleh
masyarakat Keraya adalah bemandi-mandi hamil menujuh bulan atau
mandi hamil tujuh bulan. Masyarakat Keraya hingga kini meyakini
bahwa tradisi tersebut harus dilaksanakan, karena jika tidak, maka
dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada ibu
hamil dan anak yang dikandungnya. Pada bab ini, penulis akan
memaparkan sejarah, proses pelaksanaan, peralatan yang digunakan,
serta motivasi pelaksanaan tradisi tersebut di Desa Keraya.
1. Sejarah Mandi Hamil Tujuh Bulan
Sebelum beranjak pada proses pelaksanaan tradisi, penulis akan
memaparkan terlebih dahulu mengenai sejarah adanya tradisi
mandi hamil tujuh bulan di Desa Keraya. Pada penelitian ini,
82
penulis menggali informasi mengenai sejarah tradisi tersebut
melalui wawancara kepada beberapa penduduk desa setempat.
Berikut ini adalah ungkapan salah satu sesepuh Keraya mengenai
sejarah mandi hamil tujuh bulan:
“Kalau mengenai sejarah ini wallāhu a’lam. Dulu saya belum
pernah mendapatkan atau menemukan mandi-mandi pada
zaman Rasulullah. Jadi istilahnya mandi-mandi ini hanya adat
istiadat daerah kita saja. Adapun asalnya dari Banjar atau
darimananya saya tidak begitu tau. Namun sebenarnya tidak
salah juga. Kalau di aliran lain sudah pasti dianggapnya
bid’ah mandi-mandi tersebut. Tapi kan bid’ah itu ada dua,
yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang mana hasanah
itu artinya mendatangkan kebaikan, sedangkan dhalalah
artinya ditolak. Tapi menurut saya mandi-mandi itu baik saja
dan tidak mungkin menjadi salah. Kalau kata orang sebagian
bid’ah itu karena tidak ada hadisnya. Sedangkan kita tidak
berani mengatakan bid’ah karena kita tidak hafal beribu-ribu
hadis. Jadi jangan sembarangan ikut-ikutan mengatakan
bid’ah kalau kita tidak hafal banyak hadis. Mungkin saja
sebenarnya ada di dalam hadis, hanya saja kita belum
menemukannya. Intinya kalau sesuatu yang kita perbuat itu
tidak menyalahi agama apalagi di dalamnya ada dibacakan al-
Fātiḥah, al-’Ikhlāṣ, maka tidak mungkin menjadi masalah.
Bahkan itu dianjurkan apalagi ketika anak masih di dalam
kandungan. Seharusnya ketika anak masih ada dalam
kandungan hendaknya dibacakan surah Muḥammad, surah
Yūsuf, surah Maryam. Diniatkan saja untuk dihadiahkan
kepada bayi yang dikandung. Nanti kita tidak repot lagi ketika
anak tersebut sudah lahir, karena dia sudah banyak tau.
Kenapa? Karena banyak ulama yang seperti itu. Ibunya
membacakan surah-surah tersebut, apalagi dibantu oleh
suaminya diniatkan untuk bayi yang dikandung. Yang
diutamakan untuk dibaca secara terus menerus adalah surah
Muḥammad. Pokoknya pasti anaknya jadi sholeh”.1
Demikian yang diungkapkan oleh salah satu sesepuh di Desa
Keraya, yang dianggap mengetahui seluk beluk tradisi mandi
1Arbain (Sesepuh Desa Keraya) diwawancari oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 01
Desember 2019, Kalimantan Tengah.
83
hamil tujuh bulan tersebut. Adapun mengenai sejarah awal mula
adanya mandi hamil tujuh bulan, penulis menemukan satu jawaban
dari informan yang memberikan keterangan sebagai berikut.
“Tradisi ini kan berasal dari nenek moyang kita yang dulunya
beragama Hindu. Setelah Islam masuk, adat istiadat itu tetap
ada atau berkembang. Hanya saja sekarang di dalam adat
istiadat ini terdapat pembacaan al-Qur’an, pembacaan rāwī, dan
do’a-do’a Islam. Berbeda dengan dulu yang dibacakan itu
mantra-mantra”.2
Demikian yang disampaikan oleh salah satu pelaksana maupun
partisipan pada saat tradisi mandi hamil tujuh bulan dilaksanakan.
Berdasarkan penyampaian di atas, dapat diketahui bahwa tradisi
mandi hamil tujuh bulan berasal dari nenek moyang yang dulunya
beragama Hindu. Setelah Islam masuk ke Indonesia khususnya
Desa Keraya, adat istiadat atau tradisi tersebut tetap berkembang.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya terdapat unsur-unsur ke-
Islaman seperti pembacaan al-Qur’an, pembacaan barzanji, dan
pembacaan do’a. Berbeda ketika sebelum Islam masuk yang
dibacakan adalah berupa mantra-mantra.
Selain ungkapan salah satu informan di atas, penulis tidak
menemukan informan lain yang bisa memberikan keterangan yang
serupa. Hampir semua informan menjawab bahwa tradisi tersebut
memang sudah ada sejak mereka kecil, serta turun temurun dari
nenek moyang mereka.
2. Tata Cara Pelakasanaan Mandi Hamil Tujuh Bulan
Setiap daerah pasti memiliki perbedaan dalam setiap
pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan. Bahkan penamaan terhadap
tradisi tersebut juga berbeda-beda, salah satunya di daerah Jawa.
2Masransyah (Pelaksana dan partisipan) diwawancari oleh Nunuk Rima Aini, Keraya,
19 September 2019, Kalimantan Tengah.
84
Di daerah Jawa, tradisi ini disebut dengan mitoni dan rangkaian
pelaksanaannya pun berbeda dengan tradisi mandi hamil tujuh
bulan di Desa Keraya. Pelaksanaan tradisi ini begitu sakral karena
merupakan warisan dari para leluhur desa. Semua tahap yang
dilakukan dalam tradisi tersebut diyakini oleh masyarakat setempat
memiliki makna dan tujan yang baik dan harus dilakukan. Dimulai
dari penetapan waktu pelaksanaan serta tempat pemandian hingga
meminta izin kepada leluhur-leluhur mereka. Hal tersebut
memerlukan tenaga, pikiran, dan materi untuk mempersiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkan agar tradisi tersebut terlaksana
dengan lancar pada hari pelaksanaannya nanti.
Seperti namanya, tradisi ini dilaksanakan ketika calon ibu
sedang mengandung anak pertama dan sudah mencapai usia tujuh
bulan. Bagi masyarakat Keraya, tradisi ini tidak hanya sekedar
warisan leluhur, namun juga sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Allah SWT. atas diberikannya kesehatan kepada ibu yang
mengandung dan bayi yang dikandung, hingga ia mampu
mencapai usia tujuh bulan. Hal tersebut dikarenakan mereka
menganggap usia kehamilan di bawah tujuh bulan memiliki resiko
keguguran yang tinggi. Sebagaimana yang disampaikan oleh salah
satu informan sebagai berikut:
“Kalau saya sendiri menanggapinya lebih seperti kita
mengucapkan rasa syukur saja. Jadi untuk bersyukur saja,
bukan karena ritualnya. Hanya saja acara ini lebih seperti ke
syukuran saja, karena usia kehamilan sudah mencapai tujuh
bulan. Kata orang kalau usia kehamilan di bawah usia tujuh
bulan itu beresiko, jadi bersyukur saja bahwa anak kita akan
segera lahir”.3
3Mia (Pelaksana tradisi) diwawancari oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 05 Desember
2019, Kalimantan Tengah.
85
Selain itu, tradisi tersebut juga sebagai bentuk permohonan
kepada yang Maha Kuasa, agar keduanya diberikan keselamatan,
dan ibu yang mengandung dimudahkan ketika melahirkan.
Masyarakat Keraya juga meyakini apabila tradisi tersebut tidak
dilakukan, maka dikhawatirkan ibu dan anak yang dikandung akan
mendapatkan gangguan-gangguan dari makhluk halus, bahkan
kecacatan pada anak ketika telah dilahirkan.
Waktu pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan oleh masyarakat
desa tersebut ditentukan berdasarkan perhitungan pada bulan Islam
atau Hijriyah, tidak pada bulan Masehi. Biasanya tradisi tersebut
dilaksanakan pada akhir bulan, tepatnya pada hari ke-15 sampai
dengan hari terakhir di bulan tersebut. Tradisi ini juga dapat
dilaksanakan pada awal bulan kedelapan, tepatnya pada hari
pertama sampai dengan hari ke-15. Sedangkan tempat untuk
memandikan kedua pengantin biasanya di halaman rumah atau di
teras belakang rumah. Tempat tersebut dinamai oleh masyarakat
setempat dengan andang-andang. Tradisi ini dihadiri oleh banyak
sanak saudara, tetangga, para tokoh agama dan masyarakat
setempat untuk ikut mendo’akan ibu dan anak agar diberikan
perlindungan dan keselamatan.
Dana yang diperlukan untuk melaksanakan tradisi ini pun tidak
sedikit. Sekurang-kurangnya dibutuhkan dana sebanyak Rp.
3.000.000,- untuk melaksanakan upacara mandi hamil tujuh bulan
ini. Meskipun dana yang dikeluarkan cukup banyak, masyarakat
Keraya merasa harus tetap melaksanakan upacara tersebut. Selain
karena sudah menjadi tradisi, juga karena menginginkan
keselamatan dan perlindungan bagi ibu dan anak yang sedang
86
dikandung yang diyakini akan didapatkan dari pelaksanaan mandi
hamil tersebut.4
Adapun prosesi yang dilakukan pada upacara mandi hamil
tujuh bulan adalah sebagai berikut:
a. Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat
Rangkaian acara yang pertama adalah pembacaan al-
Fātiḥah Ampat. Al-Fātiḥah Ampat merupakan istilah yang
digunakan oleh masyarakat Desa Keraya untuk menunjukkan
empat surah utama dalam al-Qur’an yaitu surah al-Fātiḥah, al-
’Ikhlāṣ, al-Falaq dan al-Nās. Berbeda dengan tradisi mandi
hamil tujuh bulan atau mitoni di daerah Jawa, surah yang biasa
dibacakan beragam seperti Maryam, Yūsuf, al-Wāqi‘ah, al-
Mulk, Yāsīn, al-Raḥmān, dan Muḥammad, Tāhā, Luqmān, dan
al-Nūr.5 Namun, pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi
mandi hamil tujuh bulan ini dianggap penting oleh masyarakat
Keraya, meskipun jumlah surah yang dibacakan sedikit.
Sebelum pembacaan barzanji dimulai, terlebih dahulu
dibacakan al-Fātiḥah Ampat yakni surah al-Fātiḥah, al-’Ikhlāṣ,
al-Falaq, dan al-Nās. Setelah itu, dapat pula ditambahkan
dengan membaca surah surah al-Baqarah ayat 1-5 serta al-
Baqarah ayat 255 (Ayat Kursi). Setelah pembacaan surah-surah
tersebut selesai, terkadang juga dilanjutkan dengan pembacaan
ayat al-Qur’an yang lainnya secara khusus, sesuai permintaan
dari tuan rumah yang melaksanakan tradisi tersebut. Akan
tetapi, pembacaan ayat al-Qur’an secara khusus tersebut jarang
4Nor Aidin (Pelaksana dan Partisipan) diwawancari oleh Nunuk Rima Aini, Keraya,
05 Juni 2020, Kalimantan Tengah.
5Siti Mas’ulah, Tradisi Pembacaan Tujuh Surat Pilihan dalam Ritual Mitoni / Tujuh
Bulanan (Kajian Living Qur’an di Padukuhan Sembego, Kec. Depok, Kab. Sleman)
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), 143.
87
ditemukan dalam upacara mandi hamil tujuh bulan di Keraya,
hanya pembacaan al-Fātiḥah Ampat saja. Hal tersebut
dijelaskan oleh pemimpin bacaan sebagai berikut:
“Ada, pertama-tama membaca surah al-Fātiḥah terlebih
dahulu, kemudian membaca surah al-’Ikhlāṣ tiga kali, surah
al-Falaq satu kali, surah al-Nās satu kali, bisa juga
ditambah dengan surah al-Baqarah ayat 1-5, setelah itu
baru membaca ayat Kursi atau al-Baqarah ayat 255.
Kemudian dapat ditambah dengan membaca ayat al-Qur’an
yang lain, tergantung permintaan dari shohibul hajat”.6
b. Pembacaan Barzanji
Rangkaian acara yang kedua adalah pembacaan barzanji.
Sebelum pembacaan barzanji dimulai, pada awal acara terdapat
pembacaan do’a barzanji terlebih dahulu. Berbeda dengan
pembacaan barzanji pada umumnya, do’a barzanji biasanya
dibacakan setelah barzanji selesai dibacakan. Akan tetapi,
dalam tradisi ini do’a barzanji tersebut dibacakan di awal acara.
Do’a barzanji dibacakan dan ditiupkan ke dalam satu botol air
yang akan dicampurkan ke dalam air yang digunakan untuk
memandikan kedua pengantin. Jika pemimpin bacaan belum
hadir, maka do’a barzanji tersebut dapat dibacakan oleh bidan
kampung, karena air do’a tersebut akan digunakan dalam ritual
mandi-mandi. Dengan adanya air do’a barzanji tersebut, maka
diharapkan ibu dan anak yang dikandung diberikan
keselamatan oleh Allah SWT. Sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh salah satu informan sebagai berikut:
“…. Air yang dicampurkan ke dalam air bunga tersebut
adalah air do’a barzanji dan air keturunan. Air do’a barzanji
tersebut dibacakan sebelum acara mandi-mandi dimulai.
Kalau tidak ada laki-laki (Pemimpin bacaan) yang bisa
6Syahdan (Pemimpin Bacaan) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 28
November 2019, Kalimanatan Tengah.
88
membacakan, maka perempuan (bidan kampung) pun bisa
membacakan do’a barzanji tersebut. Dengan adanya air
do’a barzanji tersebut diharapkan pengantin diberikan
keselamatan”.7
Fungsi dari do’a barzanji juga disampaikan oleh informan
berikut:
“Kalau air do’a barzanji itu sebagai simbol permohonan
kepada Allah SWT. untuk keselamatan ibu dan
anaknya.”8
7Sri Mulyati (Bidan Kampung) diwawancari oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 28
November 2019, Kalimantan Tengah.
8Sanariyah (Bidan Kampung) diwawancari oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 23
November 2019, Kalimantan Tengah.
89
Gambar 4.1 Lembar Rangkaian Do’a Barzanji
Pembacaan barzanji dipimpin oleh pemimpin bacaan atau
tokoh agama dan diikuti pula oleh para tamu undangan yang
hadir. Buku barzanji yang digunakan adalah Majmū’ah Maulūd
Syaraf al-Anām, dan barzanji yang dibacakan adalah Maulūd
al-Barzanji Natsran.
Gambar 4.2 Sampul dan Daftar Isi Majmū’ah Maulūd Syaraf
al-Anām
Pada saat pemimpin bacaan mulai membacakan maulūd al-
barzanji natsran, hingga sampai pada saat maḥallu al-qiyām,
maka semua tamu undangan yang hadir berdiri seraya
mengangkat kedua belah tangan mereka. Lalu, pada saat itulah
90
kedua pengantin keluar menuju halaman rumah, tempat ritual
mandi-mandi akan dilaksanakan.
Ketika maḥallu al-qiyām telah selesai, maka selesai pula
ritual mandi-mandi yang dilaksanakan di halaman rumah
pengantin. Kemudian kedua pengantin kembali memasuki
rumah dan duduk di atas lelemek9 yang telah disediakan di
tengah-tengah para tamu undangan.
c. Ritual Mandi-mandi
Ritual mandi-mandi merupakan acara inti dalam tradisi
mandi hamil tujuh bulan. Pada saat upacara mandi hamil tujuh
bulan akan dimulai, kedua pengantin duduk di atas lelemek
yang diletakkan di tengah rumah. Ketika shalawat dibacakan
pada saat maḥallu al-qiyām, keduanya keluar menuju halaman
rumah untuk melaksanakan ritual mandi-mandi. Kedua
pengantin diiringi oleh tujuh orang anak berusia sekitar tujuh
tahun yang membawa gelas berisi beras dan lilin serta diiringi
pula oleh tiga orang bidan kampung. Dua dari tiga bidan
kampung tersebut menggendong kelapa yaitu kelapa muda dan
kelapa yang sudah bertunas, sedangkan bidan yang satu
membawa mayang10 dan raga.11 Setelah semuanya sudah
berada di luar rumah, mereka menuju tempat pelaksanaan ritual
mandi-mandi dan mengelilinginya sebanyak tiga kali.
Ritual mandi-mandi dilakukan di halaman rumah atau di
teras belakang rumah pengantin perempuan atau di rumah
kedua pengantin tersebut. Jika ritual mandi-mandi dilakukan di
9Lelemek adalah bahasa Keraya yang berarti kasur, berfungsi sebagai tempat duduk
kedua pengantin.
10Mayang adalah bahasa Keraya yang berarti bunga dari pohon kelapa.
11Raga adalah bahasa Keraya yang berarti keranjang digunakan untuk tempat baju
ganti kedua pengantin.
91
halaman rumah, maka akan dibuatkan tempat pemandian yang
dinamakan dengan andang-andang. Andang-andang tersebut
dikelilingi oleh enam pancang kayu yang ditancapkan ke tanah
membentuk empat sudut atau penjuru. Lalu, dikelilingi dengan
benang kuning atau tali-talian, dan kain-kain perca yang
berfungsi sebagai dinding andang-andang, dan kain kuning
yang berfungsi sebagai atap andang-andang. Lalu, terdapat
daun-daunan seperti daun kelapa dan mayang-mayangan yang
digantung di setiap penjuru andang-andang. Kemudian,
terdapat pula beberapa pelepah pohon kelapa yang berfungsi
sebagai alas andang-andang.
Setelah semuanya selesai mengelilingi andang-andang
sebanyak tiga kali, kedua pengantin pun dipersilahkan untuk
duduk di dalam andang-andang. Kedua kelapa yang digendong
oleh bidan kampung diletakkan di atas pangkuan kedua
pengantin. Pengantin perempuan memangku kelapa yang
masih muda, sedangkan pengantin laki-laki memangku kelapa
yang sudah bertunas. Hal yang pertama kali dilakukan oleh
bidan kampung adalah membelah mayang yang masih tertutup
hingga terbuka di antara kepala kedua pengantin. Mayang yang
sudah terbuka tersebut diambil sedikit untuk dijadikan hiasan
di telinga kedua pengantin. Setelah itu, sisa mayang tersebut
digantungkan pada jendela kamar pengantin.
Tahap kedua adalah pembelahan kelapa yang dilakukan
oleh bidan kampung. Sebelumnya, di dalam andang-andang
terdapat satu buah kelapa yang sudah dikupas. Kelapa inilah
yang akan dibelah sedikit untuk dikeluarkan airnya, lalu
diminumkan kepada kedua pengantin melalui ubun-ubun
92
mereka satu per satu. Setelah itu, kelapa tersebut dibelah
menjadi dua bagian, lalu di tempelkan ke perut pengantin
perempuan sebanyak tiga kali, lalu kelapa tersebut dilemparkan
ke tanah. Jika kedua kelapa tersebut terbuka maka anak yang
dikandung adalah perempuan, dan jika kedua kelapa tersebut
tertutup maka anak yang dikandung adalah laki-laki. Hal
tersebut dilakukan oleh ketiga bidan kampung secara
bergiliran.
Tahap ketiga adalah memandikan kedua pengantin.
Pertama-tama, bidan kampung mengelilingi pengantin dengan
mayang, lalu menyemburkan air do’a barzanji yang sudah
dibacakan sebanyak tiga kali. Seiring dengan penyemburan air
do’a tersebut, pengantin dimandikan dengan air tujuh bunga
yang sudah disediakan dalam dua tempat besar. Air bunga
tersebut sudah dicampur dengan air do’a barzanji dan air
keturunan. Setelah itu, mayang dipukulkan dengan pelan ke
kedua pengantin sebanyak tiga kali, lalu mayang dipukulkan ke
gantang12 yang di atasnya terdapat satu buah kelapa, hingga
kelapa tersebut jatuh.
Tahap terakhir dari ritual ini adalah kedua pengantin
melangkah melewati benang kuning. Pada tahap ini, terdapat
benang panjang berwarna kuning di depan kedua pengantin.
Kedua ujung benang tersebut dipegangi oleh dua orang bidan
kampung, sembari kedua pengantin melangkahkan kaki mereka
melewati benang tersebut secara bersamaan, dengan diawali
melangkahkan kaki sebelah kanan. Setelah pengantin sudah
melewati benang tersebut, lalu kedua bidan kampung
12Gantang adalah bahasa Keraya yang berarti tempat yang berbentuk seperti guci.
93
mengangkat benang itu hingga melewati kepala kedua
pengantin. Hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang
sebanyak tiga kali. Setelah itu, air yang terdapat pada benang
tersebut diperas dan diminumkan kepada kedua pengantin
melalui ubun-ubun mereka. Pemilihan benang berwarna kuning
dikarenakan warna tersebut dianggap keramat dan diagungkan
oleh masyarakat Keraya, karena warna tersebut juga
merupakan warna yang diagungkan oleh kerajaan Istana
Kuning yang ada di Kotawaringin Barat.13
Setelah semua tahap dilewati, kedua pengantin
dipersilahkan untuk memandikan diri mereka sendiri dengan
menggunakan sisa air bunga yang ada di hadapan mereka, serta
mengganti pakaian mereka.
Satu per satu prosesi ritual mandi-mandi telah selesai
dilaksanakan, maka tibalah saat kedua pengantin kembali
memasuki rumah. Mereka diiringi kembali oleh tujuh orang
anak yang membawa gelas berisi beras dan lilin dan ketiga
bidan kampung. Sebelum memasuki rumah, ketua bidan
kampung berdiri di depan pintu rumah seraya memukul gong
yang menandakan bahwa ritual mandi-mandi telah selesai
dilaksanakan. Ketika kembali memasuki rumah, mereka
diiringi dengan shalawat yang dilantunkan oleh para tamu
undangan yang berada di dalam rumah, lalu mereka kembali
duduk di atas lelemek yang telah disediakan.
Jika dilihat dari segi jumlah pelaksanaan pada setiap
rangkaian ritual yang ada, masyarakat Keraya selalu
13Abdul Mu’in (Penduduk Desa Keraya) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 05 Juni 2020, Kalimantan Tengah.
94
melakukannya sebanyak tiga sampai dengan tujuh kali. Selain
karena mengikuti tradisi yang telah diwariskan, hal tersebut
juga dilakukan berdasarkan pada keyakinan masyarakat Keraya
terhadap perhitungan ganjil yang ada dalam Islam ketika
melakukan suatu amal ibadah tertentu.14
d. Selamatan
Selamatan dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan adalah
kegiatan pembacaan do’a-do’a yang dilakukan oleh pemimpin
bacaan. Selamatan dilakukan ketika ritual mandi-mandi sudah
selesai dilaksanakan dengan membacakan do’a halarat15 atau
do’a arwah Rasul dan do’a selamat untuk mengakhiri upacara
mandi hamil tujuh bulan tersebut. Setelah pembacaan do’a
selesai dibacakan, kedua pengantin mencicipi empat puluh
macam kue yang sudah disediakan di hadapan mereka,
sedangkan seluruh tamu undangan menyantap hidangan yang
telah disediakan oleh tuan rumah. Kedua pengantin harus
mencicipi semua kue tersebut, tidak boleh ada satu pun yang
terlewat. Setelah selesai mencicipi, sebagian kue tersebut
dibagikan kepada para tamu undangan, sedangkan sebagian
yang lain diberikan kepada bidan kampung untuk dibawa
pulang.
14Abdul Mu’in, Wawancara.
15Halarat berasal dari kata bahasa Arab yaitu haḍrah yang pengucapannya berubah ke
dalam bahasa daerah menjadi halarat. Seperti pada pengucapan “ila haḍrati…”.
95
Gambar 4.3 Lembar Do’a Halarat atau Do’a Arwah Rasul
e. Bebari-bari
Bebari-bari adalah kegiatan memberikan sesajen kepada
nenek moyang atau leluhur masyarakat Keraya yang mereka
yakini berada di daratan dan lautan. Bagi masyarakat desa
tersebut, bebari-bari bertujuan untuk meminta izin atau
sekedar memberi tahu kepada leluhur mereka bahwa mereka
akan melaksanakan upacara mandi hamil tujuh bulan. Selain
itu, mereka juga meminta air kepada nenek moyang atau
leluhur yang ada di laut untuk digunakan dalam ritual mandi-
mandi. Air inilah yang disebut dengan air keturunan oleh
96
masyarakat desa tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh
salah satu informan sebagai berikut:
“Harus ada bebari-bari ke laut dan ke darat. Seperti
memberi ke Datuk Buaya itu harus. Seperti istilah orang tua
zaman dulu, kita bebari-bari tersebut untuk memberi tahu
kepada datuk-datuk kita bahwa kita akan melaksanakan
mandi-mandi hamil dan meminta airnya untuk dimandikan
nanti. Kalau kita tidak bebari-bari ditakutkan ada gangguan
terhadap ibu dan anak yang dikandungnya”.16
Adapun sesajen yang diberikan kepada leluhur yang ada di
daratan adalah pucuk daunan yang dibentuk menjadi segi
empat berisikan satu butir telur Ayam kampung dan sekepal
nasi. Sedangkan sesajen yang diberikan kepada leluhur yang
ada di laut adalah satu butir telur Ayam kampung yang
diletakkan di dalam tempurung atau batok kelapa beralaskan
tiga helai daun keladi. Semua itu harus dilaksanakan, karena
menurut masyarakat Keraya jika bebari-bari tidak
dilaksanakan, maka dikhawatirkan akan ada gangguan terhadap
ibu dan anak yang dikandungnya.
“Setelah selesai makan-makan, dilanjutkan dengan
bebari-bari ke laut dan ke darat. Sediakan satu telur ayam
kampung dalam tempurung kelapa yang beralaskan tiga
buah daun keladi, untuk pemberian ke laut. Siapkan daun
pucuk yang sudah dibentuk menjadi segi empat, lalu diisi
dengan satu telur ayam kampung dan sekepal nasi, untuk
pemberian ke darat. Semuanya harus diberi karena jika
tidak aka nada kejadian yang tidak kita kehendaki”.17
3. Perlengkapan Mandi Hamil Tujuh Bulan
Terdapat berbagai macam perlengkapan yang harus disiapkan
dalam pelaksanaan tradisi mandi hamil tujuh bulan di Desa
16Nor Aidin (Pelaksana dan Partisipan) diwawancari oleh Nunuk Rima Aini, Keraya,
02 Desember 2019, Kalimantan Tengah.
17Sanariyah, Wawancara.
97
Keraya. Semua perlengkapan tersebut memiliki fungsi bahkan ada
yang memiliki makna tersendiri. Adapun perlengkapan yang
digunakan di setiap tahap pelaksanaannya berbeda-beda, dimulai
dari ritual mandi-mandi, selamatan hingga bebari-bari.
a. Perlengkapan Ritual Mandi-mandi
Mayang
Mayang adalah tumbuhan sejenis bunga yang akan
membentuk buah pada pohon kelapa. Terdapat dua macam
mayang yang digunakan dalam ritual mandi-mandi ini,
yaitu mayang yang sudah mekar dan mayang yang belum
mekar atau masih tersimpan di dalam kulitnya. Mayang
yang sudah mekar digunakan untuk memercikkan air-air
do’a kepada kedua pengantin, sedangkan mayang yang
belum mekar biasanya dipecahkan terlebih dahulu kulitnya
oleh bidan kampung untuk diambil sedikit mayang yang
ada di dalamnya, lalu dikalungkan ke telinga kedua
pengantin.
Setelah itu, mayang yang masih ada di dalam kulit
tersebut digantungkan pada jendela kamar kedua pengantin.
Mayang tersebut digunakan sebagai patokan untuk
mengetahui waktu kelahiran bayi yang dikandung. Apabila
mayang tersebut sudah mengering maka waktu melahirkan
sudah semakin dekat. Selain itu, mayang tersebut juga
berfungsi sebagai tanda bahwa kedua pengantin tersebut
sudah melaksanakan upacara mandi hamil tujuh bulan.
Buah Kelapa
Buah kelapa yang digunakan dalam ritual mandi-mandi
ini bermacam-macam dan berbeda-beda fungsinya.
98
Pertama, satu buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya
berfungsi sebagai alat untuk mengetahui jenis kelamin anak
yang dikandung. Apabila kelapa tersebut sudah dibelah dan
dilemparkan, lalu keduanya terbuka, maka anak yang
dikandung adalah perempuan. Apabila keduanya tertutup,
maka anak yang dikandung adalah laki-laki. Kedua, satu
buah kelapa yang masih muda dan utuh. Kelapa tersebut
digunakan sebagai simbol untuk anak perempuan yang
dipangku oleh pengantin perempuan. Ketiga, satu buah
kelapa yang sudah tua dan bertunas. Kelapa tersebut
digunakan sebagai simbol untuk anak laki-laki yang
dipangku oleh pengantin laki-laki. Kedua kelapa yang
dipangku tersebut diberi kalung berupa tasbih, benang, dan
lain sebagainya.
Air Bunga
Air bunga adalah air yang di dalamnya terdapat tujuh
macam bunga yang berbeda jenisnya, bukan warnanya.
Jadi, bunga yang digunakan boleh bunga apa saja, asalkan
jenisnya berbeda. Tidak ada makna khusus yang
terkandung dalam air bunga tersebut, selain hanya
berfungsi untuk memandikan kedua pengantin.
Air Do’a Barzanji
Air do’a barzanji harus disiapkan lebih awal sebelum
acara dimulai, karena akan digunakan untuk mandi-mandi.
Do’a barzanji dibacakan dan ditiupkan ke dalam satu botol
air lalu dicampurkan ke dalam air bunga untuk dimandikan
kepada kedua pengantin. Air do’a ini dipercaya oleh
99
masyarakat Keraya dapat memberikan keselamatan pada
ibu dan anak yang dikandung.
Air Keturunan
Air keturunan merupakan air yang berasal dari nenek
moyang atau leluhur kedua pengantin tersebut. Apabila
pengantin tersebut memiliki tujuh leluhur atau nenek
moyang maka air keturunan yang digunakan harus tujuh
macam. Air ini juga dicampurkan ke dalam air bunga untuk
dimandikan kepada kedua pengantin. Masyarakat Keraya
meyakini bahwa dengan adanya air keturunan, maka
mereka sudah meminta izin kepada leluhur mereka untuk
melaksanakan upacara mandi hamil tujuh bulan agar tidak
ada gangguan atau kejadian yang tidak diinginkan.
Tujuh Gelas Beras dan Lilin
Selanjutnya yang harus disiapkan adalah tujuh buah
gelas kecil yang berisi beras dan lilin. Tujuh buah gelas
tersebut akan dibawa oleh tujuh orang anak yang berumur
kurang lebih tujuh tahun. Ketujuh anak tersebut akan
membawa gelas sambil berbaris mengiringi kedua
pengantin ketika akan keluar dari rumah menuju tempat
pemandian, dan ketika kedua pengantin kembali memasuki
rumah apabila ritual mandi-mandi telah selesai
dilaksanakan. Tidak ada makna khusus mengenai tujuh
gelas berisi beras dan lilin tersebut. Setelah upacara mandi
hamil tujuh bulan selesai dilakukan, gelas yang berisi beras
dan lilin itu diberikan kepada anak-anak yang mengiringi
kedua pengantin untuk dibawa pulang.
100
Gambar 4.4 Tujuh Orang Anak Membawa Gelas Berisi Beras
dan Lilin
Gayung
Gayung pada ritual mandi-mandi ini hanya digunakan
sebagai sarana kelancaran ritual tersebut. tidak ada makna
khusus yang terkandung di dalamnya.
Gong
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada proses ritual
mandi-mandi, bahwa gong tersebut akan dipukul oleh
kepala bidan kampung yang berfungsi untuk menandakan
bahwa ritual mandi-mandi telah selesai dilaksanakan. Tidak
ada makna khusus selain dari fungsi tersebut.18 Tidak
ditemukan pula keterangan lain yang menjelaskan
mengenai penggunaan alat selain gong sebagai tanda
bahwa ritual mandi-mandi sudah selesai, dalam artian
masyarakat Keraya selalu menggunakan gong dalam tradisi
tersebut.
b. Perlengkapan Selamatan
Adapun yang harus disiapkan dalam prosesi selamatan
adalah empat puluh macam kue dalam dua talam. Empat
18Sanariyah, Wawancara.
101
puluh kue tersebut terdiri dari kue pamali yaitu kue cucur, kue
cincin, dodol, nasi manis, dan bingka. Kue pamali di atas
merupakan kue yang paling utama dan harus tersedia dalam
empat puluh macam kue tersebut. Menurut masyarakat
Keraya, jika kue ini tidak tersedia maka dikhawatirkan akan
terjadi hal yang tidak baik atau tidak diinginkan. Selain kue
pamali, terdapat pula macam-macam kue serabi yang
berwarna kuning, merah, hijau, dan putih. Tersapat pula
enceng karok, keripik, dan jenis kue lainnya hingga mencapai
jumlah empat puluh. Selain kue-kue tersebut, terdapat pula
pencok yang harus diperjual belikan kepada warga yang hadir
pada acara tersebut hingga habis terjual. Semua kue tersebut
diletakkan dalam dua tempat besar yang disebut dengan
talam, dan diberi alas daun pisang, serta diletakkan sebuah
lilin di tengah-tengahnya.19
Menurut masyarakat Keraya, ketentuan jumlah kue yang
harus disediakan sebanyak 40 macam tersebut, selain karena
mengikuti tradisi sejak zaman dulu, juga karena mengikuti
jumlah hari pada masa nifas seorang perempuan setelah
melahirkan, yaitu sebanyak 40 hari.20
19Sanariyah, Wawancara.
20Abdul Mu’in, Wawancara.
102
Gambar 4.5 Empat Puluh Macam Kue-kuean dalam Talam
besar.
c. Perlengkapan Bebari-bari
Sesajen ke Laut
Adapun sesajen yang diberikan kepada leluhur yang ada
di laut adalah satu butir telur Ayam kampung yang
diletakkan di dalam tempurung atau batok kelapa
beralaskan tiga helai daun keladi.
Sesajen ke darat
Adapun sesajen yang diberikan kepada leluhur yang ada
di daratan adalah pucuk daun yang dibentuk menjadi segi
empat berisikan satu butir telur Ayam kampung dan
sekepal nasi.
Menurut bidan kampung tidak ada makna khusus
mengenai sesajen yang diberikan, akan tetapi semua itu
merupakan bentuk penghormatan kepada para leluhur serta
merta untuk meminta izin bahwasannya mereka akan
melaksanakan mandi hamil tujuh bulan.21
21Sanariyah, Wawancara.
103
4. Motivasi Pelaksanaan Mandi Hamil Tujuh Bulan
a. Memohon Perlindungan dan Keselamatan
Pada umumnya, masyarakat Keraya melakukan tradisi
ritual mandi-mandi untuk memohon perlindungan,
keselamatan, dan kesehatan bagi ibu yang mengandung dan
anak yang dikandung, terutama ketika ibu melahirkan. Hal
tersebut diketahui dari pernyataan yang diberikan oleh bidan
kampung Desa Keraya sebagai berikut:
“Ya itu tadi tujuannya agar pengantin selamat melahirkan,
dan tidak sakit ketika melahirkan”.22
Hal tersebut juga disampaikan oleh bidan kampung lainnya
yang ada di Desa Keraya, sebagai berikut:
“Agar si ibu melahirkan dengan selamat dan sehat”.23
“Agar selamat saja. Memohon perlindungan kepada
Allah”.24
b. Menjaga Tradisi
Salah satu yang menjadi pendorong dilaksanakannya
mandi hamil tujuh bulan adalah karena tradisi. Hampir semua
informan yang penulis mintai penjelasannya mengatakan
bahwa hal tersebut dilakukan karena mengikuti dan
melanjutkan tradisi yang sudah ada sejak dulu. Hal ini
dilakukan guna menjaga dan melestarikan tradisi yang sudah
turun temurun dari leluhur mereka. Sebagaimana yang
disampaikan oleh salah satu informan berikut:
“Kalau mandi-mandi tujuh bulan tersebut sesuai dengan
tradisi kita orang pesisir pantai. Jadi, tradisi budaya kita
jika sudah memasuki usia tujuh bulan kehamilan memang
22Sanariyah, Wawancara.
23Kurnia (Bidan Kampung) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 19
September 2019, Kalimantan Tengah.
24Sri Mulyati, Wawancara.
104
diharuskan melaksanakan mandi-mandi. Jadi memang
sudah mengikuti dan melanjutkan tradisi yang sudah ada
saja alasannya”.25
c. Bentuk Rasa Syukur
Upacara mandi hamil tujuh bulan yang dilakukan
masyarakat Keraya juga sebagai bentuk rasa syukur mereka
kepada Allah SWT., karena ibu yang mengandung telah
dikaruniai kehamilan yang sehat dan sudah mencapai usia
tujuh bulan. Sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu
informan sebagai berikut:
“Kalau saya sendiri menanggapinya lebih seperti kita
mengucapkan rasa syukur saja. Jadi untuk bersyukur saja,
bukan karena ritualnya. Hanya saja acara ini lebih seperti
ke syukuran saja, karena usia kehamilan sudah mencapai
tujuh bulan. Kata orang kalau usia kehamilan di bawah usia
tujuh bulan itu beresiko, jadi bersyukur saja bahwa anak
kita akan segera lahir”.26
B. Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat dalam Tradisi Mandi Hamil Tujuh
Bulan
Pembacaan beberapa surah dari al-Qur’an dalam tradisi ini sudah
ada sejak lama. Belum ada yang dapat menjelaskan awal mula adanya
pembacaan tersebut dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan di Desa
Keraya. Pembacaan beberapa surah dari al-Qur’an tersebut biasa
disebut oleh masyarakat Desa Keraya dengan istilah al-Fātiḥah Ampat
yang tersusun dari surah al-Fātiḥah, surah al-’Ikhlāṣ, surah al-Falaq,
dan surah al-Nās. Istilah al-Fātiḥah Ampat itu sendiri menurut
pemimpin bacaan dalam tradisi ini diambil dari dalam sebuah kitab,
25Masransyah, Wawancara.
26Mia, Wawancara.
105
akan tetapi nama kitab tersebut tidak diketahui. Jadi, pada dasarnya
istilah tersebut mereka peroleh dari guru-guru mereka terdahulu.27
1. Prosesi Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat
Pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi ini biasanya
dilakukan pada awal acara sebelum pembacaan barzanji dimulai.
Pembacaan tersebut dipimpin oleh pemimpin bacaan yang harus
memenuhi kriteria yang telah dibuat oleh masyarakat Keraya.
Pertama, diwajibkan memahami agama, karena tidak mungkin
seorang pemimpin bacaan dipilih dari seorang yang tidak paham
agama. Kedua, harus memahami dan menguasai apa yang
dibacakan, karena selain pembacaan al-Qur’an, pemimpin tersebut
akan sekaligus memimpin pembacaan barzanji dan do’a di akhir
acara. Ketiga, mampu membaca al-Qur’an dengan baik, hal
tersebut guna menghindari kesalahan makna yang diakibatkan dari
kesalahan-kesalahan ketika membaca al-Qur’an karena belum
mampu membacanya dengan baik dan benar. Keempat, mampu
memimpin pembacaan do’a dan barzanji. Sebagaimana yang
disampaikan oleh informan berikut:
“Yang pasti memahami dan menguasai apa yang harus dibaca
tersebut. Misalnya barzanji harus dibacakan oleh ahlinya.
Tidak mungkin kita serahkan kepada yang bukan ahlinya.
Maka dari itu kita tunjuk yang menguasai itu semua untuk
memimpin pembacaan tersebut, yang mampu memimpin, dan
membacakan do’a-do’anya. Dan sudah pasti bacaannya harus
bagus, karena memimpin berarti membawa yang lain dalam
membaca al-Qur’an, barzanji, dan membaca do’a tersebut”.28
Pembacaan tersebut akan dimulai jika masyarakat terutama
bapak-bapak sudah berkumpul di rumah pelaksana tradisi, karena
27Syahdan, Wawancara.
28Syahwan (Partisipan) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 27 November
2019, Kalimantan Tengah.
106
yang biasa membacakan al-Fātiḥah Ampat tersebut adalah dari
kalangan bapak-bapak, bukan ibu-ibu. Namun, hal tersebut tidak
menutup kemungkinan bagi ibu-ibu untuk turut membacakannya.
Setelah semua sudah berkumpul, pemimpin bacaan mulai
mengawali dengan membaca istighfar sebanyak tiga kali, lalu
dilanjutkan dengan membaca wasilah atau hadoroh.29
Wasilah atau hadoroh yang dibacakan adalah: Pertama, kepada
Nabi Muḥammad Saw., keluarga, dan para sahabatnya. Kedua,
kepada para Nabi, Rasul, syuhada’, orang-orang salih, para wali,
dst. Ketiga, kepada para arwah leluhur yang sudah mendahului.
Keempat, kepada ibu hamil dan anak yang dikandungnya. Setelah
itu, dibacakan al-Fātiḥah Ampat yakni surah al-Fātiḥah, disusul
dengan pembacaan surah al-’Ikhlāṣ sebanyak tiga kali, surah al-
Falaq dan surah al-Nās. Pembacaan al-Fātiḥah Ampat tersebut
dibacakan bersama-sama dengan dipandu oleh pemimpin bacaan
yang kemudian diikuti oleh para masyarakat yang hadir. Setelah
pembacaan al-Fātiḥah Ampat selesai, maka dilanjutkan dengan
pembacaan barzanji.30
2. Motivasi Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat
a. Mohon Perlindungan dan Keselamatan
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, yang berfungsi
sebagai media untuk memohon petunjuk keselamatan kepada
Allah SWT. Hal ini menjadi motivasi bagi masyarakat Keraya
untuk membacakannya (al-Fātiḥah Ampat) pada awal upacara
mandi hamil tujuh bulan. Bagi masyarakat Keraya, al-Fātiḥah
Ampat memiliki peran penting dalam tradisi mandi hamil tujuh
29Syahdan, Wawancara.
30Syahdan, Wawancara.
107
bulan tersebut, salah satunya adalah sebagai bentuk
permohonan keselamatan dan perlindungan untuk ibu hamil
dan anak yang dikandung kepada Allah SWT., terutama
perlindungan dari kejahatan jin dan manusia. Sebagaimana
yang disampaikan oleh informan berikut:
“Al-Fātiḥah Ampat mengandung permohonan dan
perlindungan dari kejahatan, iya kan? Kejahatan jin dan
manusia. Nah, terutama jin yang paling suka mengganggu
ibu hamil apalagi bayi, ada jin-jinnya. Dengan harapan
kita membaca al-Fātiḥah Ampat itu Allah akan
melindungi dari perbuatan jin-jin yang jahat. Biasanya ada
yang diganggu, maka dari itu harapan kita jangan sampai
terganggu dengan kejahatan-kejahatan jin maupun
manusia”.31
b. Menjaga Tradisi dan Warisan Orang Terdahulu
Pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi mandi hamil
tujuh bulan sudah ada sejak lama. Pembacaan surah selain dari
al-Fātiḥah Ampat dapat dikatakan jarang ditemui dalam tradisi
tersebut, terkadang hanya ditambahkan dengan membaca surah
al-Baqarah ayat 1-5 dan surah al-Baqarah ayat 255 (Ayat
Kursi). Kecuali, apabila tuan rumah meminta untuk dibacakan
surah-surah lain dari al-Qur’an secara khusus. Jadi, pembacaan
al-Fātiḥah Ampat tersebut juga dilakukan karena mengikuti
atau melanjutkan tradisi dari orang tua atau leluhur mereka
zaman dulu. Pembacaan tersebut tidak boleh dilupakan atau
tidak dibacakan, bahkan sengaja ditinggalkan. Sebagaimana
yang disampaikan oleh beberapa informan berikut:
“Pada dasarnya al-Fatihah Ampat sudah biasa dibacakan
dan tidak pernah ada yang lain yang dibacakan selain
surah-surah tersebut. Berarti memang itu yang harus
dibaca, tetapi jika seandainya ada surah lain yang bisa
31Syahwan, Wawancara
108
dibacakan, lebih bagus lagi. Tetapi yang biasa dibacakan
hanya al-Fatihah Ampat. Begitulah sepengetahuan Ibu.
Biasanya juga kalau mau ada pembacaan al-Qur’an
khusus tergantung dari permintaan yang punya acara”.32
“Sebenarnya Nenek dulu pernah membawa Kakek
berobat, lalu diberi air tawar atau air do’a. Kata yang
mengobati, kalau mau meminum airnya jangan lupa
membaca al-Fatihah Ampat. Ternyata al-Fatihah Ampat
itu surah al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas.
Berarti mungkin ke-empat surah ini ada keutamannya.
Nah, kalau dalam mandi-mandi Nenek kurang begitu
mengetahui, artinya hanya mengikuti tradisi dari orang tua
zaman dulu saja”.33
“Kalau tidak diwajibkan mungkin sudah menjadi
kebiasaan dari orang-orang tua zaman dulu membaca
surah itu. Kalau wajib berarti diharuskan.”34
c. Pujian Kepada Allah
Motivasi pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi ini
juga sebagai bentuk pujian kepada yang Maha Kuasa. Dengan
adanya pujian tersebut, masyarakat Keraya percaya segala
harapan yang dimiliki akan dikabulkan oleh Allah SWT.,
terutama harapan dari kedua pengantin yang akan mengadakan
tradisi mandi hamil tujuh bulan tersebut. Sebagaimana yang
telah disampaikan oleh salah satu informan sebagai berikut:
“Penghormatan (pujian) kepada Allah, agar apa yang kita
niatkan ketika melaksanakan acara ini tersampaikan
kepada Allah. Khususnya niat dari yang mengadakan
acara”.35
32Nor Aidin, Wawancara.
33Juliani, (Partisipan dan Pelaksana) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 26
November 2019, Kalimantan Tengah.
34Usu Minah, (Partisipan dan Pelaksana) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 26 November 2019, Kalimantan Tengah.
35Syahdan, Wawancara.
109
d. Awal Do’a
Pembacaan al-Fātiḥah Ampat juga dianggap oleh
masyarakat Keraya sebagai pengawal do’a, yang biasa mereka
sebut dengan kepala do’a. Apabila al-Fātiḥah Ampat tidak
dibacakan, maka akan terasa kurang sempurna pembacaan do’a
tersebut. Bahkan mereka meyakini do’a yang dipanjatkan tidak
akan sampai kepada Allah SWT. Selain itu, pembacaan al-
Fātiḥah Ampat juga sebagai tawassul untuk meminta syafa’at
Nabi Saw. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh salah
satu informan sebagai berikut:
“Harus, harus dibaca. Namanya juga kepala do’a. Kalau
tidak dibaca jadi tidak lengkap dan bisa saja do’a yang
kita panjatkan ketika acara mandi-mandi ini tidak sampai
kepada Allah”.36
Salah satu informan juga menjelaskan sebagai berikut:
“Ada, kata orang kita zaman dulu disebut dengan Kepala
Do’a, yaitu al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas”.37
3. Manfaat Pembacaan Al-Fātiḥah Ampat
a. Bagi yang Membacakan
Ketenangan Hati
Ketenangan hati menjadi manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat Keraya ketika al-Fātiḥah Ampat dibacakan.
Hal tersebut berdasarkan pada keyakinan mereka bahwa
dengan membaca al-Qur’an maka dapat membuat hati
tenang. Tidak hanya itu, al-Fātiḥah Ampat jika tidak
dibacakan maka do’a-do’a yang mereka panjatkan serta
penyerahan diri kepada Allah akan terasa kurang sempurna.
36Nor Aidin, Wawancara.
37Muhammad Fadhli (Partisipan) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 19
September 2019, Kalimantan Tengah.
110
Karena menurut mereka salah satu syarat ketika akan
berdo’a harus disertai dengan pembacaan al-Fātiḥah Ampat.
Jadi, apabila sudah dibacakan al-Fātiḥah Ampat tersebut
maka akan hadir rasa ketenangan karena tidak ada perasaan
kekurangan atau ketidaksempurnaan pada do’a-do’a yang
dipanjatkan serta penyerahan diri kepada Allah.
b. Bagi yang Dibacakan
Ketenangan Hati
Al-Qur’an diyakini masyarakat Keraya dapat
menjadi penenang hati bagi para pembacanya.
Ketenangan hati tersebut merupakan salah satu manfaat
yang dirasakan pelaksana mandi hamil tujuh bulan
ketika al-Fātiḥah Ampat dibacakan. Karena
menurutnya, apabila al-Fātiḥah Ampat tersebut sudah
dibacakan, maka berarti kita sudah memohon dan sudah
berserah diri kepada Allah SWT. agar diselamatkan dan
dilindungi hingga anak yang dikandung lahir.
Sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu
pelaksana tradisi mandi hamil tujuh bulan sebagai
berikut:
“Ada manfaatnya, seperti kita memperoleh
ketenangan karena kita sudah memohon berserah
diri kepada Allah dalam meminta keselamatan,
meminta perlindungan sampai anak kita nanti
lahir.”38
Keselamatan ketika Melahirkan
Salah satu manfaat yang dirasakan oleh pelaksana
tradisi mandi hamil tujuh bulan ketika di dalamnya
38Kuswanti (Pelaksana dan Partisipan) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya,
27 November 2019, Kalimantan Tengah.
111
dibacakan al-Fātiḥah Ampat ialah keselamatan ketika
melahirkan. Meskipun ia juga meyakini adanya hal lain
yang mungkin bisa menjadi sebab ia selamat ketika
melahirkan, namun pembacaan al-Fātiḥah Ampat
menurutnya juga termasuk salah satu yang membuat ia
selamat ketika melahirkan. Hal tersebut diyakini karena
al-Fātiḥah Ampat merupakan ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan oleh Allah dan memungkinkan mampu
membawa keselamatan ketika melahirkan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu
informan yang melaksanakan tradisi mandi hamil tujuh
bulan sebagai berikut:
“Mungkin untuk kelancaran sepertinya dan
keselamatan serta ucapan rasa syukur itu menurut
saya. Karena saya selamat ketika melahirkan
mungkin bisa saja karena dibacakan surah-surah
itu juga, karena surah-surah itu turunnya dari
Allah, jadi bisa jadi membawa keselamatan ketika
saya melahirkan. Ibarat kata itu adalah do’a kita
kepada Allah. Meskipun tidak hanya surah itu saja
yang dibaca dalam acara tersebut, dan kita juga
tidak tau do’a kita yang mana yang dikabulkan
oleh Allah. Tapi baik saja kalau al-Fātiḥah Ampat
tersebut kita baca”.39
C. Pemahaman Masyarakat terhadap Pembacaan Al-Fātiḥah
Ampat dalam Tradisi Mandi Hamil Tujuh Bulan
1. Surah Al-Fātiḥah
Surah al-Fātiḥah merupakan surah pertama yang ada di dalam
mushaf al-Qur’an yang diyakini oleh masyarakat Keraya sebagai
pembuka setiap kegiatan, karena di setiap awal acara atau
kegiatan apapun surah tersebut pasti dibacakan. Mereka juga
39Mia, Wawancara.
112
meyakini bahwa unsur-unsur pokok yang terkandung di dalam
surah al-Fātiḥah tersebut merupakan cerminan dari isi al-Qur’an.
Menurut sesepuh desa, al-Qur’an diibaratkan terhimpun dalam
satu surah ini, bahkan dianjurkan dalam sebuah hadis, ketika
hendak tidur maka bacalah al-Fātiḥah sekian banyaknya, karena
sama dengan mengkhatamkan al-Qur’an. Menurutnya, hal
tersebut karena surah ini memiliki banyak makna, tujuan dan
manfa’at di dalamnya.
“Al-Fātiḥah juga diibaratkan al-Qur’an terhimpun dalam satu
surah tersebut. Seperti dalam hadis dikatakan apabila kamu
hendak tidur maka bacalah al-Fātiḥah sekian banyaknya,
artinya sama dengan mengkhatamkan al-Qur’an. Berarti
banyak makna, tujuan dan manfaat di dalamnya”. 40
Bahkan, menurut salah satu informan terdapat kajian
tersendiri mengenai rahasia surah al-Fātiḥah tersebut. Ia
menyebutkan salah satu rahasia surah al-Fātiḥah, yaitu tidak
adanya tujuh huruf hijaiyah di dalam surah ini yang merupakan
nama-nama di antara nama-nama neraka. Salah satu huruf
tersebut adalah huruf ṡa (ث), yang menurutnya merupakan salah
satu nama neraka yaitu ṡaqor. Sebagaimana yang telah ia
jelaskan ketika wawancara berlangsung:
“Tapi, begitu tingginya kedudukan surah al-Fātiḥah dari
keseluruhan al-Qur’an hingga terdapat kajian mengenai rahasia
surah al-Fātiḥah. Di dalam surah al-Fātiḥah itu terdapat tujuh
macam huruf hijaiyah yang tidak ada, dan tujuh huruf tersebut
adalah nama-nama di antara nama neraka. Adakah huruf Kha’
dalam surah al-Fātiḥah? Tidak ada kan. Adakah huruf ṡa
dalam surah tersebut? Tidak ada juga. Nama neraka salah
40Arbain, Wawancara.
113
satunya apa? ṡaqor. Nah, itulah salah satu contoh dari rahasia
al-Fātiḥah.”41
Selain itu, informan tersebut juga menyampaikan salah satu
keutamaan dari surah ini, yaitu apabila surah ini tidak dibacakan
dalam salat, maka tidak sah salatnya seseorang tersebut. Hal
tersebut sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhārī (756) dan Muslim (394) sebagai
berikut:
عن محمود بن الربيع عن عبادة بن الصا مت قال: رسول لله صلى الله عليه و قرأ بفاتحة الكتاب.سلم: ل صلة لمن لم ي
“Dari Maḥmūd bin al-Rabī’ dari Ubadah bin al-Shāmit, dia
berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak (sah) salat bagi
orang yang tidak membaca Fātiḥatul Kitab (Al-Fātiḥah).”42
Tradisi mandi hamil tujuh bulan merupakan salah satu bentuk
permohonan atau do’a kepada Allah agar diberikan keselamatan.
Maka dari itu, menurut salah satu partisipan tradisi tersebut,
masyarakat Keraya merasa harus membacakan al-Fātiḥah di awal
tradisi ini, karena dalam adab-adab berdo’a dianjurkan untuk
mengawalinya dengan membaca al-Fātiḥah.43 Menurut pemimpin
bacaan dalam tradisi ini, untuk mengawali rangkaian acara tradisi
tersebut juga harus dengan mengucapkan
“bismillāhirraḥmānirraḥīm” yang merupakan bagian dari surah al-
Fātiḥah.44 Hal tersebut tidak boleh tertinggal atau sengaja
ditinggalkan, karena apabila ditinggalkan maka berdo’a menjadi
41Syahwan, Wawancara.
42Muḥammad Nashiruddīn Al-Bānī, Derajat Hadis-hadis dalam Tafsir Ibnu Katsir,
terj. ATC Mumtaz Arabia, jil. 1 (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2007), 47.
43Syahwan, Wawancara.
44Syahdan, Wawancara.
114
tidak sempurna. Begitu pula menurut sesepuh Desa Keraya,
meskipun bukan perkara wajib untuk membacakan al-Fātiḥah dalam
tradisi ini, tetapi apabila tidak dibacakan, maka penyerahan diri
kepada Allah SWT. akan terasa kurang adabnya, juga kepada
Rasulullah, dan para sahabatnya.45 Berdasarkan penjelasan di atas,
maka masyarakat Keraya selalu membacakannya dalam setiap
kegiatan bahkan upacara apapun, termasuk mandi hamil tujuh bulan
ini.
2. Surah Al-’Ikhlāṣ
Surah al-’Ikhlāṣ diyakini memiliki keutamaan, yaitu apabila
dibaca sebanyak satu kali maka seperti membaca sepertiga al-
Qur’an. Seperti yang disampaikan oleh salah satu informan sebagai
berikut:
“Barang siapa membaca al-’Ikhlāṣ sebanyak satu kali,
disebutkan dalam hadis Nabi, maka ia seperti membaca
sepertiga al-Qur’an”.46
Berikut adalah salah satu hadis yang membahas mengenai hal
tersebut, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhārī (7374):
يه له بن عبد الرحمن عن أب ثني مالك عن عبد الرحمن بن عبد العن إسماعيل حد ا أصب ج عن أبي سعيد أن رجل سمع رجل ي قرأ: قل هو الله أح اء د ي رد دها ف لم
قال رسول الله : ))والذي وكأن الرجل ي ت قالها ف إلى رسول الله فذكر ذلك له ن فسي بيده إن ها لت عدل ث لث القرآن.
“Dari Ismā’īl, Mālik menceritakan kepadaku dari ’Abdurrahmān
bin ’Abdullāh bin ’Abdurrahmān, dari bapaknya, dari Abū Sa’īd,
bahwa sesungguhnya seseorang mendengar orang lain membaca
(Surah al-’Ikhlāṣ): Katakanlah: Dia adalah Allah yang Maha Esa
(Ahad). Esok paginya ia memberitahukannya kepada Nabi Saw.
45Arbain, Wawancara.
46Syahwan, Wawancara.
115
bahwa seakan-akan orang itu tidak cukup membaca (Al-Qur’an).
Mendengar itu, Nabi Saw. bersabda: “Demi Dzat yang
menggenggam jiwaku, surah ini setara dengan sepertiga al-
Qur’an.”47
Berdasarkan keutamaan di atas, informan tersebut menganggap
surah al-’Ikhlāṣ memiliki kedudukan yang tinggi di dalam al-Qur’an.
Ia juga memahami meskipun ayatnya sedikit namun isinya
berhubungan dengan tauhid, keimanan seseorang, dan ke-Esaan
Tuhan.48 Informan lain juga menyampaikan bahwa dengan
dibacakannya surah tersebut diharapkan kedua pengantin memiliki
keturunan-keturunan yang baik, serta diharapkan setiap acara atau
ritualnya diberikan keberkahan oleh Allah SWT.49
3. Surah Al-Falaq & Surah al-Nās (Al-Mu‘awwiżatain)
Selain surah al-Fātiḥah dan al-’Ikhlāṣ, kedua surah ini juga
diyakini memiliki keutamaan. Beberapa informan mengetahui
bahwa kedua surah tersebut biasa disebut dengan al-
Mu‘awwiżatain50 yang berarti dua perlindungan, yakni dua surah
untuk memohon perlindungan agar pembacanya dituntun ke tempat
perlindungan Allah, atau memasukkannya ke dalam arena yang
dilindungi-Nya. Hal tersebut terlihat dari kalimat pertama surah al-
Falaq dan surah al-Nās yang dimulai dengan kalimat ’a‘ūdżu yang
berarti “Aku berlindung” mengandung makna ta‘wiż (berlindung
kepada Tuhan).51
Menurut salah satu informan, surah al-Falaq memiliki makna
permohonan perlindunan dari kejahatan malam dan kejahatan
47Muḥammad Nashiruddīn Al-Bānī, Derajat Hadis-hadis dalam Tafsir Ibnu Katsir,
terj. ATC Mumtaz Arabia, jil. 3 (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2008), 805.
48Syahwan, Wawancara.
49Masransyah, Wawancara.
50Kuswanti, Wawancara.
51M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Tangerang: Lentera hati, 2010), 60.
116
wanita-wanita sihir. Sedangkan surah al-Nās mengandung makna
permohonan perlindungan dari kejahatan manusia dan jin.
Berdasarkan isi kandungan atau makna tersebut maka surah ini
dibacakan pada setiap kegiatan atau upacara termasuk mandi hamil
tujuh bulan, agar ibu yang mengandung dan anak yang dikandung
terlindungi dari kejahatan-kejahatan jin dan manusia.
Berdasarkan hasil analisis penulis di atas, dapat diketahui bahwa
tujuan utama masyarakat Keraya membacakan al-Fātiḥah Ampat
dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan adalah agar ibu dan anak yang
dikandung memperoleh keselamatan dan perlindungan dari Allah
SWT. Pembacaan al-Fātiḥah Ampat tersebut tidak lepas pula dari
pemahaman masyarakat Keraya tentang keutamaan-keutamaan serta
makna umum yang terkandung di dalam al-Fātiḥah Ampat sebagai
berikut:
Pertama, surah al-Fātiḥah memiliki keutamanaan, diantaranya al-
Qur’an diibaratkan terhimpun dalam satu surah ini, sebagai pembuka
setiap kegiatan dan sebagai pengawal do’a. Selain itu, tradisi mandi
hamil tujuh bulan merupakan salah satu bentuk permohonan atau
do’a kepada Allah agar diberikan keselamatan, maka dari itu
masyarakat Keraya membacakan al-Fātiḥah di awal acara, karena di
dalam adab-adab berdo’a dianjurkan untuk mengawalinya dengan
al-Fātiḥah. Hal tersebut tidak boleh tertinggal atau sengaja
ditinggalkan karena apabila ditinggalkan maka berdo’a menjadi
tidak sempurna.
Kedua, pembacaan surah al-’Ikhlāṣ dalam tradisi tersebut
berdasarkan keutamaan yang dimilikinya, yakni kesetaraannya
dengan sepertiga al-Qur’an. Berdasarkan keutamaan tersebut,
masyarakat Keraya beranggapan surah al-’Ikhlāṣ memiliki
117
kedudukan yang tinggi di dalam al-Qur’an. Masyarakat Keraya
memahami meskipun ayatnya sedikit namun isinya berhubungan
dengan tauhid, keimanan seseorang, dan ke-Esaan Tuhan. Dengan
dibacakannya surah tersebut diharapkan kedua pengantin memiliki
keturunan-keturunan yang baik. Mereka pun meyakini dengan
dibacakannya surah al-’Ikhlāṣ di awal tradisi mandi hamil tujuh
bulan, diharapkan setiap acara atau ritualnya diberikan keberkahan
oleh Allah SWT.
Ketiga, pembacaan al-Mu‘awwiżatain yakni surah al-Falaq dan
surah al-Nās. Menurut masyarakat Keraya, surah al-Falaq memiliki
makna permohonan perlindunan dari kejahatan malam dan kejahatan
wanita-wanita sihir. Sedangkan surah al-Nās mengandung makna
permohonan perlindungan dari kejahatan manusia dan jin.
Berdasarkan isi kandungan atau makna dari surah tersebut maka
masyarakat Keraya membacanya di setiap kegiatan atau upacara
termasuk mandi hamil tujuh bulan, agar ibu yang mengandung dan
anak yang dikandung terlindungi dari kejahatan-kejahatan jin dan
manusia.
118
119
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tradisi mandi hamil tujuh bulan merupakan tradisi memandikan
ibu hamil yang usia kehamilannya sudah mencapai tujuh bulan atau
lebih. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk memohon
keselamatan dan perlindungan kepada Allah SWT. bagi ibu yang
mengandung dan bayi yang dikandung, sekaligus sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Allah SWT., karena telah dikaruniai kehamilan
yang sehat dan sudah mencapai usia tujuh bulan. Tradisi ini juga
mengandung unsur-unsur keislaman dalam beberapa ritual
pelaksanaanya. Salah satunya ialah pembacaan beberapa surah dari al-
Qur’an yaitu surah al-Fātiḥah, al-’Ikhlāṣ, al-Falaq dan al-Nās yang
disebut dengan al-Fātiḥah Ampat oleh warga setempat.
Pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi ini dilaksanakan pada
awal acara secara bersama-sama dengan dipandu oleh pemimpin
bacaan, kemudian diikuti oleh para masyarakat yang hadir terutama
bapak-bapak. Sebelum pembacaan al-Fātiḥah Ampat dilakukan,
terlebih dahulu pemimpin bacaan membacakan istighfar sebanyak tiga
kali, kemudian dilanjutkan dengan membacakan wasilah atau
hadoroh, setelah itu pembacaan al-Fātiḥah Ampat dimulai. Setelah
pembacaan al-Fātiḥah Ampat selesai, maka dilanjutkan dengan
pembacaan barzanji.
Bagi masyarakat Keraya, pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam
tradisi mandi hamil tujuh bulan ini dianggap sangat penting, karena
memiliki beberapa motivasi tertentu. Motivasi utama dari pembacaan
ini ialah untuk memohon perlindungan dan keselamatan dari Allah
120
SWT., selanjutnya untuk menjaga tradisi dan warisan orang terdahulu,
sebagai bentuk pujian kepada Allah, serta sebagai pengawal do’a.
Pembacaan al-Fātiḥah Ampat tersebut juga tidak lepas dari
pemahaman masyarakat Keraya tentang keutamaan-keutamaan serta
makna umum yang terkandung di dalam al-Fātiḥah Ampat sehingga
masyarakat setempat membacakannya dalam tradisi mandi hamil
tujuh bulan untuk memohon perlindungan dan keselamatan bagi ibu
yang mengandung dan anak yang dikandung.
Demikian hasil dari penelitian living Qur’an yang dilakukan
penulis atas pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi mandi hamil
tujuh bulan di Desa Keraya, Kecamatan Kumai, Kabupaten
Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian living Qur’an yang penulis lakukan
pada pembacaan al-Fātiḥah Ampat dalam tradisi mandi hamil tujuh
bulan di Desa Keraya, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin
Barat, Kalimantan Tengah, penulis merasa ingin memberikan beberapa
masukan:
1. Kepada masyarakat Desa Keraya, hendaknya menambahkan
pembacaan surah-surah pilihan lainnya yang ada di dalam al-
Qur’an pada pelaksanaan tradisi mandi hamil tujuh bulan, bahkan,
jika mampu hendaknya mengkhatamkan al-Qur’an. Hal tersebut
menjadi salah satu upaya untuk menghidupkan al-Qur’an di
tengah-tengah masyarakat dengan melibatkannya dalam setiap
kegiatan kita, salah satunya melalui pembacaan al-Qur’an dalam
tradisi tersebut.
2. Kepada para peneliti selanjutnya, hendaknya melakukan kajian
lainnya terhadap adanya fenomena resepsi al-Qur’an di tengah
121
kehidupan kita, seperti kajian living Qur’an dalam tradisi-tradisi
yang ada di daerah kalian masing-masing. Karena masih banyak
tradisi-tradisi yang belum dikaji secara khusus yang
memungkinkan di dalamnya terdapat pembacaan al-Qur’an. Serta
skripsi yang ditulis oleh penulis ini masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari peneliti
berikutnya sangat diperlukan.
122
123
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdillah, Aḥmad bin Syu’aib bin ‘Alī bin Sinān bin Bakr bin Dīnār Abū.
Sunan al-Kubra, juz 9. Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001.
Adriana, Iswah. “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban (Perpaduan Antara
Tradisi Jawa dan Ritualitas Masyarakat Muslim).” Jurnal Karsa,
vol.19, no.2, (2011): 242.
Anshori. Ulumul Qur’an Kaidah-Kaidah Memahami Firma Tuhan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.
Arsyad, Azhar. Islam Masuk dan Berkembang di Nusantara Secara Damai.
Dalam menjadi Indonesia. 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi
Nusantara, cet. I. Jakarta Selatan: Mizan, 2006.
Bahriah, “Pembacaan Surah Yāsīn dalam Tradisi Batajak Tihang Rumah
di Kecamatan Daha Utara Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Studi
Living al-Qur’an)” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Antasari
Banjarmasin, 2018.
Al-Baihaqi. Syu’ab al-Iman. CD. al-Maktabah al-Syamilah. Islamic
Global Software. Ridwana Media.
Al-Bānī, Muḥammad Nashiruddīn. Derajat Hadis-hadis dalam Tafsir Ibnu
Katsir, terj. ATC Mumtaz Arabia, jil. 1. Jakarta Selatan: Pustaka
Azzam, 2007.
---------. Derajat Hadis-hadis dalam Tafsir Ibnu Katsir, terj. ATC Mumtaz
Arabia, jil. 3. Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2008.
Basuki, Sulistyo. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra,
2006.
Al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā‘īl bin Ibrāḥīm al-Ja‘fī. Jāmi‘ al-Shaḥīh
al-Bukhārī, Juz 6. Dār. Thauq al-Najāh, 1422 H.
Chodjim, Achmad. Al-Ikhlas: Bersihkan Iman dengan Surah kemurnian.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Hafidz, Abdul dan Rusydi. “Konsep Dzikir dan Do’a Perspektif Al-
Qur’an”. Islamic Akademika: Jurnal Pendidikan & Keislaman, vol.6,
no.1, (Juni 2019): 63.
124
Harun, Salman. Secangkir Tafsir Juz Terakhir: Mengerti Jalan-jalan yang
Membahagiakan di Dunia dan Akhirat.Tangerang: Lentera Hati, 2018.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, Bandung:
Sygma, 2014.
Koentjaraningrat. Metode-metode Penulisan Masyarakat. Jakarta:
Gramedia, 1989.
Makhdlori, Muhammad. Bacalah Surat Al-Waqi’ah Maka Engkau Akan
Kaya. Yogyakarta: Diva Press, 2008.
Mansur, M. Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Qur’an.
Yogyakarta: Th Press. 2007.
---------. “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an,” Dalam
Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ed. Sahiron Syamsuddin.
Yogyakarta: Teras, 2007.
Mas’ulah, Siti. “Tradisi Pembacaan Tujuh Surat Pilihan dalam Ritual
Mitoni/ Tujuh Bulanan (Kajian Living Qur’an di Padukuhan Sembego,
Kec. Depok, Kab. Sleman)” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2016.
Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta:
Idea Press Yogyakarta, 2015.
Al-Naisabūrī, Abu al-Husain Muslim bin al-Ḥajjāj bin Muslim al-Qusayrī.
Jāmi‘ al- Shaḥīh li Muslim, juz 4. Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-Arabi.
Nasir, Muḥammad Fauzan. “Pembacaan Tujuh Surah Pilihan Al-Qur’an
Dalam Tradisi Mitoni (Kajian Living Al-Qur’an di Dusun Sumberjo,
Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten)” Skripsi S1.,
Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2016.
Naurah binti ‘Abdirrahmān, Ummu ‘Abdillāh. Wirid Ibu Hamil, terj.
Salafuddin Abu Sayyid. Solo: Pustaka Arafah, 2005.
Rafiq, Ahmad. “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study
of the Place of the Qur’an in a Non-ArAbīc Speaking Community.”
Disertasi S3., Universitas Temple Amerika Serikat, 2014.
125
Rahman, Syahrul. “LIVING QUR’AN: Studi Kasus Pembacaan al-
Ma’tsurat di Pesantren Khalid Bin Walid Pasir Pengaraian Kab. Rokan
Hulu” Jurnal Syahadah, vol. IV no.2, (Oktober 2016): 49.
Ramadhan, Fadhli. Dzikir Pagi dan Petang. Yogyakarta: Fillah Books,
2019.
Ratna, Nyoman Kutha. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2010.
RI, Kementrian Agama. Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid. Bandung:
Sygma, 2014.
Al-Rifā’I, Muḥammad Nasib. Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir, terj. Syihabuddin, jil. 1. Jakarta: Gema Insani, 1999.
Saman, K. Akbar. Do’a dan Dzikir untuk Ibu Hamil. Bandung: Ruang
Kata, 2012.
Sektioningsih, Muchibbah. “Adopsi Ajaran Islam Dalam Ritual Mitoni Di
Desa Ngagel Kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati” Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Shihab, M. Quraish. Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-
surah Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012.
--------. Al-Qur’an dan Maknanya. Tangerang: Lentera hati, 2010.
--------. Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir dan Do’a. Tangerang: Lentera
Hati, 2006.
Spradley, James P. Metode Etnografi; Penerjemah Misbah Zulfa
Elizabeth. Yoyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Surahmat. “Kritik Pemahaman Hadis Nabi Tentang Keutamaan Surat Al-
Waqi’ah”. Inovatif, vol.1, no.1 (2015): 79.
Al-Tamīmī, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Faḍl bin Bahrām bin ‘Abdul
Shamad al-Dārimī. Sunan al-Dārimī, juz 4. Riyadh: Dar al-Mughnī,
2000.
Thalhas, T.H. Tafsir Pase: Kajian Surah Al-Fātiḥah dan Surah-surah
dalam Juz ‘Amma: Paradigma Baru. Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-
Qur’an Pase, 2001.
126
Al-Tirmidzī, Abū ‘Isā Muhammad bin ‘Isā Ibn Saurah bin Mūsā bin
Ḍahhak al-Sulamī. Sunan al-Tirmidzī, juz 5. Beirut: Dar al-Gharb al-
Islami, 1998.
Widyosiswoyo, Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Bogor Selatan: Ghalia
Indonesia, 2001.
Yana, Ujang. “Pembacaan Tiga Surat Al-Qur’an dalam Tradisi Tujuh
Bulanan (Di Masyarakat Selandaka, Sumpiuh, Banyuwangi” Skripsi
S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Zainuddin, Muḥammad. “Upacara Mandi Hamil Tujuh Bulan Di Desa
Tabunganen Muara Kecamatan Tabunganen Kabupaten Barito Kuala”
Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2017.
Zuhri, Iwan. “Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Mitoni di
Padukuhan Pati Kalurahan Genjahan Kecamatan Ponjong Kabupaten
Gunung Kidul” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009.
WEB:
Asshidiqi, Hasbi. “Hukum Islam Acara Tujuh Bulanan, 2017.” Diakses,
23 Oktober, 2019.
https://www.kompasiana.com/hasbi_asshidiqi/58e17cbedb22bd2913
1b45fb/hukum-islam-acara-7-bulanan
Silmi Adawiyya, “Pentingnya Membaca Surat Maryam Bagi Ibu Hamil, 2019,”
Diakses, 02 Juni, 2020, https://tebuireng.online/pentingnya-membaca-
surat-maryam-bagi-ibu-hamil/
Dokumen:
Pemerintah Desa Keraya. “Profil Desa Keraya” 2018.
Wawancara:
Aidin, Nor. Ketua Pengajian Desa Pesisir. Diwawancari oleh Nunuk Rima
Aini, Keraya, 02 Desember 2019, Kalimantan Tengah.
Arbain. Sesepuh Desa. Diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 12
Desember 2019, Kalimantan Tengah.
Fadhli, Muhammad. (Partisipan) diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 19 September 2019, Kalimantan Tengah.
127
Irawan, Deby. Penduduk Desa Keraya. Diwawancarai oleh Nunuk Rima
Aini, Keraya, 25 Desember 2019, Kalimantan Tengah.
Juliani. Partisipan dan Pelaksana. Diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 26 November 2019, Kalimantan Tengah.
Kurnia. Bidan Kampung. Diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya,
19 September 2019, Kalimantan Tengah.
Kuswanti. Partisipan dan Pelaksana. Diwawancarai oleh Nunuk Rima
Aini, Keraya, 27 November2019, Kalimantan Tengah.
Masransyah. Pelaksana dan partisipan. Diwawancari oleh Nunuk Rima
Aini, Keraya, 19 September 2019, Kalimantan Tengah.
Mia. Pelaksana. Diwawancari oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 05
Desember 2019, Kalimantan Tengah.
Minah. Partisipan dan Pelaksana. Diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 26 November 2019, Kalimantan Tengah.
Mu’in, Abdul. Penduduk Desa Keraya. Diwawancarai oleh Nunuk Rima
Aini, Keraya, 25 Desember 2019, Kalimantan Tengah.
Mulyati, Sri. Bidan Kampung. Diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 28 November 2019, Kalimantan Tengah.
Sanariyah. Bidan Kampung. Diwawancari oleh Nunuk Rima Aini, Keraya,
23 November 2019, Kalimantan Tengah.
Syahdan. Pemimpin Bacaan. Diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini,
Keraya, 28 November 2019, Kalimanatan Tengah.
Syahwan. Partisipan. Diwawancarai oleh Nunuk Rima Aini, Keraya, 27
November 2019, Kalimantan Tengah.
128
129
Lampiran 1
SURAT IZIN PENELITIAN
130
Lampiran 2
PANDUAN WAWANCARA
A. Dengan Pemimpin Bacaan
1. Apakah Bapak pernah mengikuti atau memimpin pembacaan
dalam pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan?
2. Bagaimana sejarah tradisi mandi hamil tujuh bulan di Keraya?
3. Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan
mandi-mandi?
4. Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?
5. Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh
bulan?
6. Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan
tersebut?
7. Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?
8. Bagaimana cara pelaksanaannya?
9. Apa saja perlengkapan yang digunakan dalam mandi hamil tujuh
bulan?
10. Siapa saja yang terlibat dalam proses mandi hamil tujuh bulan
tersebut?
11. Apa saja surah yang dibaca dalam mandi hamil tujuh bulan di
Keraya?
12. Mengapa hanya surah-surah itu yang dibaca?
13. Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?
14. Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang
membacakan dan yang dibacakan?
15. Bagaimana praktik pembacaannya?
16. Apakah semua undangan ikut membacakan?
131
17. Apakah Bapak hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?
18. Apakah Bapak mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat
yang dibacakan?
19. Bagaimana Bapak memaknai al-Qur’an secara umum?
20. Apakah Bapak terbiasa membaca al-Qur’an?
21. Mengapa Bapak membaca al-Qur’an?
22. Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-
Qur’an?
B. Dengan Bidan Kampung
1. Bagaimana sejarah tradisi mandi hamil tujuh bulan di Keraya?
2. Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan
mandi-mandi?
3. Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?
4. Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh
bulan?
5. Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan
tersebut?
6. Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?
7. Bagaimana cara pelaksanaannya?
8. Apa persiapan yang dilakukan ketika akan melaksanakan mandi
hamil tujuh bulan?
9. Apa saja perlengkapan yang digunakan dalam mandi hamil tujuh
bulan?
10. Apakah ada makna tersendiri dari perlengkapan yang digunakan
tersebut?
11. Apa manfa’at atau tujuan dari diadakannya mandi hamil tujuh
bulan?
132
C. Dengan Partisipan dan Pelaksana
1. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti atau melaksanakan tradisi
mandi hamil tujuh bulan?
2. Bagaimana sejarah tradisi mandi hamil tujuh bulan di Keraya?
3. Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan
mandi-mandi?
4. Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?
5. Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh
bulan?
6. Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan
tersebut?
7. Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?
8. Bagaimana cara pelaksanaannya?
9. Apa saja perlengkapan yang digunakan dalam mandi hamil tujuh
bulan?
10. Apa saja surah yang dibacakan dalam mandi hamil tujuh bulan di
Keraya?
11. Mengapa hanya surah-surah itu yang dibaca?
12. Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi
tersebut?
13. Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang
membacakan dan yang dibacakan?
14. Bagaimana praktik pembacaannya?
15. Apakah semua undangan ikut membacakan?
16. Apakah Bapak/Ibu hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?
17. Apakah Bapak/Ibu mengerti dengan arti atau makna dari
surah/ayat yang dibacakan?
18. Bagaimana Bapak/Ibu memaknai al-Qur’an secara umum?
133
19. Apakah Bapak/Ibu terbiasa membaca al-Qur’an?
20. Mengapa Bapak/Ibu membaca al-Qur’an?
21. Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-
Qur’an?
D. Dengan Sesepuh kampung
1. Apakah Bapak pernah mengikuti pelaksanaan tradisi mandi hamil
tujuh bulan?
2. Bagaimana sejarah tradisi mandi hamil tujuh bulan di Keraya?
3. Apa saja surah yang dibacakan dalam mandi hamil tujuh bulan di
Keraya?
4. Mengapa hanya surah-surah itu yang dibaca?
5. Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?
6. Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang
membacakan dan yang dibacakan?
7. Bagaimana praktik pembacaannya?
8. Apakah semua undangan ikut membacakan?
9. Apakah Bapak hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?
10. Apakah Bapak mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat
yang dibacakan?
11. Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-
Qur’an?
E. Pertanyaan tambahan untuk informan yang fasih membaca al-
Quran
1. Menurut Bapak/Ibu, apakah bacaan al-Qur’an masyarakat desa
Keraya sudah baik atau belum baik?
2. Kesalahan apa yang sering Bapak/Ibu ketika masyarakat Desa
Keraya membaca al-Qur’an?
134
3. Kapan Bapak/Ibu mengetahui baik atau tidaknya bacaan al-Qur’an
tersebut?
135
Lampiran 3
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Syahdan
Umur : 51 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Sebagai : Pemimpin Bacaan
2. Nama : Masyransyah
Umur : 46 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Sebagai : Partisipan
3. Nama : Muḥammad Fadhli
Umur : 61 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Sebagai : Partisipan
4. Nama : Sanariyah
Umur : 54 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Sebagai : Bidan Kampung
5. Nama : Kurnia
Umur : 65 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
136
Sebagai : Bidan kampung
6. Nama : Syahwan, S.Pd.I
Umur : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Kepala Sekolah MTS Desa Keraya
Sebagai : Partisipan
7. Nama : Kuswanti
Umur : 38 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Guru
Sebagai : Partisipan / Pelaksana
8. Nama : Nor Aidin
Umur : 45 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Sebagai : Partisipan / Pelaksana
9. Nama : Juliani
Umur : 58 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pengajar TKA/TPA Desa Keraya
Sebagai : Partisipan / Pelaskana
10. Nama : Minah
Umur : 34 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Sebagai : Partisipan / Pelaksana
11. Nama : Sri Mulyati
137
Umur : 57 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Sebagai : Bidan Kampung
12. Nama : H. Arbain
Umur : 70 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Sebagai : Sesepuh Desa
13. Nama : Mia
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Sebagai : Pelaksana
14. Nama : Abdul Mu’in
Umur : 57 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Sebagai : Partisipan
15. Nama : Deby Irawan
Umur : 28 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Dosen
Sebagai : Partisipan
138
Lampiran 4
DOKUMENTASI
Kegiatan pembacaan al-Fātiḥah Ampat dan pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan
139
Wawancara dengan beberapa warga
140
141
Lampiran 5
TRANSKIP WAWANCARA
Identitas Informan 1
Nama : Bapak Syahdan
Umur : 51 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Sebagai : Pemimpin Bacaan
1. Pertanyaan:
“Apakah Bapak pernah mengikuti atau memimpin pembacaan dalam pelaksanaan
mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Ya, pernah.”
2. Pertanyaan: “Bagaimana sejarah atau awal mula adanya mandi hamil tujuh bulan di Desa
Keraya?”
Jawaban:
“Sejarahnya dari zaman dulu turun temurun dari leluhur kita dan dari kakek-kakek
kita.”
3. Pertanyaan:
“Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan mandi-mandi?”
Jawaban:
“Mungkin sejarahnya dari warisan orang tua zaman dulu.”
4. Pertanyaan:
“Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Misalnya seseorang itu memiliki rumah berarti kegiatan mandi-mandinya
dilaksanakan di rumahnya. Tetapi biasanya di halaman rumah dibuatkan tempat
untuk melaksanakan mandi-mandi. Tempat pemandian tersebut terbuat dari enam
batang kayu, lalu dikelilingi dengan benang, lalu terdapat daun-daunan seperti daun
kelapa atau mayang-mayangan yang digantung di setiap sudutnya. Kemudian
terdapat pohon kelapa dan pohon pisang yang juga diletakkan di sudut-sudut tempat
pemandian. Dindingnya ditutupi dengan kain, ada yang hanya sebagian ditutupi
dengan kain dan ada juga yang tidak. Kain tersebut hanya sebagai pelindung, kalau
benang mungkin memiliki sejarah kenapa digunakan untuk mengelilingi tempat
pemandian. Tetapi kita tidak mengetahui apa maknanya. Benangnya tersebut
berwana kuning, atau juga bisa menggunakan tali-talian. Mungkin barang-barang yang digunakan itu memiliki sejarahnya masing-masing mengapa harus digunakan di
dalam ritual tersebut, tetapi kita tidak mengetahuinya.”
5. Pertanyaan:
“Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Kalau sudah memasuki usia tujuh bulan kata orang tua zaman dulu, jangan ketika
awal bulan, ketika akhir bulan saja kata orang tua zaman dulu. Karena ada adabnya,
maka dari itu laksanakanlah mandi-mandi ketika akhir bulan. Akhir bulan tersebut
sekitar tanggal 16, 17, sampai dengan tanggal 20 dan seterusnya. Kata orang tua
142
zaman dulu terdapat perhitungan tersendri jika ingin melaksanakan mandi hamil
tujuh bulan. Jangan ketika awal bulan.”
6. Pertanyaan:
“Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban: “Iya mengikuti. Banyak warga yang menghadiri acara tersebut.”
7. Pertanyaan:
“Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?”
Jawaban: “Tidak ada, siapapun yang ingin hadir dipersilahkan hadir. Jika diundang maka dia
hadir, tapi jika tidak pun biasanya juga bisa ikut menyaksikan.”
8. Pertanyaan:
“Bagaimana proses atau langkah-langkah pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan di
Desa Keraya?”
Jawaban:
“Dari orang tua kita zaman dulu, ketika hendak melaksanakan mandi hamil tujuh
bulan harus mengumpulkan warga atau masyarakat desa. Ketika masyarakat sudah
berkumpul di rumah shahibul hajat, pengantin perempuan dan laki-laki pun duduk
bergandengan dan siap untuk melaksanakan mandi-mandi. Serta terdapat anak-anak
yang membawa lilin-lilin dan beras, serta kelapa. Sebelum kedua pengantin keluar
rumah, dibacakan rawi barzanji terlebih dahulu. Setelah pembacaan rawi barzanji
selesai, disambung membaca shalawat tiga kali, lalu berdiri membaca maulud barzanji. Setelah itu pengantin yang akan dimandikan keluar ke halaman rumah
sambil diiringi shalawat, dan ditaburi dengan beras kuning. Jadi mungkin dibacakan
sholawat ketika turun naiknya itu supaya mendapatkan keberkahan dan syafaat
Rasulullah. Setelah keluar rumah, barzanji masih terus dibaca sampai selesai,
mengiringi proses mandi-mandi di halaman rumah. Ketika mandi-mandi di halaman
sudah selesai dan baca barzanji pun sudah selesai, dilanjut dengan membaca do’a
barzanji. Lalu pengantin memasuki rumah sambil diiringi lagi dengan sholawat dan
taburan beras kuning. Setelah memasuki rumah keduanya duduk berdampingan, dan
di hadapan keduanya terdapat hidangan yang bermacam-macam. Begitulah adat dari
para leluhur kita dari dulu. Setelah itu barulah dibacakan do’a Hadarat atau do’a
Arwah Rasul dan do’a Selamat. Setelah itu barulah dihidangkan jamuan-jamuan dari
tuan rumah untuk para masyarakat yang hadir.”
9. Pertanyaan: “Apa saja perlengkapan yang digunakan dalam madi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Pertama yang harus disiapkan itu adalah mayang yang masih tertutup dan mayang
yang sudah terbuka, satu buah kelapa yang sudah dikupas untuk dibelah nanti,
setelah itu kelapa yang baru bertunas satu buah, dan satu buah lagi kelapa tapi saya
lupa namanya. Nah, lalu yang harus disiapkan adalah pohon kelapa dan pohon
pisang yang mana jika mandi-mandi sudah selesai dilakukan maka kedua pohon ini
harus ditanamkan. Hal ini sebagai tanda “Oh pohon ini adalah tanda aku ketika
mandi-mandi dulu.” Jika si anak nanti sudah lahir dan besar, biasanya ia diberi tahu
yang mana pohon kelapa yang pernah dipakai ketika pelaksaan mandi-mandi orang tuanya. Setelah itu terdapat pula air do’a barzanji yang sudah dibacakan. Do’a
barzanji tersebut dibacakan ke dalam air ketika sebelum acara dimulai untuk
dicampurkan ke dalam air pemandian pengantin. Ada juga yang dibacakan ketika
sudah selesai barzanji. Tetapi kebanyakan yang sudah dilakukan itu do’a barzanji
dibacakan ke dalam air sebelum acara dimulai. Jadi, do’a barzanji itu dibacakan
143
mengikuti petuah-petuah leluhur kita, yang kemungkinan ada kisah tersendiri
mengapa harus do’a barzanji yang dibacakan untuk air yang akan dicampurkan ke
dalam air yang digunakan untuk mandi-mandi.”
10. Pertanyaan:
“Siapa saja yang terlibat dalam proses mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban: “Warga atau masyarakat desa, orang yang memimpin pembacaan, ibu yang
mengandung dan suaminya, bidan kampung tiga orang dan anak-anak yang
membawa lilin-lilin.”
11. Pertanyaan:
“Adakah pembacaan al-Qur’an dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Ada, pertama-tama membaca surah al-Fātiḥah terlebih dahulu, kemudian membaca
surah al-Ikhlas tiga kali, surah al-Falaq satu kali, surah al-Nas satu kali, bisa juga
ditambah dengan surah al-Baqarah ayat 1-5, setelah itu baru membaca ayat Kursi
atau al-Baqarah ayat 255. Kemudian dapat ditambah dengan membaca ayat al-
Qur’an yang lain, tergantung permintaan dari shohibul hajat.”
12. Pertanyaan:
“Mengapa hanya surah-surah itu yang dibaca?”
Jawaban:
“Niatnya untuk penghormatan kepada Allah, agar apa yang kita niatkan ketika
melaksanakan acara ini sampai kepada Allah. Khususnya niat dari yang memiliki niat atau acara.”
13. Pertanyaan:
“Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban:
“Jika tertinggal, kita kan memulainya dari mengucapkan bismillah. Apapun
perbuatan kita harus menanamkan bismillah dan shalawat jangan sampai tertinggal.
Apalagi al-Fātiḥah Ampat jangan sampai tertinggal. Misalnya jika bismillah,
shalawat tertinggal ketika kita berdo’a maka istilah kasarnya do’a kita jadi tidak
sempurna. Kalau untuk masalah diterima atau tidaknya do’a kan kita tidak tahu.
Tetapi yang pasti do’a kita tidak sempurna. Ketika membaca al-Fātiḥah biasanya
diakhiri dengan kata “Aamiin”. Ketika kata itu diucapkan, maka disitulah Rasulullah
membenarkan al-Fātiḥah tersebut. Surah al-Ikhlas jika kita baca sebanyak tiga kali maka sama dengan membaca setengah dari al-Qur’an, iya kan? Adapun istilah al-
Fātiḥah Ampat itu ada yang mengatakan diambil dari dalam kitab, tetapi saya tidak
tahu nama kitab tersebut. Intinya dari guru ke guru seperti itulah istilah yang
diajarkan, yaitu al-Fātiḥah Ampat. Kalau untuk sejarah mengapa disebut dengan
istilah tersebut, saya kurang tau pasti.”
14. Pertanyaan:
“Apa manfaat dan tujuan dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang
membacakan dan yang dibacakan?”
Jawaban:
“Sejarah dari leluhurnya memang seperti itu, agar mudah melahirkan, diberi
keselamatan dan kesehatan untuk ibu dan calon anaknya. Tergantung dari niat atau keinginan tuan rumahnya itu.”
15. Pertanyaan:
“Bagaimana praktik pembacaannya?”
Jawaban:
“Yang membaca terlebih dahulu adalah pemimpin bacaannya, kemudian baru diikuti
oleh warga yang hadir.”
144
16. Pertanyaan:
“Apakah semua undangan ikut membacakan?”
Jawaban:
“Pokoknya siapapun yang mendengar pasti ikut membaca. Karena ada pemimpin
bacaannya kan? Jadi, ya siapapun yang mendengar pemimpin bacaan mulai
membacakan maka dia pasti juga mengikuti. Akan tetapi, kebanyakan yang
membacakan adalah bapak-bapak, sedangkan ibu-ibu biasanya di dapur atau di
halaman rumah.”
17. Pertanyaan:
“Apakah Bapak hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban: “Iya, hafal.”
18. Pertanyaan:
“Apakah Bapak mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Sebenarnya saya kurang faham, hanya saja seperti yang saya jelaskan tadi ketika
ingin berdo’a al-Fātiḥah Ampat jangan sampai ketingggalan.”
19. Pertanyaan:
“Bagaimana Bapak memaknai al-Qur’an secara umum?”
Jawaban:
“Kitab suci umat Islam. Fungsinya untuk Imam, maksudnya sebagai petunjuk
kehidupan kita.”
20. Pertanyaan:
“Apakah Bapak terbiasa membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Terbiasa.”
21. Pertanyaan:
“Mengapa Bapak membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Karena memang seharusnya al-Qur’an setiap hari harus dibaca. Sebenarnya kan
seperti itu. Jadi, saya memang membaca al-Qur’an karena menjalankan perintah
tersebut. Meskipun artinya saya tidak begitu mengerti, yang penting kan tajwidnya
dan panjang pendek bacaannya bagus, iya kan. Mungkin sebagian orang memang
membaca al-Qur’an untuk mendapatkan pahala, tetapi dapat pahala atau tidaknya kan itu urusan Allah, jadi yang penting baca saja al-Qur’annya. Apalagi al-Qur’an itu
kan yang kita ketahui setiap satu hurufnya jika dibaca ada nilai kebaikannya.”
22. Pertanyaan:
“Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-Qur’an?”
Jawaban:
“Sebenarnya dalam kegiatan apapun al-Qur’an itu harus dibaca, mislanya kalau di
tempat kita ini dalam acara Tasmiyahan, di dalamnya terdapat pembacaan al-Qur’an
juga.”
Identitas Informan 2
Nama : Bapak Masransyah
Umur : 46 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Sebagai : Partisipan
1. Pertanyaan:
145
“Apakah Bapak pernah mengikuti atau menghadiri pelaksanaan mandi hamil tujuh
bulan?”
Jawaban:
“Pernah dan biasa mengikuti.”
2. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah atau awal mula adanya mandi hamil tujuh bulan di Desa
Keraya?”
Jawaban:
“Tradisi ini kan berasal dari nenek moyang kita yang dulunya beragama Hindu.
Setelah Islam masuk, adat istiadat itu tetap ada atau berkembang. Hanya saja
sekarang di dalam adat istiadat ini terdapat pembacaan al-Qur’an, pembacaan rawi, dan do’a-do’a Islam. Berbeda dengan dulu yang dibacakan itu mantra-mantra. Akan
tetapi terdapat salah satu bagian dari adat istiadat ini yang tidak saya sukai, yaitu
ketika memberikan sesajen atau makanan ke laut. Kenapa harus memberikan sesajen
atau makanan ke laut? Hal tersebut terkesan seperti mengundang sesuatu atau
makhluk yang lain. Seandainya diberikan atau disedekahkan ke anak yatim piatu,
pasti ada manfaatnya. Jadi jika kita mengadakan tradisi tersebut, aqidah kita harus
kuat, jangan sampai muncul yang dua dari yang satu (Allah). Hal ini kembali juga
kepada niat dari masing-masing tuan rumah yang melaksanakan tradisi atau adat
istiadat tersebut.”
3. Pertanyaan:
“Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan mandi-mandi?”
Jawaban:
“Kalau mandi-mandi tujuh bulan tersebut sesuai dengan tradisi kita orang pesisir
pantai. Jadi, tradisi budaya kita jika sudah memasuki usia tujuh bulan kehamilan
memang diharuskan melaksanakan mandi-mandi. Jadi memang sudah mengikuti dan
melanjutkan tradisi yang sudah ada saja alasannya.”
4. Pertanyaan:
“Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Di depan rumah ataupun di samping rumah sebelah kanan kalau memang ada ruang
atau halaman untuk melaksanakan tradisi mandi-mandi tersebut. Lalu dibuat
semacam tempat yang dikelilingi dengan pancang atau kayu yang dipasang menjadi
empat penjuru, setelah itu diikat dengan tali-tali di sekelilingnya, setelah itu ditutupi dengan kain kuning. Kain kuning tersebut semacam lambang dari suatu kecerahan,
dengan harapan supaya pengantin yang melaksanakan mandi-mandi memiliki
kehidupan yang cerah secerah kain kuning tersebut. Tradisinya dari dulu memang
seperti itu. Biasanya mandi-mandi tersebut dilaksanakan di rumah pengantin
perempuannya.”
5. Pertanyaan:
“Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Yang jelas ketika usia kehamilan sudah memasuki tujuh bulan, maka dilaksanakan
mandi-mandi. Nah, kemungkinan kalau tradisi kita disini menyesuaikan dengan hari
apa yang baik, bulan apa yang baik untuk melaksanakan mandi-mandi tersebut. Tetapi semua hari itu sebenarnya baik. Hanya saja pasti terdapat hari-hari yang lebih
baik untuk melaksanakannya.”
6. Pertanyaan:
“Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
146
“Tergantung, jika memang niat dari yang punya acara mengundang seluruh keluarga
maka lebih baik lagi. Intinya yang diundang pertama itu keluarga, kalau memang ada
kerabat atau sahabat kita yang lain, kalau mau diundang ya kita undang, begitu.
Lebih bagus juga kan kalau seperti itu.”
7. Pertanyaan:
“Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?”
Jawaban:
“Tidak ada.”
8. Pertanyaan:
“Bagaimana cara pelaksanaannya?”
Jawaban: “Coba tanyakan dengan nini Anjang Sanar saja kalau mengenai pelaksanaan mandi-
mandinya beliau lebih tahu.”
9. Pertanyaan:
“Mengapa hanya Al-Fātiḥah Ampat yang dibaca?
Jawaban:
“Pertama kita harus membaca surah al-Fātiḥah, bertawasul dulu. Bertawassul itu
artinya kita meminta syafaatnya Nabi. Jika yang kita harapkan keberkahan dan
keselamatan ya memang harus dibacakan seperti itu.”
10. Pertanyaan:
“Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban: “Saya rasa jika tidak dibaca, mungkin manfaatnya tidak ada. Kemungkinan bisa
mudharat yang akan kita dapatkan. Letak kemudharatannya pada bentuk apa atau
ibaratnya seperti membuat hidup kita susah senang, hal tersebut diri kita sendiri yang
akan merasakannya nanti.”
11. Pertanyaan:
“Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang membacakan dan
yang dibacakan?”
Jawaban:
“Tujuannya untuk ibadah, mencari keberkahan karena di dalam al-Qur’an terdapat
banyak keberkahan. Kemudian untuk kebaikan ibu dan anak yang dikandung, serta
supaya diberikan keturunan-keturunan yang baik.”
12. Pertanyaan: “Bagaimana praktik pembacaannya?”
Jawaban:
“Adapun yang pertama memulai adalah pemimpin bacaannya, baru kemudian diikuti
oleh para jama’ah.”
13. Pertanyaan:
“Apakah semua undangan ikut membacakan?”
Jawaban:
“Biasanya laki-laki saja. Sedangkan ibu-ibu seringnya duduk di dapur, tidak di ruang
tamu. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk ikut membacakan juga.”
14. Pertanyaan:
“Apakah ada syarat tertentu untuk menjadi pemimpin bacaan?”
Jawaban:
“Yang jelas kan orang yang paham dengan agama dan mengerti maksud dan tujuan
dari acara atau niat dari tuan rumah tersebur.”
15. Pertanyaan:
“Apakah Bapak hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
147
“Hafal, karena surahnya pendek.”
16. Pertanyaan:
“Apakah Bapak mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Harusnya kita memang harus memahami makna atau arti dari al-Fātiḥah Ampat
yang dibacakan tersebut. Pada dasarnya semua surah-surah tersebut dimaksudkan
untuk mencari keberkahan. Kalau surah al-Ikhlas tentang ketauhidan, dengan adanya
ketauhidan tersebut mungkin harapannya supaya keturunan-keturunannya menjadi
lebih baik.”
17. Pertanyaan:
“Bagaimana Bapak memaknai al-Qur’an secara umum?”
Jawaban:
“Al-Qur’an itu kitab Allah. Wajib kita mempelajari dan mengetahui isi di dalamnya.
Suatu kewajiban bagi kita seorang Muslimuntuk mempelajari dan mengetahui
maksud dan tujuannya.”
18. Pertanyaan:
“Apakah Bapak terbiasa membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Terbiasa.”
19. Pertanyaan:
“Mengapa Bapak membaca al-Qur’an?”
Jawaban: “Pertama, kita membaca al-Qur’an untuk ketenangan hati dan jiwa, kemudian untuk
memotivasi diri kita untuk menjadikan diri kita lebih baik.”
20. Pertanyaan:
“Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-Qur’an?”
Jawaban:
“Setelah usia kehamilan sembilan bulan sepuluh hari, maka lahirlah seorang anak.
Setelah anak tersebut lahir terdapat pembacaan al-Qur’an juga. Dibacakan surah
Yūsuf jika anaknya laki-laki, jika anaknya perempuan maka dibacakan surah
Maryam. Surah an-Nisa pun baik juga untuk dibacakan. Dengan harapan jika
anaknya laki-laki, tingkah lakunya kelak seperti Nabi Yūsuf. Jika anaknya
perempuan diharapkan perilakunya kelak seperti Siti Maryam. Dalam acara
Tasmiyahan juga ada pembacaan al-Qur’an. Ketika pengajian biasanya dibacakan surah Ali Imran, di dalamnya semacam diceritakan tentang keluarga Imran, tentang
masalah kesholehan, masalah ketauhidan, ketaqwaan, semuanya ada disitu. Lalu
biasanya tradisi kita disini sebelum mengadakan pernikahan pasti mengadakan
khataman al-Qur’an terlebih dahulu atau batamat.”
21. Pertanyaan:
“Menurut Bapak, apakah bacaan al-Qur’an masyarakat Desa Keraya sudah baik atau
belum baik”?
Jawaban:
“Yang baik ada, hanya saja perlu adanya pembinaan lagi yang lebih baik. Kalau
seperti santri TPA yang dididik oleh guru, bacaannya masih memenuhi standar.
Kalau bapak-bapak atau ibu-ibunya kebanyakan bisa membaca al-Qur’an tetapi harus lebih ditingkatkan lagi.”
22. Pertanyaan:
“Bagaimana kriteria bacaan al-Qur’an yang sudah baik dan belum baik menurut
Bapak?”
Jawaban:
148
“Kalau yang sudah baik pastinya pertama-tama harus paham makharijul huruf-nya,
bisa membedakan yang mana alif dan yang mana ba, atau yang mana alif dan yang
mana hamzah, mereka harus paham itu. Setelah mengenal makharijul huruf, ilmu
tajwidnya juga harus paham, hukum-hukum bacaannya. Jika kita paham itu semua
maka otomatis memudahkan kita ketika membaca al-Qur’an. Kan seperti itu. Nah,
kalau kesalahan yang banyak terjadi ketika membaca al-Qur’an di desa kita ini
adalah di makharijul huruf-nya, dan tajwidnya.”
23. Pertanyaan: “Kapan Bapak mengetahui baik atau tidaknya bacaan al-Qur’an tersebut?”
Jawaban:
“Biasanya setiap kegiatan pengajian anak yang baru dilahirkan, disitulah saya mendengar banyak yang kurang memahami bacaan. Ketika tadarusan juga saya
sering mendengar kurang baik bacaannya.”
Identitas Informan 3
Nama : Bapak Muḥammad Fadhli Umur : 61 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Sebagai : Partisipan
1. Pertanyaan:
“Pernahkah anda mengikuti pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan di Desa Keraya?
Jawaban:
“Pernah.”
2. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah atau awal mula adanya mandi hamil tujuh bulan di Desa
Keraya?”
Jawaban:
“Tradisi ini turun menurun dari nenek, datuk kita yang dulu. Hanya saja tradisi
mandi hamil disini khusus untuk ibu yang sudah mengandung selama tujuh bulan,
berbeda dengan orang Jawa yang mandi hamilnya dari tiga bulan, empat bulan, bahkan lima bulan pun ada.”
3. Pertanyaan:
“Adakah pembacaan al-Qur’an dalam tradisi mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Ada, kata orang kita zaman dulu disebut dengan Kepala Do’a, yaitu al-Fātiḥah, al-
Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas.”
4. Pertanyaan:
“Apa manfaat dan tujuan dari pembacaan surah-surah tersebut?”
Jawaban:
“Kita niatkan untuk bayi dan pengantin atau kedua calon orang tuanya. Hal ini sudah
menjadi tradisi kita. Apabila tidak kita laksanakan, maka akan timbul permasalahan atau kejadian-kejadian yang tidak kita inginkan.”
5. Pertanyaan:
“Bisakah anda membacakan ayat al-Qur’an yang digunakan dalam salah satu
rangkaian dari tradisi mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Bisa.”
149
Identitas Informan 4
Nama : Ibu Sanariyah
Umur : 54 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Sebagai : Bidan Kampung
1. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah mandi hamil tujuh bulan di Desa Keraya?”
Jawaban:
“Kita hanya mengikuti orang tua zaman dulu, nenek kakek kita zaman dulu, tidak tau
pasti seperti apa awal adanya mandi hamil tujuh bulan ini.”
2. Pertanyaan:
“Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan mandi-mandi?”
Jawaban:
“Tradisi orang zaman dahulu memang seperti itu. Tetapi biasanya ketika usia kehamilan tujuh bulan itu banyak gangguan, maka harus dimandikan.”
3. Pertanyaan:
“Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Biasanya di rumah pengantin perempuan, tapi boleh di tempat pengantin laki-laki,
asalkan keturunannya (Nenek moyang) dibawa.”
4. Pertanyaan:
“Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Kalau sudah memasuki bulan ketujuh kehamilan, harus ketika akhir bulan, tepatnya
tanggal 17 baru bisa dilaksanakan mandi hamil tujuh bulan. Tidak boleh ketika awal bulan.”
5. Pertanyaan:
“Apakah semua warga mengikuti mandi-mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Semua warga pasti diundang jika ingin mengadakan mandi hamil tujuh bulan.”
6. Pertanyaan:
“Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?”
Jawaban:
“Tidak, semua boleh hadir.”
7. Pertanyaan:
“Bagaimana tahapan-tahapan pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban: “Yang harus disiapkan adalah kue empat puluh macam dalam dua tempat besar,
lengkap dengan pisang, juga nasi kuning yang di tengah-tengahnya diletakkan telur,
dan diletakkan di tengah rumah. Bentangkan kasur untuk tempat duduk kedua
pengantin. Lalu terdapat beras dan lilin di dalam tujuh buah gelas, perintahkan anak-
anak tujuh orang yang berumur tujuh tahun untuk membawa gelas tersebut sambil
mengiringi pengantin yang akan turun ke halaman rumah untuk mandi-mandi.
Kemudian disusul dengan bidan kampung sambil membawa mayang, dua buah
kelapa yang muda dan kecil, dan satu buah kelapa yang tua sambil digendong
sebagai lambang dari anaknya, sambil membawa payung, dan membawa keranjang
untuk tempat baju ganti. Semuanya keluar ke halaman rumah sambil mengelilingi
tempat pemandian sebanyak tiga kali. Tempat pemandiannya digantungi bunga di setiap penjurunya. Setelah berkeliling sebanyak tiga kali, kedua pengantin duduk
150
berdampingan, barulah bidan kampung membelah kelapa yang dibawa tersebut.
Kemudian kelapa disentuhkan ke perut si ibu yang mengandung sambil dihitung
sebanyak tujuh kali, barulah kemudian dilemparkan ke tanah. Jika kedua kelapa
terlentang maka berarti anaknya perempuan, dan jika kedua kelapa tertutup maka
berarti anaknya adalah laki-laki. Kelapa dilemparkan secara bergiliran oleh kepala
bidan kampung dan pengiring bidan kampung sebanyak dua orang. Jadi, bidan
kampung ada tiga orang, satu sebagai kepala bidan kampung dan dua orang lagi
sebagai pengiringya. Setelah itu pengantinnya dikelilingi oleh mayang, kemudian
barulah bidan kampung menyemburkan air do’a yang dibacakan oleh masyarakat di
rumah pengantin sebanyak tiga kali. Setelah itu mayang dipukulkan lagi kepada
pengantin secara pelan sebanyak tiga kali, kemudian barulah mayang dipukulkan ke kendi yang di atasnya terdapat kelapa sebanyak tiga kali. Lalu terdapat benang
kuning yang panjang dibentangkan di depan kedua pengantin, kemudian kedua
pengantin melangkahkan kakinya melewati benang tersebut. Jika pengantin
perempuan melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu, maka pengantin laki-laki juga
melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu, begitu pula sebaliknya. Setelah benang
tersebut dilewati oleh kedua pengantin, benang tersebut diangkat ke atas
mengelilingi tubuh kedua pengantin, setelah itu diletakkan kembali di depan
keduanya. Hal tersebut dilakukan sebanyak tiga kali secara berturut-turut. Setelah itu
pengantin diminumkan air do’a melalui benang tersebut, yang mana tetesan air dari
benang itulah yang diminum oleh pengantin. Adapun tujuan dari melewati atau
melangkahi benang tersebut adalah agar si ibu melahirkan dengan selamat. Setelah itu pengantin pun mandi. Setelah selesai mandi, pengantin mengganti pakaian
mereka di tempat pemandian tersebut, dan masuk ke dalam rumah. Ketika pengantin
sudah masuk ke dalam rumah, kedua pengantin duduk bersebelahan dan memakan
kue di dalam dua tempat besar yang telah disediakan di depan mereka. Mereka tidak
memakan semua kue tersebut, melainkan hanya boleh mencicipi satu persatu dari
empat puluh macam kue tersebut. Setelah itu barulah mengadu burung. Setelah
mengadu burung, ustadz atau tokoh agama membacakan do’a dan diikuti oleh
masyarakat yang hadir. Setelah itu masyarakat menikmati hidangan yang disediakan
oleh tuan rumah. Terdapat satu hal yang tidak boleh dilakukan oleh pengantin yaitu
memakan lagi kue-kue empat puluh macam yang disebutkan di atas. Karena ketika
melahirkan nanti calon ibu akan merasakan kesakitan yang luar biasa. Hal ini sudah
terjadi dengan diri saya sendiri. Ketika itu bidan kampung memberitahu kepada saya agar jangan memakan kue lagi, namun pada saat itu ada seorang anak kecil yang
ingin meminta kue tersebut, lalu saya memberikan kue yang diinginkannya, akan
tetapi saya pun juga ikut memakan kuenya lagi, padahal bidan kampung sudah
memberitahu saya agar tidak memakannya lagi. Karena kejadian itu, saya merasa
sangat kesakitan ketika melahirkan anak pertama. Kalau di zaman sekarang kan
sudah ada sesar, kalau zaman dulu belum ada karena tidak ada dokter yang bisa. Jadi
ketika saya melahirkan rasanya sakit sekali.”
8. Pertanyaan:
“Apa persiapan yang dilakukan ketika akan melaksanakan mandi hamil tujuh
bulan”?
Jawaban: “Bermacam-macam yang harus disiapkan, diantaranya kue-kue, lilin untuk dibawa
oleh anak-anak, perlengkapan untuk mandi-mandi, membuat tempat pemandian
untuk kedua pengantin, membuat jamuan untuk tamu undangan, menyiapkan segala
sesuatu untuk diberikan ke laut dan ke darat, dan yang paling penting adalah kedua
pengantin sudah siap memakai kain untuk mandi-mandi.”
9. Pertanyaan:
151
“Apa saja perlengkapan yang digunakan dalam mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Perlengkapan sebelum mandi itu kasur untuk pengantin duduk, jangan lupa dua
burung-burungan yang terbuat dari daun benipah dan air semangkuk, kue empat
puluh macam dalam dua tempat besar, lengkap dengan pisang, juga nasi kuning yang
di tengah-tengahnya diletakkan telur, kue pamali juga seperti cucur, cincin, nasi
kuning, dan bingka tidak boleh tertinggal, diletakkan di tengah rumah. Sisanya
beragam kue-kue lainnya. Pencokan juga harus ada, yang isinya bermacam-macam
buah, diletakkan di dalam tempat yang besar juga. Kalau untuk mandi-mandinya,
sediakan air di dalam dua tempat yang besar untuk pemandiannya, di dalam air itu
ada bunga, terus juga siapkan air do’a barzanji, dan air keturunan. Lalu beras dan lilin dalam tujuh gelas, satu mayang kelapa yang masih tertutup, benang kuning, dua
buah kelapa yang muda dan kecil, dan satu buah kelapa yang tua sambil digendong
untuk anaknya, payung, keranjang untuk tempat baju ganti, dan baju ganti untuk
pengantin, serta telur ayam kampung untuk dipasangkan di atas tempat pemandian.
Siapkan juga dua buah kursi untuk tempat duduk pengantin. Kemudian untuk
membuat tempat pemandiannya, sediakan empat buah kayu untuk membuat tiang
pemandian, tujuh buah kain panjang, dan kain untuk membuat dinding pemandian,
kembang ayunan, serta lilipan yang terbuat dari daun benipah. Kalau untuk
pemberian, sediakan satu telur ayam kampung dalam tempurung kelapa yang
beralaskan tiga buah daun keladi, untuk pemberian ke laut. Siapkan daun pucuk yang
sudah dibentuk menjadi segi empat, lalu diisi dengan satu telur ayam kampung dan sekepal nasi, untuk pemberian ke darat.”
10. Pertanyaan:
“Apakah ada makna tersendiri dari perlengkapan yang digunakan tersebut”?
Jawaban:
“Kalau kue pamali memang tidak boleh tertinggal, karena kalau tertinggal ditakutkan
ada kejadian yang tidak baik. Makanya kue itu dinamakan kue pamali. Kalau
mayang yang masih tertutup di dalam tempatnya itu nanti digunakan untuk
menghitung waktu melahirkan. Kalau mayang tersebut sudah kering, berarti waktu
melahirkan sudah dekat. Buah kelapa muda yang sudah dikupas itu untuk melihat
apakah anaknya perempuan atau laki nantinya ketika dibelah dan dilemparkan.
Apalagi ketika pemberian, segala sesuatu yang sudah disiapkan harus diberikan
untuk penghormatan kepada yang ada di laut dan yang ada di darat, kalau tidak diberikan nanti ditakutkan ada yang mengganggu bayi yang ada di dalam kandungan
dan ibu yang mengandung. Kalau air do’a barzanji sebagai simbol permohonan
kepada Allah SWTuntuk keselamatan ibu dan anaknya. Sedangkan perlengkapan
yang lain itu memang disuruh oleh orang tua zaman dulu, saya tidak tau lagi apa
maknanya.”
11. Pertanyaan:
“Apa manfaat atau tujuan dari mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Ya itu tadi manfaatnya agar pengantin selamat melahirkan, dan tidak sakit ketika
melahirkan.”
Identitas Informan 5 Nama : Ibu Kurnia
Umur : 65 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Bidan Kampung
Sebagai : Bidan Kampung
152
1. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah atau awal mula adanya mandi hamil tujuh bulan di Desa
Keraya?”
Jawaban:
“Tradisi itu adalah kebiasaan atau turun menurun dari nenek moyang, leluhur kita.
Seperti itu.”
2. Pertanyaan:
“Apa saja yang harus disiapkan sebelum melaksanakan tradisi mandi hamil tujuh
bulan di Desa Keraya dan bagaimana tata cara pelaksanaannya?”
Jawaban:
“Tepung umbang, tepung pulut ketupat, nasi manis, dodol, dan kuenya dua tempat besar yang isinya bermacam-macam kue. Terdapat kue cucur, nasi manis, kue lapis,
dan tujuh macam warna kue cucur. Memandikan pengantin menggunakan mayang,
gayung, bunga, sambil membaca bacaan. Bacaan yang dibaca ada yang terdiri dari
ayat-ayat al-Qur’an. Pertama membaca al-Fātiḥah, kemudian membaca al-Ikhlas
sebanyak tiga kali. Barulah air dari mayang dipercikkan ke pengantin.”
3. Pertanyaan:
“Apa manfaat atau tujuan dari mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Agar si ibu melahirkan dengan selamat dan sehat.”
Identitas Informan 6
Nama : Syahwan, S.Pd.I
Umur : 42 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Kepala Sekolah MTS
Sebagai : Partisipan
1. Pertanyaan:
“Apakah Bapak pernah mengikuti pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Pernah melihat dan mengikuti.”
2. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah mandi hamil tujuh bulan di Desa Keraya?”
Jawaban:
“Nah, kalau mengenai sejarahnya, kemungkinan besar saya tidak mengetahui,
mengapa awalnya ada mandi-mandi tersebut. Kita hanya mengikuti adat istiadat dari
nenek moyang kita saja. Termasuk memecahkan telur, memecahkan kelapa, saya
tidak tahu mengenai masalah tersebut.”
3. Pertanyaan:
“Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan mandi-mandi?”
Jawaban:
“Kalau di dalam proses pembentukan ruh, ketika ruh ditiupkan ke dalam janin kan ketika janin berumur empat puluh hari, Iya kan? Nah, pada umur tujuh bulan bayi itu
sudah berbentuk lengkap anggota tubuhnya diberikan oleh Allah. Disitulah hadis
menekankan dan menganjurkan hendaklah kamu memperbanyak do’a dan
bersedekah ketika kehamilanmu berumur tujuh bulan. Supaya apa? Supaya kelak
ketika anak itu lahir menjadi anak yang sholeh sholehah, itu tujuannya. Nah,
hubungannya dengan mandi-mandi inilah yang perlu kita cari bersama. Apa
korelasinya atau kaitannya dengan hadis tersebut. Adapun yang bisa menjawab itu
semua adalah bidan kampungnya. Bahkan hanya kehamilan pertama yang dimandi-
153
mandi, tapi kehamilan kedua dan ketiga tidak. Kalau kehamilan ketiga mungkin
berdoa saja, tapi tidak seramai kehamilan pertama. Hal tersebut yang bisa menjawab
adalah bidan kampung atau leluhur desa ini. Kalau seperti kita yang masih muda ini,
tidak ada bayangan sama sekali.”
4. Pertanyaan:
“Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Kalau yang sering dilakukan di desa ini biasanya di rumahnya masing-masing. Ada
yang melaksanakan di halaman rumahnya atau di samping rumah. Ada juga yang
melaksanakan di teras dapur belakang rumahnya yang agak tertutup. Pertama,
tergantung kepada bidan kampung inginnya dimana. Kedua, tergantung pengantin yang akan mandi-mandi. Jika dia mengerti tentang hukum adat dan agama, pasti bisa
menyesuaikan agar tidak terlalu banyak orang yang melihat ketika mandi-mandi
berlangsung. Agar auratnya tidak terlihat banyak orang. Jadi, bagaimana caranya
adat istiadat tetap dilaksanakan, tetapi hukum agama tidak dikesampingkan juga.”
5. Pertanyaan:
“Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Kebanyakan masyarakat desa memiliki waktu khusus untuk melaksanakan mandi-
mandi. Memilih hari, jam, kata orang mencari pelangkah. Mencari pelangkah itu
berarti mereka membuka penukilan orang tua terdahulu. Biasanya mencari atau
melihat di bulan Arabnya, tanggalnya, dan harinya. Tidak sembarangan. Intinya menurut keyakinan mereka tidak ada salahnya memilih hari, jam yang bagus. Pada
dasarnya tetap memohon kepada yang Kuasa juga, kepada Allah ta’ala. Rangkaian
adat yang harus dilewati memang harus seperti itu. Begitu kira-kira yang saya tahu.
Termasuk pernikahan, seperti itu juga. Sebenarnya Allah menciptakan hari pasti baik
semuanya, hanya saja di dalam hadis Nabi banyak dikatakan bahwa bulan itu ada
yang dimuliakan. Empat bulan yang dimuliakan Rasulullah ialah Rajab, Sya’ban,
Ramadhan dan Syawal.”
6. Pertanyaan:
“Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Tidak, tidak harus. Yang utama itu pastinya yang diundang. Tapi seperti kalangan
tokoh-tokoh, sesepuh-sesepuh desa pasti datang. Karena dia yang memimpin acara tersebut, termasuk memimpin do’a dan sebagainya. Jika orang umum ingin hadir
berarti hadir, kalau tidak berarti tidak. Tapi mereka biasanya hadir bukan karena
acara mandi-mandi tersebut, justru untuk menghormati undangan tetangga, dan ikut
mendoakan. Itulah yang utamanya.”
7. Pertanyaan:
“Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?”
Jawaban:
“Tidak ada, terserah tuan rumah saja, siapa yang mau diundang.”
8. Pertanyaan:
“Bagaimana cara pelaksanaannya?”
Jawaban: “Yang saya tau biasanya ketika mandi-mandi sudah selesai, dilanjutkan dengan
membaca barzanji atau membaca asyraqal. Kemudian membaca syair-syair shalawat
Nabi, shalawat nariyah, seperti itu. Yang pasti tidak ketinggalan di desa kita ini
adalah memabaca asyraqal atau barzanji tersebut. Kemudian terakhir ditutup dengan
do’a halarat dan do’a selamat. Tetapi sebelum membaca barzanji pasti terlebih
dahulu membaca al-Fātiḥah Ampat. Jadi, terlepas dari lantunan-lantunan syair-syair
154
habsyi, asyraqal, barzanji, kemudian sebagian ayat-ayat suci al-Qur’an itu
dibacakan, seperti surah al-Fātiḥah Ampat tersebut pasti dibacakan.”
9. Pertanyaan:
“Apa saja surah yang dibaca dalam mandi hamil tujuh bulan di Desa Keraya?”
Jawaban:
“Kalau kata orang sini membaca al-Fātiḥah Ampat, yaitu surah al-Fātiḥah, al-Ikhlas,
al-Falaq, dan al-Nas. Itu saja yang dibaca di awal sebelum membaca asyraqal.”
10. Pertanyaan:
“Mengapa hanya surah-surah tersebut yang dibaca?”
Jawaban:
“Al-Fātiḥah Ampat itu hampir setiap acara atau hajatan, nikahan, walimatul khitan, tasmiyahan, mandi-mandi itu tidak pernah ditinggal. Kenapa? Al-Fātiḥah itu kan
artinya pembuka, iya kan? Apabila kita membaca al-Fātiḥah maka nilai pahalanya
sama ini dengan seperti kita membaca keseluruhan al-Qur’an. Bukan berarti kita
jadinya tidak membaca al-Qur’an, hanya baca al-Fātiḥah saja. Hanya saja
perbandingannya dan saking utamanya surah al-Fātiḥah ini. Padahal surah pertama
yang turun bukan surah al-Fātiḥah, tapi Iqra’ surah al-‘Alaq. Tapi begitu tingginya
kedudukan surah al-Fātiḥah ari keseluruhan al-Qur’an hingga terdapat kajian
mengenai rahasia surah al-Fātiḥah. Di dalam surah al-Fātiḥah itu terdapat tujuh
macam huruf hijaiyah yang tidak ada, dan tujuh huruf tersebut adalah nama-nama di
antara nama neraka. Adakah huruf Kho’ dalam surah al-Fātiḥah? Tidak ada kan.
Adakah huruf Tsa’ dalam surah tersebut? Tidak ada juga. Nama neraka salah satunya apa? Tsaqor. Nah, itulah salah satu contoh dari rahasia al-Fātiḥah. Makanya al-
Fātiḥah tersebut sangat istimewa selalu dibaca dalam setiap kegiatan terutama
hajatan. Al-Fātiḥah kalau tidak kita baca dalam sholat, sah tidak? Haaa tidak kan.
Itulah contoh betapa pentingnya surah al-Fātiḥah. Kemudian surah yang lain yang
mengiringi surah al-Fātiḥah, surah al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas. Kedua surah ini
juga disebut dengan al-Mu’awwizatain. Barang siapa membaca al-Ikhlas sebanyak
satu kali, disebutkan dalam hadis Nabi, maka ia seperti membaca sepertiga al-
Qur’an. Apabila dibaca sebanyak tiga kali, lima kali, dan seterusnya maka seperti
mengkhatamkan al-Qur’an. Kenapa? Nah, kedudukan surah al-Ikhlas lebih dahsyat
lagi. Meskipun pendek ayatnya, karena al-Ikhlas berhubungan dengan tauhid,
keimanan seseorang, ke-Esaan Tuhan. Nah, makanya setiap do’a dan acara itu
dibacakan al-Fātiḥah Ampat tadi. Surah yang kedua juga tidak kalah pentingnya. Karena dalam penjelasannya surah al-Falaq dan surah al-Nas itu berhubungan
dengan kejahatan jin, kejahatan dengki, dan manusia. Bukankah golongan yang
diciptakan Allah itu yang jahat ada dari kalangan jin dan manusia. Makanya surah-
surah itu penting sekali untuk dibacakan.”
11. Pertanyaan:
“Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban:
“Kalau tidak dibaca pun sebenarnya tidak ada yang mewajibkan membaca surah-
surah tersebut. Di acara mandi-mandi ini pun juga tidak ada. Tetapi karena
kedudukannya tersebut yang menyebabkan orang-orang membacanya. Meskipun jika
tidak dibaca sebenarnya tidak masalah, akan tetapi dalam adab-adab berdo’a kan Rasulullash menganjurkan. Awali dengan al-Fātiḥah, awali dengan qul huwallahu
ahad, al-Falaq, al-Nas. Kemudian awali juga dengan shalawat. Karena betapa
mulianya kedudukan surah-surah tersebut. Itulah yang biasanya menjadi alasan
orang-orang membacakan al-Fātiḥah Ampat tersebut.”
12. Pertanyaan:
155
“Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang membacakan dan
yang dibacakan?”
Jawaban:
“Al-Fātiḥah Ampat mengandung permohonan dan perlindungan dari kejahatan, iya
kan? Kejahatan jin dan manusia. Nah, terutama jin yang paling suka mengganggu
ibu hamil apalagi bayi, ada jin-jinnya. Dengan harapan kita membaca al-Fātiḥah
Ampat itu Allah akan melindungi dari perbuatan jin-jin yang jahat. Biasanya ada
yang diganggu, maka dari itu harapan kita jangan sampai terganggu dengan
kejahatan-kejahatan jin maupun manusia.”
13. Pertanyaan:
“Bagaimana praktik pembacaannya?”
Jawaban:
“Membacanya bersama-sama. Diawali terlebih dahulu oleh pemimpin bacaan, lalu
diikuti oleh warga yang hadir. Jama’ah yang hadir pun setidaknya ikut mengaminkan
do’a-do’a yang dibaca oleh pemimpin bacaan tersebut. Dalam hadis Nabi disebutkan
bahwa jika lebih banyak yang hadir ketika berdo’a maka do’a tersebut akan cepat
dikabulkan. Karena setidaknya ada satu orang yang do’anya mustajab di antara do’a
orang-orang yang hadir tersebut. Pasti ada satu orang yang khusyuk ketika berdo’a,
maka ialah yang mewakili semua orang yang hadir.”
14. Pertanyaan:
“Apakah semua undangan ikut membacakan?”
Jawaban: “Biasanya kalau di desa ini, ibu-ibu dan bapak-bapak berdo’a bersama. Hanya saja
kebanyakan yang memimpin do’a tersebut dari kalangan bapak-bapaknya.”
15. Pertanyaan:
“Apakah ada syarat tertentu untuk menjadi pemimpin bacaan?”
Jawaban:
“Yang pasti memahami dan menguasai apa yang harus dibaca tersebut. Misalnya
barzanji harus dibacakan oleh ahlinya. Tidak mungkin kita serahkan kepada yang
bukan ahlinya. Maka dari itu kita tunjuk yang menguasai itu semua untuk memimpin
pembacaan tersebut, yang mampu memimpin, dan membacakan do’a-do’anya. Dan
sudah pasti bacaannya harus bagus, karena memimpin berarti membawa yang lain
dalam membaca al-Qur’an, barzanji, dan membaca do’a tersebut.”
16. Pertanyaan: “Apakah Bapak hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Pasti hafal semua, karena ayatnya pendek-pendek saja. Hanya saja bagus tidaknya
bacaan yang menjadi hal yang utama.”
17. Pertanyaan:
“Apakah Bapak mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Seperti yang sudah saya jelaskan di awal. Kira-kira begitulah maknanya.”
18. Pertanyaan:
“Bagaimana Bapak memaknai al-Qur’an secara umum?”
Jawaban: “Jadi al-Qur’an itu adalah kitab yang paling mulia yang pernah Allah turunkan di
dunia ini. Jadi kitab-kitab sebelum al-Qur’an terhapuskan atau tidak terpakai sebab
turunnya al-Qur’an. Saking mulianya al-Qur’an itu membawa rahmatan lil ‘alamin,
kitab terdahulu tidak berlaku karena disempurnakan di dalam al-Qur’an. Jadi al-
Qur’an itu kitab yang teramat mulia dan tidak lekang dimakan zaman sampai kapan
pun, hingga akhir zaman. Kemudian al-Qur’an adalah kitab yang sebagai petunjuk
156
umat manusia. Siapa yang berpegang kepada al-Qur’an maka hidupnya akan selamat
di dunia dan di akhirat. Siapapun orangnya. Nah, perkara orang itu beriman atau
tidak itu bukan urusannya, intinya Allah menurunkan al-Qur’an secara umum yaitu
kitab umat manusia, bukan umat Islam saja.”
19. Pertanyaan:
“Apakah Bapak terbiasa membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Kadang-kadang.”
20. Pertanyaan:
“Mengapa Bapak membaca al-Qur’an?”
Jawaban: “Karena al-Qur’an itu sebagai obat, terutama obat untuk hati dan jiwa kita. Jadi
terkadang ketika hati kita sedang galau, maka bacalah al-Qur’an. Karena al-Qur’an
itu pengobat hati, penenang hati. Selain itu dengan membaca al-Qur’an insya Allah
kita akan mendapatkan berkah kebaikan. Dalam hadis juga dikatakan barang siapa
membaca al-Qur’an di rumahnya, maka rumahnya akan bercahaya tembus ke langit
di hadapan Allah, bukan di hadapan makhluk.”
21. Pertanyaan:
“Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-Qur’an?”
Jawaban:
“Wah, banyak itu. Hampir setiap acara atau kegiatan di desa, acara keluarga, acara
tetangga, pasti membaca al-Fātiḥah Ampat tersebut, bisa dipastikan. Entah itu acara haulan, tahlilan, shalawatan ibu-ibu, hari-hari besar Islam pasti dibacakan. Kemudian
acara tasmiyahan, acara selamatan khitanan, pasti dibacakan al-Qur’an. Orang
mendirikan rumah baru juga pasti dibacakan al-Qur’an, karena betapa mulianya ayat-
ayat al-Qur’an tersebut. Barulah dilanjtkan dengan membaca do’a, do’a papun yang
diminta oleh tuan rumah, maka itulah yang dibaca.”
Identitas Informan 7
Nama : Ibu Kuswanti
Umur : 38 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Guru
Sebagai : Partisipan / Pelaksana
1. Pertanyaan:
“Apakah Ibu pernah mengikuti atau melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Pernah, biasanya ketika kehamilan anak pertama.”
2. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah mandi hamil tujuh bulan di Keraya?”
Jawaban:
“Awal sejarahnya kurang tau, hanya saja dasarnya dari orang tua zaman dulu memang setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan harus ada mandi-mandi. Hal ini
seperti semacam tradisi atau adat istiadat. Tapi dalam agama mungkin seperti
syukuran atas usia kehamilan yang sudah menginjak tujuh bulan.”
3. Pertanyaan:
“Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan mandi-mandi?”
Jawaban:
“Supaya diberi keselamatan oleh Allah. Memang seharusnya kita tidak menganggap
mandi-mandi ini yang bisa memberi keselamatan kepada kita, hal itu kesannya
157
seperti meminta kepada yang lain. Kalau kita menganggap ada pertolongan selain
Allah kan tidak boleh. Nah, hanya saja sebagai bentuk rasa syukur saja sebenarnya.
Tetapi memang setiap kita sebagai ibu-ibu yang sedang hamil tujuh bulan anak
pertama pasti melaksanakan mandi tujuh bulan tersebut. Kalau kehamilan kedua dan
ketiga biasanya ada mandi hamil tujuh bulan, tetapi tidak seperti kehamilan pertama
lagi. Kalau kehamilan ketiga itu disebut dengan mandi baya’, ada pembacaan do’a
juga, dan niatnya syukuran juga. Intinya mengikuti apa yang orang tua kita
perintahkan.”
4. Pertanyaan:
“Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban: “Kebanyakan pelaksanaan dilakukan di rumah pengantin perempuan. Mandinya di
halaman rumah dan disediakan tempat khusus yang dialasi, diberi atap, dan dinding.
Biasanya dilihat oleh banyak orang. Nah, ketika dilihat banyak orang inilah
sebenarnya kurang nyaman, karena dulu apapun yang diperintahkan orang tua pasti
kita turuti saja. Kita memakai kain setinggi dada, sedangkan orang-orang melihat
kita yang sedang mandi. Rasanya tidak nyaman mandi-mandi di tempat terbuka.
Seharusnya tidak usah dilihat, tapi namanya tradisi disini memang seperti itu
pelaksanaannya.”
5. Pertanyaan:
“Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban: “Iya dihitung. Menghitung usia kehamilannya itu menurut bulan Islam, contohnya
ketika kehamilan sudah memasuki usia tujuh bulan, kita lihat bulan Islamnya, lalu
kita lihat tanggalnya yang mana yang kira-kira baik menurut orang tua untuk
melaksanakan mandi-mandi. Yang jelas kita tidak bisa mengubah bulannya kalau
sudah pas tujuh bulan, hanya saja tanggal pelaksanaannya dicari yang bagus. Tetapi
ada juga orang tua yang beranggapan jika usia tujuh bulan jatuh pada bulan yang
tidak bagus, maka mandi-mandinya dilaksanakan pada bulan selanjutnya. Contohnya
bulan kesebelas pada bulan Islam yaitu bulan Dzulqo’dah, menurut orang tua bulan
itu tidak bagus. Jadi pelaksanaannya bisa diundur ke bulan selanjutnya karena ingin
mencari bulan yang bagus untuk pelaksanaan mandi-mandi tersebut. Selama si ibu
belum melahirkan, maka bisa dicari bulan yang lebih baik. Padahal sebenarnya
semua bulan bagus saja kan? Tapi disini ada anggapan bulan yang tidak bagus, hari yang tidak bagus. Padahal semuanya menurut saya bagus.”
6. Pertanyaan:
“Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Tidak juga, tidak semua menghadiri. Semua warga memang diundang, akan tetapi
pasti ada yang hadir dan ada juga yang tidak hadir. Kebanyakan dari kalangan ibu-
ibu yang hadir.”
7. Pertanyaan:
“Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?”
Jawaban:
“Tidak dibatasi, terserah kita saja.”
Jawaban:
8. Pertanyaan:
“Mengapa hanya al-Fātiḥah Ampat yang dibaca?”
Jawaban:
“Empat surah itu dianggap ada keutamaan di dalamnya. Bukan berarti menyepelekan
surah-surah yang lain, tetapi memang empat surah itu dianggap ada keistimewaan
158
tersendiri. Bahkan ada sebutannya juga yaitu al-Mu’awwizatain. Makanya surah-
surah tersebut dibacakan. Intinya dalam surah al-Falaq misalnya untuk memohon
perlindungan dari kejahatan malam, kejahatan wanita-wanita sihir. Kalau surah al-
Nas itu untuk minta perlindungan dari kejahatan manusia. Mungkin karena itu
makanya dibacakan. Sebenarnya seperti surah al-Ikhlas disebutkan katakanlah Allah
itu satu, tidak ada Tuhan selain Allah. Akan tetapi dalam rangkaian pelaksanaan
mandi-mandi tersebut ada yang namanya bebari-bari, hal ini semacam meminta
pertolongan kepada selain Allah. Tetapi di awal tetap dibacakan surah al-Ikhlas
juga.”
9. Pertanyaan:
“Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban:
“Harus ada surah al-Fātiḥah untuk mengawali sebagai pembuka sebelum membaca
yang lain. Seperti kita berdo’a pasti diawali dengan al-Fātiḥah Ampat. Kalau
misalnya tidak dibaca sepertinya kurang lengkap. Atau sepertinya mungkin do’anya
tidak sampai kepada Allah.”
10. Pertanyaan:
“Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang membacakan dan
yang dibacakan?”
Jawaban:
“Ada manfaatnya, seperti kita memperoleh ketenangan karena kita sudah memohon
berserah diri kepada Allah dalam meminta keselamatan, meminta perlindungan sampai anak kita nanti lahir. Semoga anak kita menjadi anak yang sholeh dan
sholehah. Makanya ayat-ayat tersebut dibaca.”
11. Pertanyaan:
“Bagaimana praktik pembacaannya?”
Jawaban:
“Bersama-sama. Biasanya diawali oleh yang memimpin bacaan, lalu barulah diikuti
oleh orang-orang yang hadir. Biasanya ketika membaca barzanji dan do’a itu
menggunakan buku. Kalau untuk al-Fātiḥah Ampat pasti semua sudah hafal. Hanya
saja bacaannya bagus atau tidak, tetapi tidak dikhususukan atau diwajibkan bagus
bacaannya untuk orang-orang yang hadir tersebut.”
12. Pertanyaan:
“Apakah semua undangan ikut membacakan?”
Jawaban:
“Biasanya hanya bapak-bapak yang membacakan.”
13. Pertanyaan:
“Apakah ada syarat tertentu untuk menjadi pemimpin bacaan?”
Jawaban:
“Harus ada. Yang jelas bacaannya harus bagus. Seperti Unggal Adan biasanya sudah
dianggap mampu untuk memimpin. Apalagi beliau sekarang sudah menjadi imam
tetap dan pengurus masjid di desa kita ini.”
14. Pertanyaan:
“Apakah Ibu hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban: “Alhamdulillah hafal, karena biasa dibacakan.”
15. Pertanyaan:
“Apakah Ibu mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Seperti yang sudah Ibu jelaskan, kira-kira seperti itu pemahaman Ibu mengenai arti
atau makna dari surah-surah tersebut.”
159
16. Pertanyaan:
“Bagaimana Ibu memaknai al-Qur’an secara umum?”
Jawaban:
“Al-Qur’an adalah pedoman hidup. Meskipun kita belum banyak mengetahui isinya,
tetapi setiap hari kita berusaha untuk mempelajari isi-isi al-Qur’an, selalu
mengamalkannya dalam kehidupan. Sedikit-sedikit berusaha kehidupan sehari-hari
kita berpedoman dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an. Bukannya sok sholeha,
tetapi kita harus berusaha memperbaiki diri. Misalnya ketika kita sudah membaca
ayat ini, kemudian tahu artinya, ooh ternyata seperti ini.”
17. Pertanyaan:
“Apakah Ibu terbiasa membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Alhamdulillah terbiasa ja, ketika hamil pun Ibu memperbanyak baca al-Qur’an.
Sampai-sampai Ibu mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an atau surah yang baik untuk
dibaca agar diberi kemudahan melahirkan. Ada juga ayat yang dibaca ketika
kesakitan melahirkan. Dulu Ibu pernah menuuliskan apa saja ayat-ayat dan surah
yang harus dibaca, tetapi sekarang Ibu sudah lupa menyimpannya dimana.”
18. Pertanyaan:
“Mengapa Ibu membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Ingin mendapatkan petunjuk pastinya. Karena Ibu ingin sedikit-sedikit mempelajari
al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Membiasakan diri hidup berpedoman dengan isi-isi yang ada dalam al-Qur’an.”
19. Pertanyaan: “Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-Qur’an?”
Jawaban:
“Ketika Tasmiyahan atau memberi nama bayi yang sudah lahir. Batajak rumah itu
pasti diawali dengan al-Fātiḥah Ampat. Seperti beayun anak ketika usia anak
berumur tujuh hari pasti dibacakan al-Qur’an juga. Ketika anak berumur tiga hari ada
juga yang langsung dibacakan al-Qur’an. Kalau anaknya laki-laki maka dibacakan
surah Yūsuf, kalau perempuan surah Maryam. Tujuan dibacakan surah-surah
tersebut agar anak-anaknya sholeh sholehah. Selain kegiatan keagamaan, biasanya
ibu-ibu yang hamil juga dianjurkan membaca al-Qur’an. Kalau ingin anaknya
perempuan maka hendaknya sering membaca surah Maryam, kalau ingin anaknya laki-laki maka hendaknya sering membaca surah Yūsuf, begitu kata orang tua kita
zaman dulu. Tapi menurut Ibu itu tidak terbukti, karena ketika Ibu mengandung anak
kedua Ibu sering baca surah Maryam, karena Ibu ingin anak Ibu nanti perempuan.
Sampai dengan hampir lahiran Ibu membaca surah Maryam, padahal Ibu sudah tau
dari hasil USG bahwa anak Ibu adalah laki-laki. Tapi tetap dibacakan terus surah
Maryam, karena saking inginnya anak perempuan. Memang ada sebagian yang
terbukti, tapi ketika posisi Ibu yang membacakan itu tidak terbukti, Allah
berkehendak lain. Tapi ketika Ibu mengandung anak ketiga, barulah dikasih
perempuan. Sebenarnya anak pertama juga dibacakan surah Yūsuf dan surah
Maryam. Karena anak pertama itu sebenarnya Ibu tidak begitu menginginkan harus
anak laki-laki atau perempuan. Makanya Ibu baca saja kedua-duanya.”
20. Pertanyaan:
“Menurut Ibu, apakah bacaan al-Qur’an masyarakat Desa Keraya sudah baik atau
belum baik?”
Jawaban:
“Rata-rata menurut Ibu semua bisa membaca al-Qur’an. Kebanyakan bisa,
dibandingkan jika dilihat dari segi anak-anaknya dengan desa lain, Alhamdulillah di
160
Desa Keraya sudah banyak yang bisa baca al-Qur’an. Tetapi ada juga yang msih
kurang dalam segi tajwidnya. Tapi rata-rata bisa saja membaca al-Qur’an.”
21. Pertanyaan:
“Kesalahan apa yang sering Ibu temui ketika masyarakat Desa Keraya membaca al-
Qur’an?”
Jawaban:
“Kalau di Desa Keraya ini kebanyakan kurang dalam penyebutan huruf atau
makharijul huruf-nya. Kalau panjang pendek bacaan insya Allah rata-rata bagus.”
22. Pertanyaan: “Kapan Ibu mengetahui baik atau tidaknya bacaan al-Qur’an tersebut?”
Jawaban: “Dalam acara shalawatan ibu-ibu biasanya ada pembacaan rawi-rawi. Nah, disitulah
terkadang terdengar makharijul huruf-nya masih kurang. Meskipun panjang
pendeknya rata-rata sudah bagus, akan tetapi makharijul huruf-nya masih kurang.”
Identitas Informan 8 Nama : Ibu Nor Aidin
Umur : 45 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga / Ketua Pengajian Ibu-ibu
........................................................................................................................................... pesisir.
Sebagai : Partisipan / Pelaksana
1. Pertanyaan:
“Apakah Ibu pernah mengikuti atau melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Pernah, ketika mengandung anak pertama.”
2. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah mandi hamil tujuh bulan di Desa Keraya?”
Jawaban:
“Tidak tau. Yang pasti mengikuti adat istiadat dari orang tua zaman dulu.”
3. Pertanyaan: “Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan mandi-mandi?”
Jawaban:
“Sudah menjadi adat dari dulu. Dari zaman dulu, datuk, nenek moyang.”
4. Pertanyaan:
“Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Di halaman rumah bisa, di teras rumah juga bisa. Tergantung keinginan dari orang
yang akan melaksanakan mandi-mandi, mau mandi di rumah atau mau mandi di
halaman rumah. Kalau di halaman rumah ada tempat pemandiannya, namanya
andang-andang. Andang-andang tersebut terbuat dari kayu, bagian atasnya
dilindungi oleh kain berwarna kuning, di samping andang-andang diikatkan tali-talian dan juga bermacam-macam kain. Kayu digunkan sebagai tiang andang-
andang, di setiap sudut kayu diletakkan pohon tebu, dan pohon kelapa yang masih
berbuah.”
5. Pertanyaan:
“Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Waktu pelaksanaannya ketika akhir bulan, ada pula ketika pertengahan bulan, dan
ada pula ketika awal bulan. Tetapi lebih baik ketika akhir bulan, karena sudah
161
hampir penuh satu bulan. Ada pula yang melaksanakan mandi-mandi ketika sudah
memasuki bulan ke-delapan, bahkan ada yang sudah memasuki bulan kesembilan.
Jadi, melaksanakan mandi-mandinya ketika ada kesempatan saja. Siapa tau sedang
sibuk dengan pekerjaan, jadi mandinya nanti saja ketika sudah memasuki bulan
kesembilan. Ada yang seperti itu katanya.”
6. Pertanyaan:
“Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Tergantung siapa saja yang diundang, kalau memang diundang kita hadir, kalau
tidak diundang ya tidak hadir. Sekalipun itu tetangga di samping rumah. Tetapi
biasanya yang banyak hadir adalah ibu-ibu daripada bapak-bapaknya.”
7. Pertanyaan:
“Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?”
Jawaban:
“Tidak ada.”
8. Pertanyaan:
“Bagaimana cara pelaksanaannya?”
Jawaban:
“Harus ada bebari-bari ke laut dan ke darat. Seperti memberi ke Datuk Buaya itu
harus. Seperti istilah orang tua zaman dulu kita bebari-bari tersebut untuk memberi
tau kepada datuk-datuk kita bahwa kita akan melaksanakan mandi-mandi hamil dan
meminta airnya untuk dimandikan nanti. Kalau kita tidak bebari-bari ditakutkan ada gangguan terhadap ibu dan anak yang dikandungnya. Apalagi kita ini keturunan suku
Bugis, di desa kita ini kebanyakan keturunan suku Bugis. Lalu ketika mandi-mandi
nanti ada satu buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya untuk dibelah menjadi dua
bagian nanti. Kelapa ini berfungsi untuk melihat apakah anak yang dikandung
perempuan atau laki-laki. Ketika kelapa dilemparkan lalu kemudian terbuka
keduanya, maka anaknya nanti adalah perempuan. Ketika kelapa dilemparkan lalu
kemudian tertutup keduanya, maka anaknya nanti adalah laki-laki. Kelapa itu dibelah
di atas kepala pengantin dan airnya diminumkan ke pengantin yang dialirkan melalui
kepalanya. Hal ini dipercaya agar si ibu melahirkan dengan lancar sederas air kelapa
yang mengalir melalui kepalanya tersebut. Setelah mandi-mandi selesai, pengantin
kembali memasuki rumah diiringi dengan pemukulan gong oleh salah satu bidan
kampung. Pemukulan gong tersebut sebagai pertanda bahwa ritual mandi-mandi tersebut sudah selesai. Ketika pengantin memasuki rumah, di belakang mereka ada
tujuh orang anak-anak sambil membawa tujuh buah gelas yang berisi beras dan lilin.
Ketika pengantin turun ke halaman untuk melaksanakan mandi-mandi juga diiringi
oleh anak-anak tersebut. Lalu, ada juga kelapa yang tadinya dipangku oleh kedua
pengantin ketika mandi-mandi berlangsung dibawa masukjuga ke dalam rumah
sambil digendong oleh kedua bidan kampung. Ketika kedua pengantin sudah masuk
ke dalam rumah, di depan keduanya terdapat dua buah tempat besar yang berisi
empat puluh macam kue-kue. Semua kue tersebut harus dicicipi oleh kedua
pengantin, dan jangan sampai ada yang tertinggal. Setelah itu, satu buah tempat kue
diserahkan kepada keluarga pengantin untuk dibagikan kepada warga-warga yang
hadir. Sedangkan satu buah tempat lagi diserahkan kepada bidan kampung untuk dibawa pulang.”
9. Pertanyaan: “Apa saja perlengkapan yang digunakan atau yang harus disiapkan ketika akan
melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
162
“Empat puluh macam kue-kue dalam dua tempat besar disediakan di dalam rumah.
Di antara dari bermacam-macam kue tersebut adalah kue cucur, kue cincin, dodol,
dan nasi manis. Kata orang tua zaman dulu, kue empat puluh macam tersebut disebut
dengan kue perabut, jadi bermacam-macam kuenya. Selain itu, di dalamnya ada kue
serAbī dengan bermacam-macam warna, seperti warna kuning, merah, hijau, dan
putih. Lalu ada enceng karok, keripik, dan kue-kue lainnya hingga mencapai jumlah
empat puluh. lalu di dalamnya juga ada pencok, yang mana pencok tersebut diperjual
belikan dan dihargai berapapun harganya kepada warga yang hadir dalam acara
tersebut. Pencok tersebut harus hAbīs dijual. Selain makanan-makanan di atas,
terdapat tujuh buah gelas yang berisi beras dan lilin. Lalu teradapat sebuah keris
yang harus dibawa ketika bebari-bari ke laut dan ke darat. Adapun yang menyimpan keris tersebut adalah sesepuh yang ada di desa kita. Apanbila keris tersebut tidak
dibawa, maka keris tersebut harus direndam di dalam air yang mana air tersebut akan
dimandikan ke kedua pengantin, itulah yang dinamakan dengan air keturunan. Kalau
peralatan untuk orang yang mandi-mandi di halaman rumah, harus disediakan
mayang, dan air bunga untuk dimandikan. Bunga yang digunakan ada tujuh macam,
akan tetapi bukan tujuh macam warna. Jadi bunga apa saja dan warna apa saja
asalkan berbeda jenisnya. Memandikan pengantin menggunakan gayung. Lalu
disediakan juga sebuah cermin ketika mandi-mandi agar anak yang dikandung
cantik. Disediakan juga satu buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya untuk dibelah
menjadi dua bagian nanti. Kelapa ini berfungsi untuk melihat apakah anak yang
dikandung perempuan atau laki-laki. Lalu disediakan juga dua buah kelapa yang nanti akan dipangku oleh kedua pengantin. Kelapa yang dipangku pengantin
perempuan diberi kalung-kalungan. Sedangkan kelapa yang dipangku oleh pengantin
laki-laki dikalungkan benang. Kelapa yang dipangku itu melambangkan calon anak
yang akan lahir nanti. Kelapa yang dipangku oleh pengantin laki-laki adalah kelapa
yang sudah bertunas. Sedangkan kelapa yang dipangku oleh pengantin perempuan
adalah kelapa yang masih muda. Lalu ada juga satu buah kelapa yang diletakkan di
atas gantang. Gantang adalah semacam guci yang tidak ditutup, dan terbuat dari
kayu. Gantang tersebut dipercaya berasal dari warisan keturunan nenek moyang.
Lalu ada sebiji telur yang nanti akan diinjak oleh kedua pengantin, setelah itu
telurnya diusapkan ke perut ibu hamil agar ketika melahirkan nanti dilancarkan.
Intinya semua yang dilakukan dalam mandi-mandi itu maknanya bagus dan untuk
kebaikan semuanya. Setelah mandi-mandi selesai, pengantin kembali memasuki rumah diiringi dengan pemukulan gong oleh salah satu bidan kampung. Pemukulan
gong tersebut sebagai pertanda bahwa ritual mandi-mandi tersebut sudah selesai.
Adapun beberapa macam air yang digunakan untuk mandi-mandi dicampurkan ke
dalam air yang berisi bunga, yaitu air keturunan dan air do’a barzanji. Nanti juga ada
mayang yang digantung di jendela kamar pengantin. Mungkin gunanya agar tidak
ada gangguan dan sebagai pertanda bahwa si Ibu hamil tersebut sudah melaksanakan
mandi-mandi. Dikatakan bahwa yang suka mengganggu biasanya adalah makhlus
halus.”
12. Pertanyaan:
“Apakah ada makna tersendiri dari perlengkapan yang digunakan atau proses yang
dilakukan tersebut”?
Jawaban:
“Seperti yang sudah Ibu jelaskan tadi, air kelapa yang diminumkan agar lancar ketika
melahirkan, bercermin supaya anaknya cantik, kelapa yang sudah dikupas untuk
mengetahui apakah anaknya laki-laki atau perempuan, kelapa yang dipangku oleh
pengantin untuk melambangkan si calon anak, dan telur yang diinjak lalu diusapkan
163
agar si Ibu hamil mudah melahirkan. Intinya semua peralatan dan semua yang
dilakukan itu maknanya baik.”
10. Pertanyaan:
“Apa manfaat atau tujuan dari mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Tujuannya agar ketiak melahirkan tidak ada gangguan atau kesusahan. Ditakutkan
anaknya nanti menangis dan cacat, maka diadakan mandi-mandi tersebut. Mandi-
mandi ini sebagai lambang permohonan kepada yang Kuasa, supaya diselamatkan
dan dimudahkan ketika melahirkan.”
11. Pertanyaan:
“Mengapa hanya al-Fātiḥah Ampat itu yang dibaca?”
Jawaban:
“Pada dasarnya sudah biasa dibacakan dan tidak pernah ada yang lain yang
dibacakan selain surah-surah tersebut. Berarti memang itu yang harus dibaca, tetapi
jika seandainya ada surah lain yang bisa dibacakan, lebih bagus lagi. Tetapi yang
biasa dibacakan hanya al-Fātiḥah Ampat. Begitulah sepengetahuan Ibu. Biasanya
juga kalau mau ada pembacaan al-Qur’an khusus tergantung dari permintaan yang
punya acara.”
12. Pertanyaan:
“Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban:
“Harus, harus dibaca. Namanya juga kepala do’a. Kalau tidak dibaca jadi tidak lengkap dan bisa saja do’a yang kita panjatkan ketika acara mandi-mandi ini tidak
sampai kepada Allah.”
13. Pertanyaan:
“Apa manfaat dan tujuan dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang
membacakan dan yang dibacakan?”
Jawaban:
“Untuk melengkapi dari do’a yang kita panjatkan, supaya sampai do’a yang sudah
kita bacakan tersebut.”
14. Pertanyaan:
“Bagaimana praktik pembacaannya?”
Jawaban:
“Biasanya yang memimpin bacaan yang memulai terlebih dahulu, barulah dikuti oleh orang-orang yang hadir.”
15. Pertanyaan:
“Apakah semua undangan ikut membacakan?”
Jawaban:
“Tidak, biasanya laki-laki saja. Kalau ibu-ibu tidak ikut membacakan karena di
halaman semua.”
16. Pertanyaan:
“Apakah ada syarat tertentu untuk menjadi pemimpin bacaan?”
Jawaban:
“Pastinya harus yang paham dengan agamadan harus yang baik bacaannya.
Meskipun paham agama tapi tidak bagus bacaannya nanti salah maknanya.”
17. Pertanyaan:
“Apakah Ibu hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Hafal pastinya karena biasa dibacakan. Apalagi ayat-ayatnya pendek.”
18. Pertanyaan:
“Apakah Ibu mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
164
Jawaban:
“Nah, saya tidak tahu.”
19. Pertanyaan:
“Bagaimana Ibu memaknai al-Qur’an secara umum?”
Jawaban:
“Al-Qur’an adalah penuntun hidup, sebagai penyejuk hati. Setiap kita dihadapkan
pada masalah bacalah al-Qur’an, pasti membuat kita tenang. Karena pada dasarnya
kitab suci al-Qur’an yang kita baca itu adalah kitab yang paling suci.”
20. Pertanyaan:
“Apakah Ibu terbiasa membaca al-Qur’an?”
Jawaban: “Alhamdulillah terbiasa. Kalau ada waktunya biasanya setelah sholat Maghrib dan
sholat Shubuh.”
21. Pertanyaan:
“Mengapa Ibu membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Untuk kehidupan kita sehari-hari saja, untuk menuntun hidup kita makanya harus
dibaca. Apalagi yang namanya surah al-Mulk, istilahnya untuk mempermudah
keluarnya ruh umat dan membantu kita di alam kubur nanti. Surah al-Waqi’ah untuk
membantu kehidupan umatnya agar tidak banyak melarat hidupnya, nyaman
hidupnya di dunia dan di akhirat. Setiap hari Jum’at juga membaca surah al-Kahfi
untuk dunia akhirat. Semua itu Ibu tau dari buku Risalah Do’a, di dalamnya dijelaskan keutamaan surah-surah tersebut.”
22. Pertanyaan:
“Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-Qur’an?”
Jawaban:
“Ketika acara begunting atau tasmiyahan. Orang ketika baru melahirkan dibacakan
al-Qur’an juga. Kalau anaknya perempuan dibacakan surah Maryam, kala anaknya
laki-laki dibacakan surah Yūsuf. Manfaatnya mungkin agar anaknya berahlak baik
seperi Siti Maryam, baik juga seperti Nabi Yūsuf. Selain di kegiatan keagamaan,
ketika si ibu masih mengandung dibacakan juga surah Maryam dan surah Yūsuf.
Kalau kita menginginkan anak perempuan, maka bacakan surah Maryam. Begitu
pula ketika kita menginginkan anak laki-laki maka bacakan surah Yūsuf. Tetapi
selain kedua surah tersebut, bisa juga dibacakan surah-surah yang lain agar anak yang dikandung menjadi anak yang sholeh sholeha. Orang sebelum melaksanakan
pernikahan juga ada pembacaan-al-Qur’an, namanya batamat atau khataman al-
Qur’an. Surah yang dibaca adalah surah al-Dhuha sampai dengan surah al-Nas.”
23. Pertanyaan:
“Menurut Ibu, apakah bacaan al-Qur’an masyarakat Desa Keraya sudah baik atau
belum baik”?
Jawaban:
“Kalau yang Ibu dengar-dengar selama ini masih banyak yang belum baik
bacaannya. Kalau ditanya apakah masih harus diperbaiki ya memang harus
diperbaiki. Baik bacaan itu kan berarti baik tajwidnya, kelancarannya. Tapi disini
masih ada juga yang terbata-bata ketika membaca al-Qur’an.”
24. Pertanyaan:
“Kesalahan apa yang sering Ibu temui ketika masyarakat Desa Keraya membaca al-
Qur’an?”
Jawaban:
165
“Makharijul huruf biasanya yang masih banyak kesalahan. Selain itu panjang
pendeknya juga masih ada kesalahan. Tapi kebanyakan yang salah itu pada
makharijul huruf-nya.”
25. Pertanyaan: “Kapan Ibu mengetahui baik atau tidaknya bacaan al-Qur’an tersebut?”
Jawaban:
“Ketika shalawatan ibu-ibu, tepatnya ketika pembacaan rawi biasanya Ibu
mendengar. Ketika kita membaca rawi pun makharijul huruf-nya harus benar.
Karena pada dasarnya bacaannya sama-sama berbahasa Arab.”
Identitas Informan 9
Nama : Ibu Juliani
Umur : 58 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga / Pengajar TKA/TPA
Sebagai : Partisipan / Pelaksana
1. Pertanyaan:
“Apakah Ibu pernah mengikuti atau melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Pernah.”
2. Pertanyaan:
“Apa saja surah yang dibaca dalam mandi hamil tujuh bulan di Keraya?”
Jawaban:
“Yang Ibu tau ketika sebelum memulai barzanji pasti mebaca al-Fātiḥah Ampat.
Bisa juga ditambah dengan ayat kursi atau surah yang lain. Tergantung pemimpin
bacaannya saja.”
3. Pertanyaan:
“Mengapa hanya al-Fātiḥah Ampat itu yang dibaca?”
Jawaban:
“Sebenarnya Nenek dulu pernah membawa Kakek berobat, lalu diberi air tawar atau
air do’a. Kata yang mengobati, kalau mau meminum airnya jangan lupa membaca al-Fātiḥah Ampat. Ternyata al-Fātiḥah Ampat itu surah al-Fātiḥah, al-Ikhlas, al-Falaq,
dan al-Nas. Berarti mungkin ke-empat surah ini ada keutamannya. Nah, kalau dalam
mandi-mandi Nenek kurang begitu mengetahui, artinya hanya mengikuti tradisi dari
orang tua zaman dulu saja.”
4. Pertanyaan:
“Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban:
“Nenek kurang mengetahuinya.”
5. Pertanyaan:
“Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang membacakan dan
yang dibacakan?”
Jawaban:
“Untuk keselamatan pastinya apalagi untuk ibu hamil, itu saja yang Nenek tahu.”
6. Pertanyaan:
“Bagaimana praktik pembacaannya?”
Jawaban:
“Pemimpin bacaannya terdahulu yang membaca, setelah itu baru diikuti oleh warga
yang hadir.”
7. Pertanyaan:
166
“Apakah semua undangan ikut membacakan?”
Jawaban:
“Biasanya bapak-bapak saja yang membacakan. Kalau Ibu-ibu kebanyakan di
halaman rumah, atau di dapur.”
8. Pertanyaan:
“Apakah ada syarat tertentu untuk menjadi pemimpin bacaan?”
Jawaban:
“Pastinya mengerti dengan apa yang dibacakan, dan baik bacaannya. Kalau tidak
baik bacaannya nanti salah-salah maknanya. Iya kan?”
9. Pertanyaan:
“Apakah Ibu hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Iya hafal.”
10. Pertanyaan:
“Apakah Ibu mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Nenek kurang tahu. Setahu Nenek al-Ikhlas isinya tentang ketauhidan.”
11. Pertanyaan:
“Bagaimana Ibu memaknai al-Qur’an secara umum?”
Jawaban:
“Iman kita. Al-Qur’an itu iman kita umat Islam. Makanya Nenek mengajar di TPA
sambil mengingatkan anak-anak harus bisa mengaji atau membaca al-Qur’an.”
12. Pertanyaan:
“Apakah Ibu terbiasa membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Alhamdulillah Nenek terbiasa membacanya.”
13. Pertanyaan:
“Mengapa Ibu membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Kalau yang Nenek rasa dengan membaca al-Qur’an dan mengajarkannya hidup itu
rasanya berkah. Apalagi katanya kalau kita tidak membaca al-Qur’an di rumah kita,
maka rumah kita seperti kuburan.”
14. Pertanyaan:
“Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-Qur’an?”
Jawaban:
“Maulid, Isra’ Mi’raj, tasmiyahan, batamat al-Qur’an atau khataman al-Qur’an
biasanya sebelum menikah. Ketika orang batajak rumah atau ingin mendirikan
rumah juga ada membaca surah Yāsīn.”
15. Pertanyaan:
“Menurut Ibu, apakah bacaan al-Qur’an masyarakat Desa Keraya sudah baik atau
belum baik?”
Jawaban:
“Rasanya banyak yang tidak baik. Ibu-ibu yang sering membawakan sya’ir atau
shalawat juga. Maksud saya kan cobalah kita yang sudah tua yang masih rajin
bershalawat ini, kita benarkan bacaan kita. Karena kalau kita salah membaca berarti salah juga maknanya, iya kan? Tidak nyaman ketika berangkat bershalawat kemana-
mana tetapi bacaan kita tidak baik. Jadi, kebanyakan belum pas atau belum baik
bacaannya.”
16. Pertanyaan:
“Kesalahan apa yang sering Ibu temui ketika masyarakat Desa Keraya membaca al-
Qur’an?”
167
Jawaban:
“Kebanyakan di makharijul huruf-nya, contoh huruf ha kecil dibaca ha besar.
Kebanyakan di makharaijul huruf-nya kesalahannya.”
17. Pertanyaan: “Kapan Ibu mengetahui baik atau tidaknya bacaan al-Qur’an tersebut?”
Jawaban:
“Ketika bersahalawat pasti ada pembacaan rawi, disitulah terlihat bacaannya baik
atau tidak.”
Identitas Informan 10
Nama : Usu Minah
Umur : 34 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Sebagai : Partisipan / Pelaksana
1. Pertanyaan:
“Apakah Ibu pernah mengikuti pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Pernah.”
2. Pertanyaan: “Bagaimana sejarah mandi hamil tujuh bulan di Keraya?”
Jawaban:
“Namanya kita ini orang-orang baru zaman sekarang, jadi tidak tau sejarahnya
bagaimana. Jadi mengikuti apa yang dikatakan orang tua saja.)
3. Pertanyaan:
“Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan mandi-mandi?”
Jawaban:
“Biasanya kalau tidak dilaksanakan kata orang akan ada gangguan, susah
melahirkan, tapi itu mitos saja sebenarnya. Tapi kadang-kadang kata orang gara-gara
tidak mandi-mandi makanya anaknya diganggu, lama keluarnya dan lainnya. Karena
tidak mandi katanya seperti itu.”
4. Pertanyaan:
“Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Di rumah. Bisa dilaksanakan di rumah lperempuannya, bisa juga di rumah laki-
lakinya. Biasanya di halaman rumah dibuatkan tempat pemandiannya. Tempatnya
terbuat dari kayu, dindingnya dari kain kuning, dihiasi dengan anyaman kepala
kurung dan lain-lain. Setiap sudutnya digantungkan mayang. Begitulah setau saya.”
5. Pertanyaan:
“Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Waktu memandikannya itu setelah sholat Dzhuhur. Tanggalnya mengambil si akhir bulan antara akhir bulan ketujuh dan awal bulan kedelapan kehamilan. Tidak bisa
kalau dilaksanakan di awal bulan ketujuh.”
6. Pertanyaan:
“Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Tidak, warga diundang hanya saja tidak diharuskan banyak yang hadir. Kalau
undangannya sedikit juga tidak apa-apa. Kalau mau ramai juga tidak apa-apa.”
7. Pertanyaan:
168
“Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?”
Jawaban:
“Tidak, bebas saja.”
8. Pertanyaan:
“Bagaimana cara pelaksanaannya?”
Jawaban:
“Keluar ke halaman rumah untuk mandi-mandi, setelah mandi-mandi selesai masuk
kembali ke dalam rumah. Setelah itu mencicipi semua kue satu per satu. Keunya ada
empat puluh macam. Setelah sudah selesai semua rangkaian acara, barulah undangan
yang sudah menimati hidangan yang telah disediakan oleh tuan rumah. Hanya itu
saja yang saya tau.”
9. Pertanyaan:
“Mengapa hanya al-Fātiḥah Ampat itu yang dibaca?”
Jawaban:
“Kalau tidak diwajibkan mungkin sudah menjadi kebiasaan dari orang-orang tua
zaman dulu membaca surah itu. Kalau wajib berarti diharuskan.”
10. Pertanyaan:
“Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban:
“Kenapa ya, kalau sudah menjadi kebiasaan pasti dibacakan. Memang tidak bisa
tertinggal karena memang begitu rangkaian pembacaannya. Tidak lengkap saja
mungkin.”
11. Pertanyaan:
“Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang membacakan dan
yang dibacakan?”
Jawaban:
“Pada dasarnya untuk meminta keselamatan saja mungkin. Supaya lancar ketika
melahirkan.”
12. Pertanyaan:
“Bagaimana praktik pembacaannya?”
Jawaban:
“Dibacakan bersama-sama dan diawali oleh pemimpin bacaannya.”
13. Pertanyaan:
“Apakah semua undangan ikut membacakan?”
Jawaban:
“Setahu Usu, hanya laki-laki saja yang membacakan di ruang tamu, para perempuan
di dapur dan di halaman rumah saja.”
14. Pertanyaan:
“Apakah ada syarat tertentu untuk menjadi pemimpin bacaan?”
Jawaban:
“Pastinya harus mengerti agama dan bisa membaca apa yang harus dibacakan.”
15. Pertanyaan:
“Apakah Ibu hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Hafal.”
16. Pertanyaan:
“Apakah Ibu mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Saya kurang mengerti.”
17. Pertanyaan:
“Bagaimana Ibu memaknai al-Qur’an secara umum?”
169
Jawaban:
“Al-Qur’an adalah kitab suci yang berisi petunjuk untuk kehidupan kita.”
18. Pertanyaan:
“Apakah Ibu terbiasa membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Kadang-kadang membaca al-Qur’an.”
19. Pertanyaan:
“Mengapa Ibu membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Selain karena kitab suci, agar hati kita tenang juga, agar terlindungi terjaga, dan
agar dapat pahala juga.”
20. Pertanyaan:
“Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-Qur’an?”
Jawaban:
“Orang ketika Tasmiyahan, Isra’ Mi’raj, betamat atau khataman al-Qur’an sebelum
menikah. Ketika anak baru lahir juga mengaji atau dibacakan al-Qur’an kata orang
sini. Kalau perempuan dibacakan surah Maryam agar sifatnya seperti Siti Maryam
katanya, kalau laki-laki dibacakan surah Yūsuf agar sifatnya seperti Nabi Yūsuf.
Sebenarnya surah Yūsuf dan Maryam juga dibacakan ketika Ibu masih mengandung,
itu pun kalau Ibunya rajin. Jadi kalau ingin anaknya perempuan, maka rajin-rajinlah
membaca surah Maryam, kalau ingin anaknya laki-laki baca surah Yūsuf.”
Identitas Informan 11
Nama : Ibu Sri Mulyati
Umur : 57 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Sebagai : Bidan Kampung
1. Pertanyaan:
“Apakah Ibu pernah mengikuti atau melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban: “Pernah.”
2. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah mandi hamil tujuh bulan di Keraya?”
Jawaban:
“Mengikuti orang zaman dulu sjaa mungkin. Tradisi orang kita sini sudah menjadi
kebiasaan masih kita ikuti, padahal kalau mau dibuang tradisi ini juga tidak apa-apa.
Tapi kita sekarang masih melaksanakan tradisi tersebut.”
3. Pertanyaan:
“Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan mandi-mandi?”
Jawaban:
“Iya karena menurut orang zaman dulu sudah menjadi tradisi. Sudah menjadi kebiasaan kita setiap hamil pertama usia tujuh bulan harus mandi-mandi. Hanya saja
ketika mengandung anak ketiga namanya mandi baya’.”
4. Pertanyaan:
“Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Bebas saja tempatnya dimana. Biasanya di halaman atau di samping rumah.”
5. Pertanyaan:
“Apakah ada waktu khusus untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
170
Jawaban:
“Kalau orang yang mandi-mandi pasti ketika tepat memasuki tujuh bulan dan harus
akhir bulan. Kalau kata orang itu biasanya ketika memasuki bulan kedelapan bisa
juga dilaksanakan mandi-mandi. Perhitungan bulannya mengikuti bulan kita Islam.”
6. Pertanyaan:
“Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Bebas siapa saja yang ingin hadir. Yang pasti diundang adalah keluarga-keluarga
kita.”
7. Pertanyaan:
“Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?”
Jawaban:
“Tidak ada. Terserah kita mau sebanyak apa.”
8. Pertanyaan:
“Bagaimana cara pelaksanaannya?”
Jawaban:
“Bidan kampung yang memandikannya ada tiga orang. pertama yang memandikan
adalah kepala bidan kampung terlebih dahulu, barulah kita yang menjadi pengiring.
Yang mengiringi boleh dari keluarga kita sendiri. Setelah dimandikan dan ditampung
tawari, pengantin dibebaskan untuk mandi lagi sendiri. Setelah itu baru memasuki
rumah ketika pengantin sudah berganti pakaian di tempat pemandian tersebut.
Setelah itu mereka duduk di atas kasur, dan dibacakan do’a selamat. Setelah selesai barulah semuanya menyantap hidangan yang telah disediakan. Terutama memakan
kue yang ada di dalam dua tempat besar. Tetapi zaman sekarang sudah tidak sulit
lagi kalau untuk masalah kue, yang penting ada pulut, nasi manis, sudah cukup.
Terserah kita saja.”
9. Pertanyaan: “Apa saja perlengkapan yang digunakan atau yang harus disiapkan ketika akan
melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Mayang yang masih tertutup untuk dipecahkan nanti, mayang yang sudah mekar,
kelapa yang sudah dikupas satu buah untuk dibelah menjadi dua bagian di atas
kepala pengantin, sedangkan air kelapanya diminumkan kepada kedua pengantin.
Setelah itu kelapa yang bertunas satu buah, dan kelapa yang masih muda satu buah. Air yang digunakan untuk mandi adalah air bunga, tujuh macam bunga, dan tampung
tawar. Air yang dicampurkan ke dalam air bunga tersebut adalah air do’a barzanji
dan air keturunan. Air do’a barzanji tersebut dibacakan sebelum acara mandi-mandi
dimulai. Kalau tidak ada laki-laki yang bisa membacakan, maka perempuan pun bisa
membacakan do’a barzanji tersebut. Dengan adanya air do’a barzanji tersebut
diharapkan pengantin diberikan keselamatan.”
10. Pertanyaan: “Apa manfaat atau tujuan dari mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Untuk menyelamatkan kita saja. Pokoknya mudah-mudahan diberikan keselamatan
ketika melahirkan.”
11. Pertanyaan:
“Mengapa hanya al-Fātiḥah Ampat itu yang dibaca?”
Jawaban:
“Supaya selamat saja mungkin. Al-Fātiḥah Ampat memang biasa kita bacakan, tidak
boleh tidak.”
171
12. Pertanyaan:
“Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban:
“Kalau tidak dibaca boleh juga, tapi sebaiknya dibaca. Ketika melakuka apapun
harus membaca surah al-Fātiḥah, qul huwallahu ahad, al-Falaq, dan al-Nas tersebut.
Ketika mau tidur pun harus dibaca.”
13. Pertanyaan:
“Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang membacakan dan
yang dibacakan?”
Jawaban:
“Agar selamat saja. Memohon perlindungan kepada Allah.”
14. Pertanyaan:
“Bagaimana praktik pembacaannya?”
Jawaban:
“Dibaca bersama-sama, tetapi diawali oleh pemimpin bacaan terlebih dahulu.”
15. Pertanyaan:
“Apakah semua undangan ikut membacakan?”
Jawaban:
“Biasanya laki-laki yang membacakan.”
16. Pertanyaan:
“Apakah Ibu hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban: “Hafal.”
17. Pertanyaan:
“Apakah Ibu mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Saya tidak begitu mengerti.”
18. Pertanyaan:
“Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-Qur’an?”
Jawaban:
“Tasmiyahan pasti ada, batamat juga kan memang al-Qur’an yang dibacakan, ketika
melahirkan juga dibacakan al-Qur’an. Kalau anaknya perempuan surah Maryam,
kalau laki-laki surah Yūsuf. Manfaatnya mungkin supaya diberi keselamatan. Sudah
menjadi tradisi kita sejak lama. Biasanya dibacakan selama tiga malam atau tujuh malam. Kalau ketika kita sedang hamil dan mampu membacakan surah-surah
tersebut, maka lebih baik lagi. Kalau ingin anaknya perempuan baca surah Maryam,
kalau mau anak laki-laki baca surah Yūsuf.”
Identitas Informan 12 Nama : Bapak H. Arbain
Umur : 70 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan
Sebagai : Sesepuh kampung
1. Pertanyaan:
“Apakah Bapak pernah mengikuti pelaksanaan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Pernah.”
2. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah mandi hamil tujuh bulan di Keraya?”
172
Jawaban:
“Kalau mengenai sejarah ini wallahu a’lam. Dulu saya belum pernah mendapatkan
atau menemukan mandi-mandi pada zaman Rasulullah. Jadi istilahnya mandi-mandi
ini hanya adat istiadat daerah kita saja. Adapun asalnya dari Banjar atau
darimananya saya tidak begitu tau. Namun sebenarnya tidak salah juga. Kalau di
aliran lain sudah pasti dianggapnya bid’ah mandi-mandi tersebut. Tapi kan bid’ah itu
ada dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang mana hasanah itu artinya
mendatangkan kebaikan, sedangkan dhalalah artinya ditolak. Tapi menurut saya
mandi-mandi itu baik saja dan tidak mungkin menjadi salah. Kalau kata orang
sebagian bid’ah itu karena tidak ada hadisnya. Sedangkan kita tidak berani
mengatakan bid’ah karena kita tidak hafal beribu-ribu hadis. Jadi jangan sembarangan ikut-ikutan mengatakan bid’ah kalau kita tidak hafal banyak hadis.
Mungkin saja sebenarnya ada di dalam hadis, hanya saja kita belum menemukannya.
Intinya kalau sesuatu yang kita perbuat itu tidak menyalahi agama apalagi di
dalamnya ada dibacakan al-Fātiḥah, al-Ikhlas, maka tidak mungkin menjadi masalah.
Bahkan itu dianjurkan apalagi ketika anak masih di dalam kandungan. Seharusnya
ketika anak masih ada dalam kandungan hendaknya dibacakan surah Muḥammad,
surah Yūsuf, surah Maryam. Diniatkan saja untuk dihadiahkan kepada bayi yang
dikandung. Nanti kita tidak repot lagi ketika anak tersebut sudah lahir, karena dia
sudah banyak tau. Kenapa? Karena banyak Alim Ulama yang seperti itu. Ibunya
membacakan surah-surah tersebut, apalagi dibantu oleh suaminya diniatkan untuk
bayi yang dikandung. Yang diutamakan untuk dibaca secara terus menerus adalah surah Muḥammad. Pokoknya pasti anaknya jadi sholeh.”
3. Pertanyaan:
“Apa saja surah yang dibaca dalam mandi hamil tujuh bulan di Keraya?”
Jawaban:
“Biasanya di awalnya saja dibacakan al-Fātiḥah Ampat, yaitu surah al-Fātiḥah, al-
Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas. Kalau sudah melahirkan juga ada dibacakan surah
Yūsuf untuk anak laki-laki. Surah Maryam untuk anak perempuan. tapi lebih baik
lagi jika dibacakan ketika bayi masih di dalam kandungan seperti yang sudah saya
katakana tadi surah Muḥammad, surah Yūsuf dan surah Maryam. Karena orang Alim
Ulama ketika masih di dalam kandungan selalu dibacakan surah-surah tersebut.
Kalau ketika sudah lahir baru dibacakan surah-surah tersebut si bayi sudah banyak
gangguan, tidak seperti masih di dalam kandungan tidak gangguan. Tapi orang-orang zaman sekarang sudah tidak banyak yang seperti itu. Maklum lah zaman sekarang
ini. Kenapa kita bacakan surah-surah tersebut? Supaya anak kita bisa seperti Nabi
Muḥammad, Nabi Yūsuf, dan Siti Maryam.”
4. Pertanyaan:
“Mengapa hanya surah-surah itu yang dibaca?”
Jawaban:
“Istilahnya hanya sebagai permintaan kita saja. Itu kan istilahnya sebagai awal do’a.
Do’a itu kalau tidak diawali dengan shalawat dan al-Fātiḥah tersebut artinya kurang
mantap. Adat istiadat dari orang zaman dulu juga al-Fātiḥah Ampat tidak bisa
ditinggal.”
5. Pertanyaan: “Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban:
“Kalau tidak dibacakan lalu mengawalinya dengan apa? Berarti kalau tidak dibaca
ketika di awal biasanya mau serba ringkas. Ibaratkan kalau makanan itu kurang
bumbunya. Tidak banyak yang didapatkan begitu istilahnya. Kalau tidak dibacakan
lalu diganti dengan apa? Berarti membaca bismillah saja begitu? Langsung begitu?
173
Memang tidak menjadi perangka wajib, tetap baiknya dibacakan. Pokoknya al-
Fātiḥah itu untuk segala-galanya. Kalau tidak dibacakan al-Fātiḥah penyerahan kita
terhadap Allah itu kurang, kata orang itu kurang adab kepada Allah, Rasulullah, dan
para sahabatnya. Tetapi kalau sudah dibacakan al-Fātiḥah Ampat maka lengkaplah
sudah.”
6. Pertanyaan:
“Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang membacakan dan
yang dibacakan?”
Jawaban:
“Sebagai permintaan. Jadi niat atau permintaannya kembali kepada yang punya
acara. Intinya mengharap atas rahmat-Nya.” “Pertanyaan:
“Bagaimana praktik pembacaannya?”
Jawaban:
“Biasanya diawali oleh yang memimpin bacaan, barulah yang lain mengikuti. Al-
Fātiḥah satu kali, qul huwallahu ahad empat kali, sempurnanya itu dibaca sebanyak
empat kali, qul a’udzubirobbil falaq satu kali, qul a’udzubirabbinnas satu kali.
Tetapi kalau masing-masing surah dibaca sebanyak tiga kali maka akan semakin baik
lagi. Tergantung kita yang membacakan. Kalau saya banyak bumbunya jadi tidak
bisa diikuti. Zaman sekarang maunya semua bacaan itu pendek, ringkas agar tidak
terlalu lama katanya. Kalau saya lebih suka bacaan yang lebih panjang. Kenapa?
Rasanya berdo’a menjadi lebih nikmat di hadapan yang Kuasa.”
7. Pertanyaan:
“Apakah semua undangan ikut membacakan?”
Jawaban:
“Kalau seseorang itu mendengar, maka pasti ikut membacakan. Kalau tidak berarti
tidak ikut membacakan.”
8. Pertanyaan:
“Apakah Bapak hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Hafal karena biasa kita bacakan ketika sholat.”
9. Pertanyaan:
“Apakah Bapak mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban: “Kalau ingin lebih mengetahui maknanya itu cari di tafsir. Saya tidak begitu tahu
juga bagaimana penjelasannya. Hanya sekedarnya saja. Memang alangkah baiknya
kalau kita tau maknanya, tetapi kalau kita bukan orang yang terpelajar dan tidak
sekolah, jadi sulit. Misalnya surah al-Ikhlas, qul huwallahu ahad, katakanlah Allah
itu satu, menunjukkan keesaan Tuhan. Al-Fātiḥah juga diibaratkan al-Qur’an
terhimpun dalam satu surah tersebut. Seperti dalam hadis dikatakan apabila kamu
hendak tidur maka bacalah al-Fātiḥah sekian banyaknya, artinya sama dengan
mengkhatamkan al-Qur’an. Berarti banyak makna, tujuan dan manfaat di dalamnya.”
10. Pertanyaan:
“Dalam kegiatan keagamaan apa saja terdapat pembacaan al-Qur’an?”
Jawaban: “Kalau kita ingin menambahkan maka banyak acara yang dibacakan al-Qur’an.
Tasmiyahan juga ada pembacaan al-Qur’annya. Pokoknya setiap acara apa saja entah
itu membaca surah Yāsīn dan lain-lain, intinya adalah untuk mengharap rahmat-
Nya.”
Identitas Informan 13
174
Nama : Ibu Mia
Umur : 25 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Sebagai : Pelaksana
1. Pertanyaan:
“Apakah Ibu pernah mengikuti atau melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Pernah.”
2. Pertanyaan:
“Bagaimana sejarah mandi hamil tujuh bulan di Keraya?”
Jawaban:
“Mengikuti tradisi orang zaman dulu, meskipun sebenarnya jika saya tidak mandi-
mandi pun tidak apa-apa juga.”
3. Pertanyaan: “Mengapa setiap usia kehamilan mencapai tujuh bulan diadakan mandi-mandi?”
Jawaban:
“Karena tradisi saja. Kebanyakan keluarga saya yang sudah mulai modern
pemikirannya tidak melaksanakan mandi-mandi. Tapi alhamulillah lancar-lancar
saja ketika melahirkan.”
4. Pertanyaan:
“Dimanakah tempat untuk melaksanakan mandi hamil tujuh bulan?”
Jawaban:
“Di halaman rumah. Mandi-mandinya di halaman rumah, tetapi kalau untuk
pembacaan do’a dan lain sebagainya di dalam rumah. Di halaman rumah itu
dibuatkan tempat pemandiannya lagi. Tempatnya terbuat dari kain perca yang disambung lalu dibuat membentuk dinding, lalu diberi tanaman seperti kelapa yang
baru tumbuh, dan lain-lain seperti pohon pisang dan lain sebagainya.”
5. Pertanyaan:
“Apakah semua warga mengikuti acara mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Biasanya pasti antusias warga itu besar. Karena acara ini termasuk jarang
dilaksanakan.”
Pertanyaan:
“Apakah ada batasan untuk tamu undangan yang hadir?”
Jawaban:
“Tidak ada batasan.”
6. Pertanyaan: “Bagaimana cara pelaksanaannya?”
Jawaban:
“Rangkaian acaranya itu, pertama sebelum keluar ke halaman rumah seingat saya
duduk menghadapi kue-kue pamali terlebih dahulu. Setelah itu ada tujuh orang anak
berbaris di belakang kami, setelah itu barulah kami keluar ke halaman rumah menuju
tempat pemandian. Selain anak-anak tersebut ada dua orang bidan kampung, dan dua
orang ibu-ibu yang memegang kelapa. Kalau ketika mandi-mandi dilaksanakan,
seingat saya pertama yang dilakukan adalah meminum air keturunan yang jumlahnya
sekitar tujuh macam air, tergantung kita punya berapa keturunan. Karena keturunan
saya banyak dari Ayah saya, kalau dari Ibu saya tidak ada.”
7. Pertanyaan:
175
“Apa persiapan yang dilakukan ketika akan melaksanakan mandi hamil tujuh
bulan”?
Jawaban:
“Pertama yang harus disiapkan adalah kue-kuenya empat puluh macam. Lalu kalau
kami sebagai pengantinnya lebih mempersiapkan hal-hal seperti pakaiannya saja.
Pakaian yang digunanakan itu bebas tetapi biasanya memakai kain jarik dan dilapisi
dengan kain kuning. Kenapa memakai kain kuning, karena memang sudah menjadi
ciri khas daerah kita disini, kerajaan kita disini kan kerajaan Istana Kuning. Lalu di
kelapanya diukir gambar wayang, karena kami adalah keturunan suku Bugis jadi
harus diukir dengan gambar wayang. Lalu siapkan juga pakaian untuk dipakai
setelah mandi-mandi selesai.”
8. Pertanyaan: “Apa manfaat atau tujuan dari mandi hamil tujuh bulan tersebut?”
Jawaban:
“Kalau saya sendiri menanggapinya lebih seperti kita mengucapkan rasa syukur saja.
Jadi untuk bersyukur saja, bukan karena ritualnya. Hanya saja acara ini lebih seperti
ke syukuran saja, karena usia kehamilan sudah mencapai tujuh bulan. Kata orang
kalau usia kehamilan di bawah usia tujuh bulan itu beresiko, jadi bersyukur saja
bahwa anak kita akan segera lahir.”
9. Pertanyaan:
“Mengapa hanya al-Fātiḥah Ampat itu yang dibaca?”
Jawaban: “Mungkin karena kebanyakan apapun yang kita lakukan pasti al-Fātiḥah Ampat itu
sering dibaca, seperti dalam ttahlilan, selamatan, pasti dibaca.”
10. Pertanyaan:
“Bagaimana jika surah-surah itu tidak dibaca dalam tradisi tersebut?”
Jawaban:
“Mungkin tidak ada pengaruhnya, karena yang penting itu ucapan rasa syukur kita
kepada Tuhan saja.”
11. Pertanyaan:
“Apa manfaat dari pembacaan surah-surah tersebut bagi anda yang membacakan dan
yang dibacakan?”
Jawaban:
“Mungkin untuk kelancaran sepertinya dan keselamatan serta ucapan rasa syukur itu menurut saya. Karena saya selamat ketika melahirkan mungkin bisa saja karena
dibacakan surah-surah itu juga, karena surah-surah itu turunnya dari Allah, jadi bisa
jadi membawa keselamatan ketika saya melahirkan. Ibarat kata itu adalah do’a kita
kepada Allah. Meskipun tidak hanya surah itu saja yang dibaca dalam acara tersebut,
dan kita juga tidak tau do’a kita yang mana yang dikabulkan oleh Allah. Tapi baik
saja kalau al-Fātiḥah Ampat tersebut kita baca.”
12. Pertanyaan:
“Apakah Ibu hafal dengan surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Hafal dong.”
13. Pertanyaan: “Apakah Ibu mengerti dengan arti atau makna dari surah/ayat yang dibacakan?”
Jawaban:
“Dulu saya tau, tapi sekarang saya sudah tidak ingat.”
14. Pertanyaan:
“Apakah Ibu terbiasa membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
176
“Alhamdulillah, ketika mengandung pun saya membaca al-Qur’an. Biasanya
membaca surah Maryam.”
15. Pertanyaan:
“Mengapa Ibu membaca al-Qur’an?”
Jawaban:
“Kalau sebelum lahiran saya membaca al-Qur’an surah Maryam karena kata orang
tua kalau ingin anaknya perempuan maka baca surah itu. Tetapi saya sebenarnya
tidak begitu yakin dengan hal ini. Karena sudah menjadi ketentuan Allah anak kita
mau perempuan atau laki-laki. Selain membaca surah Maryam, saya juga membaca
surah Yāsīn. Karena diajari orang seperti itu. Biasanya setiap malam Jum’at saya
membaca surah Yāsīn untuk almarhumah Nenek saya, jadi sekalian baca Yāsīn terus ditiupkan ke air, lalu kita minum airnya supaya anak kita pintar katanya. Tidak ada
salahnya untuk kita laksanakan, karena hal yang kita lakukan itu baik. Nah, setelah
melahirkan ada pembacaan al-Qur’an lagi sambil memanggil orang-orang untuk
membacakannya. Kalau anaknya perempuan baca surah Maryam, kalau laki-laki
baca surah Yūsuf. Mungkin menurut orang sini dibacakan surah-surah tersebut agar
anak-anaknya sholeh sholeha. Tapi menurut saya agar anak kita dari kecil terbiasa
mendengarkan al-Qur’an saja. Jadi tidak begitu berpengaruh pada psikologi si anak.
Karena yang saya lihat di sini tidak semua anak yang dibacakan surah-surah itu
ketika kecil, ketika ia sudah besar menjadi apa yang diharapkan dari pembacaan
surah-surah tersebut. Kalau hanya dibacakan ketika ia kecil pastinya tidak akan
berpengaruh, kecuali dibacakan terus menerus sampai ia besar.”