306
PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD ABDUH DALAM TAFSIR AL-MANÂR Disertasi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam Oleh Syukriadi Sambas NIM: 97.3.00.1.09.03.0241 Promotor: 1. Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf 2. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009

PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD ABDUHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6962/1...PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD ABDUH DALAM TAFSIR AL-MANÂR Disertasi Diajukan untuk Melengkapi

  • Upload
    others

  • View
    31

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD ABDUH DALAM TAFSIR AL-MANÂR

Disertasi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam

Oleh Syukriadi Sambas

NIM: 97.3.00.1.09.03.0241

Promotor: 1. Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf 2. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2009

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Disertai segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji syukur ke hadhirat

Allah Yang Maha Kuasa, karena atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat

menyelesaikan disertasi yang berjudul PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD

ABDUH DALAM TAFSIR AL-MANÂR, sebagai tugas akhir untuk menempuh

ujian-ujian dalam menyelesaikan Program Pendidikan Doktor (S-3) pada Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Masalah pokok yang dijawab dalam disertasi ini adalah pertanyaan: apa

sajakah substansi hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur-unsur dakwah sebagai

proses perbaikan dan mencari solusi problem mad’u, bentuk dakwah dan pola

kaderisasi profesional dalam mewujudkan keberlangsungan dakwah dalam Tafsir

Almanar.

Penulis menyadari sepenuhnya, tentunya hasil penelitian ini memiliki

banyak kekurangan dalam berbagai hal, terutama dalam penelaahan teori-teori

yang digunakan. Namun atas motivasi, ketekunan dan kearifan bimbingan yang

diberikan oleh pembimbing serta staf pengajar pada Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-

tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf dan Prof. Dr. Zainun Kamal, MA.

selaku promotor, yang di tengah-tengah kesibukan sehari-hari masih

menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan petunjuk yang

sangat berharga selama penulisan disertasi ini dengan penuh kesabaran dan

kearifan. Begitu juga Bapak-bapak dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak memberikan petunjuk dan masukan bidang pemikiran

Islam yang sangat berguna bagi penulisan disertasi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah,

Prof. Dr. Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pasacasarjana UIN Syarif

Hidayatullah, yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti Program Pascasarjana. Begitu pula kepada Bapak Dr. Fu’ad

Jabali Deputi Direktur Bidang Akademik dan Kerjasama, Dr. H. Ujang

Thalib, MA Deputi Direktur Bidang Administrasi dan Kemahasiswaan,

dan Bapak Prof. Dr. Suwito, MA Deputi Direktur Bidang Pengembangan

Kelembagaan, seluruh staf pengajar, seluruh staf perpustakaan, dan

seluruh staf tata usaha Program Pascasarjana UIN Syahid yang telah

memberikan bantuan dan segala fasilitas kepada penulis, sehingga

memperlancar penyelesaian studi bagi penulis.

3. Bapak Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si, pendahulu Prof. Dr. Nanat

Fatah Natsir, MS. rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan Drs. H.

Ahmad Subandi, dekan Fakultas Dakwah IAIN SGD (saat itu tahun

1997M) dan Prof. Dr. Asep Muhyidin, MA, dekan Fakultas Dakwah UIN

SGD sekarang, yang telah memberikan izin dan tugas belajar kepada

penulis disertai pemberian dorongan moral dari awal mengikuti

pendidikan sampai dengan penyelesaian tugas akhir ini.

4. Para Penguji, Bapak Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf,

Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, Prof. Dr. Sutjipto, Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi

Nawawi, MA yang telah berkenan membahas, mengoreksi, dan

memberikan saran-saran yang diperlukan untuk perbaikan disertasi ini.

5. Kepada ayahanda H. Abdullah (wafat 2007 dalam usia 91 tahun) dan

ibunda Hj. Zainab tercinta yang telah mengasuh, membesarkan dan

mendidik penulis, dan yang terus menerus memberikan dorongan lahir dan

batin serta sepanjang saat tetap mendo'akan penulis yang tidak dapat

penulis balas. Penulis hanya dapat mempersembahkan terima kasih atas

jerih payah keduanya, dan semoga Allah memberikan maghfirah, rahmat,

dan hidayah-Nya kepada keduanya sepanjang masa di dunia dan di akhirat

nanti.

6. Bapak H. Dada Rosyada, SH, M.Si., dan Drs. H. Tjetje Subrata, M.Si.,

yang telah memberikan dorongan dan bantuan moril dan materil dalam

penyelesaian akhir penyusunan disertasi dan ujian promosi. Semoga Allah

xi

SWT. membalas kebaikan keduanya dan memberikan kehidupan yang

barokah dan selamat duniawi dan ukhrawi.

7. Sdr. Drs. Dindin Solahudin, MA. yang telah membantu teknis pengetikan

penyelesaian disertasi ini dengan penuh kesabaran. Begitu pula Sdr. Dr.

Busyrol Karim, Prof. Dr. H. T. Fuad Wahab, dan Prof. Dr. H. Mohammad

Hatta sahabat seperjuangan peserta Program S-3 Bebas Terkendali

angkatan 1997M yang telah memberikan semangat dan berdiskusi dalam

menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.

8. Akhirnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan

kepada isteri tercinta Hj. M. Mintarsih dan anak-anak tersayang Indira

Sabet Rahmawaty S.IP, M.Ag, Alex Muhammad Musthafa S. Sos.I, Mela

Mustika Amalia S.Pd.I, Arif Syamsul Alam, Ade Rahmat Sani'a Mandala,

dan Ida Nur'arafah, yang dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan kasih

sayang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

Dengan iringan do'a dan harap kepada Allah SWT, kiranya atas budi baik,

bantuan, dan bimbingan yang telah penulis terima dari berbagai pihak dapatlah

menjadi amal saleh bagi mereka dan mendapat ridha serta balasan yang berlipat

ganda dari Allah SWT.

Bandung, 29 Mei 2009

Penulis,

Syukriadi Sambas

xii

ABSTRAK

Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manâr secara epistemologis bercorak rasional. Dakwah yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah Rasul Allah adalah perilaku rasional (perpaduan antara ‘aql dan qalb) berupa proses internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi Islam, sebagai upaya memeperbaiki dan mengatasi problem psikologis dan sosiologis mad’u melalui implementasi al-Islâm dalam melakukan hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan Allah, dan hubungan dengan sesama manusia untuk memperoleh kehidupan yang selamat- sejahtera lahir-batin di dunia dan di akhirat. Temuan ini memperkuat temuan Ahmad Fuad al-Ahwâni (al-Madâris al-Falâsifah, 1965) bahwa, Muhammad Abduh adalah seorang pemikir yang mendakwahkan pembaharuan pemikiran keagamaan dengan jalan kembali kepada Islam yang autentik menurut sumber utamanya, yaitu al-Qur’ân dan Sunnah Rasul Allah, berupa ishlâh (perbaikan, reformasi) kehidupan beragama, akhlak, pemikiran, akal dan naluri kesucian.

Penelitian yang sama dengan Ahmad Fuad al-Ahwâni, adalah penelitian A. Mukti Ali (Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, 1995) antara lain menurutnya bahwa, pemikiran dalam penafsiran al-Qur’ân, Abduh memadukan antara rasional (sentuhan akal), dengan emosional (sentuhan qalb) dalam kerangka dakwah.

Temuan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelum dan sesudah Muhammad Abduh, yaitu adanya dua martabat level dakwah, yaitu: pertama, tablîgh futûhât (difusi Islam kepada non muslim) dan martabat kedua menjadi dua jalur: (1) al-da’wah al-‘âmmah al-kulliyyah dengan tiga macam bentuk: (a) tablîgh ta’lîm; (b) irsyâd; dan (c) tathbîq hukum, dan (2) al-da’wah al-juziyyah al- khâshshah dengan tiga macam bentuk (a) nafsiyah; (b) fardiyah; dan (c) tadbîr- tamkin ummah. Menurut fungsinya, level dan bentuk dakwah ini sebagai proses ishlâh dan tajdîd kehidupan umat. Hal ini merupakan kontribusi aspek ontologis kajian ilmu dakwah. Aspek ontologis dakwah mengenai transformasi Islam dalam bentuk amar ma’ruf nahy munkar terdapat persamaan dengan para pemikir sebelum dan sesudah Muhammad Abduh, seperti Ibn Taymiyah dan Abdul Karim Zaidan, yang menyebutkannya sebagai al-hisbah dan al-ihtisâb.

Temuan penelitian ini membantah pemikiran internal umat Islam yang secara ontologis memandang dakwah secara sempit dan bukan objek kajian disiplin ilmu dalam Islam. Bantahan ini didukung oleh al-Bayanuni (2001), dan membantah pemikiran eksternal dari para orientalis non muslim yang menuduh bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan cara paksaan, peperangan, dan penjajahan. Tuduhan ini bertentangan dengan prinsip metodologis dakwah sebagai perilaku rasional berdasarkan al-Quran dan Sunah Rasul Allah.

Tipe penelitian ini merupakan kajian kepustakaan dengan menggunakan metode analisis isi dengan kategori substansi, yaitu menganalisis apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh mengenai pemikiran dakwah dan pola kaderiasi dâ’i profesional dalam teks tafsir Almanar, yang disistemisasikan dalam prinsip-prinsip struktur dakwah dari sumber data primer, yaitu Tafsir Almanar dan

xiii

sumber data sekunder, yaitu kepustakaan yang berhubungan dengan esensi pemikiran Abduh mengenai pemikiran dakwah dan pola kaderisasi dâ’i profesional. Kemudian dianalisis dengan menggunakan logika deduktif, pemikiran dakwah, dan teori komunikasi. Sedangkan pemeriksaan keabsahan data menggunakan konfirmasi referensi dan konsistensi pemikiran logis.

xiv

ABSTRACT

The finding in this research indicates that Muhamad Abduh’s thought of the mission in the interpretation of al-Manâr epistemologically is a kind of rational thought. The mission that is based on al Qur’an and the Prophet of Allah’s Traditions is a rational manner (combination of ‘aql and qalb), that is a process of internalization, transmission, transformation, and diffusion of Islam. It is as an effort to correct and overcome the psychological as well as sociological problems of mad’u by implementing al-Islâm in his relation with himself, his God, his fellow beings to obtain the welfare physically as well as mentally, now in this world and in the hereafter. This finding strengthens what Ahmad Fuad al-Ahwani found in al-Madâris al-Falâsifah (1965) stating that Muhamad Abduh is a thinker missionizing the renewal of the religious idea by returning to Islam which is authentic based on its primary source, namely al-Quran and the Prophet Traditions in the form of ishlâh (reformation) of the religious life, behavior, idea, mind, and chastity instinct.

The similar research done by Ahmad Fuad al-Ahwani is Mukti Ali’s research, Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah (1995), stating that in interpreting al-Quran he combines rational (aql) and emotional (qalb) touch in the framework of the mission.

The finding of this research is different from the finding of the research before and after Muhamad Abduh’s; there are two qualities of the mission level; fisrt, tablîg futûhat (the defussion of Islam to non muslim), and the second quality becomes two branches: (1) al-da’wah al-âmmah al-kuliyyah that consists of 3 forms: (a) tablîg ta’lîm, (b) irsyâd, and (c) tathbîq hukm, and (2) al-da’wah al- juziyyah al-khâshshah that consists of 3 forms: (a) nafsiyah, (b) fardiyah, and (c) tadbîr tamkîn ummah. According to their functions, the levels and the forms of the mission as the process of ishlâh and tajdîd of the life of muslim. It is as a contribution of the ontological aspect of the mission (da’wah) studies. The ontological aspect of the mission concerning the transformation of Islam in the form of amar ma’rûf nahy munkar has the similarity with the thinkers before and after Muhamad Abduh, such as Ibn Taymiah and Abdul Karim Zaidan, who were called as al-hisbah and al-ihtisâb.

The finding of this research refuses the internal thinking of the Muslim, which is ontologically views the mission short-sightedly and not as the object of the study in Islam. The refusal is supported by al-Bayanuni (2001) and refuses the external non-Muslim orientalists that accused that the spreading of Islam was done by force, war, and colonization. The accusation is in contradicted with the principal of the method of the mission as the rational behavior/manner based on al-Qur’an and the Tradition of the prophet of Allah.

This type of research takes bibliography study by employing content analytical method of substance category, that is analyzing what is told by Muhamad Abduh concerning the idea of the mission and the pattern of the caderisation of the professional da’i in the text of Tafsir Al-manâr, being systematized in the principals of the mission structures taken from the primary sources of data, that is Tafsir Al-manâr and the secondary sources of data, that is

xv

bibliography relating to the essential idea of Abduh concerning the idea of the mission and the pattern of professional dâ’i caderisation. While the inspection of the authenticity of the data applies the reference conformation and logical idea consistency.

xvi

الدعوة االسالمية كما جاء ىف تفسري ا�نار

خالصة

يشري ىذا البحث ال أن رأي حممد عبد� ىف

يتسم باالتا� العقلي. وأن الدعوة االسالمية من مصدري�ا األصليني القران الكرو والسنة النبوية

الشريفة متثل نشاطا عقليا يقوم بالتوفيق بني العقل والقلب، كمحاولة لتصحيح مشكالت ا�دعوين

ومعالت�ا نفسيا واجتمعيا بوسيلة ثقيق الدين االسالمي ىف عالقت�م مع انفس�م ومع ا�لل ومع

البشر مجيعا للوصول إل السعادة الدنيوية واألخروية.

1965( أن

ويؤكد ىذا البحث ما قالو فؤاد األىوا� ىف كتابو القيم ا�دارس الفلسفية )

امياة حممد عبد� واحد من ا�فكرين الذى دعا إل إصالح األفكار الدينية عن طريق العودة إل الدين

اإلسالمي األصيل طبقا �صدريو األصليني القر ن الكرو والسنة النبوية الشريفة ىف إصالح

الدينية واألخالق والفكر والعقل والفطرة.

وباالضافة إل ما قام بو فؤاد األىوان، ىناك حبث خر قام بو عبد ا�عطى على ىف كتابو

1995( أشار فيو أن حممد عبد� قام بالتوفيق

حول الفكر االسالمى امديث ىف الشرق األوسط )

بني العقل والقلب ىف تفسري� للقر ن الكرو حسب إطار الدعوة اإلسالمية.

وخيتلف ىذا البحث مما قبل حممد عبد� وبعد� من أن الدعوة اإلسالمية ينقسم ىف الرتبة

إل قسمني: األول تبليغ الفتوحات والثان الدعوة العامة الكلية والدعوة الزئية اناصة. فالدعوة

العامة الكلية تتكون من تبليغ التعليم واإلرشاد وتطبيق امكم. أما الدعوة الزئية اناصة فتتكون من

الدعوة النفسية والدعوة الفردية ومتكني األمة، وىذ� األقسام من الدعوة من حيث وظيفت�ا كعملية

لإلصالح والتجديد مياة األمة. وىذا ىو اإلس�ام اإلضاىف الديد لدراسة حقيقة علم الدعوة.

وحقيقة الدعوة حول ثويل اإلسالم عن طريق األمر با�عروف والن�ي عن ا�نكر يتساوى في�ا

ا�فكرون قبل حممد عبد� وبعد� كابن تيمية وعبد الكرو زيدان ومسوىا بامسبة واالحتساب.

ونتيجة ىذا البحث رد على رأي كثري من ا�سلمني الذين رأوا الدعوة اإلسالمية بصفة

2001(. وكذلك رد

ضيقة وأ�نا خارجة عن إطار العلوم االسالمية، كما أيد ىذا الرد البيانو� )

على افرتاء كثري من ا�ستشرقني الذين قالوا إن انتشار اإلسالم كان باإلكرا� والقتال واإلستعمار،

وىذا اإلفرتاء يتعارض مع ا�بادئ ا�ن�جية للدعوة اإلسالمية كنشاط عقلي على حسب ما ورد ىف

القران الكرو والسنة النبوية الشريفة.

xvii

ونوع ىذا البحث ىو البحث ا�كتىب باستخدام طريق ثليل احملتوى وىو ثليل رأي حممد

عبد� ىف الدعوة اإلسالمية وأسلوب تنشئة الداعى احملرتف كما ورد ىف تفسري ا�نار، وتصنيفو على

حسب مبادئ علم الدعوة ىف تفيسر ا�نار كمصدر أّوم وا�ؤلفات ا�تعلقة ب راء حممد عبد� ىف

الدعوة اإلسالمية وأسلوب تنشئة الداعى احملرتف كمصدر ثانوي، ويستخدم ىف ىذا التحليل علم

ا�نطق وعلم الدعوة ونظرية اإلعالم، كما يستخدم ىف كشف صحة مواد ىذا البحث العودة ال

ا�صادر واالعتماد على الفكر ا�نطقى.

xviii

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN

A. Transliterasi

a. Konsonan

alif a ا ba b ب ta t ت tsa ts ث jim j ج ha h ح kha kh خ dal d د dzal dz ذ ra r ر zai z ز س sin s ش syin sy ص shad sh ض dhad dh ط ظ

tha th ع zha zh غ ' ain' ف ghain gh ق fa f ك qaf q ل lam l م mim m ن و� nun n waw w ء ha h ي

hamzah '

ya Y

b. Vokal Pendek c. Vokal Panjang d. Diftong e. Pembauran

= a ا = â أو = aw الـ = al- = i ى = î أى = ay الشمس = al- syams = u ُو = û و الـ = wa al-

xix

Contoh: قال = qâla qîla = قيل qûlû = قولوا

B. Singkatan

1. SWT = Subhânahu Wa Ta’âlâ

2. SAW = Shallâ al-Lâh ‘alaih wa sallam

3. w. = wafat

4. H. = Hijriyah

5. M. = Masehi

6. tt. = tanpa tahun

7. ed. = editor

8. terj. = terjemahan

9. dkk. = dan kawan-kawan

10. hlm. = halaman

11. jld. = jilid

12. KAW = Karrama la-Lâh wajhah

13. Peny. = penyunting

14. Pen. = penerjemah

15. l. = lahir

16. a.s. = ‘alaih al-salâm.

xx

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ............................................................................ ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iii

KATA PENGANTAR ................................................................................. x

ABSTRAK ................................................................................................... xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ xvii

DAFTAR ISI ................................................................................................ xix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1

B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah ..................... 24

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................. 25

D. Penelitian Terdahulu ................................................................. 27

E. Metode Penelitian...................................................................... 31

F. Sistematika Pembahasan .......................................................... 35

BAB II SEKILAS BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH DAN DAKWAH

ISHLÂHIYAH

A. Situasi Sosial Politik dan Budaya di Mesir ............................... 37

B. Identitas Diri, Riwayat Pendidikan, dan Karya......................... 41

C. Aktivitas Dakwah Ishlâhiyyah ................................................. 50

BAB III HAKIKAT, DASAR HUKUM, TUJUAN DAN UNSUR DAKWAH

A. Hakikat Dakwah........................................................................ 69

B. Dasar Hukum Dakwah .............................................................. 80

C. Tujuan Dakwah ......................................................................... 81

D. Unsur-unsur Dakwah ................................................................ 84

1. Mawdhu' Dakwah: Hakikat dan Karakteristik Islam ........... 84

2. Da'i dan Mad'u: Hakikat, Karakteristik Manusia dan Umat 96

3. Media dan Prinsip Metode Dakwah ..................................... 142

BAB IV BENTUK DAKWAH DAN KADERISASI DÂ’I PROFESIONAL

A. Al Da’wah al- ’Âmmah al-Kulliyyah ....................................... 162

B. Al Da’wah al-Juziyyah al-Khâshah .......................................... 170

xxi

C. Al Da’wah al -Ummah .............................................................. 193

D. Kaderisasi Dâ’i Profesional...................................................... 206

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 223

B. Rekomendasi ............................................................................. 227

DAFTAR PUSTAKA. .................................................................................. 229

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Teks Ayat Alquran ......................................................... 244

Lampiran 2. Sebagian Teks Data Penelitian .................................................. 261

Lampiran 3. Tabel ayat al-Quran yang memuat kata kerja akal dan al-Albab 267

Lampiran 4. Gambar Bagan ........................................................................... 270

Lampiran 5. Riwayat Hidup ........................................................................... 271

xxii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Muhammad Abduh1 (1849-1905) menurut Robert De. Lee, ia telah

melakukan reformasi doktrin Islam dengan menempatkan penalaran pada

tempatnya, Islam dan panalaran yang benar sama-sama mencerminkan kebenaran,

dan diantara keduanya tidak mesti dipertentangkan.2 Pengakuan yang sama

dikemukakan oleh Ahmad Fuad Ahwani walaupun Muhammad Abduh

terpengaruh oleh Ibu Sina dalam hal metafisika, tetapi ia memiliki pembaharuan

pemikiran keagamaan yang mandiri, hal ini sebagaimana ditegaskannya bahwa

Muhammad Abduh adalah seorang pemikir yang mendakwahkan pembaharuan

pemikiran keagamaan dengan jalan kembali kepada Islam yang otentik menurut

sumber utamanya, yaitu Al-Qur‘an dan sunnah Rasul Allah SWT. Cara yang

ditempuh untuk kembali kepada sumber utama Islam yang otentik itu,

Muhammad Abduh mengajukan upaya ishlâh (perbaikan): (1) kehidupan

beragama, (2) akhlak, (3) pemikiran, (4) keluar dari taklid dan kebekuan berpikir,

(5) penggunaan akal, dan (6) naluri kesucian. 3 Dengan demikian, Muhammad

Abduh adalah ―mujaddid (modernis)‖ dan ―mushlih (reformis)‖ pada zamannya di

Mesir.4

1Namanya Muhammad, ayahnya Abduh dan kakeknya Hasan Khoerullah, jadi nama lengkap Abduh itu Muhammad ibn Abduh ibn Hasan Khoerullah. Kemudian kata Ibn yang menghubungkan nisbah anak dengan ayahnya dibuang; lihat Thahir al-Thanahi,ed. Muzakirat al- imam Muhammad Abduh, (Mesir: Dâr al-Hilal, tt, hlm. 21-22; lihat pula Rif‘at Syauqi Nawawi , Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002) hlm. 21. Mengenai aturan membuang (al-Hadzfu) mudhaf atau mudhaf ilaih dalam gramar ‗arabiyah dibolehkan; lihat Jamâl al-Dîn bin Hisyam al-Anshari, Mughni al-Labîb, jld II, Maktabah Dâr al-Ihya al-Kutub al-‗Arabiyyah, tt), hlm. 164-165.

2Lihat Robert De Lee, Mencari Islam Autentik, trj. Overcoming Tradition and Modernity: the Search for Islamic Authenticity, oleh Ahmad Baikuni, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 93-94.

3Ahmad Fuad Ahwani, Al-Madâris al-Falsafiyyah (Kairo: Maktabah Mishr, 1965), hlm. 148. Tajdîd (pembaharuan) dan ishlâh (perbaikan) pemikiran dan kehidupan umat manusia merupakan esensi dari dakwah para rasul Allah pada zamannya masing-masing. Selanjutnya lihat Muhammad Ahmad al-‗Adawy, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ (Mesir: Mushthafa al-Bab al- Halaby wa Aulâdih, 1935), hlm. 4-5.

4 Lihat Philip K. Hitti, History of the Arab, Cet. X (New York: St. Martin‘s Place, 1968), hlm. 754.

2

Dalam pada itu, menurut Azyumardi Azra bahwa, ―pemikiran

pembaharuan Muhammad Abduh jelas bersifat multidimensi. Tokoh-tokoh dan

gerakan pembaharuan yang dipengaruhinya di berbagai penjuru di dunia Muslim

sering mengambil hanya dimensi tertentu dari pemikirannya.‖5 Unsur-unsur dari

multidimensi dalam pendapat Azyumardi Azra itu antara lain, seperti yang

diuangkapkan oleh Ahmad Fuad Ahwani. Mengacu kepada pendapat ini,

pemikiran dalam bidang dakwah Islam termasuk salah satu dimensi pemikiran

pembaharuan Muhammad Abduh yang jarang mendapat perhatian para penulis

tentang Muhammad Abduh, sebab dalam pengantar Risâlah Tawhîd, salah satu

karya tulis Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menyatakan tentang posisi gurunya

dalam hubungannya dengan dakwah Islam, Muhammad Abduh diakuinya sebagai

pengarang yang sanggup mereformasi sistem dakwah Islam menurut metode yang

memenuhi syarat ulama kalam, yaitu cara menarik orang secara rasional,

mengajak orang membahas persoalan dengan berpikir. Oleh karena itu buku

Risâlah Tawhîd yang ditulisnya berisikan penjelasan hakikat agama Islam yang

memenuhi syarat-syarat yang layak pada masa ini, yang belum pernah dilakukan

orang seperti itu di antara pemimpin-pemimpin Islam sebelumnya.6

Dalam kaitannya dengan dakwah Islam ini, Muhammad Abduh mengakui

posisi dirinya bahwa ―Saya bukan seorang imam yang diikuti, saya bukan seorang

pemimpin yang ditunduki. Saya adalah jiwa dakwah, dan jiwa dakwah itu tetap

ada pada saya. Saya tidak henti-hentinya mengajak kepada kepercayaan saya

dalam beragama.‖7 Berdasar atas pengakuannya sebagai jiwa dakwah (rûh al-

Dakwah) maka Muhammad Abduh tentunya memiliki pembaharuan pemikiran

dalam bidang dakwah Islam, sebab menurutnya, bahwa Islam ditegakkan dan

disebarluaskan melalui dakwah yang metodenya mengacu pada argumen rasional

(hujjah) dan argumen demonstratif (burhân), bukan dengan pedang, kekuatan

militer, dan anak panah sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang jâhiliyyah dan

5Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. x.

6Rasyid Ridha dalam Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd, cet. Ke 17 (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1060), hlm. 13.

7Thahir Al-Thanâhi, ed Mudzakirât al-Imâm Muhammad Abduh, (Mesir, Dâr al-Hilal, tt) hlm. 20.

3

musuh-musuh Islam. Hal ini ditegaskan oleh Muhammad Abduh bahwa, apakah

benar penilaian tentang mereka bahwa mereka (umat Islam) menegakkan

agamanya (al-Dîn) dengan pedang dan kekuatan militer bukan dengan bimbingan

(al-Irsyâd) dan dakwah? Tidak, sebab dalam Islam tidak ada pendapat seperti itu.

Muhammad Abduh menilai mereka sebagai penipu yang tolol atau musuh yang

pura-pura tidak mengetahui.8

Kemudian, Muhammad Abduh juga menegaskan pemikirannya bahwa

dakwah semata-mata dilakukan melalui hujjah (argumen rasional) dan burhân

(argumen demonstratif), bukan dengan pedang dan golok.9

Dari sudut pandang dakwah, dalam pernyataan Muhammad Abduh

tersebut, terdapat term-term dakwah, yaitu dîn, al-irsyâd, al-da’wah, jâhil, al-

hujjah, dan al-burhân. Kemudian, apa makna term-term ini dan bagaimana

Muhammad Abduh memposisikannya dalam struktur sistem dakwah. Hal ini

menarik untuk dikaji melalui penelitian. Dan acuan teori untuk memahami makna

term-term tersebut dapat menggunakan teori dilâlah lafazh terhadap makna

menurut para pakar ilmu mantik.10 Sedangkan posisinya dalam rukun dakwah,

dengan menggunakan perbandingan dengan pendapat para pakar dakwah tentang

unsur-unsur yang mesti ada dalam proses dakwah, yaitu da’i (pelaku dakwah),

maudhu’ (materi ajaran Islam), uslûb (metode), washîlah (media), dan mad’u

(sasaran penerima dakwah), unsur-unsur ini adalah substansi rukun dakwah.11

Muhammad Abduh juga membantah tuduhan musuh Islam yang

menyatakan bahwa Islam mengajarkan perang sebagai sesuatu yang bertentangan

dengan kasih-sayang Tuhan. Bahkan mereka mengklaim bahwa akidah Islam

8Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 191 surah al-Baqarah. Ayat ini memuat ketentuan qital dan bahaya fitnah. Muhammad Abduh, Tafsîr al-Manâr, Jld. II (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 209, selanjutnya disebut Al-Manâr.

9 Al-Manâr, jld II, hlm. 215. 10Antara lain menurut ‗Abidullah bin Fadhal al-Khabishy, Syarh al-Khabishy ‘ala Matn

Tahdzîb al-Manthiq wa al-Kalâm lî Sa’id al-Taftazany (Mesir: Maktabah Muhamad Ali Shabih, 1965), hlm. 10-12, Zainun Kamal, Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, Disertasi (Jakarta: Fak. Pascasarjana IAIN Syahid, 1995), hlm. 22-44, dan Muhammad al-Sayyid al-Jalind dan Al-Sayyid al-Hijr, Dirâsat fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt) hlm. 73-80.

11Unsur-unsur dakwah ini sebagaimana ditunjukkan dari pemahaman kandungan ayat 125 surah al-Nahl yang memuat bagian dari ketentuan dakwah.

4

berbahaya bagi peradaban. Padahal, menurut Muhammad Abduh, perang

diperbolehkan dalam ajaran Islam dalam rangka membela diri, membela hak, dan

memelihara keberlangsungan dakwah Islam. Sebab, Islam mengajarkan cinta

kasih yang luas berlaku bagi seluruh alam, lalu Muhammad Abduh

mengemukakan beberapa pokok pemikirannya tentang prinsip-prinsip perang

dalam kerangka dakwah, bahwa, pertama, perang (al- Qitâl) disyariatkan untuk

mempertahankan kebenaran dan membela para pengusungnya, memelihara

dakwah dan menyebarkannya; kedua, Raja (al-Mulûk) atau pemerintah (al-

Umarâ) yang mengklaim dirinya berperang demi agama hendaknya ia

menghidupkan dakwah Islam dan mempersiapkan berbagai perangkat dan sarana

dakwah yang diperlukan berupa pengembangan ilmu, teknologi, dan pemikiran

sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan; ketiga, raja

mengupayakan persiapan yang matang guna menjaga dakwah Islam dari

rongrongan musuh; dan keempat, orang yang mengetahui kondisi dan peran para

dâ’i di tengah-tengah masyarakatnya dan cara-cara melindungi mereka hendaknya

mengetahui apa yang mesti dilakukan berkenaan dengan dakwah Islam

sebagaimana mestinya pada zaman ini. 12

Prinsip-prinsip perang yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh diatas

memuat argumen bantahannya terhadap pendapat ngawur para musuh Islam—

termasuk orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya—yang mengira bahwa

Islam ditegakkan dengan pedang, bantahan atas pendapat orang-orang pandir

fanatik yang beranggapan bahwa Islam bukan agama ilahiyah lantaran Tuhan

Yang Maha Pengasih tidak memerintahkan penumpahan darah dan bahwa sistem

keyakinan Islam berbahaya bagi peradaban. Semua itu merupakan omong-kosong

yang ngawur dan Islam sendiri merupakan kasih-sayang universal bagi sekalian

alam.13

Dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, terdapat beberapa hal yang

unik dan menarik untuk dikaji lebih lanjut, yaitu apa dan bagaimana posisi qitâl

12Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 195 surah al-Baqarah, ayat ini

memuat ketentuan infaq di jalan Allah, ihsan dan larangan membuat kerusakan. Al-Manâr, jld. II, hlm. 216.

13 Al-Manâr, jld II, hlm.216.

5

(perang) itu dalam dakwah? Apa dan bagaimana peran al-mulûk (para raja) dan

al-umarâ (aparat pemerintah) dalam menyiapkan kader da’i profesional?

Kemudian apa sajakah inti ajaran Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam? Dan

bagaimana metode penyajiannya dalam proses dakwah? Analisis atas jawaban

persoalan-persoalan ini secara proporsional dipahami dengan menggunakan

pendekatan yang diajukan oleh Azyumardi Azra, yaitu pendekatan apologetik

(pembelaan diri), identifikatif (inventarisasi problem dan mencari solusinya), dan

affirmative (penegasan kembali kepercayaan kepada Islam dan menguatkan

kembali eksistensi masyarakat Muslim).14

Selanjutnya Muhammad Abduh meyakini bahwa mendakwahi manusia

kepada al-khair, memerintah perkara yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran

adalah perintah bagi semua muslim dan bagi muslim yang melaksanakannya

menjadi khairu ummah yang memiliki keimanan yang hakiki, yaitu keimanan

yang disertai kepatuhan jiwa dan dibuktikan dengan pengamalan ajaran Islam.15

Menurut Muhammad Abduh bahwa dakwah dapat digolongkan kepada

tiga martabat (―peringkat‖), yaitu: peringkat pertama (al-martabah al-ûla), berupa

dakwah kepada al-khayr yang dilakukan oleh umat Islam terhadap semua umat

agar mereka bersama-sama melaksanakan cahaya dan petunjuk al-khayr (al-

Islâm). Hal ini merupakan tahapan dakwah dalam peringkat pertama, yang diawali

dengan menyeru manusia kepada al-Islâm terlebih dahulu, jika mereka

menerimanya maka dilanjutkan dengan memerintah mereka agar melaksanakan

perkara yang ma’rûf dan mencegah mereka dari perkara yang mungkar; 16

Peringkat kedua (al-martabah al-tsâniyah), yaitu dakwah berupa amar

ma’rûf dan nahy munkar di kalangan kaum muslimin, sebagian dari mereka

mendakwahi yang lainnya kepada al-khayr begitu pula amar ma’rûf dan nahy

munkar; bagi peringkat kedua ini terdapat dua jalur dakwah yaitu: (1) al-dakwah

al-‘âmmah al-kulliyah (―dakwah universal‖) dengan menjelaskan (bayân), jalan-

jalan al-khayr, menerapkannya dalam kehidupan manusia, dan memberikan

14Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme,

hingga Posmodernisme, hlm. v-vi. 15Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 64. 16Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 27.

6

contoh-contoh yang berpengaruh pada kejiwaan dengan mempertimbangkan

situasi dan kondisi mad‘unya. Dakwah ini menurut Muhammad Abduh mesti

dilakukan oleh khawwash al-ummah (―komunitas khusus‖) yang terdidik dan

terlatih yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang rahasia-rahasia

hukum, hikmah agama dan pemahamannya. Berdasar kepada kualitas keilmuan

mereka khawwash al-ummah ini secara spesifik melakukan implementasi hukum-

hukum Allah untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan mad’u dimanapun dan

kapanpun; dan (2) al-dakwah al-juziyyah al-khâshshah (―dakwah parsial‖) yaitu

dakwah yang berlangsung antar individu yang sudah saling mengenal baik yang

pandai maupun yang bodoh dengan menunjukkan kebaikan dan memotivasinya,

mencegah kejelekan dan memperingatkannya. Didalam jalur kedua ini termasuk

taushiyah dengan yang haq dan taushiyah dengan shabar, sesuai dengan kualitas

kemampuannya dalam menjalankan kewajiban umum dakwah.17

Muhammad Abduh tidak menyebutkan hukum Islam dalam jalur pertama

dari al-dakwah al-‘âmmah al-kulliyah tersebut, tetapi hukum-hukum Allah SWT.

Hal ini mengandung arti bahwa materi dakwah bukan hanya hukum yang

terkandung dalam syariat Islam yang diyakini mengatur tata kehidupan manusia,

tetapi juga hukum perilaku alam (sunan al-kawn) menjadi bagian yang menuntut

diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia baik sebagai dâ’i maupun

sebagai mad’u. Sedangkan implementasi syariat Islam dan hukum perilaku alam

sebagai proses dakwah dimaksudkan untuk mewujudkan macam-macam

kemaslahatan manusia di sepanjang zaman dan di manapun manusia itu berada,

dengan menjadikan dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi problem

psikologis dan sosiologis mad’u yang dihadapinya.

Dari sudut pandang sistem dakwah, penjelasan hakikat dakwah tersebut

dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan tiga bentuk dakwah

17Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 28. Paparan Abduh mengenai dakwah ini merupakan

bagian dari penafsiran Q.S.. Ali Imran:104, ayat ini memuat bagian dri ketentuan dakwah. Secara metodologis Abduh memahami hakikat dakwah ini dengan pendekatan ―qishmah tafshiliyah” (taksonomis) tidak dengan al-ta’rîf bi al-hadd atau al-ta’rîf bi al-rasam, yaitu menjelaskan hakikat sesuatu dengan cara merinci dan membagi unsur-unsur dari sesuatu itu yang dalam konsep ta’rîf merupakan macam-macam unsur yang mesti ada didalamnya. Lihat Muhammad al-Sayyid al-Jalind dan Al-Sayyid al-Hijr, Dirâsat fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al- Zahra, tt) hlm. 92-93.

7

menurut caranya, yaitu: (1) bentuk tathbîq, yaitu berupa implementasi ajaran

Islam dan hukum alam dalam kehidupan manusia, (2) bentuk bayân (penjelasan

lisan yang berkaitan dengan tablîgh bî ahsan al-qawl (menyiarkan Islam dalam

bentuk penjelasan bahasa lisan) kepada kelompok besar dan khalayak dengan

materi tablîgh al-khayr (al-islâm), dan (3) bentuk bayân (penjelasan lisan yang

berkaitan dengan irsyâd al-qawl (bimbingan mad‘u individu dan kelompok kecil

dengan bahasa lisan) dengan membuat contoh-contoh yang mempengaruhi

kondisi psikologis para pendengar sebagai mad’u. Muhammad Abduh juga

mengajukan bahwa situasi dan kondisi obyektif mad‘u menjadi pertimbangan

penting dalam proses dakwah dengan berbagai macam bentuknya.18

Pemahaman atas apa dan bagaimana penjelasan Muhammad Abduh lebih

lanjut mengenai tiga bentuk dakwah menurut caranya tersebut dikaji dengan

menggunakan analisis perbandingan dengan pendapat para pakar dakwah yang

lain, juga menggunakan teori komunikasi yang relevan.

Kemudian Muhammad Abduh menyebutkan al-Islâm dengan al-khayr

sebagai materi dakwah dalam penjelasan hakikat dakwah yang telah

dikemukakan. Menurutnya, al-khayr sebagai al-Islâm itu sebagaimana

ditegaskannya bahwa, yang dimaksud dengan al-khayr (kebajikan) adalah al-

Islâm sebagai agama Allah yang diturunkan melalui lisan seluruh nabi bagi

seluruh umat manusia. Ia tiada lain adalah al-ikhlâsh karena Allah SWT. dan

meninggalkan hawa nafsu menuju hukum-Nya.19

Al-Islâm yang berintikan mengesakan ke-Mahaesaan Allah, menaati

hukum-Nya dan menjauhi dominasi hawa nafsu, yang diberikan Muhammad

Abduh tersebut, menunjukkan universalitas ajaran Islam yang di bawa oleh

18Bandingkan dengan penafsiran Q.S. Fushilat: 33 mengenai bagian dari ketentuan dakwah oleh Abd al-Rahman al-Sa‘di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (Riyadh: Maktabah al-Rusydiyah, 2001), hlm. 749, dan Abd al-Munshif Mahmûd al-Fatah, Manhâj al-Da’wah al-Islamiyah min Al-Qur’an wa al-sunnah al-Nabawiyah, (Mesir: Al-Azhar, 1419 H), hlm. 29-42.

19Pengertian ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 104 Surah Ali Imran, ayat ini memuat bagian dari ketentuan dakwah. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27.

8

seluruh nabi Allah SWT., walaupun bentuk bahasa, hukum, dan amaliahnya dapat

berbeda-beda.20

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menurut Muhammad Abduh,

dakwah Islam yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. sebagai nabi Allah

terakhir merupakan kelanjutan dan menyempurnakan syariat Islam dan tata susila

yang dibawa oleh para nabi Allah sebelumnya.21 Nabi Muhammad saw.

menghidupkan kembali ruh ajaran Islam berupa al-ishlâh yaitu memperbaiki dan

mencari solusi problem umat dengan mempertahankan yang baik dan

memperbaiki yang jelek. Lalu Muhammad Abduh mengemukakan beberapa

prinsip ajaran Islam sebagai materi dakwah yaitu: (1) ruh ajaran agama Islam

adalah tawhid dan ikhlas yang diungkapkan dengan istilah islâm; (2) tujuan setiap

kegiatan yang diperintahkan oleh agama tiada lain adalah perbaikan hati (ishlâh

al-Qalb) dan akal-(ishlâh al-‘Aql) melalui keselamatan keyakinan dan kebaikan

tujuan; (3) memelihara seluruh kegiatan konkret tanpa tujuan yang benar tidak

memberikan faidah apa-apa bahkan ia berbahaya tanpa itu, yang akan membuat

manusia disibukkan oleh sesuatu yang tidak bermanfaat dan menghalanginya dari

hal-hal yang berguna.22

Dalam pada itu, untuk memahami prinsip-prinsip ajaran Islam diperlukan

penggunaan potensi akal dan kalbu secara terpadu. Sebagaimana ditegaskannya

bahwa, pertama, apa yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. hanya dapat

diketahui oleh mereka yang memiliki hati nurani (kecerdasan spiritual), dan

kedua, fungsi segala apa yang dibawa oleh nabi adalah upaya menghidupkan ruh

agama yang menjadi pijakan seluruh nabi dan rasul, menyempurnakan syariat dan

20Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 52 surah Ali Imran, ayat ini memuat tentang bagian kisah al-hawâriyun penolong dakwah nabi Isa a.s. Al-Manâr, jld. III, hlm. 314.

21Syariat dan tata susila yang dibawa oleh para nabi Allah sebelum Nabi Muhammad saw. disebut ―syar’u man qablanâ‖. Lihat Muhammad al-Hudhori Bek, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al- Fikr, 1981), hlm. 35-36.

22Penjelasan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. al-Baqarah: 139, ayat ini memuat bagian dari ketentuan dialog nabi Muhammad SAW dan mad‘u dengan mengedepankan hujah. Al- Manâr, jld. I, hlm. 488.

9

tata susilanya dengan etika yang maslahat bagi sekalian manusia pada setiap

ruang dan waktu. 23

Dari sudut pandang dakwah, dalam penegasan Muhammad Abduh

mengenai ruh agama yang telah dikemukakan, ada beberapa Hal yang unik dan

menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, yaitu apa dan bagaimana tawhîd dan ikhlâsh

sebagai rûh Islam? Apa dan bagaimana ishlâh al-qalb dan ishlâh al-‘aql sebagai

sasaran pengamalan Islam? Apa dan bagaimana sesuatu yang dihadirkan oleh

Nabi Muhammad saw. (sunnah) sebagai upaya menghidupkan rûh al-dîn yang

dibawa oleh para nabi dan rasul Allah untuk semua manusia (al-basyar)? Analisis

atas jawaban persoalan ini akan menggunakan pendekatan hikmah tasyrî’ (nilai

dan fungsi filosofis ajaran)24 dan pemikiran para pakar tentang konsep ishlâh.

Hasil analisis ini diharapkan untuk menguji apakah benar bahwa makna

fungsional dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain adalah ―ishlâh” 25

(perbaikan dan mencari solusi problem mad’u) dan ihyâ (menghidupkan ruh

agama yang dibawa para rasul Allah).

Term ishlâh (reformasi) memiliki muatan makna fungsional yang murâdif

dengan term da’wah. Demikian menurut pemahaman Abbas al-Aqqad ketika

mengomentari perjuangan Khalifah Ali bin Abu Thalib KAW. dalam buku Syarh

Nahj al-Balâghah karya Syaikh Muhammad Abduh, buku ini menghimpun

pidato, surat-surat, dan kata-kata hikmat khalifah Ali KAW yang dihimpun oleh

Syarif Ridha.26

23Al-Manâr, jld. I, hlm. 489. 24Antara lain dari pemikiran Ali Ahmad al-Jurjawi dalam karyanya Hikmah al-Tasyri’ wa

Falsafatuh (Beirut: dâr al-Fikr, tt.). 25 Menurut Abd al-Rahman Al-Sa‘di, hakikat ishlâh adalah:

(Ishlâh (reformasi) adalah upaya dalam memperbaiki aqidah, akhlak dan semua keadaan manusia yang memungkinkan tercapainya kebaikan hidup manusia. Selain itu, ia juga memperbaiki segala urusan keagamaan, keduniawian, individu dan golongan. Sedangkan lawan dari perbaikan adalah perusakan). Lihat Abd al-Rahman al-Sa‘dî, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al- Mannân, Riyadh: Maktabah al-Rusydiyyah, 2001(, hlm. 749.

26Lihat Abbas al-Aqqad, Multaqi al-Nufus al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, ed. Ahmad Jad (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadîd, 2006), hlm. 27.

10

Sebenarnya, upaya ishlâh (reformasi) dan tajdîd (pembaruan) merupakan

ciri yang menyatu dalam diri Islam. Bahkan, menurut Moshe Sharon,

sebagaimana dikutip Akh. Minhaji, bahwa kedatangan Islam itu dapat dipandang

sebagai gerakan reformasi dan pembaruan pertama yang amat menakjubkan dan

telah menyebabkan terjadinya perubahan fundamental di kalangan masyarakat

Arab ketika itu.27

Oleh karena itu, gagasan Muhammad Abduh tentang ishlâh al-qalb dan

ishlâh al-‘aql merupakan bagian metode irsyâd al-nafsî (internalisasi Islam)

dalam memperbaiki dan mencari solusi probelm psikologis mad’u pada level

intraindividu merupakan aktualisasi watak Islam yang reformis dan modernis.

Analisis atas irsyâd al- nafsî ini selain menggunakan pemikiran pakar muslim

tentang konsep nafs dalam Al-Qur‘an juga menggunakan pendekatan psikologis

dalam komunikasi, teori ini meyakini bahwa bagi pemikir yang memiliki konsep

religius pada waktu yang sama memiliki perhatian atas kehidupan dan

penghormatan terhadap rasio dan realitas problem kehidupan manusia dan

berupaya menemukan solusi-solusi baru bukan melalui irasionalitas dan

kebencian, melainkan melalui penguatan terhadap rasio dan menumbuhkan cinta

kehidupan.28

Mengingat di dalam ―Irsyâd al-nafsî‖ terdapat tehnik muhâsabah bi al-

nafs (mawas diri), maka teori interaksionisme dalam komunikasi digunakan dalam

memahami pemikiran Muhammad Abduh tentang irsyâd al-nafsî ini, teori ini

meyakini bahwa proses mawas diri bersifat sosial, karena diri melaksanakannya

bertindak atas dirinya, dan menggunakan tindakan perilaku yang sesuai dengan

situasi tertentu. Diri juga mengevaluasi kesesuaian respon tersebut dan

menyimpannya untuk dipakai sebagai referensi di masa yang akan datang.29

27Akh. Minhaji, ―Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,‖ dalam Amin Rais dkk., Muhammadiyah dan Reformasi (Yogyakarta: Majelis Pustaka PP. Muhammadiyah, 2000), hlm. 42.

28Lihat Eric Fromm, Revolusi Harapan, terj. The Revolution of Hope, oleh Kamdani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. v.

29Lihat B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human Communication, oleh Sujono Trimo, peny. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Remaja Karya, 1986), hlm. 233.

11

Muhammad Abduh meyakini bahwa dâ’i (pelaku dakwah Islam) digelari

sebagai khayr ummah (umat terbaik) oleh Allah SWT, yang mengerjakan bentuk

dakwah amr ma’rûf (memerintah yang baik) dan nahy munkar (mencegah yang

mungkar), selain para nabi Allah, mereka adalah semua orang beriman. Mengenai

hal ini, Muhammad Abduh mengemukakan perlunya kriteria dan peran dâ’i,

yaitu: (1) mereka merupakan orang-orang beriman kepada Allah dengan tingkat

keimanan yang mengontrol akal, hati, dan perasaan mereka, menguasai

kecenderungan hawa nafsu mereka yang dijelaskan oleh Allah SWT. mengenai

keistimewaan dan ciri-cirinya dalam banyak ayat Alquran; dan (2) kualitas

keimanan dâ’i selain bermanfaat bagi dirinya sebagai penggerak (al-musayyir)

umat juga besar pengaruhnya dalam melakukan dalam perubahan (taghyîr)

formasi kehidupan di muka bumi. 30

Dari sudut pandang dakwah, dalam pernyataan Muhammad Abduh

tersebut, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan selain kualitas

keimanan kepada Allah SWT. sebagai syarat seorang dâ’i, ada dua hal yang

menjadi fungsi dan peran utama dâ’i, yaitu al-musayyir (pengemudi, pengendali,

dan penggerak umat) dan taghyîr hay-ah al-ardh (pelaku perubahan kehidupan

sosial-ke arah yang lebih baik). Hal ini menjadi petunjuk bahwa bagian inti dari

gagasan Muhammad Abduh adalah da’i sebagai agen perubahan sosial (mushlih)

di tengah-tengah kehidupan umat, yang berupaya memperbaiki kehidupan agama

umat dalam berbagai bidangnya yang paradoks dengan ajaran agama, upaya ini

berfungsi sebagai ikhtiar dan gerakan merespons dan mencari solusi persoalan

internal umat Islam berupa kemerosotan pengamalan ajaran Islam dan

membentengi umat serta menolak pengaruh budaya negatif dari luar.

Muhammad Abduh mengakui bahwa dalam upaya memperbaiki

kehidupan beragama umat, perlu dilakukan gerakan amr ma’rûf dan nahy munkar

sebagai salah satu bentuk kegiatan dakwah Islam, sebab menurutnya, amr ma’rûf,

30Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran: 110, ayat ini memuat bagian dari ketentuan dakwah. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 58.

12

nahy munkar dan kemestian untuk menunaikan ajaran Islam itu merupakan bagian

dari bentuk dakwah Islam.31

Persoalan dalam pendapat Muhammad Abduh tentang fungsi da’i dan

salah satu bentuk dakwah tersebut yang ditelusuri lebih lanjut, adalah apa dan

bagaimana al-musayyir dan al-mughayyir sebagai fungsi da’i? Dan apa serta

bagaimana amr ma’rûf nahy munkar sebagai bagian dari bentuk kegiatan dakwah?

Analisis atas jawaban pertanyaan-pertanyaan ini menggunakan teori komunikasi

yang diambil dari teori perubahan sosial, yaitu yang meyakini bahwa paling tidak

ada empat unsur utama yang menjadi sumber perubahan, yaitu gagasan (ideas),

tokoh-tokoh besar (heroes and heroes worship), gerakan-gerakan sosial, dan

revolusi.32

Hasil analisis tersebut diharapkan menjadi argumen bahwa bagian dari

makna fungsional pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh adalah

perubahan ke arah situasi kehidupan umat yang lebih baik melalui upaya

perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat.

Selanjutnya, menurut pengamatan Muhammad Abduh, bahwa pemikiran

dan aktivitas dakwah Islam pada zamannya menjadi bagian persoalan internal

umat Islam yang menuntut adanya upaya ishlâh al-da’wah (mereformasi dakwah).

Reformasi dakwah ini dipandang urgen oleh Muhammad Abduh, karena dakwah

bukan mengatasi masalah tetapi menimbulkan masalah. Muhammad Abduh

mengemukakan beberapa macam problem dakwah pada saat itu, yakni: (1)

menasihati individu-individu umat (nashîhah al-Afrâd), menegakkan perkara

ma‘ruf dan menjebol perkara munkar menjadi ajang menyebarkan perbedaan dan

perpecahan; (2) tidak adanya upaya menyeru kepada kerukunan dan kesatuan

umat; (3) saling menasihati menjadi penyebab terjadinya permusuhan dan

perdebatan sehingga menjadi masalah krusial hubungan persaudaraan dan

31 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 62. 32Lihat Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi (Bandung:

Rosdakarya, 1999), hlm. 81. Jika esensi dakwah adalah perubahan dan perbaikan kehidupan sosial , maka secara sosiologis dakwah berfungsi sebagai upaya reformasi, yakni proses perubahan tatanan sosial lama secara mendasar dan cepat kepada tatanan sosial baru yang lebih baik dengan cara damai. Lebih lanjut, lihat Salman Luthan, ―Agenda dan Strategi Reformasi Hukum,‖ dalam Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (ed.) Moh. Mahfud MD, dkk. (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 448.

13

persahabatan di kalangan umat. Oleh karena itu, solusinya dakwah dengan bahasa

lisan menyeru kepada kebaikan, memerintahkan ma’rûf dan menjebol

kemunkaran secara bersama-sama di kalangan muslim, harus didasarkan pada

tambatan kasih sayang dalam hati mereka dan menyelamatkan mereka dari

kehidupan siksa sehingga mereka merasakan kehadiran ajaran Islam sebagai

nikmat Allah SWT. 33

Dari bagian persoalan dakwah yang dinyatakan Muhammad Abduh

tersebut, yang dikaji lebih lanjut adalah apa dan bagaimana nashihah al-afrâd?

Apa dan bagaimana upaya ishlâh al-da’wah melalui kaderisasi da’i profesional?

Analisis atas jawaban pertanyaan ini menggunakan perbandingan dengan

pendapat pakar dakwah lain tentang konsep takwîn al-du’ât (kaderisasi da’i

profesional) dan pakar pendidikan. Da‘i profesional adalah ilmuwan muslim yang

menjadikan dakwah sebagai pekerjaannya berdasarkan keahlian yang dimilikinya

dan keahliannya itu berbasis penguasaan ilmu islam dan keterampilan

mempraktikannya.34

Adanya term al-hujjah (argumen rasional) dan al-burhân (argumen

demonstratif) dalam mendakwahkan Islam, yang diajukan oleh Muhammad

Abduh, menunjukkan bahwa Hal ihwal yang berkaitan dengan dakwah Islam

adalah termasuk kandungan alquran, sebab al-hujjah (argumen rasional) dan al-

burhân (argumen demonstratif) adalah bagian dari makna fungsional Alquran.35

Selain itu, al-hujjah dan al-burhân merupakan dua istilah yang mengacu pada

aktivitas berpikir dalam pembentukan dan menghubungkan antara konsep berupa

proposisi-proposisi tentang obyek yang dipikirkan yang menghasilkan kebenaran

ilmiah.36 Dengan demikian dapat dipahami, bahwa Muhammad Abduh

33 Al-Manâr, jld. IV., hlm. 29. Problem dakwah yang dikemukakan Abduh ini merupakan

bagian dari problem perkembangan sosial di Mesir pada zamannya, yang menjadi bagian dari tantangan perjuangan pembaruan yang dihadapinya.

34Lihat Abd al-Badi al-Shaqâr, Kayfa Nad’u al-Nâs, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), hlm. 108-109.

35Term al-hujjah antara lain disebutkan dalam Q.S. al-An‘âm (6): 149, ayat ini memuat penjelasan bahwa adanya rasul dan al-kitab sebagai bagian dari hujjah Allah SWT. dan al-burhân antara lain disebutkan dalam Q.S. al-Nisâ (4): 174, ayat ini memuat penjelasan bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai burhân.

36Lihat Muhammad Sayid al-Jalind dan Sayid Rizq al-Hijr, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt.), hlm. 9-10.

14

berpandangan mengenai apa dan bagaimana hakikat dakwah Islam itu mesti

dipahami dari Al-Qur‘an dengan pendekatan rasional (’aqliyyah).

Oleh karena itu Al-Qur‘an sebagai sumber pemaknaan hakikat dakwah

Islam ditegaskan oleh Muhammad Abduh bahwa unsur esensi keberadaan Al-

Qur‘an yang diyakininya, ialah (1) Al-Qur‘an adalah firman langit yang

diturunkan kepada hati nabi yang paling sempurna oleh Maha Pencipta yang

hakikat-Nya tidak dapat diketahui; (2) Al-Qur‘an di dalamnya terkandung banyak

pengetahuan yang tinggi dan kebutuhan-kebutuhan yang urgen; dan (3) Al-Qur‘an

tidak dapat diserap maknanya kecuali oleh para pemilik jiwa yang bersih (al-nufûs

al-zâkiyah) dan para pemilik akal yang jernih (al-‘uqûl al-shâfiyah) 37

Penegasan Muhammad Abduh mengenai keberadaan Al-Qur‘an tersebut

tampaknya lebih mengacu pada saat Al-Qur‘an belum dikodifikasikan dalam

mushhaf, sebab Muhammad Abduh juga mengungkapkan pemahamannya tentang

Al-Qur‘an menurut keyakinannya bahwa: (1) Al-Qur‘an itu adalah al-kitâb yang

diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw.; dan (2) Al-Qur‘an itu

termaktub dalam mushaf-mushaf yang terpelihara di dalam dada orang-orang

Islam yang menghafalnya hingga hari ini.38

Mengacu pada dua pemahaman keberadaan Al-Qur‘anyang diajukan

Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan bahwa memahami Al-Qur‘an

hendaknya menggunakan dua instrumen metodis, yaitu ―kecerdasan intelektual‖

(al-‘uqûl al-shâfiyyah) dan ―kecerdasan spiritual‖ (al-nufûs al-zâkiyyah) secara

terpadu. Proses pemahaman ini disebut penafsiran Al-Qur‘an. Dengan demikian,

keterpaduan dua instrumen metodis ini menjadi basis epistemologis bagi

Muhammad Abduh ketika merumuskan konsep-pemikiran dakwah dalam tafsir

Almanar.

Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, tafsir Al-Qur‘an itu hendaknya

memuat unsur esensi penafsiran Alquran, yaitu berupa pemahaman al-kitâb yang

37Al-Manâr, Jld. I, hlm. 17. Penggunaan instrumen metodis al-nufûs al-zakiyyah dan al- ‘ûqûl al-shafiyyah dalam memahami Al-Qur‘an sebelum Abduh, antara lain sudah digunakan oleh Taqiy al-Dîn Abi al-Abbâs Ahmad bin Taymiyah (w.728H). Lebih lanjut, lihat karyanya Kitâb al- Nubuwwât (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 284.

38 Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1960), hlm. 145.

15

dipandang sebagai ajaran dan petunjuk dari Allah bagi semua alam, yang

menggabungkan antara penjelasan urusan kemaslahatan manusia dalam

kehidupan duniawi dan urusan keselamatan kehidupan ukhrawi.39

Kemudian Muhammad Abduh juga menegaskan karakteristik pemahaman

sebagai proses penafsiran Al-Qur‘an yang unsur–unsurnya terdiri dari: (1) suatu

upaya pemikiran yang berbasis rasa yang bersih, yang terbingkai oleh pola-pola

Al-Qur‘an dengan segala kelebihannya dan terkendali oleh petuah-petuahnya

sehingga ia mengabaikan yang lainnya; (2) pemahaman itu bukan pemahaman

yang timbul dari kepasrahan buta terhadap kitab-kitab; dan (3) pemahaman itu

bukan suatu ketundukan hampa yang tidak berpangkal pada rasa dan apa yang

mengikutinya berupa kelembutan perasaan dan kehalusan nurani yang keduanya

merupakan sumber penalaran (al-ta’aqul), penyerapan (al-taatstsur), pemahaman

(al-fahm), dan perenungan (al-tadabbur). 40 Dengan demikian dapat dipahami

bahwa diantara sasaran penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah

untuk memberantas mental taklid di internal umat Islam.

Sedangkan tujuan utama penafsiran Alquran, bagi Muhammad Abduh,

adalah selain sebagai al-ihtidâ bî al-Qur’an (menjadikan Al-Qur‘an sebagai

petunjuk hidup), juga ditegaskan ketika menjelaskan peringkat tafsir, menurutnya

bahwa peringkat minimal penafsiran Al-Qur‘an itu adalah penafsiran yang

dilakukan secara global dengan tujuan agar hati menjadi; (1) mampu menyerap

keagungan Allah dan menyucikan-Nya; dan (2) membuat jiwa berpaling dari

keburukan dan cenderung pada kebajikan. 41

Muhammad Abduh menulis tafsir Al-Manâr sebagai reaksi dan jawaban

atas persoalan adanya klaim sebagian umat pada zamannya bahwa penafsiran Al-

Qur‘an itu adalah menelaah kitab-kitab tafsir karya sebagian ulama tafsir yang di

39 Al-Manâr, jld. I, hlm. 19. 40Al-Manâr, jld. I, hlm. 27. Dalam pernyataan Abduh ini memuat term epistemologis

yang dijadikan pegangan dalam menafsirkan Al-Qur‘an dengan menggabungkan fungsi nafs dan akal (rasa dan rasio), dan Hal ini dapat terjadi dalam mengkaji Islam, berupa penggabungan unsur subyektif dan obyektif, keberpihakan imani dan obyektivitas akademis. Lihat Komaruddin Hidayat, ―Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat‖ dalam Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap terhadap Tradisi Barat, terj. Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istidrâk oleh Najib Bukhari (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. xx.

41Al-Manâr, jld. I, hlm. 21.

16

dalamnya banyak termuat aneka ragam perbedaan pendapat sehingga fungsi

hidâyah al-Qur’an terabaikan. Mereka menganggap cukup dengan kitab fiqih

yang ada dalam menjawab tantangan zaman dan penafsiran ulang dipandang tidak

diperlukan lagi.42 Hal ini mengandung petunjuk bahwa termasuk sasaran

penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah untuk membangkitkan

semangat ijtihad di kalangan umat Islam yang saat itu mengalami stagnasi dalam

pengembangan pemikiran tafsir.

Kemudian Muhammad Abduh juga menyadari adanya problem umat

Islam dalam menyikapi Al-Qur‘an dan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-

Qur‘an tidak lagi menjadi rujukan kehidupan. Begitu pula tradisi umat salaf dalam

keimanan dan amal saleh tidak lagi dihiraukan. Oleh karena itu kondisi

masyarakat yang demikian itu tidak bisa dijadikan sebagai argumen yang

melemahkan posisi Alquran. 43

Oleh karena itu, penafsiran yang berorientasi kepada ihtidâ bî al-Qur’an

(menjadikan Al-Qur‘an sebagai petunjuk) merupakan kebutuhan yang selalu masa

kini mengingat universalitas ajaran yang dikandungnya berlaku dalam mengatasi

problem keumatan di sepanjang zaman. Sebab, menurut Muhammad Abduh

bahwa secara fungsional kehadiran Al-Qur‘an itu berfungsi: (1) Al-Qur‘an ini

merupakan petunjuk (hâdi) dan pembimbing (mursyîd) hingga hari kiamat; (2)

makna-makna kandungan Al-Qur‘an berlaku umum dan bersifat komprehensif;

(3) Al-Qur‘an tidak memberikan janji (wa’d), ancaman (wa‘îd), nasihat (wa’azh)

dan arahan (irsyâd) hanya kepada segelintir orang tertentu; dan (4) muatan janji,

ancaman, berita gembira, dan peringatannya memuat akidah, akhlak, kebiasaan,

dan kegiatan yang terdapat pada berbagai masyarakat dan bangsa. Oleh sebab itu,

Muhammad Abduh mengingatkan bahwa, siapapun jangan terkecoh oleh

pendapat sebagian penafsir bahwa ayat-ayat ini berkaitan dengan orang-orang

42Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 19 dan 25. 43Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 151 surah Ali Imran, ayat ini

memuat informasi tentang orang kafir dan musyrik yang qalbunya penuh dengan keraguan kepada Allah dan segala yang datang dari pada-Nya. Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 179.

17

munafik yang hidup pada zaman Nabi Muhammad saw. sehingga diduga bahwa

ayat-ayat itu tidak lagi relevan meski berkaitan dengannya. 44

Ternyata urgensi orientasi penafsiran Al-Qur‘an yang digagas oleh

Muhammad Abduh tersebut didukung oleh murid Muhammad Abduh, Sayid

Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) yang mengakui bahwa, terdapat

kebutuhan mendesak atas suatu tafsir yang pusat perhatiannya pada petunjuk

(hidâyah) Al-Qur‘an melalui cara-cara yang karakternya sesuai dengan tujuan

diturunkannya Al-Qur‘an itu sendiri, yaitu untuk memberi peringatan (al-indzâr),

warta gembira (al-tabsyîr), memberi petunjuk (al-hidâyah), dan perbaikan (al-

ishlâh). 45

Mencermati urgensi pembaharuan sikap terhadap keberadaan Al-Qur‘an

dan penafsirannya yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Ridha

tersebut, di dalamnya juga ditemukan term-term yang berkaitan dengan sebagian

aktivitas dakwah, yaitu ishlâh (perbaikan), irsyâd (bimbingan), bayân

(penjelasan), wa’azh (nasihat), indzâr (peringatan), wa’ad dan wa’îd (reward dan

punishment), tabsyîr (kabar gembira), tanzîh al-nafs (pembersihan jiwa), dan

hujjah (argumen rasional). Dengan demikian, bahwa sebagian kandungan dalam

tafsir Al-Manâr adalah berhubungan dengan pemikiran dakwah Islam menurut

penulisnya. Asumsi ini juga didasarkan pada pendapat Muhammad Abduh sendiri,

menurutnya bahwa surat makiyyah merupakan surat-surat Al-Qur‘an yang

diturunkan pada masa awal Islam untuk kepentingan dakwah dan untuk

menjelaskan dasar-dasar agama dan prinsip-prinsip umumnya berupa: (1)

keimanan kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan para nabi, (2)

meninggalkan berbagai keburukan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang dikenali

oleh manusia melalui akal dan fitrahnya, dan (3) melakukan berbagai kebajikan

dan kebaikan yang diketahui menurut kemampuan penalaran dan kesungguhan

44Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 20 surah al-Baqarah, ayat ini berkaitan dengan perumpamaan kehidupan orang kafir yang menjalani jalan yang gelap. Lihat Al- Manâr, jld. I, hlm. 179.

45Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 10.

18

berpikir yang menjadi fungsi hati dan nurani. 46 Dengan demikian dapat dipahami

bahwa Al-Qur‘an sebagai kitab dakwah.

Term-term dakwah yang tercantum dalam urgensi penafsiran Al-Qur‘an

yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh tersebut, terdapat pula term al-wa’zhu

(ceramah peringatan), indzâr (peringatan), wa’ad (reward), wa’îd (punishment),

tabsyîr (kabar gembira), tanzîh al-nafs (pembersihan jiwa), peranan fitrah (potensi

dalam penciptaan), dan dhamir (nurani) dalam memahami kebajikan dan

kebijakan. Apa dan bagaimana posisi term-term ini dalam struktur sistem dakwah

menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan menggunakan analisis perbandingan

dengan pemikiran pakar dakwah selain Muhammad Abduh.

Sehubungan dengan pendapat Muhammad Abduh mengenai Al-Qur‘an

sebagai kitab yang diturunkan untuk kepentingan dakwah, Sayid Kutub

berpendapat bahwa Al-Qur‘an merupakan satu-satunya tempat kembali bagi para

penyeru dakwah dalam melakukan kegiatan dakwah, dan dalam menyusun

gerakannya.47 Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abu al-A‘la al-Maududi

juga berpendapat bahwa: انقر#ن كتاب دعىة ومن�ج حركة (Al-Qur‘an adalah kitab

dakwah dan metode pergerakan)48.

Kemudian Muhammad Abduh juga menjelaskan argumennya bahwa

tanâsub (hubungan) kandungan Q.S. al-Baqarah dengan Q.S. Ali Imran

menggambarkan perihal dakwah Islam,yaitu: (1) masing-masing surat diawali

dengan menyebut al-kitâb dan perihal sikap manusia dalam meresponsnya, yaitu

ada yang menerima (mu’min), menolak (kâfir), dan oportunis (munâfiq). Hal ini

menunjukkan bahwa awal surah al-Baqarah merupakan informasi perjalanan

episode awal dakwah Islam. Sedangkan dalam surah Ali Imran dijelaskan pula

respons manusia terhadap Alquran, ada yang ragu (zaygh) dan ada yang yakin

(râsikh). Hal ini menunjukkan bahwa sikap itu terjadi setelah menyebarnya

dakwah Islam; (2) masing-masing surah menyebutkan klaim keyakinan Yahudi

46 Al-Manâr, jld. I, hlm. 32. 47Sayid Kutub, Fiqh Dakwah, terjemahan Fiqh al-Da’wah: Maudhû’ât fî al-Da’wah wa

al-Harakah, oleh Suwardi Effendi (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), hlm. 11. 48Abu al-A‘la al-Maududi, al-Mabâdi al-Asasiyyah li Fahm al-Qur’an (Lahor: Dâr al-

‗Arubah li al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1960), hlm. 34.

19

dan Nasrani sebagai keyakinan yang benar, dan bahwa dakwah Islam ditujukan

kepada mereka; (3) dalam surah al-baqarah diinformasikan penciptaan Adam a.s.

dan dalam surah Ali Imran diinformasikan penciptaan Isa a.s. yang di antara

keduanya terdapat kesamaan penciptaan tanpa ayah keduanya sebagai da‘i pada

zamannya; (4) masing-masing surah memuat penjelasan tentang hukum perang

sebagai pembelaan diri, kebenaran, dan keberlangsungan dakwah Islam; (5) pesan

moral dan etik dalam do‘a yang dimuat di akhir surah al-Baqarah berkaitan

dengan permulaan dakwah yang diorientasikan pada tugas-tugas keagamaan dan

memohon perlindungan dari para penentang dakwah. sedangkan do‘a di akhir

surah Ali Imran berkaitan dengan penerimaan dakwah dan permohonan balasan

amal di akhirat; dan (6) di awal surah al-Baqarah dijelaskan bahwa kemenangan

dan keselamatan bagi orang-orang yang bertakwa. Sedangkan Hal yang sama

dimuat dalam surah Ali Imran yang ditempatkan di akhir, sehingga awal dan akhir

terdapat konsistensi yang sama tentang akibat pilihan positif terhadap pesan

dakwah Islam.49

Penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an yang dikerjakan oleh Muhammad Abduh

dan dituliskan oleh muridnya Rasyid Ridha dalam tafsir Almanar hanya sampai

ayat 125 surah al-Nisa, yaitu: 50 و�لل ما فى انسمىات وما فى االرض وكان ا�لل

Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada) بكم شيئ محيطا

di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu).

Dalam pada itu, salah satu misi diterbitkannya Tafsir Almanar

sebagaimana ditegaskan oleh Rasyid Ridha:51 وأنشأت انمنار ن�ذعىة انى

.(Dan saya menerbitkan Almanar untuk dakwah ishlâh) االصالح

Sehubungan dengan Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh, menurut

Abdullah Syahatah bahwa, menurut corak penafsirannya termasuk penafsiran Al-

49Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 153. Mengenai tanâsub surat dengan surat dalam struktur mushaf al-Quran, antara lain telah dikaji secara khusus oleh al-Suyuthi mengenai tanâsub antara surat al-Baqarah dengan surat Ali-Imran ini. Lihat Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Tanâsuq al-Durar fi Tanâsub al-Suwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah , 1986), hlm. 63-74.

50Nomor ayat ini dalam mushaf Utsmani adalah ayat ke 126. Lihat Al-Manâr jld. V hlm. 440-445.

51Al-Manâr, jld. I, hlm. 12.

20

Qur‘an yang rasional yang ditujukan pada para pemikir modern, yang hanya dapat

menerima sesuatu yang rasional.52 Sementara itu Muhammad Quraish Shihab

mengomentari Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh sebagai salah satu kitab

Tafsir yang berorientasi sosial, budaya, dan kemasyarakatan.53

Sedangkan menurut komentar Mukti Ali tentang Tafsir Almanar, bahwa

dalam ajaran tafsirnya, Muhammad Abduh berusaha menserasikan antara Islam

dengan pandangan-pandangan kebudayaan modern dan mengikuti cara-cara

pemikiran untuk mencari persesuaian antara agama dengan teori-teori ilmiah.

Nilai yang paling besar dalam ajaran tafsirnya adalah bahwa ajaran itu

menghidupkan perasaan dan menggerakkan emosi lebih banyak daripada kepada

pembahasan masalah-masalah ilmu. ajaran tafsirnya itu lebih banyak ditujukan

kepada hati daripada ditujukan kepada ilmu dan akal, sehingga kehidupan

beragama orang akan dapat terpengaruh.54

Dari beberapa komentar mengenai tafsir Almanar tersebut dapat dipahami

bahwa penulisan tafsir Almanar terkandung maksud untuk kepentingan dakwah

dalam bentuk tulisan yang merupakan bagian dari macam kegiatan tablîgh Islâm.

Dengan demikian Tafsir Almanar merupakan sebuah teks tafsir yang lahir dalam

sebuah wacana yang memiliki banyak variabel. Hal ini didasarkan atas pendapat

Komaruddin Hidayat bahwa ―Setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang

memiliki banyak variabel, antara lain kondisi politis, ekonomis, psikologis, dan

sebagainya;‖55 dan pendapat Abdullah Ahmed al-Naim, menurutnya bahwa

penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam dipengaruhi oleh beberapa

kondisi, yaitu kondisi sosiologis dan ekonomis dari masyarakat tertentu.‖56

52 Lihat Abdullah Syahatah, Manhâj al-Imâm Muhammad Abduh fî Tafîir al-Quran al- Karîm (Kairo: al-Majlis al-‗Alâ li Ri‘âyah al-Funûn wa al-‗Adab wa al-‗Ulûm al-Islamiyah, 1963), hlm. 84.

53M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran; Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 5. dan lihat Muhsin Abd al-hamid, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî (Herendon, al-Ma‘had al-‗Alamy li al-Fikr al-Islami, 1995), hlm. 106.

54Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 491. 55Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 19. 56Abdullah Ahmed al-Na‘im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak

Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam , terj. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law oleh Ahmad Suaedi dan Ahmad Anzai (Yogyakarta, 1977), hlm. xx).

21

Variabel-variabel yang menjadi wacana dan mempengaruhi penulis tafsir

dan penafsirannya yang dikemukakan oleh dua ilmuwan tersebut tidak serta-merta

langsung terungkapkan dalam tafsir Al-Manâr secara utuh. Hal ini menuntut

penelusuran di luar teks tafsir Al-Manâr untuk mengetahui latar variabel yang

mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh, sehingga apa yang diungkapkan

dalam teks tafsir Al-Manâr yang berkaitan dengan hal ihwal dakwah Islam dapat

dipahami dengan pemahaman yang mendekati maksud Muhammad Abduh

sebagai penulisnya. Maka pendekatan biografis sosial penulisnya dapat

digunakan. Hal ini sejalan dengan apa yang ditempuh oleh Zainal Abidin Ahmad,

terutama ketika mengkaji tentang Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina (980-

1037 M).57

Kemudian bagaimana memahami kandungan teks tafsir Almanar tentang

pemikiran dakwah Islam, yang dipaparkan oleh Muhammad Abduh, hal ini dapat

menggunakan pendekatan dilâlah (teori pemaknaan), teori dakwah, psikologi

qurani dan teori komunikasi yang berkaitan dengan obyek material kajian

dakwah, yakni perilaku manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, diri orang

lain, dan lingkungan hidupnya sebagai proses implementasi al-Islam.

Kajian yang menghadirkan kembali pemikiran dakwah Islam menurut

Muhammad Abduh yang menitikberatkan pada upaya perbaikan dan mencari

solusi problem kehidupan umat baik problem psikologis maupun problem

sosiologis sebagai suatu hal yang baru pada zamannya dipandang perlu. Sebab

masih relevan dengan kehidupan bergama umat Islam pada zaman sekarang.

Hal tersebut antara lain didasarkan atas pendapat tiga ilmuwan muslim,

yaitu: pertama, pendapat Azyumardi Azra, bahwa Islam tidak hanya memberikan

ukuran-ukuran moral, tetapi juga memberikan kesempatan kepada potensi yang

dimiliki manusia untuk ikut menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.

Potensi yang dimiliki manusia yang dapat membantunya dalam memahami dan

membenarkan norma-norma moral Islam yang bersumber dari wahyu Allah itu

57Lihat H. Zainal-Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 18.

22

termasuk akal dan qalbu (hati nurani)-nya; 58 kedua, pendapat Komaruddin

Hidayat, bahwa tatkala prestasi di bidang iptek dijadikan satu-satunya acuan dan

ukuran keberhasilan, maka yang terjadi adalah proses pendangkalan kualitas

hidup. Nilai-nilai kehidupan seperti kebersamaan, solidaritas sosial, kasih sayang

antarsesama, mulai tergeser dari keprihatinan dan wacana keseharian ketika

keserakahan pada materi yang disimbolkan oleh keberhasilan iptek menjadi acuan

yang dominan; 59 dan ketiga, pendapat M. Yunan Yusuf, bahwa gerakan dakwah

mestinya muncul sebagai solusi untuk membawa umat kepada sesuatu yang

menghidupkan dan menyemangati, bukan mengancam dan menakut-nakuti.

Upaya menghidupkan dan menyemangati dalam arti memberikan advokasi

material maupun sepiritual yang menyejahterakan kehidupan mereka sehari-hari.60

Dalam ketiga pendapat tersebut, bagi yang pertama terdapat kesejalanan

dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai perlunya menggunakan akal dan

qalbu dalam memahami teks Alquran. Pendapat yang kedua sejalan dengan

pemikiran Muhammad Abduh tentang adanya problem keumatan yang

memerlukan upaya perbaikan dan mencari solusi melalui dakwah. Sedangkan

pendapat yang ketiga sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai

urgensi adanya gerakan dakwah sebagai upaya mengatasi problem psikologis dan

sosiologis keumatan.

Muhammad Abduh diyakini oleh Ibrahim Imam sebagai salah seorang

ulama yang memiliki pemikiran pembaharuan dakwah Islam, yang gerakannya

disebut dakwah salafiah.61Sedangkan pemikiran dakwah yang berintikan pendapat

dan gagasan dakwah sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Karim Bakar, adalah

58Azyumardi Azra, ―Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial ‖ dalam Nurcholis

Madjid dkk. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer (Jakarta: Media Cita, 2000), hlm. 391.

59Komaruddin Hidayat, ―Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern‖ dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, hlm. 98.

60 M. Yunan Yusuf, ―Tafsir Sosial atas Dakwah bi al-Hal‖ dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, hlm. 438. Lihat Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung: Humaniora Utama, 2006), hlm. 50.

61Lihat Ibrahim Imam, Ushul al-‘Ilâm al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‗arabi, 1985), hlm. 186-188.

23

aktivitas akal dalam memahami, mengkaji dan memecahkan persoalan dakwah

dengan menggunakan cara kerja akal.62

Selain itu, Muhammad Abduh adalah salah seorang da’i dan pemikir

dakwah, karena aktivitas dakwah bagi Muhammad Abduh merupakan bagian dari

tekad dan sumpah atas nama Allah dalam perjuangan hidupnya, isi sumpah itu

sebagaimana dijelaskan oleh Utsman Amin yang dikutip oleh Firdaus AN, bahwa

Muhammad Abduh bersumpah atas nama Allah akan berpegang teguh kepada

kitab Allah (Alquran) dalam segala amal bakti dan sikap moralnya tanpa

penyimpangan dan penyesatan; Ia akan senantiasa siap memperkenankan

panggilan Tuhan dalam bentuk perintah atau larangan-Nya dan akan berdakwah

sepanjang hayatnya tanpa pamrih; Ia bersumpah akan rela mengorbankan apa

yang ada pada dirinya untuk menghidupkan rasa solidaritas Islam (ukhuwwah

islâmiyyah) yang mendalam; tidak akan mendahulukan kecuali apa yang

diprioritaskan oleh agama Allah, dan tidak akan menta‘khirkan kecuali apa yang

dikemudiankan oleh agama; tidak akan melangkahkan sesuatu langkah kalau akan

membawa kerugian bagi agama sedikit ataupun banyak; dan Ia berjanji kepada

Allah akan selalu berdaya upaya mencari segala jalan atau peluang untuk

kekuatan Islam dan kaum muslimin.63

Dari substansi sumpah Muhammad Abduh di atas dapat dipahami, bahwa

Muhammad Abduh bukan hanya memiliki pemikiran dakwah, akan tetapi juga

merealisasikan pemikirannya itu. Sehubungan dengan hal ini Rif‘at Syauqi

Nawawi mengakui bahwa ―Muhammad Abduh sesungguhnya mempunyai

komitmen yang tinggi terhadap dakwah Islam‖. Dakwahnya tidak hanya ditujukan

kepada kaum yang telah beriman, tetapi juga ditujukan untuk kaum penganut

materialisme agar mereka juga mengakui dan mengerti akan adanya malaikat.‖64

Pengakuannya ini dikemukakan ketika menganalisis pendapat Muhammad Abduh

mengenai keberadaan malaikat.

62Lihat Abdul Karim Bakar, Muqaddimât li al-Nuhudh bi al-‘Amal al-Da’awi,

(Damaskus: Dâr al-Qalam, 2001), hlm. 13-18. 63Firdaus AN, Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya dalam Muhammad Abduh,

Risâlah Tawhîd, terj. Firdaus AN. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 19-20. 64Rif‘at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah

dan Ibadah, hlm. 137.

24

Oleh karena itu, fokus persoalan penelitian mengenai apa sajakah dan

bagaimana substansi pemikiran dakwah Muhammad Abduh yang termuat dalam

Tafsir Al-Manâr adalah persoalan yang memiliki relevansi dan urgensi bagi

perbaikan dan mensolusi persoalan keumatan masa kini yang menarik untuk

dikaji.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka

masalah yang diteliti diidentifikasi, dibatasi, dan dirumuskan sebagai berikut:

1. Identifikasi Masalah

Substansi pemikiran dakwah yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh

dalam Tafsir Al Manâr, masalah yang menarik untuk dikaji meliputi:

1) Bagaimana gagasan mengenai konsep dakwah yang di dalamnya berkaitan

dengan apakah hakikat, dasar hukum, dan tujuan dakwah;

2) Apa dan bagaimana hakikat Islam dan karakteristiknya sebagai maudhû’

al-da’wah;

3) Apa dan bagaimana karakteristik manusia dan umat sebagai da’i dan

mad’u;

4) Apa sajakah bentuk-bentuk dakwah dalam mencari solusi problem mad’u

yang di dalamnya melibatkan unsur metode, media, dan sasaran masing-

masing bentuk dakwah;

5) Bagaimana pola kaderisasi da’i profesional (takwîn al-du’ât) dari aspek

urgensi, dasar, tujuan, materi, dan metodenya.

6) Bagaimana gagasan mengenai sunnah Allah yang berlaku bagi alam

semesta (hukum alam sebagai bagian dari hukum Allah dijadikan acuan

dalam merumuskan prinsip-prinsip dakwah;

7) Apasajakah substansi sunnah Allah yang berlaku bagi alam semesta

sabagai bagian dari hukum Allah dan bagaimana implementasinya dalam

proses dakwah;

25

8) Apasajakah substansi hukum Islam sebagai bagian dari hukum Allah, dan

bagaimana implementasinya dalam proses dakwah yang pernah

dicontohkan oleh para nabi dan rasul Allah;

9) Bagaimana perbandingan pemikiran dakwah yang digagas oleh

Muhammad Abduh dan pemikiran dakwah yang digagas oleh Rasyid

Ridha; dan

10) Bagaimana kenyataan gerakan dakwah masa kini di dunia Islam jika

dianalisis berdasarkan pemikiran dakwah yang digagas oleh Muhammad

Abduh.

2. Pembatasan Masalah

Mengingat banyak aspek yang berkaitan dengan substansi pemikiran dakwah,

maka dari identifikasi masalah yang telah dikemukakan, masalah penelitian

dalam disertasi ini dibatasi pada tiga persoalan substantif, yaitu:

1) Apakah hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah yang terdiri dari

da’i, mad’u, mawdhu’, metode dan media dakwah sebagai proses

perbaikan dan mencari solusi problem mad’u;

2) Apasajakah bentuk dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi

problem mad’u;

3) Bagaimanakah pola kaderisasi da’i profesional dalam mewujudkan

keberlangsungan dakwah dalam Tafsir Al Manâr;

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang dikaji

difokuskan pada persoalan apasajakah gagasan dan pendapat Muhammad

Abduh mengenai hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah, bentuk-

bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional dalam Tafsir Al Manâr.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Ingin memperoleh data, memahami, memperoleh kejelasan, dan

melakukan sistematisasi pendapat dan gagasan Muhammad Abduh

mengenai hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah sebagai

26

proses perbaikan dan mencari solusi problem mad’u dalam Tafsir Al

Manâr;

b. Ingin memperoleh data, memahami, memperoleh kejelasan, dan

melakukan sistematisasi pendapat dan gagasan Muhammad Abduh

mengenai bentuk-bentuk dakwah dalam Tafsir Al Manâr;

c. Ingin memperoleh data, memahami, memperoleh kejelasan, dan

melakukan sistematisasi pendapat dan gagasan Muhammad Abduh

mengenai pola kaderisasi da’i profesional dalam mewujudkan

keberlangsungan dakwah dalam Tafsir Al Manâr.

d. Ingin membentuk istilah dan kategorisasi dakwah sebagai objek formal

kajian ilmu dakwah yang hingga saat ini masih dalam proses

pengembangan dan memerlukan masukan-masukan istilah dan

kategorisasinya.

2. Kegunaan Penelitian

Bersumber dari pengetahuan yang diperoleh dari tujuan penelitian di atas,

diharapkan dapat dipetik kegunaan teroretis dan praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoretis

1) Bagi pengembangan ilmu dakwah memberikan informasi khazanah

pemikiran Muhammad Abduh mengenai makna istilah dan

kategorisasi yang terkandung dalam sistematisasi hakikat, dasar

hukum, tujuan dan unsur dakwah sebagai proses mencari solusi

problem mad’u, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i

profesional;

2) Bagi para peneliti pembaruan pemikiran Islam merupakan salah

satu sumbangan pemikiran untuk dikembangkan lebih lanjut dalam

meneliti karya intelektual Muhammad Abduh dari sudut pandang

yang tidak menjadi masalah yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Kegunaan Praktis

1) Bagi pencinta dan peneliti pembaruan pemikiran Islam bidang

dakwah dapat dijadikan salah satu rujukan dalam mengembangkan

makna istilah dan kategorisasi dalam disiplin ilmu dakwah;

27

2) Bagi praktisi dakwah dapat dijadikan salah satu rujukan dalam

mencari solusi problem mad’u (keumatan) sesuai tuntutan zaman.

D. Penelitian Terdahulu

Penelitian pemikiran dan kiprah Muhammad Abduh dalam kapasitasnya

sebagai pembaharu dan reformer (mujaddid dan mushlih) dalam Islam telah

dilakukan oleh banyak cendekiawan baik dalam bentuk tulisan disertasi maupun

dalam bentuk kajian akademis lainnya.

Harun Nasution, misalnya, telah mengkaji Muhammad Abduh dari segi

teologi rasional dan perbandingannya dengan Mu‘tazilah. Kajian ini menemukan

bahwa Muhammad Abduh lebih rasional ketimbang Mu‘tazilah dengan indikator

kemampuan akal, menurut Mu‘tazilah akal mampu: (1) mengetahui Tuhan; (2)

mengetahui kewajiban terhadap Tuhan; (3) mengetahui kebaikan dan kejahatan;

dan (4) mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan

jahat, sedangkan menurut Muhammad Abduh, akal mampu (1) mengetahui Tuhan

dan sifat-sifat Nya; (2) mengetahui adanya hidup di akhirat; (3) mengetahui

kebaikan dan kejahatan; (4) mengetahui kewajiban terhadap Tuhan; (5)

mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewjiban menjauhi peerbuatan jahat; dan

(6) mengetahui hukum-hukum.65

Abd al-Athi Muhammad meneliti pemikiran Muhammad Abduh dalam

kerangka tesis magisternya dengan judul al-Fikr al-Siyâsi li al-Imâm Muhammad

‘Muhammad Abduh.66

Arbiyah Lubis melakukan penelitian komparatif atas pemikiran dan

gerakan pembaruan Islam antara Muhammad Abduh dan Muhammadiyah.67

Amir Maliki Abi Thalkha menulis tentang Muhammad Abduh dengan

judul Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh (Kajian tentang Sistem dan

65Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional-Mu’tazilah (Jakarta: UI- Press , 1987), hlm. 53-56.

66Salim Bajri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), (Jakarta: PPS IAIN SYAHIDA, 2000), hlm. 32.

67Salim Badjri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), hlm. 32.

28

Lingkungan Pendidikan) untuk kepentingan tesis magister di IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.68

Ada pula penelitian pemikiran bidang tafsir Muhammad Abduh, antara

lain oleh Abdullah Mahmud Syahathah antara lain ditemukan bahwa Muhammad

Abduh mendasarkan metode tafsirnya pada prinsip-prinsip: (1) memandang

kandungan surat Al-Qur‘an merupakan satu kesatuan yang serasi; (2) universalitas

kandungan Alquran; (3) Al-Qur‘an adalah sumber pertama hukum Islam; (4)

memerangi taklid; (5) menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengkaji dan

mengambil petunjuk Alquran; (6) menggunakan akal dalam memahami ayat-ayat

Al-Qur‘an; (7) meninggalkan pembicaraan yang terlalu panjang dalam penafsiran

Al-Qur‘an; (8) meninggalkan cerita Israiliyat dan mengikuti pendekatan al-

ma’tsur yang shahih; dan (9) menggunakan pendekatan sosiologis dalam

mengambil petunjuk Alquran.69

M. Quraish Shihab mengkaji pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang

tafsir dari segi metode dan corak penafsiran Al-Qur‘an, diantara temuannya

bahwa Muhammad Abduh mendasarkan orientasi penafsirannya pada

memfungsikan tujuan utama dari kehadiran Al-Qur‘an sebagai petunjuk serta

memberi jalan keluar bagi problem-problem umat manusia dengan berusaha

menghindari kelemahan kitab-kitab tafsir sebelumnya melalui metode budaya

kemasyarakatan dan dengan menerapkan prinsip-prinsip baru.70

Zaenun Kamal menulis tesis tentang pengaruh pembaharuan pemikiran

Islam menurut Muhammad Abduh terhadap pemikiran pembaharuan di Indonesia

untuk tesis magister dengan judul al-Imâm Muhammad ‘Muhammad Abduh wa

Âtsâruhu fî Tajdîd al-Fikr al-Islâmi bi Indûnîsiyya.

Rif‘at Syauqi Nawawi mengkaji Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:

Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, temuannya antara lain bahwa:

32.

68Salim Badjri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), hlm. 69Abdullah Mahmud Syahatah, al-Imâm Muhammad ‘Abduh wa Manhajuh fî al-Tafsîr Al-

Qur’an al-Karim, (Kairo: al-Jâmi‘ah al-Qâhirah, 1963). 70Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar,

(Jakarta: Lentera Hati, 2006)

29

Perhatian Muhammad Abduh yang demikian besar terhadap segi petunjuk Al-Qur‘an dilandasi oleh keyakinannya bahwa kelemahan dan kemunduran umat Islam serta hilangnya kejayaan mereka di masa silam adalah karena mereka berpaling dari petunjuk Al-Qur‘an. untuk memperoleh kembali kejayaan, kepemimpinan dan kehormatan hidup, menurut pendapatnya jalan yang harus ditempuh ialah kembali kepada petunjuk kitab suci serta berpegang teguh kepadanya. Tanpa berpedoman kepada petunjuk Al- Qur‘an, umat Islam dari semua generasi tidak akan memperoleh kejayaan dan kehormatan hidup.71

Fahd bin Abdurrahman Sulaiman al-Rumi memposisikan Muhammad

Abduh sebagai penganut aliran studi rasional modern dalam penafsiran Al-Qur‘an

yang dipengaruhi oleh gagasan Jamaluddin al-Afghani, kemudian Rasyid Ridha

dan Muhammad Mushthafa al-Maraghi mengikuti dan meneruskan upaya

Muhammad Abduh dalam penafsiran Alquran.72

Muhammad Qodri Luthfi menulis tentang Sejarah Kehidupan Muhammad

Abduh dan Cita-cita serta Pandangan-pandangannya tentang Pendidikan dan

Pengajaran dan karyanya tersebut telah diterbitkan oleh Maktab al-Tarbiyah al-

Arabi Ahl Kharib tahun 1978.73

Ahmad Amin menulis tentang Muhammad Abduh sebagai tokoh

pembaharuan dalam Islam dan diterbitkan oleh Dâr al-Kitâb al-‗Arabi, Beirut,

pada tahun 1976. Gambaran tentang sejarah hidup pergerakan dan pemikiran yang

telah dilakukannya Muhammad Abduh setidaknya telah turut membuka wawasan

Islam yang lebih modern dan progresif. Di samping tulisan-tulisan mengenai

Muhammad Abduh yang dilakukan oleh para cendekiawan juga tidak kurang

karya tulis keagamaan ditulis sendiri oleh Muhammad Abduh maupun murid-

muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha yang menulis tentang Târîkh al-Imâm

Muhammad ‘Muhammad Abduh terbitan Maktabah al-Manar tahun 1431 H. 74

71Rif‘at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Seri Disertasi), (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 203.

72Fahd bin Abdurrahman Sulaiman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al- Hadîtsah fî al-Tafsîr, (Beirut: Muassasah Risalah Beirut tahun 1414H).

73Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 58-59.

74Salim Badjri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), hlm. 35.

30

Melalui tulisan-tulisan maupun aktivitas sosialnya, Muhammad Abduh

menjadi orang yang paling dikenal, menonjol, dan dicintai di tengah-tengah

masyarakatnya, di Mesir khususnya,75 sebagai sosok termashur dan serba bisa.76

Analisis tentang Hal ini ditulis pula oleh Muhammad Imarah dalam buku

Muhammad Abduh dan Pengalaman-pengalamannya yang Sempurna yang

diterbitkan oleh al-Muassasah al-‗Arabiyah li al-Dirasat wa al-Nasyr, Beirut, pada

tahun 1972.77

Pokok pemikiran Muhammad Abduh yang menjadi dasar bagi pendapat-

pendapatnya dalam bidang pembaharuan (tajdîd dan ishlâh) dalam Islam ditulis

oleh Utsman Amin dalam buku Tokoh Pemikir Mesir al-Imam Muhammad

Abduh. Buku ini diterbitkan oleh Lajnah al-Tarjamah Dairah al-Ma‘arif al-

Islamiyyah. Juga ditemukan buku Muhammad Abduh termasuk Tokoh-tokoh di

Abad Modern oleh Ahmad Amin dengan penerbit Dar al-Kitab al-Arabi di Beirut.

Dalam memahami ajaran tawhid sebagai bagian dari pesan dakwah,

Muhammad Abduh terpengaruh oleh pemikiran rasional Mu‘tazilah. Karena

kecenderungannya kepada pemikiran rasional, ia berpendapat bahwa pemikiran

rasional adalah jalan untuk memperoleh iman yang benar dan sempurna.78 Namun

demikian, Muhammad Abduh bukan golongan Mu‘tazilah. Terlebih-lebih dalam

memberikan argumen tentang masalah tawhid Muhammad Abduh condong pada

nash Alquran, berbicara bukan semata-mata kepada hati manusia melainkan juga

kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.79

Penelitian terdahulu di atas menunjukkan bahwa pemikiran dakwah

Muhammad Abduh belum dikaji secara khusus, dan menunjukkan kekhasan

penelitian yang memfokuskan pada pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam

75Albert Hourany, Arabic Thought in the Liberal-Age, 1798-1939 (London: Oxford University Press, 1962), hlm. 135.

76Majid Fakhry, A History of Muslim Philosophy (Sejarah Filsafat Islam), terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 464.

77Muhammad Imarah, al-’Amâl al-Kâmilah, (Beirut: al-Muassasah al-‗Arabiyah li al- Dirasat wa al-Nasyr, 1972).

78Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban menurut Islam dan Kristen, terj. al-Islâm wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, oleh Mahyuddin Syaf (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm. 51.

79Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 65.

31

tafsir Al-Manâr yang sejauh tinjauan hasil penelitian yang sudah dikemukakan

belum dikaji, sehingga penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan. Selain itu,

sumber data masalah penelitian, baik primer maupun sekunder, cukup tersedia dan

relatif mudah diperoleh sehingga penelitian dapat dilakukan.

E. Metode Penelitian

Tipe dan metode yang digunakan dalam penelitian ini sejalan dengan

rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan, maka tipe penelitian ini

tergolong kajian kepustakaan (library research).80 Dan metode yang digunakan

adalah metode analisis isi (content analysis atau tahlîl al-madhmûn).81

Metode analisis isi dapat digunakan dalam merekonstruksi dan

mengaktualisasikan pemikiran seseorang tentang suatu ide yang umum dan

abstrak mengenai sesuatu yang dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat yang

terjadi pada masanya. Sesuatu tersebut terdapat dalam karya tulisnya yang

terpisah dari diri penggagas.82

Metode analisis isi dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis

konten deskriptif kritis dalam menggali dan mengungkap substansi teks

penafsiran Muhammad Abduh yang memuat pemikiran dakwah.83

Sumber data dalam penelitian ini, mengingat tipe penelitian yang

menelaah buku-buku dan tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan masalah

pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh, maka digunakan sumber data

primer dan sekunder. Sumber data primer adalah karya tulis Muhammad Abduh,

yaitu Tafsir al-Quran al-Hakim yang lebih dikenal-dengan Tafsir Al-Manâr yang

ditafsirkan oleh Muhammad Abduh dan dituliskan oleh Muhammad Rasyid

80Lawrence R. Frey et al., Investigating Communication, An Introduction to Research

Methods, (New Jersey Prentice Hall, 199 1), h1m. 204-205, menyebutnya sebagai textual-analysis. 81Lihat Sukarnto dkk., Pedoman Penelitian, (Yogyakarta: "LP", 1995), h1m. 15-16. 82Lihat Consuelo G. Sevila dkk., An Introduction to Research Methods, (Pengantar

Metodologi Penelitian) Pen. Alimudin Tuwu, (Jakarta: Ul-Press, 1993), h1m. 46-55, dan Aletis S. Tan, Mass Communication Theories and Research, (Ohio: Grid Publishing Inc., 1981), hlm. 52- 53.

83Jika yang akan diungkap itu dampak makna pesan bagi pembaca disebut analisis konten inferensial. Selanjutnya lihat Zauqan Abidat dkk., Al-Bahts al- 'Ilmi, Mafhumuhu, Adawâtuhu, Asâlibuhu, (Aman: Dar al-Fikr, 1987), h1m. 211-212, dan Shalah Mushthafa al-Fawal, Manâhij al-Bahts fi al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah (Kairo Maktabah Gharib, 1982), hlm. 140-143.

32

Ridha, yaitu hingga Q.S.. Al-Nisa ayat 125 (dalam Mushaf Utsmani, nomor ayat

125 adalah ayat ke 126) yang dimuat dalam jilid V halaman 440-441. Sedangkan

sumber data sekunder adalah buku-buku tentang tafsir al-Quran, ilmu dakwah,

pemikiran Islam, psikologi Islami, dan teori komunikasi yang relevan sebagai

rujukan dalam menganalisis masalah penelitian yang terdapat dalam sumber

primer. Buku-buku tersebut sebagaimana tertuang dalam daftar pustaka.

Unit analisis dalam penelitian ini dengan mengacu pada metode penelitian

yang digunakan, maka dilakukan penentuan unit analisis sebagai sampel masalah

penelitian yang dikaji dan dilakukan secara purposive, yaitu difokuskan pada teks

penafsiran ayat-ayat al-Quran yang memuat Hal ihwal pemikiran dakwah dalam

tafsir Al-Manâr yang ditafsirkan oleh Muhammad Abduh. Sedangkan tehnik

untuk membedakan antara penafsiran oleh Muhammad Abduh dengan penafsiran

oleh Rasyid Ridha mengacu pada penjelasan Rasyid Ridha yaitu: penafsiran

Muhammad Abduh dicirikan dengan ungkapan: قال شيخنا , قال االستار , قال ,

Ungkapan-ungkapan ini ditempatkan di . االستار االماو dan , قال االستار االماو

awal-isi penafsiran. Dan penafsiran Rasyid Ridha dicirikan dengan ungkapan:

yang ditempatkan setelah penafsiran أقىل ا#لن dan , أقىل , وأزيذ في� , وأزيذ �نا

Muhammad Abduh, bagian teks sampel penelitian ini sebagaimana tercantum

dalam lampiran.84

Kategori unit analisis yang digunakan adalah kategori substansi (substance

categories) yaitu menganalisis apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh

mengenai pemikiran dakwah dalam Tafsir Al-Manâr yang disistemisasikan dalam

struktur rukun dakwah, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i

profesional. Kemudian dianalisis dengan menggunakan istidlâl (teori pemaknaan),

teori psikologi islami, dan teori komunikasi yang bersinggungan dengan obyek

material kajian dakwah.85 Dan kategori unit analisis ini merupakan eksplanasi atas

84Lihat Al-Manâr, Jld. I, hlm. 16. 85Mengenai penggunaan kategori substansi ini, selanjutnya lihat Philip Emmert dan Larry

L. Barker, Measurement of Communication Behavior, (New York: Longman, 1989), h1m. 199-203. Klaus Krippendorff, Content Analysis.- Introduction to Its Theory and Methodology (Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi), Pen. Farid Wajidi, (Jakarta.- CV. Rajawali, 1991),

33

operasional konsep yang terkandung dalam masalah penelitian, yaitu sebagai

berikut:

Pemikiran Dakwah dimaksudkan sebagai hasil aktifitas akal berupa

gagasan dan pendapat mengenai hal ihwal dakwah, yaitu: hakikat, dasar hukum,

dan tujuan dakwah, hakikat dan karakteristik Islam sebagai maudhu’ dakwah,

karakteristik manusia sebagai da’i dan mad’u, karakteristik umat, media dan

prinsip metode dakwah, bentuk-bentuk dakwah berupa al-da’wah al-‘âmmah, al-

da’wah al-khâshah, dan al-da’wah al-ummah, di dalamnya meliputi irsyâd nafsi,

irsyâd fardi, tablîgh, amr ma’rûf, dan nahy munkar, dan pola kaderisasi da’i

profesional, yaitu: urgensi kaderisasi, dasar dan tujuan, metode dan materi.

Muhammad Abduh dimaksudkan sebagai mufasir dan rijâl al-da’wah

(tokoh pemikir dan pelaku dakwah) yang memiliki gagasan dan pendapat dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang mengandung pernyataan pemikiran dakwah.

Analisisnya berkaitan dengan riwayat hidup Muhammad Abduh dan dibatasi pada

―situasi sosio-politik dan kultural di Mesir,‖ riwayat hidup yang meliputi identitas

diri, riwayat pendidikan, karya tulis, dan peranan dakwah reformasi (ishlâhiyyah).

Dalam Tafsir Al-Manâr dimaksudkan sebagai salah satu karya tulis

Muhammad Abduh di bidang tafsir al-Quran bersama Muhammad Rasyid Ridha

sebagai lokus masalah penelitian.

Tehnik analisis dan pemeriksaan keabsahan data mengenai pemikiran

dakwah menurut Muhammad Abduh yang telah terkumpul dianalisis secara

deduktif dan analisis komparatif, yaitu mengurai, mengulas, dan menanggapi

gagasan dari data yang ditampilkan mengenai substansi (substance categories)

pemikiran dakwah dari penafsiran Muhammad Abduh. Dengan demikian,

diharapkan akan diperoleh jawaban terhadap permasalahan yang diajukan dalam

penelitian ini. Selanjutnya langkah operasional analisis data tersebut sebagai

berikut:

Pertama, mendeskripsikan data dengan memaparkan inti penafsiran

Muhammad Abduh tentang pemikiran dakwah yang terdapat dalam tafsir Al-

hlm. 75 dan 89; dan Alexis S. Tan, Mass Communication Theories and Research, (Ohio: Grid Publishing Inc. 198 1), h1m. 51-53.

34

Manâr. Hal ini dilakukan dengan memilah dan memilih konsep inti penafsirannya

ke dalam struktur rukun dakwah, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i

profesional. Dengan demikian tidak keseluruhan ungkapan-ungkapan penafsiran

yang dilakukan Muhammad Abduh tersebut dipaparkan, tetapi ada yang

diungkapkan maknanya dengan cara memahami dan menarik konsep inti yang

berkaitan dengan pemikiran dakwah dalam pernyataan penafsiran Muhammad

Abduh yang pemaparannya panjang dan luas.

Kedua, mengurai, mengupas, dan menanggapi gagasan tentang pemikiran

dakwah yang dipaparkan dalam konsep inti penafsiran yang ditempuh dalam

langkah pertama dengan penalaran yang menjelaskan konsep-konsep inti dari

sudut pandang pemaknaan pernyataan dan membandingkan dengan pendapat

pakar lain tentang masalah yang berkaitan dengan pemikiran dakwah tersebut

dalam struktur sistem dakwah, yaitu menggolongkannya ke dalam kategori unsur-

unsur proses dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional.

Ketiga, menarik kesimpulan gagasan utama tentang pemikiran dakwah

menurut pemikiran Muhammad Abduh dalam tafsir Almanar dengan mengacu

kepada langkah kedua dalam analisis kategori struktur sistem dakwah, dan pola

kaderisasi da’i profesional.

Sedangkan pemeriksaan keabsahan data mengenai pemikiran dakwah

menurut pemikiran Muhammad Abduh ditempuh dengan melalui konfirmasi

referensi, yaitu mengacukan data kepada sumbernya dan konsistensi logis sebagai

kriteria untuk menera suatu kebenaran ilmiah.86 Dalam hal ini, pemikiran

Muhammad Abduh mengenai dakwah diperiksa ulang dengan melihat sumbernya,

dan proses penstrukturan pemikiran Muhammad Abduh tersebut ditempuh dengan

cara menempatkan pemikiran Muhammad Abduh sebagai premis minor, analisis

sebagai premis mayor dan menarik konklusi dari kedua premis itu.

86Selanjutnya, lihat Alfred North Whitehead, Fungsi Rasio (terj. Functions of Reason) Pen. Alois A. Nugroho (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 145-146.

35

F. Sistematika Pembahasan

Penulisan disertasi ini disusun dalam lima bab dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan, berisi uraian tentang pernyataan

pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manâr yang memuat pendapat dan

gagasan mengenai dakwah sebagai proses implementasi hukum Allah dalam

memperbaiki dan mencari solusi problem kehidupan umat pada zamannya, yang

masih relevan untuk dihadirkan kembali pada zaman sekarang. Hal ini menjadi

latar belakang masalah untuk dikaji lebih lanjut melalui penelitian yang

difokuskan pada hakikat, dasar hukum, tujuan, unsur dakwah dan pola kaderisasi

da’i profesional dalam mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam, dengan

tujuan menemukan data, memahami, memperoleh kejelasan, dan melakukan

sistematisasi substansi pendapat dan gagasan dakwah menurut Muhammad Abduh

tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi teoretis dalam pengembangan

pembentukan peristilahan dan kategorisasi dalam disiplin ilmu dakwah. Selain itu,

secara praktis ia memberikan kontribusi bagi para praktisi dakwah dalam

memperbaiki dan mencari solusi problem mad’u yang dihadapi pada zaman

sekarang. Kemudian, untuk menunjukkan bahwa masalah yang diteliti belum

dikaji secara khusus dikemukakan beberapa hasil penelitian dan karya tulis

mengenai pemikiran pembaruan Islam menurut Muhammad Abduh dalam

tinjauan penelitian pendahulu, sejauh yang diketahui peneliti, dan metode analisis

isi digunakan dalam memperoleh data dan proses analisis isi atas teks Tafsir Al-

Manâr yang memuat pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh.

Bab kedua berisikan uraian mengenai situasi sosial politik dan sosial

budaya di Mesir pada saat itu yang mempengaruhi pemikiran dan perjuangan

Muhammad Abduh dalam melakukan dakwah yang menitikberatkan pada

ishlâhiyyah sebagai fokus dakwahnya, identas diri, riwayat pendidikan, dan karya

tulis yang memberikan informasi posisi Muhammad Abduh dalam menyiapkan

kiprah perjuangannya sebagai salah seorang tokoh pemikir dan pelaku

pembaharuan pemikiran Islam, yang di dalamnya berkaitan dengan basis

pemikiran dakwah Islam, dan aktivitas dakwah ishlâhiyyah yang dilakukan oleh

36

Muhammad Abduh, yang meliputi ishlâhiyyah pendidikan, sistem pengajaran,

kelembagaan pendidikan, sistem politik, jurnalistik, hukum, dan kemasyarakatan.

Bab ketiga berisikan uraian mengenai substansi pemikiran dakwah yang

meliputi komponen prinsip-prinsip dakwah, di dalamnya dikemukakan hakikat

dakwah, dasar hukum dan tujuan dakwah, hakikat Islam dan karakteristiknya

sebagai maudhû’ al-da’wah, karakteristik manusia sebagai da’i dan mad’u,

karakteristik umat sebagai medan berlangsungnya kegiatan dakwah, media dan

prinsip metode dakwah. Selanjutnya keseluruhan isi tersebut

dikonseptualisasikan.

Bab keempat berisikan uraian mengenai bentuk-bentuk dakwah yang di

dalamnya melibatkan unsur atau komponen dakwah dalam memperbaiki dan

mencari solusi problem mad’u, baik problem psikologis maupun sosiologis, yaitu

al-da’wah al-‘âmmah, al-da’wah al-khâshah, dan al-da’wah al-ummah, yang di

dalamnya meliputi tablîgh, al-dâ’iyah fi nafsih, al-da’wah al-fardiyah, amr

ma’rûf dan nahy munkar dan upaya mewujudkan keberlangsungan dakwah

melalui kaderisasi da’i profesional, yang meliputi uraian urgensi kaderisasi, dasar

dan tujuan kaderisasi, materi pengajaran kaderisasi, dan metode pembelajarannya.

Kemudian, isi dari keseluruhan uraian tersebut dikonseptualisasikan.

Bab kelima merupakan uraian kesimpulan yang memuat temuan, argumen,

persamaan dan perbedaan mengenai substansi pemikiran dakwah menurut

Muhammad Abduh yang meliputi komponen dakwah, bentuk-bentuk dakwah dan

pola kaderisasi da’i profesional yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.

Setelah itu, dikemukakan hal-hal yang dipandang perlu untuk ditindaklanjuti dari

hasil penelitian ini, baik secara teoretis maupun praktis yang berkaitan dengan

kedakwahan sebagai saran.

BAB II

SEKILAS BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH

DAN DAKWAH ISHLÂHIYAH

A. Sekilas Situasi Sosial Politik dan Budaya Mesir

Perjalanan hidup seorang tokoh di bidang apapun senantiasa dipengaruhi oleh

banyak faktor, antara lain faktor situasi sosial politik dan budaya di mana tokoh itu

menjalani kehidupannya. Bagaimanapun juga, situasi Mesir baik sosial-politik

maupun budayanya begitu pula keadaan keluarga serta pengalaman pendidikan

yang dialami oleh Muhammad Abduh berpengaruh kepada dirinya yang telah

mewarisi sifat-sifat yang ada padanya berupa kecerdasan, percaya kepada diri

sendiri, ulet dalam menghadapi kesulitan, dan ingin maju dan cinta kasih. Sifat-

sifat inilah yang pada gilirannya nanti membuat Muhammad Abduh menjadi tokoh

pemikir dan pejuang pembaharuan (tajdîd) dan perbaikan (ishlâh) Islam dan

kehidupan masyarakat Mesir pada zamannya yang berpengaruh pula bagi generasi

setelahnya.1

Situasi sosial politik Mesir abad ke 18 hingga ke 19 merupakan bagian dari

wilayah imperium Utsmani. Mesir benar-benar diperintah oleh beberapa faksi

militer mamlûk setempat. Sebagaimana wilayah Utsmani lainnya, Mesir memiliki

badan-badan ulama dan tarikat sufi yang pengaruhnya besar pada rentangan abad

ke 18, disebabkan lemahnya kontrol Utsmani, persaingan antara beberapa faksi

mamlûk mengakibatkan terbengkalainya irigasi, kemerosotan pajak, dan

meningkatnya persaingan politik antarfaksi mamlûk dan kesukuan. Situasi ini

berakibat pada melemahnya pengaruh Utsmani yang membawa perubahan besar

dalam struktur sistem kemasyarakatan Mesir; yaitu membuka kesempatan bagi

1 Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Jambatan, 1995), hlm. 429. Tajdid (pembaharuan) menurut Harun Nasution adalah pikiran, aliran, gerakan, dan usaha mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996 ), hlm. xi, sedangkan ishlâh (perbaikan, reformasi) adalah upaya atau gerakan memperbaiki dan mengembalikan cara berpikir dan bertindak dari

38

serangan Napoleon tahun 1798M, dan kedua membuka kesempatan bagi

intervensi pihak Inggris.2

Sebagai akibat yang pertama tersebut, menurut Harun Nasution bahwa,

dalam usaha menyaingi kegiatan ekspansi Inggris ke dunia Timur, Napoleon

Bonaparte dari Prancis, pada tahun 1798M, mengadakan ekspedisi ke Mesir, yang

sejak lama merupakan salah satu pusat terpenting dari dunia Islam. Dalam waktu

kurang dari satu bulan, seluruh negeri itu jatuh ke bawah kekuasaannya.

Persenjataan modern yang dibawanya tidak bisa diimbangi oleh persenjataan

tradisional kaum mamâlik yang pada waktu itu berkuasa di sana.3

Napoleon hadir menaklukkan Mesir bukan hanya dengan tentara, tetapi

juga membawa unsur-unsur peradaban modern Barat yang tidak dikenal di Timur.

Ia membawa ilmuwan-ilmuwan yang mendirikan lembaga ilmiah dan

laboratorium di Kairo. Di antara ilmuwan-ilmuwan itu terdapat pula kaum

orientalis yang tahu bahasa Arab dan agama Islam. Napoleon juga membawa

percetakan dalam huruf Latin dan Arab yang menyiarkan hasil-hasil penelitian

para ilmuwan tersebut, begitu pula maklumat-maklumat Napoleon sendiri. Situasi

ini mengakibatkan terjadinya kontak orang Mesir, terutama ulama-ulamanya

dengan kebudayaan yang dibawa napoleon, yang pada gilirannya di kemudian

hari, menimbulkan kesadaran dalam diri para ulama Mesir pada saat itu, bahwa

umat Islam sudah jauh ketinggalan dari orang Eropa. Hal ini antara lian disadari

oleh Abdurrahman al-Jabarti, salah seorang ulama Al-Azhar dan penulis sejarah

setelah berkunjung ke lembaga-lembaga ilmiah dan laboratorium di Prancis.4

Pendudukan Prancis tersebut berakhir dengan adanya perlawanan yang

dipelopori oleh Muhammad Ali (1765-1849M), seorang perwira Turki dalam

berperang melawan Prancis. Dan setelah Prancis keluar dari Mesir (1 Agustus

1801M), Muhammad Ali dapat merebut tampuk kekuasaan dan menjadi penguasa

kehidupan yang menyimpang kepada ajaran autentik, lihat Muhsin Abd al-Hamid, Tajdîd al-Fikr al-Islamî, (Virginia: al-Ma�had al-Âlami li al-Fikr al-Islami, 1994), hlm.96.

2 Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian III, terj. A History of Islamic Societies, oleh Gufron A. Mas�udi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 101-103.

3 Harun nasution, Muhammad Abduhdan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UIP, 1987), hlm. 7.

39

tunggal yang independen dan mendirikan sebuah dinasti yang memerintah Mesir

sampai tahun 1952. muhammad Ali menjadi penguasa Mesir mulai tahun 1805

sampai tahun 1849.5

Berbarengan dengan adanya kesadaran umat Islam Mesir akan

kemunduran, kelemahan, dan ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan,

terutama di bidang sains modern, teknologi, dan ekonomi umat, maka situasi ini

dijadikan momentum strategis oleh Muhammad Ali dalam melakukan

pembaharuan di Mesir, dalam bidang pendidikan ia tampil memeloporinya dengan

upaya mengirim orang Mesir belajar ke Eropa,6 terutama ke Paris. Di Mesir

sendiri, ia mendirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah militer (1815M),

sekolah teknik (1816M), sekolah kedokteran (1827M), sekolah apoteker (1828M),

sekolah pertambangan (1834M), sekolah pertanian (1836), dan sekolah

penerjemahan (1836M). Gerakan Muhammad Ali ini dipandang sebagai awal

terjadinya reformasi sosial di Mesir.7

Di bidang politik, sebagai penguasa tunggal, Muhammad Ali melakukan

perombakan dengan menghancurkan seluruh kekuatan politik yang berasal dari

keluarga mamlûk, begitu juga kekuasaan ulama yang pada akhir abad ke 18 turut

terlibat dalam urusan pemerintahan, secara berangsur-angsur dilumpuhkan dengan

merampas hak pajak pertanian dan wakaf mereka. Di bidang perekonomian,

Muhammad Ali melancarkan reorganisasi perekonomian secara total dengan

melakukan pengembangan perkebunan tebu dan kapas yang keduanya merupakan

komoditas yang laku dalam pasaran internasional. Guna meningkatkan pertanian

dibangunlah irigasi besar. Sementara itu, selain untuk mengolah hasil pertanian, ia

mendatangkan ahli-ahli mesin dan teknisi dari Barat dan membangun pabrik yang

4 Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduhdan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 9. 5 Rif�at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah

dan Ibadat, (Jakarta:Paramadina, 2002) hlm. 19. 6 Menurut catatan Musyarrofa, sepeti dikutip oleh Haris, bahwa pelajar Mesir yang dikirim

belajar ke Eropa itu, 230 orang ke Prancis, 95 orang ke Inggris, dan 14 orang ke negeri lainnya. Dengan bidang ilmu yang ditekuni masing-masing, 310 orang bidang engineering dan industri, 15 orang kedokteran, 2 orang pertanian, dan 12 orang bidang humaniora. Lihat Cristianna Phelps Harris, Nasionalism and Revolution in Egypt: the Role of the Muslim Brotherhood (London: Mounto & Co., 1964), hlm. 18.

7 Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 10.

40

menghasilkan kapas, wol, benang tekstil, gula, kertas, barang-barang dari kulit,

dan memproduksi senjata. Semua ini, menurutnya, untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat Mesir.8

Sebagai penguasa tunggal, Muhammad Ali tidak menghadapi kesulitan

dalam usahanya membawa pembaharuan di Mesir, terutama di bidang pendidikan,

militer, dan ekonomi. Ia menjadi raja yang absolut yang menguasai sumber

kekayaan, terutama tanah, yang ada di Msir, pertanian, dan perdagangan. Di

daerah-daerah, para pegawainya juga bersikap keras dalam melaksanakan

kehendak dan perintahnya. Sehingga rakyat merasa tertindas, untuk menghindari

kekerasan yang dilakukan oleh para pegawai Muhammad Ali, rakyat di daerah ada

yang terpaksa berpindah-pindah tempat, dalam hal ini termasuk kakek dan ayah

Muhammad Abduh melakukan hal yang sama, bahkan kakek dan ayah

Muhammad Abduh pernah dipenjara lantara dituduh terlibat menentang

pemerintahan Muhammad Ali. Kebijakan pemerintahan Muhammad Ali ini

ternyata berujung dengan ketidakadilan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat

Mesir.9

Selain melahirkan keadaan sosial-ekonomi tersebut, usaha modernisasi

atau pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali juga melahirkan dua

sistem pendidikan yang berbeda, bahkan antara yang satu dengan yang lainnya

terjadi ketegangan di kalangan pendukungnya masing-masing, yaitu: Pertama,

pendidikan yang hanya mengajarkan keagamaan dan menolak keberadaan

perubahan dan sains modern; dan kedua, sistem pendidikan sains yang menerima

sepenuhnya pengaruh dan ide Barat yang sekuler tanpa seleksi. Kemudian dari dua

sistem pendidikan yang berbeda ini, pada gilirannya, melahirkan tipe kehidupan

Muslim yang sangat berbeda. Bagi kelompok pertama, yang

mayoritas pendukungnya dari generasi tua, yang menganggap

bahwa ajaran Islam sebagaimana terformulasikan dalam karya-karya

ulama fiqh adalah ajaran yang

8 Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, hlm. 103. 9 Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan gerakan

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 585-59.

41

benar sedangkan nilai-nilai baru yang dibawa oleh sains modern tidak layak untuk

diterima.10

Sementara itu, kelompok yang menerima sains modern dan ide-ide Barat

tanpa seleksi yang kebanyakan dianut oleh generasi muda Mesir yang penguasaan

keagamaannya masih dangkal dan mengabaikan tradisi keagamaan yang dianut

oleh kelompok generasi tua. Dua tipe kehidupan Mesir ini berimplikasi pada

aspek-aspek sosial lainnya yang serba dikotomis, mempertentangkan nilai agama

dan nonagama, antara sains Barat dan ilmu agama, antara yang mempetahankan

taklid kepada pemikiran keagamaan kaum tua dengan yang mengharuskan

pembaharuan melalui ijtihad dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam suasana

sosial-politik dan budaya Mesir tersebutlah Muhammad Abduh dilahirkan.

B. Identitas Diri, Riwayat Pendidikan, dan Karya Tulis

1. Identitas Diri

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad Abduh bin Hasan

bin Khairullah. Ayahnya merupakan seorang petani yang taat beragama tetapi

bukan ulama. Mengenai asal-usulnya, Muhammad Abduh pernah bercerita bahwa,

orang-orang menyebut rumah kami sebagai rumah Turki. Saya bertanya kepada

orang tua mengapa mereka menyebut demikian. la menjawab bahwa keturunan

kami bermuara pada seorang nenek moyang dari negeri Turki. Adapun ibu saya

adalah bangsa Arab Quraisy yang silsilah keturunannya sampai pada Umar bin

Khaththab. Namun ini hanya merupakan cerita turun-temurun yang tidak

memungkinkan pembuktian.11

Muhammad Abduh dilahirkan di penghujung tahun 1265H/1849M di

daerah Syabsyir, salah satu desa di Mesir Hilir, yaitu desa Mahallah Nashr

kabupaten Al-Buhairah yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari kota

Damanhur. Muhammad Abduh lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga yang

10 Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam , hlm. 103-104, dan Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 222-223.

11Lihat Thâhir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Muhammad Abduh (Mesir: Dâr al-Hilal, tt.), hlm. 21.

42

merupakan bagian dari kelas kreatif di Mesir modern, keluarga yang cukup

terpandang di desanya dan dengan tradisi belajar dan kesalehan.12 Kondisi

lingkungan keluarga Muhammad Abduh di desa adalah lingkungan orang-orang

miskin, kehidupan di desa tempat tinggalnya seperti layaknya kehidupan di desa-

desa lain di Mesir, di mana penduduknya bekerja giat dan bersungguh-sungguh,

beriman kepada Allah, dan yakin di hari akhirat nanti akan mendapatkan balasan

dari-Nya.13

Muhammad Abduh menikah pada tahun 1282H/1866M, pada usia 17

tahun. Dari perkawinannya, menurut catatan Rasyid Ridha, Muhammad Abduh

tidak mempunyai anak laki-laki. Ia dikaruniai empat anak perempuan. Dua orang

puterinya, yakni yang pertama dan yang kedua, dikawinkannya ketika Muhammad

Abduh masih hidup, masing-masing dengan Muhammad Bek Yusuf dan Utsman

Affandi Yusuf, sedangkan puteri ketiga dan keempat setelah Muhammad Abduh

wafat turut dengan paman mereka, yakni Hamudah Bek Muhammad Abduh al-

Muhami.14

Ketika masa kanak-kanak, Muhammad Abduh memiliki hobi bermain

menaiki kuda, memanah, dan renang dalam suasana lingkungan hidup yang agraris

di pedesaan Mesir. Hobinya ini, pada gilirannya di kemudian hari, menjadi salah

satu faktor yang membentuk kepribadian Muhammad Abduh menjadi berani dan

tabah menghadapi masalah dalam perjuangannya setelah ia dewasa.15

Mengenai performance dan kepribadian Muhammad Abduh, sudah banyak

dikomentari oleh para penulis tentang biografi dan pemikiran Muhammad Abduh,

antara lain Albert Hourani menyebutkan tentang performance dan kepribadian

Muhammad Abduh ini, menurutnya, ia adalah seorang laki-laki tampan, tegap,

berkulit gelap, dengan penampilan yang tenang dan pesona agak melankolik. Pada

12 Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj. Arabic Thoughts in the Liberal Age 1788-1939, oleh Suparno dkk. (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 210.

13 Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, terj. Al-Fikr al-Islâm al-Hadits wa Shirâtuhu bi Isti’mâr al-Gharbiy, oleh Suadi Sa�ad (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 63.

14 Lihat Rif�at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 41.

15 Lihat Ahmad Jad, “Tarjamah al-Syarif al-Imâm Muhammad Abduh” dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006), hlm. 16.

43

tahun-tahun terakhir kehidupannya, ia tampak semakin lembut, dan mereka yang

mengenalnya dengan baik mengetahui benar kebaikan dan kecerdasannya serta

keindahan spiritual tertentu.16

Mukti Ali menuturkan penilaian Jamaluddin al-Afghani tentang

kepribadian Muhammad Abduh, menurutnya bahwa, Muhammad Abduh adalah

orang yang cerdas, kemampuannya baik, baik budinya, dan selalu ingin melakukan

perbaikan. Kemudian, menurut Sayid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh

adalah orang yang penuh harga diri, menjauhi kehinaan, enggan mengerjakan hal-

hal yang remeh dan selalu cenderung untuk mengerjakan hal-hal yang mulia.

Bersama dengan rasa harga diri dan menjauhi kehinaan, ia adalah orang hidup

jiwanya, perasa, cepat kasihan kepada orang-orang yang tertimpa malapetaka dan

kesusahan. Uang yang ia miliki, baik sedikit maupun banyak, digunakan untuk

membantu orang-orang yang membutuhkan.17

Jika Muhammad Abduh termasuk yang memiliki kepribadian melankolik

sebagaimana dikemukakan Albert Hourani, dari sudut pandang psikologis, maka

orang yang memiliki tipe melankolik memiliki ciri-ciri sebagai pemikir, yang

selalu memikirkan kesempurnaan, dan amat peka, suka mendalami sesuatu

permasalahan, berbakat khusus, kreatif, suka berpikir secara sistematis, suka

membaca grafik, senang mengadakan riset, suka menganalisis, peka perasaannya,

sangat berhati-hati, dan bercita-cita tinggi.18

Ketika Muhammad Abduh wafat, E.G. Growne menulis surat turut

berduka cita kepada adik Muhammad Abduh, Hamudah Bey Muhammad Abduh,

antara lain menyatakan bahwa, selama umur saya, sudah banyak negeri dan bangsa

yang saya lihat, tetapi belum pernah saya melihat seorang juga seperti almarhum

16 Lihat Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 218. Kepribadian adalah

sikap seseorang setelah ia menerima pendidikan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh pembawaan (karakter), pengaruh lingkungan, keturunan, pengaruh tempat ia dilahirkan dan dibesarkan serta pendidikan yang sempat ia terima dan sebagainya. Lihat L.T. Takhruddin, Pribadi-pribadi yang Berpengaruh (Bandung: PT. AL- Ma�arif, 1996), hlm. 40-41.

17 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Jambatan, 1995), hlm. 484-485.

18 Selanjutnya lihat Emil H. Tambunan, Kepribadian Seutuhnya (Bandung: Indonesian Publishing House, 2006), hlm. 27.

44

itu, baik di Timur maupun di Barat. Karena tidak ada bandingannya dalam ilmu

pengetahuan, dalam kesalehan, ketajaman pikiran, kejauhan pandangan,

kedalaman pengertian tentang sesuatu. Tidak saja mengenai lahir tetapi juga

mengenai batin. Tiada bandingannya dalam kesabaran, kejujuran, kepandaian

berbicara, gemar beramal, dan berbuat kebaikan, takut kepada Tuhan dan

senantiasa berjuang di jalan-Nya, pencinta ilmu dan tempat berlindung orang-

orang fakir dan miskin.19

Kemudian, ketika Muhammad Abduh telah tiada, Rasyid Ridha meyakini,

walaupun Muhammad Abduh dengan tawadu meyakini bukan seorang pemimpin,

tetapi sejatinya ia bukan saja sebagai seorang pemimpin, bahkan ia adalah seorang

pembaharu (mujaddid) dan seorang guru yang penuh kearifan, Rasyid Ridha

menuliskan keyakinannya ini bahwa, sesungguhnya dengan wafatnya Syekh

Muhammad Abduh, umat tidak merasa kehilangan sedikitpun ajaran Islam, akan

tetapi umat kehilangan seorang pemimpin, seorang pembaharu (mujaddid) yang arif

akan kebutuhan zamannya, yang memperoleh kepemimpinannya karena keluhuran

akal budinya, pikiran dan pahamnya yang bebas, disertai semangat dan

keberanian. Dengan segala kesadaran dan keikhlasan ia memberikan ilmu yang

sebenarnya sesuai dengan hak masing-masing.20

2. Riwayat Pendidikan

Muhammad Abduh belajar membaca di rumah orang tuanya sampai

mampu menghapal Al-Quran hanya dalam tempo dua tahun. Kemudian ia pindah

belajar di Masjid Ahmadi di daerah Thantha untuk mempelajari tajwid. Namun ia

merasa tidak mendapat apa-apa setelah belajar selama satu tahun. Setelah belajar

di masjid tersebut,21 ia kemudian kembali ke Mahallah Nashr, kampung

halamannya, dan ia membantu pekerjaan ayahnya bertani. Ayahnya tidak

19 Firdaus AN, “Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya” dalam Syaikh Muhammad Abduh, Risâlah Tauhîd (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. xiii.

20 Muhamma Rasyid Ridha, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, terj. Al-Wahy al- Muhammadî, oleh Yosef CD (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 28.

21Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al- Tafsîr, hlm. 125.

45

menyenangi Muhammad Abduh bertani, sehingga tidak lama kemudian ia disuruh

kembali belajar oleh ayahnya.

Ketika ayahnya memaksa pergi kembali ke Thantha untuk belajar,

Muhammad Abduh membelot di tengah jalan dan memilih pergi ke Kanisah Aurin

dan bersembunyi di rumah Syaikh Darwisy Khidhr, salah seorang paman ayahnya,

penganut jawiyyah sanusiyyah.22 Ia kemudian belajar pada Syaikh Darwisy

Khidhr. Dengan metode mengajarnya, Syaikh Darwisy Khidhr berhasil

menanamkan pada diri Muhammad Abduh rasa cinta, ilmu dan upaya mencarinya,

sebagai kesenangan yang mengalahkan segala kesenangan lainnya. Setelah tinggal

limabelas hari dengan Syaikh Darwisy Khidhr, ia pergi ke Thantha karena

khawatir diketahui ayahnya.

Kepribadian Syaikh Darwisy Hidr selaku pengikut tasawuf Sanusiyah

dijelaskan oleh Mukti Ali bahwa, kepribadian Syaikh lembut yang langka terdapat

di Mesir. Ia ahli tasawuf yang bening mata hatinya, lebih luas ilmunya, yang

mengetahui masalah-masalah dunia, namun ia menjadi orang yang zuhud,

menekuni ilmu dan tidak menekuni kekayaan. Ibadah yang paling baik yang ia

lakukan adalah dzikir kepada Allah dengan hatinya dan tidak dengan mulutnya.

Juga tidak dengan wirid. Ia bekerja untuk keperluan dunia seperti orang-orang

lain. Tetapi dengan halus, lapang dada, dan cenderung untuk kebaikan. Ia adalah

orang yang melihat dunia ini sebagai jembatan menuju ke akhirat. Oleh akrena itu,

jembatan itu harus dilintasi dengan amal. Dia merasa pedih menyaksikan kealpaan

orang, kelaliman, dan ketenggelaman mereka dalam pelbagai perbuatan merusak.

Ia iba kepada mereka dan berusaha untuk menyelamatkan mereka dengan

perlahan-lahan. Hatinya penuh dengan nur dan itu tampak di air mukanya. Oleh

22 Lihat Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 63. Jawiyyah merupakan sebutan bagi pusat aktivitas sufi. Sanusiyah adalah nama bagi persaudaraan (tarekat) sufi yang didirikan oleh Syaikh Sayyid Muhammad al-Sanusi (w. 1859M) di Aljazair. Paham Sanusiyah antara lain anti-taklid buta, keharusan kesatuan dan persatuan umat, mengikuti ijma umat Muslim yang bersumber kepada Alquran dan sunnah nabi, dan perlu adanya keseimbangan basis ekonomi, politik, dan semangat spiritual. Lihat Syaikh Fadhlullah Haeri, Dasar-Dasar Tasawuf, terj. The Elements of Sufism, oleh Tim Forstudia (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 31, dan 170-171.

46

akrena itu, penglihatannya, tindakannya, gerak dan berhentinya merupakan

pandangan yang menarik, yang menarik kepada rasa cinta dan hormat.23

Pada pertengahan Syawwal 1282 H, ia pindah ke al-Azhar untuk belajar

kepada para guru besar di sana. Namun ia menyempatkan pulang ke Mahallah

Nashr setiap akhir tahun untuk belajar kepada Syaikh Darwisy Khidhr. Saat

pulang kampung tersebut, Syaikh Darwisy Khidhr selalu menguji Muhammad

Abduh dengan pertanyaan “apa yang kamu pelajari dari Ilmu Manthiq? Ilmu

Berhitung? Dasar-dasar Ilmu Ukur?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat

Muhammad Abduh selalu berusaha mendalami ilmu-ilmu yang ditanyakan kepada

para pakar di Kairo.

Muhammad Abduh mengakui terpengaruh oleh pamannya, sebagaimana

dalam otobiografinya, bahwa Muhammad Abduh mengakui terpengaruh oleh

kepribadian pamannya itu, dan banyak pengetahuan yang menyadarkan dirinya

untuk semangat mencari ilmu dan ia menuliskan kenangannya bahwa, Saya tidak

mendapati adanya keajaiban yang mengarahkan kesadaran saya ke jalan yang

harus dipilih, kecuali Syaikh yang dalam beberapa hari membebaskan saya dari

penjara kebodohan menuju udara pengetahuan yang terbuka, dari jeratan

literalisme menuju kebebasan keilmuan yang sejati kepada Tuhan. Beliau adalah

kunci kebahagiaan saya, bila saya memiliki kebahagiaan apapun dalam hidup

saya. Ia mengembalikan bagian dari diri saya yang hilang dan membukakan

kepada saya apa yang masih tersembunyi di dalam diri saya.24

Kesibukan belajar ini terus berlangsung hingga tiba Sayid Jamaluddin

al-Afghani (w. 1897M) pada bulan Muharram 1287 H. Ia belajar dari al-Afghani

sebagian ilmu pasti, filsafat dan ilmu kalam. Ia juga mengajak orang-orang untuk

belajar kepada al-Afghani. Di bawah bimbingan al-Afghani,25 Muhammad Abduh

23 Mukti Ali, Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 432-433 dan lihat pula John Obert Voll, Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, terj. Islam Continuity and Change in the Modern World, oleh Ajat Sudrajat, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1982) hlm. 143-144.

24 Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 211. 25 Kehidupan Jamaluddin al-Afghani penuh dengan dakwah yang hangat terhadap agama,

kepada tauhid, sebagaimana tampak dalam tulisan-tulisannya dalam al-Radd ‘alâ al-Dahliyyin, al- ‘Urwah al-Wustqâ. Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 323.

47

mempelajari buku-buku penting seperti al-Zawrâ karya Dawani mengenai tasawuf,

Syarh al-Qutb ‘ala al-Syriasiyah, al-Mathali, Sullam al-‘UIum fi al-Manthiq,

al-Hidayah, al-Isyarat, Himah al-'Ain wa Hikmah al-Isyraq fi al-Falsafah, ‘Aqaid

al-Jalal al-Dawani fi al-Tauhid, al-Taudhih ma’a al-Talwih fi al-Ushul,

al-Jugmini, Tadzkirah al-Thusi fi al-Hai-ah al-Qadimah, dan buku-buku lain

mengenai perkembangan modern.26

Pengaruh al-Afghani terhadap Muhammad Abduh segera tampak pada

semangat Muhammad Abduh untuk menulis dan mengarang. Kepada al-Afghani,

ia dan kawan-kawan mahasiswa lainnya mempelajari buku-buku mengenai

Manthiq dan Ilmu Kalam yang belum pernah mereka pelajari di al-Azhar. Kian

hari kelompok ini bertambah banyak dan terkenal di al-Azhar.

Kegiatan Muhammad Abduh dan kelompoknya dalam mendalami

buku-buku Mu'tazilah dan para Mutakallimin serta merujuk madzhabnya,

membuat cemas Syaikh Muhammad „Alaisy. „Alaisy adalah seorang „alim yang

hidup sederhana dan tidak tergoda oleh gemerlap dunia sebagaimana kebanyakan

ulama pada zamannya. Ia adalah orang yang ikhlas dan tidak menyukai bid�ah

yang dianggapnya dapat meruntuhkan agama. Ia menghukumi dosa besar bagi

orang yang membaca buku-buku seperti itu. Oleh karena itu, ia mengirim surat

untuk berdebat dengan Muhammad Abduh. Perdebatan tersebut berakhir dengan

pertengkaran. Menurut satu versi cerita, Muhammad Abduh meninggalkan

al-Azhar. Menurut cerita lain, ia tidak meninggalkan al-Azhar melainkan tetap di

sana, tetapi ia selalu membawa tongkat dan berkata: “Jika Syaikh datang dengan

tongkatnya, akan aku pukul dengan tongkat itu.”27

Pada tahun 1294 H, Muhammad Abduh berhasil meraih ijazah 'Alim dari

al-Azhar. la menempuh pendidikannya di al-Azhar dengan tiga tahap. Pertama,

mempelajari metode al-Azhar yang terkenal dengan kajian matan, syarh, hawasyi,

26 Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al- Tafsîr, hlm. 26. Obyek kajian buku-buku yang disebutkan namanya ini berkaitan dengan disiplin logika, metodologi, dan filsafat. Lihat pula Thâhir al-Thanâhi, Mudzâkirât al-Imâm Muhammad Abduh, (Mesir: Dâr al-Hilâl, tt.), hlm. 28-35. Macam-macam displin ilmu ini pada gilirannya berpengaruh kepada kerpibadian Muhammad Abduh menjadi seorang rasionalis di kemudian hari.

48

dan taqrir.28 Kedua, mempelajari metode Sayyid al-Afghani yang melepaskan

Muhammad Abduh dari keterkungkungan dengan ungkapan-ungkapan tekstual

dan membiasakannya berpikir progresif mengikuti kondisi umat Islam

kontemporer. Ketiga, ia menggabungkan pengetahuannya itu dengan ilmu-ilmu

Barat dengan membaca terjemahan buku-buku Barat. Kemudian ia mempelajari

bahasa Prancis sampai ia dapat membaca buku-buku berbahasa Prancis.29

3. Karya Tulis

Dalam hal menulis, Muhammad Abduh memang tidak mempunyai

kecenderungan menulis, bahkan ia berpendapat bahwa kata-kata yang didengar

dengan baik akan lebih berpengaruh ketimbang kata-kata yang dibaca. Argumen

dia adalah “bahwa pandangan, gerakan, isyarat, dan logat (body language) orang

yang berbicara dapat membantu pendengar memahami maksud pembicaraan,” dan

dalam pembicaraan itu “memungkinkan pendengar bertanya langsung mengenai

maksud pembicaraan yang kurang jelas. Dalam kontak tertulis, siapa yang bisa

bertanya? Pendengar itu dapat memahami 80% maksud pembicara sedangkan

pembaca hanya memahami 20% maksud penulis.”30

Pandangan Muhammad Abduh mengenai tradisi penuturan lisan di atas

mungkin saja benar. Akan tetapi, meskipun berpandangan begitu, Muhammad

Abduh meninggalkan tulisan yang banyak, yang sebagian besar berbentuk suhuf

(makalah).

Di antara karya tulis Muhammad Abduh adalah (1) Al-Wâridat, karya tulis

pertama dalam bidang ilmu kalam atau tawhid dengan metode dan gaya tasawuf;

27Lihat Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 126.

28 Matan adalah ungkapan yang menjelaskan inti dan pokok bahasan, syarah adalah penjelasan matan, hawasyi adalah penjelasan berupa catatan pinggir yang menjelaskan syarah, dan taqrîr adalah catatan lanjutan untuk menjelaskan hawasyi. Selanjutnya lihat Ibrahim Anis dkk., al- Mu’jam al-Wasîth (Mesir: Dâr al-Ma�arif, 1972), hlm. 853.

29 Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 49.

30Al-Manâr, jld. I, hlm. 13. Pendapat Muhammad Abduh ini mungkin berlaku bagi masyarakat berbudaya dengar, tetapi bagi masyarakat berbudaya baca perlu diteliti

49

(2) Risâlah fi Wahdah al-Wujûd; (3) Târikh Ismail Basya; (4) Falsafah al-Ijtimâ’

wa al-Tarikh, ditulis ketika Muhammad Abduh mengajar di Dar al-Ulum dan

karya ini ternyata hilang; (5) Hâsyiyah ‘Aqâid al-Jalâl al-Dawani fi 'ilm al-kalâm,

disebarkan oleh Dar Ihya al-Kutub, al-„Arabiyah dan diedit oleh Sulaiman Dunya

dalam dua volume dengan judul Al-Syaikh Muhammad ‘Muhammad Abduh Di

antara Para Filosof dan Ahli Kalam pada tahun 1377 H; (6) Syarh Nahj

al-Balaghah, yaitu penjelasan atas buku karya Syarif Ridha mengenai pidato, kata-

kata hikmah, dan surat-surat Ali bin Thalib KAW. yang telah mengalami

berkali-kali cetak ulang; (7) Syarh Maqâmat Badi' Zaman al-Hamadzani, suatu

buku cetakan; (8) Syarh al-Bahâir al-Nashiriyah tentang manthiq; (9) Nizhâm

al-Tarbiyah wa al-Ta’lîm bi Mishr; (10) Risâlah al-Tauhîd, karya tulis

Muhammad Abduh terpenting dan paling terkenal, dicetak berulang kali dan juga

diterima dengan baik di kalangan kaum Nasrani sehingga banyak diantara mereka

yang mengusulkan agar buku ini diajarkan di sekolah-sekolah mereka setelah

membuang pembahasan tentang kenabian Muhammad. Sejumlah orang lain

mendistribusikan sebagian naskah buku ini dan membacanya dengan penuh rasa

kagum. Muhammad Abduh sendiri tidak mengizinkan siapapun untuk memberi

syarh atau hasyiyah atas buku ini. Menurut Rasyid Ridha, larangan ini disebabkan

sering terjadinya penjelasan yang justru menyamarkan maksud yang sudah jelas;

(11) Taqrîr Mahâkim al-Syar’iyah; (12) Al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma’a al-‘Ilm

wa al-Madaniyah, dicetak berulang kali; (13) Tafsîr Juz ‘Amma; (14) Tafsîr al-

Manâr; (15) al-Kitâb wa al-Qalam; (16) al-Mudabbir al-Insânî wa al-Mudabbir

al-‘Aqlî al-Rûhâni; dan (17) al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah wa al-Da’wah ilâ al-‘Ulûm al-

‘Ashriyyah.31

Mengenai karya tulis dalam bentuk artikel yang dipublikasikan melalui

suratkabar, telah terjadi kesimpangsiuran antara karya tulis Muhammad Abduh

dan karya tulis Al-Afghani. Kesimpangsiuran ini terjadi misalnya, dalam

31 Lihat Fahd bin Sulaiman Abdurrahman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyah al-Hadîtsah fi

al-Tafsîr, hlm. 145-146, dan Muhammad Imarah, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islam, (Beirut: Muassasah al-„Arabiyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 1981), hlm. 31-44.

50

pembahasan. tema-tema fanatisme golongan, qadha-qadar, dan pan-Islamisme

dalam Al-‘Urwah al-Wutsqa. 32

C. Aktivitas Dakwah Ishlâhiyyah

Muhammad Abduh meyakini bahwa ishlâhiyyah (reformasi) adalah upaya

menghidupkan ruh dîn Islam sebagai agama dakwah yang dibawa oleh semua nabi

dan rasul Allah, mengandung sejumlah syariat dan adab untuk memperbaiki dan

mencari solusi problem yang diahadapi oleh umat (mad’u) masing-masing pada

zamannya.33

Dalam kerangka ishlâhiyah itulah Muhammad Abduh meletakkan tujuan

pemikiran dan aktivitas dakwahnya,menurutnya bahwa, dia melaksanakan dakwah

dengan tujuan utama, yaitu; pertama, pikiran dari ikatan taklid, memahami agama

menurut metode kaum salaf sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan, kembali

kepada sumbernya yang pertama, dan memahami agama dengan pertimbangan

akal manusia yang dianugrahkan oleh Allah dalam upaya memelihara sistem

kehidupan dunia manusia menurut hikmah sunnah Allah. Dalam dakwah ini dia

berbeda dengan pendapat dua golongan besar yang membentuk umat kita, yaitu

kelompok penganut ilmu-ilmu agama semata di satu sisi, dan di sisi lain,

kelompok yang hanya mempelajari kebudayaan modern saat ini; dan kedua,

mengadakan perbaikan atau ishlâh (Bahasa Arab) yang digunakan dalam pidato

resmi kepemerintahan, penyebaran informasi melalui berbagai tulisan,

penerjemahan, dan surat-menyurat.

Selain dari kedua hal tersebut yang Muhammad Abduh serukan adalah,

menyerukan sesuatu yang menjadi tonggak kehidupan masyarakat yang mereka

akan lemah dan terhina jika tidak memiliki tonggak itu, yakni memposisikan

32 Aboe Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Salaf, Gerakan Salafiyah di Indonesia, (Jakarta: Permata, 1970), hlm. 45 dan Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 145-146.

33 Lihat Al-Manâr jld. I, hlm. 487-489. Ishlâhiyyah (reformasi) dan tajdîdi(pembaharuan) adalah bagian dari substansi gerakan dakwah yang dilakukan oleh para nabi dan rasul Allah SWT. pada zamannya masing-masing. Selanjutnya lihat Muhammad Ahmad al-„Adawy, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ (Mesir: Mushthafa al-babi al-Halabi, 1935), hlm. 448-49, dan Abbas al-„Aqqad,

51

perbedaan antara hak pemerintah untuk ditaati dan hak rakyat untuk diperlakukan

secara adil. Muhammad Abduh mengaku termasuk di antara mereka yang

mengajak rakyat untuk mengetahui hak-hak mereka untuk berjuang meyakinkan

masyarakat bahwa pemerintah walaupun harus ditaati, ia manusia biasa yang bisa

bersalah dan dikuasai syahwat kecuali jika dinasihati rakyat baik dengan perkataan

ataupun perbuatan.34

Dalam pernyataan tujuan dakwah yang pertama, Muhammad Abduh

menginformasikan mengenai metode salaf sebagai metode pemikiran dakwahnya,

metode ini berintikan memahami Alquran sebagai sumber utama dakwah dengan

menggunakan akal sebagai anugrah Allah SWT. secara obyektif rasional dalam

mengintegrasikan pemikiran dikotomis yang menjadi satu problem pada

zamannya dalam mengkaji ilmu agama dan ilmu-ilmu yang berasal dari Barat

dengan mengacu pada prinsip-prinsip sunnah Allah, yaitu hukum-hukum ciptaan

Allah yang diperuntukkan bagi gerak materi dan gerak immateri.35

Istilah salaf dalam pernyataan tersebut tidak dijelaskan oleh Muhammad

Abduh secara langsung, menurut Muhammad bin Khalifah al-Tamimi, salaf

adalah sebutan bagi cara sikap, cara berpikir dan cara berperilaku generasi sahabat

nabi dan pengikut sahabat nabi dalam mengimplementasikan Alquran menurut

contoh sunnah nabi.

Metode salaf (manhaj salaf) dalam garis besarnya memiliki empat macam

kaidah, yaitu: (1) memahami makna nas-nas Alquran dan hadits secara teliti dan

berpegang teguh kepada keduanya; (2) menguatkan pemahaman nas Alquran dan

hadits dengan keterangan para sahabat dan para tabi�in melalui ijtihad; (3)

mengamalkan isi ajaran Alquran menurut contoh sunnah rasul dalam berakidah,

berpikir, berbicara, dan berperilaku serta menjauhkan segala sesuatu yang

Multaqi al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006), hlm. 27.

34 Lihat Thâhir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad Abduh (Mesir: Dâr al- Hilal, tt.), hlm. 18-20, dan Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 64.

35 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 140.

52

bertentangan dengan Alquran dan al-sunnah; dan (4) mendakwahkan Alquran dan

al-sunnah dengan lisan dan perbuatan nyata.36

Jika Muhammad Abduh menggunakan metode salafi, maka secara

metodologis dalam menjelaskan konsep dakwah menempuh empat macam kaidah

metode salaf tersebut.

Kemudian, dalam pernyataan tujuan dakwah yang ke dua, Muhammad

Abduh menginformasikan bahwa inti pemikiran dan aktivitas dakwahnya adalah

ishlâh (perbaikan) Bahasa Arab sebagai bahasa agama dan ilmu dalam kegiatan

pendidikan macam-macam pidato (khithâbah), tulisan di media cetak, dan surat-

menyurat. Selain itu, Muhammad Abduh juga menginformasikan pentingnya

menegakkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan

pentingnya menasihati para pejabat birokrasi pemerintahan yang melakukan

kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, Muhammad Abduh

mengajukan konsep bentuk utama kegiatan dakwah menurut urutan metodisnya

berupa dakwah bi ahsan al-qaul (dakwah melalui perkataan atau dengan bahasa

lisan yang baik) dan dakwah bi ahsan al-‘amal (dakwah melalui bahasa

perbuatan), dan beberapa macam metode pelaksanaannya dalam memperbaiki dan

mencari solusi problem keumatan. Dalam merealisasikan tujuan da’wah

ishlâhiyyah, Muhammad Abduh telah melakukan ishlâhiyyah pendidikan, politik,

jurnalistik, hukum dan kemasyarakatan. Berikut secara singkat berturut-turut

dikemukakan aktivitas ishlâhiyyah yang dilakukan Muhammad Abduh.

1. Ishlâhiyyah Pendidikan

Dengan bekal ijazah sarjana yang telah diperoleh, pada penghujung tahun

1290H, dalam bidang pendidikan37, Muhammad Abduh dipercaya mengajar mata

36 Selanjutnya lihat Muhammad bin Khalifah al-Tamimi, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa al- Jama’ah (Kairo: Dâr al-Salam, 1993), hlm. 53-56.

37 Pendidikan (al-tarbiyyah), menurut Muhammad al-Sayyid Muhammad Yusuf, dalam al- Tamkîn lî al-Ummah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm (Mesir: Dâr al-Salâm, 1997), hlm. 95, merupakan bagian dari aktivitas dakwah. Ia menulis:

(Ia memadukan makna penyampaian, penjelasan, penghimpunan, pembangunan, pendidikan, kaderisasi, perjuangan, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kemunkaran).

53

kuliah sejarah di Universitas Dar al‘Ulum dan Bahasa Arab di Alsan

Khudaiwiyah, dengan tetap mengajar di Universitas Al-Azhar. Di Dar al-‘Ulum,

dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, dan penugasan, ia mengajarkan

Muqaddimah Ibn Khaldun dengan tujuan mensosialisasikan pikiran-pikirannya

mengenai politik dan kemasyarakatan. Ia menugasi para mahasiswanya untuk

menulis sejumlah makalah agar tertanam tradisi kritis dan pembaharuan. Dengan

demikian, pikiran-pikiran Muhammad Abduh lebih diterima dan berpengaruh

daripada yang lainnya.38

Namun kegiatan Muhammad Abduh tersebut mendapat gangguan tidak

berlangsung lama, karena ia dikucilkan oleh pemerintah atas dasar hubungannya

dengan Jamaluddin al-Afghani. Ia diasingkan dan diperintahkan kembali ke

kampungnya sampai kemudian turun “amnesti.” Pemerintah dan Muhammad

Abduh ditunjuk menjadi ketua redaksi koran resmi Al-Waqâ’i al-Mishriyah.

Pada tahun 1300 H (1882 M), Muhammad Abduh dijatuhi hukuman

pengasingan atas keterlibatannya dalam gerakan ‘Urabiyah, yaitu gerakan yang

dipimpin oleh Urabi Pasya. Ia lalu pergi ke Syria dan tinggal di sana selama

pengasingan. Dalam masa itu, ia sempat pergi ke Paris selama sepuluh bulan. Di

Paris ia bersama al-Afghani menerbitkan koran Al-‘Urwah al-Wutsqâ.

Sekembalinya ke Syria ia di tempat tinggalnya mulai mempelajari Sîrah Nabi dan

membaca Tafsîr al-Kabîr karya Fakhr al-Dîn al-Râzi (544H/1150M, w.

606H/1210M). Akan tetapi ia tidak hanya membaca kitabnya melainkan ia

membaca Mushaf untuk kemudian ia tafsirkan.39

Pada tahun 1303 H la diundang mengajar di pusat pendidikan Sulthaniyah

di Beirut. Di sini ia melakukan berbagai perbaikan sistem dan materi pengajaran.

Ia menambahkan ilmu tauhid, fiqh mu�amalah, sejarah, logika, retorika, dan

menulis. Ia menemukan bahwa buku-buku daras kecil tentang tauhid ternyata

Dan lihat Abd al-Karim Zaidan, Ushûl al-Da’wah, Cet. 9 (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), hlm. 442-446.

38 Lihat William Montgomery Watt, Pundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Islamic Fundamentalism and Modernity, oleh Taufiq Adnan Amal, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 107-108.

39Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 127.

54

tidak memadai dan bahwa buku-buku besar ternyata berbelit-belit dan sulit

dipahami oleh mahasiswa, sementara buku-buku menengah tidak lagi mengikuti

semangat zaman. Atas dasar temuan ini, Muhammad Abduh kemudian menyusun

Risâlah al-Tauhîd, buku yang dipandang sebagal up-to-date.40 Ia juga menyadur

kedalam Bahasa Arab buku Al-Afghani Al-Radd ‘ala al-Dahriyyîn dan membuat

syarh (komentar dan pembahasan) atas buku Nahj al-Balâghah dan Maqâmât

Badi’ al-Zamân al-Hamadzani.41 Ini hanya sebagian dari kegiatan ilmiah

Muhammad Abduh.

Adapun upaya perbaikan sistem pendidikan yang digagas Muhammad

Abduh yang ia lontarkan di Suriah dan Mesir. Di Suriah ia melontarkan rancangan

yang diawali dengan membagi manusia pada tiga lapisan dan menentukan bidang

ilmu tertentu bagi masing-masing lapisan.

Lapisan pertama terdiri dari para ahli industri, niaga, dan agraria serta

orang-orang yang mengikutinya. Buku-buku keagamaan sebagai bahan-ajar bagi

lapisan ini mesti disusun dengan orientasi sebagai berikut: (1) buku mengenai

ikhtisar aqidah Islam yang disepakati oleh ahli sunnah dengan sedikit membahas

perbedaan dan persamaan pendirian antara umat Islam dan Kristen; (2) buku

ringkas mengenal halal dan haram dan warning atas bid�ah; dan (3) buku sejarah

ringkas meliputi sejarah umum nabi, para shahabat, dan para khalifah untuk

kemudian dilanjutkan dengan sejarah pemerintahan Utsmaniyah. 42

Lapisan kedua terdiri dari orang-orang yang mengabdikan dirinya pada

pemerintah seperti tentara, ketua dan anggota pengadilan, dan para pengurus

administrasi. Bagi mereka mesti disusun buku ajar keagamaan sebagai berikut: (1)

Buku pengantar keilmuan yang mencakup bagian-bagian penting dalam bidang

logika, dasar-dasar penalaran, dan sedikit etika berdebat; (2) buku aqidah yang

disusun dengan argumen-rasional dan dalil qath�i secara sederhana; (3) buku yang

merinci halal-haram dan baik-buruk dengan penjelasan tingkat menengah; dan (4)

40Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960), hlm. 3. 41Dalam Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 127. 42 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 128.

55

sejarah agama yang meliputi sirah nabi dan shahabat serta penaklukan-penaklukan

oleh umat Islam sampai masa Utsmaniyah.43

Adapun lapisan ketiga terdiri dari para ulama pakar pendidikan dan

bimbingan. Bagi lapisan ketiga ini, penting untuk selalu membekali diri dan

meningkatkan wawasan keilmuannya. Dalam hal ini, Muhammad Abduh tidak

menyebutkan buku-buku tertentu melainkan dianjurkan agar memilih bidang studi

yang dapat diklasifikasi sebagai berikut: (1) bidang tafsir Al-Quran seperti tafsir

Al-Kasysyaf, Al-Qumi, Al-Naisaburi, dan para penganut metodenya; (2) bidang

Bahasa Arab; (3) bidang Hadits, dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan al-

Quran dengan cara mengesampingkan hadits-hadits, dha’if; (4) bidang akhlaq dan

moralitas, agama, secara detail sebagaimana dilakukan Al-Ghazali dalam Ihya

‘Ulum al-Din; (5) bidang Ushul Fiqh, dengan buku terbaik dalam bidang ini

adalah Al-Muwaffaqat karya Al-Syathibi; (6) bidang sejarah baik sejarah klasik

maupun modern; (7) bidang retorika dan diplomasi; dan (8) bidang ilmu kalam

dan theologi secara umum. Lapisan ketiga ini pantas dipimpin oleh Syekh Imam

Muhammad Abduh dengan perhatian penuhnya pada aspek administrasi. Para

dosen dan peneliti direkrut untuk masuk pada lapisan ini dengan tidak membuka

pintu bagi mahasiswa kecuali setelah melalui testing yang ketat. Testing ini

difokuskan pada penguasaan bidang-bidang keilmuan di atas dan penelusuran

secara seksama sekitar latar belakang hidup yang mencerminkan keistimewaan

dalam bidang ilmu dan amal.44

Mengenai upaya ishlâhiyyah sistem pendidikan di Mesir, dapat dirujuk

upaya Muhammad Abduh yang ditujukan kepada Lord Cromer. Ia menjelaskan

pentingnya upaya perbaikan sistem pendidikan dan bahwa keperluan pemerintah

atas kemaslahatan manusia tidak kalah pentingnya dari kebutuhan pemerintah atas

kemaslahatannya sendiri. Penguasa dan rakyat ibarat sesuatu dan alatnya. Jika

43Lihat Yvonne Haddad, dalam Ali Rahman, Para Perintis Jalan Baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1995) hlm. 57-60, dan Fahd, Manhaj al- Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 128.

44Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual, terj. Islam and Modernity Transformation, oleh Ahsin Muhammad, (Bandung:Pustaka Salman ITB, 1985), hlm. 81-82, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 129.

56

penguasa adalah seorang penulis, rakyat adalah pulpennya. Pulpen tidak mungkin

menorehkan tintanya, tanpa penulis dan penulis tidak mungkin menulis tanpa

pulpen. Kemudian, Muhammad Abduh menghimbau pemerintah Mesir

melakukan perbaikan sistem pendidikan. Ia memandang hal itu tidak akan sulit

direalisasikan karena bangsa Mesir adalah bangsa yang secara fitrah penurut,

cerdas, dan siap mengikuti kemajuan. Jika penguasa dianalogikan sebagai kepala,

rakyat Mesir ibarat tubuh yang patuh pada kehendak kepala. Sekali penguasa

memelopori, mereka akan serempak mengikuti. Muhammad Abduh menganjurkan

kepada para pengelola lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah agar

menjadikan pokok-pokok agama sebagai bagian penting dari kurikulumnya.

Pokok-pokok agama ini mesti ditanamkan pada para mahasiswa dengan tidak

menyimpang sedikit pun dari prinsip-prinsip agama. Mereka tidak boleh

menentang pakar agama secara apriori karena mereka tidak mungkin melakukan

sesuatu di luar kapasitas dan otoritasnya.45

Muhammad Abduh juga mengkritik tentang berbagai lembaga pendidikan

pernerintah. Ia menilai bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak mempelajari

ilmu-ilmu hakikat dan tidak pula menggunakan sistem pendidikan yang benar. Ia

mempersamakan situasi ini dengan zaman Ismail, ayah Khedevi Taufiq, ketika

orang-orang tidak mau memberi nafkah pada anak-anaknya dan menyuruh mereka

melatih dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan negara demi mendapat upah.

Adapun masalah pengajaran dan pendidikan untuk menciptakan generasi yang

maju ternyata tidak mendapat perhatian. Lembaga-lembaga pendidikan asing

menurut Muhammad Abduh memiliki kelemahan adanya perbedaan paham yang

tajam antara pengajar dan pelajar. Hal ini membuat pendidikan dan pengajaran

tidak efektif, sehingga sedikit sekali orang Mesir yang memasukkan anaknya pada

lembaga pendidikan asing. Mereka terus-menerus menasihati anak-anaknya untuk

tidak mengikuti paham para pengajar tersebut agar aqidah mereka terpelihara dari

penyimpangan pola pikir dan penyelewengan moralitas. Memang

45 Lihat Abd Allah Muhammad Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh Fi Tafsir al-

Quran al-Karîm, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 130.

57

lembaga-lembaga pendidikan asing ini cenderung dijauhi oleh kaum Muslimin

Mesir.46

Universitas Al-Azhar, lanjut Muhammad Abduh, merupakan lembaga

pendidikan agama, yang menarik orang-orang, baik dengan motivasi murni

mempelajari ilmu agama semata-mata mengharap pahala akhirat maupun dengan

motivasi meraih status sosial sebagai mahasiswa dan sarjana belaka. Apa yang

disayangkan Muhammad Abduh adalah tidak adanya tata tertib sebagai pedoman

pembelajaran. Para dosen tidak mempedulikan apakah mahasiswa hadir atau

absen, paham atau tidak, dan berakhlaq atau tidak. Mereka mempelajari aqidah

dengan metode yang cenderung jauh dari sasaran. Oleh karena itu, Muhammad

Abduh berbicara tentang perbaikan pendidikan di Al-Azhar. Pendidikan ini,

menurutnya harus dilakukan secara bertahap. Perbaikan dipandu oleh tata tertib

yang disusun dengan kaidah yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman.

Diantaranya, mahasiswa wajib menghadiri kuliah dan jika tidak, ia tidak boleh

meraih nilal bagus. Setiap dosen harus mengabsen mahasiswanya. Perbaikan juga

diarahkan pada pemantapan kurikulum, pengayaan referensi, dan menegakkan tata

tertib ujian akhir serta syarat-syaratnya.47

Muhammad Abduh juga mengupayakan ishlâhiyyah sistem pendidikan di

sekolah-sekolah swasta yang diarahkan pada para tenaga ahli pengajarnya dan

dilakukan secara bertahap. Untuk sekolah-sekolah formal dasar, menengah dan

atas, Muhammad Abduh berpendapat perlunya menanamkan semangat

ishlâhiyyah sistem pendidikan pada para murid. Tujuannya adalah agar mereka

mampu menggunakan apa yang mereka pelajari secara maksimal. Muhammad

Abduh juga berbicara masalah tenaga pengajar dan pendidik di Universitas Dâr

al-' Ulum dan prasyarat untuk pengembangannya. Ia menyarankan agar ilmu-ilmu

kearaban dan keagamaan diajarkan oleh alumni Al-Azhar karena orang-orang Dâr

al-' Ulum tidak mengerti agama dan Bahasa Arab.

46Lihat Khoeruddin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996), hlm.11-12, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al- ‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 130.

47 Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 131.

58

Muhammad Abduh berpendapat bahwa Dâr al-' Ulum dapat melepaskan

diri dari Al-Azhar dengan catatan dua belas item harus dipersiapkan. Diantaranya

adalah perbaikan kurikulum, membuang sebagian mata kuliah, merubah metode

tafsir al-Quran, seleksi pengajar dari sisi kompetensi dan kesalehan, menunjuk

penilik sekolah, mengalokasikan satu tahun masa pendidikan untuk job training

mengajar, rujukan mesti terdiri dari buku-buku terbitan terbaru, dan berbagai

pedoman penyelenggaraan pendidikan.48

Setelah itu, Muhammad Abduh melanjutkan ishlâhiyyah sistem

pendidikan di Al-Azhar yang ia juluki sebagai “kandang kuda,” “Rumah Sakit

Jiwa,” dan “bangunan roboh.” Peluang perbaikan tersebut terbuka lebar ketika

Raja Abbas II naik tahta pada tahun 1892 M. Raja Abbas yang berniat melakukan

perlawanan atas penjajahan mendekati para tokoh masyarakat dan ulama, yang

diantaranya adalah Muhammad Abduh. Pada kesempatan ini, Muhammad Abduh

mengusulkan kepada Raja agar melakukan ishlâhiyyah Al-Azhar, badan wakaf,

dan badan-badan urusan agama. Ia meyakinkan raja bahwa kemaslahatan negara,

bergantung kepada kemaslahatan lembaga-lembaga tersebut. Dan hal ini

merupakan jalan terbaik untuk meruntuhkan penjajahan.49

Merasa puas dengan penjelasan Muhammad Abduh, Abbas segera

mengeluarkan surat keputusan pembentukan dewan pembina Al-Azhar (1312 H),

yang diantara anggotanya adalah Muhammad Abduh. Abbas juga menunjuk Syekh

Hasunah untuk menjadi Syekh Al-Azhar menggantikan Syekh Anbabi yang

menentang kebijakan Abbas di atas. Kemudian ia segera memulai dengan

perbaikan sarana, hardware dan software: melengkapi alat penerangan masjid,

menugaskan dokter, membuka apotek, dan membangun fasilitas olah raga, khusus

bagi Al-Azhar. Ia juga menetapkan masa studi, evaluasi tahunan, dan pembekalan

bagi para alumni. la juga mengganti buku-buku yang kurang relevan dengan

buku-buku kontemporer yang penting. Masa studi ilmu-ilmu praktis seperti fiqh

48Lihat John Obert Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, hlm. 230, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 132.

49Lihat Mukti Ali, Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 483, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 132.

59

dan tafsir ditetapkan lebih lama daripada ilmu-ilmu alat seperti nahwu dan sharaf.

Dalam kurikulum juga ditambahkan ilmu akhlaq, sejarah, tata negara, ilmu-ilmu

pasti, dan perubahan-perubahan penting lainnya.50

Pada tahun 1323 H, Muhammad Abduh mengakhiri kegiatan ishlâhiyyah

di Al-Azhar, yang merupakan rangkaian akhir dalam perjuangan ishlâhiyyah

sistem pendidikan. Tak lama berselang, ia kemudian meninggal dunia, yaitu pada

tanggal 11 Juli tahun 1905M akibat penyakit kanker yang dideritanya.51

Sepanjang karir kehidupan Muhammad Abduh, ishlâhiyyah sistem

pendidikan merupakan tema perjuangannya yang paling penting. Hal ini

merupakan “tujuan agung” yang senantiasa menyedot perhatian dan pikiran

Muhammad Abduh. Menurutnya, kebangkitan Islam tidak mungkin mewujud

kecuali dengan perombakan sistem pendidikan. Ia dalam hal ini berbeda pendapat

dengan gurunya Al-Afghani. Gurunya ini berkeyakinan bahwa jalan menuju

kebangkitan Islam adalah “gerakan politik.” Dengan demikian, gerakan dakwah

Muhammad Abduh berciri khas ilmiah sedangkan dakwah Al-Afghani bercorak

politis. Namun demikian, Muhammad Abduh juga tidak berarti tanpa memiliki

semangat politik, sebagaimana kecenderungannya mendukung Al-Afghani.52

Dalam bidang tafsir, Muhammad Abduh bermaksud menghindarkan tafsir

Al-Quran dari segala hal yang bersifat israiliyyat, hadits maudhu�, khurafat,

berkutat dalam hal nahwu, reduksi makna, penjelasan istilah yang berbelit-belit,

pertikaian ilmu kalam, ketetapan-ketetapan ushul fiqh, kesimpulan-kesimpulan

fiqh yang berbau taqlid, ta�wil kaum sufi, fanatisme golongan, terlalu banyak

cerita, ilmu pasti dan ilmu alam.53

Tentu saja membersihkan tafsir-tafsir lama dari hal-hal di atas bukan

merupakan pekerjaan mudah. Produk tafsir yang sudah ada saat itu begitu banyak

50 Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 60.

51 Lihat Rif�at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hlm. 40.

52 Yvonne Haddad, Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan,, hlm. 57

53 Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 26-29

60

sehingga memerlukan dana, tenaga, dan waktu yang sangat besar. Oleh karena itu,

ia membiarkan khazanah lama ini apa adanya dengan nuansanya yang khas.

Sementara itu, ia menyusun tafsir percontohan sebagai pilot project bagi generasi

yang ada dan generasi selanjutnya.

Muridnya, yakni Muhammad Rasyid Ridha lalu mengusulkan kepada

Muhammad Abduh untuk mengajarkan tafsir Al-Quran. Muhammad Abduh

mengabulkan usul tersebut dengan mulai mengajar di Al-Azhar pada Muharram

1317H dan berakhir pada tahun 1323 H pada, tafsir ayat Wa Kâna al-Lâh bi Kulli

Syai-in Muhîthâ, yaitu Q.S. Al-Nisa (4): 126. Ini merupakan lima jilid pertama

dalam Tafsîr al-Qur'ân al-Hakîm yang dikenal pula dengan nama Tafsir Al-

Manâr. Sampai ayat ini, Muhammad Abduh kemudian meninggal dunia.

Metode Muhammad Abduh dalam mengajar tafsir adalah berkonsentrasi

pada aspek-aspek yang tidak atau kurang mendapat perhatian dalam tradisi tafsir.

Sedangkan cerita-cerita yang tidak didasari oleh dan tidak berdasar pada ayat-ayat

al-Quran, ia mengkritiknya atau meninjaunya dari perspektif Wahyu. Sebelum

menyampaikan dan menulis gagasan ini, sebenarnya Muhammad Abduh telah

membuat tafsir. Ia telah menyusun tafsir Juz ‘Amma khusus untuk para pelajar Al-

Jam’iyyah al-Khairiyyah al-Islamiyyah. Ia juga, menulis tafsir Surah Al-„Ashr

yang ia presentasikan di Aljazair. Lalu ia menyebarkannya dalam majalah

AI-Manar dan menerbitkannya secara terpisah yang berbeda dengan tafsirnya

dalam Juz „Amma.54

2. Ishlâhiyyah Sistem Politik

Memang salah satu tujuan perjuangan hidup Muhammad Abduh adalah

ishlâhiyyah politik.55 Ini tergambar dari ucapannya bahwa ”masih ada persoalan

lain dalam rangka dakwahku, sementara tak ada seorang pun yang hirau akan

masalah itu untuk memikirkannya. Masalah tersebut adalah masalah prinsip yang

54 Lihat J.M.S. Baljon, Tafsir Quran Muslim Modern, terj. Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), oleh A. Ni�amullah Munir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 131. dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 143-144

55Menurut Muhammad Al-Ghazali, aktivitas politik termasuk bagian dari aktivitas dakwah. Pendapatnya ini dimuat dalam karyanya Ma’a al-Lâh; Dirâsât fî al-Da’wah wa al-Du’ât (Mesir: Matba�ah Hasan, 1981), hlm. 354-355.

61

tatanan hidup sosial bergantung kepadanya.” Lalu ia menjelaskan aspek dakwah

tersebut dengan berkata: “yaitu memperjelas bahwa kewajiban rakyat tunduk pada

pemerintah dan kewajiban pemerintah adalah mewujudkan keadilan bagi rakyat.”

la menyebut dakwahnya ke arah itu sebagai “dakwah terbuka.” Mengenai

negerinya, Muhammad Abduh melukiskan bahwa “tirani sudah merajalela dan

kezhaliman telah mencengkeram negeri ini.” Sebagai seorang pengemban amanat

dakwah seperti ltu, Muhammad Abduh berterus terang bahwa, “memang saya

bukan seorang imam panutan, bukan pula seorang pimpinan yang patut dipatuhi.

Saya hanya berperan sebagal „ruh� (inti) dakwah tersebut.”56

Dakwah Muhammad Abduh ini semakin menyala ketika ia bergabung

bersama Al-Afghani, yang membuatnya semakin ekstensif dan intensif. Hubungan

dengan Al-Afghani ini agak terhambat ketika ia dicekal atas keterlibatannya dalam

kegiatan dakwah tersebut dan ia tidak boleh meninggalkan negerinya. Ketika

Muhammad Abduh mendapat ampunan dan kembali aktif dalam gerakannya,

ternyata sudah ada suatu gerakan menentang penjajahan yang dipimpin oleh Urabi

Pasya pada tahun 1881M. Gerakan ini diilhami di antaranya oleh semangat

Al-Afghani terdahulu. Muhammad Abduh menolak dianggap memiliki hubungan

dengan gerakan ini bahkan ia menyerukan orang-orang agar berhati-hati dengan

gerakan ini. Ia juga mengungkapkan keborokan para pemimpin gerakan ini,

sehingga Urabi Pasya mengutus seseorang yang kemudian mengancam

Muhammad Abduh.57

Rasyid Ridha membela Muhammad Abduh, yang menolak gerakan ini

sementara ia termasuk pendukung ishlâhiyyah politik, dengan argumen bahwa

Muhammad Abduh menempuh jalan kompromi dengan pemerintah bukan dengan.

konfrontasi. Namun demikian, ketika gerakan ini mendapat sambutan masyarakat

dan memukul mundur armada Inggris di Iskandariyah, Muhammad Abduh segera

bergabung dengan gerakan ini. Setelah melakukan pemberontakan bersama

gerakan ini, Muhammad Abduh kemudian diasingkan selama tiga tahun. Ia lalu

56Lihat Thâhir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad Abduh, hlm. 20, dan

Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133. 57Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133.

62

pergi ke Syria dan kemudian ke Paris sampai ia bertemu dengan Al-Afghani di

sana. Mereka bersama-sama menerbitkan Al-‘Urwah al-Wutsqâ yang berisi

serangan atas penjajahan Inggris, pikiran-pikiran Al-Afghani, dan

gagasan-gagasan Muhammad Abduh.58

Al-‘Urwah al-Wutsqa ternyata berusia pendek. Ia berhenti beredar sejalan

dengan putusnya hubungan antara Afghani dan Muhammad Abduh. Di satu pihak,

Afghani berpendapat bahwa gerakan pemberontakan sebagai manifestasi

perjuangan politik masih tetap relevan. Di pihak lain, Muhammad Abduh

menganggap gerakan politis itu sudah cukup dan sudah saatnya diganti dengan

gerakan ishlâhiyyah pendidikan. Berkenaan dengan hal ini, ia berkata kepada

Afghani, bahwa saya berpendapat kita mesti meninggalkan gerakan politik. Kita

mesti memasuki wilayah tertutup yang tidak diketahui seorang pun. Kita rekrut

sepuluh orang atau lebih pemuda potensial yang cerdas dan bermental sehat. Kita

didik mereka dengan cara kita dan kita arahkan mereka pada tujuan kita. Yang

sepuluh itu kemudian kita minta masing-masing mendidik sepuluh orang lain,

sehingga dalam tempo beberapa tahun kita akan memiliki seratus orang pimpinan

terdidik yang dapat memimpin perjuangan ishlâhiyyah. Dari orang-orang seperti

itulah akan muncul harapan masa depan yang membahagiakan.59

Terhadap pernyataan tersebut, Afghani kemudian menjawab: “Kamu itu

baru berencana, sedangkan kami sudah bergerak melangkah. Dan kita harus terus

bergerak selagi ada kesempatan.” Karena perbedaan pandangan ini, mereka lalu

berpisah. Muhammad Abduh lantas pulang ke Syria. Hubungan antara, guru dan

murid ini kian bertambah buruk ketika Muhammad Abduh menulis surat kaleng

kepada Afghani. Surat tersebut memuat cercaan pada orang-orang tertentu dengan

tanpa disebut namanya. Afghani sangat marah atas surat tersebut. Ia kemudian

menulis surat balasan kepada Muhammad Abduh.

58 58Lihat HAMKA, Sa’id Djamaluddin al-Afghany, hlm. 100-101 dan Fahd, Manhaj al- Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133.

59 Lihat Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 61-62, dan Fahd, Manhaj al-

Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 134

63

Surat itu diawali dengan mendo�akan Muhammad Abduh agar memiliki

ketetapan hati, Afghani menulis dalam surat ini, bahwa Anda menulis surat

dengan tidak membubuhkan tanda tangan (surat kaleng) dan anda telah merintis

jalan berliku....Sungguh anda sedang berada dalam bahaya besar. ...Sementara di

depan anda maut menghadang. ...Kewaspadaan anda tak akan mampu

menyelamatkan anda dari bahaya tersebut dan rasa takut anda tak akan meloloskan

anda dari maut. Janganlah anda memojokkan diri anda sendiri. Jadilah filosof

yang tampak „alim dan jangan jadi anak kecil yang berkeluh kesah. ... Semoga

Allah menguatkan hati anda.60

Muhammad Abduh terus menempuh perjuangan ishlâhiyyah pendidikan.

Ia kian merasa tidak suka atas gerakan politik Afghani dan metode perjuangan

Afghani dengan mempersalahkan para kaum cendekiawan Muslim yang

bermaksud membela Islam dengan jalan politik.61 Rasa benci Muhammad Abduh

akan politik ini ditunjukkan dalam sikapnya bahwa perlu mencabut penguasaan

agama dalam proses berpolitik yang tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan

yang terkait dengan kemajuan urusan duniawi demi kemaslahatan umat.62

Apa yang kemudian bisa kita katakan adalah bahwa Muhammad Abduh

memang meninggalkan politik, tapi sebenarnya politik itu sendiri tidak

meninggalkan Muhammad Abduh. Politik tetap saja menyita perhatian

Muhammad Abduh dan Muhammad Abduh seolah-olah menjadi kendaraan politik

yang disadari atau tidak, ternyata telah menguntungkan Inggris. Atas dasar ini

Lord Cromer berkata: “Signifikansi politis Muhammad Abduh terletak pada

kenyataan bahwa ia memperpendek jurang perbedaan antara Barat dan umat Islam.

Ia dan murid-murid sekolahnya juga layak menerima setiap bantuan dan dukungan

yang mungkin diberikan pada mereka. Dengan demikian, mereka dipandang

sebagai sekutu bagi para pemikir Eropa.”63

60Lihat Muhammad Imarah, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islam, hlm. 27-28. 61Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 134. 62Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, terj. al-Islam wa al-

Nashraniyah fi al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, oleh Mahyuddin Syaf dan A. Bakar Usman, (Bandung: Diponegoro, 1992), hlm. 83-89.

63Dalam Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135.

64

Sikap dan perilaku politik Muhammad Abduh ditunjukkan dengan

diangkatnya menjadi anggota dari Majelis Syuro (Dewan Legislatif Mesir) pada

tahun 1899. Sebagai orang bukan asing dalam bidang politik, Muhammad Abduh

turut menentukan jalannya kegiatan legislatif, dan ia berhasil mengharmoniskan

komunikasi politik antara legislatif dengan pemerintah dalam wujud kerjasama

yang signifikan, yang sebelumnya sering terjadi konflik di antara kedua lembaga

politik tersebut. Muhammad Abduh terjun di bidang politik ini dalam upaya

mendidik rakyat Mesir memasuki kehidupan politik demokratis yang didasarkan

atas musyawarah.64

3. Ishlâhiyyah Jurnalistik

Muhammad Abduh juga menekuni jumalistik.65 Ia mengawali kegiatan

jumalistiknya dengan menulis pada koran Al-Ahram, kemudian pada majalah Al-

Tijârah dan Mishr, dengan mendapat dukungan dari gurunya, Al-Afghani,66 yang

memiliki saham atas penerbitan kedua majalah tersebut. Kedua majalah tersebut

dan majalah-majalah lain di Mesir, seperti Mir-ah al-Syarq, mengikuti isyarat

Al-Afghani.67

Setelah Al-Afghani diasingkan dan Muhammad Abduh mendapat

ampunan, setelah beberapa lama ia tidak mengajar, Muhammad Abduh dipercaya

untuk menjadi redaktur koran Al-Waqa’i al-Mishriyah, yaitu koran resmi.

Sebenarnya, dengan penugasan ini, mereka menginginkan agar Muhammad

Abduh berhenti dari gerakan ishlâhiyyah pendidikan. Namun, setelah terpilih

menjadi ketua redaksi, Muhammad Abduh kemudian merubah pola dan

standarnya sehingga ia menjadikannya sebagai “mimbar” untuk menyebarkan.

pikiran dan gagasannya. Ia memilih beberapa anggota redaktur yang kompeten. Ia

kemudian mendesak seluruh administrasi pemerintah untuk menulis laporan di

koran tersebut mengenai kegiatan mereka yang sudah rampung atau yang belum

64 Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi rasional Mu’tazilah, hlm. 22-23. 65 Jurnalistik ini termasuk bagian dari aktivitas tabligh Islam, dan tabligh Islam merupakan

bagian dari bentuk utama dakwah bi ahsan al-qaul. Selanjutnya lihat Abdul Latif Hamzah, al-I’lâm fî Shadr al-Islâm (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1977), hlm. 14-15.

66Lihat Albet Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 138 dan Fahd, Manhaj al- Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135.

65

beres. Ia juga menekankan bahwa pers memiliki hak untuk mengkritik aktivitas

dan laporan pemerintah. Ia juga menuntut hak pengawasan atas terbitan-terbitan

lain mengenai kritikan yang mereka sebarluaskan. Jika kritikan itu benar adanya,

orang yang bersalah mesti diberi sangsi, sedangkan jika kritikan itu bohong

belaka, pimpinan redaksi harus diperingatkan. Jika mengulangi kesalahan sampai

tiga kali, terbitan yang bersangkutan harus dilarang terbit sama sekali atau

ditangguhkan izinnya. Ia juga meminta hak untuk membuat kolom informal yang

di dalamnya Ia dapat merilis karya-karya sastra yang ia pandang bermanfaat.68

Oleh karena itu, koran Al-Waqâ’i al-Mishriyah memiliki posisi penting

dalam menyebarkan pikiran-pikiran Muhammad Abduh, yang ikut mendorong

meletusnya pemberontakan Urabiyah dan Muhammad Abduh lalu diasingkan. Ia

kemudian menerbitkan Al-‘Urwah al-Wutsqa bersama Al-Afghani. Sebagaimana

telah disinggung, gaya bahasa Al-‘Urwah al-Wutsqa ini adalah gaya bahasa

Muhammad Abduh namun pikirannya adalah pikiran Al-Afghani. Al-„Urwah

al-Wutsqa ternyata memiliki peran besar dalam menentang penjajahan Inggris.

Muhammad Abduh kemudian kembali ke Suriah dan ia bekerja sama

dengan pers Suriah seperti koran Tsamarat al-Funun di Beirut. Setelah kembali ke

Mesir, ia diajak oleh muridnya, yakni Muhammad Rasyid Ridha, untuk

menerbitkan majalah. Muhammad Abduh mengizinkan dan bekerja sama untuk

menerbitkannya dengan nama, Al-Manâr yang berorientasi pada masalah-masalah

tertentu. Dengan Al-Manâr, ia menyebarkan berbagai kajian, informasi, dan tafsir

al-Quran. 69

4. Ishlâhiyyah Hukum dan Kemasyarakatan

Muhammad Abduh juga melakukan ishlâhiyyah dalam bidang hukum

syari�at. Muhammad Abduh diminta oleh pemerintah untuk menjelaskan

67Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135. 68Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 137. 69Lihat Albert Hourani, Islam in European Thought (Islam dalam Pandangan Eropa), Terj.

Imam Baihaqi dan Ahmad Baidhawi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 138-139 dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135, dan lihat pula Albert

66

pandangannya dalam hal perbaikan sistem hukum Islam. Ia lalu menuliskan

pandangannya dalam 83 halaman tulisan. Diantara usulnya yang terpenting adalah

memperluas wilayah khusus penerapan hukum Islam dalam sistem hukum

nasional, menghilangkan monopoli madzhab hanafiyah, membentuk majlis ulama

yang berwenang menetapkan buku fiqh mu�amalah yang cocok untuk zaman,70

memperbaiki citra hakim dengan meningkatkan sarananya, gajinya, memberinya

kebebasan berpendapat, dan mendukung penerapan keputusannya.

Upaya ishlâhiyyah bidang hukum tersebut dilakukan pada tahun 1899 M

ketika Muhammad Abduh diangkat menjadi mufti Mesir, merupakan jabatan resmi

penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari�at untuk seluruh Mesir. Sebab,

fatwa atau ketentuan yang diberikan mufti memberi sifat mengikat, fatwa yang

dilakukannya bukan hanya untuk keperluan resmi Mesir, tetapi juga untuk

kepentingan umum. Sebagai seorang ulama, Muhammad Abduh memperlihatkan

kesanggupan dan keberaniannya dalam mengadakan ijtihad, fatwa hasil ijtihadnya

menggambarkan ketidakterikatan pada pendapat-pendapat ulama masa-masa

sebelumnya. Misalnya, Muhammad Abduh menghalalkan hewan sembelihan

orang Nasrani dan Yahudi sebagai ahli kitab bagi umat Islam, fatwa ini

mengundang reaksi keras dari para ulama pada zamannya.71

Dalam hal ishlâhiyyah sosial, Muhammad Abduh bersama sejumlah

kawannya mendirikan Jam’iyyah al-Khairiyah al-Islamiyah. Dialah yang

menyusun AD-ART dan programnya. Tujuan organisasi mi adalah mendidik

anak-anak keluarga miskin. Pendidikan difokuskan pada aqidah, akhlak, dan amal

ibadah. Mereka juga dibantu mendapatkan mata pencaharian.72 Berkenaan dengan

ini, Muhammad Abduh telah menafsirkan Juz ‘Amma untuk pegangan para siswa.

Hourani, Islam in European Thought (Islam dalam Pandangan Eropa), Terj. Imam Baihaqi dan Ahmad Baidhawi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 138-139.

70Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 142. 71 Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 21-

22. 72Basam Tibi menilai apa yang diupayakan Muhammad Abduh merupakan bentuk modern

dari revivalisme Islam. Lebih lanjut lihat karyanya Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Islam and Cultural Accommodation of Social Change, oleh Misbah Zulfa Ellizabet (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 34-35, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al- Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 142.

67

Pada awalnya ia bermaksud melanjutkannya dengan Juz Tabârak73 namun ia

wafat sebelum niatnya kesampaian. Semangat organisasi ini berpengaruh luas dan

menghasilkan banyak sekolah yang memberi andil besar bagi pendidikan.

Muhammad Abduh juga mendirikan lembaga penerbitan buku-buku Arab.

Organisasi ini mencetak sejumlah buku keagamaan dan kearaban. Muhammad

Abduh sendiri menulis program renovasi masjid-mesjid dan dewan

pengembangnya, seperti imam, muadzin, khadam, penasihat, dan qari. Sebagian

program ini terlaksana sementara sebagian lain tidak.

Mengacu pada uraian riwayat hidup Muhammad Abduh yang telah

dikemukakan, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan deskriptif bahwa

Muhammad Abduh lahir dari lingkungan keluarga yang taat beragama dan

mementingkan pendidikan bagi keluarganya. Muhammad Abduh sejak usia remaja

telah menunjukkan sikap kritisnya atas segala situasi dan kondisi lingkungan

sosial pada zamannya. Hal ini dipengaruhi oleh kenyataan lingkungan sosial

politik dan kultural Mesir dan pelajaran yang dikajinya banyak berkaitan dengan

pentingnya menggunakan potensi akal dalam memahami berbagai obyek

kehidupan sosial keagamaan. Muhammad Abduh telah menunjukkan kiprah

dakwah ishlâhiyyah dengan memperbaiki sistem pendidikan dan pengajaran,

metodologi tafsir al-Qur'an, kelembagaan pendidikan, sistem politik, jurnalistik

Islam, hukum dan kemasyarakatan.

Upaya ishlâhiyyah ini dilakukan guna membangkitkan umat Islam dari

kejumudan berpikir rasional, menentang taklid dan memajukan budaya akademik

dan kehidupan masyarakat Muslim pada zamannya. Terhadap ishlâhiyyah yang

dilakukan Muhammad Abduh terdapat kelompok yang pro dan kelompok yang

kontra. Walaupun demikian, pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh telah

membawa pengaruh besar bagi generasi berikutnya, terutama dalam

menghidupkan kembali tradisi penalaran rasional.

Mengenai pengaruh Muhammad Abduh ini, Harun Nasution meyakini

bahwa, pendapat-pendapat dan ajaran-ajaran Muhammad Abduh telah

73Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 143.

68

mempengaruhi dunia Islam pada umumnya, terutama dunia Arab melalui

karangan-karangan Muhammad Abduh sendiri, dan melalui tulisan-tulisan

muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha dengan Majalah Al-Manâr dan Tafsir

Al-Manâr, Kasim Amin dengan buku Tahrîr al-Mar’ah, Farid Wajdi dengan

Dâirah al-Ma’ârif, dan karangan-karanga yang lain. Syekh Tanthawi Jauhari

dengan al-Tâj al-Murshih bi jawâhir al-Qurân wa al-’Ulum, kaum intelek atasan

Mesir seperti Muhammad Husein Haikal dengan bukunya Hayâh Muhammad,

Abu Bakar, dan sebagainya, Abbas Mahmud al-„Aqad, Ibrahim A. Kadir al-

Mazin, Mushthafa Abd al-Raziq, Ali Abd al-Raziq, dan tak boleh dilupakan Sa�ad

Zaghlul sebagai bapak kemerdekaan Mesir. Karangan-karangan Muhammad

Abduh sendiri telah banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki, Urdu, dan

Indonesia.74

Akbar S. Ahmed mengakui bahwa, Muhammad Abduh adalah bapak

modernisme Arab dan rektor Al-azhar, dan muridnya Rasyid Ridha awal abad ini,

merupakan tokoh modernis arab yang berpengaruh.75 Sedangkan Azyumardi Azra

menilai bahwa, Muhammad Abduh pada tingkat pemikiran adalah modernis,

tetapi pada level keagamaan adalah revivalis.76

Pemikiran modernis Muhammad Abduh dicirikan antara lain dengan

pandangannya mengenai pentingnya menggunakan akal (rasio) dalam memahami

ajaran Islam dan realitas kehidupan, percaya akan adanya sunatullah, dan tidak

menolak sains modern. Sedangkan keagamaan yang revivalis Muhammad Abduh

ditunjukkan dengan perjuangan dakwahnya dalam mengembalikan kehidupan

kepada sumbernya yang utama yaitu al-Quran.

74 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm. 68. 75 Lihat Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan harapan bagi Islam, terj.

Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, oleh M. Sirozi (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 45.

76 Lihat Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 183.

BAB III

HAKIKAT, DASAR HUKUM, TUJUAN

DAN UNSUR DAKWAH

A. Hakikat Dakwah

Secara metodologis, Muhammad Abduh dalam menjelaskan hakikat

dakwah dapat dikategorisasikan pada pendekatan qishmah tafshiliyah1, al-dilâlah

al-muthâbaqiyyah2 dan al-dilâlah lainnya, yang menurut Rasyid Ridha digunakan

sesuai peruntukannya, pada suatu saat Abduh menjelaskan sesuatu dengan

menyebutkan akibatnya (al-malzûm) dan pada saat lain menyebutkan

penyebabnya (al-lâzim), sebab menjelaskan sesuatu itu mesti menurut konteksnya,

hal ini dikemukakannya ketika Abduh menjelaskan karakteristik ilmu shahih,

yaitu ilmu yang menjadi sifat pemiliknya, melekat kuat dalam jiwanya dan

merealisasikannya dalam perbuatan.

Kemudian Abduh sendiri, memberitahukan pendekatannya dalam

menjelaskan sesuatu itu ketika menafsirkan Q.S. al Fâtihah ayat ke-5 tentang

ibadah sebagai kritik Abduh kepada para mufassir lain bahwa, kebanyakan dari

mereka menafsirkan sesuatu itu hanya dengan bagian akibat-akibatnya,

mendefinisikan sesuatu hanya dengan al- ta�rîf bi al-rasam, bahkan ada yang

hanya dengan al-ta�rîf bi al-lafdz, dan dengan kata-kata yang dianggap mendekati

makna sesuatu yang dijelaskan. Oleh karena itu, menurut Abduh mestinya dalam

menjelaskan sesuatu itu bukan hanya dengan menggunakan cara penalaran

membuat ta�rîf, tetapi mesti memperhatikan shiyâq al-kalimah (struktur

konotatif) dalam Al-Qurân asâlib al lughah (struktur gaya bahasa) dan

1Qishmah tafshiliyah (taksonomis) yaitu menjelaskan hakikat sesuatu dengan cara merinci dan membagi unsur-unsur dari sesuatu itu yang dalam konsep ta�rif merupakan macam-macam unsur yang mesti ada didalamnya. Lihat Muhammad al Sayyid al Jalind dan Al Sayyid Riziq al Hijr, Dirâsat fî al Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al Zahra, tt) hlm. 92-93. Pendekatan taksonomis merupakan bagian dari implementasi kerja akal yang dikaji dalam manthiq. Term-term lainnya yang digunakan Abduh dalam penafsirannya dijelaskan ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 7, ayat ini berkaitan dengan karakteristik orang kafir. Lihat Al- Manâr, jilid I, hlm. 144-145, teks data lamp.No 2.1

2Al-dilâlah al- muthâbaqiyyah (signifikansi sempurna) yaitu “term yang menunjukkan makna dengan sempurna.” Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, Disertasi, (Jakarta: FPS IAIN SYAHIDA, 1995), hlm. 23.

70

memperhatikan isti�mâl al „arab (pengguna pemilik bahasa). Walaupun demikian,

Abduh sendiri mengakui menggunakan metode al-dilâlah al- muthâbaqah, al-

dilâlah al-tadhamun, dan al-dilâlah al-iltizâm. Sebab semuanya ini termasuk cara

kerja akal dalam memahami ma�qul (objek yang dipahami).3

Ketika menjelaskan hakikat dakwah, Muhammad Abduh menggunakan

pendekatan qishmah tafshiliyah (taksonomis), yaitu menjelaskan hakikat dakwah

langsung mengacu pada proses dakwah yang dipilah dan dibagi dengan

menekankan pada interaksi dâ�i dengan mad�u yang berbeda lingkungan dan

kualitas keberagamaannya.

Sebelum memaparkan hakikat dakwah secara taksonomis, Muhammad

Abduh terlebih dahulu menjelaskan bahwa Q.S. Ali Imran:104, memuat dasar

hukum dakwah dengan dua kategori hukum, yaitu fardhu 'ain dan fardhu kifâyah.

Bagi yang pertama, jika kedudukan kata "من" dalam ayat tersebut sebagai

bayâniyah (penjelasan) dan yang kedua jika kata "من" sebagai ba'dh (sebagian).

Ayat itu juga memuat perintah umum seperti halnya keumuman kandungan Q.S.

al-'Ashr. Oleh karenanya, al-tawâshi mencakup amar ma'rûf dan nahy munkar.

Pemahaman ini juga oleh Muhammad Abduh dihubungkan dengan Q.S. al-

Mâ'idah:78-79 tentang kisah Bani Israil yang dilaknat oleh Allah SWT lantaran

meninggalkan nahy munkar sebagaimana diserukan oleh Nabi Dawud A.S dan

Nabi Isa A.S. 4

Dakwah kepada al-khayr, amar ma'rûf, dan nahy munkar terdiri dari

beberapa martabat, yaitu: martabat pertama, dakwah kepada al-khayr yang

ditujukan untuk seluruh umat oleh komunitas muslim (hâzih al-ummah) agar

mereka secara bersama-sama hidup dalam suasana cahaya petunjuk al-khayr.

Dakwah martabat pertama ini berlaku secara universal, yaitu dakwah yang

dilakukan oleh para nabi Allah kepada umatnya masing-masing pada zamannya.

3 Lihat Al-Manâr, jilid I, hlm. 56 dan 74. Untuk memahami lebih lanjut term-term manthiqiyah

yang dikemukakan Muhammad Abduh ini, lihat Said al-Taftazani, Syarh al-khabisi�ala Tahdzib al-Manthiq, (Mesir: Maktabah Muhammad Ali Shabih, 1965),hlm. 30-32.

4 Lihat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm al-Syahîr bî Tafsîr Al-Manâr, cet. Ke dua, jld. IV (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 26-27. penjelasan Abduh ini merupakan bagian dari penafsiran QS. Ali Imran ayat 104. selanjutnya disebut Al-Manâr disertai sebutan jilid dan halamannya.

71

Hal ini didasarkan pada makna al-khayr sebagai al-islâm yang berintikan ajaran

mengesakan Allah. Berdasarkan pada martabat dakwah pertama ini, menunjukkan

adanya kewajiban mendakwahi manusia kepada al-islâm, dilanjutkan dengan

kewajiban amar ma'rûf dan nahy munkar sebagai proses pembinaan dan

pemeliharaan kesatuan umat, serta mencegah dari perpecahan internal umat.

Dengan demikian, terjadilah suasana umat yang terdidik jiwanya, saling tolong

menolong, kebersamaan, terhindar dari kedengkian dan kezaliman.5

Martabat kedua adalah dakwah di kalangan umat Islam dengan mengajak

kepada al-khayr, amar ma'ruf dan nahy munkar. Hal ini masih bersifat umum.

Oleh karenanya, bagi martabat kedua ini memiliki dua jalan (tharîqâni), yaitu:

pertama, al-da'wah al'âmmah bi al-kulliyah (tablîgh Islam) berupa menjelaskan

(bayân) jalan-jalan al-khayr dan mengimplementasikannya (tathbîq) dalam

kehidupan empiris mad'u. Selain itu, juga membuat perumpamaan-perumpamaan

(al-amtsâl) yang berpengaruh pada kondisi psikologis mad'u dengan

mempertimbangkan kondisi objektif mereka. Bagi dakwah jalur ini mesti

dilakukan oleh da'i yang memiliki kedalaman pemahaman hukum Islam dan

hikmahnya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Q.S. al-Taubah:122 tentang

kewajiban memperdalam agama Islam dan memberikan peringatan kepada umat.

Dengan demikian, karakteristik dakwah ini merupakan upaya implementasi

hukum-hukum Allah SWT dalam mewujudkan kemaslahatan umat Islam yang

berlaku di setiap waktu dan tempat.6

Sedangkan jalur kedua dari martabat dakwah kedua adalah al-da'wah

al'juziyyah al-khâshah (dakwah partikular) berupa menunjukkan (al-dilâlah)

kepada al-khayr, memotivasi (al-hats) kepada al-khayr, mencegah (al-nahy) dari

segala keburukan dan menghindarinya (al-tahzîr), dan saling berwasiat dengan

kebenaran (al-haq) dan kesabaran. Aktivitas dakwah ini berlangsung antar-

individu internal umat Islam yang sudah saling mengenal.7

5 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27-28. 6 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28. 7 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28, teks data catatan kaki no 5, 6, 7 dan 8 lihat lamp. no 2.2

72

Dalam paparan hakikat dakwah secara taksonomis di atas Muhammad

Abduh tidak menjelaskannya dengan pendekatan lughawî8 terlebih dahulu, tetapi

langsung menyebutkan adanya martabah da�wah (peringkat dakwah) yang terdiri

dari dua macam martabat. Penyebutan adanya dua martabah da�wah dalam

penjelasan hakikat dakwah oleh Muhammad Abduh ini, jika dibaca menurut teori

lingkup komunikasi9 dapat dipahami sebagai konteks dakwah atau level dakwah.

Level dakwah pertama dalam penjelasan Muhammad Abduh memuat

unsur dakwah yaitu: umat muslim (hâdzihi al-ummah) sebagai da�i, semua umat

(sâir al-umam) sebagai mad�u, al-khayr (al-islâm) sebagai materi atau pesan, al-

islâm ini merupakan agama Allah yang disampaikan lewat lisan semua nabi-Nya

kepada seluruh umat manusia, berintikan memahaesakan Allah dan

mengembalikan egoisme diri pada hukum-Nya. Disini, Muhammad Abduh tidak

menyebutkan unsur metode dan media dakwah, walaupun demikian secara

iltizâmiyah dapat dipahami dari kalimat “lewat lisan semua nabi” bahwa unsur

media dapat berupa bahasa lisan dan perbuatan, sedangkan unsur metode dapat

dipahami dari penjelasan berikutnya.

Penjelasan level dakwah pertama ini dapat dikategorikan sebagai tablîgh

islam atau dakwah publik, namun demikian Muhammad Abduh masih menambah

penjelasan level dakwah pertama ini, yaitu bahwa da�i sebagai ummah wasatha

(umat pilihan) dan sebagai khayr ummah (umat terbaik) yang diperintahkan untuk

melaksanakan amr ma�ruf, nahy munkar, dan berperang ketika umat ini sudah

memiliki makânah (keberdayaan) yang sebelumnya wajib menegakkan shalat dan

8 Secara lughawî term da�wah yang dalam bentuk fi�il madhinya da�â memiliki banyak arti, yaitu: (1) thalaba (meminta), (2) ihtâja (membutuhkan), (3) wajada (menemukan), (4) shâha (menyeru dengan suara keras), (5) nidâ (menyeru), (6) ista�âna (memohon pertolongan), (7) nadaba (menetapi), (8) raghiba (menginginkan atau menghindari), (9) ibtahala (memohon dengan rendah diri), (10) raja (mengharap), (11) samâ (menamai), (12) nashaha (menasehati), (13) hatsa (menghimbau), (14) saqâ (menggiring), (15) banâ (membangun), (16) hadama (merobohkan), dan (17) sababa (menyebabkan). Lihat Ibrahim Anis dkk., al-Mu�jam al-Wasîth, jld. I (Mesir: Dâr al- Ma�ârif, 1972), hlm. 286-287.

9 Kategori konteks diajukan oleh Stephen Little John, menurutnya konteks komunikasi terdiri: interpersonal group, organisasional dan massa. Lihat Stephen Little John, Teories of Human Communication (California: Wadsworth Publishing, 1989), hlm. 152. Sedangkan menurut Larry Barker level komunikasi terdiri dari: intrapersonal, interpersonal, group kecil, publik, organisasional dan massa. Lihat Larry Barker, Communication, (New Jersey: Prentice-Hall Inc; 1984), hlm.16.

73

menunaikan zakat. Penjelasan Muhammad Abduh ini didasarkan pada Q.S.

al-Hajj:41, tambahan penjelasan Muhammad Abduh ini dapat dikategorikan

sebagai da�wah bi ahsani al-�amâl, da�wah bi al-tamkîn (pemberdayaan umat)

dan sebagai dakwah organisasional. Macam kegiatan dakwah ini dilakukan

setelah mad�u menerima Islam melalui tablîgh Islâm sebagai tahapan dalam

berdakwah.10

Masih dalam level dakwah pertama, Muhammad Abduh melanjutkan

penjelasannya mengenai fungsi amr ma�rûf dan nahy munkar, yaitu sebagai upaya

memelihara kesatuan umat dan mencegah perpecahan umat, sebab hanya dengan

kesatuan umatlah kekuasaan atas umat lain dapat diwujudkan, sehingga upaya

pendidikan dan pembinaan kejiwaan umat bisa dilakukan, penyakit egoisme

individu dapat dimusnahkan, kedengkian dan kedzaliman di tengah-tengah umat

berubah menjadi saling tolong menolong dan bersatu padu dalam melakukan

tugas yang mulia dengan penuh kesadaran. Penjelasan Muhammad Abduh ini

dapat dikategorikan sebagai fungsi da�wah jama�ah (dakwah organisasional).

Level dakwah kedua dalam penjelasan Muhammad Abduh memuat unsur

dakwah, yaitu sebagian muslim sebagai da�i, sebagian muslim lain sebagai mad�u,

yang diantara mereka saling menyeru kepada al-khayr (al-Islâm) sebagai pesan,

saling memerintah kepada yang ma�rûf dan saling mencegah dari yang munkar.

Level dakwah kedua ini masih tampak bersifat umum, dan Muhammad Abduh

membaginya menjadi dua jalur atau saluran (thâriqâni). Jalur pertama disebut al-

da�wah al-„âmmah al-kulliyyah (dakwah “universal” atau saluran “media massa”)

dan jalur kedua disebut al-da�wah al-juziyyah al-khâshshah (dakwah “parsial”

atau saluran “interpersonal”).11

10 Kajian mengenai tabîigh islam lebih lanjut lihat Abd al-Lathif Hamzah, al-„Ilâm fi Shadr Islâm, (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Araby, 1989), hlm. 104-133. Sedangkan konsep makanah, lihat kajian Muhammad al-Sayid Muhammad Yusuf, al-Tamkîn bi al-Ummah al-Islâmiyah fi Dhaui al- Qurân al-Karîm, (Mesir: Dâr al-Salâm, 1997) hlm 14-94.

11Saluran “media massa” antara lain dicirikan tidak bertatap muka, dan saluran ”interpersonal” melibatkan tatap muka. Lihat Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker, Memasyarakatkan Ide-ide Baru, terj. Communication Of Innovations, oleh Abdillah Hanafi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), hlm. 118-119, dan lihat Ibrahim Imam, Ushûl al-„Ilâm al- Islâmi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1985), hlm. 4-56.

74

Bagi jalur pertama dijelaskan Muhammad Abduh dengan terlebih dahulu

memberikan contoh “seperti pelajaran ini” (ka hâdza al-dars), yaitu dakwah

dengan menjelaskan (bayân) ragam jalan kebaikan, mengaplikasikannya (tathbîq)

dalam berbagai situasi kehidupan manusia, dan membuat beragam perumpamaan

(al-amtsâl) yang membekas dalam jiwa (al-nufûs), sehingga orang yang

mendengarnya dapat memetik pelajaran dari perumpamaan itu menurut situasi

dan kondisi masing-masing. Lalu menurut Muhammad Abduh, dakwah jalur ini

mesti dilakukan oleh da�i al-khawwash al-ummah (“komunitas khusus”) yang

memiliki pengetahuan mendalam tentang rahasia hukum, hikmah agama Islam,

dan hukumnya. Hal ini didasarkan pada Q.S. al-Tawbah:122, yang memuat

perintah bahwa mesti ada sekelompok (thâifah) yang menekuni pemahaman

mendalam (tafaquh) mengenai agama Islam, untuk kemudian memberikan

peringatan kepada masyarakatnya saat pulang ke tempat asal mereka. Secara

spesifik da�i komunitas khusus ini sesuai dengan kemampuan dan kepemilikan

ilmunya melakukan dakwah berupa mengimplementasikan (tathbîq) hukum-

hukum Allah Ta�âla untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-hamba-Nya pada

setiap zaman dan tempat.

Dakwah jalur pertama dari level dakwah kedua itu, dapat dikategorikan

sebagai dakwah publik atau tablîgh bi al-khithâbah dan dakwah organisasional

atau da�wah bi al-tamkîn (pemberdayaan umat) yang berlangsung di kalangan

internal umat muslim.

Kemudian, jalur kedua dari level dakwah kedua, yaitu al-da�wah al-

juziyyah al-khâshshah, dijelaskan oleh Muhammad Abduh sebagai dakwah yang

berlangsung di antara sesama individu sesuai kemampuan masing-masing, baik

yang pandai maupun yang bodoh, yang sudah saling mengenal dengan cara

menunjukkan (al-dilâlah) kepada kebaikan dan memotivasinya (al-hats),

mencegah dari kejelekan dan memperingatkannya, saling berwasiat dengan al-

haqq dan saling berwasiat dengan shabar. Dalam penjelasan Muhammad Abduh

ini memuat unsur dakwah yaitu: Individu muslim sebagai da�i dan individu lain

sebagai mad�u, al-khayr (al-Islâm) sebagai pesan dan beberapa macam metode,

yaitu: al-dilâlah, al-nahy, al-tahdzîr, al-tawâshi bi al-haqq dan al-tawâshi bi al-

75

shabr, sedangkan unsur medianya berupa bahasa lisan dan bahasa perbuatan. Jalur

dakwah kedua ini, dapat dikategorikan sebagai dakwah intrapersonal atau al-

dâ�iyah fî nafsih, dan dakwah interpersonal atau al-da�wah al-fardiyyah.

Dalam penjelasan hakikat dakwah martabat (level) yang pertama yang

dikemukakan Muhammad Abduh, termasuk tablîgh Islâm, yaitu proses

penyebaran Islam yang ditujukan kepada mad�u yang belum memeluk Islam.

Sedangkan dalam penjelasan hakikat dakwah martabat (level) kedua, termasuk

tablîgh Islâm yang merupakan proses pembinaan kualitas keberagamaan bagi

yang sudah memeluk Islam dengan menegakkan segala yang ma�rûf, yaitu

sejumlah aturan ajaran Islam yang mesti diketahui dan diamalkan dalam

kehidupan nyata, berbarengan dengan nahy munkar, yaitu menjebol dan

menghindarkan kehidupan dari segala larangan ajaran Islam. Dengan demikian,

kedua penjelasan hakikat dakwah lebih menekankan pada tahapan dakwah

(marâhil al-da�wah).12

Keberlangsungan pembinaan internal umat Islam dilakukan melalui

“bayân thuruq al-khayr,” yaitu proses transmisi ajaran Islam yang ditujukan

kepada kelompok besar dan kelompok yang terorganisir dengan sasaran

meningkatkan aspek pemahaman. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas

pengamalan ditempuh melalui transformasi ajaran Islam dalam kehidupan nyata

umat yang ditunjukkan dengan ungkapan tathbîq (implementasi ajaran), baik

dalam penjelasan hakikat dakwah jalur pertama maupun jalur yang kedua dari

martabat (level) dakwah yang kedua.13 Sasaran utama implementasi ajaran Islam

12 Lihat Ali bin Shalih, Mustalzamât al-Da�wah fî al-„Ashr al-Hâdhir (Jeddah: Maktabah Layyinah, 1981), hlm. 150, hakikat dakwah menurut bentuknya dijelaskan oleh para penulis tentang dakwah ternyata bervariasi, misalnya Toha Yahya Umar mengelompokkan kategori hakikat dakwah ini kepada: penerangan, penyiaran, pendidikan dan pengajaran, dan indoktrinasi

Islam. Lihat Toha Yahya Umar, Ilmu Da�wah (Jakarta: Widjaja, 1983), hlm. 1-2. KH. Isa Anshari mengkategorisasikan hakikat dakwah sebagai reformasi dan modernisasi pemahaman Islam dan

kehidupan Muslim. Lihat Isa Anshari, Mujahid Da�wah (Bandung: CV. Diponegoro, 1964), hlm. 74. sementara itu, Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni mengkategorisasikan hakikat dakwah kepada: (1) tablîgh Islam kepada semua manusia, (2) ta�lîm Islam bagi umat Islam, dan (3) tathbîq Islam dalam kenyataan kehidupan umat Islam. Lihat Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-Madkhal fî „Ilm al-Da�wah (Beirut: Muassasah al-Risalah Nâsyidun, 2001), hlm. 34-35.

13 Bagi Muhammad Sayyid Muhammad Yusuf, transformasi ajaran Islam ini disebut sebagai dakwah pemberdayaan umat, sebagaimana dijelaskan dalam karyanya al-Tamkîn lî al- Ummah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm (Mesir: Dâr al-Salam, 1997), hlm. 95-96. Dalam konteks ini, dakwah juga dipahami sebagai aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial dan

76

adalah sebagai upaya perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat

dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup ruhaniyyah dan jasadiyyah

hamba Allah yang ditunjukkan dalam ungkapan „alâ mashâlih al-„ibâd.

Kemudian Muhammad Abduh mengemukakan secara khusus salah satu

level dakwah dalam penjelasan hakikat dakwah jalur kedua, yaitu dakwah

fardiyyah, yakni interaksi antarindividu dâ�i dengan mad�u yang berlangsung

secara tatap muka dengan metode tawshiyyah bî al-haqq dan tawshiyyah bî al-

shabr, baik berupa saling menunjukkan dan saling menghimbau pada jalan

kebaikan, serta saling mencegah dari perbuatan yang dilarang ajaran Issebagai

kewajiban bagi semua individu Muslim berdasarkan kemampuan masing-

masing.14

Termasuk dakwah pemeberdayaan umat (ishlâh al-basyar) adalah amr

ma�rûf nahy munkar, yaitu upaya dalam perbaikan kehidupan manusia sebagai

makhluk sosial (al-basyar) dan pelakunya sebagai umat pilihan yang unggul.

Karena ia merupakan masyarakat yang berada pada posisi seimbang secara

aqidah, moralitas dan kegiatan kehidupannya, juga senantiasa berupaya

melakukan perbaikan kehidupan (al-basyar) dengan jalan amr ma�rûf nahy

munkar:15

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa, rumusan hakikat dakwah menurut

pemikiran Muhammad Abduh secara al-dilâlah al-iltizâmiyyah16 merupakan

proses ishlâh (reformasi) dan tajdîd (pembaruan) kehidupan umat. Pendapat ini

diikuti oleh Mahmud al-„Aqqad.17 Kemudian, Muhammad Abduh memaknai term

penyebaran ajaran Islam. Lihat Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, terj. Amru Ust. (Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 375.

14 Dakwah fardiyyah ini secara khusus dibahas oleh Sayyid Muhammad Nuh dalam karyanya Fiqh al-Da�wah al-Fardiyyah fî al-Manhaj al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Wafa, 1991).

15 Al-Manâr, jld. I, hlm. 160-161. QS. 2:13, ayat ini berkaitan dengan karakteristik orang munafiq sebagai orang syafih. Lihat Kamil, Ahdâf al-Risâlah al-Islâmiyyah, dalam al-Muhâdharât al-„Âmmah (Mesir: Mathba�ah al-Azhar, 1960), hlm. 158-159.

16 Al-dilâlah al-iltizâmiyyah adalah (signifikansi kelaziman), yaitu term yang menunjukkan sesuatu di luar dari maknanya. Tetapi ia merupakan kelaziman atau kemestian yang tak terpisahkan dari makna itu. Lihat Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, hlm. 23. Muhammad Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh dalam menjelaskan suatu konsep sering menggunakan al-dilâlah iltizâmiyyah. Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 348-349.

17 Lihat Mahmud al-Aqqad, Multaqy al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006), hlm. 16. Menurut Habib Boulares,

77

ishlâh ini untuk menunjukkan berbagai hal yang berkaitan dengan upaya

pembaruan, perubahan, dan perbaikan dalam mewujudkan kemaslahatan

kehidupan manusia di muka bumi, yang melibatkan unsur da�i, pesan, media,

metode, dan mad�u, yang merupakan satu kesatuan dalam prosesnya. Sedangkan

kemaslahatan diyakini oleh Muhammad Abduh berupa segala yang mencegah

terjadinya kerusakan di muka bumi dan ia menjadi sebab kebenaran, kebaikan,

dan kestabilan kehidupan manusia menjadi lestari.18

Mengenai hakikat dakwah yang telah dikemukakan menurut pemikiran

Muhammad Abduh, ternyata berbeda dengan hakikat dakwah yang dikemukakan

oleh para pengkaji tentang dakwah selain Muhammad Abduh. Hal ini bisa terlihat

sebagai bukti adanya kekhasan itu. Misalnya dari beberapa macam rumusan

hakikat dakwah berikut ini menjadi bukti bahwa, selain Muhammad Abduh

menjelaskannya lebih terfokus pada hal-hal tertentu.

Berikut pernyataan para tokoh selain Muhammad Abduh mengenai

hakikat dakwah, yaitu: (1) menurut al-Syaikh al-Islam Ibn Taymiyah dakwah

adalah menyeru kepada keimanan atas kemahaesaan Allah dan atas segala perkara

yang dibawa oleh para utusannya, membenarkan segala perkara yang diberitakan

oleh para rasul dan mentaati segala yang diperintahkannya;19 (2) menurut al-

Sayyid Muhammad al-Wakil, dakwah adalah menghimpun manusia ke jalan yang

baik, menunjukkan mereka kepada kebenaran, memerintahkan dengan yang

ma�rûf dan mencegah dari yang munkar. Definisi ini didasarkan pada Q.S. Ali

Imran:104. Definisi ini lebih menekankan pada macam tabligh;20 (3) Muhammad

al-Shawaf mengemukakan bahwa, dakwah adalah risalah langit yang diturunkan

ishlâh yang diartikan dengan reformasi menunjuk kepada perbaikan, kembali kepada aturan kerja yang sebelumnya cacat, pemurnian dari penyelewengan sehingga terbuka untuk memiliki sejumlah metode. Reformasi ini adalah khas Islam yang banyak dikembangkan di negara-negara Arab. Lihat Habib Boulares, Islam Biang Ketakutan atau Tumpuan Harapan, terj. Islam: The Fear and The Hope, oleh Ilham Mashuri (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hlm. 208-223.

18 Al-Manâr, jld. II, hlm. 497. Keyakinan Abduh ini merupakan bagian dari penafsiran QS. 2:251-252, tema pokok ayat ini mengenai aktivitas para Rasul Allah dalam menghindarkan kemafsadatan di muka bumi, dan bandingkan dengan pendapat Abd bin al-Hamîd bin Bâdîs dalm karyanya Tafsîr bin Bâdîs, hlm.106-107. Kajian mengenai dakwah ishlâh, lebih lanjut lihat Manâ al-Qathan, al-Da�wah ila al-Islâm, (Damaskus: al-Maktabah al-Islâmy,1397 H) 60 halaman.

19 Lihat Ibn Taymiyah, Majma' al Fatawa, (Riyadh, tt), hlm. 157. 20. Lihat Muhammad al-Sayyid al-Wakil, Usus al Da'wah wa Âdâb al Du'ât, (Mesir: Dâr al

Wafâ, 1986), hlm. 17.

78

ke bumi sebagai petunjuk pencipta kepada makhluknya, hidayah itu berupa agama

Allah yang kokoh dan jalannya yang lurus, sebagaimana dijelaskan dalam al-

Qur�ân Q.S. Ali Imran:19 dan 85.21 (4) menurut Fathi Yakan, dakwah adalah

menghancurkan berbagai bentuk kejahiliyahan, baik kejahiliyahan pemikiran,

akhlak, sistem kehidupan, dan membangun kejama�ahan muslim dengan

mengaplikasikan kaidh-kaidah dengan berbagai bentuknya.22 (5) menurut Taufiq

al-Wâ�iy, dakwah Islam adalah menghimpun manusia ke jalan yang baik,

menunjukkan mereka kepada kebenaran dengan perkataan dan perbuatan dengan

agar menjalankan sistem kehidupan dari Allah di muka bumi, memerintah mereka

kepada yang ma�ruf, mencegah mereka dari yang munkar, membimbing mereka

kepada jalan yang lurus dan bersabar dalam menghadapi segala tantangan hidup.23

Berbeda dengan lima macam definisi tersebut, Muhammad Nuh

mendefinisikan dakwah tidak terbatas pada pengenalan dan penyiaran Islam tetapi

juga pada pembangunan dan pembentukan umat. Oleh karenanya, menurut

Muhammad Nuh, dakwah adalah jika ditujukan kepada mad�u yang belum Islam

dan para pelaku dosa maka dilakukan dengan pengenalan dan penyiaran,

sedangkan jika mad�unya masyarakat muslim dan mereka memelihara naluri

ketundukan atas kebenaran maka dilakukan dengan cara membangun dan

membentuk.24

Dakwah menurut „Abd Mushnif „Abd al-Fatâh memotivasi manusia

kepada kebaikan, petunjuk, tuntunan, menetapi jalan yang benar, memerintah

dengan yang ma�rûf dan mencegah mereka dari yang munkar, untuk mendapatkan

kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.25

21 Lihat Muhammad Mahmud al-Shawwaf, Min al Qurân Ilâ al Qurân (al Da'wah wa al Du'ât ), hlm. 22.

22 Lihat Fathi Yakan, Al-Islam, Fikrah-Harakah-Inqilab, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1983), hlm. 9.

23 Lihat Taufik al Wâ'iy, al-Nisâ al-Dâ'iyât, (Kuwait: Wizârah al aufaf, 1989), hlm.8. 24 Lihat Sayyid Muhammad Nuh, Fiqh al-Da�wah al-Fardiyah, (Mesir: Dâr al-Wafâ, 1991),

hlm. 12. 25 „Abd Mushnif „Abd al-Fatâh, Manhâj al-Da�wah al-Islamiyyah Min al-Qurân al-Karîm

wa al-Sunnah al-Nabawiyah, (Mesir: al-Azhar, 1419H), hlm. 29.

79

Dakwah Islam menurut Abu Bakar Zakaria adalah mengajar orang banyak

tentang segala sesuatu yang dapat menyadarkan mereka menurut kemampuannya

tentang urusan agama dan dunia yang dilakukan oleh para ulama.26

Dakwah Islam menurut Ahmad Ahmad Ghalwus, dakwah Islam adalah

sama dengan agama Islam itu sendiri, ia merupakan ketundukan kepada Allah dan

menjalankan ajarannya yang Dia ridhai dan merupakan sistem universal dan

ketentuan-ketentuan komprehensif mencakup kehidupan duniawi dan ukhrawi.27

Dakwah Islam menurut „Ali bin Shâlih al-Mursyid adalah sistem yang

berisikan metode, media dan teknis dalam menjelaskan dan menegakkan haq,

kebaikan, petunjuk, dan membongkar kebatilan dengan segala media dan

caranya.28

Mencermati penjelasan hakikat taksonomis rumusan dakwah menurut

Muhammad Abduh yang dibandingkan dengan pemikiran yang lainnya, maka

dapat dirumuskan hakikat dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain adalah

pertama, mengajak manusia untuk memahami, menerima, dan mengamalkan

Islam dengan mengutamakan amr maruf nahy munkar agar mereka memperoleh

keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat dan kedua, proses

ishlâh dan tajdîd kehidupan umat berupa internalisasi, transmisi, transformasi, dan

difusi Islam guna memperoleh kehidupan haasnah di dunia dan di akhirat serta

terbebas dari siksa neraka kehidupan. Sedangkan rumusan hakikat dakwah

menurut Muhammad Abduh secara taksonomis yang berkaitan dengan dasar

hukum, tujuan dan unsur-usnsurnya dijelaskan di bagian akhir bab ini.

26 Abu Bakar Zakaria, al-Da�wah Ilâ al-Islâm,dalam Nashruddin Latif Teori dan Praktik Da�wah Islamiyah, (Jakarta: CV. Multiyasa, 1391H), hlm.10.

27 Ahmad Ahmad Ghalwus, al-Da�wah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishri, 1987), hlm. 12-13.

28„Ali bin Shâlih al-Mursyid, Mustalzamât al-Da�wah Fi „Ashri al-Hâdhir, (Jeddah: Maktabah Layyinah, 1989), hlm. 22. M. Yunan Yusuf merumuskan hakikat dakwah “sebagai upaya untuk memberikan solusi Islam terhadap berbagai masalah dalam kehidupan. Masalah kehidupan tersebut mencakup seluruh aspek, seperti aspek ekonomi, sosial budaya, hukum, politik, sains, teknologi, dsb.” M. Yunan Yusuf, Metode Dakwah: sebuah Pengantar Kajian, dalam Munzir dan Marjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada media, 2003), hlm. xiii.

80

B. Dasar Hukum Dakwah

Dalam menentukan dasar hukum dakwah, Muhammad Abduh seperti halnya

mufassir yang lain seperti Imam al-Jalalain, Ahmad al-Shawi, dan Wahbah al-

Zuhaili, merujuk pada nash Al-Qurân yang diungkapkan dalam fi�il amr (kata

kerja perintah), antara lain ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran ayat 104 dan 110.29

Muhammad Abduh meyakini bahwa terdapat perselisihan pendapat mengenai

firman Allah “minkum” apakah berarti “sebagian dari kamu” atau “min”

bayaniyyah?. Mufassir kita Imam Jalalain meyakini pendapat pertama karena hal itu

menunjuk pada hukum fardu kifayah sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Al-

Kasysyâf30 dan yang lainnya. Sebagian ulama berkeyakinan dengan pendapat

kedua seraya mereka berkata bahwa maksud ayat tersebut adalah “hendaknya

kamu sekalian menjadi umat yang menyeru kepada kebaikan, menganjurkan hal-

hal baik, dan mencegah kemunkaran.31

Dari perbedaan pendapat mengenai status hukum dakwah tersebut,

Muhammad Abduh menetapkan dasar hukum dakwah sebagai fardu kifayah, yaitu

kewajiban yang ditujukan kepada individu atau kelompok tertentu yang memiliki

kualifikasi penguasaan pengetahuan kedakwahan, dan kemampuan berdakwah

secara profesional. Sedangkan dakwah sebagai fardu „ain, yaitu kewajiban yang

ditujukan bagi setiap individu Muslim (mukallaf) berdasarkan kemampuannya

masing-masing dalam melaksanakan macam-macam pelaksanaan dakwah sesuai

situasi dan kondisi yang dihadapinya.32

Oleh karena itu, kedudukan hukum dakwah dapat dipahami sebagai

kewajiban komunal (fardhu kifayah), yakni kewajiban yang mampu dilaksanakan

oleh semua Muslim dalam suasana kebersamaan, sedangkan fardhu ain dapat

dipahami sebagai kewajiban individual, yakni kewajiban yang mampu

29 Lihat Imam al-Jalalain, Tafsîr al-Qurân al-Karim (Semarang: Thaha Putra, tt.), hlm. 58, Ahmad al-Shawi, Hasyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsîr al-Jalalain (Semarang: Thaha Putra, tt.), hlm. 171., dan Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Wajîz (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), hlm. 65.

30 Penjelasan Abi al-Qâsim Jâr Allah Mahmud bin „Amr al-Jamakhsyari al-Khawârizmi, terdapat dalam karyanya, Al-Kasysyâf „an Haqâiq al-Tanzîl wa „uyun al-„Aqâwil fi Wujuh al- Ta�wil, jld.1 (Beirut: Dâr al-Ma�rifah,tt) hlm.452.

31 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 26. 32 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 35. Penetapan Abduh ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S.

Ali Imran ayat 104.

81

dilaksanakan secara individual. Jika dipahami demikian, implikasinya adalah

tidak akan terjadi saling melempar tanggung jawab di antara sesama individu dan

kelompok Muslim dalam melaksanakan kewajiban dakwah Islamiyah.

C. Tujuan Dakwah

Setiap tindakan apapun yang dilakukan secara sadar oleh manusia

senantiasa memiliki tujuan tertentu yang akan dicapai.33 Dakwah sebagai bagian

tindakan yang mulia yang dilakukan oleh para dâ�i sudah barang tentu memiliki

tujuan. Mengenal tujuan dakwah itu amat penting agar tidak terjadi penyimpangan

arah dan tujuan yang menyebabkan kekacauan dan penyimpangan dalam tindakan

dâ�i dalam berdakwah.

Rumusan tujuan dakwah yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh

dapat dikelompokkan menjadi tiga macam kategori tujuan dakwah, yaitu tujuan

ideal, tujuan individual, dan sosial.

Pertama, tujuan ideal dakwah, antara lain dapat dipahami dari keyakinan

Muhammad Abduh bahwa, siapa saja yang hendak berdo�a kepada Allah Ta�ala

secara global, hendaknya ia memohon kebahagiaan dunia dan akhirat serta

kehidupan yang baik di kedua alam tersebut. 34 Sedangkan jalan Allah (al-Islâm)

merupakan jalan yang menghantarkan orang pada keridhaan-Nya, suatu jalan

yang dengannya Dia memelihara agama-Nya dan memperbaiki keadaan hamba-

Nya.35 Menurut Muhammad Abduh Allah mensyariatkan bagi kamu sekalian

sejumlah hukum yang dapat memperbaiki keadaan kalian dan menghantarkan

kalian pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 36

Esensi tujuan ideal dakwah yang dipahami dari keyakinan Muhammad

Abduh tersebut adalah memperoleh ridha Allah SWT, memperoleh kebahagiaan

dan kebaikan hidup di dunia kini dan di akhirat kelak. Pendapat mengenai

33 Lihat Muhammad Abd al-„Aziz Al-Khuly, al-Adâb al-Nabâwy, (Beirut: Dâr al-fikr, tt),

hlm. 5-6. 34 Al-Manâr, jld. II, hlm. 237. Pernyataan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:201, tema

pokok isi ayat ini mengenai bagian do�a mu�min yang menunaikan ibadah haji. 35 Al-Manâr, jld. II, hlm. 254. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:207, tema

pokok isi ayat ini mengenai mumin yang menukarkan dirinya dengan ridha Allah SWT. 36 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 338. Pernyataan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 4:1, tema

pokok isi ayat ini mengenai informasi penciptaan manusia, keharusan bertakwa dan silaturahim.

82

kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagai tujuan ideal dakwah ini sama dengan

pendapat Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah menurutnya bahwa, menyeru

manusia terhadap kebaikan, petunjuk, arahan, dan konsistensi dalam beragama

dan menganjurkan mereka pada kebajikan serta mencegah mereka dari

kemunkaran agar mereka sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat.37

Kedua, tujuan dakwah individual antara lain dipahami dari keyakinan

Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah:256-257 bahwa, maksud

ayat ini sejalan dengan makna ayat yang mendahuluinya tampak sangat jelas

yakni bahwa seorang mukmin tidak memiliki pengurus dan penguasa (tawliyyah)

atas keyakinannya selain Allah SWT. Jika demikian faktanya, ia berada pada jalan

yang benar untuk menggunakan hidayah yang telah dianugrahkan Allah

kepadanya sesuai dengan peruntukannya yakni indera, akal, dan agama. 38

Muhammad Rasyid Ridha menambahkan penjelasan mengenai tawliyah

atau wilâyah (perlindungan) yaitu: (1) wilâyah Allah kepada kaum mukmin, yaitu

dengan memberikan hidayah indera, akal, dan agama serta sarana alam yang

dibutuhkan dalam menjalani kehidupannya, (2) wilâyah kaum beriman kepada

Allah, yakni dengan cara mendayagunakan macam-macam hidayah dari Allah

dalam rangka ibadah, dan (3) wilâyah di antara sesama kaum beriman dengan

cara saling melindungi, saling tolong-menolong, dan saling menyelamatkan.39

Dari penjelasan tujuan individual dakwah yang dikemukakan oleh

Muhammad Abduh tersebut dapat dipahami bahwa terbentuknya pribadi muslim

yang paripurna merupakan tujuan individual dakwah, yaitu pribadi yang imannya

kokoh kuat mendayagunakan hidayah hawasî (potensi indera lahir), hidayah akal,

hidayah agama Islam, hanya Allah pelindung hidupnya, dan menetapi sunnah

Allah baik yang Qurâniyyah maupun yang Kauniyyah.

37 Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Da�wah al-Islâmiyyah min al-Qurân al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyyah (Mesir: Jami�ah al-Azhar, 1419H), hlm. 29.

38 Al-Manâr, jld. III, hlm. 40. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:256-257, tema pokok isi ayat ini mengenai larangan memaksakan keyakinan agama bagi non-muslim, perumpamaan orang mu�min, dan cara melakukan perlindungan hidup dengan konsekuensinya.

39 Al-Manâr, jld. III, hlm. 42-43. Penjelasan Rasyid Ridha ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:256-257.

83

Ketiga, tujuan sosial dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain dapat

dipahami dari keyakinannya bahwa, amr ma�ruf dan nahy munkar merupakan alat

pemelihara kebersamaan dan semen perekat persatuan. 40 Kemudian masih dalam

penafsiran Q.S. Ali Imrân: 104, antara lain Muhammad Abduh meyakini bahwa,

Allah SWT. telah memerintahkan perlu adanya di antara kita komunitas yang

menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemunkaran

dan Allah menjelaskan bahwa mereka merupakan kalangan beruntung, sementara

masyarakat lain merugi, yang beruntung karena mereka merupakan komunitas

yang menegakkan agama dan memeliharanya, juga melalui mereka terwujudlah

persatuan yang menjadi maksud agama, Allah juga melarang kita dari perpecahan

dan pertikaian yang bisa melenyapkan persatuan umat yang berakibat

terganggunya penegakan dakwah yang maslahat. 41

Pernyataan Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan bahwa memelihara

kesatuan komunitas Muslim yang muflihûn dan membentenginya dari

pengrusakan yang disebabkan oleh internal maupun eksternal Muslim dan

mencegah perpecahan dan pertentangan umat Muslim adalah tujuan sosial

dakwah.

Dalam memformulasikan tujuan dakwah ini, terdapat perbedaan

redkasional antara Muhammad Abduh dan para penulis lain tentang dakwah.

Namun demikian, esensi yang dikandungnya saling melengkapi dan memperkuat

antara satu formulasi dengan formulasi yang lainnya. Misalnya, Muhammad Sa�id

Mubarak meyakini bahwa tujuan dakwah adalah menjadikan Islam sebagai

petunjuk jalan hidup oleh manusia, mengeluarkan manusia dari kegelapan

kebodohan kepada cahaya ilmu, dan mengeluarkan manusia dari kekufuran yang

kotor kepada keimanan yang suci.42 Bagi Ahmad Ahmad Ghalwusy, tujuan

dakwah itu sejatinya dalam upaya mencapai dua keadaan kehidupan, yaitu

kehidupan yang sa�âdah (bahagia) dan sâlimah (selamat) dengan terpenuhinya

40 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 26. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 3:104. 41 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 47. 42 Lihat Muhammad Sa�id Mubarak, al-Da�wah wa al-Idârah (Madinah: Maktabah Malik

Fahd al-Wathaniyyah, 2005), hlm. 27.

84

kebutuhan ruhaniyah dan jasadiyah secara simultan.43 Sedangkan Jum�ah Amin

Abd al-„Aziz merumuskan tujuan dakwah kepada tiga hal, yaitu: (1) meletakkan

kerangka dasar kehidupan masyarakat Islam, (2) menjadikan masyarakat Muslim

yang dinamis reformis, dan (3) melestarikan kehidupan masyarakat Muslim yang

menegakkan kebenaran Islam dalam kehidupan nyata.44

D. Unsur-unsur Dakwah

Hakikat, dasar hukum, dan tujuan dakwah, manusia sebagai dâ�i dan mad�u,

metode dan media dakwah merupakan satu kesatuan unsur dakwah yang saling

berkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya, walaupun bisa dibedakan,

tetapi tidak bisa dipisahkan dalam realitas proses pelaksanaan dakwah. Unsur

dakwah ini menurut Abd al Hamîd bin Bâdîs disebut arkân al-da�wah.45

1. Mawdhu’ Dakwah: Hakikat dan Karakteristik Islam

Posisi Islam dalam struktur sistem dakwah merupakan komponen maudhû�

dakwah, yakni pesan, bahan, dan materi ajaran yang didakwahkan oleh dâ�i

kepada mad�u dengan metode tertentu dan melalui media yang sesuai dengan

tuntutan situasi dan kondisi peristiwa-peristiwa proses pelaksanaan dakwah.46

Berikut dikemukakan hakikat dan karakteristik Islam sebagai maudhû� dakwah

menurut pemikiran Muhammad Abduh.

43 Lihat Ahmad Ahmad Ghalusy, al-Da�wah al-Islâmiyyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishry, 1987), hlm. 33.

44 Lihat Jum�ah Amin Abd al-Aziz, al-Da�wah al-Islâsmiyyah: Qawâ�id wa Ushûl (Kairo: Dar al-Da�wah, 1999), hlm. 20-21.

45Lihat Abd al Hamîd bin Bâdîs, Tafsîr bin Bâdis fi Majâlis al Tadzkîr Min Kalâm al Hakîm al Khabîr, (Beirut: Dar al Fikr, 1979), hlm. 521-533. Prinsip struktur sistem dakwah ini merupakan mafhum dari isyarat QS. Yûsuf:108 dan an-Nahl:125, yang menggambarkan proses da�wah islâmiyah dengan melibatkan semua unsurnya. Hal ini jika dibaca menurut pertanyaan paradifmatik dari Lasweel�s Model sebagaimana dikutip oleh Onong Ukhyana Effendi, merupakan jawaban dari: Siapa Mengatakan apa Melalui Saluran Apa kepada Siapa dengan Efek Apa (Who Say What in Wich Chanel to Whom What Effect). Lihat Onong Ukhyana Effendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.253.

46 Hal ini sebagaimana diyakini oleh Abd al-karim Zaydan bahwa

dalam karyanya Ushûl al-Da�wah (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), hlm. 5.

85

a. Hakikat Islam

Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam adalah al-dîn (agama) yang

dibawa oleh semua nabi Allah sebagai bukti kebaikan Allah kepada al-basyar

(manusia sebagai makhluk sosial). Inti agama adalah tata aturan hidup yang sesuai

dengan kebutuhan hidup manusia baik ruhaniyah maupun jasadiyah. Muhammad

Abduh percaya bahwa, agama merupakan karya Tuhan sebagai perwujudan

kebaikan-Nya terhadap manusia. Ia diwahyukan melalui salah seorang nabi di

antara mereka yang bukan merupakan usaha dan perbuatannya bahkan ia tidak

bisa meraihnya dengan cara mendalami atau mempelajarinya (ia tiada lain kecuali

wahyu yang diturunkan). 47 Atas pendapatnya ini Muhammad Abduh bersrgumen

bahwa, “Sesungguhnya agama (al-dîn) yang benar menurut Allah adalah Islam.”

Islam di sini mencakup seluruh agama yang dibawa oleh para nabi karena Islam

merupakan substansinya yang bersifat universal dan bersesuaian meski bentuk-

bentuk kewajiban dan kegiatannya berbeda-beda. Para nabi, seluruhnya,

menyerukan dan mewasiatkan Islam.48

Dalam pernyataan tentang hakikat dîn Islam tersebut, Muhammad Abduh

tidak menjelaskan dari sudut etimologisnya, tetapi berupa ungkapan yang

menguraikan kedudukan dîn Islam bagi manusia dan kehadiran dîn Islam bukan

ciptaan para nabi Allah, sebagaimana dituduhkan oleh para penentang dakwah

para nabi Allah. Oleh karenanya, Rasyid Ridha memberikan penjelasan

etimologis dîn Islam ketika mengomentari penjelasan gurunya, menurutnya

bahwa, agama secara etimologis adalah balasan, kepatuhan, ketundukan atau

sebab adanya balasan. Para ulama berpendapat bahwa apa yang menjadi

kewajiban manusia disebut syariat dari sisi peletakan dan penjelasannya, disebut

dîn (agama) dari segi ketundukan dan ketaatan terhadap pembuat syariat, dan

disebut millah dari segi kewajiban-kewajiban secara umum. Kata „islâm�

merupakan bentuk mashdar dari kata „aslama� yang bermakna tunduk dan

47 Al-Manâr, jld. II, hlm. 69. Abduh mengacu antara lain pada Q.S. al-Najm (53):4, ayat ini

mengenai apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW adalah wahyu Allah SWT, dan al- Baqarah (2): 165 dalam menjelaskan makna al-dîn, ayat ini mengenai bagian perilaku orang beriman dan orang musyrik.

48Al-Manâr, jld. III, hlm. 257. Dalam memahami dien Islam ini, Abduh mengacu pada Q.S. Ali Imran (3):19, ayat ini mengenai Islam agama dari Allah.

86

berserah diri, juga bermakna „addâ� (menunaikan) seperti dalam contoh ungkapan

berikut:“Saya menunaikan sesuatu kepada Si Fulan jika saya melaksanakannya,”

juga bermakna „dakhala� (masuk) dalam kedamaian. Kata „islâm� dengan harakat

fathah atau kasrah bermakna kebaikan dan keselamatan, serta gerakan yang bersih

dari sesuatu. 49

Kemudian, Muhammad Abduh mengemukakan dua macam sasaran utama

dîn Islam sebagai peraturan Allah bagi manusia, yaitu menurutnya bahwa, Allah

mensyariatkan agama untuk dua hal pokok, yaitu:

Pertama, penyucian ruh dan pemurnian akal dari keyakinan-keyakinan

menyimpang dengan kekuatan gaib bagi segenap makhluk dan kemampuannya

untuk berperilaku di alam ini guna penyelamatan dari ketundukan dan

penyembahan kepada sesama makhluk atau yang lebih rendah lagi dalam hal

kapasitas dan kesempurnaannya; dan

Kedua, memperbaiki hati dengan tujuan yang baik dalam berbagai

kegiatan dan memurnikan niat karena Allah bukan karena manusia. Ketika dua

tujuan ini terwujud, terlepaslah fithrah dari ikatan-ikatan yang mengungkungnya

sehingga tidak bisa sampai pada kesempurnaan secara individual dan komunal.

Lagipula, kedua hal ini merupakan substansi maksud dari kata „islâm.� Adapun

kegiatan-kegiatan ibadah disyariatkan guna mendidik ruh perintah ini terhadap

ruh penciptaan. Oleh karena itu, dipersyaratkan adanya niat dan keikhlasan. Sekali

terdidik dengan baik, mudahlah bagi pemiliknya untuk menunaikan segala

kewajiban moral dan keadaban yang dengannya ia sampai pada „al-madinah al-

fadhilah� dan perwujudan cita-cita kaum bijak. 50

Dari penjelasan Muhammad Abduh tentang hakikat Islam dari segi status

keberadaan dan sasarannya, terdapat beberapa dimensi utama yang terkandung

dalam hakikat Islam yang mencirikan keberadaannya, yaitu: (1) peraturan buatan

49 Al-Manâr, jld. III, hlm. 257. Makna etimologis ini, lebih lanjut, bandingkan dengan Abd

al-Wadud Yusuf, Tafsîr al-Mu�minîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1960), hlm. 40-41, dan Khalid Abd al-

Rahman al-„Ak, Shafwah al-Bayân li Ma�âni al-Qurân al-Karîm (Beirut: Dâr al-Salam, 1994), hlm. 52.

50 Al-Manâr, jld. III, hlm. 257-258. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran (3):18, ayat ini mengenai pelaku syahadah ilahiyah; Allah, malaikat dan ilmuwan.

87

Allah SWT.,51 (2) bukti kebaikan Allah kepada manusia sebagai makhluk sosial,

(3) berlaku universal bagi semua nabi Allah, (4) penjernihan jiwa dari

kemusyrikan dan penyelamatan akal dari kejumudan, (5) perbaikan hati dengan

menempatkan tujuan dan tekad yang tulus karena Allah SWT semata dalam

semua tindakan pengamalan ajaran, (6) mendidik jiwa dengan beribadah kepada

Allah yang berhak diibadati, dan (7) peradaban terlahir dari perilaku keruhanian

manusia dalam menjalankan ajaran.52

Menurut Muhammad Abduh, Islam memiliki tiga macam asas utama yang

mencirikan universalitas inti ajarannya yang dibawa oleh para nabi Allah dan para

rasul-Nya. Dan siapa saja yang mengingkari dan meninggalkan tiga asas utama

ini, maka ia dihukumi sebagai murtad, yakni orang yang keluar dari status sebagai

Muslim dan kembali menjadi non-Muslim. Mengenai tiga macam asas utama

Islam, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, keluar dari Islam (murtad) adalah

keluar dari tiga asasnya yang fundamental, yakni: (1) keimanan bahwa alam raya

yang sempurna ini merupakan kesatuan tatanan-Nya dan kecermatan ketentuan-

Nya. Ia merupakan Tuan (Rabb) dan Tuhan (Ilâh) yang menciptakannya dan

menyempurnakannya dengan kekuasaan-Nya dan hikmah-Nya tanpa pembantu

dan perantara. Tidak ada kekuatan lain yang bisa mengutak-atik alam kecuali

orang yang mendapat petunjuk-Nya dengan memunculkan sunnah-sunnah-Nya

pada berbagai sesab atau yang disebabkan. Maka haruslah mereka menyembah

Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Prinsip ini

merupakan puncak pemikiran akal manusia dalam berkeyakinan dan

membersihkan diri dari beragam khurafat dan pikiran sesat; (2) keimanan

terhadap alam gaib dan kehidupan akhirat. Keimanan ini merupakan salah satu

rukun prestasi keluhuran diri manusia yang tidak bisa mencapai alam itu kecuali

51 Pengertian dîn Islam sebagai peraturan buatan Tuhan digunakan oleh Sa�id bin

Muhammad Ba�syan. Ia menulis:

dalam karyanya Busyrâ al-Karîm bi Syarh Masâil al-Ta�lîm (Jeddah, Al-Haramayn, tt.), hlm. 4. 52 Bandingkan dengan Khurshid Ahmad, Pesan Islam, terj. Islam: Its Meaning and

Message, oleh Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1983), hlm. 326- 327, tentang esensi Islam, dan Khurshid Ahmad dkk., Islam Sifat, Prinsip Dasar dan Menuju Kebenaran, terj. The Islamic Foundation, oleh A. Nashir Budiman (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995).

88

kesempurnaan dan kesadaran bahwa keberadaan mereka lebih sempurna dan lebih

kekal ketimbang apa yang dapat mereka perkirakan; dan (3) amal saleh yang

membawa manfaat bagi pelakunya dan sekalian manusia.53

Maka ketiga prinsip utama yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul ini tidak

ada manusia yang meninggalkannya setelah mengetahuinya dan mengambilnya

kecuali akan terjerembab ke dalam kenistaan. Ia tidak akan memperoleh

kesempurnaan apapun di dunia dan akhirat, malahan termasuk orang berjiwa

kotor dan memiliki ruh yang gelap yang tidak memiliki tempat di akhirat kecuali

ruang kenistaan dan kehinaan.54

Dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa,

kecerdasan akal dan kejernihan jiwa manusia merupakan akibat dari

merealisasikan tiga pilar dan asas utama agama Islam, dan sebaliknya, manusia

akan menjadi nista, hina, dan rugi jika meninggalkan tiga pilar dan asas utama

agama Islam ini, yaitu: (1) keimanan akan adanya Allah SWT. Pencipta semesta

alam dan segala hukumnya, (2) keimanan akan adanya alam gaib dan kehidupan

akhirat, dan (3) amal saleh yang bermanfaat bagi pelakunya dan orang lain.55

Tiga asas utama agama Islam yang diyakini Muhammad Abduh

menunjukkan adanya integrasi antara penggunaan akal dalam memahami hukum-

hukum alam, di satu sisi, dan, di sisi lain, penguatan hati dalam meyakini hukum-

hukum dalam ajaran agama Islam yang mengatur kehidupan alam manusia.

Pemikirannya ini menyiratkan adanya pengaruh dari pemikiran-pemikiran

sebelumnya yang pernah ia pelajari. Misalnya, pemikiran Ibn Rusyd (1126-

1198M) yang terlebih dahulu telah melakukan hal yang sama.56

53 Al-Manâr, jld. II, hlm. 318-319. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al- Baqarah (2):217, ayat ini mengenai ketentuan peperangan di jalan Allah dan konsekuensi orang murtad dan kafir. Tawhid Allah merupakan puncak pemikiran akal manusia dalam pandangan Abduh ini, lebih lanjut bandingkan dengan Abul Qasim al-Khuli, Menuju Islam Rasional: Sebuah Pilihan Memahami Islam, terj. Rationality of Islam, oleh Dede Azwar N. (Jakarta: Hawra Publisher, 2003).

54 Al-Manâr, jld. II, hlm. 319. 55 Tiga pilar dan asas utama Islam ini bagi Waqar Ahmed Husaini merupakan tritunggal

kaum muslimin dalam mengembangkan syariat Islam. Lihat karyanya Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, terj. Environmental Systems Engineering, oleh Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka ITB, 1983), hlm. 78-79.

56 Lihat Abu al-Walid bin Rusyd, Fashl al-maqâl fî mâ bayn al-Hikmah wa al-Syari�ah min

al-Ittishâl (Mesir: Dâr al-ma�arif, 1969), hlm. 22-23.

89

Dalam proses dakwah, inti ajaran Islam yang dijadikan materi dakwah

bagi seluruh umat manusia, menurut Muhammad Abduh terdapat empat macam,

hal ini dikemukakan ketika menafsirkan Q.S. al-Bâqarah (2): 21, yaitu (1) tawhid

ulûhiyyah dengan menyembah Allah sendiri serta memperhatikan tawhid

rubûbiyyah; (2) Al-Qurân sebagai ayat-Nya yang agung dan agama-Nya yang

terperinci; (3) kenabian Muhammad SAW. yang diutus dengan membawa Al-

Qurân ini, dan (4) balasan di akhirat atas kekufuran dan tindakan-tindakan yang

mengikutinya dengan neraka dan terhadap keimanan dan tindak-tanduk yang

mengikutinya dengan balasan surga.57

Mengenai bidang akidah sebagai materi dakwah tersebut telah dikupas

secara rinci dalam karya Muhammad Abduh Risâlah Tawhîd.

b. Karakteristik Islam

Karakteristik Islam dimaksudkan sebagai sifat khas dan prinsip-prinsip

yang dimiliki Islam yang dengannya ia berbeda dengan yang non_Islam. Berikut

dikemukakan beberapa sifat khas Islam menurut pandangan Muhammad Abduh.

Pertama, Islam merupakan dîn al-fithrah (agama fitrah). Prinsip ini

dijelaskannya ketika Muhammad Abduh menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):138,

bahwa ayat ini mengisyaratkan bahwasanya dalam Islam tidak diperlukan upaya

membedakan seorang Muslim dari yang lainnya dengan kegiatan-kegiatan yang

dibuat-buat seperti salib dalam kasus Nasrani, misalnya. Apa yang menjadi

identitas seorang Muslim adalah apa yang disematkan oleh Allah dalam dirinya

berupa fithrah lurus yang mewujud dalam bentuk keikhlasan, cinta kebaikan,

keseimbangan, dan niat baik. Sesungguhnya, dalam tradisi Al-Qurân, Islam itu

merupakan agama seluruh nabi sebagaimana ia juga merupakan agama fithrah.58

57 Al-Manâr, jld. I, hlm. 183. Bandingkan dengan uraian mengenai empat pokok agama Islam oleh Muhammad bin Shalih al-Utsamain, Syarah Tsalâtsah al-Ushûl (Ryadh: Dâr al- Tsuraya, 1994), hlm. 12-15.

58 Al-Manâr, jld. I, hlm. 486 dan Al-Manâr, jld. IV, hlm. 348. Ketika menafsirkan QS. Al- Rum (30):30, al-Sa�di menjelaskan hakikat fitrah sebagaimana ia menulis:

90

Kedua, Islam merupakan agama ummah wasathâ (umat siger-tengah).

Prinsip ini dijelaskan Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah

(2):143. Menurutnya bahwa bagi umat Islam, Allah telah menghimpun dalam

aspek agamanya dua kebenaran yakni kebenaran ruh dan jasad. Maka Islam itu

bersifat ruhani dan jasmani. Bahkan jika mau, saya berpendapat bahwa

masyarakat Islam itu diberi seluruh hak kemanusiaan. Manusia itu terdiri atas

jasad dan ruh, hewan dan malaikat. Maka seolah-olah Allah berfirman: “Kami

menjadikan kamu sekalian sebagai umat pertengahan.” 59

Ketiga, Islam merupakan agama keadilan dalam semua aspek kehidupan

baik ruhaniyah maupun jasadiyah. Prinsip ini dijelaskan Muhammad Abduh

ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran (3):19, bahwa Allah SWT memberikan

persaksian semacam itu seraya tegak dalam keadilan karena Dia Maha Adil dalam

hal agama, syariat, dalam hal alam dan kealaman. Termasuk di antara yang

pertama adalah penetapan keadilan dalam akidah seperti tawhid yang merupakan

titik-tengah antara anti-tuhan dan kemusyrikan. Termasuk di antara yang kedua

adalah hukum-hukum penciptaan dalam alam raya dan manusia yang

menunjukkan hakikat akidah yang tegak di atas asas keadilan. Maka siapa saja

yang melihat pada hukum-hukum tersebut dan tatanannya yang detail, akan

tampaklah baginya keadilan universal Allah. Menegakkan keadilan semacam ini

merupakan sinyal terhadap bukti akan kebenaran persaksian Allah Ta�ala dalam

makhluk hidup dan alam raya, karena kesatuan organisasi dalam keadilan tersebut

menunjukkan kesatuan penciptanya. Hal ini membantah penafsiran sebagian

mufasir atas maksud persaksian yang dipahami sebagai wujud persaksian itu

Abd al-Rahman bn Nâshir al-Sa�di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2001), hlm. 641. Selanjutnya al-Sa�di dab Taysîr.

59 Al-Manâr, jld. II, hlm. 4-5. Selain ummah wasathâ, karakteristik Islam bagi Yusuf Qaradhawi adalah Robbâniyyah (ketuhanan), insâniyyah (kemanusiaan), syumûl (universal), waqi�iyyah (kontekstual), wudhûh (jelas), thathawwur wa tsabât (integrasi antara transformasi dan konsistensi). Selanjutnya lihat Yusuf Qaradhawi, Karakteristik Islam Kajian Analitik, terj. Al- Khashâish al-„Âmmah lî al-Islâm, oleh Rofi Munawwar,Lc. dan Tajuddin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 1-241.

91

adalah penciptaan sesuatu yang menunjukkan keesaan berupa tanda-tanda alam

dan makhluk hidup.60

Muhammad Abduh percaya bahwa, hukum-hukum Allah SWT. berkenaan

dengan ibadah, adab, dan berbagai amal diletakkan di atas dasar keadilan antara

kekuatan ruhani dan badani dan antara sesama manusia satu sama lain. Itulah

sebab mengapa Allah memerintahkan untuk dzikir dan syukur kepada-Nya dalam

salat dan ibadah lainnya guna meningkatkan kemuliaan ruh dan menyucikannya.

Allah juga membolehkan hal-hal yang baik dan perhiasan untuk memelihara

kesehatan badan dan mendidiknya. Allah juga melarang sikap ekstrem dalam

beragama dan berlebihan dalam hal duniawi. Itulah keadilan. Ini merupakan

bentuk keadilan dalam ibadah dan kegiatan duniawi. Adapun keadilan dalam hal

adab dan moral, amat jelas dalam Al-Qurân seperti jelasnya perintah adil dalam

pemutusan hukum. Allah berfirman “Sesungguhnya Allah memerintahkan

keadilan dan kebajikan...” (QS. 16:90) dan Dia juga berfirman: “Jika kamu

sekalian memutuskan hukum di tengah manusia, hendaknya memutuskan hukum

secara adil..” (QS. 4:58). 61

Keempat, Islam merupakan agama anti-kezaliman. Prinsip ini dijelaskan

oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):258, bahwa yang

dimaksud dengan kezaliman dalam kasus ini adalah penyimpangan dari cahaya

ilahi yaitu cahaya akal yang menjadi pedoman operasional akal dalam jalan

agama. Maka siapa pun yang menzalimi dirinya dengan memadamkan lampu

tersebut lalu ia berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan, maka ia tidak mendapat

petunjuk dalam perjalanannya menuju jalan lurus (al-shirât al-mustaqîm) yang

menghantarkannya kepada kebahagiaan. Alih-alih, ia tersesat dari jalan lurus

hingga ia binasa tak tentu tujuan. 62

60 Al-Manâr, jld. II, hlm. 256. Karakteristik Islam sebagai agama keadilan ini bis dibandingkan dengan pendapat Sayid Quthb tentang ciri khusus citra Islam, lihat Sayid Quthb, Ciri Khusus Citra Islam dan Landasannya, terj. Al-Khashâis al-„Âmmah li al-Islâm oleh Abu Laila dan Muhammad Thahir, (Bandung:Pt. Al-Ma�arif, 1988), hlm. 63-287.

61 Al-Manâr, jld. III, hlm. 256. 62 Al-Manâr, jld. III, hlm. 47. Menurut al-Sa�di, al-zhulm adalah:

(lawan dari keadilan dan ia mencakup kezaliman seseorang terhadap dirinya sendiri dengan

beragam kemaksiatan dan kemusyrikan, serta

92

Kelima, Islam merupakan agama yang mementingkan keseimbangan

mencari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad

Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):207, bahwa sesungguhnya Islam

mendorong kita untuk mencari kesenangan duniawi melalui cara-cara yang baik,

sebagaimana ia mendorong kita untuk mengejar kebahagiaan akhirat. Bahkan hal

itu diperkuat sedemikian rupa. Mencari kesenangan duniawi melalui berbagai

jalan yang baik yang disyariatkan dan fungsional tidaklah menghilangkan

keridhaan Allah SWT. Kita boleh menikmatinya secara halal sambil kita tetap

mendapat pahala dan ridha Allah SWT. 63

Keenam, Islam merupakan agama yang memberikan kebebasan memilih

dan tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Prinsip ini dijelaskan oleh

Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):256, bahwa Allah

menjelaskan buat mereka bahwa pemaksaan itu terlarang dan bahwa pokok

dakwah Islam adalah menjelaskannya sehingga tampak jelas antara jalan terarah

dan jalan sesat dan bahwa manusia kemudian diberi kebebasan untuk menerima

atau tidak menerima seruan dakwah itu. 64

Ketujuh, Islam merupakan agama yang mencintai kedamaian dan

keamanan. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S.

Al-Nisa (4):86, bahwa ditetapkannya ucapan salam kaum Muslim adalah “salâm”

guna mensosialisasikan bahwa agama mereka merupakan agama kedamaian dan

keamanan dan bahwa mereka merupakan masyarakat pengusung kedamaian dan

cinta keselamatan. 65 Karakteristik Islam yang ketujuh ini sama dengan pendapat

Abdul Rozak Naufal, bahwa Islam mengajarkan cinta damai, cinta keamanan, dan

anti perbudakan, anti rasialisme dan sukuisme sebagai penyebab kekacauan dan

pertengkaran umat.66

kezaliman terhadap orang lain dalam hal darah, harta, dan kehormatan mereka). Al -Sa�di, Taysîr, hlm. 943.

63 Al-Manâr, jld. II, hlm. 256. 64 Al-Manâr, jld. III, hlm. 39. 65 Al-Manâr, jld. V, hlm. 311. 66 Selanjutnya lihat Abdul Rozak Naufal, al-Quran dan Masyarakat Modern, (Jakarta:

Mutiara, 1981), hlm. 22-43.

93

Kedelapan, Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi persaudaraan

antarindividu dan sosial, dengan implementasi secara bertahap. Prinsip ini

dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):256

dan menghubungkannya pada Q.S. Al-Nur ayat 27, bahwa sesungguhnya Islam

merupakan agama semua orang. Di antara tujuannya adalah menebarkan

keluhuran adabnya dan keunggulan nilai-nilainya di tengah manusia meski

dengan cara bertahap. Islam mendekatkan satu manusia sama lain agar mereka

menjadi masyarakat manusia yang bersaudara. 67

Kesembilan, Islam merupakan agama yang mampu dilaksanakan, ringan

dan tidak sulit. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan

Q.S. Al-Baqarah (2):286, bahwa “Allah tidak memberikan kewajiban kecuali

sesuai dengan kemampuan manusia”. Kemampuan adalah sesuatu yang manusia

mampu melakukannya tanpa susah-payah dan kesulitan. Maksudnya adalah

bahwa, sejatinya Allah dan sunnah-Nya berkaitan dengan pensyari�atan agama,

Allah tidak membebani kepada hamba-hamba-Nya dengan tugas-tugas di luar

kemampuannya.68

Hakikat, sasaran, dan prinsip-prinsip Islam yang menjadi sifat khas yang

melekat dalam islam sebagai materi dan agama dakwah yang telah dikemukakan

oleh Muhammad Abduh mencakup aspek hikmah al-tasyrî�, yakni tujuan, dan

nilai guna yang dikandung dalam syari�at Islam sebagai agama samawi yang

universal. Sebab, hikmah al-tasyrî� yang mencakup empat macam persoalan

pokok terdapat dalam pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana dikaji oleh Ali

Ahmad al-Jurjawi, menurutnya bahwa, seluruh syari�at samawi tertuju pada empat

hal, yaitu: (1) mengenal, mengesakan, dan memuliakan Allah serta menyebut-Nya

dengan sifat-sifat kesempurnaan, sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, sifat-sifat yang

mustahil bagi-Nya, dan sifat-sifat yang boleh bagi-Nya; (2) tata cara pelaksaan

ibadah kepada-Nya yang mencakup pengagungan terhadap-Nya, mensyukuri

nikmat-Nya yang tidak bisa kita menghitungnya “Jika kamu sekalian menghitung

67 Al-Manâr, jld. V, hlm. 313. 68Al-Manâr, jld. III, hlm. 145. Prinsip ini dalam ushûl al-fiqh disebut “taqlîl al-takâlîf,”

“�Adam al-haraj,” dan “al-tadarruj fî al-tasyrî�.” Lihat Abd Wahab al-Khalaf, „Ilm Ushûl al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1942), hlm. 64-68.

94

nikmat Allah, kalian tidak akan kuasa menghitungnya,”; (3) himbauan untuk

melakukan amar ma�ruf nahy munkar berperangai dengan etika yang mulia, moral

yang bersih, dan nilai-nilai luhur yang mengangkat manusia ke berbagai martabat

kemuliaan dan keluhuran, seperti solidaritas menolong orang butuh, menjaga

tetangga, memegang teguh amanah, sabar, dan semacamnya, yang itu semua

merupakan nilai-nilai keunggulan yang agung; dan (4) memberi sangsi pelanggar

batas dengan legislasi undang-undang menyangkut relasi sosial sehingga

organisasi sosialnya tidak tercela dengan masalah stabilitas untuk melaksanakan

sang-sangsi tersebut (yang diabaikan pada aman sekarang) dan perangkat hukum

lainnya yang berkaitan dengan organisasi kehidupan mereka. Keempat hal ini

merupakan tujuan diturunkannya berbagai syariat agama samawi. 69

Selain memuat aspek hikmah tasyri�, corak pemikiran Muhammad Abduh

dalam memahami hakikat, sasaran, dan prinsip-prinsip Islam memuat pilar-pilar

modernisme Islam (tajdîd). Hal ini dipahami dari pemikiran Muhammad Abduh

yang didalamnya terdapat ciri kemodernisan, yaitu bahwa, manusia hendaknya

menguasai alam, tidak dikuasai alam, dengan menggunakan nalar dalam

memahami hukum alam dan hukum kehidupan manusia. Hal ini dimaksudkan

untuk mewujudkan keadilan dalam semua aspek kehidupan dan menyadari akan

kezaliman sebagai penyebab kegagalan sistem sosial kehidupan manusia dalam

sejarah kehidupan manusia.70

Selain itu, apa yang menjadi karakteristik Islam sebagai pesan dakwah

membuat imbauan pesan yang dapat memenuhi kebutuhan mad�unya, baik

imabauan rasional, emosional, rasa takut, ganjaran dan motivasional.71

69 Lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyrî� wa Falsafatuh (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 7.

70 Selanjutnya, mengenai corak pemikiran modern ini, lihat Hasan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi, terj. Humûm al-Fikr al-Wathan, oleh Khairan Nahdiyyin (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003), hlm. 90-91, dan Gustave E. Von Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keragaman, terj. Unity and variety in Muslim Civilization, oleh Effendi N. Yahya (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), hlm. 274-394 dan Azim Nanji (ed.), Peta Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, terj. Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity, and Change, oleh Muamirotun (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. 325-327.

71 Selanjutnya lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remadja Rosdakarya, 1994), hlm. 297.

95

Mengenai pesan dakwah bagi mad�u yang sudah beragama Islam, yang

disebut ummah al-ijâbah, menurut Rasyid Ridha bahwa, hukum-hukum syariat

yang bersifat praktis, baik yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun

yang berhubungan dengan masalah mu�amalah menjadi materi dakwah dalam

rangka pembentukan umat. Hal ini sebagaimana terkandung dalam Q.S. al-

Bâqarah yang ringkasannya menurut Rasyid Ridha, yaitu: (1) menegakkan shalat

dan menunaikan zakat, yang bagi para pelakunya memperoleh pujian (ayat 3,

110); (2) pengharaman sihir sebagai fitnah dan kekufuran; (3) hukum-hukum

qishas dan hikmahnya bagi para pelakunya (ayat 178, 179); (4) ketentuan wasiat

bagi kedua orang tua dan para kerabat (ayat 181, 182); (5) hukum-hukum shaum

dan perinciannya (183-187); (6) pengharaman memakan harta manusia dengan

cara yang batal dan ketentuan hukum bagi pelanggarnya (ayat 188); (7) fungsi-

fungsi bulan untuk pelaksanaan agama, seperti waktu untuk shaum, haji, dan

ketentuan „iddah (189); (8) ketentuan-ketentuan perang sebagai upaya

membentengi dan melindungi agama, (ayat 190-195, 216-218, dan 224-252) ; (9)

perintah untuk mendayagunakan harta di jalan Allah dengan segala fungsi-

fungsinya (ayat 195, 254, dan 196-203); (10) ketentuan hukum haji dan umrah

(ayat 196-203); (11) ketentuan pendayagunaan harta bagi orang-orang yang

berhak memperolehnya (ayat 215, 219, dan 273); (12) pengharaman minuman

keras dan judi (ayat 219); (13) ketentuan pemeliharaan anak yatim (ayat 220);

(14) pengharaman terhadap mukmin laki-laki menikahi wanita-wanita musyrik

dan perempuan muslimat dinikahi orang-orang musyrik (ayat 221); (15)

pengharaman bersetubuh bagi suami istri yang istrinya sedang haid (ayat 222,

223); (16) ketentuan hukum bersumpah atas nama Allah (ayat 224,225); (17)

ketentuan hukum al-„ilâ (bersumpah tidak akan mencampuri isteri) (ayat

226,227); (18) ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan suami isteri

(ayat 228-237 dan 241); (19) ketentuan hukum riba dan bahayanya (ayat 275-

280); (20) ketentuan agama mengenai persaksian dalam mu�amalah (ayat 282 dan

283); (21) ketentuan hukum amalia berdo�a kepada Allah sebagai akhir dari surat

al-Bâqarah.72

72 Al-Manâr, jld. I, hlm. 109-110.

96

Macam-macam hukum syariat Islam tersebut menjadi bagian dari objek

kajian dakwah yang memfokuskan pada unsur maudhu� dakwah dan disiplin ilmu

yang mempelajarinya adalah fikih dan ushul fikih. Dalam ilmu dakwah dua

macam disiplin ilmu ini termasuk dasar-dasar teoritik materi dakwah.

2. Da’i dan Mad’u: Hakikat, Karakteristik Manusia dan Umat

Manusia dan umat dalam rukun dakwah merupakan bagian dari komponen

dakwah yang kepadanya taklîf syariat Islam diperuntukkan, baik sebagai dâ�i

maupun sebagai mad�u.73 Oleh karenanya, maka uraian mengenai hakikat

manusia, menurut Muhammad Abduh, dibatasi pada keberadaan manusia sebagai

mukallaf dakwah yang memiliki potensi nafs, dan dari nafs inilah terjadinya

perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Sebab, Muhammad Abduh percaya

bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan berpikir

melalui penalaran (al-hay al-nâthiq) maju-mundurnya kualitas kehidupannya

bergantung kepada proses perubahan nafs yang dimilikinya, ke arah mana

perubahan itu ditujukan dan berangkat dari pengaruh apa perubahan itu terjadi.

Pandangan Muhammad Abduh diistinbâth dari QS. Al-Ra�du: 11 dan Qs, al-

Anfal:53. Walaupun tidak menyebutkannya, terhadap ayat ini Muhammad Abduh

berpandangan bahwa, sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada

masyarakat berupa kenikmatan kecuali mereka mengubah sendiri apa yang ada

pada nafs mereka, sehingga hal ini mengakibatkan perubahan pada kegiatan-

kegiatan mereka. 74

Berikut beberapa pandangan Muhammad Abduh mengenai hakikat

manusia dan umat.

a. Hakikat Manusia

Muhammad Abduh mengakui bahwa manusia merupakan bagian dari alam

ciptaan Allah SWT. Keberadaan manusia terdiri dari kesatuan jasad (fisik, badan

73 Lihat Abd al-karîm Zaidan, Ushûl al-Da�wah, hlm. 5-6. 74 Lebih lanjut lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 54 dan 164 mengenai taghyîr anfûs, dan

Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 142-144 tentang hubungan fungsi qolam dalam memperoleh ilmu bagi manusia sebagai al-hay al-nâthiq.

97

kasar) dan ruh (nonfisik, badan halus). Ia dilengkapi dengan macam-macam

hidayah dan alat kehidupan sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.

Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa,

sesungguhnya manusia itu merupakan perpaduan jasad dan ruh, hewan dan

malaikat.75 Sementara itu, kata „al-nâs� merupakan nama bagi jenis manusia.

Menurut suatu pendapat, kata tersebut berasal dari kata „unâs,� lalu dibuang

hamzahnya ketika ditambahkan padanya alif dan lâm.76

Lalu Muhammad Abduh menegaskan bahwa, telah diciptakan untuk

manusia sejumlah indera untuk merasakan berbagai hal dan akal sebagai petunjuk

terhadap apa yang dirasakan oleh indera. Allah menggelar bagi manusia sejumlah

hukum agama dan tuntunan moral yang tidak terjangkau oleh kapasitas akal

mereka guna hidup secara terarah dan terpelihara kemaslahatannya dari

kemungkinan buruk dan memperkuatnya dengan janji dan ancaman. Maka,

siapapun yang kemudian terjebak ke dalam hal-hal buruk yang membahayakan

dan menyakiti dirinya, sehingga akibatnya, ia mendapat sangsinya, ia termasuk

orang yang mezalimi dirinya karena Allah tidak pernah menzalimi siapapun. 77

Dalam pandangan Muhammad Abduh tersebut, Ia menyebutkan unsur

jisim (fisik, badan kasar), ruh (nonfisik, badan halus), hayawan (hewan), dan

malak (malaikat) sebagai esensi manusia. Sedangkan dalam ungkapan ketiga,

Muhammad Abduh menyebutkan kelengkapan keberadaan manusia berupa

hidayah hawasi (pancaindera), hidayah akal dan hidayah al-dîn (agama) yang

membimbing penggunaan indera dan akal dalam menjalankan tugas hidup

kemanusiaan.

75 Al-Manâr, jld. II, hlm. 4-5. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah (2):143, ayat ini mengenai fungsi Rasul dan umatnya menjadi saksi kebenarannya bagi manusia.

76 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 322. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Nisa (4):1. Al-Qurân menggunakan term al-nâs sebanyak 240 kali, al-insân 65 kali, ins 18 kali, unâs 5 kali dan basyar 36 kali, yang dalam tradisi tafsir dipandang sebagai kata-kata yang sinonim untuk menunjuk makhluk hidup berakal yang tidak buas dan sebagai makhluk sosial. Lebih lanjut lihat Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qurân, terj. Maqâl fî al-Insân, oleh

M. Adib al-Arief (Yogyakarta: 1997), hlm. 7-22 dan Muhammad Fu�ad Abd al-Baqi, al-Mu�jam al-Mufahras lî Alfâzh al-Qurân al-Karîm (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, 1995), hlm. 12-21, 93-94, dan 726-729.

77 Al-Manâr, jld. V, hlm. 106. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Nisa (4):40, ayat ini mengenai sifat adil Allah ang tidak mendzalimi hamba-Nya.

98

Jisim (fisik) atau jasad manusia terdiri dari jutaan jenis sel dan berbagai

macam benda mati. Sel-sel itu adalah makhluk hidup. Gerak-gerik dan kegiatan

sel sebagai makhluk hidup yang tunduk kepada sunnah Allah SWT (hukum yang

mengatur gerak alam ciptaan-Nya).78

Ruh (badan halus) berupa ether yang sejati hakikatnya merupakan urusan

Allah SWT. Ruh adalah makhluk hidup ciptaan-Nya. Ketika ruh menyatu dengan

jasad, manusia menjadi hidup di alam dunia. Hidup itu sendiri dicirikan dengan

gerak, tidak diam. Mengenai ruh ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, ruh

merupakan jisim halus (ether) dalam bentuk jasad bentukan yang merupakan

unsur pembentuk manusia di dunia. Melalui perantaraan jisim ether tersebut ruh

bersemayam dalam jasad material ini. Jika seseorang mati dan ruhnya keluar, ruh

itu keluar bersama jisim ether dan tetap bersamanya. Ia merupakan jisim yang

tidak berubah, tidak berganti, dan tidak bersulih. Adapun jisim terindera ini, ia

bisa berpindah dan berganti pada setiap sekian tahun. 79

Ruh (badan halus atau soul) dipakai untuk keadaan ruh belum bersatu

dengan jasad. Apabila persatuan telah nyata, ini disebut nafs atau jiwa. Nafs inilah

pada gilirannya menjadi pendorong terjadi sikap dan perilaku manusia.80 Ruh itu

juga merupakan sesuatu yang substantif serta responsif, sesuatu yang berdiri

sendiri, yang hidup dan menghidupi, sesuatu yang mempertanggungjawabkan

semua perbuatan manusia di hadapan Allah SWT di alam akhirat. Hidup

merupakan sifat-keadaan yang diciptakan oleh Allah Maha Pencipta menurut

kehendak-Nya.81

Muhammad Abduh meyakini bahwa makhluk hidup itu terdapat dua

bagian. Pertama, al-hayâh al-hissiyyah (hidup inderawi) yang dimiliki tumbuh-

tumbuhan (nabatât) dan hewan (hayawânât), baik hewan ternak dan semacamnya,

maupun manusia dari segi jasadiahnya. Kedua, al-hayâh al-ma�nawiyyah (hidup

78 Lihat Muhammad al-Sayid Arnûth, al-I�jâz al-„Ilmî fî al-Qurân al-Karîm (Kairo:

Madbuly, 1989), hlm. 231-233 dan Zuardin Azzaino, Asas-asas Psikologi Ilahiah: Sistem Mekanisme Hubungan Roh dan Jasad (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 3.

79 Al-Manâr, jld. II, hlm. 38-39. Pendapat Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah (2):154, ayat ini mengenai ruh para syuhada yng tetap hidup.

80 Lihat Syafa�at, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hlm. 32-33. 81 Lihat S. Komarulhadi, Insan Dilihat dari Beberapa Dimensi (Sala: PTDI, 1975), hlm. 79.

99

maknawi atau immateri) yang terdiri dari tiga macam, yaitu al-hayâh al-„aqliyyah

(kehidupan rasional), al-hayâh al-„ilmiyyah (kehidupan ilmiah), dan al-hayâh al-

rûhiyyah al-dîniyyah (kehidupan pembangkit keagamaan). Tiga macam hidup

yang terakhir ini dimiliki oleh manusia yang karenanya manusia memiliki daya

mengetahui („ilm), berkehendak (irâdah), daya mampu (al-qudrah), daya

mendengar (al-sam�u), daya melihat (al-bashar), dan saya berbicara (al-kalâm).82

Kemudian, Allah SWT memberikan hidayah sebagai kelengkapan hidup

kepada manusia. Hidayah secara etimologis diartikan oleh Muhammad Abduh

sebagai dilâlah, yaitu menurut bahasa berarti dilâlah (memberi petunjuk) secara

lemah lembut terhadap sesuatu yang mengantarkan pada suatu yang diinginkan.83

Kemudian, sejalan dengan arti etimologisnya sebagaimana disebut di atas,

menurut Muhammad Abduh, terdapat lima macam hidayah yang diberikan kepada

manusia dan hewan, sebagian ada yang hanya diberikan kepada manusia secara

khusus sebagai pembeda dari yang bukan manusia. Berikut penjelasan kelima

macam hidayah dimaksud.

Pertama, hidâyah al-wijdân al-thabî�î wa al-ilhâm al-fithrî (hidayah

perasaan hati instinktif dan inspirasi naluri). Hidayah ini diberikan kepada

manusia sejak kelahirannya berupa instink, misalnya menangis karena lapar dan

sakit. Hal ini tidak pernah diajarkan oleh kedua orang tuanya. Semua hewan yang

hidup diberi hidayah ini oleh Allah SWT. 84 Ahmad Musthafa al-Maraghi

berpendapat sama dengan Muhammad Abduh mengenai hidayah yang pertama ini

dan menyebutnya dengan hidayah ilham.85

Kedua, hidâyah al-hawâs wa al-masyâ�ir (hidayah indera dan emosi).

Hidayah ini berupa potensi kognitif indera lahir, yaitu pendengaran (telinga),

penglihatan (mata), penciuman (hidung), perasa (lidah), dan peraba (kulit).

82 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 73-74. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al- Fatihah:1.

83 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 62. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al- Fatihah: 6.

84 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 62-63. 85 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jld.I., (Beirut: Dar al-Fikr, tt)

hlm. 35. Ali Muhammad Hasan al-Amâri menyebutnya sebagai hidayah gharizah, lihat karyanya al-Qurân wa al-Thabâ�iât al-Nafsiyyah, (Riyadh:al-Lajnah Âmmah li al-Quraân wa al-Sunnah, 1966), hlm. 22.

100

Hidayah ini juga diberikan oleh Allah SWT. , selain kepada manusia, juga kepada

hewan yang hidup selain manusia yang pertumbuhannya lebih cepat ketimbang

manusia, sebab bagi manusia berlaku prinsip tadarruj (berangsur-angsur).86

Ketiga, hidâyah al-„aql (hidayah akal). Bagi manusia sebagai makhluk

sosial (al-basyar) tidak cukup dengan hidayah instink dan potensi inderawi,

karena dua macam hidayah ini sering melakukan kesalahan kognitif dalam

mengetahui obyek. Keduanya terbatas tidak mampu membuat analisis dan

generalisasi keragaman obyek tahu dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya,

diberikan hidayah akal yang mampu memahami, mengerti, membetulkan

kesalahan dan menunjukkan seba-sebab terjadinya kesalahan yang dialami oleh

potensi instink dan potensi hawasi. Akal ini hanya diberikan kepada manusia

tidak kepada hewan. Dengan akal ini manusia memiliki kebebasan berkehendak

dan memilih sesuatu sikap dan tindakan terhadap obyek yang dihadapinya.87 Ibn

Qayyim dan Muhammad Sulaiman al-Asyqâri berpendapat bahwa hidâyah al-dîn

hanya diberikan kepada manusia yang berakal, dan karena akal itulah manusia

menjadi objek taklif hidâyah al-dîn.88

Makna etimologis term 'aql sebagai bagian dari hidayah Allah berdasarkan

isyarat al-Quran yang semuanya menggunakan kata kerja mengandung makna

memahami, mengerti, dan merenungkan sesuatu secara mendalam segala ma�qûl

(obyek yang dipahami). Menurut Sayid Abul Majd, al-Quran mengisyaratkan

term turunan dan sinonim kata-kata yang semakna dengan 'aql, yaitu: (1) al-fikr

(berpikir), (2) al-ra'y (berpendapat), (3) al-nazhar (memperhatikan), (4) tadabbur

(berpikir mendalam), (5) al-fiqh (memahami), (6) al-rusyd (kesadaran), (7) al-

dzikr (mengingat), (8) al-lub (kecerdasan), (9) al-nuhd (mengekang), (10) al-hijr

(mencegah), (11) al-qalb ("hati"), (12) al-fu'âd (sentuhan hati), (13) al-hikmah

(kebijakan), (14) al-burhân (argument demonstratif), (15) al-bayyinah (penyajian

86 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63. 87 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63. 88 Lihat Ibn Qayyim al-Jawzi, Tafsir al-Qayyim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 9 dan

Muhammad Sulaiman al-Asyqari, Zubdah al-Tafsîr, (Riyadh: Dâr al-Nafâis, 2004), hlm. 7.

101

penjelasan), dan (16) al-huda (petunjuk).89 Keanekaragaman makna akal ini

menunjukkan keragaman fungsi akal bagi pemiliknya, yang membedakan

kediriannya dari makhluk hidup lain yang tidak berakal dalam mengatasi berbagai

macam problem kehidupannya.90

Mufasir al-Zamakhsyari memaknai kata kerja 'aql dalam tafsirnya dengan

(1) menggunakan kecerdasan (tafathn), (2) memahami (fahm) (3) mengikat

pengertian (dhabath), (4) memikirkan secara mendalam (nazhar), (5) mengambil

pelajaran (i'tibâr), (6) mengetahui ('ilm).91 Tafsir ini menjadi salah satu rujukan

bagi Muhammad Abduh. Bagi al-Fairuzâbâdi, term-term yang dipilih bagi makna

kata kerja akal dalam tafsirnya adalah: (1) menyadari dalam hati atau kesadaran

hati (al-dzikri), (2) membenarkan (tashdiq), (3) mengetahui (�ilm). dan

(memahami (fahm).92

Muhammad Abduh juga menjadikan Tafsir al-Jalalayn sebagai salah satu

acuannya ketika menjelaskan kosa kata dalam penafsiran term-term tertentu.

Imam al-Jalalayn menafsirkan makna kata kerja akal dengan: (1) memikirkan

secara mendalam (tadabbur), (2) mengetahui (�ilm), (3) memahami (fahm) dan (4)

mempercayai (iman).93 Termasuk mufasir pengikut Muhammad Abduh, Ahmad

Musthafa al-Maraghi memaknai kata kerja akal dengan menggunakan makna: (1)

memahmi (faqh), (2) mengikat pengertian (dhabt), (3) memikirkan secara

mendalam (tadabbur), (4) memperhatikan (nazhar), (5) memahami (idrâk), dan

(6) membedakan (tamyîz).94

89Lihat Sayid Abul Majd, "al-Malakat al-'Aqliyyah fl al-Qur'ân al-Karîm" dalam al- Muhâdharah al-'Âmmah, (Mesir. Mathba'ah al-Azhar, 1960), hlm 80-81, dan Ibrahim Anis dkk., al-Mu'jam al-Washit, (Kairo: Dar al-Ma'arif, I960), hlm 616.

90 Lihat Hasan Muhammad Musa, Qâmus Qurâni (Kairo: Maktabah Khalil Ibrahim, 1966), hlm. 343

91Lihat Abu al-Qasim Jar al-Lah Mahmud ibn 'Amr al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al- Kasyf 'an Haqâiq al-Tanzîl wa „Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta�wîl, (Beirut: Dar al-Ma'arif, tt.), hlm. 277, 289, 291, dan 326.

92Lihal Abu Thahir Muhammad bin Ya'qub al-Fairuzabadi al-Sairazi, Tanwîr al-Miqbas min Tafsîr Ibn 'Abbas, (Jedah: al-Haramayn, tt.), hlm. 7, 9, dan 18.

93 Lihat Jalal al-Din al-Mahally dan Jalal al-Din al-Suyuthy, Tafsir al-Qur'ân al-'Azhîm, (Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, tt.), hlm. 11, 23, dan 37.

94Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tqfsir al-Marâghi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), jld. I, hlm. 145, 149, dan jld II, hlm. 33-37. Mufasir Wahbah al-Juhaili mengikuti al-Maraghi memaknai kata kerja akal ini dalam tafsirnya al-Tafsir al-Wajiz 'ala Hamisy al-Qurân al-'Azhîm, sebagai ringkasan Tafsir al-Munîr karya yang sama tentang tafsir secara tahlîli.

102

Rumusan deskriptif hakikat akal yang dikemukakan oleh Muhammad

Abduh ketika menafsirkan ayat al-Quran yang memuat kata kerja �aql dan term

al-albâb (term kata kerja�aql dan al-albâb terlampir dalam lampiran 3) menurut

pemahaman penulis, dapat dirumuskan menjadi 10 (sepuluh) macam rumusan,

yaitu sebagai berikut:

Pertama, akal adalah bagian dari hidayah Allah kepada manusia selain

hidayah indera eskternal (al-hawâs al-zhâhirah) kesadaran hati (wijdân), dan

agama (al-dîn). Dengan hidayah-hidayah ini manusia dapat meningkatkan kualitas

kehidupannya secara berangsur-angsur (tadarruj).95

Dalam rumuan pertama ini, Muhammad Abduh memposisikan akal

sebagai salah satu hidayah Allah kepada manusia. Dengan hidayah akal ini

manusia menjadi mukallqf dari hidayah al-dîn (tata aturan hidup dan kehidupan

manusia). Empat macam hidayah ini merupakan sistem yang mendasari aktivitas

manusia dalam mengetahui sesuatu yang menjadi obyek tahu yang akan

mengantarkan kepada kebenaran yang sebenarnya. Sebab, hidayah memiliki

muatan makna bayân (penjelasan), dilâlah (proses pemahaman), tawfîq

(penyesuaian dan mencocokkan), dan ilhâm (intuisi kognitif) atas segala sesuatu

yang menjadi obyek penalaran sebagai aktivitas potensi akal. Hakikat hidayah ini

merupakan bagian dari muatan maknanya yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-

Jawzi.96

Pancaindera memiliki kemampuan mencerap obyek tahu, dan melalui

jendela pancaindera ini makna-makna obyek tahu itu diabstraksikan oleh akal,

kemudian diendapkan dalam memori sebagai makna sesuatu yang diketahui

melalui fungsi kesadaran hati (wijdân). Said Syekh menjelaskan term wijdân ini

sebagai "kognisi-kognisi intuitif, yaitu pemahaman melalui indera-indera dalam

(al-hawâs al-bâthinah) tentang makna-makna dan signifikasi-signifikasi berbagai

benda.97

95 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:44, lihat al-Manar, jld. I, hlm.288. 96 Lihat Ibn Qayyim al-Jawzi, al-Tafsîr al-Qayyim, (Libanon: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 9. 97 M. Said Syeikh, Kamus Filsafat Islam (A Dictionary of Muslim Philosophy), terj.

Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 181.

103

Term al-dîn (agama) sebagai salah satu macam hidayah disatukan ke

dalam penjelasan hakikat akal, tampaknya Muhammad Abduh ingin menegaskan

bahwa akal dan agama itu saling melengkapi. Tidak ada pertentangan di antara

keduanya. Hal ini memperkuat pandangannya mengenai perjuangan reformasi

yang digelar pada zamannya dalam memberantas belenggu kejumudan (taklid

buta).98 Sebab, salah satu rumusan hakikat agama adalah " tatanan hidup manusia

buatan Allah bagi orang yang berakal. Dengan aktualisasi daya ikhtiarnya,

manusia memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia kini dan di

akhirat kelak.99

Kedua, akal merupakan fithrah (sifat dasar yang melekat dalam penciptaan

insan) dan 'ahd al-Lâh (perjanjian ketuhanan) di alam ruh.100

Dalam rumusan hakikat akal yang kedua ini, Muhammad Abduh

mengaitkan akal dengan fithrah dan 'ahd al-Lâh. Hal ini menunjukkan bahwa akal

ada sejalan dengan perjalanan hidup manusia sejak awal penciptaannya.

Perjanjian ke-Tuhanan di alam ruh adalah peristiwa transendental di mana

manusia mengakui adanya Pengada yang Maha Esa, yaitu Allah SWT ketika di

alam ruh. Pengakuan ini inhern menjadi potensi diri dalam ruh yang immaterial.

Keinhernan yang diletakkan dalam penciptaan ini merupakan bagian dari makna

fithrah. Jadi, ia adalah pengakuan tauhîdullâh.101 Dalam perjalanan hidupnya,

manusia mengalami alam ruh, rahim, dunya, barzah (antara dunia dan akhirat),

dan alam akhirat.102 Para filosof Barat pun mengakui adanya potensi kognitif

(akal) di dalam ruh manusia yang berkemampuan memahami obyek tahu ketika

manusia mengetahui sesuatu. Dengan potensi ini pula manusia menjadi sadar akan

98Pendapatnya ini sejalan dengan pendapat Ibn Rusyd. Selanjutmya lihat Muhammad Yusuf Musa, Bayna al-Dîn wa al-Falsafah fi Ra'y Ibn Rusyd wa Falsafah al-'Ashr al-Wasîth, (Beirut: Al-Ashr al-Hadits, 1988), hlm. 102-103.

99 Lihat Said bin Muhammad Ba'syan, Busyra al-Karîm fi Masâ'il al-Ta'lîm. (Jedah: al- Haramayn, tt.), hlm 4,

100 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:44. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 290.

101Potensi fitrah dalam ruh ini dikaji oleh Ibn Qayyim al-Jawzi dalam bukuinya Rûh li Ibn al-Oayyim, (Beirut: Dar al-Qalam, 1403H).

102 Mengenai peristiwa yang dialami dalam masmg-masing alam ini, lihat Hadhari Nawawi, Hakikat Manusia menurut Islam, (Surabaya. al-Ikhlas, 1993), sebanyak 407 halaman.

104

perlunya moral agama dalam menjalankan fungsi hidupnya yang tidak bisa

mengadakan keadaan dirinya.103

Mengaitkan 'aql dengan rûh dan fithrah dalam penjelasan Muhammad

Abduh yang kedua ini menunjukkan bahwa akal berkaitan dengan persoalan ada

yang keberadaannya immaterial bagian dari obyek tahu dalam aktivitas beipikir

manusia pemilik akal. Term-term rûh, fithrah, dan 'aql ini menjadi kajian dalam

disiplin psikologi Islam.104 Selain itu, obyek akal akan berhubungan dengan obyek

yang berupa materi (mâddah), sebab term fithrah dan bentuk kata kerjanya

digunakan untuk menunjukkan penciptaan benda-benda empirikal berupa langit

dan bumi beserta segala yang ada di dalam dan di antara keduanya (Q.S. al-

An'am: 79 dan al-Anbiya: 56). Dalam kaitan adanya benda-benda material ini,

fithrah diartikan sebagai penciptaan segala yang ada dari tiada oleh Pengada,

yaitu Allah SWT yang Maha Pengada.105

Ketiga, akal memiliki muatan makna fungsional dan karakter yang sejalan

dengan term qalb, ada yang tenang (muthmainnah). la patuh kepada ketentuan

Tuhan (muhbit) dan, sebaliknya, yaitu ketika akal didominasi oleh pengaruh

potensi yang menyuruh kepada perilaku buruk (nafs ammarah bi al-sû)106.

Dalam rumusan akal yang ketiga ini, Muhammad Abduh menegaskan

kaitan akal dengan perilaku eksternal sebagai refleksi dari perilaku internal yang

subyek dan sumber perilaku itu adalah qalb dan nafs. Ketiga instrumen ruhiyah

manusia ini saling pengaruh-mempengaruhi. Akal dalam fungsinya sebagai tali

kekang, dapat mengendalikan aktivitas qalb dan nafs ke arah yang sesuai dengan

kehendak Allah dan ajaran din. Qalb yang disebut "hati" di antaranya berkarakter

fluktuatif. Begitu pula nafs menerima pengaruh daya tarik perangai rendah

tuntutan biologis (jasadiyah). Oleh karena itu. hati selain berfungsi sebagai locus

103 Lihat Van Der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia (Gmie Filosofen over de men), terj. K.Bertens, (Ycgyakarta Kanisius, 2000), hkr.. 174-177

104Lihat A.A.Wahab, An Introduction to Islamic Psychology, (Delhi: Institute of Objective Studies, 1996), hlm. 2-3, dan Yusuf Qardhawi, Al-Quran Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (AI-'Aql wa al-'IIm fi al-Qurân al-Karîm), terj. Abdulhay al-Katani dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 44,

105 Lihat Muhammad Ismail Ibrahim, Mu'jam al-Alfâdzh wa al-I'Iâm al-Qurâniyyah, (Kairo: Dâr al Fikr al-'Araby, 1969), hlm 402-403, dan Muhammad Hasan al-'Amari, al-Qurân wa al- Thaba�i al-Nafsiyyah, (Al-Raudhah: al-Majlis al-A'la li al-Syuûn al-Islamiyyah, 1966), hlm 34-35.

106 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. 2:44. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 301.

105

ilmu juga locus perilaku internal yang mendorong perilaku eksternal melalui

medium jasad manusia pemilik hati.107

Qalb didefinisikan, oleh al-Tibrizi, sebagai budi halus yang bersinar di

dalam struktur batin manusia sebagai tempat perilaku terpuji yang menyuruh

berbuat baik dan dapat mengenal Allah SWT.108 Al-Tibrizi membagi qalb ini

menjadi tiga macam: (1) qalb 'âm, yaitu potensi yang bergerak mengitari dan

berhubungan dengan keutamaan duniawi dan berkemampuan mentaati ketentuan

yang diperuntukkan baginya, (2) qalb khâsh, yaitu potensi yang bergerak di

sekitar akibat keutamaan duniawi, dan (3) qalb akhâsh al-khâsh, yaitu potensi

yang menerangi di Sidrah al-Muntahâ akar perilaku betah dalam beribadah dan

mendekatkan diri kepada Maha Penciptanya yang Maha Dekat.109

Sedangkan Nafs menurut al-Tibrizi adalah budi halus yang gelap dan

berada di dalam struktur batin manusia sebagai tempat munculnya perilaku tercela

yang menyuruh berbuat buruk. Sama seperti qalb. al-Tibrizi membagi nafs ini

menjadi tiga peringkat: (1) nafs 'âm, potensi jiwa yang mendorong berbuat buruk,

berdasarkan (Q.S. Yusuf: 53), (2) nqfs khâsh, yaitu potensi jiwa yang menyesali

dirinya, berdasarkan (Q.S. al-Qiyamah: 2), dan (3) nafs akhâsh al-khâsh, yaitu

potensi jiwa yang tenang yang secara total telah tunduk patuh kepada Allah SWT

dan memperoleh ridha-Nya, berdasarkan (Q.S. al-Fajr: 27). Potensi yang pertama

disebut nafs al-ammârah bi al-sû, yang kedua nafs al-lawwâmah, dan yang ketiga

nqfs al-muthmainnah.110

107 Lihat William C. Chittik, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu ('The .Sufi Paith of Knowledge: Ibn Arabi's Metaphisics of Imagination), terj. Achmad Nidjam dkk., (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 294-295, dan Ibrahim Basywai, Nasy'ah ai-Tashawuf aI-lsldmi. (Mesir. Dâr al-Ma'ârif, 1969), hlm, 58-62.

108 Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Malik al-Asy'ary al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, (Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah, 1981), hlm. 90.

109 Lihat al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, hlm. 91. Qalb yang ketiga inilah yang disebut al-Quran sebagai qalb salîm,

(Q.S. al-Syu�ara: 89 dan Q.S. al-Shaffat: 84). Tingkatan jiwa ini dimiliki oleh para nabi, wali

Allah, shâlihîn, dan mu�minîn yang muhbitîn. Selanjutnya lihat Sayid Abd al-'Aziz al-Darini, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li 'Alam al-Guyûb, (Jedah: al-Haramayn, tt), hlm. 243.

110 Lihat al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, hlm. 89, dan lihat Rif�at Syauqi Nawawi , Kepribadian Qurani, (Jakarta: WNI Press, 2009), hlm. 57-58.

106

Mengacu pada pendapat al-Tibrizi, maka kedudukan 'aql muthmainnah

dan muhbit berada pada peringkat qalb akhâsh al-khâsh dan nqfs akhâsh al-khâsh.

Penjelasan hal ini juga dikemukakan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan

Q.S. al-Syams ayat 8-10. Menurutnya, tazkiyah al-nafs adalah proses

menaklukkan pengaruh nafs peringkat pertama dalam diri manusia berakal.111

Keempat, akal adalah memahami (fahm) rahasia-rahasia hukum Allah dan

mengambil manfaat dengan mematuhi aturan yang diperuntukkan bagi manusia

berakal.112

Penjelasan dalam rumusan hakikat akal yang keempat ini, Muhammad

Abduh menggunakan fungsi kinerja akal berupa memahami terhadap obyek yang

dipahami yang terdiri dari rahasia-rahasia hukum Allah (sunan al-kawn dan sunan

al-khalq) dan mengambil manfaat dari obyek yang dipahami dan menunduki

aturan Allah bagi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa akal berkemampuan

memahami obyek material di balik materi melalui jendela indera pendengaran.

Term fahm digunakan untuk mengetahui proses mempersepsi makna sesuatu (al-

syai) yang tersimbolkan dalam bentuk kata. Sesuatu yang ditunjuk oleh kata itu

dapat berupa materi dan immateri dalam kerangka sarwa keadaan yang ada.113

Rahasia-rahasia hukum Allah adalah segala nilai manfaat dan tidak

manfaat di balik bentuk ukuran sesuatu dan tuntunan perilaku manusia dan

perilaku alam selain manusia, yang kesemuanya berpulang pada kebutuhan dan

kepentingan hidup manusia. Sesuatu yang diperintahkan mengandung nilai

manfaat jika dilakukan dan madharat jika ditinggalkan. Begitu pula, sesuatu yang

111 Lihat Muhammad Abduh, Tafsir Juz 'Amma, (Beirut: Dar Ibn Zaidun, 1989), hlm. 110- 113. Tafsir ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Muhammad Baqir dan diberi pengantar oleh M. Quraish Shihab dengan penerbit Mizan, Bandung, tahun 1998. Akal yang tercerahkan melalui tazkiyyah ini berkemampuan menangkap makna-makna yang diisyiaratkan dalam simbol bahasa dan gerak benda, dan disebut perilaku mutawassimîn (Q.S. al-Hijr. 75).

112 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:73. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 351.

113Selanjutnya lihat Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, (Beirut. Dar al- Fikr, 1993), jld. 1, hlm. 224, dan Abu Hilal al-'Askari, al-Lum'ah min al-Furûq, (Surabaya; al- Maktabah al-Tsaqafiyah, tt.), hlm. 10.

107

dilarang mengandung nilai madharat jika dilakukan dan bermanfaat jika

ditinggalkan.114

Muhammad Rasyid Ridha menguraikan secara mendalam mengenai

karakteristik hukum Allah yang berupa dîn Islâm yang di dalamnya terkandung

pemenuhan kebutuhan manusia dalam menegakkan aktivitas akal. Menurutnya,

tidak kurang dari sepuluh macam karakter Islam sebagai hukum Allah bagi

manusia berakal, yaitu sebagai (1) dîn al-fithr (agama fitrah), (2) dîn al-'aql

(agama rasional), (3) dîn al-fikr (agama pemikiran), (4) dîn al-'ilm (agama

ilmiah), (5) dîn al-hikmah (agama kebijaksanaan), (6) dîn al-burhân (agama

argumen demonstratif), (7) dîn al-hujjah (agama alasan), (8) dîn al-wijdan (agama

kesadaran hati), (10) dîn al-istiqlâl (agama kemerdekaan).115

Kelima, akal adalah daya nalar kecerdasan jiwa (al-nafs al-nâthiqah) yang

secara umum sejalan dengan muatan makna qalb. Qalb itu sendiri merupakan

suatu subyek aku yang ditunjuk pemiliknya ketika menampakkan diri sebagai

perpaduan potensi sanubari atau kecerdasan jiwa dan potensi nalar. Di dalam nafs

nathiqah itu tercakup daya kesadaran jiwa (wijdan), nalar ('aql), dan rûh yang

saling mempengaruhi di antara ketiganya ketika melakukan peran kognisi.116

Mengenai daya nalar kecerdasan jiwa dan ruh dalam rumusan hakikat akal

yang kelima tersebut, Muhammad Abduh mengakui adanya pengaruh sesuatu

yang immateri terhadap yang immateri. Hal ini sejalan dengan pendapat Abu al-

hasan ibn Yusuf al-Amiri, bahwa terdapat empat macam arus pengaruh, yang

salah satunya adalah pengaruh immateri (nafs) terhadap immateri (nafs). Pengaruh

lainnya adalah pengaruh immateri (nafs) terhadap materi (jism), pengaruh jism

terhadap nafs, pengaruh nafs terhadap jism, dan pengaruh jism terhadap jism.

Contoh bagi yang pertama adalah pengaruh nasihat, yang kedua seperti sihir

penyebab penyakit fisik, yang ketiga seperti bunyi benda, dan yang keempat

seperti daya magnetis. Selanjutnya, al-Amiri menegaskan bahwa Allah SWT

114 Selaniutnya lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh. (Beirut: Dar

al-Fikr. tt.), hlm. 7-10. 115 Term-term ini dapat dikaji dalam karya Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahy al-

Muhammadi, (Beirut. al-Maktabah al-Islami, 1971), sebanyak 430 halaman. 116 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:73. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 351

dan QS. Al-Baqarah: 164, Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 84.

108

meliputi dan menguasai segala yang ada dengan liputan taqdir. Jiwa dikuasai oleh

akal dan akal tunduk kepada Maha Penciptanya.117

Ibn Sab�in menjelaskan nqfs nâthiqah adalah potensi yang dimiliki oleh

manusia, selain nafs hewani dan nabati, yang berkemampuan menerima ilmu dan

kelembutan watak (hilm), mengetahui perbedaan nilai baik-buruk, menyenangi

kebaikan dan membenci keburukan. Nafs nâthiqah ini tetap hidup setelah fisik

kembali ke asalnya (mati). Nafs ini juga disebut sebagai al-nafs al-hikmiyah yang

berkemampuan menangkap hakikat wujud dan menganalisisnya dalam struktur

keilmuan.118

Term nafs nâthiqah ini merupakan potensi internal insan yang

berkemampuan memahami makna yang terindera. Oleh karenanya, menurut Ibn

Sina, nafs ini juga disebut akal yang berkemampuan ganda, yaitu daya

mengetahui dan daya menggerakkan untuk berperilaku eksternal. Kemampuannya

untuk mengetahui sesuatu lebih kuat ketimbang kemampuan indera.119

Keenam, akal adalah alat memahami sesuatu, pembeda eksistensi manusia

dari yang bukan manusia, berkemampuan mengkaji dan mengetahui hukum

kausalitas alam, memilah dan memilih nilai manfaat dan madharat di balik realitas

yang ada di balik rahasia keberadaan realitas alam dan hukumnya yang diciptakan

oleh Allah SWT, dan menjadikan keberadaan alam itu sebagai dalîl akan

keberadaan pembuatnya (Pengadanya), yaitu Allah SWT.120

Dalam rumusan hakikat akal yang keenam tersebut, Muhammad Abduh

lebih merinci kemampuan akal sebagai alat dalam memahami obyek tahu berupa

wujud alam, hukum-hukumnya, dan rahasia nilai manfaat dan madharat yang

berada di balik semua obyek tahu yang dapat diketahui oleh akal yang bermuara

pada pengetahuan keberadaan Maha Pencipta dan mentauhidkan-Nya. Rumusan

117 Selanjutnya lihat Evett K. Rowson, A Muslim Philosopher on the Soul and It's Fate: Al- Amiri's Kitab al-Amad 'ala al-Abad, (New Haven: The American Oriental Society, 1988), hlm. 88 dan 122.

118Lihat Abu al-Wafa al-Ghaynimi al-Taftazani, Ibn Sab�in wa Falsafah al-Tashawuf, (Beirut: Dâr al-Kitab al-Lubnani, 1973), hlm. 352-353.

119 Lihat Sayyed Hossein Nasr , Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Pen. Ach. Maimun Syamsuddin, (Yogyakarta: IRCiSod, 2006), hlm. 75-76.

120 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:164. Lihat al-Manâr, jld.II, hlm. 63-64 dan QS. Al-Baqarah: 179, Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 133.

109

ini sejalan dengan pendapat Naquib al-Attas yang berpendapat bahwa akal adalah

suatu substansi ruhaniyah yang memungkinkan diri rasional mengenali kebenaran

dan mampu membedakannya dari kepalsuan. Akal merupakan identitas diri yang

mendasari hakikat manusia yang diisyaratkannya ketika menyatakan aku bagi

dirinya.121

Term Fahm dimaksudkan sebagai quwwah mudrikah (daya memahami dan

mengetahui). Dengan menyebutkan term ini Muhammad Abduh ingin

menunjukkan kinerja akal dalam berhubungan dengan obyek di luar dirinya

adalah idrâk (memahami dan mengetahui). Secara eksplisit Muhammad Abduh

memasukkan ke dalam term fahm ini unsur merasakan sesuatu secara benar

(dzawq salîm) dan kehalusan kesadaran (luthf al-wijdân) sebagai pusat aktivitas

kinerja akal.122 Dalam hal ini Muhammad Abduh mengikuti pendapat Fakhr al-

Din al-Razi.

Term al-syu'ûr, al-fahm, dan al-hikmah (memahami rahasia sesuatu)

merupakan bagian dari penjelasan konsep idrâk sebagai kinerja akal diajukan oleh

Fakhruddin al-Razi. Menurutnya, indikator idrâk itu terdiri dari: (1) sampainya

pengetahuan pada hakikat obyek tahu (al-liqa wa al-wushûl), (2) menyadari

obyek tahu (al-syu�ûr) (3) mempersepsi obyek tahu (al-tashawwur), (4)

mengingat makna obyek tahu (al-hifzh), (5) menghadirkan kembali ingatan makna

obyek tahu (al-tadzakur), (6) suasana kembalinya ingatan makna obyek tahu (al-

dzikr), (7) mengetahui makna satuan obyek tahu secara parsial (al-ma'rifah), (8)

memahami makna simbol bahasa yang terdengar (al-fahm), (9) mengetahui

maksud pengguna bahasa (al-fiqh), (10) mengetahui makna bahan kesimpulan (al-

dirâyah), (11) mengetahui hakikat dan kegunaan obyek tahu (hikmah), (12)

meyakini obyek tahu (al-yaqîn), (13) merekam makna obyek dalam memori (al-

dzihn), (14) proses menghubungkan makna parsial menjadi kesatuan makna suatu

konsep (al-fikr), (15) menyerap makna obyek dalam jiwa (al-hads), (16) lintasan

makna dalam jiwa (al-khâtir), (17) kecerdasan menyerap makna yang sampai

pada yang dituju (al-dzakâ), (18) menyusun argumen yang akurat (al-fathânah),

121 Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains (Islam and the Philosophy of Science), terj. Saeful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 41.

122 Lihat al-Manâr, jld. I, hlm. 27.

110

(19) menduga makna obyek tahu (al-wahm), (20) menduga keras makna obyek

tahu (al-zhan), (21) imajinasi makna obyek terindera (al-khayâl), (22) mengetahui

obyek tahu secara langsung (al-badîhah), (23) mengetahui hubungan makna antar

obyek tahu secara langsung (al-awaliyat), (24) memahami obyek tahu secara

mendalam dan berulang-ulang (al-ruwyah), (25) menangkap makna nilai manfaat

obyek tahu (al-kayasah), (26) menguji akurasi makna obyek tahu (al-tajribah),

(27) menyusun satuan makna obyek menjadi keputusan rasional (al-ra'yu), dan

(28) menangkap makna internal obyek tahu dari yang eksternal (al-farasah).123

Memasukkan wujud alam beserta hukum-hukumnya, yang dapat diketahui

akal sebagai dalil keberadaan Allah yang menciptakannya, menjadi pembeda

pengetahuan berwawasan tauhid dari pengetahuan yang dikotomis sekuler. Dalil

sebagai sesuatu yang memandu ke arah yang dituju, yaitu kebenaran obyektif

rasional, spiritual, dan emosional yang terdapat dalam obyek tahu, berupa alam

yang tercipta oleh Pencipta, disebut dalil kosmologis keberadaan Pengada yang

ada sebagai obyek tahu.124

Ketujuh, akal adalah perpaduan daya kemampuan berpikir dalam otak dan

daya memahami dalam jiwa mengenai sesuatu yang dituju oleh subyek yang

diketahui (al-sya'i) yang berdampak pada perilaku.125

Dalam rumusan hakikat akal yang ketujuh tersebut, Abduh lebih

menekankan pada mekanisme kerja esensi akal dalam mengetahui obyek tahu (al-

sya'i) sebagai suatu sistem berpikir yang melibatkan unsur al-ma'na, al-dimâgh,

al-dzihn, al-nâfs, tadabbur, dan ta'ammul. Term-term ini dapat dijelaskan sebagai

berikut.

Pengertian al-ma'na, menurut Ibrahim Anis dkk., adalah sesuatu yang

ditunjukkan oleh kata tertentu.126 Sedangkan menurul Ibn Sina, makna adalah

123 Lihat Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jld. 1, hlm. 223-227, dan

Abu Ali Fadhl bin al-Hasan al-Thabrusi, Majma� al-Bayân fi Tafsîr al-Qurân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm 157-158.

124 Lihat Muhammad ibn Shahih al-Utsymin, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, (Riyad. Dar al- Tsiraya, 1994), hlm. 14-15.

125 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 242. Redaksi rumusan akal ini lengkapnya adalah

. al-Manâr, jld II, hlm. 453.

111

sesuatu yang diketahui oleh jiwa melalui cerapan indera, walaupun sesuatu itu

tidak diketahui terlebih dahulu oleh indera.127

al-Dimâgh (otak) adalah suatu alat di dalam tubuh manusia, yang selain

berfungsi menerima kenyataan dari segala peristiwa dan keadaan di luar badan,

juga menjadi alat untuk menyatakan hadirat manusia sebagai makhluk yang sadar

akan diri sendiri dan alam di sekeliilingnya.128

al-Dzihn difenisikan oleh Abu Hilal al-'Askari sebagai lawan dari

buruknya pemahaman, dan ia berarti sesuatu yang menyatakan tentang adanya

hafalan sesuatu yang diketahui.129

al-Nafs adalah potensi jiwa penalaran dalam diri manusia berapa daya

mcngetahui (quwwah 'aqliyyah, quwwah mudrikah, nafs nâthiqah) yang disebut

pula dengan qalb.130

Tadabbur yaitu memahami akibat-akibat obyek tahu secara mendalam dan

berpikir adalah kinerja daya nalar dalam mengetahui arti yang terkandung dalam

obyek tahu.131

Ta'ammul adalah merenungkan obyek tahu secara cermat dalam

memperoleh pengetahuan yang terjadi dalam durasi waktu tertentu.132

Pernyataan konsep dimagh dan nqfs dalam rumusan hakikat akal dalam

pendapat Muhammad Abduh menunjukkan bahwa adanya akal bukan di otak

semata, dan di dalam jiwa semata, tetapi bcrada di dalam keduanya sebagai satu

kesatuan.. Mengenai di mana tempat keberadaan akal ini dalam struktur ruhaniyah

manusia, berbeda dari pendapat Imam al-Syafi'i, akal berada di qalb berupa nûr

(cahaya) yang menunjukkan bukan materi. Sedangkan menurut Imam Hanafi,

126lbrahim Anis dkk, Qamûs al-Muhîth, hlm. 633. 127Muhammad Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr,

tt.), hlm. 474. 128 Lihat Paryana Suryadipura, Alam Pikiran Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993),

hlm. 7.

hlm. 9.

129Abu Hilal al-'Askari, al-Lum'ah min al-Furûq, (Surabaya Maktabah al-Tsaqafiyah, tt.), 130 Lihat Abu Hamid ibn Muhammad al-Gazali, Risâlah al-Laduniyyah, dalam al-Qushûr

al-'Awali, (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), hlm. 101. 131Abu Hilal al-Askari, al-Lum'ah min al-Furûq,hlm. 7. 132 lihat Abd al-Rahman al-'Aysawi, al-Islâm wa 'ilâj al-nafs, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986),

hlm. 41. dan Abu Hilal al-Askari, al-Lum'ah min al-Furûq, hlm. 7.

112

Imam Ahmad, dan pada umumnya pakar kedokteran, letaknya berada di dimâgh

(otak).133

Otak manusia yang beratnya rata-rata 1500 gram terdiri dari tiga bagian,

yaitu pangkal otak, otak kecil, dan otak besar. Pangkal otak terdiri dari susunan

sel-sel simpul saraf (ganglioncellen) yang besar-besar. Otak kecil yang berukuran

kira-kira sebesar jeruk manis dan tergantung pada bagian bawah dari otak besar

mempunyai susunan serat-serat yang menghubungkannya dengan otak besar dan

sumsum punggung yang sangat kompleks, sehingga belum dapat diketahui

semuanya. Sedangkan otak besar terletak di bagian depan pangkal otak, yaitu di

dalam rongga kepala. la tidak dapat tumbuh ke arah kehendaknya sendiri, tetapi

tumbuh seperti tanduk kambing jantan, mula-mula ke arah depan, kemudian

membelok ke atas dan ke belakang dan akhirnya ke bawah dan ke depan lagi.

Bagian depannya disebut belah dahi, bagian tengah disebut belah pinggir, bagian

belakang disebut belah kepala belakang, dan bagian bawah disebut belah

pelapisan.134

Jumlah sei-sel otak yang dimiliki masing-masing individu manusia

berbeda-beda banyaknya. Perbedaan inilah yang membedakan tingkat kecerdasan

masing-masing individu dalam memperoleh sejumlah obyek tahu melalui kegiatan

berpikir sebagai produk dari proses-proses bio-kimia yang terjadi di dalam otak.

Dan jumlah sel otak ini kira-kira sepuluh milyar sel otak.135

Menurut Isaac Asimov, seperti yang dikutip oleh Jean Marie Stine, bahwa

sel otak manusia itu sebanyak 200 milyar. la dapat menggunakan 100 milyar

informasi, memiliki gerak pikiran berkecepatan 300 mil per jam, dan memiliki

lebih dari 100 trilyun hubungan yang mungkin dibangun.136

133 Selanjutnya lihat Abd al-Rahman al-Shafuri, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhab al- Nafâis, (Jakarta; Dinamika Utama, tt.), hlm 271, dan Imam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al- Dîn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1955), hlm 20-21. Muhammad Husayn al-Thabathaba'i berpendapat ada di otak. Lihat al-Mizan fi Tafsîr al-Quran, (Beirut:Muassasah al-'Alamy, 1991), hlm. 53.

134 Selanjutnya lihat Paryana Suryadipura, Alam Pikiran Manusia , hlm 8-10. 135 Lihat Muhammad Mahmud Abdul Kadir, Biologi Iman (Biylujiyah al-iman), tei]

Rusjdi Malik, Cet 3, (Jakarta: Al-Hidayah, 1983). hlm 13. 136 Lihat Jean Marie Stine, Mengoptimalkan Daya Pikir, (Anonim: Delapratasa

Publishing, 2001), hlm. xxvi.

113

Perbedaan jumlah sel otak yang dimiliki oleh manusia membawa

perbedaan dalam kualitas dan kuantitas penguasaan obyek tahu. Menurut al-

Darini, terdapat tiga peringkat kemampuan manusia dalam menggunakan potensi

akal memikirkan obyek tahu: (.1) ilmuwan, yang mampu memikirkan segala alam

tercipta sebagai obyek pikir dan mampu mengambil keputusan ilmiah dan apa

yang dipikirkannya yang berujung pada meyakini adanya Maha Pencipta dirinya

dan obyek yang dipikirkannya, yaitu Allah SWT; (2) manusia bersyukur, yang

mampu memikirkan wujud lahir obyek tahu dan mengambil manfaat dari

keberadaannya; dan (3) manusia pekerja, yang mampu memikirkan apa yang

mesti diperbuat sebagai tugas kehambaannya.137

Begitu pula, manusia dengan daya ikhtiar yang dimilikinya tidak sama

mendayagunakan potensi akal dalam mengetahui obyek tahu dan terjadi

pemaknaan pada aspek-aspek tertentu yang membawa wujud perbedaan kualitas

dan kuantitas kepemilikan pengetahuan masing-masing inidividu manusia. Hal ini

bergantung pada penggunaan alat, bidang, bentuk, soal, dan obyek yang dipilih

dalam berpikir serta tujuan yang akan diperoleh. Situasi ini membawa adanya

tingkat pikiran manusia.138

Kedelapan, akal adalah potensi pikir yang dapat tercerahkan oleh cahaya

(nur) ketakwaan dan berkemampuan memanfaatkan fungsinya sesuai

peruntukannya.139 Akal ini merupakan akal besar yang disinari dengan kesadaran

ilahiah (dzikir Allah).140

Konsep penjelas utama dalam rumusan hakikat akal yang kedelapan,

Muhammad Abduh menggunakan cahaya yang mencerahkan (nûr), ketakwaan,

akal besar, dan kesadaran ilahiah. Term-term ini tennasuk lazim digunakan oleh

para filosof muslim dalam memahami hakikat akal, baik menurut akal maupun

menurut sumber al-Quran dan al-Hadits.

137 Abd al-Aziz al-Darini, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li 'Alam al-Guyûb hlm. 31. 138Paryana Suryadipura, Manusia dengan Atomnya dalam Keadaan Sehat dan Sakit,

(Jakarta:Bumi Aksara, 1994), hlm. 235. 139 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:197. Lihat al-Manâr, jld. II,

hlm. 229. 140 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran:7. Lihat al-Manâr jld.III, hlm.

171-172.

114

Esensi akal sebagai nûr (cahaya) dikemukakan oleh Sayidina Ali KW dan

Ibn Abbas. Kedua sahabat ini berpendapat bahwa Allah SWT menciptakan akal

dari nûr yang berkemampuan memahami dan mengetahui obyek tahu.

Kegiatannya itu melahirkan sejumlah ilmu.141

Al-Mawardi mengatakan bahwa akal merupakan substansi halus yang

berkemampuan menganalisis dan membeda-bedakan esensi obyek tahu. Akal ini

disebutnya sebagai al-'aql al-ghârizi, yaitu potensi yang melekat dan menyatu

dengan watak penciptaan dan dapat ditransmisikan melalui pewarisan watak

secara genetis. Sedangkan akal yang berkemampuan mengetahui obyek tahu

melalui upaya maksimal dalam meneliti, mengkaji, dan menganalisis obyek tahu

disebut al-'aql al-muktasab. Nûr sebagai esensi akal ini diisyaratkan dalam Q.S.

al-Nur. 35 dan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa "akal itu

cahaya di dalam qalb yang dapat membedakan yang hak dari yang batil."142

Akal yang tercerahkan dengan cahaya ketakwaan dan sinar ilahiah, juga

dikaji oleh Imam al-Ghazali ketika menafsirkan Q.S al-Syams: 7-9 dan Q.S. al-

Nur. 40, bahwa fungsi nûr itu dapat memperoleh ilmu sebagai nûr juga.143 Oleh

karenanya akal dapat memahami wahyu yang disebut juga sebagai nûr yang

menerangi jalan hidup dan kehidupan manusia dalam menjalankan tugas

ke'abidan dan kekhalifahan.144 Akal yang tercerahkan ini, menurut Ibn Miskawih,

adalah al-quwwah al-nâthiqah (fakultas berpikir) yang terhindar dari dominasi al-

quwwah al-ghadhabiyyah (fakultas amarah), dan al-quwwah al-syahwaniyyah

(fakultas naluri biologis).145

Akal yang tercerahkan ini disebut pula sebagai akal yang sehat sebagai

lawan dari akal yang sakit yang tidak tercerahkan oleh cahaya ilahiyah. Akal sehat

270

141 Lihat Abd al-Rahman al-Shafuri, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhâb al-Nafâis, hlm 142 Lihat Imam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Dîn, hlm 20-22. 143 Lihat Imam al-Ghazali, Risalah al-Ladunniyah, hlm. 122. 144 Selanjutnya lihat Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, (Psychology of Sufism), terj. Arif

Rahmat, (Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 1998), hlm. 176, dan Yusuf al-Qardhawy, Al-Quran dan al-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam (al-Marja'iyah al-'UIya fi al-Islâm li al-Qurân wa al-Sunnah), terj. Badruddin Fannani, (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 359.

145 Lihat Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Tahdzib al-Akhlaq), terj. Zaenul Kamal, (Bandung. Mizan, 1994), hlm. 43-44. Suwito mengkaji pemikiran Ibn Miskawaih mengenai konsep pendidikan sebgai disertasi, lebih lanjut lihat Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak menurut Ibn Miskawaih ,(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1995)

115

inilah yang dapat bergerak ke arah mendekati Pcnciptanya yang Maha Suci,

senang dalam ketaatan, mencintai kebenaran, dan benci kebatilan.146

Akal kabîr, jika dikaitkan dengan struktur otak instrumen bersemayamnya

daya pikir sebagaimana dijelaskan oleh Paryana Suryadipura, maka "akal kabir

sejalan dengan fungsi akal besar. Otak sebagai pusat kesadaran kognitif disebut

pula dengan dua sebutan yaitu "alam shagîr" dam "alam kabîr”. Hal ini

dikemukakan oleh Bahaudin Mughary, menurutnya bahwa, otak manusia

mempunyai atau terdiri dari dua pusat. Pertama, adalah pusat yang menuju ke

alam lahir (logis, corporiil, materiil, riil) yang memiliki kemampuan untuk

melakukan hubungan, dengan dunia luar atau yang disebut "alam saghîr". Pusat

yang kedua berfungsi mengadakan hubungan dengan dunia dalam yaitu alam yang

irriil, immateriil, abstrak, metafisis, yang juga disebut sebagai "alam kabîr”.147

Kesembilan, akal adalah alat memperoleh hikmah (wisdom). la merupakan

neraca setimbang (al-mîzân al-Qisth) yang mampu menimbang semua getaran

hati (khawâthir) berupa idea, gagasan, kehendak, dan pengetahuan. la mampu

membedakan (yumayyizu) antara pembentukan konsep satuan pengetahuan berupa

pembentukan konsep (tashawwurât) dan pembentukan keputusan (tashdîqât).148

Dalam rumusan hakikat akal kesembilan tersebut, Abduh lebih

menekankan pada aktualisasi metode kerja akal dalam memperoleh pengetahuan,

berupa tata aturan berpikir logis menurut aturan logika (manthîq). Hal ini

ditunjukkan dengan konsep utama sebagai penjelas hakikat akal, yaitu al-mîzân

al-qisth, al-khawâthir, al-mudrakât, yumayyiz bih, al-tashawwurât dan al-

tashdîqât.

al-mîzân al-qisth, yang secara lughawi berarti timbangan yang setimbang

untuk menimbang sesuatu secara setimbang antara timbangan dan yang

146Lihat Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut al-Ouran (The Holy Quran and the Sciences of Nature), terj. Agus Effendi, (Bandung. Mizan, 1989), hlm. 102-103, dan Evert K. Roswon, A Muslim Philosopher on The Soul and Its Fate: Al-Amiri's Kitab al-Amad 'ala al-Abad, hlm. 154-160.

147Bahaudin Mudhary, Setetes Rahasia Alam Tuhan Melalui Peristiwa Metafisika al- Mi'raj, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996), hlm 124-125.

148 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:269.

. Lihat al-Manâr, jld III, hlm. 75.

116

ditimbang, dijadikan oleh Muhammad Abduh sebagai penjelas hakikat akal. Hal

ini menunjukkan bahwa akal berfungsi dan mampu menimbang sesuatu yang

abstrak sebagai obyek tahu guna menemukan kebenaran obyektif rasional, sebab

al-qisth juga berarti keadilan yang berarti memposisikan sesuatu sesuai posisi

peruntukannya.149

Term al-mîzân digunakan oleh Imam Ghazali sebagai sebutan bagi proses

berpikir logis dengan menggunakan disiplin logika dalam menimbang dan

menemukan hakikat suatu obyek yang dipikirkan oleh akal. Mizan ini disebut pula

sebagai mîzân al-Qur'an (tata pikir menurut al-Qur'an) dan mîzân ruhani (tata

pikir dunia makna). Obyek mîzân al-Qur'an ada lima macam, yaitu: (1) ma'rifah

tentang Allah. (2) malaikat, (3) kitab, (4) rasul, dan (5) mulk al-Lâh, yakni

kerajaan Allah.150

Mîzân al-Qur'an, sebagai tata aturan berpikir logis, dibagi oleh Imam al-

Ghazali menjadi lima macam, yaitu: (1) mîzân al-ta�âdul al-kubra (penalaran

dengan menggunakan pola syakal awal dari qiyas iqtirani) , (2) mîzân al-ta'âdul

al-awsath (penalaran dengan menggunakan pola syakal tsani dari qiyas iqtirani),

(3) mîzân al-ta'âdul al-ashghar (penalaran dengan menggunakan pola syakal

tsalis dari pola qiyas istitsnai), (4) mîzân al-talâzum (penalaran dengan

menggunakan pola hukum kausalitas itsbat), dan (5) mîzân al-ta�ânud (penalaran

dengan menggunakan pola hukum kausalitas nafy).151 Penjelasan istilah-istilah ini

dapat digunakan menjadi bagian analisis epistemologis dalam mengembangkan

ilmu dakwah.

Al-khawâthir berarti lintasan-lintasan pikiran. Term ini merupakan bentuk

jama' dari al-khâthir, yaitu segala sesuatu yang terlintas dalam hati dan pikiran.152

Dengan memasukkan term ini ke dalam penjelasan hakikat akal menunjukkan

bahwa mekanisme kerja akal melibatkan aspek daya qalb yang berkemampuan

memahami sesuatu.

149 Lihat Ibn Qayim al-Jawzi, al-Tafsîr al-Qayyim, hlm. 184. 150 Lihat Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, al-Qisthas al-Mustaqîm, dalam al-

Qushûr al-'Awali, (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), hlm 14-15. 151 Lihat Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, alQisthas al-Mustaqîm,hlm. 18. 152 Ibrahim Anis dkk.. al-Mu�jam al-Wasith,, jld. I. hlm. 243

117

Al-mudrakât berarti segala sesuatu yang diketahui oleh pikiran. la

merupakan bentuk jama' dari al-mudrak. Dimasukkannya term ini menunjukkan

bahwa mekanisme kerja akal melibatkan potensi daya nalar, yaitu kemampuan

perseptif atau kognitif. Dalam filsafat Islam, potensi ini disebut al-quwwah al-

mudrikah, yaitu kemampuan perseptif atau kemampuan kognitif. la terdiri dari

dua macam: eksternal (zâhir) dan internal (bâtin). Yang disebut pertama meliputi

pancaindera (al-hawâsul khamsah) yaitu daya peraba, perasa, penciuman,

penglihatan, dan pendengaran; dan yang disebut belakangan mencakup indera-

indera dalam, yaitu akal sehat (al-hissul al-musytarik), kemampuan formatif (al-

quwwat al-mutasawwirah), ingatan (al-quwwah al-mutadzakirah), dan

kemampuan estimatif (al-quwwa al-mutawahhimah). Obyek-obyek yang

diketahui melalui indera-indera luar disebut wajdaniyyat (intuisi-intuisi). Apa

yang dipersepsi pertama kali dengan indera-indera luar dan kemudian oleh indera-

indera dalam, adalah bentuk obyek-obyek yang dapat diindera, dan apa yang

dipersepsi dengan indera-indera dalam sendiri adalah makna dari suatu benda.153

Yumayyiz bih, berarti dapat membedakan sesuatu yang menjadi obyek

yang dipikirkan oleh akal. Dengan memasukkan term ini, Muhammad Abduh

ingin menunjukkan bahwa akal berkemampuan membedakan obyek tahu, memilih

dan memilah mana yang baik dan yang tidak baik. Menurut hasil penelitian Harun

Nasution tentang kemampuan dan kekuatan akal dalam pembicaraan persoalan

teologis, ternyata Muhammad Abduh menempatkan kekuatan akal lebih banyak

ketimbang kelompok Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyyah, Samarkand, dan

Matundiyyah Buchara. Hal ini dikaitkan dengan persoalan hubungan akal dengan

wahyu dalam mengetahui sesuatu obyek tahu sebagai basis epistemologis.154

Berkaitan dengan kekuatan akal dapat mengetahui kewajiban berbuat baik

dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, Azyumardi Azra berpendapat bahwa

”Potensi yang dimiliki manusia yang dapat membantunya dalam memahami dan

153 Syekh Said, Kamus Filsafat Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 1992), hlm. 122. 154 Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teori Rasional Mu�tazilah,(Jakarta: UI

Press, 1987) hlm 56-57.

118

membenarkan norma-norma moral Islam yang bersumber pada wahyu Allah itu

temasuk akal dan qalbu (hati nurani)-nya”.155

Al-tashawwurât dan al-tashdîqât berarti pembentukan konsep dan

pembentukan keputusan dalam proses berpikir. Dengan memasukkan kedua term

tata aturan berpikir ini ke dalam penjelasan hakikat akal, Muhammad Abduh ingin

menunjukkan tentang bentuk mekanisme kerja akal dalam mengetahui obyek tahu

melalui tashawwur dan tashdiq.

Tashawwur dan tashdiq didefinisikan oleh Said al-Taftazani, bahwa

Tashawwur adalah memahami makna obyek tahu dengan tidak menghubungkan

dengan makna obyek tahu yang lainnya. Tashdiq adalah memahami hubungan

antara satu makna obyek tahu dengan yang lainnya dengan menetapkan antara

satu makna obyek tahu kepada yang lainnya. Yang pertama merupakan kegiatan

pembentukan pengertian (ta'rîf dan qawl syarh) dan yang kedua merupakan

kegiatan pembentukan dailîl dan hujjah. Al-Jurjani mendefinisikan tashawwur

dan tashdîq, bahwa Tashawwur adalah diperolehnya gambaran sesuatu di dalam

memori. Mengetahui sesuatu hakikat dengan tidak menetapkan tetapnya sesuatu

atau tidak tetapnya sesuatu atas suatu hakikat. Sedangkan Tashdiq adalah pilihan

menetapkan suatu kebenaran kepada obyek yang diberitakan.156

Kesepuluh, akal adalah sinonim dengan lub dengan alasan bahwa lub

merupakan tempat daya hidup sesuatu, tempat keistimewaan dan kegunaannya.

Sedangkan keistimewaan daya hidup manusia adalah daya akalnya. Setiap akal

memungkinkan untuk dapat mengambil kegunaan dari hasil memperhatikan ayat-

ayat Allah dan menjadikannya sebagai dalil atas kekuasaan Allah dan mengambil

hikmahnya.157

Dalam rumusan penjelasan hakikat akal yang kesepuluh tersebut, Abduh

menyamakan hakikat akal dengan hakikat lub, yang secara lughawi berarti

155Azyumardi Azra, ”Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial” dalam Kehampaan

Spiritualitas Masyarakat Modern, ed. Nurcholis Madjid dkk., (Jakarta: Mediacita, 2000), hlm. 391.

156 Lihat Abdullah bin Fadhl al-Khabishi, Syarh al-Khabishi 'ala Matn Tahdzîb

al-Manthiq, (Mesir: Jami'ah al-Azhar, 1965), hlm. 9, dan Hasan Darwisy al-Quwsyini, Syarh �ala Matn al-Sulam,(Surabaya: Maktabah Said bin Nabhan,tt) hlm. 10.

157 Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran:190. Lihat al-Manâr, Jld. IV, hlm.296.

119

mempunyai biji, berotak, benak, dan hati. Bentuk jama' dari kata lub adalah

albab, sementara ism fa'ilnya adalah labib.158 Dan lub berfungsi sebagai simbol

keunggulan kehidupan manusia yang mampu memikirkan secara mendalam ayat-

ayat Allah sebagai obyek tahu dan mengambil faidah dan hikmah dari hasil

pemikirannya itu. Ini kemudian bermuara pada pengakuan akan adanya Maha

Pencipta, yaitu Allah SWT.

Muhammad Ismail Ibrabim menjelaskan arti kata lub ini, bahwa Lub-

lubabah berarti memiliki akal. la adalah esensi segala sesuatu. Esensi dari segala

sesuatu adalah kemurnian esensinya, atau substansi dan esensi sesuatu, seperti biji

kenari dan sebangsanya yang berada di tengah-tengah benda itu. Lub juga berarti

akal karena ia merupakan substansi manusia. Bentuk jama'nya adalah albâb.159

Dengan memasukkan "kemampuan memikirkan sesuatu secara mendalam

sehingga mampu memperoleh dan mengambil faidah dalil dan hikmah menjadi

khâshshâh (keunggulan pembeda manusia dari yang bukan manusia)" sebagai

penjelas hakikat akal, Muhammad Abduh hendak menunjukkan bahwa akal

memiliki keunggulan dalam memahami obyek tahu sebagai potensi yang hanya

dimiliki oleh pemilik akal. Kemampuan ini, menurut Fakhruddin al-Razi, disebut

sebagai al-quwwah al-bashîrah atau al-quwwah al-'aqliyah yang dimiliki manusia

selain al-quwwah al-bashîrah atau al-quwwah al-hâssah (daya pencerapan indera

lahir, atau daya sensasi). Dua daya ini masing-masing memiliki macam-macam

kemampuan menurut peruntukannya yang berbeda di antara keduanya.160

Setelah diketahui akal dapat mengetahui dirinya, sesuatu di luar dirinya,

dan tahu proses mengetahuinya, maka dakwah merupakan bagian dari sesuatu di

luar dirinya yang menjadi obyek yang dapat diketahuinya. Implikasi dari konsep

akal menurut Muhammad Abduh terhadap pemikiran dakwah antara lain tampak

dalam mengkategorikan mad�u yang mesti dihadapi dengan metode hikmah

adalah mad�u �uqala (orang yang cerdik pandai). Dan dapat dipahami pula, bahwa

Muhammad Abduh telah memberikan kontribusi epistimologis bagi

158Lihat Alias A Elias dan Edward E. Elias, Qamûs al-Jayb, terj. Ali Almascatie, (Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1983), hlm. 938-939.

159 Muhammad Ismail Ibrahim, Mu'jam al-Alfâdzh wa al-I'Iâm al-Qurâniyyah, hlm. 468. 160 Fakhruddin al-Razi, Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jld.XII, hlm. 226-229.

120

pengembangan kajian dakwah Islam sebagai bagian dari disiplin ilmu dalam

Islam, dengan menerapkan kaidah-kaidah manthiqiyah dalam pembentukan

konsep dan argumen keilmuan dakwah sebagai disiplin ilmu yang interdisipliner.

Karakteristik epistimologis yang diajukan Muhammad Abduh bercorak rasional

taksonomis tidak rasional dikotomis.

Namun akal juga terbatas, karena terkadang tidak mampu menentukan

kebenaran di luar wilayah jangkauannya. Keterbatasan ini terjadi terutama ketika

akal didominasi oleh pengaruh hawa dan syahwat. Untuk mencapai kebenaran

dan kebahagiaan perjalanan hidup hakiki menurut pencipta manusia, dengan

demikian, memerlukan hidayah lain yang membimbingnya, yakni macam hidayah

keempat yaitu hidâyah al-dîn. 161

Keempat, hidâyah al-dîn (hidayah agama). Hidayah al-dîn ini memberikan

petunjuk penjelasan dan bimbingan tentang jalan kehidupan yang dapat

mengantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan sejati bagi manusia berakal.

Hidayah ini juga memperingatkan jalan kehidupan yang dapat mengantarkan

kepada kesesatan dan kecelakaan hidup. Terhadap dua jalan ini manusia berakal

dengan potensi kebebasan kehendak dan kebebasan memilih dapat menentukan

pilihannya jalan mana yang akan ditempuh dari kedua jalan kehidupan itu dengan

risikonya masing-masing.162

Mencermati pandangan Muhammad Abduh mengenai konsep akal,

kebebasan berkehendak, kebebasan memilih dalam menentukan tindakan bagi

manusia dan peran hidayah dalam agama Islam tersebut, dapat digolongkan ke

dalam teori pilihan rasional atau paradigma tindakan rasional yang diajukan oleh

James S. Coleman (W. 1995M), teori ini antara lain menegaskan bahwa, nilai dan

norma yang bersumber pada kepercayaan mendasari niyat atau kehendak, dan

kehendak ini melahirkan pilihan tindakan seseorang, ketika menentukan pilihan,

rasiolah yang berperan untuk bertindak dan tindakannya itu guna mencapai tujuan

sesuai nilai dan norma yang diyakininya. Kemudian, suatu tindakan atau pilihan

161 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63. 162 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63-64.

121

dapat dikategorikan rasional, jika mengikuti premis yang mendasar dan

menjastifikasi pelaksanaannya.163

Kemudian Muhammad Abduh mengakui bahwa ada satu macam lagi

hidayah selain keempat hidayah tersebut, yaitu hidâyah al-i�ânah wa al-tawfîq

(hidayah perbantuan dan pertepatan). Sehubungan dengan hidayah ini,

Muhammad Abduh meyakini bahwa, masih ada hidayah yang lain, yakni apa

yang diungkapkan oleh Allah SWT: „Mereka itu orang-orang yang diberi petunjuk

oleh Allah, maka ikutilah petunjuknya.�164 Apa yang dimaksud dengan hidayah di

sini bukanlah hidayah yang telah disebut terdahulu. Hidayah dalam ayat-ayat

terdahulu itu bermakna „dilâlah� yang berfungsi untuk menghentikan manusia

pada ujung dua jalan kecelakaan dan keselamatan sambil menjelaskan hal-hal

yang bisa meratakan jalan ke arah keduanya. Hidayah ini diberikan oleh Allah

secara „cuma-cuma� kepada seluruh manusia. Adapun hidayah yang ini bersifat

lebih khusus ketimbang yang tadi. Hidayah ini dimaksudkan sebagai perbantuan

dan pertepatan kepada manusia untuk berjalan pada jalan kebaikan dan

keselamatan sambil terarah dengan baik. Hidayah ini tidak diberikan kepada

sembarang orang sebagaimana indera, akal, dan syariat agama. 165

Muhammad Abduh memberikan catatan bahwa antara macam hidayah

kelima ini dengan hidayah al-dîn tidak ada pertentangan, sebab hidayah yang

diberikan menjadi kewenangan Nabi SAW. adalah memberikan petunjuk kepada

kebaikan (al-khayr) dan kebenaran (al-haq), yakni jalan yang lurus (al-shirâth al-

mustaqîm), nama lain dari dîn al-islâm. Sedangkan memberikan dan menjadikan

orang menerima dan mencocokkan tata lakunya dengan al-islâm tidak menjadi

kewenangan Nabi SAW., tetapi merupakan hak prerogatif Allah SWT, yang

dengan hak-Nya ini Allah memerintahkan kepada manusia untuk berdo�a sebagai

bukti status kehambaan manusia di hadapan Allah SWT Maha Pencipta. Dengan

163 Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Modern Sociological Theory, oleh Alimandan (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 391-402.

164 Q.S. Al-An�âm (6):90. 165 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 64. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-

Fatihah:6. Hidayah al-tawfîq ini disebut juga sebagai al-hidâyah al-qalbiyyah al-bâthiniyyah (hidayah hati batin). Lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Aysar al-Tafâsîr lî Kalâm al-„Âly al-Kabîr, jld. I (Mesir: Dar al-Salam, 1992), hlm. 15.

122

demikian, menurut Muhammad Abduh, bahwa arti „ihdinâ al-shirâth al-

mustaqîm� berilah kami petunjuk yang disertai oleh perbantuan gaib dari sisi-Mu

yang memelihara kami dari kesesatan dan kesalahan. Permohonan ini tidak

merupakan do�a pertama kita kepada Allah kecuali disebabkan kebutuhan kita

terhadapnya lebih besar ketimbang kebutuhan kita terhadap hal-hal lainnya.166

Jalan yang lurus (al-shirâth al-mustaqîm) dipahami oleh Muhammad

Abduh sebagai totalitas sesuatu yang menghantarkan kita kepada kebahagiaan

dunia akhirat dalam bentuk akidah, adab, hukum, dan ajaran-ajaran. 167

Dalam membuat kategori macam-macam hukum bagian dari unsur ajaran

Islam, Muhammad Abduh mengikuti kategori fuqahâ, yaitu wâjib, mandûb,

mubâh, harâm, dan makrûh. Macam-macam hukum ini merupakan sistem nilai

dan norma bagi kahidupan manusia berakal yang menuntut untuk

diimplementasikan secara sungguh-sungguh dan berupaya menundukkan segala

tantangan yang datang dari potensi syahwat dan hawâ yang negatif dalam diri

individu manusia.

Syahwat (keinginan, kecenderungan), dipahami oleh Muhammad Abduh

bahwa, kata „syahawât� merupakan bentuk plural dari kata „syahwah� yaitu

kecenderungan jiwa dengan merasakan kebutuhan atas sesuatu yang dianggapnya

menyenangkan.168

Hawâ (kecondongan jiwa) dapat memalingkan dari berbuat adil terhadap

sesuatu dan adil ini merupakan salah satu karakteristik Islam. Term hawâ ini ada

yang digabungkan dengan term nafs yang negatif menjadi hawâ al-nafs yang

mengacu pada situasi potensi atau daya kejiwaan manusia yang mendorong

kepada hal yang negatif dan dapat mempengaruhi kejernihan akal yang menjadi

penyebab munculnya perbuatan negatif. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad

Abduh menyatakan, adapun sebab yang mengakibatkan orang yang sudah

166 Al-Manâr, jld. I, hlm. 65. Berdo�a secara psikologis merupakan ekspresi fithrah diniyah (naluri keagamaan) manusia, dan bagian dari macam beribadah kepada Maha Pencipta manusia,

lihat Ali Muhammad Hasan al-Amâri, al-Qurân wa al-Thabâ�iât al-Nafsiyyah, hlm. 105-108. 167 Al-Manâr, jld. I, hlm. 65. 168 Al-Manâr, jld. III, hlm. 238. Ungkapan ini bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran (3):14,

ayat ini mengenai adanya kecenderungan manusia mengenai perhiasan duniawi. Lihat pula Al- Manâr, jld. III, hlm. 239 dan 246-247.

123

mengetahui hidayah kemudian meninggalkannya tidak diragukan lagi merupakan

suatu situasi nafsani yang kuat seperti iri-dengki, perlawanan, ambisi kekuasaan,

kesombongan, nafsu syahwat yang mengalahkan akal, primordialisme, dan

perkataan yang memperturutkan hawa nafsu. 169

Kemudian menurut Muhammad Abduh, hidâyah hawâsî disebut pula

sebagai al-quwwah al-zhâhirah (daya kognisi lahir) dan hidâyah „aqal sebagai al-

quwwah al-bâthinah (daya kognitif dalam). Masing-masing memiliki aktivitas

sesuai peruntukannya, yakni mengetahui obyek-tahu yang berwujud materi dan

immateri. Adapun yang menyertai dua macam hidayah ini, yaitu hawâ al-nafs,

yang mendorong lahirnya al-syahwah al-bâthiniyah (keinginan biologis dan

hewani). Dengan dorongan keinginan inilah manusia bisa berperilaku seperti al-

an�âm (hewan ternak) bahkan lebih jahat. Oleh karena itu, dengan hidayah akal

yang memiliki quwwah al-tamyîz (daya pembeda antara yang hak dan yang batil)

dan quwwah al-ikhtiyâriyyah (daya memilih), manusia dihadapkan pada pilihan

apakah mau melakukan tazkiyyah al-nafs (menyucikan jiwa) atau tadsiyyah al-

nafs (mengotori jiwa). Bagi yang pertama melahirkan perilaku baik dan yang

kedua melahirkan perilaku jelek.170

Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, kebahagiaan dan kerugian,

keselamatan dan kecelakaan manusia ditentukan oleh perilaku dan pilihannya

sendiri. Dalam hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa urusan dan

keputusannya terpulang pada usaha dan upaya manusia. Di antara wujud kasih-

sayang Allah SWT kepadanya adalah bahwa Allah memberikan ilham kepada

sebagaian anggota manusia dan mengajarinya berbagai jalan petunjuk. Maka,

siapa yang menempuh jalan tersebut beruntung dan berbahagialah dan siapa yang

menyalahinya akan merugi dan celaka.171

169 Al-Manâr, jld. V, hlm. 416. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 115, ayat ini mengenai ancaman bagi orang yang tidak mengikuti ajaran Islam.

170 Lihat Syaikh Muhammad Abduh, Tafsîr Juz „Amma (Beirut: Dâr Ibn Zaydun, 1989), hlm. 110-111. Penjelasan ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Syams: 7-10 dan Al-Manâr, jld. II, hlm. 242, jld. IV, hlm. 448.

171 Al-Manâr, jld. I, hlm. 285. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Baqarah: 38-39, ayat ini mengenai bagian kisah Adam A.S dan balasan bagi orang yang mengikuti petunjuk dan orang kafir.

124

Dengan term yang berbeda mengenai kategorisasi nafs yang dimiliki

manusia, sebelum Muhammad Abduh telah banyak dikaji oleh para filosof

Muslim di bidang pemikiran akhlak dan tasawuf.172 Mereka pada umumnya ada

yang membagi kepada tiga macam kategori nafs dan ada yang membaginya

menjadi enam macam kategori nafs sebagai hasil istinbâth (penalaran deduktif

pada teks) Al-Qurân yang menyinggung masalah nafs. Al-Tabrizi173 meyakini

bahwa ada tiga macam nafs sebagai daya yang terdapat dalam qalb manusia dan ia

merupakan tempat daya dorong perilaku tercela dan buruk, yaitu: (1) al-nafs al-

ammârah bi al-syar (jiwa pendorong pada keburukan), (2) al-nafs al-lawwâmah

(jiwa pendorong pada penyesalan), dan (3) al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang

tenang). Ketiga macam nafs ini melahirkan perilaku empiris melalui instrumen

pancaindera dan anggota badan lahir, baik yang tercela maupun yang terpuji. Bagi

yang pertama, Al-Tabrizi mengacu pada Q.S. Yusuf: 53, yang kedua mengacu

pada Q.S. al-Qiyâmah: 2, dan yang ketiga mengacu pada Q.S. al-Fajr: 27.174

Dalam pada itu, nafs menurut Muhammad al-Sayid Arnaûth ada enam

macam peringkat, yaitu: (1) al-nafs al-ammârah bî al-sûi yang disebut maqâm

zhulumât al-agh�yâr (tampat kezaliman pada orang-orang lain). Nafs ini

mendorong pada perilaku tercela dan buruk karena kecondongan wataknya pada

keinginan-keinginan jasad (biologis). Ia tidak mau pada kebaikan. Ini merupakan

peringkat nafs terendah; (2) al-nafs al-lawwâmah yang disebut maqâm hudûts al-

anwâr (tempat munculnya cahaya-cahaya). Nafs ini setelah mengikuti dorongan

nafs ammârah segera muncul kesadaran pada dirinya dengan menyesali apa yang

telah dilakukannya. Nafs ini lebih atas derajatnya daripada nafs yang pertama; (3)

172 Misalnya, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih yang pernah dipelajari oleh Abduh dan juga diajarkan melalui kegiatan belajar-mengajarnya. Lebih lanjut lihat Abu al-Fatah Muhammad Abd al-Karim al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 472-477, Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Al-Dirâsah al-Nafsâniyah „inda al-„Ulamâ al-Muslimin, oleh Gazi Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 144-148, dan Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Tahdzîb al-Akhlâq, oleh Helmi Hidayat, Pengantar Zainun Kamal (Bandung: Mizan, 1944), hlm. 35-43.

173 Lihat Ahmad bin Muhammad bin al-Malik al-Asy�ari al-Tabrizi, Sirâj al-Qulûb, ed. Abd al-Lathif Muhammad al-„Ayd dalam Sittu Rasâil min al-Turâts al-„Arabi al-Islâmi (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1981), hlm. 89-90.

174 Zainun Kamal mengajukan hal yang sama dengan tiga macam nafs ini. Lihat Zainun Kamal, Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. Budhi Munawar-Rahman (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 203-204.

125

al-nafs al-mulhamah (jiwa terinspirasi) yang disebut maqâm dark al- asrâr fî al-

khayr wa al-syar (tempat mengetahui beagam rahasia kebaikan dan keburukan).

Nafs ini berkemampuan mengetahui dan membedakan antara sesuatu yang baik

dengan sesuatu yang buruk dan menjadi basis pertimbangan potensi ikhtiar untuk

mengambil putusan pilihan perilaku; (4) al-nafs al-muthmainnah yang disebut

sebagai maqâm al-tawâzun al-nafsî (tempat keseimbangan jiwa). Nafs ini

berkemampuan mendorong kepada perilaku terpuji dan baik, dengan

menggantikan sifat-sifat yang tercela, seperti rasa cinta, kasih sayang, lemah-

lembut, harga diri, dan kedermawanan; (5) al-nafs al-radhiyyah (jiwa yang

menerima) yang disebut sebagai maqâm nail al-washl (tempat memperoleh

hubungan). Nafs ini berkemampuan membentuk ketenangan jiwa dengan

menundukkan dorongan dan sifat-sifat tercela dalam dirinya. Ia merasa betah dan

rela dalam menjalani kewajiban dan meninggalkan segala larangan yang akan

mengotori dirinya; dan (6) al-nafs al-mardhiyyah (jiwa yang diridhai) yang

disebut dengan maqâm tajâlî al-mawâhib al-ilâhiyyah (tempat tampaknya segala

pemberian Tuhan). Nafs ini berkemampuan dalam mewujudkan situasi jiwa selain

ridha juga ikhlas (tulus) dalam menerima dan meyakinkan apa yang ditaklifkan

pada dirinya oleh Allah SWT Maha Pencipta, segala perintah-Nya dilaksanakan

dan segala larangan-Nya ditinggalkan.175

Arnaûth seperti halnya Abu Yusuf bin Hasan al-„Amiri meyakini adanya

pengaruh dan mempengaruhi antara nafs yang bersifat immateri dengan jasad

yang bersifat materi. Di sinilah peranan dakwah Islamiyah berlangsung dalam

sistem kehidupan psikologis manusia. Menurut Al-Amiri, bahwa ketika wujud

materi dan immateri berinteraksi, maka ada empat macam pengaruh, yakni: (1)

pengaruh materi terhadap materi, (2) pengaruh materi terhadap immateri, (3)

pengaruh immateri terhadap immateri, dan (4) pengaruh immateri terhadap

materi.176

175 Lihat Muhammad al-Sayyid Arnaûth, al-I�jâz al-„Ilmy fî al-Qurân al-Karîm, hlm. 388- 389 dan lihat pula Paryana Suryadipura, Alam Pikiran (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 55-58.

176 Lihat Everett K. Roswon, A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al-„Amiri�s Kitâb al-Amad alâ al-Abad (New York: American Oriental Society, 1988), hlm. 122-126.

126

Muhammad Abduh, seperti halnya mufassir lain, meyakini bahwa manusia

dengan berbekal hidayah gharîzah, hawâsî, „aql, agama, dan tawfîq diberikan

amanat dan kewajiban yang melekat dalam fungsi dan peranannya sebagai hamba

Allah („abd al-Lâh) dan khalifah-Nya di muka bumi. Sehubungan dengan hal ini,

Muhammad Abduh menyatakan bahwa Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya

untuk menyembah Allah saja seraya memurnikan agama bagi-Nya. Allah juga

memberikan arahan kepada mereka dengan memberitahukan bahwa Allah

memberikan anugrah penciptaan yang sama kepada mereka dan kepada generasi

sebelum mereka untuk beramal secara mandiri. 177

Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, maka manusia, dengan

bekal daya tersebut, tidak terbatas potensi dan keinginannya, tidak pula terbatas

ilmu dan amalnya. Meski masing-masing individu lemah, ia bisa bekerjasama

dalam alam secara tidak terbatas atas izin dan rekayasa Allah. Sebagaimana Allah

memberinya anugrah-anugrah dan hukum-hukum alam tersebut agar tampaknya

dengannya serba rahasia penciptaan-Nya dan kerajaan-Nya di muka bumi juga

menundukkan gejala-gejala alam, Allah juga memberinya sejumlah hukum dan

ajaran yang mengikat berbagai aktivitas dan moralitasnya, suatu ikatan yang di

luar makar anggota dan kelompoknya satu sama lain. Hukum dan ajaran tersebut

membantu manusia untuk sampai pada kesempurnaan karena ia mengarahkan dan

membina akal yang memiliki kelebihan-kelebihan tadi. Atas dasar ini semua,

Allah menjadikannya khalifah di muka bumi. Ia merupakan makhluk paling

bermoral dengan predikatnya sebagai khalifah tersebut. 178

Dari pandangan Muhammad Abduh tersebut, sebagai kesimpulan

deskriptifnya dapat dipahami bahwa akal menjadi keistimewaan manusia sebagai

khalifah-Nya di muka bumi dalam mengelola kehidupan dan lingkungan alam

dengan berbagai macam sumber dayanya untuk kepentingan dan sarana beribadah

kepada Allah SWT. Sebagai hamba Allah, manusia mengemban amanat agar ia

177 Al-Manâr, jld. I, hlm. 185. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah: 21, ayat ini mengenai perintah ibadah hanya kepada Allah SWT.

178 Al-Manâr, jld. I, hlm. 260. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah: 30, ayat ini mengenai informasi rencana Allah menjadikan Adam sebagai khalifah di muka bumi kepada malaikat.

127

hanya tunduk, patuh, taat, dan berbakti kepada dan karena Allah, menlenyapkan

segala macam syirik dan pertuhanan kepada hawa nafsu, harta benda dunia,

benda-benda alam, makhluk halus, sesama manusia, dan sebagainya. Dengan

demikian aktualisasi aktivitas akal ke dalam prilaku pengamalan Islam merupakan

dakwah transformatif rasional.

Sebagai khalifah Allah, manusia mengemban amanat pelaksanaan aturan

Allah di muka bumi agar membina kemakmuran, peradaban, dan kebudayaan

menurut aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam hidayah

agama yang membimbing akal manusia. Namun demikian, karena manusia

memiliki potensi hawâ al-nafs yang berkemampuan untuk tidak taat, maka

sebagai hamba dan khalifah Allah manusia ada yang menentukan pilihannya

dengan kezaliman dan kerusakan di muka bumi.

Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, menurut al-Mawardi, jika

akal manusia dapat menaklukkan syahwatnya, maka ia akan lebih baik ketimbang

malaikat. Jika syahwatnya yang menaklukkan akalnya, maka ia akan lebih jelek

ketimbang binatang. Hal ini sebagaimana terungkap dalam pernyataan al-Mawardi

bahwa, Allah menyusun malaikat dari akal tanpa syahwat, menyusun binatang

dari syahwat tanpa akal, dan merakit manusia dari keduanya. Siapa saja yang

akalnya mengatasi syahwatnya, ia akan lebih baik daripada malaikat. Siapa saja

yang syahwatnya menguasai akalnya, ia akan lebih buruk daripada binatang. 179

Selain itu, manusia diajarkan al-bayân oleh Allah swt. Sebagai pembeda

dengan yang bukan manusia, al-bayân ini sebagaimana diyakini oleh al-Syaukani

ketika menafsirkan Q.S. Al-Rahman:1-4, yaitu sebagai kemampuan

berkomunikasi, dan dakwah Islam adalah “komunikaksi Islam”.180

179 Abu Hasan Ali al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 36. 180 Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual:Refleksi Seorang Cendikiawan Muslim

(Bandung: Mizan, 1991), hlm. 97. Kajian dakwah sebagai “komunikasi Islam” antara lain dilakukan oleh R. Agus Toha Kuswata, dalam karyanya Komunikasi Islam dari Zaman ke Zaman, ( Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990) 126 hlm, dan M. Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam:Kritik terhadap Konsep Komunikas Barat, (Bandung:Sahifa, 2008), 267 hlm.

128

b. Karakteristik Manusia sebagai Dâ’i

Sebagaimana telah dijelaskan dalam status hukum dakwah, bahwa dakwah

adalah kewajiban bagi Muslim dan mukmin menurut kadar kemampuannya

masing-masing. Kemampuan manusia itu sendiri ditentukan oleh kualitas dan

kuantitas aktualisasi potensi nafs yang dimilikinya. Hanya manusia yang berada

dalam posisi nafs muthmainnah yang berposisi sebagai dâ�i. Dalam aktualisasinya

nafs muthmainnah pun akan berbeda derajat dan kualitasnya yang membuat status

individu dâ�i menjadi berbeda. Dalam garis besarnya, dâ�i ini terbagi dua, yaitu

nabi dan rasul Allah dan umatnya.

Nabi dan rasul Allah, menurut Muhammad Abduh adalah sama. Kedua

status itu berintikan pemberitaan dan penyampaian hidayah agama Allah SWT.

kepada manusia pada zamannya masing-masing.181 Muhammad Abduh meyakini

bahwa nabi dan rasul Allah terakhir adalah Nabi Muhammad SAW yang diutus

untuk seluruh manusia. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh

berargumen bahwa, jika Allah memberimu keistimewaan dengan nikmat-nikmat

yang banyak ini dan Dia mengutusmu kepada segenap manusia serta

menjadikanmu nabi penutup, maka seharusnyalah kamu menjadi orang yang

paling tinggi rasa syukurnya di antara sekalian manusia. Umatmu pun seharusnya

melakukan hal yang sama agar dengan karunia tersebut mereka menjadi

masyarakat terbaik di tengah-tengah manusia dan menjadi teladan bagi mereka

dalam berbagai kebaikan. 182

Macam-macam nikmat dan keutamaan yang diberikan Allah SWT kepada

Nabi Muhammad SAW adalah al-kitâb, al-hikmah, ilmu tentang hakikat

peristiwa, perkara ghaib, perlindungan Allah dari orang-orang yang memusuhinya

dan yang lainnya.

Muhammad Abduh meyakini bahwa kehadiran rasul Allah merupakan

bagian dari kebutuhan umat manusia, bahkan ia merupakan akal dan petunjuk

181 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 466. Pendapat Muhammad Abduh ini sama dengan pendapat Said bin Muhammad Ba�syan, lihat karyanya Busyrâ al-Karîm bi Syarh Masâil al- Ta�lîm, hlm. 5.

182 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 402. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 113, ayat ini mengenai perlindungan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dari musuh dan Allah memberikan Nabi kitab, hikmah dan ilmu yang belum diketahuinya.

129

umat dalam memahami dan menyikapi persoalan-persoalan di luar jangkauan

kemampuan hidayah hawâsi dan akal dengan cara beriman dan menerima

persoalan-persoalan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh

menyatakan adapun sesuatu yang memungkinkan untuk diketahui tapi sulit

diusahakan melalui indera dan akal, atau sulit didefinisikan, maka ia merupakan

persoalan yang kita membutuhkan seorang petunjuk yang mengabarkan dari Allah

SWT untuk kita meraihnya darinya atas dasar keimanan dan penyerahan diri. Oleh

sebab itu, kami berpendapat bahwa rasul itu laksana akal bagi umat dan hidayah

di balik hidayah indera, instink, dan akal.183

Sifat-sifat utama yang dimiliki oleh nabi dan rasul Allah sebagai dâ�i dan

muballigh selain sidiq (jujur), fathânah (cerdas), amânah (terpercaya), dan tablîgh

(transparan), adalah al-syajâ�ah yaitu keberanian dalam menjalankan tugas

dakwah Islam ketika berhadapan dengan mad�u yang memusuhinya. Mengenai

sifat al-syajâ�ah ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, bukti-bukti tersebut

menunjukkan sesungguhnya Allah memberi nabi potensi keberanian, sesuatu yang

tidak Allah berikan kepada selainnya di antara semesta alam. 184

Muhammad Abduh meyakini bahwa umat nabi wajib menaati apa yang

dicontohkannya dalam melaksanakan tablîgh Islam. Hal ini menurutnya bahwa,

ketaatan mereka terhadapmu bersifat wajib karena engkau merupakan muballigh

utusan Allah. Ketaatan itu merupakan ketaatan kepada Allah. Siapapun yang taat

kepada-Nya tidak akan berbahaya baginya perlawanan orang yang melawannya.

185

Kemudian, Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa apa yang menjadi

tugas rasul menjadi sifat baginya sebagai dâ�i dan muballigh petugas Allah, yaitu:

(1) menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya, (2) menyucikan

jiwa dari perilaku rendah, (3) mengajarkan al-kitâb, dan (4) mengajarkan al-

183 Al-Manâr, jld. II, hlm. 204-205. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al- Baqarah: 189, ayat ini mengenai adanya waktu tertentu pelaksanaan ibadah dan tata pergaulan.

184 Al-Manâr, jld. V, hlm. 305. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 84, ayat ini mengenai perintah berperang di jalan Allah. Selain sifat-sifat rasul yang disebutkan ini, Rasul juga bersifat tawadhu (santun) dan hayâ (malu), lihat Radhi al-Dîn al-Thabrâsi, Makârim al- Akhlâk, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), hlm. 13-20.

185 Al-Manâr, jld. V, hlm. 305. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 84.

130

hikmah dan mengajarkan hal-ihwal kejiwaan dan hukum-hukum ilahiyah yang

semula belum diketahui. Pendek kata, dâ�i seyogyanya memiliki keunggulan sifat

dan perilaku dalam merealisasikan hidayah agama di hadapan mad�u.186

Selain nabi dan para rasul Allah, manusia sebagai dâ�i adalah umat para

nabi dan rasul Allah, yang terakhir umat Nabi Muhammad SAW, yaitu semua

orang yang beriman (al-mu�minûn), yang memiliki sifat khas sebagaimana

dikemukakan Muhammad Abduh bahwa, mereka adalah kaum beriman kepada

Allah dengan keimanan yang mengatasi akal, hati, rasa mereka dan menguasai

dorongan-dorongan hawa nafsu mereka sehingga iman menjadi pedoman

perjalanan hidupnya dalam keadaan apapun. Keimanan inilah yang diberi oleh

Allah keistimewaan-keistimewaan dan sifat-sifatnya dalam banyak ayat dan

tampak berbagai faidah dan dampaknya dalam perubahan keadaan bumi di tangan

mereka. 187

Beberapa karakteristik dâ�i yang dikemukakan Muhammad Abduh

tersebut meliputi sifat nafsiyah dan sifat ijtimâ�iyyah. Sifat yang pertama berupa

keimanan yang menguasai „aql, qalb, dan masyâ�ir (rasio, hati, dan rasa) serta

menundukkan dorongan hawa nafsu. Sifat yang kedua berupa kemampuan

menggerakkan dan melakukan perubahan kehidupan sosial ke arah yang lebih

maju. Sifat-sifat dâ�i ini, menurut „Aly bin Shalih al-Mursyid, dapat digolongkan

menjadi tiga kategori, yaitu: (1) sifat nafsiyyah (karakter personal), (2) sifat

jasadiyah (karakter ragawi), dan (3) sifat ijtimâ�iyyah (karakter sosial). Unsur-

unsur yang terkandung dalam tiga kategori sifat ini dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, sifat nafsiyyah terdiri dari (1) penguasaan ilmu-ilmu Islam, (2)

pengamalan ilmu Islam yang sudah diketahuinya, (3) ikhlash dalam beramal, (4)

istiqâmah dalam menjalankan tugas, (5) al-„afw (pemaaf) dan al-tasâmuh

(toleran), (6) al-tawâdhu� (sopan santun), (7) al-„iffah (apik dalam urusan

duniawi), (8) al-quwah (berdaya), dan al-„azimah (kokoh pendirian), (9) al-shabr,

186 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 27-31. Sifat-sifat ini bagian dari penafsiran Q.S. Al- Baqarah: 151, ayat ini mengenai tugas Rasul Allah,

187 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 58. Ungkapan Abduh ini bagian penafsiran Q.S. Ali Imran: 104. Term „aql bersinonim dengan term hilm (kerendahan hati), nuhâ (mencegah dari perilaku madarat), lubb (inti sesuatu), hijr (menentang), dan qalb (hati). Lihat Hasan Muhammad Musa, Qamus Qurâny (Kairo: Maktabah Halil Ibrahim, 1966), hlm. 343.

131

(10) al-qanâ�ah (sederhana tidak rakus urusan duniawi), (11) quwah al-bayân

(kekuatan retorika), (12) al-waqâr (respek) dan al-razânah (kesungguhan), (13)

al-taqwâ, (14) al-shidq (jujur), (15) al-hilm (bijak), (16) al-wiqâyah (menjaga

diri) dan al-hadzr (waspada), dan (17) al-amânah (terpercaya);

Kedua, sifat jasadiyah terdiri dari (1) sifat jasmani yang terhindar dari

penyakit yang membuat mad�u menjadi tidak simpati dan menjauhkan diri dari

dâ�i, (2) menarik dalam penampilan, (3) berpakaian yang sesuai dengan nilai-nilai

Islam, dan (4) menampilkan keteladanan dalam aktivitas fisik. Ketiga, sifat

ijtimâ�iyyah terdiri dari (1) husn al-khuluq (berakhlak mulia), (2) shahbah khiyâr

(pandai bergaul), (3) al-mahabbah (cinta, kasih sayang), (4) al-wafâ bi al-„ahd

(menepati janji), (5) al-karam wa al-sakhâ (dermawan), (6) al-sajâ�ah (berani),

dan (7) al-nizhâm (disiplin dan teratur).188

Dilihat dari kualitas pelaksanaan dakwah, ada dâ�i yang hanya berdakwah

menurut kemampuan dan kesempatan yang tidak mmenjadikan dakwah sebagai

kegiatan utamanya. Ada pula dâ�i yang dakwah itu sendiri menjadi kegiatan

utamanya. Bagi kategori dâ�i yang kedua ini, menurut Muhammad Abduh, mesti

terlebih dahulu menjalani takwîn al-du�ât (proses kaderisasi dâ�i), sehingga

menjadi thâifah (kelompok khusus) sebagai “dâ�i profesional” yang menguasai

berbagai persyaratan keilmuan, keterampilan berdakwah, dan memiliki sifat-sifat

nafsiyyah, jasadiyyah, dan ijtimâ�iyyah.189

Tergolong kepada dâ�i kategori khusus sebagaimana yang diajukan oleh

Muhammad Abduh, penggolongan dâ�i menurut materi dan cara penampilan

dakwah. Penggolongan ini dilakukan oleh Ahmad al-Shawy dan Manâ al-Qathan,

yaitu: (1) dâ�i mutakallim yang meendakwahkan tawhid Allah dengan bahasa,

baik lisan maupun tulisan, seperti al-Asy�ary dan al-Maturidi, serta para

pengikutnya, (2) dâ�i mujâhid dan syuhadâ, yang mendakwahkan Islam dengan

perbuatan seperti perang melawan musuh dalam rangka membela diri, (3) dâ�i

188 Lihat Aly bin Shalih al-Mursyid, Mushthalahât al-Da�wah fî al-„Ashr al-Haâdhir, hlm.

211-235.

189 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28-30. Abduh mengacu pada Q.S. al-Taubah: 122, ayat ini mengenai keharusan adanya sekelompok khusus yang mendalami agama, sebagai alasan pentingnya Takwîn al-du�ât, selain dari term kuntum dan wa l-takun kalimat awal ayat 104 dan 110 Surah Ali Imran.

132

fuqahâ yang mendakwahkan syariat Islam seperti Imam madzhab yang empat:

Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi�i, dan Imam Ahmad, (4) dâ�i

shufi yang mendakwahkan ajaran tashawuf Islam seperti al-Junaidi, dan (5) dâ�i

khuthabâ yang menjelaskan ajaran Islam melalui pidato.190

Dari beberapa pendapat yang sejalan dengan Muhammad Abduh mengenai

pentingnya sifat-sifat nafsiyah, jasadiyah dan ijtima�iyah bagi da�i, menunjukkan

bahwa, sifat-sifat itu akan menjadikan da�i menjadi kredible. Jika da�i kredible,

maka akan besar peluang untuk dapat mempengaruhi mad�u. Sebab, sifat–sifat

bagi da�i menyangkut ethos yang diperlukan dalam proes dakwah.191

Oleh karena itu, kredibilitas da�i merupakan bagian dari faktor yang ikut

menentukan keberhasilan dakwah dengan berbagai bentuknya.

c. Hakikat Manusia sebagai Mad’u

Manusia sebagai mad�u berhubungan dengan kualitas dan derajat

aktualisasi potensi nafs yang dimiliki manusia dalam menyikapi hidayah agama

Islam, apakah potensi akalnya yang dominan ataukah hawa nafsunya. Jika potensi

akalnya yang dominan, maka manusia menerima hidayah agama Islam. Tetapi,

terjadi perbedaan dalam kualitas pengamalannya dan tingkat komitmennya

sehingga diperlukan bimbingan dan perbantuan untuk meningkatkannya. Manusia

yang demikian adalah mad�u dengan kategori ummah ijâbah (individu komunitas

manusia yang menerima hidayah agama) dan sebagai Muslim. Sedangkan

manusia yang potensi hawa nafsunya dominan, ia menolak kehadiran hidayah

agama Islam, tetapi masih berhak untuk menerima informasi tentang perlunya

merubah cara menyikapi hidayah agama yang memang diperuntukkan bagi semua

manusia berakal. Manusia yang kedua ini adalah mad�u dengan kategori ummah

da�wah (individu komunitas manusia yang berhak menerima hidayah agama

190 Lihat Ahmad al-Shawy al-Mâliki, Hâsyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsîr al- Jalâlalin, hlm. 25 dan Manâ al-Qathan, al-Da�wah ilâ al-Islâm (Beirut: al-maktab al-Islamy, 1397), hlm. 14-15, dan Muhammad Khalil Haras, Da�wah al-Tawhîd (Beirut: Dâr al-Kutub al- „Ilmiyah, 1986).

191 Hal ini didasarkan pada keyakinan pakar komunikasi mengenai ethos sebagai sumber kredibilitas komunikator. Selanjutnya lihat Raymond S. Ross, Understanding Persuation Foundation and Practice, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1985), hlm. 54.

133

Islam). Mad�u kategori kedua ini ada yang sudah menganut agama non-Islam

atausama sekali tidak mengakui agama, bahkan menolak semua agama sebagai

agamanya.192

Muhammad Abduh mengemukakan tentang manusia sebagai mad�u ini

dari macam-macam sudut pandang kualitas kejiwaan manusia dalam menyikapi

hidayah agama Islam. Peristilahannya dibangun dari peristilahan yang digunakan

dalam Al-Qurân. berikut pandangan Muhammad Abduh mengenai macam-macam

manusia sebagai mad�u.

Pertama, mad�u al-dhâllûn, yaitu yang sesat dalam mencari kebenaran dan

keliru menggunakan sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran. Mad�u yang

tergolong pada macam ini ada empat tipe, yaitu (1) manusia yang sama sekali

belum menerima informasi Islam, atau ada yang pernah menerimanya tapi belum

dapat memahaminya, dan ia masih mengandalkan kemampuan kognisi indera

lahir dan potensi akal, (2) manusia yang sudah sampai kepadanya infromasi Islam,

dan menjadikannya sebagai obyek untuk dipikirkan dan dikaji, tetapi belum

menerimanya sebagai keyakinan untuk diamalkan, (3) manusia yang sudah

sampai kepadanya informasi Islam dan ia menerima dan membenarkannya, tetapi

tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam dan ia terjebak oleh penguasaan

dorongan hawa nafsunya yang mengakibatkan terjadinya kekeliruan dan kesesatan

dengan mengadakan bid�ah (mengada-ada) dan khurafat (penyimpangan) dalam

beragama yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam sebagaimana terkandung

dalam Al-Qurân dan dicontohkan oleh generasi klasik Islam yang saleh, dan (4)

manusia yang sudah menerima informasi Islam, tetapi keliru dan melakukan

kesalahan dengan sengaja dalam memahami ajaran islam.193 Adanya keragaman

kualitas penerimaan informasi Islam berimplikasi pada keragaman sikap dan

perilaku manusia dalam kehidupan beragama ini diakui juga oleh Abdul Aziz

Qârah.194

192 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 107. Dua kategori mad�u ini diajukan oleh Rasyid Ridha ketika meringkaskan pokok-pokok kandungan Q.S. al-Baqarah dari sudut pandang dakwah.

193 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 440. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Fatihah. 194 Abdul Aziz Qârah, al-Islâm wa Tafâdhul al-Qabâil wa al-Syu�ûb, (Madinah al-

Munawarah: Maktabah al-Malik Fahd, 1414 H), hlm. 36-37.

134

Kedua, mad�u al-kâfirûn, yaitu orang yang mengingkari kebenaran ajaran

Islam dan menutupinya serta menolaknya dengan kesadaran dirinya. Perilaku

permusuhan menjadi salah satu cirinya.195 Perilaku kufur merupakan sumber

munculnya kerusakan dan menghancurkan kepribadian kemanusiaannya.196

Ketiga, mad�u al-munâfiqûn, yaitu orang yang dalam lisan dan

penampakan lahirnya beriman, tetapi di dalam hatinya kufr. Ia mengkalim menipu

Tuhan dan rasul-Nya. Padahal ia menipu dirinya sendiri walaupun ia tidak

menyadarinya, memperolok-olokan, dan fasâd adalah bagian cirinya.197 Selain

perilaku kemunafikan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh, yang

merupakan indikator kemunafikan seseorang adalah suka berdusta, ingkar janji,

mengkhianati amanah dan senang bermusuhan terhadap sesama manusia. 198

Keempat, mad�u al-musyrikûn, yaitu orang yang menjadikan makhluk

Allah dalam posisi Allah, dan menjadikan hawa nafsu dan produk pemikiran yang

didominanasinya menjadi sesuatu yang ditundukinya menyertai pengakuan akan

keberadaan Allah SWT sebagai Maha Pencipta.199 Syirik ini, ada syirik akbar dan

syirik ashghar. Yang pertama sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh

ini, dan yang kedua seperti riyâ.200

Kelima, mad�u Yahudi dan Nashrani, al-maghdhûb dalam Surah al-

Fatihah adalah Yahudi dan al-dhâllîn adalah Nashrani. Yahudi dimaksudkan

sebagai komunitas manusia yang menyimpangkan ajaran tauhid Allah yang

universal yang dibawa oleh nabi Allah Musa a.s., yaitu ajaran yang terkandung

dalam kitab Taurat, begitu pula Nashrani yang menyimpangkan ajaran yang

termuat dalam kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s.201

195 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 394. Bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 97-98, ayat ini mengenai orang yang memusuhi Allah, malaikat, dan para rasul adalah musuh Allah.

196 Lihat Sayid Sabiq, Islâmunâ ,(Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), hlm. 36-37. 197 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 148-149. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 8-

10, ayat ini mengenai indikator orang munafiq. 198 Lihat Muhammad Abd Aziz al-Khûli, al-Adâb al-Nabawi, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm.

14-15. 199 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 440. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 118-

119, ayat ini mengenai informasi perilaku orang musyrik dan peran Rasul Allah. 200 LIhat Muhammad Anwar Ahmad al-Baltazi, Min Washâya al-Qurân al-Karîm, (Kairo:

Dâr al-Turâts al-�Araby, 1987), hlm. 63-86. 201 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 428, 443-444. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-

Baqarah: 113, 120, ayat ini mengenai perilaku orang Yahudi dan Nashrani.

135

Keenam, mad�u al-mujrimûn, yaitu manusia yang melakukan dosa,

melanggar larangan agama Islam, yang bagi pelakunya diperintahkan melakukan

tobat, baik tobat dari dosa besar maupun dosa kecil.202 Dosa besar adalah perilaku

menyimpang dari ajaran yang diancam dengan hukum di dunia dan siksa di

akhirat contohnya melanggar larangan membunuh dan menyekutukan Allah SWT. 203

Ketujuh, mad�u dilihat dari kualitas kepemilikan pengetahuan dan sikap

keberagamaan, Muhammad Abduh mengelompokkan menjadi tiga macam

kelompok, yaitu: (1) al-„uqalâ, yaitu mad�u cendekiawan atau ilmuan yang tidak

menolak hidayah agama, (2) al-„awâm, yaitu mad�u berpengetahuan sederhana,

dan (3) al-mutawâsithîn, yaitu orang yang memiliki pengetahuan di atas orang

awam, tetapi di bawah hukamâ (filosof).204

Kategorisasi dan karakteristik mad�u dari sudut pandang selain yang telah

dikemukakan tersebut dapat dianalogikan jika secara substantif terdapat titik

persamaan, sebab Muhammad Abduh lebih menitikberatkan pada aspek

aktualisasi potensi nafs manusia sebagai pusat ishlâh dan taghyîr bagi manusia.

Dalam hal ini, Muhammad Abduh merujuk QS. Al-Ra�du (11): 11 dan QS. Al-

Anfâl (8): 53.

Dari sudut pandang perubahan sosial, taghyîr (perubahan), ishlâh

(perbaikan) dan tajdîd (pembaruan) kehidupan mad�u yang diajukan oleh

Muhammad Abduh dengan menjadikan aktualisasi nafs (jiwa) manusia sebagai

mad�u adalah sejalan dengan beberapa ilmuwan sosial mengenai terjadinya

perubahan sosial. Misalnya Wilbert Moore dan Evert E. Hagen, berpandangan

bahwa, perubahan sosial tidak akan terjadi tanpa perubahan dalam kepribadian

yang akan menimbulkan perubahan pola-pola perilaku dan interaksi sosial.205

202 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 300-301. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 44, ayat ini mengenai bagian dari macam perilaku dosa, tidak mengamalkan apa yang diperintahkan kepada orang lain.

203 Lihat Syamsuddin al-Zahabi, al-Kabâir, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm.8. 204 Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 263. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Nahl: 125 dan

Ali Imran: 21-22. 205 Lihat Melbert Moore, Order an Change Essays in Comparative Sociology, (New Yoork:

John Wiley and Sons, 1967), hlm. 3 dan Evert E Hagen, On The Theory of Social Change, (Home

136

Dari paparan Muhammad Abduh mengenai mad�u yang telah

dikemukakan, mad�u dapat dikelompokkan menjadi sembilan macam, yaitu: (1)

al-dhâlûn, orang-orang yang sesat; (2) al-kâfirûn, orag-orang yang menutupi dan

menolak kebenaran; (3) al-munâfiqûn, orang-orang oportunis; (4) al-musyrikûn,

orang-orang yang menyekutukan Allah SWT; (5) Yahudi dan Nashrani; (6) al-

mujrimûn, orang-orang yang berdosa; (7) al-„uqalâ, ilmuwan yang tidak menolak

kebenaran; (8) al-awâm, orang-orang yang berpengetahuan sederhana; dan (9) al-

mutawâsithûn, orang-orang yang berpengetahuan di atas al-awâm, tetapi di bawah

hukamâ (filosof).

Sebelum Muhammad Abduh, „Abd Allah bin Alwi al-Hadâd (w. 1132H)

telah mengemukakan mad�u secara variatif, menurutnya terdapat delapan macam

ketegori mad�u, yaitu: (1) al-„ulamâ, para ilmuwan; (2) ahl zuhd wa al-„ibâd,

golongan ahli zuhud dan ibadah; (3) ahl al-mulk wa al-sulthanah, golongan

penguasa dan pemerintah; (4) ahl al-tijârah wa al-shina�ât, golongan pedagang

dan pegawai; (5) ahl al-fakr wa al-dha�f wa al-maskanah, golongan kaum lemah

dan miskin; (6) al-atba� min al-awlâd wa al-nisâ wa al-mamâlik, golongan

keluarga dan hamba; (7) ahl al-tha�ah wa ahl al-ma�shiyah min al-„âmmah,

golongan ahli taat dan durhaka dari kalangan awam; dan (8) man lam yustajab

lida�wah Allah wa rasûlih wa lam yu�min bi Allah wa al-yawm al-akhir, golongan

orang yang belum mau menerima dakwah Allah dan Rasul-Nya, belum beriman

kepada Allah dan hari akhir. 206

Mengenai macam-macam mad�u tersebut, menurut responnya dapat

dikategorikan kepada:

Pertama, berdasarkan Q.S. al-Nahl:125, ada mad�u yang sesat (man

dhalla) karena dia menolak petunjuk ajaran yang didakwahkan, dan ada yang

menerima petunjuk ajaran yang didakwahkan (al-muhtadîn);

Kedua, berdasarkan Q.S. Fathir:32, yaitu mad�u yang menerima ajaran

yang didakwahkan secara optimal dan maksimal disebut sâbiq bi al-khayrât,

wood: Dorsey Press, 1962) hlm.35, dan Robert H. Lawer, Persfektif Tentang Perubhan sosial, terj. Perspectives on Social Change, oleh Alimandan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 3 dan 101.

206 Abd Allah bin Alwi al-Hadad, al-Da�wah al-Tâmmah wa al-Tazkirah al-Âmmah,

(Surabaya: Mathbaah bin Said,tt.), hlm. 3-4.

137

mad�u yang menerima ajaran yang didakwahkan, tapi belum mengamalkan secara

optimal dan maksimal disebut muqtashid dan mad�u yang menolak ajaran yang

didakwahkan disebut dzâlim li nafsih.

Ketiga, berdasarkan keputusan ketika memandang Islam yang

didakkwahkan sebagai sesuatu yang baru, akan terjadi respon dengan tiga

kategori, yaitu: (1) adopter pemula; (2) mayoritas adopter agak lambat; (3)

adopter yang paling terlambat (laggard).207

d. Karakteristik Umat

Term ummah diungkapkan langsung dalam nash Al-Qurân Surah Ali

Imran ayat 104 dan 110 yang mewajibkan dakwah. Posisi ummah ini berdimensi

tiga, sebagai subyek, obyek, dan sasaran yang akan dicapai oleh dakwah itu

sendiri.

Makna ummah secara etimologis merupakan derivasi dari (amma –

yaummu) yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari akar kata yang

sama lahir antara lain kata um yang berarti „ibu� dan imâm yang berarti pemimpin,

karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan anggota

masyarakat.208

Muhammad Abduh dengan merujuk isyarat ayat-ayat Al-Qurân yang

memuat term ummah mengelompokkan maknanya menjadi lima macam makna,

yaitu: (1), ummah berarti al-millah, yakni al-„aqâid wa ushûl al-syarî�ah (agama

atau keyakinan dan pokok-pokok syariat) sebagaimana diisyaratkan dalam QS.

Al-Anbiyâ (21): 92, ummah berarti al-jamâ�ah (komunitas manusia), sebagaimana

diisyaratkan dalam QS. Al-A�râf: 181 dan Ali Imran: 104; terhadap dua ayat

tersebut, Muhammad Abduh menegaskan: Kata tersebut tidak berarti jamaah

secara mutlak, melainkan ia bermakna jamaah yang terikat dengan ikatan sosial

yang membuat mereka dipandang sebagai satu, dan kepada mereka bisa

diterapkan satu nama seperti nama ummah; (3) ummah berarti al-sinîn, yaitu

207 Lihat Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker, Dilfusion Of Innovations, (New

York: The Free Press, 1983), hlm. 247. 208 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 325.

138

rentangan waktu, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Hûd: 8 dan Yusuf: 45; (4)

ummah berarti al-Imâm al-ladzî yuqtadâ bih (pemimpin yang diteladani),

sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Nahl: 120; dan (5) ummah berarti ihda

umam al-ma�rûfah (salah satu komunitas yang terkenal), sebagaimana

diisyaratkan dalam QS. Ali Imran: 110. Terhadap makna ini, Muhammad Abduh

menambahkan komentarnya bahwa, arti yang terakhir ini tidak keluar dari makna

jamaah sebagaimana yang telah kami kemukakan. Hanya saja ia dibuat lebih

khusus oleh „urf (kebiasaan). 209

Dari kelima makna ummah tersebut, dapat dipahami bahwa esensi makna

umat adalah kelompok manusia yang diikat oleh satu ikatan yang mencirikan

keberadaannya. Ikatan ini dapat berupa sistem nilai yang bersumber dari ajaran

agama atau produk budaya („urf). Umat terdiri atas individu-individu yang

berinteraksi di antara sesamanya dan ada yang berperan sebagai pemimpin ada

pula yang dipimpin. Dalam struktur sistem dakwah pemimpin tergolong pada

kategori sebagai dâ�i jika menampakkan perilaku dari nafs muthmainnah yang

dimilikinya. Demikian pula sebaliknya.

Abu Bakar Jabir al-Jazairi berpandangan sama dengan pandangan

Muhammad Abduh, tapi berbeda dalam cara memaknai term ummah ketika

menafsirkan QS. Ali Imran 104. Ia mengemukakannya secara singkat yang isinya

terdapat persamaan dengan pandangan Muhammad Abduh bahwa ummah adalah

sekumpulan manusia atau makhluk lainnya yang terikat dengan suatu ikatan jenis,

bahasa, atau agama. Urusan mereka menjadi satu, yang diaksud ummah di sini

adalah kaum pejuang dan kondisi amar ma�ruf nahyi munkar.210

Fungsi khayr ummah sebagai komunitas dakwah, sebagai dâ�i kelompok,

dan sebagai sasaran situasi dan kondisi yang akan dibangun melalui dakwah

Islam. Digambarkan oleh Muhammad Abduh bagaikan satu tubuh dan bagaikan

209 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 276. Dalam Al-Qurân term ummah juga digunakan untuk

menunjuk keberadaan kelompok selain manusia, misalnya QS. Al-An�âm: 38 menyebut adanya ummah dâbbah (komunitas hewan) dan ummah thairah (komunitas burung).

210 Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Al-„Aly al-Kabir, jld. I, hlm. 356. Secara sosiologis, komunitas adalah suatu kelompok manusia yang menempati suatu kawasan geografis, yang terlibat dalam aktivitas ekonomi, politik, dan juga membentuk suatu satuan sosial yang memiliki nilai- nilai tertentu serba kebersamaan. Lihat Judistira K. Garna, Ilmu-ilmu Sosial: Dasar, Konsep, Posisi (Bandung: PPs Unpad, 1996), hlm. 147.

139

satu bangunan. Hal ini terjadi jika tata nilai Islam sebagai agama dakwah

diwujudkan dalam kenyataan hidup individu Muslim dalam berinteraksi dengan

dirinya dan dengan sesamanya.

Oleh karena itu, khayr ummah adalah satu situasi dan kondisi kelompok

manusia Muslim yang menegakkan nilai-nilai keutamaan syariat sesuai

peruntukannya yang menjadi pembangkit umat yang hidup dinamis, maju, dan

bermartabat. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa

sesungguhnya ruh yang kepadanya Allah meitipkan seluruh syariat ilahiah seperti

membetulkan pemikiran, menajamkan penalaran, menata hawa nafsu, membatasi

tarikan-tarikan syahwat, memasuki segala sesuatu dari pintunya, mencari segala

yang diinginkan dengan mengikuti hukum kausalitas, menjaga kepercayaan,

mengusung persaudaraan, kerjasama dalam kebaikan, saling menasihati ihwal

kebaikan dan keburukan, dan pokok-pokok keutamaan lainnya, ruh itu merupakan

sumber kehidupan bangsa-bangsa dan sumber kebahagiaannya di dunia sebelum

akhirat.211

Dari paparan Muhammad Abduh tersebut di atas, dipahami bahwa,

terdapat sepuluh macam indikator kualitatif sistem nilai yang menjadi esensi

khayr ummah yang disebut sebagai ushûl al-fadhâil (pokok-pokok keutamaan),

rûh hayâh al-umam (jantung kehidupan bangsa-bangsa), dan mashdar sa�âdah al-

umam (sumber kebahagiaan bangsa-bangsa), yaitu: (1) benar dalam penalaran atas

obyek pengetahuan abstrak, (2) beres dalam penalaran atas obyek pengetahuan

empiris, (3) mengendalikan dorongan hawa nafsu, (4) mengendalikan keinginan

dorongan kebutuhan biologis, (5) proporsional dalam mengatasi berbagai

persoalan, (6) mencari keinginan yang baik menurut ketentuan kausalitas, (7)

memelihara amanah, (8) menegakkan rasa persaudaraan, (9) saling tolong-

menolong dalam kebaikan, dan (10) saling menasihati dalam melakukan kebaikan

211Al-Manâr, jld. IV, hlm. 163. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran: 144, ayat ini mengenai kedudukan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sebagaimana Rasul sebelumnya. Mengenai karakteristik khayr ummah ini, selanjutnya lihat Ali Abdul Halim

Mahmud, Ma�a al-„Aqîdah wa al-Harakah wa al-Manhaj fî Khayr Ummah Ukhrijat li al-nâs (Mesir: Dâr al-Wafa, 1992).

140

dan meninggalkan keburukan. Kesemuanya ini merupakan upaya mewujudkan

kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Secara sosiologis, pemikiran Muhammad Abduh tentang konsep umat

menganut sosiologi sarat nilai (value-laden) dan nilai itu adalah nilai Islam.

Dengan demikian, Muhammad Abduh menolak sosiologi bebas-nilai (value-free).

Muhammad Abduh tergolong penganut tipe teori evaluatif yang meyakini bahwa

tidak ada teori yang bebas-nilai, sebab „bebas-nilai� adalah nilai yang diyakini.

Para nabi hadir mustahil tidak membawa dan memperjuangkan nilai. Akan tetapi,

nilai yang dianut oleh masing-masing komunitas diakui akan berbeda-beda jika

sumber acuannya produk budaya manusia.212 David J. Gray, seperti dikutip oleh

Ilya Ba-Yunus dan farid Ahmad, berpendapat yang sama tentang tidak adanya

„bebas-nilai� dalam sosiologi. Bahkan, menurutnya, “bahwa sosiologi yang bebas-

nilai adalah sebuah doktrin kemunafikan dan ketakbertanggungjawaban.”213

Nilai merupakan ukuran kebaikan, kemudahan, dan kebenaran yang

menjadi rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan, menjadi landasan dan

pendorong bagi perubahan, sebab para nabi dan mujahid (pejuang Islam) sebagai

dâ�i bertugas untuk mempertahankan kebenaran dan menyelamatkan umat dari

kematian spiritual. Oleh karena itu, bagi Muhammad Abduh, selain sepuluh

macam indikator kualitatif khayr ummah, nilai universal ajaran Islam yang dibawa

oleh nabi dan rasul Allah adalah menjadi acuan dan pendorong dalam

menghidupkan ummah di sepanjang zaman dalam tataran realitas kehidupan umat

menuju pencapaian nilai sa�âdah (kebahagiaan) ideal, individual, dan komunal,

bukan hanya di dunia kini melainkan juga di akhirat kelak.214

Muhammad Abduh meyakini bahwa nilai persaudaraan dan gotong-

royong atau saling tolong-menolong dalam mencapai tujuan yang sama yaitu

212 Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj. Contemporary Sociological

Theory, oleh Yasogawa (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), hlm. 14-16. 213 Lebih lanjut, lihat Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat

Kontemporer, terj. Islamic Sociology: An Introduction, oleh Hamid Basyaib (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 37-38.

214 Mengenai sistem nilai ini, selanjutnya lihat H.G. Sarwar, Filsafat Al-Quran, terj. Philosophy of Quran, oleh Zainal Muhtadin Mursyid (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), hlm. 171-222, dan Abu Bakar A. Bagader (ed.), Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama, terj. Islam and Sociological Perspectives, oleh Machnun Husein (Yogyakarta: Tititan Ilahi Press, 1983), hlm. 10- 11.

141

sa�âdah merupakan bagian dari indikator kualitatif umat. Maka, pandangan

Muhammad Abduh tentang konsep umat yang diajukannya dilihat dari segi relasi

sosial tergolong pada kategori jenis masyarakat paguyuban (gemeinschaft).215

Keberadaan khayr ummah, menurut Muhammad Abduh, akan tetap tegak

jika sistem nilai Islam diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial, dan

gerakan realisasinya ini merupakan proses dakwah Islam. Muhammad Abduh juga

meyakini bahwa akhlak karimah merupakan perekat penyebab tegaknya khayr

ummah, di dalamnya terjadi penegakkan hak dan kewajiban individual,216 antara

individu dan komunal sesuai tuntunan ajaran Islam sebagai agama dakwah.

Ukhuwwah Islamiyah, akhlak karimah, dan penegakan hak dan kewajiban di

antara sesama individu di dalam ummah merupakan bagian dari esensi anatomi

masyarakat Islam.217

Mengenai penegakan hak dan kewajiban individual dan komunal dalam

struktur keumatan, menunjukkan penting adanya pemimpin yang memiliki fungsi

kepemimpinan, yaitu: (1) kepemimpinan sebagai fokus proses-proses kelompok;

(2) kepemimpinan sebagai kepribadian beserta efeknya; (3) kepemimpinan

sebagai pengupayaan pemenuhan; (4) kepemimpinan sebagai pelaksanaan

mempengaruhi; (5) kepemimpinan sebagai perilaku; (6) kepemimpinan sebagai

bentuk persuasi; (7) kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan; (8)

kepemimpinan sebagai alat untuk mencapai tujuan; (9) kepemimpinan sebagai

efek interaksi; (10) kepemimpinan sebagai peranan yang berbeda; dan (11)

kepemimpinan sebagai pemrakarsa.218

Mencermati penjelasan konsep ummah yang dimajkan Muhammad Abduh

dengan analisis sosiologis, maka interaksi da�i dengan mad�u dalam struktur

215 Masyarakat paguyuban dicirikan oleh adanya interaksi sosial yang melibatkan relasi

primer yang rapat dan tatap-muka, tradisi dan tujuan yang sama. Selanjutnya lihat Judistira K. Garna, Ilmu-ilmu Sosial, hlm. 148-149.

216 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 72, 311, 367, dan 370. Mengenai hak-hak dalam system ummah, selanjutnya lihat Musthafa Husni Assiba�i, Sosialisme Islam, terj. Isytirâkiyah al-Islamy, oleh Abdai Ratomy (Bandung: CV. Diponegoro, 1969).

217 Kajian mengenai anatomi masyarakat Islam ini, lebih lanjut lihat Yusuf al-Qaradawy, Anatomi Masyarakat Islam, terj. Malâmih al-Mujtama� al-Muslim al-ladzî Nansyuduh, oleh Setiawan Budi Utomo (Jakarta: Pustaka al-kautsar, 1999), dan Ruben Levy, Susunan Masyarakat Islam, terj. The Social Structure of Islam, oleh H.A. Lujito (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).

218Lihat Ralph M. Stogdill, Handbook Of Leadership, (New York: The Free Fresh, 1974), hlm. 7-15.

142

keumatan terjadi aktivitas dakwah yang dikategorikan sebagai bentuk dakwah

ummah.

3. Media dan Prinsip Metode Dakwah

a. Media Dakwah

Media dakwah (washîlah al-da�wah) merupakan salah satu komponen atau

unsur dalam struktur sistem dakwah. Ia berada dalam posisi yang mengantarai dan

menghubungkan materi dakwah antara dâ�i dengan mad�u, baik berupa benda

(mâddah) atau bukan benda (ma�nawiyyah) yang berfungsi sebagai saluran yang

dilewati materi dakwah dalam proses dakwah guna mencapai tujuan dakwah.219

Dalam bahasa Arab, metode dakwah ini menggunakan term tharîqah (jalan) dan

washîlah (perantara).

Muhammad Abduh tidak menjelaskan washîlah da�wah secara etimologis,

tetapi langsung menjelaskan dengan contoh. Menurutnya, washîlah da�wah dapat

berupa masâjid (masjid), ma�âbid (rumah ibadah), manâzil (rumah

singgah/pemondokan), masâkin (rumah tinggal), dan ma�âhid (lembaga).220

Beberapa macam media dakwah ini tergolong ke dalam kategori washîlah

mâdiyyah. Muhammad Abduh juga memasukkan tulisan berupa buku, majalah,

suratkabar, dan bahasa lisan,221 sebagai washîlah mâdiyyah da�wah, dalam

kategori yang dimajukan Muhammad Sa�id Mubarak. Sedangkan yang tergolong

pada washîlah ma�nawiyyah adalah sifat-sifat dan perbuatan dâ�i. Sehubungan

dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, rasul itu tiada lain kecuali

219Menurut Muhammad Sa�id Mubârak, dengan merujuk QS. Al-Maidah (5): 35 dan al-Isra

(17): 57, ayat ini mengenai perilaku iman, jihad di jalan Allah dan berdo�a sebagai macam

wasilah, washîlah al-da�wah adalah: (segala sesuatu yang dijadikan

perantara guna mewujudkan tujuan-tujuan tertentu dan mewujudkan sasaran- sasarannya). Terdapat dua macam wasilah. Pertama washilah mâdiyyah, yaitu masjid, lembaga- lembaga pendidikan, dan pusat aktivitas keislaman, bahasa lisan, bahasa tulisan, dan gerakan badaniah,

alat-alat elektronik, barang-barang cetakan. Kedua, washîlah ma�nawiyyah, seperti sifat- sifat yang

melekat pada pribadi dâ�i, situasi waktu dan kondisi ruang. Lihat Muhammad Sa�id Mubarak,

al-Da�wah wa al-Idârah, hlm. 46-47, dan lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Aysar al- Taf^asir, jld. I, hlm. 627.

220 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29. 221 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 13 dan jld. III, hlm. 348. Macam-macam media dakwah ini

pada intinya adalah lisan, tulisan, lukisan, audio, audio-visual, alat elektronik, dan perbuatan. Lihat

Shalahuddin Sanusi, Ilmu Da�wah (Bandung: PTDI Uswah Hasanah, tt.), hlm. 11.

143

perantara yang menyampaikan kitab Allah. Alasannya, karena ilmu yang benar

adalah ilmu yang merupakan deskripsi mengenai alam dan karakter yang melekat

dalam dirinya. Kegiatan-kegiatan itu tiada lain adalah cerminan sifat-sifat dan

karakter-karakter itu. 222

Kehadiran Muhammad Abduh pada zamannya yang telah melakukan

aktivitas ishlâhnya sebagai fokus utama dakwah yang diperjuangkannya, macam-

macam media dakwah yang terdapat pada saat itu telah digunakannya, baik

mâdiyyah maupun yang ma�nawiyyah. Prinsip-prinsip penggunaan macam-

macam media secara terperinci tidak dijelaskan.223 Muhammad Abduh hanya

mengemukakan bahwa ونكم مقام مقال (setiap tempat ada topik perbincangannya

yang mengena). Walaupun demikian, secara implisit, makna prinsip-prinsip

penggunaan media dakwah ini, Muhammad Abduh memasukkan ke dalam

penjelasan mengenai prinsip-prinsip metode dakwah.

b. Prinsip-prinsip Metode Dakwah

Dalam suatu perintah untuk melakukan sesuatu, di balik perintah itu

terdapat petunjuk bagaimana sesuatu itu dilakukan, akan halnya dalam perintah

dakwah. Bagaimana dakwah ini dilakukan berhubungan dengan metode dakwah.

Term metode oleh para penulis tentang dakwah disebut manhaj, tharîqah, ushlûb,

dan sabîl.224

Muhammad Abduh mengemukakan metode dakwah menurut prinsip-

prinsipnya dengan merujuk QS. Al-Nahl (16): 125 ketika menafsirkan QS. Ali

Imran (3): 21, mengeni penegasan ancaman siksa yang pedih bagi orang-rang

yang mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh para nabi-Nya tanpa hak dan

membunuh orang-orang yang memerintahkan menegakkan keadilan. Menurutnya

bahwa, sesungguhnya dakwah nabi, sejalan dengan keistimewaannya berupa

222 Al-Manâr, jld. III, hlm. 348. 223 Kajian mengenai prinsip-prinsip penggunaan media dakwah ini, selanjutnya lihat

Muhammad Sa�id Mubarak, al-Da�wah wa al-Idârah, hlm. 48-58, Muhammad Abd al-Fatah al- Bayânûny, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da�wah, hlm. 201-347, dan Ahmad Ahmad Ghalwus, al- Da�wah al-Islâmiyyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ, hlm. 276-363.

224 Lihat Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Da�wah al-Islâmiyah min al- Qurân al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyah, hlm. 60-66, dan Husayn Muhammad Yusuf, Sabîl al-Da�wah (Kairo: Dâr al-I�tisham, 1979), hlm. 49-54.

144

topangan ilahi dan pengaruh jiwa wahyu, memiliki tiga prinsip dan mmetode

penampilan dakwah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya „Serulah

ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan bantahlah dengan cara

yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui siapa yang tersesat

dari jalan-Nya dan Dia Maha Mengetahui siapa orang-orang yang mendapat

petunjuk.� Hikmah di sini berarti metode dakwah yang digunakan terhadap kaum

berpikir dan kaum cendekiawan yang senang berargumen. Nasihat digunakan

terhadap kaum awam. Debat dengan cara lebih baik digunakan terhadap kalangan

menengah yang belum sampai pada derajat hikmah dan belum keluar dari tingkat

mau�izhah secara mudah. Mereka masih suka berdiskusi meski tidak sempurna,

sehingga perlu dihadapi dengan perlakuan yang baik dalam berdebat dan

berbincang sesuai dengan tingkat pemikirannya. 225

Selanjutnya menurut Muhammad Abduh bahwa, ada tiga macam prinsip

metode yang menjadi basis bagi semua macam metode dakwah dalam teknik

operasionalnya, yaitu al-hikmah, al-mau�izhah al-hasanah, dan mujâdalah al-

husnâ, yang diperuntukkan bagi mendakwahi tiga macam mad�u yang memiliki

karakteristik masing-masing. Al-hikmah diperuntukkan dalam menghadapi mad�u

„uqalâ (rasionalis) dan ahl al-nazhar (pemikir) dengan cara mengedepankan

macam-macam al-burhân (bukti) dan al-hujjah (argumen). Al-mau�izhah al-

hasanah (nasihat yang baik) diperuntukkan dalam menghadapi mad�u awam yang

berpikiran sederhana. Kelompok ini menempati posisi terbanyak di kalangan

umat, antara lain dengan nashîhat atau tawshiyah.226 Mujâdalah al-husnâ

(berdebat secara santun) diperuntukkan dalam menghadapi mad�u yang tergolong

al-mutawâsithîn (kelas menengah) yang belum sampai ke tingkat pencapaian

hikmah tetapi tidak tunduk pada cara al-mau�izhah.

225 Al-Manâr, jld. III, hlm. 263. QS. Al-Nahl (16): 125 ini, merupakan bimbingan Allah kepada nabi Muhammad saw. dan umatnya cara melaksanakan kewajiban dakwah dalam bentuk prinsip-prinsipnya, Yusuf Ali menyebutnya sebagai principles of religious teachings which are good for all time (prinsip-prinsip ajaran agama yang baik bagi setiap zaman). Lebih lanjut lihat A. Yusuf Ali, The Theology of the Holy Qurân Text, Translation, and Commentary (USA: Amana Corp., 1983), hlm. 689.

226 lihat Abduh, Tafsîr Juz „Amma, hlm. 175-177.

145

Pemahaman adanya metode dalam kandungan QS. Al_nahl: 125 melalui

makna yang dikandung dalam bî al-hikmah, sebab bî merupakan bagian dari kata

al-jar atau tergolong pada bagian dari al-hurûf al-ma�ânî, yaitu huruf yang

memiliki padanan kata bermakna. Di antara maknanya adalah al-ilshâq

(mendekatkan, menyambungkan), al-ta�diyah (melewatkan), al-isti�ânah (alat

bantu pekerjaan), dan al-muqâbalah (mempertukarkan).227

Dengan demikian metode dakwah adalah cara mendekatkan dan

menyambungkan al-islâm kepada mad�u, cara melewatkan al-islâm melalui media

kepada mad�u, alat yang membantu sampainya al-islâm kepada mad�u, dan cara

mempertukarkan al-islâm kepada mad�u dengan sesuatu yang bukan al-islâm.

Menurut Muhammad Abduh, pengertian metode dakwah antara lain jalan

atau cara yang menghantarkan kepada kebenaran (al-haqq). 228 Senada dengan

pendapat Muhammad Abduh, pengertian metode dakwah yang dimajukan

Muhammad Abu al-Fatah al-Bayânûny, yang menggunakan term uslûb dan asâlîb

untuk metode, menurutnya asâlîb al-da�wah adalah jalan atau cara yang

ditempuh juru dakwah dalam melaksanakan dakwahnya. 229

Sebelum Muhammad Abduh, Imam Ghazali (w. 505H) dan Ibn Qayyim

al-Jauziyyah (w. 751H) telah menjelaskan mengenai tiga macam prinsip metode

dakwah ini. Imam Ghazali meyakini bahwa tiga macam prinsip metode dakwah

yang ditunjukkan dalam QS. Al-Nahl 125 merupakan isyarat akan adanya tiga

macam karakteristik mad�u yang dihadapi dalam melaksanakan kewajiban

dakwah Islam yang menjadi pedoman bagi juru dakwah agar berdakwah sesuai

peruntukannya.

227 Lihat Jamal al-din bin Hisyam al-Anshary, Mughny al-Labîb, jld. I (Indonesia: Dâr Ihya

al-Kutub al�Arabiyah, tt.), hlm. 96-97. 228 Al-Manâr, jld. I, hlm. 66. Al-haq adalah Allah dan segala sesuatu yang datang dari Allah

berupa wahyu yang disampaikan kepada para utusannya. Lihat Musthafa Mahmud, Allah antara Yang Ada dan Tiada, terj. Al-Wujûd wa al-„Adam, oleh Abu Bakar Basymeleh (Surabaya: Media Idaman, 1982), hlm. 20-30. Menurut kajian Mahmud Musa, al-haq adalah Allah, al-hikmah, al- islâm, al-syarî�ah, al-qurân, âyât Musa, al-„ilm al-shâlih, al-„adl, al-shidq, al-nashr, al-ba�ts, dan al-dîn. Lebih lanjut lihat Mahmud Musa, Qâmûs Qurânî (Kairo: Mathba�ah Khalil Ibrahim, 1966), hlm. 174-176.

229 Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-madkhal ilâ „Ilm al-Da�wah, hlm. 242. Ia juga

menyebut bahwa tiga macam metode yang ditunjukkan dalam QS. Al-Nahl 125 itu sebagai

(induk metode dasar).

146

Menurut Imâm al-Ghazali bahwa, al-hikmah digunakan untuk menghadapi

mad�u al-„ulamâ al-kâmilûn (kaum cendekia yang sempurna) yang memiliki

pemikiran yang sehat dan penglihatan yang tajam dalam mencari hakikat segala

sesuatu. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan al-dalâil al-qath�iyyah al-

yaqîniyyah (bukti-bukti yang pasti dan meyakinkan). Al-mau�izhah digunakan

dalam menghadapi mad�u ashhâb al-fithrah al-salîmah al-ashliyyah (penyandang

fitrah yang murni dan asli). Mad�u ini merupakan kelompok manusia yang

terbanyak yang belum sampai pada derajat kemuliaan, bahkan mereka sering

terjebak pada tindakan tercela. Dakwah mau�izhah di sini dilakukan dengan cara

nashîhah dan taushiyah. Mereka berada pada posisi di tengah antara mad�u

kelompok pertama dan kelompok mad�u yang ketiga, yaitu ashâb al-jidâl (ahli

berdebat), khishâm (bertelingkah), dan mu�ânadah (berselisih pendapat), dengan

cara berdiskusi yang baik dan santun. 230

Pasangan penggunaan tiga macam prinsip metode dakwah dalam

menghadapi tiga macam mad�u ini, bagi Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, agak berbeda

dalam memberikan karakteristiknya, yang lebih menekankan pada aspek

responnya, yaitu: (1) al-hikmah digunakan untuk menghadapi mad�u cendekia

yang menerima kebenaran dan tidak menentangnya; (2) al-mau�izhah al-hasanah

digunakan untuk menghadapi mad�u yang menerima kebenaran dari kalangan

orang yang lupa dan tertinggal dalam keilmuan Islam dan penegakannya; dan (3)

al-mujâdalah digunakan untuk menghadapi mad�u yang cendekia tetapi menolak

dan menentang kebenaran.231

Dari ketiga pendapat mengenai tiga macam prinsip metode dakwah dan

tiga macam tipe mad�u yang dihadapinya, baik menurut Muhammad Abduh, al-

Ghazali, dan Ibn al-Qayyim, jika digambarkan menunjukkan “kurva normal.”

230 Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Qisthâs alMustaqîm dalam al-Qushûr al-„Alawaly, jld. I, ed. Muhammad Musthafa Abu al-A�lâ (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), hlm. 11.

231 Lihat Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Al-tafsîr al-Qayyim (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988) hlm.

34. Al-hikmah ini sebagai prinsip-prinsip metode dakwah, lebih lanjut lihat Sa�id bin Ali al-

Qahthani, Da�wah Islam Da�wah Bijak, terj. Al-Hikmah fî al-Da�wah ilâ al-Lâh, oleh Masykur Hakim dan Ubaidillah (Jakarta: Gema Insani Press, 1994).

147

Bagi mad�u „uqalâ mustajib dan mu�ânid masing-masing berimbang. Lebih

banyak kelompok mad�u „awâm.232

Selanjutnya, tiga macam prinsip metode dakwah: (a) al-hikmah, (b) al-

mau�izhah hasanah, dan (c) al-mujâdalah al-husnâ dijelaskan oleh Muhammad

Abduh sebagai berikut:

1). Al-Hikmah

Muhammad Abduh meyakini bahwa term al-hikmah memiliki banyak

makna. Antara lain Muhammad Abduh menyatakan bahwa, hikmah merupakan

ilmu yang disertai dengan rahasia-rahasia hukum dan manfaatnya yang

membangkitkan kegiatan mengamalkan ilmu tersebut. Sebagian ulama

memaknainya sebagai sunnah.233

Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, hikmah digunakan untuk

menunjuk ilmu yang bermanfaat tentang rahasia-rahasia hukum yang

membangkitkan pada pengamalannya, dan al-sunnah.234

Muhammad Abduh juga mengartikan hikmah ketika menafsirkan QS. Al-

Baqarah 269 menurutnya bahwa, hikmah di sini berarti ilmu yang valid dan

menjadi sifat yang melekat dalam jiwa dan mengendalikan keinginan yang

mengarahkannya pada pengamalan ilmu.235

Sebelum Muhammad Abduh, al-Fairuzzabadi (w. 817 H) berpendapat

yang esensinya sama dengan ungkapan Muhammad Abduh di atas. Selain term al-

hikmah berarti al-Quran dan al-sunnah bagi al-fairuzzabadi, term al-hikmah

adalah akurasi perkataan, perbuatan dan pendapat. 236

232 Komposisi ini perlu dikaji pada tataran empirik melalui penelitian khusus. 233 Al-Manâr, jld. II, hlm. 29. Term al-hikmah dalam QS. Al-Baqarah 269 dimaksudkan

sebagai ilmu tentang Al-Qurân dan al-sunnah. Lihat Muhammad Sulayman Abd Allah al-Asyqar, Zubdah al-Tafsîr (Riyadh: Dâr al-Tadmuriyah, 2004), hlm. 45. Secara lughawi, hikmah berarti al- „adl, al-„ilm, al-hilm, al-nubuwwah, al-qurân, al-injîl, al-sunnah, al-„ilah, al-tajribah, al-ishabah, dan al-khayr. Kemudian lihat Muhammad Abd al-Fatah al-Bayânûni, al-Madkhal fî „Ilm al- Da�wah, hlm. 24-25.

234 Al-sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan atas suatu perkara. Lihat Abd al-Wahâb Khalaf, „Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm. 36.

235 Al-Manâr, jld. III, hlm 75. 236 Lihat Abu Thahir Muhammad bin Ya�qûb al-Fairuzzabadi, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr

Ibn „Abbâs (Jedah: al-haramayn, tt.), hlm. 31 dan 175.

148

Berbeda dengan pendapat Muhammad Abduh dan al-Fairuzzabadi di atas,

pengertian al-hikmah yang diyakini oleh Ibn al-Qayim al-Jawziyah, menurutnya

bahwa hikmah berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya yang patut. 237

Ketika menafsirkan QS. Ali Imran 164, term al-hikmah dalam ayat ini,

dinyatakan oleh Muhammad Abduh yaitu, adapun hikmah adalah rahasia serba

urusan, pemahaman atas berbagai hukum, penjelasan kemasalahatan di dalamnya,

dan jalan menuju pengamalannya. Itulah pemahaman yang mampu

menggairahkan pengamalan. Hikmah juga berarti pengamalan yang

memungkinkan pemahaman atas hukum-hukum tadi atau metode penelusuran

dalil dan pencarian berbagai hakikat melalui serba buktinya. Metode ini tiada lain

adalah metode Al-Qurân dan sunnahnya dalam hal akidah, moral, dan juga

ibadah.238

Al-hikmah sebagai prinsip metode dakwah dalam paparan Muhammad

Abduh di atas memuat kategori lain yaitu sebagai metode Al-Qurân dan sunnah

Al-Qurân dalam mendakwahkan aspek ajaran Islam, yaitu al-„aqâid, al-adâb dan

al-„ibâdah. Esensi al-hikmah menurut Muhammad Abduh meliputi: (1) rahasia-

rahasia segala sesuatu; (2) pengetahuan mendalam mengenai hukum-hukum; (3)

penjelasan nilai guna yang terkandung dalam hukum; (4) cara-cara pengamalan

hukum; (5) pemahaman mendalam mengenai hukum sebagai pembangkit

perbuatan,; (6) pengamalan hukum dapat menyampaikan kepada pemahaman

mendalam tentang hukum; (7) macam-macam metode istidlâl (penalaran dalam

pengambilan keputusan); dan (8) al-burhân argumen demonstratif sebagai cara

memahami segala hakikat pengetahuan.239

Macam-macam esensi al-hikmah di atas diimplementasikan secara

obyektif-proporsional dalam proses dakwah menurut dan sesuai dengan bentuk

237 Tafsîr al-Qayyim, hlm. 345. 238 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223. Term bî al-hikmah dalam QS. Al-nahl 125 diartikan oleh

Muhammad Karim Rajih sebagai (dengan cara perlakuan yang tepat dan

akurat, yaitu dalil kebenaran yang menghilangkan keraguan). Lebih lanjut lihat karyanya Audhah al-Bayân fî Syarh al-Mufradât wa Jumal al-Qurân (Beirut: Dâr al- Ma�rifah, 1983), hlm. 60 dan 232.

239 Bandingkan dengan pendapat al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jâwi, al-Tafsîr al-Munîr,

jld. 1 (Bandung: CV. Al-Ma�arif,tt.) hlm. 468.

149

kegiatannya, baik dalam da�wah bi ahsan al-qaul, da�wah bi ahsan al-„amal, dan

da�wah al-nafsiyah sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Fushilat 33.

Kemudian, dalam pengertian al-hikmah yang dimajukan Muhammad

Abduh yang memuat delapan macam esensi hikmah, terdapat tiga macam esensi

yang berhubungan dengan metode penalaran sebagai pekerjaan akal, yaitu: fqih,

bayân, thuruq al-istidlâl, dan barâhîn sebagai bentuk plural dari burhân. Berikut

penjelasan empat term dari esensi hikmah ini.

Pertama, fiqh atau al-fiqh menurut Al-Askary adalah ilmu tentang topik

perbincangan sesuai dengan jalan pemikirannya yang berbeda dari ilmu itu

sendiri. Oleh sebab itu, tidaklah patut dikatakan bahwa Allah memahami karena

Dia tidak bisa disebut sebagai melakukan pemikiran (permenungan mendalam).

Lalu ia menegaskan, bahwa sesungguhnya ilmu itu adalah mengetahui sesuatu

dan meyakininya secara obyektif dan meyakinkan.240

Kedua, bayân merupakan bagian dari term metodologis dalam pekerjaan

akal ketika memahami dan menerangkan obyek pengetahuan yang dikajinya.

Muhammad Abd al-jabiri menggunakan term bayânî selain term burhânî dan

irfânî sebagai sistem pengetahuan dalam formasi nalar Arab.241 Term al-bayân

juga digunakan dalam disiplin ilm al-fiqh, usûl al-fiqh, dan balâghah. Oleh

karenanya, pengertian al-bayân ini dibatasi pada dua arti yaitu al-bayân sebagai

al-ta�rîf dan al-dalîl, yang penggunaannya dapat digunakan dalam tablîgh al-

islâm ketika menjelaskan ajaran Islam sebagai materinya, melalui lisan, tulisan,

dan perbuatan.

Al-bayân sebagai al-ta�rîf dijelaskan oleh Muhammad Husni Abd al-

Hakim adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuknya yang abstrak menjadi

berbentuk konkret dan jelas. Sedangkan al-bayân sebagai al-dalîl adalah dalil

yang dengan penalarannya yang benar di dalamnya mengantarkan kepada

pengetahuan atas sesuatu yang didalilinya. 242

240 Lihat Abu Hilal al-Askary, al-Lum�ah min al-Furûq (Surabaya: al-Maktabah al-

Tasaqafiyah, tt.), hlm. 9 dan 11. 241 Penelaahan lebih lanjut, lihat Muhammad Abd al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj.

Takwîn al-„Aql al-„Araby, oleh Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003). 242 Muhammad Husni Abd al-Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân (Kairo: Jami�ah al-Azhar,

1982), hlm. 37.

150

Dalîl merupakan keterangan yang memberikan petunjuk atas perkara yang

dicari yang bersumber dari pendengaran dan penalaran. Yang pertama berupa al-

kitâb dan al-sunnah dan yang kedua berupa nazhar (pemikiran mendalam) dan

ta�ammul (perenungan mendalam). Dalil ini digunakan dalam menggambarkan

ajaran Islam oleh dâ�i ketika melaksanakan kewajiban dakwah sesuai dengan

tuntutan situasi dan kondisi mad�u yang dihadapinya.243

Sumber al-bayân adalah sunnah utusan Allah SWT dan dari sumber ini

melahirkan macam-macam kegiatan bayân. Muhammad al-Asqari, sebagaimana

dikutip oleh Muhammad Husni Abd al-Hakim berpendapat bahwa, sesungguhnya

Allah, Dzat yang tampak agung hikmah-Nya, menjadikan Rasul SAW. sebagai

manusia teladan bagi al-kitâb yang menjabarkan melalui tingkah-laku, kegiatan,

perasaan, dan pemikirannya berbagai prinsip dasar metode qurani dan makna-

maknanya.244

Berdasarkan atas penelaahan sunnah rasul Allah SWT oleh para ulama,

terdapat delapan macam al-bayân menurut tehniknya, yaitu: (1) al-bayân bî al-

qaul (penjelasan dengan perkataan), (2) al-bayân bî al-fi�il (penjelasan dengan

perbuatan), (3) al-bayân bî al-taqrîr (penjelasan dengan persetujuan), (4) al-

bayân bî mâ hamma bih (penjelasan dengan sesuatu yang tersirat), (5) al-bayân bî

al-isyârah (penjelasan dengan tanda petunjuk), (6) al-bayân bî al-kitâbah

(penjelasan melalui tulisan), (7) al-bayân bî al-tarki (penjelasan dengan tidak

melakukan), dan (8) al-bayân bî al-tanbîh „alâ al-„illah (penjelasan dengan

peringatan yang beralasan). Subyek instrumen dari kedelapan macam al-bayân ini

berfungsi sebagai media dakwah dan aktualisasi aktivitasnya sebagai metode

dakwah.245

Ketiga, thuruq al-istidlâl, Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode-

metode penalaran dalam mengambil keputusan atau penyimpulan dengan

mengajukan alasan yang kuat dalam menetapkan sesuatu yang dituju adalah

243 Lebih lanjut lihat Muhammad bin Shalih al-„Utsaymin, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl (Riyadh: Muassasah al-Jarisy, 1994), hlm. 14-15.

244 Muhammad Husni Abd al-Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân, hlm. 38. 245 Pendapat ini dikutip dari pendapat Imâm al-Zarkâsyi, lihat Muhammad Husni Abd al-

Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân, hlm. 38.

151

bagian dari esensi al-hikmah dalam dakwah. Muhammad Abduh menjelaskan

perlunya menerapkan metode penalaran ini ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah

111 dan menghubungkannya dengan QS. Yusuf 108, menurutnya bahwa Al-

Qurân mengajarkan kepada ahlinya agar mereka menuntut sekalian manusia untuk

menggunakan argumen (al-hujjah) karena Al-Qurân menempatkan mereka pada

posisi argumentasi yang sama. Ia juga mendorong orang yang meyakininya untuk

menuntut lawan-lawanya berargumen dan menyerunya kepadanya. Jalan inilah

yang ditempuh oleh kaum salaf umat Islam yang saleh. Mereka berpendapat atas

dasar dalîl dan menuntut dalil dari yang lain. Mereka melarang melakukan

penalaran (al-istidlâl) tanpa dasar dalil. Kemudian datanglah generasi penerus

yang tidak saleh. Mereka memutuskan sesuatu secara taklid dan meerintahkan

bertaklid. Mereka mencegah orang menelusuri bukti-bukti (al-burhân)

ketidakbenaran taklid. Sehingga, seolah-olah Islam itu keluar dari batasannya atau

berbalik ke arah lawannya. Segeralah orang-orang yang mengerti bahwa Islam

berbeda dari agama-agama lain menyerang taklid dan menekankan perlunya data

dan dalil. Orang-orang lalu mengetahui kemerdekaan berpikir, sambil berdiskusi

tentang hal itu, menyerukan umat Islam untuk kembali kepada dalil dan mencela

kecenderungan untuk memercayai informasi tanpa dalil.246

Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, terdapat term al-istidlâl dan

al-dalîl, al-hujjah, dan al-burhân sebagai perangkat metodologis penalaran ilmiah

dalam mendakwahkan al-islâm kepada mad�u „uqalâ. Berikut penjelasan singkat

term ini yang dirangkum dari para pengkaji manthiq:

Pertama, Al-istidlâl dan dalîl. Istidlâl adalah iqâmah al-dalîl li itsbât al-

dalîl (menegakkan dalil untuk menetapkan apa yang dikehendaki) dan dalîl adalah

mâ yarsyudu ila al-mathlûb (sesuatu yang mengarahkan pada apa yang

dikehendaki). Terdapat dua macam istidlâl, pertama istidlâl al-mubâsyir dan

kedua istidlâl ghayr al-mubâsyir. Pengertian istidlâl macam pertama adalah

iqâmah al-dalîl „ala al-mathlub mubâsyiratan ay mustaqîman (menegakkan dalil

atas sesuatu yang dikehendaki secara langsung atau linier). Ini meliputi tiga cara:

246 Al-Manâr, jld. I, 425. Pandangan Muhammad Abduh ini sarat dengan substansi teori paradigma tindakan rasional.

152

(1) al-qiyâs (silogisme), (2) al-istiqrâ (induksi), dan (3) al-tamtsîl (penampilan

contoh). Ketiga macam ini menjadi isi dari al-hujjah (argumen logis). Pengertian

yang kedua adalah iqâmah al-dalîl „ala mâ yalzumu al-mathlûb li itsbâtihi

(menegakkan dalil atas sesuatu yang memestikan adanya sesuatu yang

dikehendaki guna menetapkannya). Ini meliputi tiga cara: (1) tanâqud, (2) „aks

mustawi, dan (3) aks al-maqîdh;

Kedua, al-hujjah, secara lughawi berarti al-ghalabah (mengalahkan).

Secara ishtilâhi, hujjah berarti al-dalîl al-dâl „alâ al-mathlûb (dalil yang

menunjukkan pada sesuatu yang dikehendaki). Jika keterangan dimaksudkan

untuk menunjuk pada penggambaran sesuatu tanpa adanya penetapan sesuatu

padanya, disebut ta�rîf (definisi). Jika ada penetapan pada sesuatu yang ditunjuk

disebut tashdîq (proposisi). Hujjah ini meliputi tiga macam cara: (1) al-qiyâs, (2)

al-istiqrâ, dan (3) al-tamtsîl. Inti penalaran dalam al-qiyâs adalah menetapkan

ketentuan umum kepada bagian-bagiannya, istiqrâ menetapkan hukum yang

terdapat dalam bagian kepada umum, dan tamtsîl menetapkan bagian kepada

bagian yang lain atas adanya titik persamaan.

Ketiga, al-burhân, secara lughawi berarti al-dalîl (penunjuk), secara

ishthilâhi, al-burhân adalah al-dalîl al-qath�iy al-murakkab min mqaddimât

yaqîniyah (penunjuk yang pasti yang terdiri atas premis-premis yang valid) dan

muqaddamât yaqîniyyah (premis-premis yang valid) ini meliputi: (1) al-awaliyât,

(2) al-musyâhadât, (3) al-mujarrabât, (4) al-hadatsiyât, (5) al-mutawâtirât, dan

(6) al-wijdâniyât. Al-burhân ini ada dua macam: (1) al-burhân al-limiyyî, yaitu

al-istidlâl min al-„illah ila al-ma�lûl (mencari dalil dari alasan menuju obyeknya)

dan (2) al-burhân al-Inayyi, yaitu al-istidlâl min al-ma�lûl ilâ al-„illah (mencari

dalil dari obyek menuju alasan). 247

Muhammad Abduh melontarkan kritikan terhadap para pembaca Al-Qurân

yang hanya menekankan pada cara dan keindahan bacaannya. Mereka

247 Lihat Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, hlm. 54-63, Muhammad Nur al-Ibrahimy, „Ilm al-Manthiq (Surabaya: Maktabah Sa�id bin Nashim Nabhan, tt.), hlm. 86-87, Muhammad Sayid al-Jalind dan Rizq al-Hajr, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt.), hlm. 107-116, dan Muhammad Anwar al-Badkhasyani, Tashîl al-Manthiq (Karaci: Idârah al-Qurân wa al-„Ulum al-Insâniyah, 1988), hlm. 88-89.

153

mengabaikan makna apa yang dibacanya padahal Al-Qurân merupakan petunjuk

kehidupan yang pemahaman term-term yang dikandungnya memerlukan

penggunaan dilâlah lafzhiyyah, tadhamun, muthâbaqah, dan iltizâm.248 Tiga

macam dilâlah ini merupakan kegiatan penalaran pembentukan konsep

(tashawwur) dan pembentukan keputusan (tashdîq).

Muhammad Rasyid Ridha sebagai murid Muhammad Abduh meyakini

bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW pada zamannya, dirinya sendiri menjadi

al-burhân bagi umatnya: pertama, burhân bis îratihi al-„ilmiyyah (bukti

kebenaran dengan perjalanan dan kegiatan hidupnya) dan kedua, burhân fi

da�watihi al-„ilmiyyah al-syar�iyyah (bukti kebenaran melalui dakwahnya yang

ilmiah dan membawa syariat). Berkenaan dengan yang kedua ini, Nabi

Muhammad SAW., menurut Muhammad Abduh, telah memberikan contoh

penggunaan al-hujjah dalam lima macam metode, yaitu dengan memberikan

argumen rasional dan argumen demonstratif berupa: (1) bayân al-hujaj al-

kawniah al-„aqliah (menjelaskan argument-argumen kealaman yang rasional); (2)

bayân al-syarâi� al-„amaliah (menjelaskan segala syariat praktis); (3) bayân al-

hikmah al-adâbiah (menjelaskan hikmah etik); (4) bayân al-siy sah al-hurriyyah

(menjelaskan politik kemerdekaan); dan (5) bayân al-siyâsah al-ijtima�iah

(menjelaskan politik kemasyarakatan).249

Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai hakikat hikmah, dapat

dipahami bahwa, dakwah rasional merupakan kekhasan pemikiran Muhammad

Abduh tentang dakwah, rasionalitas dakwah ini dipandang urgen dalam

mempengaruhi media, yang dalam term komunikasi disebut logos, yaitu

pendekatan rasional dalam mempengaruhi komunikasi.250

2). Al-Mau’izhah al-Hasanah

Term al-mau�izhah disebut juga dengan term al-wa�zh, secara lughawî, al-

mau�izhah berarti al-nashîhah (nasehat, ketulusan), al-dzikr (peringatan), dan al-

248 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 74. 249 Lihat Al-Manâr, jld. VI, hlm. 99. Ini merupakan bagian penafsiran Rasyid Ridha atas

QS. Al-Nisa 174, ayat ini mengenai kehadiran nabi Muhammad sebagai burhân. 250 Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, hlm. 86-87.

154

washiyah (wasiat, pesan penting). Dan al-hasanah berarti kebaikan dari al-

sayyiah (keburukan). Dengan demikian, al-mau�izhah al-hasanah berarti nasihat,

peringatan, dan pesan yang baik.251 Muhammad Abduh menjelaskan pengertian

term al-wa�zh antara lain, yaitu wa�zh adalah nasihat dan peringatan akan

kebaikan dan kebenaran dengan cara yang menyentuh hati dan memotivasi untuk

beramal.252

Nasihat dan peringatan dengan kebaikan dan kebenaran yang terkandung

dalam Islam agama dakwah, dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan

maupun tulisan dan bahasa perbuatan. Oleh karenanya, al-„Uqaili mengajukan

pendapatnya mengenai pengertian al-mau�izhah al-hasanah ini sebagai kata-kata

yang baik, yang menggerakkan jiwa dan berkesan dalam perasaan, dan membuat

jiwa mau menerima mendengar kebenaran. Ia menerimanya atas izin Allah Yang

Mahagagah dan Mahaperkasa. Uqaili memasukkan „dengan izin Allah „azza wa

jalla� dalam pengertian mau�izhah hasanah di atas merujuk pada QS. Al-Ahzâb

(33): 46.253

Muhammad Abduh melontarkan kritiknya bahwa, penggunaan bahasa

lisan dan tulisan merupakan esensi mau�izhah hasanah banyak dilanggar oleh

para dâ�i dan muballigh pada zamannya. Nasihat banyak menyinggung perasaan

mad�u dan saling menjelekkan sehingga jiwa umat semakin jauh dari saling

mencintai di antara sesama dan menimbulkan konflik horizontal, retaknya

persaudaraan dan perpecahan umat. 254

Oleh karena itu, Muhammad Abduh menyeru agar tuntunan Al-Qurân

mengenai penggunaan bahasa dan perbuatan dalam merealisasikan mau�izhah

hasanah dipatuhi, yaitu: menggunakan tutur-kata yang lemah-lembut, sopan dan

santun, bahasa yang sesuai dengan nilai keluhuran bahasa Al-Qurân sebagai kitab

dakwah, memuji dan mencaci pada tempatnya, memberikan informasi solusi

persoalan kehidupan yang penuh optimisme, memberikan motivasi dan

251 Lihat al-Bayânûny, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da�wah, hlm. 258. 252 Al-Manâr, jld. II, hlm. 404. Ungkapan Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah 232,

ayat ini mengenai peran mawidzah dalam mengatasi konflik keluarga. 253 Ahmad bin „Abd al-Wahâb al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 188. 254 254 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29.

155

membangkitkan semangat menegakkan akidah yang bebas dari belenggu bid�ah

dan khurafat, bebas dari belenggu taklid, memberi contoh akhlak mulia dan

menentang segala intervensi budaya non-Islam yang merusak tatanan hidup umat

Islam, menyeru dan memberi contoh menegakkan keadilan, persaudaraan dan

memajukan peradaban sesuai tuntunan Al-Qurân menurut contoh sunah rasul dan

generasi salaf yang saleh.255

Muhammad Abduh meyakini bahwa taushiyah merupakan bagian dari

prinsip mau�izhah hasanah, antara lain menurutnya taushiyah adalah sebagaimana

dapat dipahami dari konotasi bahasa dan penggunaannya pada tempo dulu dan

sekarang, adalah sesuatu yang anda pesankan kepada orang lain berupa kegiatan

pada masa mendatang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lalu

Muhammad Abduh menambahkan penjelasannya bahwa wasiat adalah

memberikan pesan dengan nada peringatan kepada orang lain untuk sesuatu yang

bisa ia kerjakan. 256

Ketika menafsirkan QS. Al-„Ashr, Muhammad Abduh antara lain

mengemukakan esensi utama dari taushiyah adalah perintah berbuat amal saleh

dan melarang berbuat amal batil.257

3). Al-Mujâdalah al-Husnâ

Ada sementara mufasir yang berpendapat bahwa al-mujâdalah al-husnâ

tidak termasuk prinsip metode dakwah, dengan alasan gramatikal bahwa kalimat

tersebut tidak di�athafkan kepada al-hikmah dan al-mau�izhah al-hasanah, tetapi

merupakan awal kalimat. Muhammad Abduh tidak mengikuti pendapat tersebut.

Menurutnya, al-mujâdalah al-husnâ termasuk rpinsip metode dakwah, sebab jidâl

merupakan bagian dari fithrah insâniyyah yang diinformasikan oleh Allah SWT.

Oleh karenanya, untuk menghadapi tipe mad�u yang gemar mengaktualisasikan

255 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 399-400 dan Al-Manâr, jld. V, hlm. 230-231. Lihat pula al- Bayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da�wah, hlm. 259.

256 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 404-405. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al- Nisa 11, ayat ini mengenai washiyah dalam ketentuan warits.

257 Lihat Abduh, Tafsir al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 176.

156

potensi jidâl pada dirinya hendaknya digunakan jalan al-mujâdalah al-husnâ

ini.258

Secara lughawi al-mujâdalah atau al-jidâl, menurut al-Bayânûni, berarti

al-munâqasyah, al-munâzharah, al-muhâwarah (diskusi dan dialog akademis)

dan al-ladadu fi al-khushûmah (perang argumentasi). Sedangkan secara ishthilâhi,

al-jidâl adalah bantahan seseorang terhadap lawan-lawanya mengenai kekeliruan

pendapatnya dengan argument atau sejenisnya. 259

Pengertian lughawi dan ishthilâhi tentang al-jidâl ini dijelaskan oleh al-

„Uqayli, menurutnya bahwa, jidâl secara etimologis adalah perang argumentasi

dan kemampuan untuk melakukannya. Makna generik jidâl adalah kecamuk

peperangan. Secara terminologis, jidâl berarti perang kata-kata dalam suasana

pertikaian dengan suasana permusuhan yang sengit.260

Mengingat al-jidâl dalam nash Al-Qurân surah al-Nahl 125 diberi

keterangan dengan sifat „yang lebih baik� maka al-jidâl ini ada yang tidak baik

dan tercela (madzmûm), yaitu untuk mencari kemenangan dan menebar

permusuhan terhadap lawan jidâlnya. Sedangkan jidâl yang lebih baik dan terpuji

(al-mamdûh) ditujukan untuk mencari kebenaran dan menegakkannya serta

menebarkan persaudaraan dan kemitraan. Dalam pengertian inilah, jidâl

digunakan sebagai prinsip metode dakwah Islam. Jika jidâl madzmûm

mengedepankan sentimen mengabaikan argumen, maka jidâl mamdûh

mengedepankan argumen mengabaikan sentimen. Oleh karenanya, kalangan

ulama Islam membedakannya dengan menggunakan istilah mudzâkarah (diskusi)

untuk jidâl mamdûh dan mukhâshamah untuk jidâl madzmûm. Selain itu juga

digunakan istilah mukâbarah (adu kesombongan) dan munâza�ah

(percekcokan/pertikaian).261

Munâzharah merupakan aktivitas potensi akal manusia dengan

mencurahkan daya upaya dalam memahami, mencari, dan menegakkan kebenaran

258 Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 263-264. 259 Lihat al-Bayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da�wah, hlm. 262. 260 Lihat al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 192. 261Selanjutnya lihat Abd al-Rasyid al-Jughûry, al-Rasyîdiyyah (Mesir: Mushthafa al-Babi

al-Halabi, 1350H), hlm. 12-17. Selanjutnya disebut al-Rasyîdiyyah.

157

yang bersumber pada nash (teks Al-Qurân dan hadits) dan konteks yaitu tatanan

sunnah Allah (hukum alam) dalam realitas alam materi dan alam immateri, yang

menurut para fuqahâ disebut ijtihâd. Munâzharah digunakan secara proporsional

dalam menghadapi mad�u „uqalâ yang tidak menolak kebenaran, dan „uqalâ yang

menolak kebenaran.262

Abd al-Rasyid al-Jûngûry (w. 1083H) mengajukan pemikirannya

mengenai etika munâzharah yang ringkasnya yaitu, bagi pelaku munâzharah

(munâzhir) hendaknya menguasai materi yang dimunâzharahkan secara baik dan

benar, tidak tergesa-gesa dalam mengemukakan pendapat, menghilangkan

sentimen pribadi, berbicara sesuai proporsinya, tidak mencampuradukkan dalîl

qath�iyyah dengan dalîl zhanniyyah dan menguasai cara-cara berbicara yang baik,

benar, dan sopan. Hal-hal ini hendaknya menjadi karakteristik kepribadian

munâzhir. Kemudian, etika teknis dalam proses munâzharah hendaknya: (1) tidak

terlalu ringkas dalam menyampaikan pendapat; (2) tidak terlalu panjang dalam

membahas persoalan; (3) tidak menggunakan istilah-istilah asing bagi lawan

bicara; (4) tidak menggunakan term yang ambigue tanpa ada penyerta yang

menjadi acuan dalam pemahaman; (5) tidak berbicara di luar konteks

pembicaraan; (6) tidak menertawakan lawan bicara dan tidak menggunakan nada

suara yang keras, tidak menggunakan ungkapan orang sufahâ; (7) tidak

menampilkan perilaku yang menakutkan lawan bicara; (8) tidak mengejek dan

merendahkan lawan bicara; (9) meluruskan niat menegakkan kebenaran,

menjauhkan sentimen, tidak bermaksud menjatuhkan lawan dalam waktu singkat;

(10) memperhatikan kesopanan perfromence pun hendaknya dipelihara. Misalnya,

cara duduk hendaknya sesuai dengan tata kesopanan yang dianut bersama, tidak

bermunâzharah ketika lapar dan dahaga; dan (11) mengendalikan hawa nafsu, dan

jauhkan perilaku emosi dan marah.263

262Selanjutnya lihat Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, terj, Ma�âlim al- Manhaj al-Islâmi, oleh Saefullah Kamalie (Jakarta: Media Dakwah, 1994), hlm. 143-192.

263 Selanjutnya lihat al-Rasyîdiyah, hlm. 107-110, dan kajian lebih sistematis mengenai prosedur munâzharah ini lebih lanjut lihat Muhammad al-Amin al-Syinqithi, Adâb al-Bahtsi wa al-Munâzharah (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, tt.).

158

Sebagai dâ�i pemikir, Muhammad Abduh telah memberikan gambaran

implementasi munâzharah yang dapat dikategorikan pada jidâl mahmûd dalam

karya tulisnya al-Islâm wa al-Nashrâni fi al-„Ilm wa al-Madaniyyah.264

Dari paparan dan analisis metodologis perumusan hakikat, dasar hukum,

tujuan, dan unsur dakwah menurut Muhammad Abduh yang telah dikemukakan,

dapat dikonseptualisasikan rumusan kesimpulannya secara taksonomis kepada

aspek epistimologis, ontologis dan aksiologis bagi pengembangan disiplin ilmu

dakwah yaitu: aspek epistimologis dakwah bersumber pada al-Quran, sunnah

Rasul, realitas empiris aktivitas dakwah dalam rentang sejarah dan produk ijtihad

ilmuwan dakwah yang dirumuskan dengan menggunakan kaidah manthiqiyah

sebagai kaidah kerja akal dalam memahami dan mengkonseptualisasikan dakwah

sebagai objek kajiannya. Aspek ontologis, hakikat dakwah adalah perilaku

rasional berupa internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi Islam sebagai

proses ishlâh dan tajdîd kehidupan umat guna memperoleh kehidupan yang

hasanah di dunia dan di akhirat serta terbebas dari siksa neraka kehidupan.

Kemudian secara taksonomis, hakikat dakwah sebagai bagian dari sesuatu

yang ada terdiri dari: a) dakwah menurut martabatnya (levelnya): level pertama,

dakwah universal (da�wah hâdzihi al-ummah) yang dilakukan oleh para nabi dan

umatnya yang ditujukan kepada mad�u non-Muslim; dan level kedua, dakwah

yang berlangsung di lingkungan umat Muslim (al-da�wah al-„âmmah al-

kulliyyah) dalam upaya meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan

ajaran Islam, dan b) dakwah menurut fungsinya: (1) dakwah sebagai proses

implementasi (tathbîq) ajaran Islam dalam memperbaiki dan mencari solusi

problem kehidupan umat; dan (2) dakwah sebagai proses ishlâh (reformasi) yaitu

tajdid (pembaruan), dan taghyir (perubahan) kehidupan ummah, yang sasarannya

meliputi: (a) memperbaiki tata hubungan hidup manusia dengan Allah SWT.; (b)

memperbaiki tata hubungan hidup individu dengan dirinya sendiri; dan (c)

264 Syekh Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, Penerj. Mahyuddin Shaf dan A. Bakar usman, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992).

159

memperbaiki hubungan hidup individu dengan individu lain dalam kelompok atau

masyarakat dan memberikan solusi atas segala problem yang dihadapinya.

Kemudian bentuk dakwah menurut jalur atau bentuk pelaksanaannya

(kuantitas dâ�i dan mad�u ketika berinteraksi dalam proses dakwah) dari martabat

kedua: (1) Da�wah „Âmmah Kulliyyah, yaitu interaksi dâ�i dengan mad�u yang

berupa kelompok besar (dakwah lewat saluran media massa) dan massa, baik

secara tatap muka maupun bermedia; yang menurut cara pelaksanaannya, terdiri

dari: (a) Tablîgh Islam (bayân thuruq al-khayr), penyiaran dan penerangan Islam

yang ditujukan kepada non-Muslim dan Muslim; (b) Amr ma�rûf nahy munkar

sebagai upaya transformasi (tadbîr) dan pemberdayaan (tamkîn) Islam ke dalam

kehidupan nyata individu, kelompok, dan masyarakat sebagai dakwah ummah;

dan (2) Da�wah juziyyah khâshshah (dakwah lewat saluran intra dan

interpersonal), disebut pula sebagai al-dâ�iyah fi nafsih, yaitu interaksi dâ�i

dengan mad�u dalam dirinya sendiri, dan da�wah fardiyah, yaitu interaksi dâ�i

dengan mad�u seorang, dua orang, tiga orang, dan kelompok kecil. Cara

pelaksanaannya ini ditempuh dengan: (a) Al-dilâlah „alâ al-khayr, yaitu memberi

petunjuk dan bimbingan pemahaman dan pelaksanaan Islam; (b) Al-hatstsu „alâ

al-khayr, yaitu memberikan motivasi kepada mad�u untuk meningkatkan

pemahaman dan pengamalan Islam; (c) Al-nahy „an al-syar, yaitu saling

mencegah dari perbuatan yang bertentangan atau dilarang Islam (al-khayr); (d) Al-

tahdzîr „an al-syar, yaitu saling memperingatkan dalam menjauhkan diri dari

perbuatan yang dilarang Islam; (e) Al-tawâshî bî al-haq, saling berwasiat dengan

kebenaran ajaran; dan (f) Al-tawâshî bî al-shabr, saling berwasiat dengan

kesabaran dalam menjalankan keataatan, meninggalkan larangan, dan mengatasi

berbagai ujian kehidupan.

Dasar Hukum Dakwah adalah Fardu „ain bagi masing-masing individu

muslim sesuai kemampuannya, dan fardu kifayah bagi komunitas muslim terdidik

atau khawâsh al-ummah. Sedangkan Tujuan Dakwah terdiri dari tujuan ideal,

yaitu memperoleh ridha Allah dan ia selamat hidup duniawi dan ukhrawi; tujuan

individual, yaitu menjadi pribadi muslim paripurna; dan tujuan sosial, yaitu

terbentuknya khayru ummah dan ummah wasatha.

160

Hakikat dan karakteristik Islam sebagai pesan dakwah Islam, yang

merupakan agama Allah yang universal memiliki karakteristik sebagai: (1) agama

al-fithrah; (2) agama ummah wasatha; (3) agama al-„adalah; (4) agama anti

kezaliman; (5) agama tawâzun; (6) agama al-huriyah; (7) agama al-salâm; (8)

agama al-ukhuwah; dan (9) agama al-yusr.

Hakikat dan karakteristik manusia sebagai da�i dan mad�u, bahwa manusia

adalah bagian dari makhluk Allah, yang memiliki jasad dan ruh. Di dalam

ruhaniahnya oleh Allah diberikan potensi akal, syahwat atau hawâ. Selain itu,

diberikan pula hidayah gharizah, hawâsi, dîn, dan tawfiq (kemampuan

mencocokkan diri dengan ajaran Islam menurut daya ikhtiarnya).

Ketika ruh menyatu dengan jasad disebut nafs, dan nafs ini terdiri dari

nafs muthmainnah, nafs lawwâmah, dan nafs amârah. Penampakkan nafs dalam

prilaku lahir oleh pemiliknya berbeda-beda, tergantung pada penggunaan daya

ikhtiar masing-masing. Bagi yang memfungsikan nafs muthmainnah berposisi

sebagai da�i dan ia akan kredible dihadapan mad�unya, sedangkan yang

memfungsikan nafs lawwâmah, dan nafs amârah berfungsi sebagai mad�u.

Da�i terdiri dari da�i „profesional� dan da�i „konvensional�, bagi da�i mesti

memiliki sifat nafsiyah, jasadiyah, dan ijtimaiyah, sedangkan macam-macam

mad�u adalah al-dhâlûn, al-kâfirûn, al-musyrikûn, Yahudi dan Nasrani, al-

mujrimûn, al-„uqalâ, al-awwâm dan al-matawashithûn.

Karakteristik Ummah, bahwa Ummah merupakan da�i komunitas, khoiro

ummah dan ummatan wasatha, berfungsi pula sebagai medan berlangsungnya

dakwah dan tujuan sosial dakwah. Ummah dari semantiknya adalah al-millah, al-

„aqâid, dan ushûl al-syarî�ah (agama, keyakinan, dan pokok agama), kemudian

al-jama�ah (komunitas terorganisir), al-sinîn (waktu), al-imâm (pemimpin), dan

ummah al-ma�rûfah (komunitas tertentu).

Media dan prinsip Metode Dakwah, bahwa Media dakwah, selain bahasa

lisan dan bahasa perbuatan, mengacu pada sarananya, yaitu masâjid, ma�âbid,

manâzil, masâkin, dan ma�âhid. Prinsip metode dakwah mengacu pada Al-

Qur�ân, yaitu al-hikmah, al-maw�izhah al-hasanah, dan mujâdalah yang ahsan.

Bagi tiga prinsip metode ini, masing-masing memiliki perangkat dan teknik

161

operasionalnya. Secara khusus, al-hikmah mengandung prinsip memadukan

antara pendekatan ethos, pathos dan logos sesuai peruntukannya.

Aspek aksiologis, menegakan kebenaran objektif ilmiah (qâiman bi al-

qisth) dakwah yang berbasis tawhid Allah dan upaya mensyukuri ni�mat akal

sebagai salah satu hidayah Allah SWT kepada manusia.

BAB IV

BENTUK DAKWAH

DAN KADERISASI DA’I PROFESIONAL

Bentuk dakwah mengacu pada keberadaan interaksi dâ�i dengan mad�u secara

kuantitatif dengan menggunakan metode dan media tertentu dalam

mengimplementasikan al-Islâm, sebagai ikhtiar memperbaiki dan mencari solusi

(ishlâh) problem kehidupan yang dialami mad�u, yang prinsip struktur sistemnya

menurut Muhammad Abduh sebagaimana yang telah dijelaskan, yaitu meliputi

bentuk dakwah: (1) al-da�wah al-„âmmah al-kulliyyah, yaitu berupa tablîgh Islam

dan macam-macamnya, (2) al-dakwah al-khâshah, terdiri dari al-dâ�iyah fî nafsih

(al-da�wah al-nafsiyah atau irsyâd al-nafs), dan al-dawah al-fardiyyah (al-irsyâd

al-fardî), dan (3) al-da�wah al-ummah, terdiri dari amr ma�rûf nahy munkar dan

taghyîr al-munkar. Masing-masing bentuk ini memiliki metode operasionalnya.

Berikut uraian dan analisis bentuk-bentuk dakwah dimaksud.

A. al-Da’wah al-‘Âmmah al-Kulliyyah

Muhammad Abduh menjelaskan istilah al-da�wah al-âmmah al-kulliyyah

ini sebagai bayân thuruq al-khayr (menjelaskan jalan-jalan Islam) kepada

khalayak dan merealisasikannya (tathbîq) dalam kehidupan manusia serta

membuat macam-macam perumpamaan (al-amtsâl) yang berpengaruh pada

kejiwaan mad�u, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari perumpamaan

itu.1 Bayân mempunyai pengertian sama dengan al-balâgh atau al-tablîgh dan al�-

ilâm (penyiaran informasi kepada khalayak).2

1 Selanjutnya lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28-29. Mengenai al-amtsâl sebagai cara menjelaskan sesuatu yang bersifat abstrak dengan sesuatu yang bersifat konkrit adalah bagian yang diinformasikan al-Qur�ân. Lebih lanjut lihat Musthafa Abd al-Qâdir Athâ, AL-amtsâl Min al-Kitâb Wa al-Sunnah (Beirut: Muasasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah,1989) 216 hlm.

2 Menurut Abd al-Badi� Shaqr al-da�wah al-„ammah adalah penyampaian al-Islâm dengan

bahasa lisan kepada publik (mad�u jama�ah) secara tatap muka untuk mempengaruhi mereka. Lihat Abd al-Badi� Shaqr, Kayfa Nad�û al-Nâs (Kairo: Maktbaha Wahbah, 1976), hlm. 23-107. Selanjutnya disebut Shaqr. Lebih lanjut tentang kajian al-i�lâm ini lihat Abd al-Lathif Hamzah, al- I�lâm fî Shadr al-Islâm (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1977), hlm. 104-105, dan Aminan al-Shawi

dan Abd al-Aziz Syaraf, Nazhariyyah al-I�lâm fî al-Da�wah al-Islâmiyyah (Al-Fujâlah: Maktabah Mishr, tt.), hlm. 16-21.

163

Tablîgh Islâm menurut Muhammad Abduh dapat menggunakan bahasa

lisan. Sebab, Tablîgh dengan bahasa lisan ini merupakan bagian dari perintah

Allah kepada utusannya, yang disebutnya sebagai al-tablîgh al-syafâhi.3

Muhammad Abduh juga memberikan alasan urgensi penggunaan bahasa lisan,

menurutnya bahwa, bahasa lisan (al-kalâm al-masmû�) lebih besar pengaruhnya

pada kejiwaan yang mendengarkannya ketimbang bahasa tulisan (al-kalâm al-

maqrû�). Karena melihat pembicara, gerakannya, isaratnya, dan logatnya (lahjah)

dalam berbicara, semua itu dapat membantu pemahaman atas maksud

pembicaraannya. Lagi pula, komunikasi lisan memungkinkan pendengar bertanya

langsung mengenai hal-hal yang masih belum jelas dari pembicaraannya. Jika

pesan itu tertulis, siapa yang hendak ditanya? Pendengar dapat memahami 80%

maksud pembicara sementara pembaca hanya memahami 20 dari pesan yang

hendak disampaikan penulis.4

Dalam pendapat Muhammad Abduh mengenai efektifitas al-kalâm al-

masmû diatas, terdapat aspek melihat gerakan, isyarat dan logat (lahjah)

pembicara, mempengaruhi (yu�tsar) dan pemahaman (yufham) merupakan bagian

sesuatu yang melekat dalam khithabah (public speaking). Walaupun Muhammad

Abduh tidak secara rinci dan langsung menyebutkan unsur-unsur tersebut sebagai

indikator efektifitas tablîgh bi al-khithabah, namun dapat dipahami demikian.

Menurut teori Speaking Dell Hyms yang mempecayai bahwa terdapat

delapan aspek yang menjadi faktor efektifitas public speaking, hal ini dapat

diterapkan dalam tablîgh bi al-khithabah, yaitu berupa aspek yang terkandung

dalam akronim speaking itu sendiri, yang terdiri dari: (1) situation (situasi); (2)

participants (para peserta); (3) ends (tujuan-tujuan); (4) act sequences (pola

3 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 483. Mengenai term tabligh bersinonim dengan term bayan dijelaskan oleh Ibrahim Imam, selanjutnya lihat karyanya al-Ushûl al-„Ilâm al-Islâmy, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Araby, 1985), hlm. 13

4Al-Manâr, jld. I, hlm. 13. Pendapat Muhammad Abduh ini perlu diadakan penelitian empirik nilai validitasnya, sebab akan berbeda antara „masyarakat dengar� dan „masyarakat baca� dalam merespon penampilan khithâbah.

164

aktivitas); (5) keys (kunci); (6) intrumentalities (peralatan); (7) norms (norma-

norma); dan (8) genre (aliran-aliran).5

Penjelasan mengenai delapan faktor tersebut, yaitu sebagai berikut:

Pertama, situasi (situations): penggunaan (waktu, tempat dan lingkungan

fisik), latar psikologi dan kebufayaan dalam suatu kesempatan dan kejadian

dengan perilaku komunikasi yang sedang dipelajari;

Kedua, peserta (participant): tidak hanya pembicara dan pendengar, tetapi

juga individu-individu lainnya. Dalam beberapa budaya “sumber asli pesan” akan

mendelegasikan suatu kelompok kedua untuk menyampaikan pesan itu. Dalam

kebudayaan lain seorang pembicara yang muncul untuk menyampaikan sesuatu,

seseorang itu biasanya menginformasikan seseorang yang dituju untuk dapat

didengar oleh kelompok ketiga. Dengan demikian ada tiga orang yang terlibat

walaupun hanya dua orang yang mungkin berbicara. Sebagaimana Hyms

tunjukkan bahwa model diadik yang umum dari si pembicara dan pendengar.

Ketiga, tujuan (ends): Hasil atau tujuan. Beberapa tujuan mungkin dicapai

dalam situasi tertentu, dan tidak diperbolehkan dalam situasi yang lain, bentuk

pembicaraan tergantung kepada tujuan akhir yang diinginkan;

Keempat, urutan pola aktifitas pembicaraan (act sequences): Isi pesan

dalam bentuk pesan, seringkali penelitian mencatat isi dari suatu topik yang

dibicarakan;

Kelima, kunci (keys): tekanan, sikap atau semangat dari aktifitas berbicara

tertentu;

Keenam, peralatan (instrumentalities): Jalur atau saluran untuk bentuk-

bentuk pembicaraan, yang berupa media transmisi pesan. Apakah pesan itu

dibicarakan, ditulis atau divisualisasikan;

Ketujuh, norma (norms): Norma-norma bagi interaksi yang memberi tahu

para peserta komunikasi untuk bertindak dalam hubungannya yang satu dengan

yang lain, dan norma interpretasi yang menunjukkan sistem nilai dan sistem

kepercayaan; dan

5Lihat Dell Hymes, Foundatiouns in Sociolingustic; An Ethnographic Approach, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), hlm. 49-66.

165

Kedelapan, aliran (genres): kategori-kategori (seperti sajak, mitos, cerita,

pepatah, tebakan), hukuman (sumpah serapah), do�a, pidato, kuliah, surat, dan

formulir. Setiap genre memiliki seperangkat aturan yang berbeda yang mengatur

penggunaan dan mengatur formasinya, diperlukan kecermatan dalam mengenali

genre yang penting, yang ada dalam komunikasi.6

Shaqr sependapat dengan Muhammad Abduh, bahwa bahasa lisan lebih

kuat pengaruhnya ketimbang bahasa tulisan, bahasa lisan ini dapat menggerakkan

dan memberi dampak bagi kehidupan para pendengarnya. Tetapi Shaqr tidak

memberi persentasenya.7

Dakwah „âmmah ini menurut Rasyid Ridha dapat ditujukan kepada mad�u

yang bukan Muslim dan mad�u yang Muslim yang memerlukan peningkatan

wawasan pengetahuan keislaman. Mad�u nonMuslim oleh Rasyid Ridha disebut

ummah al-da�wah (kelompok manusia yang belum menganut Islam dan berhak

memperoleh informasi Islam). Sedangkan mad�u Muslim disebut ummah al-

ijâbah (kelompok manusia yang sudah menerima Islam dan berhak menerima

informasi Islam).8

Al-da�wah al-„âmmah semakna dengan “komunikasi publik” atau

“komunikasi massa”, oleh karenanya ia dapat dipahami sebagai proses dakwah

yang berlangsung dalam suasana dâ�i menyampaikan Islam kepada mad�u jamaah

(orang banyak) melalui bahasa lisan dan tulisan. Jika mad�u jamaah berupa

kelompok besar dan dihadapi oleh dâ�i secara tatap muka dengan menggunakan

bahasa lisan, maka disebut tablîgh bî al-khithâbah, baik al-dîniyyah maupun al-

ta�tsîriyah. Jika tidak bertatap muka dengan menggunakan bahasa tulisan (media

cetak) disebut tablîgh bî al-kitâbah, dan untuk kondisi sekarang dapat pula

menggunakan media elektronik dengan macam-macamnya, seperti televisi, radio,

film, dan yang lainnya, maka disebut tablîgh bî al-kahribâi. Bentuk dakwah ini

6 Lihat Sarah Trenholm, Human Communication Theory, hlm.236. 7 Lihat Shaqr, Kayfa Nad�û al-Nâs hlm. 35. Kajian komperhensif mengenai historis dan

macam-macam khitabah, lebih lanjut lihat Ihsan al-Nash, al-Khitâbah al-„Arabiyah fi „Ashriha al- Dzahabi, (Mesir: Dâr al-Ma� ârif, 1953), 418 hlm.

8 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 106-107.

166

merupakan implementasi kewajiban menyebarluaskan informasi Islam kepada

orang banyak atau khalayak yang melekat dalam karakteristik Islam.9

Muhammad Abduh mengajukan kritik bahwa pada zamannya banyak

khuthabâ (para penceramah agama) yang menasihati orang lain, tetapi membuat

umat menjadi saling bermusuhan, bahkan terpecah belah lantaran mereka

menghadirkan materi nasihat yang bersifat saling menjelekkan dan mengklaim

dirinya yang benar. Di samping itu menurut Muhammad Abduh, banyak khuthabâ

yang mendikotomikan unsur duniawi dan ukhrawi, jika hal ini tidak diperbaiki

akan berakibat khusrân al-mubîn (kerugian yang nyata).10

Sebelum Muhammad Abduh al-Mawardi berpendapat bahwa: Khithâbah

yang baik adalah jika memenuhi syarat, antara lain; (1) bahasa yang digunakan

dapat dipahami oleh audiens dan menyentuh kepentingannya dalam memperoleh

perkara yang bermanfaat dan menghindarkan perkara yang madarat; (2) tepat

situasi dan kondisi dalam merangkai bahasa lisan; (3) panjang-pendek penyajian

ditentukan oleh situasi dan kondisi berlangsungnya khithâbah; dan (4) memilih

dan memilah kata-kata yang menarik dan menyentuh pikiran dan perasaan.11

Selain syarat tersebut, khithâbah yang baik dalam tabligh Islam adalah jika

memenuhi etika teknis penggunaan bahasa lisan, antara lain, yaitu: (1) tidak

mengungkap pujian yang berlebihan terhadap seseorang; (2) tidak

mengungkapkan bahasa yang membangkitkan kebencian dan kecintaan yang

berlebihan; (3) mengungkapkan sesuatu dengan prioritas yang sudah

dilakukannya oleh diri pembicara; (4) memelihara kefasihan dalam

mengungkapkan huruf demi huruf dalam pembicaraannya; (5) menghindari

ungkapan yang kotor dan jorok; dan (6) menampilkan contoh-contoh yang relevan

dengan topik pembicaraan, dan dapat dicerna oleh akal sehat.12

9 Kajian mengenai penggunaan media massa modern dalam dakwah lebih lanjut lihat Muhammad Sa�îd Mubârak, al-Da�wah wa al-Idârah, (Madinah al-Munawarah: Maktabah al- Malik Fahd al-Wathaniyah, 2005), hlm. 175-187.

10 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29 dan 384. Mengenai khitâbah al-dîniyyah dan al- ta�tsîriyah, lihat „Abd Allah Syahatah, al-Da�wah al-Islâmiyah wa al-„ilam al-Dîni, (Kairo: al- Hayiah al-Mishriyah al- Âmmah li al-Kitâb, 1978), hlm. 19-31.

11 Selanjutnya lihat al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn (Beirut: dâr al-Fikr, tt.), hlm. 266-267

12 Selanjutnya lihat al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn, hlm. 268-276.

167

Menurut al-Khuly, macam-macam khithâbah dalam tablîgh Islam adalah,

pertama, berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah mahdhah yang meliputi

khutbah salat: jum�at, idul fitri, idul adha, gerhana matahari, gerhana bulan, dan

istisqâ, dan, kedua, berkaitan dengan penyelenggaraan peringatan hari besar

bersejarah, forum ilmiah di lembaga-lembaga pendidikan dengan semua

tingkatannya.13

Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa, khithâbah itu ada khithâbah al-

diniyah dan khithâbah al-ta�tsîriyah. Khithâbah al-diniyah yang paling banyak

dilakukan adalah khutbah jum�at yang memiliki syarat dan rukun tertentu. Syarat

dimaksudkan sebagai sesuatu yang mesti dipenuhi sebelum khithâbah itu

dilakukan, sedangkan rukun sesuatu yang mesti ada dan dipenuhi ketika

berlangsungya khithâbah.

Hal-hal yang termasuk syarat bagi khutbah jum�at antara lain sebagai

berikut:

Pertama, memiliki kesiapan jiwa. Hal ini penting mengingat khutbah

jum�at merupakan bagian dari rangkaian ibadah mahdhah. Kesiapan jiwa ini

berupa kepribadian yang mencintai tugas khutbah, memiliki niat yang ikhlas dan

keberanian untuk tampil di hadapan orang banyak;

Kedua, memiliki pengetahuan dan pandangan materi khutbah yang luas,

hal ini menuntut khatib untuk mempelajari topik-topik yang akan dikhutbahkan.

Dan selalu berlatih untuk merakit bahan-bahan khutbah dalam bentuk teks atau

catatan-catatan untuk disampaikan dalam khutbah tanpa teks; dan

Ketiga, menguasai dan terampil dalam menggunakan bahasa, baik bahasa

tutur maupun bahasa tulis.

Selain tiga syarat tersebut mengacu juga pada syarat-syarat yang

ditentukan oleh pendekatan fikih.

Sedangkan yang termasuk rukun khutbah adalah: (1) mengemukakan puji

kepada Allah SWT. baik dalam bentuk ungkapan jumlah fi�liyah maupun jumlah

khabariyah; (2) menyampaikan shalawat kepada utusan Allah SWT. baik dalam

13 Selanjutnya lihat al-Khuly, Ishlâh al-Wa�zh al-Dîni, hlm. 19. Mengenai kajian dan contoh khithabah rasul Allah terakhir antara lain dilakukan oleh Muhammad Khalil al-Khathîb dalam karyanya al-Khuthab al-Rasûl, (Kairo: Dâr al-Fadhilah, 1983), 322 hlm.

168

bentuk ungkapan jumlah fi�liyah maupun jumlah khabariyah; (3) menyampaikan

washiat taqwa yang redaksinya bisa langsung mengutip ayat al-Qur�ân atau

dengan ungkapan yang esensinya diambil dari makan ayat al-Qur�ân tentang

takwa; (4) membaca salah satu ayat al-Qur�ân yang menjadi rujukan topik

bahasan dalam khutbah, yang disebut dengan bâdi� barâ�ah al-istihlal; dan (5)

berdo�a untuk mukminin dan mukminat.14

Sementara itu, khutbah jum�at menurut strukturnya terdiri dari

muqadimah, uraian dan penutup, yang penjelasannya sebagai berikut:

Pertama, muqadimah, yang berisikan rukun-rukun khutbah yang sudah

dikemukakan di atas. Dalam hal ini, khatib hendaknya mampu menyampaikan

dengan bahasa dan nada yang baik dan jelas serta suara yang menunjukkan

kewibawaan;

Kedua, uraian, yang merupakan isi dari topik khutbah, yang menuntut

khatib untuk mampu secara piawai menjelaskan berbagai macam pandangan dan

buktibukti disertai dengan dalil, baik naqli maupun aqli. Penguraian ini dapat

dilakukan dengan pendekatan deduktif dan induktif secara bergantian. Uraian

khutbah tersebut dipandang bagus jika memenuhi ketentuan teknik penguraian

sebagai berikut: (1) uraian merupakan kesatuan yang utuh dari kandungan topik

khutbah; (2) uraian dikemukakan secara tertib, yaitu antara satu permasalahan

dengan masalah yang lain diuraikan secara bersambung dan saling berkait

sehingga dapat dicerna secara mudah oleh jama�ah; (3) uraian hendaknya

memberikan pemahaman yang jelas tentang berbagai macam unsur yang

terkandung dalam bagian-bagian materi khutbah; dan (4) menyampaikan bukti-

bukti yang logis untuk menguatkan penjelasannya begitu pula memberikan

contoh-contoh yng relevan dengan mengambil pelajaran dari kisah al-Qur�ân,

perjalanan nabi dan rasul, para sahabat dan para ulama, baik salaf maupun khalaf

yang saleh.15

Tablîgh Islam bagi ummah da�wah (nonmuslim) selain khithâbah dan

kitâbah juga dapat dilakukan dengan bimbingan, konsultasi, diskusi, dan dialog

14 Abdullah Syahatah, al-Da�wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, (Mesir: al-Hay�ah al-

Mishriyyah al-„Ammah, 1978), hlm. 20. 15 Abdullah Syahatah, al-Da�wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, hlm. 27-28.

169

yang memenuhi prinsip-prinsip metode mujâdalah yang baik. Etika utama

tablîgh terhadap mad�u nonmuslim adalah memberikan kebebasan ikhtiar dan

tidak ada paksaan, argumen logis, dan bukti empiris karakteristik Islam sebagai

agama dakwah hendaknya dikedepankan. Tablîgh Islam ini disebut futûhât

(penyebaran, perluasan pengikut) yaitu menghadirkan Islam ke tengah-tengah

komunitas nonmuslim tanpa kekerasan, tanpa paksaan, dan tanpa peperangan, dan

muballigh sebaiknya bertempat tinggal di tempat baru yang menjadi medan

berlangsungnya futûhât.16

Muhammad Abduh dalam Risâlah Tawhîd percaya bahwa kehadiran rasul

sebagai muballigh membawa dan menyampaikan Islam agama fitrah, yakni

tuntuan merealisasikan pengakuan manusia di alam ruh bahwa Allah SWT adalah

Tuhan Maha Pencipta yang berhak diibadati, merupakan kebutuhan manusia.

Persoalan-persoalaan hakikat perjalanan manusia setelah berpisah dari jasadnya

diperlukan penjelasan yang datang dari Maha Pencipta melalui utusan-Nya karena

akal manusia tidak dapat memahami hakikat yang sebenarnya tentang kekekalan

hidup di akhirat nanti. Ketika akal manusia didominasi oleh pengaruh syahwat

dan hawa nafsunya, diperlukan adanya pemberi peringatan dan tuntunan agar

kembali kepada fitrahnya. Hal ini menjadi alasan bahwa tablîgh Islam perlu

ditujukan kepada semua manusia termasuk yang nonmuslim.17

Sebelum Muhammad Abduh, al-Shawy berpendapat bahwa kehadiran

dakwah Islam adalah membentengi fitrah manusia dari kesesatan, dan

menggantikan kesesatan dengan petunjuk kebenaran, akrena fithrah ashliyah

manusia adalah ahl al-hudâ bukan ahl al-dhalâlah. Hal ini menurut al-Shawy

diisyaratkan dengan ungkapan respon mad�u yang positif terhadap Islam dalam

bentuk isim dan respon negatif menggunakan bentuk fi�il dalam QS. Al-nahl 125.

Hal ini menjadi alasan adanya kewajiban tablîgh Islam kepada semua manusia

termasuk mad�u ummah da�wah (nonmuslim).18

16 Selanjutnya lihat Ahmad al-Shawi, Hâsyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsir al-Jalalain, jld. IV, hlm. 359-361.

17 Lihat Muhammad Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd, hlm. 90-108. dan kehadiran buku ini bagian dari tabligh bi al-Kitâbah oleh Muhammad Abduh.

18 Lihat al-Shawy, Hâsyiyah al-„Allâmmah al-Shawy „alâ Tafsîr al-Jalalayn, jld. II, hlm. 333.

170

B. al-Da’wah al-Juziyyah al-Khâshah

Menurut Muhammad Abduh, al-Da�wah al-Juziyyah al-Khâshah ini

bagian dari level dakwah kedua, yang dapat dipahami sebagai implementasi ajaran

Islam pada tingkat diri sendiri (intraindividu), antarindividu, dan kelompok kecil

di lingkungan ummah ijâbah merupakan esensi dari al-da�wah al-khâshah dalam

upaya memperbaiki dan mencari solusi (ishlâh) problem kehidupan mad�u yang

dihadapinya menurut tingkatan masing-masing, ketika dâ�i berinteraksi dengan

mad�u dalam suasana tatap muka. Kategorisasi dakwah ini meliputi: (a) al-dâ�iyah

fî nafsih (internalisasi Islam pada tingkat intraindividu), (b) al-da�wah al-

fardiyyah. Berikut penguraian masing-masing kategori dakwah dimaksud.

1. al-Dâ’iyah fî Nafsih

Pemikiran Muhammad Abduh yang dapat dipahami memuat penjelasan

al-dâ�iyah fî nafsih19 (dakwah intrapersonal), yaitu ketika Muhammad Abduh

menafsirkan Q.S. Al-Nisâ: 48-49, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, hikmah

tidak diampuninya dosa syirik, karena sesungguhnya agama tidak disyariatkan

kecuali untuk menyucikan jiwa manusia (al-tazkiah al-nufus al-nas), menyucikan

ruh mereka (tathir arwahihim), dan meningkatkan akal mereka (tarqiyah

„uqulihim). Sementara syirik merupakan puncak kejatuhan akal manusia,

pemikiran dan juga jiwanya. Dari kemusyrikan terlahirlah berbagai kehinaan dan

kotoran yang merusak manusia pada tingkat individu dan kelompok karena syirk

merupakan wujud pengangkatan sejumlah orang atau sebagian makhluk yang

lebih rendah dari mereka atau serupa dengan mereka ke tingkat yang mereka

mengkultuskannya, tunduk kepadanya, dan merasa rendah dengan anggapan

bahwa apa yang dipertuhankannya itu memiliki kekuasaan tinggi di atas hukum

alam dengan segala kausalitasnya. Mereka juga menganggap bahwa

19 Ungkapan Muhammad Abduh yang semakna dengan term ini, adalah tahdzib anfus

(mendidik jiwa) dan tazkiah nafs (menyucikan jiwa), lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 184, 186, bahkan

Muhammad Abduh menegasan urgensi yang semakna dengan al-da�iyah fi nafsih ini yaitu “bal lianna al-mursyid al-„am mahalun li qudwah al-awam”, pernyataan ini diungkapkan ketika menghubungkan penafsiran Q.S. Ali-Imran:104 dengan Q.S. al-Maidah: 105 tentang kualitas diri mukmin dalam menghadapi tantangan kehidupannya, lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 30. Problem- problem ini antara lain: syirk, wahn (lemah dalam berbagai hal, seperti pemangkiran, etos kerja), al-hazn (sedih), hasad (dengki) dan sebagainya. Teks data mengenai hal ini lihat lamp. no. 2.4

171

menyenangkan dan menaati tuhan-tuhan sekutu itu juga sama dengan atau bagian

dari ketaatan kepada Allah SWT sendiri. Kekeliruan keagamaan inilah apa yang

menyebabkan penindasan dan perbudakan oleh para pemimpin agama dan dunia

terhadap sejumlah kelompok atau bangsa. Mereka juga bertindak layaknya

seorang tuan yang memaksa hamba sahayanya yang hina-dina dalam

memperlakukan mereka berkaitan dengan jiwa, harta, kemaslahatan, dan

kemanfaatannya. Ia juga mencegahmu dari konsekuensi hal itu berupa moralitas

rendah dan keburukan yang merajalela semisal kehinaan, kerendahan, kenistaan,

kepalsuan, kebohongan, kemunafikan, dan sebagainya.20 Kajian mengenai tazkiah

al-nufus yang disebut juga dengan tarbiyah al-nufus sebelum Muhammad Abduh

telah dikemukakan antara lain oleh Imam al-Ghazali (450-505 H), Ibn Qayim al-

Jauziyah (691-751H) dan Ibn Rajab al-Hambali (736-795 H).21

Dari penjelasan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa,

interaksi dâ�i-mad�u pada tingkat intraindividu dalam upaya mengamalkan al-

islâm dengan cara-cara yang sesuai petunjuk ajaran untuk memperbaiki dan

mencari solusi problem kejiwaannya disebut al-dâ�iyah fî nafsih. Dengan

demikian dâ�i dan mad�unya adalah dirinya sendiri, dan dapat disebut sebagai

proses internalisasi ajaran Islam oleh individu Muslim.

Pemikiran Muhammad Abduh mengenai al-dâ�iyah fî nafsih atau al-

da�wah al-nafsiyah ini lebih banyak disorotinya dalam Al-Manâr ketimbang yang

lainnya, sebab menurut Muhammad Abduh, fungsi agama Islam yang banyak

diabaikan oleh individu muslim pada zamannya adalah tazkiyah al-nufûs

(penyucian jiwa), tathhîr al-arwâh (penyucian ruh), dan tarqiyah al-„uqûl

(peningkatan akal).

Bagi Muhammad Mâhir Mahmud „Amar menyebutnya dengan irsyâd al-

nafs, yakni internalisasi Islam pada tingkat intraindividunya sendiri dan memberi

20. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Nisa 48-49, tentang

penegasan Allah mengenai syirik (menyekutukan Allah dengan yang selain-Nya) sebagai dosa besar yang tidak akan diampuni dan penegasan mengenai bagian fungsi ajaran Islam sebagai pensucian diri manusia dari aqidah dan amaliah yang batal. Lihat Al-Manâr, jld. V, hlm. 148-149, teks data mengenai hal ini lihat lamp. no. 2.5

21 Lihat Ahmad Muhammad Kan�an, Tazkiah al-Nufus, (Beirut: Dar al-Qalam, tt.), hlm. 9- 68.

172

perbantuan individu lain agar melakaukan hal sama, yang dikategorikan dalam

istilah psikologis sebagai konseling. Hal ini memiliki peranan penting dalam

kehidupan individu muslim, sebab di antara fungsi kehadiran agama Islam bagi

manusia adalah sebagai upaya menghidupkan hati pemeluknya agar tidak

dimatikan oleh dorongan dan dominasi potensi syahwat dan hawa nafsunya.22

Term al-dâ�iyah fî nafsih dapat pula disebut al-da�wah al-nafsiyah seperti

diajukan oleh Shaqr yang digunakan untuk menunjuk aktivitas internalisasi Islam

oleh individu muslim sebagai persyaratan utama bagi dâ�i sebelum mendakwahi

individu lain.23

Muhammad Rasyid Ridha menambahkan penjelasan Muhammad Abduh

mengenai fungsi Islam yang ruh utamanya adalah tawhid Allah, ketika

menafsirkan QS. Ali Imran 18-19. Ridha menyatakan bahwa, demikianlah Allah

menasyariatkan agama Islam untuk dua hal pokok:

Pertama, menjernihkan ruh dan memurnikan akal dari keyakinan-

keyakinan yang keliru atas kekuasaan gaib bagi sejumlah makhluk dan

kemampuannya untuk beroperasi di alam raya ini agar tidak tunduk dan

menyembah sesamanya atau bahkan yang lebih rendah daripadanya dalam hal

kesiapan dan kesempurnaan;

Kedua, memperbaiki hati agar memiliki tujuan yang baik dalam setiap

kegiatan dan niat tulus karena Allah bukan karena manusia. Bila kedua hal ini

terwujud terbebaslah fitrah manusia dari ikatan-ikatan yang merintanginya untuk

sampai pada kesempurnaan personal dan sosial. Kedua hal ini merupakan ruh

yang hendak dicapai dari kata „islâm�. Adapun ibadah-ibadah ritual disyariatkan

guna mendidik ruh Islam tersebut pada tingkat moralitas. Oleh sebab itu,

dipersyaratkan di sini niat dan keikhlasan. Sekali ruh ini terdidik, mudahlah bagi

pemiliknya untuk menunaikan seluruh kewajiban moral dan keadaban yang

22 Lihat Muhammad Mâhir Mahmud „Anwar, Malâmih „Ilm Nafs al-Islâmy (Saudi Arabia: Dâr al-Nahdhah al-„Arabiyah, 1983), hlm. 2-3 dan Musfir bin Sa�id al-Zahrani, al-Tawjîh wa al- Irsyâd al-nafsî (Mekah: Bahadur Press, 1421H).

23 Shaqr, Kayfa Nad�u al-Nâs, hlm. 107-112.

173

menghantarkannya kepada suatu masyarakat madani dan terwujudlah cita-cita

kaum bijak. 24

Dari pemikiran Muhammad Abduh dan Ridha di atas, dapat dipahami

bahwa, keduanya percaya terdapat beberapa gangguan kesehatan mental dan

penyakit kejiwaan individual dan sosial yang diakibatkan dari situasi kejiwaan

yang mengindikasikan adanya kemenangan potensi nafs amârah dalam struktur

keruhaniannya. Oleh karenanya sasaran utama dakwah nafsiyah merupakan upaya

ishlâh perilaku ruh, nafs, dan akal mad�u dengan mengimplementasikan Islam

pada tingkat intraindividu. Sebab, perilaku lahir merupakan ekspresi dan

manifestasi dari perilaku potensi batin.

Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, gangguan kesehatan mental dan

penyakit kejiwaan individual dan sosial pada intinya bersumber pada perilaku

syirk (menyekutukan Allah SWT.). solusinya, Muhammad Abduh percaya, hanya

dengan tawhid 25 yaitu mengesakan kemahaesaan Allah SWT. Mengenai perilaku

lahir manusia merupakan manifestasi dari perilaku potensi batin adalah bagian

dari sunnah Allah, dalam hal ini, Muhammad Abduh menegaskan, sesungguhnya

apa yang diketahui dari hukum alam berkaitan dengan manusia adalah bahwa

keyakinan-keyakinannya dalam relung hatinya memiliki daya dorong kuat

terhadap perilaku secara fisikal. Padahal iman tiada lain kecuali keyakinan yang

tertanam kuat dalam akal yang mendominasi hati. Tidak ada amal kecuali terlahir

dari pemikiran akal atau instink hati. Maka seluruh kegiatan orang beriman pasti

mengikuti keimanannya. Ia tidak lepas dari iman atau tidak mau patuh padanya

kecuali karena lupa atau tidak mengetahui. 26

Sebelum Muhammad Abduh, Zayn al-Din al-Baghdadi mengemukakan

pandangan yang sama, menurutnya bahwa, gerakan fisik mengikuti gerakan hati

dan keinginannya. Jika gerakan dan keinginannya hanya karena Allah semata,

baiklah jasad dan seluruh pergerakannya. Jika gerakan dan keinginan hati bukan

24 Al-Manâr, jld. III, hlm. 257-258. 25 Tawhid ini juga berlaku dalam kegiatan pengembangan keilmuan dalam Islam sebagai

solusi penyakit pandangan dikotomi ilmu. Selanjutnya lihat M. Yunan Yusuf, “Tauhid Ilmu: Solusi untuk Dikotomi,” dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan (Bandung: PW. Muhammadiyah dan Nuansa, 2000), hlm. 132-139.

26 Al-Manâr, jld. III, hlm. 250.

174

karena Allah, rusaklah jasad dan seluruh keinginannya sesuai dengan tingkat

kerusakan hati.27

Muhammad Abduh juga percaya bahwa, muncul dan terjadinya kehendak,

sikap, dan perilaku manusia bersumber pada dua macam pengaruh internal dalam

nafsnya. Hal ini ia nyatakan bahwa, setiap orang, yang berupaya merenungkan

dirinya dan menimbang pikiran-pikirannya ketika ia berpikir tentang sesuatu yang

mengandung potensi kebenaran dan kebaikan dan juga mengandung potensi

kebatilan dan keburukan, akan merasakan bahwa dalam dirinya terdapat suatu

konflik batin seolah-olah masalah tersebut sedang menjadi bahan perbahasan

suatu majelis musyawarah. Ada pikiran yang diterima ada pula yang ditolak. Ada

yang berkata: „Kerjakanlah!� Yang lain beda lagi: „Jangan dilakukan!” Hingga

kemudian menanglah salah satu sudut pemikiran dan unggullah salah satu pikiran.

Yang satu ini lebih menetap dalam diri kita. Ia kita namai sebagai kekuatan dan

pemikiran—pada hakikatnya, ia merupakan suatu makna yang tak terjangkau

substansinya dan suatu ruh yang tak terpikirkan hakikatnya—tak terlalu jauh

bahwa Allah menamainya malak (atau dinamai sebab-sebabnya sebagai

malaikat).28

Rasyid Ridha memberikan komentar atas pandangan Muhammad Abduh

di atas, sama dengan Imam Gazali yang sebelum Muhammad Abduh sudah

mengemukakan penjelasan penyebab terjadinya kehendak, sikap, dan perilaku

manusia bersumber pada kondisi terang dan gelapnya qalb manusia yang

disebabkan oleh dua macam pengaruh, menurut Imam Gazali bahwa, terdapat dua

sebab atas terang atau gelapnya hati. Sebab yang terbersit dan mendorong ke arah

kebaikan disebut malaikat sementara sebab yang terbersit dan mendorong ke arah

keburukan disebut setan. Kecenderungan hati yang membuat hati siap menerima

ilham kebaikan dinamai taufiq sementara kecenderungan yang membuat hati mau

27 Zayn al-Din al-Baghdadi, Jâmi� al-„Ulûm wa al-Hikam (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 66. 28Al-Manâr, jld. I, hlm. 268. Pandangan Muhammad Abduh ini menggambarkan proses

komunikasi intrapersonal yang meyakini adanya stimulus dari internal dan eksternal kejiwaan manusia. Lebih lanjut lihat Larry Barker, Communication, hlm. 113-119. Mengenai terjadinya kehendak ini, lebih lanjut bandingkan dengan Jaudat Said, Bertindak Menurut Kehendak Ilahi, terj. Al-„Amal: Qudrah wa Irâdah, oleh Luqman Junaedi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 87- 119.

175

menerima keburukan dinamai ighwâ (godaan) atau khudzlân (kehinaan). Hal ini

karena setiap makna yang berbeda membutuhkan nama yang berbeda pula.29

Ketika menafsirkan QS. Al-Syams (91): 9-10, Muhammad Abduh juga

mengemukakan pendapatnya bahwa di dalam nafs manusia Allah memberikan

daya akal yang dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan yang jelek.

Selain itu, Allah juga memberikan daya mampu untuk bebas memilih dan

mengambil keputusan mana yang akan diikuti dari dua jalan yang diketahui oleh

akal tersebut, yang masing-masing pilihan memiliki risiko, yaitu jika yang dipilih

itu kebaikan, maka keuntungan yang akan diperoleh dan sebaliknya. Proses

pemilihan keputusan ini, bagi yang berisiko keuntungan disebut tazkiyah al-nafs

(menyucikan jiwa) dan bagi yang berisiko kerugian disebut tadsiyah al-nafs

(mengotori jiwanya). Sedangkan cara perilaku yang ditempuh, bagi yang pertama

melalui ketaatan atas segala perintah, dan menolak serta meninggalkan segala

larangan ajaran Islam.30

Menurut Muhammad Abduh, kebebasan memilih yang dimiliki manusia

pemberian Allah SWT yang dapat mengantarkan perjalanan hidupnya kepada

kebahagiaan adalah jika kebebasan memilih itu berjalan dalam kondisi tuntunan

syara. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa, bukanlah kebahagiaan manusia itu

terletak pada kebebasan ala binatang melainkan pada kebebasan yang berada

dalam ranah syariat. Maka siapa pun yang mengikuti petunjuk Allah, tidak syak

lagi ia akan merasakan kesenangan yang benar-benar baik dan menghadapi

dengan kesabaran segala musibah yang menimpanya dan dengan ketenangan

setiap ancaman musibah. Ia tidak merasa takut, khawatir, dan sedih.31

Mengacu pada penjelasan Muhammad Abduh mengenai sasaran

disyariatkannya Islam dan proses terjadinya kehendak, sikap dan perilaku

29Al-Manâr, jld. I, hlm. 269. Ilhâm adalah

(menyampaikan sesuatu ke dalam hati dengan jalan emanasi yang membuat

dada menjadi lapang dan tenang, kemudian ia digunakan di sini dengan arti klarifikasi semata). Lihat al-Shawi, Hâsyiyah al-„allâmah al-Shawi „alâ Tafsîr al-Jalâlain, jld. IV, hlm. 322. Bagi Rasyid Ridha, ilham melalui malaikat dan yang dari setan disebut wiswâs (bisikan). Lihat Al- Manâr, jld. I, hlm. 267.

30 Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm, Juz „Amma, hlm. 110-111. 31 Al-Manâr, jld. I, hlm. 286.

176

manusia, begitu pula pendapat Imam Gazali dan Rasyid Ridha yang telah

dikemukakan, maka esensi da�wah nafsiyah (internalisasi Islam) adalah proses

memenangkan daya pengaruh ilhâm taqwâ terhadap ilhâm fujûr dengan cara

tazkiyah al-nafs (menyucikan jiwa) di dalam diri manusia yang berlangsung terus-

menerus sepanjang hayat dikandung badan untuk mencapai kebahagiaan dan

ketenangan jiwa.

Mengenai lhâm taqwâ dan ilhâm fujûr dijelaskan oleh Muhammad Abduh,

menurutnya bahwa, lhâm fujûr adalah menyampaikan sesuatu yang

menghantarkan jiwa pada kerugian dan kebinasaan. 32 Sedangkan Ilhâm taqwâ

adalah menyampaikan sesuatu yang memelihara jiwa dari akibat yang buruk.

Selain menggunakan term tazkiyah nufûs, tazkiyah arwâh, dan tazkiyah

„aql, Muhammad Abduh juga menggunakan term-term lainnya untuk

menggambarkan fungsi utama disyariatkannya Islam, yaitu: ishlâh al-nufûs33

(memperbaiki jiwa), ishlâh al-qulûb34 (memperbaiki hati), tarbiyah nafs35

(mendidik jiwa), dan tazkiyah al-„aql36 (menyucikan akal).

Dakwah nafsiyah diyakini oleh Muhammad Abduh memiliki fungsi

sebagai upaya mencari solusi problem gangguan dan penyakit hati, yaitu antara

lain: syirk (menyekutukan Allah), nifâq (kepercayaan bohong), riyâ (motif amal

bukan karena Allah), al-syak dan al-rayb (ragu akan kebenaran yang datang dari

Allah), al-hazn (sedih negatif), al-khauf (takut negatif), al-jahl (bodoh), al-taqlîd

(ikut-ikutan), khiyânah (inkar janji), sû al-khuluq (jelek budi pekerti), al-ham

(bingung), dan yang lainnya.37

Keyakinan mengenai adanya penyakit hati, secara psikologis sama dengan

keyakinan Hasan Muhammad al-Syarqawi, menurutnya bahwa, sesuatu yang

dikategorikan sebagai penyakit hati adalah: (1) al-riyâ (motif amal bukan karena

Allah); (2) al-ghadhab (marah); (3) al-ghaflah (lupa yang disengaja); (4) al-

32 Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 110-111. 33 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 367-368. 34 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 244. 35 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 254 36 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223. 37 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 154, 155, dan 184.

177

wiswâs (keraguan); (5) al-ya�su (putus asa); (6) al-ghurûr (tipu daya); (7) al-„ujb

(membanggakan diri); dan (8) al-hiqd (dengki).38

Metode da�wah nafsiyah sebagai upaya mencari solusi macam-macam

penyakit hati yang paling utama, menurut Muhammad Abduh, antara lain adalah

sebagai berikut:

Pertama, tawhid Allah, meyakini kemahaesaan Allah, yaitu dengan

beriman kepada-Nya yang disertai ketundukan dan kepasrahan atas segala

ketentuan hukum yang diciptakan-Nya. Dalam hal ini Muhammad Abduh

menyatakan bahwa, tauhid yang berlawanan dengan syirk merupakan suatu

pembebasan manusia dari perbudakan penghambaan kepada setiap manusia dan

benda langit dan bumi. Ia menjadikan manusia merdeka, mulia, dan gagah tidak

tunduk secara ketundukan seorang hamba kecuali kepada Dzat yang kepada

hukum-hukum-Nya semua alam raya tunduk sesuai dengan tatanan yang

ditegakkan-Nya dalam hukum kausalitas. Maka, tunduklah terhadap hukum-

hukum-Nya yang akurat dan syariat-Nya yang adil, diturunkan, dan diikuti.

Ketundukannya ini semata-mata ketundukan terhadap akal dan nalurinya, bukan

kepatuhan terhadap kemanusiaan dan sejawatnya. Adapun ketaatannya terhadap

penentu hukum merupakan wujud ketaatan pada syariat yang ia terima bagi

dirinya dan terhadap tata aturan yang ia melihat ada kemaslahatan di dalamnya,

baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain. Ia bukan semacam pengkultusan atas

kekuasaan yang dimiliki oleh mereka, tidak pula kehinaan dan kerendahan diri di

hadapan sejumlah orang. Jika mereka konsisten dengan syariat tersebut, Dia akan

menolongnya. Bila mereka menyimpang, Dia akan mengutus suatu kelompok

guna meluruskan mereka.39

Lalu Muhammad Abduh beralasan bahwa, keyakinan akan keberadaan

Allah SWT yang Maha Esa dan mengesakan-Nya merupakan dasar utama yang

akan melahirkan kesempurnaan dalam menyucikan potensi ruhaniyah yang berupa

38 Lihat Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs al-Islâmi (Iskandariyah: Muassasah Sabâb al-Jami�ah, 1984), hlm. 103-168.

39 Lihat Al-Manâr, jld. V, hlm. 149. Bagian dari penafsiran QS. Al-Nisa 48-52, beberapa

ayat ini mengenai syirik sebagai dosa, kedzaliman, kedustaan dan penyebab memperoleh la�nat Allah.

178

akal dan jiwa. Hal ini ditegaskannya bahwa, tazkiyah al-nafs tidak akan berjalan

sempurna kecuali dengan tazkiyah akal sedangkan penyucian akal tidak bisa

sempurna tanpa tauhid yang murni.40

Kedua, tadabbur (berpikir mendalam dan berulang-ulang) dan tarawâ

(berpikir mempertimbangkan secara teliti) dalam menyikapi segala obyek

pengetahuan sebagai konsekuensi logis dari keyakinan yang tawhîd khâlish. Hal

ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abduh, antara lain, termasuk ke

dalam cakupan perjanjian Allah akbar yang Dia kenakan kepada seluruh manusia

sesuai dengan fitrahnya adalah tadabbur (berpikir mendalam) dan Tarawa

(berpikir teliti). Ia menimbang segala sesuatu dengan timbangan akal dan

penalaran yang valid bukan dengan timbangan hawa nafsu dan tipu daya.41

Ketiga, shabar yaitu tabah, tangguh, dan ulet dalam mengendalikan jiwa

disertai rela, pasrah, dan semangat berikhtiar ketika menjalani ketaatan atas segala

perintah meninggalkan segala larangan ajaran Islam dan mengatasi berbagai ujian

hidup. Menurut Muhammad Abduh, bahwa, sabar yang hakiki yang dibangun atas

dasar penyerahan diri (kepada Allah) dapat terwujud dengan mengingat janji

Allah SWT adanya balasan yang baik bagi orang-orang yang sabar dalam

melakukan kebajikan yang bisa mengikat jiwa dan menghidari tarikan syahwat

yang haram yang merongrongnya. Juga sabar terwujud dengan mengingat bahwa

musibah itu perbuatan Allah dan perlakuannya bagi makhluknya, sehingga

wajiblah tunduk kepada-Nya dan berserah-diri atas perintah-Nya. Di antara

keajaiban masalah sabar ini adalah bahwa sabar menjaga manusia dari kerugian

manakala ia bersikap baik dalam segala hal sebagaimana diisyaratkan oleh surah

al-„Ashr dan dikuatkan dengan ujian. Sudah tak asing pula bahwa „siapa sabar

40Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223. Kajian mengenai tazkiyah nafs ini, selanjutnya lihat Muhammad bin Abdul Wahab, Mufîd al-Mustafâdah fî Kufri Târik al-Tawhîdi (Riyad: al-Riasah al-„Ammah li al-Thabq wa al-Tarjamah, 1991), dan Ali Muhammad Hasan al-Amâri, al-Qurân wa al-Thabâ�i�u al-Nafsiyah (Saudi Arabia: Dâr al-Tahrîr, 1966), hlm. 31-34.

41 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 290.

179

pasti beruntung.� Kita juga bisa memaknai sabar sebagai salah satu kekuatan jiwa

yang mampu menata setiap tindakan yang dilakukannya.42

Shabar sebagai perilaku qalb dalam pandangan Muhammad Abduh di

atas, merupakan proses aktivitas potensi jiwa yang berintikan syariat Islam,

tadzakur (ingat dan sadar) akan janji Allah SWT yang akan memberikan balasan

kemenangan hidup bagi hamba-Nya yang mau dan merealisasikan sabar di dalam

dirinya.

Keempat, menegakkan ruh shalat sebagai inti dari bukti kepatuhan dan

kepasrahan kepada Allah yang menjadi indikasi pembeda antara status kesejatian

seorang Muslim dan bukan muslim, juga sebagai pilar Islam. Mengenai urgensi

menegakkan ruh salat ini, Muhammad Abduh menempatkannya sebagai urutan

kedua dalam penyajian pesan dakwah, menurutnya bahwa, setelah berdakwah

kepada arah keimanan yang mantap, ia menyeru mereka terhadap amal saleh

dengan cara-cara yang efektif dan diridhai oleh Allah SWT. Mereka memang

tersesat dengan berpegang hanya pada benda-benda lahiriah dan berhenti hanya

pada gambar-gambar. Mereka memang sudah melaksanakan salat tetapi mereka

belum menegakkan salat, karena menegakkan berarti menunaikan sesuatu secara

sempurna. Dalam hal salat, menegakkan berarti menghadap Allah SWT dengan

hati dan konsentrasi di hadapan-Nya, bersikap ikhlas bagi-Nya dalam berdzikir,

berdo�a, dan memuji-Nya. Inilah ruh salat yang merupakan tujuan disyariatkannya

dan salat tidak disyariatkan sekadar formalitas. Formalitas bentuk ibadah salat itu

berubah-ubah dalam hukum Allah SWT sejalan dengan sunah para nabi-Nya,

karena ia merupakan benang merah syariat kenabian. Para nabi tidak mengajarkan

salat yang sama bentuk formalnya, namun ruh tadi tetap tidak berubah. Ruh itu

sama dari nabi ke nabi dan tidak pernah dihapus dalam suatu agama pun.43

Dari pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa,

terdapat beberapa perilaku qalbu yang digunakan oleh potensi daya pilih quwwah

42 Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 298-299. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari

penafsiran QS. Al-Baqarah 43-46, ayat-ayat ini mengenai perintah shalat, zakat dan tunduk atas segala perintah dan larangan melupakan diri dari berbuat kebaikan.

43 Al-Manâr, jld I, hlm. 293. Kajian mengenai ruh salat antara lain dikaji oleh Syaikh Mushafa Masyhur dalam karyanya al-Hayâh fi Mihrab al-Shalâh, diterjemahkan oleh Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998).

180

„aqliyah di dalam diri manusia dalam upaya menyucikan ruh, akal, dan nafs,

yaitu: (1) merasakan kehadiran Allah dalam jiwa (tawajjuh); (2) meyakini akan

menemui Allah (khusyu�); (3) ketulusan motivasi segala amal (ikhlâsh); (3)

mengingat Allah (dzikr); (4) berdo�a kepada Allah (du�â); dan (5) memuji Allah

(tsanâ) atas segala anugrah nikmat lahir dan batin yang telah diberikan kepada

dirinya sebagai hamba Allah SWT.44

Kemudian, Muhammad Abduh juga lebih menekankan lagi bahwa, sasaran

utama dari menegakkan ruh salat adalah upaya ishlâh nufûs al-afrâd

(memperbaiki jiwa individu) agar terwujud suasana ketenangan jiwa,

kesejahteraan lahir-batin, dan memperoleh segala kebaikan hidup menurut ajaran

Islam di dunia kini dan di akhirat kelak.45

Para penulis psikologi Islami modern percaya bahwa hikmah di balik

perintah do�a, wudlu, salat, saum, tobat, sabar, dan membaca Al-Qurân adalah

bagian dari proses syifâ al-nafs (penyembuhan gangguan kejiwaan).46

Kelima, muhâsabah fî nafsih (introspeksi dan evaluasi diri) atau

muhâsabah nafsiyyah merupakan proses pemeliharaan dan penjagaan situasi

kejiwaan yang berada pada posisi nafs muthmainnah, sebab pengaruh dari internal

dan eksternal diri manusia berupa wiswâs (bisikan yang mendorong untuk

menyimpang dari situasi stabil) baik oleh jin kafir maupun oleh manusia yang

perilakunya didominasi oleh nafs ammârah sebagai pembangkit setan (jin kafir).

Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh percaya bahwa perilaku hati dan

perilaku ragawi manusia secara individual dan komunal yang akan berakibat baik

dan buruk pada berkesinambungan dan tidaknya posisi nafs muthmainnah,

sehingga upaya muhâsabah nafsiyyah menjadi amat penting sebagai bagian dari

metode irsyâd nafsi. Oleh karenanya, Muhammad Abduh antara lain menegaskan

44 Bandingkan dengan kajian Majid al-Hilâli, Fal nabda Bi Anfusinâ, (Kairo: Dâr al- Thabaah al-Islamiyah,1994), hlm. 10-104.

45 Lihat Al-Manâr, jld I, hlm. 367-369. 46 Lebih lanjut, lihat antara lain Abd al-Rahman al-„Aysawi, al-Islâm wa „Ilâj al-Nafs (Al-

Akarithah: Dâr al-Fikr, 1986), hlm. 50-52, Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs al- Islâmi, hlm. 169-280, Taufiq „Ulwan, Mu�jizah al-Shalah (Kairo: Dâr al-Wafa, 1988), hlm. 58-59, Saleh Bahtiar, Meneladani Akhlak Allah melalui al-Asma al-Husna, terj. Moral Healing through the Most Beautiful Names: The Practice of Spiritual Chivalry (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 25- 28.

181

bahwa, hendaklah umat menghisab dirinya baik secara individual maupun

komunal agar kondisi mereka tidak seperti kondisi masyarakat terdahulu

sebagaimana dikabarkan Al-Qurân, sehingga mereka dihukumi sama dengan

masyarakat sebelumnya. Hal ini disebabkan balasan itu diberikan menurut

kegiatan hati dan raga, bukan menurut kesukaan orang-orang atau kelompok dan

tidak pula permusuhannya.47

Muhammad Abduh percaya bahwa salah satu dari cara muhâsabah

nafsiyyah yang paling utama adalah upaya aplikasi perintah dzikir kepada Allah,

sebab ia merupakan ruh al-dîn yang mesti mewarnai setiap amal perbuatan nyata.

Menurutnya bahwa, dzikir terpenting yang merupakan ruh agama adalah

mengingat Allah SWT. pada setiap kegiatan dari amal-amal yang tadi. Itu

merupakan sunah Al-Qurân yang menyebut penegakan salat dan khusyu di

dalamnya itu tiada lain adalah dzikir kepada Allah SWT., berdo�a kepada-Nya,

dan pengaruhnya bagi perbaikan jiwa.48

Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai da�wah nafsiyah ini, maka

dapat dikonseptualisasikan bahwa da�wah nafsiyah sebagai proses internalisasi

Islam pada tingkat intraindividu Muslim yang melibatkan unsur dâ�i-mad�u

dirinya sendiri dengan cara iman yang tauhid, tadabbur-tarawa, shabar, iqâmah

rûh al-shalâh, dan muhâsabah nafsiyyah untuk mewujudkan situasi nafs

muthmainnah berupa kehidupan yang hasanah di dunia kini dan di akhirat

kelak.49

47 Al-Manâr, jld I, hlm. 297. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al- Baqarah: 44, ayat ini mengenai larangan melupakan diri dari berbuat baik.

48 Al-Manâr, jld II, hlm. 242. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al- Baqarah: 203. Dalam Al-Qurân surah al-Ahzâb (33) ayat 41, perintah dzikir ini diberi keterangan dengan sebanyak-banyaknya. Kajian mengenai muhâsabah nafsiyah ini lebih lanjut lihat Majdi al- Hilâli, Falnabda bî Anfusinâ (Mesir: Dâr al-Tauzî wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1994), hlm. 53-55, 154-164.

49 Dalam beberapa hal proses internalisasi ini dalam sudut pandang teori komunikasi adalah termasuk komunikasi intraindividu. Kajian lebih lanjut, lihat Larry L. Braker, Communication (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984), hlm. 103-108 dan B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human Communication, oleh Soejono Trimo (Bandung: CV. Remaja Karya, 1986), 231-233. Kajian teoritik mengenai intraindividu ini, antara lain dijelaskan melalui interaksionisme simbolis oleh George Herbert Mead (1934) dan Herbert Blumer (1969), yang percaya bahwa manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, bermasyarakat, dan buah pikiran. Tiap bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Di dalam diri manusia terdapat dualisme esensi yang disebut “I”

182

2. al-Da’wah al-Fardiyah

Penjelasan Muhammad Abduh yang esensinya dapat dikategorikan kepada

al-da�wah al-fardiyah ketika menggambarkan isi bentuk al-da�wah al-juz�iyah al-

khâshah ini, menurut Muhammad Abduh adalah dakwah yang berlangsung

antarindividu baik di kalangan orang pandai maupun orang yang bodoh, di antara

kedua pihak sudah saling mengenal dengan cara: (1) dilâlah al-khayr

(memberikan petunjuk kepada kebaikan), (2) al-hats „alâ al-khayr (memotivasi

melakukan kebaikan), (3) al-nahy „an al-syar (mencegah dari kejelekan), (4) al-

tahdzîr min al-syar (memperingatkan agar menghindari kejelekan), (5) al-

tawshiyah bi al-haq (saling mengingatkan dengan kebenaran), dan (6) al-

tawshiyah bi al-shabr (saling mengingatkan dengan kesabaran), untuk

mewujudkan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi.50

Shaqr menjelaskan al-da�wah al-fardiyah sebagai dakwah fardiyah, yaitu

dakwah yang diarahkan kepada satu orang mad�u atau satu kelompok kecil orang

(bukan dalam bentuk komunitas sebagaimana diketahui) dan biasanya terjadi

secara tidak terencana. Misalnya, pertemuan spontan, ngobrol-ngobrol, diskusi

informal kerabat kerja, lingkaran diskusi, dan semacamnya.51 Term al-da�wah al-

fardiyah (dakwah antarindividu) sudah mulai digunakan dalam karya tulis tentang

dakwah Islam menurut levelnya, antara lain oleh Abd al-Badi Shaqr. Sedangkan

Abd al-Aziz al-Khuly menyebutnya dengan al-wa�zh al-dîni (pengajaran

keagamaan). Pendapat yang sama dikemukakan Sayid Muhammad Nuh52 dan

Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-Adnani.53

Di dalam penjelasan Shaqr di atas, dakwah fardiyah dicirikan oleh

beberapa hal, yaitu: dapat berlangsung dalam suasana bertatap-muka antara dâ�i-

mad�u masing-masing satu orang, dapat berlangsung dâ�i satu orang dan

(saya) dan “me”(aku). Interaksi antara “I” dan “me” inilah di dalam diri (self) terjadi proses menginternalisasikan segala sesuatu yang berupa stimuli, dan stimuli itu adalah pesan komunikasi itu sendiri.

50 Lihat Al-Manar, jld.IV, hlm. 28. 51 Abd al-Badi� Shaqr, Kayfa Nad�u al-Nâs, hlm. 25 dan lihat Muhammad Abd Aziz al-

Khuli, Ishlah al-Wa�adz al-Dini, (Beirut: Dar al-Fikr, 1969) hlm. 8. 52 Lihat al-Sayid Muhammad Nuh, Fiqh Da�wah al-Fardiyah fi al-Manhaj al-Islamy,

(Mesir: Dar al-Wafa, 1991), hlm. 35. 53 Lihat Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-Adnani, al-Da�wah al-Islamiyah li al-Afrad wa

al-Syabaib, (Madinah al-Munawarah: Dar al-Zaman, 2008), hlm. 7.

183

mad�unya kelompok kecil (fi�ah qalîlah), dapat berlangsung dalam suasana

pertemuan yang terjadi secara tiba-tiba, yang tidak direncanakan sebelumnya,

dapat berlangsung dalam suatu majelis tertentu, pertemuan diskusi, kelompok-

kelompok pengkajian dan sebagainya. Dengan demikian, dalam pandangan Shaqr,

dakwah fardiyah terdiri atas dua macam level, ayitu da�wah syakhshiyah

(interaksi antarindividu dâ�i-mad�u) dalam suasana tatap-muka dan da�wah fi�ah

qalîlah (dâ�i berinteraksi dengan kelompok kecil) dalam suasana tatap-muka.54

Dalam kehidupan antar pribadi dalam kelompok, selalu beragam dalam

berbagai hal, misalnya tidak sama kemampuan berusaha, status sosial, ilmu

pengetahuan dan kepemilikan harta benda. Oleh sebab itu diperlukan adanya

interaksi di antara sesama dalam upaya mewujudkan kemaslahatan bersama. Di

sinilah peran dakwah fardiyah hadir sebagai gerakan implementasi Islam.

Mengenai pentingnya interaksi antarindividu dan antara individu di dalam

kelompok, Muhammad Abduh menegaskan bahwa, Allah memberdayakan

manusia dengan anugrahnya berupa ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam rangka

mengatasi berbagai hambatan, mengupayakan berbagai kemungkinan, dan Allah

sendiri membantu mengatasi sebagian lain. Sebab itu, kita mesti mengupayakan

apa yang kita mampu dan mengerahkan kemampuan kita untuk bekerja secara

optimal menurut daya dan kekuatan yang kita miliki. Kita juga mesti bekerja sama

dan saling membantu satu sama lain untuk mewujudkan hal itu.55

Selain penegasan di atas, Muhammad Abduh juga meyakini bahwa,

manusia hanya bisa memperoleh harta dari orang-orang lain melalui kecerdasan

dan kerjanya bersama mereka. Ia tidak bisa kaya kecuali karena mereka dan dari

mereka. Jika salah seorang di antara mereka tidak mampu berusaha karena

kecelakaan otak dan jiwanya atau karena penyakit pada badannya, orang-orang

54 Baik Muhammad Abduh maupun Shaqr tidak menjelaskan ciri kelompok kecil (fi�ah qalîlah). Dari segi jumlah, fî�ah qalîlah maksimal 20 orang. Lihat Muhammad al-Razi Fakhr al- Din, tafsîr al-Kabîr, jld. III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), hlm. 200. Batasan jumlah fî�ah qalîlah ini diajukan al-Razi ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 249. Dan lihat pula David O. Sears, dkk., Psikologi Sosial, jld II, terj. Social Psychology, oleh Michael Adrianto (Jakarta: Erlangga, 1991), hlm. 106-109.

55 Al-Manâr, jld. I, hlm. 58. Ini bagian tafsiran QS. Al-Fatihah: 5 dan Muhammad Abduh menghubungkan dengan QS. Al-Maidah (5): 2, ayat ini bagian dari ketentuan ibadah haji dan printah saling tolong mneolong dalam kebaikan dan sebaliknya.

184

lain harus menuntunnya dan membantunya. Ini demi menjaga nilai-nilai sosial

yang mengikat kemaslahatan salah seorang melalui kemaslahatan orang lain.56

Dari pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dikelompokkan

kategorisasi macam aktivitas dalam dakwah fardiyah kepada term-term berikut:

Pertama, al-wa�zh (pengajaran yang memperingatkan), yaitu dâ�i (wâ�izh)

memberikan wejangan (ceramah) kepada mad�u kelompok kecil tentang syariat

Islam (al-khayr) berupa petunjuk solusi atas segala problem yang dihadapinya

dengan bahasa lisan dan perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad

Abduh al-dilâlah ilâ al-khayr.

Kedua, al-nashîhah (memotivasi dan membantu), yaitu dâ�i (nâshih)

memotivasi dan membantu mad�u individu (seorang, dua orang, dan tiga orang)

dalam mengatasi problem hidup yang dihadapinya dengan bahasa lisan dan

perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-hats „alâ al-

khayr.

Ketiga, al-tawshiyah (imbauan pesan perintah dan larangan), yaitu dâ�i

(mûshî) mengimbau kepada mad�u individu dan kelompok kecil agar melakukan

dan tidak melakukan suatu perbuatan menurut syariat Islam dengan lisan dan

perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-nahy „an al-

syar (mencegah kejelekan), al-tahdzîr min al-syar (menyingkirkan kejelekan), al-

tawâshi bi al-haq (saling berpesan dengan kebenaran), dan al-tawâshi bi al-shabr

(saling berpesan dengan kesabaran).57

Tiga term aktivitas da�wah fardiyah di atas diuraikan sebagai berikut:

a. al-Wa’zh

Dari penjelasan Muhammad Abduh diatas, dapat dipahami bahwa,

terdapat beberapa gangguan kejiwaan pada diri individu mad�u sebagai

manifestasi dari maradh al-qulûb (penyakit hati), misalnya sedih, bingung,

kebodohan, lemah semangat, putus asa, dan sebagainya, yang memerlukan

56 Al-Manâr, jld. I, hlm. 293. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.

Al-Baqarah: 43. Dalam pernyataan Muhammad Abduh ini terdapat tiga unsur esensi da�wah

fardiyah: (1) al�awn (pertolongan), (2) hifzhan (pemeliharaan), dan (3) tarbath (ikatan kepentingan).

57 Kajian tiga macam kategori ini, lebih lanjut lihat Al-„Uqaily, al-Thâriq Ilâ al- Jannah, hlm. 174-121.

185

pertolongan dan perbantuan upaya solusinya. Mad�u berhak mendapatkannya

sebagai kewajiban bagi wâ�izh. Penjelasan Muhammad Abduh mengenai al-

Wa�zh antara lain adalah bahwa, setiap wâ�izh hendaknya mengawali

wejangannya dengan menghidupkan harga diri dan rasa kehormatan dalam jiwa

kliennya agar siap menerima wejangan-wejangan yang akan diberikan.58

Oleh karena itu, sebagai bagian dari etika bagi wâ�izh agar mempengaruhi

jika klien (mau�ûzh) untuk bangkit percaya diri dalam mengatasi gangguan-

gangguan kejiwaan. Sebab, jika seseorang sudah sadar dan tumbuh harga diri dan

percaya dirinya sebagai individu yang berharga dan mulia, maka akan timbul

kemauan untuk berusaha menaklukkan dorongan-dorongan hawa nafsu dan

syahwat negatif dengan memfungsikan quwah „aqliyah dan quwah ikhtiyâriyah

dalam dirinya yang pada gilirannya melahirkan perilaku saleh, baik secara

individual maupun secara sosial. Oleh karenanya, lebih lanjut Muhammad Abduh

menegaskan bahwa, dari rasa harga diri itu, jiwa akan mendapatkan dorongan kuat

yang merupakan keistimewaan jiwa yang mulia mengatasi impul-impul hawa

nafsu dan syahwat. Sekali jiwa merasakan kemuliaan dan keluhurannya dan

melihat kerendahan yang terkandung dalam berbagai pekerjaan hina, tentu

perasaan-perasaan itu—perasaan luhur dan terhormat—enggan mendorongnya

kepada kegiatan-kegiatan rendahan. Hal itu merupakan sebagian dari media paling

kuat untuk membantu wâ�izh mewujudkan tujuannya pada diri orang yang

kepadanya wejangan diperuntukkan.59

Sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh di atas adalah pendapat

mengenai al-wa�zh yang dimajukan oleh al-Khuly. Menurutnya bahwa, wa�zh

merupakan perkataan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi jiwa manusia

dengan sesuatu yang menarik berupa layatan (ta�ziyah) terhadap orang yang

tertimpa musibah, hiburan (tasliyah) bagi orang yang sedih, keberanian bagi orang

yang penakut, kekuatan (quwah) bagi orang yang lemah, jaminan bagi orang yang

58 Al-Manâr, jld. I, hlm. 302-303. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 47-48, ayat ini mengenai keunggulan bani Israil dan perintah bertakwa.

59 Al-Manâr, jld. I, hlm. 303.

186

putus asa, solusi (farj) bagi orang yang bermasalah, kekayaan (ginâ) bagi orang

miskin, dan kesabaran (shabar) bagi orang yang berkecil-hati.60

Dalam pendapat al-Khuly di atas, bahasa lisan merupakan media dalam

melakukan al-wa�zh guna menyampaikan syariat Islam yang ditujukan kepada

mad�u dengan sasaran memberikan solusi problem psikologisnya berupa: (1) bagi

mad�u yang mendapat musibah diberikan ucapan bela sungkawa (ta�ziyah), (2)

bagi yang sedih diberikan ucapan yang menghibur (tasliyah), (3) bagi yang takut

diberikan motivasi keberanian (syajâ�ah), (4) bagi yang lemah diberikan dorongan

semangat (quwah), (5) bagi yang putus asa diberikan kepercayaan diri (amn), (6)

bagi yang bingung diberikan jalan keluar (farj), (7) bagi yang butuh tapi malu

meminta diberikan bantuan untuk mencukupi kebutuhannya (ghinâ), dan (8) bagi

yang menderita berkecil hati diberikan motivasi kesabaran (shabr).

Muhammad Abduh memberikan beberapa prinsip aktivitas al-wa�zh agar

efektif dalam mempengaruhi mad�u dalam memperbaiki dan mencari solusi

problem psikologis, antara lain, yaitu: (1) ucapan dan perbuatan hendaknya

menyentuh dan meluluhkan kekerasan qalbu mad�u; (2) memberikan motivasi

yang membangkitkan dan menggerakkan perbuatan nyata; (3) memberikan

keyakinan bahwa petunjuk hidup yang dapat menghidupkan ruhaniyah adalah Al-

Qurân dan sunah nabi Muhammad SAW.; (4) memberikan keyakinan bahwa

segala problem psikologis yang dihadapi merupakan ujian dalam kehidupan; (5)

Menyampaikan cara bersikap, berbicara, dan berperilaku yang menarik hati di

hadapan mad�u; dan (6) niat yang ikhlas dalam melaksanakan al-wa�zh. 61

Sementara itu, Shaqr memberikan beberapa prinsip dalam pelaksanaan al-

wa�zh, yaitu hendaknya al-wa�zh memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1)

wâ�izh hendaknya bersikap toleran; (2) wâ�izh hendaknya bersikap kasih sayang;

(3) wâ�izh hendaknya menghargai dan menghormati mad�u; (4) wâ�izh hendaknya

memahami karakteristik mad�u; (5) wâ�izh hendaknya memperhatikan skala

prioritas dalam mencari solusi problem; (6) wâ�izh hendaknya mengenalkan

60 Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, Ishlâh al-Wa�zh al-dîni, hlm. 8. 61 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 404-405, Al-Manâr, jld. IV, hlm, 142-144. Prinsip-prinsip

ini disarikan dari ungkapan Muhammad Abduh dalam penafsiran QS. Al-Baqarah: 232 dan QS.

Ali Imran: 138-139, ayat-ayat ini bagian dari fungsi maw�idzah.

187

pemahaman syariat Islam yang otentik; (7) wâ�izh hendaknya memberikan

perbantuan dalam hal yang dibenarkan oleh syariat Islam; dan (8) niat yang ikhlas

melaksanakan kewajiban al-wa�zh.62

Pertimbangan mengenai macam-macam materi al-wa�zh ditentukan oleh

kondisi obyektif kebutuhan mad�u. Begitu pula prinsip-prinsip metodenya dengan

mengacu pada prinsip-prinsip metode hikmah dan mau�izhah hasanah.63

Implementasi prinsip-prinsip al-wa�zh tersebut oleh wa�izh akan

menggerakkan dirinya menjadi kredible di hadapan mad�u dan akan lebih besar

efektifitas ma�izhah dalam mencari solusi probleh yang dihadapi mad�u.

b. Al-Nashîhah

Muhammad Abduh percaya bahwa perilaku individu merupakan

manifestasi dari situasi qalbnya. Misalnya, perilaku nifâq merupakan indikasi

situasi qalb yang sakit dan kesalehan merupakan indikasi dari qalb yang sehat.

Sedangkan akar timbulnya stuasi qalb yang sehat adalah pilihan quwah „aqliyah

manusia dengan menggunakan potensi nafs muthmainnah dan situasi qalb yang

sakit adalah pilihan quwh syahwat dan hawa dengan menggunakan nafs ammârah

yang membuat manusia menjadi bodoh, jelek pemahaman, dan jelek niat dalam

melakukan interaksi dengan sesama individu lain. Di sinilah perlunya nashihat

bagi individu yang qalbnya sakit dan bagi yang situasi qalbnya sehat juga

memerlukan pemeliharaan agar berkesinambungan dan meningkatkan kualitas

pemahaman dan pengamalan agamanya. Nasihat ini merupakan hak bagi mereka

yang mengalami problem psikologis dan kewajiban bagi nâshih, yaitu individu

Muslim yang posisi situasi qalbnya berada pada situasi sehat dan memfungsikan

nafs muthmainnah.64

Nashîhah dapat ditujukan kepada setiap individu dengan berbagai macam

status dan peran sosial yang dipikulnya, agar mereka memiliki jiwa mukmin yang

62 Lebih lanjut lihat Abd al-Badi� Shaqr, Kayfa Nad�u al-Nâs, hlm. 27-31. 63 Kajian lebih lanjut lihat Husayn Muhammad Yusuf, Sabîl al-Da�wah (Mesir: Dâr al-

I�tishâm, 1979), hlm. 61. 64 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 249-251. Urgensi nashihat ini dipahami dari bagian paparan

Muhammad Abduh dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah: 204-206. Nasihat didefinisikan oleh Abd al-Aziz bin Ahmad al-Mas�udi sebagai upaya mencarikan solusi atas problem yang dihadapi orang lain dengan ucapan dan perbuatan demi kebaikannya. Lihat karyanya, al-Nashihah Syurutuha wa Dhawabithuha, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1993), hlm. 8-9.

188

selalu mengamalkan hukum-hukum kehidupan menurut syariat Islam. Dalam hal

ini, antara lain Muhammad Abduh menegaskan bahwa, jiwa orang mukmin adalah

milik Allah bukan dikuasai oleh syahwat, kenikmatan hewani, dan tipuan setan.

Maka barang siapa mendahulukan syahwat di atas keridhaan Tuhannya, menaati

batasan-batasannya, dan memelihara hidayah agamanya, ia tidak memiliki

keuntungan apa-apa dari perniagaannya ini dan tiada bernilai apa-apa. Kita

sungguh telah mengetahui bahwasanya kata-kata ini akan terasa berat bagi orang-

orang yang tersilaukan dengan kehidupan duniawi, serba kesenangan, gedung-

gedung, minuman keras, dan wanita-wanita yang ada di dalamnya, meski mereka

mengaku bahwa mereka merupakan para tokoh dan abdi agama yang ikhlas,

karena kebenaran itu pahit rasanya bagi kaum kebatilan. 65

Salah satu prinsip dalam melakukan nashîhah adalah menggunakan qawl

ma�rûf (bahasa yang sesuai dengan sistem budaya), terutama ketika menghadapi

individu yang safîh (belum atau tidak cerdas) baik karena belum dewasa berpikir

dan bertindak yang disebabkan oleh pengaruh internal dirinya dan pengaruh

lingkungan hidupnya dan safîh ini buka tabiat yang tetap. Bahkan bahasa yang

sesuai dengan sistem budaya ini juga berlaku dalam konseling (irsyâd) dan

belajar-mengajar (ta�lîm).

Sehubungan dengan hal ini, antara lain Muhammad Abduh menyatakan

bahwa, apa yang dimaksud ma�rûf di sini meliputi pembersihan hati dengan

memberikan pemahaman kepada orang pandir bahwa harta itu harta-Nya, tidak

ada kelebihan bagi seseorang dengan berinfak, agar mudah baginya meninggalkan

harta. Ma�rûf juga mencakup nasihat, pengarahan, dan pengajaran sesuatu yang

seyogyanya diketahui oleh orang bodoh dan sesuatu yang memungkinkan ia

menerima arahan. Sebab, orang kebodohan itu seringkali menghinggapi seseorang

bukan sesuatu yang bersifat bawaan. Maka, jika ia disembuhkan melalui nasihat

dan penempaan, akan membaiklah keadaannya.66

65 Al-Manâr, jld. II, hlm. 253. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 207, ayat ini mengenai orang yang menukarkan dirinya dengan ridha Allah.

66 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 385. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.

Al-Nisa: 5-6, ayat ini mengenai ketentuan berbuat ma�ruf dalam mengurus dan mengelola harta anak yatim.

189

Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, selain prinsip menggunakan

perkataan yang sesuai dan santun kepada manshûh (yang dinasihati), juga nasihat

dan ta�dîb (penempaan moral) berfungsi pula sebagai terapi memperbaiki perilaku

jelek agar menjadi baik.

Term nashîhah dari segi urgensi dan sebagian prinsip-prinsipnya, menurut

„Uqaily, secara lughawi, al-nashîhah berarti al-khulûsh (selai terbuat dari kurma).

Secara ishthilâhi, al-nashîhah adalah menghendaki kebaikan bagi orang yang

dinasihati. 67 Sedangkan Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, mengutip pendapat

al-Khathabi, memberikan pengertian al-nashîhah sebagai sebuah kata inklusif,

yang artinya adalah menghimpun kepedulian terhadap orang yang dinasihati.68

Sementara itu, Abu „Amar bin Shalâh, seperti dikutip oleh Abd al-Aziz bin

Ahmad al-Mas�ûdi, mendefinisikan al-nashîhah adalah sebuah kata inklusif yang

memuat makna upaya seorang pemberi nasihat untuk menempuh beragam jalan

kebaikan bagi orang yang dinasihatinya, baik sebatas keinginan maupun dengan

pelaksanaannya.69

Setelah mengartikan al-nashîhah dari segi lughawi dan ishthilâhi, al-

Mas�ûdi menegaskan pendapatnya, bahwa hendaknya orang mengikhlaskan

niatnya dalam perkataan dan perbuatannya manakala ia hendak menasihati

saudaranya sesama Muslim dan yang lainnya. Nasihatnya itu tidak boleh

dimaksudkan untuk kepentingan duniawi apapun, atau untuk kemenangan diri,

atau untuk menurunkan martabat yang dinasihatinya. Ia hendaknya mengerahkan

segenap kemampuannya dalam memberikan nasihat dengan cara menggunakan

bahasa terbaik di hadapannya.70

Dalam pendapat al-Mas�ûdi di atas, dapat dirumuskan prinsip-prinsip

dalam melakukan nashîhah, yaitu: (1) al-nâshih hendaknya berangkat dari niat

yang ikhlas, yaitu tidak karena memenuhi kepentingan pribadi dan memandang

67 Ahmad bin „Abd al-Wahab Farh al-„Uqaily, al-Thariq ilâ al-Jannah, hlm. 174. 68 Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, al-Adâb al-Nabawi (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm. 17. 69 Abd al-Aziz bin Ahmad al-Mas�ûdi, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ (Riyadh: Dâr

al-Wathan, 1993), hlm. 9.

70 Abd al-Aziz bin Ahmad al-Mas�ûdi, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ (Riyadh: Dâr al-Wathan, 1993), hlm. 10.

190

rendah orang yang dinasihati, (2) bersungguh-sungguh dalam melakukan nasihat,

(3) menggunakan metode yang baik, (4) metode nasihat dapat menggunakan

bahasa lisan dan perbuatan, dan (5) individu yang dinasihati dapat ditujukan

kepada Muslim atau nonmuslim.

Pertimbangan pemilihan dan penentuan materi al-nashîhah ditentukan

oleh kondisi kebutuhan obyektif orang yang dinasihati dengan mengacu pada

prinsip hikmah dan mau�izhah hasanah.

c. Al-Taushiyah

Secara lughawi, al-taushiyah atau al-îshâ adalah kata benda dari kata kerja

yang berarti memberikan pesan penting, memerintahkan melakukan sesuatu,

membuat perjanjian. Dalam bentuk mujarad (kata dasar) adalah yang berarti,

antara lain, (sampai) dan (menyampaikan, menyambungkan).71 Dalam

hal ini Muhammad Abduh memberikan penjelasan bahwa, wasiat adalah kata

benda abstrak dari kata îshâ dan taushiyah. Ia digunakan untuk sesuatu yang

dipesankan baik berupa benda atau pekerjaan. Hukumnya sunat dalam keadaan

sehat dan lebih kuat lagi tingkat hukum kesunatannya dalam keadaan sakit.

Berpesannya Allah dengan sesuatu atau tentang sesuatu sama dengan perintah-

Nya. 72

Dalam konteks hak dan kewajiban antara kedua orangtua terhadap

anaknya dan kerabat terdekat, washiyah merupakan bagian dari ajaran Islam yang

mensolusi agar tidak terjadi konflik internal keluarga dalam mewujudkan

kemaslahatan ahli waris dan keluarga besarnya. Namun demikian, mengingat

antarindividu muslim dengan individu lainnya secara sosial merupakan sudara,

maka taushiyah ini juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang diperintahkan.

71 Lihat Ibrahim Anis dkk., al-Mu�jam al-Wasîth, jld. II, hlm. 1038. 72 Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 134-135. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari

penafsiran QS. Al-Baqarah: 180-182. Taushiyah ini sudah dilakukan oleh Lukman al-Hakim ketika memberikan mau�izhah kepada anak dan umat pada zamannya. Lihat Muhammad Anwar Ahmad al-Baltaji, Min Washâyâ al-Qurân (Kairo: Dâr al-Turâts al-„Arabi, 1987), hlm. 21-51.

191

Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, taushiyah dengan hak dan

sabar, mencegah terjadinya kejelekan dan mengingatkan di antara sesama saudara

Muslim untuk menjauhkan diri dari perilaku salah merupakan esensi dari macam-

macam aktivitas taushiyah. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menjelaskan

prinsip-prinsip taushiyah ini dengan mengacu pada keumuman kandungan QS.

Al-„Ashr (103):1-3, yaitu: (1) meyakini bahwa waktu dan tempat bukan penentuan

untung-rugi dan selamat-celakanya kehidupan manusia; (2) meyakini bahwa

perilaku manusialah yang mementukan nasib untung-rugi perjalanan hidupnya

dalam memilih dan mendayagunakan potensi nafsnya; (3) meyakini bahwa

perilaku manusia sebagai manifestasi potensi nafsnya dapat terjadi pluktuatif, oleh

karenanya diperlukan taushiyah di antara sesama manusia; (4) memberi contoh

meminta dan memerintahkan orang lain dengan cara hikmah untuk merealisasikan

al-haq, yaitu sesuatu yang ditetapkan berupa hakikat yang tetap atau syariat yang

benar. Ia adalah sesuatu yang ke arah itu kita dipandu oleh dalil yang pasti atau

bukti-bukti atau saksi-saksi; (5) memberi contoh meminta dan memerintahkan

orang lain dengan cara hikmah untuk bersabar dalam menaati perintah ajaran

Islam, meninggalkan segala larangannya dan dalam mengatasi segala macam

ujian hidup; dan (6) hendaknya bagi wâshî (pelaku nasihat) terlebih dahulu

mengisi jiwanya dengan al-haq dan al-shabr, serta merealisasikan amal saleh

sehingga orang yang dinasihati dapat melihat dan mengambil pelajaran, sebab jika

tidak demikian, ia termasuk yang tidak kredibel di hadapan mad�unya. Sebab,

tidak mungkin anda melakukan hal itu sebelum jiwa anda sendiri terisi dengan apa

yang nasihatkan, jika tidak, anda termasuk orang yang berkata tetapi tidak

melakukan apa yang dikatakannya. 73

Kredibilitas wâshî (pemberi nasihat) merupakan bagian yang ikut

menentukan keefektifan taushiyah dalam memberikan solusi atas problem

psikologis orang yang diberi taushiyah. Kredibilitas ini akan muncul jika wâshî

melakukan tahalî (mengisi nafs dengan akidah tauhid) yang mewujud dalam sikap

73 Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 175-177 dan lihat pula M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Qur�an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 471-489.

192

dan akhlak terpuji dan amal saleh, sehingga menjadi uswah hasanah (suri

tauladan) bagi mad�u individu dan kelompok. 74

Sehubungan dengan tahalî yang dimajukan oleh Muhammad Abduh

sebagai esensi perilaku terpuji yang akan membentuk perilaku wâshî yang

kredibel (amanah), al-Khuly mengemukakan beberapa karakteristik bagi pelaku

wasiat yang mesti dipenuhi sebelum mewasiati orang lain, yaitu hendaknya wâshî

memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) kecerdasan akal, kesempurnaan jiwa,

dan budi perangai yang mulia dan terpuji menurut syariat Islam; (2) memahami

karakertistik kondisi obyektif mad�u; (3) menguasai secara mendalam materi

taushiyah yang bersumber pada Al-Qurân dan al-sunnah; (4) bersemangat dan

tidak mengenal putus asa dalam menjalankan tugas hidup; (5) sopan dan penuh

toleransi dalam bergaul antarsesama, penuh cinta-kasih dan menyayangi mad�u

seperti menyayangi diri sendiri; dan (6) mampu menghadapi setiap individu

mad�u secara proporsional sesuai dengan prinsip metode hikmah dan mau�izhah

hasanah.75

Taushiyah dilihat dari segi pelakunya adalah Allah SWT, para nabi, dan

umatnya, terakhir umat Nabi Muhammad SAW. Beberapa prinsip taushiyah yang

telah dikemukakan di atas terbatas pada taushiyah yang pelakunya Muslim umat

nabi terakhir. Taushiyah

Proses al-wa�zh, al-nashîhah dan taushiyah dari al-da�wah al-fardiyah

yang sudah dikemukakan, dari sudut pandang komunikasi termasuk komunikasi

antarpribadi yang mempunyai keunggulan berlangsung dalam suasana tatap muka

yang lebih besar peluangnya untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku

seseorang. Dengan demikian di dalamnya mengandung makna persuasif, yang

74 Syekh Muhammad Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 175- 177. Dalam teori komunikasi, kredibilitas ini merupakan esensi dari ethos, lihat Arthur R. Cohen, Attitude Change and Social Influence, (New York: Basic Books.Inc,1964), hlm. 23-25.

75Lihat Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, Ishlâh al-Wa�zh al-Dînî, hlm. 16-17. Mengenai perlunya akhlak terpuji bagi dâ�I sebagai sumber kredibilitas, selanjutnya lihat Fathi Yakan, Kunci Sukses Petugas Dakwah, terj. Qawarib al-Najât li Hayâh al-Du�ât, oleh M. Hasan Baidawi (Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984), hlm. 146-162, dan Amin Hasan Ishlahi, Metode Dakwah

Menuju Jalan Allah, terj. Minhâj al-Da�wah ilâ al-Lâh, oleh Mudzakir dan Mulyana Syarif (Jakarta: Litera Antarnusa, 1985), hlm. 23-29, dan Sayid Muhammad Nuh, Terapi Mental Aktivis Harakah: Telaah atas Penyakit Mental dan Sosial Kontemporer Para Da�i, terj. Âfât „alâ al- Tharîq, oleh Asad Yasin (Solo: CV. Pustaka mantiq, 1994).

193

akan efektif apabila dâ�i sebagai komunikator menguasai hal-hal sebagai berikut:

(1) frame of reference mad�u selengkapnya; (2) kondisi fisik dan mental mad�u

sepenuhnya; (3) suasana lingkungan pada saat terjadinya proses dakwah

antarpribadi; dan (4) tanggapan mad�u secara langsung

Dengan mengetahui, memahami dan menguasai hal-hal tersebut, maka

dâ�i akan mampu mengendalikan diri pada waktu berlangsungnya dakwah

antarindividu, yaitu, hal-hal sebagai berikut: (1) mengontrol setiap kata dan

kalimat yang diucapkan; (2) mengulangi kata-kata yang penting disertai

penjelasannya; (3) memantapkan pengucapan dengan bantuan mimik dan gerak

tangan sesuai proporsinya; (4) mengatur intonasi sebaik-baiknya; dan (5)

mengatur rasio dan perasaan

Selanjutnya, dâ�i ketika melakukan dakwah antarpribadi yang berlangsung

secara tatap muka, hendaklah memperhatikan etika, yaitu sebagai berikut: (1)

bersikap empatik dan simpatik; (2) menunjukkan sikap sebagai dâ�i terpercaya;

(3) mengutamakan tindakan sebagai pembimbing daripada sebagai pendorong;

(4) mengemukakan fakta dan kebenaran; (5) hendaklah berbicara dengan gaya

mengajak bukan dengan gaya menyuruh; (6) hindari dari memperlihatkan sikap

yang super; (7) jangan menganggap enteng hal-hal yang mengkhawatirkan; (8)

jangan mendahulukan kritik; (9) hindari dan kendalikan emosi; dan (10)

berbicaralah secara meyakinkan.76

C. al-Da’wah al-Ummah

Al-da�wah al-Ummah, menurut Muhammad Abduh, merupakan kewajiban

berupa mengimplementasikan (tathbîq) hukum-hukum Allah SWT yang inti

proses penegakannya adalah tertumpu pada aktivitas amr ma�rûf nahy munkar.

Secara fungsional, amr ma�rûf nahy munkar dijelaskan oleh Muhammad Abduh,

yaitu: langkah pertama yang menjadi keharusan adalah menyeru manusia ke

pangkuan Islam. Jika mereka memenuhi, keharusan berikutnya adalah

menghimbau mereka akan kebaikan dan mencegahnya dari kemunkaran. Adapun

76 Penjelasan ini diadaptasi dari Onong Ukhjana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 125-126.

194

alasan mengapa hal ini bisa menjaga kesatuan dan mencegah perpecahan adalah

karena umat jika bersatu untuk mencapai tujuan luhur lagi mulia ini, yakni

hendaknya menggiring umat-umat semuanya, mendidiknya dan membina jiwanya,

tidaklah ragu lagi bahwa seluruh kepentingan pribadi akan saling bertemu dan

berembuk di antara mereka. Maka, jika muncul rasa iri dan resistensi dari salah

seorang anggota masyarakat, mereka akan segera menyadari tugas mereka yang

luhur lagi mulia, yang tidak akan tercapai dengan baik kecuali melalui kerjasama

dan kebersamaan. Kesadaran ini dapat meredam kepentingan pribadi tadi dan

sembuhlah jiwa-jiwa sebelum menderita sakit.77

Urgensi dakwah ummah menjadi gerakan untuk memperbaiki dan mencari

solusi problem keumatan tersebut. Muhammad Abduh mengamati situasi umat

pada zamannya dihinggapi macam-macam penyakit umat yang berpangkal-tolak

dari taklid buta kepada pendapat mazhab bukan mengikuti perilaku Imam mazhab.

Memahami ajaran Islam dan mengamalkannya tidak merujuk pada dalil-dalil Al-

Qurân dan contoh sunnah rasul. Akibatnya, umat berada pada situasi jahiliah yang

diindikasikan antara lain dengan adanya perpecahan dan permusuhan,

subyektivisme (hawahu) menjadi hakim dalam beragama, Muslim menjadi

terkotak-kotak, masing-masing saling mengklaim bahwa mazhab yang benar

adalah mazhabnya, memusuhi umat yang berbeda pendapat, tertinggal dalam

urusan ilmu dan teknologi modern, etos kerja lemah, ekonomi jauh tertinggal,

sistem ekonomi riba melanda kaum elit Mesir. Situasi ini membuat kesatuan dan

persatuan dan nilai keadilan individual dan sosial dalam sistem keumatan yang

dikehendaki syariat Islam yang autentik berdasarkan dan menurut contoh sunnah

rasul, tidak menjadi kenyataan sosial umat Islam. 78

Dalam pemikiran Muhammad Abduh mengenai dakwah al-ummah di atas,

termuat sasaran amr ma�rûf nahy munkar sebagai upaya memelihara kesatuan

77Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28. Ungkapan Muhammad Abduh ini merujuk QS. Al-Hajj (22):

41, ayat ini mengenai keharusan tamkin ummah. 78Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 24-25, 29 dan 30. Problem keumatan abad modern sekarang,

selain yang diamati Muhammad Abduh juga ada yang diakibatkan pengaruh budaya Barat dan dampak negative sains dan teknologi yang tidak berbasis tauhid sebagai problem dakwah. Lihat

Abdullah Nashih Ulwan, al-Da�wah al-Islâmiyyah wa al-Inqâdz al�Âlami (Beirut: Dâr al-Salam, 1985), hlm. 24-34.

195

umat dan mencegah perpecahan, mendidik jiwa umat dan memusnahkan egoisme

individual seperti hasad dan kebrutalan yang bersumber pada tuntutan hawa

nafsu. Selain sasaran ini, juga Muhammad Abduh mengatakan bahwa amr ma�rûf

nahy munkar merupakan upaya memperbaiki dan mewujudkan kemaslahatan

umat dengan melaksanakan segala kewajiban beragama. Kemudian Muhammad

Abduh menyatakan bahwa, tak syak lagi, bahwa dalam proses pelaksanaan

kewajiban-kewajiban tersebut terkandung perbaikan umat secara keseluruhan.79

Sebelum Muhammad Abduh, penjelasan makna fungsional amr ma�rûf

nahy munkar ini dikemukakan oleh Taqiyudin Ibn Abbas Ahmad bin Taimiyah

(w.728H). Menurutnya bahwa, sesungguhnya nabi sendiri dan segenap kaum

beriman tidak memberikan informasi kecuali kebenaran. Mereka tidak

memerintahkan apa-apa selain keadilan, sehingga mereka menyerukan kebaikan

dan mencegah kemunkaran. Mereka mengimbau atas berbagai kemaslahatan

hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat. Mereka tidak mengajak pada kekejian,

tidak kezaliman, tidak kemusyrikan, dan tidak pula perkataan tanpa dasar ilmu.

Mereka merupakan delegasi penyempurnaan fitrah dan pemantapannya, bukan

untuk mengganti atau mengubahnya. Mereka tidak memerintahkan apa-apa

kecuali hal-hal yang sejalan dengan kebaikan menurut pertimbangan akal yang

diterima oleh hati yang bersih.80

Dari penjelasan Ibn Taimiyah di atas, dapat dipahami bahwa, di dalamnya

termuat prinsip-prinsip amr ma�rûf nahy munkar sebagai tugas nabi dan umatnya

guna mewujudkan kemaslahatan segenap manusia hamba Allah SWT. di dunia

kini dan di akhirat kelak. Penyakit masyarakat yang termasuk kategori munkar

adalah perbuatan kotor, kezaliman dan syirik yang bertentangan dengan fitrah

manusia (keyakinan tauhid Allah). Bahasa lisan yang dipergunakan dalam

menegakkan ma�rûf dan menjegal yang munkar mesti mengacu pada kecerdasan

penalaran rasional dan kesucian hati.

79Al-Manâr, jld. I, hlm. 368. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al- Baqarah: 83. Implementasi kandungan ayat ini merupakan bagian dari cara membangun umat.

80 Taqiyuddin Ibn al-„Abbas Ahmad bin Taimiyah, Kitâb al-Nubuwât (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 284.

196

Amr ma�rûf nahy munkar merupakan bagian dari metode da�wah ummah

yang esensial, yang mencirikan keberadaannya sebagai khayr ummah,

sebagaimana ditunjukkan oleh QS. Ali Imran (3): 110. Dari ayat ini menurut

Muhammad Abduh, menunjukkan bahwa,81 kebaikan dan keunggulan umat Islam

dibanding umat lain terletak pada hal-hal berikut: memerintahkan kebaikan,

mencegah kemunkaran, dan keimanan kepada Allah.

Al-ma�rûf dan al-munkar dijelaskan oleh Muhammad Abduh bahwa,

ma�rûf dalam penggunaannya secara umum dimaksudkan sebagai sesuatu yang

dipandang baik oleh akal dan watak yang waras. Kemunkaran adalah sebaiknya,

yaitu sesuatu yang ditolak oleh akal dan tabiat yang sehat.82 Kemudian,

Muhammad Abduh menguatkan ma�rûf dengan keadilan dan munkar dengan

kezaliman, menurutnya bahwa, tiada kebaikan yang paling baik selain keadilan

dan tiada kemunkaran yang paling tertolak selain kelaliman.83

Sementara itu, Semakna dengan penjelasan Muhammad Abduh, al-Sa�di

menjelaskan ma�rûf dan munkar bahwa, ma�rûf merupakan sebuah kata benda

yang mencakup segala sesuatu yang dikenal kebaikan dan manfaatnya baik

menurut syariat maupun menurut akal. Munkar adalah kebalikannya.84

Sedangkan yang dimaksud dengan „adil, Muhammad Abduh, menurut

Rasyid Ridha, tidak memberikan penjelasannya. Al-Jurjâni, mengartikan term

„adil, yaitu, „Adil merupakan gambaran tentang sesuatu yang berada di tengah-

tengah antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri, dan „Adalah merupakan ungkapan

tentang konsisten di atas jalan kebenaran dengan menjauhi sesuatu yang

diwaspadai agama. 85 Sedangkan al-zhulm, menurut al-Jurjani, adalah meletakkan

sesuatu bukan pada tempatnya. Secara syariat, al-zhulm merupakan ungkapan

penyimpangan dari kebenaran ke arah kebatilan. 86

81 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 57. 82 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27. 83 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 45. 84 Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa�di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr al-Mannân,

hlm. 944. 85 Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta�rîfât (Jeddah: al-Haramain, tt.), hlm. 147. 86 Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta�rîfât, hlm. 144

197

Penyebutan beriman kepada Allah setelah amr ma�rûf nahy munkar,

menurut Muhammad Abduh, adalah mengandung hikmah, yaitu adapun rahasia

mengapa amr dan nahy didahulukan penyebutannya sebelum iman itu adalah

karena amr dan nahy itu merupakan sesuatu yang terpuji dalam tradisi seluruh

manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir. Mereka semua memandang

orang yang melakukannya sebagai terhormat. Tatkala pembicaraan berada dalam

konteks keunggulan umat Islam di atas seluruh umat yang lain, baik mukmin

maupun kafir, didahulukanlah deskripsi sesuatu yang disepakati kebaikannya di

kalangan kaum mukmin dan kafir. Juga ada rahasia lain yakni bahwa amr ma�rûf

nahy munkar itu merupakan perisai dan benteng keimanan.87

Dalam penjelasan Muhammad Abduh di atas, terkandung fungsi

menegakkan ma�rûf dan menjebol perkara munkar sebagai upaya membentengi

dan memelihara keimanan umat terbaik. Jika tidak ada amr ma�rûf nahy munkar,

maka akan terjadi robohnya tatanan keumatan. Dengan demikian, transformasi

dan institusionalisasi syariat Islam merupakan esensi dan fungsi amar ma�rûf

nahy munkar yang wajib dilakukan oleh umat Muslim sesuai kemampuan masing-

masing individu dan status serta perannya dalam struktur keumatan, baik dengan

bahasa lisan, bahasa perbuatan, dan gerakan komunal, dengan mengacu pada

prinsip metode hikmah dan mau�izhah hasanah. Pelaku amr ma�rûf hendaknya

menguasai pengetahuan syariat Islam yang akan ditegakkannya, memeiliki

keterampilan dan kemampuan metodologis dan teknis menegakkan ma�rûf dan

menjebol yang munkar, memiliki niat yang ikhlas, dan memiliki kepribadian

uswah hasanah.88

1. Amr Ma�rûf

Prinsip-prinsip menegakkan ma�rûf dalam memperbaiki perpecahan dan

permusuhan yang disebabkan oleh penyakit pemahaman dan mental taklid,

87 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 63-64 88 Kajian lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Abd Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj

al-Da�wah al-Islâmiyah, hlm. 48-56. Imam Ghazali memandang amr ma�rûf nahy munkar sebagai bagian dari pokok agama, yang prosesnya melibatkan unsur pelaku, materi, metode, dan obyek. Ia menyebutnya dengan ihtisâb (perjuangan memperoleh ridha Allah). Lebih lanjut lihat karyanya Al-

Mursyid al-Amîn ilâ Mau�izhah al-Mu�minîn (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, tt.), hlm. 114-

119.

198

Muhammad Abduh berpesan agar memperhatikan sikap dan perilaku: (1) toleransi

atas perbedaan pendapat; (2) tidak saling mengafirkan di antara penganut paham

mazhab yang berbeda sepanjang perbedaan itu masih menerima dan tidak

menolak kitab Allah SWT.; (3) tidak mengingkari dan masih menghormati

kerasulan Muhammad SAW.; (4) menghindari polemik yang tidak etis dalam

diskusi dan pembahasan masalah baik secara lisan maupun tulisan; dan (5)

menyadari dan menjaga agar perbedaan pendapat pemahaman keagamaan tidak

membuat perpecahan dan permusuhan dengan mengembalikan segala persoalan

hukum kepada sumbernya yang autentik, melalui fungsi dan peran uli al-amr.89

Sikap dan perilaku dalam menyikapi perbedaan pendapat yang diajukan

oleh Muhammad Muhammad Abduh tersebut termasuk kajian etika berbeda

pendapat dalam Islam. Mengenai etika ini, menurut Thaha Jabir Fayyad al-Alwani

bahwa perbedaan pendapat bagian dari tradisi akademik ilmuwan muslim.90

Amr ma�rûf sebagai upaya mewujudkan kesatuan umat, kesatuan

keorganisasian umat, dan kesatuan kepemimpinan umat dalam keragaman dicapai

melalui gerakan merealisasikan sasaran dan aspek-aspek syariat Islam. Sasaran

syariat Islam berupa pemeliharaan aqidah dan ibadah, penjaminan keselamatan

jiwa, pembinaan dan pemeliharaan kesehatan dan kecerdasan akal, pembinaan

generasi muda, pembinaan keadilan sosial dengan pemerataan kesejahteraan

sosial. Sasaran-sasaran syariat Islam ini pencapaiannya melalui aplikasi aspek-

aspek aqidah, ibadah, akhlak, keluarga, kemasyarakatan, kepemimpinan,

ekonomi, pendidikan, seni-budaya, kesehatan bio-psiko-sosio-spiritual,

keterampilan dan keamanan. Sasaran dan aspek-aspek syariat Islam ini merupakan

esensi ma�rûf yang menjadi acuan sistem nilai dan norma khayr ummah.91

89 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 25. 9090 Lihat Thaha Jabir Fayyad al Alwany, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, terj. Adab

al-Ikhtilaf fi al-Islam oleh Ija Suntana, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 133. 91 Kajian lebih lanjut lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 365-370, Yusuf Qaradawi, Anatomi

Masyarakat Islam, hlm. 5-344, dan Runben Levy, terj. The Social Structure of Islam, oleh H.A. Lujito (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 56-100, Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi Islam, terj. Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought, oleh Nina Nurmila (Bandung: Mizan, 1999), dan Muhammad Abu Zahrah, Membangun Masyarakat Islami, terj. Tanzhîm al-

Islâm lî al-Mujtama�, oleh Shodiq Noor Rohmat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).

199

Khayr ummah dibangun melalui penerapan asas-asas wahdah al-ummah

sebagai al-ma�rûf, yaitu: tauhid Allah, ukhuwah Islamiyah, musâwâh

(persamaan), musyâwarah, ta�âwun (gotong-royong), takâful ijtimâ�i (solidaritas

sosial), jihâd (perjuangan), ijtihâd (kreasi dan inovasi), „amal shâlih (karya yang

bernilai guna dan berhasil guna), musâbaqah fî al-khayrât (berlomba-lomba

dalam kebaikan), tasâmuh (toleransi), dan istiqâmah (keberlangsungan melalui

disiplin).92

2. Nahy al-Munkar

Prinsip-prinsip amr ma�rûf, sebagaimana dijelaskan sebelumnya,

direalisasikan sejalan dan secara simultan dengan merealisasikan prinsip-prinsip

nahy munkar. Sesuatu disebut munkar, tidak lain sejumlah larangan syariat Islam

yang penentuannya melibatkan dan mengakui pertimbangan akal sehat manusia.

Beberapa macam kemunkaran yang diamati Muhammad Abduh pada zamnnya,

antara lain, menurutnya bahwa, induk kemungkaran yang merusak tatanan sosial

meliputi kebohongan, pengkhianatan, iri-dengki, dan penipuan.93

Dari empat macam kemunkaran induk itu, menurut Muhammad Abduh,

akan muncul berbagai macam kemunkaran yang lain sebagai penyakit

masyarakat, seperti perzinahan (prostitusi), meminum minuman yang

memabukkan (khamar), fasâd (merusak tatanan lingkungan hidup, dan pada

gilirannya, kemunkaran itu menjadikan manusia tidak lagi menghiraukan

kewajiban beragama, tidak lagi merasakan nilai luhur kemanusiaan, tidak lagi

menjunjung tinggi sopan santun kemanusiaan dan tidak ada bedanya dengan

perilaku kehewanan.

92 Kajian lebih lanjut, lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 130, Yusuf Qaradawi, Konsep Islam Solusi Utama Bagi Umat, terj. Al-Hill al-Islâmi Farîdhah wa Dharûrah, oleh M. Wahib Aziz (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hlm. 28-177, Abu Yazid, Islam Akomodatif Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal (Yogyakarta: LKis, 2004), hlm. 42-69, dan Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih (ed.) Idris Thaha (Bandung: Mizan, 2000). Semua kandungan buku ini, dari perspektif dakwah, merupakan pemikiran strategis kontemporer bagi pembangunan khayr ummah yang proses aplikasinya sebagai proses dakwah ummah.

93 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 36.

200

Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh bahwa, tidak beragama, tidak

memiliki rasa malu dan rikuh, tidak beradab, nyaris tak ada bedanya antara

kelompok manusia dengan kerumunan kambing atau lembu.94

Muhammad Abduh beralasan bahwa, nahy munkar bukan fardhu kifâyah

seperti salat jenazah, tetapi wajib „ain (individual) dan sekaligus komunal

(kifâyah). Secara individual, siapapun yang menyaksikan kemunkaran

berkewajiban untuk mencegah dan mengubahnya. Dalam hal ini, Muhammad

Abduh menegaskan bahwa, manakala orang melihat kemunkaran, ia berkewajiban

untuk mencegahnya dan tidak boleh menunggu orang lain, karena bisa jadi ia

memiliki persepsi lain tentang kemunkaran yang disaksikannya.95

Kemudian menurut Muhammad Abduh, nahy munkar dapat dilakukan

dengan tiga macam cara, sebagaimana ditunjukkan dalam salah satu sabda Nabi

Muhammad SAW. yang artinya, siapa saja yang melihat kemunkaran hendaklah

ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa dengan tangan, hendaklah

mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu dengan lisan, dengan hatinya.

Hanya saja, itu merupakan tingkat keimanan paling lemah. 96

Muhammad Abduh mengakui bahwa, terdapat perbedaan mengenai siapa

yang berkompeten untuk melaksanakan kewajiban nahy munkar dan taghyîr

munkar. Perdapat pertama meyakini bahwa wajib bagi umarâ (pemerintah,

pemimpin), pendapat kedua setiap individu menurut kemampuannya, berdasarkan

tiga macam pilihan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits nabi di atas. Media

nahy dan taghyîr munkar dapat menggunakan bahasa lisan dan perbuatan.

Dalam pada itu, Muhammad Abduh mengajukan prinsip amr ma�rûf dan

nahy munkar, yaitu bagi mereka penganjur ma�rûf dan pencegah munkar

hendaknya mereka menyeru dengan cara hikmah dan mau�izhah hasanah.

94 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 30. 95 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 36. 96 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 34. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim,

dan empat pemilik kitab al-Sunan (Abu Daud, Tirmidzi, Nasa�i, dan Ibn Majah). Hadits ini termasuk shahih. Lihat Jalâl al-Dîn Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Jâmi� al-Shaghîr fî Ahâdîts al- Basyîr al-Nadzîr (Bandung: PT. Al-Ma�arif, tt.), hlm. 171.

201

Kiranya (dakwah tidak membuat) orang-orang tidak lari dari Islam atau membuat

mereka tersakiti. 97

Selain itu, Muhammad Abduh berpendapat bahwa, hendaknya dibedakan

antara nahy (mencegah) dengan taghyîr (mengubah) sebagaimana ia tegaskan

bahwa, sesungguhnya mencegah sesuatu hanya bisa dilakukan sebelum sesuatu

itu dilakukan. Jika sudah dilakukan, ia bukan mencegah melainkan

menghilangkan suatu kejadian atau mewujudkan sesuatu yang sudah terwujud.

Maka, jika anda melihat seseorang memperdaya orang gemuk, misalnya, wajiblah

anda mengubahnya dan mencegahnya dengan perbuatan jika anda mampu.

Kekuasaan dan kemampuan di sini dipersyaratkan oleh nash. Jika anda tidak

mampu melakukan hal itu, wajiblah anda mengubah dengan lisan. Hal ini tidak

berlaku khusus untuk mencegah penipuan dan mengingatkannya, melainkan

termasuk pula di dalamnya mengangkat persoalan tersebut kepada pemerintah

atau pemimpin yang bisa mencegahnya dengan kekuasaan di atas kekuasaan anda. 98

Sudah menjadi bagian dari kenyataan kehidupan bermasyarakat selalu ada

yang menjadi pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin ini memiliki otoritas

sebagai salah satu fungsi dari kepemimpinannya, sehingga ia dapat mempengaruhi

perilaku anggota kelompok yang dipimpinnya. Dâ�i dalam hal ini dapat berfungsi

sebagai pemimpin. Ketika berfungsi sebagai pemimpin maka dia akan

memperoleh kepengikutan dari anggota masyarakat yang dipimpinnya, yang

ditentukan oleh adanya beberapa faktor, misalnya adanya dorongan mengikuti

pemimpin sebagai sesuatu yang diharuskan, adanya sifat yang menjadi daya tarik

yang dimiliki pemimpin sehingga anggota menjadi kagum dan tertarik untuk

mengikutinya, dan adanya kemampuan pada pemimpin itu sendiri untuk

menggunakan teknik kepemimpinanannya. Ketika pemimpin menjalankan tugas

nahy munkar dan taghyîr munkar akan lebih besar peluang untuk berhasil apabila

ia memiliki faktor kepengikutan tersebut.

97 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 31-32. 98Al-Manâr, jld. IV, hlm. 34. Macam pendapat mengenai metode nahy munkar ini,

selanjutnya lihat Uways Wafa al-Arunjani, Manhaj al-Yaqîn „alâ Syarh Adab al-Dunya wa al-Dîn (Jedah: al-Haramayn, tt.), hlm. 156-163.

202

Dari sudut pandang komunikasi, pertimbangan-pertimbangan

kepengikutan terhadap pemimpin ditentukan dengan lima faktor alasan, yaitu:

Pertama, kepengikutan karena naluri, hal ini terjadi disebabkan oleh

dorongan untuk menaruh kepercayaan kepada seseorang, sehingga siap bersedia

untuk melakukan tindakan tertentu yang dikehendaki orang yang memperoleh

kepercayaan itu. Orang yang menerima kepercayaan tersebut diakui sebagai

pemimpin karena dianggap mampu melindungi kepentingan atau mewujudkan

aspirasi orang yang menaruh kepercayaan tadi;

Kedua, kepengikutan karena tradisi yang disebabkan oleh kebiasaan turun

menurun. Kepengikutan jenis ini terdapat di tengah-tengah masyarakat, mereka

mengikuti pemimpin dengan tidak melakukan penilaian-penilaian kualitas

kebijakan yang dijalankan oleh pemimpin;

Ketiga, kepengikutan karena rasio, yakni kepemimpinan yang ditandai

dengan berbagai ciri ilmu pengetahuan, sebagaimana umumnya yang dimiliki oleh

setiap ilmuwan. Dalam aplikasinya bermanfaat untuk memecahkan berbagai

persoalan yang komplek, dan kepemimpinan juga didukung dan ditunjang oleh

lembaga, sehingga ia sebagai pemimpin memperoleh pengakuan sosial secara

formal;

Keempat, kepengikutan karena agama dan budi pekerti, yakni para

pengikut mengikuti pemimpin berdasarkan agama yang sewaktu-waktu bersifat

fanatik dan memandang bahwa mengikuti pemimpin sebagai pelaksanaan agama,

yang berarti pula sebagai pelaksanaan ibadah. Dalam suasana interaksi antara

pemimpin dan pengikutnya di tengah-tengah masyarakat yang

mempertimbangkan agama dan budi pekerti pemimpin akan berhasil menjalankan

kepemimpinannya apabila memenuhi beberapa hal berikut: (1) apabila mutu

keputusan yang diambil oleh pemimpin dipandang penting dan mendapat

perhatian; (2) penerimaan para bawahan menyadari bahwa keputusan yang

diambil itu adalah penting; (3) para bawahan cenderung menolak keputusan yang

diambil apabila mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilannya; dan (4)

para pengikut dapat dipercayai untuk memberikan perhatian pada tercapainya

tujuan yang menggambarkan mengakomodir kepentingan bersama.

203

Kelima, kepengikutan karena peraturan dan hukum, yaitu yang merupakan

tindakan bahwa pengikut diatur hak dan kewajibannya dalam aturan dan hukum

tersebut, sehingga mereka merasa terikat untuk mengikuti pemimpin.

Faktor-faktor kepengikutan tersebut dalam prakteknya dapat saja

terakumulasi atau faktor yang satu mempengaruhi faktor-faktor lainnya, serta

sangat mungkin pada satu pribadi pengikut terdapat dua atau lebih afktor

kepengikutannya. Kendati demikian, faktor-faktor tersebut merupakan hal yang

ikut menentukan jenis dan keberhasilan pemimpin.99

Di antara persyaratan bagi pelaku nahy munkar di dalam penegasan

Muhammad Abduh di atas, selain aspek kekuasaan dan kemampuan, juga

termasuk aspek penguasaan ilmu dan keadilan.

Sejalan dengan Muhammad Abduh di atas, mengenai persyaratan kuasa

dan mampu, Abd al-Fatah mengajukan pendapat tentang syarat bagi pelaku amr

ma�rûf nahy munkar dengan mengutip pendapat Sofyan al-Tsauri, yaitu:

bahwasanya orang tidak bisa memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran

kecuali ia memiliki tiga hal, yaitu: (1) bersikap lemah lembut dalam hal

memerintahkan dan mencegah; (2) bersikap adil dalam hal memerintahkan dan

mencegah; dan (3) berilmu mengenai apa yang ia perintahkan dan apa yang ia

cegah.100

Selain taghyîr munkar melalui bahasa lisan, juga terdapat cara lain, yaitu

cara taghyîr munkar dengan qalb, menurut Muhammad Abduh yaitu, taghyîr

dengan hati adalah dalam bentuk marah atas pelaku dan tidak meridhai

perbuatannya.101

Muhammad Abduh percaya bahwa, banyak cara dan media untuk

melakukan nahy munkar selain yang telah dikemukakannya, menurutnya bahwa,

99Lihat, Wahjosumijo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta: Balai Aksara, 1985), hlm. 132-135.

100Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Da�wah al-Islâmiyah, hlm. 54. Mengenai karakteristik dâ�i di medan dakwah ummah dalam menunaikan nahy munkar, lebih lanjut lihat Said bin Ali bin Wakf al-Qahthani, 9 Pilar Keberhasilan Dâ�I di Medan Dakwah, terj. Muqawamât al-Dâ�iyah al-Nâjih, oleh Muzadi Hasbullah (Solo: Pustaka Arofah, 2001).

101 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 34.

204

terdapat banyak cara dan berbilang media bagi nahy munkar. Bagi setiap tempat

ada pembicaraan yang tepat seuai peruntukannya. 102

Muhammad Abduh lebih lanjut menegaskan bahwa, metode nahy munkar

selain tiga macam metode yang telah dikemukakan, adalah jihâd fî sabîl al-Lâh

(berjuang di dalan Allah) melalui pengorbanan harta benda dan jiwa raga.

Termasuk bagian dari esensi jihad ini adalah al-qitâl (perang) untuk membentengi

diri dan mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam dari serangan dan gangguan

manusia yang memusuhi dan menghalangi jayanya dakwah Islam. Jika jalan

damai tidak disepakati dan mereka mengobarkan dan memulai memerangi umat

Islam, maka al-qitâl sebagai suatu kewajiban komunal dan masal umat Islam

direalisasikan.103

Tujuan utama diperintahkannya al-qitâl (perang) di jalan Allah adalah

untuk meninggikan Kalimah Allah, menegakkan agama Allah, dan mewujudkan

keberlangsungan dakwah. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh

meyakini bahwa, perang di jalan Allah dilakukan dengan prinsip, yaitu: (1)

merupakan perang demi meninggikan Kalimah Allah, pengamanan agama-Nya,

dan penyebaran dakwah-Nya; (2) membela pasukan Allah agar hak mereka tidak

tersisihkan dan tidak terhalangi untuk mengurus urusannya; (3) perang di jalan

Allah bersifat lebih umum daripada perang demi agama karena perang di jalan

Allah mencakup perang mempertahankan agama dan memelihara dakwahnya; dan

(4) merupakan upaya mempertahankan diri dari serbuan manakala seorang

serakah menyerbu negeri kita dan menguras potensi-potensi tanah kita, atau

musuh yang tiran hendak menghinakan kita dan mengancam kemerdekaan kita,

meski hal itu bukan untuk membahayakan agama kita.104

Hal tersebut di atas bersifat mutlak, seolah-olah ia merupakan perintah

bagi kita untuk menyandang sifat berani dan berpenampilan penuh kekuatan dan

harga diri, agar hak-hak kita terpelihara dan kehormatan kita terjaga. Kita tidak

boleh tercerabut dari agama kita, tidak tergusur dari dunia kita, melainkan kita

102 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 35. 103 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 61-64. Pendapat Muhammad Abduh ini bagian dari

penafsiran atas QS. Ali Imran: 111, ayat ini bagian dari ketentuan perang di jalan Allah. 104 Al-Manâr, jld. II, hlm. 461.

205

tetap dalam keadaan mulia dalam hal agama dan dunia, meraih kebahagiaan di

dunia dan akhirat. Tidakkah anda melihat bahwa orang-orang yang Allah

pertunjukkan kepada kita, keadaan mereka sebagai pelajaran, kita mengingat

sunnah-Nya berkenaan dengan kematian dan kehidupan mereka. Allah tidak

menyebut bahwa mereka telah terbunuh dan membunuh demi agama. Maka,

perang untuk menjaga hakikat sama dengan perang demi memelihara kebenaran.

Semuanya merupakan jihad di jalan Allah. 105

Dalam paparan Muhammad Abduh tersebut di atas, termuat prinsip-

prinsip al-qitâl dalam menegakkan dan memelihara kebenaran guna memeproleh

keselamatan dan kebahagiaan di dunia kini dan di akhirat kelak. Ketentuan

startegis dan ketentuan operasional mengenai al-qitâl menjadi kajian fiqh Islam

dan banyak dikaji walaupun tidak secara langsung dikaitkan sebagai bagian dari

metode nahy munkar dalam kerangka dakwah ummah. Yusuf Musa sependapat

dengan pandangan Muhammad Abduh mengenai jihad dan qitâl dalam kaitannya

dengan dakwah Islam ini.106 Sebab, jihad dan qitâl dalam dakwah merupakan

bagian dari sunah Rasul Allah, Rasul telah memberikan contoh dalam memimpin

qitâl pada zamannya.

Qitâl (perang) dalam upaya membentengi kebebasan dan mewujudkan

keberlangsungan dakwah, mengacu pada prinsip-prinsip keadilan, perang hanya

dibolehkan apabila mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) sebagai

pembelaan diri dari kezaliman musuh; (2) perang untuk mengokohkan sendi-sendi

perdamaian; (3) perang dilakukan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan; (4) perang dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi; (5) perang

dilakukan bukan untuk kepentingan golongan; dan (6) perang dilakukan bukan

untuk mengejar keuntungan materil. 107

105Al-Manâr, jld. II, hlm. 461. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 243-244. Bandingkan dengan kajian al-Jurjani, al-Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu, (Beirut: Dâr al-Fikr,tt), hlm. 329-350.

106Selanjutnya lihat Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, terj. Al-Qurân wa al-Falsafah, oleh Ahmad Daudi (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 102-105.

107 Lihat Mahmûd Syît Khathab, al-Rasûl al-Qâid, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hlm. 473- 482.

206

D. Kaderisasi Da’i Profesional

Term takwîn al-du�ât / tarbiyah al-du�at ini digunakan sebagai realisasi dari

perintah kewajiban dakwah yang sementara ini kurang mendapat perhatian ilmuan

muslim, yaitu kalimah dan yang memberikan petunjuk sebagai amar

takwîn (perintah pembentukan) kader dâ�i, yaitu tenaga terpelajar, terdidik,

terlatih, dan terampil melaksanakan tugas dakwah. Dalam tatanan khayr ummah,

dâ�i profesional ini oleh Muhammad Abduh disebut sebagai khawâsh al-ummah

(individu terpilih dengan tugas-tugas sebagai dâ�i).108

Oleh karena itu, kaderisasi dâ�i profesional dapat dipahami sebagai upaya

menyiapkan calon-calon dâ�i yang memiliki keahlian teoretis dan praktis hal-

ihwal dakwah Islamiah sebagai komponen umat yang memiliki persyaratan

profesionalisme kedakwahan melalui proses takwîn al-du�ât yang berintikan

proses ta�lîm (transmisi ilmu), tadrîs (pembelajaran intensif), tafaqquh

(pendalaman paham), tazwîd (pembekalan keahlian), dan tadbîr (pemberian

keterampilan manajerial).

Khawâsh al-ummah sebagai du�ât yang dimajukan Muhammad Abduh,

sejalan dengan pendapat Shaqr, menurutnya, bahwa, apa yang kami maksud

sebagai du�ât tiada lain adalah mereka yang kepentingan dakwahnya menguasai

kehidupannya atau menjadi pusat pekerjaan mereka. 109

Term takwîn al-du�ât untuk menyebut „pendidikan keahlian dakwah�

digunakan antara lain oleh Abd al-badi Shaqr, Ahmad Ahmad Ghalwusy, dan Ali

bin Shalih al-Mursyid.110

Muhammad Abduh menyadari betapa pentingnya menyiapkan kader-kader

dâ�i profesional dalam menghadapi persoalan kehidupan umat yang semakin

rumit pada zamannya. Sebab, menurut pengamatan Muhammad Abduh dan

108 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28, 36, 37 dan 44. Selain kalimah dalam QS. Ali

Imran: 104 dan dalam QS. Ali Imran: 110, juga kalimah dalam QS. Ali Imran: 79, ayat 79 ini mengenai ketentuan talim.

109 Abd al-badi Shaqr, Kayfa Nad�u al-Nâs (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), hlm. 108. 110 Lihat Ahmad Ahmad Ghalwusy, al-Da�wah al-Islâmiyah (Kairo: Dâr al-Kitab al-Mishri,

1987), hlm. 434. Selanjutnya disebut Ghalwusy, dan Ali bin Shalih al-Mursyid, Mustalzamât al-

Da�wah fî al-„Ashr al-Hâdhir (Damanhur: Maktabah Layinah, 1989), hlm. 93. Selanjutnya disebut al-Mursyid.

207

sekaligus sebagai kritiknya adanya orientasi para mahasiswa sudah mengabaikan

nilai-nilai kemaslahatan jiwa (nafs) dan perjuangan memajukan Islam. Dalam hal

ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, Kita telah menyaksikan dan akan

terus menyaksikan di negeri kita bahwa para mahasiswa yang tengah mengkaji

berbagai ilmu dan seni seraya mengabaikan pendidikan jiwa tidak melakukan apa-

apa selain memperbudak orang lain. Sebagaimana berlangsung di kota Astanah

dan Kairo, dan daerah lainnya, anda melihat orang bersenang-senang mengumbar

syahwat, kesenangan, dan kemewahan. Inilah apa yang dilakukan oleh setiap

tingkat pemerintahan negeri ini. Mereka menguras kekayaan rakyat dengan

menarik korupsi, pungli, makanan ilegal. Dan setiap hal yang mereka utamakan

dari syahwat mereka tiada lain kecuali apa yang mereka belanjakan itu

memperbesar bagian pihak-pihak lain. 111

Berikut diuraikan secara singkat pemikiran Muhammad Abduh mengenai

urgensi, dasar dan tujuan, materi dan metode kaderisasi dâ�i profesional (takwîn

al-du�ât).

1. Urgensi Kaderisasi

Muhammad Abduh percaya bahwa keberlangsungan pelaksanaan dakwah akan

terjadi jika ada kader dâ�i yang meneruskan dâ�i sebelumnya, dan begitu juga

seterusnya. Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, QS. Al-Taubah (9):122

memberikan tuntunan pentingnya melakukan kaderisasi lewat proses tafaquh fî

al-dîn.112

Dalam kandungan ayat QS. Al-Taubah (9):122, menurut Muhammad

Abduh, merupakan pembagian tugas dalam struktur khayr ummah. Tidak semua

menekuni tugas yang sama, sebab tenaga ahli yang mengurusi kehidupan

beragama umat perlu dilakukan takwîn secara profesional pula, untuk

mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam. Menurut Muhammad Abduh,

111 Al-Manâr, jld. I, hlm. 6. 112 Terjemah dari QS. Al-Taubah: 122 adalah sebagai berikut: ”Tidaklah semestinya kaum

beriman pergi seluruhnya ke medan perang. Mengapa tidak ada sekelompok di antara yang mendalami agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya manakala mereka pulang ke tengah mereka, kiranya mereka bersikap waspada”

208

kalimah liyundzirû dan yahdzarûn merupakan bagian dari aktivitas dakwah

Islam.113

Sepaham dengan pandangan Muhammad Abduh, pandangan yang

dikemukakan oleh al-Sa�di ketika menafsirkan QS. Al-Taubah: 122, menurutnya

bahwa, hendaknya mereka mempelajari ilmu syariat, mengetahui pesan-pesannya,

dan memahami rahasia-rahasianya. Hendaknya mereka mengajari orang-orang

lain. Hendaknya mereka memberi peringatan kepada masyarakatnya ketika

mereka sudah kembali ke kampungnya. Dalam hal ini tampak keutamaan ilmu,

khususnya ilmu fiqih dalam agama. Ia merupakan hal terpenting. Siapa pun yang

mempelajari ilmu wajiblah menyebarkan dan menyiarkannya kepada hamba-

hamba Allah dan menansihatinya, karena penyebaran ilmu dari ilmuan merupakan

bukti keberkahan dan pahala baginya. Adapun ilmuan yang memanfaatkan

ilmunya hanya untuk dirinya sendiri, tidak berdakwah di jalan Allah dengan

hikmah dan mau�izhah hasanah, tidak mengajari orang-orang bodoh ihwal apa

yang mereka belum mengetahuinya, lalu manfaat apa yang ia berikan kepada

kaum muslim? Nilai apa yang ia raih dari ilmunya? Paling-paling puncaknya ia

meninggal, maka matilah ilmu dan buahnya. Jelas ini merupakan kerugian yang

tak terkira bagi orang yang dianugrahi ilmu dan pemahaman oleh Allah.114

Dalam ayat ini juga terdapat dalil, arahan, dan peringatan halus bagi suatu

pesan penting, yakni bahwa kaum muslim mestilah mempersiapkan orang-orang

yang menunaikan pekerjaan publik untuk berbagai kemaslahatan umum.

Kelompok ini mencurahkan waktunya untuk mengurus kepentingan publik.

Mereka bekerja keras untuk itu. Mereka tidak berpaling pada urusan lain. Ini agar

kemaslahatan umum dapat terlaksana dan kepentingannya terpenuhi. Kepentingan

publik ini mesti menjadi arah pemikiran bersama dan menjadi satu tujuan bagi

segenap lapisan masyarakat. Tujuan itu adalah tegaknya kemaslahatan agama dan

dunia mereka, meski jalan yang ditempuhnya beragam dan mata pencahariannya

113 Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28. Pendapat yang sama, ddikemukkan antara lain oleh Muhammad Sulayman “abd Allah al-„Asyqari, Zubdah al-Tafsîr, (Riyadh: Dâr al-Nafâis,2004) hlm. 206.

114 Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa�di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al- Mannân (Riyadh: Maktabah al-Rusydiyah, 2001), hlm. 355.

209

berbeda-beda. Pekerjaan itu boleh berbeda-beda, namun tujuannya tetap satu. Ini

termasuk nilai publik yang bermanfaat bagi seluruh urusan.115

Mengenai urgensi kaderisasi dâ�i profesional ini, al-Mursyid juga

berpendapat yang sama dengan Muhammad Abduh dan al-Sa�di, sebagaimana ia

menegaskan bahwa, sudah tampak jelas pada zaman modern ini muncul sejumlah

orang yang dalam kaitan dakwah mengklaim diri sebagai dâ�i. Padahal, mereka

menyesatkan dan tidak berjasa. Sebabnya terpulang pada keterbatasan mereka

dalam pembentukan dirinya sebagai dâ�i yang menyeru kepada agama Allah.

Sesungguhnya pada zaman modern ini, Islam lebih banyak membutuhkan tenaga

dâ�i yang memahami fiqh yang tak bisa ditawar-tawar dan mereka

menyebarkannya di kalangan manusia secara jelas dan lengkap. Mereka

bersungguh-sungguh berkhidmat kepadanya dan menjadikannya sebagai

kesibukan satu-satunya bagi mereka. Mereka juga menjadikannya sebagai ajang

mendekatkan diri kepada Allah Tuhan semesta alam.116

Senada dengan pendapat al-Mursyid mengenai pentingnya kaderisasi da�i,

Abdullah Syahatah mengajukan pendapatnya yaitu: (1) hendaknya kader-kader

dâ�i memahami dan mampu menggunakan media massa modern untuk

menyebarluaskan pesan-pesan dakwah; (2) mendirikan pusat-pusat dakwah

Islamiyah untuk menyelenggarakan kegiatan pengkaderan dâ�i; (3) perlu

dilakukan perluasan dalam pengiriman tenaga dâ�i terlatih ke seluruh penjuru

dunia yang dipersiapkan secara baik; (4) mengupayakan dana dan sarana yang

diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan dakwah oleh kader dâ�i; dan (5)

menciptakan suasana lingkungan yang kondusif dalam pengamalan ajaran Islam

yang penggeraknya dilakukan oleh para kader dâ�i terdidik.117

Mengenai urgensi kaderisasi dâ�i tersebut, juga didukung oleh pendapat

Fathi Yakan, menurutnya kaderisasi dâ�i sebagai proses pembekalan kemampuan

dan keterampilan bagi mereka sebelum terjun ke medan dakwah. Oleh karena itu

menurutnya agar proses kaderisasi dipandang sebagai upaya penanaman hal-hal

115 Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa�di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al- Mannân, hlm. 356.

116 Al-Mursyid, Mustalzamât al-Da�wah fî al-„Ashr al-Hâdhir, hlm. 94. 117 Abdullah Syahatah, al-Da�wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, hlm. 17.

210

seperti: (1) pemahaman agama Islam yang mendalam dengan berbagai macam

ilmu yang diperlukannya; (2) kemampuan memberikan perilaku percontohan; (3)

mental ketabahan dalam menjalankan tugas; (4) solidaritas sosial; (5)

kedermawanan kepada orang lain; (6) perilaku sopan santun dalam pergaulan; (7)

kemampuan berpenampilan baik dan menarik dalam berbicara; (8) kemampuan

pengelolaan pendayagunaan materi; dan (9) mental melayani orang lain.118

Kehadiran da�i yang memiliki penguasaan ilmu agama Islam ,

keterampilan dalam melakukan pembaruan, perubahan dan perbaikan kehidupan

beragama umat sangat dibutuhkan oleh umat Islam dalam mencari solusi problem

kehidupan yang dihadapi dimanapun mereka berada.

2. Dasar Hukum dan Tujuan

Muhammad Abduh meyakini bahwa perintah dakwah yang secara manthûq

(sesuatu yang ditunjuk ungkapan) ditujukan kepada ummah dan khayr ummah

berarti upaya menjadi dan menyiapkan individu komponen umat menjadi dâ�i

yang profesional adalah bagian dari kewajiban pelaksanaan dakwah itu sendiri.

Dalam hal ini, Muhammad Abduh menjelaskan argumennya tentang dasar hukum

dan tujuan takwîn al-du�ât, yaitu, bila ternyata setiap individu umat Islam

berkewajiban menyeru kepada kebaikan dan amr ma�rûf nahy munkar sesuai

dengan implikasi segi pertama dalam penafsiran ayat tersebut, tentu mereka juga

berkewajiban, sesuai dengan implikasi segi yang kedua ini, untuk memilih

sekelompok orang di antara mereka yang melaksanakan pekerjaan ini, agar

kelompok ini bekerja secara sempurna dan mampu menunaikannya. Jika

kelompok ini tidak ada secara alamiah sebagaimana pada zaman sahabat, tentu

upaya membentuk kelompok khusus ini menjadi suatu fardhu „ain yang setiap

orang mukallaf wajib berpartisipasi di dalamnya bersama yang lain. Tidak ada

kesulitan bagi kita mengenai hal ini. Mudah saja bagi penduduk suatu kampung

118 Lihat Fathi Yakan, al-Isti�âb Fi al-Hayâh al-Da�wah wa al-Dâ�iyah (Beirut: Muasasah al-Risâlah, 1983), hlm. 16-62 dan bandingkan dengan konsep guru profesional dalam karya Moh. Uzer Usman Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Rosda Karya, 2009), hlm. 14-16.

211

untuk berkumpul dan memilih sekelompok orang yang dipandang ahli untuk

mengerjakan tugas dakwah ini.119

Muhammad Rasyid Ridha mengomentari dan memperkuat argumentasi

gurunya tersebut di atas. Menurut Ridha, bahwa, mengenai ungkapan ustadz

[Muhammad Abduh] „dan mereka memilih satu orang atau lebih dari kalangan

mereka,� sepertinya apa yang ia maksud dengan satu orang adalah hendaknya

yang satu orang ini bergabung dengan orang-orang terpilih di desa-desa dan

negeri lain, agar melakukan perjalanan di muka bumi guna berdakwah menyeru

kepada Islam di luar kampungnya, atau untuk menegakkan sebagian kefarduan,

syiar Islam, atau mengenyahkan sebagian kemunkaran dari negeri lain dari negeri

Islam. Jika tidak dipahami demikian, bukankah yang menjadi kewajiban

penduduk desa adalah hendaknya mereka memilih sekelompok orang yang bisa

disebut sebagai ummah dan mereka menunaikan tugas-tugas yang bisa dikerjakan

oleh setingkat ummah dengan persatuan dan kekuatan, agar mereka berwenang

menegakkan kefarduan tersebut di sana, sebagaimana hal itu menjadi kewajiban

setiap masyarakat Islam, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sebab, arti

ummah itu termasuk juga di dalamnya ikatan dan kesatuan yang membuat para

anggotanya, meski tugas dan pekerjaannya berbeda-beda hingga dalam

menegakkan kefarduan ini tatkala pekerjaan mereka dalam hal ini bermacam-

macam, seolah-olah satu orang. Inilah tampaknya yang coba dikemukakan oleh

ustadz [Muhammad Abduh] dalam konteks ini.120

Ungkapan Muhammad Abduh, yang diperkuat oleh Ridha di atas,

menunjukkan bahwa hukum takwîn al-du�ât itu wajib „ain dengan dasar nash Al-

Qurân mengenai kewajiban dakwah. Kewajiban ini dalam pengertian bahwa

masing-masing individu yang mukallaf sebagai komponen dakwah berhak dan

berkewajiban menyelenggarakan takwîn al-du�ât dan menjadi du�ât (dâ�i

119 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 37-38. Seseorang sebagai ahli jika ia memiliki kemampuan akademik dan melakukan tugasnya berdasarkan keilmuan yang dimilikinya. IAIN, sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam negeri di Indonesia memiliki peran besar dalam mengubah citra keberadaannya sebagai lembaga dakwah menjadi lembaga akademik, termasuk akademik bidang dakwah. Lebih lanjut, lihat Fuad Jabali dan Jamhari (peny.), IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2002).

120 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 38.

212

profesional) yang betugas mengurusi urusan umat sebagai dakwah bî al-tadbîr

(rekayasa sosial). Kemudian Muhammad Abduh meyakini adanya tugas ummah,

menurutnya, termasuk dalam pekerjaan ummah ini adalah urusan-urusan publik

yang merupakan urusan pemerintah, urusan keilmuan, ragam jalan

mndapatkannya, penyebarannya, penetapan hukum, dan urusan-urusan umum

yang bersifat pribadi. Di sini dipersyaratkan ilmu mengani semua urusan itu. Dan

untuk itulah ummah ini dibentuk.121

Mengenai tujuan takwîn al-du�ât Muhammad Abduh mengacu pada QS.

Ali Imran: 79. Terhadap ayat tersebut, Muhammad Abduh menjelaskan, antara

lain, yaitu, maksudnya, bahwa nabi yang diberi kitab dan hukum itu

memerintahkan kepada mereka untuk menggabungkan diri kepada Tuhan secara

langsung tanpa seorang perantara dan mediator. Allah memberikan petunjuk

kepada perantara yang sesungguhnya yang menghantarkan ke sana, yakni

mengajarkan kitab dan mempelajarinya. Sebab, dengan ilmu kitab, mengajarkan

dan mengamalkannya, manusia menjadi dekat dengan Tuhan dan diridhai oleh-

Nya. Kitab itu merupakan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

dan rasul merupakan perantara yang menyampaikan kitab.122

Dari penjelasan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa tujuan

takwîn al-du�ât adalah membentuk kader dâ�i sebagai manusia rabbâni yang

diridhai Allah SWT. yang menguasai ilmu dan terampil mengamalkannya, yang

bertugas meneruskan kewajiban dakwah menurut contoh sunnah rasul sebagai

da�i dan muballigh dengan berbagai fungsinya.123

Tujuan takwin al-du�at yang berarti pula tarbiyah al-du�at ini merupakan

bagian dari pendidikan Islam. Sedangkan di dalam tujuannya antara lain

121 Al-Manâr, jld. V, hlm. 38. 122 Al-Manâr, jld. III, hlm. 248 123 Menurut isyarat QS. Al-Ahzâb (53): 45-46, nabi dan rasul Allah berperan sebagai syahid

(saksi), mubasyir (penyampai berita gembira), nadzîr (pemberi peringatan), dâ�i (penyeru), dan sirâj munîr (lampu yang menerangi). Sebagai muballigh diisyaratkan QS. Al-Maidah (5): 67. Sedangkan tugas dan pekerjaan dari peran yang disandang oleh nabi dan rasul, menurut isarat QS.

Al-Baqarah (2): 151 adalah tilâwah ayat, tazkiyah, ta�lîm al-kitâb, dan ta�lîm al-hikmah.

213

mencakup agar peserta didik bukan hanya menguasai pengetahuan tetapi juga

agar berbudi rasional.124

Sementara itu, menurut Hisham Yahya al-Thalib, bahwa sasaran takwîn

al-du�ât diarahkan pada peningkatan: (1) kualitas rohani, (2) kualitas pengetahuan

dan pemahaman Islam yang betul, (3) pengetahuan dasar tentang ideologi dan

agama masa kini, dan (4) keterampilan dan perlengkapan dakwah.125

Kemudian, Muhammad Abduh menegaskan bahwa pelaku takwîn al-du�ât

adalah al-mu�allim (pengajar) yang kompeten, yaitu yang memiliki pengetahuan

yang mendalam tentang materi takwîn dan ia pengamal ilmu yang dimilikinya.

Dalam hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, ayat (79 surat Ali Imran)

menyiratkan bahwa manusia bisa menjadi rabbâni dengan ilmu kitab,

mempelajarinya, mengajarkannya kepada orang-orang, menyebarkannya. Sudah

menjadi ketetapan bahwa mendekatkan diri kepada Allah tidak mungkin tercapai

kecuali dengan mengamalkan ilmu. Ilmu yang tidak memotivasi amal tidaklah

dianggap sebagai ilmu yang benar, karena ilmu yang sahih adalah ilmu yang

menjadi sifat bagi pemiliknya dan menjadi watak yang melekat dalam dirinya.

Amal itu tiada lain adalah cerminan sifat dan watak tadi. Seorang ilmuan akan

dinilai dari apa yang tertanam dalam dirinya. Siapa saja yang ilmu kitabnya hanya

menghasilkan bentuk tampilan dan khayalan, yang berkelap-kelip dalam ingatan

tetapi tidak menetap dalam ingatan dan tidak menetap dalam jiwa, tidak

memungkinkan dia untuk menjadi pengajar kitab yang mengalirkan ilmu kepada

124 Tujuan pendidikan Islam yang berbeda dengan pendidikan Barat dan Timur dirumuskan

oleh Suwito dan Fauzan, bahwa: “Pendidikan Islam lebih luas daripada sistem pendidikan di Barat yang demokratis dan Timur yang sosialis, karena ia bertujuan untuk melatih kepekaan murid dalam tingkah laku yang ada dalam sikap mereka terhadap lingkungan dan pendekatan bagi semua jenis pengetahuan. Mereka dipimpin oleh nilai-nilai etika dan spiritualitas Islam. Perbedaan lainnya terletak pada konsepnya tentang manusia. Dalam Islam. Manusia terlahir dalam keadaan bebas dan suci, tidak menanggung doa. Jadi, tujuan kemahiran pengetahuan dalam sistem Islami tidak hanya memuaskan keingintahuan seorang intelektual tapi untuk melatih individu-individu yang berbudi dan rasional, dalam hal moral dan kebaikan fisik keluarga mereka, masyarakat dan manusia secara keseluruhan. Sistem Pendidikan Islam tersebut menekankan keseimbangan antara kebutuhan untuk mengembnagkan individu dan kebutuhan masyarakat.” Lihat Fauzan dan Suwito (ed.), ”Perlunya Penelusuran Kembali Sejarah Sosial Pendidikan Islam”, dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. xv.

125 Lihat Hisham Yahya al-Thalib, Panduan Latihan Bagi Juru Dakwah, terj. Training Guide for Islamic Workers, oleh Faruk Zabidi dan Ali Audah (Jakarta: Media Dakwah, 1996), hlm. 4.

214

orang lain, sebagaimana ia tidak bisa mengamalkannya semestinya. Hal ini

dikuatkan oleh observasi dan eksperimen sebagaimana dalam ilmu-ilmu

keterampilan. 126

Seorang mu�allim akan efektif menjalankan tugas pengkaderan dâ�i

apabila memiliki empat ciri, sebagaimana dikemukakan oleh Davis dan Thomas

yang dikutip oleh Jamaluddin Idris, yaitu sebagai berikut:

Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas,

yang dapat dirinci: (1) memiliki keterampilan interpersonal, khususnya

kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada peserta, dan

ketulusan; (2) memiliki hubungan baik dengan peserta; (3) mampu menerima,

mengakui dan memperhatikan peserta secara tulus; (4) menunjukkan minat dan

antusias yang tinggi dalam mengajar; (5) mampu untuk menciptakan atmosfer

untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok peserta;

(6) mampu melibatkan peserta dalam mengorganisasikan dan merencanakan

kegiatan pembelajaran; (7) mampu mendengarkan peserta dan menghargai hak

peserta untuk berbicara dalam setiap diskusi; dan (8) mampu meminimalkan

friksi-friksi di kelas.

Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen

pembelajaran, meliputi: (1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan

menangani peserta yang tidak punya perhatian, suka menyela, mengalihkan

pembicaraan; (2) mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan

tingkatan berfikir yang berbeda untuk semua peserta.

Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik

(feedback) dan penguatan (reinforcement), terdiri dari: (1) mampu memberikan

umpan balik yang positif terhadap respon peserta; (2) mampu memberikan respon

yang bersifat membantu peserta yang lamban belajar; (3) mampu memberikan

126 Al-Manâr, jld. III, hlm. 348. Ta�lîm dan tadrîs (pengkajian akademis tentang semua bangunan pengetahuan) merupakan wujud ketundukan semua pemikiran manusia kepada arbitrasi Al-Qurân. Lihat Ziauddin Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj. „Ilm and the Revival of Knowledge, oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyantanto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 56-57.

215

tindak lanjut terhadap jawaban peserta yang kurang memuaskan; (4) mampu

memberikan bantuan profesional kepada siswa jika diperlukan.

Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri,

terdiri dari: (1) mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara

secara inovatif; (2) mampu memperluas dan menambah pengetahuan mengenai

metode-metode pengajaran; (3) mampu memanfaatkan perencanaan guru secara

kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pengajaran yang

relevan.127

Insan rabbâni yang memperoleh ridha Allah SWT. Menurut al-Sa�di

adalah kaum ulama, kaum bijak, kaum bestari yang mengajari orang banyak dan

mendidiknya melalui ilmu-ilmu kecil sebelum yang besar. Mereka mengamlkan

semua itu. Mereka menyerukan untuk beramal, berilmu, dan mengajar, yang itu

semua merupakan pokok pangkal kebahagiaan. Sebab, dengan kehilangan salah

satunya, terjadilah kekurangan dan kekeliruan.128

Dalam pandangan al-Sa�di di atas, terkandung rumusan indikator insan

rabbani, yaitu sebagai: (1) „ulamâ (kaum ilmuan); (2) hukamâ (kaum bijak); (3)

hulamâ (kaum bestari); (4) mu�allim (pengajar); (5) murabbi (pendidik); dan (6)

„âmil (pengamal).129

Oleh karena itu, takwîn al-du�ât merupakan pendidikan tinggi kader

dakwah yang diharapkan menghasilkan dâ�i-dâ�i profesional yang

berkarakteristik insan rabbani.

Dalam konteks Indonesia, pendidkan nasional, kurikulum untuk abad ke-

21 Masehi, diarahkan pada upaya membangun manusia Indonesia yang non-

127 Jamaluddin Idris, Analisis Kritis Mutu Pendidikan, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hlm. 62-63. Mengenai bahan ajar sebagai bagian dari kurikulum yang perlu diberikan menurut Ibn Miskawaih terdiri dari materi yang diperlukan oleh: (1) tubuh manusia; (2) jiwa manusia dan (3) bagi hubungan dengan sesama manusia, lihat Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, ed. Jejen Musfah, (Yogyakarta: Blukar, 2004), hlm. 119.

128 Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa�di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al- Mannân, hlm. 136. Mengenai karakteristik insan Robbani ini merupakan bagian karakteristik insan yang dituju dalam pendidikan Islam. Selanjutnya lihat Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma�arif , 1995) hlm. 10-22. dan Syed Ali Ashraf, Krisis dalam Pendidikan Islam, terj. Crisis in Muslim Eucation oleh Fadhlan Mudhafir, (Jakarta: Mawardi Prima, 2000), hlm. 19

129 Kader dâ�i profesional disebut oleh Muhammad Yusuf sebagai junûd al-da�wah (tentara dakwah). Lebih lanjut lihat karyanya Junûd al-Da�wah (Mesir: Dâr al-I�tishâm, 1979).

216

dikotomis sebagai pribadi yang terbentuk dari keselarasan dan keseimbangan

aspek fisik, intelektual, emosi, sosial, moral, dan spiritual.130 Indikasi-indikasi

karakteristik ini merupakan bagian dari cakupan konsep hukamâ (manusia arif

bijaksana).

3. Materi dan Metode

Guna mencapai tujuan kaderisasi dâ�i profesional yang telah dijelaskan, maka

perlu disajikan materi kaderisasi sebagai bahan ajarnya. Bahan ajar ini bagian dari

esensi kurikulum proses pendidikan kader dâ�i profesional. Penguasaan macam-

macam ilmu yang diperlukan bagi pelaksanaan kewajiban dakwah termasuk

bagian dari kewajiban dâ�i profesional, sebab ia adalah komponen utama umat

Islam yang ditunjuk oleh perintah dakwah.

Macam-macam ilmu sebagai materi kaderisasi, menurut Muhammad

Abduh dan Rasyid Ridha adalah: (1) Ilmu yang mengkaji sumber dan materi

dakwah, yaitu: (a) „ulûm al-qurân, (b) „ulûm al-sunnah, (c) sîrah nabawiyyah, (d)

sîrah al-khulafâ al-râsyidîn, (e) sîrah salaf al-shâlihîn, dan (f) ilmu hukum Islam;

(2) Ilmu yang mengkaji hal ihwal masyarakat sebagai mad�u, yaitu sosiologi

mikro dan ilmu budaya lokal. Sebab, dengan ilmu ini, dâ�i profesional akan

mengetahui karakteristik orang-orang yang akan didakwahinya, sejarah

kehidupannya, sistem sosialnya, dan kondisi lingkungannya; (3) Ilmu yang

mengkaji pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dalam rentangan

perjalanan sejarahnya, sehingga dapat diketahui keberadaan status akidah dan

tipologi akhlaknya, begitu pula keadaan adat istiadatnya. Itulah sebabnya Al-

Qurân banyak menampilkan gambaran kehidupan orang-orang di masa silam

untuk menjadi pelajaran bagi kehidupan generasi sekarang dan mendatang. Ilmu

ini adalah sejarah umum; (4) Ilmu yang mengkaji kondisi lingkungan fisik dan

perilaku orang atau penduduk yang menempatinya yang membentuk ekologi yang

berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Ilmu ini disebut

geografi dan demografi; (5) Ilmu yang mengkaji gejala kejiwaan individu dan

130 Lebih lanjut, lihat Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia, Kurikulum untuk Abad ke- 21 (Jakarta: Grasindo, 1994).

217

amsyarakat, sehingga dapat diketahui apakah perilaku lahir manusia itu lahir dari

kondisi nafs yang mana dalam struktur nafs insaniyah. Ilmu ini disebut psikologi;

(6) Ilmu yang mengkaji mengenai keutamaan perilaku manusia, sistem nilai yang

dianut manusia menentukan perilaku baik-buruk sbegai manifestasi dari nilai

yang dianutnya. Ilmu ini disebut ilmu akhlak; (7) Ilmu yang mengkaji sistem

budaya manusia dan peradabannya, faktor-faktor apa sajakah yang membuat

maju-mundurnya peradaban manusia penting dipahami dalam ektivitas dakwah

intra dan antarindividu. Ilmu ini disebut sosiologi makro; (8) Ilmu yang

mempelajari sistem kekuasaan, kepemimpinan dan pengelolaan kehidupan

bernegara yang antara satu negara dengan negara lainnya berbeda. Ilmu ini

disebut ilmu politik; (9) Ilmu yang mempelajari bahasa yang digunakan oleh

macam-macam umat manusia yang beraneka ragam, masing-masing etnik

memiliki bahasanya sendiri. Ilmu ini penting dikuasai dâ�i profesional. Jika tidak,

akan terjadi hambatan dalam melakukan komunikasi dengan mereka sebagai

mad�u. ilmu ini disebut ilmu bahasa; (10) Pengetahuan yang mempelajari budaya

lokal, masing-masing etnik senantiasa memiliki sistem pengetahuan lokal yang

disepakati sebagai rujukan nilai perilaku kelompok intrabudaya. Ilmu ini disebut

ilmu budaya lokal; dan (11) Pengetahuan yang mempelajari sistem kepercayaan

umat manusia yang bersumber pada tradisi keagamaan masing-masing umat

sesuai agama yang diyakininya. Keragaman agama dan pemeluknya penting

diketahui oleh dâ�i. ilmu ini disebut ilmu perbandingan agama. 131

Macam-macam ilmu yang diajukan Muhammad Abduh, sebagai materi

takwîn al-du�ât di atas dapat dikelompokkan ke dalam kategori: (1) ilmu dasar

teoretik, ilmu sumber, dan ilmu materi dakwah, yaitu macam-macam ilmu yang

disebut Muhammad Abduh dalam nomor urut pertama; dan (2) ilmu bantu

dakwah, karena bertemu dalam obyek material ilmu dakwah, yakni perilaku

manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, diri orang lain, dan lingkungan

131Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 39-44. Dalam hal memajukan macam-macam ilmu ini,

Muhammad Abduh dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Khaldun. Macam-macam ilmu ini, lebih lanjut lihat Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn Khaldun, terj, Ahmadi Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 521-857. Nama lengkapnya Abu Zaid bin Muhammad bin Hasan al-Hadrami al-Maliki (l. 732, w. 808H), dan bandingkan dengan Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, terj. Science and Muslim Society, oleh Masdar Hilmi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996).

218

hidupnya sebagai ikhtiar mengatasi problem kehidupan melalui pengamalan

Islam. Ilmu-ilmu ini yang disebutkan Muhammad Abduh sebanyak 10 macam.

Muhammad Abduh memandang bahwa mempelajari ilmu dakwah dan

membangun ilmu dakwah sama wajibnya dengan mempelajari dan membangun

ilmu-ilmu Islam lainnya. Dalam hal ini, antara lain dipahami dari penegasan

Muhammad Abduh, bahwa, Kita mesti mengambil dalil-dalil yang telah

digunakan oleh para ahli fiqh dalam menetapkan wajibnya mempelajari bahasa

Arab, hadits, fiqh, dan ilmu ushul untuk memahami agama, sebagai dalil akan

wajibnya mempelajari berbagai metode dakwah dan hal-hal yang dibutuhkannya

pada zaman ini dengan metode teknologis. Jika ternyata dakwah pada masa-masa

awal berjalan dengan mudah tanpa tehnik pengajaran berteknologi dan tanpa

menciptakan institusi-institusi tertentu sebagaimana juga pemahaman agama

berjalan mudah tanpa pengajaran berteknologi, maka pada zaman sekarang

pemahaman agama bergantung pada proses pengajaran berteknologi. Demikian

halnya, mendakwahkan agama Islam dan menganjurkan ajaran yang dibawanya

berupa kebaikan dan apa yang diingatkannya berupa kemunkaran, juga bertumpu

pada pengajaran khusus dan pendirian lembaga-lembaga khusus yang dapat

menunaikan pekerjaan dakwah tersebut. Agama Islam ini tidak akan tersiar dan

terpelihara sebagaimana mestinya kecuali dengan dakwah ini.132

Dalam pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa,

perlunya mempelajari dan mengembangkan macam-macam disiplin ilmu yang

terkait dengan dakwah dengan berbagai aspeknya. Penyelenggaraan pendidikan

kader dâ�i profesional (takwîn al-du�ât) ini, dan perlunya didirikan institusi-

institusi pendidikan dakwah Islam.

Macam-macam disiplin ilmu yang telah dikemukakan disajikan dalam

proses takwîn al-du�ât dengan menggunakan macam-macam metode mendidik

peserta takwîn al-du�ât, seperti metode ceramah, diskusi, penugasan, praktikum,

dan percontohan atau metode qudwah dan uswah hasanah. Ini dilakukan dengan

mengacu pada prinsip al-hikmah.

132Al-Manâr, jld. IV, hlm. 44-45. Penegasan Muhammad Abduh mengenai wajibnya mempelajari dakwah dengan berbagai hal yang berkaitan dengannya, memberikan kerangka dasar urgensi keilmuan dakwah Islam, yang sementara ini belum tersistemasikan secara komprehensif.

219

Dari konsep hikmah dapat dikembangkan untuk menstrukturkan keilmuan

dakwah yang memuat aspek ontologis, apistimologis dan aksiologisnya. Namun

demikian, hal ini memerlukan kajian tersendiri atas penafsiran Muhammad Abduh

mengenai „aql dan ulu al-albâb.

Mengenai prinsip al-hikmah, Muhammad Abduh percaya bahwa, hikmah

dalam pendidikan jiwa melalui kegiatan-kegiatan yang baik dan akhlak utama

adalah hendaknya keberadaannya di dunia meningkat dan meluas, sehingga

menjadi besar kebaikannya dan orang-orang mengambil manfaat darinya.133

Muhammad Abduh meyakini bahwa takwîn al-du�ât penting menekankan

pada pendidikan akhlak dan adab, menurutnya bahwa, bagi dakwah terdapat

sejumlah syarat lain yang dalam konteks pendidikan para kader dakwah berkaitan

dengan akhlak dan etika yang dipersyaratkan terhadap para penyeru kepada

kebenaran.134

Kemudian, bagi mu�allim (dosen) pendidik dâ�i, menurut Muhammad

Abduh, boleh memperoleh imbalan jasa materi dari pekerjaannya sesuai dengan

kaidah „urf di mana takwîn al-du�ât dilaksanakan.135

Metode takwîn al-du�ât juga mesti mengacu pada sunnah nabi dalam

mengajar umat pada zamannya. Pengalaman nabi sendiri selama menerima wahyu

merupakan sumber inspirasi metode takwîn al-du�ât. Oleh karenanya, baik

Muhammad Abduh, al-Mursyid, dan Ghalwusy memiliki pandangan yang sama

bahwa kandungan QS. Al-Dhuhâ (93): 6-8 merupakan prinsip utama yang

menjadi acuan metodologi takwîn al-du�ât. Secara ringkasnya adalah sebagai

berikut:136

133 Al-Manâr, jld. II, hlm. 254. Mengenai tarbiyah al-nafs ini, lebih lanjut lihat Hasan Hafidz, dkk., Ushûl al-Tarbiyah wa „Ilm al-Nafs (Al-Jumhuriyah: Mathba�ah Dar al-Jihad, 1956), hlm. 11-13.

134 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 44. Term akhlak dan adab yang diartikan dengan “moral” dan “etika” menjadi kajian para pakar filsafat “moral” dan “etika” dengan beraneka ragam rumusan.

135Al-Manâr, jld. II, hlm. 197. Di tengah masyarakat Islam Indonesia mengenai boleh dan tidaknya seorang da�i menerima jasa pelayanan dakwah masih debatable.

136Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 127-128, al- Mursyid, Mustalzamât al-Da�wah fî al-„Ashr al-Hadhir, hlm. 93-99, dan Ghalwusy, al-Da�wah al- Islâmiyah, hlm. 434-440. Ketika memikul amanah sebagai rektor, salah satu obsesi kepemimpinan Azyumardi Azra menaruh perhatian yang sama dengan prinsip al-yusr al-mâdi, bahwa “mahasiswa yang tidak mampu dari segi finansial akan mendapat quota dalam bentuk beasiswa yang diberikan PTN. Saya kira, setiap PTN harus mempunyai kebijakan khusus dalam rangka

220

Pertama, prinsip al-îwâ al-Qawi (perlindungan yang kokoh) yang

diistinbâth dari fa âwa, yaitu memberikan pembekalan dan perlindungan kepada

peserta takwîn al-du�ât dengan semangat aqidah tauhid, memberikan motivasi

semangat juang menegakkan al-haq, tangguh dan berani mengatasi dan

menghadapi tantangan dakwah dan musuh dakwah, menaklukkan nafs ammârah

dan menghilangkan penyakit al-wahn (gila dunia dan takut mati).

Kedua, prinsip al-tarbiah al-„ilmiah (pendidikan ilmiah) yang diistinbâth

dari fa hadâ, yaitu memberikan bimbingan, perbantuan, dan pembekalan

penguasaan akademik, pembekalan keterampilan praktik melalui latihan dan

penugasan, implementasi macam-macam metode dakwah, di bawah bimbingan

mu�allim yang ikhlas, berjiwa dedikatif, ijtihâd, dan jihâd fî sabîl al-Lâh.

Ketiga, prinsip al-yusr al-mâdî (fasilitas logistik) yang diistinbâth dari fa

aghnâ yaitu perbantuan dan persediaan kebutuhan sarana dan prasarana takwîn

al-du�ât, bekal hidup yang layak, sehingga peserta takwîn al-du�ât tidak

terganggu oleh urusan dana, biaya, dan fasilitas selama menjalani takwîn al-du�ât.

Sumber dana ini diambil dari sumber-sumber keuangan menurut syariat Islam

untuk pos dana fî sabîl al-Lâh.

Menurut Azyumardi Azra, bimbingan termasuk bagian dari pengertian

pendidikan dan pembekalan penguasaan akademik sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan manusia peserta didik sebagai makhluk rasional.137

Keempat, prinsip al-tadrîj (gradual), yaitu berangsur-angsur dalam

penyajian materi, disampaikan yang lebih mudah sebelum yang sulit,

mendahulukan akidah sebelum materi syariat yang lainnya, memperhatikan

kemampuan peserta takwîn al-du�ât. Prinsip ini juga mengharuskan

mendahulukan yang musti didahulukan dan memerlukan kurun waktu tertentu.

Gradual dalam proses takwîn ini diistinbâth dari QS. Al-Baqarah (2): 151.138

menjalankan fungsi sosialnya.” Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih, ed. Idris Thaha (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 439.

137 Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 6-7.

138Selanjutnya lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 30-31.

221

Dengan suksesnya takwîn al-du�ât, maka keberlangsungan dakwah akan

dapat berjalan menurut tatanan Al-Qurân dan sunnah nabawiyah. Dan persoalan

keumatan dapat diperbaiki dan dicari solusinya oleh para dâ�i profesional. Jika

gagal, akan menjadi salah satu faktor timbulnya bencana bagi keberlangsungan

kehidupan umat Islam.139

Dari paparan dan analisis mengenai bentuk dakwah dan kaderisasi dâ�i

profesional yang telah dikemukakan, yang dalam menjelaskannya Muhammad

Abduh menggunakan pendekatan rasional dapatlah dikonseptualisasikan rumusan

kesimpulan aspek ontologis kajian ilmu dakwah sebagai berikut:

Al-da�wah al al-„âmmah al-kulliyyah merupakan proses dakwah yang

berlangsung dalam suasana da�i menyampaikan al-Islâm kepada mad�u jama�ah

atau jumhûr (orang banyak) melalui bahasa lisan dan tulisan, bertatap muka

langsung dan bermedia, yang istilah teknik operasionalnya disebut tablîgh, yang

terdiri dari khitâbah al-diniyah, khitâbah al-ta�tsiriah, dan khitâbah al-kitâbah

untuk mempengaruhi keadaan afektif, kognitif, dan psikomotorik mad�u agar

menerima Islam bagi yang nonmuslim dan dalam meningkatkan pengamalan

Islam bagi muslim.

Al-da�wah al-khâshah merupakan interaksi da�i mad�u pada tingkat

intraindividu, antar individu dan kelompok kecil dalam upaya merealisasikan

Islam, yang berfungsi mencari solusi problem sosiologis dan psikologis mad�u.

Cara dakwah intraindividu berupa aktifitas tawhid Allah, tadabbur,

shabar, menegakkan ruh shalat dan muhâsabah al-nafsiyah sebagai proses

internalisasi Islam pada tingkat diri sendiri. Cara akwah antar individu berupa

aktifitas al-wa�zh, al-nashîhah, dan al-tawshiyah dengan menggunakan bahasan

139Sementara ini, Fakultas Dakwah di IAIN dan UIN dan jurusan dakwah di STAIN di Indonesia sebagai penyelenggara pendidikan tinggi dakwah, menurut pengamatan penulis, jika

diacukan pada konsep takwîn al-du�ât sebagaimana diajukan Muhammad Abduh, perlu diadakan peninjauan ulang dalam aspek penentuan mata kuliah dan asas metode pengajarannya. Misalnya,

yang sering terjadi saat ini dosen hanya memberikan ta�lîm (transmisi ilmu kepada mahasiswa). Fungsi-fungsi lainnya sebagai insan akademis yang mestinya komitmen atas etika akademisnya sebagai dosen belum dilaksanakan. Mengenai etika akademis ini, lebih lanjut lihat Edward Shild, Etika Akademis, terj. The Academic Ethics, oleh A. Agus Nugroho (Jakarta: Yayasan Obor, 1993). Mengenai faktor-faktor terjadinya bencana di kalangan umat Islam, selanjutnya lihat Muhammad Abd al-Masri, Bencana di Dunia Islam, terj. Karitsah fi al-„Alam al-Islâmi, oleh Bambang Saeful

Ma�arif (Bandung: Rosdakarya, 1989).

222

lisan dan perbuatan, sebagai upaya memberikan perbantuan mencari solusi

problem kehidupan mad�u.

Da�wah al-ummah merupakan proses mengimplementasikan al-Islâm

dalam struktur kehidupan umat, sebagai indikator dari khairu ummah dan ummah

wasathâ, melalui amr ma�rûf nahy munkar dan taghyîr munkar, yang merupakan

upaya mempertahankan keberlangsungan dakwah dan membentengi kelestarian

umat dibolehkan jihad dalam bentuk qitâl.

Takwîn al-du�ât sebagai kaderisasi da�i profesional adalah bagian dari

kewajiban keumatan untuk mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam melalui

pembentukan kader-kader dâ�i terdidik yang menguasai ilmu Islam dan

keterampilan praktis pelaksanaan kewajiban dakwah, yang dalam prosesnya

mengacu kepada prinsip al-îwâ al-qawi, al-tarbiyah al-„ilmiyah, al-yusr al-mâdi,

dan al-tadâruj.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, secara epistimologis pemikiran

dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manâr bercorak rasional, dakwah

yang bersumber pada al-Quran dan sunnah Rasul adalah perilaku rasional berupa

proses internalisasi, transmisi, transformasi dan difusi Islam sebagai upaya

memperbaiki dan mengatasi problem kehidupan manusia melalui implementasi

al-Islâm dalam rangka melakukan hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan

dengan Allah, dan hubungan dengan sesama manusia untuk memperoleh

kehidupan yang selamat-sejahtera lahir-batin di dunia dan di akhirat.

Temuan tersebut memperkuat temuan Ahmad Fuad al-Ahwâni (al-

Madâris al-Falâsifah, 1965) bahwa, Muhammad Abduh adalah seorang pemikir

yang mendakwahkan pembaharuan pemikiran keagamaan dengan jalan kembali

kepada Islam yang autentik menurut sumber utamanya, yaitu al-Qur’ân dan

Sunnah Rasul Allah, berupa ishlâh (perbaikan, reformasi) kehidupan beragama,

akhlak, pemikiran, akal dan naluri kesucian.

Penelitian yang sama dengan Ahmad Fuad al-Ahwâni, adalah penelitian

M. Mukti Ali (Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, 1995) antara lain

Mukti menyatakan bahwa, pemikiran dalam penafsiran al-Qur’ân, Muhammad

Abduh memadukan antara rasio (sentuhan akal), dengan emosi (sentuhan qalb)

dalam kerangka dakwah.

Beberapa penelitian lain dalam aspek yang berbeda menunjukkan hal yang

sama bahwa, aspek-aspek yang berbeda itu bercorak rasional, yaitu antara lain:

aspek teologi, oleh Harun Nasution (Muhammad Abduh dan Teologi Rasional

Mu’tazilah, 1987); aspek tafsir, oleh M. Quraish Shihab (Rasionalitas al-Qur’ân:

Studi Kritis atas Tafsir al-Manâr, 2006) dan masalah akidah dan ibadah, oleh

Rif’at Syauqi Nawawi (Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah

Akidah dan Ibadat, 2002). Menurut Rif’at Syauqi Nawawi bahwa, Muhammad

Abduh sesungguhnya mempunyai komitmen yang tinggi terhadap dakwah Islam.

224

Dakwahnya tidak hanya ditujukan untuk kaum yang telah beriman, tetapi juga

ditujukan untuk kaum penganut materialisme, agar mereka juga meyakini dan

mengerti akan adanya malaikat.

Kemudian temuan penelitian ini membantah pemikiran internal umat

Islam yang secara ontologis memandang dakwah secara sempit dan bukan objek

kajian disiplin ilmu dalam Islam. Bantahan ini didukung oleh al-Bayanuni (2001),

dan membantah pemikiran eksternal dari para orientalis non muslim yang

menuduh bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan cara paksaan, peperangan,

dan penjajahan. Kesimpulan berikut menjadi bukti bantahan dimaksud

Islam sebagai agama dakwah dan materi dakwah, esensi ajarannya

memiliki karaktersitik sesuai dengan fithrah salimah manusia pemilik al-’uqûl al-

shafiyah dan al-nufûs al-zakiyah, sebagai agama yang wasathâ (siger tengah),

menegakkan keadilan, antikezaliman, menyeimbangkan urusan duniawi-ukhrawi,

menjamin kebebasan ikhtiar manusia, mencintai kedamaian dan keamanan,

menjunjung tinggi persaudaraan antarindividu dan sosial, mudah dan mampu

dilaksanakan.

Islam sebagai unsur pesan dakwah tersebut, sama dengan pendapat Montet

yang dikutip oleh Thomas W. Arnold (Sejarah Dakwah Islam, 1979), menurutnya

bahwa, secara etimologi dan sejarah, Islam adalah agama yang sangat rasional

sebagai suatu sistem yang mendasarkan keyakinan agama atas prinsip-prinsip akal

pikiran, dapat dikenakan kepada Islam dengan setepat-tepatnya. Agama Islam

memiliki seluruh ciri dari suatu himpunan doktrin yang didasarkan atas dalil yang

diterima akal.

Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya memiliki potensi ‘aql,

nafs muthmainnah, nafs lawwâmah, dan nafs ammârah. Manusia yang mampu

memfungsikan ‘aql, nafs muthmainnah berposisi sebagai dâ’i, (dâ’i ini ada yang

profesional ada yang konvesional), dan yang memfungsikan nafs lawwâmah dan

nafs ammârah berposisi sebagai mad’u dengan kualitas yang beragam, yaitu : al-

dhâlin, al-kâfirûn, al-musyrikûn, yahudi, nashrani, al-mujrimûn, al-‘uqala, al-

‘awam,dan al-mutawasithîn. Mad’u memiliki kebebasan untuk memilih dalam

merespons materi dakwah ada yang menerima dan ada yang menolak.

225

Temuan mengenai dâ’i dan mad’u dalam pemikiran Muhammad Abduh

tersebut, sama dengan para pengkaji dakwah yag lain, misalnya Ahmad Ahmad

Ghalwus (al-Da’wah al-Islâmiyah Ushûluha Wa Wasâiluha, 1987), dan Ali bin

Shâlih al-Mursyid (Mustalzâmât al-Da’wah Fi al-‘Ashr al-Hâdhir, 1989).

Media yang dilewati materi dakwah meliputi media materi berupa bahasa

lisan, tulisan, media cetak dan untuk zaman sekarang termasuk elektronik, dan

media percontohan berupa potensi kredibilitas di dalam diri dâ’i. Cara

melewatkan materi dakwah melalui media materi dan immateri mengacu pada

prinsip metode hikmah yang instrumen metodologisnya meliputi fiqh, bayân,

hujjah dan burhân (proporsi dari al-’uqûl al-shafiyah dan al-nufûs al-zakiyah),

prinsip maui’zhah hasanah, dan mujâdalah yang baik, yang penggunaannya

sesuai proporsi tuntutan situasi mad’u. Interaksi individu dalam kelompok

membentuk umat sebagai medan berlangsungnya dakwah.

Dalam hal media dan beberapa macam prinsip metode sama dengan para

pengkaji dakwah yang lain, misalnya antara lain: ‘Abd al-Munshif Mahmud ‘Abd

al-Fatah (Manhaj al-Da’wah al-Islamiyah, 1419H); dan Husain Muhammad

Yusuf (Sabîl al-Da’wah, 1977). Namun demikian, berbeda dalam hal penggunaan

konsep hikmah, Muhammad Abduh berbeda dengan pengkaji dakwah yang lain,

bagi hikmah melibatkan interumen metodologis pemikiran rasional-spritual, yaitu

fiqh, bayân, hujah dan burhân.

Dalam pada itu, walaupun instrumen metodologis esensi dari hikmah

menurut Muhammad Abduh berbeda dengan pengkaji dakwah, tetapi sama

dengan pendapat pakar komunikasi, yaitu Jalaluddin Rakhmat (Islam Aktual,

1991) menurutnya bahwa, penelitian komunikasi menunjukkan bahwa, perubahan

sikap lebih cepat terjadi dengan imbauan (appeals) emosional. Tetapi dalam

jangka lama, imbauan rasional memberikan pengaruh yang lebih kuat dan lebih

stabil. Iman segera naik lewat sentuhan hati, tetapi perlahan-lahan iman itu turun

lagi. Lewat sentuhan otak, iman naik secara lambat tetapi pasti. Dalam jangka

lama, pengaruh pendekatan rasional lebih menetap daripada pendekatan

emosional.

226

Dakwah Islam menurut bentuk pelaksanaannya dari martabat dakwah

pertama adalah dakwah ‘âmmah. Dakwah ‘âmmah meliputi dua macam kegiatan

yaitu tablîgh futûhât, yakni menyebarluaskan dan mempropagandakan Islam

kepada nonmuslim dengan prinsip kebebasan memilih keyakinan, dan tablîgh

Islam, yaitu penyiaran Islam yang ditujukan kepada komunitas muslim dan

khalayak melalui macam-macam khithâbah, dan tulisan dengan media cetak

dalam upaya meningkatkan wawasan pemahaman Islam dan pengamalannya.

Pemikiran dakwah Muhammad Abduh dari sisi macam-macam tablîgh,

sama dengan para pengkaji dakwah lainnya, misalnya antara lain: Aminah Shâwi

(Nadzriyah al’Ilam fi al-Da’wah al-Islamiyah, tt), dan Abu Bakar Zakaria (al-

Da’wah Ilâ al-Islâm, tt) sedangkan kategorisasi martabat (level) dakwah, al-

da’wah ‘âmmah, al-da’wah al-khâshah dan da’wah ummah merupakan kekhasan

bagi pemikiran dakwah Muhammad Abduh, sebab term-term yang dikembangkan

oleh ‘Abd al-Badi Shaqr (1976) baru dimunculkan belakangan. Kekhasan lainnya

adalah penekanan dakwah dari sisi fungsinya sebagai ishlâh (reformasi) dan tajdîd

(pembaruan) kehidupan umat.

Sedangkan kesimpulan berikutnya, mengenai irsyad nafsi, al-wa’dz,

taushiyah, amr ma’rûf, nahy munkar dan takwîn al-du’ât sama dengan para

pengkaji dakwah lainnya. Misalnya antara lain Shalih al-Mursyid (Mustalzâmât

al-Da’wah Fi al-‘Ashr al-Hâdhir, 1989)

Dakwah khâshah dari martabat dakwah kedua meliputi dakwah nafsiyah

atau irsyâd nafsi, yaitu internalisasi Islam pada tingkat intraindividu muslim, al-

wa’zh dan taushiyah dalam upaya meningkatkan wawasan pemahaman Islam dan

pengamalannya pada tingkat kelompok kecil.

Dakwah ummah dari martabat dakwah kedua meliputi amr ma’rûf dan

nahy munkar. Yang pertama berupa aplikasi syariat Islam dalam struktur khayr

ummah, baik individu, keluarga, kelompok, dan institusi-institusi keumatan dalam

upaya memperbaiki dan mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama,

dan memperoleh keselamatan hidup duniawi dan ukhrawi. Kedua, nahy munkar

merupakan gerakan memelihara keberlangsungan dakwah dan menghalau segala

tantangan yang menghambat berlangsungnya dakwah, baik yang timbul dari

227

dalam maupun dari luar, melalui kekuasaan, peringatan bahasa lisan, tulisan, dan

jika tidak berdaya maka berusaha untuk tidak terlibat dalam kemunkaran dan

menghunjamkan kebencian terhadapnya dalam hati. Selain cara ini, jihad di jalan

Allah dalam bentuk qitâl (perang) sebagai upaya membela diri dari serangan

musuh diperbolehkan.

Bagian dari tugas khayr ummah adalah menyelenggarakan takwîn al-du’ât,

yaitu proses pendidikan tinggi kader dâ’i profesional guna menyiapkan kader-

kader dâ’i yang berkarakteristik robbani yang memiliki penguasaan ilmu Islam

teoretik dan keterampilan praktik. Takwîn al-du’ât diselenggarakan oleh khayr

ummah melalui lembaga pendidikan tinggi dakwah Islam dengan melibatkan

mu’allim (dosen) yang berkarakteristik mursyid (pembimbing), cerdas, berakhlak

mulia. Bahan ajarnya berupa seperangkat pengetahuan dasar teoretik dakwah

Islam dan ilmu bantu yang diperlukan dalam dakwah Islam, yang berlangsung

dengan prinsip metode îwâ al-qawî (perlindungan, bimbingan, dan perbantuan),

tarbiyah ilmiyah (pendidikan akademik), al-yusr al-mâdi (pemenuhan kebutuhan

peserta takwîn al-du’ât dalam aspek akademik dan sarana fisik), dan al-tadrîj

(bertahap).

Dari sudut pandang al-tarbiyah al-‘ilmiyah, hakikat, dasar hukum, tujuan

dakwah dan prinsip sistem dakwah menjadi esensi dari aspek ontologis ilmu

dakwah islamiah. Esensi dari hikmah menjadi esensi dari aspek epistimologis

dakwah, dan sekaligus sebagai aksiologisnya.

B. Rekomendasi

Menyadari keterbatasan penelitian ini yang mengungkapkan pokok-pokok pikiran

Muhammad Abduh mengenai dakwah yang bersifat prinsip-prinsip nya dalam

tafsir Al-Manâr, maka diperlukan penelitian lebih lanjut pada dataran

pengembangan teoretik dakwah menurut levelnya, dan dataran empirik mengenai

dakwah sebagai proses ishlâh (reformasi), tajdîd (pembaruan), taghyîr

(perubahan) ke arah kehidupan muslim yang lebih baik, yang diperlukan sebagai

evaluasi relevansi teoretik dakwah. Selain itu, juga penting diteliti perbandingan

pemikiran dakwah antara Muhammad Abduh dengan Rasyid Ridha dari sudut

228

pandang prinsip-prinsip dakwah sebagai sunnah Allah dalam tafsir Al-Manâr. Hal

ini penting untuk memberikan kontribusi teoretik pengembangan ilmu dakwah di

Indonesia khususnya.

Penelitian ini juga merekomendasikan perlunya penelitian efektifitas

penyelenggaraan takwîn al-du’ât (pendidikan tinggi dakwah Islam), khususnya

yang ada di Indonesia, seberapa jauh dan seberapa banyak kader-kader dâ’i yang

dihasilkannya dapat berperan dalam memperbaiki dan mencari solusi problem

keumatan.

DAFTAR PUSTAKA

Alquran

Abd al-Aziz, Jum�ah Amin, al-Da’wah al-Islâsmiyyah: Qawâ’id wa Ushûl, Kairo:

Dar al-Da�wah, 1999.

Abd al-Baqi, Muhammad Fu�ad, al-Mu’jam al-Mufahras lî Alfâzh al-Qurân al- Karîm, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, 1995.

Abd al-Hakim, Muhammad Husni, al-Ijmâl wa al-Bayân, Kairo: Jami�ah al- Azhar, 1982.

Abd al-Hamid, Muhsin, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî, Herendon, al-Ma�had al-„Alamy li al-Fikr al-Islami, 1995.

Abd al-Jabiri, Muhammad, Formasi Nalar Arab, terj. Takwîn al-‘Aql al-‘Araby, oleh Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSod, 2003.

Abd al-Masri, Muhammad, Bencana di Dunia Islam, terj. Karitsah fi al-‘Alam al-

Islâmi, oleh Bambang Saeful Ma�arif, Bandung: Rosdakarya, 1989.

Abd, Abd al-Lathif Muhammad, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, Kairo:

Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah, 1981.

Abduh, Muhammad, Ilmu dan Peradaban menurut Islam dan Kristen, terj. al- Islâm wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, oleh Mahyuddin Syaf, Bandung: CV. Diponegoro, 1992.

, Risâlah al-Tauhîd, Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960.

, Tafsîr Juz ‘Amma, Beirut: Dâr Ibn Zaydun, 1989.

dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm al-Syahîr bî Tafsîr al-Manâr, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Abdul Wahab, Muhammad bin, Mufîd al-Mustafâdah fî Kufri Târik al-Tawhîdi, Riyad: al-Riasah al-„Ammah li al-Thabq wa al-Tarjamah, 1991.

Abdurrahman, Aisyah, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Alquran, terj. Maqâl fî al-Insân, oleh M. Adib al-Arief, Yogyakarta: 1997

Abidat, Zauqan dkk., Al-Bahts al- 'Ilmi, Mafhûmuhu, Adâwatuhu, Asâlibuhu, Aman: Dar al-Fikr, 1987.

Abu Yazid, Islam Akomodatif Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal. Yogyakarta: LKis, 2004.

Abu Zahrah, Muhammad, Membangun Masyarakat Islami, terj. Tanzhîm al-Islâm lî al-Mujtama’, oleh Shodiq Noor Rohmat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Abul Majd, Sayid "al-Malakat al-'Aqliyyah fl al-Qur'ân al-Karîm" al-

Muhâdharah al-'Âmmah, Mesir: Mathba'ah al-Azhar, 1960.

230

Adnani, Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-, al-Da’wah al-Islamiyah li al-Afrad wa al-Syabaib, Madinah al-Munawarah: Dar al-Zaman, 2008

Ahmad, H. Zainal Abidin, Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Ahmad, Khurshid, dkk., Islam Sifat, Prinsip Dasar dan Menuju Kebenaran, terj. The Islamic Foundation, oleh A. Nashir Budiman, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Ahmad, Khurshid, Pesan Islam, terj. Islam: Its Meaning and Message, oleh Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1983.

Ahmed, Akbar S., Posmodernisme: Bahaya dan harapan bagi Islam, terj. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, oleh M. Sirozi, Bandung: Mizan, 1993.

, Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, terj. Amru Ust. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2002.

Ahwani, Ahmad Fuad, Al-Madâris al-Falsafiyyah, Kairo: Maktabah Mishr, 1965.

„Adawy, Muhammad Ahmad, al-, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ, Mesir: Mushthafa al-babi al-Halabi, 1935.

„Ak, Khalid Abd al-Rahman, al-, Shafwah al-Bayân li Ma’âni al-Qurân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Salam, 1994.

„Aysawi, Abd al-Rahman, al-, al-Islâm wa ‘Ilâj al-Nafs, al-Akarithah: Dâr al-Fikr, 1986.

Ajiry, Abu Bakar, al-, Akhlak al-‘Ulamâ, Mesir: Dâr al-Tsaqâfah, 1984.

Ali, A. Yusuf, The Holy Qurân: Text, Translation, and Commentary, USA: Amana Corp., 1983.

Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta: Jambatan, 1995.

Alwany, Thaha Jabir Fayyad, al-, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, terj. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam oleh Ija Suntana, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.

Amâri, Ali Muhammad Hasan, al-, al-Qurân wa al-Thabâ’i’u al-Nafsiyah, Saudi Arabia: Dâr al-Tahrîr, 1966.

Anis, Ibrahim dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, Mesir: Dâr al-Ma�arif, 1972.

Anshari, Isa, Mujahid Da’wah, Bandung: CV. Diponegoro, 1964.

Anwar, Muhammad Mâhir Mahmud, Malâmih ‘Ilm Nafs al-Islâmy, Saudi Arabia: Dâr al-Nahdhah al-„Arabiyah, 1983.

Anshary, Jamal al-Din bin Hisyam, al-, Mughny al-Labîb, jld. I, Indonesia: Dâr

Ihya al-Kutub al�Arabiyah, tt.

231

Aqqad, Abbas, al-, Multaqi al-Nufus al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, ed. Ahmad Jad, Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadîd, 2006.

Aqqad, Mahmud, al-, Multaqy al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006.

Arunjani, Wafa, al-, Manhaj al-Yaqîn ‘alâ Syarh Adab al-Dunya wa al-Dîn, Jedah: al-Haramayn, tt.

Askary, Abu Hilal, al-, al-Lum’ah min al-Furûq. Surabaya: al-Maktabah al- Tasaqafiyah, tt.

Ashraf, Syed Ali, Krisis dalam Pendidikan Islam, terj. Crisis in Muslim Eucation oleh Fadhlan Mudhafir, Jakarta: Mawardi Prima, 2000.

Asyqar, Muhammad Sulayman Abd Allah, al-, Zubdah al-Tafsîr, Riyadh: Dâr al- Tadmuriyah, 2004.

Arnûth, Muhammad al-Sayid, al-I’jâz al-‘Ilmî fî al-Qurân al-Karîm, Kairo: Madbuly, 1989.

As-Siba�i, Musthafa Husni, Sosialisme Islam, terj. Isytirâkiyah al-Islamy, oleh Abdai Ratomy, Bandung: CV. Diponegoro, 1969.

Attas, Syed Muhammad Naquib, al-, Islam dan Filsafat Sains (Islam and the Philosophy of Science), terj. Saeful Muzani, Bandung: Mizan, 1995.

Azra, Azyumardi, “Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial” dalam Nurcholis Madjid dkk., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer, Jakarta: Media Cita, 2000.

, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih, ed. Idris Thaha, Bandung: Mizan, 2001.

, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Posmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.

, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

______,Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.

Azzaino, Zuardin, Asas-asas Psikologi Ilahiah: Sistem Mekanisme Hubungan Roh dan Jasad, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990.

Badkhasyani, Muhammad Anwar, al-, Tashîl al-Manthiq, Karaci: Idârah al-Qurân wa al-„Ulum al-Insâniyah, 1988.

Baghdâdî, Zayn al-Dîn, al-, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Bâhŷ, Muhammad, al-, Pemikiran Islam Modern, terj. Al-Fikr al-Islâm al-Hadits

wa Shirâtuhu bi Isti’mâr al-Gharbiy, oleh Suadi Sa�ad, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.

232

Baltaji, Muhammad Anwar Ahmad, al-, Min Washâyâ al-Qurân, Kairo: Dâr al- Turâts al-„Arabi, 1987.

Bayanuni, Muhammad Abu al-Fatah, al-, al-Madkhal fî ‘Ilm al-Da’wah, Beirut: Muassasah al-Risalah Nâsyidun, 2001.

Ba�syan, Sa�id bin Muhammad, Busyrâ al-Karîm bi Syarh Masâil al-Ta’lîm, Jeddah, Al-Haramayn, tt.

Bagader, Abu Bakar A. (ed.), Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama, terj. Islam and Sociological Perspectives, oleh Machnun Husein, Yogyakarta: Tititan Ilahi Press, 1983.

Bahtiar, Saleh, Meneladani Akhlak Allah melalui al-Asma al-Husna, terj. Moral Healing through the Most Beautiful Names: The Practice of Spiritual Chivalry, Bandung: Mizan, 2007.

Baljon, J.M.S., Tafsir Quran Muslim Modern, terj. Modern Muslim Koran

Interpretation (1880-1960), oleh A. Ni�amullah Munir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Ba-Yunus, Ilyas dan Ahmad, Farid, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj. Islamic Sociology: An Introduction, oleh Hamid Basyaib, Bandung: Mizan, 1997.

Basywai, Ibrahim, Nasy'ah al-Tashawuf aI-lslâmi, Mesir. Dâr al-Ma'ârif, 1969.

Bek, Muhammad al-Hudhori, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.

Boulares, Habib, Islam Biang Ketakutan atau Tumpuan Harapan, terj. Islam: The Fear and The Hope, oleh Ilham Mashuri, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.

Braker, Larry L., Communication, New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984.

Butt, Nasim, Sains dan Masyarakat Islam, terj. Science and Muslim Society, oleh Masdar Hilmi, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

C. Chittik, William, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu ('The Sufi Paith of

Knowledge: Ibn Arabi's Metaphisics of Imagination), terj. Achmad

Nidjam dkk., Yogyakarta: Qalam, 2001.

Charon, Joel M., Symbolic Interactionalism: An Introduction, An Interpretation, An Integration, New Jersey: Engliwood Cliff, 1979.

Darini, Sayid Abd al-'Aziz, al-, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li 'Alam al- Guyûb, Jedah: al-Haramayn, tt.

Emmert, Philip dan Larry L. Barker, Measurement of Communication Behavior, New York: Longman, 1989.

Elias, Alias A dan Edward E. Elias, Qamûs al-Jayb, terj. Ali Almascatie,

Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1983.

233

Fairuzzabadi, Abu Thahir Muhammad bin Ya�qûb, al-, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, Jedah: al-Haramayn, tt.

Fakhr al-Din, Muhammad al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jld. III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.

Fakhry, Majid, A History of Muslim Philosophy (Sejarah Filsafat Islam), terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987.

Fatah, Abd al-Munshif Mahmud Abd, al-, Manhaj al-Da’wah al-Islâmiyah min al-Qurân al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyah.

Fawal, Shalah Mushthafa, al-, Manâhij al-Bahts fi al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, Kairo Maktabah Gharib, 1982.

Firdaus AN, “Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya” dalam Syaikh Muhammad Abduh, Risâlah Tauhîd, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Fisher, B. Aubrey, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human Communication, oleh Sujono Trimo, peny. Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Remaja Karya, 1986.

Frey, Lawrence R., et al., Investigating Communication, An Introduction to Research Methods, New Jersey Prentice Hall, 1991.

Fromm, Eric, Revolusi Harapan, terj. The Revolution of Hope, oleh Kamdani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Garna, Judistira K., Ilmu-ilmu Sosial: Dasar, Konsep, Posisi, Bandung: PPs Unpad, 1996.

Gazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, al-, Al-Mursyid al-Amîn ilâ Mau’izhah al-Mu’minîn, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, tt.

______, al-Qisthâs alMustaqîm dalam al-Qushûr al-‘Alawaly, jld. I, ed.

Muhammad Musthafa Abu al-A�lâ, Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970.

______, Risalah al-Laduniyyah, dalam al-Qushur al-'Awali, Mesir: Maktabah al- Jundi, 1970.

Ghazali, Muhammad, al-, Ma’a al-Lâh; Dirâsât fî al-Da’wah wa al-Du’ât, Mesir:

Matba�ah Hasan, 1981.

Ghalwûsî, Ahmad Ahmad, al-Da’wah al-Islâmiyyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ. Kairo: Dar al-Kitab al-Mishry, 1987.

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut al-Ouran (The Holy Quran and the

Sciences of Nature}, terj. Agus Effendi, Bandung. Mizan, 1989.

234

Grunebaum, Gustave E. Von, Islam Kesatuan dalam Keragaman, terj. Unity and variety in Muslim Civilization, oleh Effendi N. Yahya, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983.

Hilâli, Majdi, al-, Falnabda bî Anfusinâ, Mesir: Dâr al-Tauzî wa al-Nasyr al- Islamiyah, 1994.

Haddad, Yvonne, “Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis Zaman baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan, Bandung: Mizan, 1995.

Haeri, Syaikh Fadhlullah, Dasar-dasar tasawuf, terj. The Elements of Sufism, oleh Tim Forstudia, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.

Hamzah, Abdul Latif, al-I’lâm fî Shadr al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1977.

Hanafi, Hasan, Oposisi Pasca Tradisi, terj. Humûm al-Fikr al-Wathan, oleh Khairan Nahdiyyin, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003.

Haras, Muhammad Khalil, Da’wah al-Tawhîd, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1986.

Harris, Cristianna Phelps, Nasionalism and Revolution in Egypt: the Role of the Muslim Brotherhood, London: Mounto & Co., 1964.

Hagen, Evert E, On The Theory of Social Change, Home wood: Dorsey Press, 1962.

Hasan, Kamil Muhammad, Ahdâf al-Risâlah al-Islâmiyyah, dalam al-Muhâdharât

al-‘Âmmah, Mesir: Mathba�ah al-Azhar, 1960.

Hidayat, Komaruddin, “Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern” dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer, Jakarta: Media Cita, 2000.

, “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat” dalam Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap terhadap Tradisi Barat, terj. Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istidrâk oleh Najib Bukhari, Jakarta: Paramadina, 2000.

, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004.

Hikmat, Harry, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama, 2006.

Hitti, Philip K., History of the Arab, Cet. X, New York: St. Martin�s Place, 1968.

Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939. Cambridge: Cambridge University Press, 1993.

_ , Islam in European Thought (Islam dalam Pandangan Eropa), Terj. Imam Baihaqi dan Ahmad Baidhawi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

235

Husaini, Waqar Ahmed, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, terj. Environmental Systems Engineering, oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka ITB, 1983.

Hymes, Dell, Foundatiouns in Sociolingustic; An Ethnographic Approach, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974.

Ibn Khaldun, Abu Zaid bin Muhammad bin Hasan al-Hadrami al-Maliki, Mukaddimah Ibn Khaldun, terj, Ahmadi Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Tahdzîb al-Akhlâq, oleh Helmi Hidayat, Pengantar Zainun Kamal, Bandung: Mizan, 1944.

Ibn Rusyd, Abu al-Walid, Fashl al-Maqâl fî mâ bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah

min al-Ittishâl. Mesir: Dâr al-ma�arif, 1969.

Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ibn al-„Abbas Ahmad, Kitâb al-Nubuwât, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Ibrahimy, Muhammad Nur, al-, ‘Ilm al-Manthiq, Surabaya: Maktabah Sa�id bin Nashim Nabhan, tt.

Ibrahim, Muhammad Ismail, Mu'jam al-Alfâdzh wa al-I'Iâm al-Qurâniyyah,

Kairo: Dâr al Fikr al-'Araby, 1969.

Imarah, Muhammad, Karakteristik Metode Islam, terj, Ma’âlim al-Manhaj al- Islâmi, oleh Saefullah Kamalie, Jakarta: Media Dakwah, 1994.

_, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islâm, Beirut: al-Muassasah al-'Arabiyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1981.

Imam, Ibrahim, al-Ushûl al-‘Ilâm al-Islâmy, Kairo: Dâr al-Fikr al-„Araby, 1985 Ishlahi, Amin Hasan, Metode Dakwah Menuju Jalan Allah, terj. Minhâj al-

Da’wah ilâ al-Lâh, oleh Mudzakir dan Mulyana Syarif, Jakarta: Litera Antarnusa, 1985.

Jabali, Fuad dan Jamhari (peny.), IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2002.

Jad, Ahmad, “Tarjamah al-Syarif al-Imâm Muhammad Abduh” dalam Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah. Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006.

Jalind, Muhammad Sayid dan Rizq al-Hajr, al-, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, Kairo: Maktabah al-Zahra, tt.

Jawziyah, Ibn al-Qayyim, al-, Al-Tafsîr al-Qayyim, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.

Ruh li Ibn al-Qayyim, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1403H).

Jughûry, Abd al-Rasyid, al-, al-Rasyîdiyyah, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1350H.

Jurjani, Ali bin Muhammad, al-, al-Ta’rîfât. Jeddah: al-Haramain, tt.

236

Jurjawi, Ali Ahmad, al-, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh. Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

K. Rowson, Evert, A Muslim Philosopher on the Soul and It's Fate: Al-Amiri's Kitab al-Amad 'ala al-Abad, New Haven: The American Oriental Society, 1988.

Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Biologi Iman (Biylujiyah al-iman), terj.

Rusjdi Malik, Cet 3, Jakarta: Al-Hidayah, 1983.

Khabishy, Abidullah bin Fadhal, al-, Syarh al-Khabishy ‘ala Matn Tahdzîb al- Manthiq wa al-Kalâm lî Sa’id al-Taftazany. Mesir: Maktabah Muhamad Ali Shabih, 1965.

Khalaf, Abd Wahab, al-,‘Ilm Ushûl al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Azhar, 1942.

Khuli, Abu al-Qasim, al-, Menuju Islam Rasional: Sebuah Pilihan Memahami Islam, terj. Rationality of Islam, oleh Dede Azwar N., Jakarta: Hawra Publisher, 2003.

Khuly, Muhammad Abd al-Aziz, al-, al-Adâb al-Nabawi, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Kamal, Zainun, Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. Budhi Munawar- Rahman, Jakarta: Paramadina, 1994.

, Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, Disertasi, Jakarta: Fak. Pascasarjana IAIN Syahid, 1995.

Kan�an, Ahmad Muhammad, Tazkiah al-Nufus, Beirut: Dar al-Qalam, tt.

Khabishi, Abdullah bin Fadhl, al-, Syarh al-Khabishi 'ala Matn Tahdzîb al-

Manthiq, Mesir: Jami'ah al-Azhar, 1965.

Khawarizmi, Abu al Qasim Abu Jar al-Lah Mahmud ibn 'Amr al-Zamakhsyari, al- , al-Kasyf 'an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl, Beirut: Dar al-Ma'arif, tt.

Komarulhadi, S., Insan Dilihat dari Beberapa Dimensi, Sala: PTDI, 1975.

Krippendorff, Klaus, Content Analysis.- Introduction to Its Theory and Methodology (Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi), Pen. Farid Wajidi, Jakarta: CV. Rajawali, 1991.

Kutub, Sayid, Fiqh Dakwah, terjemahan Fiqh al-Da’wah: Maudhû’ât fî al- Da’wah wa al-Harakah, oleh Suwardi Effendi, Jakarta: Pustaka Amani, 1986.

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung:

PT. Al-Ma�arif , 1995. Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian III, terj. A History of Islamic

Societies, oleh Gufron A. Mas�udi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

237

Lawer, Robert H., Persfektif Tentang Perubhan sosial, terj. Perspectives on Social Change, oleh Alimandan Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.

Levy, Ruben, Susunan Masyarakat Islam, terj. The Social Structure of Islam, oleh H.A. Lujito, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

Luthan, Salman, “Agenda dan Strategi Reformasi Hukum,” dalam Moh. Mahfud MD dkk. (ed.), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta: UII Press, 1999.

Mahmud, Ali Abdul Halim, Ma’a al-‘Aqîdah wa al-Harakah wa al-Manhaj fî Khayr Ummah Ukhrijat li al-nâs. Mesir: Dâr al-Wafa, 1992.

Mahmud, Musthafa, Allah antara Yang Ada dan Tiada, terj. Al-Wujûd wa al- ‘Adam, oleh Abu Bakar Basymeleh, Surabaya: Media Idaman, 1982.

Mahally, Jalâl al-Din dan Jalâl al-Din al-Suyuthy, al-, Tafsir al-Qur'ân al-'Azhîm, Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, tt.

Marlow, Louise, Masyarakat Egaliter Visi Islam, terj. Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought, oleh Nina Nurmila, Bandung: Mizan, 1999.

Maraghi, Ahmad Musthafa, al-, Tqfsir al-Marâghi, Beirut: Dar al-Fikr, 1974.

Mâliki, Ahmad al-Shawy, al-, Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Shawi ‘alâ Tafsîr al- Jalâlalin, Semarang: Thaha Putra, tt.

Mas�ûdi, Abd al-Aziz bin Ahmad, al-, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ, Riyadh: Dâr al-Wathan, 1993.

Maudûdi, Abu al-A�la, al-, al-Mabâdi al-Asasiyyah li Fahm al-Qurân (Lahore:

Dâr al-„Arubah li al-Da�wah al-Islâmiyyah, 1960.

Mâwardi, Abu Hasan Ali, al-, Adâb al-Dunya wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Minhaji, Akh., “Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,” dalam Amin Rais dkk., Muhammadiyah dan Reformasi, Yogyakarta: Majelis Pustaka PP. Muhammadiyah, 2000.

Miskawih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Tahdzib al-Akhlaq), terj. Zaenul Kamal, Bandung. Mizan, 1994.

Moore, Melbert, Order an Change Essays in Comparative Sociology, New York: John Wiley and Sons, 1967.

Mubarak, Muhammad Sa�id, al-Da’wah wa al-Idârah, Madinah: Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2005.

Mudhary, Bahaudin, Setetes Rahasia Alam Tuhan Melalui Peristiwa

Metafisika al-Mi'raj, Surabaya: Pustaka Progresif, 1996.

Musa, Hasan Muhammad, Qamus Qurâny, Kairo: Maktabah Halil Ibrahim, 1966.

Musa, Mahmud, Qâmûs Qurânî, Kairo: Mathba�ah Khalil Ibrahim, 1966.

238

Musa, Yusuf, Al-Quran dan Filsafat, terj. Al-Qurân wa al-Falsafah, oleh Ahmad Daudi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

, Bayna al-Din wa al-Falsafah fi Ra'y Ibn Rusyd wa Falsafah al-'Ashr al-

Wasîth, Beirut: Al-Ashr al-Hadits, 1988.

Mursyid, Ali bin Shalih, al-, Mustalzamât al-Da’wah fî al-‘Ashr al-Hâdhir, Damanhur: Maktabah Layinah, 1989.

Na�im, Abdullah Ahmed, al-, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, oleh Ahmad Suaedi dan Ahmad Anzai, Yogyakarta, 1977.

Najati, Muhammad Utsman, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Al-Dirâsah al-Nafsâniyah ‘inda al-‘Ulamâ al-Muslimin, oleh Gazi Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Nanji, Azim (ed.), Peta Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, terj. Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity, and Change, oleh Muamirotun, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.

Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UIP, 1987.

, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Nasr, Sayyed Hossein , Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Pen. Ach. Maimun

Syamsuddin, Yogyakarta: IRCiSod, 2006.

Nawawi, Rif�at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, Jakarta: Paramadina, 2002.

_______, Kepribadian Qurani, Jakarta: WNI Press, 2009.

Nawawi, Hadhari, Hakikat Manusia menurut Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1993.

Nuh, Sayid Muhammad, Fiqh al-Da’wah al-Fardiyyah fî al-Manhaj al-Islâmî, Mesir: Dâr al-Wafa, 1991.

, Terapi Mental Aktivis Harakah: Telaah atas Penyakit Mental dan Sosial Kontemporer Para Da’i, terj. Âfât ‘alâ al-Tharîq, oleh Asad Yasin, Solo: CV. Pustaka mantiq, 1994.

Nurbakhsy, Javad, Psikologi Sufi, (Psychology of Sufism), terj. Arif Rahmat,

Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 1998.

Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, terj. Contemporary Sociological Theory, oleh Yasogawa, Jakarta: CV. Rajawali, 1992.

239

Qahthânî, Sa�id bin Ali, al-, Da’wah Islam Da’wah Bijak, terj. Al-Hikmah fî al- Da’wah ilâ al-Lâh, oleh Masykur Hakim dan Ubaidillah, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Qahthânî, Said bin Ali bin Wakf, al-, 9 Pilar Keberhasilan Dâ’i di Medan Dakwah, terj. Muqawamât al-Dâ’iyah al-Nâjih, oleh Muzadi Hasbullah, Solo: Pustaka Arofah, 2001.

Qathân, Manâ, al-, al-Da’wah ilâ al-Islâm, Beirut: al-maktab al-Islamy, 1397.

Qaradawi, Yusuf, Konsep Islam Solusi Utama Bagi Umat, terj. Al-Hill al-Islâmi Farîdhah wa Dharûrah, oleh M. Wahib Aziz, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.

__ _, Anatomi Masyarakat Islam, terj. Malâmih al-Mujtama’ al-Muslim al- ladzî Nansyuduh, oleh Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka al-kautsar, 1999.

___ , Karakteristik Islam Kajian Analitik, terj. Al-Khashâish al-‘Âmmah lî al- Islâm, oleh Rofi Munawwar, Lc. dan Tajuddin, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

_______, Al-Quran Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (AI-'Aql wa al-'IIm fi al-Qurân al-Karîm), terj. Abdulhay al-Katani dkk., Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

_______, Al-Quran dan al-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam (al-Marja'iyah al-'UIya fi al-Islam li al-Quran wa al-Sunnah), terj. Badruddin Fannani, (Jakarta: Robbani Press, 1997).

Quwsyini, Hasan Darwisy, al-, Syarh ’ala Matn al-Sulam, Surabaya: Maktabah

Said bin Nabhan,tt.

Rajih, Muhammad Karim, Audhah al-Bayân fî Syarh al-Mufradât wa Jumal al-

Qurân, Beirut: Dâr al-Ma�rifah, 1983.

Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi, Bandung: Rosdakarya, 1999.

Ridha, Muhammad Rasyid, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, terj. Al-Wahy al- Muhammadî, oleh Yosef CD, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987.

Roswon, Everett K., A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al-‘Amiri’s Kitâb al-Amad alâ al-Abad, New York: American Oriental Society, 1988.

Said, Jaudat, Bertindak Menurut Kehendak Ilahi, terj. Al-‘Amal: Qudrah wa Irâdah, oleh Luqman Junaedi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Said, Syekh, Kamus Filsafat Islam, Jakarta:Rajawali Press, 1992.

Sairazi, Abu Thahir Muhammad bin Ya'qub al-Fairuzabadi, al-, Tanwîr al-Miqbas

min Tafsîr Ibn 'Abbas, Jedah: al-Haramayn, tt.

Sanusi, Shalahuddin, Ilmu Da’wah, Bandung: PTDI Uswah Hasanah, tt.

240

Sardar, Ziauddin (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj. ‘Ilm and the Revival of Knowledge, oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyantanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Sarwar, H.G., Filsafat Al-Quran, terj. Philosophy of Quran, oleh Zainal Muhtadin Mursyid, Jakarta: CV. Rajawali, 1989.

Sears, David O. dkk., Psikologi Sosial, jld II, terj. Social Psychology, oleh Michael Adrianto, Jakarta: Erlangga, 1991.

Sevila, Consuelo G. dkk., An Introduction to Research Methods (Pengantar Metodologi Penelitian), pen. Alimudin Tuwu, Jakarta: Ul-Press, 1993.

Shabhi, Ahmad Ahmad, al-Falsafah al-Akhlâqiyah fî al-Fikr al-Islâmi, Mesir:

Dâr al-Ma�arif, 1969.

Shaqr, Abd al-Badi�, Kayfa Nad’û al-Nafs, Kairo: Maktbaha Wahbah, 1976.

Shawwaf, Muhammad Mahmud, al-, Min al Qurân Ilâ al Qurân (al Da'wah wa al Du'ât ),tt.

Shihab, M. Quraish, Rasionalitas Al-Quran; Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar,

Jakarta: Lentera Hati, 2006.

, Tafsîr al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan

Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997.

, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996.

Shild, Edward, Etika Akademis, terj. The Academic Ethics, oleh A. Agus Nugroho, Jakarta: Yayasan Obor, 1993.

Sukanto dkk., Pedoman Penelitian, Yogyakarta: "LP", 1995.

Sulayman, Fahd bin Abd al-Rahman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al- Hadîtsah fi al-Tafsîr, Riyadh: Muassasah al-Risâlah, 1414H.

Suryadipura, Paryana, Alam Pikiran, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

_______,Manusia dengan Atomnya dalam Keadaan Sehat dan Sakit,

Jakarta:Bumi Aksara, 1994.

Syafa�at, Pengantar Studi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964.

Sa�dî, Abd al-Rahman bin Nashir, al-, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, Riyadh: Maktabah al-Rusydiyyah, 2001.

Shafuri, Abd al-Rahman, al-, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhab al-Nafâis, Jakarta; Dinamika Utama, tt.

Shawi, Aminah, al-, dan Syaraf, Abd al-Aziz, Nazhariyyah al-I’lâm fî al-Da’wah al-Islâmiyyah, Al-Fujâlah: Maktabah Mishr, tt.

241

Stine, Jean Marie, Mengoptimalkan Daya Pikir, Anonim: Delapratasa Publishing,

2001.

Suryadipura, Paryana, Alam Pikiran Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Suyûthi, Jalâl al-Dîn Abd al-Rahman, al-, al-Jâmi’ al-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr

al-Nadzîr, Bandung: PT. Al-Ma�arif, tt.

Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawaih, Jakarta: IAIN Syarif

Hidayatullah, 1995.

______, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, Jakarta: ed. Jejen Musfah,

Yogyakarta: Blukar, 2004..

______, dan Fauzan (ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008.

Syahratsani, Abu al-Fatah Muhammad Abd al-Karim, al-, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Syarqawi, Hasan Muhammad, al-, Nahwa ‘Ilm al-Nafs al-Islâmi, Iskandariyah:

Muassasah Sabâb al-Jami�ah, 1984.

Syeikh, M. Said, Kamus Filsafat Islam (A Dictionary of Muslim Philosophy), terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Syinqithi, Muhammad al-Amin, al-, Adâb al-Bahtsi wa al-Munâzharah, Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, tt.

Tabrizi, Ahmad bin Muhammad bin al-Malik al-Asy�ari, al-, Sirâj al-Qulûb, ed. Abd al-Lathif Muhammad al-„Ayd dalam Sittu Rasâil min al-Turâts al- ‘Arabi al-Islâmi. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1981.

Takhruddin, L.T., Pribadi-pribadi yang Berpengaruh, Bandung: PT. AL-Ma�arif, 1996.

Thabathaba'i, Muhammad Husayn, al-, al-Mizan fi Tafsîr al-Quran, Beirut: Muassasah al-'Alamy, 1991.

Thabrasy, Radhy al-Dîn, al-, Makârim al-Akhlâq, Beirut: Dâr al-Fikr, 1978.

Thabrusi, Abu Ali Fadhl bin al-Hasan, al-, Majma’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qurân, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Thanâhi, Thâhir, al-, (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Mesir: Dâr al-Hilal, tt.

Tambunan, Emil H., Kepribadian Seutuhnya, Bandung: Indonesian Publishing House, 2006.

Tamimi, Muhammad bin Khalifah, al-, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Kairo: Dâr al-Salam, 1993.

Tan, Alexis S., Mass Communication Theories and Research, Ohio: Grid Publishing Inc. 198 1.

242

Taymiyah, Ibn Majma' al Fatawa, Riyadh, tt.

Tibi, Basam, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Islam and Cultural Accommodation of Social Change, oleh Misbah Zulfa Ellizabet, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999.

Tim Penyusun, Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia, Kurikulum untuk Abad ke-21, Jakarta: Grasindo, 1994.

Ulwan, Abdullah Nashih, al-Da’wah al-Islâmiyyah wa al-Inqâdz al’Âlami. Beirut: Dâr al-Salam, 1985.

Ulwan, Taufiq, Mu’jizah al-Shalah, Kairo: Dâr al-Wafa, 1988.

Umar, Toha Yahya, Ilmu Da’wah, Jakarta: Widjaja, 1983.

„Utsaymin, Muhammad bin Shalih, al, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, Riyadh: Muassasah al-Jarisy, 1994.

Wahab, A.A., An Introduction to Islamic Psychology, Delhi: Institute of Objective

Studies, 1996.

Weij, Van Der, Filsuf-Jilsuf Besar tentang Manusia (Gmie Filosofen over de

men), terj. K.Bertens, Yogyakarta Kanisius, 2000.

Wâ'iy, Taufik, al-, al-Nisâ al-Dâ'iyât, Kuwait: Wizârah al-Aufaf, 1989.

Wakil, Muhammad al-Sayyid al-, Usus al Da'wah wa Âdâb al Du'ât, Mesir: Dâr al Wafâ, 1986.

Whitehead, Alfred North, Fungsi Rasio (terj. Functions of Reason) oleh Alois A. Nugroho, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Yakan, Fathi, Kunci Sukses Petugas Dakwah, terj. Qawarib al-Najât li Hayâh al- Du’ât, oleh M. Hasan Baidawi, Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984.

___, Al Islam, Fikrah-Harakah-Inqilab, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983.

Yusuf, Abd al-Wadud, Tafsîr al-Mu’minîn. Beirut: Dâr al-Fikr, 1960.

Yusuf, Husayn Muhammad, Sabîl al-Da’wah, Kairo: Dâr al-I�tisham, 1979.

Yusuf, M. Yunan, “Metode Dakwah: sebuah Pengantar Kajian,” dalam Munzir dan Marjani Hefni, Metode Dakwah, Jakarta: Prenada media, 2003.

, “Tafsir Sosial atas Dakwah bi al-Hal” dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer, Jakarta: Media Cita, 2000.

, “Tauhid Ilmu: Solusi untuk Dikotomi,” dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, Bandung: PW. Muhammadiyah dan Nuansa, 2000.

Yusuf, Muhammad al-Sayyid Muhammad, al-Tamkîn lî al-Ummah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm, Mesir: Dâr al-Salâm, 1997.

243

Yusuf, Muhammad, Junûd al-Da’wah, Mesir: Dâr al-I�tishâm, 1979.

Zaidan, Abd al-Karim, Ushûl al-Da’wah, Cet. 9, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001.

Zahrani, Musfir bin Sa�id, al-, al-Tawjîh wa al-Irsyâd al-nafsî, Mekah: Bahadur Press, 1421H.

Zuhaili, Wahbah, al-, Tafsîr al-Wajîz, Beirut: Dâr al-Fikr, 1982.

Lampiran 1:

DAFTAR TEKS AYAT-AYAT ALQURAN

Teks Ayat Surat-Ayat Halaman

Al-Baqarah [2]: 191 3

Al-Nahl [16]: 125 3, 84, 135, 136, 143, 144, 145, 148, 156

Al-Baqarah [2]: 195 4

Ali Imran [3]: 104 6, 7, 70, 77, 80, 83, 130, 131, 137, 138, 170, 206

Fushilat [41]: 33 7, 149

Ali Imran [3]: 52 8

Al-Baqarah [2]: 139 8

Ali Imran [3]: 110 11, 80, 131, 137, 138, 206

Al-An’am [6]: 149 13

Al-Nisa [4]: 174 13

245

Ali Imran [3]: 151 16

Al-Baqarah [2]: 20 17

Al-Fatihah [1]: 5 69

Al- Baqarah [2]: 7 69

Al-‘Ashr : [103]: 1-3 70, 155

Al-Maidah (5):78 70

Al-Taubah (9): 122 71

Al-Hajj (22):41 72

Ali Imran (3) : 19 78

246

Ali Imran (3) : 85 78

Al-Baqarah [2]:201 81

Al-Baqarah [2]:207 81

Al-Nisa [4]: 1 81, 97

Al-Baqarah [2]: 256 82

Al-Baqarah [2]: 257 82

Yusuf [12] : 108 84

Al-Najm [53]: 4 107 Al-Baqarah [2] : 165 85

Ali Imran (3): 19 85

247

Ali Imran [3]; 18 86

Al-Baqarah [2]:217 88

Ali Imran (3): 21 89

Al-Baqarah [2]:138 89

Ar-Ruum [30]: 30 89

Al-Baqarah (2): 143 90

248

Ali Imran [3]: 18 90

Al-Nahl [16}: 90 91

Al-Nisa [4]: 54 91

Al-Baqarah [2]: 258 91

Al-Baqarah [2]: 207 92

Al-Baqarah [2]: 256 92, 93

Al-Nisa (4): 86 92 Al-Nuur [24]: 27 93

Al-Baqarah [2]: 286 93

249

Ar-Ra’d [13]: 11 96, 135

Al-Anfal [8] : 53 96, 135

Al-Baqarah [2]:143 97

Al-Nisa [4]: 40 97

Al-Baqarah [2]:154 98

Al-Fatihah [1]: 1 99,

Al-Fatihah [1]: 6 99, 121 Al-Baqarah [2]: 44 102, 103

Al-An’am [6]:79 104

250

Al-Anbiya [21] : 56 104

Yusuf [12]: 53 105, 124

Al-Qiyamah [75]: 2 105, 124

Al-Fajar [89]: 27 105, 124

Asy-Syu’ara [26]:89 105

Ash-Shaffat [37]: 84 105

Al-Syams [91] : 9- 10

105

Al-Hijr [15] : 75 106

Al-Baqarah [2] : 73 106

Al-Baqarah [2] : 164 107, 108

Al-Baqarah [2] : 79 108

251

Al-Baqarah [2] : 242 110

Al-Baqarah [2] : 197 113

Ali Imran [3] : 7 113

Al-Nuur [24] : 35 114

Al-Nuur [24] : 40 114

Al-Baqarah [2]: 269 115

Ali Imran [3] : 190 118

252

Al-An’am [6] : 90 121

Ali Imran [3] : 14 122

Al-Nisa [4]: 115 123

Al-Baqarah [2] :38- 39

123

Al-Baqarah [2] : 21 126

Al-Baqarah [2] :30 126

A-Rahman [55] : 1-4 127

Al-Nisa [4]: 113 128

253

Al-Baqarah [2]: 189 129

Al-Nisa [4]: 84 129

Al-Baqarah [2]:151 130

Al-Baqarah [2]: 97- 98

134

Al-Baqarah [2]: 8-10 134

Al-Baqarah [2]: 118- 119

134

254

Al-Baqarah [2]:113- 120

134

Ali Imran [3]: 21-22 135

255

Fathir [35]:32 136

Al-Anbiya [21]: 92 137

Al-‘Araf [7]:181 137

Hud [11]: 8 138

[16]:120 138

Ali Imran [3]: 144 139

Al-Maidah [5]: 35 142

Al-Isra [17]: 57 142

Ali Imrân [3]: 21 143

Al-Baqarah [2]: 269 147

Ali Imran [3]: 164 148

256

Al-Baqarah [2]; 111 151

Yusuf [12]: 108 151

Al-Baqarah [2]: 232 154

Al-‘Ashr : [103]: 1-3 155

Al-Nisa [4]: 11 155

Ali Imran [3]: 105 170

Al-Nisa [4]: 48-49 171

257

Ali Imran [3]: 18-19 172

Al-Nisa [4]: 48-52 177

Al-Baqarah [2]: 43- 46

179

258

Al-Baqarah [2]: 44 181

Al-Baqarah [2]: 203 181

Al-Ahzab [33]: 41 181

Al-Baqarah [2]: 249 183

Al-Fathihah [1]: 5 183

Al-Maidah [5]: 2 183

Al-Baqarah [2]: 43 184

Al-Baqarah [2]: 232 186

259

Ali Imran [3]: 138- 139

186

Al-Baqarah [2]: 204- 206

187

Al-Baqarah [2]: 207 188

Al-Nisa [4]: 5-6 188

Al-Baqarah [2]:180- 182

190

Al-Hajj [22]: 41 194

260

Al-Baqarah [2]: 83 195

Ali Imran [3]: 111 204

Al-Baqarah [2]: 243- 244

205

Ali Imran [3]: 79 206

Al-Ahzab [33] : 45- 46

212

Al-Maidah [5]:67 212

Al-Baqarah [2] : 151 212

Lampiran 2: Daftar Sebagian Teks Data Penelitian

2.1 Urgensi Implimentasi Manthiq Sebagai Kerja Akal (Catatan kaki no. 2

Bab III):

(AL-Manar , jilid I, hlm 144-145

262

Lanjutan lampiran 2.1:

(AL-Manar , jilid I, hlm 145)

(AL-Manar, jilid I, hlm 244)

2.2 Subtansi Hakekat Dakwah Secara Taksonomis:

263

Lanjutan lampiran 2.2:

(AL-Manar, jilid IV, hlm 27-28)

264

Lanjutan lampiran 2.2: (AL-Manar, jilid IV, hlm 27-28)

2.3 Subtansi Tiga Macan Mad’u Menurut Kualitas Ilmunnya (Catatan Kaki

no. 202 Bab III):

265

Lanjutan lampiran 2.3:

(AL-Manar, jilid IV, hlm 262-263)

2.3 Subtansi al - da’iyah fi nafsih (Catatan Kaki no. 19 Bab IV):

(AL-Manar, jilid I, hlm 184)

266

Lanjutan Lampiran 2.4:

(AL-Manar, jilid I, hlm 186)

2.5 Subtansi al - da’iyah fi nafsih ( catatan kaki no 20 Bab IV):

(AL-Manar, jilid V, hlm 148-149)

267 Lampiran 3:

Tabel ayat al-Quran yang memuat kata kerja akal dan al-Albab

No Bentuk Kata Surat, No. Surat

dan Ayat 1 Al-Baqarah (2): 75

Teks Ayat

2 Al-Baqarah (2): 44

3 Al-Baqarah (2): 73

4 Al-Baqarah (2): 76

5 Al-Baqarah (2): 242

6 Ali Imran (3): 65

7 Ali Imran (3): 118

8 Al-Baqarah (2): 164

268 9 Al-Baqarah (2): 170

10 Al-Baqarah (2): 171

11 Al-Baqarah (2): 179

12 Al-Baqarah (2): 197

13 Al-Baqarah (2): 269

14 Ali Imran (3): 7

269

15 Ali Imran (3): 190

270

Lampiran 4

Gambar Bagan 1:

Tujuan Dakwah

Ideal

Sosial

Individual

Keterangan:

Ideal : Memperoleh ridha Allah SWT di dunia dan akherat

Sosial : Menjadi Khair Ummah dan ummah Wasatha

Individual :

Menjadi Pribadi Muslim Paripurna

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1953 di Babakanraden Cariu

Bogor, sebagai anak ke sembilan dari dua belas bersaudara, putera pasangan H.

Abdullah (alm) dan Hj. Siti Zainab.

Tamat Madrasah Wajib Belajar (MWB) Babakanraden Cariu Bogor pada

tahun 1968, Madrasah Tsanawiyah Al-Baqiyatus-Shalihat Cibogo Bekasi tahun

1971, Sekolah Persiapan Institut Agama Islam (SP-IAIN) Sunan Gunung Djati

Bogor tahun 1974, Sarjana Muda Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati

Bandung tahun 1977, Sarjana Lengkap Jurusan Dakwah Ushuluddin IAIN Sunan

Gunung Djati Bandung tahun 1981, pada tahun 1993 mendapat kesempatan

mengikuti program S2 Bidang Kajian Utama Ilmu Komunikasi Program Studi

Ilmu-ilmu Sosial Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung selesai tahun 1998,

dan pada tahun 1997 diterima mengikuti Program Doktor Bebas Terkendali PPs

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan II hingga sekarang.

Berbarengan dengan jenjang pendidikan formal sekolah, ia mengikuti

pengajian di beberapa pesantren, yaitu pada tahun 1966-1968 di Pesantren Al-

Baqiyatus-Shalihat Cibogo Bekasi, tahun 1969-1974 diPesantren Al-Barkah

Bantarpete Bogor, dan tahun 1975-1979 di Pesantren Al-Jawami Sindangsari

Cileunyi Bandung.

Pengalaman pekerjaan, pada tahun 1979-1981 sebagai Penyuluh

Penerangan Agama Islam Kecamatan Ujungberung Kabupaten DT. II Bandung,

tahun 1982-1985 Sekretaris Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan

Gunung Djati Bandung, tahun 1986-1989 Sekretaris Fakultas Ushuluddin IAIN

Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1990-1992 Ketua Jurusan Tafsir-Hadits

Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1993-1995

Pembantu Dekan III Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung,

tahun 1996-1999 sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Sunan

Gunung Djati Bandung, tahun 1999-2007 sebagai Dekan Fakultas Dakwah

IAIN/UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan tahun 2008-sekarang sebagai ketua

272

LPM (Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat) UIN sunan Gunung Djati

Bandung.

Sejak tahun 1992 sampai sekarang sebagai tenaga pengajar dalam mata

kuliah Ilmu Dakwah, dan terakhir 1 April 1998 sebagai Lektor Kepala IV/c dalam

mata kuliah Ilmu Dakwah.

Karya tulis yang penulis hasilkan berupa buku/diktat antara lain:

1. Pengantar Ilmu Dakwah: Perspektif Alquran (Bandung: Fakultas

Ushuluddin, 1993);

2. Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW, terj. Karya Husain Muhammad

Yusuf, Sabîl al-Da’wah (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1993);

3. Tehnik Khithâbah: Perspektif Alquran (Bandung: Fakultas Dakwah,

1996);

4. Metode Analisis Isi: Suatu Pengantar (Bandung: Fakultas Dakwah, 1996);

5. Mantik: Kaidah Berpikir Islami (Bandung: Rosdakarya, 1996);

6. Perkembangan dan Pengembangan Ilmu Komunikasi (Bandung: Fakultas

Dakwah, 1996);

7. Matan Wilayah Kajian Ilmu Dakwah (Bandung: Fakultas Dakwah, 1998);

8. Dasar-dasar Bimbingan Islam (KP-Hadid, 1999);

9. Epistemologi Do’a (KP-Hadid, 2001);

10. Quantum Do’a (Bandung: al-Hikmah, 2006);

11. Fiqh Marîdh I (Bandung: Pemprov Jabar, 2003);

12. Fiqh Marîdh II (Bandung: Pemprov Jabar, 2003);

13. Metode Etnografi untuk Penelitian Dakwah (KP-Hadid, 1999);

14. Syarhil Quran tentang Kesalehan Sosial (Bandung: LPTQ Jabar, 2006);

15. Risalah Pohon Ilmu Dakwah (KP-Hadid, 2005);

16. Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah (KP-Hadid, 2005);

17. Kode Etik Kader Da’i Profesional (Bandung: KP-Hadid, 2004);

18. Dakwah Damai: Pengantar Dakwah Antarbudaya (Bandung: Rosdakarya,

2007).

19. Taxonomy Yes! Dichotomy, No! Epistimologi Ilmu Islam Menurut

Muhammad Abduh (Bandung: KP Hadid, 2006)

273

Karya tulis yang berupa hasil penelitian antara lain:

1. Kritik terhadap Filsafat Atheisme Berdasarkan Alquran (Risalah Sarjana

Muda, 1977);

2. Urgensi Praktikum Dakwah bagi Mahasiswa Jurusan Dakwah Fakultas

Ushuluddin: Suatu Evaluasi (Skripsi Sarjana Lengkap, 1981);

3. Tanggapan Imam Syafi’i terhadap Inkarussunnah sebagai Hujjah Hukum

Islam (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1994);

4. Relevansi antara Makna TIBMANRA dengan Substansi Pola Dasar

Pembangunan Provinsi DT. I Jawa Barat Memasuki PJP II (Bandung: PP.

IAIN, 1996);

5. Pemimpin Adat dan Kosmologi Waktu: Kajian tentang Kepemimpinan

Adat dalam Komunikasi Intrabudaya di Kampung Naga Tasikmalaya

Jawa Barat (Tesis Magister Sains, Unpad, 1998).

Pengalaman di bidang kegiatan kemasyarakatan, antara lain: 1993-1997

Ketua Biro Pemuda MDI Jabar, 1992-1997 Ketua DPD Angkatan Muda Satuan

Karya Ulama Indonesia (AMSI) Jawa Barat, 1994-1997 Komisi Organisasi MUI

Jawa Barat, 2004-sekarang Ketua Bidang Dakwah dan Syiar Islam MUI Kota

Bandung, 1998-sekarang anggota Dewan Pakar ICMI Orsat Bandung Timur,

1998-sekarang Ketua Umum Majelis KAHMI Kabupaten DT. II Bandung, 1998-

sekarang Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat IKA-IAIN Sunan Gunung

Djati Bandung, 2003-2009 Ketua Umum MPN APDI (Majelis Pengurus Nasional

Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia) Periode Perintisan dan pada Kongres II

APDI tanggal 15-17 Mei 2009 di Surabaya diberi amanat sebagai ketua Dewan

Pakar APDI Nasional periode 2009-2013. 2001-sekarang ketua Bidang

Pembinaan dan Latihan LPTQ Jawa Barat. 2000-sekarang ketua Bidang Dakwah

Masjid Raya Profinsi Jawa Barat, 2005-sekarang anggota Forum Silaturahim

Dewan Kemakmuran Masjid ASEAN dan menjadi Dewan Hakim Nasional MSQ

pada MTQ Nasional di Palangkaraya dan di Banten (17-24 Juni 2008).

Pada tahun 1979 menikah dengan Hj. Mimin Mintarsih dan telah

dikaruniai lima anak: Indira Sabet Rahmawati, S.Ip, M.Ag (29 tahun), Alex

274

Muhammad Mustafa, S.Sos.I (27 tahun), Mela Mustika Amalia, S.Pd.I (24

tahun), Arif Syamsul Alam (22 tahun), dan Ida Ayu Nur’arafah (17 tahun),

dan kini bertempat tinggal di Jl. Permai VI/IL 99 Kelurahan Cipadung,

Kecamatan Cibiru, Kodya Bandung, telepon (022) 7809537.