Upload
theofilus-ardy
View
67
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
obstetri ginekologi, kontrasepsi
Citation preview
Terjemahan Jurnal
PEMBERIAN MISOPROSTOL SEBELUM INSERSI IUD
PADA NULLIGRAVIDA :
PENELITIAN KLINIS TERKONTROL
Presentan :
dr. F. Fionna
Counterpart :
dr. R. Adawiyah
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DOKTER KARIADI
SEMARANG
2014
Pemberian Misoprostol Sebelum Insersi IUD Pada Nuligravida :
Penelitian Klinis Terkontrol
Pertanyaan penelitian : Seberapa efektif pemberian misoprostol vaginal dalam
mendilatasi serviks sebelum memasukkan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD)
pada nuligravida?
Ringkasan jawaban : Penggunaan misoprostol dengan dosis 400 µg yang
diberikan pervaginam 4 jam sebelum pemasangan IUD meningkatkan kemudahan
insersi dan mengurangi kejadian nyeri selama prosedur, meskipun frekuensi kram
meningkat setelah penggunaan misoprostol.
Apa yang diketahui sebelumnya dan apa yang makalah ini tambahkan :
Misoprostol telah banyak digunakan dalam dunia Obstetri dan Ginekologi, namun
kegunaan dan keberhasilannya dalam memfasilitasi pemasangan IUD pada
nulligravida belum ditetapkan. Penelitian ini menunjukkan bahwa manfaat
penggunaan misoprostol sebelum pemasangan IUD diantaranya adalah mem-
fasilitasi insersi dan mengurangi rasa nyeri selama prosedur, sehingga lebih besar
manfaat daripada satu-satunya efek samping negatif (kram sebelum insersi), hasil
ini menunjukkan bahwa penggunaan misoprostol harus menjadi praktek standar
untuk memfasilitasi pemasangan IUD pada nulligravida.
Desain penelitian, durasi ukuran : dilakukan penelitian klinis, acak, double-
blind.
Peserta / bahan, metode setting: wanita nulligravida usia reproduksi yang hadir
untuk pemasangan IUD antara Juli 2009 dan November 2011 di Instituto de
Medicina Integral Prof Fernando Figueira di Recife, Pernambuco, Brasil.
Sebanyak 179 wanita secara acak dialokasikan ke dalam dua kelompok : 86
menerima 400 µg misoprostol vagina 4 jam sebelum pemasangan IUD dan 93
menerima plasebo. Rasio resiko (RR) dihitung sebagai ukuran risiko relatif,
bersama-sama dengan interval kepercayaan 95 % mereka (95 % CI). Jumlah
needed to treat (NNT) dan jumlah needed to harm (NNH) juga dihitung.
Hasil utama dan peran peluang : Perbedaan signifikan ditemukan antara
kelompok-kelompok untuk semua titik akhir yang diteliti, dengan lebih sedikit
kesulitan dalam memasukkan IUD [RR = 0,49 (23/86 vs 51/93), 95 % CI : 0.33 -
0,72 ; P = 0,00005], lebih rendahnya risiko dilatasi, <4 mm [RR = 0,48 (24/86 vs
54/93), 95 % CI : 0,33-0,70, P = 0,0001], penurunan moderat sampai berat dari
nyeri pada pemasangan IUD [RR = 0,56 (32/86 vs 62/93], 95 % CI : 0,41-0,76, P
= 0,00008), serta kemungkinan lebih rendah mengalami sensasi tidak menye-
nangkan atau sangat tidak menyenangkan [RR = 0,49 (29/86 vs 64/93), 95 % CI :
0,35-0,68, P = 0,000004] pada kelompok yang menerima misoprostol
dibandingkan dengan kelompok yang menerima plasebo. Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara kelompok dalam kaitannya dengan komplikasi selama
pemasangan IUD. Tidak ada kasus perforasi uterus pada kedua kelompok.
Frekuensi kram adalah 40 % lebih tinggi pada kelompok misoprostol.
Keterbatasan, alasan untuk diperhatikan : Penelitian ini menunjukkan keseim-
bangan positif antara manfaat dan risiko penggunaan misoprostol, namun tidak
cukup untuk menyimpulkan bahwa penggunaannya sangat penting sebelum
pemasangan IUD pada nulligravida dan pemasangan IUD harus tidak dapat
dibatalkan bila obat tidak tersedia.
Implikasi temuan : Dari sudut efeknya dalam memicu dilatasi serviks, miso-
prostol mungkin digunakan sebelum pemasangan IUD baik pada nulligravida dan
pada setiap wanita dengan stenosis serviks tanpa memandang paritas.
Dana penelitian : Penelitian ini didanai oleh Instituto de Medicina Integral Prof
Fernando Figueira.
Konflik Kepentingan: Tidak ada.
Kata kunci : intrauterine device / misoprostol / nuligravida / kontrasepsi.
PENDAHULUAN
Intrauterine device (IUD) adalah jenis kontrasepsi yang aman, sangat efektif dan
reversibel jangka panjang (LARC). Namun demikian, hanya 15% dari wanita usia
reproduksi di negara berkembang dan 8% di negara maju yangmenggunakannya
sebagai metode kontrasepsi (d'Arcangues, 2007). Ada kemungkinan bahwa
kesulitan dalam memasukkan perangkat ini membatasi penggunaannya pada
nuligravida (Grimes dan Schulz, 2001).
Sampai beberapa waktu yang lalu, diasumsikan bahwa IUD tidak boleh
digunakan pada nuligravida, karena metode kontrasepsi ini diyakini terkait dengan
peningkatan risiko penyakit radang pelvis (PID) yang dapat mengakibatkan
infertilitas (Hubacher et al., 2001). Walaupun studi terbaru telah melakukan
evaluasi yang lebih menyeluruh dari keterkaitan ini, dan telah menyimpulkan
bahwa risiko infeksi sangat kecil sehingga nulipara tidak lagi menjadi
kontraindikasi untuk penggunaan metode ini, banyak profesional kesehatan (HCP)
masih membatasi penggunaannya dalam kelompok wanita ini, mengklaim bahwa
insersi perangkat cukup sulit (Grimes dan Schulz, 2001).
Dalam upaya untuk meningkatkan kemudahan pemasangan IUD pada
nuligravida, beberapa peneliti menguji penggunaan misoprostol sebelum prosedur
(Schaefer et al, 2010; Dijkhuizen et al, 2011). Sebuah uji klinis baru-baru ini
mengevaluasi penggunaan 400 µg misoprostol sublingual 90 menit sebelum
pemasangan IUD di 40 nuligravida. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
rasa nyeri yang dilaporkan oleh wanita bila dibandingkan dengan kontrol
(Edelman et al., 2011). Dua studi juga gagal menunjukkan pengurangan rasa nyeri
atau tidak mengurangi tingkat kesulitan dalam memasukkan IUD (Scavuzzi et al,
2009; Heikinheimo et al, 2010). Namun demikian, desain protokol dalam tiga
studi mungkin mempengaruhi hasil.
Tidak ada konsensus yang diperoleh dari literatur sehubungan dengan
kemanjuran, dosis, waktu dan cara pemberian misoprostol sebelum pemasangan
IUD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah penggunaan
misoprostol vaginal sebelum pemasangan IUD dapat memfasilitasi prosedur dan
mengurangi persepsi wanita dari rasa nyeri, serta efek samping langsung dan
lambat.
BAHAN DAN METODE
Sebuah penelitian klinis, acak, double-blind dilakukan dengan melibatkan wanita
nulligravida usia reproduksi yang datang untuk dilakukan insersi IUD (TCU 380
A, Optima, Injeflex, Sao Paulo, Brazil) dengan penggunaan misoprostol vaginal
(400 µg) atau plasebo sebelum pada Instituto de Medicina Integral Prof Fernando
Figueira (IMIP), Recife, Pernambuco, Brasil antara Januari 2009 dan November
2011. Protokol penelitian telah disetujui oleh dewan peninjau institusional dan
semua wanita menandatangani informed consent sebelum masuk dalam penelitian.
Protokol penelitian telah didaftarkan pada ClinicalTrials.gov dengan nomor
referensi NCT01383889. Protokol penelitian dan Consort checklist tersedia
sebagai data tambahan.
Ukuran sampel dihitung dengan menggunakan program software OpenEpi,
versi 2.3.1, mengingat frekuensi kesulitan dalam memasukkan IUD secara
subyektif sebesar 45 % pada kelompok plasebo dan penurunan 50 % jumlah
tersebut dengan penggunaan misoprostol (Saav et al., 2007). Menurut
perhitungan, akan diperlukan 152 wanita (76 wanita dalam setiap kelompok).
Memprediksi kehilangan/drop out atau kasus pelanggaran protokol hingga 20%,
angka ini dapat meningkat dan, sebagai ukuran keamanan, 190 kotak obat studi
yang berisi misoprostol atau plasebo disiapkan.
Wanita nuligravida usia reproduksi yang tidak pernah mendapat operasi
dari serviks uterus dan yang telah diminta untuk menggunakan IUD sebagai
metode kontrasepsi dimasukkan dalam studi. Wanita dengan kontraindikasi untuk
penggunaan IUD sebagaimana didefinisikan dalam kategori 3 dan 4 dari (2004)
kriteria kelayakan medis Organisasi Kesehatan Dunia (2004) untuk penggunaan
kontrasepsi dikeluarkan dari penelitian.
Para wanita awalnya diidentifikasi di klinik keluarga berencana dari
IMIP’s Women’s Healthcare Center (CAM). Selama pemasangan IUD, semua
wanita masih menstruasi. Hari siklus menstruasi untuk pemasangan IUD berkisar
dari hari pertama hingga kesembilan. Pada saat itu, para wanita secara acak dibagi
ke dalam kelompok misoprostol vaginal (400 µg) atau kelompok plasebo. Tablet
ini dimasukkan oleh peneliti utama ke dalam forniks vagina posterior wanita 4
jam sebelum pemasangan IUD. Semua insersi dilakukan oleh peneliti utama
menggunakan teknik standar (Edelman et al., 2011). IUD yang digunakan adalah
Cu T380A (Optima) dan semua insersi yang dilakukan oleh peneliti utama,
menggunakan teknik standar untuk pemasangan IUD (Edelman et al., 2011).
Setiap wanita diidentifikasi oleh nomor urut berurutan sesuai dengan kotak
tertutup yang berisi baik dua tablet plasebo maupun dua tablet masing-masing
berisi 200 µg misoprostol. Selain nomor urut, masing-masing kotak diidentifikasi
dengan nama wanita dan nomor registrasi, dan hanya dibuka ketika tablet harus
dimasukkan ke dalam vagina. Baik peneliti maupun wanita itu tidak mengetahui
apakah misoprostol atau plasebo yang diberikan. Pengacakan dilakukan (1:1)
sesuai dengan daftar yang dibuat menggunakan metode pengacakan blok dan
berisi nomor urut 1-190 (jumlah wanita yang akan acak). Daftar ini disusun oleh
seorang ahli statistik yang tidak terlibat langsung dalam penelitian ini,
menggunakan Program Random Allocation Software, versi 1.0 (Isfahan, Iran) dan
hanya menggunakan huruf A dan B, tanpa menyadari maknanya. Daftar ini
dikirim ke perusahaan farmasi, dimana coding (misiprostol atau plasebo) dari
setiap huruf, A dan B, dipilih secara acak. Kotak disiapkan oleh apoteker sesuai
dengan pengacakan ditetapkan oleh ahli statistik. Para peneliti baru menyadari isi
kotak A dan B, hanya setelah analisis statistik itu selesai ketika kode pengacakan
dibuka dan coding dari setiap huruf terungkap.
Tablet misoprostol vaginal dengan dosis masing-masing 200 µg, dosis
total per wanita dari 400 µg, dikomersialisasikan dan dikembangkan secara
khusus untuk penggunaan vaginal oleh Hebron Industria Farmaceutica (Caruaru,
Pernambuco, Brazil), yang juga menyiapkan tablet plasebo, yang identik dengan
obat aktif dalam bentuk, ukuran, warna dan berat, dan dibuat khusus untuk
penelitian ini.
Titik akhir primer adalah kesulitan subyektif (seperti yang dilaporkan oleh
penyidik) dalam memasang IUD. Titik akhir sekunder adalah frekuensi wanita
dengan dilatasi serviks ≤ 4 mm (diukur dengan memasukkan dilator Hegar #4
melalui orificium interna serviks uteri segera sebelum pemasangan IUD) dan
nyeri pada insersi, karena dinilai secara subjektif oleh wanita dan dievaluasi oleh
penyidik menggunakan skala analog visual (Saav et al., 2007). Skala berkisar dari
0 sampai 10, dimana 0 adalah tidak adanya rasa nyeri dan 10 adalah nyeri
terburuk yang bisa dibayangkan. Skor itu kemudian dibagi ke menjadi tidak
ada/ringan (0-5) dan sedang/berat (6-10). Sebuah titik akhir sekunder lebih lanjut
adalah evaluasi subyektif para wanita dari prosedur (pemasangan IUD), yang
diklasifikasikan dapat diterima, sedikit tidak menyenangkan, tidak menyenangkan
atau sangat tidak menyenangkan.
Frekuensi efek samping langsung (yang terjadi sebelum pemasangan IUD)
dan efek samping lambat (yang terjadi 24 jam setelah pemasangan IUD) (kram,
mual, muntah, diare dan hipertermia) juga dievaluasi, misalnya efek samping yang
terjadi selama pemasangan IUD seperti kram, mual, muntah, reaksi vasovagal,
perforasi uterus dan kegagalan untuk memasukkan alat. Kami meminta informasi
tentang peristiwa 24 jam melalui telepon. Kami menjelaskan bagaimana mereka
harus mengukur suhu dan kami menyediakan termometer jika mereka tidak
memilikinya.
Tiga puluh hari setelah pemasangan IUD, wanita dihubungi melalui
telepon dan diminta untuk datang ke klinik ginekologi untuk mengevaluasi
komplikasi seperti perdarahan berat menstruasi, perdarahan intermenstrual,
spotting, kram yang sering, kandidiasis, vaginosis bakterial dan ekspulsi IUD.
Setiap kali komplikasi diidentifikasi, penanganan yang tepat diberikan.
Analisis dilakukan dengan prinsip intention-to-treat. Awalnya, tabel
distribusi frekuensi dibuat untuk variabel kategorikal, dan ukuran tendensi sentral
dan dispersi dihitung untuk variabel numerik. Uji X2 dan uji Fisher digunakan
sebagaimana mestinya, untuk menentukan hubungan antara variabel dan
penggunaan misoprostol atau plasebo. Nilai two-tailed digunakan untuk semua
tes. Rasio resiko (RR) dihitung sebagai ukuran risiko relatif, bersama-sama
dengan interval kepercayaan 95% mereka yang relevan. Jumlah needed to treat
(NNT) dan jumlah needed to harm (NNH) juga dihitung, bersama-sama dengan
masing-masing interval kepercayaan 95%.
HASIL
Awalnya, IUD ditawarkan sebagai metode kontrasepsi untuk 220 wanita
nulligravida, 30 di antaranya dikeluarkan dari penelitian. Dari jumlah tersebut, 16
tidak memenuhi kriteria inklusi (pernah hamil dan pernah mengalami prosedur
bedah serviks uterus) dan 14 dikeluarkan karena alasan lain (adanya cervicitis
purulen, perdarahan vagina dari penyebab yang tidak diketahui dan mioma
submukosa deformasi rongga uterus). Sepuluh wanita menolak untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini. Oleh karena itu, 190 wanita diacak, 95 pada
kelompok plasebo dan 95 pada kelompok misoprostol vaginal. Setelah
pengacakan, delapan kotak yang berisi misoprostol dan dua yang mengandung
plasebo tidak sengaja rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Dari 87 wanita yang
tersisa dalam kelompok misoprostol, 1 wanita berhenti dari studi setelah diberi
obat, karena itu, 179 wanita nuligravida tetap dalam studi, 86 pada kelompok
misoprostol vaginal dan 93 pada kelompok plasebo (Gambar 1).
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok sehubungan
dengan karakteristik wanita dalam sampel (Tabel I). Perbedaan signifikan yang
ditemukan antara kelompok untuk semua titik akhir segera dievaluasi, dengan
lebih sedikit kesulitan dalam memasukkan IUD (RR = 0,49, 95 % CI : 0,33-0,72 ;
NNT = 3, P = 0,00001) dan lebih sedikit risiko dilatasi serviks ≤ 4 mm (RR =
0,49, 95 % CI : 0,33-0,70 ; NNT = 4, P = 0,00005) ketika misoprostol digunakan
sebelum insersi. Kelompok wanita dengan penggunaan misoprostol sebelumnya
juga mengalami penurunan 44 % pada nyeri moderat sampai berat selama
pemasangan IUD dibandingkan dengan kelompok plasebo (RR = 0,56, 95 % CI :
0,41-0,76 ; NNT = 3 ; P = 0.00004). Demikian juga, wanita lebih sedikit
melaporkan sensasi subjektif dari pengalaman tidak menyenangkan atau sangat
tidak menyenangkan dengan penggunaan misoprostol (RR = 0,49, 95 % CI : 0,35-
0,68 ; NNT = 3, P = 0,000004) (Tabel II).
Tidak ada perbedaan yang signifikan antarkelompok dalam kaitannya
dengan komplikasi selama insersi IUD. Frekuensi perdarahan, reaksi vasovagal,
kram, mual, muntah dan kegagalan insersi hampir sama pada kedua kelompok.
Tidak ada kasus perforasi uterus yang terjadi pada kedua kelompok (Tabel III).
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam frekuensi mayoritas efek samping
langsung seperti mual, muntah, hipertermia dan diare, yang dievaluasi sebelum
pemasangan IUD. Namun demikian, ada peningkatan yang signifikan untuk kram
dengan penggunaan misoprostol sebelumnya dibandingkan dengan plasebo (RR =
1,40, 95 % CI : 1,05-1,86 ; NNH = 6, P = 0,002). Sehubungan dengan efek
samping yang dievaluasi 24 jam setelah pemasangan IUD, tidak ada perbedaan
signifikan yang ditemukan antara kelompok misoprostol dan plasebo (Tabel IV).
Karena insersi IUD gagal pada beberapa kasus, evaluasi dilakukan 30 hari
kemudian termasuk pada 82 wanita pada kelompok misoprostol dan 90 pada
kelompok plasebo. Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan ketika
frekuensi perdarahan menstruasi yang berat, perdarahan intermenstrual, spotting,
kram, PID atau tingkat ekspulsi dibandingkan antara kedua kelompok (Tabel V).
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, penggunaan misoprostol dengan dosis 400 µg terkait dengan
berkurangnya kesulitan subyektif dalam memasang IUD pada wanita nuligravida,
berkurangnya risiko dilatasi serviks ≤ 4 mm dan berkurangnya rasa nyeri, seperti
yang dilaporkan oleh wanita, namun, terdapat insiden kram yang lebih besar.
Efek misoprostol pada matriks seluler dari serviks uterus menyebabkan
perombakan serat kolagen, meningkatkan jumlah cairan dalam stroma dan
akibatnya menyebabkan penipisan serviks. Efek ini membuat penggunaan obat ini
memiliki proposisi yang baik untuk kondisi ginekologi dan obstetri tertentu (Fiala
et al, 2007; Tang et al, 2002; Tang et al, 2007.).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari bukti-bukti ilmiah
untuk mendukung penggunaan misoprostol sebelum pemasangan IUD pada
nuligravida, namun variasi dalam dosis, waktu pemberian dan rute pemberian
membuat pembandingan hasil ini menjadi sulit (Li et al, 2005. ; Saav et al, 2007;
Dijkhuizen et al, 2011). Selain itu, ukuran sampel yang kecil mungkin telah
bertanggung jawab atas tidak adanya efek signifikan yang ditemukan dalam
beberapa studi. Meskipun waktu dan rute pemberian yang berbeda, hasil dari
temuan ini sejalan dengan hasil yang dipublikasikan oleh peneliti lain berkenaan
dengan tingkat kesulitan pada insersi (Li et al, 2005;. Saav et al, 2007.). Namun,
beberapa studi gagal menemukan pengurangan nyeri selama prosedur dan tidak
menemukan peningkatan kemungkinan keberhasilan insersi (Schaefer et al, 2010;
Dijkhuizen et al, 2011).
Dua temuan utama dari penelitian ini adalah lebih mudahnya insersi dari
IUD dan kemungkinan lebih besar untuk dilatasi serviks >4 mm dengan
penggunaan misoprostol sebelumnya. Peneliti lain telah melaporkan hasil yang
sama (Li et al, 2005; Saav et al, 2007). Dalam satu percobaan klinis, para penulis
melaporkan bahwa pemberian sublingual dari 400 µg misoprostol 1 jam sebelum
pemasangan IUD pada 47 nuligravida wanita membuat insersi lebih mudah dan
mengurangi tingkat kegagalan insersi (Saav et al., 2007). Dalam studi lain yang
melibatkan serangkaian kecil kasus dimana insersi gagal karena stenosis serviks,
penggunaan 400 µg misoprostol vagina menghasilkan keberhasilan insersi pada
semua wanita yang terlibat, menunjukkan lebih mudah dari insersi IUD dengan
penggunaan misoprostol sebelumnya (Li et al., 2005).
Sebuah uji klinis baru-baru ini diterbitkan dimana 400 µg misoprostol
digunakan peroral 90 menit sebelum pemasangan IUD pada 35 nuligravida tidak
menemukan perbedaan signifikan dalam nyeri yang dilaporkan oleh wanita
(Edelman et al., 2011). Dalam penelitian tersebut, frekuensi yang lebih besar dari
efek samping, terutama kram dan mual, ditemukan pada kelompok misoprostol.
Temuan frekuensi kram yang lebih besar tidak mengherankan, karena efek
samping ini disebabkan oleh peningkatan kontraktilitas uterus yang diprovokasi
oleh misoprostol, yang merupakan prostaglandin poten (Arias, 2000;. Tang et al,
2007). Dalam penelitian ini, frekuensi yang lebih besar dari kram juga ditemukan
pada kelompok wanita yang menerima misoprostol, meskipun tidak ada
perbedaan signifikan yang ditemukan dalam kaitannya dengan efek samping lain
(mual, muntah, diare dan hipertermia). Pertanyaan dari beberapa peneliti adalah
apakah peningkatan kontraksi uterus ini menyebabkan peningkatan risiko ekspulsi
IUD dan hal ini masih harus diklarifikasi (Edelman et al., 2011). Tidak ada bukti
mengenai hal ini yang ditemukan dalam penelitian ini, namun, sampel tidak cukup
bertenaga untuk mengungkapkan perbedaan dalam tingkat ekspulsi antara
kelompok.
IUD adalah metode LARC yang aman, efektif, dan saat ini dianggap
sebagai kontrasepsi yang ideal bagi kaum muda, wanita nulligravida, dari saat
dimana mereka memulai kehidupan seksual mereka sampai mereka memutuskan
untuk memiliki anak pertama mereka (American College of Obstetricians dan
Gynecologists 2007). Di masa lalu, IUD diindikasikan hanya untuk multipara,
rekomendasi ini mungkin berasal dari kekhawatiran tentang kemungkinan
peningkatan kejadian akut PID dan hubungan antara kondisi ini dan infertilitas.
Meskipun semua penelitian selanjutnya membuktikan bahwa risiko ini sangat
rendah, banyak HCP masih tidak menganjurkan wanita yang belum pernah hamil
menggunakan metode kontrasepsi ini (Hubacher et al, 2001; Morgan, 2006;
Stanback dan Shelton, 2008).
Faktor lain yang membatasi penggunaan IUD pada nuligravida adalah
bahwa insersi bisa secara teknis lebih sulit dan lebih menyakitkan dalam
kelompok ini. Meskipun kurangnya bukti ilmiah, misoprostol telah digunakan dan
direkomendasikan oleh banyak HCP untuk memfasilitasi prosedur ini. Satu studi
terbaru yang diterbitkan di Amerika Serikat mengevaluasi pendapat 2.211 dokter
yang bekerja di bidang kedokteran reproduksi. Secara keseluruhan, 1.905 (86 %)
dari individu-individu yang diwawancarai melaporkan memasukkan IUD di
nuligravida dan 947 (42,7%) menggunakan misoprostol sebelum prosedur, dengan
mayoritas (n = 515 ; 54 %) percaya bahwa penggunaan obat ini sangat memudah-
kan insersi perangkat (Ward et al., 2011).
Sepengetahuan kami tidak ada studi lain yang telah diterbitkan mengenai
400 µg misoprostol yang digunakan vaginal 4 jam sebelum pemasangan IUD.
Dalam penelitian lain, dosis berkisar 100-800 µg, sedangkan obat telah diberikan
secara sublingual, oral, vagina dan rektal, dan waktu pemberian berkisar 1 sampai
12 jam sebelum prosedur (Scavuzzi et al., 2009 ; Schaefer et al, 2010; Dijkhuizen
et al, 2011;. Edelman et al, 2011). Ketika memilih rute pervaginal dan saat
pemberian sebelum pemasangan IUD, farmakokinetik dari obat dipertimbangkan
karena fungsi dari rute yang pemberian yang berbeda, dengan selang waktu 4 jam
yang dianggap paling tepat.
Konsentrasi puncak misoprostol terjadi 30 menit ketika obat ini digunakan
secara oral atau sublingual dan menurun dengan cepat sejak saat ini. Di sisi lain,
ketika rute vaginal digunakan, konsentrasi plasma puncak terjadi setelah 1 jam
dan penurunan terjadi bertahap, dengan tingkat yang tetap tinggi selama minimal
6 jam, pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada ketika diberikan dengan rute
oral atau sublingual (el-Refaey et al, 1995; Aronsson et al, 2004). Ketika
diberikan melalui rute vaginal, efek samping misoprostol lebih ringan dan lebih
dapat mereda dibandingkan dengan rute oral, dengan sedikit mual, kram dan
hipertermia (Hamoda et al, 2004; Fiala et al, 2007).
Studi percontohan yang dilakukan di lembaga ini dengan menggunakan
dosis yang sama yaitu 400 µg 1 jam sebelum pemasangan IUD pada 30 wanita
nuligravida tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kelompok
misoprostol dan plasebo, dan temuan yang juga dipertimbangkan dalam
merancang protokol dari penelitian ini. Oleh karena itu, mengenai waktu
pemberian, diputuskan untuk meningkatkan interval 4 jam dalam upaya untuk
mencapai keseimbangan antara mencapai efek maksimum misoprostol dengan
efek samping sekecil mungkin (Scavuzzi et al., 2009). Selain itu, terdapat ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok yang berkaitan dengan komplikasi
selama pemasangan IUD.
Pertanyaan utama yang harus dibahas adalah apakah manfaat dari
penggunaan obat ini lebih besar daripada efek samping yang muncul, karena
pemasangan IUD, seperti yang telah dievaluasi oleh para profesional, yang
umumnya merupakan prosedur sederhana, dengan beberapa wanita yang
membutuhkan dilatasi serviks, blok paraservikal atau menggunakan prosedur
yang dipandu USG (Allen et al., 2009).
Di sisi lain, harus dipertimbangkan bahwa meskipun pemasangan IUD
merupakan prosedur yang sederhana, murah, cepat dilakukan pada setting rawat
jalan dan dengan tingkat komplikasi yang rendah, bahkan pada nuligravida
(Bahamondes et al., 2011), banyak wanita melaporkan nyeri selama insersi dan
untuk alasan ini sering memilih metode lain yang kurang efektif atau irreversibel
(Forthofer, 2009).
Dalam upaya untuk mengevaluasi manfaat sebenarnya dari penggunaan
misoprostol dalam praktek klinis, NNT dihitung pada titik akhir yang
menguntungkan dalam penelitian ini. Ditemukan bahwa untuk setiap tiga insersi
IUD, dengan penggunaan misoprostol sebelumnya, satu wanita akan mengalami
prosedur yang mudah dan untuk setiap empat insersi IUD seorang wanita akan
akan merasakan sensasi subjektif yang masih dapat diterima atau hanya sedikit
tidak menyenangkan. Selain itu, NNH untuk kram adalah 6, yaitu meskipun ini
adalah efek samping yang umum, ada penyeimbang yang menguntungkan.
Karena penggunaan misoprostol di Brasil hanya terbatas pada rumah sakit
adalah mungkin bahwa merekomendasikan penggunaan misoprostol sebelum
pemasangan IUD di nuligravida memang akan merugikan penggunaan
keseluruhan dari perangkat. Kami menyadari bahwa dalam keluarga berencana
atau kontrasepsi dewasa muda itu penting untuk memulai metode kontrasepsi
pada konsultasi awal jika wanita memenuhi kriteria kelayakan untuk metode yang
dipilih.
Oleh karena itu, karena misoprostol murah, aman, mudah diberikan obat
dengan sedikit efek samping, maka akan baik jika pihak yang berwenang
memungkinkan penggunaannya pada setting rawat jalan. HCP kemudian akan
dapat menggunakan obat ini pada kelompok wanita dimana dianggap perlu,
sehingga mengurangi sensasi rasa nyeri yang dilaporkan oleh wanita dan
memfasilitasi pemasangan IUD. Bahkan bila penggunaan misoprostol ditolak,
namun, wanita nullipara tidak mewakili kontraindikasi untuk penggunaan IUD
dan pemasangan IUD tidak harus bergantung pada penggunaan obat ini.
Tabel 1. Karakteristik wanita nuligravida
Karakteristik Misoprostol (n = 86) Placebo (n=93)
Usia (tahun)
Kisaran 16 – 44 18 – 45
Mean + SD 25.4 + 5.5 25.2 + 5.5
Tingkat pendidikan (lama tahun pendidikan)
Kisaran 4 – 18 4 – 16
Median 12 12
Hari siklus menstruasi saat insersi IUD (kisaran) 1 – 9 1 – 9
Posisi corpus uteri (n; %)
Anteversi/antefleksi 71; 82.6% 73; 78.5%
Midposition 6; 7% 12; 12.9%
Retroversi/retrofleksi 9; 10.5% 8; 8.6%
Tabel 2. Prinsip pengukuran selama insersi IUD pada wanita nuligravida
Titik akhir Misoprostol (n = 86) n (%) Placebo (n = 93) n (%) RR 95% CI Nilai P
Dilatasi serviks
≤4 mm 24 (27.9) 54 (58.1) 0.48 0.33 – 0.70 0.00005
.4 mm 62 (72.1) 39 (41.9) 1.00
Kesulitan dalam memasang IUD
Sulit 23 (26.7) 51 (54.8) 0.49 0.33 – 0.72 0.0001
Mudah 63 (73.3) 42 (45.2) 1.00
Nyeri saat insersi
Moderat/berat 32 (37.2) 62 (66.7) 0.56 0.41 – 0.76 0.00008
Tidak ada/ringan 54 (62.8) 31 (33.3) 1.00
Sensasi subjektif dari wanita
Tidak menyenangkan 29 (33.7) 64 (68.8) 0.49 0.35 – 0.68 0.000004
Sedikit tidak menyengkan / tidak
ada masalah
57 (66.3) 29 (31.2) 1.00
Tabel 3. Efek samping selama insersi IUD
Variabel Misoprostol (n = 86) n (%) Placebo (n = 93) n (%) RR 95% CI Nilai P
Perdarahan 0 (0) 1 (1.1) NC NC .0.99b
Reaksi vasovagal 6 (7.0) 7 (7.5) 0.93 0.32 – 2.65 0.89a
Kram 82 (95.3) 87 (93.5) 1.02 0.95 – 1.09 0.85b
Mual 18 (20.9) 28 (30.1) 0.69 0.42 – 1.16 0.16a
Mual 0 (0) 4 (4.3) NC NC 0.14b
Kegagalan insersi 4 (4.7) 3 (3.2) 1.44 0.33 – 6.26 0.91b
Tabel IV. Efek samping langsung sebelum insersi IUD dan 24 jam setelah insersi IUD
Efek samping Misoprostol (n = 86) n (%) Placebo (n = 93) n (%) RR 95% CI Nilai P
Langsung
Mual 6 (7) 2 (2.2) 3.24 0.67 – 15.64 0.23b
Kram 53 (61.6) 41 (44.1) 1.40 1.05 – 1.86 0.002a
Muntah 5 (5.8) 2 (2.2) 2.70 0.54 – 13.57 0.38b
Diare 4 (4.7) 6 (6.5) 0.72 0.21 – 2.47 0.85b
24 jam kemudian
Mual 1 (1.2) 1 (1.1) 1.08 0.07 – 17.02 .0.99b
Kram 32 (37.2) 30 (32.3) 1.15 0.77 – 1.73 0.49a
Muntah 1 (1.2) 1 (1.1) 1.08 0.07 – 17.02 .0.99b
Hiperthermia 1 (1.2) 5 (5.4) 0.22 0.003 – 1.81 0.25b
Diare 2 (2.3) 0 (0) NC NC 0.46b
Tabel 5. Efek samping 30 hari setelah insersi IUD
Keluhan Misoprostol (n = 86) n (%) Placebo (n = 93) n (%) RR 95% CI Nilai P
Perdarahan menstruasi berat 34 (41.5) 43 (47.8) 0.87 0.62 – 1.21 0.41b
Perdarahan intermenstrual 20 (24.4) 25 (27.8) 0.88 0.53 – 1.46 0.61b
Spotting 29 (35.4) 37 (41.1) 0.86 0.59 – 1.26 0.44b
Kram 62 (75.6) 72 (80) 0.95 0.81 – 1.11 0.49b
PID akut 1 (1.2) 1 (1.1) 1.10 0.07 – 17.27 .0.99c
Ekspulsi 3 (3.7) 1 (1.1) 3.29 0.35 – 31.03 0.55c