Upload
asyifaa-purnamiwulan
View
103
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENATALAKSANAAN TETANUS
Edlich et al menyebutkan tiga hal yang harus dilakukan pada manajemn tetanus, yaitu :
1) Memberikan perawatan suportif sampai tetanospasmin yang telah berikatan dengan
jaringan termetabolisme
2) Menetralisir toksin dalam sistem sirkulasi
3) Menghilangkan sumber tetanospasmin
Thwaites merangkum penatalaksanaan berupa :
1) Eradikasi bakteri kausatif
2) Netralisasi antitoksin yang belum terikat
3) Terapi suportif selama fase akut
4) Rehabilitasi
5) Imunisasi
Eradikasi bakteri kausatif
Thwaites menganjurkan penggunaan antibiotik Metronidazole 500mg per oral atau
intravena selama setiap 6jam selama 7-10 hari. Hadded et al menyarankan metronidazol
15mg/kgBB saat awal diikuti 20-30mg/kgBB/hari selama 7-14 hari atau sampai hilangnya
tanda-tanda infeksi lokal yang aktif. Penicillin dapat digunakan dengan dosis 100.000-
200.000 IU/kg/hari. Pada pasien dengan alergi penisilin disarankan untuk menggunakan
Tetrasiklin atau Eritromisin. Antibiotik ini digunakan untuk membunuh bakteri anaerob yang
berkembang dari luka yang merupakan port d’entry dan untuk membunuh Clostridium
Tetani.
Manajemen Luka
Luka dapat digolongkan menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak
rentan tetanus. Dengan kriteria :
Luka rentan tetanus Luka yang tidak rentan tetanus
>6-8 jam < 6 jam
Kedalaman > 1 cm Superficial (>1 cm)
Terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulsi, atau hancur (ireguler) Bentuk linear, tepi tajam
Denervasi, iskemik Neuro/vaskuler intak
Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik) Tidak terinfeksi
Setelah menentukan jenis luka lakukan anamnesa riwayat imunisasi pada pasien. tetanus
toxoid diberikan pada pasien dengan imunisasi booster terakhir lebih dari 10 tahun
sebelumnya. Jika imunisasi lebih dari 10 tahun yang lalu diberikan pula TIG.
Dosis Tt :
- Usia ≥ 7 tahun : 0,5 ml (5IU) i.m
- Usia < 7 tahun : Gunakan DTP atau DtaP sebagai pengganti Tt. Jika kontaindikasi
terhadap pertusis, berikan DT, dosis 0,5 ml i.m
Dosis TIG:
- Profilaksis dewasa : 250-500 U i.m pada ekstrimitas kontralateral lokasi penyuntikan
Tt.
- Profilaksis anak : 250 U i.m pada ekstremitas kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
(Catatan : Dosis yang digunakan secara klinis 3000-10000 U i.m)
Rekomendasi Manajemen Luka Traumatik :
1. Semua luka harus dibersihkan dan debridemen sebaiknya dilakukan jika perlu
2. Dapatkan riwayat imunisasi tetanus pasien jika mungkin
3. Tetanus Toxoid (Tt) harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun.
jika riwayat imunisasi tidak diketahui, Tt dapat diberikan
4. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka Tetanus Immune
Globuline (TIG) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemeberian
TIG.
Netralisasi antitoksin yang belum terikat
Tetanospasmin akan terikat secara ireversibel dengan jaringan, dan hanya toksin yang
tidak terikat sajalah yang dapat dinetralisir. Imunisasi pasif dengan Human Tetanus Immune
Globuline (HTIG) akan memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan meningkatkan angka
keselamatan (survival rate). Dosis yang dianjurkan oleh El Hadded et al adalah 500 unit
HTIG diberikan secara intramuskular segera setelah diagnosis tetanus ditegakkan.
Bagian Saraf RS Hasan Sadikin Bandung masih menggunakan pemberian ATS (Anti
Tetanus Serum) dengan dosis 10.000 IU diberikan intramuskuler. Pemberian dilakukan saat
awal pasien ditegakkan diagnosis tetanus. Berdasarkan penelitian Wijaya (2007) didapatkan
efektivitas ATS masih sama baiknya dengan terapi HTIG 500 IU, meskipun pada
penggunaan HTIG menunjukan tendensi angka kematian yang lebih rendah.
Terapi suportif selama fase akut
1. Kekuatan otot dan rigiditas/spasme otot
Pada pasien tetanus kelainan yang paling menonjol adalah adanya kekakuan otot atau
rigiditas yang menyebabkan nyeri. Pasien direkomendasikan untuk menghindari
stimulasi yang tidak perlu. Terapi utama untuk spasme otot ini adalah benzodiazepin.
Benzodiazepin akan memperbesar GABA Agonis dengan cara menghambat inhibitor
endogen di reseptor GABAA. Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas yang baik
dengan efek depresi nafas yang lebih rendah dibanding dengan golongan barbiturat.
Diazepam juga memiliki efek antikonvulsan dan muscle relaxation, sedatif dan
anxiolytic. Efek maksimal dalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit. Dosis yang
dianjurkan adalah 0,5-10 mg/kg untuk dewasa atau sebagai berikut :
- Spasme ringan : 5-20 mg p.o. setiap 8 jam bila perlu
- Spasme sedang : 5-10 mg i.v. bila perlu, tidak melebihi dosis 80-120 mg dalam
24 jam atau dalam bentuk drip.
- Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml dextrose 5% dan diinfuskan dengan
kecepatan 10-15mg/jam diberikan dalam 24 jam.
Jika efek sedasi tidak cukup untuk emnghentikan spasme makan perlu diberikan
neuromuscular blocking agents dan ventilator dengan mode intermittent positive
pressure. Untuk efek ini digunakan pacuronium, namun obat ini dapat menginhibisi
re-uptake katekolamin dan dapat memperberat instabilitas otonom pada kasus yang
berat. Vecuronium kurang menyebabkan efek samping pada jantung dan pada
pelepasan histamin, namun kerjanya singkat.
Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan dosis 70
mg/kgBB dalam bentuk larutan dextrose 5 % 100ml secara intravena melalui infus
selama 30 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2gram/jam (<60 tahun) dan 1
gram/jam (≥60 tahun) dalam larutan dextrose 5% 500ml, diberikan selama 6 jam.
Dosis kemudian dititrasi dengan cara menaikkan dosis 0,5 gram (<60 tahun) atau 0,25
gram (≥60 tahun) setiap 6 jam sampai spasme umum (kejang) terkontrol. Kurangi
dosis 0,25 gram/jam sampai terkontrol spasme dengan dosis efektif minimum.
Observasi keluaran urin per jam, kemempuan batuk, refleks patella, respirasi, tekanan
darah dan kadar magnesium setiap 3 hari sekali atau setiap hari bila terdapat tanda-
tanda toksisitas, tanda klinis hipokalsemia, pemeriksaan kada kalsium dilakukan
setiap 3 hari.
2. Kontrol disfungsi otonom
Disinhibisi otonom dapat diatasi baik dengan cara nonfarmakologis maupun
farmakologis. Pemberian cairan 8 liter per hari (fluid floading) disertai dengan
pemberian sedasi. Dapat diberikan morfin dengan dosis 20-180 mg per hari.
Propanolol untuk mengatasi hipertensi episodik dan takikardi dengan dosis 5-10 mg,
dapat dinaikkan hingga 40mg tiga kali sehari, dosis yang biasa digunakan adalah 5-20
mg tiga kali sehari.
Atropin hingga dosis 100 mg per hari dapat diberikan pada kasus diaforesis,
bradiaritmia dan hipersekresi. Clonidine digunakan secara oral maupun parenteral
untuk mengurangi efek simpatis sehingga mengurangi tekanan arterial, denyut
jantung, dan pelepasan katekolamin dari medula adrenal.
Magnesium sulfat dapat digunakan pada pasien tetanus dengan penggunaan
ventilator bermanfaat untuk mengurangi komplikasi disotonomi, sedangkan pada
pasien tanpa ventilator diambil manfaat antispasmenya. Magnesium adalah obat
presynaptic neuromuscular blocker. MgSO4 diyakini dapat memblok pelepasan
katekolamin dari saraf dan medula adrenal, mengurangi respon reseptor untuk
melepaskan katekolamin, dan merupakan antikonvulsan serta vasodilator.
3. Komplikasi Respirasi
Rigiditas otot dan spasme dinding dada, diafragma, dan perut menyebabkan
retriksi nafas. Penurunan kemampuan batuk akibat rigiditas, spasme dan sedasi
menyebabkan atelektasis dan risiko pneumonia meningkat. Ketidakmampuan menelan
saliva, sekresi saliva yang masif, spasme faring, peningkatan tekanan intraabdomen
dan statis gaster secara keseluruhan menyebabkan peningkatan resiko aspirasi.
Hiperventilasi dapat terjadi karena rasa takut, gangguan otonom, atau perubahan
fungsi batang otak. Trakeostomi dilakukan pada pasien dengan Patel Joag 3 keatas.
Pada stadium IV dan V trakeostomi tidak secara signifikan mengurangi kematian.
4. Miokarditis dan gangguan kardiovaskuler lain
Gejala klinis berupa fatigue, demam, dyspneu d’effort, takikardi, takipnue, dan
lain-lain. ACE Inhibitor untuk mengatasi hipertensi dan disfungsi ventrikel kiri.
Digoksin digunakan untuk menimgkatkan kontraksi sistolik miokardium. Beta
adrenegic blocker digunakan untuk menurunkan cardiac output dan menurunkan
resistensi pembuluh darah perifer.
5. Gangguan gastrointestinal
Sering terjadi pendarahan lambung, maka dapat diberikan Ranitidine dengan
dosis 150mg setiap 8 jam sekali. Sebaiknya tidak dilakukan puasa jika pendarahan
lambung tidak terlalu berat. Hilang darah yang masif dapat diganti dengan pemberian
transfusi darah.
6. Gangguan renal dan elektrolit
Hipernatremia dikoreksi dengan pemberian dextrose 5%. Hiponatremi
dikoreksi dengan pemberian normal saline pada excessive salt loss atau retriksi cairan
dan menghindari pemberian diuretik pada hiponatremi dilusional.
7. Miscellaneous
Penurunan berat badan sangat sering terjadi pada pasien tetanus. Diet
diberikan 3500-4500 kalori per hari, dengan perbandingan 100-150 gram protein
dalam bentuk semilikuid atau likuid diberikan melalui tabung nasogaster.
Status imunisasi DPT Primer dan Pengulangan TT dalam 10 tahun terakhir
Tidak perlu vaksinasi HTIg diberikan 250 IU dalam 1ml i.m pada deltoid atau daerah glutea. Jika lebih dari 24 jam terpapar setelah luka, atau ada resiko kontaminasi berat, atau pasca luka bakar, dosis rekomendasi 500 IU.
Status imunisasi primer dan dosis terakhir diberikan lebih dari 10 tahun
Dosis Tt tunggal diberikan 0,5ml s.c/i.m pada otot deltoid atau glutea
Dosis tunggal Tt+HITg sama seperti diatas, dengan menggunakan spuit yang berbeda dengan lokasi yang berbeda.
Tidak diimunisasi atau status imunisasi tidak diketahui pasti
Vaksin Tetanus Toxoid diberikan secara penuh (5 dosis) 0,5 ml dengan interval > 4 minggu
Dosis tunggal Tt+HITg sama seperti diatas.
(kegawatdaruratan dari dokter sama ky uti nmr 4)
KOMPLIKASI
Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan otot-otot
pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta
kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi
rhabdomyolisis dan renal failure (Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system,
Raven Press Ltd, New York, 1991, 603 -620.. )
PROGNOSIS
Prognosis tetanus diklassikasikan dari tingkat keganasannya, dimana :
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum ( generalized spasm )
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat ; bila kejang umum yang berat sering terjadi.
(Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205-1207. )