Upload
phydt
View
80
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bising
Bising didefinisikan sebagai bunyi yang tidak di inginkan, tidak disukai, dan
mengganggu. Menurut Chadwick, bising secara objektif terdiri dari getaran bunyi
kompleks dari berbagai frekuensi dan amplitudo, baik yang getarannya bersifat periodik
maupun non periodik (Bashiruddin 2002).
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1996, definisi
bising adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat atau
waktu tertentu yang dapat mengganggu kenyamanan lingkungan dan dapat berimplikasi
terhadap kesehatan manusia (Netrita 2008).
Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 718/MENKES/PER/XI/1987
menyebutkan pembagian tingkat kebisingan menurut empat zona (Wiyadi 1996):
1. Zona A (Kebisingan antara 35 dB sampai 45 dB)
Zona yang diperuntukkan bagi penelitian, rumah sakit, tempat perawatan
kesehatan atau sosial dan sejenisnya.
2. Zona B (Kebisingan antara 45 dB sampai 55 dB)
Zona yang diperuntukkan bagi perumahan, tempat pendidikan, rekreasi dan
sejenisnya.
3. Zona C (Kebisingan antara 50 dB sampai 60 dB)
Zona yang diperuntukkan bagi perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar dan
sejenisnya.
4. Zona D (Kebisingan antara 60 dB sampai 70 dB)
Universitas Sumatera Utara
Zona yang diperuntukkan bagi industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bus
dan sejenisnya.
Tingkat bising yang diperbolehkan pada masing-masing kawasan berbeda-beda
(Tabel 2.1) seperti pada lingkungan sekolah, tingkat bising yang diperbolehkan adalah
55 dB (SK Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor KEP.48/MENLH/11/1996).
Tabel 2.1 Nilai baku tingkat kebisingan (Kep. MENLH 1996)
Peruntukan kawasan/Lingkungan Kegiatan Tingkat kebisingan (dB)
a. Peruntukan kawasan 1. Perumahan dan pemukiman 2. Perdagangan dan jasa 3. Perkantoran 4. Taman (ruang terbuka hijau) 5. Industri 6. Kantor pemerintahan 7. Tempat rekreasi 8. Khusus:
- Bandar Udara - Stasiun Kereta Api - Pelabuhan Laut - Cagar Budaya
b. Lingkungan Kegiatan 1. Rumah sakit atau sejenisnya 2. Sekolah atau sejenisnya 3. Tempat ibadah atau sejenisnya
55 70 65 50 70 60 70
70 70 70 60
55 55 55
Bising dapat menimbulkan berbagai gangguan, antara lain gangguan
komunikasi (Bashiruddin 2002). Gangguan komunikasi biasanya disebabkan oleh efek
masking (bunyi yang menutupi pendengaran) atau gangguan kejelasan suara sehingga
komunikasi berbicara harus dilakukan dengan cara berteriak (Roestam 2004).
Beberapa studi mendapatkan adanya gangguan komunikasi akibat kelelahan
bersuara pada guru yang disebabkan kebisingan lingkungan sekolah (Jonsdotir 2003,
Universitas Sumatera Utara
Simberg 2004, Aronson et al. 2007, Kadryan 2007). Gangguan tersebut nantinya akan
berpengaruh terhadap kualitas hidup terutama dalam menjalankan profesinya.
2.2 Kelelahan bersuara
Kelelahan bersuara merupakan adaptasi negatif pembentukan suara pada orang-
orang yang sering menggunakan suara dalam jangka waktu lama tanpa kelainan
patologis pada laring (Welham dan Maclagan 2003).
Kelelahan bersuara biasanya ditandai dengan perubahan kualitas suara, rasa
tidak nyaman saat bersuara dan adanya keterbatasan penggunaan suara. Suara yang
lelah akan terdengar serak atau parau (Lehto 2007). Menurut Colton dan Casper,
kelelahan bersuara ditandai dengan suara serak, turunnya volume suara, dan rasa nyeri
atau tidak nyaman di tenggorokan saat bersuara (Jonsdotir 2003). Seringkali guru
menggunakan suaranya dengan sangat keras sehingga menyebabkan masalah pada
tenggorokannya (Kadriyan 2007).
Berbagai studi menemukan kelelahan bersuara lebih banyak dijumpai pada guru
terutama guru perempuan, dibandingkan dengan profesi lain (Solomon et al. 2002).
Simões dan Latorre (2006) dalam penelitiannya menemukan penyebab utama
kelelahan bersuara adalah penggunaan suara yang berlebihan, berbicara di lingkungan
yang bising dan faktor stress.
Berbicara dengan suara yang keras dapat meningkatkan frekuensi vibrasi pita
suara yang apabila berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan kekakuan pada pita
suara (Lehto 2007, Sliwinka-Kowalska et al. 2006).
2.2.1 Mekanisme produksi suara
Universitas Sumatera Utara
Fungsi laring selain berperan sebagai proteksi saluran napas serta terlibat pada
fungsi pernapasan, laring juga ikut berperan dalam proses bersuara (Sasaki 2009).
Sumber bunyi untuk produksi suara adalah laring dan pita suara yang bergetar
(Ackah 2000). Proses pembentukan suara melibatkan sistem respirasi yang
menghasilkan udara sebagai sumber energi (Sulica 2006). Pada saat ekspirasi, pita suara
mulai bergetar (Lehto 2007).
Mekanisme gerakan pita suara tergantung pada tekanan udara didalam glottis
(Rubin 2006). Selama proses ini, terdapat perbedaan tekanan udara di atas dan dibawah
glottis. Perbedaan tekanan ini membuat pita suara bergetar (Damste 1997). Jika tekanan
intraglotal negatif, pita suara akan menutup, dan jika tekanan intraglotal positif maka
udara akan mendorong pita suara hingga terbuka (Rubin 2006).
Peningkatan tahanan glotis dapat meningkatkan volume udara, sehingga terjadi
penutupan paksa pita suara. Penggunaan tekanan yang berlebihan seperti ini dikenal
dengan hiperfungsi laring yang dapat mengakibatkan trauma pada pita suara. Oleh
karena itu keseimbangan antara tekanan aliran udara dan tahanan glotis sangat penting
(Ackah 2000).
Penutupan pita suara yang tidak sempurna membutuhkan energi yang cukup
besar untuk menghasilkan aliran udara yang lebih banyak agar dapat terus menghasilkan
suara. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya kelelahan bersuara (Ackah 2000).
Pemeriksaan dengan menggunakan nasolaringofaringoskopi merupakan cara
pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi fungsi laring (Courey 2009). Menurut
Sapienza (2009), stroboskopi merupakan alat pemeriksaan kualitatif.
Dengan videostroboskopi gerakan adduksi dan abduksi pita suara lebih mudah di
evaluasi. Getaran pita suara menentukan produksi suara dan kualitas suara. Selama
Universitas Sumatera Utara
produksi suara, pita suara mengalami vibrasi sebanyak 80 sampai 800 kali perdetik.
Getaran ini bisa di observasi menggunakan cinematografi dengan pengambilan film
sebanyak 2000 sampai 4000 kali perdetik (Courey 2009).
Pada videostroboskopi, digunakan cahaya xenon untuk menyinari laring guna
mendapatkan pembiasan (fraction) tiap detik. Cahaya xenon akan menyinari pita suara
terus-menerus pada berbagai posisi. Mikrofon digunakan untuk menangkap sinar dan
mensikroniksasikannya menjadi frekuensi getaran pita suara (Courey 2009).
Karakteristik getaran pita suara di observasi pada frekuensi yang berbeda. Pada
frekuensi suara yang rendah, pita suara akan menunjukkan pola getaran yang besar. Jika
frekuensi suara bertambah akibat peningkatan tegangan pita suara, maka pola vibrasi
menjadi lebih kecil. Hal ini disebabkan karena vibrasi pita suara hanya terjadi pada
mukosa superfisial plika vokalis (Courey 2009).
2.2.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi kelelahan bersuara
Kelelahan bersuara disebabkan oleh berbagai hal (Welham dan Maclagan 2003).
Menurut Jones et al (2002). Kelelahan bersuara akibat lingkungan kerja merupakan
kombinasi dari efek vokasional, personaliti dan faktor biologi. Faktor vokasional
termasuk, lamanya pemakaian suara selama bekerja, bising di lingkungan kerja, jarak
berbicara, dan faktor stres. Faktor personaliti (Speech-related personality) termasuk,
kebiasaan seseorang menggunakan suara yang keras, terlalu tinggi dan cepat. Faktor
biologi termasuk, semua faktor yang dapat menyebabkan gangguan pada mukosa pita
suara seperti merokok, minum alkohol, kafein, sinusitis, penyakit alergi, dan
gastrointestinal refluks (GERD).
Universitas Sumatera Utara
Morrison dan Rammage mengatakan ada empat faktor internal yang dapat
mempengaruhi produksi suara, yaitu posisi tubuh yang salah, kebiasaan merokok, emosi
dan GERD (Koojiman et al. 2005).
Jonsdotir (2003) dalam disertasinya mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi munculnya kelelahan bersuara pada guru antara lain intensitas suara,
bidang studi yang diajarkan, jenis kelamin, faktor stres, faktor ergonomik, kebiasaan
merokok dan penyakit infeksi saluran napas. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh
Munier dan Kinsella (2007). William (2003) menambahkan bahwa meningkatnya resiko
terjadinya kelelahan bersuara tergantung pada durasi mengajar, lamanya berprofesi
menjadi guru dan faktor usia.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan terhadap munculnya kelelahan bersuara
adalah faktor lingkungan tempat bekerja. Kondisi sekolah yang bising, kondisi fisik
kelas seperti kelas yang sempit dengan jumlah murid yang terlalu banyak, bising, debu,
penerangan yang buruk, ventilasi udara yang kurang, dapat mengganggu kualitas suara
selama mereka bekerja. (Alves et al. 2009). Jonsdotir (2003) menemukan adanya
korelasi antara keluhan guru seperti rasa kering ditenggorokan, suara serak dan rasa
tidak enak ditenggorokan dengan kondisi lingkungan sekolah yang buruk.
Faktor resiko yang paling utama munculnya kelelahan bersuara adalah
penggunaan suara itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan tingkat intensitas suara yang
digunakan selama mengajar. Berbicara di lingkungan yang ramai atau berbicara dengan
jarak yang jauh dapat meningkatkan intensitas suara. Rata-rata intensitas suara
perempuan dalam percakapan sehari-hari sebesar 48 dB sedangkan intensitas suara laki-
laki sebesar 51 dB (Jonsdotir 2003).
Universitas Sumatera Utara
Guru yang mengajar pada mata pelajaran tertentu misalnya guru agama, guru
kesenian, dan guru olah raga, dapat mempengaruhi timbulnya masalah bersuara
(Jonsdotir 2003, Williams 2003, Nerriere et al. 2009 ). Hal ini disebabkan karena guru
bidang studi ini lebih banyak menggunakan suara selama mengajar dan terkadang
mereka harus menggunakan suara yang lebih keras (Nerriere et al. 2009). Di Indonesia,
khususnya Kota Medan, guru wali kelas yang mengajar di SD adalah guru yang
bertanggung jawab terhadap sejumlah murid dalam satu kelas dan merangkap sebagai
guru yang mengajar di beberapa bidang studi.
Perempuan lebih beresiko mengalami kelelahan bersuara dibandingkan laki-laki
(Smith et al. 1998 , Williams 2003). Russel et al (1998) dalam studinya mengatakan
bahwa perempuan dua kali lebih mudah mengalami kelelahan bersuara dibandingkan
laki-laki. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pada struktur organ pembentuk
suara. Pada perempuan frekuensi fundamental (F0) lebih tinggi dibandingkan laki-laki,
sehingga pita suara pada perempuan lebih banyak mengalami vibrasi (Jonsdotir 2003).
Adanya perbedaan jumlah fibronectin dan hyaluronic acid (HA) pada lapisan
lamina propria pita suara, menyebabkan pita suara perempuan lebih tipis dan kaku
dibandingkan laki laki (Eckley 2008). Butler menemukan kadar hyaluronic acid pada
perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Ini menyebabkan pita suara perempuan
lebih mudah mengalami trauma akibat pengunaan suara yang berlebihan (Jones et al.
2002).
Stres bisa menjadi salah satu faktor pemicu munculnya kelelahan bersuara pada
guru. Kyriacou dan Sutcliffe melakukan pemeriksaan terhadap 257 guru di Inggris dan
menemukan 20% guru bekerja dalam kondisi stres (Jonsdotir 2003). Hal ini
berhubungan dengan murid yang tidak disiplin dan kondisi kelas yang bising selama
Universitas Sumatera Utara
kegiatan belajar mengajar. Guru yang bekerja pada kondisi stres dapat mengakibatkan
munculnya kelelahan bersuara demikian juga sebaliknya (Simberg 2004).
Posisi tubuh saat bekerja juga mempengaruhi munculnya kelelahan bersuara.
Guru lebih sering berdiri saat mengajar dibandingkan posisi duduk. Vintturi et al (2003)
pada penelitiannya menemukan bahwa guru yang mengajar pada posisi berdiri lebih
banyak mengeluhkan adanya gangguan bersuara dibandingkan dengan posisi duduk.
Koojiman et al (2005) menemukan adanya hubungan antara tegangan otot-otot laring
dengan posisi tubuh terhadap munculnya kelelahan bersuara. Posisi yang tidak simetris
antara leher dan bahu dapat menyebabkan terjadinya lordosis servikal yang dapat
mempengaruhi produksi suara.
Merokok dapat menyebabkan edema pada pita suara. Ini mengakibatkan
terjadinya gangguan vibrasi sehingga frekuensi fundamental (F0) menurun.
Damborenea (1999) pada studinya menemukan bahwa frekuensi fundamental (F0) lebih
rendah ditemukan pada perokok dibanding dengan yang bukan perokok.
Reaksi alergi dan infeksi saluran napas atas menyebabkan suara menjadi serak.
Lapisan superfisial pita suara yang longgar dan lentur akan bergetar lebih maksimal saat
berbicara. Kondisi ini dapat menyebabkan kekakuan pita suara akibat laringitis
(Jonsdotir 2003).
Laringitis kronis akibat penggunaan suara yang berlebihan dapat mengakibatkan
inflamasi yang menetap sehingga pita suara menjadi lebih kaku (Jonsdotir 2003).
Preciado et al (2005) dalam studinya menemukan bahwa laringitis banyak dijumpai
pada pria, kemungkinan ini disebabkan oleh kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan
merokok.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Dampak kelelahan bersuara
Dampak yang sering muncul akibat kelelahan bersuara, yaitu penurunan
kualitas hidup dan kelainan permanen pada laring. Hal ini biasanya terjadi setelah
kelelahan bersuara timbul berulangkali. Dampak terhadap kualitas hidup terjadi akibat
ketidakmampuan untuk berbicara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama.
Kondisi ini dapat mempengaruhi kehidupan mereka baik secara sosial ekonomi maupun
psikologis (Kadriyan 2007, Spina et al. 2009).
De jong pada penelitiannya menemukan dari 1878 guru di Belanda, 50%
mengalami kelelahan bersuara selama berkarir dan seperlimanya berhenti menjadi guru
akibat gangguan bersuara yang dialaminya (Nerriere 2009). Russel et al (1998)
memperkirakan sebanyak 37.8% guru di Adelaide, Australia tidak hadir paling sedikit
selama 1 hari akibat kelelahan bersuara. Sedangkan Urrutikoetxea et al melaporkan
sebanyak 17 % guru di Brazil tidak hadir saat bekerja dengan alasan suara serak
(Urrutikoetxea et al. 1995).
Kelelahan bersuara pada guru sering menjadi masalah. Ketidakmampuan dalam
bekerja bisa terjadi ketika kelelahan bersuara menjadi lebih berat sehingga mereka
tidak mampu berkomunikasi secara efektif (Jong de 2010). Supina (2009) mengatakan
kelelahan bersuara dapat mengganggu kehidupan sosial seseorang yang secara
langsung mempengaruhi kualitas hidup mereka.
Gassaul et al (2010) pada studinya menemukan adanya hubungan antara
kelelahan bersuara dengan meningkatnya stres pada guru di Spanyol. Jin et al (2008)
dalam studinya menemukan bahwa munculnya stress pada guru di Hongkong
dipengaruhi oleh beban kerja yang berlebihan. Kyriacou dan Sutcliffle menemukan 20
% guru di Inggris mengalami frustasi akibat kelelahan bersuara. Menurutnya kondisi
Universitas Sumatera Utara
kelas yang bising serta jumlah murid yang terlalu banyak dapat meningkatkan stress
selama mereka mengajar (Jong de 2010). Lingkungan bising dapat
menyebabkan lebih dari 60% guru menderita gangguan bersuara dan memberikan efek
psikososial terhadap kehidupan mereka. (Bermudez de Alvear 2010).
Dampak lain dari kelelahan bersuara adalah kelainan struktur terutama terjadi
pada lapisan epitel dan lamina propria. Kelainan pada lapisan epitel biasanya berupa
edema yang dapat berlanjut menjadi nodul pita suara. Sedangkan kelainan pada lamina
propria dapat terjadi akibat penumpukan cairan atau darah yang dapat berlanjut menjadi
polip pita suara (Kadriyan 2007).
Nodul dan polip pita suara merupakan lesi jinak yang dapat menggangu
penutupan pita suara. Kedua kelainan ini menyebabkan suara serak selama berbicara
(Jiang et al. 2009). Berbicara dalam waktu lama dengan nada tinggi, berteriak dan
bernyanyi menyebabkan hiperfungsi pita suara dalam membentuk fonasi. Hal ini dapat
menyebabkan trauma pada pita suara (Johns 2009).
Penggunaan suara yang berlebihan dan terus-menerus merupakan faktor
pencetus munculnya nodul pita suara (Ballenger 1994). Nodul pita suara sering
dijumpai pada perempuan dibandingkan pada laki-laki (Damste 1997). Kelainan ini
banyak dijumpai pada profesi yang mengandalkan suara seperti guru, tenaga penjual
(salesman) dan penyanyi. Maria de Araujo (2008) menemukan dari 747 orang guru
perempuan di Brazil sebanyak 12.9 % menderita nodul pita suara. Preciado et al dalam
studinya di Brazil menemukan dari 905 guru, 57 % mengeluhkan suara serak dan 14%-
nya ditemukan nodul pita suara (Preciado et al. 2005). Urrutikoetxea et al (1995) dalam
studinya mendapatkan 218 kasus gangguan bersuara pada guru di Perancis, 43%
menderita nodul pita suara.
Universitas Sumatera Utara
Nodul dijumpai pada sepertiga anterior sampai duapertiga posterior pinggir pita
suara dan selalu simetris. Pada daerah tersebut terjadi vibrasi maksimal sehingga rentan
mengalami trauma (Damste 1997, Burton 2000, Dhingra 2007). Trauma pada pita suara
menyebabkan edema dan perdarahan pada lapisan submukosa yang kemudian
mengalami hialinisasi dan fibrosis (Dhingra 2007).
Penggunaan suara yang berlebihan selain menyebabkan nodul juga dapat
menyebabkan polip pita suara (Dhingra 2007). Eckley et al (2008) melaporkan laki-laki
lebih banyak menderita kelainan ini dibandingkan dengan perempuan dengan usia rata-
rata 42 tahun, tetapi tidak dianalisa mengapa hal tersebut terjadi.
Polip bisa terjadi sepanjang membran pita suara tetapi lebih sering ditemukan di
bagian anterior pita suara. Biasanya lesi unilateral meskipun di beberapa penelitian
polip ditemukan bilateral (Damste 1997, Ecley et al. 2008). Pada lapisan epitel pita
suara terdapat ruang subepitel yang disebut dengan ruang Reinke, akumulasi cairan
mudah terjadi pada ruang ini sehingga menyebabkan pita suara menjadi edema. Jika
hal ini terjadi terus- menerus akibat penggunaan suara yang salah maka akan terbentuk
polip pita suara (Damste 1997).
Kelelahan bersuara juga dapat menyebabkan kelelahan neuromuskuler,
perubahan viskolelastisitas pita suara, gangguan aliran darah akibat meningkatnya
tekanan intramuskuler selama otot berkontraksi dan kelelahan otot-otot pernapasan
(Welham et al. 2003). Titze mengatakan bahwa ada hubungan antara kelelahan bersuara
dengan viskoelastisitas pita suara. Hal ini disebabkan berbicara pada jangka waktu lama
dan terus menerus menyebabkan perubahan komposisi cairan didalam pita suara.
Perubahan ini mengakibatkan kekakuan pita suara (Welham dan Maclagan 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Voice Handicap Indeks (VHI)
Salah satu alat ukur yang telah divalidasi oleh beberapa penelitian untuk
mengatahui kelelahan bersuara adalah Voice Handicap Index (VHI).
VHI adalah kuesioner yang dibuat dan di perkenalkan pada tahun 1997 oleh
Jacobson dkk, VHI ini di gunakan sebagai alat ukur sederhana yang digunakan untuk
menilai kelelahan bersuara. Istilah handicap berarti kerugian ekonomi atau sosial yang
terjadi dari ketidakmampuan gangguan fisik yang spesifik, terutama gangguan suara.
(Jacobson 1997).
Pengembangan dan validasi VHI telah dilakukan oleh Barbara H. Jacobson
dengan hasil VHI dalam 30 item ( Jacobson 1997). Penelitian berikutnya banyak
menggunakan VHI sebagai alat ukur. Niebude Bogusz et al (2007) melakukan
penelitian dengan menggunakan VHI sebagai alat ukur dengan hasil total nilai VHI
menunjukkan gambaran fungsional, emosional dan keadan fisik yang sangat bermakna
(P<0,001) pada guru perempuan di Polandia. Analisa dengan menggunakan skor VHI
menunjukkan 68% guru perempuan di Polandia mempunyai masalah dengan suara
mereka. Koojiman melakukan penelitian dengan menggunakan VHI sebagai alat ukur
(Koojiman PGC et al. 2010).
Pada penelitian lain, VHI di anggap sebagai standar baku dalam validasi alat
ukur ganguan bersuara, misalnya penelitian Wilson et al yang melakukan validasi
terhadap The Voice Symptom Scale (VoiSS) (Wilson et al. 2004).
Kuesioner VHI berisi 30 pertanyaan, yang terbagi dalam 3
kelompok, yaitu fungsional (F), fisik (P) dan emosi (E). Tiap
tiap sub item mempunyai 10 pertanyaan yang spesifik yang dinilai
Universitas Sumatera Utara
dengan skala numerik, yaitu 0 (tidak pernah), 1 (hampir tidak
pernah), 2 (kadang –kadang), 3 (hampir kadang-kadang), 4
(selalu), jumlah skoring antara 0-120 (Tabel 2.2) (Madeira 2010).
Tabel 2.2 Voice Handicap Index (VHI)
Kode Pengalaman Tidak pernah
Hampir pernah
Kadang-kadang
Hampir selalu
Selalu (setiap saat)
F1 Suara saya membuat orang-orang sulit mendengar saya 0 1 2 3 4
P2 Saya seperti kehabisan udara atau bernafas saat berbicara 0 1 2 3 4
F3 Orang-orang sulit mengerti saya saat berbicara di ruang yang ribut dikarenakan suara saya
0 1 2 3 4
P4 Suara saya bervariasi dalam selang satu hari 0 1 2 3 4
F5 Keluarga saya kesulitan mendengar saya ketika saya memanggil mereka saat di rumah
0 1 2 3 4
F6 Saya jarang menggunakan telepon dikarenakan suara saya 0 1 2 3 4
F7 Saya gugup jika berbicara dengan orang lain karena suara saya 0 1 2 3 4
F8 Saya cenderung menghindari sekumpulan orang karena suara saya 0 1 2 3 4
E9 Orang-orang tampaknya terganggu dengan suara saya 0 1 2 3 4
P10 Orang-orang bertanya “ada apa dengan suaramu?” 0 1 2 3 4
F11 Saya jarang berbicara dengan teman-teman, tetangga, atau saudara karena suara saya
0 1 2 3 4
F12 Orang-orang meminta saya untuk mengulangi apa yang saya katakan ketika berbicara berhadap-hadapan
0 1 2 3 4
P13 Suara saya terdengar serak dan kering 0 1 2 3 4 P14 Saya merasa seakan-akan saya harus
berusaha keras untuk menghasilkan suara
0 1 2 3 4
Universitas Sumatera Utara
E15 Saya mengetahui orang lain tidak mengerti permasalahan suara saya 0 1 2 3 4
F16 Permasalahan suara saya membatasi kehidupan pribadi dan sosial saya 0 1 2 3 4
P17 Kejelasan suara saya tidak dapat diprediksi 0 1 2 3 4
P18 Saya mencoba untuk mengubah suara saya menjadi suara yang berbeda 0 1 2 3 4
F19 Saya merasa ditinggalkan dari pembicaraan karena suara saya 0 1 2 3 4
P20 Saya menggunakan usaha yang keras untuk berbicara 0 1 2 3 4
P21 Suara saya lebih parah pada malam hari 0 1 2 3 4
F22 Permasalahan suara saya membuat saya kehilangan pendapatan 0 1 2 3 4
E23 Masalah suara saya membuat saya marah 0 1 2 3 4
E24 Saya kurang bisa bergaul karena permasalahan suara saya 0 1 2 3 4
E25 Suara saya membuat saya merasa cacat 0 1 2 3 4
P26 Suara saya “hilang” pada saat berbicara 0 1 2 3 4
E27 Saya merasa terganggu ketika orang-orang meminta saya untuk mengulang kata-kata saya
0 1 2 3 4
E29 Suara saya membuat saya merasa rendah diri 0 1 2 3 4
E30 Saya malu dengan masalah suara saya 0 1 2 3 4
Berdasarkan kategori skor VHI yang dibuat oleh Kojiman et al (2004) dibagi
menjadi: 1) skor VHI kurang dari 20 menunjukkan tidak ada gangguan ringan dalam
proses psikososial akibat kelelahan bersuara, 2) skor 20-40 didapatkan adanya
gangguan ringan dalam proses psikososial akibat kelelahan bersuara, 3) Skor 41-60
menunjukkan adanya gangguan sedang dalam proses psikososial akibat kelelahan
bersuara, 4) skor lebih dari 60 menunjukkan adanya kelelahan bersuara berat.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka Konsep
Hiperfungsi laring
Faktor Personaliti Intensitas suara guru yang
mengajar meningkat
Faktor Lingkungan Kelas, jumlah murid, ventilasi yg buruk, debu
Kelelahan Bersuara
Suara serak yg hilang timbul
Suara hilang
Rasa Kering di tenggorokan
Faktor Vokasional
Faktor Ergonomik
Polip Pita suara Nodul Pita Suara Kista Pita Suara
Kelainan pada struktur laring
Nilai VHI < 20 = tdk ada ggn kelelahan suara 20-40 = ggn. kelelahan suara ringan 41-60 = ggn. kelelahan sedang > 60 = ggn. kelelahan berat Subskala VHI VHI-Fungsional VHI-Emosi VHI-Phisik
Jenis Kelamin Umur Durasi
Faktor Biologi: Sinusitis, Rinitis Alergi, GERD, Kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan kafein
Dampak terhadap kualitas hidup
Intensitas bising sekolah tinggi
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
: Hal yang diamati dalam penelitian
: Faktor Perancu
Universitas Sumatera Utara
2.5 Hipotesa Penelitian
Kelelahan bersuara pada guru yang mengajar di SD negeri di Kota Medan
yang berada dekat jalan raya dipengaruhi oleh bising lingkungan sekolah.
Universitas Sumatera Utara