Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang tidak pernah memberatkan umatnya.
Ajaran islam selalu relevan dalam setiap zaman. Oleh karena itu,
diperlukan pemahaman mengenai islam kontekstual. Islam kontekstual
yaitu islam yang dipahami sesuai dengan situasi dan kondisi dimana islam
itu dikembangkan. Adanya islam kontekstual didasarkan pada latar
belakang sejarah ketika islam diturunkan, sebagaimana diturunkannya Al-
Qur‟an. Al-Qur‟an yang diturunkan di Mekkah dengan Al-Qur‟an yang
diturunkan di Madinah tentu memiliki corak dan isi kandungannya,
disebabkan karena perbedaan sasaran, tantangan, dan masalah yang
dihadapi. Maka sangat penting untuk kita memahami dan mempelajari
islam kontekstual.
Allah telah memberikan kedudukan kepada Nabi Muhammad saw
sebagai Rasulullah yang mengemban tugas untuk menjelaskan Al-Qur‟an,
dipatuhi oleh orang-orang yang beriman, sebagai uswatuh hasannah, dan
rahmat bagi sekalian alam. Untuk mengetahui hal-hal yang oerlu
diteladani ataupun yang tidak diteladani perlu dilakukan penelitian.
Dengan demikian, dapat diketahui hafits nabi yang berkaitan dengan itu.
Hal-hal yang berkaitan dengan hadits tersebut merupakan sebaguan dari
faktor-faktor yang melatar belakangi pentingnya penelitian hadits.
Penelitian hadits ini dilakukan bukan untuk meragukan hadits, tetapi lebih
kepada kehati-hatian untuk mengambil dasar hukum. Inilah bukti bahwa
kita benar-bemar ingin mengikuti nabi Muhammad dan menjalankan
islam sepenuhnya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ditunjukkan untuk merumuskan
permasalahan yang akan di bahas pada pembahsan dalam makalah.
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah, sebagai
berikut :
2
1. Apakah yang dimaksud dengan Islam Kontekstual secara bahasa,
istilah dan menurut beberapa ahli?
2. Apa saja macam-macam Studi Islam Kontekstual?
3. Bagaimana Kontekstual Islam di Indonesia?
4. Bagaimana Sejarah Penelitian Hadits?
5. Apa Saja Objek Penelitan Hadist?
6. Apa Saja Model Peneliatian Hadits?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini bertujuan untuk mencari
pembahasan dari rumusan masalah yang tercantum dalam makalah ini.
Ada pun tujuan makalah, sebagai berikut :
1. Mengetahui makna Islam Kontekstual secara bahasa, istilah dan
menurut para ahli.
2. Mengetahui macam-macam Studi Islam Kontekstual.
3. Mengetahui Kontekstual Islam di Indonesia.
4. Mengetahui Sejarah Penelitian Hadits.
5. Mengetahui Objek Penelitan Hadist.
6. Mengetahui Model Penelitian Hadits.
3
PEMBAHASAN
A. Studi Islam Kontekstual
1. Pengertian Studi Islam Kontekstual
Konsep islam dalam perspektif konstektual memaknai islam
sebagai sebuah agama yang bersifat universal dan progresif. Secara
bahasa inggris kontekstual berasal dari kata “context” yaitu istilah
yang berhubunguan dengan konteks, suasana dan keadaan. Secara
istilah, konstektual secara umum berarti kecenderungan suatu aliran
atau pandangan yang mengacu pada dimensi konteks yang mengacu
pada dimensi konteks yang tidak semata – mata bertumpu pada makna
teks secara lahiriyah tetapi juga melibatkan dimensi sosiohistoris dan
keterlibatan subjektif penafsir dalam aktivitas penafsirannya
Menurut Didik Ruspandi (2018), Studi Islam Konstektual
mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam perlu secara totalitas,
tidak sepotong atau sepihak, serta kontekstual. Pemahaman atas ajaran
Islam secara parsial, misalnya, hanya menekankan bidang syariah saja,
tauhid saja, atau akhlak saja, tanpa memperdulikan pentingnya isu
kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam, akan
mengakibatkan pemahaman kita terhadap ajaran Islam menjadi sempit
dan tidak aktual. Hal ini dapat kita jelaskan jika kita melakukan studi
islam secara kontekstual. Islam kontekstual memahami ajaran Islam
secara normative baik dari alqur'an maupun hadis dan menjadikannya
sebagai dasar untuk menentukan norma etik dalam kehidupa riil dapat
disebut sebagai kajian Islam secara kontekstual. Sementara memahami
ajaran normative dan meletakannya kedalam subsistem kebudaan,
peradaban yang melingkupi umat Islam sesuai dengan ruang dan
waktunya disebut sebagai studi Islam kontekstual. Harun Nasution
menyebut bahwa memahami ajaran Islam secara normative dan
menarik inti ajaran Islam itu sebagai pegangan universal untuk
menentukan nilai-nilai kehidupan dapat disebut sbagai polarisasi atau
manhaj dalam rangka menghidupkan dan mengembangkan ajaran
4
Islam secara riil. Singkatnya islam secara kontekstual dipahami
sebagai ajaran gama yang particular dimana, pemeluknya dapat
melakukan koreksi adaftatif atas fenomena dimana pemeluknya itu
hidup.
Secara terminologi, kontekstual menurut Noeng Muhadjir di bagi
menjadi 2 pengertian yaitu:
a. Berbagai usaha untuk memahami makna dalam rangka
mengantisipasi masalah-masalah sekarang yang biasanya muncul.
b. Makna yang melihat relevansi masa lalu, sekarang dan akan dating
dimana sesuatu akan dilihat dari titik sejarah lampau, makna
fungsional seakrang dan prediksi makna yang relevan di masa yang
akan datang.1
2. Macam-macam Pendekatan Studi Islam Kontekstual.
a. Pendekatan Historis, merupakan kajiian sebagai salah satu
pendekatan yang dapat juga digunakan dalam mempelajari agama
islam yang bertujan untuk membahas peristiwa sejarah.
b. Pendekatan Antropologi, merupakkan salah satu upaya untuk
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat.
c. Pendekatan Sosiologi, merupakan suatu kajian sebuah studi atau
penelitian untuk mempelajari dan memahami kebersamaan dalam
masyarakat.2
3. Islam Kontekstual di Indonesia
Pemahaman islam kontekstual dibangkitkan kembali di Indonesia
setelah melihat adanya sebagian orang yang memahami islam
sekehendak hatinya dan lepas dari konteksnya. Mereka memanfaatkan
popularitas dengan alih profesi sebagai pengajar agama. Mereka sering
memahami ayat dengan cara memukau tapi lepas dari konteksnya. Ini
1 Solahuddin, “Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual Dalam Penafsiran Al-Qur’an,” Desember
2016, 117. 2 “Pendekatan Kontekstual Studi Isalm Historis Antropologi, Dan Sosiologi,” March 5, 2020.
5
harus diluruskan, dengan cara mereka melarang berdakwah atau
mengajarkan agama, namun demi menjaga kemurnian agama dan
penyalahguanan, seharusnya pemahaman terhadap konteks ayat al-
Qur‟an sebagaimana dijabarkan dalam ilmu Asbab al-Nuzul dan
konteks hadits. Dalam kaitan ini masalah sejarah kehidupan orang
Arab dan berbagai tradisi yang berkembang serta situasi yang terjadi
pada ayat-ayat dan hadist-hadis tersebut mucul harus dikaji. Dan jika
hal ini tidak dilakukan maka yang bersangkutan harus didampingi oleh
pakar ahli dalam bidangnya.
Pendekatan kontekstual dalam mempelajari ajaran islam Indonesia
di motori oleh Jalaluddin Rahmad dalam bukunya yang berjudul
“ Islam Aktual”.3
B. Metode Penelitian Hadits
1. Sejarah Penelitian Hadits
Secara historis, sesungguhnya penelitian hadis dalam arti upaya
untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan
dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang
sederhana. Pada masa ini masih dalam bentuk konfirmasi, yakni para
sahabat yang tidak secara langsung mendengar dari beliau, tetapi dari
sahabat lain yang mendengarkannya. Mereka kemudian pergi menemui
Rasulullah apakah sesuatu benar-benar dikatakan oleh beliau. Dengan
demikian, para sahabat dapat secara langsung mengetahui valid dan
tidaknya hadis yang mereka terima. Praktik penelitian hadis dengan
pola konfirmasi tersebut berhenti dengan wafatnya Rasulullah. Namun
bukan berarti kritik atau penelitian hadis telah kehilangan urgensinya.
Pada periode selanjutnya, penelitian hadis lebih bersifat
komparatif, yakni tidak hanya mengandalkan kekuatan hafalan belaka
namun juga dilakukan perbandingan pada data tertulis yang ada.
3 “Studi Islam Indonesia ‘Islam Kontekstual,’” March 6, 2020.
6
Pada masa selanjutnya, yakni permulaan abad kedua Hijriyah,
timbul pemikiran khalifah Umar bin Abdul Aziz al Amawi untuk
meneliti hadis dan mengumpulkannya. Untuk itu, khalifah menyurati
amil atau gubernurnya dan meminta mereka untuk meneliti dan
mengumpulkan hadis karena khawatir akan perkembangan ilmu-ilmu
keagamaan serta ulama-ulama habis meninggal dunia. Sehingga para
perawi hadis mulai menyusun hadis-hadis yang diriwayatkan menurut
babnya dan membukukannya. Pembukuan yang terjadi sekitar tahun
145 H ini masih bercampur dengan ucapan-ucapan sahabat dan tabi‟in.
Dalam periode selanjutnya timbullah usaha untuk membersihkan
hadis-hadis Nabi sehingga tidak bercampur dengan ucapan-ucapan
sahabat dan tabi‟in. Kitab yang tersusun terkenal dengan nama
musnad, diantaranya yang sampai kepada kita adalah Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal. Kitab tersebut disebut musnad karena didalamnya
dikumpulkan menurut sanadnya, tanpa menghiraukan persoalan yang
diterangkan dalam hadis tersebut. Misalnya dikumpulkan hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, „Aisyah dan lain-lain.
Kemudian diteruskan dengan periode penyaringan, artinya meneliti
mana hadis yang sahih dan mana pula yang dha‟if . Orang yang berdiri
di barisan paling depan dalam usaha ini adalah Imam Bukhari dengan
kitab hadisnya Shahih Bukhari dan Imam Muslim dengan kitab
hadisnya Shahih Muslim. Keduanya menjadi pedoman dan pandangan
yang kemudian diikuti oleh Abu Daud dengan kitab Sunan Abu Daud,
Ibnu Majah dengan kitab Sunan Ibnu Majah, Al Tirmizi dengan kitab
Sunan al Tirmizi, Al Nasa‟I dengan kitab Sunan al Nasa‟i. Kitab-kitab
mereka ini dikenal dengan Kutub al Sittah dan bersama dengan
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal terkenal dengan Kutub al Sab‟ah.
Tetapi masih banyak lagi ulama lain yang meneliti dan menghasilkan
kitab hadis meskipun tidak mencapai derajat yang tinggi di kalangan
umat islam. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah
otentisitas hadis secara historis dan ilmiah dapat dibuktikan serta
bagaimana cara yang harus ditempuh. Sehingga para ahlipara ahli
7
hadits tertantang untuk menciptakan ilmu penelitian atau kritik hadits
yang menyangkut sanad hadits dan matan hadits.
2. Obyek Penelitian Hadits
Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya,
bahwa obyek penelitian hadis meliputi 2 hal sebagai berikut:
a. Rawi hadits, adalah orang yang menyampaikan atau
menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar
atau diterimanya dari seseorang (gurunya). Seringkali sebuah
hadits diriwayatkan oleh bukan hanya satu rawi, akan tetapi
oleh banyak rawi.
b. Sanad Hadits, adalah jalan yang menyampaikan kita pada
matan hadits atau rentetan para rawi yang menyampaikan
matan hadits. Dalam hubungan ini dikenal dengan istilah
musnid, musnad dan isna.
Musnid adalah hadits yang seluruh sanadnya disebutkan
sampai kepada Nabi SAW (pengertian ini berbeda dengan
kitab musnad).
Isnad adalah keterangan atau penjelasan mengenai sanad
hadits atau keterangan mengenai jalan sandaran suatu
hadits.
Sebagai sumber ajaran islam yang ke dua setelah al-Qur‟an,
keberadaan hadits telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang
kehidupan. Di lihat dari pendekatan kebahasaan, Hadits berasal dari
bahasa arab حدث
ث
حد
ث
يحد
ث
,hadatsa, yahdutsu,hadtsan) حد
haditsan). Dari segi istilah hadits merupakan perkataan, perbuatan,
ketetapan dan persetujuan dari nabi Muhammad SAW yang dijadikan
landasan syariat islam.
8
3. Model Penelitian Hadits
a. Model Penelitian Hadits M. Qurish Shihab
Penelitian yang penilitian yang dilakukan Quraish Shihab
terhadap hadits menunjukkan jumlah tidak lebih banyak jika di
bandingkan dengan penelitian terhadap al-Qur‟an.bahan-bahan
penelitian yang digunakan beliau adalah bahan kepustakaan atau
bahan bacaan, yaitu sejumlah buku yang di tulis para pakar di
bidang hadits atau termasuk pula al-Qur‟an. Sedangkan sifat
penelitiannya deskriptif analitis, dan buka uji hipotesis hasil
penelitian hadits tentang fungus hadits terhadap al-Qur‟an,
menyatakan bahwa al-qur‟an menekankan bahwa Rasulullah SAW
berfungsi menjelaskan Firman-firman Allah. Contoh metode
penelitian hadits oleh M. Quraish Shihab
ذ ت
حل
وا
ه ربد عن
ه ل ي
هو خ
ف
هم حرمت الل
عظ ومن ي
لك
ان وث جس من ال نبوا الر
اجت
م ف
يك عل
ىل ما يت
اعام ال
ن م ال
كل
ور ول الزنبوا ق
واجت
Artinya : Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa
mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumat) maka
itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu
semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu
(keharamannya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-
berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (QS. Al-Hajj:
30)
Fungsi dari al-Sunnah adalah memperjelas, merinci, bahkan
membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur‟an. Yaitu
memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-qur‟an yang
masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat al-
Qur‟an yang masih Muthalaq dan memberikan Takhshish
9
(penentuan khusus) ayat-ayat al-Qur‟an yang masih umum
misalnya perintah mengerjakan sembahyang yang tidak di jelaskan
jumlah rakaatnya di dalam al-Qur‟an dan lain-lain. Tetapi, semua
itu telah diterangkan secara terperinci dan di tafsirkan sejelas-
jelasnya oleh hadits. Hadist juga mengambil peran sebagai
menerapkan hukum yang tidak di dapati di dalam al-Qur‟an.
Contohnya pada hadits yang berbunyi “tidak boleh seseorang
mengumpukan (memadu) seorang wanita dengan ammab (saudari
bapak) nya dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibunya)”.
(HR Bukhari Muslim), dan hadits yang artinya” Sungguh Allah
telah mengharamkan mengawaini seseorang karena sepersusuan,
sebagaimana halnya Allah telah mengharamjlkannya karena
senasab” (HR Bukhari Muslim). Materi hukum yang di tetapkan
keharamannya oleh ke dua hadits tersebut tidak di jumpai dalam al-
Qur‟an, sehingga nabi Muhammad SAW mengambil inisiatif untuk
mengharamkannya.
b. Model Mustofa al-Siba‟iy
Mustofa al-Siba‟iy dikenal sebagai tokoh intelektual
muslim dari mesir Mustofa al-Siba‟iy juga menulis buku materi
kajian agama islam. Di antaranya yaitu al-Sunnah wa-Makanatuba
fi al-Tasyri’I al-Islami dalam bukunya itu bercorak eksploratif
dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara
deskriptif analitis. Hasil penelitian yang dilakukan Musthofa Al-
Siba‟iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan
tersebaranya hadits dari Rasulullah sampai terjadinya upaya
pemalsuan hadits dan usaha para ulama untuk membendungnya,
dengan melakukan pencatatan sunnah, dibukukkannya ilmu
Musthalah al-Hadits, Ilmu Jarh, dan al-Ta‟dil, kita-kitab tentang
hadits-hadits palsu dan para pemalsu dan penyebarannya.
10
c. Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali menyajikan penulisannya tentang
hadits dalam buku yang berjudul Al-Sunnah, Al-Nabawiyyah
Baina Ahl Al-Fiqh Wahl Al-Hadist salah seorang ulama jebolan
Universitas Al Azhar Mesir. Dalam buku tersebut penelitian hadits
yang dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian
eksploratif, yaitu membahas, mengkaji, dan menyelami persoalan
actual yang muncul dimasyarakat untuk diberikan status hukumnya
yang berpijak pada konteks hadits dengan kata lain. Muhammad
Al-Ghazali memahami hadits yang ditelitinya itu dengan melihat
konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan masalah
masyarakat.corak penyajiannya masih bersifat deskristif analipis.
Yakni mendeskripsikan hasil penelitian dan dilanjutkan
menganalisis dengan menggunakan pendekatan fiqih, sehingga
terkesan ada misi pembelaan dan ajaran islam dari berbagai paham
yang dianggapnya tidak sejalan dengan Al-Qur‟an dan Sunnah.
d. Model Zain Al-Din „Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqiy
Model Zain Al-Din „Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-
Iraqiy yang hidup tahun 725/806 tergolong ulama generasi pertama
yang banyak melakukan penelitian hadits. Bukunya berjudul Al-
Taqyiq wa Al-Idlah Syarh Muqaddiman Ibnu Al-Shalah adalah
termasuk kitab ilmu hadits tertua yang banyak mengemukakan
hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan para penelitian dan
penulis hadits generasi berikutnya. Ia disebutkan sebagai penganut
mashaf syafi‟i., belajar di mesir dan mendalami bidang fiqh.
e. Model Penelitian lainnya
Terdapat pula model penelitian hadits yang diarahkan pada
kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif‟at Fauzi Abd Muthallif
pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan Al-Sunnah pada
abad ke-2 hijjriyah. hasil penelitiannya itu dilaporkan dalam
11
bukunya berjudul Tausiq Al-Sunnab fi al-Qurn al-Tsaniy al-Hijjri
Ususubu wa Itijahat.4
4 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam Edisi Revisi, 21 (RAJAWALI, 2014).
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian kontekstual Secara bahasa inggris kontekstual berasal dari
kata “context” yaitu istilah yang berhubunguan dengan konteks,
suasana dan keadaan. Secara istilah, konstektual secara umum berarti
kecenderungan suatu aliran atau pandangan yang mengacu pada
dimensi konteks yang mengacu pada dimensi konteks yang tidak
semata – mata bertumpu pada makna teks secara lahiriyah tetapi juga
melibatkan dimensi sosiohistoris dan keterlibatan subjektif penafsir
dalam aktivitas penafsirannya
2. Macam-macam Pendekatan Studi Islam Kontekstual yaitu, Pendekatan
Historis, Pendekatan Antropolgi dan Pendekatan Soisologi.
3. Obyek Penelitian Hadits yaitu, Rawi Hadits dan Sanad Hadits.
4. Model penelitian Hadits yaitu Model Penelitian Hadits M. Qurish
Shihab, Model Mustofa al-Siba‟iy, Model Muhammad Al-Ghazali,
Model Zain Al-Din „Abd Al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqiy
B. Saran
Dari kesimpulan yang didapat dari hasil makalah, kami ingin
menyampaikan beberapa saran kepada pembaca dan peneliti akan
pentingnya mempelajari metodeologi studi islam agar kita lebih
memahami islam dengan mempelajari konteks-konteks yang terdapat
didalamnya dan paham berbagai bentuk model penelitian Islam dan sebaik
nya hasil penelitian ini dikaji kembali oleh peneliti-peneliti lainnya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam Edisi Revisi. 21. RAJAWALI, 2014.
“Pendekatan Kontekstual Studi Isalm Historis Antropologi, Dan Sosiologi,”
March 5, 2020.
Solahuddin. “Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual Dalam Penafsiran Al-
Qur‟an,” Desember 2016, 117.
“Studi Islam Indonesia „Islam Kontekstual,‟” March 6, 2020.