25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan telah banyak membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. Berkembangnya sarana infrastruktur perekonomian, transportasi, komunikasi, dan industri menjadi bukti keberhasilan pembangunan. Di sektor pertanian, kemajuan yang dicapai dalam meningkatkan produksi pangan nasional telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang mampu berswasembada beras. Walaupun kemudian prestasi tersebut tidak bisa dipertahankan dan kembali menjadi negara pengimpor beras (Hidayat, 2010). Guna memenuhi kebutuhan beras bagi sekitar 275 juta penduduk pada tahun 2020, Indonesia harus meningkatkan produksi beras 1,52% per tahun (Anonim, 2004). Potensi Indonesia untuk mencapai kemandirian beras masih cukup besar. Produksi padi masih dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan lahan-lahan marginal, seperti halnya lahan rawa pasang surut (Sutami, 2005). Pembangunan pertanian yang dilaksanakan di lahan rawa pasang surut berimplikasi terhadap berbagai perubahan sosial di masyarakat terutama sejak dikembangkannya inovasi pertanian melalui penggunaan mekanisasi dan sarana produksi pertanian. Menurut Abbas (1999) walaupun berdampak terhadap peningkatan produksi, tetapi modernisasi pertanian juga memunculkan dampak ikutan lain, seperti pada aspek ekonomi meliputi struktur biaya dan resiko tinggi, aspek sosial meliputi ketimpangan dalam penerimaan keuntungan relatif antar golongan petani, kesempatan kerja, dan pengurangan tenaga kerja karena

PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80292/potongan/S2-2015... · suku Banjar di lahan rawa pasang surut, yaitu sistem tata air mikro H.Idak

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan telah banyak membawa perubahan dalam

kehidupan masyarakat di pedesaan. Berkembangnya sarana infrastruktur

perekonomian, transportasi, komunikasi, dan industri menjadi bukti keberhasilan

pembangunan. Di sektor pertanian, kemajuan yang dicapai dalam meningkatkan

produksi pangan nasional telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang

mampu berswasembada beras. Walaupun kemudian prestasi tersebut tidak bisa

dipertahankan dan kembali menjadi negara pengimpor beras (Hidayat, 2010).

Guna memenuhi kebutuhan beras bagi sekitar 275 juta penduduk pada

tahun 2020, Indonesia harus meningkatkan produksi beras 1,52% per tahun

(Anonim, 2004). Potensi Indonesia untuk mencapai kemandirian beras masih

cukup besar. Produksi padi masih dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan

lahan-lahan marginal, seperti halnya lahan rawa pasang surut (Sutami, 2005).

Pembangunan pertanian yang dilaksanakan di lahan rawa pasang surut

berimplikasi terhadap berbagai perubahan sosial di masyarakat terutama sejak

dikembangkannya inovasi pertanian melalui penggunaan mekanisasi dan sarana

produksi pertanian. Menurut Abbas (1999) walaupun berdampak terhadap

peningkatan produksi, tetapi modernisasi pertanian juga memunculkan dampak

ikutan lain, seperti pada aspek ekonomi meliputi struktur biaya dan resiko tinggi,

aspek sosial meliputi ketimpangan dalam penerimaan keuntungan relatif antar

golongan petani, kesempatan kerja, dan pengurangan tenaga kerja karena

2

penggunaan mekanisasi, konsumsi energi meningkat karena peningkatan sarana

produksi, dan aspek lingkungan berupa kerusakan ekologi. Menurut Sutanto

(2001) modernisasi juga akan mereduksi sistem pertanian tradisional dan

mengubur kearifan lokal.

Modernisasi pertanian di Kalimantan Tengah dilaksanakan seiring dengan

program peningkatan produksi pangan nasional. Tanaman padi adalah komoditas

pangan utama yang menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga dan sebagian

besar masih diusahakan petani secara tradisional. Areal persawahan padi di

Kalimantan Tengah berkembang sebagai sawah rawa pasang surut. Program

modernisasi pertanian semakin dikembangkan ketika pemerintah pada tahun 1996

menetapkan program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di

provinsi Kalimantan Tengah sebagai lahan alternatif lumbung pangan di luar

pulau Jawa akibat telah menyusutnya lahan pertanian subur untuk keperluan

pembangunan di luar sektor pertanian, seperti perumahan, jalan, dan industri.

Banyak inovasi pertanian yang telah diperkenalkan kepada petani di lahan

rawa pasang surut terutama yang berkaitan dengan peningkatan produksi pangan.

Selain ditentukan oleh proses adopsi inovasi, keberhasilan dalam meningkatkan

produksi pangan nasional di lingkungan petani juga terjadi berkat adanya

dukungan sistem komunikasi pembangunan yang dikembangkan pemerintah, oleh

karena pendekatan pembangunan pertanian yang mengacu pada pencapaian

produktivitas pada saat program modernisasi pertanian berlangsung sangat

memperhatikan pada persuasi dan propaganda, maka pemerintah mengacu kepada

model komunikasi satu arah dan berbentuk vertikal dari atas ke bawah (top down).

3

Komunikasi pada saat itu dianggap sebagai suatu fungsi linier yang

mengindentifikasi elemen-elemen utama proses komunikasi pembangunan, yaitu

sumber, pesan, saluran, penerima, dan efek sebagai aliran satu arah (Jahi, 1988).

Sejak pasca swasembada pangan tahun 1990-an, kemudian terjadi

kecenderungan melambatnya adopsi inovasi di tingkat petani dalam meningkatkan

produksi pertanian. Pendekatan model komunikasi pertanian yang cenderung

menerapkan secara luas dan seragam program ketahanan pangan nasional yang

bertumpu pada keunggulan inovasi teknologi telah mengakibatkan terjadinya

stagnasi produktivitas komoditas pangan pertanian serta menurunnya pendapatan

petani. Selain itu, adopsi inovasi teknologi melalui mekanisasi pertanian tanpa

memperhatikan faktor manusia mengakibatkan hilangnya kemandirian petani dan

terjadinya kesenjangan sosial dalam penguasaan lahan serta tumbuhnya partisipasi

semu di masyarakat. Petani menjadi tergantung pada uluran tangan pihak lain

terutama pemerintah dalam pengambilan keputusan inovasi untuk mengelola

usaha pertaniannya yang sesuai dengan keberadaan dan potensi lokal. Dengan

ketergantungan itu berbagai potensi, kreatifitas, kemandirian, dan kearifan lokal

petani menjadi tidak dapat dimanfaatkan (Untung, 2007; Hadiyanto, 2009).

Menurut Jahi (1988) setelah model komunikasi linier satu arah dianggap

kurang sempurna dan tidak memberikan manfaat tumbuhnya kemandirian dan

partisipasi petani pandangan mulai ditujukan pada komunikasi partisipatif.

Komunikasi partisipatif yang bertumpu pada model konvergen berusaha menuju

pengertian yang bersifat timbal balik diantara partisipan komunikasi dalam

perhatian, pengertian, dan kebutuhan bersama yang setiap saat memberikan

4

kontribusi pada transaksi pesan, meskipun dalam derajat yang berbeda (Rogers

dan Kincaid, 1981), sehingga model komunikasi ini dipergunakan dalam

pembangunan pertanian dan membuka jalan tumbuhnya kreativitas serta

kompetensi masyarakat dalam mengkomunikasikan gagasannya.

Pendekatan komunikasi partisipatif dapat menjebatani gap yang terjadi

antara kebutuhan inovasi dari lembaga penghasil teknologi dengan pengetahuan

yang terdapat di petani. Dimana pengembangan modernisasi pertanian selanjutnya

akan menjadi sangat tergantung kepada manfaat optimal dari inovasi yang

diperoleh petani dan hubungan timbal balik antara petani dan pemberi informasi.

Inovasi teknologi pertanian yang dihasilkan harus mampu menyesuaikan diri

dengan perkembangan global dan kebutuhan di tingkat petani, yaitu berdaya saing,

berkelanjutan dan ramah lingkungan. Akses petani untuk memperoleh informasi

dari berbagai sumber teknologi juga harus dapat terbuka luas, sehingga

diharapkan petani menjadi bagian dari masyarakat informasi yang dapat bersama-

sama memanfaatkan inovasi pertanian yang berbasis pada pengetahuan lokalnya.

Dalam pertanian masyarakat tradisional, inovasi sebenarnya telah lama

berkembang walaupun sebatas pada pemikiran lokal. Hubungan masyarakat

dengan lingkungan dan sumberdaya alam dapat dikatakan berkesesuaian dengan

sistem ekologi setempat, sehingga memungkinkan masyarakat mengembangkan

pemahaman terhadap sistem pertanian melalui serangkaian uji coba. Kehidupan

masyarakat tergantung dari dipertahankannya integrasi ekosistem mendapatkan

kebutuhan hidup. Pemahaman petani tentang sistem alam yang terakumulasi

biasanya diwariskan secara komunikasi lisan sebagai bentuk pengetahuan lokal.

5

Pengetahuan lokal dipahami sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok

masyarakat yang hidup di wilayah tertentu, baik masyarakat asli dan pendatang

berkembang dalam lingkup lokal dapat menyesuaikan dengan kondisi kebutuhan

masyarakat dan menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya serta

diekspresikan dalam jangka waktu yang cukup lama (Sunaryo dan Joshi, 2003).

Penyebaran (difusi) inovasi pertanian di lahan rawa pasang surut dengan

pendekatan top-down telah mengalami kegagalan khususnya dalam memanfaatkan

lahan rawa gambut Kalimantan Tengah sebagai sumber pertumbuhan baru

produksi pertanian, hal ini disebabkan karena belum dimanfaatkannya sistem

pengetahuan lokal dalam inovasi pertanian, yaitu belum adanya proses

memadukan antara teknologi petani dengan inovasi sebagai hasil rekayasa

penelitian secara adaptif dan berkelanjutan. Pengembangan sains atau inovasi di

bidang pertanian pada lahan rawa pasang surut seyogyanya dikembangkan dari

sistem pengetahuan lokal masyarakat setempat. Menurut Hidayat (2010)

pengembangan sistem tata air mikro untuk mengatasi kemasaman tanah yang

tinggi pada lahan rawa pasang surut merupakan salah satu bentuk pengembangan

sains dengan mengadopsi sistem pertanian sawah yang dilakukan oleh petani lokal

suku Banjar di lahan rawa pasang surut, yaitu sistem tata air mikro H.Idak.

Selain itu, pada pengembangan model sistem pertanian sawit dupa di

Kalimantan Selatan merupakan suatu bentuk perpaduan antara pengetahuan lokal

dengan inovasi di bidang pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produksi

padi. Dalam model ini petani tetap dapat mengusahakan komoditas padi lokal

yang memang kualitasnya (terutama rasa dan teksturnya yang sesuai dengan

6

selera masyarakat setempat) dan harga yang tinggi serta sekaligus juga

memproduksi padi unggul yang memiliki potensi produksi tinggi dari padi

varietas lokal (Abbas, 1999). Hal ini memperlihatkan bahwa pengetahuan lokal

bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan kondisi yang ada serta

dikembangkan melalui pengalaman petani, sehingga dapat berkelanjutan. Untuk

mengetahui perbedaan antara pengetahuan lokal dan inovasi pertanian di lahan

pasang surut disajikan karakteristik dari masing-masing pengetahuan tersebut.

Tabel 1.1. Komparasi antara Pengetahuan Lokal dan Inovasi Pertanian

Pengetahuan Lokal Inovasi Pertanian

Adaptif dan berkelanjutan Produktivitas dan efisiensi

- Sistem pertanian yang didasarkan padapengetahuan lokal cenderung ramahlingkungan dan mampu menjagakesetabilan dalam pengelolaan lahan rawa

- Produktivitas padi yang dihasilkan masihtergolong rendah (1,8 -3,1 ton/ha)

- Sistem usaha pertanian yang semakintergantung pada teknologi pertanianmodern yang tidak ramah lingkungan

- Introduksi berbagai varietas unggul padinasional yang memiliki potensi hasiltinggi (4-7 ton/ha)

Lingkungan Biofisik (ekosistem) Lokal Lingkungan GlobalSistem budidaya pertanian disesuaikandengan kondisi, ekologi, budaya, danskala lokal dengan siklus sertakeseimbangan ekosistem di alam yangbersifat spesifik lokasi.

- Strategi pembangunan yang terfokuspada pertumbuhan ekonomi tinggimenimbulkan degradasi produksimaupun kualitas lingkungan hidup,akibat pengunaan bahan pertanianan-organik (pupuk dan pestisida)

Orientasi pada sistem dannorma sosial masyarakat

Orientasi pada sistem ekonomi,politik, dan birokrasi

- Sistem organisasi sosial kelembagaanHandil (sistem tata air di tingkat petani)untuk menciptkan kebersamaan dalampengelolaan lahan rawa berkelanjutan

- Sistem kerjasama dan gotong royong(handipan) dalam kegiatan penanaman

- Sistem kerja harian dan borongandalam kegiatan tanam.

- Memenuhi produksi kebutuhan pangandan bahan baku industri, memperluaslapangan pekerjaan, meningkatkankesejahteraan masyarakat, danpembangunan wilayah pedesaan.

- Pembangunan sebagai proses perubahansosial (nilai/norma, interaksi sosial,perilaku, lembaga sosial) untuk mencapaipertumbuhan ekonomi (produksi,pendapatan dan kesejahteraan)

Kemampuan dalam menyimpan danmewariskan pengetahuan lemah, sulitdiidentifikasi, melalui komunikasi lisan.

Kemampuan dalam menyimpan danmewariskan pengetahuan tinggi,sistematis, melalui komunikasi tercetak.

Sumber : Sunaryo dan Joshi (2003); Tjiptoheriyanto (2004); Taufik (2010)

7

Penyebaran inovasi pertanian di suatu wilayah seharusnya tidak hanya

berlandasakan pada manfaat nilai produktivitas ekonomis saja, tetapi juga nilai

tambah sosial secara adil. Masyarakat dipandang sebagai faktor penting yang

diletakan dalam proses kesetaraan. Kegiatan yang menitik beratkan pada

penguatan peran partisipasi masyarakat sebagai subyek pembangunan sejak dari

penggalian kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan penilaian.

Penyebaran inovasi pertanian semestinya dilakukan melalui pendekatan

komunikasi yang dapat mengkondisikan masyarakat untuk dapat menyampaikan

umpan balik, berpendapat, berekspresi, dan mengungkapkan diri secara terbuka

satu sama lainnya, yaitu suatu bentuk komunikasi yang menjadikan masyarakat

memiliki kemampuan dalam memecahkan masalahnya sendiri, memungkinkan

adanya pertukaran informasi antara lembaga penghasil dan penyampai teknologi

dengan petani sebagai pengguna teknologi dalam proses komunikasi yang

berupaya terjadinya pengertian bersama dan tumbuhnya empati.

Pendekatan komunikasi partisipatif lebih berorientasi kepada khalayak

penerima pesan ketimbang kepada sumber teknologi. Proses ini dapat berlangsung

ketika yang menjadi titik masuknya bukan hanya pada masalah pembangunan itu

sendiri, tetapi sasaran dan tujuan ditentukan bersama ditingkat komunitas (Servaes,

2007). Artinya proses komunikasi disesuaikan dengan kelompok sosial tertentu

baik menyangkut isi pesan, budaya, maupun media komunikasi yang digunakan,

bukan mengunakan teknik media dan pesan yang sama untuk kelompok yang

memiliki budaya dan kondisi sosial yang berbeda (Dagron, 2001).

8

Indikasi belum adanya proses komunikasi dalam penyebaran inovasi

pertanian di lahan rawa pasang surut adalah terletak pada penggalian kebutuhan

masyarakat dan perencanaan program yang belum matang dilakukan pemerintah,

karena tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan,

serta pada tahapan implementasi kurang memahami karekteristik lahan rawa

gambut, padahal gambut merupakan ekosistem yang rapuh dan mudah rusak,

sehingga pemanfaatannya sebagai lahan pertanian produktif memerlukan

kecermatan dan kehati-hatian. Apabila salah dalam pengelolaan akan

menimbulkan kerugian lingkungan yang berat dan perlu waktu yang lama untuk

merehabilitasinya. Selain itu program-program pembangunan masyarakat yang

dikembangkan di kawasan PLG cenderung masih berorientasi pada subsektor,

masing-masing instansi terkait memiliki kegiatan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi

dan terpadu satu sama lainnya. Penyuluhan pertanian yang dilakukan juga masih

berorientasi pada pendekatan komoditas, tidak berlandaskan pada kebutuhan

masyarakat setempat, sehingga adopsi inovasi pertanian menjadi kurang efektif.

Paradigma penyuluhan pertanian dewasa ini telah mengalami reorientasi

dari pendekatan monologis kepada pendekatan dialogis, yaitu penyuluhan

partisipatif yang berupaya memprioritaskan kebutuhan petani dan menumbuhkan

partisipasi. Penelitian Chambers (1993) menyatakan pendekatan pembangunan

yang mendahulukan kepentingan petani dikenal dengan farmer first, yaitu

pendekatan penyuluhan yang bercirikan memberdayakan petani. Penyuluhan ini

bertujuan “mengubah petani” bukan “mengubah cara bertani” (Sudono, 2008).

9

Pengalaman pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini memang

terbukti menjadikan kesadaran masyarakat tumbuh dan mampu berpartisipasi

apabila kebutuhan dan kepentingan masyarakat mendapat tempat pada program

pembangunan yang akan dilaksanakan. Peran serta masyarakat dapat ditingkatkan

apabila dalam perencanaan program pembangunan dilakukan melalui proses

komunikasi pembangunan yang partisipatif, yaitu kegiatan pembangunan yang

dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan maupun pemanfaatan hasilnya

selalu melibatkan peran serta masyarakat. Perencanaan bukan hanya menjadi

tugas pemerintah, masyarakat lokal juga dapat membuat suatu perencanaan

pembangunan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan perencanaan partisipatif sebagai

perencanaan yang dilakukan masyarakat lokal bagi program-program yang

memenuhi kebutuhan lokal. Program tidak direncanakan secara top down oleh

pemerintah, tetapi direncanakan masyarakat dan hasilnya benar-benar menjadi

kebutuhan masyarakat. Paradigma perencanaan partisipatif ini ditandai dengan

terakomodasinya aspirasi pihak atas (pemerintah) dan pihak bawah (masyarakat)

dalam program pembangunan wilayah. Menurut Sumardjo (1999) pendekatan

partisipatif lebih menempatkan keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan

dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih

mendorong terjadinya peran serta aktif masyarakat yang lebih luas.

Pengelolaan sumberdaya alam yang top down oriented terbukti telah

memposisikan masyarakat pada ketidakberdayaan, maka dalam pemanfaatan

lahan rawa pasang surut untuk aktifitas pembangunan pertanian dibutuhkan suatu

10

pendekatan program pembangunan yang menekankan pada proses komunikasi

dan partisipasi, sehingga pengetahuan lokal petani dapat dihargai yang selanjutnya

dapat mendorong tumbuhnya inisiatif dari bawah. Kebijakan pemanfaatan lahan

rawa pasang surut memerlukan banyak usaha dan dukungan, antara lain melalui

penelitian. Sistem pertanian padi yang telah lama dilakukan petani dan bagaimana

kegiatan penyuluhan dilakukan dalam melibatkan peran serta petani untuk

memanfaatkan inovasi pertanian yang berbasis pada pengetahuan lokalnya perlu

dikaji lebih lanjut. Upaya ini penting untuk memperbaiki sistem pengetahuan

lokal yang telah dilakukan petani agar dapat diperoleh dan dipertahankan sistem

usahatani padi di lahan rawa pasang surut yang produktif dan berkelanjutan.

1.2. Rumusan Masalah

Pembangunan pertanian di lahan rawa pasang surut diupayakan menuju

pertanian berkelanjutan (sustainable agricultural development) yang selalu

mengintegrasikan pada tiga aspek utama, yaitu pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan, pembangunan sosial yang berkelanjutan, dan pengelolaan kualitas

lingkungan hidup yang berkelanjutan. Konsep tersebut merupakan revisi terhadap

konsep revolusi hijau (green revolution) yang diterapkan pada era pemerintahan

Orde Baru, yaitu orientasi pembangunan pertanian yang lebih mengutamakan

produktivitas dengan menerapkan keunggulan inovasi dan mekanisasi pertanian.

Sebagai bagian dari potensi lahan rawa pasang surut di Indonesia yang

luasnya 39,4 juta hektar, lahan gambut di Kalimantan Tengah diupayakan menjadi

salah satu opsi untuk meningkatkan produksi pangan nasional dan pendapatan

petani yang dikaitkan dengan program transmigrasi. Fakta empiris menunjukkan

11

walaupun program pengembangan lahan gambut ditentang ilmuwan dan pemerhati

lingkungan, pemerintah tetap berketetapan untuk melaksanakannya. Akibat

pemanfaatan yang berlebihan terhadap lahan gambut dan kekeliruan pada

pendekatan sosialisasi dan komunikasi selama program berlangsung, sehingga

lahan yang semula dicanangkan sebagai salah satu sentra penghasil beras Nasional

justru berubah menjadi daerah penghasil asap karena lahan gambut yang mudah

terbakar pada musim kemarau.

Lahan gambut dianggap sebagai lahan bermasalah karena mempunyai sifat

lahan marginal yang kurang subur apabila dikembangkan sebagai lahan pertanian

produktif. Pemanfaatan lahan rawa gambut untuk pertanaman padi memerlukan

pengetahuan khusus, karena sifatnya yang khas dengan berbagai kendala

diantaranya adalah kondisi luapan dan genangan air yang sangat variatif dari satu

wilayah ke wilayah lain, jenis tanah yang sangat beragam dengan tingkat

kesuburan yang rendah dan variatif. Kemasaman tanah dan potensi racun pirit

yang tinggi dapat mematikan tanaman, ketebalan dan tingkat kematangan gambut

yang berbeda, serta kondisi petani yang masih lemah baik dari penguasaan

teknologi dan permodalan, sehingga pemanfaatannya memerlukan kecermatan

dan kehati-hatian dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangannya.

Apabila salah dalam pengelolaan akan menimbulkan kerugian lingkungan yang

lebih besar serta waktu yang lama dalam rehabilitasinya (Adhi et al, 1992).

Secara tradisional lahan gambut telah dimanfaatkan sejak dulu oleh

penduduk lokal sebagai sistem usaha pertanian terpadu khususnya padi. Upaya

petani yang telah menggeluti usahatani dan berinteraksi dengan lahan gambut

12

selama ratusan tahun menghasilkan pengetahuan lokal yang selaras dengan kaidah

keseimbangan dan kelestarian alam.

Masuknya inovasi pertanian kedalam sistem sosial masyarakat yang

memiliki pengetahuan lokal akan mengalami proses adaptasi dan integrasi, seperti

dikemukakan oleh Rogers (1995) bahwa petani akan mempertimbangkan

sejauhmana karakteristik dari inovasi tersebut, diantaranya: a) keuntungan relatif,

yaitu sejauhmana teknologi memberikan keuntungan dari segi ekonomis, b)

kesesuaian dengan cara atau kondisi yang ada pada masyarakat, c) kerumitan,

sejauhmana inovasi teknologi mudah untuk diterapkan, d) kemungkinan untuk

dicoba, dan e) kemungkinan untuk diamati. Kesesuaian antara inovasi dengan

kondisi masyarakat sangat terkait dengan pengetahuan lokal. Karena jika inovasi

tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan cara-cara dan sistem pengetahuan

lokal, maka akan sulit untuk bisa diterima oleh masyarakat bersangkutan.

Beberapa kajian akademik menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan

selama ini dalam mengatasi permasalahan pembangunan pertanian di lahan rawa

pasang surut banyak didasarkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah dan kurang

mengikutsertakan pengetahuan lokal masyarakat, sehingga secara teknis

seringkali mengalami kegagalan. Transfer inovasi pertanian ke lahan petani yang

disampaikan melalui proses penyuluhan pertanian seringkali hanya diadopsi

sebagian atau bahkan tidak diadopsi petani. Para petani umumnya memiliki

sumber daya terbatas dengan kondisi sosial ekonomi atau budaya yang berbeda

dengan kondisi di laboratorium penelitian. Transfer inovasi yang umumnya

melalui pendekatan top down mengakibatkan keikutsertaan masyarakat dalam

13

program pembangunan bukan dalam pengertian partisipasi, tetapi lebih pada

dimobilisasi yang akhirnya menimbulkan sikap petani yang rendah terhadap

program pemanfaatan inovasi pertanian. Dalam konteks partisipasi menjadikan

petani kurang percaya diri, tidak mandiri, tidak kreatif, dan kurang inovatif.

Petani biasanya melakukan berbagai perubahan inovasi atau modifikasi

terhadap berbagai paket teknologi anjuran yang telah disampaikan melalui

kegiatan penyuluhan. Perubahan terhadap inovasi disesuaikan dengan kondisi

ekosistem setempat dan sosial ekonomi petani. Menurut Rogers (1995) perubahan

yang dilakukan oleh masyarakat yang telah menerima inovasi dikenal dengan

konsep reinvensi, yang didefinisikan sebagai sejauhmana suatu inovasi diubah

oleh seorang pemakai dalam proses adopsi dan implementasi atau sejauhmana

penggunaan ide baru oleh seseorang menyimpang dari versi asli pada saat

dipromosikan atau mengenal suatu inovasi.

Terdapat beberapa alasan yang menjadi penyebab mengapa petani

seringkali kurang berpartisipasi, melakukan reinvensi bahkan menolak terhadap

inovasi yang telah dibuktikan dan dikembangkan secara ilmiah dari hasil

penelitian, yaitu: (1) inovasi yang direkomendasikan seringkali belum menjawab

masalah yang dihadapi petani, (2) inovasi yang ditawarkan sulit diterapkan petani

dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang sudah ada, (3)

inovasi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan

kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setempat, (4) penerapan inovasi

membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai,

(5) sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah, sehingga tidak mampu

14

menyampaikan pesan dengan tepat, (6) adanya ketidakpedulian petani terhadap

tawaran inovasi, (7) seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu, dan

(8) adanya ketidakpastian dalam penguasaan sumber daya seperti lahan dan modal

(Sunaryo dan Joshi, 2003).

Gagalnya petani mengadopsi inovasi anjuran bukan dikarenakan mereka

konservatif, tetapi lebih dikarenakan rancang bangun inovasi cenderung belum

sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan ekologi masyarakat tani. Inovasi

seringkali sulit dikonseptualisasikan dan dipahami petani dalam kerangka

tradisional. Sebaliknya di masyarakat petani sendiri terdapat pengetahuan lokal

sebagai milik masyarakat yang sudah diterapkan dan menyatu dengan budaya

mereka. Pengetahuan tersebut sudah berdasarkan pengalaman dan percobaan

yang berulang-ulang sesuai kemampuan masyarakat. Petani dengan mudah

menerapkan teknologi tersebut karena inputnya relatif rendah, resiko kecil,

sedangkan inovasi teknologi umumnya menggunakan input tinggi, resiko besar

dan sering kurang/tidak ramah lingkungan.

Selain itu, rekomendasi inovasi pertanian yang dihasilkan berdasarkan

penelitian ilmiah umumnya dikemas dalam satu paket, juga telah disebutkan pula

bahwa banyak program pembangunan dengan paket teknologi ditujukan ke petani

kurang berhasil. Akan tetapi banyak fakta empiris yang menunjukkan bahwa

terlepas dari ditolaknya inovasi, ternyata para petani juga tertarik pada bagian dari

paket inovasi teknologi tersebut. Ketertarikan akan dilanjutkan dengan uji coba

dan jika hasilnya seperti harapan mereka barulah diadopsi. Para petani seringkali

15

melakukan reinvensi (perubahan atau modifikasi) inovasi yang disesuaikan

dengan pengetahuan, keperluan, dan kebutuhan yang mereka miliki.

Selain belum adanya proses memadukan antara inovasi dengan

pengetahuan lokal kegagalan petani dalam menerapkan inovasi juga disebabkan

oleh pendekatan dan strategi komunikasi pembangunan pertanian yang pada

umumnya terletak pada tingkat implementasi program dimana model pendekatan

dari komunikator (sumber informasi) yang keliru, sehingga mengakibatkan

kurangnya partisipasi petani dalam program tersebut. Inovasi yang dikembangkan

seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna dan pendekatan

komunikasi teknologi pertanian belum mempertimbangkan aspek lokalitas untuk

meningkatkan keefektifan, efisiensi, dan kecepatan prosesnya dari alih teknologi

serta ketidaktepatan dalam mengemas pesan dan pemilihan saluran merupakan

salah satu penyebab kegagalan adopsi inovasi di tingkat petani.

Adopsi inovasi yang mengikutsertakan potensi pengetahuan lokal

dianggap sebagai salah satu cara untuk memotivasi dan memfasilitasi petani untuk

membangun dan meningkatkan produksi pertanian di wilayahnya. Tujuan ini

dapat tercapai bila dilakukan melalui proses komunikasi partisipatif yang secara

timbal balik (reciprocal) dilakukan antara penyuluh pertanian sebagai agen

perubahan dan masyarakat petani, dimana masyarakat diajak untuk turut bersama-

sama merencanakan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginannya,

melaksanakan dan memberikan penilaian terhadap apa yang akan dan telah

dilaksanakannya. Melalui penyuluhan pertanian, inovasi dikomunikasikan kepada

masyarakat sekaligus menghilangkan berbagai hambatan terutama dalam hal

16

tukar-menukar informasi maupun berbagai kesenjangan dalam adopsi inovasi dan

pengetahuan lokal petani serta dapat membuka ruang partispasi masyarakat untuk

terlibat langsung dalam program usahatani padi di lahan rawa pasang surut.

Partisipasi petani sebagai subyek pembangunan pertanian dalam penelitian ini

dilihat dari penguatan peran masyarakat sejak dari penumbuhan ide atau

penggalian permasalahan usahatani, perencanaan inovasi, pelaksanaan program

inovasi, dan pemantauan-evaluasi hasil inovasi.

Kegiatan penyuluhan pertanian dalam upaya menyebarluaskan inovasi

padi di lahan rawa pasang surut dapat berperan dalam mendorong terjadinya

komunikasi partisipatif antara petani dan penyuluh dan pemanfaatan media

informasi komunikasi oleh petani dapat memperkuat persepsi petani terhadap

inovasi, yang kemudian dapat membentuk sikap petani untuk menerapkan inovasi.

Penerapan komunikasi partisipatif dalam penyebaran inovasi padi yang

memadukan pada pengetahuan lokal petani ini menarik untuk dikaji dengan

memperhatikan faktor-faktor adopsi inovasi yang mempengaruhi.

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan,

maka pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah komunikasi partisipatif

dan faktor-faktor adopsi lainnya, seperti karakteristik inovasi, kegiatan

penyuluhan pertanian dan media informasi komunikasi telah dijadikan dasar

dalam membentuk sikap dan perilaku petani untuk menerapkan dan melakukan

modifikasi inovasi padi, dan sejauhmana faktor-faktor adopsi inovasi tersebut

mempengaruhinya ? Secara lebih rinci, permasalahan penelitian (research

question) dirumuskan sebagai berikut:

17

1. Bagaimana bentuk-bentuk pengetahuan lokal petani dan inovasi padi di lahan

rawa pasang surut Kalimantan Tengah ?

2. Bagaimana pandangan petani terhadap karakteristik inovasi padi, penyuluhan

pertanian, komunikasi partisipatif petani, pemanfaatan media informasi

komunikasi, sikap petani dan modifikasi inovasi padi yang dilakukan petani

di lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah ?

3. Sejauhmana pengaruh karakateristik inovasi padi, penyuluhan pertanian,

komunikasi partisipatif petani, pemanfaatan media informasi komunikasi, dan

sikap petani terhadap modifikasi inovasi padi yang dilakukan petani di lahan

rawa pasang surut Kalimantan Tengah ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian:

1. Mendeskripsikan proses pembentukan dan bentuk-bentuk kongkrit

pengetahuan lokal petani padi dan inovasi padi di lahan rawa pasang surut

Kalimantan Tengah.

2. Mengkaji pandangan petani mengenai karakteristik inovasi padi, penyuluhan

pertanian, komunikasi partisipatif, pemanfaatan media informasi komunikasi,

sikap petani, dan modifikasi inovasi padi yang dilakukan petani di lahan rawa

pasang surut Kalimantan Tengah.

3. Menganalisis pengaruh karakteristik inovasi padi, penyuluhan pertanian,

komunikasi partisipatif, pemanfaatan media informasi komunikasi, dan sikap

petani terhadap tindakan petani untuk melakukan modifikasi inovasi padi di

lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah.

18

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis diharapkan dapat memberikan: (1) kontribusi terhadap studi

yang berkaitan dengan konsep difusi inovasi pertanian, yaitu tentang

bagaimana menghasilkan dan menyebarluaskan inovasi tepat guna untuk

petani melalui pengembangan pengetahuan lokal; (2) memberikan kontribusi

pada pola pendekatan baru dalam mengenalkan inovasi pada masyarakat dari

yang bersifat satu arah kepada proses belajar bersama (partisipatif) antara

masyarakat dengan institusi/lembaga penelitian dan pembangunan.

2. Secara praktis menjadi acuan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian

partisipatif di lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah.

3. Secara implikatif sebagai bahan pertimbangan bagi penentu-penentu

kebijakan di daerah dalam perencanaan pembangunan pertanian yang

berbasis pada pengembangan pengetahuan lokal.

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai komunikasi partisipatif dari berbagai aspek telah

dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Kajian terdahulu banyak dilakukan

pada efektivitas komunikasi dari aspek pemberdayaan, partisipasi, adopsi inovasi,

rekayasa kelembagaan, dan strategi komunikasi. Namun penelitian yang mengkaji

aspek komunikasi partisipatif petani dengan penyuluh dalam modifikasi inovasi

yang berdasarkan pada pengetahuan lokal petani sebagai tema penelitian baru

belum banyak dikaji. Beberapa penelitian sebelumnya, disajikan sebagai berikut :

19

Penelitian Kusmayadi (1996) mengungkapkan pemahaman yang

mendalam tentang konsekuensi dari komunikasi sosial dan pengambilan

keputusan adopsi inovasi usaha peternakan sapi perah oleh masyarakat petani

hortikultura, fenomenanya dilihat sebagai suatu proses perubahan sosial di sektor

pertanian sebagai akibat adanya adopsi dan difusi, yaitu bagaimana kekuatan dari

faktor luar desa ataupun luar pertanian mempengaruhi sikap masyarakat.

Penelitian Musyafak dan Ibrahim (2005) tentang strategi komunikasi dan

percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian. Hasil kajian menyimpulkan bahwa

faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri

dan strategi yang tepat untuk memilih inovasi, yaitu inovasi harus dapat dirasakan

sebagai suatu kebutuhan oleh banyak petani, inovasi harus memberikan

keuntungan kongkrit bagi petani, inovasi harus mempunyai keselarasan, inovasi

harus dapat mengatasi faktor-faktor pembatas, inovasi harus dapat

mendayagunakan, inovasi harus terjangkau, inovasi harus sederhana, dan tidak

rumit serta inovasi harus mudah untuk diamati.

Penelitian Yuniarti (2003) mengkaji tentang efektivitas penerapan prinsip-

prinsip komunikasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa berupa

jaminan akses masyarakat terhadap informasi (acces), adanya wadah untuk

mengakomodasikan pendapat masyarakat (voice), dan adanya jaminan bagi peran

aktif masyarakat melalui kontrol (control). Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa efektivitas pemanfaatan akses terhadap informasi pembangunan didukung

oleh adanya interaksi aktif antara pemerintahan desa dengan lembaga

kemasyarakatan dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat terhadap informasi

20

pembangunan baik secara formal maupun informal. Sedangkan akses terhadap

kesempatan menyampaikan pendapat ditujukan melalui terbukanya kesempatan

dalam menyampaikan tanggapan pada saat perencanaan, pelaksanaan, dan

evaluasi hasil. Sementara efektivitas peran kontrol masyarakat ditujukan dari

adanya partisipasi mekanisme pemeliharaan, penggunaan, dan pembuatan

keputusan lain dalam pemanfaatan hasil pembangunan.

Penelitian Yahya (2005) menunjukkan tingkat partisipasi petani dalam

perencanaan penyuluhan partisipatif mulai dari perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan monitoring evaluasi penyuluhan di Kabupaten Kulon Progo

secara keseluruhan tergolong dalam partisipasi sedang. Faktor mempengaruhinya

adalah kekosmopolitan, motivasi, pendidikan dan layanan tim penyuluh pertanian.

Penelitian partisipasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya juga

dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Anwaruddin (2009) mengkaji aspek

partisipasi petani dalam usaha agribisnis pedesaan menunjukkan bahwa partisipasi

dipengaruhi penguatan pengembangan kelembagaan kelompok-kelompok tani

yang ada di pedesaan. Penelitian Supendy (1999) mengenai partisipasi dalam

penerapan teknologi produksi kakao di Kabupaten Kaloka menunjukkan bahwa

partisipasi dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, jumlah anggota keluarga,

dan motivasi berusaha tani. Penelitian Muldyanto (2002) mengkaji partisipasi

anggota kelompok tani terhadap proyek konservasi tanah dan rehabilitasi di

Kabupaten Kulon progo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi petani

dipengaruhi oleh umur, pendidikan, luas lahan garapan, dan pendapatan.

21

Hasil penelitian Supadi (2007) tentang dinamika partisipasi petani padi

sawah peserta program peningkatan mutu intensifikasi menunjukkan bahwa

keberadaan kelompok tani kooperator yang telah dibentuk belum berhasil

mewujudkan partisipasi aktif petani dalam peningkatan mutu intensifikasi.

Terdapat kecenderungan penurunan penerapan teknologi rekomendasi setelah

proyek selesai dan ditinggalkan petani. Penurunan kualitas partisipasi dikarenakan

karakteristik kelembagaan kelompok tani yang belum mantap dan belum

optimalnya pelayanan penyuluhan. Sampai saat ini penyelenggaraan penyuluhan

masih dominan pada teknis budidaya belum pada aspek pemberdayaan petani.

Hasil penelitian Lingani, et al (2011) mengenai partisipasi masyarakat

lokal dalam praktek pengelolaan hutan lestari di Burkina Faso Afrika Selatan,

menunjukkan bahwa partisipasi dalam pengambilan keputusan pengelolaan hutan

dipengaruhi oleh faktor gender, ukuran rumah tangga, sumber pendapatan, status

kepemilikan lahan, dan program bantuan teknis bagi petani. Pengelolaan hutan

lestari dapat ditingkatkan dengan mengubah struktur administrasi kelompok

dengan mengikutsertakan peran serta perempuan. Dengan demikian, kebijakan

untuk memperbaiki struktur kelompok pengelolaan hutan dapat membentuk

mekanisme pembagian manfaat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal

dalam program pengelolaan hutan secara partisipatif.

Peneltian Hendayana (1998) mengenai keputusan petani untuk

mengadopsi inovasi terutama ditentukan oleh faktor internal yaitu, karakteristik

petani yang ditunjukkan oleh umur, pendidikan formal, jumlah anggota keluarga,

penguasaan lahan usahatani, dan tujuan petani dalam melakukan usahatani,

22

pertimbangan selain meningkatkan pendapatan ada juga yang hanya sekedar

mencukupi kebutuhannya (subsisten). Tujuan tersebut erat kaitannya dengan

tanggapan terhadap resiko. Selain itu juga masih ada lagi yang perlu

dipertimbangkan, yaitu: adanya faktor eksternal, mencakup kemungkinan

dukungan dari aspek kelembagaan dan pemasaran. Kelembagaan yang utama

adalah perkeditan untuk memenuhi kebutuhan modal usahatani. Sedangkan aspek

ekonomi yang penting adalah rasio antara harga input dengan harga output.

Keputusan adopsi akan berhenti apabila rasio nilai masukan dengan nilai keluaran

relatif kecil, berarti pendapatan yang akan diperoleh dari mengadopsi teknologi

akan kecil juga. Disamping itu dengan mahalnya upah buruh tani akan mendorong

petani untuk menerapkan teknologi usahatani yang hemat kerja.

Penelitian Istiana (1998) menyimpulkan bahwa salah satu penyebab

lambatnya transfer inovasi teknologi ke petani adalah: (1) adanya kesenjangan

pengetahuan antara penyuluh dan peneliti, (2) jumlah penyuluh yang belum

proporsional berada di wilayah kerjanya, 3) Balai Penyuluhan Pertanian sebagai

sumber informasi belum dimanfaatkan dengan baik oleh petani, dan (4)

keterbatasan sumberdaya yang dimiliki petani berupa pengetahuan, keterampilan

berusahatani dan modal usahatani.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mundy (2000) mengenai adopsi

inovasi juga menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan waktu dan tingkat

pemanfaatan inovasi cenderung melambat bahkan menurun, diperlukan waktu

sekitar dua tahun sebelum teknologi baru Badan Litbang Pertanian diketahui oleh

50% dari penyuluh pertanian dan perlu waktu enam tahun sebelum 80% penyuluh

23

mendengar teknologi baru tersebut. Tenggang waktu sampainya informasi dan

dilakukannya adopsi oleh petani tentunya memerlukan waktu lebih lama lagi

Hasil penelitian Chapman (2002) mengenai pengetahuan lokal yang

berperan dalam membangun budaya pertanian agraris di beberapa dunia ketiga,

menunjukkan bahwa pengetahuan lokal tidak tersebar secara merata dalam

masyarakat. Sikap setiap individu dalam menyimpan pengetahuan tradisional dan

kemampuan menghasilkan pengetahuan baru juga berbeda. Masing-masing

individu menguasai hanya sebagian dari pengetahauan lokal masyarakat.

Pengetahuan yang bersifat khusus seringkali hanya dikuasasi kalangan terbatas.

Pada banyak kasus petani tidak mendokumentasikan pengetahuannya, sehingga

tidak mudah untuk diakses oleh orang luar di lingkungan sistem sosialnya. Selain

itu pengetahuan lokal sulit terdeteksi karena sudah menyatu dalam praktek bertani.

Penelitian Luwihono (2007) tentang optimalisasi partisipasi masyarakat

lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup menunjukkan bahwa partisipasi

masyarakat lokal sebagai instrumen komunikasi antara kelompok hanya bisa

diwujudkan dengan partisipasi bersifat kemitraan. Dengan kemitraan masyarakat

dengan pemerintah mempunyai posisi, kedudukan dan kapasitas yang sama dalam

proses pengambilan keputusan rencana pemanfaatan lingkungan. Penerapan

pendekatan partisipatif yang bersifat kemitraan memposisikan masyarakat yang

akan terkena dampak suatu kebijakan sebagai bagian dari pengambil keputusan.

Dengan konsep ini akan terbangun komunikasi dan hubungan sosial yang

seimbang yang dapat menekan potensi konflik menyeimbangkan akses terhadap

lingkungan. Pelibatan masyarakat dilakukan lebih awal, yaitu dalam tahapan

24

perencanaan, sehingga masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan

keputusan sejak dini. Apabila proses pelibatan masyarakat benar-benar untuk

tujuan mencapai hasil yang optimal tidak hanya bagi pemrakarsa tetapi juga bagi

masyarakat, maka upaya penguatan pengetahuan akan memperkuat posisi

masyarakat dalam berkomunikasi dengan pihak pemrakarsa pembangunan.

Penelitian Noorginayuwati, et al (2007) menggali kearifan budaya lokal

dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menyimpulkan bahwa

pengetahuan lokal merupakan repleksi dari kebudayaan masyarakat setempat

didalamnya terkandung tata nilai, estetika, norma, aturan, dan keterampilan dari

suatu masyarakat dalam memenuhi tantangan hidupnya. Upaya petani lahan rawa

di Kalimantan yang telah berinteraksi di lahan gambut selama ratusan tahun telah

banyak menghasilkan kearifan lokal yang selaras dengan keseimbangan dan

kelestarian alam. Kearifan lokal tersebut seperti usaha petani dalam meningkatkan

kesuburan lahan dan menghindari kebakaran lahan, pola penataan dan

pengelolaan lahan gambut, teknologi budidaya, pola tanam, dan pengetahuan

fenomena alam sebagai pedoman dalam berusahatani di lahan gambut.

Penelitian Winarto (2005) menyajikan dinamika pengetahuan petani padi

tentang pengendalian hama terpadu di Subang menunjukkan bagaimana

pengetahuan lokal itu berubah dan berkembang. Perubahan yang konstruktif bagi

pengayaan pengetahuan petani dan kemampuan adaptasinya dalam menghadapi

berbagai masalah justru lebih berkembang dalam konteks pengalihan pengetahuan,

yaitu bagaimana pemilihan varietas padi oleh petani, selain itu dijelaskan bahwa

25

pengetahuan bukanlah faktor satu-satunya pengambilan keputusan petani, tetapi

ada seperangkat faktor yang relevan dalam situasi setempat.

Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang lebih menitik beratkan

pada aspek sosial ekonomi dan antropologi, maka penelitian ini menekankan pada

proses komunikasi pembangunan partisipatif antara petani dengan penyuluh

dalam mengintegrasikan inovasi pertanian dengan pengetahuan lokal serta

identifikasi pada perilaku petani dalam melakukan modifikasi inovasi akibat

adanya introduksi inovasi yang masuk dalam sistem sosial sebagai konsekuensi

dari pembangunan, serta sejauhmana proses komunikasi pembangunan partisipatif

tersebut berpengaruh terhadap keputusan petani untuk mengadopsi inovasi atau

melakukan reinvensi (modifikasi inovasi). Secara spesifik penelitian ini

mengandung keaslian mengingat penelitian dilakukan pada lokasi dengan

karakteristik wilayah pengembangan lahan gambut, permasalahan penelitian,

kondisi sosial budaya masyarakat, dan konteks perubahan sosial dalam

pembangunan pertanian.