23
PEMOLISIAN KOMUNITI TETAP HARUS MEMPERHATIKAN HAM DAN KONSEP “RESTORATIVE JUSTICE” DALAM USAHA MEMPEROLEH KEPERCAYAAN MASYARAKAT INDONESIA YANG MULTIKULTURAL Dedi Vitriyanto Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Jakarta Email : [email protected] Abstrak Dalam pemolisian komuniti (community policing) hubungan timbal balik secara kemitraan sederajat antara polisi dan masyarakat harus dapat dibina. Konsep pendekatan restorative justice dalam proses criminal justice system merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik- beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian konflik ataupun perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas dengan memperhatikan hak asasi manusia (HAM). Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Sehingga akan mencapai pada titik kulminasi apa yang dimaksud dengan “non-punitive strategies to prevent and control crime” (strategi non hukuman untuk mencegah dan mengendalikan kejahatan). Hal ini tidak terjadi dalam proses pemidanaan konvensional karena tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Penyelesaian perkara pidana melalui jalur “musyawarah” antara pelaku dan korban serta masyarakat yang terlibat di dalamnya, merupakan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme penyelesaian ini dalam prakteknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan penegak hukum. Secara praktis, perdamaian sebagai hasil akhir dari musyawarah menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan pembenaran berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIII Page 1

Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

PEMOLISIAN KOMUNITI TETAP HARUS MEMPERHATIKAN HAM DAN KONSEP “RESTORATIVE JUSTICE” DALAM USAHA MEMPEROLEH

KEPERCAYAAN MASYARAKAT INDONESIA YANG MULTIKULTURAL

Dedi Vitriyanto

Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian

Universitas Indonesia, Jakarta

Email : [email protected]

Abstrak

Dalam pemolisian komuniti (community policing) hubungan timbal balik secara kemitraan sederajat antara polisi dan masyarakat harus dapat dibina. Konsep pendekatan restorative justice dalam proses criminal justice system merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian konflik ataupun perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas dengan memperhatikan hak asasi manusia (HAM). Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Sehingga akan mencapai pada titik kulminasi apa yang dimaksud dengan “non-punitive strategies to prevent and control crime” (strategi non hukuman untuk mencegah dan mengendalikan kejahatan). Hal ini tidak terjadi dalam proses pemidanaan konvensional karena tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Penyelesaian perkara pidana melalui jalur “musyawarah” antara pelaku dan korban serta masyarakat yang terlibat di dalamnya, merupakan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme penyelesaian ini dalam prakteknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan penegak hukum. Secara praktis, perdamaian sebagai hasil akhir dari musyawarah menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan pembenaran berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Kata kunci : non-punitive strategies, pemidanaan tradisioanal, keadilan restoratif, ham, penyelesaian perkara pidana.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 1

Page 2: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Selama ini model pemolisian di dunia dikenal dengan dua bentuk,

pemolisian konvensional (kuno) dan pemolisian modern. Pemolisian

konvensional bersifat reaktif atau menunggu, selain itu lebih

mengedepankan penegakan hukum (crime fighter). Secara konseptual

sistem pemolisian modern yang diterapkan Kepolisian Republik Indonesia

(Polri) mulai mengubah sistem kepolisian profesionalnya dengan pendekatan

yang sangat memahami keinginan masyarakat, yang pada gilirannya

membuat masyarakat simpati, membutuhkan, dan mempunyai

ketergantungan yang kuat terhadap keberadaan polisi yaitu polisi sipil yang

berorientasi pada nilai-nilai persahabatan. Pendekatan yang

mengedepankan kekuasaan dan kewenangan pun sudah mulai ditinggalkan,

digantikan dengan mengedepankan pendekatan perlindungan dan

pelayanan serta pemecahan masalah. Dengan demikian Polri perlu terus

menerus melakukan upaya-upaya yang komperhensif dalam melakukan

kegiatan preemtif, preventif, dan penegakan hukum.

Modernisasi yang ditanamkan ialah sebuah sistem kerja yang dilandasi

dengan semangat speed and professional. Diyakini, speed and professional

merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Sehingga setiap

melaksanakan tugas-tugasnya dalam menyelesaikan permasalahan

kamtibmas, Polri bertindak cepat, sigap, tanggap, dan professional sehingga

mampu mewujudkan harapan polisi sebagai “problem solving”.

Sebenarnya, kegiatan yang dilakukan dalam kemitraan dan pemberdayaan

potensi masyarakat ini ada dua, yaitu pemberdayaan community policing

(polmas) dan pemberdayaan pengamanan swakarsa.1

1 http://www.metro.polri.go.id/kemitraan-polri/problem-solving. Diakses hari Minggu tanggal 1 Juni 2014, pukul 08.45 wib.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 2

Page 3: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

Dalam pemolisian komuniti “communiting policing” hubungan timbal

balik secara kemitraan sederajat antara polisi dan masyarakat harus dapat

dibina. Kelling and Wilson (1982), dalam karangannya ”Broken Windows”

menekankan perlunya diutamakan meningkatkan kerjasama polisi dan

masyarakat dalam daerah-daerah kumuh. Dalam penelitian yang terkenal

ini, “broken windows” diumpamakan dengan keadaan masyarakat tersebut

yang penuh permasalahan (masalah individu, antar-tentangga dan antar-

kelompok) yang memerlukan bantuan dari pihak luar (misalnya dari polisi

dalam kegiatan “community policing”).

Hanya melalui kerjasama, dukungan dan bantuan para warga

setempat, polisi dapat melawan kejahatan di daerah urban yang kumuh.

Peranan polisi untuk menjaga keteraturan dan ketertiban di daerah-daerah

ini sangat utama. Namun, mereka hanya akan berhasil, bila mana polisi

dapat membuka jalur komunikasi yang jujur dan efektif dengan

penghuninya.2 Perubahan sosial di Indonesia sangat diwarnai oleh berbagai

konflik baik dalam bentuk konflik sosial, konflik etnis, maupun konflik

komunal.3 Bangsa Indonesia merupakan bangsa multikultural, masyarakat

yang majemuk, yaitu masyarakat yang rawan konflik yang dapat menjurus

pada disintegrasi masyarakatnya. Konflik-konflik yang potensial menuju

disintegrasi masyarakat adalah konflik antar-sukubangsa, termasuk konflik

antar-pemeluk agama karena melibatkan sentiment-sentimen primordial

yang mendalam dan mendasar.4

Akan tetapi hal ini sesungguhnya memiliki implikasi secara teoritis

maupun yuridis. Di sejumlah negara hal ini di jembatani melalui kebijakan

baik dalam bentuk program pemerintah atau regulasinya. Filosofi

pemidanaan tradisional

2 Reksodiputro, Mardjono, Ilmu Kepolisian Indonesia, bahan bacaan wajib perkuliahan, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2013, hal. 69

3 Umar, Bambang Widodo, Perubahan Sosial dan Pembangunan,  Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm: 111. 4 Suparlan, Parsudi, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Bab 3: Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat, 2004, Jakarta:YPKIK, hlm.27-29.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 3

Page 4: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

yang membingkainya yang dikenal sebagai keadilan restoratif. Keadilan

restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional yang dapat

dipakai sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian perkara

pidana yang terjadi dalam masyarakat. Berangkat dari kenyataan tersebut,

maka kemungkinan penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek

penegakan hukum pidana di Indonesia.

Community Policing merupakan suatu pendekatan reformasi dalam

falsafah pemolisian yang memperluas misi kepolisian untuk tidak saja

mengurus soal kejahatan dan penegakan hukum, tetapi juga mengajak

masyarakat secara kreatif memecahkan permasalahan di sekitarnya yang

berhubungan dengan sekuriti. Sekuriti disini dipahami sebagai rasa aman

dalam diri masyarakat, sedangkan swakarsa dipahami sebagai usaha oleh

swasta, bagaimana dapat dikelola rasa aman melalui usaha sendiri oleh

masyarakat. Dua komponen utama dalam mewujudkan tujuan tersebut

adalah Community Partnership dan Problem Solving.5

Inti dari berbagai cabang teori konflik adalah pandangan: bahwa

konflik sosial adalah penyebab kejahatan. Andaikata konflik sosial dapat

diredusir, angka kriminalitas dapat berkurang. Usaha untuk meredusir konflik

sosial adalah antara lain dengan pendekatan “restorative justice” (keadilan

restoratif). Dikatakan pendekatan ini menekankan pada “non-punitive

strategies to prevent and control crime”(strategi non hukuman untuk

mencegah dan mengendalikan kejahatan).6

Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara dua pihak dan

masing-masing berusaha mempertahankan hidup, eksistensi, dan prisipnya.

Perubahan sosial di Indonesia sangat diwarnai oleh berbagai konflik baik

dalam bentuk konflik sosial, konflik etnis, maupun konflik komunal.7

Bangsa Indonesia 5 Reksodiputro, Mardjono, Silabus Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti (Swakarsa), bahan bacaan wajib perkuliahan, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2014, hal. 1. 6 Reksodiputro, Mardjono, Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti (Swakarsa), bahan bacaan wajib perkuliahan, Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2013, hlm.54-55. 7 Umar, Bambang Widodo, Perubahan Sosial dan Pembangunan,  Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm: 111.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 4

Page 5: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

merupakan bangsa multikultur, masyarakat yang majemuk, yaitu

masyarakat yang rawan konflik yang dapat menjurus pada disintegrasi

masyarakatnya. Konflik-konflik yang potensial menuju disintegrasi

masyarakat adalah konflik antar-sukubangsa, termasuk konflik antar-

pemeluk agama karena melibatkan sentiment-sentimen primordial yang

mendalam dan mendasar.8

Konflik juga bisa menyisakan rasa traumatis mendalam pada

masyarakat dan harus segera dicari formula penyelesaiannya, salah satunya

adalah pendekatan restorative justice. Tetapi sebelumnya harus dicari akar

penyebab

dari konflik itu. Pada umumnya penyebab terjadinya konflik

tersebut disebabkan distribusi, baik ekonomi, sosial, dan politik yang

dianggap tidak adil bertepatan dengan perbedaan identitas. Sementara di

sisi lain, sikap mereka cenderung eklusif sehingga apabila terjadi gesekan-

gesekan sosial, meskipun kecil, tetapi mampu menyulut terjadinya konflik

yang masif dan berkepanjangan.9

Keadilan restoratif adalah konsep yang memberikan perlindungan dan

penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Namun

kondisi yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya yaitu sebuah

mekanisme konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses formil

pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat,

tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya

di masyarakat.

Konsep pendekatan restorative justice dalam proses criminal justice

system merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada

kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana

serta korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan pidana yang

berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk

menciptakan kesepakatan atas penyelesaian konflik ataupun perkara pidana

yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 5

Page 6: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

8 Suparlan, Parsudi, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Bab 3: Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat, 2004, Jakarta:YPKIK, hlm.27-29.

9 http://ratnandoet.wordpress.com/konflik-sosial/, diakses pada hari Senin tanggal 26 Mei 2014, jam 09.30 wib.

Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya

restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki

makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak

korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas

kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat

menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi

kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian,

kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. 

Sehingga akan mencapai pada titik kulminasi apa yang dimaksud

dengan “non-punitive strategies to prevent and control crime”

(strategi non hukuman untuk mencegah dan mengendalikan

kejahatan). Hal ini tidak terjadi dalam proses pemidanaan konvensional

karena tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini

korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah

mereka. 

Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi

perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya

menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat

seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan

pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.10

10http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-. Diakses pada hari Senin tanggal 26 Mei 2014, jam 21.35 wib.

BAB II PEMBAHASAN

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 6

Page 7: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

2.1. Pendekatan Restorative Justice

Dalam buku berjudul Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa

menyatakan bahwa restorative justice atau yang sering diterjemahkan

sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang

muncul sejak era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.

Pendekatan keadilan restoratif menekankan pada adanya partisipasi

langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian

perkara pidana. Ini merupakan hal yang membedakannya dengan

pendekatan yang dipakai dalam system peradilan pidana konvensional,

sehingga secara teoritis pendekatan ini masih diperdebatkan. Namun pada

kenyataannya pandangan ini berkembang dan banyak mempengaruhi

kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.11

Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling

mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem

peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini.

PBB melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa

pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam

sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G.

P. Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a

rational total of the responses to crime). Pendekatan keadilan restoratif

merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari

strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab

ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.12

11 Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm. 2 12 http://evacentre.blogspot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html. di akses hari Minggu tanggal 1 Juni 2014, pukul 09.25 wib.

Upaya restoratif adalah upaya yang menggunakan konsep keadilan

restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu kesepakatan

antara para pihak yang terlibat. Kesepakatan ini merupakan kesepakatan

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 7

Page 8: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

para pihak yang didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan korban dan

masyarakat atas kerugian yang timbul dari tindak pidana yang terjadi.

Kesepakatan tersebut juga dapat diartikan sebagai suatu upaya memicu

proses reintegrasi antara korban dan pelaku, sehingga kesepakatan tersebut

dapat berbentuk sejumlah program seperti reparasi (perbaikan), restitusi

ataupun community service. Tidak mudah memberikan definisi bagi

pendekatan keadilan restoratif ini, mengingat banyaknya variasi model dan

bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Karenanya banyak

terminologi yang digunakan untuk menggambarkan aliran keadilan restoratif

ini antara lain ”communitarian justice (keadilan komunitarian), positive

justice (keadilan positif), relational justice (keadilan relasional), reparative

justice (keadilan reparatif) dan community justice (keadilan masyarakat)

serta communitarian justice”. Terminologi yang dipakai untuk menyebut

”communitarian justice” berasal dari teori komunitarian yang berkembang di

Eropa saat ini.13

Paham individualis yang selama ini lekat dengan dunia barat,

berangsur-angsur ditinggalkan sejalan dengan kesadaran peran masyarakat

terhadap perkembangan kehidupan seseorang. Pandangan – pandangan

tersebut menempatkan keadilan restoratif pada posisi yang mengusung

lembaga musyawarah sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam mencari

jalan terbaik atas suatu pemecahan masalah yang timbul akibat

dilakukannya suatu tindak pidana.

Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada

kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan

dengan

13 Zulfa, Op.Cit. , hlm. 15

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat

ini. Dipihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 8

Page 9: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi

penegak dan pekerja hukum.14

2.2. Kriminologi Konflik dan Mashab Kritikal

Mashab kritikal dikenal pertama-tama karena pandangannya yang

berbeda tentang pengertian kejahatan (berbeda dengan yang dinamakan

“the consensus view of crime” seperti yang dianut mashab klasik/neo klasik).

Menurut mashab kritikal, dengan “interactionis view”-nya, maka

kejahatan didefinisikan oleh “moral intrepeneurs”, perbuatan jadi criminal

karena masyarakat men”cap”nya demikian, dan cap penjahat menentukan

kehidupan seterusnya seseorang. Sedangkan “conflict view”-nya mengkritik

hukum sebagai alat dari “the rulling class”, yang menjadikan kejahatan

sebagai konsep politis, dan dalam banyak hal “the law is used to control the

underclass”.

Menurut mashab kritikal, “penanggulangan kejahatan” (dalam arti

luas) seharusnya dapat dilakukan melalui masyarakat yang lebih demokratis

(dalam

arti mengurangi proses konflik kuasa yang tidak wajar dan mengurangi

proses diskriminasi terhadap mereka yang kurang kuasa/the powerless), dan

dengan pendekatan yang lebih manusiawi pada pelanggar hukum/first

evenders (mengurangi “labeling” yang menimbulkan krisis jati diri dan

“secondary deviance).

Menurut Prof. Marjono Reksodiputro bahwa mashab kritikal dasarnya

adalah “teori-teori proses sosial” (social prosess theories) yang mengajarkan

bahwa kriminalitas adalah fungsi dari interaksi manusia dengan berbagai

organisasi, lembaga dan proses-proses dalam masyarakat ( Edward

Sutherland-Donald Cressey; Walter Reckless, Howard Becker, Edwin Schur-

tahun 1040-an

14 Idem. , hlm. 3

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 9

Page 10: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

sampai tahun 1070-an). Yang selanjutnya terus berkembang melalui “teori-

teori konflik” (social conflict theories).15

2.2. Teori-teori Konflik Sosial

Teori-teori dalam kelompok ini melihat kejahatan sebagai fungsi dari

konfilk-konflik yang ada dalam masyarakat. Teori-teori ini lebih menekankan

pada proses sosial dalam konteks sosial ekonomi, dan melihat antara lain

pada peranan pemerintah menciptakan lingkungan yang “mendukung

penyimpangan sosial” (crimogenic environment), peranan kelompok

dominan membentuk hukum (pidana), dan bias dalam sistim peradilan

pidana (SPP).

Penelitian-penelitian menunjukan bahwa kejahatan ternyata lebih

merata terdistribusi dalam berbagai strata masyarakat. Hal ini bertentangan

dengan statistic resmi ynag menggambarkan bahwa terdapat lebih banyak

kejahatan dan pelakunya di lingkungan kelas-bawah (lower-class)

dibandingkan dengan kejadian di lingkungan kelas-menengah (midlle-class).

Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa terjadi “diskriminasi” dalam

penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok kelas-bawah.

Timbul pandangan: “… the justice system as a mechanism to control

the lower class and maintain the status quo rather then as the means of

dispensing evenhanded justice.” Prof. Satjipto Rahadjo salah seorang pakar

sosiologi hukum, dengan pemikirannya Teori Progresif dalam ilmu hukum,

banyak dipengaruhi oleh pemikiran Chambliss dan Seidman dalam karangan

mereka yang terkenal “Law, Order and Power”. Menurut Chambliss dan

Seidman antara lain :

a) Penguasaan atas sistim politik dan ekonomi akan mempengaruhi

bagaimana peradilan pidana dilaksanakan.

15 Reksodiputro, Mardjono, Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti (Swakarsa), bahan bacaan wajib perkuliahan, Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2013, hlm.52-53.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 10

Page 11: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

b) Definisi tentang kejahatan akan dipengaruhi secara menguntungkan

oleh mereka yang menguasai sistim peradilan.

c) Peranan konflik dalam masyarakat kontemporer perlu dianalisa.

Pemikiran ini didukung pula oleh John Braithwaite, 1986, dalam

karangannya “Retributivism, Punishment, and Privilege”. Yang

menggambarkan bagaimana peradilan pidana sering tidak adil. Mereka yang

seharusnya lebih banyak /keras dihukum (penjahat kerah putih yang kaya

raya yang merugikan masyarakat berjuta-juta dolar), ternyata dihukum

paling sedikit/ringan. Sebaliknya mereka yang melakukan kejahatan relatif

ringan (pencuri, karena terdesak keperluan ekonomi) mendapat hukuman

yang keras/berat.16

2.3. Keadilan Restoratif

Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. memandang keadilan restorative

(restorative justice) sebagai suatu filosofi pemidanaan. Dan sebagai falsafah

ini, penerapan restorative justice dilakukan dengan membingkainya pada

berbagai kebijakan, gagasan program dan penanganan perkara pidana.

Semuanya ini diharapkan menimbulkan hasil proses yang menciptakan

keadilan bagi pelaku, korban maupun masyarakat dan menjawab berbagai

permasalahan yang dihadapi oleh sistim peradilan pidana saat ini.17

Restorative justice umumnya juga didekati dengan pandangan

viktimologi, dalam arti bahwaan dan orang dalam sistim peradilan pidana

(SPP), korban dan orang yang selamat (survivor) sering kali terlupakan atau

terabaikan. Karen aitu di Amerika Serikat dikembangkan pemikiran perlunya

dalam putusan hakim dipertimbangkan “victim-impact statement” yang

menggambarkan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat

kejahatan tersebut. Dalam pandangan seperti ini, maka seringsering

dikatakan 16 Idem., hlm. 54

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 11

Page 12: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

17Reksodiputro, Mardjono, Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti (Swakarsa), bahan bacaan wajib perkuliahan, Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, 2013, hlm.55.

bahwa restorative justice bertujuan “restore the health of the community,

repair the harm done, meet victim’s needs and require the offender to

contribute to those repairs”.18 (memulihkan kesehatan masyarakat,

memperbaiki kerusakan yang dilakukan, memenuhi kebutuhan korban dan

membutuhkan pelaku untuk berkontribusi kepada perbaikan mereka”).

Namun dalam pemikiran John Braithwaite, 2003, “ Principles of

Restorative Justice”, maka keadilan restoratif adalah: “ about struggling

against injustice in the most restorative way we can manage… it targets

injustice reduction..” Untuk itu maka suatu program keadilan restoratif harus

melalui “ a restorative process test” maupun melalui suatu “restorative

value test”.

Restorative value test tersebut terbagi menjadi :

a) Constraining value.

b) Maximizing value.

c) Emergent value.

Siegel mencoba membawa restorative justice dalam konteks teori-teori

konflik sosial sebagai berikut:

1) Crime is fundamentally a violation of people and interpersonal

relationships.

2) Violations create obligations and liabilities.

3) Restorative justice seeks to heal and put right the wrongs.

4) Justice is mindful of the outcomes, intended and unintended,.. the

least restrictive intervention should be used, and overt social control

should be avoided. 18 Idem., hlm. 56

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 12

Page 13: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

Beberapa prinsip yang mendasari program keadilan restoratif yaitu:

1) That the response to crime should repair as much aspossible the harm

suffered by the victim;

Penanganan terhadap tindak pidana harus semaksimal mungkin

membawa pemulihan bagi korban. Prinsip ini merupakan salah satu

tujuan utama manakala pendekatan keadilan restoratif dipakai sebagai

pola pikir yang mendasari suatu upaya penanganan tindak pidana.

2) That offenders should be brought to understand thattheir behaviour is

not acceptable and that it had some real consequences for the victim

and community;

Pendekatan keadilan restoratif dapat dilakukan hanya jika pelaku

menyadari dan mengakui kesalahanya. Dalam proses restoratif,

diharapkan pelaku juga semakin memahami kesalahannya tersebut

serta akibatnya bagi korban dan masyarakat. Kesadaran ini dapat

membawa pelaku untuk bersedia bertanggungjawab secara sukarela.

3) That offenders can and should accept responsibility for their action;

Dalam hal pelaku menyadari kesalahannya, pelaku dituntut untuk rela

bertanggungjawab atas “kerusakkan” yang timbul akibat tindak pidana

yang dilakukannya tersebut. Ini merupakan tujuan lain yang ditetapkan

dalam pendekatan keadilan restoratif. Tanpa adanya kesadaran atas

kesalahan yang dibuat, maka mustahil dapat membawa pelaku secara

sukarela bertanggung jawab atas tindak pidana yang telah

dilakukannya.

4) That victims should have an opportunity to express their needs and to

participate in determining the best way for the offender to make

reparation.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 13

Page 14: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

Prinsip ini terkait dengan prinsip pertama, dimana proses penanganan

perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif membuka akses

kepada korban untuk berpartisipasi secara langsung terhadap proses

penyelesaian tindak pidana yang terjadi. Partisipasi korban bukan

hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan atas ganti kerugian,

karena sesungguhnya korban juga memiliki posisi penting untuk

mempengaruhi proses yang berjalan termasuk membangkitkan

kesadaran pada pelaku sebagaimana dikemukakan dalam prinsip

kedua. Konsep dialog yang diusung oleh pendekatan ini memberikan

suatu tanda akan adanya kaitan yang saling mempengaruhi antara

korban dan pelaku dalam memilih penyelesaian terbaik sebagai upaya

pemulihan hubungan sosial antara keduanya.

5) That the community has a responsibility to contribute to this process.

Suatu upaya restoratif bukan hanya melibatkan korban dan pelaku,

tetapi juga masyarakat. Masyarakat memiliki tanggung jawab baik

dalam penyelenggaraan proses ini maupun dalam pelaksanaan hasil

kesepakatan, Maka, dalam upaya restoratif, masyarakat dapat

berperan sebagai penyelenggara, pengamat maupun fasilitator. Secara

langsung maupun tidak langsung, masyarakat juga merupakan bagian

dari korban yang harus mendapatkan keuntungan atas hasil proses

yang berjalan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 14

Page 15: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

BAB IIIPENUTUP

Kesimpulan

1) Kehadiran restoratif justice dalam hukum pidana jangan dianggap

sebagai mengabolisi hukum pidana, tetapi sebaiknya harus dilihat

sebagai mengembalikan fungsi hukum pada jalurnya semula, yaitu

pada fungsi ultimum remidium. (konsepnya: kalau tidak ada lagi jalan,

maka tersangka boleh dihukum. Namun hukuman bukan solusi utama).

2) Pendekatan restorative justice dapat dipakai sebagai bingkai dalam

proses penanganan prerkara pidana disemua tahapan sistim peradilan

pidana (SPP) dan terhadap berbagai tindak pidana. Tetapi ditemukan

pula penerapan penyelesaian perkara pidana di luar SPP. Dalam hal ini

beberapa Negara (Papua Nugini, Samoa Barat, Bangladesh dan Peru)

memberikan peluang kepada pengadilan dapat menyelesaikan perkara

pidana, tanpa melibatkan komponen SPP.

3) Di Indonesia, realita di lapangan membuktikan bahwa penyelesaian di

luar SPP ( di luar pengadilan) memang dilakukan, antara lain untuk

kasus-kasus ( ada 21 kasus yang dibahas dalam disertasi Dr. Eva

Achjani Zulfa, S.H., M.H.) misalnya: kecelakaan lalu-lintas, pencurian,

pemerkosaan, penganiayaan, dan pencemaran nama baik. Dalam

kasus-kasus temuan ini penyelesaian konflik dilakukan oleh anggota

masyarakat sendiri atau ada pula dengan melibatkan petugas penegak

hukum atau ada pula oleh lembaga adat.

4) Pendekatan restorative justice sangat mungkin diterapkan di

Indonesia, dalam berbagai jenis tindak pidana yang sifatnya umum,

tetapi bukan merupakan tindak pidana yang sifatnya: pelaku dan

korban tidak jelas; delik politik; mengancam masyarakat secara luas.

Daftar pustaka

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 15

Page 16: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

Reksodiputro, Mardjono, (2013). Mata Kuliah Seminar Manajemen Sekuriti (Swakarsa), bahan bacaan wajib perkuliahan, Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia.

-----------------------------------, (2013). Ilmu Kepolisian Indonesia. Bahan bacaan wajib perkuliahan, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia.

Suparlan, Parsudi, (2004). Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, Bab 3: Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat. Umar, Bambang Widodo, Perubahan Sosial dan Pembangunan,  Program S2 Magister Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, Jakarta.

Zulfa, Eva Achjani, (2009). Keadilan Restoratif, Jakarta: Badan Penerbit FH Universitas Indonesia.

Webset-Internet:

http://www.metro.polri.go.id/kemitraan-polri/problem-solving.

http://evacentre.blogspot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html.

http://ratnandoet.wordpress.com/konflik-sosial/.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-.

Alhamdulillah.., Selesai.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 16

Page 17: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

Keagungan Illahi,,

Terima Kasih, Terima Kasih, Terima Kasih.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 17

Page 18: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

Do'a Pengantar Tugas

DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

YA ALLAH,ATAS RAHMAT DAN PETUNJUKMU,PAGI INI KAMI SIAP MELAKSANAKAN TUGAS,BERBAKTI KEPADA BANGSA DAN NEGARA, SINARILAH HATI KAMI DENGAN NUR PETUNJUK-MU, SEMOGA TUGAS DAN KEWAJIBAN YANG KAMI EMBAN UNTUK MEMELIHARA KAMTIBMAS, MENEGAKKAN HUKUM, MEMBERIKAN PERLINDUNGAN, PENGAYOMAN DAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT DAPAT BERMANFAAT BAGI KEJAYAAN BANGSA DAN NEGARA.

YA ALLAHJIWAILAH TEKAD PENGABDIAN KAMI DENGAN KEIMANAN, KESABARAN DAN KEIKHLASAN, TUNTUNLAH KAMI KE JALAN YANG ENGKAU RIDHAI DAN BIMBINGLAH KAMI UNTUK MEWUJUDKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT, SINERGITAS KEMITRAAN DAN PELAYANAN PRIMA KEPOLISIAN.

YA ALLAH YANG MAHA BESARDEMI TERWUJUDNYA POSTUR POLRI YANG PROFESIONAL, TRANSAPARAN DAN AKUNTABEL BERILAH KAMI PETUNJUK DAN HIDAYAHMU, AGAR MAMPU BERSIKAP JUJUR, TERPERCAYA DAN BERTANGGUNG JAWAB, MENAMPILKAN KETELADANAN,MELAYANI DENGAN KETULUSAN, MENJADI KONSULTAN DALAM PEMECAHAN MASALAH, MENJAMIN KUALITAS KINERJA DAN MENJADI ABDI NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME.

YA ALLAH YANG MAHA PENGASIHAMPUNILAH DOSA DAN KEKHILAFAN KAMI SERTA TERIMALAH BAKTI DAN DOA KAMI,AAMIIN.

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 18

Page 19: Pemolisian Komuniti Tetap Harus Memperhatikan Ham Dan Konsep

Dedi Vitriyanto/No.2-Regular-MS/KIK-UI XVIIIPage 19